Anda di halaman 1dari 20

BAHAN SEMINAR HASIL

PENGARUH BLANSING DAN DEHIDRASI OSMOSIS TERHADAP


MUTU ALPUKAT (Persea americana) KERING

Nama : Patria Utari


No. Bp : 161111141
Program Studi : Teknik Pertanian
Hari/Tanggal : Rabu / 30 Desembar 2020
Pukul :09.00 WIB
Dosen Pembimbing I : Khandra Fahmy, S.TP, MP, Ph.D
II : Dr. Ifmalinda, S.TP, M.P
Dosen Undangan :1. Prof. Dr. Ir. Santosa, MP
2. Dr. Andasuryani, S.TP, M.Si
3. Dr. Renny Eka Putri, S.TP, MP
Pembahas Utama :1. Siti Azzahra Kurnia (1611111009)
2. Dwipa Islam Maulana (1611111019)
3. Bunga Astry Namy (1611111020)
4. Ivana Putri Azaria (1611112008)
5. Fadhel Syukur (1611113006)

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
PENGARUH BLANSING DAN DEHIDRASI OSMOSIS TERHADAP MUTU ALPUKAT
(Persea americana) KERING

Patria Utari1, Khandra Fahmy2, Ifmalinda2


1
Mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Andalas-Padang 25163
2
Dosen Jurusan Teknik Pertanian dan Biosistem, Universitas Andalas-Padang 25163
Email: patriautari@gmail.com

ABSTRAK

Alpukat (Persea Americana) memiliki sifat yang mudah rusak dan umur simpan yang pendek.
Salah satu usaha untuk mengatasi hal tersebut yaitu melakukan pengembangan produk olahan
alpukat segar menjadi buah kering. Pengeringan dengan suhu tinggi dapat menimbulkan penyusutan
yang cukup tinggi pada kandungan nutrisi, kimiawi dan fisik bahan. Salah satu metode pra-
perlakuan yang dapat digunakan untuk mengurangi penyusutan tersebut adalah blansing dan
dehidrasi osmosis, kemudian dikeringkan dengan suhu yang rendah. Tujuan dari penelitian ini
adalah menganalisis pengaruh blansing dan variasi konsentrasi larutan osmosis terhadap mutu dari
alpukat kering. Variasi waktu blansing yang digunakan 0, 5, dan 10 menit pada suhu 90oC.
Sedangkan variasi konsentrasi larutan yang digunakan 0, 20, dan 40 Brix dengan suhu 40oC selama 4
jam. Pengeringan dilakukan pada suhu 40oC hingga mak KA 31%. Hasil penelitian menunjukan
perlakuan yang terbaik pada blansing 10 menit perendaman larutan 40 Brix. Blansing tidak
memberikan pengaruh terhadap masing-masing parameter pengamatan. Semakin tinggi konsentrasi
larutan maka semakin rendah kadar air, brix larutan, dan parameter rasa pahit. Sedangkan untuk
brix buah, nilai water loss, solid gain, dan rasa manis semakin tinggi seiring tingginya konsentrasi.
Untuk pengamatan warna perlakuan terbaiknya pada blansing 10 menit tanpa perendaman larutan
osmosis. Tingkat kekerasan terendah pada perendaman 20 Brix.
Kata Kunci : Alpukat, Blansing, Dehidrasi Osmosis, Pengeringan, Buah Kering

I. PENDAHULUAN fisiologis terutama karena lingkungan yang tidak


sesuai, seperti suhu tinggi dan udara yang lembab
Alpukat (Persea americana), merupakan sehingga mempercepat proses kerusakan pada buah
salah satu buah yang banyak disukai (Leksikowati, 2013). Salah satu usaha untuk
masyarakat. Alpukat memiliki ciri khas tekstur mengatasi hal tersebut yaitu mengolahnya menjadi
daging seperti mentega dengan rasa gurih, tidak produk buah kering. Buah kering merupakan olahan
manis dan tidak asam. Alpukat memiliki beberapa pangan dari buah segar, yang dapat dijadikan
kandungan yang bermanfaat bagi tubuh manusia cemilan yang sehat dan bergizi. Terdapat beberapa
antaranya protein, karbohidrat, mineral dan lemak proses dalam pembuatan produk buah kering yaitu
yang cukup tinggi. Di Indonesia terdapat banyak blansing, dehidrasi osmosis dan pengeringan.
daerah yang memproduksi alpukat, salah satunya Proses blansing adalah proses pemberian
Sumatera Barat. Ditunjang dengan data Badan Pusat panas ke bahan menggunakan media air panas atau
Statistik Provinsi Sumatera Barat menunjukkan uap air. Tujuan utama dari proses blansing sendiri
bahwa produksi buah alpukat pada tahun 2010-2019 adalah untuk menginaktifkan enzim-enzim yang
berturut sebagai berikut 29.456,20 ton, 38.553 ton, terdapat pada bahan, mengurangi mikroorganisme,
42.600 ton, 40.991 ton, 42.464 ton, 53.450.30 ton, mengeluarkan udara, perbaikan warna, kerenyahan,
43.947,40 ton, 48.513,00 ton, 50.247,40 ton, dan pelayuhan, dan perlakuan pendahuluan sebelum
54.204 (BPS, 2019). pengolahan lanjutan pada produk/ bahan. Selain itu
Produksi buah alpukat yang melimpah di blansing meningkatkan retensi rasa dan seringkali
Indonesia, kurang diimbangi dengan produk menghilangkan rasa pahit yang tidak diinginkan
olahanya, umumnya masyarakat Indonesia hanya dalam produk/ bahan (Rastini et al., 2017).
mengkonsumsi alpukat secara langsung atau Pengeringan buah alpukat bertujuan untuk
diminum sebagai jus. Sedangkan, alpukat memiliki pengawetan produk sehingga memiliki daya simpan
sifat yang mudah rusak secara mekanis dan yang lebih lama, dengan cara menurunkan kadar air
1
yang terkandung dalam buah sampai batas tertentu. 3.2 Bahan dan Alat
Terdapat banyak metode dalam melakukan
3.2.1 Bahan
pengeringan yaitu penjemuran langsung dengan
pemanfaatan sinar matahari, pengeringan buatan Bahan yang digunakan pada penelitian ini
dengan alat pengering dan pengeringan secara adalah Alpukat Tongar sebanyak 20 kg, aquades,
pembekuan (freeze drying). Namun, pengeringan dan gula pasir, garam, dan asam sitrat. Alpukat
tersebut dapat menimbulkan penyusutan yang Tongar yang digunakan dalam penelitian ini
cukup tinggi pada kandungan nutrisi, dan juga akan diperoleh dari petani di Desa Tongar, Kecamatan
mempengaruhi aroma, warna, dan cita rasa buah Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera
karena biasanya pengeringan tersebut dilakukan Barat.
dengan suhu yang tinggi dan waktu yang lama. 3.2.2 Alat
Salah satu metode yang digunakan untuk Peralatan yang digunakan pada penelitian ini
mengurangi penyusutan dan kerusakan pada proses adalah oven listrik (Memmert GmbH + Co. KG
pengeringan adalah pra-perlakuan dengan dehidrasi Jermany ), inkubator ( Incubator MEM-IN110
osmosis ( Hermawan, 2015). Jermany ), water bath ( Memmert WB14 Shaking
Dehidrasi osmosis merupakan proses Jermany ), pisau stainless steel, timbangan digital (
perpindahan massa pada buah yang akan Kern & Shon GmbH), gelas ukur (Ikawaki Asahi
menghilangkan sebagian air dan secara bersamaan Glass Indonesia), refraktometer (Atago Master-20M
akan meningkatkan kandungan padatan dalam Japan), cawan, stopwatch, talenan, tisu, ember
jaringan tumbuhan/buah. Sifat buah (kematangan, plastik, penjepit, pengaduk, thermometer, lengser
varietas, sifat fisikokimia, dan struktur jaringan) alumunium, force gauge ( ST Stand FGS-5 S
akan mempengaruhi perpindahan massa pada proses Japan), spectrocolorimeter ( Lavibond LC 100
dehidrasi osmosis sendiri (Sulistyawati et al, 2018). Japan), desikator, gelas breaker ( Ikawaki Asahi
Dehidrasi osmosis digunakan sebagai pra-perlakuan Glass Indonesia ), wadah plastik, sarung tangan,
untuk mengurangi kadar air bahan, sehingga proses dan mistar.
pengeringan lebih cepat meskipun dengan suhu 3.3 Metode Penelitian
rendah. Pada penelitian ini dilakukan kombinasi
perlakuan blansing dan variasi konsentrasi larutan Metode dari penelitian ini adalah metode
osmosisnya. Perlakuan tersebut akan dilihat eksperimen. Tahapan metode eksperimen ini
pengaruhnya terhadap mutu dari buah alpukat meliputi penelitian pendahuluan, persiapan buah,
kering. Maka dilakukanlah penelitian dengan judul perendaman dengan larutan garam dan asam sitrat,
“Pengaruh Blansing dan Dehidrasi Osmosis blansing buah, persiapan larutan osmosis, dehidrasi
terhadap Mutu Alpukat (Persea americana) osmosis, pengeringan dan dilanjutkan dengan
Kering”. pengamatan.
Tujuan umum penelitian ini adalah 3.3.1 Penelitian Pendahuluan
menganalisis pengaruh blansing dan variasi Penelitian pendahuluan dilakukan pada
konsentrasi larutan osmosis terhadap mutu dari bulan November 2019 – Februari 2020. Penelitian
buah alpukat kering (kadar air, brix buah, brix ini bertujuan untuk menentukan metode yang tepat
larutan, water loss, solid gain, warna, dan dalam pembuatan buah kering. Pemberian garam
kekerasan). dan asam sitrat sebelum perlakuan pengamatan
III. METODOLOGI PENELITAN dilakukan untuk menyamarkan rasa pahit dan sepat
3.1 Waktu dan Tempat yang dihasikan alpukat kering. Dengan konsentrasi
Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan garam 2 % selama 1 jam dan asam sitrat 0.5 %
Maret hingga Agustus 2020 di Laboratorium selama 10 menit, konsentrasi tersebut merupakan
Stasion In Postharvest Technology Andalas konsentrasi terbaik setelah dilakukan uji coba
University-Gifu University, Program Studi Teknik beberapa kali terhadap alpukat kering.
Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Lama perendaman buah selama proses
Pertanian, Universitas Andalas, Padang. dehidrasi osmosis dipilih 4 jam dan suhu

