Anda di halaman 1dari 45

JEJARING KERJA DI KOMUNITAS

( TOMA, TOGA, PEMERINTAH, KADER DAN


DUKUN BERANAK )
MAKALAH
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah
Asuhan Kebidanan Komunitas
Tingkat II Semester IV

Disusun Oleh :
Kelompok 3
Annisa Ramadina Kusnadi P3.73.24.2.19.004
Huwaida Zalfa Putri Alifah P3.73.24.2.19.016
Nabila Azzaetuna Syahwali P3.73.24.2.19.021
Nur Afni Silviatama P3.73.24.2.19.023
Saffanah Khairurrahmah P3.73.24.2.19.031

Dosen Pengampu :
Wahyudin Rajab, M.Epid.

KELAS IIA
PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA III
TAHUN AKADEMIK 2020-2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas
berkat rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
yang berjudul “Jejaring Kerja di Komunitas (Toma, Toga, Pemerintah, Kader
dan Dukun Beranak)”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang
diberikan dalam mata kuliah Asuhan Kebidanan Komunitas di Politeknik
Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta III.
Dalam pembuatan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan,
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingatkan kemampuan yang kami
miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dan kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu kami, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan petunjuk
serta bimbingannya kepada kami, sehingga dapat terselesaikannya pembuatan
makalah ini.

Bekasi, Februari 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii


DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 4
JEJARING KERJA DI KOMUNITAS
( TOMA, TOGA, Pemerintah, Kader, dan Dukun Beranak ) ....... 4
2.1 Jejaring Kerja ............................................................................. 4
2.1.1 Pengertian Jejaring Kerja/ Kemitraan ................................. 5
2.1.2 Elemen-Elemen Jejaring Kerja/ Kemitraan ......................... 8
2.1.3 Jejaring Kerja/ Kemitraan Bidan ......................................... 9
2.1.4 Tujuan dan Strategi Upaya dalam Kemitraan Bidan ...........11
2.1.5 Persyaratan Kemitraan ........................................................13
2.1.6 Landasan Kemitraan ............................................................15
2.1.7 Prinsip-Prinsip Kemitraan ...................................................16
2.1.8 Tujuan dan Langkah-langkah Kemitraan ............................17
2.1.9 Kerangka Konsep Kemitraan ..............................................19
2.1.10 Model-Model Kemitraan ...................................................19
2.1.11 Contoh Kemitraan Bidan ..................................................20
2.2 Jejaring Kerja di Komunitas .....................................................22
2.2.1 TOMA ( Tokoh Masyarakat ) .............................................22
2.2.2 TOGA ( Tokoh Agama ) .....................................................22
2.2.3 Pemerintah ...........................................................................24
2.2.4 Kader ...................................................................................24
2.2.5 Dukun Beranak ....................................................................28
BAB III PENUTUP ...........................................................................................40
3.1. Kesimpulan ...................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................41

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sebagai negara berkembang terus memperhatikan peningkatan
kesehatan masyarakat, khususnya bagi kesehatan ibu dan anak yang menjadi
perhatian utamanya. Hal ini dikarenakan angka kematian ibu (AKI) dan
Angka kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator yang peka
dalam menggambarkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Hasil
Survei Demografi Kesehatan Ibu Indonesia (SDKI) pada tahun 1991
menunjukan bahwa AKB berjumlah 68/1000 Kelahiran Hidup dan dapat
diturunkan hingga mencapai 32/1000 Kelahiran Hidup pada tahun 2012.
Sebaliknya, untuk AKI tahun 2007 yakni 228/100.000 Kelahiran Hidup
terjadi peningkatan hingga 359/100.000 Kelahiran Hidup pada tahun 2012.
Hal ini tentu menunjukan ketidak tercapaian target MDGs tahun 2015 lalu
yaitu AKI 102/100.000 Kelahiran Hidup dan AKB 24/1000 Kelahiran Hidup,
sehingga terus menjadi agenda dalam Sustainable Development Goal’s
(SDGs) dan renstra (rencana strategis) kemenkes tahun 2015-2019.
Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk menjamin
bahwa setiap ibu memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas, mulai saat hamil, pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
saat berada di fasilitas kesehatan, perawatan pasca persalinan pada ibu dan
bayi, perawatan khusus, rujukan jika terjadi komplikasi, akses terhadap
keluarga berencana serta penyakit yang berhubungan dengan reproduksi.
Riskesdas tahun 2018 memberi fakta bahwa tempat persalinan tertinggi
ada di RB/Klinik praktik Nakes (34%) dengan penolong persalinan bidan
62.7%, hal ini menunjukan bahwa bidan memiliki peran yang strategis dan
sangat unik sebagai pemberi pelayanan kesehatan. Bidan adalah seorang agen
pembaharu yang sangat dekat dengan masyarakat serta berperan dalam
pemberdayaan perempuan dan masyarakat. Peran bidan mencakup fungsi
dalam layanan kesehatan primer, sekunder dan tersier serta fungsi yang
terpenting adalah promotif untuk menjaga kesehatan masyarakat, tentunya

1
dengan sistem kesehatan yang baik, bidan dapat mendukung perempuan
untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, menyediakan
pendampingan sepanjang kehamilan dan kelahiran.
Masalah klasik penyebab kematian ibu belum mengalami perubahan
yakni, oleh perdarahan, tekanan darah yang tinggi saat hamil (eklampsia),
infeksi, persalinan macet dan komplikasi keguguran. Sedangkan penyebab
langsung kematian bayi adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan
kekurangan oksigen (asfiksia). Penyebab tidak langsung kematian ibu dan
bayi baru lahir adalah karena kondisi masyarakat seperti pendidikan, sosial
ekonomi dan budaya. Kondisi geografi serta keadaan sarana pelayanan yang
kurang siap ikut memperberat permasalahan ini. Beberapa hal tersebut
mengakibatkan kondisi 3 terlambat (terlambat mengambil keputusan,
terlambat sampai di tempat pelayanan dan terlambat mendapatkan
pertolongan yang adekuat) dan 4 terlalu (terlalu tua, terlalu muda, terlalu
banyak, terlalu rapat jarak kelahiran).
Atas dasar tersebut, maka peran bidan yang diharapkan tidak hanya
memberi pelayanan pada individu, namun lebih luas lagi, bidan harus
memiliki kompetensi sebagai pemberi pelayanan pada keluarga dan
masyarakat dengan kata kunci pemberdayaan masyarakat dalam bidang
kesehatan, serta Bidan diharapkan dapat menciptakan jejaring kerja dalam
komunitas untuk mempermudah akses dengan masyarakat sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, rumusan masalah
yang hendak diungkapkan yaitu:
a. Apa pengertian dari jejaring kerja/ kemitraan?
b. Apa saja elemen-elemen dalam jejaring kerja/ kemitraan?
c. Apa pengertian dari Jejaring Kerja/ Kemitraan Bidan?
d. Apa saja tujuan dan strategi upaya dalam kemitraan bidan?
e. Apa saja yang menjadi persyaratan dalam kemitraan?
f. Apa saja yang menjadi landasan dalam kemitraan?
g. Apa saja yang menjadi prinsip-prinsip dalam kemitraan?

2
h. Apa saja yang menjadi tujuan dan langkah-langkah dalam kemitraan?
i. Apa saja yang menjadi kerangka konsep dalam kemitraan?
j. Apa saja model-model dalam kemitraan?
k. Bagaimana contoh dalam kemitraan bidan?
l. Bagaimana jejaring kerja bidan dengan TOMA di komunitas?
m. Bagaimana jejaring kerja bidan dengan TOGA di komunitas?
n. Bagaimana jejaring kerja bidan dengan pemerintah di komunitas?
o. Bagaimana jejaring kerja bidan dengan kader di komunitas?
p. Bagaimana jejaring kerja bidan dengan dukun beranak di komunitas?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, tujuan makalah yang
hendak disajikan yaitu:
a. Untuk mengetahui pengertian dari jejaring kerja/ kemitraan.
b. Untuk mengetahui elemen-elemen dalam jejaring kerja/ kemitraan.
c. Untuk mengetahui pengertian dari Jejaring Kerja/ Kemitraan Bidan.
d. Untuk mengetahui tujuan dan strategi upaya dalam kemitraan bidan.
e. Untuk mengetahui persyaratan dalam kemitraan.
f. Untuk mengetahui landasan dalam kemitraan.
g. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dalam kemitraan.
h. Untuk mengetahui tujuan dan langkah-langkah dalam kemitraan.
i. Untuk mengetahui kerangka konsep dalam kemitraan.
j. Untuk mengetahui model-model dalam kemitraan.
k. Untuk mengetahui contoh dalam kemitraan bidan.
l. Untuk mengetahui jejaring kerja bidan dengan TOMA di komunitas.
m. Untuk mengetahui jejaring kerja bidan dengan TOGA di komunitas.
n. Untuk mengetahui jejaring kerja bidan dengan pemerintah di komunitas.
o. Untuk mengetahui jejaring kerja bidan dengan kader di komunitas.
p. Untuk mengetahui jejaring kerja bidan dengan dukun beranak di
komunitas.

