Anda di halaman 1dari 217

ANALISIS PERUBAHAN STATUS NEUROLOGIS DAN TANDA VITAL

PASIEN STROKE FASE AKUT YANG MENDAPAT TERAPI


MANITOL DI RUMAH SAKIT KOTA MEDAN

TESIS

Oleh:

ROFINA SARI JEFRIANDA


157046008 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


ANALYSIS OF CHANGES IN NEUROLOGICAL AND VITAL STATUS
OF ACUTE PHASE STROKE PATIENTS WHO GET MANITOL
THERAPY IN THE HOSPITAL OF MEDAN CITY

THESIS

By :

ROFINA SARI JEFRIANDA


157046008 / MEDICAL SURGICAL NURSING

MASTER OF NURSING SCIENCE STUDY PROGRAM


FACULTY OF NURSING
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


ANALISIS PERUBAHAN STATUS NEUROLOGIS DAN TANDA VITAL
PASIEN STROKE FASE AKUT YANG MENDAPAT TERAPI
MANITOL DI RUMAH SAKIT KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep)
dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah
pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara

Oleh

ROFINA SARI JEFRIANDA


157046008 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah diuji
Pada Tanggal : 15 Januari 2020

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. dr. Ridha Dharmajaya, Sp. BS (K)

Anggota : Rosina Tarigan, S.Kp. M.Kep, Sp. KMB

Dr. dr. Kiking Ritarwan, Sp. S (K), MKT

Ikhsanuddin A. Harahap, S.Kp, MNS

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Judul Tesis : Analisis Perubahan Status Neurologis dan
Tanda Vital Pasien Stroke Akut yang Mendapat
Terapi Manitol di Rumah Sakit Kota Medan
Nama Mahasiswa : Rofina Sari Jefrianda
Nomor Induk Mahasiswa : 157046008
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2020

ANALISIS PERUBAHAN STATUS NEUROLOGIS DAN TANDA VITAL


PASIEN STROKE AKUT YANG MENDAPAT TERAPI MANITOL DI
RUMAH SAKIT KOTA MEDAN

ABSTRAK

Stroke hemoragik merupakan suatu kondisi ketika pembuluh darah di dalam otak
pecah sehingga menyebabkan perdarahan di dalam jaringan otak atau di sekitar
permukaan otak. Edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial merupakan
komplikasi stroke yang serius dan merupakan tantangan besar pada unit
perawatan intensif stroke yang berpengaruh terhadap mortalitas dan morbiditas
pada fase akut. Salah satu terapi yang telah digunakan beberapa dekade untuk
menghilangkan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial adalah
Manitol. Tujuan penelitian menganalisis perubahan status neurologis dan tanda
vital pasien stroke fase akut yang mendapat terapi manitol di Rumah Sakit Kota
Medan. Penelitian ini adalah penelitian kohort deskriptif. Jumlah sampel 34
responden dengan teknik purposive sampling. Analisa data yang digunakan
analisa univariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perbaikan status
neurologis yaitu tingkat kesadaran (GCS) dan saraf kranial kecuali otot wajah
(saraf kranial VII) yang sampai dengan hari ketiga belum menunjukkan perbaikan.
Perbaikan tingkat kesadaran pasien terjadi setelah >24 jam mendapat terapi
manitol, sedangkan saraf kranial mengalami perbaikan pada 24 jam mendapat
terapi manitol. Tanda-tanda vital juga mengalami perbaikan pada pasien stroke
akut yang mendapat terapi manitol. Perbaikan tanda-tanda tanda vital terjadi
setelah >24 jam mendapat terapi manitol walaupun tekanan darah pasien sampai
pada hari ketiga masih ada yang mengalami hipertensi. Perbaikan pada status
neurologis dan tanda vital pasien setelah mendapat terapi manitol menandakan
hilangnya edema serebral, perbaikan pada aliran darah serebral (CBF) dan tekanan
perfusi otak (CPP) serta perbaikan sel saraf yang rusak.

Kata kunci: Stroke Hemoragik, Fase akut, Edema Serebral, Manitol.

i
Universitas Sumatera Utara
ii
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan
judul “Analisis Perubahan Status Neurologis dan Tanda-tanda Vital Pasien
Stroke Akut yang mendapat Terapi Mannitol di Rumah Sakit Kota Medan
Tahun 2018”. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan dapat
diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, saya
ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Dekan Fakultas Keperawatan
USU.
2. Ibu Dewi Elizadiani Suza, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU.
3. Bapak Dr. dr. Ridha Dharmajaya., Sp. BS selaku dosen pembimbing I
yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.
4. Ibu Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp. KMB selaku dosen pembimbing II
yang tidak henti-hentinya memberikan pengarahan, bimbingan dan
motivasi kepada penulis.
5. Papa, mama, suami dan keluarga penulis yang telah banyak memberikan
dukungan materil dan moril dalam penyelesaian proposal ini.
6. Rekan-rekan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan V 2015/2016 dan
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dan memberi dorongan untuk menyelesaikan proposal ini.
Penulis menyadari tesis ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh
pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan keberkahan untuk kita
semua. Amiin….

Medan, Januari 2020


Penulis

Rofina Sari Jefrianda

iii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL DALAM ii
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GRAFIK x
DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 9


Anatomi & Fisiologi 9
Stroke 22
Peningkatan Tekanan Intrakranial 59
Terapi Hiperosmolar 64
Peran Perawat dalam Terapi Hiperosmolar 68
Manajemen keperawatan stroke akut 68
Status neurologis 69
Tanda-tanda vital 72
Kerangka Konsep 74

BAB 3 METODE PENELITIAN 75


Jenis Penelitian 75
Lokasi dan Waktu Penelitian 75
Populasi dan Sampel 75
Metode Pengumpulan Data 77
Variabel dan Defenisi Operasional 87
Metode Pengukuran 89
Metode Analisa Data 93
Pertimbangan Etik 94

BAB 4 HASIL PENELITIAN 97


Hasil Analisa Univariat 97
Hasil Analisa Bivariat 112

iv
Universitas Sumatera Utara
BAB 5 PEMBAHASAN 125
Karakteristik Responden 125
Status Neurologis 134
Tanda vital 156

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 171


Kesimpulan 171
Saran 172

DAFTAR PUSTAKA 173

LAMPIRAN

v
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Patofisiologi perubahan respon saraf dan vaskular 19


2 Refleks termoregulasi 34
3 Peranan susunan saraf pada kontrol pernafasan 38
4 Mekanisme peningkatan tekanan intrakranial 63
5 Kerangka konsep 74

vi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Saraf Kranial ............................................................................................ 15


2 Cabang arteri karotis besar ....................................................................... 16
3 Cabang arteri vertebral besar ................................................................... 17
4 Tanda dan gejala kerusakan otak berdasarkan pembuluh darah otak
yang terlibat.............................................................................................. 56
5 Pemeriksaan saraf kranial ........................................................................ 72
6 Instrumen karakteristik responden ........................................................... 42
7 Instrumen pemeriksaan kesadaran (Glasgow coma scale) ...................... 80
8 Instrumen saraf kranial ............................................................................ 83
9 Instrumen tanda-tanda vital ...................................................................... 85
10 Variabel dan Defenisi Operasional ....................................................... 87
11 Analisis univariat ................................................................................... 99
12 Analisis bivariat ..................................................................................... 112

vii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran
Lampiran 1 Instrumen penelitian
Lampiran 2 Data master hasil penelitian
Lampiran 3 Hasil SPSS

viii
Universitas Sumatera Utara
BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cerebrovascular accident (CVA) atau stroke adalah kehilangan fungsi otak

yang terjadi secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan pasokan darah ke

suatu bagian pada otak (Brunner & Suddarth, 2010).

Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada usia

puncak produktif yang menjadi ancaman terbesar menimbulkan kecacatan dalam

kehidupan manusia dan menempati urutan kedua penyebab kematian sesudah

penyakit jantung pada sebagian besar negara di dunia (Misbach, 2010).

Pada tahun 2012, sekitar 10% dari semua kematian di seluruh dunia dan

sekitar 4% kecacatan dari semua usia disebabkan oleh stroke. American Heart

Association melaporkan satu orang terkena stroke setiap 40 detik dan satu orang

meninggal setiap 4 menit di Amerika dengan prevalensi sebanyak 2,8% yang

diperkirakan akan meningkat sebanyak 21,9% di tahun 2030 (Go et al., 2013).

Di kawasan Asia Tenggara terdapat sekitar 13 juta korban stroke baru setiap

tahun, dimana sekitar 4,4 juta diantaranya meninggal dalam 12 bulan (WHO,

2010). Pada tahun 2020 diperkirakan 7,6 juta orang akan meninggal dikarenakan

penyakit stroke (Misbach, 2010).

Prevalensi stroke di Indonesia mengalami peningkatan sejak tahun 2007

(3,8%) hingga tahun 2013 (12,1%). Secara absolut jumlah penduduk Indonesia

yang menderita stroke adalah 12,1% x 252.124.458 jiwa= 3.050.949 jiwa.

Provinsi yang mempunyai kecenderungan prevalensi stroke yang paling tinggi

1
Universitas Sumatera Utara
2

adalah Sulawesi Selatan, jika dibandingkan provinsi lain yaitu sebesar (17,9%),

dan provinsi Riau merupakan yang terendah (5,2%). Di provinsi Sumatera Utara

tahun 2013, perkiraan penderita stroke umur ≥15 tahun adalah sebanyak 151.080

orang (Kemenkes RI, 2014).

Berdasarkan survey data pasien yang dirawat inap di bagian neurologi FK

USU/RSUP Adam Malik Medan dari Januari sampai Desember 2013, didapatkan

data jumlah pasien stroke sebanyak 419 orang (59%) dari 715 orang pasien yang

dirawat inap. Ini menunjukkan kejadian stroke di RSUP. Adam Malik Medan

cukup tinggi. Proporsi untuk stroke iskemik sebanyak 353 orang (84%) dan stroke

hemoragik sebanyak 66 orang (12%) (Subramaniam, 2014).

Selain mengakibatkan jumlah kematian yang tinggi, tingkat kecacatan akibat

stroke mencapai 65% dan menjadi penyebab kelumpuhan fisik ketiga di dunia

dengan peningkatan sebanyak 19% (Murray, Vos, Lozano & Naghavi, 2012).

Stroke mengakibatkan penderitaan pada penderitanya. Lamanya perawatan,

lambatnya penyembuhan dan adanya gejala sisa neurologi yang menetap,

keseluruhannya akan mengakibatkan penurunan produktivitas.

Batticaca (2008) mengungkapkan bahwa 10% dari pasien pasca stroke

mengalami kelemahan fisik yang membutuhkan perawatan dari tenaga ahli.

Disabilitas fisik berkaitan dengan penginderaan, sulit tidur, kejang, mengompol,

kesulitan mengontrol gerakan tubuh/kelumpuhan (paralysis), kesulitan menelan

(dysphagia), tidak mampu menggerakkan sebagian tubuh (hemiparesis), nyeri,

dan kelelahan kronis (Klit, Finnerup, Overvad, Andersen & Jensen, 2011).

Universitas Sumatera Utara


3

Secara finansial, stroke termasuk penyakit yang sangat membebani pasien.

Rata-rata uang yang dikeluarkan oleh pasien adalah 7.657 dollar Amerika atau

sekitar 90 juta rupiah. Diestimasikan pada rentang tahun 2005 hingga 2050, total

dana yang akan dikeluarkan untuk penanganan stroke akan mencapai 1,52 triliun

dolar Amerika untuk ras kulit putih non-hispanik, 313 miliar dolar Amerika untuk

ras hispanik, dan 379 dollar Amerika untuk ras kulit hitam (Roger et al., 2011).

Selain beban ekonomi, disabilitas pasca stroke juga mengakibatkan

keterbatasan dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan menjadi beban

bagi pasien dan keluarga pasien. Pasien stroke cenderung akan menarik diri dari

kehidupan sosial karena keterbatasan fisik yang dideritanya.

Stroke terdiri dari serangkaian proses yang dimulai dari pecahnya pembuluh

darah otak yang menyebabkan keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang

cairan serebrospinal disekitar otak atau kombinasi keduanya. Pada awal serangan

stroke dalam beberapa menit sampai beberapa jam terjadi edema sitotoksik

kemudian berkembang menjadi edema vasogenik akibat perpindahan cairan

intravaskuler ke dalam ruang interstisial (Witherspoon & Ashby, 2017).

Edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial merupakan komplikasi

serius dari stroke dan merupakan tantangan besar pada unit perawatan intensif

stroke yang berpengaruh terhadap mortalitas dan morbiditas. Tingginya angka

mortalitas pada pasien stroke akibat edema serebral dan peningkatan tekanan

intrakranial berkaitan dengan kompresi bagian-bagian otak yang mengatur fungsi-

fungsi vital tubuh seperti pusat pernafasan, pusat kesadaran, pusat suhu tubuh, dan

Universitas Sumatera Utara


4

pengaturan tekanan darah, serta efek akhir edema serebral dan peningkatan

tekanan intrakranial yang tidak terkontrol yaitu herniasi serebral.

Onset kematian dalam tujuh hari pada pasien stroke adalah 31% (Hadi,

2013). Angka kematian stroke hemoragik sebesar 27-52% dan mayoritas

meninggal segera setelah onset perdarahan, selain itu juga dapat menyebabkan

kecacatan. Kematian pasien stroke hemoragik pada minggu pertama sebanyak 11

(55%) kematian dan 18 (90%) dalam dua minggu setelah dirawat di rumah sakit

dari jumlah dua puluh orang yang meninggal di rumah sakit Bahrain Royal

Medical di kerajaan Bahrain (Almutawa, Shahda, & Albalooshi, 2012).

Banyak faktor yang menyebabkan kematian pada pasien stroke fase akut.

Berdasarkan penelitian dan teori yang ditemukan, disebutkan bahwa beberapa

penyebab kematian pada pasien stroke adalah edema serebral (perihematoma

edema berkembang sesaat setelah pendarahan intraserebal terjadi, dan memuncak

pada beberapa hari kemudian), emboli paru, pneumonia aspirasi/infeksi, kelainan

jantung, hidrosefalus dan deep vein thrombosis (Batubara & Iqbal, 2011).

Berdasarkan penelitian Batubara & Iqbal (2011), penyebab tertinggi

mortalitas pada pasien stroke fase akut di RSUP Adam Malik Medan adalah

edema serebral sebanyak 61,4%, pneumonia aspirasi dan/atau infeksi 22,7%,

embolisme paru 6,8%, kelainan jantung 9% (cardiac arrest 6,8%, shock

hipovolemic 1,1% dan cronic heart failure 1,1%).

Salah satu terapi yang digunakan pada pasien dengan stroke hemoragik

adalah Osmotherapy (terapi hiperosmolar) dengan menggunakan agen osmotik

Universitas Sumatera Utara


5

manitol. Manitol merupakan agen diuretik osmotik yang telah digunakan beberapa

dekade untuk menurunkan tekanan intrakranial akibat edema sererbal.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengungkap efektifitas

pemberian manitol untuk penanganan tekanan intrakranial akibat edema serebral.

Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Vicenzini, Ricciardi, Zuco,

Sirimarco, Di Piero & Lenzi, (2011) mengungkapkan bahwa pemberian mannitol

dapat mengubah hemodinamik serebral pada pasien dengan perdarahan

intrakranial, sehingga efek ini dapat mengurangi edema pada daerah lesi. Adanya

perubahan hemodinamik serebral yaitu peningkatan kecepatan aliran darah

merupakan tanda adanya perbaikan perfusi serebral akibat pengurangan edema

serebral perilesional setelah pemberian manitol.

Hasil penelitian ini didukung laporan penelitian yang dipublikasikan oleh

Asghari et al., (2013), yang menyimpulkan bahwa nilai GCS meningkat secara

perlahan setelah pemberian manitol. Peningkatan terjadi pada waktu 48 jam,

walaupun peningkatan level kesadaran tidak signifikan namun level edema

serebral menurun secara signifikan pada pasien dengan perdarahan intraserebral.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmah (2012) juga menyatakan bahwa

terjadi peningkatan nilai GCS setelah 10 menit pemberian terapi manitol.

Terapi obat tidak dapat dilihat secara terpisah dari pasien, penyakit pasien

atau aspek perawatan lainnya. Pemberian obat-obatan dalam perawatan kesehatan

pasien adalah sebuah proses yang dinamis, interdisipliner dan kompleks yang

melibatkan beberapa kompetensi profesional, pengetahuan teoritis, pemikiran

Universitas Sumatera Utara


6

kritis serta partisipasi pasien yang komprehensif untuk menjamin keselamatan

pasien (Wulff, Cummings, Marck & Yurtseven, 2011).

Perawat memegang peran penting dalam proses pengobatan pasien. Peran

perawat dalam pemberian terapi obat adalah dengan menjalankan proses

keperawatan yang terdiri dari pengkajian, perencanaan, implementasi, dan

evaluasi/monitoring (Dilles, Elsevier, Rompaey, Bortel, Lucas, Stichele & Robert,

2011).

Monitoring merupakan salah satu elemen kunci perawat dalam pengobatan

pada 72 jam pertama stroke akut (Middleton, Grimley & Alexandrov, 2015).

Salah satu aspek yang perlu dilakukan monitoring adalah status neurologis dan

tanda-tanda vital. Status neurologis dan tanda-tanda vital harus diamati dan dicatat

secara akurat untuk memantau tanda-tanda kerusakan, stabilitas, dan perbaikan

neurologis.

Rumusan Masalah

Dengan adanya perbaikan hemodinamik serebral yang ditandai dengan

peningkatan aliran darah serebral serta penurunan daerah hypoperfusi otak

(perbaikan perfusi serebral akibat pengurangan edema serebral perilesional)

setelah pemberian manitol, penulis tertarik untuk mengetahui perubahan status

neurologis dan tanda-tanda vital pada pasien stroke fase akut yang mendapat

terapi manitol di RSUP. H. Adam Malik Medan dan rumah sakit Pirngadi

Medan?.

Universitas Sumatera Utara


7

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Mengetahui perubahan status neurologis dan tanda-tanda vital pada pasien

stroke akut setelah mendapat terapi Manitol di RSUP. H. Adam Malik Medan dan

rumah sakit Pirngadi Medan?

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui perubahan status neurologis pasien stroke akut, yaitu sebagai

berikut:

1. perubahan tingkat kesadaran pada pasien stroke akut yang mendapat terapi

manitol

2. perubahan ukuran pupil pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol

3. perubahan reaktivitas pupil terhadap cahaya pada pasien stroke akut yang

mendapat terapi manitol

4. perubahan refleks kornea pada pasien stroke akut yang mendapat terapi

manitol

5. perubahan otot wajah pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol

Untuk mengetahui perubahan tanda-tanda vital pada pasien stroke akut, yaitu

sebagai berikut:

6. perubahan tekanan darah pada pasien stroke akut yang mendapat terapi

manitol

7. perubahan suhu tubuh pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol

8. perubahan denyut nadi pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol

Universitas Sumatera Utara


8

9. perubahan frekuensi pernafasan pada pasien stroke akut yang mendapat terapi

manitol

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pendidikan,

rumah sakit dan peneliti.

Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan

yang bermanfaat bagi keilmuan keperawatan medikal bedah khususnya

keperawatan neurologi tentang perubahan status neurologis dan tanda-tanda vital

pada pasien stroke akut setelah mendapat terapi manitol. Serta menjadi tambahan

data dan informasi dalam melakukan penelitian selanjutnya.

Rumah sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat:

1. memberikan informasi bagi unit pelayanan stroke corner khususnya perawat

mengenai perubahan status neurologis dan tanda-tanda vital pada pasien

stroke akut setelah mendapat terapi manitol

2. menjadi salah satu acuan untuk menurunkan angka mortalitas dan

morbiditas pada pasien stroke akut.

Peneliti

Memberikan pengetahuan tambahan bagi peneliti tentang perubahan status

neurologis dan tanda-tanda vital pada pasien stroke fase akut yang mendapat

terapi manitol, serta pengalaman melakukan penelitian di RSUP. H. Adam Malik

Medan dan rumah sakit Pirngadi Medan.

Universitas Sumatera Utara


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Otak

Otak manusia kira-kira 2% dari berat badan orang dewasa. Otak menerima

sekitar 20% curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh dan

sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling

banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari

proses metabolisme oksidasi glukosa. Metabolisme otak merupakan proses tetap

dan kontinu tanpa ada fase istirahat (Price & Wilson, 2006).

Aktivitas otak yang tak pernah berhenti ini berkaitan dengan fungsinya yang

kritis sebagai pusat integrasi, koordinasi organ-organ sensorik, sistem efektor

perifer tubuh, fungsinya sebagai pengatur informasi yang masuk dan impuls yang

keluar serta tingkah laku (Price & Wilson, 2006).

Otak terdiri dari banyak bagian yang berfungsi untuk menggabungkan

seluruh tubuh. Bagian utama otak adalah medulla, pons, otak tengah (batang

otak), serebelum, hipothalamus dan thalamus serta otak besar (serebrum)

(Williams & Hopper, 2007).

Medulla

Medula berada tepat di atas sumsum tulang belakang dan meluas ke atas

Pons. Medulla mengatur fungsi tubuh yang paling vital, yaitu sebagaipusat

jantung yang mengatur detak jantung, pusat pernafasan yang mengatur

Universitas Sumatera Utara


10

pernapasan, dan pusat vasomotor yang mengatur diameter pembuluh darah, serta

pusat refleks batuk, bersin, menelan, dan muntah (Williams & Hopper, 2007).

Pada permukaan anterior terdapat dua pembesaran (piramid) yang terutama

mengandung serabut-serabut motorik voluntar. Di bagian posterior medulla

oblongata terdapat pula dua pembesaran yang merupakan fasikuli dari jaras

asendens kolumna dorsalis, yaitu fasikulus grasilis dan fasikulus kuneatus. Jaras-

jaras ini menghantarkan tekanan propriosepsi otot-otot sadar, sensasi getar, dan

diskriminasi taktil dua titik. Medulla oblongata mengandung nukleus-nukleus

empat saraf kranial terakhir (Nervus IX sampai XII) (Price & Wilson, 2006).

Pons

Pons berada di depan serebelum,berupa jembatan serabut-serabut yang

menghubungkan kedua hemisfer hemisferium serebri, serta menghubungkan

mesensefalon (otak tengah) di sebelah atas dengan medulla oblongata di bawah.

Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras

kortikoserebralis yang menyatukan hemisferium serebri dan serebeli. Bagian

bawah pons berperan dalam pengaturan pernafasan. Di dalam pons terdapat dua

pusat pernapasan yang bekerja dengan medula untuk menghasilkan irama

pernapasan normal. Beberapa nukleus saraf kranial juga berada pada pons, yaitu

nukleus saraf kranial V (trigeminus), VI (abdusen), VII (fasialis), VIII

(vestibulokoklearis dan auditorius) (Price & Wilson, 2006).

Otak tengah

Otak tengah merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya

diatas pons. Bagian ini terdiri dari (1) bagian posterior, yaitu tektum yang terdiri

Universitas Sumatera Utara


11

dari kolikulus superior dan kolikulus inferior, dan (2) bagian anterior, yaitu

pedunkulus serebri. Kolikulus superior berperan dalam refleks penglihatan dan

koordinasi gerakan penglihatan, sedangkan kolikulus inferior berperan dalam

refleks pendengaran, misalnya menggerakkan ke arah datangnya suara (Price &

Wilson, 2006) dan refleks penyearah yang membuat kepala tegak lurus dan

berkontribusi untuk keseimbangan tubuh (Williams & Hopper, 2007). Pedunkulus

serebri (atau basis pedunkuli) terdiri dari berkas serabut-serabut motorik yang

berjalan turun dari serebrum. Dua saraf kranialis yang berasal dari otak tengah

adalah nervus okulomotorius (III) dan troklearis (IV) (Price & Wilson, 2006).

Serebelum

Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh

durameter yang menyerupai atas tenda, yaitu tentorium yang memisahkannya dari

bagian posterior serebrum. Serebelum terdiri dari bagian tengah (vermis) dan dua

hemisfer lateral. Serebelum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas

serabut yang dinamakan pedunkulus, yaitu: (1) pedunkulus serebeli superior

berhubungan dengan mesensefalon, (2) pedunkulus serebeli media

menghubungkan kedua hemisfer otak dan (3) pedunkulus serebeli inferior berisi

serabut-serabut traktus spinoserebelaris dorsalis dan berhubungan dengan medulla

oblongata. Semua aktivitas serebelum berada di bawah kesadaran. Fungsi

utamanya adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus

gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk

mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh (Price & Wilson, 2006).

Universitas Sumatera Utara


12

Talamus

Talamus terdiri dari dua struktur ovoid besar, masing-masing mempunyai

kompleks nukleus yang saling berhubungan dengan korteks serebri ipsilateral,

serebelum, dan dengan berbagai komplek nuklear subkortikal seperti yang ada

dalam hipotalamus, formasio retikularis batang otak, ganglia basalis, dan mungkin

substansia nigra. Talamus merupakan stasiun penghubung yang penting dalam

otak dan juga merupakan pengintegrasi subkortikal yang penting. Semua jaras

sensorik utama (kecuali sistem olfaktorius) membentuk sinaps dengan nukleus

talamus dalam perjalanannya menuju korteks serebri. Selain fungsinya sebagai

pusat sensorik primitif, talamus juga berperan penting dalam integrasi ekspresi

motorik oleh karena hubungan fungsinya terhadap pusat motorik utama dalam

korteks motorik serebri, serebelum dan ganglia basalis (Price & Wilson, 2006).

Hipothalamus

Hipotalamus terletak di atas kelenjar pituitari dan di bawah talamus.

Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan sistem susunan saraf

autonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah laku dan emosi. Dengan

demikian hipotalamus juga berperan penting dalam pengaturan hormon-hormon.

Fungsi-fungsi hipotalamus diantaranya adalah pengaturan cairan tubuh dan

komposisi elektrolit, suhu tubuh, fungsi endokrin dari tingkah laku seksual dan

reproduksi normal, ekspresi ketenangan atau kemarahan, serta lapar dan haus

(Price & Wilson, 2006).

Universitas Sumatera Utara


13

Serebrum

Serebrum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol. Disini

terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik,

juga mengatur proses penalaran, ingatan, dan intelegensia (Price & Wilson, 2006).

Bagian luar hemisferium serebri terdiri dari substansia grisea yang disebut

sebagai korteks serebri, terletak di atas substansia alba yang merupakan bagian

dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla (Price & Wilson, 2006),

bagian dalam materi abu-abu adalah materi putih, akson myelinated yang

menghubungkan bagian-bagian korteks serebral satu sama lain dan serebrum ke

bagian otak yang lain (Williams & Hopper, 2007).

Hemisfere kanan dan kiri terhubung oleh corpus callosum. Pusat aktivitas

sensorik dan motorik pada masing-masing hemisfer dirangkap dua, dan biasanya

berkaitan dengan bagian tubuh yang berlawanan. Hemisferium serebri kanan

mengatur bagian tubuh sebelah kiri dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh

sebelah kanan. Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontralateral (Price &

Wilson, 2006).

Korteks serebri

Korteks serebral dibagi menjadi lobus, yang fungsinya telah digambarkan

secara luas. Lobus frontal berisi area motor yang menghasilkan impuls yang akan

membawa pergerakan volunter. Setiap area motor mengendalikan gerakan pada

sisi yang berlawanan dengan tubuh. Masih di lobus frontal, biasanya hanya pada

lobus kiri merupakan daerah bahasa Broca, yang mengendalikan gerakan dalam

berbicara. Lobus parietal mengandung daerah sensorik umum untuk indra

Universitas Sumatera Utara


14

kutaneous dan proprioception. Pada area inilah sensasi ini dirasakan dan

ditafsirkan (Price & Wilson, 2006).

Lobus temporal merupakan daerah sensorik untuk pendengaran dan

penciuman (bau). Pada lobus temporal dan parietal, biasanya hanya pada sisi kiri

merupakan area bicara yang terlibat dalam pemikiran yang mengawali ucapan.

Lobus oksipital merupakan area visual yang menerima impuls dari retina mata.

Persepsi dan interpretasi penglihatan terjadi disini (Price & Wilson, 2006).

Pada semua lobus korteks serebral adalah area gabungan yang

memungkinkan kita untuk belajar, mengingat, dan berpikir serta membantu

membentuk kepribadian individual. Jauh di dalam materi putih hemisfere serebral

terdapat massa materi abu-abu yang disebut ganglia basal. Fungsi ganglia basal

berkaitan dengan aspek bawah sadar tertentu dari gerakan involunter, pengaturan

tonus otot, penghambat tremor, dan penggunaan gerakan aksesoris seperti ayunan

lengan saat berjalan (Williams & Hopper, 2007).

Saraf kranial

Saraf Kranial, merupakan saraf yang secara letak berada di dekat otak dan

terbagi menjadi 12 pasang saraf. Ke 12 saraf tersebut melewati tulang kranium

sehingga saraf-saraf ini lazim disebut saraf kranial. Nama dari saraf-saraf tersebut

berasal dari urutan letak saraf kranial mulai dari atas ke bawah. Fungsi utama dari

saraf-saraf ini adalah mengatur segala fungsi organ-organ yang berada di daerah

kepala mulai dari kesadaran, fungsi berkomunikasi, fungsi mengunyah, hingga

fungsi menelan.

Universitas Sumatera Utara


15

Saraf kranial memiliki 3 macam fungsi yakni motorik, sensoris dan otonom

yang berbeda pada masing-masing saraf. Tiga pasang saraf kranial merupakan

sensorik sepenuhnya (I, II, VIII), lima pasang motorik (III, IV, VI, XI, dan XII),

dan empat pasang adalah campuran sensorik dan motorik (V, VII, IX, dan X).

Saraf kranial diberi nomor dalam urutan di mana mereka muncul dari otak.

Kecuali saraf kranial I & II, seluruh saraf kranial keluar dari batang otak (Brunner

& Suddarth, 2010). Saraf kranial tersebut adalah:

Saraf kranial Komponen saraf Fungsi


I Olfaktorius Sensorik Penciuman
II Optikus Sensorik Penglihatan (ketajaman penglihatan dan lapang
pandang)
III Okulomotorius Motorik Otot yang menggerakkan mata dan kelopak
mata, konstriksi pupil dan akomodasi lensa
IV Troklearis Motorik Otot yang menggerakkan mata
V Trigeminus Motorik dan Sensasi wajah, refleks kornea dan
sensorik Pengunyahan
VI Abducens Motorik Otot yang menggerakkan mata
VII Fasialis Motorik dan Ekspresi wajah dan otot
sensorik wajah, salivasi dan
air mata, rasa (pengecapan) dan sensasi telinga
VIII Vestibulokoklearis Sensorik Pendengaran dan keseimbangan
IX Glossofaringeus Motorik dan Rasa (pengecapan), sensasi pada faring dan
sensorik lidah, otot faring dan menelan
X Vagus Motorik dan Otot faring, laring dan palatum lunak; sensasi
sensorik pada telinga luar, faring,laring, toraks dan perut;
inervasi parasimpatis organ toraks dan organ
perut
XI Asesorius Motorik Otot Sternocleidomastoid dan otot trapezius
XII Hipoglosus Motorik Gerakan lidah

Tabel 1: saraf kranial (Brunner & Suddarth, 2010)


Pembuluh darah otak

Ada empat arteri serebral utama yang memasok darah ke otak: dua arteri

karotis internal atau internal carotid artery (ICA) yang membentuk sirkulasi

anterior, dan dua arteri vertebralis atau vertebrata artery (VA) yang merupakan

sirkulasi posterior. Arteri karotis internal berasal dari dua pembuluh darah yang

Universitas Sumatera Utara


16

berbeda, yaitu arteri karotis komunis kiri yang berasal langsung dari aorta dan

arteri karotis komunis kanan, yang berasal dari arteri innominate dan juga berasal

dari aorta (Hickey, 1997).

Arteri karotis internal atau internal carotid artery (ICA) naik dari bifurkasi

karotis umum, memasuki tengkorak di bagian petrosa dari tulang temporal di

antara lapisan dura, dan kemudian mulai bercabang. Sebagian besar belahan otak

kecuali oksipital, ganglia basalis, dan dua pertiga bagian atas diensefalon dipasok

oleh arteri karotis internal. Arteri karotis eksternal memasok darah ke wajah, kulit

kepala, dan struktur ekstraranranial lainnya (Hickey, 1997).

Arteri Area yang diperdarahi


Ophthalmic Saraf optik
Communicating Menghubungkan sirkulasi karotid dengan sirkulasi vertebrobasilar
Posterior (Pcom)
Choroidal anterior Area choroid pleksus dari ventrikel lateral; area hippocampus; area
globus pallidus; area dari kapsul internal; area dari amygdaloid
nukleus; area inti kaudatus; area dari putamen
Serebral anterior (ACA) Permukaan medial lobus frontal dan parietal; bagian dari cingulate
gyrus dan precentral gyrus
Recurrent artery of Merupakan cabang khusus arteri serebral anterior (ACA), memasok
Heubner darah ke bagian ganglia basal dan genu kapsul internal (juga disebut
arteri striate medial)
Serebral tengah (MCA) Memasok darah ke seluruh permukaan hemisfere lateral kecuali
oksipital dan permukaan hemisfere inferolateral (yang disuplai oleh
arteri serebral posterior)
Lenticulostriate (dariMemasok darah ke bagian dari ganglia basalis dan kapsul interal
arteri serebral tengah)
Communicating anterior Menghubungkan dua arteri serebral anterior
(Acom)
Tabel 2: Cabang arteri karotis besar
Arteri serebral utama yang muncul dari arteri karotis internal atau internal

carotid artery (ICA) adalah arteri serebral tengah atau medial carotid artery

(MCA), arteri serebral anterior atau anterior carotid artery (ACA), arteri komunis

anterior, dan arteri komunis posterior. Arteri serebral tengah (MCA) memasok

Universitas Sumatera Utara


17

darah ke bagian hemisfer lateral otak. Arteri serebral anterior (ACA) memasok

darah ke bagian permukaan medial lobus frontal dan parietal (Hickey, 1997).

Dua arteri vertebral atau vertebrata artery (VA) memasuki kubah kranial

melalui foramen magnum, kemudian bersatu membentuk arteri basilar. Arteri

basilar kemudian bercabang membentuk arteri serebral posterior atau posterior

carotid artery (PCA), yang memasok darah ke permukaan medial, inferior serta

bagian lateral dari lobus temporal dan oksipital. Arteri basilar juga memasok

darah ke sejumlah arteri serebelum, batang otak, sumsum tulang belakang dan

diencephalon posterior (Hickey, 1997).

Arteri Area yang diperdarahi


Cabang vertebral
Spinal anterior Dua pertiga sumsum tulang belakang anterior
Spinal posterior Sepertiga sumsum tulang belakang posterior
Serebellar inferior posterior Bagian bawah serebelum; medulla; dan pleksus choroid pada
ventrikel keempat
Cabang arteri basilar
Serebral posterior (PCA) Lobus oksipital, permukaan medial dan inferior lobus
temporal, otak tengah, dan pleksus koroid dan ventrikel
lateral.
Choroidal posterior (dari PCA)
Choroidal posterior tengah Tektum, pleksus choroid pada ventrikel ketiga, permukaan
superior dan medial talamus
Choroidal posterior lateral Menembus celah choroidal dan anastomosis melalui cabang-
cabang arteri choroidal anterior
Serebral inferior anterior (AICA) Bagian bawah permukaan serebelum dan permukaan lateral
pons
Serebral superior (SCA) Bagian permukaan atas serebelum dan otak tengah
Pontine Pons
Tabel 3: cabang arteri vertebral besar

Hemodinamik serebral

Volume darah otak

Volume darah otak atau cerebral blood volume (CBV) adalah jumlah darah

di otak pada waktu tertentu. Normalnya darah menempati sekitar 10% ruang

Universitas Sumatera Utara


18

intrakranial. Volume darah otak dipengaruhi oleh mekanisme autoregulator yang

mengendalikan aliran darah otak. Mekanisme kompensasi akan berkurang saat

terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Mekanisme respon yang muncul adalah

penurunan volume darah otak. Namun, apabila mekanisme kompensasi telah

mencapai puncak, tekanan pada sistem vena akan meningkat, volume darah akan

meningkat dan tekanan intrakranial juga meningkat (Hickey, 1997).

Aliran darah otak

Aliran darah otak atau cerebral blood flow (CBF) adalah jumlah darah yang

melewati 100 gram jaringan otak dalam satu menit yang diukur dalam satuan

mililiter. Aliran darah otak normal adalah kira-kira 50 ml/menit/100 gram

jaringan otak. Pemeliharaan aliran darah ke otak sangat penting karena otak

memerlukan pasokan oksigen dan glukosa secara konstan untuk mempertahankan

fungsi normal neuron. Perubahan aliran darah akan menyebabkan berbagai

perubahan aktivitas saraf (Hickey, 1997).

Secara umum diasumsikan bahwa jika aliran darah otak (CBF) berada diatas

18 ml/100 g/menit dan dibawah 25 ml/100 g/menit neuron akan dapat bertahan

tetapi tidak berfungsi. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa infark akan

terjadi apabila aliran darah otak (CBF) 5 ml/100 g/menit selama lebih dari 1,5

jam, 10 ml/ 100 g/menit lebih dari 3 jam, 15 ml/100 g/menit lebih dari 3,5 jam

atau 18 ml/100 g/menit lebih dari 4 jam.

Terdapat hubungan erat antara aliran darah otak dengan aktivitas neuron

yang dikenal dengan neurovascular coupling. Neurovascular coupling mengacu

pada hubungan aktivitas sel saraf dan perubahan pada aliran darah otak. Besaran

Universitas Sumatera Utara


19

perubahan aliran darah serebral sangat erat hubungannya dengan aktivitas neuron

melalui rangkaian komplek yang melibatkan neuron, glia dan sel pembuluh darah.

Dalam beberapa keadaan seperti hipertensi, stroke hubungan aktivitas saraf

dengan pembuluh darah serebral akan terganggu dan menyebabkan

ketidakseimbangan homeostatik yang akan berperan pada disfungsi otak.

Hipertensi juga akan mempengaruhi hubungan aktivitas neuron dan aliran darah

otak, dan perubahan ini melibatkan perubahan mediator kimia dari neurovascular

coupling dan dinamika dari sistem pembuluh darah itu sendiri.

aktivitas neuron

pemakaian oksigen dan


pelepasan neurotrasnmitter pemakaian ATP glukosa
(glutamat, GABA)

agen-agen kimia vasoaktif (K+, NO, adenosin)

aliran darah otak

Gambar 1 : patofisiologi perubahan yang berhubungan dengan respons saraf dan


vaskular
Sumber: Pasley &Freeman (2008)
Dari gambar diatas dapat terlihat hubungan antara aktivitas neuron dengan

aliran darah otak. Adanya aktivitas sel akan menyebabkan pemakaian ATP yang

meningkat sebagai sumber energi sel, pemakaian oksigen dan glukosa yang

meningkat untuk metabolisme dan menghasilkan ATP begitu juga pelepasan

neurotransmitter yang memungkinkan transmisi dalam jaringan saraf. Apabila

Universitas Sumatera Utara


20

faktor yang mempengaruhi aliran darah serebral seperti peningkatan tekanan

intrakranial berkembang, maka kejadian fisiologis berkontribusi terhadap

disfungsi pada tingkat sel.