2
lingkungan dijaga pada 40 oC didasarkan pada 3.3.4 Blansing Buah
metode penelitian Zahoor dan Khan (2017) dan Buah yang telah melewati proses
Lombard, et al (2008). Selain itu, berdasarkan pemopotongan dan perendaman, selanjutnya
penelitian Nishanti (2006) bahwa brix buah tidak dilakukan blansing pada suhu 90oC merujuk pada
banyak berubah setelah perendaman 4 jam. penelitian (Nelvi, 2015) dalam (Tantono et al.,
Kemudian untuk pengeringan dilakukan penelitian 2017) pada pembuatan velva alpukat, dengan waktu
pendahuluan menggunakan incubator dengan suhu blansing selama 0, 5, dan 10 menit merujuk pada
pengeringan 40, 50, dan 60 oC. Hasil produk yang penelitian (Rastini et al., 2017) pada pembuatan
dikeringan dengan suhu 50 dan 60 oC memiliki keripik dari subsitusi tepung biji alpukat.
tektur yang keras dan terdapat kristal gula 3.3.5 Persiapan Larutan Osmosis
dipermukaan bahan, sedangkan tekstur yang Berdasarkan penelitian Kartika dan Nisa
diinginkan adalah kenyal, oleh karena itu suhu 40 (2015) untuk pembuatan larutan osmosis dengan
o
C dijadikan suhu untuk pengeringan. cara memasukan gula sedikit demi sedikit ke dalam
3.3.2 Persiapan Buah gelas breaker yang telah berisi 1 L aquades.
Kemudian konsentrasi variasi larutan gula diukur
Persiapan buah diawali dengan melakukan
sesuai dengan konsentrasi yang telah ditetapkan
pemilihan buah alpukat tongar yang masih segar,
pada perlakuan menggunakan refraktometer.
bersih dan indeks kematangannya 80-85 %
Dengan perbandingan gula dan air untuk 20 Brix
(mengkal) dengan ciri fisual antara lain, warna kulit
1:1.75, dan untuk 40 Brix 1: 1.25. kemudian untuk
buah tua tetapi belum menjadi coklat/merah dan
perbandingan sampel buah dan jumlah larutan 1 : 4
tidak mengkilap, apabila buah diketuk dengan
(w/w) baik larutan garam, asam sitrat dan larutan
punggung kuku maka menimbulkan bunyi yang
osmosis, hal ini mengacu kepada penelitian
nyaring, dan bila buah digoyang-goyang akan
Octyaningrum (2015) pada pengeringan rimpang
terdengar goncangan biji, kategori mengkal ini
jahe.
biasanya buah yang baru dipetik setelah berumur 6-
7 bulan dari saat bunga mekar (Sadwiyanti et al., 3.3.6 Dehidrasi Osmosis
2009) dan diusahakan dengan ukuran yang sama. Proses dehidrasi osmosis sendiri memiliki
Selain itu juga dilakukan pengukuran kadar air awal beberapa tahapan. Tahapan pertama memasukkan 1
dengan nilai 82.6-85.4 %. Alpukat yang telah L larutan osmosis kedalam gelas beaker. Tahapan
dipilih, dipotong membujur menjadi dua bagian, kedua memasukkan 50 potong sampel ke dalam
lalu dibuang biji dan dikupas kulitnya, kemudian larutan osmosis dimana 1 potong sampel ± 5 gram,
diiris dengan ketebalan 0.5 cm dengan massa 5 kemudian alumunium foil digunakan untuk menutup
gram, merujuk kepada penelitian Octyaningrum larutan, agar air tidak masuk kedalam gelas selama
(2015) pada jahe setelah jahe dikupas, jahe diiris proses berlangsung. Tahapan ketiga memasukan
menjadi bahagian yang tipis dengan tebal 0.5 cm, gelas beaker yang berisi larutan dan sampel ke
dan juga. Bentuk dari potongan alpukat dapat dalam sebuah water bath, yang suhunya
dilihat pada Gambar 3. dipertahankan pada suhu 40o C. Tahapan keempat
mengambil satu sampel, setiap interval 30 menit.
3.3.3 Perendaman dengan Larutan Garam dan
Kemudian menimbang dan mencatat sampel yang
Asam Sitrat
telah direndam (Sharma et al 2000) dalam (Saputra
Alpukat yang telah dipotong kemudian
et al., 2018).
dilakukan proses perlakuan pendahuluan dengan
Penelitian kali ini menggunakan variasi
cara direndam dengan larutan garam 2 % selama 1
konsentrasi larutan 20 dan 40 oBrix dan satu
jam, dan dilanjutkan dengan perendaman dengan
perlakuan tanpa larutan hal dikarenakan belum ada
asam sitrat 0.5 % selama 10 menit. Larutan garam 2
penelitian yang serupa dalam mengolah alpukat
% dibuat dengan cara melarutkan 20 g garam dapur
kering sehingga diusahakan interval variasi larutan
dalam 1 liter air, dan untuk larutan 0.5 % asam sitrat
yang sama, agar dapat dibandingan dengan baik
dengan cara melarutkan 5 g asam sitrat dalam 1 liter
dan diperoleh perlakuan yang terbaik dengan
air.
selang pengamatan per 30 menit selama 4 jam.
3
3.3.7 Pengeringan Buah WLt = …………….. (5)
Pengeringan dilakukan setelah dehidrasi Keterangan :
osmosis pada suhu 40 oC hingga kadar air bahan WLt : water loss pada waktu ke-t (%)
maksimum 31 % sesuai dengan SNI yang berlaku, M0 : kadar air sampel pada waktu t=0 (%b.b)
Mt : kadar air sampel pada waktu ke-t (%b.b)
dengan pengamatan terhadap perubahan massa dan W0 : bobot sampel alpukat pada waktu t=0 (g)
kadar air, yang diamati setiap interval 30 menit 5 Wt : bobot sampel alpukat pada waktu ke-t (g)
jam pertama dan 60 menit 5 jam berikutnya 3.4.5 Jumlah Padatan Terlarut yang Diperoleh
(Abdilah, 2018). Bahan (Solid Gain, SG)
3.4 Parameter Pengamatan Jumlah padatan terlarut yang masuk ke
Parameter pengamatan yang diuji meliputi dalam sampel (solid gain, SG) selama proses
sebagai berikut : dehidrasi osmosis, dapat dengan menggunakan
persamaan berikut (Hermawan, 2015):
3.4.1 Kadar Air ( ) ( )
SGt = ……..(6)
Pengukuran kadar air yang terkandung Keterangan :
dalam bahan dapat dihitung dengan persamaan SGt : solid gain pada waktu ke-t (%)
berikut: W0 : bobot sampel alpukat pada waktu t=0 (g)
M = ….………(1) Wt : bobot sampel alpukat pada waktu ke-t (g)
M0 : kadar air awal sampel pada waktu t=0 (%bb)
M = …………(2) Mt : kadar air sampel pada waktu ke-t (%bb)
Keterangan : 3.4.6 Warna
M =kadar air basis kering (%) Pengamatan warna pada alpukat kering
Wt = Massa Total (g) dilakukan pada akhir proses pengeringan.
Wm = Massa Air dalam Bahan(g) Spectrocolorimeter adalah alat yang digunakan
Wd = Massa Kering Mutlak (g) dalam pengukuran warna.
a = Massa Cawan (g)
b = Massa Cawan + Massa Sampel (g)
3.4.7 Kekerasan
c = Massa Cawan + Massa Sampel Kering (g) Pengamatan kekerasan pada buah alpukat
M = Kadar Air (%)
dilakukan menggunakan alat force gauge. Pengujian
dilakukan pada 3 titik yaitu pada bagian ujung,
3.4.2 Laju Pengeringan tengah, dan pangkal kemudian nilai dari ketiga titik
Laju pengeringan dapat dihitung bagian tersebut dijumlah dan dirata-ratakan.
menggunakan persamaan (3) dan (4) (Suharjo, 2007 3.4.8 Uji Sensosris
dalam Sepriani 2020): Uji sensoris pada penelitian ini
Wa =Ba˗Bb................................(3) menggunakan skala hedonik. Uji sensoris dilakukan
Wdot =Wa/t..................................(4) untuk mengetahui tingkat kesukaan atau
Keterangan: penerimaan panelis terhadap produk manisan
Wa = Berat air yang diuapkan (kg)
Ba = Berat awal (kg) kering. Panelis terdiri dari 25 orang mahasiswa,
Bb = Berat akhir (kg) setiap panelis diberikan format penilaian untuk
Wdot = Laju pengeringan (kg/jam) dimintai tanggapanya terhadap sampel yang
T = Lama pengeringan (jam) disajikan (Tendean, 2016). Parameter yang diuji
3.4.3 Brix Buah dan Brix Larutan yaitu warna, rasa (tingkat kemanisan dan
Pengukuran Brix buah dan larutan diukur kepahitan), aroma dan tekstur sebagai rangking
dengan menggunakan refraktometer. Setiap untuk menentukan produk terbaik.
pengamatan diukur sebanyak tiga kali ulangan.
3.4.4 Jumlah Air yang Keluar dari Bahan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
(Water Loss, WL) 4.1 Kadar Air
Pengukuran terhadap WL (water loss) dapat Kadar air yang diamati pada penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut adalah perubahan kadar air selama dehidrasi
(Magdalena, et al., 2014) : osmosis dan selama pengeringan.
4
4.1.1 Perubahan Kadar Air Selama Jumla Kuadra
Dehidrasi Osmosis h t F
Df Pr(>F)
Kuard Tenga Hitung
Kadar air merupakan banyaknya air yang at h
terkadung di dalam bahan yang dinyatakan dalam 2.07E-
Blansing 2 150 75 1.592
persen. Grafik kadar air selama dehidrasi osmosis 01
dapat dilihat pada Gambar 5. Larutan 1 4750 4750 100.89 <2E-16***
Blansing
100 2 62 31 0.653 0.522
* Larutan
80
Kadar Air (%)

