ABSTRAK
Alpukat (Persea Americana) memiliki sifat yang mudah rusak dan umur simpan yang pendek.
Salah satu usaha untuk mengatasi hal tersebut yaitu melakukan pengembangan produk olahan
alpukat segar menjadi buah kering. Pengeringan dengan suhu tinggi dapat menimbulkan penyusutan
yang cukup tinggi pada kandungan nutrisi, kimiawi dan fisik bahan. Salah satu metode pra-
perlakuan yang dapat digunakan untuk mengurangi penyusutan tersebut adalah blansing dan
dehidrasi osmosis, kemudian dikeringkan dengan suhu yang rendah. Tujuan dari penelitian ini
adalah menganalisis pengaruh blansing dan variasi konsentrasi larutan osmosis terhadap mutu dari
alpukat kering. Variasi waktu blansing yang digunakan 0, 5, dan 10 menit pada suhu 90oC.
Sedangkan variasi konsentrasi larutan yang digunakan 0, 20, dan 40 Brix dengan suhu 40oC selama 4
jam. Pengeringan dilakukan pada suhu 40oC hingga mak KA 31%. Hasil penelitian menunjukan
perlakuan yang terbaik pada blansing 10 menit perendaman larutan 40 Brix. Blansing tidak
memberikan pengaruh terhadap masing-masing parameter pengamatan. Semakin tinggi konsentrasi
larutan maka semakin rendah kadar air, brix larutan, dan parameter rasa pahit. Sedangkan untuk
brix buah, nilai water loss, solid gain, dan rasa manis semakin tinggi seiring tingginya konsentrasi.
Untuk pengamatan warna perlakuan terbaiknya pada blansing 10 menit tanpa perendaman larutan
osmosis. Tingkat kekerasan terendah pada perendaman 20 Brix.
Kata Kunci : Alpukat, Blansing, Dehidrasi Osmosis, Pengeringan, Buah Kering
2
lingkungan dijaga pada 40 oC didasarkan pada 3.3.4 Blansing Buah
metode penelitian Zahoor dan Khan (2017) dan Buah yang telah melewati proses
Lombard, et al (2008). Selain itu, berdasarkan pemopotongan dan perendaman, selanjutnya
penelitian Nishanti (2006) bahwa brix buah tidak dilakukan blansing pada suhu 90oC merujuk pada
banyak berubah setelah perendaman 4 jam. penelitian (Nelvi, 2015) dalam (Tantono et al.,
Kemudian untuk pengeringan dilakukan penelitian 2017) pada pembuatan velva alpukat, dengan waktu
pendahuluan menggunakan incubator dengan suhu blansing selama 0, 5, dan 10 menit merujuk pada
pengeringan 40, 50, dan 60 oC. Hasil produk yang penelitian (Rastini et al., 2017) pada pembuatan
dikeringan dengan suhu 50 dan 60 oC memiliki keripik dari subsitusi tepung biji alpukat.
tektur yang keras dan terdapat kristal gula 3.3.5 Persiapan Larutan Osmosis
dipermukaan bahan, sedangkan tekstur yang Berdasarkan penelitian Kartika dan Nisa
diinginkan adalah kenyal, oleh karena itu suhu 40 (2015) untuk pembuatan larutan osmosis dengan
o
C dijadikan suhu untuk pengeringan. cara memasukan gula sedikit demi sedikit ke dalam
3.3.2 Persiapan Buah gelas breaker yang telah berisi 1 L aquades.
Kemudian konsentrasi variasi larutan gula diukur
Persiapan buah diawali dengan melakukan
sesuai dengan konsentrasi yang telah ditetapkan
pemilihan buah alpukat tongar yang masih segar,
pada perlakuan menggunakan refraktometer.
bersih dan indeks kematangannya 80-85 %
Dengan perbandingan gula dan air untuk 20 Brix
(mengkal) dengan ciri fisual antara lain, warna kulit
1:1.75, dan untuk 40 Brix 1: 1.25. kemudian untuk
buah tua tetapi belum menjadi coklat/merah dan
perbandingan sampel buah dan jumlah larutan 1 : 4
tidak mengkilap, apabila buah diketuk dengan
(w/w) baik larutan garam, asam sitrat dan larutan
punggung kuku maka menimbulkan bunyi yang
osmosis, hal ini mengacu kepada penelitian
nyaring, dan bila buah digoyang-goyang akan
Octyaningrum (2015) pada pengeringan rimpang
terdengar goncangan biji, kategori mengkal ini
jahe.