3
BAB II
PEMBAHASAN

JEJARING KERJA DI KOMUNITAS


2.1 Jejaring Kerja
2.1.1 Pengertian Jejaring Kerja/ Kemitraan
Jejaring kerja atau kemitraan atau sering disebut partnership, secara
etimologis berasal dari akar kata partner. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, dalam hal pekerjaan, mitra diartikan sebagai rekan kerja,
sedangkan kemitraan diartikan sebagai hubungan kerja sama. Pada
dasarnya, kemitraan adalah kerja sama tim dengan satu tujuan tertentu.
Sehingga untuk menilai keberhasilan dari sebuah kemitraan dapat
dilihat berdasarkan aktifnya peran serta provider, pihak yang terlibat,
dan masyarakat secara keseluruhan. Proses kemitraan telah lama
dijalankan oleh bangsa Indonesia dengan istilah gotong royong. Dapat
disimpulkan, bahwa kemitraan adalah suatu kerja sama formal antar
individu-individu, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi
untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu.
Kemitraan merupakan bentuk kerja sama antara dua pihak yang
memiliki kepentingan yang sama, di mana sebelum melaksanakan tugas
masing-masing, terlebih dahulu disepakati mengenai komitmen dan apa
yang mejadi keinginan atau cita-cita serta harapan dari masing-masing
pihak untuk mencapai tujuan bersama, serta meninjau kembali terhadap
kesepakatan yang telah dibuat, dan saling berbagi baik dalam risiko
maupun keuntungan yang diperoleh (Notoatmodjo, 2012).
Dalam kerja sama, ada kesepakatan tentang yang telah dibuat, dan
saling berbagi baik dalam risiko maupun keuntungan yang diperoleh.
Dari batasan ini terdapat 3 kata kunci dalam kemitraan, yakni:
a. Kerja sama antara kelompok, organisasi, individu.
b. Bersama-sama mencapai tujuan tertentu (yang disepakati bersama).
c. Saling menanggung risiko dan keuntungan.

4
2.1.2 Elemen-Elemen Jejaring Kerja/ Kemitraan
Dalam rangka mengupayakan sebuah kemitraan yang sinergis,
berikut ini terdapat sejumlah elemen-elemen penting yang bisa
mendukung berlangsungnya proses kemitraan yang baik. Elemen-
elemen tersebut antara lain sumber daya, karakter pihak yang bermitra
(partner), relasi antara partner, karakteristik kemitraan, dan lingkungan
sekitar (De Waal dkk, 2013; Eisler & Montouri, 2001; Lasker dkk,
2001, Shiveley, 2010).
a. Pertama, Sumber Daya. Sumber daya merupakan hal mendasar dan
utama dalam membangun sebuah kemitraan. Sumber daya ini
meliputi dukungan finansial (uang/dana), organisasi, informasi, agen
pemerintah, stakeholder, perlengkapan dan sarana prasarana seperti
komputer, obat, makanan, buku-buku dan sebagainya. Sumber daya
yang dibutuhkan untuk menunjang kemitraan kebidanan adalah dana
sebagai sumber pembiayaan program dan sarana prasarana seperti
sarana transportasi misalnya untuk merujuk ibu hamil, fasilitas
kesehatan seperti puskesmas, pustu (puskesmas pembantu), polindes
yang dilengkapi dengan listrik dan air bersih, mobiler (tempat tidur
lengkap, lemari, meja, kursi, kain tirai), alat kesehatan seperti bidan
kit, dopler, sungkup, tabung oksigen, tiang infus, timbangan bayi,
alat pengukur panjang badan bayi, buku pegangan, peralatan P3K
dan media penyuluhan (Kemendagri, 2014).
b. Kedua, Karakteristik Partner. Partner merupakan sumber daya
utama dalam membangun sebuah kemitraan. Karakteristik partner
mencakup keterampilan dan keahlian dari pihak yang bermitra serta
persepsi mengenai keuntungan dan kerugian dari kemitraan yang
diikutinya. Umumnya, para partner yang sangat aktif di dalam
sebuah kemitraan, terdorong oleh rasa bahwa mereka akan
memperoleh banyak manfaat dari kemitraan yang dibangun.
Sementara mereka yang kurang terlibat aktif, umumnya didorong
oleh rasa bahwa kemitraan yang dibangun tidak sesuai dengan

5
kebutuhan mereka atau kemitraan yang dibangun mempunyai
banyak kekurangan.
c. Ketiga, Relasi Antara Partner. Relasi antara partner meliputi
kepercayaan, konflik, dan penghargaan.
 Kepercayaan
Kepercayaan merupakan prasyarat bagi terciptanya sebuah kerja
sama yang baik. Organisasi atau individu yang terlibat dalam
kemitraan harus menaruk kepercayaan kepada partnernya bahwa
mereka akan sungguh bertanggung jawab dengan tugas dan
perannya masing-masing.
 Penghargaan
Selain kepercayaan, penghargaan juga merupakan bagian yang
penting dalam kemitraan. Kemitraan akan terjalin dengan baik
apabila terdapat rasa saling apresiasi atau menghargai antara
partner.
 Konflik
Konflik dan pembagian wewenang juga menjadi hal yang penting
dalam bermitra. Konflik bisa saja memperkuat sebuah kemitraan
jika perbedaan pendapat bisa merangsang pendekatan yang baru
dalam sebuah kemitraan. Tetapi apabila sebuah konflik tidak
dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan masalah antara
partner. Perbedaan wewenang antara partner juga menjadi potensi
konflik ketika ada pembatasan mengenai siapa yang terlibat,
pendapat siapa yang dianggap benar dan siapa yang paling
berpengaruh dalam mengambil sebuah keputusan.
d. Keempat, Karakteristik Kemitraan. Kepemimpinan, manajemen
pembagian tugas, komunikasi yang efektif, komitmen, koordinasi
dan efisiensi merupakan karakteristik kemitraan yang sangat
mempengaruhi terbentuknya sebuah kemitraan yang sinergis.
 Kepemimpinan
Pertama, Kepemimpinan. Pemimpin harus memiliki kemampuan
dalam membangun relasi untuk memperkuat kepercayaan,

6
keterbukaan antara partner, menciptakan kondisi yang dapat
menjembatani perbedaan pendapat dan mampu mengolah konflik
antara partner.
 Komunikasi
Kedua, Komunikasi. Komunikasi merupakan hal yang paling
penting dalam menjalin kemitraan. Tanpa komunikasi yang
memadai, kolaborasi yang efektif tidak akan mungkin terjadi.
Kualitas komunikasi memberikan kontribusi bagi keberhasilan
kemitraan.
 Manajemen Pembagian Tugas
Ketiga, Manajemen Pembagian Tugas merupakan prosedur
penentuan siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan
pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing pihak yang
bermitra.
 Efisiensi
Keempat, Efisiensi. Efisiensi dalam hal ini adalah peran dan
tanggung jawab partner sesuai dengan kepentingan dan keahlian
mereka masing-masing serta dapat memanfaatkan secara efektif
kemampuan finansial, sumber daya dan waktu yang ada.
 Lingkungan Eksternal
Kelima, Lingkungan Eksternal. Kemitraan juga sangat
dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal ini
mencakup dukungan kebijakan dari pemerintah, dan karakteristik
dari masyarakat setempat.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
sebuah kemitraan membutuhkan banyak elemen sebagai daya dukung,
sehingga bisa berjalan efektif dalam mengupayakan kepentingan
konstituen. Elemen-elemen tersebut antara lain adalah sumber daya,
karakter pihak yang bermitra, relasi antara partner, karakteristik
kemitraan dan lingkungan sekitar. Hal ini juga didukung oleh sejumlah
penelitian yang menemukan sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap

7
kemitraan bidan antara lain persepsi, budaya, ketersediaan sarana dan
prasarana, komunikasi dan dukungan khususnya dari stakeholder.

2.1.3 Jejaring Kerja/ Kemitraan Bidan


Kemitraan bidan adalah bentuk kerja sama bidan dengan mitra atau
partner yang saling menguntungkan dengan prinsip kesetaraan,
keterbukaan, dan kepercayaan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan ibu dan anak. Pada kemitraan ini, kegiatan bidan
mencakup aspek medis, sedangkan kegiatan pertner mencakup aspek
non medis. Aspek medis adalah proses pengelolaan dan pelayanan
program kesehatan ibu dan anak mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan penilaian. Aspek non medis adalah menggerakkan
keterlibatan individu, keluarga dan masyarakat dalam pelayanan
kesehatan ibu dan anak, serta memberdayakan ibu hamil dan
keluarganya.
Bentuk-bentuk program kemitraan bidan yang dapat dilakukan pada
wanita, untuk peningkatan keselamatan ibu di antaranya:
a. Kemitraan dengan Ibu
Partisipasif ini melibatkan kaum ibu mampu mengenali dan
menentukan prioritas masalah kesehatan ibu, menyusun rencana
pemecahan masalah bersama pemerintah setempat dan
melaksanakannya. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah
pendidikan dan pelatihan kaum wanita dan pria tentang persalinan
yang aman di rumah serta tentang keluarga berencana, mengembang-
kan persiapan rujukan ke rumah sakit dan mengembangkan materi
informasi tentang kesehatan reproduksi.
b. Kemitraan dengan masyarakat dan dukun bayi
Di jaman modern ini, masih ada masyarakat yang mempercayakan
pertolongan persalinannya kepada dukun bayi. Oleh karena itu,
pelatihan petugas dalam upaya keselamatan ibu tidaklah lengkap
tanpa penyuluhan dan motivasi terhadap keluarga, masyarakat dan
dukun bayi.

8
c. Kemitraan dengan Bidan
Perlu dilakukan dengan Organisasi Kebidanan (IBI) dalam
mendukung pelayanan kesehatan reproduksi. Melalui asosiasi ini
diharapkan para bidan mengikuti program pelatihan kesehatan
reproduksi yang mencakup penanganan kegawatan obstetri,
pencegahan infeksi dan keluarga berencana. Perhatian utama
organisasi ini adalah memaksimalkan kebijakan dan dukungan teknis
yang lestari dalam menjaga kualitas pelayanan kesehatan ibu.
d. Kemitraan dengan penentu kebijakan.
Kemitraan antara lembaga pembangunan, penyandang dana dan
pemerintah diperlukan dalam keberhasilan kegiatan keselamatan ibu.
Kemitraan ini telah dilaksanakan di beberapa daerah, menunjukkan
kemitraan antara penyandang dana, pelayanan kesehatan pemerintah
dan tokoh masyarakat. Komitmen nasional terhadap kesehatan ibu
oleh Bapenas dan Depkes memberikan lingkungan yang mendukung
pelayanan kesehatan ibu. Pemerintah telah menempatkan satu bidan
di setiap desa dengan mendidik 55.000 bidan di desa dalam kurun
waktu delapan tahun. Pondok bersalin desa dilayani oleh bidan,
dukun bayi, dan kader disediakan untuk memberikan pelayanan
antenatal dan persalinan di tingkat desa.

