Anda di halaman 1dari 14

1.

Biografi Al-Zahrawi  (936-1013 M)

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim Khalaf Ibn al-Abbas Al-Zahrawi. Ditemukan pula
pada referensi lain bahwa nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim  az-Zahrawi al-Qurtubi.
Kisah masa kecilnya tak banyak terungkap. Sebab, tanah kelahirannya Al-Zahra telah dijarah
dan dihancurkan. Sosok dan kiprah Al-Zahrawi barulah terungkap setelah ilmuwan Andalusia
Abu Muhammad bin Hazm (993M-1064M) menjadikannya sebagai salah seorang dokter
bedah terkemuka di Spanyol. Sejarah hidupnya baru muncul dalam Al-Humaydi’s Jadhwat al
Muqtabis yang baru rampung setelah enam dasa warsa kematiannya.

Ia dilahirkan pada tahun 936 M di kota al-Zahra pada zaman kerajaan di Andalus, sebuah
kota berjarak 9,6 km dari Cordoba, Spanyol. Al-Zahrawi merupakan keturunan Arab Ansar
(Ansar Madinatul Munawwarah) yang berhijrah ke Andalusia dan menetap di Spanyol. Di
kota Cordoba itulah dia menimba ilmu, mengajarkan ilmu kedokteran, mengobati masyarakat
, serta mengembangkan ilmu bedah bahkan hingga ia tutup usia.

Abu al-Qasim mendedikasikan separuh abad masa hidupnya untuk praktik dan mengajarkan
ilmu kedokteran. Sebagai seorang dokter termasyhur, Al-Zahrawi pun diangkat menjadi
dokter istana pada era kekhalifahan Al-Hakam II di Andalusia. Berbeda dengan ilmuwan
muslim kebanyakan, Al-Zahrawi tak terlalu banyak melakukan perjalanan. Ia lebih banyak
mendedikasikan hidupnya untuk merawat korban kecelakaan serta korban-korban perang.

Kejeniusannya diakui oleh para dokter di zamannya terutama di bidang bedah. Dan jasanya
dalam mengembangkan ilmu kedokteran sungguh sangat besar. Al-Zahrawi meninggalkan
sebuah karya yang sangat luar biasa dan fenomenal bagi ilmu kedokteran, yakni kitab at-
Tasrif li man ‘ajiza ‘an al-Ta’lif (Medical Vademecum atau Buku Pedoman Kedokteran —
sebuah ensiklopedia kedokteran. Kitab yang dijadikan materi sekolah kedokteran di Eropa itu
terdiri dari 30 volume.

Di Barat Al-Zahrawi dikenal sebagai  Albucasis. Dia dikenal sebagai bapak ilmu bedah
modern, bukan hanya itu, bahkan dia juga disebut sebagai ahli bedah pertangahan Islam
terhebat. Karena kemahiranya dalam ilmu bedah dan penemuan-penemuan alat-alat bedahnya
hingga dia disebut sebagai cahaya dikegelapan masa pertengahan di Eropa. Az-Zahrawi
adalah seorang dokter bedah yang amat fenomenal. Karya dan hasil pemikirannya banyak
diadopsi para dokter di dunia Barat. Menurut Dr.Campbell dalam History of Arab Medicine
mengatakan, “Prinsip-prinsip ilmu kedokteran yang diajarkan az-Zahrawi menjadi kurikulum
pendidikan kedokteran di Eropa”. Popularitas al-Zahrawi sebagai dokter bedah yang handal
menyebar hingga ke seantero Eropa. Tak diherankan lagi, jika kemudian pasien dan anak
muda yang ingin belajar ilmu kedokteran dari Abulcasis berdatangan dari berbagai penjuru
Eropa. Menurut Will Durant, pada masa itu Cordoba menjadi tempat favorit bagi orang-orang
Eropa yang ingin menjalani operasi bedah. Di puncak kejayaannya, Cordoba memiliki tak
kurang dari 50 rumah sakit yang menawarkan pelayanan yang prima.

Az-Zahrawi pada waktu itu memang meningkatkan ilmu kedokteran dan ilmu bedah melalui
usaha-usahanya. Dia belajar dan mendeskripsikan atau menjelaskan tentang flora dan fauna
Spanyol juga tanaman, binatang dan mineral.

Namun selain sebagai ahli ilmu bedah, ia juga merupakan pendidik yang ahli dan sekaligus
seorang psikiater. Sebagai seorang guru ilmu kedokteran, Al-Zahrawi begitu mencintai
murid-muridnya. Dalam Al-Tasrif, dia mengungkapkan kepedulian terhadap kesejahteraan
siswanya. Al-Zahrawi pun mengingatkan kepada para muridnya tentang pentingnya
membangun hubungan yang baik dengan pasien. Menurut Al-Zahrawi, seorang dokter yang
baik haruslah melayani pasiennya sebaik mungkin tanpa membedakan status sosialnya.