biasanya buah yang baru dipetik setelah berumur 6-
7 bulan dari saat bunga mekar (Sadwiyanti et al., 3.3.6 Dehidrasi Osmosis
2009) dan diusahakan dengan ukuran yang sama. Proses dehidrasi osmosis sendiri memiliki
Selain itu juga dilakukan pengukuran kadar air awal beberapa tahapan. Tahapan pertama memasukkan 1
dengan nilai 82.6-85.4 %. Alpukat yang telah L larutan osmosis kedalam gelas beaker. Tahapan
dipilih, dipotong membujur menjadi dua bagian, kedua memasukkan 50 potong sampel ke dalam
lalu dibuang biji dan dikupas kulitnya, kemudian larutan osmosis dimana 1 potong sampel ± 5 gram,
diiris dengan ketebalan 0.5 cm dengan massa 5 kemudian alumunium foil digunakan untuk menutup
gram, merujuk kepada penelitian Octyaningrum larutan, agar air tidak masuk kedalam gelas selama
(2015) pada jahe setelah jahe dikupas, jahe diiris proses berlangsung. Tahapan ketiga memasukan
menjadi bahagian yang tipis dengan tebal 0.5 cm, gelas beaker yang berisi larutan dan sampel ke
dan juga. Bentuk dari potongan alpukat dapat dalam sebuah water bath, yang suhunya
dilihat pada Gambar 3. dipertahankan pada suhu 40o C. Tahapan keempat
mengambil satu sampel, setiap interval 30 menit.
3.3.3 Perendaman dengan Larutan Garam dan
Kemudian menimbang dan mencatat sampel yang
Asam Sitrat
telah direndam (Sharma et al 2000) dalam (Saputra
Alpukat yang telah dipotong kemudian
et al., 2018).
dilakukan proses perlakuan pendahuluan dengan
Penelitian kali ini menggunakan variasi
cara direndam dengan larutan garam 2 % selama 1
konsentrasi larutan 20 dan 40 oBrix dan satu
jam, dan dilanjutkan dengan perendaman dengan
perlakuan tanpa larutan hal dikarenakan belum ada
asam sitrat 0.5 % selama 10 menit. Larutan garam 2
penelitian yang serupa dalam mengolah alpukat
% dibuat dengan cara melarutkan 20 g garam dapur
kering sehingga diusahakan interval variasi larutan
dalam 1 liter air, dan untuk larutan 0.5 % asam sitrat
yang sama, agar dapat dibandingan dengan baik
dengan cara melarutkan 5 g asam sitrat dalam 1 liter
dan diperoleh perlakuan yang terbaik dengan
air.
selang pengamatan per 30 menit selama 4 jam.
3
3.3.7 Pengeringan Buah WLt = …………….. (5)
Pengeringan dilakukan setelah dehidrasi Keterangan :
osmosis pada suhu 40 oC hingga kadar air bahan WLt : water loss pada waktu ke-t (%)
maksimum 31 % sesuai dengan SNI yang berlaku, M0 : kadar air sampel pada waktu t=0 (%b.b)
Mt : kadar air sampel pada waktu ke-t (%b.b)
dengan pengamatan terhadap perubahan massa dan W0 : bobot sampel alpukat pada waktu t=0 (g)
kadar air, yang diamati setiap interval 30 menit 5 Wt : bobot sampel alpukat pada waktu ke-t (g)
jam pertama dan 60 menit 5 jam berikutnya 3.4.5 Jumlah Padatan Terlarut yang Diperoleh
(Abdilah, 2018). Bahan (Solid Gain, SG)
3.4 Parameter Pengamatan Jumlah padatan terlarut yang masuk ke
Parameter pengamatan yang diuji meliputi dalam sampel (solid gain, SG) selama proses
sebagai berikut : dehidrasi osmosis, dapat dengan menggunakan
persamaan berikut (Hermawan, 2015):
3.4.1 Kadar Air ( ) ( )
SGt = ……..(6)
Pengukuran kadar air yang terkandung Keterangan :
dalam bahan dapat dihitung dengan persamaan SGt : solid gain pada waktu ke-t (%)
berikut: W0 : bobot sampel alpukat pada waktu t=0 (g)
M = ….………(1) Wt : bobot sampel alpukat pada waktu ke-t (g)
M0 : kadar air awal sampel pada waktu t=0 (%bb)
M = …………(2) Mt : kadar air sampel pada waktu ke-t (%bb)
Keterangan : 3.4.6 Warna
M =kadar air basis kering (%) Pengamatan warna pada alpukat kering
Wt = Massa Total (g) dilakukan pada akhir proses pengeringan.
Wm = Massa Air dalam Bahan(g) Spectrocolorimeter adalah alat yang digunakan
Wd = Massa Kering Mutlak (g) dalam pengukuran warna.
a = Massa Cawan (g)
b = Massa Cawan + Massa Sampel (g)
3.4.7 Kekerasan
c = Massa Cawan + Massa Sampel Kering (g) Pengamatan kekerasan pada buah alpukat
M = Kadar Air (%)
dilakukan menggunakan alat force gauge. Pengujian
dilakukan pada 3 titik yaitu pada bagian ujung,
3.4.2 Laju Pengeringan tengah, dan pangkal kemudian nilai dari ketiga titik
Laju pengeringan dapat dihitung bagian tersebut dijumlah dan dirata-ratakan.
menggunakan persamaan (3) dan (4) (Suharjo, 2007 3.4.8 Uji Sensosris
dalam Sepriani 2020): Uji sensoris pada penelitian ini
Wa =Ba˗Bb................................(3) menggunakan skala hedonik. Uji sensoris dilakukan
Wdot =Wa/t..................................(4) untuk mengetahui tingkat kesukaan atau
Keterangan: penerimaan panelis terhadap produk manisan
Wa = Berat air yang diuapkan (kg)
Ba = Berat awal (kg) kering. Panelis terdiri dari 25 orang mahasiswa,
Bb = Berat akhir (kg) setiap panelis diberikan format penilaian untuk
Wdot = Laju pengeringan (kg/jam) dimintai tanggapanya terhadap sampel yang
T = Lama pengeringan (jam) disajikan (Tendean, 2016). Parameter yang diuji
3.4.3 Brix Buah dan Brix Larutan yaitu warna, rasa (tingkat kemanisan dan
Pengukuran Brix buah dan larutan diukur kepahitan), aroma dan tekstur sebagai rangking
dengan menggunakan refraktometer. Setiap untuk menentukan produk terbaik.
pengamatan diukur sebanyak tiga kali ulangan.