2.1.4 Tujuan dan Strategi Upaya dalam Jejaring Kerja/Kemitraan Bidan


Kemitraan bertujuan agar bidan dapat bekerja sama dengan orang
lain agar dapat menurunkan Angka Kematian Ibu. Beberapa strategi
yang dilakukan adalah upaya dalam menurunkan Angka Kematian Ibu
(AKI) yaitu:
a. Peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan, melalui:
1. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, antara lain berupa
penyediaan tenaga bidan di desa, kesinambungan keberadaan
bidan desa, penyediaan fasilitas pertolongan persalinan pada
polindes/ pustu dan puskesmas, kemitraan bidan dan dukun bayi,
serta berbagai pelatihan bagi petugas.

9
2. Penyediaan pelayanan kegawatdaruratan yang berkualitas dan
sesuai standar, antara lain bidan desa di polindes, puskesmas
PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Dasar), Rumah
sakit PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Kualitas)
24 jam.
3. Mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan
penanganan komplikasi keguguran, antara lain dalam bentuk KIE
(Komunikasi, Informasi dan Edukasi) untuk mencegah terjadinya
4 terlalu, pelayanan KB berkualitas pasca persalinan dan pasca
keguguran, pelayanan asuhan pasca keguguran dan meningkatkan
partisipasi aktif pria.
4. Pemantapan kerja sama lintas program dan sektor, antara lain
dengan jalan menjalin kemitraan dengan pemda, organisasi
profesi (IDI, POGI, IDAI, IBI, PPNI), Perinasia, PMI, LSM dan
berbagai swasta.
5. Peningkatan partisipasi perempuan, keluarga dan masyarakat,
antara lain dalam bentuk meningkatkan pengetahuan tentang
tanda bahaya, pencegahan terlambat 1 dan 2, serta menyediakan
buku KIA. Kesiapan keluarga dan masyarakat dalam menghadapi
persalinan dan kegawatdaruratan (dana, transportasi, donor
darah), jaga selama hamil, cegah 4 terlalu, penyediaan dan
pemanfaatan yankes ibu dan bayi, partisipasi dalam jaga mutu
pelayanan.
b. Peningkatan kapasitas manajemen pengelola program, melalui
peningkatan kemampuan pengelola program agar mampu
melaksanakan, merencanakan dan mengevaluasi kegiatan sesuai
kondisi daerah.
c. Sosialisasi dan advokasi melalui penyusunan hasil informasi
cakupan program dan data informasi tentang masalah yang dihadapi
daerah sebagai substansi untuk sosialisasi dan advokasi. Kepada para
penentu kebijakan agar lebih berpihak kepada kepentingan ibu dan
anak.

10
Melalui berbagai upaya antara lain peningkatan pelayanan
kesehatan, peningkatan kemampuan petugas serta melalui dukungan
dan kemitraan berbagai pihak akan sangat menentukan upaya
penurunan Angka Kematian Ibu (AKI).

2.1.5 Persyaratan Kemitraan


Mengingat kemitraan adalah bentuk kerja sama atau aliansi, maka
setiap pihak yang terlibat di dalamnya harus ada kerelaan diri untuk
bekerja sama dan melepaskan kepentingan masing-masing kemudian
membangun kepentingan bersama. Oleh sebab itu, dalam membangun
sebuah kemitraan, harus didasarkan pada kesamaan perhatian, saling
mempercayai dan menghormati, tujuan yang jelas dan terukur serta
kesediaan untuk berkorban baik waktu, tenaga maupun sumber daya
yang lain (Notoatmodjo, 2012).
a. Kesamaan perhatian (common interest) atau kepentingan
Dalam membangun kemitraan, masing-maasing anggota atau mitra
harus merasa mempunyai perhatian dan kepentingan bersama. Tanpa
adanya perhatian dan kepentingan yang sama terhadap suatu
masalah, niscaya kemitraan tidak dapat terjadi. Agar terjadi
kemitraan di bidang kesehatan, maka sektor kesehatan harus mampu
menimbulkan perhatian terhadap masalah kesehatan bagi sektor lain.
Ini dapat terwujud dengan upaya-upaya informasi dan advokasi
kepada sektor-sektor lain secara intensif.
b. Saling mempercayai dan saling menghormati
Kepercayaan merupakan modal dasar bagi setiap relasi atau
hubungan antarmanusia. Apabila seseorang tidak mempercayai
orang lain, sudah pasti tidak akan terjadi hubungan yang baik di
antara mereka. Demekian pula kemitraan, akan terjadi apabila di
antara mitra tersebut terjadi saling mempercayai dan saling
menghormati. Oleh sebab itu, dalam membangun kemitraan di
bidang kesehatan, sektor kesehatan hendaknya mengembangkan
kepercayaan bagi para anggota atau mitra tersebut.

11
c. Harus saling menyadari pentingnya arti kemitraan
Menumbuhkan kesadaran pentingnya arti kemitraan bagi para mitra
di bidang kesehatan dapat dilakukan baik mealui informasi-informasi
maupun advokasi kepada para mitra atau calon mitra.
d. Harus saling berkesepakatan visi, misi, tujuan, dan nilai yang sama
Dalam membangun kemitraan di bidang kesehatan, maka masing-
masing anggota, atau mitra harus mempunyai visi, misi, tujuan, dan
nilai-nilai yang sama tentang kesehatan. Dengan adanya visi dan
misi yang sama, maka akan memudahkan timbulnya komitmen
bersama untuk menangggulangi suatu masalah bersama.
e. Harus berpijak pada landasan yang sama
Prinsip lain yang perlu dibangun dalam kemitraan bidang kesehatan
adalah bahwa kesehatan merupakan aspek yang paling utama dalam
kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sektor kesehatan harus mampu
meyakinkan kepada sektor yang lain atau mitra akan ungkapan yang
mengatakan health is not everything, but without health everything is
nothing. Hal ini berarti, sektor kesehatan harus mampu meyakinkan
mitra yang lain bahwa meskipun kesehatan bukan segala-galanya,
namun tanpa kesehatan semuanya tidak ada artinya. Apabila semua
mitra telah mempunyai pemahaman seperti ini, maka kemitraan di
bidang kesehatan sudah berada dalam landasan yang sama.
f. Kesediaan untuk berkorban
Dalam membangun kemitraan, untuk mencapai tujuan bersama
sudah pasti memerlukan sumber daya, baik tenaga maupun saran.
Sumber daya ini dapat berasal dari masing-masing mitra, tetapi juga
dapat diupayakan bersama. Dengan demikian, jelas bahwa untuk
mencapai tujuan bersama, diperlukan pengorbanan dari masing-
masing anggota atau mitra. Pengorbanan ini dapat berbentuk tenaga,
pikiran, dana atau biaya, materi, ataupun sekurang-kurangnya waktu.
Pengorbanan ini harus dipahami dan dimaklumi oleh semua anggota
yang terjalin dalam kemitraan tersebut.

12
2.1.6 Landasan Kemitraan
Dalam membangun kemitraan dengan mitra-mitra atau calon-calon
mitra kesehatan, perlu dilandasi dengan “tujuh (7) saling” (kemendagri,
2014), yaitu:
a. Saling memahami kedudukan, tugas, dan fungsi masing-masing
(struktur)
Kemitraan sebagai suatu organisasi jejaring kerja sudah barang tentu
masing-masing anggota mempunyai peran dan fungsi yang berbeda.
Hal tersebut harus dipahami oleh semua anggota, agar jangan sampai
timbul kesan anggota yang satu di bawah yang lain, atau anggota
yang satu diperintah oleh anggota yang lain dan sebagainya.
b. Saling memahami kemampuan masing-masing anggota (capacity)
Perlu disadari bahwa kemampuan masing-masing anggota/mitra itu
berbeda, meskipun dalam kesetaraan. Oleh sebab itu, apabila dalam
rangka kemitraan tersebut diperlukan kontribusi dari masing-masing
anggota, maka kontribusi tersebut akan menimbulkan perbedaan
kuantitas maupun kualitasnya. Hal ini wajar karena prinsip
kemitraan adalah “mengambil bagian” dalam setiap upaya mencapai
tujuan bersama, sesuai dengan kemampuan masing-masing anggota.
c. Saling menghubungi (linkage)
Terhenti atau tidak berjalannya suatu organisasi apapun sering
terjadi karena tersumbatnya saluran komunikasi di antara anggota
organisasi tersebut. Demikian pula dalam kemitraan, diperlukan
kemunikasi yang efektif di antara anggota atau mitra tersebut. Salah
satu saluran komunikasi atau terjadinya “saling menghubungi” di
antara mitra adalah dengan adanya pertemuan atau rapat rutin
kemitraan.
d. Saling mendekati (proximity)
Dalam kekeluargaan atau pertemanan (friendship), kedekatan antar
anggota keluarga atau antar teman adalah mutlak diperlukan. Dalam
kedekatan satu dengan yang lainnya, akan terjadi saling memahami,
atau saling mengenal satu dengan yang lain, baik kelemahan,

13
maupun kekuatan anggota masing-masing. Demikian pula dalam
kemitraan, maka kedekatan di antara anggota atau mitra adalah salah
satu persyaratan untuk memahami masing-masing anggota. Oleh
sebab itu, masing-masing anggota harus berupaya saling mendekati.
e. Saling terbuka dan bersedia membantu (openes)
Seperti yang telah disebutkan, bahwa dalam kemitraan selalu ada
peranan dan fungsi masing-masing anggota/mitra. Dalam rangka
mencapai tujuan atau program bersama, sudah barang tentu peran
dan fungsi masing-masing anggota terkait dan diketahui satu sama
lain. Oleh sebab itu, akan selalu terjadi mekanisme saling terbuka
dan membantu untuk terwujudnya tujuan atau cita-cita bersama.
f. Saling mendorong dan saling mendukung (synergy)
Seperti halnya dalam organisasi, sering terjadi anggota yang kurang
bersemangat, tetapi sebaliknya ada yang sangat aktif dan
bersemangat. Demikian pula dalam kemitraan apapun, sifat masing-
masing anggota seperti itu juga muncul. Apabila terjadi gejala
seperti ini, maka setiap anggota atau mitra harus saling mendorong
dan saling mendukung, bagi yang memerlukan dukungan dan bagi
yang memerlukan dorongan demi tercapai tujuan bersama.
g. Saling menghargai (reward)
Persahabatan yang sejati adalah apabila terjadi saling harga-
menghargai di antara mereka. Dalam suatu kemitraan, hal ini juga
harus terjadi. Seberapa kecil apapun peran dan kontribusi anggota
suatu kemitraan perlu dihargai oleh anggota/mitra yang lain. Oleh
sebab itu, peran anggota atau mitra suatu kemitraan harus saling
menghargai.