Dalam menjalankan praktik kedokterannya, Al-Zahrawi menanamkan pentingnya observasi


tertutup dalam kasus-kasus individual. Hal itu dilakukan untuk tercapainya diagnosis yang
akurat serta kemungkinan pelayanan yang terbaik untuk pasien. Al-Zahrawi pun selalu
mengingatkan agar para dokter berpegang pada norma dan kode etik kedokteran, yakni tak
menggunakan profesi dokter hanya untuk meraup keuntungan materi.

Menariknya, statusnya sebagai seorang ahli bedah professional tidaklah mendorongnya untuk
menganjurkan pembedahan (operasi) pada pasiennya. Menurut Ajram (1992), al-Zahrawi
hanya menerapkan pembedahan jika berbagai tahap pencegahan dan pengobatan klinis
sebelumnya telah dilakukan. Pembedahan atau operasi adalah tindakan terakhir ketika
dibutuhkan secara mutlak.

Ternyata tidak hanya dalam bidang kedokteran. Pada abad ke-11, dunia Islam menghasilkan
ilmuwan-ilmuwan kimia yang piawai. Salah satunya adalah Abu al-Qasim al-Zahrawi yang
memang namanya jarang disebut. Dalam salah satu idenya, Abulcasis menjelaskan bahwa
penyulingan air mawar dan cuka anggur dapat diperoleh dengan proses distilasi yang sama.
Proses distilasi adalah proses menghilangkan kotoran-kotoran yang tak tampak. Al-Zahrawi
pun menggunakan proses sublimasi dan distilasi untuk pembuatan obat-obatan. Sebagian dari
ikhtisar pengobatannya telah diterbitkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Liber Theorical
nec non Practicae as-Saharavil di Augsburg pada 1519. Memang al-Zahrawi tidak terlalu
terkenal sebagai seorang kimiawan. Namun sebenarnya ia pun merupakan salah satu ilmuwan
Arab yang sangat tertarik pada kimia dan menulis buku tentangnya.

Al-Zahrawi tutup usia di kota Cordoba pada tahun 1013M—dua tahun setelah tanah
kelahirannya dijarah dan dihancurkan. Al-Zahrawi wafat di umur 77 tahun.[11]  Meski
Cordoba kini bukan lagi menjadi kota bagi umat Islam, namun namanya masih diabadikan
menjadi nama jalan kehormatan yakni ‘Calle Albucasis’. Di jalan itu terdapat rumah nomor 6
–yakni rumah tempat Al-Zahrawi pernah tinggal . Kini rumah itu menjadi cagar budaya yang
dilindungi Badan Kepariwisataan Spanyol.

1. .      Karya-karyanya

Abu al-Qasim al-Zahrawi adalah ahli bedah dan kulit, telinga dan dokter gigi muslim Spanyol
yang hidup pada abad ke-11 yaitu pada masa pemerintahan Abdurrahman III (890-961).
Kitab yang diwariskannya bagi peradaban dunia adalah sebuah Ensiklopedia berjudul at-
Tasrif li man ‘ajiza ‘an al-Ta’lif yang terdiri dari 30 jilid.[12] Ensiklopedia ini
disempurnakan pada tahun 1000 M yang merupakan hasil dari pengalaman dan
pendidikannya dalam perobatan dan kedokteran selama 50 tahun. Ia menulis di akhir
kitabnya : “ Segala yang aku ketahui, adalah hasil dari pembacaan kitab-kitab dahulu dan
dari keinginanku untuk memahaminya dan mengaplikasikan pengetahuan sains ini;
kemudian aku lengkapi dengan pemerhatian dan pengalaman dari seluruh hidupku”. [13]

At-Tasrif  adalah sebuah ilustrasi pengalaman perobatan dan pembedahan. Sebagai sebuah
ensiklopedia setebal 1500 halaman, kitab itu membuktikan bahwa az-Zahrawi bukan hanya
seorang ilmuwan medis akan tetapi juga merupakan seorang pakar yang mempraktekkan
pengetahuan medis dan pembedahannya. Ia mempengaruhi dan memajukan bidang
pembedahan Eropa.

At-Tasrif berisikan 30 bab dan ditujukan kepada para pelajar bidang pengobatan dan juga
dokter-dokter yang menjadikan ensiklopedia tersebut sebagai teman dalam pelbagai situasi
masalah karena mengandung jawaban dan penyelesaian-penyelesaian klinikal yang banyak.
At-Tasrif dilengkapi dengan gambar-gambar peralatan pembedahan terawal di dalam sejarah,
yang kurang lebih ada sekitar 200 gambar peralatan pembedahan yang dijelaskan di jilid
terakhir ensiklopedinya. Selain itu cara penggunaan peralatan tersebut beserta prosedur
pembedahan dengan peralatan itu pun turut dijelaskan.