3.4.4 Jumlah Air yang Keluar dari Bahan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
(Water Loss, WL) 4.1 Kadar Air
Pengukuran terhadap WL (water loss) dapat Kadar air yang diamati pada penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut adalah perubahan kadar air selama dehidrasi
(Magdalena, et al., 2014) : osmosis dan selama pengeringan.
4
4.1.1 Perubahan Kadar Air Selama Jumla Kuadra
Dehidrasi Osmosis h t F
Df Pr(>F)
Kuard Tenga Hitung
Kadar air merupakan banyaknya air yang at h
terkadung di dalam bahan yang dinyatakan dalam 2.07E-
Blansing 2 150 75 1.592
persen. Grafik kadar air selama dehidrasi osmosis 01
dapat dilihat pada Gambar 5. Larutan 1 4750 4750 100.89 <2E-16***
Blansing
100 2 62 31 0.653 0.522
* Larutan
80
Kadar Air (%)
5
100 jam hingga memperoleh kadar air 23,2941 %, untuk
80 B0L0 perlakuan tanpa perendaman larutan dehidrasi
Kadar Air (%)
3.60 B0L0
60
Jumlah Air yang Menguap
B2L2 1.80
10
0 1.50
1.20
0
60
120
180
240
300
360
420
480
540
600
660
720
780
840
0.90
Menit Ke- 0.60
0.30
(c) 0.00
30
60
90
120
150
180
210
240
270
300
360
420
480
540
600
660
720
780
840
Gambar 6. Grafik Perubahan Kadar Air
Waktu (menit)
Selama Proses Pengeringan, (a, b, c) Berdasarkan
(a)
Variasi Konsentrasi Larutan 3.90
Berdasarkan grafik pada Gambar 6 kadar air B0L1
Jumlah Air yang Menguap
3.60
3.30 B1L1
bahan secara keseluruhan akan menurun tiap 3.00 B2L1
2.70
waktunya. Grafik (a, b, c) menunjukan, perbedaan 2.40
(g/jam)
2.10
konsentrasi larutan mempengaruhi nilai kadar air, 1.80
1.50
dimana semakin tinggi konsentrasi larutan maka 1.20
0.90
semakin singkat waktu untuk mengeringkan 0.60
bahan/sampel. Dikarenakan semakin banyak 0.30
0.00
300
600
120
150
180
210
240
270
360
420
480
540
660
720
30
60
90
3.00 B1L2
2.70
2.40
kadar air, hal ini dikarenakan setiap perlakuanya 2.10
B2L2
1.80
memperoleh nilai penurunan yang relatif sama,
(g/jam)
1.50
1.20
karena menghasilkan garis grafik yang saling 0.90
0.60
berdekatan pada konsentrasi larutan yang sama. 0.30
0.00
Sampel dengan perlakuan tanpa blansing dan tanpa
30
60
90
120
150
180
210
240
270
300
360
420
480
540
600
6
larutan yang diberikan maka semakin tinggi pula
brix buah yang diperoleh. Sedangkan perbedaan
Gambar 7. Grafik Laju Pengeringan, (a, b, c)
waktu blansing nilai satu dan lainya tidak begitu
Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan
besar perbedaanya, karena tiap perlakuan waktu
Hasil yang diperoleh dari grafik laju
tersebut saling berdekatan garis grafik yang
pengeringan sama halnya dengan penurunan kadar
diperoleh pada larutan 20, dan 40 Brix.
air selama pengeringan pada Gambar 7 grafik
Perlakuan terbaik untuk brix buah adalah
(a,b,c) perbedaan perlakuan konsentrasi larutan
perlakuan blansing selama 10 menit dengan
berpengaruh terhadap laju pengeringan. Dimana
perendaman pada larutan 40 Brix dengan nilai brix
semakin besar konsentasi larutan maka semakin
buah 33.8 Brix, dikarenakan pada larutan ini,
cepat waktu pengeringanya.