Otak mengatur aliran darahnya sendiri sebagai respon terhadap kebutuhan

metaboliknya meskipun terjadi fluktuasi tekanan arteri sistemik yang luas. Faktor-

faktor yang mempengaruhi aliran darah serebral terbagi dua, yaitu: (1) faktor

ekstraserebral, meliputi sistem kardiovaskuler (tekanan darah, fungsi jantung dan

viskositas darah), dan (2) faktor intraserebral, meliputi penyakit arteri

serebrovaskuler yang meluas dan peningkatan tekanan intrakranial (Hickey,

1997).

Mekanisme pengaturan aliran darah otak yaitu pengaturan intraserebral,

yaitu: (1) autoregulasi, (2) pengaturan metabolik kimiawi, (3) pengaturan

neurogenik, dan (4) faktor lainnya seperti obat-obatan (Hickey, 2009).

Autoregulasi

Istilah autoregulasi mengacu pada penyesuaian otomatis diameter pembuluh

darah serebral oleh otak untuk menjaga aliran darah menuju otak konstan selama

perubahan tekanan darah arteri (Lewis, Dirksen, Heitkemper & Bucher, 2012).

Autoregulasi adalah mekanisme homeostatik dan protektif utama pada arteriol

besar dan kecil dan kadang-kadang disebut autoregulasi myogenik.

Arteriol mengandung otot polos yang merespons reseptor peregangan dan

tekanan intraluminal yang menyebabkan vasokonstriksi untuk meningkatkan

tekanan intraluminal dan vasodilatasi untuk menurunkan tekanan intraluminal.

Secara khusus, autoregulasi adalah mekanisme myogenik secara independen,

Universitas Sumatera Utara


21

namun secara sinergis berhubungan dengan mekanisme autoregulasi kimia-

metabolik dan neurogenik (Hickey, 2009).

Tujuan autoregulasi adalah memastikan aliran darah otak terus-menerus

menyediakan oksigen dan glukosa sesuai dengan kebutuhan metabolisme jaringan

otak dan untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral dalam batas normal.

Autoregulasi mengacu pada nilai MAP (mean arterial pressure) 70-100 mmHg.

Apabila nilainya di bawah 70 mmHg, maka aliran darah serebral menurun dan

jika diatas 100 mmHg maka aliran darah serebral akan meningkat (Potter & Perry,

2006).

Autoregulasi dapat terganggu dan hilang secara lokal atau global apabila

terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang melebihi 40 sampai 50 mmHg,

iskemia, inflamasi jaringan serebral dan rata-rata tekanan darah mean arterial

pressure (MAP) yang kurang dari nilai normal dan melebihi nilai normal. Tanpa

autoregulasi, tonus serebrovaskular akan berkurang yang dikenal sebagai

kelumpuhan vasomotor (vasomotor paralysis). Keadaan ini akan menyebabkan

aliran darah serebral dan volume darah serebral menjadi pasif dan tergantung pada

perubahan tekanan darah (Hickey, 2009).

Pengaturan metabolik & kimiawi

Pengaturan kimia dan metabolik memberi pengaruh yang kuat pada aliran

darah serebral. Regulator kimia yang penting adalah: (1) karbondioksida,

ditemukan di dalam darah dan di jaringan serebral sebagai produk akhir

metabolisme sel. Ketika PaCO₂ tinggi, maka pembuluh darah serebral merespon

dengan vasodilatasi sehingga akan meningkatkan aliran darah, dan apabila PaCO₂

Universitas Sumatera Utara


22

rendah, maka pembuluh darah akan vasokonstriksi yang akan menyebabkan

penurunan aliran darah, (2) oksigen, berbeda dengan karbondioksida, oksigen

memiliki efek yang sebaliknya, penurunan oksigen akan menyebabkan

vasodilatasi pembuluh darah, dan peningkatan oksigen akan menyebabkan

vasokonstriksi pembuluh darah, dan (3) pH juga memiliki pengaruh terhadap

pembuluh darah. Jika pH menurun (asidosis), akan menyebabkan vasodilatasi

pembuluh darah sehingga akan meningkatkan aliran darah serebral. Dan jika pH

meningkat (alkalosis) akan menyebabkan vasokonstriksi dan menurunkan aliran

darah serebral. Apabila terjadi peningkatan hasil akhir metabolisme sel (asam

laktat, asam piruvat, asam karbon), akan menyebabkan pH menurun (asidosis) dan

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan aliran darah

serebral.

Stroke

Definisi stroke hemoragik

Cerebrovascular accident (CVA) adalah kehilangan fungsi yang terjadi

secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan pasokan darah ke suatu bagian

pada otak (Brunner & Suddarth, 2010).

Jenis stroke hemoragik

Perdarahan intraserebral

Perdarahan intraserebral adalah pendarahan dalam otak yang disebabkan

oleh pecahnya pembuluh darah. Biasanya disebabkan oleh hipertensi yang tidak

terkontrol. Penyebab lain adalah tumor otak, trauma, obat trombolitik dan

aneurisma yang pecah. Perdarahan biasanya terjadi tanpa gejala prodromal dan

Universitas Sumatera Utara


23

terjadi pada saat beraktivitas. Luasnya tanda dan gejala bervariasi tergantung pada

jumlah dan durasi perdarahan (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Margaret & Bucher,

2012).

Arteri yang sering ruptur pada perdarahan intraserebral spontan adalah arteri

lentikulostriata yang merupakan cabang langsung dan arteri serebri media. Ruptur

arteri ini akan mengakibatkan perdarahan pada basal ganglia, tepatnya putamen.

Arteri Thalamo-perforata yang merupakan percabangan, arteri serebri anterior dan

media juga merupakan sumber terjadinya PIS (ruptur arteri ini akan

mengakibatkan perdarahan talamus). Arteri lain yang terlibat pada PIS adalah

cabang paramedian dari arteri basilaris, yang mana akan menyebabkan perdarahan

dan pons dan serebelum (Manish, 2012).

Perdarahan subarachnoid

Perdarahan subarachnoid adalah salah satu kedaruratan neurologis yang

disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di ruang subarachnoid (Setyopranoto,

2012). Perdarahan subarachnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke

rongga subarachnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piameter) dan lapisan

tengah (arachnoid) yang merupakan bagian selaput yang membungkus otak

(meninges).

Penyebab perdarahan subarachnoid adalah aneurisma, malformasi arteri

vena, trauma, dan hipertensi. Perdarahan berhubungan dengan pengobatan seperti

antikoagulan, trombolitik dan sympathomimetik (Lewis, Dirksen, Heitkemper,

Margaret & Bucher, 2012).

Universitas Sumatera Utara


24

Lokasi aneurisma yang menyebabkan perdarahan subarachnoid paling

sering adalah arteri karotis interna (intrakavernosa), bifurkasi, dinding superior,

dinding inferior, dinding medial, dinding lateral (arteri komunikans posterior dan

arteri koroidal anterior), arteri serebri media, arteri serebri anterior (arteri

komunikans anterior dan arteri perikalosal), arteri basilaris (arteri serebelaris

inferior anterior) (Caplan, 2009).

Patofisiologi stroke hemoragik

Stroke hemoragik paling sering dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu

dari banyak arteri yang menembus ke dalam jaringan otak. Hipertensi kronik

menyebabkan pembuluh arteriol berdiameter 100–400 mikrometer mengalami

perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis,

nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma (Caplan, 2009).

Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya arteri

yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan

pada arteriol dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah

juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar, sehingga

menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena lebih tertekan lagi (Caplan,

2009).

Gangguan neurologis tergantung letak dan beratnya perdarahan. Pembuluh

yang mengalami gangguan biasanya arteri yang menembus otak seperti cabang-

cabang lentikulostriata dari arteri serebri media yang memperdarahi sebagian dari

ganglia basalis dan sebagian besar kapsula interna. Timbulnya penyakit ini

Universitas Sumatera Utara


25

mendadak dan evolusinya dapat cepat dan konstan, berlangsung beberapa menit,

beberapa jam dan bahkan beberapa hari.

Stroke hemoragik dimulai dari perdarahan awal, ekspansi hematoma, edema

perihematoma, perluasan perdarahan intraventrikular dan inflamasi. Perdarahan

awal dapat terjadi akibat arteri serebral yang ruptur, selanjutnya 3-72 jam pertama

(kebanyakan dalam 6 jam) akan terjadi ekspansi hematoma yang akan

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Ekspansi hematoma mengacu

pada perluasan volume perdarahan. Perluasan perdarahan intraventrikular dapat

terjadi bersamaan dengan perdarahan intraserebral atau dalam 24-72 jam setelah

perdarahan intraserebral awal (Chen, Zeng & Hu, 2014).

Setelah ekspansi hematoma akan muncul edema perihematoma, yang akan

menyebabkan kerusakan neurologis. Edema perihematoma ini merupakan proses

sekunder dari inflamasi dan gangguan sawar darah otak. Perdarahan dan edema

yang semakin meluas menyebabkan pergeseran parenkim otak yang akhirnya

memicu terjadinya herniasi dan berdampak prognosis yang buruk (Magistris,

Bazak & martin, 2013). Dalam sebuah penelitian eksperimen perdarahan

intraserebral, edema perihematoma berkembang dalam waktu 2 jam, puncaknya

pada hari ke 3 dan dapat bertahan hingga 7 hari (Ironside., Chen., Ding., Mayer.,

Connolly, 2019).

Munculnya edema serebral setelah stroke hemoragik akan menyebabkan

peningkatan tekanan intrakranial karena peningkatan volume otak sedikit saja

dapat menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial (ICP) yang drastis dan

memerlukan waktu yang lebih lama untuk kembali ke batas normal (Black &

Universitas Sumatera Utara


26

Hawks, 2005). Salah satu dampak dari peningkatan tekanan intrakranial adalah

munculnya iskemia serebral akibat dari peningkatan tahanan pembuluh darah

seiring dengan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (Hickey, 2009).

Selama iskemia keseimbangan glutamat pada sistem saraf pusat akan

mengalami peningkatan sampai tingkat toksik. Hal ini terjadi karena kondisi

iskemia (metabolisme anaerobik) menyebabkan penurunan jumlah ATP yang

dibutuhkan untuk mengatur sistem re-uptake natrium dalam neuron dan glia.

Sehingga di glia, glutamat tidak didetoksifikasi lebih lanjut dan tidak dikonversi

menjadi glutamin oleh enzim glutamin sintetase, yang akan menyebabkan

akumulasi glutamat di ekstraseluler. Akumulasi glutamat disekitar neuron

menyebabkan masuknya Ca+ dan Na+ ke dalam sel neuron yang menyebabkan

munculnya edema (Magistris, Bazak & martin, 2013).

Manifestasi klinis stroke hemoragik

Pasien dengan stroke hemoragik dapat menunjukkan berbagai defisit

neurologis sama halnya dengan pasien stroke iskemik yaitu defisit motorik,

sensoris, saraf kranial, kognitif, dan fungsi lainnya. Pasien yang sadar paling

sering mengeluhkan sakit kepala yang parah. Gejala lain yang lebih sering muncul

pada pasien dengan perdarahan intraserebral akut adalah perubahan mendadak

pada tingkat kesadaran, muntah, dan kemungkinan kejang fokal karena

keterlibatan batang otak (Hickey, 2009).

Selain defisit neurologis, pasien dengan aneurisma intrakranial (AVM)

memiliki beberapa manifestasi klinis yang unik. Pecahnya aneurisma (AVM)

biasanya menghasilkan sakit kepala yang tiba-tiba parah dan sering kehilangan

Universitas Sumatera Utara


27

kesadaran selama periode waktu yang bervariasi. Muncul rasa sakit dan kekakuan

di bagian belakang leher (kekakuan nuchal) dan tulang belakang karena iritasi

meningeal. Gangguan visual (kehilangan penglihatan, diplopia atau ptosis) terjadi

jika aneurisma bersebelahan dengan saraf okulomotor. Tinnitus, pusing, dan

hemiparesis juga bisa terjadi. Dalam kasus lain, perdarahan hebat mengakibatkan

kerusakan serebral diikuti dengan koma dan kematian (Brunner & Suddarth,

2010).

Perubahan tingkat kesadaran

Fisiologi kesadaran

Menurut Moruzzi dan Magoun pada tahun 1949, kesadaran berkaitan erat

dengan Sistem Aktivasi Retikuler Asendens (ARAS= Ascending Reticular

Activating System). ARAS merupakan suatu gerbang yang membatasi atau

memperkuat pengaruh dari rangsangan asenden spesifik dan rangsangan kortikal

yang secara terus menerus mengalir kembali ke nukleus talamus sewaktu keadaan

bangun (sadar). Fungsinya adalah menyaring semua informasi sensorik yang

datang dan menyalurkannya ke daerah otak yang tepat untuk diinterpretasi

(Satyanegara, 2014).

ARAS berada pada formasio retikularis yang terletak di bagian rostral

batang otak, bila ARAS dirangsang akan menimbulkan aktivasi umum yang

nonspesifik pada korteks serebri (Satyanegara, 2014). ARAS ini mencakup

daerah-daerah di tengah batang otak, meluas mulai dari otak tengah sampai

hipotalamus dan talamus, dan menjabarkan bahwa struktur-struktur tersebut

Universitas Sumatera Utara


28

mengirimkan transmisi efek-efek fisiologis difus ke korteks baik secara langsung

maupun tidak langsung (Satyanegara, 2014).

Formasio retikularis secara difus menerima dan menyebarkan rangsang,

menerima input dari korteks serebri, ganglia basalis, hipotalamus, sistem limbik,

serebellum, medula spinalis dan semua sistem sensorik. Sedangkan serabut eferen

formasio retikularis menuju medula spinalis, serebellum, hipotalamus, sistem

limbik dan talamus yang lalu akan berproyeksi ke korteks serebri dan ganglia

basalis (Price & Wilson, 2006).

Jaras utama yang mengantar rangsang ke korteks serebri ada 3 macam: (1)

yang berjalan ke nukleus talami lalu berproyeksi ke seluruh tubuh, (2) yang

berjalan ke hipothalamus lalu ke sistem limbik yang berperan pada fungsi atensi

dan emosi, dan (3) yang ke lokus seruleus yaitu pusat di dalam pons yang

neurotransmitternya norepinefrin dan saraf serotoninergik dari nukleus rafe

formasio retikularis di mesensefalon yang juga berproyeksi difus ke korteks

serebri (Markam, 2009).

Keadaan kesadaran sesuai urutan tingkat keterjagaan yang didasarkan pada

tingkat interaksi antara rangsangan perifer dan otak adalah: (1) kewaspadaan

maksimal, (2) terjaga, (3) tidur, dan (4) koma. Kewaspadaan maksimal

bergantung pada masukan sensorik pembangkit perhatian yang “memberi energi”

untuk RAS (Reticular Activating System) yang menerima dan mengintegrasikan

semua input sinaptik dan selanjutnya mendorong kesadaran korteks dan

membantu mengarahkan perhatian ke kejadian-kejadian spesifik, terdiri dari serat-

serat asenden yang berasal dari formasio retikularis dan membawa sinyal ke atas

Universitas Sumatera Utara


29

untuk membangunkan dan mengaktifkan korteks serebri dilanjutkan ke tingkat

aktivitas sistem saraf pusat secara keseluruhan. Koma adalah keadaan penurunan

kesadaran dengan kehilangan total responsivitas seseorang yang hidup terhadap

rangsang luar, disebabkan oleh kerusakan batang otak yang menganggu RAS

(Reticular Activating System) atau oleh depresi luar korteks serebri, misalnya

setelah kekurangan oksigen (Silbernegl & Lang, 2007 dalam Safri, 2013).

Dapat disimpulkan jaras kesadaran dimulai dengan masukan impuls dari

pusat sensorik pada korteks serebri menuju ARAS→diproyeksikan kembali ke

korteks serebri→terjadi peningkatan aktivitas korteks dan kesadaran.

Patofisiologi penurunan kesadaran

Penurunan kesadaran merupakan tanda pertama pada gangguan neurologis

karena dua alasan yaitu: (1) sel khusus dari korteks serebral paling sensitif

terhadap penurunan suplai oksigen yang terjadi akibat peningkatan tekanan

intrakranial karena adanya edema serebral pada pasien stroke, dan (2) penurunan

kesadaran akibat peningkatan tekanan intrakranial terjadi karena korteks serebral

dipasok oleh arteri terminal, sehingga suplai oksigen ke sel sensitif korteks

serebral berkurang (Hickey, 2009).

Metabolisme serebral sangat bergantung pada suplai oksigen dan glukosa

yang konstan. Aktivitas listrik neuronal disuplai melalui turunan ATP yang

membutuhkan sekitar 60% dari total konsumsi otak. Sebagian besar ATP yang

diproduksi di dalam tubuh adalah hasil fosforilasi oksidatif yang terjadi di

mitokondria sel, yang dikenal sebagai metabolisme aerobik (Lipp, 2014).

Universitas Sumatera Utara


30

Metabolisme aerobik bergantung pada kehadiran oksigen dan glukosa

secara kontinyu. Jika perfusi jaringan otak terganggu akibat edema serebral dan

peningkatan tekanan intrakranial maka akan terjadi hipoksia dan persediaan ATP

akan menurun. Pada kebanyakan keadaan jika aliran darah serebral tidak membaik

dalam waktu 3 sampai 8 menit, maka akan terjadi kerusakan sel hingga kerusakan

jaringan serebral (Lipp, 2014).

Selain itu menurut Quaranta, Cassano, Quaranta (2007), gangguan

penurunan kesadaran pada pasien stroke hemoragik fase akut adalah karena

edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial pada fase akut menimbulkan

efek depresan pada saraf yang menyebabkan invaginasi dari nodus Ranvier dan

demielinasi. Kondisi ini dapat menganggu konduksi aliran saraf dan serabut saraf

tidak dapat meneruskan impuls dari pusat sensorik pada korteks serebri menuju

ARAS, sehingga sel neuron korteks serebri tidak dapat digalakkan dan terjadi

gangguan pada korteks serebri sebagai pengolah kesadaran.

Lesi destruksi ini dapat mengenai sebagian korteks serebri dan substansia

alba, namun lesi juga dapat mendistorsi struktur yang lebih dalam dan

menyebabkan koma karena efek pendesakan (kompresi) ke lateral dari struktur

tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal yang berakibat

kompresi mesenfalon dan area subthalamik reticular activating system atau

adanya perubahan-perubahan yang lebih meluas di seluruh hemisfer, lesi serebelar

sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular batang otak atas

dan menggesernya maju ke depan dan ke atas (Lewis, Heitkemper, Margaret,

Dirksen & Shannon, 2012).

Universitas Sumatera Utara


31

Perubahan tanda-tanda vital

Fisiologi suhu tubuh

Pusat pengaturan suhu terletak pada area preoptik hipotalamus anterior

mengandung sejumlah besar neuron sensitif terhadap panas yang diyakini

berfungsi sebagai termostatik pusat kontrol suhu tubuh (Guyton & Hall, 2008).

Pada hipotalamus terdapat dua pusat pengaturan suhu, yaitu (1) regio posterior

yang diaktifkan oleh suhu dingin yang kemudian memicu refleks-refleks yang

memperantarai produksi panas dan konservasi panas, dan (2) regio anterior yang

diaktifkan oleh rasa hangat memicu refleks-refleks yang memperantarai

pengurangan panas (Saini, Saqqur, Kamruzzaman, Lees & Shuaib, 2010).

Hipotalamus terus menerus mendapat informasi mengenai suhu kulit dan

suhu inti melalui termoreseptor (reseptor-reseptor khusus yang peka terhadap

suhu). Termoreseptor perifer memantau suhu kulit diseluruh tubuh dan

menyalurkan informasi mengenai perubahan suhu permukaan ke hipotalamus.

Suhu inti dipantau oleh termoreseptor sentral yang terletak di hipotalamus itu

sendiri serta di susunan saraf pusat dan organ abdomen (Guyton & Hall, 2008).

Dalam keadaan normal suhu inti tubuh relatif stabil (berkisar 37,1°C atau

36,5°C sampai 37,5°C yang disebut sebagai “set-point”), keadaan ini dapat

dipertahankan karena panas yang terbentuk dari hasil metabolisme tubuh secara

terus menerus dikeluarkan pada lingkungan sekitar. Dengan demikian, terdapat

keseimbangan antara pembentukkan dan pengeluaran panas, hal inilah yang

menyebabkan suhu tubuh relatif konstan (Guyton & Hall, 2008).

Universitas Sumatera Utara


32

Kontrol suhu (termoregulasi) merupakan bagian dari mekanisme

homeostasis yang menempatkan organisme pada suhu optimal, karena

mempengaruhi tingkat reaksi kimia (Kelly, 2010). Mekanisme termoregulasi

dapat dibedakan menjadi proses fisik dan proses kimiawi. Prinsip kerja pada

pengaturan fisik adalah dengan melakukan pengaturan tahanan pada aliran panas,

sedangkan mekanisme kerja pengaturan secara kimiawi adalah dengan melakukan

pengaturan pada laju metabolisme tubuh (Guyton & Hall, 2008).

Sistem pengaturan suhu tubuh untuk menurunkan panas tubuh ketika suhu

terlalu tinggi, yaitu: (1) vasodilatasi, pada hampir semua area tubuh, pembuluh

darah kulit berdilatasi dengan kuat. Hal ini disebabkan oleh hambatan dari pusat

simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasokokstriksi.

Vasodilatasi penuh akan meningkatkan kecepatan pemindahan panas ke kulit

sebanyak delapan kali lipat, (2) berkeringat, peningkatan temperatur tubuh 1°C

menyebabkan keringat yang cukup banyak untuk membuang sepuluh kali lebih

besar kecepatan metabolisme basal dari pembentukan panas tubuh, dan (3)

penurunan pembentukan panas, mekanisme yang menyebabkan pembentukan

panas berlebihan seperti menggigil dan termogenesis kimia dihambat dengan kuat

(Guyton & Hall, 2008).

Ketika tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan suhu tubuh melakukan

prosedur yang berlawanan dengan mekanisme penurunan panas tubuh, yaitu: (1)

vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh, hal ini disebabkan oleh rangsangan pusat

simpatis hipotalamus posterior, (2) piloereksi, yang berarti "rambut berdiri pada

akarnya". Rangsangan simpatis menyebabkan otot erektor fili yang melekat ke

Universitas Sumatera Utara


33

folikel rambut berkontraksi yang menyebaban rambut berdiri tegak. Berdirinya

rambut memungkinkan untuk membentuk lapisan tebal isolator udara

bersebelahan dengan kulit sehingga perpindahan panas ke lingkungan sangat

ditekan, dan (3) peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme dengan

menggigil, rangsangan simpatis pembentukan panas, dan sekresi tiroksin (Guyton

& Hall, 2008).

Patofisiologi peningkatan suhu tubuh

Sebagian besar pasien stroke hemoragik akut mengalami hipertermi. Hasil

penelitian Haryuni (2017), menyebutkan bahwa dari 73 pasien sebanyak 42 pasien

(57,5%) mengalami hipertermi. Kebanyakan pasien stroke dengan hipertermi

memiliki suhu hingga 39°C dalam waktu 1 hingga 7 hari, namun kejadian ini

tidak terus-menerus terjadi dan akan mereda dalam waktu 96 jam pada 90%

pasien stroke (Wei Yu dkk., 2013).

Penyebab terbesar hipertermi pada pasien stroke hemoragik akut adalah

infeksi yaitu 58% dan sebanyak 42% disebabkan oleh nekrosis jaringan atau oleh

perubahan mekanisme termoregulasi yang terjadi jika lesi mengenai daerah

hipotalamus.

Selama fase akut stroke juga terjadi pengurangan aliran darah otak yang

menyebabkan iskemik serebri. Iskemik serebri ini yang akan memicu respon

inflamasi. Mediator neuroinflamasi umumnya adalah sitokin, dapat menimbulkan

efek yang merusak perkembangan jaringan. Sitokin adalah kelompok glikoprotein

yang memainkan peran penting sebagai aktivator adhesi molekul. Dalam beberapa

jam setelah iskemik serebri, akan terjadi peningkatan kadar sitokin dan kemokin

Universitas Sumatera Utara


34

yang akan meningkatkan ekskresi molekul adhesi pada sel endotel otak,

meningkatkan adhesi dan migrasi neutrofil dan monosit transendothelial

(Zaremba, 2004; Amantea dkk., 2008; Jordán dkk., 2008; Arslan dkk., 2011

dalam Adja, 2015).


Perubahan suhu lingkungan Perubahan pusat suhu tubuh

Reseptor suhu perifer Reseptor suhu pusat

Pusat termoregulator hipotalamus

Respon peningkatan suhu tubuh Respon penurunan suhu tubuh

Neuron kolinergik simpatik


Neuron simpatik adregenik Neuron motor somatik

lemak
Pembuluh darah Otot rangka
Kelenjar keringat Pembuluh darah
kulit
kulit
Tidak menggigil menggigil
Sekresi keringat
vasodilatasi vasokonstriksi

Kehilangan panas
Kehilangan panas ke Penyimpanan Produksi panas
melalui evaporasi
lingkungan panas metabolik

Gambar 2: refleks termoregulasi

Sel-sel tersebut dapat terakumulasi dalam kapiler yang akan mengganggu

aliran darah otak atau ekstravasase ke dalam parenkim otak. Infiltrasi leukosit ke

dalam sel-sel parenkim otak termasuk neuron dan glia, dapat melepaskan

mediator proinflamasi seperti sitokin, kemokin dan oksigen/nitrogen radikal bebas

Universitas Sumatera Utara


35

yang berkontribusi terhadap kerusakan jaringan (Zaremba, 2004; Amantea dkk.,

2008; Jordán dkk., 2008; Arslan dkk., 2011 dalam Adja, 2015).

Apabila iskemia tidak segera diatasi akan berlanjut ke kondisi infark

(konsekuensi dari hipoksia sel, gangguan metabolik dan depolarisasi, aktivasi

kanal kalsium dan pelepasan asam amino neuroeksitatorik, kanal ion dan influks

kalsium, natrium, klorida dan air, aktivasi enzim proteo dan lipolitik) yang

mengakibatkan disintegrasi membran seluler, kerusakan dan kematian neuron

(Adja, 2015).

Keadaan kematian neuron (nekrosis jaringan) akan menghasilkan

endotoksin dan pirogen eksogen. Dimana endotoksin dan pirogen eksogen ini

akan beraksi pada monosit, makrofag dan sel kupffer kemudian menghasilkan

sitokin yang berperan sebagai pirogen endogen.

Selanjutnya pirogen endogen (sitokin) akan mengaktivasi daerah preoptik di

hipotalamus, yang selanjutnya akan akan terjadi transkripsi enzim COX-2 di

hipotalamus dan menghasilkan prostaglandin (protaglandin (PGE2) merupakan

senyawa yang berperan pada terjadinya demam), sehingga prostaglandin akan

meningkatkan set poin temperatur tubuh (Saini, Saqqur, Kamruzzaman, Lees &

Shuaib, 2010).

Pengaruh hipertermia terhadap aliran darah otak adalah peningkatan

permeabilitas aliran darah otak yang berakibat langsung secara parsial maupun

komplit terjadinya edema serebri. Hipertermia juga meningkatkan metabolisme,

dimana metabolisme merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi

panas tubuh dan mempengaruhi keseimbangan suhu tubuh. Selain itu,

Universitas Sumatera Utara


36

metabolisme juga akan mempercepat pembentukan asidosis laktat (anaerob) yang

mempercepat kematian neuron (neuronal injury) dan bertambahnya edema

serebral (Saini, Saqqur, Kamruzzaman, Lees & Shuaib, 2010).

Etiologi hipertermia setelah awitan stroke juga dapat ditentukan oleh

berbagai faktor diantaranya adalah usia, jenis stroke, lokasi lesi dan volume infark

atau perdarahan, keparahan stroke, infeksi, dan respon peradangan sistemik

(infark sekunder). Disamping itu penyebab lainnya adalah infeksi yang didapat di

rumah sakit dan komplikasi pasca stroke seperti aspirasi pneumonia dan Deep

Vein Thrombosis (DVT) (Saini, Saqqur, Kamruzzaman, Lees & Shuaib, 2010).

Fisiologi pernafasan

Pernapasan memiliki ritme yang teratur yang dihasilkan dari pusat

pernapasan yang terletak di pons dan medula oblongata (pneumotaxic center).

Kebanyakan inti sel saraf yang terletak di medula oblongata memiliki akson yang

berjalan menuju medula spinalis, bersinaps dengan interneuron atau motor neuron

yang terletak di regio servikal, torakal dan lumbal. Inti sel saraf spinal yang

menerima input dari medula oblongata membentuk saraf tepi, keluar dari medula

spinalis, menginervasi otot inspirasi dan otot ekspirasi (Mateika, 2007).

Pernafasan diatur oleh dua mekanisme saraf yang terpisah. Satu

bertanggungjawab untuk mengendalikan pernafasan volunter, sedangkan yang

satu lagi mengendalikan pernafasan otomatis. Sistem volunter terletak pada

korteks serebri dan mengirimkan impuls ke neuron motorik otot pernafasan

melalui jaras kortikospinal (Barrett, Barman, Baitano & Brooks, 2014). Jalur

pernapasan volunter tidak melalui pusat kontrol pernapasan di medula oblongata,

Universitas Sumatera Utara


37

melainkan langsung mempengaruhi motor neuron respirasi di medula spinalis,

misalnya saat berbicara atau menahan napas (Mateika, 2007).

Sedangkan sistem pernafasan otomatis dijalankan oleh sekelompok sel

pemacu (pacemaker) di medulla oblongata. Impuls dari sel-sel ini mengaktifkan

neuron motorik di medulla spinalis servikalis dan torakalis yang mempersarafi

otot-otot inspirasi (Barrett, Barman, Baitano & Brooks, 2014).

Neuron-neuron di pars servikalis mengaktifkan diafragma melalui nervus

phrenicus, dan neuron-neuron di pars thoracica mengaktifkan musculus

intercostales externi. Namun, impuls juga mencapai persarafan musculus

intercostales interni dan otot-otot ekspirasi lainnya (Barrett, Barman, Baitano &

Brooks, 2014).

Walaupun medulla sebagai pusat pernafasan yang mengatur laju ventilasi

dasar, laju pernafasan juga dimodifikasi oleh input dari reseptor kimia darah.

Kemoreseptor terdiri dari dua jenis yaitu kemoreseptor pusat yang berada di

medulla, dan kemoreseptor perifer yang berada di badan aorta pada lengkung

aorta dan badan karotid pada cabang arteri karotid. Badan karotid mengirimkan

informasi sensori ke medulla melalui saraf vagus, sedangkan badan karotid

mengirimkan informasi sensori melalui saraf glossofaringeus (dan juga vagus)

(Marieb & Mallat, 2001).

Kemoreseptor ini merespon peningkatan penurunan oksigen, peningkatan

kadar karbondioksida, atau peningkatan keasaman darah dengan memberikan

sinyal kepada pusat pernafasan untuk meningkatkan laju dan kedalaman

pernafasan, dan begitu juga sebaliknya ketika gas darah kembali pada konsentrasi

Universitas Sumatera Utara


38

normal (Marieb & Mallat, 2001). Seperti adanya perubahan suplai darah serebral,

yaitu peningkatan kadar karbondioksida dan peningkatan kadar hidrogen akan

mengaktifkan kemoreseptor sentral pada medulla oblongata, sehingga tubuh akan

merespon dengan meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernafasan

(meningkatkan ventilasi paru).

Otot saluran N.XII


nafas atas Kemoreseptor sentral
(medulla oblongata)

N. IX
Otot polos
jalan nafas Kemoresept
or perifer
Neuron respirasi
medulla oblongata N. X (carotid
(rhythm generator) bodies)

Formasio
retikularis Reseptor saluran
nafas dan paru
Motor neuron PO₂
respirasi medula Ion H+
Stimulus Sistem spinalis
sensorik (nyeri) limbik

Otot Reseptor
pernafasan otot
Emosi (fore
brain)
Ventilasi
paru

-Patofisiologi gangguan
Kontrol volunter (kortekspernafasan
motorik)
- Batuk, bersin (medula oblongata)
- Postur (serebelum)

Gambar 3: Peranan Susunan Saraf dalam Kontrol Pernapasan

Universitas Sumatera Utara


39

Gangguan kontrol respirasi sentral memiliki peranan langsung pada

gangguan respirasi akibat penyakit saraf pusat misalnya stroke. Pusat kontrol

pernafasan yang berada pada pons dan medulla oblongata dapat mengalami

penekanan. Aktivitas pusat pernafasan dapat ditekan atau bahkan diinaktifkan

oleh edema serebri akut yang timbul akibat stroke. Edema serebri yang muncul

pada pasien stroke akan menekan arteri serebral pada ruang kranial sehingga akan

menghambat suplai darah serebral secara parsial. Selain itu, adanya edema serebri

akibat stroke juga akan mengakibatkan depresi pusat pernafasan (pons dan

medulla oblongata) (Guyton & Hall, 2008), dan juga akan mengganggu impuls

saraf akibat adanya invaginasi nodus Ranvier dan demielinasi sehingga impuls

saraf untuk mengatur pernafasan akan terganggu (Quaranta, Cassano, Quaranta,

2007).

Selain akibat gangguan kontrol respirasi sentral, hemiplegi akut pada stroke

berhubungan dengan risiko kematian akibat infeksi paru pada pasien dengan

aspirasi dan hipoventilasi. Kontraksi otot diafragma pada sisi yang lumpuh akibat

stroke akan berkurang pada pernapasan volunter (Aboussouan, 2005).

Walaupun ekspirasi kebanyakan merupakan proses pasif, otot-otot ekspirasi

diperlukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret, misalnya dengan cara

batuk. Pada stroke akan terjadi kelemahan otot bulbar (dipersarafi oleh N. IX, X,

XII), otot pengunyah (N. V) dan otot laring (dipersarafi radiks C1). Walaupun

tidak berperan langsung dalam respirasi, otot-otot ini berfungsi untuk bicara,

menelan dan proteksi saluran napas. Gangguan otot-otot ini dapat menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


40

disartria, disfonia, disfagia, tersedak, batuk yang lemah, dan kerentanan terjadinya

atelektasis dan pneumonia aspirasi (Aboussouan, 2005).

Beberapa jenis pola pernafasan yang sering terjadi pada pasien stroke

adalah: (1) pernapasan central periodic breathing (CPB), termasuk pernapasan

Cheyne-Stokes adalah suatu pola pernapasan yang amplitudonya mula-mula naik

kemudian turun bergantian dengan periode apnea. Pola pernapasan ini sering

dijumpai pada pasien stroke, akan tetapi tidak memiliki korelasi anatomis yang

spesifik. Salah satu penelitian melaporkan CPB terjadi pada kurang lebih 53%

pasien penderita stroke, (2) central neurogenic hyperventilation pertama kali

digambarkan oleh Plum dan Swanson tahun 1959, merupakan hiperpnea yang

terjadi saat bangun dan tidur akibat gangguan di pons, (3) pernapasan klaster

adalah hiperventilasi bergantian dengan apnea secara cepat yang disebabkan

gangguan di mesensefalon, dan (4) pernapasan ataksik merupakan pernapasan

yang memiliki irama dan amplitudo ireguler disebabkan gangguan pada medula

oblongata (Lumbantobing, 2015).

Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh banyak faktor, meliputi: (1) latihan

atau olah raga, (2) keadaan emosi (kecemasan/takut), (3) polusi udara, (4)

ketinggian, (5) obat-obatan (narkotik, amfetamin), (6) suhu, (7) gaya hidup, (8)

usia, (9) jenis kelamin, dan (10) nyeri akut (Muttaqin, 2010).

Fisiologi tekanan darah

Tekanan darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap

satuan luas dinding pembuluh. Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan

resistensi pembuluh darah perifer (tahanan perifer). Curah jantung (cardiac

Universitas Sumatera Utara


41

output) adalah jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel ke dalam sirkulasi

pulmonal dan sirkulasi sistemik dalam waktu satu menit, normalnya pada dewasa

adalah 4-8 liter (Dewi, 2012).

Tekanan darah diperlukan untuk daya dorong mengalirnya darah di dalam

arteri, arteriola, kapiler dan sistem vena, sehingga terbentuk suatu aliran darah

yang menetap. Regulasi tekanan darah secara umum dibagi menjadi dua, yaitu:

(1) pengaturan tekanan darah jangka pendek adalah: (a) sistem saraf, mengontrol

tekanan darah dengan mempengaruhi tahanan pembuluh darah. Kontrol ini

bertujuan untuk mempengaruhi distribusi darah sebagai respon terhadap

peningkatan kebutuhan bagian tubuh yang spesifik, dan mempertahankan tekanan

arteri rata-rata (MAP) yang adekuat dengan mempengaruhi diameter pembuluh

darah. Umumnya kontrol sistem saraf terhadap tekanan darah melibatkan

baroreseptor, kemoreseptor, dan pusat otak tertinggi (hipotalamus dan serebrum)

(Mayuni, 2013). Menurut Sherwood (2006), refleks baroreseptor merupakan

sensor utama pendeteksi perubahan tekanan darah. Setiap perubahan pada tekanan

darah rata-rata (MAP) akan mencetuskan refleks baroreseptor yang diperantarai

secara otonom. Baroreseptor yang penting dalam tubuh manusia terdapat di sinus

karotis dan arkus aorta. Baroreseptor secara terus menerus memberikan informasi

mengenai tekanan darah, dan secara kontinu menghasilkan potensial aksi sebagai

respon terhadap tekanan didalam arteri. Jika tekanan arteri meningkat, potensial

aksi juga akan meningkat sehingga kecepatan pembentukan potensial aksi di

neuron eferen yang bersangkutan juga ikut meningkat. Begitu juga sebaliknya,

jika terjadi penurunan tekanan darah. Setelah mendapat informasi bahwa tekanan

Universitas Sumatera Utara


42

arteri terlalu tinggi oleh peningkatan potensial aksi tersebut, pusat kontrol

kardiovaskuler merespon dengan mengurangi aktivitas simpatis dan

meningkatkan aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen ini menurunkan

kecepatan denyut jantung, menurunkan volume sekuncup, menimbulkan

vasodilatasi arteriol dan vena serta menurunkan curah jantung dan resistensi

perifer total, sehingga tekanan darah kembali normal. Begitu juga sebaliknya jika

tekanan darah turun dibawah normal, dan (b) kontrol kimia, kadar oksigen dan

karbondioksida membantu proses pengaturan tekanan darah melalui refleks

kemoreseptor. Beberapa kimia darah juga mempengaruhi tekanan darah melalui

kerja pada otot polos dan pusat vasomotor. Hormon yang penting dalam

pengaturan tekanan darah adalah hormon yang dikeluarkan oleh medula adrenal

(norepinefrin dan epinefrin), natriuretik atrium, hormon antidiuretik, angiostensin

II, dan nitric oxide (Mayuni, 2013), dan (2) pengaturan tekanan darah jangka

panjang dipengaruhi oleh organ ginjal. Ginjal mempertahankan keseimbangan

tekanan darah secara langsung dan secara tidak langsung. Mekanisme secara

langsung dengan meregulasi volume darah rata-rata 5 liter/menit, sementara

secara tidak langsung dengan melibatkan mekanisme renin angiostesin. Pada saat

tekanan darah menurun, ginjal akan mengeluarkan enzim renin ke dalam darah

yang akan mengubah angiotensin menjadi angiotensin II yang merupakan

vasokontriktor yang kuat (Mayuni, 2013). Walaupun hanya berada 1 atau 2 menit

dalam darah, tetapi angiotensin II mempunyai pengaruh utama yang dapat

meningkatkan tekanan arteri, yaitu sebagai vasokonstriksi di berbagai daerah

tubuh serta menurunkan eksresi garam dan air oleh ginjal.