2.1.7 Prinsip-Prinsip Kemitraan


Kemitraan adalah salah satu bentuk kerja sama yang kongkrit dan
solid. Oleh sebab itu, dalam membangun sebuah kemitraan ada 3
prinsip kunci yang perlu dipahami oleh masing-masing anggota atau
mitra tersebut, yaitu:

14
a. Kesetaraan (equity)
Individu, organisasi/institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan
harus merasa “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan
yang lain. Bagaimana besarnya suatu institusi/organisasi, dan
bagaimana kecilnya institusi/organisasi, apabila sudah bersedia
untuk menjalin kemitraan harus merasa setara atau sama tingkatnya.
Oleh sebab itu, di dalam forum kemitraan asas demokrasi harus
dijunjung, tidak boleh satu anggota memaksakan kehendak kepada
yang lain karena merasa lebih tinggi, dan tidak ada dominasi
terhadap yang lain. Dalam mengambil keputusan dalam rangka
mencapai tujuan bersama, masing-masing anggota/mitra mempunyai
hak dan suara yang sama.
b. Keterbukaan (transparency)
Keterbukaan dalam arti : apa yang menjadi kekuatan atau lebih dan
apa yang menjadi kekurangan/kelemahan masing-masing anggota
harus diketahui anggota yang lain. Dengan saling keterbukaan ini,
akan menimbulkan saling melengkapi dan saling membantu anggota
(mitra). Hal ini bukan berarti untuk menentukan besarnya kontribusi
masing-masing mitra, tetapi untuk lebih memahami kekuatan dan
kelemahan masing-masing mitra. Seandainya ada mitra yang akan
berkontribusi yang lebih besar atau kecil dalam rangka mencapai
tujuan bersama, akan saling memahaminya.
c. Saling menguntungkan (mutual benefit)
Menguntungkan di sini bukan selalu diartikan dalam materi/uang,
tetapi lebih kepada non materi. Ibarat mengangkat beban 50 kg,
diangkat secara bersama-sama 4 orang jelas lebih ringan apabila
dibandingkan apabila diangkat seorang.

2.1.8 Tujuan dan Langkah-langkah Kemitraan


Dari uraian tentang pengertian dan prinsip kemitraan, dapat
disimpulkan bahwa secara implisit tujuan kemitraan dalam program
kesehatan di antaranya:

15
a. Meningkatkan koordinasi untuk memenuhi kewajiban masing-
masing dalam pembangunan kesehatan.
b. Meningkatkan komunikasi antara sektoral pemerintah dan swasta
tentang masalah kesehatan.
c. Meningkatkan kemampuan bersama dalam menanggulangi masalah
kesehatan dan memaksimalkan keuntungan semua pihak.
d. Meningkatkan apa yang menjadi komitmen bersama.
e. Tercapainya upaya kesehatan yang efisien dan efektif atau berdaya
guna dan berhasil guna.
Untuk mencapai tujuan-tujuan kemitraan tersebut, perlu langkah-
langkah yang strategis. Langkah-langkah pelaksanaan kemitraan ini
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Penjajakan
Sebelum dilakukan penjajakan, harus dilakukan identifikasi mitra
yang potensial untuk diajak bermitra dalam rangka pemecahan
kesehatan yang dihadapi bersama.
b. Penyamaan persepsi
Agar masing-masing mitra memahami satu dengan yang lainnya
terutama memahami kedudukan, tugas, peran, dan fungsi masing-
masing mitra secara terbuka.
c. Pengaturan peran
Peran masing-masing mitra dalam penanggulangan suatu masalah
kesehatan berbeda satu dengan yang lainnya, namun sama-sama
pentingnya. Peranan ini harus dibicarakan bersama serta dituangkan
dalam kesepakatan tertulis secara jelas.
d. Komunikasi intensif
Untuk menjalin dan mengetahui pengembangan kemitraan dalam
melaksanakan program kesehatan bersama, maka perlu dilakukan
komunikasi antar mitra secara teratur dan terjadwal.
e. Melaksanakan kegiatan

16
Kegiatan yang disepakati bersama haruslah dilaksanakan dengan
baik sesuai dengan rencana kerja tertulis yang telah disepakati
bersama.
f. Pemantauan dan penilaian
Kegiatan ini harus disepakati sejak awal yang mencakup cara
pemantauan dan penilaian terhadap kemitraan dalam pelaksanaan
upaya penanggulangan masalah kesehatan yang telah disepakati
bersama. Dari hasil pemantauan dan penelitian ini, dapat
dipergunakan untuk penyempurnaan kesepakatan yang telah dibuat.

2.1.9 Kerangka Konsep Kemitraan


Dari semua penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam
mengembangkan kemitraan di bidang kesehatan terdapat 3 institusi
utama organisiasi atau unsur pokok yang terlibat di dalamnya. Ketiga
instuti pokok tersebut adalah:
a. Unsur pemerintahan, dimana unsur ini terdiri dari berbagai sektor
pemerintahan terkait dengan kesehatan, antara lain: kesehatan
sebagai sektor kuncinya, sektor pendidikan, pertanian, kehutanan,
agama, lingkungan hidup, industri dan perdagangan, dan sebagainya.
b. Dunia usaha atau unsur swasta (private sectors) atau kalangan bisnis,
yakni: dari kalangan pengusaha, industriawan, dan para pimpinan
berbagai perusahaan.
c. Unsur organisasi non pemerintah atau sering di sebut ornop atau non
government organization (NGO) , yang meliputi dua unsur yaitu:
 Unsur lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi masa
(Ormas) termasuk yayasan-yayasn bidang kesehatan
 Organisasi-organisasi profesi seperti IBI, IDI, PDGI, IAKMI,
PPNI, dan sebagainya.
Kemitraan bukanlah sebagai output atau tujuan, tetapi juga bukan
sebuah proses, namun suatu sistem. Artinya, dalam mengembangkan
dan sekaligus untuk mengevaluasi kemitraan dapat menggunakan

17
pendekatan sistem. Indikator-indikator keberhasilan kemitraan bidang
kesehatan yaitu:
a. Input
Input sebuah kemitraan adalah semua sumber daya yang dimiliki
oleh masing-masing unsur yang terjalin dalam kemitraan, terutama
sumber daya manusia, dan sumber daya yang lain seperti : dana,
sistem informasi, teknologi, dan sebagainya. Di samping itu, jumlah
atau banyaknya “mitra” yang terlibat dalam jaringan kemitraan juga
merupakan input.
b. Proses
Proses dalam kemitraan pada hakikatnya adalah kegiatan-kegiatan
untuk membangun kemitraan tersebut. Kegiatan-kegiatan untuk
membangun kemitraan antara lain melalui: pertemuan-pertemuan,
seminar, lokakarya, pelatihan-pelatihan, semiloka, dan sebagianya.
c. Output
Adalah terbentuknya jaringan kerja atau networking, aliansi, forum,
dan sebagainya yang terdiri dari berbagai unsur seperti yang telah
disebutkan, dan tersusunnya program dan pelaksanaannya berupa
kegiatan bersama dalam rangka pemecahan masalah kesehatan. Di
samping itu juga, tersusunnya uraian tugas dan fungsi untuk masing-
masing anggota (mitra) juga merupakan output kemitraan tersebut.
d. Outcome
Adalah dampak dari pada kemitraan terhadap peningkatan kesehatan
masyarakat. Oleh sebab itu, outcome kemitraan dapat diihat dari
indikator-indikator derajat kesehatan masyarakat, yang sebenarnya
merupakan akumulasi dampak dari upaya-upaya lain di samping
kemitraan. Dengan demikan, outcome kemitraan adalah menurunnya
angka atau indakator kesehatan (negatif), misalnya menurunnya
angka kesakitan dan atau angka kematian. Atau meningkatnya
indikator kesehatan (positif), misalnya: meningkatnya status gizi
anak balita, meningkatnya kepemilikan jamban keluarga,

18
meningkatnya persentase penduduk yang terakses air bersih, dan
sebagainya.

2.1.10 Model-Model Kemitraan


Dari berbagai pengalaman pengembangan kemitraan di sektor
kesehatan yang ada, secara umum model-model kemitraan
dikelompokkan menjadi:
a. Model I
Model kemitraan yang paling sederhana adalah dalam bentuk
jaringan sederhana (networking) atau sering juga disebut building
linkages. Kemitraan semacam ini hanya dalam bentuk jaringan
kerja saja. Masing-masing mitra atau institusi telah mempunyai
program sendiri mulai dari merencanakannya, melaksanakan, dan
mengevaluasinya. Oleh karena adanya persamaan pelayanan atau
sasaran pelayanan atau karakteristik yang lain di antara mereka,
maka dibentuklah jaringan kerja. Sifat kemitraan ini sering juga
disebut koalisi, misalnya : Koalisi Indonesia Sehat.
b. Model II
Kemitraan model ini lebih baik dan solid di mana masing-masing
anggota (mitra) mempunyai tanggung jawab yang lebih besar
terhadap program atau kegiatan bersama. Oleh sebab itu, visi, misi
dan kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan kemitraan tersebut
harus direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasikan bersama.