kandungan air diluar bahan lebih sedikit
Laju pengeringan berfkuktuatif tiap
dibandingkan dengan larutan gula 20 Brix, sehingga
waktunya dengan kecendrungan menurun, ini
air di dalam bahan lebih banyak keluar, dan padatan
dikarenakan fase penyesuaian suhu pada bahan, dari
gula lebih banyak masuk ke dalam bahan
suhu ruangan hingga mencapai suhu di dalam udara
Tabel 5. Hasil Uji Anova Brix Buah Selama
pengering yang berlangsung secara transient
Dehidrasi Osmosis
(Widyasanti et al., 2018). Grafik laju pengeringan
Jumla Kuadr
selain memiliki data yang berfluktuatif, juga h at F
memiliki bentuk yang landai. Df Pr(>F)
Kuard Tenga Hitung
4.2 Perubahan Brix Buah Selama Proses at h
Dehidrasi Osmosis Blansing 2 67 34 0.917 4.02E-01
Grafik perubahan brix buah selama proses Larutan 1 3838 3838 104.424 < 2E-16 ***
dehidrasi osmosis akan disajikan pada Gambar 8. Blansing *
2 12 6 0.167 0.846
35 B0L1 Larutan
30 B1L1 Sisa 156 5733 37
25
Brix Buah
B2L1
20 Berdasarkan hasil analisis anova Tabel 5
15 menunjukan, perbedaan waktu blansing tidak
10
5 berpengaruh terhadap brix buah sampel alpukat
0 selama proses dehidrasi osmosis dengan nilai
0 30 60 90 120 150 180 210 240
signifikan 0.402 lebih besar dari 0.05 (tidak berbeda
Menit Ke-
signifikan) maka H0 diterima. Selanjutnya
(b) perbedaan variasi konsentrasi larutan dehidrasi
35 osmosis memiliki pengaruh terhadap brix buah dari
30 sampel alpukat dengan signifikan < 2 × 10-16 lebih
25
Brix Buah
B0L2
kecil dibandingkan 0.05 (berbeda signifikan)
20
15 B1L2
dengan kata lain H1 diterima. Untuk kombinasi
10 perbedaan waktu blansing dan variasi konsentrasi
B2L2
5 larutan tidak ada berpengaruh terhadap brix buah
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 sampel alpukat dengan signifikan 0.846 besar dari
Menit Ke- 0.05 ( tidak berbeda signifikan) sehingga H0
(b) diterima.
Gambar 8. Grafik Perubahan Brix Buah selama Tabel 6. Hasil Uji Tukey Brix Buah Selama
Proses Dehidrasi Osmosis (a, b) Berdasarkan Dehidrasi Osmosis
Variasi Konsentrasi Larutan Variasi Konsentrasi Larutan
Blansing
Brix buah secara keseluruhan mengalami L1 L2
peningkatan tiap waktunya. Gambar 8. (a, b) B0 13.7 a 23.6 b
menunjukan bahwa perbedaan variasi konsentrasi B1 12.7 a 23.0 b
larutan mempengaruhi peningkatan brix buah tiap B2 14.9 a 23.9 b
waktunya. Dimana semakin tinggi konsentrasi brix
7
pada larutan 20, dan 40 Brix nilainya berdekatan
Antara larutan 20 Brix dan 40 Brix berada tiap waktunya, sehingga perlakuan tersebut tidak
pada notasi yang berbeda sehingga nilai rata-rata terlihat berpengaruh terhadap nilai Brix larutan.
keduanya berbeda signifikan/nyata. Penurunan nilai brix untuk konsentrasi
4.3 Perubahan Brix Larutan Selama Proses larutan 20 Brix sekitar 3 Brix dan untuk konsentrasi
Dehidrasi Osmosis 40 Brix sekitar 5 Brix, dengan penurunan tertinggi
Grafik perubahan dari Brix larutan selama proses 36.1 Brix pada perlakuan blansing 0 dengan larutan
dehidrasi osmosis dapat dilihat pada Gambar 9. 40 Brix.
45
B0L1
Tabel 7. Hasil Uji Anova Brix Larutan
40
Brix Larutan
35 B1L1
Selama Dehidrasi Osmosis
30 B2L1 Jumlah Kuadrat F
25 Df
20
Kuardat Tengah Hitung Pr(>F)
15 2.05E-
10 Blansing 2 4 2 1.601
0 30 60 90 120 150 180 210 240
01
<2E-
Menit Ke- Larutan 1 14302 14302 11729.1 ***
16
(a) Blansing
45
* 2 3 1 1.026 0.361
40 Larutan
Brix Larutan
40 B1L1 8.34E-
30 Blansing 2 46 23 0.182
B2L1 01
20 110.4
Larutan 1 14135 14135 <2E-16 ***
10
26
Blansing *
0 2 304 152 1.186 0.308
Larutan
0 30 60 90 120 150 180 210 240
Sisa 156 19969 128
Menit Ke-
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
(a) Berdasarkan hasil dari uji anova terlihat
50
45 pada Tabel 9, tidak ada pengaruh perlakuan
Waterl Loss (%)
40
35 perbedaan waktu blansing terhadap nilai WL selama
30
25
B0L2 proses dehidrasi osmosis. Signifikan dari perlakuan
20 B1L2 blansing adalah 0.834 besar dari 0.05 (tidak berbeda
15
10
5
B2L2 signifikan) oleh karena itu H0 diterima. Kemudian
0 untuk pengaruh variasi konsentrasi larutan terhadap
0 30 60 90 120 150 180 210 240
nilai WL memperoleh signifikan < 2 × 10-16 yang
Menit Ke-
kecil dari 0.05 sehingga pengaruhnya signifikan
(b)
dengan H1 diterima. Kombinasi perlakuan blansing
Gambar 10. Grafik Perubahan Water Loss Selama dan variasi konsentrasi larutan tidak berbeda
Proses Dehidrasi Osmosis (a, b) Berdasarkan signifikan dengan nilai 0.324, dengan artian besar
Variasi Konsentrasi Larutan dari pada 0.05 sehingga H0 diterima.