Karyanya ini terdiri dari tiga bagian[14]: pertama adalah pensterilan dengan cara pembakaran
yang diambil dari tradisi profetis dan anjuran oleh Az-Zahrawi untuk penyakit aplopexia,
yang kedua adalah operasi-oprasi yang dilakukan dengan pisau bedah dan juga operasi-
operasi mata sebagaimana pembedahan oral, dan yang terakhir adalah berbagai macam
bentuk luka atau keretakan dan pergeseran pada tulang. Berbagai macam topic telah
disebutkan dalam at-Tasrif  seperti pengobatan pada luka, pendarahan, kebidanan,
pencabutan anak panah, pengobatan pada tulang-tulang yang retak pada bagian tubuh,
pembukaan dan pembagian dari urat nadi atau pembuluh nadi, pengalihan urine kedalam
dubur dan lain-lain. Sebagian pembahasan yang lain dipusatkan pada pengobatan bedah mata,
telinga dan gigi.[15]

Terdapat sebuah klaim sejarah yang mengatakan bahwa penerapan ilmiah pembedahan
dikembangkan pertama kali oleh ahli bedah Prancis bernama Ambroise Pare pada 1545.
Dikatakan bahwa para ahli bedah sebelum Pare berusaha mengeluarkan darah melalui
prosedur yang mengerikan, seperti pembakaran luka dengan minyak yang mendidih. Lalu,
Pare menghentikan teknik semacam itu dan mulai menggunakan teknik dengan membalut
arteri (pembuluh darah). Pare kemudian dianggap sebagai “Bapak Ilmu Bedah yang
rasional”. Ajram (1992) dengan tegas membantah klaim itu. Karena menurutnya, 500 tahun
sebelumnya, ahli bedah Islam Spanyol, al-Zahrawi, telah menerapkan pembalutan arteri
dengan benang-benang bedah halus (fine sutures). Dia juga mengembangkan penggunaan
katun plus lilin untuk menyumbat luka-luka pendarahan. Abulcasis memperkenalkan
sejumlah pembedahan yang inovatif, termasuk pengangkatan polip (tumor hidung yang
bengkok), penghilangan batu kandung kemih, dan perbaikan pelbagai dislokasi organ tubuh.
Ajram mengatakan bahwa Abulcasis adalah seorang master dalam cabang medis ortopedi
(Ilmu bedah bagian tulang).

Dalam kitabnya Al-Tasrif, Bab 1 dan  2 telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang
diberi judul “Liber Theoricae”, yang dicetak di Augsburg pada 1519. Di dalam bab-bab ini,
az-Zahrawi menjelaskan 325 jenis penyakit dan turut membincangkan gejala-gejala
(symptom) dan perawatan-perawatan yang diperlukan. Ia juga menjelaskan untuk pertama
kalinya di dalam sejarah pengobatan mengenai suatu penyakit yang dibawa oleh para ibu
tanpa menunjukkan gejala namun menyebabkan anak laki-laki mereka dijangkiti penyakit
tersebut. Penyakit itu sekarang disebut dengan Hemophilia. Ia mendeskripsikannya dengan
jelas bahwa hemofili merupakan sebuah penyakit turunan (hereditas). Ia juga menjelaskan
mengenai penggunaan posisi apa yang sekarang disebut sebagai posisi Walcher untuk proses
kelahiran. Padahal sebenarnya sebelum, Gustav Adolf Walcher lahir, yakni 700 tahun
kemudian, al-Zahrawi telah merintis posisi untuk kelahiran itu, yang kemudian penemuan
tersebut dinisbahkan kepada Walcher sehingga dinamakan posisi Walcher yang dipakai
hingga sekarang.

Pada Bab 28 dijelaskan perihal obat-obatan (farmasi) dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin di awal tahun 1288 M dan diberi judul “Liber Servitoris”. Beberapa bagian dalam kitab
itu diterjemahkan oleh Gernard de Cremona ke dalam Bahasa Latin pada abad-16[16].
Abulcasis juga  menjelaskan cara membersihkan luka dan perlunya melakukan post mortum
bagi beberapa jenis mayat untuk mengetahui sebab-sebab kematian.

Instrument-instrumen yang ditemukan oleh Az-Zahrawi yang dipakai untuk pembedahan


yaitu termasuk alat pencabut gigi, catheter yaitu tabung atau pipa yang untuk dimasukan ke
bagian tubuh untuk  menyebarkan cairan agar jalan atau lubang pada bagian tubuh tetap
terbuka. Dia juga menemukan tang atau alat penjepit yang digunakan untuk mencabut janin
yang telah mati, jarum bedah, pisau bedah, sendok bedah, dan kail bedah. Sebagian besar
instrument-instrumen ini  ditemukan oleh dirinya sendiri dan bukan hanya itu, dia juga
menjelaskan penggunaannya. Selain itu Az-Zahrawi menekankan penggunaan  antiseptic
pada luka-luka.