Sisa 156 7345 47


60 Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
B0L1
40 Berdasarkan hasil uji anova pada Tabel 3.
B1L1
20 menunjukan bahwa perbedaan waktu blansing pada
B2L1
0 tiap perlakuan tidak berpengaruh terhadap kadar air
0 30 60 90 120 150 180 210 240 selama dehidrasi osmosis dengan signifikan 0.207
Menit Ke-
lebih besar dari 0.05. Variasi konsentrasi larutan
(a) osmosis berpengaruh terhadap kadar air setelah
100 dehidrasi, dengan singnifikan < 2 × 10-16 lebih kecil
80 dari 0.05 sehingga H1 diterima dengan artian
Kadar Air (%)

60 berbeda signifikan. Interaksi antara blansing dan


40 B0L2 variasi konsentrasi larutan tidak berpengaruh
20 B1L2 terhadap kadar air selama dehidrasi osmosis dengan
0
B2L2 signifikan 0.522 lebih besar dari 0.05 sehingga H0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 diterima.
Menit Ke-
Tabel 4. Hasil Uji Tukey Persentase Kadar
(b) Air Selama Dehidrasi Osmosis
Gambar 5. Grafik Perubahan Kadar Air selama Variasi Konsentrasi Larutan
Proses Dehidrasi Osmosis (a, b) Berdasarkan Blansing
L1 L2
Variasi Konsentrasi Larutan
Kadar air diawal proses dehidrasi osmosis B0 78.4390 b 66.4087 a
mengalami penurunan yang cukup tinggi dan akan B1 76.1613 b 67.1073 a
menurun lambat pada akhir proses dehidrasi B2 75.7771 b 64.4525 a
osmosis. Berdasarkan Gambar 5 (a, b) perbedaan Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom
konsentrasi larutan osmosis berpengaruh terhadap menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan uji Tukey
perubahan kadar air sampel, dimana semakin tinggi dengan menggunakan R Statistik.
konsentrasi larutan maka semakin rendah kadar air Berdasarkan hasil uji Tukey pada Tabel 4.
yang diperoleh. Dari grafik tersebut dapat dilihat membuktikan bahwa pada larutan yang berbeda
sampel alpukat memiliki kadar air awal sebesar 83- menghasilkan notasi yang berbeda yaitu larutan 20
85%, setelah dilakukannya proses dehidrasi osmosis Brix notasi a dan 40 Brix notasi b, pembacaan
maka kadar air menurun hingga 53.6069 % untuk notasi sendiri apabila berada dinotasi yang sama
larutan 40 Brix dan 71.8095 % untuk larutan 20 maka nilai tersebut tidak berbeda nyata/signifikan,
Brix. Sedangkan untuk perbedaan waktu blansing sebaliknya apabila berada pada notasi yang berbeda
pada larutan 20 dan 40 brix tidak begitu terlihat maka berbeda nyata/signifikan.
perbedaan nilai yang diperoleh, dikarenakan 4.1.2 Perubahan Kadar Air Selama Proses
masing-masing perbedaan waktu blansing berada Pengeringan
pada titik grafik yang berdekatan. Perubahan kadar air selama proses
Tabel 3. Hasil Uji Anova Persentase Kadar pengeringan dapat dilihat pada Gambar 6.
Air Selama Dehidrasi Osmosis

5
100 jam hingga memperoleh kadar air 23,2941 %, untuk
80 B0L0 perlakuan tanpa perendaman larutan dehidrasi
Kadar Air (%)

60 B1L0 osmosis dengan kombinasi blansing selama 5 dan


40 B2L0 10 menit membutuhkan waktu pengeringan 13 jam
dengan kadar air akhir berturut-turut 23,8616 dan
20
24,7491 %. Pada perlakuan variasi konsentrasi
0
larutan 20 Brix dengan waktu blansing 0, 5 dan 10
0
60
120
180
240
300
360
420
480
540
600
660
720
780
840
Menit Ke- menit dibutuhkan waktu 12 jam hingga kadar air
(a) akhir berturut-turut sebagai berikut 23.6109,
100
23.6090, dan 24.1673 %. Kemudian pada perlakuan
variasi konsentrasi larutan 40 Brix dengan waktu
80
Kadar Air (%)

blansing 0,5 dan 10 menit dibutuhkan waktu 10 jam


60 B0L1 hingga kadar air berturut-turut 23.9409, 23.6696,
40 B1L1 dan 23.6189 %.
20 B2L1 4.1 Laju Pengeringan
0 Proses pengeringan mengakibatkan
0
60
120
180
240
300
360
420
480
540
600
660
720
780
840

terjadinya penguapan air bebas dan air terikat yang


Menit Ke-
berada di dalam bahan sampai tercapai batas
(b) kesetimbangan (Babu et al, 2018). Grafik laju
90
80
pengringan dapat dilihat pada Gambar 7.
70 3.90
Kadar Air (%)

3.60 B0L0
60
Jumlah Air yang Menguap

50 B0L2 3.30 B1L0


3.00
40 2.70 B2L0
30 B1L2
2.40
20 2.10
(g/jam)

B2L2 1.80
10
0 1.50
1.20
0
60
120
180
240
300
360
420
480
540
600
660
720
780
840

0.90
Menit Ke- 0.60
0.30
(c) 0.00
30
60
90
120
150
180
210
240
270
300
360
420
480
540
600
660
720
780
840
Gambar 6. Grafik Perubahan Kadar Air
Waktu (menit)
Selama Proses Pengeringan, (a, b, c) Berdasarkan
(a)
Variasi Konsentrasi Larutan 3.90
Berdasarkan grafik pada Gambar 6 kadar air B0L1
Jumlah Air yang Menguap

3.60
3.30 B1L1
bahan secara keseluruhan akan menurun tiap 3.00 B2L1
2.70
waktunya. Grafik (a, b, c) menunjukan, perbedaan 2.40
(g/jam)

2.10
konsentrasi larutan mempengaruhi nilai kadar air, 1.80
1.50
dimana semakin tinggi konsentrasi larutan maka 1.20
0.90
semakin singkat waktu untuk mengeringkan 0.60
bahan/sampel. Dikarenakan semakin banyak 0.30
0.00
300

600
120
150
180
210
240
270

360
420
480
540

660
720
30
60
90

konsentrasi gula yang digunakan maka semakin


banyak air yang diikat dan menyebabkan kadar air Waktu (menit)

sampel menurun. Sedangkan perbedaan waktu (b)


3.90
blansing pada konsentrasi larutan 0, 20, dan 40 brix 3.60 B0L2
3.30
tidak terlihat pengaruhnya terhadap penurunan
Jumlah Air yang Menguap

3.00 B1L2
2.70
2.40
kadar air, hal ini dikarenakan setiap perlakuanya 2.10
B2L2
1.80
memperoleh nilai penurunan yang relatif sama,
(g/jam)

1.50
1.20
karena menghasilkan garis grafik yang saling 0.90
0.60
berdekatan pada konsentrasi larutan yang sama. 0.30
0.00
Sampel dengan perlakuan tanpa blansing dan tanpa
30
60
90
120
150
180
210
240
270
300
360
420
480
540
600

variasi konsentrasi larutan membutuhkan waktu 14 Waktu (menit)

6
larutan yang diberikan maka semakin tinggi pula
brix buah yang diperoleh. Sedangkan perbedaan
Gambar 7. Grafik Laju Pengeringan, (a, b, c)
waktu blansing nilai satu dan lainya tidak begitu
Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan
besar perbedaanya, karena tiap perlakuan waktu
Hasil yang diperoleh dari grafik laju
tersebut saling berdekatan garis grafik yang
pengeringan sama halnya dengan penurunan kadar
diperoleh pada larutan 20, dan 40 Brix.
air selama pengeringan pada Gambar 7 grafik
Perlakuan terbaik untuk brix buah adalah
(a,b,c) perbedaan perlakuan konsentrasi larutan
perlakuan blansing selama 10 menit dengan
berpengaruh terhadap laju pengeringan. Dimana
perendaman pada larutan 40 Brix dengan nilai brix
semakin besar konsentasi larutan maka semakin
buah 33.8 Brix, dikarenakan pada larutan ini,
cepat waktu pengeringanya.
kandungan air diluar bahan lebih sedikit
Laju pengeringan berfkuktuatif tiap
dibandingkan dengan larutan gula 20 Brix, sehingga
waktunya dengan kecendrungan menurun, ini
air di dalam bahan lebih banyak keluar, dan padatan
dikarenakan fase penyesuaian suhu pada bahan, dari
gula lebih banyak masuk ke dalam bahan
suhu ruangan hingga mencapai suhu di dalam udara
Tabel 5. Hasil Uji Anova Brix Buah Selama
pengering yang berlangsung secara transient
Dehidrasi Osmosis
(Widyasanti et al., 2018). Grafik laju pengeringan
Jumla Kuadr
selain memiliki data yang berfluktuatif, juga h at F
memiliki bentuk yang landai. Df Pr(>F)
Kuard Tenga Hitung
4.2 Perubahan Brix Buah Selama Proses at h
Dehidrasi Osmosis Blansing 2 67 34 0.917 4.02E-01
Grafik perubahan brix buah selama proses Larutan 1 3838 3838 104.424 < 2E-16 ***
dehidrasi osmosis akan disajikan pada Gambar 8. Blansing *
2 12 6 0.167 0.846
35 B0L1 Larutan
30 B1L1 Sisa 156 5733 37
25
Brix Buah