Berdasarkan Gambar 10 grafik (a, b) nilai Tabel 10. Hasil Uji Tukey Persentase WL
WL pada perbedaan variasi konsentrasi larutan Selama Dehidrasi Osmosis
memiliki nilai yang sangat berbeda, dimana Variasi Konsentrasi Larutan
Blansing
perlakuan dengan larutan 40 Brix menghasilkan WL L1 L2
lebih besar dibandingakan pada larutan 20 Brix. Hal B0 12.3425 a 34.2357 b
tersebut sesuai dengan pernyataan Abdila (2018) B1 16.2747 a 31.4747 b
nilai WL terus meningkat seiring bertambahnya B2 15.1226 a 34.0756 b
waktu perendaman dan tingginya konsentrasi Antara konsentrasi larutan 20 dan 40 Brix
larutan. Untuk perbedaan perlakuan waktu blansing berada pada notasi yang berbeda sehingga nilai rata-
pada larutan 20, dan 40 Brix berada pada nilai yang rata tersebut berbeda signifikan. Perlakuan terbaik
berdekatan, sehingga terlihat tidak berpengaruh yang diperoleh dari perbandingan nilai WL ini
terhadap nilai WL. adalah pada perlakuan tanpa blansing dengan
Penurunan WL tertinggi sebesar 48.1502 % konsentrasi larutan perendaman 40 Brix dengan
pada perlakuan tanpa blansing dengan konsentrasi rata-rata nilai 48.1052 %.
larutan perendaman 40 Brix. Sedangkan penurunan
WL terendah pada perlakuan tanpa blansing dengan 4.5 Perubahan Solid Gain (SG) Selama Proses
konsentrasi larutan perendaman 20 Brix dengan Dehidrasi Osmosis
nilai 18.9388 %. Hal ini dikarenakan kehilangan air Nilai solid gain (SG) menunjukkan
dari jaringan sampel dipengaruhi oleh beberapa banyaknya jumlah padatan terlarut/Brix yang masuk
faktor lainya diantaranya suhu, karakteristik sampel, ke dalam sampel. Sehingga antara WL dan SG
perlakuan awal terhadap sampel, ukuran dan bentuk memiliki hubungan yang erat, dimana apabila nilai
9
WL tinggi, maka SGnya pun akan tinggi. Gambar 6.40E-
Blansing 2 12.5 6.2 0.447
11 menujukan grafik perubahan nilai SG selama 01
2.16E-
proses dehidrasi osmosis. Larutan 1 726.9 726.9 52.107
11
***
16 B0L1
Blansing *
14 B1L1 2 45.2 22.6 1.618 0.202
Solid Gain (%)
12 Larutan
B2L1
10 2176.
8 Sisa 156 14
3
6
4 Berdasarkan hasil dari uji anova yang terlihat
2 pada Tabel 11 tidak ada pengaruh perbedaan waktu
0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 blansing terhadap nilai SG selama proses dehidrasi
Menit Ke- osmosis, dengan nilai signifikan 0.640 lebih besar
(a) dibandingkan 0.05 sehingga H0 diterima. Kemudian
16 untuk pengaruh variasi konsentrasi larutan terhadap
14
nilai SG memperoleh signifikan 2.16 × 10-11 yang
Solid Gain (%)
12
10
B0L2
kecil dari 0.05 sehingga berbeda signifikan H1
8
6 B1L2
diterima. Kombinasi perlakuan blansing dan variasi
4 konsentrasi larutan tidak berbeda signifikan dengan
2 B2L2
0 nilai 0.202 besar dari pada 0.05 sehingga H0
0 30 60 90 120 150 180 210 240 diterima sehingga tidak berpengaruh terhadap nilai
Menit Ke- dari SG sendiri.
(b) Tabel 12. Hasil Uji Tukey Persentase SG
Gambar 11. Grafik Perubahan Solid Gain Selama Setelah Dehidrasi Osmosis
Proses Dehidrasi Osmosis (a, b) Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan
Blansing
Variasi Konsentrasi Larutan L1 L2
Perubahan nilai SG cendrung mengalami B0 4.1419 a 9.8731 b
peningkatan tiap waktunya hingga akhir proses B1 5.6926 a 9.1785 b
dehidrasi osmosis. Gambar 11 (a, b) perbedaan B2 5.9330 a 9.4260 b
variasi konsentrasi larutan menghasilkan nilai SG
yang berbeda. Dimana semakin tinggi konsentrasi Antara konsentrasi larutan 20 Brix dan 40
larutan maka semakin tinggi nilai SG yang Brix berada dalam notasi yang berbeda sehingga
diperoleh. Kemudian untuk perlakuan waktu nilai rata-rata tersebut berbeda signifikan. Hal ini
blansing menunjukan nilai yang relatif berdekatan dikerenakan konsentarsi larutan yang berbeda
terhadap kenaikan SG saat proses perendaman pada menghasilkan nilai rata-rata yang berbeda, yang
larutan 20 Brix maupun 40 Brix, hal ini sama dapat dilihat pada Tabel 12.
dengan hasil dari parameter-parameter sebelumnya 4.6 Warna
seperti WL, Brix buah dan larutan.