Universitas Sumatera Utara


43

Patofisiologi perubahan tekanan darah

Penyebab primer respon hipertensi pada stroke hemoragik akut adalah

kerusakan dan penekanan pada area spesifik di otak yang mengatur aktivitas sistem

saraf otonom. Hayens (2003) menjelaskan bahwa tekanan darah dikontrol oleh

otak, sistem saraf otonom, ginjal beberapa kelenjar endokrin, arteri dan jantung.

Otak merupakan pusat pengontrol tekanan darah di dalam tubuh. Serabut saraf

adalah bagian sistem saraf otonom yang membawa isyarat dari bagian tubuh

untuk menginformasikan kepada otak perihal tekanan darah, volume darah dan

kebutuhan khusus semua organ. Semua informasi ini diproses oleh otak dan

hasilnya dikirim melalui saraf menuju organ-organ tubuh termasuk pembuluh

darah, yang ditandai dengan mengempis atau mengembangnya pembuluh darah.

Sistem reflek neuronal ini yang mengatur dalam suatu rangkaian umpan

balik negatif terdiri dari detektor, berupa baroreseptor yaitu suatu reseptor regang

yang mampu mendeteksi peregangan dinding pembuluh darah oleh peningkatan

tekanan darah, dan kemoreseptor, yaitu sensor yang mendeteksi perubahan PO2,

PCO2 dan pH darah, neuronal aferen pusat kendali di medula oblongata. Neuronal

eferen yang terdiri dari sistem saraf otonom serta efektor, yang terdiri dari alat

pemacu dan selsel otot jantung, sel-sel otot polos di arteri, vena dan medula

adrenal.

Gangguan pada susunan saraf pusat dan tekanan intrakranial mengakibatkan

penurunan aliran darah ke otak dan menyebabkan gangguan fungsi otak. Pada

kondisi iskemia serebral akibat edema serebral dan peningkatan tekanan

Universitas Sumatera Utara


44

intrakranial akan terjadi perubahan-perubahan pada sifat kimia darah. Dimana

akibat iskemia serebral akan menyebabkan metabolisme anaerob yang

menghasilkan penimbunan asam laktat pada otak. Hal ini akan mengakibatkan

perubahan pH darah menjadi asam dan merangsang kemoreseptor sentral untuk

menginhibisi area vasomotor dengan hasil akhir peningkatan keluaran simpatis

dan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah (Hickey, 2009).

Menurut Brunner & Suddarth (2010), tingginya tekanan darah yang terjadi

pada stroke hemoragik juga merupakan respon tubuh terhadap peningkatan

tekanan intrakranial. Namun karena tekanan terus meningkat, denyut nadi turun

menjadi 60 denyut per menit atau kurang saat mencoba mengimbanginya. Denyut

nadi digambarkan penuh dan loncat, pada tahap dekompensasi denyut nadi

menjadi tidak teratur, cepat, dan sudah dan kemudian berhenti (Hickey, 2009).

Selain itu, nyeri kepala, retensi urine, infeksi dan stres juga dapat

mempengaruhi tekanan darah karena mengakibatkan ketikseimbangan sistem saraf

otonom, mengaktivasi jalur simpatis adrenomedullary sehingga meningkatkan

konsentrasi katekolamin bersirkulasi dan sitokin inflamasi. Hal ini berkontribusi

terhadap respon hipertensi (Tikhonoff et al., 2009).

Berdasarkan International Stroke Trial dan Chinese Acute Stroke Trial yang

menyatakan bahwa 75%-82% pasien memiliki tekanan darah sistolik >140 mmHg

pada 48 jam pertama terjadinya stroke akut (Alghifari & Andina, 2017).

Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan terjadi peningkatan tekanan

darah atau hipertensi pada pasien dengan stroke akut bahkan pasien yang

sebelumnya normotensi sekalipun pada fase akut dapat mengalami peningkatan

tekanan darah. Pada 24 jam pertama fase akut stroke, lebih dari 60% pasien

Universitas Sumatera Utara


45

datang dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg dan lebih dari 28% memiliki

tekanan darah diastolik >90 mmHg (Mardjono, 2006).

Fisiologi denyut nadi

Denyut nadi adalah gelombang darah yang diciptakan oleh kontraksi

ventrikel kiri jantung. Secara umum, gelombang nadi merupakan representasi

volume output atau jumlah darah yang masuk ke arteri setiap kontraksi ventrikel.

Pada orang yang sehat denyut nadi mencerminkan detak jantung, yaitu denyut

nadi sama dengan tingkat kontraksi ventrikel dari jantung (Berman, Snyder &

Frandsen, 2016).

Denyut nadi dikontrol oleh sistem saraf pusat yang menerima umpan balik

dari reseptor sensorik yang berada pada dinding pembuluh darah. Peningkatan

impuls saraf dari batang otak ke saraf simpatik menyebabkan terjadinya

penurunan diameter pembuluh darah perifer, meningkatkan volume sekuncup dan

meningkatkan frekuensi denyut nadi, yang berperan sangat penting dalam hal

peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah, menyebabkan terjadinya

peningkatan aktivitas baroreseptor dengan cara memberikan sinyal ke batang otak

untuk segera mengurangi impuls dari saraf simpatis (Barret, Barman, Baitano &

Brooks, 2014).

Saat latihan fisik, denyut nadi sebagian besar dikendalikan oleh

keseimbangan antara penghambatan oleh saraf vagus dan stimulasi dari saraf

simpatis jantung. Dalam keadaan istirahat, saraf simpatis pengaruhnya lebih

dominan dibandingkan dengan saraf vagus. Apabila saraf otonom ke jantung

diblokir, maka frekuensi denyut nadi istirahat dari rata-rata 70 denyut permenit

Universitas Sumatera Utara


46

akan meningkat menjadi 100 denyut permenit. Peningkatan frekuensi denyut nadi

bersamaan dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis dan penurunan aktivitas

saraf parasimpatis (Guyton & Hall, 2012).

Sebaliknya, penurunan frekuensi denyut nadi bersamaan dengan

peningkatan aktivitas saraf parasimpatis dan penurunan aktivitas saraf simpatis.

Aktivitas dari saraf ini dikendalikan oleh sistem pengaturan yang terletak di

batang otak yaitu pusat kendali jantung. Di samping saraf simpatis dan

parasimpatis, denyut nadi juga diatur oleh sistem hormonal yaitu epinefrine dan

norepinefrine. Epinefrine disekresikan oleh medulla adrenal ke dalam darah pada

rangsangan simpatis yang berfungsi mengatur irama jantung. Cara yang sama juga

dilakukan oleh hormon norepinefrine (Barret, Barman, Baitano & Brooks, 2014).

Patofisiologi gangguan denyut nadi

Denyut nadi dan tekanan darah saling berhubungan. Denyut nadi adalah

gelombang darah yang diciptakan oleh kontraksi ventrikel kiri jantung. Secara

umum, gelombang nadi merupakan representasi volume output atau jumlah darah

yang masuk ke arteri setiap kontraksi ventrikel. Pada orang yang sehat, denyut

nadi mencerminkan detak jantung, yaitu denyut nadi sama dengan tingkat

kontraksi ventrikel dari jantung. Namun, pada beberapa jenis penyakit

kardiovaskular, detak jantung dan denyut nadi dapat berbeda (Berman, Snyder &

Frandsen, 2016).

Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut nadi, yaitu: (1) usia, seiring

pertambahan usia, denyut nadi secara bertahap menurun secara keseluruhan, (2)

jenis kelamin, setelah pubertas, rata-rata denyut nadi pria sedikit lebih rendah

Universitas Sumatera Utara


47

daripada denyut nadi wanita, (3) olahraga, denyut nadi biasanya meningkat

dengan aktivitas, (4) demam, suhu tubuh yang meningkat akan menyebabkan

peningkatan denyut nadi akibat dari (a) respons terhadap penurunan tekanan darah

yang dihasilkan dari vasodilatasi perifer terkait dengan peningkatan suhu tubuh,

dan (b) peningkatan laju metabolisme, (5) obat-obatan, beberapa obat-obatan

dapat menurunkan dan meningkatkan denyut nadi. Misalnya, kardiotonik dapat

menurunkan denyut jantung, sedangkan epinefrin meningkat denyut nadi, (6)

hipovolemia/dehidrasi, hilangnya darah dari sistem vaskular dapat meningkatkan

denyut nadi. Pada orang dewasa, hilangnya volume sirkulasi akan menyebabkan

penyesuaian denyut jantung untuk meningkatkan tekanan darah untuk

mengkompensasi volume darah yang hilang, (7) stres, menanggapi stres, stimulasi

saraf simpatik dapat meningkatkan keseluruhan aktivitas jantung. Stres akan

menyebabkan peningkatkan laju dan kekuatan detak jantung, begitu juga

ketakutan dan kecemasan serta persepsi sakit parah akan menstimulasi sistem

simpatik, (8) posisi tubuh, ketika terjadi beberapa gerakan pada saat berdiri atau

saat duduk akan meningkatkan denyut nadi sebanyak 5-10 denyut permenit.

Perubahan dari duduk ke berdiri atau sebaliknya dari berdiri ke duduk disebabkan

karena aktivitas dari reflek sinus karotis, dan (9) patologi, penyakit tertentu seperti

beberapa kondisi jantung atau gangguan oksigenasi dapat mengubah denyut nadi

istirahat (Berman, Snyder & Frandsen, 2016).

Universitas Sumatera Utara


48

Pupil

Pengaturan diameter pupil

Nukleus nervus okulomotorius berada di otak tengah (mesensefalon) yaitu

di bagian dorsal talamus dan basal ganglia. Ada beberapa akson dari serabut

motorik nervus III yang berjalan menyilang di daerah nukleus dan kemudian

bersama dengan serabut yang tidak menyilang serta serabut parasimpatis

melanjutkan perjalanannya melalui nukleus ruber ke dinding lateral bawah fossa

interpedunkularis dan kemudian keluar di antara nervus okulomotorius. Kedua

saraf ini berjalan di antara arteri serebri posterior dan arteri sereberalis superior

(Guyton, 2008).

Saraf ini mula-mula menembus rongga subarakhnoid sisterna basalis,

melewati subdural, menyeberang ligamen sfenopetrosus (lokasi yang rentan

terhadap tekanan waktu herniasi) dan masuk ke dalam sinus kavernosus. Dari sini

nervus III akan memasuki rongga orbita melalui fisura orbitalis superior. Serabut

parasimpatis akan meninggalkan saraf III dan akan bergabung dengan gaglion

siliaris. Sewaktu memasuki orbita, serabut somatik nervus III akan pecah menjadi

dua, yaitu cabang atas/dorsal akan terus menuju palpebra dan muskuus rektus

superior, sedangkan cabang bawah/ventral akan menginversi musculus rektus

medialis inferios dan muskulus obliqus inferior (Mathôt, S. 2018).

Ukuran pupil dikendalikan oleh dua jalur yang meskipun saling

berhubungan satu sama lain, namun dianggap berbeda yaitu jalur parasimpatik

untuk konstriksi pupil dan jalur simpatik untuk dilatasi. Konstriksi pupil

dikendalikan oleh otot sfingter iris. Otot sfingter iris melingkari pupil seperti tali

Universitas Sumatera Utara


49

yang akan mengurangi ukuran pupil ketika berkontraksi. Otot sfingter iris

dipesarafi oleh sistem saraf parasimpatik, bagian dari sistem saraf otonom, dan

jalur konstriksi adalah jalur subkortikal yang menghubungkan retina ke otot

sfingter iris (Mathôt, S. 2018).

Alur terjadinya konstriksi pada pupil adalah: (1) ketika cahaya jatuh pada

retina, impuls saraf dikirim sepanjang saraf optik ke kiasma optik, (2) kemudian

kiasma optik menggabungkan input dari retina di kedua mata dan mengaturnya

kembali berdasarkan bidang visual, setelah itu mengirimkannya ke nukleus

pretektal (PN) (yaitu, informasi dari bidang visual kiri menuju ke nukleus

pretektal di sisi kanan dan bidang visual kanan menuju ke nukleus di sisi kiri), (3)

dari nukleus pretektal, informasi dikirim ke nukleus Edinger-Westphal (EWN).

Setiap EWN menerima input dari nukleus pretektal kiri dan kanan, yaitu EWN

kiri dan kanan menerima input dari kedua mata dan kedua bidang visual kemudian

menggabungkan informasi dari sisi visual kiri dan kanan, (4) dari EWN, informasi

dikirim melalui saraf Okulomotorius (III) menuju ganglion siliari (CG) yang

terletak tepat di belakang mata, dan (5) dari dari ganglion siliari, informasi dikirim

melalui saraf siliari pendek ke otot sfingter iris (Mathôt, S. 2018).

Dilatasi pupil dikendalikan oleh otot dilator iris. Otot dilator ini terdiri dari

serat yang berorientasi radial, dan menghubungkan bagian luar iris dengan bagian

dalam iris. Otot dilator iris dikendalikan oleh sistem saraf simpatik, ketika otot

dilator berkontraksi akan menarik bagian dalam iris ke arah luar, sehingga

memperbesar ukuran pupil. Jalur dilatasi adalah jalur subkortikal yang dimulai

Universitas Sumatera Utara


50

dari hipotalamus dan lokus coeruleus (LC) dan menghubungkan ke otot dilator

iris (Mathôt, S. 2018).

Alur terjadinya dilatasi pada pupil adalah: (1) lokus coeruleus (LC) sangat

aktif ketika individu dalam keadaan terjaga, terangsang, dan waspada. LC

memproyeksikan ke ruang intermedio-lateral (IML) sumsum tulang belakang, (2)

hipotalamus adalah struktur yang rumit dengan banyak koneksi dan subnukleus;

namun, dalam konteks pelebaran pupil perannya mirip dengan LC (aktivitas di

hipotalamus memproyeksikan gairah dan terjaga dan memproyeksikan ke IML).

Hipotalamus dan LC juga memiliki koneksi rangsangan timbal balik, (3) proyeksi

IML ke ganglion servikal superior (SCG), terletak tepatt di luar sumsum tulang

belakang, dan (5) proyeksi SCG, melalui jaringan saraf yang rumit ke otot iris

dilator (Mathôt, S. 2018).

Meskipun jalur konstriksi dan dilatasi berbeda, namun keduanya

berinteraksi melalui tiga cara, yaitu: (1) lokus coeruleus (LC) menghambat EWN;

yaitu, aktivitas LC menyebabkan dilatasi pupil tidak hanya dengan mengaktifkan

jalur dilatasi simpatis, tetapi juga dengan menghambat jalur penyempitan

parasimpatik pada EWN (Steinhauer, Siegle, Condray, & Pless, 2004), (2)

demikian pula, lapisan menengah dari colliculus superior (iSC), yang tidak

dianggap sebagai bagian dari jalur pupil, menghambat EWN; mungkin, koneksi

penghambatan ini mendorong dilatasi pupil cepat disertai respon orientasi (C.

Wang & Munoz, 2015), (3) respon cahaya pada pupil ada dua yaitu respon

langsung dimana cahaya mengaktifkan jalur konstriksi, menyebabkan pupil

konstriksi. Tetapi cahaya juga mengaktifkan jalur dilatasi, melalui koneksi

Universitas Sumatera Utara


51

nukleus suprakiasmatik (SCN) (yang merupakan bagian dari hipotalamus) dan

hipotalamus dorsomedial (DMH) ke lokus coeruleus (LC). Dengan kata lain,

cahaya mendorong konstriksi pupil melalui jalur langsung, dan dilatasi pupil

melalui jalur tidak langsung (Mathôt, S. 2018).

Patofisiologi perubahan pupil

Pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan intrakranial akibat edema

serebri, akan terjadi kompresi saraf okulomotor (saraf kranial III) mengakibatkan

dilatasi pupil ipsilateral, lamban atau tidak berespon terhadap cahaya,

ketidakmampuan untuk menggerakkan mata ke atas dan kelopak mata ptosis.

Tanda-tanda ini dapat diakibatkan oleh pergeseran otak dari garis tengah

(midline), sebuah proses kompresi saraf kranial III, paralisis spinkter pupil

(Corwin, 2009).

Pelebaran pupil pada satu bagian menunjukkan keadaan kegawatan

neurologi yang mengindikasikan herniasi transtentorial otak. Saraf kranial lain

juga dapat terpengaruh seperti saraf optik (II), saraf troklear (IV), dan saraf

abdusen (VI). Tanda disfungsi saraf kranial termasuk pandangan kabur, diplopia,

dan perubahan gerakan mata ekstraokular. Herniasi sentral awalnya dapat

bermanifestasi pupil lamban tetapi diameter sama (Corwin, 2009).

Menurut Majdan, Steyerberg, Nieboer, Mauritz, Rusnak & Lingsma (2015),

terdapat hubungan antara aliran darah serebral ke batang otak terhadap

mekanisme dilatasi pupil selain adanya kompresi saraf kranial III. Dilatasi pupil

diakibatkan oleh berkurangnya aliran darah menuju batang otak (iskemia batang

otak).

Universitas Sumatera Utara


52

Hasil penelitian Ritter, Mauzilaar, Barnes, Choi, Fatourus, Ward & Bullock

(1999), juga menyimpulkan bahwa dilatasi pupil berkaitan dengan penurunan

aliran darah menuju batang otak (iskemia), karena tidak semua pasien dengan

herniasi menunjukkan dilatasi pupil dan nonreaksi terhadap cahaya.

Penurunan fungsi motorik

Fisiologi sistem motorik

Area otak yang mengurusi motorik atau gerakan berasal dari area otak yang

terletak di girus presentralis lobus frontalis. Saluran kortikospinalis merupakan

elemen utama dari sistem piramidal dan merupakan satu-satunya hubungan

langsung antara korteks dan medulla spinalis (Black & Hawks, 2009). Fungsi dari

saluran kortikospinalis yaitu untuk mengatur tonus otot dan memelihara

menegakkan postur.

Fungsi ini dipengaruhi juga oleh formasio retikularis, nukleus vestibularis,

dan beberapa otak tengah. Dua struktur otak lain yang penting untuk fungsi motor

yaitu serebelum dan ganglia basalis. Aktifitas serebelum dan ganglia basalis ini

memperhalus gerakan otot (Black & Hawks, 2009).

Saluran kortikospinalis dimulai dari korteks motor, vertikal bandyang

berada dalam setiap lobus frontal. Di medula, saluran kortikospinalal melintang ke

sisi yang berlawanan, berlanjut ke anterior sumsum tulang belakang, berada di

dekat sel saraf motor. Dalam perjalanan menuju pons, serat motor menyatu

menjadi ikatan yang erat dan dikenal kapsul internal. Cedera yang relatif kecil

pada kapsul internal menyebabkan kelumpuhan yang lebih parah daripada cedera

yang lebih besar pada korteks itu sendiri (Brunner & Suddarth, 2010).

Universitas Sumatera Utara


53

Sampai titik ini, dikenal sebagai neuron motorik atas (upper motor neuron).

Saat terhubung dengan serat motor dari saraf tulang belakang, makaakan menjadi

neuron motorik bawah (lower motor neuron). Neuron motor bawah menerima

impuls di bagian posterior dan bergerak menuju persimpangan myoneural yang

terletak di otot perifer (Brunner & Suddarth, 2010).

Aktivitas motorik dimediasi oleh tiga area kortek yakni, area motorik primer

(area 4 broadman), area premotor (area 6 broadman) dan area motorik tambahan.

Fungsi dari area motorik primer adalah untuk menimbulkan gerakan-gerakan

individual pada berbagai bagian tubuh. Sedangkan fungsi dari area premotorik

adalah untuk menyimpan program aktivitas motorik yang dikumpulkan

berdasarkan pengalaman yang lalu (Black & Hawks, 2009).

Dengan demikian, area premotorik membuat program aktivitas motorik

pada area motorik primer. Area ini terutama berperan untuk mengontrol gerakan

postural kasar melalui hubungannya dengan basal ganglia. Area motorik

tambahan terletak di girus frontalis medialis pada permukaan medial hemisferium

dan di anterior lobulus parasentralis. Area motorik tambahan mentransmisikan

informasi dari area lain di kortek dan basal ganglia ke kortek motorik primer

(Gordon, 2005).

Dalam sistem gerak, beberapa area di otak saling bekerjasama untuk

menghasilkan gerakan yang halus terkoordinasi. Gerakan yang terampil dan

terkoordinasi dihasilkan dari kerja kortek motorik yang dibantu oleh basal ganglia

(Gordon, 2005). Untuk memulai gerakan, sel-sel khusus harus mengirimkan

rangsangan di sepanjang seratnya. Stimulasi sel-sel ini dan arus listrik akan

Universitas Sumatera Utara


54

menghasilkan kontraksi otot. Ganglia basalis mendapatkan input dari korteks

motorik kemudian memberikan output ke korteks. Supaya dapat terjadi gerakan,

pusat motor membutuhkan informasi yang konstan dari reseptor otot, sekitar sendi

dan pada kulit, mengenai apakah gerakan sesuai dengan perencanaan (Black &

Hawks, 2009).

Sebuah perencanaan motorik dibuat oleh area premotor yang nantinya akan

dieksekusi oleh area motorik primer. Gerakan yang dihasilkan oleh kortek

motorik primer masih kasar, sehingga perlu dikontrol oleh area premotor yang

berhubungan dengan basal ganglia. Dengan peran dari basal ganglia maka gerakan

yang dihasilkan akan lebih terkontrol (Gordon, 2005). Setiap saraf motorikyang

menggerakkan setiap otot merupakan komposisi gabungan ribuan saraf-saraf

motorik bawah (Brunner & Suddarth, 2010).

Patofisiologi gangguan motorik

Perubahan kemampuan motorik akan terjadi apabila peningkatan tekanan

intrakranial terus meningkat. Beberapa gerakan agresif dan terarah dalam

menanggapi rasa sakit atau rangsangan dapat menyebabkan kekakuan dan postur

tubuh yang abnormal jika saluran motor terganggu pada tingkat tertentu. Respon

terhadap rangsangan dapat berupa gerakan defensif atau gerakan menarik

(purposeful). Tidak adanya gerakan ini menandakan kerusakan yang meluas di

seluruh sistem kortikospinalis. Sedangkan gerakan nonpurposeful adalah berup

ameringis, mengerang dan postur tubuh (posturing), gerakan ini menandakan

kerusakan pada sistem kortikospinal (Casey, 2013).

Universitas Sumatera Utara


55

Rangsangan nyeri dapat menyebabkan kekakuan dan postur tubuh yang

tidak normal jika saluran motorik terganggu. Postur abnormal ini disebut

dekortikasi dan deserebrasi. Dalam beberapa kasus, postur tubuh dapat terlihat

jelas tanpa rangsangan nyeri. Dekortikasi dan deserebrasi menunjukkan kerusakan

serebral pada tingkat tertentu serta perubahan pada kondisi pasien (Hickey, 2009).

Postur dekortikasi (fleksi) dicirikan oleh fleksi lengan, pergelangan tangan,

dan jari tangan, dengan abduksi ekstremitas atas, rotasi internal, dan fleksi plantar

pada ekstremitas bawah. Postur dekortikasimerupakan akibat lesi hemisfer otak

atau kapsul internal. Postur deserebrasi (ekstensor) merupakan akibat dari

peningkatan rangsangan otot. Ditandai dengan kekakuan lengan dengan telapak

tangan berpaling dari tubuh dan dengan kaki yang kaku dan fleksi plantar pada

kaki. Respon ini terjadi akibat kerusakan rostral-ke-kaudal, saat lesi diencephalon

meluas dan melibatkan otak tengah dan batang otak bagian atas (Porth, 2011).

Postur deserebrasi terjadi ketika kerusakan telah meluas ke batang otak (Casey,

2013).

Deserebrasi, juga disebut dengan respon ekstensi abnormal, yaitu adduksi

dan hiperpronasi lengan dengan kekakuan yang meluas pada kaki dan fleksi

plantar kaki. Secara sederhana, deserebrasi adalah hyperextensi kedua ekstremitas

atas dan bawah. Respon ini muncul akibat kerusakan rostral sampai kaudal, yang

akan terjadi bila terjadi lesi pada diansefalon yang meluas sehingga menyebabkan

kerusakan otak bagian bawah atau bagian atas (Hickey, 2009).

Stroke juga akan mempengaruhi banyak fungsi tubuh. Fungsi yang

terganggu tergantung bagian otak yang diperdarahi oleh arteri. Beberapa tanda

Universitas Sumatera Utara


56

dan gejala stroke berdasarkan arteri serebral yang terlibat adalah: (Hickey, 2009;

Merwick & Werring, 2014).

No Arteri Area otak yang terlibat Tanda dan gejala


1 Arteri serebral anterior Infark pada bagian medial dari Paralisis kaki kontralateral, gangguan gaya
satu lobus frontal jika lesi pada berjalan, paresis lengan kontralateral,
distal arteri komunikan arteri, Kehilangan sensorik kontralateral pada jari
infark frontal bilateral jika kaki dan kaki, gangguan dalam membuat
mengalir pada arteri serebral keputusan atau melakukan tindakan secara
anterior lainnya tidak adekuat volunter, spontanitas berkurang, mudah
bingung, pemikiran yang lamban, aphasia,
inkontinensia urin, gangguan kognitif dan
afektif
2 Arteri serebral tengah Infark besar pada sebagian besar Hemiplegia kontralateral (wajah dan
lateral hemisfer dan struktur yang lengan), gangguan sensorik kontralateral,
lebih pada lobus aphasia, homonim
frontal, parietal, dan temporal, hemianopsia, perubahan kesadaran
kapsul internal, ganglia basalis (kebingungan hingga koma)
3 Arteri posterior serebral Lobus oksipital, lobus temporal Homonim hemianopsia dan gangguan
anterior dan medial visual lainnya seperti buta warna,
kehilangan penglihatan sentral, dan
halusinasi visual, defisit memori, respon
verbal atau motorik yang berulang
Keterlibatan talamus Gangguan sensoris, nyeri spontan, tremor,
hemiparesis ringan, aphasia
4 Arteri basilar dan Serebelum dan batang otak Kelumpuhan saraf okulomotorius dengan
vertebral hemiplegia kontralateral, gangguan visual
seperti diplopia, dystaxia, vertigo, disfagia
dan disfonia
5 Arteri vertebral Medulla lateral Nistagmus, vertigo, sindrom Horner
intrakranial ipsilateral, kehilangan sensori wajah
ipsilateral, disartria, suara serak, nyeri,
disfagia
6 Serebellar inferior Medulla medial Kelemahan lidah ipsilateral dan hemiatropi
posterior lidah, hemiparesis kontralateral tangan dan
kaki (sentuhan dan proprioseptif)
7 Pontine Pons Hemiparesis atau kehilangan hemisensori,
ataksia, hemiparesis, disartria, kehilangan
kemampuan bicara namun kesadaran masih
dapat dipertahankan
8 Basilar atas Talamus Samnolen, bingung, kehilangan visual
bilateral, penurunan kesadaran
9 Arteri serebral posterior Pedunkul serebral inferior Ataksia dan vertigo
inferior
10 Arteri serebral posterior Talamus Homonymous hemianopsia kontralateral
(infark oksipital), kehilangan hemisensori
& nyeri pada bagian bawah tubuh (infark
talamus)

Tabel 4: tanda dan gejala kerusakan otak berdasarkan pembuluh darah otak yang terlibat

Universitas Sumatera Utara


57

Komplikasi stroke hemoragik

Komplikasi stroke hemoragik adalah:

Hipoksia serebral dan penurunan aliran darah

Komplikasi segera dari stroke hemoragik meliputi hipoksia serebral,

penurunan aliran darah serebral, dan perluasan area yang rusak. Aliran darah

serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh

darah serebral. Hidrasi yang memadai harus dipastikan untuk mengurangi

viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. Pemberian oksigenasi

darah yang cukup ke otak juga dapat meminimalkan hipoksia serebral, seperti

dengan pemberian oksigen tambahan dan menjaga hemoglobin serta hematokrit

akan membantu dalam menjaga oksigenasi jaringan (Brunner & Suddarth, 2010).

Hipertensi ekstrim atau hipotensi perlu dihindari untuk mencegah perubahan

aliran darah serebral dan berpotensi memperpanjang area cedera. Kejang juga bisa

membahayakan aliran darah serebral, yang mengakibatkan luka lebih lanjut pada

otak (Brunner & Suddarth, 2010).

Vasospasme

Vasospasme serebral (penyempitan lumen pembuluh darah kranial) adalah

komplikasi serius perdarahan subarachnoid dan merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas pada pasien perdarahan subarachnoid awal (Brunner &

Suddarth, 2010). Mekanisme vasospasme dikaitkan dengan meningkatnya jumlah

darah pada subarachnoid dan celah serebral.

Vasospasme sering terjadi setelah 3 sampai 14 hari setelah perdarahan awal,

saat bekuan darah mengalami lisis dan kemungkinan terjadinya perdarahan ulang

Universitas Sumatera Utara


58

meningkat (Hickey, 2009). Vasospasme menyebabkan meningkatnya resistensi

vaskular, yang menghambat aliran darah serebral dan menyebabkan iskemia otak

dan infark. Tanda dan gejala vasospasme mencerminkan area otak yang terkena,

umumnya ditandai oleh sakit kepala yang memburuk, penurunan tingkat

kesadaran (kebingungan, kelesuan, dan disorientasi), atau defisit neurologis fokal

(afasia, hemiparesis) (Brunner & Suddarth, 2010).

Hipertensi

Hipertensi sering kali dijumpai pada pasien dengan stroke akut bahkan

pasien yang sebelumnya normotensi sekalipun pada fase akut dapat mengalami

peningkatan tekanan darah. Pada 24 jam pertama fase akut stroke lebih dari 60%

pasien datang dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg dan lebih dari 28%

memiliki tekanan darah diastolik >90 mmHg (Mardjono, 2006).

Peningkatan tekanan darah pada stroke akut merupakan respon otak

(mekanisme autoregulasi) yang sangat sensitif terhadap keadaan iskemia dan

bertujuan untuk meningkatkan tekanan perfusi otak sehingga aliran darah akan

meningkat. Diharapkan dengan respon tersebut kerusakan di area penumbra tidak

bertambah berat. Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat pada stroke akut

dapat memperluas infark dan perburukan neurologis (Brunner & Suddarth, 2010).

Peningkatan tekanan intrakranial

Peningkatan tekanan intrakranial (ICP) adalah peningkatan salah satu atau

ketiga komponen di dalam tengkorak yaitu otak sekitar 80% dari volume total

atau (1.400 g), cairan serebrospinal (sekitar 10% atau 75 mL) dan darah (sekitar

10% atau 75 mL). Tekanan intrakranial normal adalah 0-15 mmHg, apabila nilai

Universitas Sumatera Utara


59

diatas 15 mmHg dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau peningkatan

tekanan intrakranial (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Margaret & Bucher, 2012).

Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial pada stroke hemoragik

disebabkan oleh peningkatan volume otak akibat terbentuknya edema serebral

segera setelah stroke hemoragik. Edema serebral didefinisikan sebagai suatu

keadaan peningkatan volume otak akibat peningkatan muatan cairan di jaringan

otak. Ada tiga jenis edema serebral yaitu: (1) edema vasogenik, (2) edema

sitotoksik, dan (3) edema interstisial.

Edema interstisial

Edema ini merupakan akibat dari transudasi cairan serebrospinal pada kasus

hidrosefalus. Tampilan edema pada CT scan terlihat sebagai area hipodens

periventrikuler akibat rembesan dari cairan serebrospinal ke dalam rongga

interstisiel (ekstraseluler) massa putih otak (terutama daerah frontal) (Satyanegara,

2014).

Edema sitotoksik

Merupakan pembengkakan elemen sel otak (neuron, glia, dan sel endotel)

akibat kegagalan metabolisme energi seluler (hipoksia jaringan saraf). Hipoksia

menyebabkan kelumpuhan mekanisme pompa Na-ATP dependen sehingga terjadi

akumulasi natrium intraseluler serta diikuti oleh mengalirnya air ke dalam sel

untuk mempertahankan keseimbangan osmotik (Satyanegara, 2014).

Dengan demikian, edema jenis ini terutama intraseluler dapat melibatkan

semua sel termasuk sel endotel, astrosit, dan neuron. Akibatnya, sel-sel tersebut

bengkak maka rongga interstisial akan menyempit. Dua penyebab utama dari

Universitas Sumatera Utara


60

edema sitotoksik adalah hipoksia dan intoksikasi air (Satyanegara, 2014). Edema

sitotoksik ini terjadi pada wilayah gray matter otak, dan edema sitotoksik

biasanya mendahului edema vasogenik (Affandi & Panggabean, 2016).

Edema sitotoksik dapat melibatkan jaringan otak yang lebih banyak, efek

massa (edema) akan berkembang dan menghasilkan daerah penumbra yang

memiliki viabilitas dengan prognosis buruk. Pada daerah ini, jaringan menjadi

rapuh akibat meningkatnya efek massa intrakranial sehingga dapat

menghancurkan sirkulasi mikrovaskular, menurunkan tekanan perfusi otak, dan

menurunkan aliran darah otak yang akan menyebabkan iskemia jaringan lebih

banyak dan akan menyebabkan lebih banyak edema (Lopez, Afshinnik &

Samuels, 2011).

Edema vasogenik

Edema vasogenik merupakan pengumpulan cairan ekstraseluler yaitu cairan

yang kaya akan protein keluar dari intravaskuler ke ekstraseluler. Edema

vasogenik biasanya terjadi pada wilayah white matter otak. Edema ini terjadi

akibat peningkatan permeabilitas kapiler yaitu tight junction sel endotel kapiler

menjadi tidak kompeten karena kerusakan sawar darah otak sehingga filtrat

plasma bocor dari ruang intravaskuler keluar menuju ruang interstisiel. Kebocoran

sawar darah otak dapat terjadi karena beberapa keadaan seperti cedera kepala,

tumor, infeksi, perdarahan intraserebri, dan inflamasi (Satyanegara, 2014).

Dapat disimpulkan, edema vasogenik merupakan peningkatan cairan

esktrasel yang terjadi karena kebocoran sawar darah otak. Akibatnya terjadi

peningkatan tekanan osmotik dan cairan ke luar dari pembuluh darah dan

Universitas Sumatera Utara


61

kemudian masuk ke dalam kompartemen ekstraselular. Cairan intravaskular ini

keluar melalui endotel dengan mekanisme pinositosis dan atau tight junction yang

bocor.

Edema vasogenik akan terbentuk secara progresif pada 24 jam pertama dan

akan meningkat dengan cepat 3 hari setelah serangan stroke. Pembentukan edema

ini akan terus terjadi dengan lambat hingga 9-14 hari kemudian menurun (Zheng,

Chen, Zhang & Hu, 2016).

Formasi edema serebral terjadi melalui tiga fase, yaitu (1) pada beberapa

jam pertama setelah terjadi stroke hemoragik terjadi pembentukan bekuan darah,

sel darah merah yang intak dalam area hematoma, (2) setelah kaskade koagulasi

menjadi aktif dalam 24-48 jam berikutnya trombin menjadi aktif dan merusak

integritas sawar darah otak mengakibatkan cairan intravaskuler masuk ke ruang

ekstraseluler (edema vasogenik), dan (3) fase ketiga muncul saat sel-sel darah

merah hematoma mulai lisis. Hemoglobin dan produk-produk degradasinya

disimpan dalam parenkim otak yang menyebabkan reaksi inflamasi dan

pembentukan edema vasogenik (Tiex & Tsirka, 2010).

Ketika edema serebral terjadi maka otak akan mengalami kekurangan

persediaan darah yang memadai dan terbentuk kaskade iskemik, titik akhir dari

proses ini adalah disfungsi neuron dan kematian neuron. Di tengah daerah iskemik

adalah inti dari sel mati atau sekarat yang dikelilingi oleh area iskemik dari sel

yang bertahan yang disebut penumbra. Sel-sel penumbra akan menerima aliran

darah yang kecil namun aktivitas metaboliknya berubah. Autoregulasi lokal

sangat responsif terhadap faktor metabolisme kimia dan tekanan perfusi yang

Universitas Sumatera Utara


62

terganggu atau hilang. Kurangnya oksigen dan glukosa menyebabkan perubahan

metabolisme aerobik menjadi anaerobik (Hickey, 2009).

Tidak adanya oksigen dan glukosa mengakibatkan kegagalan produksi ATP.

Hal ini, pada gilirannya akan menyebabkan fungsi seluler yang tidak efektif dan

disfungsi re-uptake neurotransmiter ATP. Pelepasan rangsangan neurotransmiter

menyebabkan glutamat meningkat dan peningkatan nekrosis neuron (Efek

neurotoxic glutamat terjadi melalui aktivasi reseptor N-methyl-d-asparate, yang

menyebabkan peningkatan permeabilitas sel pada ion natrium, pembengkakan dan

lisis seluler, dan masuknya ion kalsium ke neuron postsinaps) (Hickey, 2009).

Peningkatan kalsium intraseluler mengaktifkan fosfolipase dan protease,

yang menghasilkan radikal bebas oksigen dan oksida nitrat. Hal ini menyebabkan

kerusakan membran, mitokondria, dan mikrotubular seluler dan kematian.

Kelangsungan hidup sel penumbra bergantung pada keberhasilan pembentukan

kembali sirkulasi yang memadai, jumlah produk akhir yang ada, edema serebral,

dan perubahan aliran darah lokal. Jika sel-sel penumbra mati, inti jaringan yang

mati akan membesar dan volume jaringan sekitarnya berisiko meningkat (Hickey,

2009).