2.1.11 Contoh Kemitraan Bidan


Masyarakat suku sasak atau lombok masih kental dengan
kebudayaan dan kepercayaan dukun daripada percaya dengan bidan
karena banyak faktor yang mempengaruhi terutama biaya. Bidan bisa
mengajak dukun tersebut bekerja sama dengan memberikan penkes
pada saat persalinan itu harus di bidan karena itu sangat penting untuk
menekan angka kematian ibu dan anak. Bidan juga memberikan
inisiatif tentang pembayaran dengan membagi hasil yang rata misal

19
biaya tersebut 60 ribu, bidan akan membagi 25 ribu apabila persalinan
dengan kasus rujukan, dukun tetap akan mendampingi pasien hingga
ke fasilitas rujukan contohnya dalam menolong persalinan bidan dan
dukun bisa membagi tugas dengan dukun berperan sebagai
pendamping bidan dan memberikan dukungan kepada pasien dengan
cara sendiri, dan sebagai bidan tidak harus menghilangkan
kebudayaan suku tersebut dan membiarkan ritual yang ada di daerah
tersebut untuk menghargai tradisi masyarakat sasak, selama praktik
tersebut tidak mengganggu persalinan secara medis, karena dukun dan
bidan mempunyai atau memiliki perannya masing-masing dalam
sistem kesehatan mereka.
Menyadari peran dukun di masyarakat dan gagal mendorong
regulasi KIA sebagai alat paksa menekan angka persalinan dukun,
Pemerintah mulai melirik model kemitraan. Maka pada 2011, Dinas
Kesehatan mengundang bidan ke kantor desa untuk menghadiri
sosialisasi kemitraan bidan dan dukun. Menurut Omiyati, mereka
mendapat dana untuk kemitraan dukun dan bidan dari APBD II.
Sayangnya program tidak dapat berlanjut karena alasan keterbatasan
anggaran di SKPD. “Tiga tahun belakangan ini kita ngepres
bangetlah, kita tidak berani mimpi semua program bisa dilakukan
dengan baik. Kita apa adanya saja sekarang”, kata Omiyati.

2.1.12 Jejaring Kerja Bidan di Komunitas


Beberapa jaringan kerja bidan di komunitas antara lain Puskesmas,
Polindes, Posyandu, BPM, dasawisma, kunjungan rumah pasien
(Syahlan, 1996). Di masyarakat banyak tenaga kesehatan maupun non
kesehatan, seperti PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga),
kelompok ibu-ibu pengajian, dukun beranak, kader kesehatan,
perawat, PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana), dokter,
pekerja sosial, dan lain-lain. Untuk itu, bekerja sama dalam tim
menjadi sangat penting.

20
Di komunitas terdapat beberapa tempat bidan bekerja, baik secara
individu maupun bagian dari suatu institusi seperti Puskesmas, Bidan
Praktik Swasta, Polindes, Rumah pasien dan lain-lain.
Bidan di jejaring kerja dapat bertindak sebagai:
a. Di Puskesmas, bidan bertidak sebagai bagian dari suatu institusi
yang bertugas pada Poliklinik kebidanan dan KIA, baik sebagai
koordinator maupun kepala ruangan.
b. Di BPS, bidan berperan sebagai pengelola sekaligus sebagai
penanggungjawab penuh pelayanan kebidanan.
c. Di Polindes dan Posyandu, bidan sebagai pembina dan
penanggung-jawab terlaksananya kegiatan.
d. Di Rumah pasien, bidan sebagai penanggungjawab keselamatan
pasien.
Keberhasilan pelayanan dalam jaringan kerja bidan di komunitas
diperlukan kerja sama lintas program dan lintas sektor dengan tujuan:
 Meningkatkan koordinasi.
 Meningkatkan komunikasi.
 Meningkatkan kemampuan dan komitmen bersama dalam
menanggulangi masalah kesehatan.
 Tercapainya upaya kesehatan yang efisien dan efektif yang berdaya
guna dan berhasil guna.
 Memaksimalkan manfaat semua pihak.
Jaringan kerja sama yang dilaksanakan di dalam satu instansi
misalnya imunisasi, pemberian tablet FE, vitamin A, Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) dan sebagainya. Sedangkan kerja sama
lintas sektor (yang melibatkan intitusi luar) misalnya melalui BIAS
(Bulan Imunisasi Anak Sekolah), PAUD dan sebagainya.

2.2 Jejaring Kerja di Komunitas


2.2.1 TOMA ( Tokoh Masyarakat )
A. Pengertian Tokoh Masyarakat

21
Tokoh masyarakat adalah seseorang yang karena kedudukan
sosialnya menerima kehormatan dari masyarakat atau pemerintah.
Tokoh masyarakat juga dapat diartikan sebagai semua orang yang
memiliki pengaruh di masyarakat setempat baik yang bersifat formal
(Ketua RT, RW, Kades dan lain-lain) maupun tokoh non formal
(tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, kepala suku).
B. Peran Tokoh Masyarakat
 Melaksanakan penggalangan, pemimpin dan organisasi di
masyarakat melalui dialog untuk mendapatkan dukungan.
 Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengenal dan
memecahkan masalah kesehatan keluarga dengan menggali dan
menggerakkan sumber daya yang dimilikinya.
 Memotivasi atau mendorong masyarakat dalam hal peningkatan
partisipasi masyarakat yang belum efektif.
C. Kemitraan/Jaringan Kerja antara Bidan dan Tokoh Masyarakat
Jaringan sosial yang terbentuk antara provider/ bidan dengan
toma dapat berupa menggerakkan masyarakat dalam bentuk
pengorganisasian masyarakat dan dapat mengidentifikasi kebutuhan
prioritas dari kebutuhan masyarakat karena tokoh masyarakat
merupakan kekuatan yang sangat besar yang mampu menggerakkan
masyarakat di dalam setiap upaya pembangunan.

2.2.2 TOGA ( Tokoh Agama )


A. Pengertian Tokoh Agama
Tokoh agama ialah sosok yang dihormati karena takaran taqwa
dan wawasan agamanya sangat luas dan mendalam. Orang-orang
seperti ini bukan sebagai pemimpin formal yang dilantik dan ada
masa jabatannya. Melainkan pemimpin sebagai penjaga sekaligus
pemelihara iman para jamaahnya.
Tokoh agama sebenarnya bukan kehendak dari orang tersebut,
penokohan itu adalah sebuah predikat atau gelar dari masyarakat
sekitarnya yang didasari dedikasi yang luar biasa menyumbangkan

22
pikiran dan pengabdian untuk urusan dakwah agama tanpa ada
imbalan dan pamrih apapun.
B. Peran Tokoh Agama
Adapun peran tokoh agama antara lain:
 Meliputi pemeliharaan kedamaian, rukun dalam masyarakat, taat
hukum dan perundang-undangan, serta pelayanan dalam
masyarakat.
 Menyebarluaskan berbagai kebajikan, ilmu yang berguna dan
ajaran yang berlaku di masyarakat tentang kesehatan melalui sisi
agama
 Pembina umat manusia memegang peranan yang sangat penting
dalam kehidupan bermasyarakat.
C. Jaringan Kerja Provider dengan Tokoh Agama
Hubungan tokoh agama dengan bidan dapat berupa:
 Tokoh agama membantu bidan untuk lebih mengenal
kepercayaan yang diyakini masyarakat.
 Tokoh agama mengajak bidan untuk ikut terjun atau
berkolaborasi dalam upacara keagamaan yang ada di masyarakat
sehingga bidan menjadi lebih dekat dan mengenal kepercayaan di
masyarakat.
 Tokoh agama dan bidan membuat program dan kegiatan dalam
pelayanan kebidanan yang ada kaitannya dengan keagamaan.
Contohnya, kegiatan penyuluhan mengenai hukum berhubungan
seksual di usia muda.
 Tokoh agama membantu meyakinkan masyarakat mengenai hal-
hal yang masih dianggap bertentangan dengan agama oleh
masyarakat sehingga mempermudah tingkat keberhasilan
program, contohnya pemasangan KB.

2.2.3 Pemerintah
A. Pengertian Pemerintah

23
Pemerintah adalah semua yang mencangkup aparatur negara yang
meliputi semua organ-organ, badan atau lembaga, alat kelengkapan
yang menjalankan aktivitas untuk mencapai suatu tujuan.
B. Jejaring Kerja Pemerintah dan Bidan
Beberapa contoh jejaring kerja yang dapat dijalin antara
pemerintah dan bidan seperti:
 Pemerintah berperan sebagai penentu kebijakan di bidang hukum
mengenai wewenang kebidanan dan hak bidan dalam melakukan
program-program tertentu.
 Bidan dan pemerintah menciptakan jaringan kerja di bidang
peningkatan kesehatan masyarakat melalui program-program
kesehatan, contohnya imunisasi.
 Pemerintah berperan sebagai penyedia sarana dan prasarana yang
dibutuhkan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat seperti
puskesmas.
 Bidan dan pemerintah menciptakan jejaring kerja yang dapat
digunakan sebagai wadah advokasi bidan terhadap pemerintah
seperti IBI.
 Pemerintah turut berperan dalam mendukung kemajuan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat dengan menyediakan BPJS dan kartu
kesehatan lainnya.

2.2.4 Kader
A. Pengertian Kader
Kader kesehatan masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang
dipilih oleh masyarakat dan dilatih untuk menangani masalah-
masalah kesehatan perseorangan maupun masyarakat serta untuk
bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat
pemberian pelayanan kesehatan (WHO, 1995). Kader juga dapat
diartikan sebagai tenaga sukarela dalam bidang kesehatan yang
langsung dipilih oleh dan dari masyarakat yang tugasnya membantu
dalam pengembangan kesehatan masyarakat.