Persentase SG setelah proses dehidrasi 4.6.1 Lightness (L*)
osmosis selama 4 jam perendaman pada 20 Brix dan Nilai lightness setelah proses pengeringan
40 Brix berturut- turut sekitar 6-8 % dan 12-14 %. dapat dilihat pada Gambar 12.
70
Dengan nilai SG tertinggi pada perlakuan blansing 60
10 menit dan perendaman dengan konsentrasi 40 50
Brix yaitu 14.5605 %. Untuk melihat pengaruh 40 B0L0
L*
30
antar perlakuan maka dilakukan uji anova. 20
B1L0
Tabel 11. Hasil Uji Anova Nilai SG Selama 10 B2L0
Dehidrasi Osmosis 0
Jumla Kuadr B0L0 B1L0 B2L0
Tanpa Larutan
h at F
Df Pr(>F)
Kuard Tenga Hitung (a)
at h
10
70 B2 63.0333 c 50.0694 ab 47.9139 a
60
50
Berdasarkan hasil uji tukey pada Tabel 14
40 B0L1 pada blansing 0 menit perbedaan masing-masing
L* 30 B1L1 konsentrasi larutan tidak berbeda signifikan karena
20
10 B2L1 berada pada notasi yang sama yaitu b. Blansing 5
0 menit antara perlakuan tanpa larutan dengan larutan
B0L1 B1L1 B2L1 20 dan 40 brix berbeda signifikan dengan notasi c
Larutan 20 Brix
dan b. Sedangkan pada blansing 10 menit antara
(b) perlakuan tanpa blansing dengan larutan 20 dan 40
70 brix berbeda signifikan dengan notasi c dan a.
60
50 Untuk kombinasi perlakuan blansing 0 menit
40 B0L2 dengan tanpa larutan, blansing 0, 5 dan 10 menit
L*
diperoleh. B1L0
20
Nilai lightness terbesar adalah 63.03 pada 10 B2L0
perlakuan kombinasi blansing 10 menit dengan 0
tanpa perendaman larutan dehidrasi osmosis, B0L0 B1L0 B2L0
Tanpa Larutan
sedangkan nilai lightness terendah pada perlakuan
kombinasi blansing 10 menit dengan perendaman (a)
60
larutan 40 Brix memperoleh nilai sebesar 47.91. Hal
50
tersebut memiliki arti kombinasi blansing 10 menit, 40
tanpa perendaman dengan larutan adalah perlakuan 30
B0L1
c*
t 40
Df Kuarda Hitun Pr(>F) 30 B1L0
Tenga 20
t g B2L0
h 10
0
Blansing 2 5.66 2.83 0.186 8.32E-01 B0L0 B1L0 B2L0
Larutan 2 250 125 8.224 2.90E-03 ** Tanpa Larutan
Blansing * (a)
4 136.33 34.08 2.242 0.1049
Larutan
Sisa 18 273.58 15.2
12
90 terhadap nilai hue dari alpukat kering, dikarenakan
80
70 nilai signifikan kecil dari 0.05 yaitu 7.96×10-4.
60 Kombinasi perlakuan blansing dan perbedaan
50 B0L1
h* 40 variasi konsentrasi larutan osmosis tidak
30 B1L1
20 B2L1
berpengaruh terhadap niali hue dari alpukat kering
10 dengan signifikannya 0.07191 lebih besar
0
B0L1 B1L1 B2L1 dibandingkan 0.05
Larutan 20 Brix Tabel 18. Hasil Uji Tukey Nilai Hue
(b) Variasi Konsentrasi Larutan Osmosis
90 Blansing
80 L0 L1 L2
70
60 B0 82.8972 ab 82.9639 ab 82.2278 ab
50 B0L2
B1 ab ab a
h*
0.6
10.91 7.96E- 0.5
Larutan 2 67.98 33.99 ***
6 04 0.4
Blansing 0.3
4 32.22 6.06 2.587 0.07191 0.2
* Larutan 0.1
Sisa 18 56.05 3.11 0.0
B0L0 B1L0 B2L0
Berdasarkan Tabel 17. perlakuan blansing Tanpa Larutan
Kekerasan (N)
0.6 0.10 0.00
0.5 Sisa 18
0.4 637 591
0.3 Berdasarkan hasil dari uji anova yang terlihat
0.2
0.1 pada Tabel 19. Diperoleh nilai signifikan untuk
0.0 perlakuan blansing 0.52 dimana lebih besar dari
B0L1 B1L1 B2L1
0.05 maka tidak berbeda signifikan sehingga H0
Larutan 20 Brix
diterima. Signifikan perlakuan variasi konsentrasi
(b)
0.8
larutan diperoleh nilai 0.00252 dimana lebih kecil
0.7 dibandingkan 0.05 maka nilai tersebut berbeda
Kekerasan (N)
3.0 B0L0
produk tidak terganggu oleh proses blansing 2.0 B1L0
maupun dehidrasi osmosis dengan nilai 0.65 N. 1.0
B2L0
Sedangkan untuk nilai kekerasan terendah pada 0.0
B0L0 B1L0 B2L0
perlakuan blansing 0,5 dan 10 menit pada larutan 20 Perlakuan