B2L1
20 Berdasarkan hasil analisis anova Tabel 5
15 menunjukan, perbedaan waktu blansing tidak
10
5 berpengaruh terhadap brix buah sampel alpukat
0 selama proses dehidrasi osmosis dengan nilai
0 30 60 90 120 150 180 210 240
signifikan 0.402 lebih besar dari 0.05 (tidak berbeda
Menit Ke-
signifikan) maka H0 diterima. Selanjutnya
(b) perbedaan variasi konsentrasi larutan dehidrasi
35 osmosis memiliki pengaruh terhadap brix buah dari
30 sampel alpukat dengan signifikan < 2 × 10-16 lebih
25
Brix Buah

B0L2
kecil dibandingkan 0.05 (berbeda signifikan)
20
15 B1L2
dengan kata lain H1 diterima. Untuk kombinasi
10 perbedaan waktu blansing dan variasi konsentrasi
B2L2
5 larutan tidak ada berpengaruh terhadap brix buah
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 sampel alpukat dengan signifikan 0.846 besar dari
Menit Ke- 0.05 ( tidak berbeda signifikan) sehingga H0
(b) diterima.
Gambar 8. Grafik Perubahan Brix Buah selama Tabel 6. Hasil Uji Tukey Brix Buah Selama
Proses Dehidrasi Osmosis (a, b) Berdasarkan Dehidrasi Osmosis
Variasi Konsentrasi Larutan Variasi Konsentrasi Larutan
Blansing
Brix buah secara keseluruhan mengalami L1 L2
peningkatan tiap waktunya. Gambar 8. (a, b) B0 13.7 a 23.6 b
menunjukan bahwa perbedaan variasi konsentrasi B1 12.7 a 23.0 b
larutan mempengaruhi peningkatan brix buah tiap B2 14.9 a 23.9 b
waktunya. Dimana semakin tinggi konsentrasi brix
7
pada larutan 20, dan 40 Brix nilainya berdekatan
Antara larutan 20 Brix dan 40 Brix berada tiap waktunya, sehingga perlakuan tersebut tidak
pada notasi yang berbeda sehingga nilai rata-rata terlihat berpengaruh terhadap nilai Brix larutan.
keduanya berbeda signifikan/nyata. Penurunan nilai brix untuk konsentrasi
4.3 Perubahan Brix Larutan Selama Proses larutan 20 Brix sekitar 3 Brix dan untuk konsentrasi
Dehidrasi Osmosis 40 Brix sekitar 5 Brix, dengan penurunan tertinggi
Grafik perubahan dari Brix larutan selama proses 36.1 Brix pada perlakuan blansing 0 dengan larutan
dehidrasi osmosis dapat dilihat pada Gambar 9. 40 Brix.
45
B0L1
Tabel 7. Hasil Uji Anova Brix Larutan
40
Brix Larutan

35 B1L1
Selama Dehidrasi Osmosis
30 B2L1 Jumlah Kuadrat F
25 Df
20
Kuardat Tengah Hitung Pr(>F)
15 2.05E-
10 Blansing 2 4 2 1.601
0 30 60 90 120 150 180 210 240
01
<2E-
Menit Ke- Larutan 1 14302 14302 11729.1 ***
16
(a) Blansing
45
* 2 3 1 1.026 0.361
40 Larutan
Brix Larutan

35 Sisa 156 190 1


30 B0L2 Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
25
B1L2 Berdasarkan hasil analisis anova Tabel 7.
20
15
B2L2 menunjukan perlakuan perbedaan waktu blansing
10 tidak berpengaruh terhadap brix larutan osmosis
0 30 60 90 120 150 180 210 240
selama proses dehidrasi osmosis dengan nilai
Menit Ke-
signifikan 0.205 lebih besar dari 0.05 maka H0
(b) diterima. Sedangkan proses dehidrasi osmosis
Gambar 9. Grafik Perubahan Brix Larutan selama mengubah konsentrasi tekanan dari bahan sendiri.
Proses Dehidrasi Osmosis (a, b) Berdasarkan Selanjutnya perbedaan variasi konsentrasi larutan
Variasi Konsentrasi Larutan osmosis memiliki pengaruh terhadap brix larutan
Secara umum Brix larutan osmosis osmosis dengan signifikan 2 × 10-16 lebih kecil dari
mengalami penurunanya setiap waktunya. 0.05 oleh karena itu H1 diterima. Untuk hasil
Penurunan Brix disebabkan oleh larutan gula yang kombinasi perlakuan perbedaan waktu blansing dan
digunakan sebagai osmotic agent memiliki variasi konsentrasi larutan tidak ada berpengaruh
konsentrasi yang lebih tinggi daripada brix buah terhadap brix larutan osmosis dengan signifikan
sehingga akan terjadi keseimbangan termodinamis 0.361 sehingga H0 diterima.
antar kedua sistem. Keseimbangan termodinamis Tabel 8. Hasil Uji Tukey Brix Larutan Selama
dicapai dengan cara difusi bahan terlarut dari Dehidrasi Osmosis
larutan ke dalam bahan pangan dan osmosis air dari
Variasi Konsentrasi Larutan
dalam bahan pangan ke luar lingkungan sehingga Blansing
akan terjadi penurunan massa bahan, penurunan L1 L2
brix larutan, dan penambahan brix bahan (Torezan B0 18.9 a 37.5 b
et al,. 2004). B1 18.6 a 37.2 b
Berdasarkan Gambar 9. grafik (a, b) B2 18.3 a 37.4 b
perbedaan variasi konsentrasi larutan Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom
mempengaruhi penurunan Brix larutan, dimana menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan uji Tukey
semakin tinggi Brix larutannya maka semakin besar dengan menggunakan R Statistik
pula penurunan Brix larutan tersebut. Sama halnya Antara konsentrasi larutan 20 Brix dan 40
dengan perubahan brix buah pada grafik ini, Brix berada dalam notasi yang berbeda, sehingga
perbedaan nilai tiap perlakuan beda waktu blansing nilai rata-rata tersebut berbeda signifikan.
8
4.4 Perubahan Water Loss (WL) Selama Proses geometri produk, dan tingkat pengadukan (Jannah,
Dehidrasi Osmosis 2011).
Water loss (WL) merupakan persentase Tabel 9. Hasil Uji Anova Nilai WL Selama
jumlah air yang hilang selama proses dehidrasi Dehidrasi Osmosis
osmosis (Rum et al, 2019). Grafik hasil pengamatan Jumla Kuadra
F
nilai WL dapat dilihat pada Gambar 10. h t
Df Hitun Pr(>F)
50
Kuard Tenga
B0L1 g
at h
Waterl Loss (%)

40 B1L1 8.34E-
30 Blansing 2 46 23 0.182
B2L1 01
20 110.4
Larutan 1 14135 14135 <2E-16 ***
10
26
Blansing *
0 2 304 152 1.186 0.308
Larutan
0 30 60 90 120 150 180 210 240
Sisa 156 19969 128
Menit Ke-
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
(a) Berdasarkan hasil dari uji anova terlihat
50
45 pada Tabel 9, tidak ada pengaruh perlakuan
Waterl Loss (%)