24
Kader merupakan tenaga masyarakat yang dianggap paling dekat
dengan masyarakat. Departemen kesehatan membuat kebijakan
mengenai latihan untuk kader yang dimaksudkan untuk meningkat-
kan pengetahuan, menurunkan angka kematian ibu dan anak. Para
kader kesehatan masyarakat itu seyogyanya memiliki latar belakang
pendidikan yang cukup sehingga memungkinkan mereka untuk
membaca, menulis dan menghitung secara sedarhana.
B. Peran Kader
Peran kader memang sangat penting dalam menjembatani
masyarakat khususnya kelompok sasaran posyandu. Berbagai
informasi dari pemerintah lebih mudah disampaikan kepada
masyarakat melalui kader, karena kader lebih tanggap dan memiliki
pengetahuan kesehatan di atas rata–rata dari kelompok sasaran
posyandu (Umar Naim, 2008). Peran kader secara umum adalah
melaksanakan kegiatan pelayanan dan mensukseskan bersama
masyarakat serta merencanakan kegiatan pelayanan kesehatan
tingkat desa. Peran dan fungsi kader tidak lain sebagai pelaku
penggerakan masyarakat.
Menurut rosenthal, peran kader adalah menciptakan kondisi agar
masyarakat dapat meningkatkan kesehatan bagi masyarakat itu
sendiri, keluarga dan masyarakat sekitar, sebagai anggota
masyarakat yang dipercaya dan memahami kesehatan. Sementara
menurut widagdo & husodo (2009), peran kader antara lain
menjembatani petugas/ahli kesehatan dengan masyarakat serta
membantu masyarakat mengidentifikasi dan menghadapi/menjawab
kebutuhan kesehatan mereka sendiri. Kader juga diharapkan dapat
menyediakan informasi bagi pejabat kesehatan yang berwenang,
yang mungkin tidak dapat mencapai masyarakat langsung, serta
mampu mendorong para pejabat kesehatan di sistem kesehatan agar
mengerti dan merespon kebutuhan masyarakat. Kader dapat
membantu mobilisasi sumber daya masyarakat, mengadvokasi
masyarakat, serta membangun kebutuhan lokal.

25
Peran dan fungsi kader sebagai pelaku penggerakan masyarakat:
 Perilaku hidup bersih dan sehat.
 Pengamatan terhadap masalah kesehatan di desa.
 Upaya penyehatan di lingkungan.
 Peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita.
 Permasyarakatan keluarga sadar gizi
C. Pembentukan Kader
Mekanisme pembentukan kader membutuhkan kerja sama tim.
Hal ini disebabkan karena kader yang akan dibentuk terlebih dahulu
harus diberikan pelatihan kader. Pelatihan kader ini diberikan kepada
para calon kader di desa yang telah ditetapkan. Sebelumnya telah
dilaksanakan kegiatan persiapan tingkat desa berupa pertemuan desa,
pengamatan dan adanya keputusan bersama untuk terlaksanakan
acara tersebut. Calon kader berdasarkan kemampuan dan kemauan
berjumlah 4-5 orang untuk tiap posyandu.
Persiapan dari pelatihan kader ini adalah:
 Calon kader yang akan dilatih.
 Waktu pelatihan sesuai kesepakatan bersama.
 Tempat pelatihan yang bersih, terang, segar dan cukup luas.
 Adanya perlengkapan yang memadai.
 Pendanaan yang cukup.
 Adanya tempat praktik (lahan praktik bagi kader).
Strategi menjaga eksistensi kader setelah kader posyandu
terbentuk, maka perlu adanya strategi agar mereka dapat selalu eksis
membantu masyarakat di bidang kesehatan, di antaranya:
 Refreshing kader posyandu pada saat posyandu telah selesai
dilaksanakan oleh bidan desa maupun petugas lintas sektor yang
mengikuti kegiatan posyandu.
 Adanya perubahan kader posyandu tiap desa dan dilaksanakan
pertemuan rutin tiap bulan secara bergilir di setiap posyandu.

26
 Revitalisasi kader posyandu baik tingkat desa maupun kecamatan.
Dimana semua kader diundang dan diberikan penyegaran materi
serta hiburan dan bisa juga diberikan rewards (penghargaan).
 Pemberian rewards rutin misalnya berupa kartu berobat gratis ke
Puskes untuk kader dan keluarganya dan juga dalam bentuk
materi yang lain yang diberikan setiap tahun.
D. Pembinaan Kader
Pembinaan atau pelatihan kader dapat berlangsung selama 6-8
minggu atau bahkan lebih lama lagi. Salah satu tugas bidan dalam
upaya menggerakkan peran serta masyarakat adalah melaksanakan
pembinaan kader.
Adapun hal-hal yang perlu disampaikan dalam pembinaan kader:
 Pemberitahuan ibu hamil untuk bersalin di tenaga kesehatan
(promosi bidan siaga).
 Pengenalan tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas serta
rujukannya.
 Penyuluhan gizi dan keluarga berencana.
 Pencatatan kelahiran dan kematian bayi atau ibu.
 Promosi tabulin (tabungan ibu bersalin), donor darah berjalan,
ambulan desa, suami siaga, satgas (satuan tugas) gerakan sayang
ibu.
Pembinaan kader yang dilakukan bidan di dalamnya berisi
tentang peran kader adalah dalam daur kehidupan wanita dari mulai
kehamilan sampai dengan masa perawatan bayi. Adapun hal-hal
yang perlu disampaikan dalam persiapan persalinan, sebagai berikut:
 Sejak awal, ibu hamil dan suami menentukan persalinan ini
ditolong oleh bidan atau dokter.
 Suami atau keluarga perlu menabung untuk biaya persalinan.
 Ibu dan suami menanyakan kepada bidan atau dokter kapan
perkiraan tanggal persalinan.
 Jika ibu bersalin di rumah, suami atau keluarga perlu menyiapkan
tempat yang terang, tempat tidur dengan alas kain yang bersih, air

27
bersih dan sabun untuk cuci tangan, handuk kain, pakaian kain
yang bersih dan kering serta pakaian ganti ibu.
E. Jaringan Kerja antara Kader dan Bidan
Dimana kader bertanggung jawab dan berperan aktif dalam setiap
kegiatan. Dengan adanya jaringan kerja di antara kader dan provider
tentu kelancaran program lebih terjamin. Adapun tugas kader di
posyandu antara lain:
 Melakukan persiapan penyelenggaraan kegiatan posyandu.
 Menyebarluaskan informasi tentang hari buka posyandu melalui
pertemuan warga setempat atau surat edaran.
 Melakukan pembagian tugas antar kader, meliputi pendaftaran,
penimbangan, pencatatan, penyuluhan, pemberian makanan
tambahan, serta pelayanan yang dapat dilakukan oleh kader.
 Melakukan koordinasi dengan petugas kesehatan dan petugas
lainnya terkait dengan jenis layanan yang akan diselenggarakan.
 Menyiapkan bahan penyuluhan dan pemberian makanan
tambahan serta menyiapkan buku-buku catatan kegiatan
posyandu.

2.2.5 Dukun Beranak


A. Pengertian Dukun Beranak
Dukun bayi adalah seorang anggota masyarakat yang pada
umumnya adalah seorang wanita yang mendapat kepercayaan serta
memiliki keterampilan menolong persalinan secara tradisional.
Keterampilan tersebut diperoleh secara turun temurun, belajar secara
praktis atau cara lain yang menjurus ke arah peningkatan
keterampilan serta melalui tenaga kesehatan. Dukun bayi juga
merupakan seseorang yang dianggap terampil dan dipercaya oleh
mayarakat untuk menolong persalinan dan perawatan ibu dan anak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Meilani, Niken dkk., 2009).
Pembagian dukun menurut Depkes RI, dibagi menjadi 2 yaitu:

28
1. Dukun bayi terlatih adalah dukun bayi yang telah mendapatkan
pelatihan oleh tenaga kesehatan yang dinyatakan lulus.
2. Dukun bayi tidak terlatih adalah dukun bayi yang belum pernah
terlatih oleh tenaga kesehatan atau dukun bayi yang sedang dilatih
dan belum dinyatakan lulus.
Dukun umumnya perempuan yang lebih tua, dan sangat dihormati
di tengah masyarakat karena pengetahuan dan pengalaman mereka
dalam hal membantun persalinan. Dukun adalah anggota masyarakat
yang memiliki keterampilan menolong persalinan secara tradisional
yang diwariskan secara turun temurun atau melalui pelatihan
(Depkes, 2008). Peran mereka mencakup pembantu kelahiran,
memandikan, memijit-mijit, membantu dalam urusan rumah tangga
dan persiapan perawatan setelah melahirkan.
B. Tujuan Kemitraan Bidan dengan Dukun Beranak
Kemitraan bidan memiliki tujuan akhir untuk menurunkan angka
kematian bayi dan ibu melahirkan. Bidan dan dukun bayi yang
selama ini seolah berada pada posisi berseberangan disatukan.
Mereka akhirnya menjadi mitra satu sama lain. Tujuan kemitraan
Bidan dibagi menjadi dua yaitu:
1. Tujuan Umum:
Menurunkan angka kematian ibu dan bayi dengan pola kemitraan
bidan dengan dukun bayi.
2. Tujuan Khusus:
a. Mengetahui cakupan kasus rujukan ibu hamil, ibu bersalin,
ibu nifas dan bayi oleh dukun bayi ke bidan dan sarana
pelayanan kesehatan yang lain.
b. Mengetahui kondisi dana bergulir yang telah dialokasikan ke
dukun peserta kemitraan.
c. Mengetahui masalah yang dihadapi dalam kegiatan kemitraan
dan menyusun rencana tindak lanjut sebagai upaya
pemecahan masalah.
C. Pembinaan Dukun Beranak