Apabila faktor yang mempengaruhi aliran darah serebral seperti

peningkatan tekanan intrakranial berkembang, maka urutan kejadiannya adalah

sebagai berikut: penurunan aliran darah regional akan menyebabkan penurunan

tekanan perfusi serebral, sehingga terjadi hyperkapnia (peningkatan CO²) dan

hypoksia (penurunan oksigen) serta menyebabkan asidosis yang berkembang dari

hasil akhir metabolisme. Keadaan asidosis (pH rendah), hypoksia dan

Universitas Sumatera Utara


63

hyperkapnia akan mengaktifkan mekanisme regulator intraserebral (chemical-

metabolic regulation) yang menyebabkan vasodilatasi sehingga menyebabkan

peningkatan aliran darah serebral, peningkatan volume darah serebral dan

peningkatan tekanan intrakranial (Hickey, 2009).


Pembuluh darah
otak pecah
Edema serebral
Peningkatan Penurunan aliran
tekanan darah serebral
intrakranial (CBF) regional
Peningkatan volume
darah serebral (CBV)

Penurunan tekanan
perfusi serebral (CPP)
Peningkatan aliran
darah serebral (CBF)
Hipoksia

Vasodilatasi/kerusa Peningkatan
kan autoregulasi CO²

Gambar 4: Mekanisme peningkatan tekanan intrakranial pada stroke hemoragik

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis peningkatan tekanan intrakranial dapat bervariasi

tergantung pada penyebab, lokasi dan laju peningkatan tekanan yang terjadi.

Beberapa tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial menurut Williams &

Hopper (2007) adalah muntah, sakit kepala, dilatasi pupil pada bagian otak yang

terkena, hemiparesis atau hemiplagia, postur dekortikasi kemudian berkembang

menjadi postur deserebrasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi,

peningkatan suhu tubuh dan penurunan kesadaran.

Universitas Sumatera Utara


64

Menurut Rajesh, Hepner & Krisnakumar (2017), beberapa tanda dan gejala

peningkatan tekanan intrakranial adalah edema papil dan kelumpuhan saraf

keenam, sikap abnormal (deserebrasi/dekortikasi), dilatasi pupil abnormal,

Cushing triad (bradikardia, peningkatan tekanan darah dan pernapasan tidak

teratur), pernafasan Cheyne-Stokes dan defisit neurologis fokal dengan spastisitas.

Terapi Hiperosmolar

Terapi hiperosmolar adalah salah satu intervensi kunci untuk pengelolaan

edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial (ICP). Agen-agen osmotik

digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial (ICP) dapat meningkatkan

perfusi jaringan serebral dan meningkatkan aliran darah otak karena memiliki efek

yang cepat (Scalfani, Dhar, Zazulia, Videen & Diringer, 2011).

Manitol

Manitol adalah zat alami yang ditemukan dalam ganggang laut, jamur segar,

dan dalam eksudat dari pohon. Manitol bersifat asam (pH 6.3) dan dapat

mengkristal jika disimpan pada suhu kamar, tetapi dapat dibuat larut lagi dengan

pemanasan (Shawkat, Westwood & Mortimer, 2012).

Fakmakokinetik Manitol

Secara kimia, manitol adalah polialkohol nonmetabolik 1,2,3,4,5,6-

hexanehexol (C6H14O6) dengan berat molekul 182 da atau merupakan alkohol

gula yang berukuran kecil (molekul yang mempunyai berat <500 da termasuk

molekul yang berukuran kecil) (Castillo & Leira, 2009).

Dengan berat molekulnya yang rendah (182), manitol secara bebas disaring

melalui tubulus ginjal. Namun, karena tidak diserap maka akan terus menjadi

Universitas Sumatera Utara


65

osmotik aktif dalam tubulus, hal inilah yang menyebabkan aksinya sebagai

diuretik osmotik (Shawkat, Westwood & Mortimer, 2012).

Manitol didistribusikan hampir seluruhnya dalam cairan ekstraseluler, dan

hanya sedikit yang masuk ke dalam sel. Sehingga, hanya 7% hingga 10% yang

dimetabolisme di hati, sedangkan sisanya secara bebas disaring oleh glomerulus

dalam waktu 30-60 menit. Dengan fungsi ginjal normal, half life manitol dalam

sirkulasi plasma adalah sekitar 15 menit (Katzung & Trevor, 2015).

Farmakodinamik Manitol

Di dalam tubuh pemberian manitol akan membentuk suatu

ketidakseimbangan tekanan osmotik antara kompartemen intraseluler dan

ekstraseluler yang keduanya dipisahkan oleh membran sel. Tekanan hidrostatik

dan tekanan osmosis kapiler bekerja berlawanan arah pada dinding kapiler.

Tekanan hidrostatik berkerja menekan cairan keluar dari kapiler, sedangkan

tekanan osmosis berfungsi menarik cairan kedalam endotel.

Disinilah peran manitol dalam penurunan tekanan intrakranial, yaitu pada

efektivitas osmotiknya yang mampu menarik cairan intraseluler ke dalam

intravaskuler, sehingga edema otak akibat peningkatan kadar air dalam jaringan

otak akan menurun. Selain itu, peningkatan cairan dalam intravaskuler juga akan

menurunkan viskositas darah sehingga akan meningkatkan aliran darah ke otak

(Shawkat, Westwood & Mortimer, 2012).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rahmah (2012), didapatkan hasil

bahwa terdapat kecenderungan penurunan kadar hematokrit pasca pemberian

manitol dan akan meningkat kembali ke kadar normal 6 jam pasca pemberian

Universitas Sumatera Utara


66

manitol. Terdapat hubungan antara hematokrit (viskositas darah) dengan aliran

darah serebral, dimana peningkatan hematokrit berhubungan dengan penurunan

signifikan aliran darah serebral dan penurunan hematokrit akan menyebabkan

peningkatan aliran darah serebral (Dringer, Scalfani, Zazulia,, Videen, Dhar &

Power, 2012).

Efek penurunan hematokrit oleh manitol ini terjadi pada tahap hemodilusi

sesuai penelitian Kao-Chang Lin (2008). Penelitian ini menyatakan bahwa

mekanisme penurunan tekanan intrakranial oleh manitol terjadi dalam dua tahap

yakni: (1) tahap hemodilusi, terjadi akibat interaksi sistemik dengan serebral. Efek

sistemik yang terjadi adalah efek sirkulasi berupa peningkatan cardiac output

sampai 30% dan peningkatan tekanan pengisian jantung yang akan menyebabkan

terjadinya plasma expanding. Interaksi ini akan menyebabkan terjadinya

peningkatan velositas aliran darah serebral, tekanan pembuluh darah vena dan

kemampuan transport oksigen, dan (2) hemokonsentrasi, terjadi akibat mekanisme

autoregulasi pembuluh darah serebral (Rahmah, 2012).

Dosis Manitol

Dosis manitol yang direkomendasikan oleh The Brain Trauma Foundation

adalah 0,25-1 g/kgBB dengan dosis awal sebesar 0,5-1 g/kgBB, diberikan secara

bolus larutan manitol 20% selama 20 menit, diikuti oleh 0,25-0,5 g/kgBB tiap 4-6

jam. Pada situasi peningkatan tekanan intrakranial yang gawat, terapi mannitol per

infus dengan dosis 0,5-1,5 g/kg BB diberikan dengan diguyur, dan kemudian

dilanjutkan dengan dosis 0,25-0,5 g/kg BB tiap 4-6 jam untuk memelihara

Universitas Sumatera Utara


67

tekanan intrakranial dalam rentang yang aman dengan tetap memperhatikan

osmolaritas serum tidak melebihi 320 mOsm (Satyanegara, 2014).

Efek klinis segera dapat diperoleh dalam waktu 15 menit dan berakhir

setelah satu sampai beberapa jam, dimana pada jeda waktu tersebut terbentuk

gradien antara plasma dan sel. Efek klinis dapat bertahan selama periode yang

bervariasi antara 90 menit hingga 6 jam atau lebih tergantung pada kondisi klinis

(Sharma, Setlur & Swamy, 2011).

Efek samping Manitol

Disamping beberapa manfaat manitol terhadap penurunan tekanan

intrakranial, efek samping pemberian terapi diuretik osmotik ini juga harus

diperhatikan, yaitu: (1) vasodilatasi sistemik dan serebral sesaat bila diberikan

dalam dosis besar dan cepat, (2) hipovolemia intravaskuler sesaat yang

dilanjutkan dengan diuresis dan hipovolemia yang persisten, (3) gangguan

elektrolit serum, (4) keadaan hiperosmotik, (5) peningkatan tekanan intrakranial

berulang (rebound phenomenon) pada penghentian pemberian yang mendadak,

(6) eksaserbasi perdarahan intrakranial yang aktif, (6) hipovolemia, (7)

hemokonsentrasi, (8) hiperglikemia, (9) asidosis metabolik, dan (10) gagal ginjal

(Satyanegara, 2014).

Peran perawat dalam terapi hiperosmolar

Terapi obat merupakan bagian penting dalam perawatan pasien dan tidak

dapat dilihat secara terpisah dari pasien, penyakit pasien atau aspek perawatan

lainnya. Sehingga agar terapi obat menjadi efektif dan aman harus diintegrasikan

dengan semua aspek lain perawatan pasien.

Universitas Sumatera Utara


68

Perawat memegang peran kunci dalam proses pengobatan dan pada

keselamatan pengobatan. Mulai dari memesan obat sesuai order, menyimpan dan

meracik obat sesuai order hingga memberikan obat kepada pasien. Perawat harus

memiliki pengetahuan tentang setiap intervensi yang diberikan termasuk

paramater penilaian dan pemahaman tentang farmakologi.

Selain itu, perawat juga harus mengetahui prinsip 7 benar dan

mempraktekkannya dalam asuhan keperawatan yang profesional, yaitu: (1) benar

pasien, (2) benar obat, (3) benar dosis, (4) benar waktu, (5) benar rute, (6) benar

indikasi, dan (7) benar dokumentasi (Hicks, Wanzer & Denholm, 2012).

Manajemen keperawatan stroke akut

Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan stroke

berlangsung sampai satu minggu. Penatalaksanaan stroke fase ini ditujukan untuk

prevensi terjadinya komplikasi, restorasi/rehabilitasi dini dan upaya preventif

sekunder (Yuhua, 2015).

Perawat mempunyai peran penting dalam perawatan 72 jam pertama pasien

stroke akut dan terapi obat pasien. Elemen kunci perawat dalam pengobatan pada

72 jam pertama stroke akut menurut Middleton, Grimley & Alexandrov, (2015)

adalah: 1) Monitoring (penilaian neurologis, pemantauan saturasi oksigen,

pemantauan jantung, pemantauan tekanan darah, pemantauan suhu, pemantauan

glukosa, skrining disfagia, pemantauan keseimbangan cairan, penilaian asuhan

keperawatan komprehensif), 2) pengobatan/treatment (menginterpretasi hasil tes

laboratorium dan neuroimaging, dukungan jalan nafas, manajemen hipertensi,

manajemen suhu, manajemen hiperglikemia, posisi kepala, perawatan paliatif,

Universitas Sumatera Utara


69

pendidikan kesehatan untuk pasien dan pengasuh/keluarga, rehabilitasi), dan 3)

pencegahan komplikasi (inkontinensia, mobilisasi dini, hidrasi, nutrisi, kebersihan

mulut, perawatan area tekan, antibiotik).

Status Neurologis

Status neurologis merupakan kemampuan sistem saraf perifer dan pusat

untuk menerima, memproses dan merespon rangsangan internal dan eksternal

(Moorhead, Johnson, Maas & Swanson, 2013). Semua pasien stroke akut harus

dipantau status neurologis dan tanda-tanda vital secara terus menerus, karena

pengamatan neurologis yang akurat akan membantu identifikasi awal dan

pengelolaan perburukan kondisi pasien selanjutnya.

Pentingnya pemeriksaan status neurologis pada pasien stroke akut adalah

karena pada pasien stroke fase akut terjadi perubahan hemodinamik seiring

dengan pecahnya pembuluh darah otak dan munculnya edema serebral serta

peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan hemodinamik ini menyebabkan

hypoperfusi serebral dan berdampak pada status neurologis yang buruk.

Peningkatan tekanan intrakranial dalam rongga yang kaku akan menurunkan

tekanan darah otak ke titik dimana aliran darah serebral atau cerebral blood flow

(CBF) dapat turun ke tingkat yang menyebabkan iskemia dan cedera otak

sekunder. Penurunan aliran darah serebral ini akan menurunkan volume darah

serebral atau cerebral blood volume (CBV) dan perubahan oksigenasi kapiler dan

vena (Zauner & Muizelaar, 1997).

Menurut Zauner & Muizelaar (1997), terdapat hubungan antara aliran darah

serebral (CBF) dengan aktivitas neuron, yaitu peningkatan aliran darah serebral

Universitas Sumatera Utara


70

akan meningkatkan aktivitas neuron. Hubungan antara aliran darah serebral

dengan aktivitas neuron ini dikenal dengan neurovascular coupling.

Penelitian yang dilakukan Obrist, Gennarelli, Segawa, Dolinskas, dan

Langfitt (1979) menyimpulkan bahwa aliran darah serebral berkorelasi dengan

tingkat kesadaran. Semakin meningkat aliran darah serebral maka tingkat

kesadaran juga akan semakin meningkat.

Hasil penelitian Bouma, Muizelaar, Choi, Newlon & Young (1991) juga

menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara aliran darah serebral (CBF) dengan

skor motorik pasien, yaitu peningkatan aliran darah serebral akan meningkatkan

skor motorik pasien. Aliran darah serebral juga berkorelasi dengan ukuran pupil.

Hal ini terkait dengan penurunan atau peningkatan aliran darah ke batang otak

(Majdan, Steyerberg, Nieboer, Mauritz, Rusnak & Lingsma, 2015).

Pemeriksaan status neurologis dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1)

pemeriksaan status neurologis pada pasien sadar (dapat mengikuti perintah), dan

(2) pemeriksaan status neurologis pada pasien tidak sadar (tidak dapat mengikuti

perintah). Pemeriksaan status neurologis pada pasien tidak sadar (tidak dapat

mengikuti perintah) dapat dilakukan dengan: (1) pemeriksaan kesadaran (GCS),

(2) pemeriksaan pupil, dan (3) pemeriksaan beberapa saraf kranial (III, V, dan

VII) (Anness & Tirone, 2009).

Pemeriksaan kesadaran

Penilaian tingkat kesadaran (level of consciousness) merupakan bagian

penting proses pemeriksaan neurologis. Salah satu metode yang paling umum

digunakan untuk mengetahui tingkat kesadaran sesorang yaitu Glasgow Coma

Universitas Sumatera Utara


71

Scale (GCS). GCS pertama kali didefinisikan oleh Sir Graham Tisdale dan Bryan

Jennet tahun 1974 (Senapathi, Wiryana, Aribawa, et al., 2017).

Ada tiga parameter yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran dengan

GCS yaitu membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Nilai maksimum

(normal) dari masing-masing parameter adalah membuka mata/eye (E)= 4, respon

motorik terbaik (M)= 6, dan respon verbal (V)= 5 (Bhaskar, 2017). Nilai tertinggi

Glasgow coma scale (GCS) adalah 15 dan yang terendah adalah tiga. Pasien yang

menunjukkan nila GCS 8 atau kurang menunjukkan koma (Lewis, Dirksen,

Heitkemper, McLean & Bucher, 2012).

Berikut ini merupakan metode penilaian GCS (Bhaskar, 2017): (1) check:

memeriksa faktor-faktor yang mungkin dapat mengganggu penilaian, misalnya

sedasi, relaksan otot, gangguan metabolik, demam, gangguan hemodinamik,

pembengkakan mata, cedera jalan napas, cedera anggota badan dan minuman

keras, (2) observe: melihat gerakan spontan pasien, misalnya membuka mata dan

menggerakan anggota badan, (3) stimulate: jika telah dipastikan tidak ada respon

spontan maka lakukanlah stimulasi dan lihat respon pasien, dan (4) rate: setelah

stimulasi berbagai parameter, skor dicatat dan ditotalkan sesuai klasifikasi skor

GCS.

Pemeriksaan saraf kranial

Pemeriksaan saraf kranial dapat memberikan informasi mengenai fungsi

otak tengah, pons, dan medulla. Pemeriksaan saraf kranial pada pasien sadar dapat

dilakukan pada semua saraf kranial, namun pada pasien yang mengalami

Universitas Sumatera Utara


72

penurunan kesadaran pemeriksaan saraf kranial adalah dengan pemeriksaan

refleks batang otak (saraf kranial III, V, dan VII).

No Saraf kranial Metode pemeriksaan dan respon normal


1 III (Okulomotorius): Respon pupil Menyinari mata pasien dengan cahaya (penlight).
Motorik Lakukan penilaian terhadap ukuran, bentuk dan
reaksi pupil. Respon normal: ukuran pupil normal
2-6 mm (rata-rata 3,5 mm). Respon normal pupil
terhadap cahaya adalah konstriksi langsung setelah
diberi cahaya langsung.
2 V (Trigeminal): Motorik Refleks kornea Buka kelopak mata pasien dan dengan lembut
dan sensorik sentuh sklera atau bulu mata bagian bawah dengan
kapas steril. Respon normal: menutup mata yang
kuat.
3 VII (Fasialis): motorik Wajah meringis Amati wajah (meringis) pasien setelah memberikan
dan sensorik rangsangan dengan menekan area supraorbital.
Respon normal: meringis seluruh muka (facial
grimace)
Tabel 5: pemeriksaan saraf kranial
Tanda-tanda Vital

Pentingnya pemeriksaan tanda-tanda vital pada pasien dengan gangguan

fungsi neurologis karena adanya perubahan pada hemodinamik setelah stroke.

Edema serebral yang muncul segera setelah stroke akan menyebabkan

peningkatan tekanan intrakranial dalam rongga yang kaku dan menurunkan

tekanan darah otak ke titik dimana aliran darah serebral atau cerebral blood flow

(CBF) dapat turun ke tingkat yang menyebabkan iskemia dan cedera otak

sekunder. Penurunan aliran darah serebral ini akan menurunkan volume darah

serebral atau cerebral blood volume (CBV) dan perubahan oksigenasi kapiler dan

vena (Zauner & Muizelaar, 1997).

Selain akibat kondisi iskemia (hypoperfusi), adanya efek kompresi yang

dihasilkan akibat edema serebral akan menyebabkan invaginasi nodus renvier dan

demielinasi, sehingga kondukasi impuls saraf akan terganggu. Tanda-tanda vital

Universitas Sumatera Utara


73

pasien terdiri dari: (1) tekanan darah, (2) suhu tubuh, (3)denyut nadi, (4) frekuensi

pernafasan, (5) dan nyeri (Ahrens, 2008).

Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian merupakan kerangka hubungan dan

keterkaitan antar variabel penelitian.

Stroke

Edema Serebral

Perubahan massa otak, volume


darah otak dan cairan serebrospinal
(Doktrin Monro-Kelly)

Peningkatan
tekanan intrakranial

Penurunan aliran darah serebral


(CBF) dan penurunan tekanan
perfusi serebral (CPP)

Invaginasi nodus renvier


Hypoperfusi serebral dan demielinasi

Gangguan konduksi impuls


Iskemia saraf

Gangguan aktivitas sel otak Gangguan status neurologis


Manitol
dan tanda vital

Gambar 5: Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara


BAB 3

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Desain penelitian ini adalah kohort deskriptif. Desain penelitian kohort

termasuk dalam desain penelitian observasional analitik. Pada desain ini peneliti

melakukan analisa hubungan variabel independen dengan variabel dependen tanpa

melakukan suatu perlakuan atau manipulasi terhadap subjek penelitian (Dharma,

2015).

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang Stroke Corner RA 4 Neurologi RSUP H.

Adam Malik Medan dan ruang unit stroke rumah sakit Pirngadi Medan. Alasan

pemilihan tempat penelitian adalah karena Rumah Sakit Adam Malik Medan dan

rumah sakit Pirngadi adalah rumah sakit pemerintah yang dikelola pemerintah

pusat dengan pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara yang menjadi pusat

rujukan di kota Medan dan provinsi Sumatera Utara sehingga memungkinkan

untuk mencapai jumlah responden yang dapat mewakili populasi. Penelitian ini

dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2018.

Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi merupakan suatu kelompok tertentu dari individu atau elemen yang

menjadi fokus penelitian. Sasaran populasi yaitu seluruh himpunan individu atau

elemen yang memenuhi kriteria sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah

74

Universitas Sumatera Utara


75

seluruh pasien stroke hemoragik fase akut yang dirawat di ruang Stroke Corner

(SC) RSUP Adam Malik Medan dan unit stroke rumah sakit Pirngadi Medan.

Sampel

Sampel adalah bagian atau elemen dari populasi yang diharapkan dapat

mewakili karakteristik populasi tersebut. Pada penelitian ini, jenis sampling yang

digunakan adalah purposive, yaitu suatu metode pemilihan sampel yang dilakukan

berdasarkan maksud atau tujuan tertentu yang ditentukan oleh peneliti (Dharma,

2015). Artinya, pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan

memperhatikan pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri

berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya.

Kriteria inklusi merupakan kriteria subjek penelitian yang dapat mewakili

sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria inklusi dalam

penelitian ini adalah: (1) pasien dengan diagnosa stroke hemoragik yang

ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan head CT-scan, (2) berada pada fase

akut (< 72 jam), (3) mendapat terapi manitol, dan (4) bersedia menjadi responden.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: (1) memiliki riwayat gangguan

neurologi, (2) berada pada fase kronik, (3) pasien yang meninggal < 72 jam (fase

akut) dan (4) pasien yang menerima terapi manitol lebih dari 3 hari setelah

serangan stroke.

Perhitungan besar sampel merujuk kepada desain penelitian yang digunakan

oleh peneliti. Dalam penelitian ini, desain penelitian adalah kohort sehingga

menggunakan rumus perhitungan besar sampel untuk mengetahui nilai mean

suatu variabel (estimating the population mean) (Dharma, 2015).

Universitas Sumatera Utara


76


n= ₂

Keterangan:
n : Jumlah sampel
𝑧 𝛼 ₂
sehingga, : Standar normal deviasi untuk α, (jika α: 0,05, maka z: 1,960)
σ : Standar deviasi dari penelitian terdahulu (SD = 4,52)
d n= : Deviasi dari mean prediksi (absolute precision)

n=

n=

n = 31

Berdasarkan perhitungan besar sampel dengan menggunakan rumus untuk

mengetahui nilai mean suatu variabel (estimating the population mean)

didapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan sebanyak 31 sampel. Dalam upaya

mengantisipasi kemungkinan subjek atau sampel yang dipilih drop out maka perlu

penambahan jumlah sampel 10%, maka besar sampel yang dibutuhkan adalah 34

orang.

Metode Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap

persiapan dan tahap pelaksanaan.

Tahap persiapan

Tahap persiapan dimulai dengan prosedur administratif dengan mengajukan

surat permohonan kepada Dekan Fakultas Keperawatan untuk mengeluarkan surat

permohonan izin pengambilan data ke rumah sakit tempat penelitian dilakukan.

Selanjutnya, peneliti mengajukan surat lulus uji etik (ethical clearance) kepada

Universitas Sumatera Utara


77

lembaga etik penelitian yaitu komisi etik penelitian kesehatan Fakultas

Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Apabila surat permohonan izin

pengambilan data dan lulus uji etik dikeluarkan, peneliti mengajukan permohonan

izin untuk melaksanakan penelitian kepada Direktur RSUP. Adam Malik Medan

dan rumah sakit Pirngadi Medan melalui bagian pendidikan dan penelitian.

Setelah surat izin penelitian dikeluarkan, selanjutnya peneliti meminta izin kepada

kepala ruangan stroke corner neurologi RSUP. Adam Malik Medan dan ruangan

unit stroke rumah sakit Pirngadi Medan serta menjelaskan tujuan dan membuat

kontrak kerja terhadap lamanya penelitian dilakukan.

Tahap selanjutnya peneliti mengidentifikasi sampel yang telah ditetapkan.

Dalam penelitian ini peneliti melakukan pemeriksaan fisik untuk menentukan

perubahan status neurologis dan tanda-tanda vital pasien stroke akut setelah

pemberian manitol.

Tahap Pelaksanaan

Cara pengumpulan data adalah dengan melakukan pengkajian fisik status

neurologis dan tanda-tanda vital setelah pemberian manitol. Waktu yang

ditetapkan peneliti untuk mengumpulkan data status neurologis dan tanda-tanda

vital adalah satu jam atau dua jam pertama setelah pemberian manitol, karena

efek klinis segera dapat diperoleh dalam waktu 15 menit dan berakhir setelah

beberapa jam (Satyanegara, 2014).

Pengkajian status neurologis yang diambil adalah skala Glasgow Coma

(GCS), pemeriksaan saraf kranial yaitu penilaian pupil (ukuran, reaktivitas

terhadap cahaya), refleks kornea, facial grimace, serta tanda-tanda vital (tekanan

darah, denyut nadi, suhu dan pernafasan).

Universitas Sumatera Utara


78

Alat pengumpulan data

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini berupa

sphygmomanometer air raksa, stetoskop, thermometer digital, penlight, jam

tangan dan alat dokumentasi (buku dan bolpoin).

Selain itu, instrumen yang berhubungan dengan karakteristik responden dan

penilaian status neurologis pasien serta tanda-tanda vital juga digunakan.

Instrumen tersebut antara lain:

Instrumen karakteristik responden

Dalam instrumen karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, riwayat sosial dan riwayat

kesehatan dahulu.

No Karakteristik instrumen Hasil ukur analisis


responden
1 Umur Lembar 1= 36 – 45 tahun (Dewasa Akhir) Analisis univariat
observasi 2= 46 – 55 tahun (Lansia Awal)
3= 56 – 65 tahun (Lansia Akhir)
4= ˃ 65 tahun (Manula)
2 Jenis kelamin Lembar 1= Laki-laki Analisis univariat
observasi 2= Perempuan
3 Tingkat pendidikan Lembar 1= Tidak sekolah Analisis univariat
observasi 2= Sekolah dasar
3= SMP
4= SMA
5= Perguruan tinggi
4 Pekerjaan Lembar 1= Bekerja Analisis univariat
observasi 2= Tidak bekerja
5 Status perkawinan Lembar 1= Menikah Analisis univariat
observasi 2= Tidak menikah
3= Janda/duda
6 Riwayat status Lembar 1= Tidak pernah Analisis univariat
merokok observasi 2= Sudah berhenti
3= Masih merokok
4= Perokok pasif
7 Lokasi perdarahan Lembar 1= Perdarahan intraserebral Analisis univariat
observasi 2= Perdarahan subarakhnoid
8 Riwayat kesehatan Lembar 1= Hipertensi Analisis univariat
dahulu observasi 2= Diabetes melitus
3= Gagal ginjal
Tabel 6: Instrumen karakteristik responden

Universitas Sumatera Utara


79

Instrumen status neurologis

Untuk instrumen status neurologis terdiri dari:

Pemeriksaan tingkat kesadaran

Pemeriksaan tingkat kesadaran dilakukan dengan menggunakan skala

Glasgow coma (GCS) dikembangkan di Glasgow, Skotlandia pada tahun 1974

oleh Teasdale dan Jennett. Glasgow coma scale (GCS) atau skala koma Glasgow

adalah suatu skala yang digunakan secara luas sebagai pengukuran klinis

semikuantitatif tingkat kesadaran berdasarkan keadaan buka mata, respon verbal

dan motorik penderita (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Margaret & Bucher, 2012).

No Glasgow Coma Scale Instrumen Hasil ukur Analisis


1 Eye Lembar Baik: (13-15) Analisa univariat
4 : spontan observasi Sedang: (9-12)
3 : berdasarkan perintah Buruk: (<8)
verbal
2 : berdasarkan rangsang
nyeri
1 : tidak memberi respon
2 Verbal
5 : orientasi baik
4 : percakapan kacau
(confused)
3 : kata-kata kacau
2 : kata-kata atau suara
tidak dapat dimengerti
(mengerang)
1 : tidak memberi respon
3 Motor
6 : mengikuti perintah
5 : melokalisir rangsang nyeri
4 : menjauhi rangsang
nyeri/reaksi menghindar
3 : fleksi abnormal atau
dekortikasi (fleksi pada siku
atau pada pergelangan
tangan, membuat kepalan
tangan)
2 : extensi abnormal atau
deserebrasi (ekstensi pada
siku biasanya selalu disertai
fleksi spastik pada
pergelangan tangan)
1 : tidak memberi respons
Jumlah

Tabel 7: Instrumen status neurologis (Glasgow coma scale)

Universitas Sumatera Utara


80

Pemeriksaan saraf kranial

Pemeriksaan saraf kranial pada pasien yang mengalami penurunan

kesadaran adalah saraf kranial III, V, VII, IX, dan X. Namun, pemeriksaan saraf

kranial IX dan X tidak dapat dilakukan karena beresiko meningkatkan tekanan

intrakranial.

Saraf kranial III

Pemeriksaan fungsi pupil merupakan penilaian yang sangat penting pada

pasien sadar maupun tidak sadar. Poin umum yang harus diperhatikan saat menilai

pupil adalah ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya. Penilaian ukuran pupil

dengan menggunakan penlight dengan merk Onemed. Ukuran: pupil normal

berukuran sama yaitu berukuran sekitar 2 sampai 5 mm dengan diameter rata-rata

3,5 mm. Penilaian ini dilakukan untuk masing-masing pupil.

Reaksi pupil terhadap cahaya (refleks cahaya langsung): saat cahaya

menyinari mata, pupil akan segera menyempit dan saat cahaya dijauhkan pupil

akan melebar dengan segera dan cepat. Nilai reaksi pupil terhadap cahaya adalah:

(1) pupil kiri dan kanan reaktif terhadap cahaya, (2) salah satu pupil reaktif

terhadap cahaya dan (3) pupil kiri dan kanan tidak reaktif terhadap cahaya. Lesi

pada talamus menunjukkan pupil yang kecil dan reaktif terhadap cahaya,

sedangkan lesi pada pontine, pupil tidak reaktif terhadap cahaya. Herniasi

trantentorial menunjukkan pupil berdilatasi (unilateral), dan reaksi terhadap

cahaya tetap (fixed).

Saraf kranial V

Pemeriksaan refleks kornea dilakukan dengan membuka kelopak mata

pasien, kemudian mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujungnya dibuat

Universitas Sumatera Utara


81

runcing, yang akan mengakibatkan dipejamkannya mata (m. orbikularis okuli)

(Lumbantobing, 2012). Hasil yang didapatkan adalah refleks berkedip (blink) ada

dan refleks berkedip (blink) tidak ada/absent.

Saraf kranial VII

Penilaian facial grimacing dilakukan dengan menekan area supraorbital

(supraorbital ridge) atau dengan menyentuhkan kapas steril ke bagian dalam

lubang hidung. Hasil: meringis (grimace) seluruh wajah, bandingkan hasil secara

bilateral (Anness & Tirone, 2009).

No Penilaian Instrumen Hasil ukur Analisis


1 Saraf kranial III
Ukuran pupil Lembar observasi 1. Normal: 3-4 mm (isokor) Analisa univariat
2. Miosis unilateral
3. Miosis bilateral
4. Midriasis unilateral
5. Midriasis bilateral
Reaktivitas cahaya Penlight dengan 1. Pupil kiri dan kanan reaktif Analisa univariat
pupil gauge & terhadap cahaya
lembar observasi 2. Salah satu pupil reaktif terhadap
cahaya
3. Pupil kiri dan kanan tidak reaktif
terhadap cahaya
4. Pupil kiri dan kanan reaktif cepat
terhadap cahaya
5. Salah satu pupil reaktif cepat
terhadap cahaya
6. Pupil kiri dan kanan tidak reaktif
cepat terhadap cahaya
7. Pupil kiri dan kanan reaktif lambat
8. Salah satu pupil reaktif lambat
9. Pupil kiri dan kanan tidak reaktif
lambat
2 Saraf kranial V
Refleks kornea Kapas steril & 1. Refleks kornea kanan dan kiri Analisa univariat
lembar bservasi positif
2. Salah satu refleks kornea positif
3. Refleks kornea kanan dan kiri
negatif
3 Saraf kranial VII
Facial grimacing Lembar observasi 1. Simetris Analisa univariat
2. Asimetris

Tabel 8: Instrumen status neurologis (saraf kranial)

Universitas Sumatera Utara


82

Tanda-tanda vital

Tekanan darah

Tekanan darah diukur dengan sphygmomanometer air raksa merk GEA, dan

stetoskop merk GEA yang telah dikalibrasi di Balai Pengamanan Fasilitas

Kesehatan (BPFK) dengan nomor sertifikat kalibrasi YK.02.03/L.1/7895/2018.

Hasil pengukuran tekanan darah yang didapat adalah (1) optimal: sistolik < 120

mmHg, diastolik < 80 mmHg; (2) normal: sistolik 120-129 mmHg, diastolik 80-

84 mmHg; (3) normal tinggi: sistolik 130-139 mmHg, diastolik 85-89 mmHg; (4)

hipertensi derajat 1: sistolik 140-159 mmHg, diastolik 90-99 mmHg; (5)

hipertensi derajat 2: sistolik 160-179 mmHg, diastolik 100-109 mmHg; (6)

hipertensi derajat 3: sistolik ≥ 180 mmHg, diastolik ≥ 110 mmHg; dan (7)

hipertensi sistolik terisolasi: sistolik ≥ 140 mmHg, diastolik < 90 mmHg.

Respirasi

Penilaian respirasi pasien dilakukan dengan cara menilai laju pernafasan

dalam waktu satu menit. Hasil pengukuran frekuensi respirasi yang didapat

adalah: (1) normal: 16-24x/menit, (2) takipnea >24x/menit, dan (3) bradipnea

<16x/menit.

Suhu

Suhu tubuh pasien dinilai dengan menggunakan termometer digital axilla

dengan merk Dr. Care. Termometer yang digunakan dalam penelitian ini telah

melalui tahap kalibrasi di Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) dengan

nomor sertifikat kalibrasi YK.02.03/L.1/7895/2018. Hasil pengukuran suhu tubuh

yang didapat adalah: (1) normotemia 36,5-37,5°C, (2) hipertermia >37,5°C, dan

(3) hipotermia <36,5°C.

Universitas Sumatera Utara


83

Nadi

Pemeriksaan nadi dilakukan pada titik nadi radial dengan cara menghitung

denyut nadi dalam waktu satu menit. Hasil pengukuran denyut nadi yang didapat

adalah: (1) normal: 60-100 x/menit, (2) takikardia > 100 x/menit, dan (3)

bradikardia < 60 x/menit.

No Tanda vital Instrumen Hasil ukur Analisis


1 Tekanan darah Spygmomanometer, 1. Optimal: sistolik < 120 Analisa univariat
stetoskop & lembar mmHg, diastolik < 80 mmHg;
observasi 2. Normal: sistolik 120-129
mmHg, diastolik 80-84
mmHg;
3. Normal tinggi: sistolik 130-
139 mmHg, diastolik 85-89
mmHg;
4. Hipertensi derajat 1: sistolik
140-159 mmHg, diastolik 90-
99 mmHg;
5. Hipertensi derajat 2: sistolik
160-179 mmHg, diastolik 100-
109 mmHg;
6. Hipertensi derajat 3: sistolik ≥
180 mmHg, diastolik ≥ 110
mmHg;
7. Hipertensi sistolik terisolasi:
sistolik ≥ 140 mmHg, diastolik
< 90 mmHg
2 Suhu Termometer, arloji & 1. Normotemia 36,5-37,5°C Analisa univariat
lembar observasi 2. Hipertermia > 37,5°C
3. Hipotermia < 36,5°C
3 Nadi Arloji & lembar 1. Normal: 60-100 x/menit Analisa univariat
observasi 2. Takikardia > 100 x/menit
3. Bradikardia < 60 x/menit
4 Respirasi Arloji & lembar 1. Normal: 16-24x/menit Analisa univariat
observasi 2. Takipnea, > 24x/menit
3. Bradipnea, < 16x/menit
Tabel 9: Instrumen tanda-tanda vital
Rekruitmen asisten peneliti

Penelitian ini dibantu oleh 4 asisten peneliti yang memiliki latar belakang

pendidikan Ners keperawatan dengan pengalaman bekerja minimal 1 tahun serta

Universitas Sumatera Utara


84

bersedia menjadi asisten peneliti. Dalam penelitian ini peneliti utama

menggunakan asisten peneliti di dua rumah sakit tempat penelitian yaitu RSUP H.

Adam Malik medan dan RSU. Dr. Pirngadi Medan. Dalam menentukan asisten

peneliti, peneliti utama tidak melakukan uji interabilitas namun dipilih sesuai

standar yang sebelumnya telah ditetapkan. Setelah memilih asisten peneliti maka

selanjutnya peneliti melatih asisten peneliti untuk menggunakan lembar observasi

yang berisi data demografi responden, kemudian menilai status neurologis

responden yang terdiri dari penilaian tingkat kesadaran dengan instrumen tingkat

kesadaran Glasgow Coma Scale dan penilaian saraf kranial serta penilaian tanda-

tanda vital. Pelatihan ini dilakukan dengan menggunakan media proposal tesis dan

instrumen penelitian yang selanjutnya disimulasikan. Peran asisten peneliti adalah

melakukan penilaian status neurologis dan tanda-tanda vital. Namun demikian

dalam penilaian tingkat kesadaran dan saraf kranial peneliti dan asisten peneliti

melakukan advokasi penilaian bersama perawat ruangan untuk menghitung ulang

status neurologis responden jika ada perbedaan penilaian.