Menurut catatan, selama karirnya Al-Zahrawi telah menemukan 26 peralatan bedah. Salah
satu alat bedah yang ditemukan dan digunakan Al-Zahrawi adalah catgut. Alat yang
digunakan untuk menjahit bagian dalam itu hingga kini masih digunakan di ilmu bedah
modern. Selain itu, ia juga menemukan forceps untuk mengangkat janin yang meninggal.
Alat itu digambarkan dalam kitab Al-tasrif. Dalam Al-Tasrif, Al-Zahrawi juga
memperkenalkan penggunaan ligature (benang pengikat luka) untuk mengontrol pendarahan
arteri. Jarum bedah ternyata juga ditemukan dan dipaparkan secara jelas dalam Al-Tasrif.
Selain itu, Al-Zahrawi juga memperkenalkan sederet alat bedah lain hasil penemuannya.
Peralatan penting untuk bedah yang ditemukannya itu antara lain, pisau bedah (scalpel),
curette, retractor, sendok bedah (surgical spoon), sound, pengait bedah (surgical hook),
surgical rod, dan specula. Tak cuma itu, Al-Zahrawi juga menemukan peralatan bedah yang
digunakan untuk memeriksa dalam uretra, alat untuk memindahkan benda asing dari
tenggorokan serta alat untuk memeriksa telinga. Kontribusi Al-Zahrawi bagi dunia
kedokteran khususnya bedah hingga kini tetap dikenang dunia. Berikut adalah gambar dari
beberapa peralatan bedah al-Zahrawi yang masih dipakai sampai sekarang.

Al-Tasrif – al-Zahrawi secara terperinci dan lugas mengupas tentang ilmu bedah, orthopedic,
opththalmologi, farmakologi, serta ilmu kedokteran secara umum. Ia juga mengupas tentang
kosmetika. Al-Zahrawi pun ternyata begitu berjasa dalam bidang kosmetika. Sederet produk
kosmetika, seperti deodorant, hand lotion, dan pewarna rambut yang berkembang hingga kini
merupakan hasil karya al-Zahrawi.[17] Bukunya memang secara lengkap menjelaskan
tentang pengobatan medis, nutrisi, kosmetik, terapi obat, teknik pembedahan, anesthesia
(obat bius), pra dan pascapemeliharaan operasi. Lagi, dengan deskripsi lengkapnya mengenai
200 peralatan pembedahan yang ia temukan seperti speculum, pisau bedah, semprotan, pipa
kateter, dan penekan lidah. Atas dasar itulah, menurut Ajram, yang paling patut memperoleh
julukan sebagai “Bapak dan Pendiri Pembedahan Rasional” adalah al-Zahrawi.

Gerrad dari Cremona menerjemahkan buku ini kedalam bahasa Latin pada abad ke 12. Dan
ini menjadi buku teks utama pada bidang ilmu bedah di Eropa sampai hampir lima abad.
Terjemahan latinnya dari diskursus satu dan dua dari At-Tasrif dipublikasikan di Augusburg
pada tahun 1519. Yang mana diskursus ini berhubungan dengan klasifikasi dari 325 penyakit.
Ilmu tentang gejala-gejala dan pengobatan juga telah dibahas.

Abulcasis juga menulis karya lainnya yakni kitab al-Mansur. Hingga abad ke 15, terjemahan
buku ini digunakan dalam kuliah kedokteran di universitas Tubingen Jerman. Sedangkan
Ensiklopedianya telah dijadikan standard rujukan bidang pembedahan di semua universitas
Eropa selama lebih dari 500 tahun.

1. 4.      Keahlian-keahlian/ Buah pemikiran Abu al-Qasim al-Zahrawi


2. a.      Batu Ginjal (Urologi)

Batu ginjal adalah masa keras  seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan
bisa menyebabkan nyeri perdarahan, penyumbatan aliran kemih, atau infeksi. Batu ini bisa
terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih).

Para dokter Muslim di masa kekhalifahan telah memberi perhatian begitu intens terkait batu
ginjal. Mereka mencoba untuk menjelaskan secara ilmiah pembentukan batu ginjal , tanda-
tanda serta gejalanya. Untuk pertama kalinya pula, dokter Muslim berhasil melakukan
operasi untuk membuang atau menghancurkan batu ginjal. Selain itu, para dokter muslim pun
telah memberikan petunjuk pengobatan untuk merawat pasien batu ginjal serta bagaimana
pencegahannya.

Ibn Sina dan al-Zahrawi sepakat bahwa batu kandung kemih adalah hal yang umum terdapat
pada anak-anak. Benda kecil itu, papar keduanya, akan berubah menjadi batu ginjal pada saat
umur seseorang terus bertambah. Kedua dokter itu juga sependapat bahwa batu kandung
kemih jarang ditemukan pada wanita.

Abulcasis merupakan dokter bedah pertama yang berhasil melakukan operasi ketika
mengeluarkan batu ginjal. Secara khusus, al-Razi dan al-Zahrawi menjelaskan proses operasi
untuk mengeluarkan batu ginjal. Al-Razi menyatakan sebelum dikeluarkan, batu ginjal perlu
dipecahkan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Kedua dokter muslim legendaris itu
menyatakan kesulitan yang dihadapi saat mengoperasi batu ginjal pada pasien wanita.

Al-Zahrawi merupakan salah satu dokter yang tak hanya mampu mendeteksi dan mengobati
beragam penyakit urologi, yakni cabang ilmu kedokteran yang khusus menangani bedah
ginjal dan saluran kemih serta alat reproduksi, tetapi juga telah menemukan sederet peralatan
dan teknologi pengobatannya. Salah satu alatnya adalah alat untuk memotong batu dalam
kantung kemih.