29
Pembinaan dukun adalah suatu pelatihan yang diberikan kepada
dukun bayi oleh tenaga kesehatan yang menitikberatkan pada
peningkatan pengetahuan dukun yang bersangkutan, terutama dalam
hal hygiene sanitasi, yaitu mengenai kebersihan alat-alat persalinan
dan perawatan bayi baru lahir, serta pengetahuan tentang perawatan
kehamilan, deteksi dini terhadap risiko tinggi pada ibu dan bayi, KB,
gizi serta pencatatan kelahiran dan kematian (Rita Yulifah, Tri Johan
Agus Y., 2009).
D. Tujuan Pembinaan Dukun Bayi
Untuk meningkatkan status dukun, maka dilakukan upaya
pelatihan dan pembinaan dukun dengan tujuan:
 Agar mereka memiliki pengetahuan dan ide baru yang dapat
disampaikan dan diterima oleh anggota masyarakat.
 Memperbesar peran dukun bayi dalam program KB dan
pendidikan kesehatan di berbagai aspek kesehatan reproduksi dan
kesehatan anak.
 Untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan yang sebenarnya sudah
dilakukan oleh dukun, seperti memberikan saran tentang
kehamilan, melakukan persalinan bersih dan aman, serta
mengatasi masalah yang mungkin muncul pada saat persalinan,
sehingga angka kematian ibu dan bayi dapat dikurangi atau
dicegah sedini mungkin.
E. Manfaat Pembinaan Dukun Bayi
 Meningkatkan mutu keterampilan dukun bayi dalam memberikan
pelayanan sesuai dengan tugas dan fungsinya.
 Meningkatkan kerja sama antara dukun bayi dan bidan.
 Meningkatkan cakupan persalinan dengan petugas kesehatan.
F. Upaya Pembinaan Dukun
Bedasarkan sejumlah penelitian, faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap kemitraan bidan dengan dukun mencakup persepsi,
pengetahuan, budaya, sikap, pengalaman, dukungan khususnya dari
stakeholder. Masyarakat masih menganggap dukun sebagai tokoh

30
masyarakat yang patut dihormati, memiliki peranan penting bagi ibu-
ibu di desa. Menurut Michael Winkelman, ada tiga faktor
penghalang dalam pelaksanaan atau penerapan program yang sudah
ditentukan yang disebut the three delays yaitu:
1. Rintangan budaya (cultural barrier)
Setiap kelompok masyarakat memiliki budaya yang berbeda. Ada
sebagian yang memilih untuk melahirkan dengan dukun karena
menurut kebudayaannya itu lebih baik. Sehingga keberadaan
dukun lebih dipandang berpengaruh dibandingkan keberadaan
Bidan di dalam masyarakat tersebut.
2. Rintangan sosial (social barrier)
Rintangan sosial ini berhubungan dengan kehidupan sosial
masyarakat.
3. Rintangan psikologis (psychological barrier)
Masyarakat lebih percaya dan nyaman dengan dukun karena
pendekatan yang dipakai dukun adalah dengan menjalin interaksi.
Dibandingkan dengan bidan, dukun lebih peka terhadap ibu
hamil, karena dukun yang mencari ibu hamil akan tetapi kalau
Bidan, ibu hamil yang mengunjunginya jadi secara psikologis
bumil lebih nyaman dengan dukun.
Oleh karena itu, dibutuhkan upaya agar bidan dapat melakukan
pembinaan dukun. Beberapa upaya yang dapat dilakukan bidan di
antaranya adalah:
 Melakukan pendekatan dengan para tokoh masyarakat setempat.
 Melakukan pendekatan dengan para dukun.
 Memberikan pengetahuan kepada para dukun tentang pentingnya
persalinan yang bersih dan aman.
 Memberi pengetahuan kepada para dukun tentang komplikasi-
komplikasi kehamilan dan bahaya proses persalinan.
 Membina kemitraan dengan dukun dengan memegang asas saling
menguntungkan.

31
 Menganjurkan dan mengajak dukun merujuk kasus-kasus risiko
tinggi kehamilan kepada tenaga kesehatan.
G. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Kemitraan Bidan dan Dukun
Pihak-pihak yang terlibat dalam kemitraan bidan dan dukun bayi
bukan saja pihak di desa/kelurahan, namun juga pihak-pihak terkait
di tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Berikut para pihak tersebut
serta perannya.
1. Tingkat Kabupaten
a. Dinas Kesehatan sebagai koordinator dalam program
kemitraan bidan dan dukun bayi.
b. Dalam program ini juga dilibatkan peran multi pihak seperti
SKPD yang terkait urusan kesehatan (Dinas Kesehatan,
RSUD, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga
Berencana, Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Masyarakat
Desa), Tim Penggerak PKK tingkat Kabupaten, organisasi
profesi kesehatan, akademisi, perguruan tinggi, LSM yang
bergerak di bidang kesehatan, serta yang tak kalah penting
adalah melibatkan DPRD (khususnya Komisi yang
membidangi kesehatan).
c. Dinas Kesehatan akan membentuk tim yang terdiri dari
berbagai pihak tersebut di atas. Tim tersebut akan bertugas
memberikan pembinaan, pengawasan dan evaluasi secara
berkala terhadap pelaksanaan program ini.
2. Tingkat Kecamatan
Pada skala kecamatan akan didampingi oleh camat, kepala
puskesmas, PKK tingkat kecamatan, dan kelompok kerja
operasional (Pokjanal) desa siaga tingkat kecamatan. Kerjasama
tersebut untuk mendampingi, mengawasi dan evaluasi program
kemitraan bidan dan dukun bayi secara berkala di tingkat
kecamatan.
3. Tingkat Desa/Kelurahan

32
Pada skala desa/kelurahan, maka kepala desa/lurah bersama
dengan kelompok PKK, pengurus desa siaga, tokoh agama dan
tokoh masyarakat akan mendampingi, memberikan pembinaan
dan melakukan evaluasi proses kemitraan secara berkala di
tingkat desa/kelurahan bersama dengan bidan dan dukun bayi.
H. Jejaring Kerja antara Bidan dengan Dukun Beranak
Selain beberapa kelompok sosial sebelumnya, provider/ bidan
juga sangat perlu menciptakan jejaring kerja dengan dukun beranak/
paraji, karena untuk mengatasi angka kematian ibu dan bayi yang
masih tinggi tidak cukup hanya dengan menambahkan tenaga-tenaga
terdidik seperti bidan, dan fasilitas-fasilitas ruangan persalinan,
karena pemecahannya masih akan terasa sulit dan memakan waktu
cukup lama, selain itu juga membutuhkan pembiayaan cukup besar.
Dalam mengatasi hal tersebut, akan lebih praktis jika waktu yang
ada digunakan untuk mendidik dan memanfaatkan tenaga dukun
bayi yang telah ada karena tidak dapat dipungkiri bahwa dukun
beranak lebih baik pendekatannya terhadap masyarakat sehingga
minat dan kepercayaan masyarakat lebih banyak mengarah kepada
dukun bayi. Terlebih lagi masih banyaknya masyarakat yang masih
begitu percaya dengan mitos dan adat istiadat setempat. Sehingga
dengan melakukan kerja sama dengan dukun bayi diharapkan
program yang dijalankan bidan akan jauh lebih baik ke depannya.
Beberapa contoh kerja sama antara bidan dan dukun beranak yaitu:
 Melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap paraji mengenai
penambahan wawasan dalam bidang kesehatan ibu, bayi baru
lahir, dan keluarga berencana, terutama tentang tanda bahaya
pada kehamilan, persalinan dan nifas.
 Menempatkan dan mengalih fungsikan paraji dari penolong
persalinan menjadi mitra dalam merawat ibu dan bayi pada masa
nifas.
 Mengarahkan dukun saat mendampingi persalinan.

33
 Mengajak paraji bekerja sama dalam menjaring ibu hamil di
posyandu.
 Memberikan reward terhadap paraji guna menjaga jaringan kerja
yang sudah terbentuk.
 Hadir secara bersama-sama dalam membantu melakukan
persalinan bagi ibu-ibu yang melahirkan dimana dukun berperan
sebagai pendamping ibu guna mendukung psikologis ibu.
I. Langkah-langkah Kemitraan Bidan dan Dukun
1. Pendataan kesehatan ibu dan anak
Langkah ini dilakukan untuk mengidentifikasi masalah yang
terkait dengan kesehatan ibu dan bayi, serta potensi untuk
penanganan masalah melalui kemitraan dukun dan bidan.
2. Identifikasi potensi yang mendukung kemitraan
Dalam membangun kemitraan, perlu dilakukan identifikasi
terhadap potensi yang mendukung kemitraan. Potensi tersebut di
antaranya adalah jumlah dan sebaran dukun, kebiasaan atau
budaya lokal masyarakat yang mendukung kemitraan, dukungan
pemerintah desa/kelurahan dalam peningkatan pelayanan
kesehatan masyarakat serta sumber pendanaan untuk mendukung
kemitraan. Potensi ini dapat menjadi dasar dalam membangun
kemitraan.
3. Membangun dukungan para pihak
Dari langkah ini diharapkan muncul komitmen pemerintah untuk
hadir pada pertemuan pembentukan kesepakatan antara bidan dan
dukun bayi, komitmen untuk mendukung melalui program dan
anggaran daerah, serta komitmen untuk mendorong pembentukan
regulasi yang menjamin keberlangsungan kemitraan tersebut.
4. Pembentukan regulasi daerah
Meski telah dibangun kesepakatan dan kesepahaman antara peran
dan tugas bidan dan dukun bayi dalam kemitraan serta telah
didukung komitmen informal atas nama pemerintah daerah, hal
tersebut juga perlu didukung dengan dengan pembentukan