Universitas Sumatera Utara


85

Variabel dan Definisi Operasional

Defenisi operasional variabel penelitian

Variabel Defenisi Operasional Cara & alat Hasil ukur Skala


ukur
Status neurologis Status neurologis Pemeriksaan
merupakan kemampuan fisik
sistem saraf perifer dan
pusat untuk menerima,
memproses dan merespon
rangsangan internal dan
eksternal

Tingkat kesadaran tingkat kemampuan seseorang Pemeriksaan Nilai GCS Interval


berespon terhadap stimulus fisik Baik: (13-15)
yang diukur dengan GCS yang Sedang: (9-12)
terdiri dari respon membuka Buruk: (<8)
mata, respon motorik dan
respon verbal

Ukuran pupil penilaian ukuran pupil kiri dan Pemeriksaan  Ukuran pupil normal: Ordinal
(Saraf kranial III) kanan fisik 3-4 mm & isokor
 Dilatasi (midriasis >5
mm) unilateral
 Dilatasi (midriasis >5
mm) bilateral
 Konstriksi (miosis: <
3 mm) unilateral
 Konstriksi (miosis: <
3 mm) bilateral

Reaktivitas terhadap
Refleks pupil penilaian ukuran dan respon Pemeriksaan cahaya Ordinal
(Saraf kranial III) pupil terhadap rangsangan fisik  Pupil kiri dan kanan
cahaya yang diberikan reaktif terhadap
cahaya
 Salah satu pupil
reaktif terhadap
cahaya
 Pupil kiri dan kanan
tidak reaktif terhadap
cahaya

 Refleks kornea kanan


Refleks kornea Penilaian refleks berkedip Pemeriksaan Ordinal
dan kiri positif
(Saraf kranial V) ketika kornea diberi stimulus fisik
 Salah satu refleks
kornea positif
 Refleks kornea kanan

Universitas Sumatera Utara


86

dan kiri negatif

 Simetris
Otot-otot wajah Penilaian facial grimacing Pemeriksaan  Asimetris Ordinal
(Saraf kranial pada pasien setelah diberi fisik
VII) rangsangan nyeri

Tanda-tanda prosedur pemeriksaan yang Pemeriksaan


vital dilakukan oleh tenaga fisik
kesehatan terhadap tanda
vital seseorang untuk
mendeteksi gangguan,
kelainan atau perubahan
pada sistem penunjang
kehidupan  Optimal: sistolik <
120 mmHg, diastolik Rasio
Tekanan darah Tekanan darah adalah tekanan Pemeriksaan < 80 mmHg;
yang dihasilkan oleh pompa fisik  Normal: sistolik 120-
jantung untuk 129 mmHg, diastolik
mengalirkan darah keseluruh 80-84 mmHg;
tubuh
 Normal tinggi: sistolik
130-139 mmHg,
diastolik 85-89
mmHg;
 Hipertensi derajat 1:
sistolik 140-159
mmHg, diastolik 90-
99 mmHg;
 Hipertensi derajat 2:
sistolik 160-179
mmHg, diastolik 100-
109 mmHg;
 Hipertensi derajat 3:
sistolik ≥ 180 mmHg,
diastolik ≥ 110
mmHg;
 Hipertensi sistolik
terisolasi: sistolik ≥
140 mmHg, diastolik
< 90 mmHg;

 Normal: 16-24x/menit Rasio


Respirasi Respirasi adalah aktivitas Pemeriksaan  Takipnea, > 24x/menit
bernafas. Terdiri dari inspirasi, fisik  Bradipnea,
yaitu untuk memasukkan udara <16x/menit
ke paru-paru dan ekspirasi,
yaitu mengeluarkan gas dari

Universitas Sumatera Utara


87

paru-paru ke atmosfer
 Normotemia 36,5-
Suhu Suhu tubuh adalah perbedaan Pemeriksaan 37,5°C Rasio
antara jumlah panas yang fisik  Hipertermia >
diproduksi oleh proses tubuh 37,5°C
dan jumlah panas yang hilang
ke lingkungan luar
 Hipotermia < 36,5
°C

 Normal: 60-100
Nadi Denyut nadi adalah gelombang Pemeriksaan x/menit Rasio
darah yang dibentuk oleh fisik  Bradikardia <60
kontraksi ventrikel kiri jantung x/menit
 Takikardia >100
x/menit

Tabel 10: Definisi operasional

Metode Pengukuran

Pengukuran dilakukan dengan melakukan pemeriksaan fisik dan dilengkapi

dengan menggunakan lembar observasi yang terdiri dari penilaian tingkat

kesadaran digunakan Glowscoma Scale (GCS), penilaian saraf kranial dan tanda-

tanda vital. Pengukuran tanda-tanda vital dengan menggunakan

sphygmomanometer air raksa dengan merk GEA, stetoskop dengan merk GEA

dan thermometer digital dengan merk Dr. Care. Penilaian status neurologis dan

tanda-tanda vital dilakukan setelah 10 menit hingga satu jam pemberian manitol.

Validitas

Uji validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan

suatu alat ukur atau sejauh mana sebuh instrumen mampu mengukur apa yang

seharusnya diukur (Polit & Beck, 2012). Nilai validitas yang diukur yaitu

menggunakan Content Validity Index (CVI), yaitu uji validitas yang dilakukan

untuk menilai relevansi dari masing–masing item terhadap apa yang akan di ukur

oleh peneliti. Nilai CVI yang dipertimbangkan yaitu ≥ 0,80 dan 0,90 merupakan

Universitas Sumatera Utara


88

nilai yang dianjurkan sebagai nilai standard yang baik. Nilai CVI yang didapatkan

pada instrumen di penelitian ini adalah 0,96.

Reliabilitas

Uji reliabilitas merupakan indikator utama dalam menentukan kualitas

instrument. Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi dan akurasi

alat ukur, dapat diandalkan dan tetap konsisten bila dilakukan pengukuran ulang

(Polit & Back, 2012). Uji reliabilitas penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam

Malik Medan.

Menurut Wood dan Haber (2006), terdapat tiga metode untuk menentukan

reliabilitas instrumen, yaitu penentuan stabilitas (stability), homogenitas

(homogenity) dan ekuivalensi. Pada jenis instrumen pedoman observasi uji

reliabilitas adalah dengan menggunakan metode ekuivalensi (Dharma, 2015).

Ekuivalensi menunjukkan kesepakatan antar pengukur tentang hasil suatu

pengukuran. Penentuan ekuivalensi suatu alat ukur dilakukan dengan metode

Inter-rater reliability (reliabilitas antar pengukur). Inter-rater reliability adalah uji

reliabilitas suatu instrumen yang dilakukan dengan cara menilai apakah 2 orang

atau lebih observer setuju/sama pendapatnya tentang suatu pengukuran. Uji

reliabilitas dengan metode ini menghasilkan suatu tingkat kesepakatan antar

observer/penilai dalam pengukuran menggunakan suatu instrumen. Instrumen

yang baik akan menghasilkan nilai uji kesepakatan yang baik pula (Dharma,

2015).

Ekuivalensi ini dapat dilakukan dengan 3 metode, antara lain: Percent

Agreement, Cohen’s Kappa dan Pearson’s Product Moment Correlation. Percent

Universitas Sumatera Utara


89

Agreement dan Cohen’s Kappa dilakukan untuk menilai reliabilitas dari suatu

instrumen yang mneghasilkan data nominal dari suatu hasil observasi. Sedangkan

untuk data berskala interval dan rasio dilakukan menggunakan uji Pearson’s

Product Moment Correlation yaitu dengan mengkorelasikan hasil pengukuran

antar observer (Dharma, 2015).

Dari beberapa variabel yang diteliti dalam penelitian ini terdapat variabel

yang berskala ordinal yaitu refleks kornea, facial grimacing, ukuran pupil, respon

pupil terhadap cahaya, sehingga untuk variabel ini uji reliabilitas dilakukan

dengan metode Cohen’s Kappa. Sedangkan untuk variabel yang berskala interval

dan rasio adalah variabel nilai GCS, tekanan darah, frekuensi pernafasan, denyut

nadi dan suhu tubuh di uji dengan Pearson’s Product Moment Correlation.

Cohen’s Kappa

Cohen’s Kappa digunakan untuk menilai kesepakatan antara 2 orang atau

lebih observer terhadap suatu pengukuran. Dengan cara menentukan proportion

agreement yang aktual dan proportion agreement yang terjadi karena peluang.

Nilai Kappa ditentukan dengan rumus berikut:

atau

Nilai Kappa untuk uji reliabilitas antar observer diinterpretasikan sebagai

berikut (Fleiss, 1981): (1) rendah: 0,00 – 0,40, (2) sedang: 0,41 – 0,59, (3) baik:

Universitas Sumatera Utara


90

0,60 – 0,74, dan (4) sangat baik: 0,75 - 1,00. Dari beberapa variabel yang diuji

dengan menggunakan rumus Kappa didapatkan nilai Kappa masing-masing

variabel adalah 0,6 yang berarti nilai reliabilitas antar observer adalah baik.

Untuk data berskala interval atau rasio, uji reliabilitas dilakukan dengan

menggunakan uji Pearson’s Product Moment Correlation yaitu mengkorelasikan

hasil pengukuran antar observer. Rumus korelasi Pearson’s Product Moment

adalah:

Untuk mendapatkan nilai r, terlebih dahulu menghitung ∑X, ∑Y, X², Y²,

∑XY, ∑X², ∑Y². Kemudian bandingkan r hitung dengan r tabel dengan

memertimbangkan tingkat signifikansi yang ditetapkan. Untuk itu harus diketahui

df/db nya. Jika r hitung > r tabel artinya signifikan.

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus korelasi Pearson’s

product moment didapatkan nilai r hitung masing-masing variabel lebih besar

dibandingkan dengan r tabel artinya terdapat korelasi positif hasil pengukuran

antara observer.

Hasil uji reliabilitas dengan menggunakan software SPSS masing-masing

variabel dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara hasil

pengukuran observer.

Metode Analisa Data

Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari :

Universitas Sumatera Utara


91

Pengolahan data

Data yang telah terkumpul melalui lembar observasi diolah melalui empat

tahapan yaitu :

Editing

Proses editing dilakukan setelah pengumpulan data dilakukan dengan

memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan dan relevansi format pengkajian

karakteristik responden dan lembar observasi sesuai dengan kebutuhan peneliti.

Proses ini dilakukan selama berada dengan konsumen atau dilapangan sehingga

apabila ada data yang meragukan, salah atau tidak diisi dapat dikonfirmasi

langsung kepada responden.

Coding

Mengkode data merupakan kegiatan mengklasifikasikan data, memberikan

kode untuk masing-masing kelas terhadap data yang diperoleh dari sumber data

yang telah diperiksa kelengkapannya. Data-data yang berupa angka atau tulisan

dikategorikan dalam skor yang telah ditetapkan peneliti.

Entry Data

Setelah melakukan coding maka langkah selanjutnya adalah melakukan

entry data dari instrument penelitian kedalam komputer melalui program statistik.

Cleaning

Kegiatan membersihkan data dengan melakukan pemeriksaan kembali

terhadap data yang sudah di entri apakah ada kesalahan atau tidak.

Analisa data

Ananlisis Univariat

Metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

deskriptif. Analisis deskriptif adalah analisis berdasarkan data yang diperoleh

dengan perhitungan statistik sederhana, yaitu menganalisis data dengan cara

Universitas Sumatera Utara


92

mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana

adanya tanpa membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.

Analisis ini hanya berupa akumulasi data dasar dalam bentuk deskripsi

semata dalam arti tidak mencari atau menerangkan hubungan, menguji hipotesis

atau penarikan kesimpulan. Artinya, penelitian dilakukan dengan menekankan

analisis kemudian diinterpretasikan berdasarkan teori-teori dan literatur-literatur

yang berhubungan dengan perubahan status neurologis dan tanda vital pasien

stroke akut setelah mendapat terapi manitol. Untuk perhitungan statistik

menggunakan aplikasi SPSS for windows 15.0. sehingga hasilnya bisa didapat

berupa frekuensi dan presentasi (proporsi) yang disajikan dalam bentuk narasi

dan kurva.

Pertimbangan Etik

Dalam melakukan suatu penelitian, peneliti memperhatikan prinsip-prinsip

dasar etik penelitian yang terdiri dari beneficience, respect for human dignity dan

justice (Polit & Beck, 2012). Pertimbangan etik terkait penelitian ini dilakukan

melalui persetujuan dari komite etik penelitian kesehatan Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara.

Asas manfaat (beneficience)

Asas manfaat merupakan salah satu prinsip etik yang paling mendasar,

dalam hal ini peneliti harus menghindari segala macam resiko yang dapat

menyebabkan kerugian dan memaksimalkan manfaat untuk responden penelitian

(Polit & Beck, 2012).

Universitas Sumatera Utara


93

Bebas dari kerugian dan ketidaknyamanan

Dalam penelitian, peneliti memiliki kewajiban untuk menghindari dan

mencegah kerugian dan ketidaknyamanan baik fisik, emosional, sosial serta

keuangan responden (Polit & Beck, 2012). Sebelum penelitian ini dilakukan,

peneliti terlebih dahulu meminta persetujuan (informed concent) pasien atau

keluarga sebagai salah satu langkah peneliti untuk mencegah terjadinya kerugian

dan ketidaknyamanan pada pasien.

Bebas dari eksploitasi

Responden yang terlibat dalam penelitian ini mendapat jaminan bahwa

partisipasi, informasi serta data yang diberikan tidak akan menimbulkan kerugian

pada responden dimasa yang akan datang (Polit & Beck, 2012). Peneliti

memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga bahwa informasi dan data

yang diberikan hanya utuk kepentingan penelitian dan hasil yang didapatkan

digunakan untuk peningkatan kepentingan pelayanan kesehatan.

Asas menghargai hak asasi manusia (Respect for human dignity)

Hak untuk membuat keputusan (the right to self determination). Responden

dalam suatu penelitian merupakan individu yang memiliki otonomi untuk

menentukan aktifitas yang akan dilakukan dalam artian bahwa responden

memiliki hak untuk memutuskan apakah akan berpartisipasi dalam penelitian atau

tidak serta menarik diri dari proses selama penelitian berlangsung tanpa adanya

rasa khawatir mendapatkan sanksi atau tuntutan hukum, bebas dari paksaan serta

ancaman (Polit & Beck, 2012). Selama proses penelitian berlangsung, peneliti

sangat menghargai dan menerima semua keputusan pasien yang dalam hal ini

Universitas Sumatera Utara


94

diwakilkan oleh keluarga sehingga pasien atau keluarga terlibat dalam penelitian

secara sukarela.

Hak untuk memperoleh informasi (the right to full disclosure)

Dalam penelitian responden mempunyai hak dalam membuat suatu

keputusan serta mendapatkan informasi terkait penelitian yang akan menjadi

dasar penting dalam informed concent (Polit & Beck, 2012). Sebelum penelitian

dilakukan peneliti memberikan penjelasan tentang penelitian yang akan diikuti

oleh pasien setelah penjelasan diberikan, pasien atau keluarga diberikan

kesempatan untuk bertanya serta memutuskan apakah pasien dapat terlibat dalam

penelitian.

Asas keadilan (Justice)

Hak untuk mendapatkan tindakan yang adil (the right to fair treatment)

Dalam penelitian prinsip memperlakukan secara adil artinya memilih

responden berdasarkan pada kriteria-kriteria sampel dan bukan berdasarkan

maksud atau posisi tertentu. Responden diperlakukan sama tanpa adanya unsur

diskriminasi sehingga peneliti harus menghargai perbedaan baik dalam hal

keyakinan, budaya serta sosial ekonomi responden (Polit & Beck, 2012).

Hak untuk mendapatkan privasi (the right to privacy)

Responden memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan mengenai data atau

informasi dirinya untuk dijaga kerahasiaannya (Polit & Beck, 2012). Dalam

penelitian ini peneliti menghargai privasi pasien, untuk menjaga privasi tersebut

pada lembar pengumpulan data pasien tidak perlu mencantumkan nama.

Universitas Sumatera Utara


BAB 4

HASIL PENELITIAN

Bab empat ini menguraikan tentang hasil penelitian analisis perubahan

status neurologis dan tanda-tanda vital pasien stroke akut yang mendapat terapi

manitol, yang terdiri dari gambaran umum tempat penelitian dan hasil analisa

univariat (deskripsi subjek penelitian, hasil analisa data variabel status neurologis

dan tanda-tanda vital setelah pemberian terapi manitol), dan hasil analisa data

individual responden yang terdiri dari hasil pemeriksaan fisik dengan

menggunakan lembar observasi.

Penelitian ini dilakukan di ruang stroke corner rumah sakit RSUP Adam

Malik Medan dan ruang unit stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan. Penelitian

berlangsung pada bulan Januari sampai Maret 2018 dengan jumlah responden 34

orang, dengan diagnosa medis stroke hemoragik sesuai dengan kriteria inklusi dan

eksklusi yang telah ditetapkan.

Hasil penelitian diuraikan melalui tahapan analisis univariat dan bivariat.

Analisis univariat disajikan untuk menggambarkan karakteristik responden

berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,

riwayat kesehatan dahulu, riwayat status merokok, jenis perdarahan dan lokasi

perdarahan. Analisis univariat juga digunakan untuk menilai variabel status

neurologis dan tanda-tanda vital setelah pemberian terapi manitol selama tiga hari.

95

Universitas Sumatera Utara


96

Analisis univariat: distribusi dan karakteristik responden

Deskripsi subjek penelitian

Subjek dalam penelitian ini pasien adalah pasien stroke akut yang mendapat

terapi manitol. Deskripsi subjek penelitian ini terdiri dari usia, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, riwayat status merokok, lokasi

perdarahan dan riwayat kesehatan dahulu. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 11. Distribusi frekuensi dan Persentase Data Karakteristik Responden


Stroke Akut di RSUP Adam Malik Medan dan Rs. Pirngadi Medan (n=34)
No Karakteristik f %
1 Umur
36 – 45 tahun (Dewasa Akhir) 10 29,4
46 – 55 tahun (Lansia Awal) 17 50,0
56 – 65 tahun (Lansia Akhir) 7 20,6
2 Jenis Kelamin
Laki-laki 27 79.4
Perempuan 7 20.5
3 Pendidikan
Sekolah dasar 5 14.7
SMP 5 14.7
SMA 17 50.0
Perguruan tinggi 7 20.5
4 Pekerjaan
Bekerja 24 70.5
Tidak bekerja 10 29.4
5 Riwayat Status Merokok
Tidak pernah 6 17.6
Sudah berhenti 4 11.7
Masih merokok 20 58.8
Perokok pasif 4 11.7
6 Jenis Perdarahan
Perdarahan Intraserebral 29 85,2
Perdarahan Subarakhnoid 5 14,7
7 Lokasi Perdarahan
Basal ganglia
Talamus 8 27,6
Lobar 6 20,7
12 41,4
Basal ganglia & talamus
3 10,3
8 Riwayat Kesehatan Dahulu
Hipertensi
24 70.5
Diabetes melitus
7 20.5
Gagal ginjal
3 8.82
Berdasarkan tabel 11 data karakteristik pasien stroke akut yang mendapat

terapi manitol diketahui bahwa pada saat penelitian mayoritas berusia lansia awal

Universitas Sumatera Utara


97

(46-55 tahun) sebanyak 17 responden (50%), mayoritas responden berjenis

kelamin laki-laki sebanyak 27 responden (79.4%), mayoritas responden tamatan

sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 17 responden (50.0%), mayoritas

reponden bekerja sebanyak 24 responden (70.5%), mayoritas status pernikahan

responden adalah menikah sebanyak 25 responden (73.5%), mayoritas reponden

adalah perokok sebanyak 20 responden (58.8%), mayoritas responden memiliki

riwayat penyakit dahulu hipertensi sebanyak 24 responden (70.5%), mayoritas

jenis perdarahan yang dialami responden adalah perdarahan intraserebral

sebanyak 29 responden (85,2%), dan mayoritas lokasi perdarahan yang dialami

responden adalah supratentorial yaitu lobus sebanyak 12 responden (41,4%).

Analisis univariat: distribusi dan persentase perubahan status neurologis


(tingkat kesadaran)
Perbaikan status neurologis pasien stroke akut yang mendapat terapi

manitol mulai terjadi pada waktu 48 jam atau setelah mendapat terapi manitol

yang kelima yaitu sebanyak 12 pasien (35%) memiliki tingkat kesadaran baik

(GCS 13-15), sedangkan sebanyak 22 pasien (65%) memiliki tingkat kesadaran

sedang (GCS 9-12).

Pada waktu 24 jam pertama mendapat manitol sebanyak 11 pasien (32%)

mengalami tingkat kesadaran yang baik (GCS 13-15), sedangkan 23 pasien (68%)

memiliki tingkat kesadaran sedang (GCS 9-12).

Terjadi peningkatan nilai rata-rata GCS pasien yang mendapat terapi

manitol pada pemberian pertama hingga pemberian kelima adalah 11,35. Pada

pemberian manitol keenam hingga keduabelas juga terjadi peningkatan nilai rata-

rata GCS pasien, masing-masing adalah 12,02, 12,20, 12,32, 12,32, 12,67, 12,82,

12,85.

Universitas Sumatera Utara


98

Begitu juga pada waktu 24 jam berikutnya (hari ketiga) jumlah pasien

yang mengalami perbaikan tingkat kesadaran terus bertambah, setelah mendapat

terapi manitol yang kesembilan jumlah pasien stroke akut dengan tingkat

kesadaran baik (GCS 9-12) bertambah menjadi 21 pasien (62%), dan jumlah

pasien yang memiliki tingkat kesadaran sedang (GCS 9-12) 13 pasien (38%).

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan

rumah sakit Pirngadi perubahan status neurologis (tingkat kesadaran) pasien

stroke akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel

dibawah ini:

Tabel 12. Distribusi frekuensi dan Persentase Perubahan Status Neurologis


(tingkat kesadaran) Responden Stroke Akut di RSUP Adam Malik Medan
dan RS Pirngadi Medan (n=34)
Manitol
Status 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
kesadaran f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Baik 11 32 11 32 11 32 11 32 12 35 17 50 19 56 20 59 21 62 22 65 22 65 22 65
Sedang 23 68 23 68 23 68 23 68 22 65 17 50 15 44 14 41 13 38 12 35 12 35 12 35
Dari tabel 12 juga didapatkan hasil bahwa distribusi pasien berdasarkan

nilai GCS diperoleh nilai GCS awal pasien stroke akut yang mendapat terapi

manitol terbanyak adalah 12-13 (52,9%) dan nilai GCS akhir pasien stroke akut

(setelah mendapat 12 kali manitol) yang terbanyak adalah 14-15 (50%).

Analisis univariat: distribusi dan persentase perubahan status neurologis


(ukuran pupil)
Dari penelitian didapatkan bahwa perbaikan ukuran pupil pasien stroke akut

yang mendapat terapi manitol yang mengalami gangguan dimulai pada waktu 24

jam pertama setelah mendapat terapi manitol. Setelah mendapat terapi manitol

yang ke tiga, jumlah pasien yang memiliki ukuran pupil normal bertambah

menjadi 24 pasien (71%), setelah mendapat terapi manitol yang keempat jumlah

pasien stroke akut dengan ukuran pupil normal menjadi 30 pasien (88%)

Universitas Sumatera Utara


99

Pada pemberian manitol hari kedua dan ketiga yaitu pemberian kelima

hingga pemberian keduabelas, seluruh pasien (100%) memiliki ukuran pupil

normal (isokor kiri dengan kanan).

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan

rumah sakit Pirngadi perubahan status neurologis yaitu ukuran pupil pasien stroke

akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel

dibawah ini:

Tabel 13. Distribusi frekuensi dan Persentase perubahan Status Neurologis


(ukuran pupil) Responden Stroke Akut di RSUP Adam Malik Medan dan RS
Pirngadi Medan (n=34)
Manitol

Ukuran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
pupil
f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Normal 2 5 2 5 2 7 3 8 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10
0 9 0 9 4 1 0 8 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0
Miosis 9 2 9 2 8 2 4 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Unilater 7 7 4 2
al
Midriasi 5 1 5 1 2 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
unilater 5 5
al

Analisis univariat: distribusi dan persentase perubahan status neurologis


(refleks pupil)
Dari penelitian didapatkan bahwa perbaikan reaktivitas pupil pasien stroke

akut yang mendapat terapi manitol yang mengalami gangguan dimulai pada waktu

24 jam pertama. Setelah mendapat terapi manitol yang ke tiga, jumlah pasien yang

memiliki reaktivitas pupil normal bertambah menjadi 26 pasien (77%) dan setelah

mendapat manitol keenam seluruh pasien memiliki reaktivitas pupil normal.

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan

rumah sakit Pirngadi perubahan status neurologis yaitu reaktivitas pupil pasien

stroke akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel

dibawah ini:

Universitas Sumatera Utara


100

Tabel 14. Distribusi frekuensi dan Persentase perubahan Status Neurologis


(refleks pupil) Responden Stroke Akut di RSUP Adam Malik Medan dan RS
Pirngadi Medan (n=34)
Manitol

Reaktivit 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
as pupil
f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Pupil kiri 2 7 2 7 2 7 3 8 3 97 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10
dan 4 1 4 1 6 7 0 8 3 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0
kanan
reaktif
Salah 1 2 1 2 8 2 4 1 1 2, 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
satu pupil 0 9 0 9 4 2 9
reaktif

Analisis univariat: distribusi dan persentase perubahan status neurologis


(refleks kornea)
Dari penelitian didapatkan bahwa perbaikan refleks kornea pasien stroke

akut yang mendapat terapi manitol yang mengalami gangguan dimulai pada waktu

48 jam. Setelah mendapat terapi manitol yang keenam, jumlah pasien yang

memiliki refleks kornea normal bertambah menjadi 20 pasien (59%). Setelah

mendapat manitol ketujuh, hingga keduabelas jumlah pasien yang mengalami

perbaikan refleks kornea terus bertambah, walaupun setelah mendapat terapi

manitol keduabelas masih terdapat satu pasien (2,9%) yang mengalami gangguan

refleks kornea

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan

rumah sakit Pirngadi perubahan status neurologis yaitu refleks kornea pasien

stroke akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel

dibawah ini:

Universitas Sumatera Utara


101

Tabel 15. Distribusi frekuensi dan Persentase perubahan Status Neurologis


(refleks kornea) Responden Stroke Akut di RSUP Adam Malik Medan dan
RS Pirngadi Medan (n=34)
Manitol
Refleks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
kornea f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Normal 17 50 17 50 17 50 17 50 17 50 20 59 25 74 27 79 30 88 32 94 33 97 33 97
abnormal 17 50 17 50 17 50 17 50 17 50 14 41 9 27 7 21 4 12 2 6 1 3 1 3

Analisis univariat: distribusi dan persentase perubahan status neurologis


facial grimace
Dari penelitian didapatkan bahwa perbaikan otot wajah pasien stroke akut

yang mendapat terapi manitol yang mengalami gangguan tidak mengalami

perbaikan hingga pemberian manitol yang keduabelas. Jumlah pasien yang

mengalami gangguan otot wajah adalah sebanyak enam pasien (18%) dan yang

tidak mengalami gangguan otot wajah dan sebanyak 28 (82%).

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan

rumah sakit Pirngadi perubahan status neurologis yaitu otot wajah (facial

grimace) pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara

lengkap pada tabel dibawah ini:

Tabel 16. Distribusi frekuensi dan Persentase perubahan Status Neurologis


(facial grimace) Responden Stroke Akut di RSUP Adam Malik Medan dan
RS Pirngadi Medan (n=34)

Manitol
Facial 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
grimace
f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Simetris 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18
Asimetris 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82

Analisis univariat: distribusi dan persentase perubahan tanda vital (tekanan


darah)
Dari penelitian didapatkan bahwa tekanan darah pasien stroke akut yang

mendapat terapi manitol yang mengalami hipertensi hingga pemberian manitol

keduabelas masih terdapat pasien yang mnegalami hipertensi. Tekanan darah yang

Universitas Sumatera Utara


102

normal baru daat dicapai setelah pasien stroke akut mendapat manitol yang

keempat terdapat satu pasien (2,9%).

Pada pemberian manitol hari pertama mayoritas pasien mengalami

hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2, dan pada pemberian manitol hari

kedua dan ketiga mayoritas pasien mengalami hipertensi derajat 1.

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan

rumah sakit Pirngadi perubahan tanda vital yaitu tekanan darah pasien stroke akut

yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel dibawah ini:

Tabel 17. Distribusi frekuensi dan Persentase Perubahan Tanda Vital


(tekanan darah) Responden Stroke Akut di RSUP Adam Malik Medan dan
RS Pirngadi Medan (n=34)
Manitol

Tekanan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
darah
f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Normal 0 0 0 0 0 0 1 3 2 5,9 2 6 2 6 2 6 4 12 8 24 10 29 11 32
Normal 1 3 1 3 1 3 2 5,9 2 5,9 3 9 5 15 9 27 9 27 8 24 9 27 8 24
tinggi
HT 1 11 32 11 32 12 35 10 29 14 41 17 50 16 47 15 44 15 44 15 44 14 41 14 41
HT 2 10 29 10 29 11 32 13 38 8 24 7 21 8 24 7 21 6 18 3 9 1 3 1 3
HT 3 12 35 12 35 10 29 8 24 8 24 5 15 3 9 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0

Analisis univariat: distribusi dan persentase perubahan tanda vital (denyut


nadi)
Dari penelitian didapatkan bahwa pada pemberian manitol pertama hingga

keempat mayoritas pasien memiliki denyut nadi normal dan seluruh pasien

memiliki denyut nadi normal dapat dicapai setelah 24 jam pemberian manitol.

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan

rumah sakit Pirngadi perubahan tanda vital yaitu denyut nadi pasien stroke akut

yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel dibawah ini:

Universitas Sumatera Utara


103

Tabel 18. Distribusi frekuensi dan Persentase Perubahan Tanda Vital


(denyut nadi) Responden Stroke Akut di RSUP Adam Malik Medan dan RS
Pirngadi Medan (n=34)
Manitol

Denyut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
nadi
f % f % F % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Normal 2 6 2 7 2 7 3 8 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10
2 5 5 4 5 4 0 8 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0
Takikard 1 3 9 2 9 2 4 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
ia 2 5 7 7 2

Analisis univariat: distribusi dan persentase perubahan tanda vital (suhu


tubuh)
Dari penelitian didapatkan bahwa pada hari pertama sebagian besar pasien

mengalami hipertermia, suhu tubuh normal seluruh pasien (100%) baru dapat

dicapai pada waktu setelah 24 jam yaitu pada pemberian manitol keenam.

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan

rumah sakit Pirngadi perubahan tanda vital yaitu suhu tubuh pasien stroke akut

yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel dibawah ini:

Tabel 19. Distribusi frekuensi dan Persentase Perubahan Tanda Vital (suhu
tubuh) Responden Stroke Akut di RSUP Adam Malik Medan dan RS
Pirngadi Medan (n=34)
Suhu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
tubuh
f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Normal 4 1 1 4 1 5 2 8 3 97 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10
2 4 1 7 0 9 5 3 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0
Hiperter 3 8 2 5 1 5 5 1 1 2, 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
mia 0 8 0 9 7 0 5 9

Analisis univariat: distribusi dan persentase perubahan tanda vital


(frekuensi pernafasan)
Dari penelitian didapatkan bahwa pada hari pertama sebagian besar pasien

mengalami frekuensi pernafasan normal, frekuensi pernafasan normal seluruh

pasien (100%) baru dapat dicapai pada waktu setelah 24 jam yaitu pada

pemberian manitol keenam.

Universitas Sumatera Utara


104

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan

rumah sakit Pirngadi perubahan tanda vital yaitu frekuensi pernafasan pasien

stroke akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel

dibawah ini:

Tabel 20. Distribusi frekuensi dan Persentase Perubahan Tanda Vital


(frekuensi pernafasan) Responden Stroke Akut di RSUP Adam Malik Medan
dan RS Pirngadi Medan (n=34)
Frekuensi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
pernafasan
f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Normal 17 50 17 50 19 56 27 79 34 100 34 100 34 100 34 100 34 100 34 100 34 100 34 100
Takipnea 17 50 17 50 15 44 7 21 1 2,9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Universitas Sumatera Utara


BAB 5

PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan tentang interpretasi dan diskusi hasil penelitian yang

telah dijelaskan pada bab 4 dengan mengacu pada teori dan hasil penelitian

sebelumnya. Adapun fokus bahasan penelitian ini adalah penjelasan hasil

penelitian: karakteristik responden, perubahan status neurologis dan perubahan

tanda-tanda vital setelah pemberian terapi manitol pada pasien stroke fase akut,

keterbatasan penelitian serta implikasi hasil penelitian.

Karakteristik Responden

Usia

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia terjadinya stroke hemoragik

adalah mayoritas responden yang berusia lansia awal (46-55 tahun) berjumlah 21

responden (61%), lansia akhir (56-65 tahun) berjumlah 12 responden (35,3%) dan

usia diatas 65 tahun terdapat satu responden (2,9%). Hasil penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Berman, Hiswani & Makmur di rumah

sakit Adam Malik Medan tahun 2012 didapatkan rentang usia terkena stroke

adalah kelompok umur 45-59 tahun 48,6%.

Hasil penelitian lain di 28 rumah sakit di Indonesia didapatkan data usia

rata-rata stroke adalah 58,8 tahun ± 13,3 tahun, dengan kisaran usia 18-95 tahun.

Usia kurang dari 45 tahun sebanyak 12,5% dan lebih dari 65 tahun sebanyak

35,8% (Misbach, 2011).

106

Universitas Sumatera Utara


107

Jenis Kelamin

Dari hasil penelitian ini didapatkan, mayoritas responden berjenis kelamin

laki-laki yaitu terdiri dari 27 (79,41%) responden, dibandingkan dengan jenis

kelamin perempuan sebanyak 7 (20,58%) responden.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Safri (2013) juga mendapatkan hasil

bahwa jumlah responden laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan responden

perempuan yaitu 11 (73.3%) responden laki-laki dan 4 (26.7%) responden

perempuan. Sebuah penelitian epidemiologi menunjukkan hasil yang serupa

dengan penelitian ini. Didapatkan jumlah pasien laki-laki yang mengalami stroke

sebanyak 75% dibandingkan dengan pasien perempuan 25% (Laily, 2017).

Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Bushnell (2009) bahwa

kejadian stroke lebih banyak dialami oleh laki-laki. Hal ini dikaitkan dengan

hormon testoteron pada laki-laki yang dapat meningkatkan kadar LDL darah.

Apabila kadar LDL tinggi akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah, dan

jika kolesterol dalam darah meningkat akan meningkatkan risiko penyakit

degeneratif karena kolesterol darah yang tinggi merupakan salah satu faktor risiko

penyebab penyakit degeneratif salah satunya adalah stroke (Watila, dkk., 2010).

Tingkat pendidikan

Dari hasil penelitian ini didapatkan data bahwa mayoritas pasien 17 (50%)

responden memiliki pendidikan terakhir SMA, diikuti dengan 7 (20.58%)

responden memiliki riwayat pendidikan terakhir perguruan tinggi. Sisanya,

sebanyak 5 responden (14,7%) adalah SMP dan 5 responden (14,7%) adalah

SMA.

Universitas Sumatera Utara


108

Tingkat pendidikan mempengaruhi kemampuan untuk memahami dan

mengikuti petunjuk agar sehat, apabila seseorang buta huruf informasi tertulis

tentang perilaku sehat dan sumber sehat menjadi tidak berharga (Lemone, Burke

& bauldoff, 2016). Tingkat pendidikan, pengetahuan, dan sikap masyarakat

terhadap kesehatan merupakan faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku

masyarakat dalam memperoleh upaya kesehatan dan meningkatkan derajat

kesehatan secara optimal (Notoadmodjo, 2003).

Pekerjaan

Hasil penelitian ini menunjukkan data bahwa mayoritas responden 24

(70.58%) adalah bekerja, sedangkan 10 (29.41%) responden tidak bekerja.

Suirauka (2012) mengatakan bahwa beban kerja yang tinggi, tekanan hidup yang

berat ataupun hal lainnya tanpa disadari dapat menyebabkan efek jangka panjang

pada fisik dan mental, salah satunya adalah stres. Stres menyumbang 20%

penyebab terjadinya stroke karena stres dapat meningkatkan kadar kolesterol

dalam darah yang dapat membuat pembuluh darah tersumbat sehingga berisiko

terkena stroke.

Stres yang bersifat konstan dan terus menerus mempengaruhi kerja kelenjar

adrenal dan tiroid dalam memproduksi hormon adrenalin, tiroksin dan kortisol.

Sebagai hormon utama stres akan naik jumlahnya dan berpengaruh secara

segnifikan pada sistem homeostasis. Adrenalin yang bekerja secara sinergis

dengan sistem saraf simpatis berpengaruh terhadap denyut jantung dengan

tekanan darah. Tiroksin selain meningkatkan Basal Metabolisme Rate (BMR),

Universitas Sumatera Utara


109

juga menaikkan denyut jantung, frekuensi nafas dan peningkatan denyut jantung

(Herke, 2006).

Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung dapat merusak dinding

pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya plak didalam pembuluh darah yang

akan memicu terjadinya aterosklerosis sehingga berisiko terjadinya stroke

(Suiroka, 2012).

Stres yang telah dialami >1 tahun terakhir memiliki hubungan yang

signifikan dengan kejadian stroke (Jood, et al., 2009). Penelitian yang dilakukan

oleh Everson-Rose (2014) juga menunjukkan bahwa stres berkepanjangan secara

signifikan dapat meningkatkan kejadian stroke pada usia menengah ke atas dan

dewasa tua.

Walaupun stroke lebih banyak terjadi pada responden yang memiliki

pekerjaan, namun tidak menutup kemungkinan juga dialami pada orang yang

tidak bekerja. Menurut Soetjipto (2006), hal ini dikarenakan adanya

kecenderungan hidup santai, pola makan yang tidak teratur, malas berolahraga,

dan tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang bekerja.

Status Perkawinan

Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa mayoritas responden

adalah menikah yaitu sebanyak 25 (73.52%) responden, sedangkan 9 (26.47%)

responden adalah duda/janda. Sejalan dengan hasil yang diperoleh pada studi oleh

Baidya, Chaudhuri & Devi (2013), didapatkan data responden yang terkena stroke

sebanyak 83 (83%) orang menikah dan 17 (17%) orang tidak menikah.

Universitas Sumatera Utara


110

Perkawinan adalah salah satu aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan

untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia, namun dalam setiap hubungan

seperti perkawinan masalah tidak selalu dapat dihindarkan karena pada dasarnya

sebuah perkawinan terdiri dari dua orang yang mempunyai sifat, kepribadian,

maupun karakter yang berbeda. Masalah dalam perkawinan seringkali menjadi

faktor munculnya stres pada individu yang telah kawin dan beresiko

menyebabkan stroke.

Riwayat Status Merokok

Dari hasil penelitian didapatkan mayoritas pasien adalah perokok aktif yaitu

sebanyak 20 responden (58.82 %). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Mahmudah (2012), yang menyatakan bahwa jumlah

penderita stroke yang mempunyai kebiasaan merokok adalah sebanyak 14

responden (53,8%) lebih banyak dari pada jumlah penderita stroke yang tidak

mempunyai kebiasaan merokok yaitu sebanyak 6 responden (23%).

Dinding arteri yang rusak akibat asap rokok akan menjadi lokasi

penimbunan lemak, sel trombosit, kolestrol, dan terjadi penebalan lapisan otot

polos dinding arteri (aterotrombotik). Aterotrombotik menyebabkan diameter

rongga arteri menyempit dan biasanya menyebakan kerapuhan dinding pembuluh

darah arteri, hal inilah yang menimbulkan stroke (Wahyu Genis, 2010).

Selain itu, zat nikotin yang terdapat dalam rokok dapat meningkatkan

konsentrasi noreepinefrin dalam sirkulasi, peningkatan pelepasan vasopressin,

endorphin-beta, hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan kortisol. Dimana

perangsangan simpatis melalui peningkatan noreepinefrin pada jantung akan

Universitas Sumatera Utara


111

meningkatkan seluruh aktivitas jantung. Perangsangan simpatis juga

meningkatkan daya dorong oleh jantung dan tahanan terhadap aliran darah yang

menyebabkan peningkatan tekanan arteri (Guyton, 2007).

Kortisol menyebabkan hipertensi karena efek ringan mineral kortikoid.

Begitu juga dengan peningkatan ACTH dan endhorpin-beta di mana hal tersebut

merupakan hormon yang mengatur sekresi kortisol (Guyton, 2007).