Brix dengan nilai 0.39 N, dengan tekstur kenyal. (a)
Tabel 19. Hasil Uji Anova Nilai Kekerasan 5.0
Akhir 4.0
Juml Kua
Skor Warna
3.0 B0L1
ah drat F 2.0
Df Pr(>F) B1L1
Kuar Teng Hitung 1.0
dat ah B2L1
0.0
0.00 0.00 5.27E- B0L1 B1L1 B2L1
Blansing 2 0.665
785 393 01 Perlakuan
0.10 0.05 2.52E- (b)
Larutan 2 8.497 ***
042 021 03
14
5.0 5.0
Skor Warna
4.0
3.0 4.0
Skor Aroma
B0L2
2.0
1.0 B1L2 3.0 B0L2
0.0
B0L2 B1L2 B2L2 B2L2 2.0 B1L2
Perlakuan 1.0 B2L2
0.0
(c)
B0L2 B1L2 B2L2
Gambar 16. Grafik Uji Sensoris Warna (a, b, Perlakuan
c) Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan (c)
Berdasarkan grafik perlakuan tanpa
blansing, tanpa larutan memperoleh skor 1.3 yang Gambar 17. Grafik Uji Sensoris Aroma (a, b, c)
artinya memiliki warna coklat, hal ini terjadi karena Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan
proses browning secara enzimatis pada bahan. Berdasarkan Gambar 17 perlakuan tanpa
Untuk perlakuan tanpa blasing dengan variasi blansing dan tanpa larutan (kontrol) merupakan
konsentrasi larutan 20 dan 40 Brix memperoleh perlakuan yang aromanya paling mendekati aroma
skor 2.8 dan 3.4 yang artinya memiliki warna asli dari buah.
kuning keorenan. Untuk perlakuan blansing 5 menit c. Rasa (Tingkat Kemanisan dan Kepahitan)
dan 10 menit pada larutan 20 Brix dan blansing 5 Parameter uji sensoris selanjutnya adalah
menit pada larutan 40 Brix mengahasilkan skor 3.7, rasa, dengan 2 parameter uji yaitu tingkat
4.2 dan 4.3 sehingga warna yang diperoleh adalah kemanisan dan tingkat kepahitan alpukat kering.
kuning cerah, hal ini dikarenakan lamanya Tingkat kepahitan diukur karena adanya kandungan
perlakuan blansing mengakibatkan terhambatnya tanin pada buah alpukat, yang mengkibatkan ciri
proses pencoklatan pada bahan secara enzimatis ( khas rasa pahit pada alpukat kering. Hasil penilaian
Pertiwi, 2017). panelis terhadap rasa alpukat kering dapat dilihat
b. Aroma pada Gambar 18 untuk tingkat kemanisan dan
Buah kering yang diinginkan pada penelitian Gambar 19 untuk tingkat kepahitan.
ini adalah aroma yang mendekati buah. Hasil 5.0
Skor Kemanisan
3.0 B0L0
B0L0 B1L0 B2L0
2.0 B1L0 Perlakuan
1.0 B2L0
(a)
0.0 5.0
B0L0 B1L0 B2L0
Skor Kemanisan
Perlakuan 4.0
(a) 3.0 B0L1
5.0 2.0 B1L1
4.0 1.0 B2L1
Skor Aroma
15
5.0 brix, blansing 5 menit pada perendaman konsentrasi
4.0 larutan 20 dan 40 brix.
Skor Kemanisan
3.0 B0L2 d. Tekstur
2.0
B1L2 Tekstur sampel manisan kering, akan
1.0 dipengaruhi oleh jumlah air/ kadar air akhir yang
B2L2
0.0 terkandung dalam bahan. Tektur yang diinginkan
B0L2 B1L2 B2L2 pada penelitian ini adalah tekstur yang kenyal. Hasil
Perlakuan penilaian panelis terhadap tekstur alpukat kering
(c) dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 18. Grafik Uji Sensoris Tingkat Kemanisan 5.0
(a,b,c) Berdasarkan Variasi Konsentrasi Larutan 4.0
Skor Tekstur
5.0 3.0 B0L0
Skor Rasa Pahit
Skor Tekstur
Skor Rasa Pahit
17
Gabrielsen, M., Rahman, P.S.A., Othman, S., Material on the Process of Osmotic
Hashim, O.H., & Cogdell, R. J. (2014). Dehydration, Food Science and Technology.
Structures and binding specificity of Vol 91 : 588 – 594.
galactose- and mannose- binding lectins
from champedak: Differences from jackfruit Leksikowati, Santi Sovia. 2013. Perlakuan Kitosan
lectins. Acta Crystallographica Section F: dan Suhu Dingin Pada Buah Alpukat
Structural Biology Communications, Vol 7, (Persea Americana Mill.). [Skripsi].
No.6 : 709 -716 Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Unibersitas Sebelas
Hasibuan, Rosdaneli. 2005. Proses Pengeringan. Maret. Surakarta.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Magfiroh, Nafisatul. 2018. Dehidrasi Osmosis Dan
Hermawan, Rofi. 2015. Pengaruh Suhu dan Pengeringan Pada Pengolahan Buah
Konsentrasi Larutan Gula pada Proses Kelapa (Cocos Nucifera L.) Kering Dengan
Dehidrasi Osmosis Buah Pepaya (Carica Variasi Konsentrasi Larutan Gula Serta
papaya, L). [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Analisis Perubahan Kualitas Fisik Produk
Universitas Lampung. Selama Penyimpanan. [Skripsi]. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Imaizumi, Teppei., Oshima, Tatsuya. 2019. Effects
of blanching pretreatment on drying Mulyani, Sri. 2016. Mata Kuliah Pengendalian
characteristics of carrots with different Mutu. Universitas Udayana. Bali
shapes. Journal Food and Processing and
Preservation. Octyaningrum, Ayu. 2015. Karakteristik
Pengeringan Rimpang Jahe (Zingiber
Jannah M. 2011. Pengeringan Osmotik pada Irisan officinale Roxb) Menggunakan Pengeringan
Buah Mangga Arumanis (Mangifera indica Oven dengan Pra Proses Perendaman
L) dengan Pelapisan Kitosan [Skripsi]. Osmotik. [Skripsi]. Fakultas Teknologi
Institut Pertanian. Bogor Pertanian. Universitas Jember. Jember.
Kartika, Priska Nur dan Fithri Choirun Nisa. 2015. Purwoko, Octaviani Devi. 2009. Pengaruh
Studi Pembuatan Osmodehidrat Buah Ketebalan dan Konsentrasi Larutan Gula
Nanas (Ananas Comosus L. Merr): Kajian Selama Proses Dehidrasi Osmosis Terhadap
Konsentrasi Gula Dalam Larutan Osmosis Karakteristik Fisikokimia dan Sensoris
Dan Lama Perendaman. [Skripsi]. Manisan Jambu BIji [Skripsi]. Universitas
Universitas Brawijaya. Malang. Katolik Soegijapranata. Semarang.
Khan, Moazzam Rafiq. 2012. Osmotic Dehydration Sari, Nawang Ayu. Studi Eksprerimen Pembuatan
Technique for Fruits Preservation- A Manisan Kering Buah Paria dengan
Review. National Institute of Food Science Menggunakan Tingkat Kematangan Buah
and Technology. University of Agriculture. yang Berbeda [ Skripsi]. Universitas
Faisalabad. Negeri Semarang. Semarang.
Koeswardhani, M. M, et al. 2006. Pengantar Rastini, Endah Kusuma., Faidliyah Nilna Minah.,
Teknologi Pangan. Universitas Terbuka. Auwallina Puspita., Regina Berliana.
Jakarta. Pemanfaatan Sumber Omega - 9 Dari
Subtitusi Tepung Biji Alpukat
Lech K., Anna M., Aneta W., Nowicka P., dan (Persea Americana M.) dalam Pembuatan
Adam F.I., 2018, The Influence of Keripik Simulasi. Seminar
Physical Properties of Selected Plant Nasional Inovasi Dan Aplikasi Teknologi Di
18
Industri 2017. Institut Teknologi Nasional Dehidrasi Osmosis Pepaya ( Carica Papaya
Malang. Malang ). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sadwiyanti, Lukitariari et al. 2009. Budidaya Yunita, Mulya dan Rahmawati. 2015. Pengaruh
Alpukat. Badan Penelitian dan Lama Pengeringan Terhadap Mutu
Pengembangan Pertanian. Solok. Manisan Kering Buah Carica (Carica
candamarcensis). Jurnal Konversi. Vol.
Saputra, Andyka., Mursalim., dan Supratomo. 4. No. 2: 17-28 .
2018. Pengaruh Suhu Dan Konsentrasi
Larutan Gula Terhadap Proses Dehidrasi Zahoor, Insha dan Khan. 2017. Mass Transfer
Osmosis Buah Pisang Kepok Mengkal Kinetics of Osmotic Dehydration of
(Musa Paradisiaca Forma Typica). Jurnal Pineapple. Journal Of Processing and
Teknologi Pertanian.Vol.11. No. 2: 98-112. Tecnology. Vol 8. No. 2 : 2-5.
Standar Nasional Indonesia. 1995. Buah Kering. Zulharmita, Reni Afrina., dan Rina Wahyuni. 2013.
Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Ekstraksi Asam Lemak Dari Daging Buah
Alpukat (Persea Americana Mill.). Jurnal
Sulistyawati, Ita., Matthijs Dekkera., Vincenzo Farmasi Higea. Vol. 5. No.1: 91-98.
Foglianoa., dan Ruud Verkerka. 2018.
Osmotic dehydration of mango: Effect of
vacuum impregnation, high pressure,
pectin methylesterase and ripeness on
quality. Journal Food Science and
Technology. Vol. 98 (2018) : 179–186.