34
regulasi daerah. Peran para pihak dan konsekuensi pembiayaan
perlu dituangkan dalam regulasi daerah agar dapat dijamin oleh
program dan angggaran pemerintah daerah. Proses pembentukan
regulasi daerah dapat berupa peraturan kepala daerah ataupun
peraturan daerah. Regulasi ini selain dapat memberikan jaminan
ketersediaan dana dalam mendukung kemitraan juga mendorong
pemenuhan ketersediaan dan distribusi bidan yang lebih merata di
desa-desa terpencil sebagai syarat terbentuknya kemitraan.
5. Koordinasi dan peningkatan kapasitas bagi dukun bayi
Koordinasi dan peningkatan kapasitas bagi dukun bayi
merupakan langkah untuk optimalisasi pelaksanaan peran dan
tugas masing-masing.
6. Pemantauan dan penilaian
Untuk mengetahui keberhasilan kegiatan diperlukan adanya
langkah pemantuan dan evaluasi yang dilakukan sercara terus
menerus (bekesinambungan). Kegiatan memantau dan menilai
untuk melihat apakah semua kegiatan telah dilaksanakan sesuai
rencana yang ditetapkan.
7. Mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung
Dalam pelaksanaan kemitraan bidan dan dukun bayi dibutuhkan
sarana dan prasarana pendukung yang juga merupakan prasyarat
keberhasilan pelaksanaan kemitraan tersebut. Beberapa prasarana
dasar yang perlu ada dalam pemberian pelayanan oleh bidan atau
tenaga kesehatan adalah: Puskesmas, Pustu, Poskesdes, Polindes,
Rumah Tunggu Kelahiran, Posyandu, yang dilengkapi listrik dan
air bersih. Sedangkan sarana yang dibutuhkan dalam menunjang
kemitraan, diantaranya: mobiler: tempat tidur lengkap, lemari,
meja, kursi, kain tirai; alat kesehatan 21 (alkes): Bidan kit, dopler,
sungkup/amubag, tabung oksigen, tiang infus, incubator,
timbangan bayi, balita dan timbangan ibu hamil, alat pengukur
panjang badan bayi; buku pegangan bidan, dukun bayi dan alat
tulis; baju seragam dukun bayi (dimaksudkan untuk memberi rasa

35
bangga dan sebagai pengakuan atas status dan peranan mereka di
masyarakat), peralatan P3K (Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan); media penyuluhan: lembar balik penyuluhan, film
tentang KIA, brosur, poster, dan lain-lain.
8. Administrasi dan pelaporan
Secara administratif, dukun bayi juga menyusun laporan kegiatan
yang dicatat dalam buku laporan dukun bayi. Buku laporan
tersebut disesuaikan dengan kebijakan puskesmas dan kemudahan
pembuatan oleh dukun bayi. Pembuatan laporan dapat dilakukan
bersama-sama antara kader posyandu dan dukun bayi sehingga
kader dapat membantu dukun bayi yang mengalami kesulitan
dalam pembuatan laporan.
9. Pembiayaan
Sumber pembiayaan kemitraan dukun dan bidan berasal dari
APBD (melalui dinas kesehatan dan puskesmas), dana BOK
(Bantuan Operasional Khusus) puskesmas, dana jaminan
persalinan (jampersal), sumber dana dari pihak ketiga, ataupun
dana dari swadaya masyarakat desa. Dana-dana tersebut
dipergunakan untuk membiayai: pendataan kesehatan ibu dan
anak; pertemuan-pertemuan koordinasi di tingkat kabupaten/kota;
pelatihan-pelatihan bagi bidan dan dukun bayi, pemberian
transport bagi dukun bayi setiap kali mengantarkan ibu hamil
untuk memeriksakan kehamilan di fasilitas kesehatan, insentif
untuk dukun bayi untuk setiap persalinan yang dirujuk ke bidan;
pelatihan-pelatihan berkala bagi bidan, dukun bayi, penyediaan
sarana dan prasarana pendukung kemitraan; penyusunan regulasi
daerah tentang kemitraan bidan, dukun bayi pembiayaan lain
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah.
J. Peran Bidan dan Dukun dalam Pelaksanaan Kemitraan
Peran bidan dan dukun dalam pelaksanakan program kemitraan
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Peran Bidan dan Dukun dalam Masa Kehamilan

36
PERAN BIDAN
1. Melakukan pemeriksaan ibu hamil (keadaan umum, menentukan
taksiran partus, menentukan keadaan janin dalam kandungan,
pemeriksaan laboratorium yang diperlukan).
2. Melakukan tindakan pada ibu hamil (pemberian imunisasi TT,
pemberian tablet Fe, pemberian pengobatan atau tindakan apabila
ada komplikasi).
3. Melakukan penyuluhan dan konseling.
4. Melakukan kunjungan rumah.
5. Melakukan rujukan apabila diperlukan.
6. Melakukan pencatatan.
7. Membuat laporan.
PERAN DUKUN BERANAK
1. Memberikan motivasi ibu hamil untuk periksa ke bidan.
2. Mengantar ibu hamil yang tidak mau periksa ke bidan.
3. Membantu bidan pada masa pemeriksaan ibu hamil.
4. Melakukan penyuluhan pada ibu hamil dan keluarga.
5. Memotivasi ibu hamil dan keluarga tentang KB.
6. Melakukan ritual yang berhubungan dengan adat dan keagamaan.
7. Melakukan motivasi pada saat rujukan diperlukan 8. Melaporkan
ke bidan apabila ada ibu hamil baru
Peran Bidan dan Dukun dalam Masa Persalinan
PERAN BIDAN
1. Mempersiapkan sarana prasarana persalinan aman dan alat
resusitasi bayi baru lahir.
2. Memantau kemajuan persalinan sesuai dengan partograf.
3. Melakukan asuhan persalinan.
4. Melaksanakan inisiasi menyusu dini dan pemberian ASI segera
dari 1 jam.
5. Injeksi vit K1 dan salep mata antibiotik pada bayi baru lahir.
6. Melakukan perawatan bayi baru lahir.
7. Melakukan tindakan PPGDON apabila mengalami komplikasi.

37
8. Melakukan rujukan bila diperlukan.
9. Melakukan pancatatan persalinan.
10. Membuat laporan
PERAN DUKUN BERANAK
1. Mengantar calon ibu bersalin ke bidan.
2. Mengingatkan keluarga menyiapkan alat transportasi untuk pergi
ke bidan atau memanggil bidan.
3. Mempersiapkan sarana prasarana persalinan aman seperti air
bersih dan kain bersih.
4. Mendampingi ibu saat bersalin.
5. Membantu bidan pada saat proses persalinan.
6. Melakukan ritual (jika ada atau perlu).
7. Membantu bidan dalam merawat bayi baru lahir.
8. Membantu bidan dalam inisiasi menyusu dini kurang dari 1 jam.
9. Memotivasi rujukan bila diperlukan.
10. Membantu bidan membersihkan ibu, tempat dan alat setelah
persalinan.
Peran Bidan dan Dukun dalam Masa Nifas
PERAN BIDAN
1. Melakukan kunjungan neonatal dan sekaligus pelayanan nifas.
2. Melakukan penyuluhan dan konseling pada ibu dan keluarga
(tanda-tanda bahaya dan penyakit ibu nifas, tanda-tanda bayi
sakit, kebersihan pribadi dan lingkungan, kesehatan dan gizi, ASI
Eksklusif, parawatan tali pusat, KB setelah melahirkan).
3. Melakukan rujukan apabila diperlukan.
4. Melakukan pencatatan.
5. Membuat laporan.
PERAN DUKUN BERANAK
1. Melakukan kunjungan rumah dan memberikan penyuluhan
tentang (tanda-tanda bahaya dan penyakit ibu nifas, tanda-tanda
bayi sakit, kebersihan pribadi dan lingkungan, kesehatan dan gizi,
perawatan tali pusat dan perawatan payudara).

38
2. Memotivasi ibu dan keluarga untuk ber-KB setelah melahirkan.
3. Melakukan ritual agama (jika ada atau perlu).
4. Memotivasi rujukan bila diperlukan.
5. Melaporkan ke bidan apabila ada calon akseptor KB.
Dalam proses alih peran dan pembagian tugas antara bidan
dengan dukun perlu disepakati mekanisme kemitraan yang dijalin
antara mereka. Meskipun mekanisme sangat beragam tergantung
keadaan, tetapi ada beberapa hal penting yang harus disepakati
(dituangkan secara tertulis dalam nota kesepakatan antara bidan-
dukun) yaitu mekanisme rujukan informasi ibu hamil, mekanisme
rujukan kasus persalinan, mekanisme pembagian biaya persalinan
dan jadwal pertemuan rutin bidan dengan dukun.

39
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jejaring kerja atau kemitraan atau sering disebut partnership, secara
etimologis berasal dari akar kata partner. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia, dalam hal pekerjaan, mitra diartikan sebagai rekan kerja,
sedangkan kemitraan diartikan sebagai hubungan kerja sama.
Kemitraan merupakan bentuk kerja sama antara dua pihak yang memiliki
kepentingan yang sama, di mana sebelum melaksanakan tugas masing-
masing, terlebih dahulu disepakati mengenai komitmen dan apa yang mejadi
keinginan atau cita-cita serta harapan dari masing-masing pihak untuk
mencapai tujuan bersama, serta meninjau kembali terhadap kesepakatan yang
telah dibuat, dan saling berbagi baik dalam risiko maupun keuntungan yang
diperoleh (Notoatmodjo, 2012).
Beberapa jaringan kerja bidan di komunitas antara lain Puskesmas,
Polindes, Posyandu, BPM, dasawisma, kunjungan rumah pasien (Syahlan,
1996). Di masyarakat banyak tenaga kesehatan maupun non kesehatan,
seperti PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), kelompok ibu-ibu
pengajian, dukun beranak, kader kesehatan, perawat, PLKB (Petugas
Lapangan Keluarga Berencana), dokter, pekerja sosial, dan lain-lain. Untuk
itu, bekerja sama dalam tim menjadi sangat penting.

40
DAFTAR PUSTAKA

Notoatmodjo, Sukidjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.


Surabaya: Rianeka Cipta.
Sandra, Atik dkk. 2016. Asuhuan Kebidanan Komunitas. Bogor: In Media.
Meilani, Niken dkk. 2009. Kebidanan Komunitas. Yogyakarta: Fitramaya.
Walsh, Linda V. 2008. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC.
Depkes RI. 2007. Modul 2 Penggerakan dan Pemberdayaan Masyarakat melalui
Kemitraan. Jakarta: Depkes RI.
Syafrudin dkk. 2009. Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC.
Pudiastuti. 2011. Kebidanan Komunitas. Yogyakarta: Nuhamedika.
Yulaikhah, Lily S. Si.T. 2008. Seri Asuhan Kebidanan Kehamilan. Jakarta: EGC.
Yulifah, Rita. 2009. Asuhan Kebidanan Komunitas. Jakarta: Salemba Medika.
Syaifudin, Abdul Bari. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

41
LEMBAR PERTANYAAN

42

Anda mungkin juga menyukai