Buah pemikiran dari hasil penemuannya dalam bidang urologi telah memberi pengaruh yang
sangat besar bagi dokter-dokter dunia Barat. Peradaban Barat telah mengembangkan dan
menerapkan urologi yang ditemukan para dokter muslim dari abad-9 M. bahkan tak heran
lagi jika dokter bedah terkemuka di Barat, E. Forge, begitu takjub dengan pencapaian yang
ditorehkan al-Zahrawi dalam bidang kedokteran-lewat karyanya al-Tasrif.

Kitab al-Tasrif adalah buah pikir al-Zahrawi yang paling legendaris. Ensiklopedia kedokteran
dan bedah itu terdiri atas 30 bab. Karya dokter muslim asal Cordoba itu tidak cuma
legendaris, namun juga fenomenal. Sejumlah sejarawan menggambarkan pencapaian yang
berhasil ditorehkan al-Zahrawi lewat kitabnya itu yang sungguh mengagumkan.

Al-Zahrawi telah dinilai mampu menjelaskan prosedur bedah serta peralatan-peralatan bedah
yang diperlukan. Padahal, saat itu, belum ada satu kitab kedokteran pun yang mengupasnya.
Para sejarawan kedokteran, seperti Cumston, Spink, dan Lewis menyatakan, al-Zahrawi
merupakan peletak dasar lithotripsy – sebuah prosedur dalam kedokteran untuk memecahkan
batu yang terdapat dalam ginjal, saluran kemih, dan kandung kemih. [18]

Sementara itu dalam  bidang lain yakni mengkhitan/sunat, al-Zahrawi lebih memilih
menggunakan gunting untuk menyunat.

1. b.      Otorhinolaryngology (THT)

Otorhinolaryngology secara etimologi berasal dari kata oto yang berarti telinga, rhino yang
berarti hidung, dan laryngo yang berarti tenggorokan. Kita biasa menyingkatnya dengan
THT, Yakni Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Menurut  Neil Weir, Otorhinolaryngology
merupakan bidang kedokteran yang secara khusus dikembangkan pada awal abad ke-20 M
dengan menggabungkan dua departemen yang berbeda, yakni Ontology dan Laryngology.
Namun klaim ini masih diragukan dan dianggap ahistoris.

Karena jika kita melihat melalui jejak dan sejarah perkembangannya, tampaknya umat Islam
memiliki hak untuk mengklaim bahwa para dokter Muslim merupakan para perintis dari
lahirnya bidang Otorhinolaryngology di dunia kedokteran modern.

Penelitian tentang anatomi dan fisiologi THT dilakukan sederet dokter Muslim dari abad ke
abad, seperti Ibn Zakariya al-Razi (80 M-923 M), Ibn Sina (980 M-1036 M), Ali Ibnu Abbas
(994 M), Abdul Latif al Baghdadi (1161 M-1242 M), Ibn Al-Baladi (971 M), Abdul Malik
Ibn Zohr (1092 M-1162 M), AL-Zahrawi (936 M-1013 M), dan Ibn al-Nafis (1210 M – 1288
M).

Hasil kajian para dokter muslim tentang anatomi dan fisiologi THT itu terekam dalam kitab
dan risalah kedokteran Islam. Ar-Razi menuangkan buah pikirannya tentang anatomi dan
fisiologi THT dalam kitab Al-Hawy. Sedangkan Ibn Sina memaparkannya dalam Canon of
Medicine (al-Qanun fit tib) – kitab kedokteran legendaris. Ali Ibn Abbas mencatatnya dalam
dalam Al-Kitab El Malaky, sementara itu al-Bagdadi menuliskan hasil kajiannya dalam The
Compendium in Medicine dan Ibn al-Baladi dalam The Care of Pregnant Women, Infants,
dan children. Ibn Zohr menuangkan penelitiannya tentang natomi dan fisiologi THT dalam
kitab Al-Tayseer. Sedangkan dokter bedah terkemuka dari Cordoba, al-Zahrawi
menuliskannya dalam kitab Al-Tasrif. Dan Bapak Fisiologi Ibn Al-Nafis menuliskan hasil
kajiannya dalam kitab al-Shamel Fi Sinaat al-Tibb.

Sementara itu, al-Zahrawi – Bapak Ilmu Bedah Modern – banyak membahas operasi telinga,
hidung dan tenggorokan secara perinci dalam kitab al-Tasrif. Menurut Arsyad (1989), al-
Zahrawi dikenal baik sebagai perintis ilmu pengenalan penyakit (diagnostic) dan cara
penyembuhan (therapeutic) penyakit telinga. Dialah yang telah merintis dilakukannya
pembedahan telinga untuk mengembalikan fungsi pendengaran, dengan jalan memperhatikan
secara saksama anatomi saraf-saraf halus (arteries), pembuluh-pembuluh darah (veins), dan
otot-otot (tendons). Tidak hanya itu, al-Zahrawi pun dikenal sebagai motor pelopor
pengembangan ilmu penyakit kulit. Ia juga merupakan perintis pertama kali yang
memberikan deskripsi akurat tentang cacat genetic (genetic deformities) pada mulut dan
lengkungan gigi. Ia dengan tepat menggambarkan semacam patologi di balik kelumpuhan
dawai suara/vocal ratusan tahun sebelum ditemukan Barat. Untuk alat pembedahannya, Al-
Zahrawi memiliki alat untuk memindahkan benda asing dari temggorokan dan alat untuk
memeriksa telinga.