Karbon monoksida juga menyebabkan sumbatan lemak di arteri. Kerusakan

pada endotel vaskuler dapat menimbulkan penumpukan monosit dan lipid (berupa

lipoprotein berdensitas rendah) pada tempat kerusakan. Monosit masuk ke dalam

lapisan intima dinding pembuluh dan berdiferensiasi menjadi makrofag, yang

selanjutnya mencerna dan mengoksidasi tumpukan lipoprotein, sehingga

penampilan makrofag menyerupai busa. Sel busa makrofag ini kemudian bersatu

pada pembuluh darah dan membentuk fatty steak (Guyton, 2007).

Dengan berjalannya waktu fatty steak menjadi lebih besar dan bersatu, dan

jaringan otot polos serta jaringan fibrosa disekitarnya berproliferasi untuk

membentuk plak yang makin lama makin besar. Makrofag juga melepaskan zat

yang menimbulkan inflamasi dan proliferasi lebih lanjut dari jaringan fibrosa dan

otot polos pada permukaan dalam dinding arteri (Guyton, 2007).

Fibroblas plak akhirnya menimbun sejumlah besar jaringan ikat padat,

sklerosis menjadi sangat besar dan arteri menjadi kaku dan tidak lentur.

Selanjutnya garam kalsium seringkali mengendap bersama dengan kolesterol dan

lipid yang lain dari plak yang menimbulkan kalsifikasi sekeras tulang yang dapat

membuat arteri seperti saluran kaku (pengerasan arteri) (Guyton, 2007). Sehingga

Universitas Sumatera Utara


112

pembuluh darah menjadi mudah pecah ditambah dengan meningkatnya tekanan

darah, maka pembuluh darah ruptur dan terjadi perdarahan dalam otak.

Riwayat Kesehatan Dahulu

Hasil penelitian ini menunjukkan mayoritas pasien mempunyai riwayat

penyakit hipertensi yaitu sebanyak 24 responden (70.58%). Hasil penelitian ini

mendukung penelitian yang menyatakan adanya hubungan hipertensi dengan

kejadian stroke seperti penelitian yang dilakukan oleh Berman, Hiswani &

Makmur di rumah sakit Adam Malik Medan tahun 2012 menunjukkan proporsi

faktor resiko penderita stroke hemoragik yang tertinggi adalah hipertensi 78,4%

dan yang terendah adalah penyakit jantung, aneurysma, operasi tumor otak, dan

konsumsi alkohol atau narkoba.

Hasil penelitian epidemiologi juga memperlihatkan bahwa hipertensi

dijumpai pada 50-70% pada pasien stroke. Seseorang yang memiliki hipertensi

berisiko 3-4 kali mengalami stroke dibandingkan dengan orang yang tidak

memiliki hipertensi (Laily, 2017).

Tekanan darah sistemik yang meningkat akan membuat pembuluh darah

serebral berkonstriksi. Derajat konstriksi tergantung pada peningkatan tekanan

darah. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan atau

bertahun-tahun akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh darah

serebral yang mengakibatkan diameter lumen pembuluh darah tersebut akan

menjadi tetap. Hal ini berbahaya karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi

atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari tekanan darah

sistemik.

Universitas Sumatera Utara


113

Bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi ke

jaringan otak tidak adekuat akan mengakibatkan iskemik serebral. Sebaliknya,

bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi pada dinding

kapiler menjadi tinggi yang mengakibatkan terjadi hiperemia, edema, dan

kemungkinan terjadinya stroke hemoragik.

Lokasi Perdarahan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden (85,2%)

mengalami perdarahan intraserebral dan sisanya adalah perdarahan subarachnoid

(14,74%). Lokasi perdarahan yang dialami sebagian besar pasien adalah basal

ganglia (27,6%), talamus (20,7%), lobus (41,4%), serta basal ganglia dan talamus

(10,3%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Berman,

Hiswani & Makmur di rumah sakit Adam Malik Medan tahun 2012, proporsi

penderita stroke haemoragik yang tertinggi berdasarkan hasil CT-Scan adalah

perdarahan intraserebral (PIS) 83,8% dan terendah perdarahan subarachnoid

(PSA) 11,7%.

Penelitian yang dilakukan oleh Misbach (2011) juga mengungkapkan hasil

bahwa dari 28 rumah sakit di Indonesia persentasi lokasi terjadinya stroke

hemoragik adalah perdarahan subarachnoid (PSA) 4,2%, perdarahan intraserebral

(PIS) 18,5% dengan pembagian perdarahan lobar 8,8%, perdarahan basal ganglia

7,1%, perdarahan batang otak 1,7%, perdarahan serebelum 0,9%.

Penelitian yang dilakukan oleh Yousuf, Fauzi, Jamalludin, How, Amran,

Shahrin, Marzuki & shah (2012) menyebutkan bahwa lokasi hematoma

Universitas Sumatera Utara


114

merupakan prediktor independen kematian selama perawatan akut dan studi oleh

Almutawa, Shahda & Albalooshi (2012) juga mengungkapkan bahwa faktor risiko

independen mortalitas selama perawatan yang signifikan adalah lokasi hematoma,

volume hematoma, dan perdarahan intraventrikular.

Basal ganglia dan talamus merupakan lokasi tersering terjadinya stroke

hemoragik. Prognosis penyembuhan pada perdarahan talamus tidak sebaik

perdarahan pada nukleus kaudatus dan putamen dengan ukuran hematoma yang

sama. Hematoma talamus diameter >3cm umumnya berhubungan dengan koma

dan kematian (Caplan, 2009).

Hasil penelitian Susilawati, Nuartha & Eko (2016) menyebutkan bahwa lesi

talamus secara bermakna merupakan faktor risiko terjadinya perburukan klinis

neurologis selama perawatan pada penderita stroke perdarahan intraserebral

supratentorial akut. Subjek yang mengalami perburukan klinis neurologis pada

lesi di daerah talamus sebanyak 19 pasien (63,3%) dan 7 pasien (23,3%) pada

subjek dengan lesi di daerah bukan talamus.

Hal ini dapat disebabkan oleh terjadinya penurunan kesadaran dan

kesadaran hipersomnolen yang umum dijumpai pada perdarahan talamus akibat

kerusakan sistem ascending reticular activating system (ARAS) bagian rostral.

Hematoma talamus juga sering menimbulkan obstruksi dan kompresi ventrikel III

dan penetrasi perdarahan ke intraventrikel sehingga menyebabkan timbulnya

hidrosefalus ventrikel lateralis dan penekanan daerah hipotalamus yang

menimbulkan prognosis lebih buruk (Caplan, 2009).

Universitas Sumatera Utara


115

Perubahan Status neurologis

Perubahan Status neurologis (tingkat kesadaran) Pasien Stroke Akut

yang Mendapat Terapi Manitol

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi penurunan

tingkat kesadaran pada pasien stroke hemoragik fase akut. Distribusi pasien

berdasarkan nilai GCS diperoleh nilai GCS awal pasien yang terbanyak adalah 12-

13 (52,9%) dengan nilai GCS paling rendah adalah 9 dan nilai GCS pasien setelah

12 kali mendapat terapi manitol yang terbanyak adalah 14-15 (50%) dengan nilai

GCS paling rendah adalah 10.

Rata-rata nilai GCS pasien yang mendapat terapi manitol pada pemberian

pertama hingga pemberian kelima adalah 11,35. Rata-rata GCS pasien yang

mendapat terapi manitol pada pemberian keenam hingga keduabelas masing-

masing adalah 12,02, 12,20, 12,32, 12,32, 12,67, 12,82, 12,85.

Sejalan dengan penelitian Rathore, Kango & Mehraj (2011), menyatakan

nilai GCS penderita stroke hemoragik lebih banyak dalam kategori sedang &

buruk bila dibandingkan dengan nilai GCS pada penderita stroke non hemoragik

yaitu sekitar 55% saat masuk rumah sakit.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Baidya, Tiwari & Usman

(2015) yang mengungkapkan bahwa pada pasien stroke hemoragik fase akut akan

mengalami penurunan kesadaran. Dari 50 subjek penelitian, yang mengalami

penurunan kesadaran dengan GCS 9-12 adalah sebanyak 25 pasien (50%), skor

GCS 13-15 sebanyak 5 pasien (10%), skor GCS 4-8 sebanyak 18 pasien (36%),

dan skor GCS 3 sebanyak 2 pasien (4%).

Universitas Sumatera Utara


116

Penurunan kesadaran merupakan tanda pertama pada gangguan neurologis

karena dua alasan yaitu: (1) sel khusus dari korteks serebral paling sensitif

terhadap penurunan suplai oksigen yang terjadi akibat peningkatan tekanan

intrakranial karena adanya edema serebral pada pasien stroke, dan (2) penurunan

kesadaran akibat peningkatan tekanan intrakranial terjadi karena korteks serebral

dipasok oleh arteri terminal, sehingga suplai oksigen ke sel sensitif korteks

serebral berkurang (Hickey, 2009).

Selain itu, menurut Quaranta, Cassano, Quaranta (2007) gangguan

penurunan kesadaran pada pasien stroke hemoragik fase akut terjadi karena edema

serebral yang mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial sehingga

menyebabkan kompresi pada pusat pengatur kesadaran yang menyebabkan

invaginasi dari nodus Ranvier dan demielinasi. Kondisi ini menyebabkan

gangguan konduksi aliran impuls saraf aferen spesifik dan impuls aferen non-

spesifik yang terdiri dari neuron-neuron di substansia retikularis medulla spinalis

dan batang otak menuju ke inti intralaminaris talamus (neuron penggalak

kewaspadaan) yang berlangsung secara multisinaptik, unilateral dan lateral, serta

menggalakkan inti tersebut untuk memancarkan impuls yang menggiatkan seluruh

korteks secara difus dan bilateral yang dikenal sebagai diffuse ascending reticular

system.

Derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau

neuron pengemban kewaspadaan yang aktif. Unsur fungsional utama neuron-

neuron ialah kemampuan untuk dapat digalakkan sehingga menimbulkan

potensial aksi. Selain itu juga didukung oleh proses-proses yang memelihara

Universitas Sumatera Utara


117

kehidupan neuron-neuron serta unsur-unsur selular otak melalui proses

biokimiawi, karena derajat kesadaran bergantung pada jumlah neuron-neuron

tersebut yang aktif. Adanya gangguan baik pada neuron-neuron pengemban

kewaspadaan ataupun penggerak kewaspadaan akan menimbulkan gangguan

kesadaran (Ropper & Brown, 2005; Ganong, 2005).

Dari hasil penelitian ini juga dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi

perbaikan tingkat kesadaran pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol (<72

jam), walaupun perbaikan nilai GCS terjadi secara perlahan. Perbaikan tingkat

kesadaran dimulai pada hari kedua (48 jam) yaitu setelah pemberian manitol

keenam terjadi peningkatan rata-rata nilai GCS 11,35 menjadi 12,02.

Hasil penelitian ini didukung laporan penelitian yang dipublikasikan oleh

Asghari et al., (2013) yang menyimpulkan bahwa nilai GCS meningkat secara

perlahan setelah pemberian manitol. Peningkatan terjadi pada waktu 48 jam,

walaupun peningkatan tingkat kesadaran tidak signifikan namun level edema

serebral menurun secara signifikan pada pasien dengan perdarahan intraserebral.

Penelitian lain yang sejalan adalah penelitian yang dilakukan oleh Jaya,

Widodo & Ganda (2017) yang menyebutkan bahwa pemberian manitol 20% pada

awal masuk hingga hari kelima (120 jam) menunjukkan peningkatan nilai GCS

pada pasien cedera kepala sedang. Rerata nilai GCS pasien sebelum yaitu 11,24

dan sesudah (penilain V) yaitu 13,72. Dinamika GCS pada awal dan akhir

penilaian memperlihatkan perbaikan derajat kesadaran mulai terjadi pada hari

kedua setelah pemberian terapi manitol.

Universitas Sumatera Utara


118

Perbaikan tingkat kesadaran pada pasien stroke akut yang mendapat terapi

manitol terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) peningkatan aliran darah

serebral akibat peningkatan tekanan perfusi serebral (CPP), (2) vasodilatasi

serebral, dan (3) perbaikan rheologi yang akan menyebabkan terjadinya

peningkatan aliran darah (Wani, Ramzan, Nizami, Malik, Kirmani, Bhatt &

Singh, 2008 dalam Rahmah, 2012).

Perbaikan tingkat kesadaran pada pasien stroke hemoragik akut disebabkan

oleh sifat manitol sebagai agen osmoterapi. Dimana di dalam tubuh pemberian

manitol akan membentuk ketidakseimbangan tekanan osmotik (menarik cairan

kedalam endotel) antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluler. Efektivitas

osmotik manitol akan menarik cairan intraseluler ke dalam intravaskuler, sehingga

edema serebral akibat peningkatan kadar air dalam jaringan otak akan menurun.

Penurunan volume edema serebral setelah terapi manitol akan menyebabkan

penurunan tekanan intrakranial sehingga dapat mengurangi efek penekanan pada

pusat kesadaran (Oddo, Levine, Frangos, Carrera, Wilensky, Pascual, Kofke,

Mayer & LeRous, 2009). Sehingga jaras kesadaran yang dimulai dengan masukan

impuls dari pusat sensorik pada korteks serebri yang terdiri dari serat-serat

asenden yang berasal dari formasio retikularis, menuju RAS (Reticular Activating

System) diproyeksikan kembali ke korteks serebri dan terjadi peningkatan

aktivitas korteks dan kesadaran.

Penelitian oleh Helbok et al (2011) menyatakan setelah 30 menit pemberian

terapi manitol terjadi penurunan tekanan intrakranial dan setelah 45 menit

pemberian terapi manitol terjadi peningkatan tekanan perfusi serebral.

Universitas Sumatera Utara


119

Penelitian lain yang dilakukan oleh Kirkpatrick, Smielewski, Piechnik,

Pickard & Czosnyka, mendapatkan hasil bahwa manitol dapat meningkatkan

cerebral perfusion pressure (CPP) sampai 18% dan menurunkan tekanan

intrakranial sampai 21%. Velositas aliran arteri serebri media didapatkan

meningkat sampai 15,6% dan mencapai nilai maksimum saat pemberian selesai

kemudian mengalami penurunan.

Dengan adanya perbaikan perfusi serebral maka sel khusus dari korteks

serebral yang paling sensitif terhadap penurunan suplai oksigen yang terjadi

akibat peningkatan tekanan intrakranial karena adanya edema serebral pada pasien

stroke tidak akan mengalami gangguan lagi dan arteri terminal yang memasok

darah ke korteks serebral akan berfungsi kembali.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ritter, Muizelaar, Barnes,

Choi, Fatouros, Ward & Bullock (1999) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

skor GCS setelah pemberian terapi manitol pada pasien cedera kepala. Secara

teori manitol memperbaiki aliran darah ke semua bagian otak termasuk batang

otak. Dengan alasan ini, terjadinya perbaikan tingkat kesadaran diduga lebih

berhubungan dengan perbaikan aliran darah (hemodinamik serebral) disamping

terjadinya pengurangan edema otak dan penurunan tekanan intrakranial oleh

manitol.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Obrist, Gennarelli, Segawa,

Dolinskas, dan Langfitt (1979) juga menyimpulkan bahwa aliran darah serebral

berkorelasi dengan tingkat kesadaran. Semakin meningkat aliran darah serebral

maka tingkat kesadaran juga akan semakin meningkat. Hasil penelitian Bouma,

Universitas Sumatera Utara


120

Muizelaar, Choi, Newlon & Young (1991) juga menyimpulkan bahwa terdapat

korelasi antara aliran darah serebral (CBF) dengan skor motorik pasien, yaitu

peningkatan aliran darah serebral akan meningkatkan skor motorik pasien.

Hubungan perbaikan aliran darah serebral dengan perbaikan tingkat

kesadaran setelah terapi manitol menurut peneliti dapat dijelaskan dengan teori

neurovascular coupling. Neurovascular coupling mengacu pada hubungan

aktivitas sel saraf dan perubahan pada aliran darah otak (CBF). Besaran

perubahan aliran darah serebral sangat erat hubungannya dengan aktivitas neuron

melalui rangkaian yang kompleks dan melibatkan neuron, glia dan sel pembuluh

darah. Apabila terjadi peningkatan aliran darah serebral maka aktivitas sel akan

meningkat, begitu juga sebaliknya (Pasley & Freeman, 2008).

Selain efek manitol terhadap edema serebral dan peningkatan tekanan

intrakranial, manitol juga dapat meningkatkan cairan intravaskuler yang berasal

dari edema serebral sehingga selanjutnya akan menurunkan viskositas darah atau

kadar hematokrit dan memperbaiki oksigenasi ke otak (efek rheologi) (Shawkat,

Westwood & Mortimer, 2012).

Sejalan dengan hal diatas, hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmah

(2012) menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar hematokrit sebesar 5%

setelah pemberian manitol yang diikuti dengan perbaikan kondisi klinis pasien

peningkatan tekanan intrakranial akibat cedera kepala.

Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Mutiari, Dewi & Zakiah

(2019) menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan bermakna nilai Hematokrit

antara pasien yang mengalami penurunan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) ≥ 3

Universitas Sumatera Utara


121

kematian dalam 72 jam setelah serangan stroke muncul (early neurological

deterioration) dengan yang bukan END pada stroke akut. Nilai Hematokrit tinggi

berhubungan secara signifikan dengan kematian dalam 72 jam setelah serangan

stroke muncul (END) pada stroke akut dibandingkan dengan yang tidak

mengalami kematian dalam 72 jam setelah serangan stroke muncul (END).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Dringer, scalfani, Zazulia, Videen, Dhar

& Power (2011) juga mengungkapkan terdapat hubungan antara kadar hematokrit

(viskositas darah) dengan aliran darah serebral yaitu peningkatan kadar hematokrit

berhubungan dengan penurunan signifikan aliran darah serebral, sedangkan

penurunan kadar hematokrit akan menyebabkan peningkatan aliran darah serebral.

Menurut analisa peneliti, perbaikan tingkat kesadaran pasien yang mulai

terjadi pada waktu 48 jam dipengaruhi oleh proses pembentukan edema serebral.

Dimana proses pemberntukan edema serebral terbentuk secara progresif pada 24

jam pertama. Pembentukan edema ini akan terus terjadi dengan lambat hingga 9-

14 hari kemudian menurun. Fase pembentukan edema serebral terdri dari tiga fase

yaitu: (1) pada beberapa jam pertama setelah terjadi stroke hemoragik terjadi

pembentukan bekuan darah, sel darah merah yang intak dalam area hematoma, (2)

setelah kaskade koagulasi menjadi aktif dalam 24-48 jam berikutnya trombin

menjadi aktif dan merusak integritas sawar darah otak mengakibatkan cairan

intravaskuler masuk ke ruang ekstraseluler (edema vasogenik), dan (3) fase ketiga

muncul saat sel-sel darah merah hematoma mulai lisis. Hemoglobin dan produk-

produk degradasinya disimpan dalam parenkim otak yang menyebabkan reaksi

inflamasi dan pembentukan edema vasogenik (Tiex & Tsirka, 2010).

Universitas Sumatera Utara


122

Namun, selain perbaikan nilai GCS penurunan nilai GCS juga terjadi. Dari

12 kali pemberian manitol terdapat dua pasien (5,9%) dari 34 pasien yang

mengalami penurunan nilai GCS. Dimana pasien yang mengalami penurunan nilai

GCS setelah 12 kali mendapat terapi manitol memiliki nilai GCS 10.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Silviantri

(2016), berdasarkan angka risiko relatif (RR) dari perhitungan menunjukkan

bahwa pada pasien stroke dengan nilai GCS saat masuk rumah sakit dalam

rentang sedang-buruk beresiko 2.231 kali untuk mengalami prognosis yang buruk

dan mortalitas dibandingkan dengan pasien stroke yang mempunyai nilai GCS

dalam rentang baik saat masuk rumah sakit.

Menurut peneliti, penurunan nilai GCS pasien stroke hemoragik akut tidak

terlepas dari faktor yang mempengaruhi prognosis pasien yaitu letak lesi dan usia

pasien. Berdasarkan data demografi pada penelitian ini diketahui bahwa lokasi lesi

kedua pasien yang mengalami penurunan nilai GCS selama 12 kali pemberian

manitol adalah lesi pada talamus dan basal ganglia. Lokasi lesi dan usia dapat

mempengaruhi prognosis pasien dan menjadi faktor resiko terjadinya perburukan

neurologis pasien.

Talamus merupakan lokasi tersering terjadinya stroke hemoragik dan

prognosis perdarahan talamus tidak sebaik pada perdarahan nukleus kaudatus atau

putamen dengan ukuran hematoma yang sama. Hal ini disebabkan karena

kerusakan sistem ascending reticular activating system (ARAS) bagian rostral.

Hematoma talamus sering menimbulkan obstruksi dan kompresi ventrikel III dan

penetrasi perdarahan ke intraventrikel sehingga menyebabkan timbulnya

Universitas Sumatera Utara


123

hidrosefalus ventrikel lateralis dan penekanan daerah hipotalamus yang

menimbulkan prognosis lebih buruk (Caplan, 2009).

Sejalan dengan hasil penelitian Susilawati, Nuartha & Eko (2016)

menyebutkan bahwa lesi talamus secara bermakna merupakan faktor risiko

terjadinya perburukan klinis neurologis selama perawatan pada penderita stroke

perdarahan intraserebral supratentorial akut. Subjek yang mengalami perburukan

klinis neurologis pada lesi di daerah talamus sebanyak 19 (63,3%) orang dan 7

(23,3%) orang pada subjek dengan lesi di daerah bukan talamus.

Usia juga mempengaruhi prognosis pasien. Diketahui usia rata-rata pasien

yang mendapat terapi manitol yang mengalami penurunan nilai GCS adalah 61,5

tahun. Menurut Camacho et al. (2014) usia tua mengalami penuaan pada

mikrovaskulatur serebri sehingga proses penyembuhan yang buruk dibandingkan

usia yang lebih muda. Sebuah penelitian kohort terhadap 2219 penderita yang

meneliti pengaruh usia pada perbaikan klinis stroke hemoragik akut didapatkan

kesimpulan perbaikan klinis menurun seiring bertambahnya usia dimana pada usia

>55 tahun hanya mencapai 50% perbaikan klinis dibandingkan dengan usia ≤55

tahun yang mencapai 67%.

Selain itu, terdapat perbedaan fungsi organ dan sistem tubuh pada responden

yang berusia muda dengan responden yang berusia tua, dimana usia tua tidak

dapat mentoleransi kondisi perdarahan yang terjadi dan pengobatan yang agresif

dibandingkan usia muda, hal ini berkaitan erat dengan fungsi organ hati dan ginjal

yang menurun pada usia tua (Degos et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara


124

Selain lokasi lesi dan usia, faktor yang mempengaruhi penurunan nilai GCS

adalah riwayat kesehatan dahulu dan riwayat status merokok. Dimana pada

penelitian ini pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol yang mengalami

penurunan nilai GCS mempunyai riwayat kesehatan dahulu hipertensi dan riwayat

status merokok. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aji &

Setyopranoto (2014) yang menyimpulkan bahwa kombinasi pasien hipertensi

berusia 50 tahun dengan riwayat merokok (n=9) dengan nilai median GCS 4 (3-

15) serta p=0,03 dan kombinasi pasien hipertensi tidak terkontrol berusia 50 tahun

dengan riwayat merokok (n=7) dengan median GCS 4 (3-15) serta p=0,08

merupakan faktor yang mempengaruhi penurunan nilai GCS pada kejadian stroke

perdarahan.

Perubahan Status neurologis (ukuran pupil) Pasien Stroke Akut yang

Mendapat Terapi Manitol

Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa terjadi perubahan ukuran pupil

abnormal pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol. Perubahan

ukuran pupil yang terjadi adalah miosis unilateral dan midriasis unilateral.

Perubahan ukuran pupil menurut Majdan, Steyerberg, Nieboer, Mauritz,

Rusnak & Lingsma (2015), merupakan akibat berkurangnya aliran darah menuju

batang otak (iskemia batang otak) selain adanya kompresi saraf kranial III.

Koutoukidis et al., (2017) juga menyatakan bahwa adanya penurunan aliran

darah ke batang otak yang mengakibatkan iskemik batang otak adalah penyebab

gangguan ukuran pupil.

Universitas Sumatera Utara


125

Hasil penelitian Ritter, Mauzilaar, Barnes, Choi, Fatourus, Ward & Bullock

(1999) juga menyimpulkan bahwa dilatasi pupil berkaitan dengan penurunan

aliran darah menuju batang otak (iskemia), karena tidak semua pasien dengan

herniasi menunjukkan dilatasi pupil.

Hickey (2009) juga menyatakan bahwa perubahan respon pupil dapat

menunjukkan terjadinya hipoksia serebral. Pada hipoksia berat akan dijumpai

dilatasi dan fiksasi pupil bilateral.

Teori iskemia penyebab dilatasi pupil ini diperkuat oleh penelitian

sebelumnya yang dilakukan pada hewan, hasil penelitian tersebut menjelaskan

bahwa selama serangan jantung dan iskemia terjadi dilatasi pupil. Sobotka dan

Gebert (1972) mendapatkan hasil terjadi dilatasi pupil dalam 5 menit setelah

iskemia otak maksimum pada anjing. Konstriksi terjadi setelah dilakukan

reperfusi, dan durasi waktu kembali pupil menjadi normal secara langsung terkait

dengan durasi iskemia. Penelitian yang dilakukan oleh Binnion dan McFarland

(1968) juga menunjukkan hasil bahwa henti jantung maksimum pada anjing

menyebabkan dilatasi pupil, setelah dilakukan pijatan jantung pupil kembali

normal.

Aktivitas sel otak sangat tergantung pada suplai darah ke otak karena tidak

memiliki cadangan oksigen dan glukosa. Perubahan aliran darah akibat gangguan

suplai darah ke otak (stroke hemoragik) dapat menurunkan aktivitas sel-sel otak

yang dapat terlihat langsung ketika aliran darah terganggu.

Edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi pada

stroke hemoragik fase akut dapat menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh

Universitas Sumatera Utara


126

darah (Hickey, 2009), peningkatan tahanan pembuluh darah ini akan

mengakibatkan aliran darah serebral berkurang, sehingga apabila tekanan perfusi

serebral tidak cukup adekuat maka kebutuhan oksigen & glukosa sel-sel saraf

akan kurang dari kebutuhan serebral (iskemia).

Selain itu, menurut Koutoukidis et al., (2017) & Majdan et al., (2015) juga

menyatakan bahwa ukuran pupil abnormal pada pasien-pasien yang mengalami

gangguan serebral disebabkan oleh adanya kompresi nervus kranialis ketiga oleh

edema serebral dan herniasi. Edema serebral yang berkembang akibat stroke

hemoragik dapat menekan saraf okulomotorius.

Arteri yang mengalami ruptur pada perdarahan intraserebral adalah arteri

serebral tengah dan arteri basilar dan arteri yang ruptur pada perdarahan

subarakhnoid adalah arteri komunikans anterior, arteri komunikans posterior dan

arteri basilar. Selain merupakan arteri pembentuk sirkulus willisi yang merupakan

pokok anastomosis pembuluh darah arteri yang penting di dalam otak, serabut

motorik nervus okulomotorius berjalan di antara arteri serebri posterior dan arteri

sereberalis superior (Majdan, Steyerberg, Nieboer, Mauritz, Rusnak & Lingsma,

2015).

Hal ini dapat menyebabkan gangguan impuls yang mengatur ukuran pupil

akibat adanya efek depresan dan terjadi invaginasi nodus Ranvier dan demielinasi.

Kondisi tersebut menyebabkan serabut saraf tidak mampu meneruskan impuls.

Besamya tekanan menentukan berat dan cepatnya kejadian kelumpuhan saraf

(Quaranta, Cassano, Quaranta, 2007).

Universitas Sumatera Utara


127

Gangguan pada nervus okulomotorius dapat terjadi dimana saja sepanjang

perjalanan saraf tersebut. Lesi di nukleus nervus okulomotorius akan

mempengaruhi otot-otot yang dinervasi oleh nervus III seperti M. rekti medialis

dan inferior ipsilateral, kedua M. levator palpebra, dan kedua M. rektus superior.

Apabila lesi mengenai nervus okulomotorius di mana saja dari nukleus (otak

tengah) ke cabang perifer di orbita akan dijumpai dilatasi pupil, hilangnya

akomodasi, dan ptosis kelopak mata atas, sering cukup berat sehingga pupil

tertutup. Dan semua lesi yang terjadi akan menimbulkan lesi yang semata-mata

ipsilateral.

Dari penelitian ini juga didapat hasil bahwa terjadi perbaikan ukuran pupil

pasien yang mendapat terapi manitol. Pada hari pertama yaitu pada pemberian

pertama dan kedua dari 34 pasien terdapat sembilan pasien (26,5%) mengalami

gangguan ukuran pupil miosis unilateral dan lima pasien (14,7%) mengalami

pupil midriasis unilateral.

Pada pemberian manitol ketiga, dari 34 pasien terdapat dua pasien (5,9%)

mengalami pupil midriasis unilateral, dan delapan pasien (23,5%) mengalami

pupil miosis unilateral. Pada pemberian manitol keempat, dari 34 pasien terdapat

empat pasien (11,8%) memiliki ukuran pupil abnormal yaitu miosis unilateral.

Pada pemberian manitol hari kedua dan ketiga yaitu pemberian kelima

hingga pemberian keduabelas, seluruh pasien (100%) memiliki ukuran pupil

normal (isokor kiri dengan kanan).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ritter,

Mauzilaar, Barnes, Choi, Fatourus, Ward & Bullock (1999), setelah pemberian

Universitas Sumatera Utara


128

manitol dapat segera mengurangi iskemia serebral dan memperbaiki ukuran

pupil abnormal serta reaktivitas pupil karena terjadi peningkatan aliran darah

serebral.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kirkpatrick, Smielewski, Piechnik,

Pickard & Czosnyka (1996), yang meneliti efek cepat setelah pemberian manitol

dengan menggunakan alat Transcranial Doppler dan Laser Doppler Flowmetry,

didapatkan hasil bahwa aliran darah arteri serebral tengah (middle cerebral artery)

yang merupakan salah satu dari tiga sirkulasi willisi di otak meningkat.

Penelitian lain juga mengungkapkan bahwa setelah pemberian manitol

terjadi pengurangan daerah hypoperfusi serebral sebanyak 40%, dan

meningkatkan oksigenasi otak serta meningkatkan hemodinamik serebral

(Scalfani, Dhar, Zazulia, Videen, & Diringer, 2012).

Berdasarkan suatu penelitian manitol juga diketahui meningkatkan tekanan

perfusi serebral sebanyak 18% dan penurunan tekanan intraserebral sebanyak 21%

tanpa mempengaruhi tekanan darah arteri. Pada penelitian tersebut flow velocity

pada arteri serebral medial meningkat sebesar 15,6% (Rachman, Rahardjo &

Saleh, 2015).

Efek utama manitol terhadap otak yang menyebabkan peningkatan volume

plasma secara cepat sehingga kadar hematokrit dan viskositas darah menurun,

aliran darah otak (CBF) meningkat dan terjadi peningkatan penghantaran oksigen

ke otak. Peningkatan volume plasma tersebut akan menyebabkan peningkatan

volume darah sistemik dan terjadi peningkatan perfusi darah serebral (Rachman,

Rahardjo & Saleh, 2015).

Universitas Sumatera Utara


129

Perbaikan perfusi serebral setelah terapi manitol selanjutnya akan

meningkatkan aktivitas sel saraf, sehingga sistem saraf parasimpatik dan simpatik

yaitu bagian sistem saraf otonom yang berfungsi mengendalikan otot-otot sfingter

iris dan otot dilator pupil akan berfungsi kembali (Mathôt, S. 2018).

Perubahan Status neurologis (reaktivitas pupil) Pasien Stroke Akut

yang Mendapat Terapi Manitol

Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa terjadi gangguan reaktivitas pupil

pada pasien stroke akut. Menurut peneliti gangguan reaktivitas pupil terhadap

cahaya pada penelitian ini disebabkan oleh adanya efek kompresi pada area

mesensefalon yang merupakan area nukleus okulomotorius yang utama akibat

munculnya edema serebral. Sehingga menyebabkan kerusakan saraf parasimpatis

yang merupakan saraf otonom pengatur kontriksi pupil yang akan menyebabkan

pupil tidak berkontstriksi ketika diberi cahaya. Besamya tekanan menentukan

berat dan cepatnya kejadian kelumpuhan saraf (Quaranta, Cassano, Quaranta,

2007).

Adanya edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial pada daerah

mesensefalon juga akan menyebabkan pembuluh darah yang memperdarahi area

otak tengah yaitu arteri basilaris (arteri serebri posterior) akan terganggu, akibat

adanya peningkatan tahanan pembuluh darah seiring terjadinya peningkatan

tekanan intrakranial. Efek peningkatan tahanan pembuluh darah adalah perfusi

serebral tidak adekuat dan iskemia sehingga mengganggu aktivitas neuron.

Hubungan antara aktivitas saraf dengan aliran darah otak (CBF) ini dapat

dijelaskan dengan teori neurovascular coupling, yaitu besarnya perubahan dan

Universitas Sumatera Utara


130

lokasi perubahan aliran darah berkaitan dengan perubahan aktivitas saraf melalui

urutan yang peristiwa yang kompleks dan terkoordinasi yang melibatkan neuron,

glia, dan sel-sel vaskular. Aktivitas saraf yang mengalami gangguan aliran darah

serebral terganggu sehingga akan memunculkan tanda kerusakan (Pasley &

Freeman, 2008).

Dari penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa terjadi perbaikan reaktivitas

pupil pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol, yaitu pada hari pertama

pada pemberian yang pertama dan kedua adalah terdapat 10 pasien (29,4%)

memiliki salah satu pupil yang tidak reaktif terhadap cahaya dan 24 pasien

(70,6%) memiliki pupil kiri dan kanan yang reaktif terhadap cahaya.

Pemberian manitol yang ketiga didapatkan delapan pasien (23,5%) memiliki

salah satu pupil yang tidak reaktif terhadap cahaya dan 26 pasien (76,5%)

memiliki pupil kiri dan kanan yang reaktif terhadap cahaya. Pemberian manitol

yang keempat didapatkan empat pasien (11,8%) memiliki salah satu pupil yang

tidak reaktif terhadap cahaya dan 30 pasien (88,2%) memiliki pupil kiri dan kanan

yang reaktif terhadap cahaya.

Pada pemberian manitol hari kedua, yaitu pada pemberian yang kelima

didapatkan satu pasien (2,9%) memiliki salah satu pupil yang tidak reaktif

terhadap cahaya dan sebanyak 33 pasien (97,1%) memiliki pupil kiri dan kanan

yang reaktif terhadap cahaya. Pada pemberian yang keenam hingga pemberian

keduabelas didapatkan seluruh pasien memiliki pupil kiri dan kanan yang reaktif

terhadap cahaya.

Universitas Sumatera Utara


131

Sejalan dengan hasil penelitian yang didapat oleh Rahmah (2012) bahwa

perbaikan reaktivitas pupil mulai terjadi setelah pemberian manitol. Penelitian lain

yang dilakukan oleh Ritter, Muizelaar, Barnes, Choi, Fatouros, Ward & Bullock

(1999), pasien dengan nilai GCS 4 (pupil midriasis) yang membutuhkan ventilasi

mekanik dan sedasi menunjukkan perbaikan reaktivitas pupil dan ukuran pupil

menjadi 3 mm setelah pemberian terapi manitol. Perubahan refleks pupil ini

diakibatkan oleh peningkatan aliran darah serebral sehingga pengiriman oksigen

ke batang otak meningkat.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan positif antara

reaktivitas pupil pada pasien-pasien cedera kepala dengan aliran darah batang otak

melalui pemeriksaan dengan Xenon CT. Pada pasien dengan pupil tidak reaktif

bilateral aliran darah batang otak adalah 30,5 ± 16,8 ml/100 g/menit sedangkan

pada pasien dengan pupil normal aliran darah batang otak adalah 43,8 ± 18,7

ml/100 g/menit (P<0.001) (Ritter, Muizelaar, Barnes, Choi, Fatouros, Ward &

Bullock, 1999).

Perubahan Status neurologis (Refleks kornea) Pasien Stroke Akut yang

Mendapat Terapi Manitol

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi gangguan refleks kornea

pada pasien stroke akut. Dari 34 pasien stroke akut, sebanyak 17 pasien (50%)

mengalami gangguan refleks kornea.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Ostow & Ostow (1946), yang

menyatakan bahwa tidak adanya refleks kornea dapat ditemukan pada pasien

Universitas Sumatera Utara


132

dengan peningkatan tekanan intrakranial bahkan ketika kesadaran tidak terganggu.

Refleks kornea juga hilang pada beberapa orang yang tampaknya normal.

Menurut Lumbantobing (2015), refleks kornea dapat menghilang bila

terdapat kelumpuhan m.orbikularis okuli yang dipersarafi oleh nervus VII

(fasialis). Menurut Mardjono (2009), adanya lesi pada cabang optalmikus (nervus

V) juga dapat menyebabkan hilangnya refleks kornea.

Pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol pada hari pertama dan

kedua, yaitu pada pemberian pertama hingga kelima sebanyak 17 pasien (50%)

memiliki refleks kornea yang normal (refleks kornea kiri dan kanan positif) dan

17 pasien (50%) memiliki refleks kornea abnormal (salah satu refleks kornea

positif).

Pada pemberian manitol hari kedua, yaitu pada pemberian keenam

didapatkan sebanyak 20 pasien (58,8%) memiliki refleks kornea normal (refleks

kornea kiri dan kanan positif) dan sebanyak 14 pasien (41,2%) memiliki refleks

kornea abnormal (salah satu refleks kornea positif). Pada pemberian ketujuh,

didapatkan sebanyak 25 pasien (73,5%) memiliki refleks kornea normal (refleks

kornea kiri dan kanan positif) dan sebanyak sembilan pasien (26,5%) memiliki

refleks kornea abnormal (salah satu refleks kornea positif). Pada pemberian

manitol kedelapan, didapatkan sebanyak 27 pasien (79,4%) memiliki refleks

kornea normal (refleks kornea kiri dan kanan positif) dan tujuh pasien (20,6%)

memiliki refleks kornea abnormal (salah satu refleks kornea positif).

Pada pemberian manitol hari ketiga yaitu pada pemberian kesembilan

didapatkan sebanyak 30 pasien (88,2%) memiliki refleks kornea normal (refleks

Universitas Sumatera Utara


133

kornea kiri dan kanan positif) dan sebanyak empat pasien (11,8%) memiliki

refleks kornea abnormal (salah satu refleks kornea positif). Pada pemberian

manitol kesepuluh didapatkan sebanyak 32 pasien (94,1%) memiliki refleks

kornea normal (refleks kornea kiri dan kanan positif) dan dua pasien (5,9%)

memiliki refleks kornea abnormal (salah satu refleks kornea positif). Dan pada

pemberian manitol kesebelas dan keduabelas didapatkan sebanyak 33 pasien

(97,1%) memiliki refleks kornea normal (refleks kornea kiri dan kanan positif)

dan satu pasien (2,9%) memiliki refleks kornea abnormal (salah satu refleks

kornea positif).