40
35 perbedaan waktu blansing terhadap nilai WL selama
30
25
B0L2 proses dehidrasi osmosis. Signifikan dari perlakuan
20 B1L2 blansing adalah 0.834 besar dari 0.05 (tidak berbeda
15
10
5
B2L2 signifikan) oleh karena itu H0 diterima. Kemudian
0 untuk pengaruh variasi konsentrasi larutan terhadap
0 30 60 90 120 150 180 210 240
nilai WL memperoleh signifikan < 2 × 10-16 yang
Menit Ke-
kecil dari 0.05 sehingga pengaruhnya signifikan
(b)
dengan H1 diterima. Kombinasi perlakuan blansing
Gambar 10. Grafik Perubahan Water Loss Selama dan variasi konsentrasi larutan tidak berbeda
Proses Dehidrasi Osmosis (a, b) Berdasarkan signifikan dengan nilai 0.324, dengan artian besar
Variasi Konsentrasi Larutan dari pada 0.05 sehingga H0 diterima.
Berdasarkan Gambar 10 grafik (a, b) nilai Tabel 10. Hasil Uji Tukey Persentase WL
WL pada perbedaan variasi konsentrasi larutan Selama Dehidrasi Osmosis
memiliki nilai yang sangat berbeda, dimana Variasi Konsentrasi Larutan
Blansing
perlakuan dengan larutan 40 Brix menghasilkan WL L1 L2
lebih besar dibandingakan pada larutan 20 Brix. Hal B0 12.3425 a 34.2357 b
tersebut sesuai dengan pernyataan Abdila (2018) B1 16.2747 a 31.4747 b
nilai WL terus meningkat seiring bertambahnya B2 15.1226 a 34.0756 b
waktu perendaman dan tingginya konsentrasi Antara konsentrasi larutan 20 dan 40 Brix
larutan. Untuk perbedaan perlakuan waktu blansing berada pada notasi yang berbeda sehingga nilai rata-
pada larutan 20, dan 40 Brix berada pada nilai yang rata tersebut berbeda signifikan. Perlakuan terbaik
berdekatan, sehingga terlihat tidak berpengaruh yang diperoleh dari perbandingan nilai WL ini
terhadap nilai WL. adalah pada perlakuan tanpa blansing dengan
Penurunan WL tertinggi sebesar 48.1502 % konsentrasi larutan perendaman 40 Brix dengan
pada perlakuan tanpa blansing dengan konsentrasi rata-rata nilai 48.1052 %.
larutan perendaman 40 Brix. Sedangkan penurunan
WL terendah pada perlakuan tanpa blansing dengan 4.5 Perubahan Solid Gain (SG) Selama Proses
konsentrasi larutan perendaman 20 Brix dengan Dehidrasi Osmosis
nilai 18.9388 %. Hal ini dikarenakan kehilangan air Nilai solid gain (SG) menunjukkan
dari jaringan sampel dipengaruhi oleh beberapa banyaknya jumlah padatan terlarut/Brix yang masuk
faktor lainya diantaranya suhu, karakteristik sampel, ke dalam sampel. Sehingga antara WL dan SG
perlakuan awal terhadap sampel, ukuran dan bentuk memiliki hubungan yang erat, dimana apabila nilai

9
WL tinggi, maka SGnya pun akan tinggi. Gambar 6.40E-
Blansing 2 12.5 6.2 0.447
11 menujukan grafik perubahan nilai SG selama 01
2.16E-
proses dehidrasi osmosis. Larutan 1 726.9 726.9 52.107
11
***
16 B0L1
Blansing *
14 B1L1 2 45.2 22.6 1.618 0.202
Solid Gain (%)

12 Larutan
B2L1
10 2176.
8 Sisa 156 14
3
6
4 Berdasarkan hasil dari uji anova yang terlihat
2 pada Tabel 11 tidak ada pengaruh perbedaan waktu
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 blansing terhadap nilai SG selama proses dehidrasi
Menit Ke- osmosis, dengan nilai signifikan 0.640 lebih besar
(a) dibandingkan 0.05 sehingga H0 diterima. Kemudian
16 untuk pengaruh variasi konsentrasi larutan terhadap
14
nilai SG memperoleh signifikan 2.16 × 10-11 yang
Solid Gain (%)

12
10
B0L2
kecil dari 0.05 sehingga berbeda signifikan H1
8
6 B1L2
diterima. Kombinasi perlakuan blansing dan variasi
4 konsentrasi larutan tidak berbeda signifikan dengan
2 B2L2
0 nilai 0.202 besar dari pada 0.05 sehingga H0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 diterima sehingga tidak berpengaruh terhadap nilai
Menit Ke- dari SG sendiri.
(b) Tabel 12. Hasil Uji Tukey Persentase SG
Gambar 11. Grafik Perubahan Solid Gain Selama Setelah Dehidrasi Osmosis
Proses Dehidrasi Osmosis (a, b) Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan
Blansing
Variasi Konsentrasi Larutan L1 L2
Perubahan nilai SG cendrung mengalami B0 4.1419 a 9.8731 b
peningkatan tiap waktunya hingga akhir proses B1 5.6926 a 9.1785 b
dehidrasi osmosis. Gambar 11 (a, b) perbedaan B2 5.9330 a 9.4260 b
variasi konsentrasi larutan menghasilkan nilai SG
yang berbeda. Dimana semakin tinggi konsentrasi Antara konsentrasi larutan 20 Brix dan 40
larutan maka semakin tinggi nilai SG yang Brix berada dalam notasi yang berbeda sehingga
diperoleh. Kemudian untuk perlakuan waktu nilai rata-rata tersebut berbeda signifikan. Hal ini
blansing menunjukan nilai yang relatif berdekatan dikerenakan konsentarsi larutan yang berbeda
terhadap kenaikan SG saat proses perendaman pada menghasilkan nilai rata-rata yang berbeda, yang
larutan 20 Brix maupun 40 Brix, hal ini sama dapat dilihat pada Tabel 12.
dengan hasil dari parameter-parameter sebelumnya 4.6 Warna
seperti WL, Brix buah dan larutan.
Persentase SG setelah proses dehidrasi 4.6.1 Lightness (L*)
osmosis selama 4 jam perendaman pada 20 Brix dan Nilai lightness setelah proses pengeringan
40 Brix berturut- turut sekitar 6-8 % dan 12-14 %. dapat dilihat pada Gambar 12.
70
Dengan nilai SG tertinggi pada perlakuan blansing 60
10 menit dan perendaman dengan konsentrasi 40 50
Brix yaitu 14.5605 %. Untuk melihat pengaruh 40 B0L0
L*

30
antar perlakuan maka dilakukan uji anova. 20
B1L0
Tabel 11. Hasil Uji Anova Nilai SG Selama 10 B2L0
Dehidrasi Osmosis 0
Jumla Kuadr B0L0 B1L0 B2L0
Tanpa Larutan
h at F
Df Pr(>F)
Kuard Tenga Hitung (a)
at h

10
70 B2 63.0333 c 50.0694 ab 47.9139 a
60
50
Berdasarkan hasil uji tukey pada Tabel 14
40 B0L1 pada blansing 0 menit perbedaan masing-masing
L* 30 B1L1 konsentrasi larutan tidak berbeda signifikan karena
20
10 B2L1 berada pada notasi yang sama yaitu b. Blansing 5
0 menit antara perlakuan tanpa larutan dengan larutan
B0L1 B1L1 B2L1 20 dan 40 brix berbeda signifikan dengan notasi c
Larutan 20 Brix
dan b. Sedangkan pada blansing 10 menit antara
(b) perlakuan tanpa blansing dengan larutan 20 dan 40
70 brix berbeda signifikan dengan notasi c dan a.
60
50 Untuk kombinasi perlakuan blansing 0 menit
40 B0L2 dengan tanpa larutan, blansing 0, 5 dan 10 menit
L*

30 B1L2 dengan konsentrasi larutan 20 dan blansing 0, 5


20
10 B2L2 menit dengan konsentrasi larutan 40 berada pada
0 notasi yang sama yaitu b sehingga nilai rata-rata
B0L2 B1L2 B2L2 tersebut tidak berbeda signifikan. Dan untuk
Larutan 40 Brix
perlakuan blansing 5 dan 10 menit dengan tanpa
(c) perendaman larutan osmosis tidak berbeda
Gambar 12. Grafik Nilai Lightness (a, b, c) signifikan dengan notasi yang sama c.
Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan
Gambar 12 grafik (a, b, c) menunjukan 4.6.2 Chroma
bahwa semakin tinggi brix larutan maka semakin Analisis komponen warna selanjutnya
rendah nilai lightnessnya. Sedangkan untuk adalah analisis nilai chroma yang menunjukan
perlakuan waktu blansing diperoleh nilai yang karakteristik warna sampel berdasarkan
semakin tinggi seiring bertambahnya waktu ketajamannya. Grafik perubahan nilai chroma dan
blansing pada perlakuan tanpa larutan (a), data perubahanya dapat dilihat pada Gambar 13.
sedangkan untuk larutan 20 dan 40 brix (b,c) akan 60
mengalami penurunan seiring lamanya waktu 50
40
blansing, namun tidak begitu besar beda nilai yang B0L0
30
c*

diperoleh. B1L0
20
Nilai lightness terbesar adalah 63.03 pada 10 B2L0
perlakuan kombinasi blansing 10 menit dengan 0
tanpa perendaman larutan dehidrasi osmosis, B0L0 B1L0 B2L0
Tanpa Larutan
sedangkan nilai lightness terendah pada perlakuan
kombinasi blansing 10 menit dengan perendaman (a)
60
larutan 40 Brix memperoleh nilai sebesar 47.91. Hal
50
tersebut memiliki arti kombinasi blansing 10 menit, 40
tanpa perendaman dengan larutan adalah perlakuan 30
B0L1
c*