Apa yang ditemukan dan dikembangkan oleh para dokter muslim di era kekhalifahan itu
diadopsi dan diserap dokter di Eropa. Berbekal pengetahuan yang ditransfer dari peradaban
muslim itu Eropa mengalami Renaissance. Seorang dokter dari Eropa bernama De Boer ikut
menguatkan argumen mengenai kontribusi Peradaban Islam dalam dunia kedokteran dengan
mengungkapkan, “ Kedokteran itu tak ada sampai Hippocrates menciptakannya, kedokteran
mati sampai Galen menghidupkannya, kedokteran tercerai berai sampai ar-Razi
menyatukannya, dan kedokteran tak lengkap hingga Ibn Sina menyempurnakannya”.[19]

1. c.       Kedokteran Gigi (Dentistry)

Islam memahami bahwa menjaga kesehatan gigi dan mulut akan sangat menentukan kualitas
hidup manusia. Rasulullah pun mewariskan tips kesehatan gigi dengan bersiwak. Tak heran
jika seabad setelah Rasulullah SAW wafat, para dokter muslim di era keemasan terdorong
untuk turut mengembangkan ilmu kedokteran gigi (dentistry). Sejatinya, pengobatan gigi
telah diterapkan manusia di lembah Indus di sekitar tahun 7000 hingga 5500 SM.
Namun peradaban Barat mengklaim bahwa Pierre Fauchard – berkebangsaan Prancis yang
hidup di abad ke-17 adalah Bapak Ilmu kedokteran gigi modern yang pertama. Padahal,
menurut Noble, 700 tahun sebelum Fauchard hidup, seorang dokter muslim bernama Abu al-
Qasim Khalaf Ibn Abbas al-Zahrawi alias Abulcasis telah sukses mengembangkan bedah gigi
dan perbaikan gigi. Keberhasilannya yang telah memukau para dokter gigi modern itu
tercantum dalam kitab al-Tasrif. Kitab itu tercatat sebagai teks pertama yang mengupas bedah
gigi secara detail. Noble mengatakan, “ Dalam kitabnya itu, Abulcasis juga secara detail
menggambarkan keberhasilannya dalam melakukan penanaman kembali gigi yang telah
dicabut. Bukan hanya Noble, Arsyad (1989) juga mengatakan bahwa al-Zahrawi dikenal baik
sebagai seorang dokter gigi. Menurutnya, dari ilustrasi-ilustrasi yang digambarkan buku-buku
yang ditulis al-Zahrawi , dapat diketahui bahwa ia telah menggunakan banyak macam
peralatan untuk keperluan pengobatan gigi. Karena di dalam al-Tasrif dijelaskan tentang
penyakit gigi sekaligus cara pengobatannya.

Al-Zahrawi juga tercatat sebagai dokter yang mempelopori penggunaan gigi palsu atau gigi
buatan yang terbuat dari tulang sapi. Kemudian gigi palsu itu dikembangkan lagi dengan
menggunakan kayu – seperti yang digunakan oleh presiden pertama Amerika Serikat, George
Washington 700 tahun kemudian.[20]

Menurut Arsyad, al-Tasrif – Al-Zahrawi lah yang kemudian meletakkan dasar-dasar


pengembangan kedokteran gigi di Eropa. Beberapa bagian penting dari isi tersebut dikutip
oleh seorang ahli bedah kebangsaan Prancis yang amat terkenal di Eropa, Guy de Chauliac.
Buku tersebut cukup lama  digunakan di Eropa, terutama di universitas-universitas Salerno
dan Muenchen. Secara umum, pemikiran al-Zahrawi memanglah banyak berpengaruh kuat
pada system pengobatan di Barat. Hal itu diakui oleh Donald Campbell dalam bukunya
Arabian Medicine and Its Influence on The Middle Ages. Bahkan di Eropa, pada masanya,
al-Zahrawi mendapat pujian sebagai seorang ahli yang mempunyai reputasi dan popularitas
lebih besar daripada Galen dan Hippocrates, yang telah dikenal lebih awal.[21]

1. d.      Anestesi ( pembiusan )

Dunia kedokteran Barat mengklaim dirinya sebagai perintis di bidang anestesi (pembiusan).
Mereka menyebut Oliver Wondel Holmes Sr sebagai dokter pertama di dunia yang
memperkenalkan istilah anestesi pada tahun 1846. Klaim itu dianggap sangat ahistoris.
Karena ratusan tahun sebelum Holmes mengenal anestesi, sebenarnya dunia kedokteran
Islam telah mengembangkan teknik Anestesi.