Kepekaan kornea terhadap rangsang atau dikenal dengan sensibilitas kornea

merupakan gambaran dari persarafan kornea. Sensibilitas kornea yang baik

mencerminkan keadaan kornea yang normal baik secara struktural maupun secara

fungsi. Gangguan sensibilitas kornea dapat menyebabkan gangguan refleks

berkedip.

Menurut Quaranta, Cassano & Quaranta (2007), edema serebral yang

muncul setelah serangan stroke dapat menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial yang akan menimbulkan efek depresan pada nervus V dan terjadi

invaginasi dari nodus Ranvier serta demielinasi. Kondisi ini akan menyebabkan

gangguan konduksi aliran impuls saraf aferen refleks kornea yang diawali dari

kornea atau konjungtiva berjalan melalui divisi optalmikus nervus V ke nukleus

sensorik utama nervus V, setelah bersinaps disini, impuls kemudian dihubungkan

dengan nukleus motorik nervus VII bilateral melalui fasikulus longitudinalis

Universitas Sumatera Utara


134

medialis dan mempersarafi m.orbikularis okuli sehingga timbul gerakan menutup

mata/berkedip (Satyanegara, 2014).

Dari hasil penelitian ini juga didapatkan lokasi lesi intrakranial adalah pada

basal ganglia sebanyak 41,2%, talamus sebanyak 29,4%, lobus 17,6%, serta basal

dan talamus 11,8%. Sejalan dengan penelitian yang dipublikasikan oleh

Rushworth (1962), Bender (1968), Bender, Maynard, dan Hastings (1969),

Kimura, Powers, dan Van Allen (1969), dan Young and Shahani (1969), bahwa

refleks kornea dari 13 pasien yang mengalami lesi intrakranial disimpulkan bahwa

lesi pada lobus parietal adalah yang paling menyebabkan hilangnya refleks kornea

kontralateral, begitu juga lesi pada subkortikal dapat menyebabkan hilangnya

refleks kornea. Sedangkan lesi pada lobus frontal dan temporal tidak

menyebabkan gangguan pada refleks kornea (Ross, 1972).

Menurut peneliti hal ini disebabkan karena letak nervus trigeminus, baik

motorik maupun sensorik keluar dari batang otak pada sisi pons, bergabung

dengan nervus fasialis (N. VII) dan juga nervus akustikus (N. VIII), dimana area

ini berdekatan dengan area parietal dan subkortikal tempat terjadinya lesi.

Menurut peneliti, peningkatan jumlah responden yang mengalami perbaikan

refleks kornea disebabkan oleh pengurangan efek kompresi yang mengganggu

fungsi nervus trigeminus. Adanya pemulihan defisit neurologis pada pasien stroke

terjadi oleh karena: (1) hilangnya edema serebral, (2) perbaikan sel saraf yang

rusak, (3) adanya kolateral, dan (4) “retraining” (plastisitas otak).

Manitol yang diberikan pada pasien stroke mampu mengurangi tekanan

intrakranial melalui tiga mekanisme mengurangi edema serebral, yaitu: (1)

Universitas Sumatera Utara


135

peningkatan aliran darah serebral akibat peningkatan tekanan darah serebral

(CPP), (2) vasodilatasi serebral, dan (3) perbaikan rheologi yang akan

menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah (Wani, Ramzan, Nizami, Malik,

Kirmani, Bhatt & Singh, 2008 dalam Rahmah, 2012).

Melalui tiga mekanisme pengurangan edema serebral oleh manitol maka

nukleus nervus trigeminus yang berada di batang otak tidak mengalami kompresi

sehingga impuls saraf yang mempersarafi m.orbikularis okuli dapat berjalan

dengan baik. Dan juga aliran darah serebral yang tidak efektif akibat edema

serebral menjadi efektif, sehingga sel-sel saraf dapat menjalankan fungsinya.

Pada penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa sampai hari ketiga (12 kali

pemberian manitol) masih ada pasien yang mengalami gangguan refleks kornea.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dipublikasikan oleh Rushworth

(1962), Bender (1968), Bender, Maynard, dan Hastings (1969), Kimura, Powers,

dan Van Allen (1969), dan Young and Shahani (1969), yang meneliti tentang

refleks kornea pada 13 pasien yang mengalami lesi intrakranial, terdapat empat

pasien akibat stroke yang mengalami gangguan refleks kornea menetap hingga

enam minggu setelah serangan stroke. Responden pertama refleks kornea masih

mengalami gangguan hingga hari ke sembilan setelah serangan, responden kedua

refleks kornea masih mengalami gangguan hingga minggu ketiga setelah

serangan, responden ketiga masih mengalami gangguan hingga minggu ketiga dan

responden keempat mengalami gangguan refleks kornea hingga minggu keenam

(Ross, 1972).

Universitas Sumatera Utara


136

Menurut peneliti refleks kornea yang masih mengalami gangguan hingga

hari ketiga pada penelitian ini dapat disebabkan oleh faktor riwayat penyakit

pasien dan usia responden. Dimana pasien yang mengalami gangguan refleks

kornea sampai dengan hari ketiga memiliki riwayat penyakit DM. Saito (2011)

melaporkan, terjadi penurunan sensibilitas kornea akibat kerusakan epitel kornea

dan penurunan refleks sekresi air mata pada pasien DM. Berdasarkan penelitian

Prastyani (2011) menyimpulkan bahwa terjadi penurunan sensibilitas kornea pada

pasien dengan retinopati diabetika dibandingkan dengan pasien yang tidak

memiliki retino diabetika.

Selain akibat riwayat penyakit, refleks kornea yang masih mengalami

gangguan hingga pada hari ketiga juga disebabkan oleh usia. Dimana rata-rata

usia responden pada penelitian ini adalah adalah lansia awal (46-55 tahun)

berjumlah 21 responden (61%), lansia akhir (56-65 tahun) berjumlah 12

responden (35,3%) dan usia diatas 65 tahun terdapat satu responden (2,9%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tavakoli dkk (2012) & Murphy

dkk (2004), melaporkan adanya hubungan antara usia dengan penurunan

sensibilitas kornea. Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi sistem saraf dan

proses demilelinisasi sehingga transmisi sinyal ke sistem saraf pusat menurun,

sama halnya seperti penurunan stimulus taktil cutaneous, namun dapat

dipengaruhi oleh gangguan perubahan metabolisme.

Menurut Camacho et al. (2014), usia tua mengalami penuaan pada

mikrovaskulatur serebri sehingga proses penyembuhan yang buruk dibandingkan

Universitas Sumatera Utara


137

usia yang lebih muda. Selain itu, usia tua juga tidak dapat mentoleransi kondisi

perdarahan yang terjadi dan pengobatan yang agresif dibandingkan usia muda.

Perubahan Status neurologis (Facial grimace) Pasien Stroke Akut yang

Mendapat Terapi Manitol

Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 34 pasien, terdapat enam pasien

(18%) yang tidak mengalami gangguan otot wajah setelah serangan stroke dan

sebanyak 28 pasien (82%) mengalami gangguan otot wajah (asimetris). Setelah

mendapat 12 kali terapi manitol (72 jam) pasien yang mengalami gangguan otot

wajah tidak mengalami perbaikan (asimetris).

Hasil penelitian ini sejalan dengan National Stroke Association ( 2016) yang

mengungkapkan bahwa serangan stroke mengakibatkan 8 dari 10 pasien, atau

sekitar 80% mengalami kelumpuhan salah satu sisi tubuh, yang berdampak pada

tangan, kaki dan wajah.

Wajah tidak simetris diartikan sebagai fitur wajah yang tidak sejajar. Satu

mata mungkin terletak lebih tinggi dari yang lain. Cuping hidung agak bengkok.

Sebelah bibir tersungging lebih tinggi dari yang lain. Ukuran mata sebelah kiri

lebih kecil dan kelopak mata tidak terbuka selebar sebelah kanan (Kelby, 2011).

Face drooping adalah hilangnya kemampuan bergerak otot wajah karena

terganggunya saraf otak nervus facialis (nervus VII) dan nervus trigeminal

(nervus V). Biasanya terjadi pada salah satu sisi wajah, sehingga wajah nampak

tidak simetris (Pinzon, 2010).

Nervus fasialis terdiri atas tiga komponen yaitu komponen motorik, sensorik

dan parasimpatis. Komponen motorik mempersarafi otot wajah, kecuali musculus

Universitas Sumatera Utara


138

levator palpebra superior. Selain otot wajah nervus fasialis juga mempersarafi

musculus stapedius dan venter posterior musculus digastrikus. Komponen

sensoris mempersarafi dua pertiga anterior lidah untuk mengecap, melalui corda

timpani. Komponen parasimpatis memberikan persarafan pada glandula

lakrimalis, glandula submandibula dan glandula lingualis. Fungsi nervus fasialis

motorik dan sensorik dari lidah bekerja sama dengan nervus kranial yang lain,

karena itu termasuk ke dalam mixcranial nerve (Gillig & Sanders, 2010).

Nukleus motorik nervus fasialis terletak pada bagian ventrolateral

tegmentum pons bagian bawah. Pada tegmentum pons, akson pertama motorik

berjalan dari arah sudut pontoserebral dan muncul di depan nervus

vestibulokoklearis. Saraf intermedius terletak pada bagian diantara nervus fasialis

dan nervus vestibulokoklearis. Nervus intermedius, nervus fasialis, dan nervus

vestibulokoklearis berjalan bersama memasuki akustikus internus. Di dalam

meatus internus, nervus fasalis dan intermedius berpisah dengan nervus

vestibulokoklearis.

Nevus fasialis berjalan ke lateral ke dalam kanalis fasialis kemudian ke

ganglion genikulatum. Pada ujung kanalis tersebut nervus fasialis keluar dari

kranium melalui foramen stilomastoideus. Dari foramen stilomastoideus, serabut

motorik menyebar ke wajah dan beberapa melewati kelenjar parotis (Snell, 2012).

Kerusakan atau gangguan yang terjadi pada area otak, dapat menimbulkan

adanya lesi atau infark. Lesi atau infark yang terjadi di pons akan mempengaruhi

atau mengganggu motorik dari nervus VII atau nervus fasialis, karena pons

merupakan inti motorik nervus VII. Bentuk kanalis yang unik dan dikarenakan

Universitas Sumatera Utara


139

infark atau iskemik dapat menyebabkan gangguan konduksi, sehingga impuls

motorik yang dihantarkan mendapatkan gangguan di lintasan supranuklear,

nuklear dan infranuklear. Hal tersebut mengakibatkan nervus VII terjepit di dalam

foramen stilomastoideus dan menimbulkan face drooping (Tarwoto, 2013).

Selain karena efek kompresi nervus fasialis di nukleus nervus fasialis

maupun di sepanjang serabut saraf nervus fasialis, gangguan aliran darah serebral

setelah serangan stroke juga menjadi penyebab gangguan nervus fasialis.

Berkurangnya aliran darah serebral dapat disebabkan edema serebral dan

peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan peningkatan tahanan

pembuluh darah sehingga tekanan perfusi serebral harus cukup adekuat untuk

mengaliri daerah otak yang mengalami gangguan.

Terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan nervus VII jenis sentral dan

perifer. Pada gangguan jenis sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat

persarafan dari 2 sisi tidak lumpuh, melainkan bagian bawah dari wajah yang akan

lumpuh. Pada gangguan jenis perifer maka semua otot wajah akan lumpuh baik

volunter maupun involunter (Lumbantobing, 2015).

Gangguan otot wajah (facial grimace) yang tidak mengalami perubahan

setelah 12 kali pemberian manitol dapat disebabkan karena pasien masih berada

pada fase akut. Pada fase akut pasien stroke menjalani penanganan

medikamentosa yang intensif, pengendalian tekanan darah, gula darah dan

rehabilitasi pasif. Sehingga upaya rehabilitasi berupa latihan melemaskan anggota

tubuh yang mengalami kelumpuhan agar fungsi motorik dapat diusahakan

kembali normal belum dapat dilakukan.

Universitas Sumatera Utara


140

Terdapat 4 hal yang menyebabkan pemulihan defisit neurologis pada pasien

stroke yaitu: (1) hilangnya edema serebral, (2) perbaikan sel saraf yang rusak, (3)

adanya kolateral, dan (4) “retraining” (plastisitas otak).

Menurut Bakhiet, et al, (2005), latihan secara intensif dapat meningkatkan

neuralplasticity, reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan fungsi motorik.

Neuralplastisitas otak merupakan perubahan dalam aktivitas jaringan otak yang

merefleksikan kemampuan adaptasi otak. Dengan adanya kemampuan ini

kemampuan motorik yang mengalami kemunduran karena stroke dapat dipelajari

kembali. Proses neuralplastisitas otak terjadi melalui proses substitusi yang

tergantung pada stimulus eksternal, melalui terapi latihan dan proses kompensasi

yang dapat tercapai melalui latihan berulang untuk suatu fungsi tertentu

(Wirawan, 2009).

Perbaikan fungsi motorik pada pasien stroke juga berhubungan dengan

beratnya defisit motorik saat serangan stroke akut. Pasien dengan defisit motorik

ringan akan lebih banyak kemungkinan untuk mengalami perbaikan dibandingkan

dengan defisit motorik yang berat.

Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa perbaikan status fungsional

tampak nyata pada tiga bulan pertama dan mencapai tingkat maksimal dalam

enam bulan post stroke. Duncan, PW (1993) dalam penelitiannya melaporkan

bahwa perbaikan fungsi motorik dan defisit neurologis terjadi paling cepat dalam

30 hari pertama setelah serangan stroke dan menetap setelah 3-6 bulan, walaupun

selanjutnya perbaikan masih mungkin terjadi. Sedangkan peneliti lain

Universitas Sumatera Utara


141

mendapatkan 50% pasien mengalami perbaikan fungsional paling cepat dalam

minggu pertama.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa, otot-otot wajah yang masih mengalami

gangguan sampai pada pemberian manitol yang ke 12 membutuhkan upaya

retraining/latihan secara intensif agar dapat meningkatkan neuralplastisiti,

reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan fungsi motorik seperti facial exercise

dan facial massage untuk mengembalikan fungsi otot wajah yang mengalami

gangguan, untuk itu pasien harus telah melewati fase akut sehingga upaya

rehabilitasi aktif dapat dilakukan secara maksimal.

Perubahan Tanda-tanda Vital

Perubahan Tanda-tanda Vital (Tekanan Darah) Pasien Stroke Akut

yang Mendapat Terapi Manitol

Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan tekanan darah

pada pasien stroke akut. Pada hari pertama sebagian besar pasien mengalami

hipertensi derajat 3, hingga hari ketiga sebagian besar pasien masih mengalami

hipertensi derajat 1. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Alghifari &

Andina (2017) yang juga memperoleh hasil tekanan darah yang paling banyak

dialami penderita stroke akut tahun 2015 di RSU Haji Medan adalah hipertensi

derajat 3 yaitu sebanyak 59 orang (41,3%). Begitu juga penelitian yang dilakukan

oleh Marisyka (2012) di RSUP H. Adam Malik Medan yang mendapatkan hasil

bahwa tekanan darah penderita stroke fase akut sangat tinggi pada 48 jam pertama

yaitu mengalami hipertensi derajat 3 (sistolik ≥180 mmHg dan diastolik ≥110

mmHg) sebanyak 119 orang (44,1%).

Universitas Sumatera Utara


142

Hal ini juga ditemukan pada penelitian oleh Wallace, dkk (1981) yang

mendapatkan 84% kasus stroke mengalami peningkatan tekanan darah dalam 24

jam paska awitan dan tekanan darah kembali normal terjadi sekitar 10 hari

kemudian. Secara teoritis, peningkatan tekanan darah terjadi sebagai respons

autoregulasi untuk meningkatkan aliran darah ke otak guna menyelamatkan

daerah iskemik dan akan kembali normal setelah selesai fase akut. Tepatnya di

saat telah terjadi perbaikan fungsi otak (Wallace & Levy, 1981 dalam Ekayanti,

Bachtiar, Mawuntu & Pertiwi, 2019).

Sebuah penelitian mengenai aliran darah otak atau cerebral blood flow

(CBF) pada penderita hipertensi menahun dan pasien lanjut usia dengan stroke

iskemik dan stroke hemoragik, menunjukkan terjadinya perubahan pada

autoregulasi arteri serebral. Autoregulasi arteri serebral yang terganggu akan

menyebabkan perfusi daerah iskemik penumbra mengikuti aliran darah sistemik

secara pasif. Sehingga, peningkatan tekanan darah pada awal stroke sebagai reaksi

penyesuaian untuk mempertahankan aliran darah otak (CBF) yang cukup ke

daerah iskemik penumbra.

Selain akibat mekanisme kompensasi (autoregulasi), munculnya hipertensi

pada fase akut stroke hemoragik menurut Tikhonoff et al., (2009) dapat

disebabkan oleh nyeri kepala, retensi urine, infeksi dan stres yang mengakibatkan

ketikseimbangan sistem saraf otonom sehingga mengaktivasi jalur simpatis

adrenomedullary.

Menurut peneliti, tekanan darah pasien yang tinggi juga dapat disebabkan

oleh adanya peningkatan suhu tubuh pasien. Hipertermia pada pasien stroke dapat

Universitas Sumatera Utara


143

meningkatkan metabolisme sehingga terjadi asidosis laktat yang mempercepat

kematian neuron (neuronal injury) dan bertambahnya edema serebral. Selain itu,

peningkatan metabolisme tubuh berarti peningkatan kebutuhan oksigen dan nutrisi

tubuh. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, jantung akan bekerja maksimal agar

kebutuhan terpenuhi.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Ekayanti, Bachtiar, Mawuntu &

Pertiwi (2019) mengungkapkan bahwa perubahan tekanan darah pada stroke fase

akut dapat dipengaruhi oleh irama sirkadian. Irama sirkadian adalah irama

fisiologis endogen dengan durasi sekitar 24 jam yang terdapat pada makhluk

hidup. Irama sirkadian tidak hanya mengatur siklus tidur dan bangun endogen

tetapi juga mempengaruhi perilaku dan hampir setiap fungsi fisiologis. Pada

manusia, irama sirkadian terutama dikendalikan oleh nukleus suprakiasmatik

(SCN) yang terletak di depan hipotalamus. Nukleus suprakiasmatik mengatur

fungsi molekular dan selular yang kemudian mempengaruhi tekanan darah, nadi,

respirasi, suhu tubuh, waktu tidur, dan metabolisme tubuh lainnya.

Pada percobaan pengukuran tekanan darah pasien stroke akut dalam 72 jam

pertama (empat kali dalam sehari) didapatkan hasil bahwa penurunan tekanan

darah ini mulai tampak jelas setelah lebih dari 24 jam perawatan. Terdapat

berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pola irama sirkadian seperti stres atau

trauma. Stroke menyebabkan suatu stres metabolik yang dapat mengganggu pola

irama sirkadian. Namun demikian, pada umumnya irama sirkadian dapat kembali

normal setelah stroke melewati masa akut (Ekayanti, Bachtiar, Mawuntu &

Pertiwi, 2019).

Universitas Sumatera Utara


144

Berdasarkan hasil penelitian, riwayat penyakit pasien stroke akut yang

paling banyak adalah hipertensi sebanyak 24 pasien (70,5%). Hipertensi

merupakan faktor resiko utama pada stroke. Tekanan darah pada pasien stroke

yang memiliki riwayat hipertensi seringkali lebih tinggi dibandingkan dengan

pasien stroke akut yang tidak memiliki riwayat hipertensi. Meningkatnya tekanan

darah pada pasien stroke akut merupakan respon kompensasi tubuh akibat adanya

perubahan hemodinamik serebral setelah muncul edema serebral. Tekanan darah

tinggi menyebabkan disfungsi endotel yakni peningkatan permeabilitas endotel,

peningkatan perlekatan leukosit, trombosit dan monosit serta penimbunan lipid

yang menyebabkan terjadinya pembentukan aterosklerosis.

Selain hipertensi, Diabetes Melitus juga menjadi penyakit penyerta yang

banyak diderita oleh pasien stroke yaitu terdapat tujuh orang pasien (20,5%).

Peningkatan kadar glukosa ini merupakan reaksi stres dengan metabolisme

glukosa, dimana pasien stroke akut cenderung akan melepaskan hormon stres

seperti kortisol dan norepinefrin yang dapat memicu peningkatan kadar glukosa

darah. Apabila stroke memasuki fase akut maka pelepasan hormon stres akan

lebih besar, sehingga akan terjadi peningkatan kadar glukosa darah yang lebih

tinggi. Peningkatan kadar glukosa darah akan berdampak pada peningkatan

viskositas darah, sehingga menyebabkan penurunan aliran darah serebral.

Selain akibat pengaruh autoregulasi, hipertermi dan irama sirkadian, dan

riwayat penyakit pasien, faktor lain yang dapat menghambat tidak tercapainya

target tekanan darah pada pasien stroke hemoragik berdasarkan penelitian

Amboro, Puspitasari dan Pinzon (2015) adalah (1) usia, dari data demografi

Universitas Sumatera Utara


145

penelitian ini diperoleh sebagaian besar pasien (50%) berusia 45-55 tahun, dan

(20,6%) berusia 56-65 tahun, umur dapat mempengaruhi terapi hipertensi karena

dinding pembuluh darah manusia pada usia >50 tahun sudah mengeras yang

disebabkan endapan-endapan kolesterol dan lemak sehingga menyebabkan target

tekanan darah tidak tercapai (Watson et al., 2008 dalam Amboro, Puspitasari dan

Pinzon 2015), (2) jenis kelamin, sebagian besar pasien (79,4%) adalah laki-laki,

hal ini terjadi karena laki-laki menghasilkan hormon androgen (testoteron) lebih

banyak dari pada pada wanita. Hormon testosteron lebih bersifat meretensi air dan

garam serta merendahkan kadar HDL dan mempertinggi sedikit kadar LDL

(Rahardja dan Tjay, 2001 dalam Amboro, Puspitasari dan Pinzon, 2015), dan (3)

gangguan fugsi ginjal, sedikit penurunan laju filtrasi glomerulus dapat

menyebabkan peningkatan tekanan darah karena terjadi peningkatan renin yang

dapat memacu aktivasi angiotensinogen yang berujung pada vasokonstriksi

(Mathisen dkk., 2010). Renin juga akan merangsang pelepasan aldosteron yang

menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium dan kalium (Manrique et al., 2009).

Hasil ini sesuai dengan penelitian Bannay, et al., (2014) dari sebanyak 371 subyek

dengan hipertensi, sebanyak 67 pasien (18,1%) dengan gangguan ginjal memiliki

tekanan darah >140/90 mmHg.

Dari penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa terjadi penurunan rata-rata

tekanan darah pada pasien stroke hemoragik fase akut yang mendapat terapi

manitol. Rata-rata tekanan darah awal pasien adalah hipertensi derajat 2 (sistolik

160-179 mmHg, diastolik 100-109 mmHg) dengan nilai tekanan darah paling

rendah adalah 130/90 mmHg dan rata-rata tekanan darah pasien setelah 12 kali

Universitas Sumatera Utara


146

mendapat terapi manitol adalah normal tinggi (sistolik 130-139 mmHg, diastolik

85-89 mmHg) dengan tekanan darah paling rendah adalah 120/80 mmHg.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmah

(2012) yang mendapatkan hasil bahwa didapatkan kecenderungan penurunan rata-

rata tekanan darah dan nadi pasca pemberian manitol. Penurunan rata-rata tekanan

darah dan nadi pasca pemberian manitol juga sejalan dengan hasil penelitian

Sabharwal et al., serta Andrews et al., yang melakukan pengukuran tiap 5 menit

pasca pemberian manitol mendapatkan hasil terjadi penurunan nilai rata-rata 25-

45 menit pemberian dan penurunan tekanan darah pada semua waktu pengukuran.

Perubahan Tanda-tanda Vital (Denyut Nadi) Pasien Stroke Akut yang

Mendapat Terapi Manitol

Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa terjadi penurunan rata-rata

denyut nadi pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol. Rata-rata denyut

nadi pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol awal manitol adalah 95

x/menit dengan denyut nadi paling tinggi adalah 115 x/menit dan denyut nadi

paling rendah adalah 75 x/menit. Rata-rata denyut nadi pasien stroke akut yang

mendapat terapi manitol keduabelas adalah 83 x/menit dengan denyut nadi paling

tinggi adalah 99 x/menit dan denyut nadi paling rendah adalah 70 x/menit.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmah

(2012) yang mendapatkan hasil bahwa didapatkan kecenderungan penurunan rata-

rata tekanan darah dan nadi pasca pemberian manitol. Penurunan rata-rata nadi

pasca pemberian manitol juga sejalan dengan hasil penelitian Sabharwal et al.,

serta Andrews et al., yang melakukan pengukuran tiap 5 menit pasca pemberian

Universitas Sumatera Utara


147

manitol mendapatkan hasil terjadi penurunan nilai rata-rata 25-45 menit

pemberian dan penurunan denyut nadi pada semua waktu pengukuran (Rahmah,

2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Ekayanti, Bachtiar, Mawuntu & Pertiwi

(2019) mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan denyut nadi pada pasien stroke

hemoragik akut. Puncak tertinggi tekanan darah dan nadi harian mulai menurun

setelah 24 jam perawatan. Hal ini juga ditemukan pada penelitian oleh Wallace,

dkk (1981) yang mendapatkan 84% kasus stroke mengalami peningkatan denyut

nadi dalam 24 jam paska awitan dan kembali normal terjadi sekitar 10 hari

kemudian.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penurunan denyut nadi yang

paling besar terjadi pada 24 jam setelah pasien mendapat terapi manitol. Dimana

rata-rata pada hari pertama denyut nadi pasien adalah 91 x/menit berkurang

menjadi 81 x/menit pada 24 jam setelah mendapat terapi manitol. Sedangkan pada

hari ketiga rata-rata denyut nadi pasien 81 x/menit.

Menurut peneliti, perubahan tertinggi nadi mulai menurun setelah 24 jam

perawatan dapat dipengaruhi oleh proses pembentukan edema serebral, dimana

edema serebral akan berkembang cepat pada 24 jam stroke dan kemudian proses

pembentukan edema serebral berkembang lambat hingga hari ke 9-14. Asumsi

peneliti yang lainnya adalah bahwa takikardia pada pasien stroke hemoragik akut

juga dapat disebabkan oleh suhu tubuh yang tinggi (hipertermi) pada 24 jam

pertama. Dimana rata-rata suhu tubuh pasien pada hari pertama mendapat manitol

adalah 38°C.

Universitas Sumatera Utara


148

Hipertermi dapat mempengaruhi denyut nadi karena kenaikan suhu tubuh

1°C dapat menyebabkan peningkatan metabolisme seluler dan konsumsi oksigen

sebanyak 13%, peningkatan kebutuhan kalori serta cairan, sehingga detak jantung

akan meningkat untuk memenuhi peningkatan kebutuhan oksigen tubuh (Potter &

Perry, 2010).

Denyut jantung dikontrol oleh sistem saraf pusat yang menerima umpan

balik dari reseptor sensorik yang berada pada dinding pembuluh darah.

Peningkatan impuls saraf dari batang otak ke saraf simpatik menyebabkan

terjadinya penurunan diameter pembuluh darah perifer, meningkatkan volume

sekuncup dan meningkatkan frekuensi denyut nadi, yang berperan sangat penting

dalam hal peningkatan tekanan darah. Sebaliknya, penurunan frekuensi denyut

nadi bersamaan dengan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis dan penurunan

aktivitas saraf simpatis. Aktivitas dari saraf ini dikendalikan oleh sistem

pengaturan yang terletak di batang otak yaitu pusat kendali jantung (Guyton &

Hall, 2012).

Secara teoritis, peningkatan denyut nadi terjadi sebagai respons autoregulasi

untuk meningkatkan aliran darah ke otak guna menyelamatkan daerah iskemik

dan akan kembali normal setelah selesai fase akut tepatnya di saat telah terjadi

perbaikan fungsi otak (Wallace & Levy, 1981 dalam Ekayanti, Bachtiar, Mawuntu

& Pertiwi, 2019).

Selain akibat perubahan pada autoregulasi arteri serebral, peningkatan suhu

tubuh dan proses pembentukan edema serebral, perubahan denyut nadi dan

tekanan darah pada pasien stroke hemoragik akut juga dipengaruhi oleh irama

Universitas Sumatera Utara


149

sirkadian. Irama sirkadian adalah irama fisiologis endogen dengan durasi sekitar

24 jam yang terdapat pada makhluk hidup. Irama sirkadian tidak hanya mengatur

siklus tidur dan bangun endogen tetapi juga mempengaruhi perilaku dan hampir

setiap fungsi fisiologis.

Pada manusia, irama sirkadian terutama dikendalikan oleh nukleus

suprakiasmatik (SCN) yang terletak di depan hipotalamus. Nukleus

suprakiasmatik mengatur fungsi molekular dan selular yang kemudian

mempengaruhi tekanan darah, nadi, respirasi, suhu tubuh, waktu tidur, dan

metabolisme tubuh lainnya (Jehn, Brotman & Appel, 2008 dalam Ekayanti,

Bachtiar, Mawuntu & Pertiwi, 2019).

Di lain pihak, terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pola irama

sirkadian seperti stres atau trauma. Stroke menyebabkan suatu stres metabolik

yang dapat mengganggu pola irama sirkadian. Namun demikian, pada umumnya

irama sirkadian dapat kembali normal setelah stroke melewati masa akut (Ajayi,

Ajayi, Adekeye & Busari, 2013 dalam Ekayanti, Bachtiar, Mawuntu & Pertiwi,

2019).

Perubahan Tanda-tanda Vital (Suhu Tubuh) Pasien Stroke Akut yang

Mendapat Terapi Manitol

Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan suhu tubuh

pada psien stroke akut. Rata-rata suhu tubuh pasien yang mendapat terapi manitol

awal adalah 38°C dengan suhu pasien yang tertinggi adalah 41°C dan terendah

adalah 37° sedangkan rata-rata suhu tubuh pasien yang mendapat terapi manitol

Universitas Sumatera Utara


150

keduabelas adalah 36,8°C dengan suhu tubuh pasien tertinggi 37°C dan suhu

tubuh pasien terendah adalah 36,5°C.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Haryuni (2017), bahwa dari 73

pasien sebanyak 42 pasien (57,5%) mengalami hipertermi. Kebanyakan pasien

stroke dengan hipertermi memiliki suhu hingga 39°C dalam waktu 1 hingga 7

hari, namun kejadian ini tidak terus-menerus terjadi dan akan mereda dalam

waktu 96 jam pada 90% pasien stroke (Wei Yu dkk., 2013).

Penelitian lain, seperti yang dilaporkan oleh Saini dkk., (2009)

menyebutkan bahwa hipertermia terjadi pada 18%-61% pasien setelah awitan

stroke, hanya satu studi yang melaporkan prevalensi rendah (5,3%) dari

hipertermia (Castillo dkk., 2001; Zaremba, 2004; Saini dkk., 2009; Lukovits dkk.,

2011, dalam Adja, 2015).

Demam merupakan komplikasi yang sering pada stroke, dimana pada

umumnya demam terkait dengan proses inflamasi karena pasien stroke rentan

terhadap berbagai komplikasi. Demam tanpa infeksi ditemukan pada 33% pasien

stroke akibat proses hipertermi pada pusat pengaturan suhu di hipotalamus yang

ditandai dengan awitan demam yang cepat, suhu tinggi dan ditandai oleh suhu

yang berfluktuasi serta respon yang buruk terhadap penggunaan antipiretik dan

antibiotik (Wei Yu dkk., 2013).

Selama fase akut stroke terjadi pengurangan aliran darah otak yang

menyebabkan iskemik serebri yang terdiri dari inti iskemik dan dikelilingi oleh

daerah hipoperfusi yang reversibel yang disebut sebagai iskemik penumbra.

Universitas Sumatera Utara


151

Iskemik serebri memicu respon inflamasi yang dikaitkan dengan peningkatan

kerusakan otak serta luaran buruk pada penderita stroke (Ceulemans dkk., 2010).

Mediator neuroinflamasi memainkan peran penting dalam patofisiologi

iskemia serebri, umumnya dimediasi oleh sitokin yang dapat mempotensiasi

cedera iskemik serebri. Dalam beberapa jam setelah terjadi iskemik serebri terjadi

peningkatan kadar sitokin dan kemokin yang akan meningkatkan ekskresi molekul

adhesi pada sel endotel otak serta meningkatkan adhesi dan migrasi neutrofil dan

monosit transendothelial.

Sel-sel tersebut dapat terakumulasi dalam kapiler, yang akan mengganggu

aliran darah otak atau ekstravasase ke dalam parenkim otak. Infiltrasi leukosit ke

dalam sel-sel parenkim otak termasuk neuron dan glia, dapat melepaskan mediator

proinflamasi, seperti sitokin, kemokin dan oksigen/nitrogen radikal bebas yang

berkontribusi terhadap kerusakan jaringan (Zaremba, 2004; Amantea dkk., 2008;

Jordán dkk., 2008; Arslan dkk., 2011 dalam Adja, 2015).

Selanjutnya pirogen endogen (sitokin) akan mengaktivasi daerah preoptik di

hipotalamus, yang selanjutnya akan akan terjadi transkripsi enzim COX-2 di

hipotalamus dan menghasilkan prostaglandin (protaglandin (PGE2) merupakan

senyawa yang berperan pada terjadinya demam), sehingga prostaglandin akan

meningkatkan set poin temperatur tubuh (Saini, Saqqur, Kamruzzaman, Lees &

Shuaib, 2010).

Selain akibat respon inflamasi, menurut Caplan (2009), hipertermia pada

pasien stroke juga dapat disebabkan oleh lokasi hematoma. Hematoma talamus

sering menimbulkan obstruksi dan kompresi ventrikel III dan penetrasi perdarahan

Universitas Sumatera Utara


152

ke intraventrikel sehingga menyebabkan timbulnya hidrosefalus ventrikel lateralis

dan penekanan daerah hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh.

Sejalan dengan teori Caplan (2009), hasil penelitian yang dilakukan oleh

Sitanggang (2003) menemukan hasil bahwa terdapat hubungan antara adanya

perdarahan pada ventrikel dengan terjadinya demam. Berdasarkan data yang

diperoleh bahwa sebagian besar stroke hemoragik yang terjadi adalah perdarahan

intraserebral (85,2%) dan lokasi perdarahan adalah supratentorial (basal ganglia)

(27,5%), talamus (20,7%), basal ganglia & talamus (10,3%).

Hipertermi dapat menyebabkan peningkatan metabolisme seluler dan

konsumsi oksigen sebanyak 13% setiap kenaikan suhu tubuh 1°C, peningkatan

kebutuhan kalori serta cairan, sehingga detak jantung akan meningkat untuk

memenuhi peningkatan kebutuhan oksigen tubuh. Jika pasien menderita masalah

jantung dan pernapasan, maka demam dalam jangka panjang akan menghabiskan

simpanan energi pasien dan pasien akan merasa lemah karena metabolisme yang

meningkat membutuhkan oksigen tambahan (Potter & Perry, 2010).

Dari penelitian ini juga dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi penurunan

rata-rata suhu tubuh pasien stroke akut. Rata-rata suhu tubuh pasien pada hari

pertama adalah 38°C dengan suhu tubuh teringgi adalah 41°C dan suhu tubuh

terendah 36,8°C. Pada hari kedua rata-rata suhu tubuh pasien adalah 37°C dengan

suhu tubuh tertinggi 37,5°C dan suhu tubuh terendah adalah 36,8°C. Pada hari

ketiga rata-rata suhu tubuh pasien adalah 36,8°C dengan suhu tubuh tertinggi

adalah 37,1°C dan suhu tubuh terendah adalah 36,5°C. Pada pemberian awal

Universitas Sumatera Utara


153

manitol rata-rata suhu tubuh pasien masih tinggi (hipertermia) sedangkan pada

hari kedua dan ketiga rata-rata suhu tubuh pasien sudah normal (normotermia).

Penurunan suhu tubuh pasien yang mendapat terapi manitol disebabkan oleh

pengurangan edema serebral oleh manitol yang dapat menarik cairan dari

parenkim otak menuju intravaskuler sehingga tidak terjadi gangguan pengaturan

suhu tubuh akibat penekanan pada pusat pengatur suhu tubuh (hipotalamus).

Selain itu, proses pembentukan edema serebral yang terjadi secara cepat pada 24

jam pertama stroke menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan suhu tubuh

pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol.

Perubahan Tanda-tanda Vital (Frekuensi Pernafasan) Pasien Stroke

Akut yang Mendapat Terapi Manitol

Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa pasien stroke akut yang mendapat

terapi manitol mengalami peningkatan frekuensi pernafasan (takipnea). Rata-rata

frekuensi pernafasan pada pemberian awal manitol adalah 25 x/menit. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Paramadina (2013),

yang mendapatkan hasil bahwa pada pasien stroke masih mengalami takipnea

hingga beberapa hari setelah serangan.

Gangguan frekuensi pernafasan (takipnea) yang dijumpai pada sebagian

besar pasien pada hari pertama merupakan pertanda adanya hipoksia jaringan

akibat gangguan perfusi serebral karena edema serebral yang terbentuk segera

setelah serangan stroke. Adanya kerusakan jaringan otak akan memicu terjadinya

gangguan sistemik yang salah satunya berupa hipermetabolisme pada jaringan

otak, yang diikuti dengan kenaikan penggunaan energi dan metabolisme basal dan

Universitas Sumatera Utara


154

memicu kebutuhan oksigen yang lebih tinggi dari kondisi normal. Sehingga tubuh

melakukan mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi

jaringan serebral dengan cara meningkatkan frekuensi pernafasan per menit,

harapannya dengan meningkatnya jumlah frekuensi pernafasan akan berdampak

pula pada peningkatan PaO2 dan saturasi oksigen jaringan (Werner & Engelhard,

2007).

Kemoreseptor akan merespon peningkatan dan penurunan oksigen,

peningkatan kadar karbondioksida, atau peningkatan keasaman darah dengan

memberikan sinyal kepada pusat pernafasan untuk meningkatkan laju dan

kedalaman pernafasan, dan begitu juga sebaliknya ketika gas darah kembali pada

konsentrasi normal (Marieb & Mallat, 2001). Perubahan suplai darah serebral,

yaitu peningkatan kadar karbondioksida dan peningkatan kadar hidrogen akan

mengaktifkan kemoreseptor sentral pada medulla oblongata, selanjutnya inti sel

saraf yang terletak di medula oblongata berjalan menuju medula spinalis,

bersinaps dengan interneuron atau motor neuron yang terletak di regio servikal,

torakal dan lumbal. Inti sel saraf spinal yang menerima input dari medula

oblongata membentuk saraf tepi, keluar dari medula spinalis, menginervasi otot

inspirasi dan otot ekspirasi sehingga akan terjadi peningkatan ventilasi paru.