yang paling cerah dibandingkan dengan perlakuan 20 B1L1


lainnya, dan kombinasi blansing 10 menit dengan 10 B2L1
perendaman larutan 40 brix merupakan perlakuan 0
B0L1 B1L1 B2L1
terpudar/teredup dibandingkan dengan perlakuan Larutan 20 Brix
lainya.
(b)
Tabel 13. Hasil Uji Anova Nilai Lightness
Variasi Konsentrasi Larutan Osmosis
Blansing
L0 L1 L2
B0 55.6417 b 55.3528 b 50.5389 ab
B1 61.7583 c 55.275 b 50.0472 ab
11
60 Berdasarkan uji anova pada Tabel 15.
50 diperoleh nilai signifikan 0.832 untuk perlakuan
40 blansing nilai tersebut lebih besar dari 0.05 dimana
B0L2
c* 30
B1L2
tidak berbeda signifikan sehingga H0 diterima.
20
B2L2
Perlakuan perbedaan variasi konsentrasi larutan
10
0
memiliki nilai signifikan 0.00290 lebih kecil
B0L2 B1L2 B2L2 dibandingkan 0.05 berbeda signifikan sehingga H1
Larutn 40 Brix diterima. Untuk kombinasi perlakuan blansing dan
(c) perendaman dengan variasi konsentrasi larutan juga
Gambar 13. Grafik Nilai Chroma (a, b, c) tidak berbeda signifikan dengan nilai 0.1049 lebih
Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan besar dari 0.05 sehingga H0 diterima.
Gambar 13 grafik (a, b, c) menunjukan Tabel 16. Hasil Uji Tukey Nilai Chroma
bahwa perbedaan konsentrasi larutan memiliki nilai Variasi Konsentrasi Larutan Osmosis
Blansing
yang menurun seiring dengan bertambahnya nilai L0 L1 L2
konsentrasi larutan, kemudian untuk perbedaan B0 46.9676 ab 48.1917 ab 46.4194 ab
perlakuan waktu blansing pada konsentrasi larutan B1 ab ab ab
52.9556 47.9194 43.2083
0 brix, semakin lama waktu blansing maka semakin
B2 54.1194 b 44.5583 ab 42.2083 a
tinggi nilai yang diperoleh, hal ini dikarenakan lama
blansing akan mempengaruhi warna bahan, dimana Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa
semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pada perlakuan blansing 0 dan 5 menit dengan
blansing dapat menurunkan tingkat pencoklatan konsentrasi larutan 0, 20, dan 40 brix, kemudian
secara enzimatis. Hal ini diakibatkan aktifitas blansing 10 menit dengan konsentrasi larutan 0 dan
polifenol oksidase yang semakin turun akibat 20 brix tidak berbeda signifikan karena berada pada
perlakuan panas (Ma et al.,1992) dalam (Sepriani, notasi yang sama yaitu a. Perlakuan blansing 0 dan
2020). Sedangkan untuk konsentrasi larutan 20 dan 5 menit dengan konsentrasi larutan 0, 20, dan 40
40 brix semakin lama waktu blansing maka nilainya brix, kemudian blansing 10 menit dengan
semakin turun. Dikarenakan selain menurunkan konsentrasi larutan 20 dan 40 brix tidak berbeda
tingkat pencoklatan, blansing juga akan mematikan signifikan karena berada pada notasi yang sama
beberapa sel pada bahan/sampel, sehingga saat yaitu b. Antara perlakuan blansing 10 menit dengan
dikombinasikan dengan kegiatan dehidrasi osmosis konsentrasi larutan 0 brix terhadap blansing 10
penyerapan gula oleh bahan akan lebih cepat yang menit dengan konsentrasi larutan 40 brix berbeda
mengakibatkan warna bahan akan redup, dimana signifikan karena terdapat pada notasi yang berbeda
semakin tinggi brix larutan maka semakin rendah yaitu a, dan b.
nilai chroma yang diperoleh, namun demikian
perbedaanya tidak terlalu besar. Nilai chroma 4.6.3 Hue (h*)
tertinggi sebesar 54.12 pada perlakuan blansing 10 Perubahan nilai hue menujukan karakteristik
menit tanpa perendaman. Sedangkan nilai yang warna utama dari bahan. Grafik perubahan nilai hue
terendah sebesar 42.21 pada perlakuan blansing 10 dapat dilihat pada Gambar 14.
90
menit larutan 40 Brix. 80
Tabel 15. Hasil Uji Anova Nilai Chroma 70
60
Kuadra 50 B0L0
Jumlah F
h*

t 40
Df Kuarda Hitun Pr(>F) 30 B1L0
Tenga 20
t g B2L0
h 10
0
Blansing 2 5.66 2.83 0.186 8.32E-01 B0L0 B1L0 B2L0
Larutan 2 250 125 8.224 2.90E-03 ** Tanpa Larutan
Blansing * (a)
4 136.33 34.08 2.242 0.1049
Larutan
Sisa 18 273.58 15.2
12
90 terhadap nilai hue dari alpukat kering, dikarenakan
80
70 nilai signifikan kecil dari 0.05 yaitu 7.96×10-4.
60 Kombinasi perlakuan blansing dan perbedaan
50 B0L1
h* 40 variasi konsentrasi larutan osmosis tidak
30 B1L1
20 B2L1
berpengaruh terhadap niali hue dari alpukat kering
10 dengan signifikannya 0.07191 lebih besar
0
B0L1 B1L1 B2L1 dibandingkan 0.05
Larutan 20 Brix Tabel 18. Hasil Uji Tukey Nilai Hue
(b) Variasi Konsentrasi Larutan Osmosis
90 Blansing
80 L0 L1 L2
70
60 B0 82.8972 ab 82.9639 ab 82.2278 ab
50 B0L2
B1 ab ab a
h*

40 83.0056 82.4667 78.7667


30 B1L2
20 B2 85.2333 b 81.2444 ab 78.5806 a
B2L2
10 Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom
0
B0L2 B1L2 B2L2 menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan uji Tukey
Larutn 40 Brix dengan menggunakan R Statistik.
(c) Berdasarkan Tabel 18 dapat dilihat bahwa
pada perlakuan blansing 0 dan 5 menit dengan
Gambar 14. Grafik Nilai Hue (a, b, c) Berdasarkan konsentrasi larutan 0, 20, dan 40 Brix, kemudian
Variasi Konsentrasi Larutan blansing 10 menit dengan konsentrasi larutan 20
Gambar 14. grafik (a, b, c) berdasarkan dan 40 brix berada pada notasi yang sama yaitu a
perbedaan variasi konsentrasi nilai hue mengalami dengan arti tidak berbeda signifikan. Untuk
penurunan seiring bertambahnya konsentrasi perlakuan blansing 0 menit dengan konsentrasi
larutan. Kemudian untuk perlakuan waktu blansing, larutan 0, 20, dan 40 Brix, kemudian blansing 5 dan
perubahan nilai hue mengalami penurunan setiap 10 menit dengan konsentrasi larutan 0 dan 20 brix
waktunya seiring dengan semakin lamanya proses berada pada notasi b sehingga tidak berbeda
blansing pada ke 3 variasi konsnetrasi larutan. signifikan. Perlakuan blansing 10 menit pada
Rentang nilai yang diperoleh pada penelitian ini larutan 0 dan 40 brix berada pada notasi yang
adalah 78-85. Nilai rerata hue pada sampel berada berbeda yaitu a dan b, sehingga nilainya berbeda
pada kisaran 72-88 dimana hal tersebut menujukan signifikan.
bahwa sampel memiliki warna yello red (Abdila, 4.7 Kekerasan
2018). Kekerasan merupakan salah satu parameter
Tabel 17. Hasil Uji Anova Nilai Hue yang diuji untuk menilai mutu dari buah kering
Jumla Kuadr
h at
F alpukat. Grafik pengamatan dan data hasil
Df Hitun Pr(>F) pengamatan dapat dilihat pada Gambar 15 dan
Kuard Tenga
g
at h Lampiran 9.
2.92E- 0.8
Blansing 2 8.23 4.11 1.321 0.7
01
Kekerasan (N)

0.6
10.91 7.96E- 0.5
Larutan 2 67.98 33.99 ***
6 04 0.4
Blansing 0.3
4 32.22 6.06 2.587 0.07191 0.2
* Larutan 0.1
Sisa 18 56.05 3.11 0.0
B0L0 B1L0 B2L0
Berdasarkan Tabel 17. perlakuan blansing Tanpa Larutan

tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai hue dari (a)


alpukat kering, dikarenakan nilai signifikan yang
diperoleh 0.292 lebih besar dari 0.05 sehingga tidak
berbeda signifikan. Kemudian perlakuan perbedaan
variasi konsentrasi larutaran osmosis berpengaruh
13
0.8 Blansing 0.06 0.01
4 2.654 0.0669
0.7 * Larutan 273 568

Kekerasan (N)
0.6 0.10 0.00
0.5 Sisa 18
0.4 637 591
0.3 Berdasarkan hasil dari uji anova yang terlihat
0.2
0.1 pada Tabel 19. Diperoleh nilai signifikan untuk
0.0 perlakuan blansing 0.52 dimana lebih besar dari
B0L1 B1L1 B2L1
0.05 maka tidak berbeda signifikan sehingga H0
Larutan 20 Brix
diterima. Signifikan perlakuan variasi konsentrasi
(b)
0.8
larutan diperoleh nilai 0.00252 dimana lebih kecil
0.7 dibandingkan 0.05 maka nilai tersebut berbeda
Kekerasan (N)

0.6 signifikan sehingga H1 diterima. Kombinasi


0.5
0.4 perlakuan blansing dan variasi konsentrasi larutan
0.3 memperoleh signifikan sebesar 0.0669 dimana lebih
0.2
0.1 besar dari 0.05 maka nilai tersebut tidak berbeda
0.0 signifikan sehingga H0 diterima, dengan
B0L2 B1L2 B2L2
Larutan 40 Brix kesimpulan tidak ada pengaruh kombinasi blansing
(c) dan variasi konsentrasi terhadap kekerasan sampel.
Tabel 20. Hasil Uji Tukey Nilai Kekerasan Akhir
Gambar 15. Grafik Nilai Kekerasan Akhir (a, b, c)
Variasi Konsentrasi Larutan Osmosis
Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan Blansing
L0 L1 L2
Berdasarkan Gambar 15 (a, b, c) perbedaan
variasi konsentrasi larutan dehidrasi osmosis B0 0.65 b 0.39 a 0.52 ab
menghasilkan nilai yang berbeda setiap konsentrasi B1 0.43 ab 0.39 a 0.51 ab
larutanya, dimana perlakuan konsentrasi 20 Brix B2 0.47 ab 0.39 a 0.45 ab
menghasilkan nilai kekerasan lebih rendah Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom
dibandingkan dengan larutan 0 dan 40 Brix. menunjukkan tidak ada beda nyata berdasarkan uji Tukey
Perlakuan waktu blansing tidak terlihat perbedaan dengan menggunakan R Statistik.
nilainya pada konsentrasi larutan 20 Brix, 4.8 Uji Sensoris
sedangkan pada perlakuan konsentrasi 0 dan 40 a. Warna
Brix mengalami penurunan seiring bertambah Warna yang diinginkan adalah sesuai dengan
lamanya waktu blansing, namun nilai yang warna asli buah kuning cerah. Hasil penilaian
diperoleh tidak jauh berbeda. panelis terhadap warna dapat dilihat pada Gambar
Secara keseluruhan nilai kekerasan tertinggi 16.
5.0
pada perlakuan tanpa blansing dan tanpa larutan,
4.0
dengan tekstur keras hal ini dikarenakan sel dari
Skor Warna

3.0 B0L0
produk tidak terganggu oleh proses blansing 2.0 B1L0
maupun dehidrasi osmosis dengan nilai 0.65 N. 1.0
B2L0
Sedangkan untuk nilai kekerasan terendah pada 0.0
B0L0 B1L0 B2L0
perlakuan blansing 0,5 dan 10 menit pada larutan 20 Perlakuan
Brix dengan nilai 0.39 N, dengan tekstur kenyal. (a)
Tabel 19. Hasil Uji Anova Nilai Kekerasan 5.0
Akhir 4.0
Juml Kua
Skor Warna

3.0 B0L1
ah drat F 2.0
Df Pr(>F) B1L1
Kuar Teng Hitung 1.0
dat ah B2L1
0.0
0.00 0.00 5.27E- B0L1 B1L1 B2L1
Blansing 2 0.665
785 393 01 Perlakuan
0.10 0.05 2.52E- (b)
Larutan 2 8.497 ***
042 021 03
14
5.0 5.0

Skor Warna
4.0
3.0 4.0

Skor Aroma
B0L2
2.0
1.0 B1L2 3.0 B0L2
0.0
B0L2 B1L2 B2L2 B2L2 2.0 B1L2
Perlakuan 1.0 B2L2
0.0
(c)
B0L2 B1L2 B2L2
Gambar 16. Grafik Uji Sensoris Warna (a, b, Perlakuan
c) Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan (c)
Berdasarkan grafik perlakuan tanpa
blansing, tanpa larutan memperoleh skor 1.3 yang Gambar 17. Grafik Uji Sensoris Aroma (a, b, c)
artinya memiliki warna coklat, hal ini terjadi karena Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan
proses browning secara enzimatis pada bahan. Berdasarkan Gambar 17 perlakuan tanpa
Untuk perlakuan tanpa blasing dengan variasi blansing dan tanpa larutan (kontrol) merupakan
konsentrasi larutan 20 dan 40 Brix memperoleh perlakuan yang aromanya paling mendekati aroma
skor 2.8 dan 3.4 yang artinya memiliki warna asli dari buah.
kuning keorenan. Untuk perlakuan blansing 5 menit c. Rasa (Tingkat Kemanisan dan Kepahitan)
dan 10 menit pada larutan 20 Brix dan blansing 5 Parameter uji sensoris selanjutnya adalah
menit pada larutan 40 Brix mengahasilkan skor 3.7, rasa, dengan 2 parameter uji yaitu tingkat
4.2 dan 4.3 sehingga warna yang diperoleh adalah kemanisan dan tingkat kepahitan alpukat kering.
kuning cerah, hal ini dikarenakan lamanya Tingkat kepahitan diukur karena adanya kandungan
perlakuan blansing mengakibatkan terhambatnya tanin pada buah alpukat, yang mengkibatkan ciri
proses pencoklatan pada bahan secara enzimatis ( khas rasa pahit pada alpukat kering. Hasil penilaian
Pertiwi, 2017). panelis terhadap rasa alpukat kering dapat dilihat
b. Aroma pada Gambar 18 untuk tingkat kemanisan dan
Buah kering yang diinginkan pada penelitian Gambar 19 untuk tingkat kepahitan.
ini adalah aroma yang mendekati buah. Hasil 5.0
Skor Kemanisan

penilaian panelis terhadap aroma dapat dilihat pada 4.0


Gambar 17. 3.0 B0L0
5.0 2.0 B1L0
4.0 1.0
B2L0
0.0
Skor Aroma

3.0 B0L0
B0L0 B1L0 B2L0
2.0 B1L0 Perlakuan
1.0 B2L0
(a)
0.0 5.0
B0L0 B1L0 B2L0
Skor Kemanisan

Perlakuan 4.0
(a) 3.0 B0L1
5.0 2.0 B1L1
4.0 1.0 B2L1
Skor Aroma

3.0 B0L1 0.0


2.0 B0L1 B1L1 B2L1
B1L1 Perlakuan
1.0 B2L1
(b)
0.0
B0L1 B1L1 B2L1
Perlakuan
(b)

15
5.0 brix, blansing 5 menit pada perendaman konsentrasi
4.0 larutan 20 dan 40 brix.

Skor Kemanisan
3.0 B0L2 d. Tekstur
2.0
B1L2 Tekstur sampel manisan kering, akan
1.0 dipengaruhi oleh jumlah air/ kadar air akhir yang
B2L2
0.0 terkandung dalam bahan. Tektur yang diinginkan
B0L2 B1L2 B2L2 pada penelitian ini adalah tekstur yang kenyal. Hasil
Perlakuan penilaian panelis terhadap tekstur alpukat kering
(c) dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 18. Grafik Uji Sensoris Tingkat Kemanisan 5.0
(a,b,c) Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan 4.0

Skor Tekstur
5.0 3.0 B0L0
Skor Rasa Pahit

4.0 2.0 B1L0


3.0 B0L0 1.0
2.0 B2L0
B1L0 0.0
1.0 B0L0 B1L0 B2L0
0.0 B2L0 Perlakuan
B0L0 B1L0 B2L0 (a)
Perlakuan 5.0
(a) 4.0

Skor Tekstur
Skor Rasa Pahit

5.0 3.0 B0L1


4.0 2.0
B1L1
3.0 B0L1 1.0
0.0 B2L1
2.0 B1L1
1.0 B0L1 B1L1 B2L1
B2L1 Perlakuan
0.0
B0L1 B1L1 B2L1 (b)
Perlakuan 5.0
(b) 4.0
Skor Tekstur
Skor Rasa Pahit

5.0 3.0 B0L2


4.0 2.0 B1L2
3.0 B0L2 1.0
2.0 B2L2
B1L2 0.0
1.0 B0L2 B1L2 B2L2
0.0 B2L2 Perlakuan
B0L2 B1L2 B2L2
(c)
Perlakuan
Gambar 20. Grafik Uji Sensoris Tekstur
(c)
(a,b,c) Berdasarkan Ariasi Konsentrasi Larutan
Gambar 19. Grafik Uji Sensoris Tingkat Kepahitan
Tektur yang diinginkan pada penelitian ini
(a, b, c) Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan
adalah tekstur yang kenyal. Berdasarkan grafik pada
Tingkat kemanisan dan kepahitan dari sampel
gambar 20, perlakuan yang memperoleh skor
alpukat kering berbandingan terbalik. Tingkat
kenyal adalah blansing 5 menit dengan kombinasi
kemanisan tertinggi pada perlakuan dengan larutan
larutan 0, 20, 40 brix dengan nilai 3.5, 3.5, 3.6
40 Brix pada blansing 0, 20 dan 40 brix dengan skor
kemudian blansing 10 menit dengan kombinasi 0
3.7, 3.9 dan 3.7 yang artinya manis. Kemudian
dan 40 brix dengan nilai 3.7 dan 3.5. Sehingga skor
tingkat kemanisan terendah pada perlakuan kontrol.
tertinggi pada perlakuan blansing 10 menit tanpa
Tingkat kepahitan tertinggi pada perlakuan kontrol
larutan (0 brix
dan terendah pada perlakuan blansing 10 menit
dengan perendaman pada konsentrasi larutan 40
16
V. KESIMPULAN DAN SARAN variasi suhu, sehingga diharapkan hasilnya tidak
5.1 Kesimpulan pahit. Kedua penelitian selanjutnya dapat mengganti
osmotic agent atau larutan osmosisnya dengan
Berdasarkan hasil dari penelitian dan maltodekstrin, sirup jangung, madu dan lain
pembahasan mengenai pengaruh blansing dan sebagainya sehingga dapat dilihat pengaruhnya
dehidarsi osmosis terhadap mutu alpukat kering antar perbedaan larutan. Ketiga penulis menarankan
dapat disimpulkan bahwa: untuk penelitian selanjutnya juga dimasukan
1. Nilai kadar air akhir dari buah alpukat parameter umur simpan, agar mengetahui berapa
kering pada penelitian ini sebesar 23-24 %, lama buah kering tersebut dapat bertahan.
dimana nilai tersebut sudah memenuhi Keterangan :
syarat untuk mutu kadar air buah kering B0L0 : Tanpa Blansing, Tanpa Larutan
dengan maksimum kadar air 31 %, B0L1 : Tanpa Blansing, Larutan 20 Brix
berdasarkan SNI (01-3710-19995). B0L2 : Tanpa Blansing, Larutan 40 Brix
B1L0 : Blansing 5 Menit, Tanpa Larutan
Perlakuan perbedaan variasi konsentrasi
B1L1 : Blansing 5 Menit, Larutan 20 Brix
larutan dehidrasi osmosis memberikan B1L2 : Blansing 5 Menit, Larutan 40 Brix
pengaruh yang signifikan terhadap nilai B2L0 : Blansing 10 Menit, Tanpa Larutan
kadar air pada (selama dehidrasi osmosis B2L1 : Blansing 10 Menit, Larutan 20 Brix
dan selama pengeringan), laju pengeringan, B2L2 : Blansing 10 Menit, Larutan 40 Brix
perubahan nilai brix buah, perubahan nilai
brix larutan, perubahan nilai water loss, DAFTAR PUSTAKA
solid gain, warna, kekerasan dan uji Abdila, Wini Prayogi. 2018. Dehidrasi Osmosis dan
sensoris. Perlakuan perbedaan waktu Pengeringan pada Pengolahan Buah
blansing tidak memberikan pengaruh Nanas (Ananas Comosus) Kering Serta
terhadap parameter pengamatan. Perubahan Kualitas Fisik Produk
2. Konsetrasi larutan yang terbaik pada Selama Penyimpanan. [Skripsi]. Universitas
perlakuan ini adalah konsentasi 40 Brix. Gadjah Mada. Yogyakarta.
3. Perlakuan terbaik secara keseluruhan dari
kombinasi blansing dan dehidrasi osmosis Asgar, A dan D. Musaddad. 2008. Pengaruh Media,
terhadap mutu alpukat (Persea americana) Suhu, dan Lama Blansing Sebelum
kering terdapat pada perlakuan B2L2 Pengeringan terhadap Mutu Lobak Kering.
(Blansing 10 Menit dan perendaman dengan Jurnal Hortikultura. Vol.18, No.1: 87-94.
larutan 40 Brix).
4. Waktu pengeringan terbaik adalah 10 jam Ayustaningwarno, Fitriono. Teknologi Pangan.
pada perlakuan dengan variasi konsentrasi Graha Ilmu. Yogyakarta.
larutan 40 Brix.
5.2 Saran Balitbu Tropika. 2017. Alpukat Tongar, Alpukat
Saran yang dapat disampaikan sebagai Unggul dari Pasaman Barat. Balai
pertimbanagan dalam penelitian mengenai pengaruh Penelitian Tanaman Buah Tropika. Solok.
blansing dan dehidrasi osmosis terhadap mutu
alpukat kering antara lain. Pertama hasil yang Badan Pusat Statistik (BPS). 2019. Produksi
diperoleh dari alpukat kering pada penelitian ini Alpukat Menurut Kabupaten/Kota di
masih meninggalkan rasa pahit diakhir rasanya Provinsi Sumatera Barat, (Ton), 2010-2017.
walaupun sudah dilakukan perlakuan pendahuluan https://sumbar.bps.go.id/. (diakses 28
dengan direndam larutan garam dan asam sitrat, November 2020 pukul 19.45 WIB).
namun sudah sangat samar dibandingkan tanpa
perlakuan pendahuluan. Sehingga disarankan untuk Fatah, M. A. dan Y. Bachtiar. 2004. Membuat
menganti metode pengeringan dengan jenis lain Aneka Manisan Buah. Agro Media
seperti vacuum dryer ataupun freeze dryer dengan Pustaka. Jakarta.

17
Gabrielsen, M., Rahman, P.S.A., Othman, S., Material on the Process of Osmotic
Hashim, O.H., & Cogdell, R. J. (2014). Dehydration, Food Science and Technology.
Structures and binding specificity of Vol 91 : 588 – 594.
galactose- and mannose- binding lectins
from champedak: Differences from jackfruit Leksikowati, Santi Sovia. 2013. Perlakuan Kitosan
lectins. Acta Crystallographica Section F: dan Suhu Dingin Pada Buah Alpukat
Structural Biology Communications, Vol 7, (Persea Americana Mill.). [Skripsi].
No.6 : 709 -716 Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Unibersitas Sebelas
Hasibuan, Rosdaneli. 2005. Proses Pengeringan. Maret. Surakarta.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Magfiroh, Nafisatul. 2018. Dehidrasi Osmosis Dan
Hermawan, Rofi. 2015. Pengaruh Suhu dan Pengeringan Pada Pengolahan Buah
Konsentrasi Larutan Gula pada Proses Kelapa (Cocos Nucifera L.) Kering Dengan
Dehidrasi Osmosis Buah Pepaya (Carica Variasi Konsentrasi Larutan Gula Serta
papaya, L). [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Analisis Perubahan Kualitas Fisik Produk
Universitas Lampung. Selama Penyimpanan. [Skripsi]. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Imaizumi, Teppei., Oshima, Tatsuya. 2019. Effects
of blanching pretreatment on drying Mulyani, Sri. 2016. Mata Kuliah Pengendalian
characteristics of carrots with different Mutu. Universitas Udayana. Bali
shapes. Journal Food and Processing and
Preservation. Octyaningrum, Ayu. 2015. Karakteristik
Pengeringan Rimpang Jahe (Zingiber
Jannah M. 2011. Pengeringan Osmotik pada Irisan officinale Roxb) Menggunakan Pengeringan
Buah Mangga Arumanis (Mangifera indica Oven dengan Pra Proses Perendaman
L) dengan Pelapisan Kitosan [Skripsi]. Osmotik. [Skripsi]. Fakultas Teknologi
Institut Pertanian. Bogor Pertanian. Universitas Jember. Jember.

Kartika, Priska Nur dan Fithri Choirun Nisa. 2015. Purwoko, Octaviani Devi. 2009. Pengaruh
Studi Pembuatan Osmodehidrat Buah Ketebalan dan Konsentrasi Larutan Gula
Nanas (Ananas Comosus L. Merr): Kajian Selama Proses Dehidrasi Osmosis Terhadap
Konsentrasi Gula Dalam Larutan Osmosis Karakteristik Fisikokimia dan Sensoris
Dan Lama Perendaman. [Skripsi]. Manisan Jambu BIji [Skripsi]. Universitas
Universitas Brawijaya. Malang. Katolik Soegijapranata. Semarang.

Khan, Moazzam Rafiq. 2012. Osmotic Dehydration Sari, Nawang Ayu. Studi Eksprerimen Pembuatan
Technique for Fruits Preservation- A Manisan Kering Buah Paria dengan
Review. National Institute of Food Science Menggunakan Tingkat Kematangan Buah
and Technology. University of Agriculture. yang Berbeda [ Skripsi]. Universitas
Faisalabad. Negeri Semarang. Semarang.

Koeswardhani, M. M, et al. 2006. Pengantar Rastini, Endah Kusuma., Faidliyah Nilna Minah.,
Teknologi Pangan. Universitas Terbuka. Auwallina Puspita., Regina Berliana.
Jakarta. Pemanfaatan Sumber Omega - 9 Dari
Subtitusi Tepung Biji Alpukat
Lech K., Anna M., Aneta W., Nowicka P., dan (Persea Americana M.) dalam Pembuatan
Adam F.I., 2018, The Influence of Keripik Simulasi. Seminar
Physical Properties of Selected Plant Nasional Inovasi Dan Aplikasi Teknologi Di
18
Industri 2017. Institut Teknologi Nasional Dehidrasi Osmosis Pepaya ( Carica Papaya
Malang. Malang ). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sadwiyanti, Lukitariari et al. 2009. Budidaya Yunita, Mulya dan Rahmawati. 2015. Pengaruh
Alpukat. Badan Penelitian dan Lama Pengeringan Terhadap Mutu
Pengembangan Pertanian. Solok. Manisan Kering Buah Carica (Carica
candamarcensis). Jurnal Konversi. Vol.
Saputra, Andyka., Mursalim., dan Supratomo. 4. No. 2: 17-28 .
2018. Pengaruh Suhu Dan Konsentrasi
Larutan Gula Terhadap Proses Dehidrasi Zahoor, Insha dan Khan. 2017. Mass Transfer
Osmosis Buah Pisang Kepok Mengkal Kinetics of Osmotic Dehydration of
(Musa Paradisiaca Forma Typica). Jurnal Pineapple. Journal Of Processing and
Teknologi Pertanian.Vol.11. No. 2: 98-112. Tecnology. Vol 8. No. 2 : 2-5.

Standar Nasional Indonesia. 1995. Buah Kering. Zulharmita, Reni Afrina., dan Rina Wahyuni. 2013.
Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Ekstraksi Asam Lemak Dari Daging Buah
Alpukat (Persea Americana Mill.). Jurnal
Sulistyawati, Ita., Matthijs Dekkera., Vincenzo Farmasi Higea. Vol. 5. No.1: 91-98.
Foglianoa., dan Ruud Verkerka. 2018.
Osmotic dehydration of mango: Effect of
vacuum impregnation, high pressure,
pectin methylesterase and ripeness on
quality. Journal Food Science and
Technology. Vol. 98 (2018) : 179–186.

Sutar, N dan P.P Sutar. 2013. Developments in


osmotic dehydration of fruits and
vegetable-a review. Trends in Post Harvest
Technology. Vol 1. Issue 1. Pages 20-36.

Tantalu, Lorine, Sri Handayani, Rozana, Ferianus


Wunga 2020. Efek Variasi Suhu dan
Waktu Blanching pada Manisan Nangka
Kering (Artocapus herephyllus). Jurnal
Teknologi Pangan. Vol. 11. No. 1:27-33.

Tantono, Erwin., Raswen Effendi2., dan Farida


Hanum Hamzah. 2017. Variasi Rasio
Bahan Penstabil Cmc (Carboxy Methyl
Cellulose) dan Gum Arab Terhadap
Mutu Velva Alpukat (Parsea Americana
Mill.). Jurnal Faperta. Vol. 4. No. 2 : 1-15.

Tim Dosen Pengampu TPPHP. 2013. Pengolahan


Termal 1 Blansing Pasteurisasi dan
Sterisasi. Universitas Brawijaya. Malang
.
Wirawan, Sang Kompiang dan Natalia Anasta.
2013. Analisis Permeasi Air pada
19

Anda mungkin juga menyukai