Anestesi berasal dari Bahasa Yunani yang berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
saat melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya pada tubuh. 9 abad sebelum
Holmes lahir, para dokter muslim terkemuka seperti Ibn Sina, al-Zahrawi, Ibn Zuhr, dan Ibn
al-Nafis telah sukses melakukan operasi pembedahan. Uniknya, pembedahan yang dilakukan
oleh para dokter muslim di zaman dahulu memang sama sekali tidak terasa sakit.

Dokter Muslim perintis Anestesi adalah Ibn Zuhr dan Al-Zahrawi. Di Spanyol Islam mereka
dikenal sebagai  pengembang Anestesi modern (Anestesiolog).

Prof. Mohammad S. Takrouri dari Departemen Anestesi Universitas King Khalid Riyadh
mengatakan bahwa anestesi yang dikembangkan kedokteran Islam sangat unik. Ia benar-
benar mampu menghilangkan rasa sakit pada pasien yang akan dioperasi. Berbeda dengan
anestesi yang dikembangkan diperadaban India, Yunani, dan Romawi. Anestesi dari ketiga
peradaban itu tak membantu menghilangkan rasa sakit. Menurutnya salah satu anestesi yang
dikembangkan peradaban Islam adalah “Spon Obat Tidur” (Soporific Sponge). Tekhnik
tersebut bahkan tidak dikenal pada peradaban sebelum Islam.

Spon obat tidur itu terbuat dari campuran hanish, papver, dan hyocymine. Campuran itu
kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Ketika akan digunakan, campuran itu
kemudia dilembabkan dan ditempatkan di hidung pasien yang akan menj alani operasi.
Seketika pasien akan tertidur dan tak akan merasakan sakitnya operasi.

Teknik anestesi seperti ini baru dikenal kedokteran Barat – terutama Eropa – pada abad ke-18
M. Dunia Barat kedokteran Barat kemudian mengembangkan anestesi inhalational modern
pada abad ke-19. Penemuan itu dipengaruhi oleh karya-karya dokter Muslim yang beredar
dan diajarkan di Universitas Barat. Prof. Takrouri menegaskan bahwa dasar-dasar Anestesi
melalui pernapasan sesungguhnya berasal dari Islam. [23]

1. 5.      Hubungan Kedokteran dan Filsafat

Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya Sains dan Peradaban di dalam Islam mengatakan
bahwa seorang bijak atau hakim, yang sepanjang sejarah Islam merupakan tokoh sentral
dalam pengembangan dan penyebaran sains, juga biasanya seorang dokter. Hubungan antara
kedua ini sungguh erat, sehingga orang bijak maupun dokter disebut sebagai hakim. Karena
seorang dokter umumnya diharapkan seorang yang berwatak luhur, yang menggabungkan
ketajaman ilmiah dengan nilai moral, dan yang daya intelektualnya tidak pernah terpisah dari
kepercayaan religious yang dalam dan takwa kepada Allah SWT.[24] Sedangkan Osman
Bakar (2008 : 108) berpendapat bahwa kedokteran merupakan posisi yang paling mulia
dibandingkan dengan semua ilmu dan seni praktis yang dikembangkan oleh para ilmuwan
Muslim. Hal itu disebabkan oleh adanya nilai religious yang dilekatkan pada kedokteran. Dan
bahwa kedokteran itu termasuk kategori ilmu fardhu kifayah.

Kuatnya perhatian para sarjana Muslim dalam ilmu medis disebabkan oleh salah satu
implikasi dari pandangan Islam tentang hubungan yang erat antara jiwa dan badan. Ibn Sina
dalam karyanya The Canon of Medicine mendefinisikan ilmu medis sebagai “cabang ilmu
yang mempelajari keadaan-keadaan sehat dan sakit tubuh manusia dengan tujuan
mendapatkan cara yang sesuai untuk menjaga atau mempertahankan kesehatan” merupakan
salah satu ilmu terapan yang terpenting karena menyangkut kesehatan tubuh manusia sebagai
pokok bahasannya. Karena diyakini bahwa tubuh dan jiwa saling berpengaruh maka
kesehatan tubuh menjadi sangat penting untuk penyempurnaan jiwa. Sesuai dengan doktrin
filsafat pada umumnya, meskipun jiwa pada esensinya adalah substansi nonmaterial, ia tetap
saja membutuhkan tubuh untuk aktualisasi dan penyempurnaan di alam korporeal ini.[25]

Karakter umum dari para sarjana Muslim dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan ialah
kentusiasan mereka dan sikap apresiasinya dalam mempelajari khazanah ilmu pengetahuan
dari berbagai tradisi dan peradaban pra-Islam. Kemudian mereka mengembangkannya secara
kreatif dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang baru dan dengan menggunakan
[aradigma yang sesuai dengan nilai-nilai Tauhid dan Islam.

Kesehatan adalah menjadi perhatian utama dalam paradigm medis Islam. Sebagaimana yang
dicontohkan Nabi SAW, yakni makan tidak berlebihan dan tidak juga berkekurangan,
melainkan cukup untuk sepertiga isi lambung merupakan salah satu motto pola konsumsi
yang diajarkan Islam. Pola itu ternyata sesuai dengan penelitian mutakhir bahwa banyak
penyakit yang muncul karena menyalahi pola konsumsi yang sehat dan seimbang.

Berbeda dengan paradigm Cartesian yang menganggap tubuh manusia sebagai sebuah mesin
yang bisa dianalisis menurut bagian-bagiannya sehingga tubuh yang sakit diperlakukan
seperti mesin yang rusak yang dalam hal ini tentunya praktik kedokteran hanya focus pada
metode dan pendekatan kuantitatif dan serba terukur, sehingga mengabaikan aspek—aspek
kualitatif. Fritjof Capra mengusulkan sebuah paradigm holistic sebagai paradigm baru bagi
praktik ilmu medis. Ia berargumen,

“ Sifat dasar kesehatan haruslah holistic jika kita ingin memahami fenomena penyembuhan.
Selama berabad-abad penyembuhan telah dilakukan oleh para penyembuh (healer) dengan
tuntunan kearifan tradisional yang melihat penyakit sebagai suatu kekacauan manusia secara
utuh, yang tidak hanya melibatkan tubuh pasien melainkan juga pikirannya, gambaran
dirinya, kebergantungannya pada lingkungan fisik dan social, serta hubungan antara manusia
dengan kosmos dan Tuhan” (1996: 155).[26]

Argumen ini semakin diperkuat dengan pendapat Osman Bakar (2008:108) yang menyatakan
bahwa,

“Salah satu nama al-Qur’an adalah al-Syifa yang berarti yang menyembuhkan (that which
heals) atau yang memulihkan kesehatan. Kaum Muslim memahami kesehatan itu sebagai hal
yang merujuk kepada kesehatan spiritual, intelektual, psikologis dan fisik. Semua dimensi
yang berbeda-beda dari kesehatan manusia itu terintegrasi dan menyatu dalam pandangan-
dunia religious Islam. Jadi, tujuan kedokteran sangat selaras dengan pandangan Al-Qur’an
tentang kesejahteraan manusia”.

Salah satu bentuk penerapan pandangan holistic ilmu medis Islam adalah adanya perhatian
yang intensif terhadap potensi mental pikiran dan spiritual dalam praktik penyembuhan
penyakit-penyakit fisik. Hubungan yang sedemikian erat dan alamiah serta saling
berpengaruh timbal balik antara jiwa dan tubuh merupakan cara pandang pokok tradisi
kedokteran Islam.

  Ibn Sina : Pangeran Para Dokter memiliki pendekatan filosofi untuk penyembuhan
psikologis penyakit-penyakit fisik atau yang sekarang disebut dengan “ilmu medis
psikosomatis”. Ibn Sina menekankan prinsipnya yang menunjukkan eratnya hubungan antara
pikiran dan jiwa dengan kesehatan tubuh; bahwa cara berpikir berpengaruh terhadap kondisi
badan dan, juga sebaliknya, bahwa kesehatan tubuh berpengaruh terhadap kondisi jiwa. Ia
ingin menunjukkan bahwa penyembuhan psikologis-spiritual daoat mengatasi penyakit fisik,
serta memperlihatkan pengaruh pikiran terhadap tubuh. Dengan prinsip dasar itulah Ibn Sina
menganjurkan para dokter untuk memiliki simpati dan kesabaran dalam menghadapi pasien.
Menurut Ibn Sina, seorang dokter haruslah memberikan sugesti dan harapan yang optimistic
kepada pasien bahwa dia akan segera sembuh. Dan sesuai dengan pandangan interaksionis,
Ibn Sina juga menganjurkan para dokter dan rumah-rumah sakit untuk menciptakan
lingkungan yang ramah, nyaman, teduh, dan higienis agar membantu proses penyembuhan
pasien.

Ibn Sina pun mencoba menjelaskan secara rasional mengenai interaksi yang erat antara jiwa-
badan melalui sejumlah konsep, diantaranya apa yang dia sebut sebagai “semangat vital”
(Vital Spirit), yang hadir dalam diri dan berinteraksi langsung dengan tubuh. Ibn Sina
menjelaskan,

Allah membuat bagian kiri jantung berongga agar berfungsi sebagai tempat simpanan
semangat Vital dan juga sebagai sumber produksinya. Dia menciptakan semangat vital untuk
membawa kemampuan jiwa atau bentuk (Form) kepada anggota badan yang sesuai. Jadi,
semangat vital berfungsi sebagai dasar unifikasi kemampuan-kemampuan jiwa, dan
selanjutnya sebagai sarana emanasi ke berbagai anggota badan dan jaringan (dikutip dalam
Nasr, 1968 : 226).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya kesehatan itu merupakan bentuk


keseimbangan; sebuah kecerdasan dan keterampilan bagaimana hidup dengan pola yang
seimbang, selaras, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Yang kedua, kesehatan adalah
bentuk keutuhan yang mencakup berbagai dimensi yang terkait dengan identitas kemanusiaan
(bersifat holistic : mencakup aspek spiritual, intelektual, psikologis, social, fisikal); bahwa
terdapat interaksi, interrelasi, dan interkoneksi yang erat dan alamiah antara jiwa dan tubuh.
[27]

Anda mungkin juga menyukai