Selain itu, edema serebral yang terjadi segera setelah stroke dapat menekan

pusat pengatur pernafasan sehingga mengganggu konduksi impuls saraf. Efek

kompresi ini akan menyebabkan invaginasi nodus renvier dan demielinasi.

Menurut Warfield & Bajwa (2004), frekuensi pernafasan juga dipengaruhi

oleh suhu tubuh. Pengaruh suhu tubuh pasien stroke yang mengalami hipertermia

Universitas Sumatera Utara


155

menyebabkan peningkatan metabolisme seluler dan konsumsi oksigen sebanyak

13% setiap kenaikan suhu tubuh 1°C, peningkatan kebutuhan kalori serta cairan,

sehingga detak jantung dan pernapasan akan meningkat untuk memenuhi

peningkatan kebutuhan oksigen tubuh (Potter & Perry, 2010).

Dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa terjadi penurunan rata-rata

frekuensi pernafasan pada pasien stroke yang mendapat terapi manitol. Rata-rata

frekuensi pernafasan pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol pada hari

pertama adalah 25 x/menit dengan frekuensi pernafasan tertinggi adalah 30

x/menit dan frekuensi paling rendah adalah 21 x/menit. Pada hari kedua

didapatkan rata-rata frekuensi pernafasan pasien stroke akut yang mendapat terapi

manitol adalah 20 x/menit dengan frekuensi pernafasan tertinggi 24 x/menit dan

frekuensi pernafasan paling rendah adalah 17 x/menit. Pada hari ketiga rata-rata

frekuensi pernafasan pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol adalah 18

x/menit dengan frekuensi pernafasan teringgi 21 x/menit dan frekuensi pernafasan

paling rendah adalah 16 x/menit.

Menurut peneliti penurunan frekuensi pernafasan pasien stroke akut yang

mendapat terapi manitol setelah 24 jam dipengaruhi oleh proses pembentukan

edema serebral. Fase pembentukan edema serebral berlangsung cepat pada 24 jam

pertama stroke setelah itu proses pembentukan terjadi dengan lambat hingga hari

9-14.

Penurunan frekuensi pernafasan pada pasien stroke akut yang mendapat

terapi manitol terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) peningkatan aliran

darah serebral akibat peningkatan tekanan perfusi serebral (CPP), (2) vasodilatasi

Universitas Sumatera Utara


156

serebral, dan (3) perbaikan rheologi yang akan menyebabkan terjadinya

peningkatan aliran darah (Wani, Ramzan, Nizami, Malik, Kirmani, Bhatt &

Singh, 2008 dalam Rahmah, 2012).

Di dalam tubuh pemberian manitol akan membentuk suatu

ketidakseimbangan tekanan osmotik antara kompartemen intraseluler dan

ekstraseluler yang keduanya dipisahkan oleh membran sel. Tekanan hidrostatik

dan tekanan osmosis kapiler bekerja berlawanan arah pada dinding kapiler.

Tekanan hidrostatik berkerja menekan cairan keluar dari kapiler, sedangkan

tekanan osmosis berfungsi menarik cairan kedalam endotel.

Disinilah peran manitol dalam penurunan tekanan intrakranial, yaitu pada

efektivitas osmotiknya yang mampu menarik cairan intraseluler ke dalam

intravaskuler, sehingga edema otak akibat peningkatan kadar air dalam jaringan

otak akan menurun. Selain itu, peningkatan cairan dalam intravaskuler juga akan

menurunkan viskositas darah sehingga akan meningkatkan aliran darah ke otak

(Shawkat, Westwood & Mortimer, 2012).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rahmah (2012), didapatkan hasil

bahwa terdapat kecenderungan penurunan kadar hematokrit pasca pemberian

manitol dan akan meningkat kembali ke kadar normal 6 jam pasca pemberian

manitol. Terdapat hubungan antara hematokrit (viskositas darah) dengan aliran

darah serebral, dimana peningkatan hematokrit berhubungan dengan penurunan

signifikan aliran darah serebral dan penurunan hematokrit akan menyebabkan

peningkatan aliran darah serebral (Dringer, Scalfani, Zazulia,, Videen, Dhar &

Power, 2012).

Universitas Sumatera Utara


157

Keterbatasan Penelitian

Metodologi

Penelitian ini memiliki keterbatasan sebagai berikut: (1) instrumen

penelitian (lembar observasi) dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan

teori yang ada sehingga tidak menutup kemungkinan instrumen penelitian ini

kurang memenuhi standar sehingga tidak representatif meskipun sudah dilakukan

uji reliabilitas dan uji validitas sebelumnya, (2) peneliti dibantu oleh asisten

peneliti, dimana dalam proses rekrutmen asisten penelitian peneliti tidak

melakukan uji interabilitas, namun dipilih sesuai kriteria yang telah ditetapkan

sebelumnya, dan (3) penelitian ini dalam pengambilan sampel tidak mengontrol

variabel yang bisa menimbulkan bias.

Proses penelitian

Peneliti mengalami kesulitan dalam peroses pengumpulan data responden

karena jumlah pasien stroke hemoragik yang lebih sedikit dibandingkan dengan

stroke iskemik.

Universitas Sumatera Utara


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Terjadi perubahan status neurologis yaitu peningkatan tingkat kesadaran

pasien stroke akut pada 24 jam setelah mendapat terapi manitol

2. Terjadi perubahan status neurologis yaitu perbaikan ukuran pupil pasien

stroke akut yang mendapat terapi manitol

3. Terjadi perubahan status neurologis yaitu perbaikan reaktivitas pupil terhadap

cahaya pada pasien stroke akut setelah mendapat terapi manitol

4. Terjadi perubahan status neurologis yaitu perbaikan refleks kornea pada

pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol

5. Tidak terjadi perbaikan otot wajah (nervus fasialis) pada pasien stroke akut

yang mendapat terapi manitol

6. Terjadi perubahan tanda-tanda vital yaitu perbaikan tekanan darah pada

pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol

7. Terjadi perubahan tanda-tanda vital yaitu perbaikan perubahan denyut nadi

pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol

8. Terjadi perubahan tanda-tanda vital yaitu perbaikan suhu tubuh pada pasien

stroke akut yang mendapat terapi manitol

9. Terjadi perubahan tanda-tanda vital yaitu perbaikan frekuensi pernafasan

pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol

158

Universitas Sumatera Utara


159

Saran

Bagi pelayanan keperawatan

Untuk pelayanan keperawatan khususnya perawat yang bekerja di rumah

sakit Adam Malik Medan dan rumah sakit Pirngadi Medan khususnya di unit

stroke (stroke corner) hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan

kualitas pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien untuk

mencegah mortalitas dan mobiditas pasien stroke fase akut.

Bagi pendidikan keperawatan

Bagi pendidikan keperawatan dapat menambah pengetahuan dibidang

keperawatan medikal bedah terutama tentang manitol, stroke hemoragik, edema

serebral dan tekanan intrakranial.

Bagi peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan

sebagai data dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pemberian

terapi manitol pada pasien stroke akut, mengingat manitol merupakan standar

emas yang masih digunakan sampai sekarang untuk menurunkan tekanan

intrakranial akibat edema serebral. Dan juga menjadi data dasar untuk melakukan

penelitian mengenai stroke hemoragik khususnya pada fase akut yang menjadi

tantangan besar akibat edema serebral yang mengancam kehidupan pasien.

Universitas Sumatera Utara


160

Daftar Pustaka

Aboussouan LS. (2005). Respiratory disorders in neurologic diseases. Cleve Clin


J Med. Vol.72:511-20.

Adja, Yuliana Monika Imelda Wea Ora. (2015). Hipertermi dalam 72 jam awitan
sebagai prediktor perburukan klinis penderita stroke iskemik akut selama
perawatan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Tesis.

Affandi, Indra Gunawan & Panggabean, Reggy. (2016). Pengelolaan Tekanan


Tinggi Intrakranial pada Stroke. CDK-238. Vol. 43 no. 3.

Aji, Reza Panji. (2014). Faktor risiko yang mempengaruhi nilai Glasgow Coma
Scale (GCS) pada pasien stroke perdarahan dengan hipertensi di RSUP Dr.
Sardjito. Diakses
http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/68683 pada 24
September 2018.

Al Ghifari, Muhammad & Andina, Meizly. (2015). Gambaran Tekanan Darah


pada Pasien Stroke Akut di Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2015.
Buletin Farmatera. Vol. 2 No 1.

Almutawa, E,. Shahda, A,. & Albalooshi, M. (2012). Spontaneous Intracerebral


Haemorrhage (SICH): Factors Associated with in hospital Mortality.
Bahrain Medical Bulletin. Vol. 34 (2): 1- 6.

Amboro, Wisnu., Puspitasari, Ika., Pinzon, Rizaldy T. (2015). Faktor Prediktor


Tidak Tercapainya Target Tekanan Darah pada Pasien Stroke Hemoragik
Akut. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi, Vol. 5 No. 3.

Anness, Elizabeth & Tirone, Kelly. (2009). Evaluating the neurologic status of
unconscious patients. American Nurse Today. Vol. 4. No. 4.

Asghari, Mohammad., Ebrahimi, Hadi., Salehpour, Firooz., Shimia, Mohammad.,


Khanli, Hadi Mohammad., Bazzazi, Amir Mohammad., Eslampoor,
Yashar., & Ghojazadeh, Morteza. (2013). Effect of three different Mannitol
20% doses on cerebral edema and consciousness levels in traumatic brain
injury. Life Science Journal. Vol. 10.

Asperheim, Mary Kaye. (1985). Pharmacologic Basis of Patient Care. USA: W.


B. Saunders Company.

Baidya, OP,. Chaudhuri S,. & Devi, KG. (2013). Clinico-Epidemiological Study
Of Acute Hemorrhagic Stroke in A Tertiary Care Hospital Of
Northeneastern State Of India. Int J Res Med. Vol. 2 (3):34-7.

Universitas Sumatera Utara


161

Baidya, Omkar Prasad,. Tiwari, Sunita,. & Usman, Kauser. (2015). Acute
hemorrhagic stroke in young adults-a study in a tertiary-care hospital of
North India. International Journal of Biomedical and Advance Research.
Vol 6 (05): 449-453.

Barret, Kim E., Barman, Susan M., Baitano, Scott & Brooks, Heddwen L. (2014).
Buku ajar fisiologi kedokteran ganong. Editor edisi bahasa Indonesia, Dian
Ramadhani. Jakarta: EGC.

Batubara, Rio Nurdinsyah & Iqbal, Kiki Mohammad. (2011). Penyebab mortalitas
pada pasien stroke fase akut di RSUP. Haji Adam Malik Medan.

Batubara, Budi Harto., Umar, Nazaruddin & Mursin, Chairul M. (2016).


Perbandingan Osmolaritas Plasma Setelah Pemberian Manitol 20% 3 mL/
kgBB dengan Natrium Laktat Hipertonik 3 mL/kgBB pada Pasien Cedera
Otak Traumatik Ringan-Sedang. Jurnal Anestesi Perioperatif. Vol. 4 (3):
154-61.

Batticaca, F.B. (2008). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Berman, Audrey., Snyder, Shilee., Frandsen, Geralyn. (2016). Kozier & Erb’s
fundamentals of nursing: concepts, practice, and process. Tenth edition.
USA: Pearson Education, Inc.

Berman, Hiswani, & Makmur. (2012). Karakteristik Penderita Stroke Hemoragik


Yang Dirawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Sumatra Utara .

Black & Hawks. (2005). Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcomes (Ed.7). St. Louis: Missouri Elsevier Saunders.

Brunner & Suddarth. (2010). Textbook of Medical-Surgical Nursing 12nd edition.


Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins.

Budiarto, Eko. (2004). Metodologi Penelitian Kedokteran: Sebuah Pengantar.


Jakarta: EGC.

Burn & Grove. (2010). Undestanding Nursing Research. 2nd edition.


Philadelphia: W. B. Sounders Company.

Caplan, L. R. (2009). Stroke a Clinical Approach. Fourth Edition. Philadelphia:


Saunders an Imprint of Elsevier Inc.

Universitas Sumatera Utara


162

Carpenito, J. Lynda. (2009). Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktik Klinis.


Jakarta: EGC.
Casey, Georgina. (2013). Too much pressure on the brain. Kai Tiaki Nursing New
Zealand. Vol. 19. No. 3.

Castillo, J & Leira, R. (2009). Predictors of Deteriorating Cerebral Infarct: Role of


Inflammatory mechanisms. Would its early treatment be useful. Journal of
Cerebrovasculer Disease. Vol. 11: 40-48.

Ceulemans, A.G., Zgavc T., Kooijman R., Hachimi-Idrissi S., Sarre S, Michotte
Y. (2010). The dual role of the neuroinflammatory response after ischemic
stroke: modulatory effects of Hypothermia. Journal of
Neuroinflammation.Vol.7: 74.

Chen, Shiyu., Zeng, Liuwang & Hu, Zhiping. (2014). Progressing haemorrhagic
stroke: categories, causes, mechanisms and managements. Journal
Neurology. Vol. 261: 2061–2078.

Corwin, EJ. (2009), Buku Saku Patofisiologi, 3rd edition. Jakarta: EGC.

Dewi. (2012). Pengaruh terapi spritual emotional freedom technique (SPFT)


terhadap tekanan darah penderita hipertensi di RSU daerah Raden Mattaher
Jambi. Diakses http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20337183.pdf pada 24
September 2018.

Dharma, Kelana Kusuma. (2015). Metodologi penelitian keperawatan. Jakarta:


TIM.

Dilles, Tinne., Elsevier, Monique M., Rompaey, Bart Van., Bortel, Lucas M. Van
& Stichele, Robert R. Vander. (2011). Barrier for nurses to safe medication
management in nursing home. Journal of nursing Scholarship. Vol. 43 (2).

Dringer, Micheal N., Scalfani, Michael T., Zazulia, Allyson R., Videen, Tom O.,
Dhar, Rajat & Powers, William J. (2012). Effect mannitol on cerebral blood
volume in patients with head injury. Journal neurosurgery. Vol. 70.

Ekayanti, Merry Septemi., Bachtiar, Muhammad Fandy., Mawuntu, Arthur H.P.,


& Pertiwi, Junita Maja. (2019). Irama Sirkadian pada Stroke Akut. Jurnal
Sinaps, Vol. 2 No.1: 9-18.

Ganong, WF. (2008). Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Gillig, Paulette Marie & Sanders, Richard D. (2010). The trigeminal (V) and
facial (VII) cranial nerves: head and face sensation and movement.
Psychiatry & Neurology. Vol. 7 (1).

Universitas Sumatera Utara


163

Go, A.S., Mozaffarian, D., Roger, V.L., Benjamin, E.J., Berry, J.D., Borden,
W.B., ...Turner, M.B. (2013). Heart disease and stroke statistics update: A
report from the American Heart Association. Circulation. Vol. 127: 245.

Gofir, A., (2009). Manajemen Stroke. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Presss.

Gunawan, Budi. (2001). Patofisiologi dan manajemen stroke iskemik. Surabaya:


Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNAIR.

Guyton, Arthur C & Hall, John E. (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi
11. Jakarta: EGC.

Hacke, Werner., Kaste, Markku., Olsen, Tom Skyhoj., Bogousslavsky, Julien., &
Orgogozo, Jean-Marc. (2010). Acute treatment of ischemic stroke.
Cerebrovascular disease. Vol. 10: 22-33.

Hadi, Anica. (2013). Edema serebral sebagai prediktor mortalitas pada perdarahan
intraserebral akut (Master thesis). Available from etd. repository.UGM.
ac.id.

Haryuni, Sri. (2017). Mean arterial pressure (MAP) berhubungan dengan


kejadian mortalitas pada pasien stroke perdarahan intraserebral. Jurnal
Care. Vol .5. No.1.

Hayens, B. (2003). Buku pintar menaklukkan hipertensi. Jakarta. Ladang Pustaka


& Intimedia.

Helbok, Raimund., Kurtz, Pedro., Schmidt, J Michael., Stuart, R Morgan.,


Fernandez, Luis., Malhotra, Rishi., Presciutti, Mary., Ostapkovich, Noeleen
D., Connolly, E Sander., Lee, Kiwon., Badjatia, Neeraj., Mayer, Stephan A.,
& Claassen, Jan. (2011). Effect of mannitol on brain metabolism and tissue
oxygenation in severe haemorrhagic stroke. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
Vol. 82: 378-383.

Herke, J.O. (2006). Karakteristik dan Faktor Berhubungan dengan Hipertensi.


Jakarta. Vol. 10 (2): 78–88.

Hickey, J. V. (2009). The clinical practice of neurological & neurosurgical


nursing (6th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Hicks, Rodney W., Wanzer, Linda J & Denholm, Bonnie. (2012). Implementing
AORN recommended practices for medication safety. AORN Journal. Vol.
96. No. 6.

Universitas Sumatera Utara


164

Jaya, Ismail,. Widodo, Djoko & Ganda, Idham Jaya. (2017). Perbandingan efek
pemberian hipertonik salin solution 3% dan amnitol 20% pada pasien
trauma kepala sedang. JST Kesehatan. Vol. 7 No. 4: 374–380.

Jood, Katarina., Redfors, Petra., Rosengren, Annika., Blomstrand, Christian., and


Jern, Christina. (2009). Self-perceived Psychological Stress and Ischemic
Stroke: A Case-Control Study. BMC Medicine. Vol. 7:53.

Junaidi. I. (2011).Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: PT Bhuana Ilmu


Populer Kelompok Gramedia.

Kallmunzer, B & Kollmar, R. (2011). Temperature management in stroke-an


unsolved, but important topic. Cerebrovascular disease. Vol. 31 (6):532-43.

Katzung, Bertram G & Trevor, Anthony J. (2015). Basic & clinical


pharmacology. 13th edition. Mc Graw Hill Education.

Kelly, G.S. (2010). Body temperature variability (Part 2): Masking Influences of
Body Temperature Variability and a Review of Body Temperature
Variability in Disease. Altern Med Rev. Vol. 12 (1): 49–62.

Kementerian kesehatan RI. (2014). INFODATIN Pusat Data dan Informasi


Kemeterian Kesehatan RI Hipertensi.

Khotimah, Diah Khusnul., Puguh, Sri K., & Purnomo, Eko Ch. (2017). Efektivitas
Facial Massage dan Facial Expression terhadap Kesimetrisan Wajah Pasien
Stroke dengan Face Dropping di RS Mardi Rahayu Kudus. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol. 3. No. 5.

Klit, H., Finnerup, N.B., Overvad, K., Andersen, G., Jensen, T.S. (2011). Pain
following stroke: A population-based follow-up study. PLoS ONE 6(11):
e27607. doi:10.1371/journal.pone.0027607.

Laily, Siti Rohmatul. (2017). Hubungan karakteristik penderita dan hipertensi


dengan kejadian stroke iskemik. Skripsi. Surabaya. Universitas Airlangga.

Lewis, Sharon L., Dirksen, Shannon Ruff., Heitkemper, Margaret McLean &
Bucher, Linda. (2012). Medical Surgical Nursing: Assessment and
Management of Clinical Problems. Ninth edition. Canada: Elsevier.

Lopez, George A, Afshinnik, Arash & Samuels, Owen. (2011). Care of the stroke
patient: routine management to lifesaving treatment options.
Neurotherapeutics. Vol. 8.

Universitas Sumatera Utara


165

Lumbantobing, S.M. (2015). Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik & Mental.


Jakarta. Badan Penerbit FKUI.

Magistris, F., Bazak, S & martin, J. (2013). Intracerebral hemorrhage:


pathophysiology, diagnosis and management. Clinical review. Vol. 10.

Majdan, Marek., Steyerberg, Ewout W., Nieboer, Daan., Mauritz, Walter.,


Rusnak, Martin & Lingsma, Hester F. (2015). Glasgow coma scale motor
and pupillary reaction to predict six-month mortality in patients with
traumatic brain injury: comparison of field and admission assessment.
Journal of neurotrauma. Vol. 32.

Manish, K.A., Christopher, S.O., BOB, S.C., (2012). Surgical Management of


Intracerebral Hemorrhage In: QH. Alfredo, Schmidek & Sweet Operative
Neurosurgical Techniques: Indications, Methods, and Results, 6th ed.
Saunders-Elsevier.

Mardjono M, Sidharta P. (2006). Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat (149-
159).

Marieb, Elaine N & Mallat, Jon. (2001). Human anatomy. Third edition. USA:
Benjamin Cummings.

Marisyka P, Nasya. (2012). Gambaran Tekanan Darah pada Penderita Stroke Fase
Akut di RSUP H. Adam Malik Medan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Markam, S. (2009). Penuntun neurologi. Tangerang: Binarupa Aksara.

Mateika, JH. (2007). Control of breathing. Diakses pada 18 Mei 2018.


http://www.med.wayne.edu/physiology/facultyprofi\le/mateika/Organizatio
n of the Respiratory Control System 2007.pdf.

Mathôt, S. (2018). Pupillometry: Psychology, Physiology, and Function. Journal


of Cognition, 1(1): 16, pp. 1–23.

Mayuni, I Gusti A.O. (2013). Pelatihan senam lansia menurunkan tekanan darah
lansia di Banjar Tuka Dalung. Diakses http://www.pps.unud.ac.id pada Juni
2018.

Middleton, Sandy., Grimley, Rohan & Alexandrov, Anne W. (2015). Triage,


Treatment, and Transfer. Evidence-Based Clinical Practice
Recommendations and Models of Nursing Care for the First 72 Hours of
Admission to Hospital for Acute Stroke. stroke.ahajournals. Vol. 46: 18-25.

Universitas Sumatera Utara


166

Misbach, Jusuf, (2010). Management of Cholesterol to Reduce the Burden of


Stroke in Asia: Consensus Statement. Journal of Stroke; 5(3): 209-216.

Moorhead, Sue., Johnson, Marion., Maas, Meridean L & Swanson, Elisabeth.


(2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). USA: Elsevier.

Murray, C.J., Vos, T., Lozano, R., Naghavi, M. (2012). Disability-adjusted life
years (DALYs) for 291 diseases and injuries in 21 regions, 1990–2010: A
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet;
380: 2197–223.

Nedeltchev K., Renz N., Karameshev A., Haefeli T., Brekenfeld C., Meier N., et
al. (2010). Predictors of early mortality after acute ischaemic stroke. Swiss
Med Wkly. Vol. 140(17-18): 254-9.

Obrist, WD., Gennarelli, TA., Segawa, H., Dolisnkas, CA & Langfitt, TW.
(1979). Relation of Cerebral Blood Flow to Neurological Status and
Outcome in Head Injured Patients. J Neurosurg Vol. 51: 292-300.

Paramadina, Aulia Titia. (2013). Analisa Praktik Profesi Keperawatan Kesehatan


Masyarakat Perkotaan pada Pasien dengan Stroke Hemoragik di Ruang
Perawatan PU 6 Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Jakarta.
Diakses http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20390960-PR-
Hesi%20Oktamiati.pdf pada 14 Juni 2018.

Paramytha, Dya., (2016). Hubungan Suhu Tubuh dengan Outcome pada Pasien
Stroke Iskemik Berdasarkan Standar Nasional Institute of Health Stroke
Scale (NIHSS) di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.
Diakses http://repository.unjaya.ac.id/438/1/Dya%20Paramytha%20A.U_22
12135_nonfull%20resize.pdf pada 14 Juni 2018.

Pasley, Brian N & Freeman, Ralph D. (2008). Neurovascular coupling.


Scholarpedia. Vol. 3 (3): 5340.

Polit, Beck & Hungler. (2012). Essentials of Nursing Research, 7 edition.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Potter & Perry. (2006). Fundamental Keperawatan. Jakarta: ECG.

Price, S. A & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, Edisi 6, Vol. 1. Jakarta: EGC.

Porth, Carol Mattson. (2015). Essentials of pathophysiology. China: Lippincott


Williams & Wilkins.

Universitas Sumatera Utara


167

Plum F & Posners JB. (1982). The diagnosis of stupor and coma. 3rd edition,
Philadelphia, FA Davis CO.

Quaranta N, Cassano M, Quaranta A. (2007). Facial Paralysis Assosiated With


Cholesteatoma: A Review of 13 Cases. Otology & Neurotology. Vol. 28:
405-407.

Rachman, Iwan Abdul., Rahardjo, Sri & Saleh, Siti Chasnak. (2015). Terapi
Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika. JNI. Vol. 4 (2): 119–33.

Rahmah, Yuyun Miftaqul. (2012). Efek pemberian manitol terhadap penurunan


kadar hematokrit pada kasus peningkatan tekanan intrakranial pasca cedera
kepala. Diakses http://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20330145.pdf pada 9
Desember 2018.

Rajesh, Ambika., Hepner, Miranda Kingston & Krisnakumar, Deepa. (2017).


Raised intracranial pressure. Journal Pediatrics and Child Health. Vol. 01.

Roger, V.L., Go, A.S., Lloyd-Jones, D.M., Benjamin, E.J., Berry, J.D., Borden,
W.B., et al., (2011). Heart Disease and Stroke Statistics--2011 Update : A
Report From the American Heart Association, American Heart Association,
Circulation Vol. 125: 68-87.

Ross, R. T. (1972). Corneal reflex in hemisphere disease. Journal of Neurology,


Neurosurgery, and Psychiatry. Vol. 35: 877-880.

Roux, Peter Le. (2013). Physiological monitoring of the severe traumatic brain
injury patient in the intensive care unit. Current neurology neuroscience
reports. Vol. 13.

Sacco, R.L., Kasner, S.E., Broderick, J.P., Caplan, L.R., Connors, J.J & Culebras,
A. (2013). An Update Definition of Stroke for The 21st Century: A
Statement for Healthcare Professionals from The American Heart
Association/ American Stroke Association. Stroke. 44: 2064-2089.

Safri, (2013). Pengaruh stimulasi murottal al-quran terhadap tingkat kesadaran


kuantitatif pada pasien stroke hemoragik.
Diakses http://www.lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak/id_abstrak-
20350667.pdf pada 24 September 2019.

Saini, M., Saqqur, M., Kamruzzaman, A., Lees, K.R & Shuaib, A. (2010). Effect
of Hyperthermia on Prognosis After Acute Ischemic Stroke. Journal of The
American Heart Association. Vol. 40: 3051-3059.

Satyanegara. (2014). Ilmu bedah saraf satyanegara. Edisi V. Jakarta: Gramedia


pustaka utama.

Universitas Sumatera Utara


168

Setyopranoto, I., (2011). Stroke: Gejala dan Penatalaksaan. Cermin Dunia


Kedokteran 185. 38 (4): 247-250.

Sharma, G., Setlur, R & Swamy, MN. (2011). Evaluation of mannitol as an


osmotherapeutic agent in traumatic brain injuries by measuring serum
osmolality. MJAFI. Vol. 67: 230–233.

Shawkatt, Hany., Westwood, Mei-mei & Mortimer, Andrew. (2012). Mannitol: a


review of its clinical uses. The British Journal of Anaesthesia. Vol. 12 (2).

Sherwood, L. (2001). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Slamovits, Thomas L., Glaser, Joel S. (2004). The Pupils and Acomodation,
Duane’s Clinical Ophthalmology, Chapter 15, Vol. 2; Revised edition,
Lippincot Williams & Wilkins.

Snell, Richard S. (2010). Clinical Neuroanatomy, 7th Edition. Lippincott


Williams & Wilkins: Philadelphia.

Subramaniam, Puvana. (2014). Gambaran pola makan dan tingkat keparahan


stroke iskemik di departemen neurologi RSUP H. Adam Malik Medan.
Skripsi. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara.

Suiraoka. (2012). Penyakit Degeneratif, Nuha Medika, Yogyakarta, 104.

Susilawati, Ni Nyoman Ayu., Nuartha, AABN,. & Eko, Thomas P. (2016). Lesi
talamus sebagai faktor risiko perburukan neurologis pada stroke perdarahan
intraserebral supratentorial akut. MEDICINA. Vol 50 (1): 38-47.

Tavakoli, Mitra, Petropoulos, Ioannis N & Malik, Rayaz A. (2012). Assessing


corneal nerve structure and function in diabetic neuropathy. Clinical and
Experimental Optometry. Vol. 95: 338–347.

Tiex, R & Tsirka, SE. (2010). Brain edema after intracerebral hemorraghe:
Mechanisme, treatment options, management strategies and operative
indication. Neurosurg Focus. Vol. 22 (5): 6.

Tikhonoff, Valérie., Zhang, Haifeng., Richart, Tom., & Staessen, Jan A. (2009).
Blood pressure as a prognostic factor after acute stroke. Lancet Neurol; 8:
938–48.

Vicenzini, E., Ricciardi, M.C., Zuco, Sirimarco G., Di Piero, V & Lenzi, G.L.
(2011). Effects of a single mannitol bolus on cerebral hemodynamics in
intracerebral hemorrhage: A transcranial doppler study. Cerebrovascular
Disease. Vol. 32: 447-453.

Universitas Sumatera Utara


169

Wani, AA., Ramzan, AU., Nizami, F et al. (2008). Controversy in use of mannitol
in head injury. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT). Vol. 5 (1): 11-3.

Watila, M.M., Nyandaiti, Y. W., Bwala, S. A., Ibrahim, A. (2010).”Gender


Variation Risk Factor and Clinical Presentasion of Acute Stroke”, Jurnal of
Neuroscience and Behavioral Health, Vol. 3 (3): 38-43.

Werner, C., & Engelhard. (2007). Pathophysiology of traumatic brain injury.


British Journal of Anaesthesia. Vol. 99 (1): 4-9.

Williams, LS & Hopper, P. (2007). Understanding Medical Surgical Nursing, 3


edition. Philadelphia: FA Davis Company.

Witherspoon, Briana & Ashby, Nathan E. (2017). The use of mannitol and
hypertonic saline therapies in patients with elevated intracranial pressure.
Journal nursing clinics. Vol. 10.

World Health Organization, (2010). The atlas of heart disease and stroke. dilihat
10 April 2017. Diunduh dari
www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/atlas/en/

Wulff, K., Cummings, G.G., Marck, P & Yurtseven, O. (2011). Medication


administration technologies and patient safety: a mixed-method systematic
review. J. Adv. Nurs. Vol. 67 (10).

Zauner, Alois., & Muizelaar, J. Paul. (1997). Brain Metabolism & Cerebral Blood
Flow. Chapman & Hall.

Zheng, Haiping., Chen, Chunli, Zhang, Jie & Hu, Zhiping. (2016). Mechanism
and therapy of brain edema after intracerebral hemmorrhage.
Cerebrovascular Disease. Vol. 42: 155-169.

Universitas Sumatera Utara


RIWAYAT HIDUP

Nama : Rofina Sari Jefrianda

Tempat/tanggal Lahir : Panyabungan, 12 Desember 1990

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Perumahan Griya Pinang Mas. Jl.Bustamam.

Tembung. Kec. Percut Sei Tuan. Kab. Deli

Serdang. Sumatera Utara. 20371

Riwayat Pendidikan:

Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus

SD SD Negeri 142572 Panyabungan 2002

SMP SMP Negeri 1 Panyabungan 2005

SMA SMA Negeri 2 Plus Sipirok 2008

Sarjana Keperawatan STIKes Mercubaktijaya Padang 2012

Pendidikan Profesi Program Profesi Ners STIKes 2013


Mercubaktijaya Padang
(Ners)

Magister Fakultas Keperawatan 2020


Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
(M.Kep)

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 1
INSTRUMEN PENELITIAN

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEKTIF PENELITIAN

Selamat pagi/siang/malam Bapak/Ibu/Saudara/i, perkenalkan saya Rofina Sari


Jefrianda mahasiswi dari Program Studi S2 Magister Keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang akan melakukan penelitian dengan judul
“analisis perubahan status neurologis dan tanda-tanda vital pasien stroke akut yang
mendapat terapi manitol di rumah sakit kota Medan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengindentifikasi perubahan status neurologis dan tanda-tanda vital pasien stroke akut
setelah diberi terapi manitol.
Bapak/Ibu/Saudara/i (dalam hal ini bertindak sebagai keluarga pasien) yang
berpartisipasi dalam penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang ditanyakan
oleh peneliti. Saya menjamin bahwa penelitian ini tidak berdampak negatif/merugikan.
Selama penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara/i berhak untuk berhenti dari penelitian saya.
Saya akan berusaha menjaga hak-hak Bapak/Ibu/Saudara/i sebagai responden dari
kerahasiaan selama penelitian berlangsung dan peneliti menghargai keinginan
Bapak/Ibu/Saudara/i untuk tidak meneruskan dalam penelitian, kapan saja saat
penelitian berlangsung. Hasil penelitian ini kelak akan dimanfaatkan sebagai masukan
bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien stroke.
Dengan penjelasan ini, saya sangat mengharapkan partisipasi dari
Bapak/Ibu/Saudara/i. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu/Saudara/i dalam
penelitian ini, saya mengucapkan terima kasih.

Peneliti

Rofina Sari Jefrianda

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Judul penelitian : Analisis perubahan status neurologis dan tanda-tanda vital


pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol di rumah sakit
kota Medan
Peneliti : Rofina Sari Jefrianda
NIM : 157046008

Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan oleh peneliti tentang penelitian


yang akan dilaksanakan sesuai judul diatas, saya mengetahui bahwa penelitian ini
adalah untuk mengetahui perubahan status neurologis dan tanda-tanda vital pasien
stroke akut yang mendapat terapi manitol di rumah sakit kota Medan. Saya (selaku
keluarga pasien) memahami bahwa keikutsertaan dalam penelitian ini sangat besar
manfaatnya bagi peningkatan kualitas pelayanan keperawatan sehingga dapat
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
Saya memahami bahwa resiko yang akan terjadi sangat kecil dan saya berhak
untuk menghentikan keikutsertaan dalam penelitian ini tanpa mengurangi hak-hak
pasien dalam hal pelayanan di rumah sakit ini. Saya juga mengerti bahwa catatan
mengenai penelitian ini akan dijamin kerahasiaannya, semua berkas yang
mencantumkan identitas subjek penelitian hanya akan digunakan untuk keperluan
pengolahan data dan bila sudah tidak digunakan akan dimusnahkan serta hanya peneliti
yang tahu kerahasiaan data tersebut.
Selanjutnya secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, dengan ini
saya (selaku keluarga pasien) menyatakan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.

Medan, Desember 2017

Responden Peneliti

( ) Rofina Sari Jefrianda

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1: Instrumen Penelitian Karakteristik Responden

Kode :

INSTRUMEN PENELITIAN
ANALISIS PERUBAHAN STATUS NEUROLOGIS KLINIS PASIEN STROKE
FASE AKUT YANG MENDAPAT TERAPI MANNITOL DI RUMAH SAKIT
KOTA MEDAN TAHUN 2018

PETUNJUK PENGISIAN
Pengisian dilakukan oleh peneliti dengan memberi tanda ceklis (√)

KARAKTERISTIK RESPONDEN
Usia : tahun
Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan
Tingkat pendidikan : Riwayat status merokok:
Tidak Sekolah Tidak pernah Sudah berhenti
SD Masih merokok Perokok pasif
SMP
Lokasi perdarahan
SMA
Supratentorial
v Perguruan Tinggi
Infratenrotial
Pekerjaan
Jenis perdarahan
v Bekerja
Tidak bekerja
v Perdarahan intraserebral
Status perkawinan Perdarahan subarakhnoid
v Menikah
Lokasi perdarahan :
v Tidak Menikah
Duda/Janda
Riwayat kesehatan dahulu
Hipertensi
v

v Diabetes melitus

v Gagal ginjal

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2: Lembar Observasi Skala Glasgow Coma

Kode :
LEMBAR OBSERVASI TINGKAT KESADARAN
(GLASGOW COMA SCALE)

PETUNJUK: Lembar observasi ini diisi langsung oleh peneliti berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dengan memberi tanda ceklis (√)

No Domain Skor

Hari 1 Hari 2 Hari 3

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Mata

4 : spontan

3 : berdasarkan perintah verbal


2 : berdasarkan rangsang nyeri
1 : tidak memberi respons
2 Verbal

5 : orientasi baik

4 : percakapan kacau (confused)


3 : kata-kata kacau
2 : kata-kata atau suara tidak dapat dimengerti
(mengerang)
1 : tidak memberi respons
3 Motor
v v v v
6 : mengikuti perintah
v v v
v v v
Universitas Sumatera Utara
v v v
5 : melokalisir rangsang nyeri
4 : menjauhi rangsang nyeri/reaksi
menghindar
3 : fleksi abnormal atau dekortikasi
2 : extensi abnormal atau deserebrasi
v v v
1 : tidak memberi respons v v v
Sumber : Satyanegara, 2014

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3: Lembar Observasi pemeriksaan saraf kranial

Kode :

LEMBAR OBSERVASI PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL

PETUNJUK: Lembar observasi ini diisi langsung oleh peneliti berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik dengan memberi tanda ceklis (√)

No Saraf kranial Nilai

Hari 1 Hari 2 Hari 3

1 Saraf kranial III Normal: 3-4 mm Normal: 3-4 mm Normal: 3-4 mm


(okulomotorius)
Ukuran pupil (isokor) (isokor) (isokor)

Anisokor Anisokor Anisokor

Dilatasi bilateral Dilatasi bilateral Dilatasi bilateral

2 Saraf kranial III Pupil kiri dan kanan Pupil kiri dan kanan Pupil kiri dan kanan
(okulomotorius)
reaktif terhadap cahaya reaktif terhadap cahaya reaktif terhadap cahaya
Respon pupil
terhadap cahaya Salah satu pupil reaktif Salah satu pupil reaktif Salah satu pupil reaktif
terhadap cahaya terhadap cahaya terhadap cahaya

Pupil kiri dan kanan Pupil kiri dan kanan Pupil kiri dan kanan

tidak reaktif terhadap tidak reaktif terhadap tidak reaktif terhadap


cahaya cahaya cahaya

3 Saraf kranial V Refleks kornea kanan Refleks kornea kanan Refleks kornea kanan

(trigeminus) dan kiri positif dan kiri positif dan kiri positif
Refleks kornea
Salah satu refleks Salah satu refleks Salah satu refleks

kornea positif kornea positif kornea positif

Refleks kornea kanan Refleks kornea kanan Refleks kornea kanan

dan kiri negatif dan kiri negatif dan kiri negatif

4 Saraf kranial VII Simetris Simetris Simetris


(fasialis) facial

Universitas Sumatera Utara


grimace Asimetris Asimetris Asimetris

Universitas Sumatera Utara


Kode : Lampiran 4: Lembar Observasi tanda-tanda vital

LEMBAR OBSERVASI TANDA-TANDA VITAL


PETUNJUK: Lembar observasi ini diisi langsung oleh peneliti berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dengan memberi tanda ceklis (√)

No Domain Nilai

Hari 1 Hari 2 Hari 3

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Tekanan darah

2 Nadi

3 Suhu

4 Frekuensi pernafasan

Sumber: Casey, 2013

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 2
BIODATA EXPERT

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 3
IZIN PENELITIAN

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN 4
LEMBAR KONSULTASI

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai