TESIS
Oleh:
THESIS
By :
TESIS
Oleh
ABSTRAK
Stroke hemoragik merupakan suatu kondisi ketika pembuluh darah di dalam otak
pecah sehingga menyebabkan perdarahan di dalam jaringan otak atau di sekitar
permukaan otak. Edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial merupakan
komplikasi stroke yang serius dan merupakan tantangan besar pada unit
perawatan intensif stroke yang berpengaruh terhadap mortalitas dan morbiditas
pada fase akut. Salah satu terapi yang telah digunakan beberapa dekade untuk
menghilangkan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial adalah
Manitol. Tujuan penelitian menganalisis perubahan status neurologis dan tanda
vital pasien stroke fase akut yang mendapat terapi manitol di Rumah Sakit Kota
Medan. Penelitian ini adalah penelitian kohort deskriptif. Jumlah sampel 34
responden dengan teknik purposive sampling. Analisa data yang digunakan
analisa univariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perbaikan status
neurologis yaitu tingkat kesadaran (GCS) dan saraf kranial kecuali otot wajah
(saraf kranial VII) yang sampai dengan hari ketiga belum menunjukkan perbaikan.
Perbaikan tingkat kesadaran pasien terjadi setelah >24 jam mendapat terapi
manitol, sedangkan saraf kranial mengalami perbaikan pada 24 jam mendapat
terapi manitol. Tanda-tanda vital juga mengalami perbaikan pada pasien stroke
akut yang mendapat terapi manitol. Perbaikan tanda-tanda tanda vital terjadi
setelah >24 jam mendapat terapi manitol walaupun tekanan darah pasien sampai
pada hari ketiga masih ada yang mengalami hipertensi. Perbaikan pada status
neurologis dan tanda vital pasien setelah mendapat terapi manitol menandakan
hilangnya edema serebral, perbaikan pada aliran darah serebral (CBF) dan tekanan
perfusi otak (CPP) serta perbaikan sel saraf yang rusak.
i
Universitas Sumatera Utara
ii
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan
judul “Analisis Perubahan Status Neurologis dan Tanda-tanda Vital Pasien
Stroke Akut yang mendapat Terapi Mannitol di Rumah Sakit Kota Medan
Tahun 2018”. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan dapat
diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, saya
ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Dekan Fakultas Keperawatan
USU.
2. Ibu Dewi Elizadiani Suza, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU.
3. Bapak Dr. dr. Ridha Dharmajaya., Sp. BS selaku dosen pembimbing I
yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.
4. Ibu Rosina Tarigan, S.Kp., M.Kep., Sp. KMB selaku dosen pembimbing II
yang tidak henti-hentinya memberikan pengarahan, bimbingan dan
motivasi kepada penulis.
5. Papa, mama, suami dan keluarga penulis yang telah banyak memberikan
dukungan materil dan moril dalam penyelesaian proposal ini.
6. Rekan-rekan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan V 2015/2016 dan
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dan memberi dorongan untuk menyelesaikan proposal ini.
Penulis menyadari tesis ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh
pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan keberkahan untuk kita
semua. Amiin….
iii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ii
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GRAFIK x
DAFTAR LAMPIRAN xi
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 6
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 8
iv
Universitas Sumatera Utara
BAB 5 PEMBAHASAN 125
Karakteristik Responden 125
Status Neurologis 134
Tanda vital 156
LAMPIRAN
v
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
vi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
vii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran 1 Instrumen penelitian
Lampiran 2 Data master hasil penelitian
Lampiran 3 Hasil SPSS
viii
Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
yang terjadi secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan pasokan darah ke
Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada usia
Pada tahun 2012, sekitar 10% dari semua kematian di seluruh dunia dan
sekitar 4% kecacatan dari semua usia disebabkan oleh stroke. American Heart
Association melaporkan satu orang terkena stroke setiap 40 detik dan satu orang
diperkirakan akan meningkat sebanyak 21,9% di tahun 2030 (Go et al., 2013).
Di kawasan Asia Tenggara terdapat sekitar 13 juta korban stroke baru setiap
tahun, dimana sekitar 4,4 juta diantaranya meninggal dalam 12 bulan (WHO,
2010). Pada tahun 2020 diperkirakan 7,6 juta orang akan meninggal dikarenakan
(3,8%) hingga tahun 2013 (12,1%). Secara absolut jumlah penduduk Indonesia
1
Universitas Sumatera Utara
2
adalah Sulawesi Selatan, jika dibandingkan provinsi lain yaitu sebesar (17,9%),
dan provinsi Riau merupakan yang terendah (5,2%). Di provinsi Sumatera Utara
tahun 2013, perkiraan penderita stroke umur ≥15 tahun adalah sebanyak 151.080
USU/RSUP Adam Malik Medan dari Januari sampai Desember 2013, didapatkan
data jumlah pasien stroke sebanyak 419 orang (59%) dari 715 orang pasien yang
dirawat inap. Ini menunjukkan kejadian stroke di RSUP. Adam Malik Medan
cukup tinggi. Proporsi untuk stroke iskemik sebanyak 353 orang (84%) dan stroke
stroke mencapai 65% dan menjadi penyebab kelumpuhan fisik ketiga di dunia
dengan peningkatan sebanyak 19% (Murray, Vos, Lozano & Naghavi, 2012).
dan kelelahan kronis (Klit, Finnerup, Overvad, Andersen & Jensen, 2011).
Rata-rata uang yang dikeluarkan oleh pasien adalah 7.657 dollar Amerika atau
sekitar 90 juta rupiah. Diestimasikan pada rentang tahun 2005 hingga 2050, total
dana yang akan dikeluarkan untuk penanganan stroke akan mencapai 1,52 triliun
dolar Amerika untuk ras kulit putih non-hispanik, 313 miliar dolar Amerika untuk
ras hispanik, dan 379 dollar Amerika untuk ras kulit hitam (Roger et al., 2011).
bagi pasien dan keluarga pasien. Pasien stroke cenderung akan menarik diri dari
Stroke terdiri dari serangkaian proses yang dimulai dari pecahnya pembuluh
darah otak yang menyebabkan keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang
cairan serebrospinal disekitar otak atau kombinasi keduanya. Pada awal serangan
stroke dalam beberapa menit sampai beberapa jam terjadi edema sitotoksik
serius dari stroke dan merupakan tantangan besar pada unit perawatan intensif
mortalitas pada pasien stroke akibat edema serebral dan peningkatan tekanan
fungsi vital tubuh seperti pusat pernafasan, pusat kesadaran, pusat suhu tubuh, dan
pengaturan tekanan darah, serta efek akhir edema serebral dan peningkatan
Onset kematian dalam tujuh hari pada pasien stroke adalah 31% (Hadi,
meninggal segera setelah onset perdarahan, selain itu juga dapat menyebabkan
(55%) kematian dan 18 (90%) dalam dua minggu setelah dirawat di rumah sakit
dari jumlah dua puluh orang yang meninggal di rumah sakit Bahrain Royal
Banyak faktor yang menyebabkan kematian pada pasien stroke fase akut.
jantung, hidrosefalus dan deep vein thrombosis (Batubara & Iqbal, 2011).
mortalitas pada pasien stroke fase akut di RSUP Adam Malik Medan adalah
Salah satu terapi yang digunakan pada pasien dengan stroke hemoragik
manitol. Manitol merupakan agen diuretik osmotik yang telah digunakan beberapa
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Vicenzini, Ricciardi, Zuco,
intrakranial, sehingga efek ini dapat mengurangi edema pada daerah lesi. Adanya
Asghari et al., (2013), yang menyimpulkan bahwa nilai GCS meningkat secara
Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmah (2012) juga menyatakan bahwa
Terapi obat tidak dapat dilihat secara terpisah dari pasien, penyakit pasien
pasien adalah sebuah proses yang dinamis, interdisipliner dan kompleks yang
2011).
pada 72 jam pertama stroke akut (Middleton, Grimley & Alexandrov, 2015).
Salah satu aspek yang perlu dilakukan monitoring adalah status neurologis dan
tanda-tanda vital. Status neurologis dan tanda-tanda vital harus diamati dan dicatat
neurologis.
Rumusan Masalah
neurologis dan tanda-tanda vital pada pasien stroke fase akut yang mendapat
terapi manitol di RSUP. H. Adam Malik Medan dan rumah sakit Pirngadi
Medan?.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
stroke akut setelah mendapat terapi Manitol di RSUP. H. Adam Malik Medan dan
Tujuan Khusus
Untuk mengetahui perubahan status neurologis pasien stroke akut, yaitu sebagai
berikut:
1. perubahan tingkat kesadaran pada pasien stroke akut yang mendapat terapi
manitol
2. perubahan ukuran pupil pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol
3. perubahan reaktivitas pupil terhadap cahaya pada pasien stroke akut yang
4. perubahan refleks kornea pada pasien stroke akut yang mendapat terapi
manitol
5. perubahan otot wajah pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol
Untuk mengetahui perubahan tanda-tanda vital pada pasien stroke akut, yaitu
sebagai berikut:
6. perubahan tekanan darah pada pasien stroke akut yang mendapat terapi
manitol
7. perubahan suhu tubuh pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol
8. perubahan denyut nadi pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol
9. perubahan frekuensi pernafasan pada pasien stroke akut yang mendapat terapi
manitol
Manfaat Penelitian
Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan
pada pasien stroke akut setelah mendapat terapi manitol. Serta menjadi tambahan
Rumah sakit
Peneliti
neurologis dan tanda-tanda vital pada pasien stroke fase akut yang mendapat
TINJAUAN PUSTAKA
Otak manusia kira-kira 2% dari berat badan orang dewasa. Otak menerima
sekitar 20% curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh dan
sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling
banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari
dan kontinu tanpa ada fase istirahat (Price & Wilson, 2006).
Aktivitas otak yang tak pernah berhenti ini berkaitan dengan fungsinya yang
perifer tubuh, fungsinya sebagai pengatur informasi yang masuk dan impuls yang
seluruh tubuh. Bagian utama otak adalah medulla, pons, otak tengah (batang
Medulla
Medula berada tepat di atas sumsum tulang belakang dan meluas ke atas
Pons. Medulla mengatur fungsi tubuh yang paling vital, yaitu sebagaipusat
pernapasan, dan pusat vasomotor yang mengatur diameter pembuluh darah, serta
pusat refleks batuk, bersin, menelan, dan muntah (Williams & Hopper, 2007).
oblongata terdapat pula dua pembesaran yang merupakan fasikuli dari jaras
asendens kolumna dorsalis, yaitu fasikulus grasilis dan fasikulus kuneatus. Jaras-
jaras ini menghantarkan tekanan propriosepsi otot-otot sadar, sensasi getar, dan
empat saraf kranial terakhir (Nervus IX sampai XII) (Price & Wilson, 2006).
Pons
bawah pons berperan dalam pengaturan pernafasan. Di dalam pons terdapat dua
pernapasan normal. Beberapa nukleus saraf kranial juga berada pada pons, yaitu
Otak tengah
Otak tengah merupakan bagian pendek dari batang otak yang letaknya
diatas pons. Bagian ini terdiri dari (1) bagian posterior, yaitu tektum yang terdiri
dari kolikulus superior dan kolikulus inferior, dan (2) bagian anterior, yaitu
Wilson, 2006) dan refleks penyearah yang membuat kepala tegak lurus dan
serebri (atau basis pedunkuli) terdiri dari berkas serabut-serabut motorik yang
berjalan turun dari serebrum. Dua saraf kranialis yang berasal dari otak tengah
adalah nervus okulomotorius (III) dan troklearis (IV) (Price & Wilson, 2006).
Serebelum
durameter yang menyerupai atas tenda, yaitu tentorium yang memisahkannya dari
bagian posterior serebrum. Serebelum terdiri dari bagian tengah (vermis) dan dua
hemisfer lateral. Serebelum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas
menghubungkan kedua hemisfer otak dan (3) pedunkulus serebeli inferior berisi
Talamus
serebelum, dan dengan berbagai komplek nuklear subkortikal seperti yang ada
dalam hipotalamus, formasio retikularis batang otak, ganglia basalis, dan mungkin
otak dan juga merupakan pengintegrasi subkortikal yang penting. Semua jaras
pusat sensorik primitif, talamus juga berperan penting dalam integrasi ekspresi
motorik oleh karena hubungan fungsinya terhadap pusat motorik utama dalam
korteks motorik serebri, serebelum dan ganglia basalis (Price & Wilson, 2006).
Hipothalamus
autonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah laku dan emosi. Dengan
komposisi elektrolit, suhu tubuh, fungsi endokrin dari tingkah laku seksual dan
reproduksi normal, ekspresi ketenangan atau kemarahan, serta lapar dan haus
Serebrum
Serebrum merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol. Disini
terletak pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik,
juga mengatur proses penalaran, ingatan, dan intelegensia (Price & Wilson, 2006).
Bagian luar hemisferium serebri terdiri dari substansia grisea yang disebut
sebagai korteks serebri, terletak di atas substansia alba yang merupakan bagian
dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla (Price & Wilson, 2006),
bagian dalam materi abu-abu adalah materi putih, akson myelinated yang
Hemisfere kanan dan kiri terhubung oleh corpus callosum. Pusat aktivitas
sensorik dan motorik pada masing-masing hemisfer dirangkap dua, dan biasanya
mengatur bagian tubuh sebelah kiri dan hemisferium kiri mengatur bagian tubuh
sebelah kanan. Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontralateral (Price &
Wilson, 2006).
Korteks serebri
secara luas. Lobus frontal berisi area motor yang menghasilkan impuls yang akan
sisi yang berlawanan dengan tubuh. Masih di lobus frontal, biasanya hanya pada
lobus kiri merupakan daerah bahasa Broca, yang mengendalikan gerakan dalam
kutaneous dan proprioception. Pada area inilah sensasi ini dirasakan dan
penciuman (bau). Pada lobus temporal dan parietal, biasanya hanya pada sisi kiri
merupakan area bicara yang terlibat dalam pemikiran yang mengawali ucapan.
Lobus oksipital merupakan area visual yang menerima impuls dari retina mata.
Persepsi dan interpretasi penglihatan terjadi disini (Price & Wilson, 2006).
terdapat massa materi abu-abu yang disebut ganglia basal. Fungsi ganglia basal
berkaitan dengan aspek bawah sadar tertentu dari gerakan involunter, pengaturan
tonus otot, penghambat tremor, dan penggunaan gerakan aksesoris seperti ayunan
Saraf kranial
Saraf Kranial, merupakan saraf yang secara letak berada di dekat otak dan
sehingga saraf-saraf ini lazim disebut saraf kranial. Nama dari saraf-saraf tersebut
berasal dari urutan letak saraf kranial mulai dari atas ke bawah. Fungsi utama dari
saraf-saraf ini adalah mengatur segala fungsi organ-organ yang berada di daerah
fungsi menelan.
Saraf kranial memiliki 3 macam fungsi yakni motorik, sensoris dan otonom
yang berbeda pada masing-masing saraf. Tiga pasang saraf kranial merupakan
sensorik sepenuhnya (I, II, VIII), lima pasang motorik (III, IV, VI, XI, dan XII),
dan empat pasang adalah campuran sensorik dan motorik (V, VII, IX, dan X).
Saraf kranial diberi nomor dalam urutan di mana mereka muncul dari otak.
Kecuali saraf kranial I & II, seluruh saraf kranial keluar dari batang otak (Brunner
Ada empat arteri serebral utama yang memasok darah ke otak: dua arteri
karotis internal atau internal carotid artery (ICA) yang membentuk sirkulasi
anterior, dan dua arteri vertebralis atau vertebrata artery (VA) yang merupakan
sirkulasi posterior. Arteri karotis internal berasal dari dua pembuluh darah yang
berbeda, yaitu arteri karotis komunis kiri yang berasal langsung dari aorta dan
arteri karotis komunis kanan, yang berasal dari arteri innominate dan juga berasal
Arteri karotis internal atau internal carotid artery (ICA) naik dari bifurkasi
antara lapisan dura, dan kemudian mulai bercabang. Sebagian besar belahan otak
kecuali oksipital, ganglia basalis, dan dua pertiga bagian atas diensefalon dipasok
oleh arteri karotis internal. Arteri karotis eksternal memasok darah ke wajah, kulit
carotid artery (ICA) adalah arteri serebral tengah atau medial carotid artery
(MCA), arteri serebral anterior atau anterior carotid artery (ACA), arteri komunis
anterior, dan arteri komunis posterior. Arteri serebral tengah (MCA) memasok
darah ke bagian hemisfer lateral otak. Arteri serebral anterior (ACA) memasok
darah ke bagian permukaan medial lobus frontal dan parietal (Hickey, 1997).
Dua arteri vertebral atau vertebrata artery (VA) memasuki kubah kranial
carotid artery (PCA), yang memasok darah ke permukaan medial, inferior serta
bagian lateral dari lobus temporal dan oksipital. Arteri basilar juga memasok
darah ke sejumlah arteri serebelum, batang otak, sumsum tulang belakang dan
Hemodinamik serebral
Volume darah otak atau cerebral blood volume (CBV) adalah jumlah darah
di otak pada waktu tertentu. Normalnya darah menempati sekitar 10% ruang
mencapai puncak, tekanan pada sistem vena akan meningkat, volume darah akan
Aliran darah otak atau cerebral blood flow (CBF) adalah jumlah darah yang
melewati 100 gram jaringan otak dalam satu menit yang diukur dalam satuan
jaringan otak. Pemeliharaan aliran darah ke otak sangat penting karena otak
Secara umum diasumsikan bahwa jika aliran darah otak (CBF) berada diatas
18 ml/100 g/menit dan dibawah 25 ml/100 g/menit neuron akan dapat bertahan
tetapi tidak berfungsi. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa infark akan
terjadi apabila aliran darah otak (CBF) 5 ml/100 g/menit selama lebih dari 1,5
jam, 10 ml/ 100 g/menit lebih dari 3 jam, 15 ml/100 g/menit lebih dari 3,5 jam
Terdapat hubungan erat antara aliran darah otak dengan aktivitas neuron
pada hubungan aktivitas sel saraf dan perubahan pada aliran darah otak. Besaran
perubahan aliran darah serebral sangat erat hubungannya dengan aktivitas neuron
melalui rangkaian komplek yang melibatkan neuron, glia dan sel pembuluh darah.
Hipertensi juga akan mempengaruhi hubungan aktivitas neuron dan aliran darah
otak, dan perubahan ini melibatkan perubahan mediator kimia dari neurovascular
aktivitas neuron
aliran darah otak. Adanya aktivitas sel akan menyebabkan pemakaian ATP yang
meningkat sebagai sumber energi sel, pemakaian oksigen dan glukosa yang
metaboliknya meskipun terjadi fluktuasi tekanan arteri sistemik yang luas. Faktor-
faktor yang mempengaruhi aliran darah serebral terbagi dua, yaitu: (1) faktor
1997).
Autoregulasi
darah serebral oleh otak untuk menjaga aliran darah menuju otak konstan selama
perubahan tekanan darah arteri (Lewis, Dirksen, Heitkemper & Bucher, 2012).
otak dan untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral dalam batas normal.
Autoregulasi mengacu pada nilai MAP (mean arterial pressure) 70-100 mmHg.
Apabila nilainya di bawah 70 mmHg, maka aliran darah serebral menurun dan
jika diatas 100 mmHg maka aliran darah serebral akan meningkat (Potter & Perry,
2006).
Autoregulasi dapat terganggu dan hilang secara lokal atau global apabila
iskemia, inflamasi jaringan serebral dan rata-rata tekanan darah mean arterial
pressure (MAP) yang kurang dari nilai normal dan melebihi nilai normal. Tanpa
aliran darah serebral dan volume darah serebral menjadi pasif dan tergantung pada
Pengaturan kimia dan metabolik memberi pengaruh yang kuat pada aliran
metabolisme sel. Ketika PaCO₂ tinggi, maka pembuluh darah serebral merespon
dengan vasodilatasi sehingga akan meningkatkan aliran darah, dan apabila PaCO₂
pembuluh darah sehingga akan meningkatkan aliran darah serebral. Dan jika pH
darah serebral. Apabila terjadi peningkatan hasil akhir metabolisme sel (asam
laktat, asam piruvat, asam karbon), akan menyebabkan pH menurun (asidosis) dan
serebral.
Stroke
secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan pasokan darah ke suatu bagian
Perdarahan intraserebral
oleh pecahnya pembuluh darah. Biasanya disebabkan oleh hipertensi yang tidak
terkontrol. Penyebab lain adalah tumor otak, trauma, obat trombolitik dan
aneurisma yang pecah. Perdarahan biasanya terjadi tanpa gejala prodromal dan
terjadi pada saat beraktivitas. Luasnya tanda dan gejala bervariasi tergantung pada
jumlah dan durasi perdarahan (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Margaret & Bucher,
2012).
Arteri yang sering ruptur pada perdarahan intraserebral spontan adalah arteri
lentikulostriata yang merupakan cabang langsung dan arteri serebri media. Ruptur
arteri ini akan mengakibatkan perdarahan pada basal ganglia, tepatnya putamen.
media juga merupakan sumber terjadinya PIS (ruptur arteri ini akan
mengakibatkan perdarahan talamus). Arteri lain yang terlibat pada PIS adalah
cabang paramedian dari arteri basilaris, yang mana akan menyebabkan perdarahan
Perdarahan subarachnoid
rongga subarachnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piameter) dan lapisan
(meninges).
dinding inferior, dinding medial, dinding lateral (arteri komunikans posterior dan
arteri koroidal anterior), arteri serebri media, arteri serebri anterior (arteri
Stroke hemoragik paling sering dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu
dari banyak arteri yang menembus ke dalam jaringan otak. Hipertensi kronik
yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan
pada arteriol dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah
2009).
yang mengalami gangguan biasanya arteri yang menembus otak seperti cabang-
cabang lentikulostriata dari arteri serebri media yang memperdarahi sebagian dari
ganglia basalis dan sebagian besar kapsula interna. Timbulnya penyakit ini
mendadak dan evolusinya dapat cepat dan konstan, berlangsung beberapa menit,
awal dapat terjadi akibat arteri serebral yang ruptur, selanjutnya 3-72 jam pertama
terjadi bersamaan dengan perdarahan intraserebral atau dalam 24-72 jam setelah
sekunder dari inflamasi dan gangguan sawar darah otak. Perdarahan dan edema
pada hari ke 3 dan dapat bertahan hingga 7 hari (Ironside., Chen., Ding., Mayer.,
Connolly, 2019).
memerlukan waktu yang lebih lama untuk kembali ke batas normal (Black &
Hawks, 2005). Salah satu dampak dari peningkatan tekanan intrakranial adalah
mengalami peningkatan sampai tingkat toksik. Hal ini terjadi karena kondisi
dibutuhkan untuk mengatur sistem re-uptake natrium dalam neuron dan glia.
Sehingga di glia, glutamat tidak didetoksifikasi lebih lanjut dan tidak dikonversi
menyebabkan masuknya Ca+ dan Na+ ke dalam sel neuron yang menyebabkan
neurologis sama halnya dengan pasien stroke iskemik yaitu defisit motorik,
sensoris, saraf kranial, kognitif, dan fungsi lainnya. Pasien yang sadar paling
sering mengeluhkan sakit kepala yang parah. Gejala lain yang lebih sering muncul
biasanya menghasilkan sakit kepala yang tiba-tiba parah dan sering kehilangan
kesadaran selama periode waktu yang bervariasi. Muncul rasa sakit dan kekakuan
di bagian belakang leher (kekakuan nuchal) dan tulang belakang karena iritasi
hemiparesis juga bisa terjadi. Dalam kasus lain, perdarahan hebat mengakibatkan
kerusakan serebral diikuti dengan koma dan kematian (Brunner & Suddarth,
2010).
Fisiologi kesadaran
Menurut Moruzzi dan Magoun pada tahun 1949, kesadaran berkaitan erat
yang secara terus menerus mengalir kembali ke nukleus talamus sewaktu keadaan
(Satyanegara, 2014).
batang otak, bila ARAS dirangsang akan menimbulkan aktivasi umum yang
daerah-daerah di tengah batang otak, meluas mulai dari otak tengah sampai
menerima input dari korteks serebri, ganglia basalis, hipotalamus, sistem limbik,
serebellum, medula spinalis dan semua sistem sensorik. Sedangkan serabut eferen
limbik dan talamus yang lalu akan berproyeksi ke korteks serebri dan ganglia
Jaras utama yang mengantar rangsang ke korteks serebri ada 3 macam: (1)
yang berjalan ke nukleus talami lalu berproyeksi ke seluruh tubuh, (2) yang
berjalan ke hipothalamus lalu ke sistem limbik yang berperan pada fungsi atensi
dan emosi, dan (3) yang ke lokus seruleus yaitu pusat di dalam pons yang
tingkat interaksi antara rangsangan perifer dan otak adalah: (1) kewaspadaan
maksimal, (2) terjaga, (3) tidur, dan (4) koma. Kewaspadaan maksimal
serat asenden yang berasal dari formasio retikularis dan membawa sinyal ke atas
aktivitas sistem saraf pusat secara keseluruhan. Koma adalah keadaan penurunan
rangsang luar, disebabkan oleh kerusakan batang otak yang menganggu RAS
(Reticular Activating System) atau oleh depresi luar korteks serebri, misalnya
setelah kekurangan oksigen (Silbernegl & Lang, 2007 dalam Safri, 2013).
karena dua alasan yaitu: (1) sel khusus dari korteks serebral paling sensitif
intrakranial karena adanya edema serebral pada pasien stroke, dan (2) penurunan
dipasok oleh arteri terminal, sehingga suplai oksigen ke sel sensitif korteks
yang konstan. Aktivitas listrik neuronal disuplai melalui turunan ATP yang
membutuhkan sekitar 60% dari total konsumsi otak. Sebagian besar ATP yang
secara kontinyu. Jika perfusi jaringan otak terganggu akibat edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial maka akan terjadi hipoksia dan persediaan ATP
akan menurun. Pada kebanyakan keadaan jika aliran darah serebral tidak membaik
dalam waktu 3 sampai 8 menit, maka akan terjadi kerusakan sel hingga kerusakan
penurunan kesadaran pada pasien stroke hemoragik fase akut adalah karena
edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial pada fase akut menimbulkan
efek depresan pada saraf yang menyebabkan invaginasi dari nodus Ranvier dan
demielinasi. Kondisi ini dapat menganggu konduksi aliran saraf dan serabut saraf
tidak dapat meneruskan impuls dari pusat sensorik pada korteks serebri menuju
ARAS, sehingga sel neuron korteks serebri tidak dapat digalakkan dan terjadi
Lesi destruksi ini dapat mengenai sebagian korteks serebri dan substansia
alba, namun lesi juga dapat mendistorsi struktur yang lebih dalam dan
tengah bagian dalam dan terjadi herniasi tentorial lobus temporal yang berakibat
sebagai penyebab sekunder juga dapat menekan area retikular batang otak atas
berfungsi sebagai termostatik pusat kontrol suhu tubuh (Guyton & Hall, 2008).
Pada hipotalamus terdapat dua pusat pengaturan suhu, yaitu (1) regio posterior
yang diaktifkan oleh suhu dingin yang kemudian memicu refleks-refleks yang
memperantarai produksi panas dan konservasi panas, dan (2) regio anterior yang
Suhu inti dipantau oleh termoreseptor sentral yang terletak di hipotalamus itu
sendiri serta di susunan saraf pusat dan organ abdomen (Guyton & Hall, 2008).
Dalam keadaan normal suhu inti tubuh relatif stabil (berkisar 37,1°C atau
36,5°C sampai 37,5°C yang disebut sebagai “set-point”), keadaan ini dapat
dipertahankan karena panas yang terbentuk dari hasil metabolisme tubuh secara
dapat dibedakan menjadi proses fisik dan proses kimiawi. Prinsip kerja pada
pengaturan fisik adalah dengan melakukan pengaturan tahanan pada aliran panas,
Sistem pengaturan suhu tubuh untuk menurunkan panas tubuh ketika suhu
terlalu tinggi, yaitu: (1) vasodilatasi, pada hampir semua area tubuh, pembuluh
darah kulit berdilatasi dengan kuat. Hal ini disebabkan oleh hambatan dari pusat
sebanyak delapan kali lipat, (2) berkeringat, peningkatan temperatur tubuh 1°C
menyebabkan keringat yang cukup banyak untuk membuang sepuluh kali lebih
besar kecepatan metabolisme basal dari pembentukan panas tubuh, dan (3)
panas berlebihan seperti menggigil dan termogenesis kimia dihambat dengan kuat
prosedur yang berlawanan dengan mekanisme penurunan panas tubuh, yaitu: (1)
vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh, hal ini disebabkan oleh rangsangan pusat
simpatis hipotalamus posterior, (2) piloereksi, yang berarti "rambut berdiri pada
ditekan, dan (3) peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme dengan
memiliki suhu hingga 39°C dalam waktu 1 hingga 7 hari, namun kejadian ini
tidak terus-menerus terjadi dan akan mereda dalam waktu 96 jam pada 90%
infeksi yaitu 58% dan sebanyak 42% disebabkan oleh nekrosis jaringan atau oleh
hipotalamus.
Selama fase akut stroke juga terjadi pengurangan aliran darah otak yang
menyebabkan iskemik serebri. Iskemik serebri ini yang akan memicu respon
yang memainkan peran penting sebagai aktivator adhesi molekul. Dalam beberapa
jam setelah iskemik serebri, akan terjadi peningkatan kadar sitokin dan kemokin
yang akan meningkatkan ekskresi molekul adhesi pada sel endotel otak,
(Zaremba, 2004; Amantea dkk., 2008; Jordán dkk., 2008; Arslan dkk., 2011
lemak
Pembuluh darah Otot rangka
Kelenjar keringat Pembuluh darah
kulit
kulit
Tidak menggigil menggigil
Sekresi keringat
vasodilatasi vasokonstriksi
Kehilangan panas
Kehilangan panas ke Penyimpanan Produksi panas
melalui evaporasi
lingkungan panas metabolik
aliran darah otak atau ekstravasase ke dalam parenkim otak. Infiltrasi leukosit ke
dalam sel-sel parenkim otak termasuk neuron dan glia, dapat melepaskan
2008; Jordán dkk., 2008; Arslan dkk., 2011 dalam Adja, 2015).
kanal kalsium dan pelepasan asam amino neuroeksitatorik, kanal ion dan influks
kalsium, natrium, klorida dan air, aktivasi enzim proteo dan lipolitik) yang
(Adja, 2015).
endotoksin dan pirogen eksogen. Dimana endotoksin dan pirogen eksogen ini
akan beraksi pada monosit, makrofag dan sel kupffer kemudian menghasilkan
meningkatkan set poin temperatur tubuh (Saini, Saqqur, Kamruzzaman, Lees &
Shuaib, 2010).
permeabilitas aliran darah otak yang berakibat langsung secara parsial maupun
berbagai faktor diantaranya adalah usia, jenis stroke, lokasi lesi dan volume infark
(infark sekunder). Disamping itu penyebab lainnya adalah infeksi yang didapat di
rumah sakit dan komplikasi pasca stroke seperti aspirasi pneumonia dan Deep
Vein Thrombosis (DVT) (Saini, Saqqur, Kamruzzaman, Lees & Shuaib, 2010).
Fisiologi pernafasan
Kebanyakan inti sel saraf yang terletak di medula oblongata memiliki akson yang
berjalan menuju medula spinalis, bersinaps dengan interneuron atau motor neuron
yang terletak di regio servikal, torakal dan lumbal. Inti sel saraf spinal yang
menerima input dari medula oblongata membentuk saraf tepi, keluar dari medula
melalui jaras kortikospinal (Barrett, Barman, Baitano & Brooks, 2014). Jalur
intercostales interni dan otot-otot ekspirasi lainnya (Barrett, Barman, Baitano &
Brooks, 2014).
dasar, laju pernafasan juga dimodifikasi oleh input dari reseptor kimia darah.
Kemoreseptor terdiri dari dua jenis yaitu kemoreseptor pusat yang berada di
medulla, dan kemoreseptor perifer yang berada di badan aorta pada lengkung
aorta dan badan karotid pada cabang arteri karotid. Badan karotid mengirimkan
pernafasan, dan begitu juga sebaliknya ketika gas darah kembali pada konsentrasi
normal (Marieb & Mallat, 2001). Seperti adanya perubahan suplai darah serebral,
N. IX
Otot polos
jalan nafas Kemoresept
or perifer
Neuron respirasi
medulla oblongata N. X (carotid
(rhythm generator) bodies)
Formasio
retikularis Reseptor saluran
nafas dan paru
Motor neuron PO₂
respirasi medula Ion H+
Stimulus Sistem spinalis
sensorik (nyeri) limbik
Otot Reseptor
pernafasan otot
Emosi (fore
brain)
Ventilasi
paru
-Patofisiologi gangguan
Kontrol volunter (kortekspernafasan
motorik)
- Batuk, bersin (medula oblongata)
- Postur (serebelum)
gangguan respirasi akibat penyakit saraf pusat misalnya stroke. Pusat kontrol
pernafasan yang berada pada pons dan medulla oblongata dapat mengalami
oleh edema serebri akut yang timbul akibat stroke. Edema serebri yang muncul
pada pasien stroke akan menekan arteri serebral pada ruang kranial sehingga akan
menghambat suplai darah serebral secara parsial. Selain itu, adanya edema serebri
akibat stroke juga akan mengakibatkan depresi pusat pernafasan (pons dan
medulla oblongata) (Guyton & Hall, 2008), dan juga akan mengganggu impuls
saraf akibat adanya invaginasi nodus Ranvier dan demielinasi sehingga impuls
2007).
Selain akibat gangguan kontrol respirasi sentral, hemiplegi akut pada stroke
berhubungan dengan risiko kematian akibat infeksi paru pada pasien dengan
aspirasi dan hipoventilasi. Kontraksi otot diafragma pada sisi yang lumpuh akibat
diperlukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret, misalnya dengan cara
batuk. Pada stroke akan terjadi kelemahan otot bulbar (dipersarafi oleh N. IX, X,
XII), otot pengunyah (N. V) dan otot laring (dipersarafi radiks C1). Walaupun
tidak berperan langsung dalam respirasi, otot-otot ini berfungsi untuk bicara,
menelan dan proteksi saluran napas. Gangguan otot-otot ini dapat menyebabkan
disartria, disfonia, disfagia, tersedak, batuk yang lemah, dan kerentanan terjadinya
Beberapa jenis pola pernafasan yang sering terjadi pada pasien stroke
kemudian turun bergantian dengan periode apnea. Pola pernapasan ini sering
dijumpai pada pasien stroke, akan tetapi tidak memiliki korelasi anatomis yang
spesifik. Salah satu penelitian melaporkan CPB terjadi pada kurang lebih 53%
digambarkan oleh Plum dan Swanson tahun 1959, merupakan hiperpnea yang
terjadi saat bangun dan tidur akibat gangguan di pons, (3) pernapasan klaster
yang memiliki irama dan amplitudo ireguler disebabkan gangguan pada medula
atau olah raga, (2) keadaan emosi (kecemasan/takut), (3) polusi udara, (4)
ketinggian, (5) obat-obatan (narkotik, amfetamin), (6) suhu, (7) gaya hidup, (8)
usia, (9) jenis kelamin, dan (10) nyeri akut (Muttaqin, 2010).
Tekanan darah merupakan daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap
satuan luas dinding pembuluh. Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan
output) adalah jumlah darah yang dipompakan oleh ventrikel ke dalam sirkulasi
pulmonal dan sirkulasi sistemik dalam waktu satu menit, normalnya pada dewasa
arteri, arteriola, kapiler dan sistem vena, sehingga terbentuk suatu aliran darah
yang menetap. Regulasi tekanan darah secara umum dibagi menjadi dua, yaitu:
(1) pengaturan tekanan darah jangka pendek adalah: (a) sistem saraf, mengontrol
sensor utama pendeteksi perubahan tekanan darah. Setiap perubahan pada tekanan
secara otonom. Baroreseptor yang penting dalam tubuh manusia terdapat di sinus
karotis dan arkus aorta. Baroreseptor secara terus menerus memberikan informasi
mengenai tekanan darah, dan secara kontinu menghasilkan potensial aksi sebagai
respon terhadap tekanan didalam arteri. Jika tekanan arteri meningkat, potensial
neuron eferen yang bersangkutan juga ikut meningkat. Begitu juga sebaliknya,
jika terjadi penurunan tekanan darah. Setelah mendapat informasi bahwa tekanan
arteri terlalu tinggi oleh peningkatan potensial aksi tersebut, pusat kontrol
vasodilatasi arteriol dan vena serta menurunkan curah jantung dan resistensi
perifer total, sehingga tekanan darah kembali normal. Begitu juga sebaliknya jika
tekanan darah turun dibawah normal, dan (b) kontrol kimia, kadar oksigen dan
kerja pada otot polos dan pusat vasomotor. Hormon yang penting dalam
pengaturan tekanan darah adalah hormon yang dikeluarkan oleh medula adrenal
II, dan nitric oxide (Mayuni, 2013), dan (2) pengaturan tekanan darah jangka
tekanan darah secara langsung dan secara tidak langsung. Mekanisme secara
secara tidak langsung dengan melibatkan mekanisme renin angiostesin. Pada saat
tekanan darah menurun, ginjal akan mengeluarkan enzim renin ke dalam darah
vasokontriktor yang kuat (Mayuni, 2013). Walaupun hanya berada 1 atau 2 menit
kerusakan dan penekanan pada area spesifik di otak yang mengatur aktivitas sistem
saraf otonom. Hayens (2003) menjelaskan bahwa tekanan darah dikontrol oleh
otak, sistem saraf otonom, ginjal beberapa kelenjar endokrin, arteri dan jantung.
Otak merupakan pusat pengontrol tekanan darah di dalam tubuh. Serabut saraf
adalah bagian sistem saraf otonom yang membawa isyarat dari bagian tubuh
untuk menginformasikan kepada otak perihal tekanan darah, volume darah dan
kebutuhan khusus semua organ. Semua informasi ini diproses oleh otak dan
Sistem reflek neuronal ini yang mengatur dalam suatu rangkaian umpan
balik negatif terdiri dari detektor, berupa baroreseptor yaitu suatu reseptor regang
tekanan darah, dan kemoreseptor, yaitu sensor yang mendeteksi perubahan PO2,
PCO2 dan pH darah, neuronal aferen pusat kendali di medula oblongata. Neuronal
eferen yang terdiri dari sistem saraf otonom serta efektor, yang terdiri dari alat
pemacu dan selsel otot jantung, sel-sel otot polos di arteri, vena dan medula
adrenal.
penurunan aliran darah ke otak dan menyebabkan gangguan fungsi otak. Pada
menghasilkan penimbunan asam laktat pada otak. Hal ini akan mengakibatkan
Menurut Brunner & Suddarth (2010), tingginya tekanan darah yang terjadi
tekanan intrakranial. Namun karena tekanan terus meningkat, denyut nadi turun
menjadi 60 denyut per menit atau kurang saat mencoba mengimbanginya. Denyut
nadi digambarkan penuh dan loncat, pada tahap dekompensasi denyut nadi
menjadi tidak teratur, cepat, dan sudah dan kemudian berhenti (Hickey, 2009).
Selain itu, nyeri kepala, retensi urine, infeksi dan stres juga dapat
Berdasarkan International Stroke Trial dan Chinese Acute Stroke Trial yang
menyatakan bahwa 75%-82% pasien memiliki tekanan darah sistolik >140 mmHg
pada 48 jam pertama terjadinya stroke akut (Alghifari & Andina, 2017).
darah atau hipertensi pada pasien dengan stroke akut bahkan pasien yang
tekanan darah. Pada 24 jam pertama fase akut stroke, lebih dari 60% pasien
datang dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg dan lebih dari 28% memiliki
volume output atau jumlah darah yang masuk ke arteri setiap kontraksi ventrikel.
Pada orang yang sehat denyut nadi mencerminkan detak jantung, yaitu denyut
nadi sama dengan tingkat kontraksi ventrikel dari jantung (Berman, Snyder &
Frandsen, 2016).
Denyut nadi dikontrol oleh sistem saraf pusat yang menerima umpan balik
dari reseptor sensorik yang berada pada dinding pembuluh darah. Peningkatan
meningkatkan frekuensi denyut nadi, yang berperan sangat penting dalam hal
untuk segera mengurangi impuls dari saraf simpatis (Barret, Barman, Baitano &
Brooks, 2014).
keseimbangan antara penghambatan oleh saraf vagus dan stimulasi dari saraf
diblokir, maka frekuensi denyut nadi istirahat dari rata-rata 70 denyut permenit
akan meningkat menjadi 100 denyut permenit. Peningkatan frekuensi denyut nadi
Aktivitas dari saraf ini dikendalikan oleh sistem pengaturan yang terletak di
batang otak yaitu pusat kendali jantung. Di samping saraf simpatis dan
parasimpatis, denyut nadi juga diatur oleh sistem hormonal yaitu epinefrine dan
rangsangan simpatis yang berfungsi mengatur irama jantung. Cara yang sama juga
dilakukan oleh hormon norepinefrine (Barret, Barman, Baitano & Brooks, 2014).
Denyut nadi dan tekanan darah saling berhubungan. Denyut nadi adalah
gelombang darah yang diciptakan oleh kontraksi ventrikel kiri jantung. Secara
umum, gelombang nadi merupakan representasi volume output atau jumlah darah
yang masuk ke arteri setiap kontraksi ventrikel. Pada orang yang sehat, denyut
nadi mencerminkan detak jantung, yaitu denyut nadi sama dengan tingkat
kardiovaskular, detak jantung dan denyut nadi dapat berbeda (Berman, Snyder &
Frandsen, 2016).
pertambahan usia, denyut nadi secara bertahap menurun secara keseluruhan, (2)
jenis kelamin, setelah pubertas, rata-rata denyut nadi pria sedikit lebih rendah
daripada denyut nadi wanita, (3) olahraga, denyut nadi biasanya meningkat
dengan aktivitas, (4) demam, suhu tubuh yang meningkat akan menyebabkan
peningkatan denyut nadi akibat dari (a) respons terhadap penurunan tekanan darah
yang dihasilkan dari vasodilatasi perifer terkait dengan peningkatan suhu tubuh,
denyut nadi. Pada orang dewasa, hilangnya volume sirkulasi akan menyebabkan
mengkompensasi volume darah yang hilang, (7) stres, menanggapi stres, stimulasi
ketakutan dan kecemasan serta persepsi sakit parah akan menstimulasi sistem
simpatik, (8) posisi tubuh, ketika terjadi beberapa gerakan pada saat berdiri atau
saat duduk akan meningkatkan denyut nadi sebanyak 5-10 denyut permenit.
Perubahan dari duduk ke berdiri atau sebaliknya dari berdiri ke duduk disebabkan
karena aktivitas dari reflek sinus karotis, dan (9) patologi, penyakit tertentu seperti
beberapa kondisi jantung atau gangguan oksigenasi dapat mengubah denyut nadi
Pupil
di bagian dorsal talamus dan basal ganglia. Ada beberapa akson dari serabut
motorik nervus III yang berjalan menyilang di daerah nukleus dan kemudian
saraf ini berjalan di antara arteri serebri posterior dan arteri sereberalis superior
(Guyton, 2008).
terhadap tekanan waktu herniasi) dan masuk ke dalam sinus kavernosus. Dari sini
nervus III akan memasuki rongga orbita melalui fisura orbitalis superior. Serabut
parasimpatis akan meninggalkan saraf III dan akan bergabung dengan gaglion
siliaris. Sewaktu memasuki orbita, serabut somatik nervus III akan pecah menjadi
dua, yaitu cabang atas/dorsal akan terus menuju palpebra dan muskuus rektus
berhubungan satu sama lain, namun dianggap berbeda yaitu jalur parasimpatik
untuk konstriksi pupil dan jalur simpatik untuk dilatasi. Konstriksi pupil
dikendalikan oleh otot sfingter iris. Otot sfingter iris melingkari pupil seperti tali
yang akan mengurangi ukuran pupil ketika berkontraksi. Otot sfingter iris
dipesarafi oleh sistem saraf parasimpatik, bagian dari sistem saraf otonom, dan
Alur terjadinya konstriksi pada pupil adalah: (1) ketika cahaya jatuh pada
retina, impuls saraf dikirim sepanjang saraf optik ke kiasma optik, (2) kemudian
kiasma optik menggabungkan input dari retina di kedua mata dan mengaturnya
pretektal (PN) (yaitu, informasi dari bidang visual kiri menuju ke nukleus
pretektal di sisi kanan dan bidang visual kanan menuju ke nukleus di sisi kiri), (3)
Setiap EWN menerima input dari nukleus pretektal kiri dan kanan, yaitu EWN
kiri dan kanan menerima input dari kedua mata dan kedua bidang visual kemudian
menggabungkan informasi dari sisi visual kiri dan kanan, (4) dari EWN, informasi
dikirim melalui saraf Okulomotorius (III) menuju ganglion siliari (CG) yang
terletak tepat di belakang mata, dan (5) dari dari ganglion siliari, informasi dikirim
Dilatasi pupil dikendalikan oleh otot dilator iris. Otot dilator ini terdiri dari
serat yang berorientasi radial, dan menghubungkan bagian luar iris dengan bagian
dalam iris. Otot dilator iris dikendalikan oleh sistem saraf simpatik, ketika otot
dilator berkontraksi akan menarik bagian dalam iris ke arah luar, sehingga
memperbesar ukuran pupil. Jalur dilatasi adalah jalur subkortikal yang dimulai
dari hipotalamus dan lokus coeruleus (LC) dan menghubungkan ke otot dilator
Alur terjadinya dilatasi pada pupil adalah: (1) lokus coeruleus (LC) sangat
hipotalamus adalah struktur yang rumit dengan banyak koneksi dan subnukleus;
Hipotalamus dan LC juga memiliki koneksi rangsangan timbal balik, (3) proyeksi
IML ke ganglion servikal superior (SCG), terletak tepatt di luar sumsum tulang
belakang, dan (5) proyeksi SCG, melalui jaringan saraf yang rumit ke otot iris
berinteraksi melalui tiga cara, yaitu: (1) lokus coeruleus (LC) menghambat EWN;
parasimpatik pada EWN (Steinhauer, Siegle, Condray, & Pless, 2004), (2)
demikian pula, lapisan menengah dari colliculus superior (iSC), yang tidak
dianggap sebagai bagian dari jalur pupil, menghambat EWN; mungkin, koneksi
penghambatan ini mendorong dilatasi pupil cepat disertai respon orientasi (C.
Wang & Munoz, 2015), (3) respon cahaya pada pupil ada dua yaitu respon
cahaya mendorong konstriksi pupil melalui jalur langsung, dan dilatasi pupil
serebri, akan terjadi kompresi saraf okulomotor (saraf kranial III) mengakibatkan
Tanda-tanda ini dapat diakibatkan oleh pergeseran otak dari garis tengah
(midline), sebuah proses kompresi saraf kranial III, paralisis spinkter pupil
(Corwin, 2009).
juga dapat terpengaruh seperti saraf optik (II), saraf troklear (IV), dan saraf
abdusen (VI). Tanda disfungsi saraf kranial termasuk pandangan kabur, diplopia,
mekanisme dilatasi pupil selain adanya kompresi saraf kranial III. Dilatasi pupil
diakibatkan oleh berkurangnya aliran darah menuju batang otak (iskemia batang
otak).
Hasil penelitian Ritter, Mauzilaar, Barnes, Choi, Fatourus, Ward & Bullock
aliran darah menuju batang otak (iskemia), karena tidak semua pasien dengan
Area otak yang mengurusi motorik atau gerakan berasal dari area otak yang
langsung antara korteks dan medulla spinalis (Black & Hawks, 2009). Fungsi dari
menegakkan postur.
dan beberapa otak tengah. Dua struktur otak lain yang penting untuk fungsi motor
yaitu serebelum dan ganglia basalis. Aktifitas serebelum dan ganglia basalis ini
dekat sel saraf motor. Dalam perjalanan menuju pons, serat motor menyatu
menjadi ikatan yang erat dan dikenal kapsul internal. Cedera yang relatif kecil
pada kapsul internal menyebabkan kelumpuhan yang lebih parah daripada cedera
yang lebih besar pada korteks itu sendiri (Brunner & Suddarth, 2010).
Sampai titik ini, dikenal sebagai neuron motorik atas (upper motor neuron).
Saat terhubung dengan serat motor dari saraf tulang belakang, makaakan menjadi
neuron motorik bawah (lower motor neuron). Neuron motor bawah menerima
Aktivitas motorik dimediasi oleh tiga area kortek yakni, area motorik primer
(area 4 broadman), area premotor (area 6 broadman) dan area motorik tambahan.
individual pada berbagai bagian tubuh. Sedangkan fungsi dari area premotorik
pada area motorik primer. Area ini terutama berperan untuk mengontrol gerakan
informasi dari area lain di kortek dan basal ganglia ke kortek motorik primer
(Gordon, 2005).
terkoordinasi dihasilkan dari kerja kortek motorik yang dibantu oleh basal ganglia
rangsangan di sepanjang seratnya. Stimulasi sel-sel ini dan arus listrik akan
pusat motor membutuhkan informasi yang konstan dari reseptor otot, sekitar sendi
dan pada kulit, mengenai apakah gerakan sesuai dengan perencanaan (Black &
Hawks, 2009).
Sebuah perencanaan motorik dibuat oleh area premotor yang nantinya akan
dieksekusi oleh area motorik primer. Gerakan yang dihasilkan oleh kortek
motorik primer masih kasar, sehingga perlu dikontrol oleh area premotor yang
berhubungan dengan basal ganglia. Dengan peran dari basal ganglia maka gerakan
yang dihasilkan akan lebih terkontrol (Gordon, 2005). Setiap saraf motorikyang
menanggapi rasa sakit atau rangsangan dapat menyebabkan kekakuan dan postur
tubuh yang abnormal jika saluran motor terganggu pada tingkat tertentu. Respon
tidak normal jika saluran motorik terganggu. Postur abnormal ini disebut
dekortikasi dan deserebrasi. Dalam beberapa kasus, postur tubuh dapat terlihat
serebral pada tingkat tertentu serta perubahan pada kondisi pasien (Hickey, 2009).
dan jari tangan, dengan abduksi ekstremitas atas, rotasi internal, dan fleksi plantar
tangan berpaling dari tubuh dan dengan kaki yang kaku dan fleksi plantar pada
kaki. Respon ini terjadi akibat kerusakan rostral-ke-kaudal, saat lesi diencephalon
meluas dan melibatkan otak tengah dan batang otak bagian atas (Porth, 2011).
Postur deserebrasi terjadi ketika kerusakan telah meluas ke batang otak (Casey,
2013).
dan hiperpronasi lengan dengan kekakuan yang meluas pada kaki dan fleksi
atas dan bawah. Respon ini muncul akibat kerusakan rostral sampai kaudal, yang
akan terjadi bila terjadi lesi pada diansefalon yang meluas sehingga menyebabkan
terganggu tergantung bagian otak yang diperdarahi oleh arteri. Beberapa tanda
dan gejala stroke berdasarkan arteri serebral yang terlibat adalah: (Hickey, 2009;
Tabel 4: tanda dan gejala kerusakan otak berdasarkan pembuluh darah otak yang terlibat
penurunan aliran darah serebral, dan perluasan area yang rusak. Aliran darah
serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh
darah yang cukup ke otak juga dapat meminimalkan hipoksia serebral, seperti
akan membantu dalam menjaga oksigenasi jaringan (Brunner & Suddarth, 2010).
aliran darah serebral dan berpotensi memperpanjang area cedera. Kejang juga bisa
membahayakan aliran darah serebral, yang mengakibatkan luka lebih lanjut pada
Vasospasme
morbiditas dan mortalitas pada pasien perdarahan subarachnoid awal (Brunner &
saat bekuan darah mengalami lisis dan kemungkinan terjadinya perdarahan ulang
vaskular, yang menghambat aliran darah serebral dan menyebabkan iskemia otak
dan infark. Tanda dan gejala vasospasme mencerminkan area otak yang terkena,
Hipertensi
Hipertensi sering kali dijumpai pada pasien dengan stroke akut bahkan
pasien yang sebelumnya normotensi sekalipun pada fase akut dapat mengalami
peningkatan tekanan darah. Pada 24 jam pertama fase akut stroke lebih dari 60%
pasien datang dengan tekanan darah sistolik >160 mmHg dan lebih dari 28%
bertujuan untuk meningkatkan tekanan perfusi otak sehingga aliran darah akan
bertambah berat. Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat pada stroke akut
dapat memperluas infark dan perburukan neurologis (Brunner & Suddarth, 2010).
ketiga komponen di dalam tengkorak yaitu otak sekitar 80% dari volume total
atau (1.400 g), cairan serebrospinal (sekitar 10% atau 75 mL) dan darah (sekitar
10% atau 75 mL). Tekanan intrakranial normal adalah 0-15 mmHg, apabila nilai
otak. Ada tiga jenis edema serebral yaitu: (1) edema vasogenik, (2) edema
Edema interstisial
Edema ini merupakan akibat dari transudasi cairan serebrospinal pada kasus
2014).
Edema sitotoksik
Merupakan pembengkakan elemen sel otak (neuron, glia, dan sel endotel)
akumulasi natrium intraseluler serta diikuti oleh mengalirnya air ke dalam sel
semua sel termasuk sel endotel, astrosit, dan neuron. Akibatnya, sel-sel tersebut
bengkak maka rongga interstisial akan menyempit. Dua penyebab utama dari
edema sitotoksik adalah hipoksia dan intoksikasi air (Satyanegara, 2014). Edema
sitotoksik ini terjadi pada wilayah gray matter otak, dan edema sitotoksik
Edema sitotoksik dapat melibatkan jaringan otak yang lebih banyak, efek
memiliki viabilitas dengan prognosis buruk. Pada daerah ini, jaringan menjadi
menurunkan aliran darah otak yang akan menyebabkan iskemia jaringan lebih
banyak dan akan menyebabkan lebih banyak edema (Lopez, Afshinnik &
Samuels, 2011).
Edema vasogenik
vasogenik biasanya terjadi pada wilayah white matter otak. Edema ini terjadi
akibat peningkatan permeabilitas kapiler yaitu tight junction sel endotel kapiler
menjadi tidak kompeten karena kerusakan sawar darah otak sehingga filtrat
plasma bocor dari ruang intravaskuler keluar menuju ruang interstisiel. Kebocoran
sawar darah otak dapat terjadi karena beberapa keadaan seperti cedera kepala,
esktrasel yang terjadi karena kebocoran sawar darah otak. Akibatnya terjadi
peningkatan tekanan osmotik dan cairan ke luar dari pembuluh darah dan
keluar melalui endotel dengan mekanisme pinositosis dan atau tight junction yang
bocor.
Edema vasogenik akan terbentuk secara progresif pada 24 jam pertama dan
akan meningkat dengan cepat 3 hari setelah serangan stroke. Pembentukan edema
ini akan terus terjadi dengan lambat hingga 9-14 hari kemudian menurun (Zheng,
Formasi edema serebral terjadi melalui tiga fase, yaitu (1) pada beberapa
jam pertama setelah terjadi stroke hemoragik terjadi pembentukan bekuan darah,
sel darah merah yang intak dalam area hematoma, (2) setelah kaskade koagulasi
menjadi aktif dalam 24-48 jam berikutnya trombin menjadi aktif dan merusak
ekstraseluler (edema vasogenik), dan (3) fase ketiga muncul saat sel-sel darah
persediaan darah yang memadai dan terbentuk kaskade iskemik, titik akhir dari
proses ini adalah disfungsi neuron dan kematian neuron. Di tengah daerah iskemik
adalah inti dari sel mati atau sekarat yang dikelilingi oleh area iskemik dari sel
yang bertahan yang disebut penumbra. Sel-sel penumbra akan menerima aliran
sangat responsif terhadap faktor metabolisme kimia dan tekanan perfusi yang
Hal ini, pada gilirannya akan menyebabkan fungsi seluler yang tidak efektif dan
lisis seluler, dan masuknya ion kalsium ke neuron postsinaps) (Hickey, 2009).
yang menghasilkan radikal bebas oksigen dan oksida nitrat. Hal ini menyebabkan
kembali sirkulasi yang memadai, jumlah produk akhir yang ada, edema serebral,
dan perubahan aliran darah lokal. Jika sel-sel penumbra mati, inti jaringan yang
mati akan membesar dan volume jaringan sekitarnya berisiko meningkat (Hickey,
2009).
Penurunan tekanan
perfusi serebral (CPP)
Peningkatan aliran
darah serebral (CBF)
Hipoksia
Vasodilatasi/kerusa Peningkatan
kan autoregulasi CO²
Manifestasi klinis
tergantung pada penyebab, lokasi dan laju peningkatan tekanan yang terjadi.
Beberapa tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial menurut Williams &
Hopper (2007) adalah muntah, sakit kepala, dilatasi pupil pada bagian otak yang
Menurut Rajesh, Hepner & Krisnakumar (2017), beberapa tanda dan gejala
Terapi Hiperosmolar
perfusi jaringan serebral dan meningkatkan aliran darah otak karena memiliki efek
Manitol
Manitol adalah zat alami yang ditemukan dalam ganggang laut, jamur segar,
dan dalam eksudat dari pohon. Manitol bersifat asam (pH 6.3) dan dapat
mengkristal jika disimpan pada suhu kamar, tetapi dapat dibuat larut lagi dengan
Fakmakokinetik Manitol
gula yang berukuran kecil (molekul yang mempunyai berat <500 da termasuk
Dengan berat molekulnya yang rendah (182), manitol secara bebas disaring
melalui tubulus ginjal. Namun, karena tidak diserap maka akan terus menjadi
osmotik aktif dalam tubulus, hal inilah yang menyebabkan aksinya sebagai
hanya sedikit yang masuk ke dalam sel. Sehingga, hanya 7% hingga 10% yang
dalam waktu 30-60 menit. Dengan fungsi ginjal normal, half life manitol dalam
Farmakodinamik Manitol
dan tekanan osmosis kapiler bekerja berlawanan arah pada dinding kapiler.
intravaskuler, sehingga edema otak akibat peningkatan kadar air dalam jaringan
otak akan menurun. Selain itu, peningkatan cairan dalam intravaskuler juga akan
manitol dan akan meningkat kembali ke kadar normal 6 jam pasca pemberian
peningkatan aliran darah serebral (Dringer, Scalfani, Zazulia,, Videen, Dhar &
Power, 2012).
Efek penurunan hematokrit oleh manitol ini terjadi pada tahap hemodilusi
mekanisme penurunan tekanan intrakranial oleh manitol terjadi dalam dua tahap
yakni: (1) tahap hemodilusi, terjadi akibat interaksi sistemik dengan serebral. Efek
sistemik yang terjadi adalah efek sirkulasi berupa peningkatan cardiac output
sampai 30% dan peningkatan tekanan pengisian jantung yang akan menyebabkan
peningkatan velositas aliran darah serebral, tekanan pembuluh darah vena dan
Dosis Manitol
adalah 0,25-1 g/kgBB dengan dosis awal sebesar 0,5-1 g/kgBB, diberikan secara
bolus larutan manitol 20% selama 20 menit, diikuti oleh 0,25-0,5 g/kgBB tiap 4-6
jam. Pada situasi peningkatan tekanan intrakranial yang gawat, terapi mannitol per
infus dengan dosis 0,5-1,5 g/kg BB diberikan dengan diguyur, dan kemudian
dilanjutkan dengan dosis 0,25-0,5 g/kg BB tiap 4-6 jam untuk memelihara
Efek klinis segera dapat diperoleh dalam waktu 15 menit dan berakhir
setelah satu sampai beberapa jam, dimana pada jeda waktu tersebut terbentuk
gradien antara plasma dan sel. Efek klinis dapat bertahan selama periode yang
bervariasi antara 90 menit hingga 6 jam atau lebih tergantung pada kondisi klinis
intrakranial, efek samping pemberian terapi diuretik osmotik ini juga harus
diperhatikan, yaitu: (1) vasodilatasi sistemik dan serebral sesaat bila diberikan
dalam dosis besar dan cepat, (2) hipovolemia intravaskuler sesaat yang
hemokonsentrasi, (8) hiperglikemia, (9) asidosis metabolik, dan (10) gagal ginjal
(Satyanegara, 2014).
Terapi obat merupakan bagian penting dalam perawatan pasien dan tidak
dapat dilihat secara terpisah dari pasien, penyakit pasien atau aspek perawatan
lainnya. Sehingga agar terapi obat menjadi efektif dan aman harus diintegrasikan
keselamatan pengobatan. Mulai dari memesan obat sesuai order, menyimpan dan
meracik obat sesuai order hingga memberikan obat kepada pasien. Perawat harus
pasien, (2) benar obat, (3) benar dosis, (4) benar waktu, (5) benar rute, (6) benar
indikasi, dan (7) benar dokumentasi (Hicks, Wanzer & Denholm, 2012).
Fase akut stroke adalah jangka waktu antara awal mula serangan stroke
berlangsung sampai satu minggu. Penatalaksanaan stroke fase ini ditujukan untuk
stroke akut dan terapi obat pasien. Elemen kunci perawat dalam pengobatan pada
72 jam pertama stroke akut menurut Middleton, Grimley & Alexandrov, (2015)
Status Neurologis
(Moorhead, Johnson, Maas & Swanson, 2013). Semua pasien stroke akut harus
dipantau status neurologis dan tanda-tanda vital secara terus menerus, karena
karena pada pasien stroke fase akut terjadi perubahan hemodinamik seiring
dengan pecahnya pembuluh darah otak dan munculnya edema serebral serta
tekanan darah otak ke titik dimana aliran darah serebral atau cerebral blood flow
(CBF) dapat turun ke tingkat yang menyebabkan iskemia dan cedera otak
sekunder. Penurunan aliran darah serebral ini akan menurunkan volume darah
serebral atau cerebral blood volume (CBV) dan perubahan oksigenasi kapiler dan
Menurut Zauner & Muizelaar (1997), terdapat hubungan antara aliran darah
serebral (CBF) dengan aktivitas neuron, yaitu peningkatan aliran darah serebral
Hasil penelitian Bouma, Muizelaar, Choi, Newlon & Young (1991) juga
menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara aliran darah serebral (CBF) dengan
skor motorik pasien, yaitu peningkatan aliran darah serebral akan meningkatkan
skor motorik pasien. Aliran darah serebral juga berkorelasi dengan ukuran pupil.
Hal ini terkait dengan penurunan atau peningkatan aliran darah ke batang otak
pemeriksaan status neurologis pada pasien sadar (dapat mengikuti perintah), dan
(2) pemeriksaan status neurologis pada pasien tidak sadar (tidak dapat mengikuti
perintah). Pemeriksaan status neurologis pada pasien tidak sadar (tidak dapat
(2) pemeriksaan pupil, dan (3) pemeriksaan beberapa saraf kranial (III, V, dan
Pemeriksaan kesadaran
penting proses pemeriksaan neurologis. Salah satu metode yang paling umum
Scale (GCS). GCS pertama kali didefinisikan oleh Sir Graham Tisdale dan Bryan
Ada tiga parameter yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran dengan
GCS yaitu membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Nilai maksimum
motorik terbaik (M)= 6, dan respon verbal (V)= 5 (Bhaskar, 2017). Nilai tertinggi
Glasgow coma scale (GCS) adalah 15 dan yang terendah adalah tiga. Pasien yang
Berikut ini merupakan metode penilaian GCS (Bhaskar, 2017): (1) check:
pembengkakan mata, cedera jalan napas, cedera anggota badan dan minuman
keras, (2) observe: melihat gerakan spontan pasien, misalnya membuka mata dan
menggerakan anggota badan, (3) stimulate: jika telah dipastikan tidak ada respon
spontan maka lakukanlah stimulasi dan lihat respon pasien, dan (4) rate: setelah
stimulasi berbagai parameter, skor dicatat dan ditotalkan sesuai klasifikasi skor
GCS.
otak tengah, pons, dan medulla. Pemeriksaan saraf kranial pada pasien sadar dapat
dilakukan pada semua saraf kranial, namun pada pasien yang mengalami
tekanan darah otak ke titik dimana aliran darah serebral atau cerebral blood flow
(CBF) dapat turun ke tingkat yang menyebabkan iskemia dan cedera otak
sekunder. Penurunan aliran darah serebral ini akan menurunkan volume darah
serebral atau cerebral blood volume (CBV) dan perubahan oksigenasi kapiler dan
dihasilkan akibat edema serebral akan menyebabkan invaginasi nodus renvier dan
pasien terdiri dari: (1) tekanan darah, (2) suhu tubuh, (3)denyut nadi, (4) frekuensi
Kerangka Konsep
Stroke
Edema Serebral
Peningkatan
tekanan intrakranial
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
termasuk dalam desain penelitian observasional analitik. Pada desain ini peneliti
2015).
Adam Malik Medan dan ruang unit stroke rumah sakit Pirngadi Medan. Alasan
pemilihan tempat penelitian adalah karena Rumah Sakit Adam Malik Medan dan
rumah sakit Pirngadi adalah rumah sakit pemerintah yang dikelola pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara yang menjadi pusat
untuk mencapai jumlah responden yang dapat mewakili populasi. Penelitian ini
Populasi
Populasi merupakan suatu kelompok tertentu dari individu atau elemen yang
menjadi fokus penelitian. Sasaran populasi yaitu seluruh himpunan individu atau
elemen yang memenuhi kriteria sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah
74
seluruh pasien stroke hemoragik fase akut yang dirawat di ruang Stroke Corner
(SC) RSUP Adam Malik Medan dan unit stroke rumah sakit Pirngadi Medan.
Sampel
Sampel adalah bagian atau elemen dari populasi yang diharapkan dapat
mewakili karakteristik populasi tersebut. Pada penelitian ini, jenis sampling yang
digunakan adalah purposive, yaitu suatu metode pemilihan sampel yang dilakukan
berdasarkan maksud atau tujuan tertentu yang ditentukan oleh peneliti (Dharma,
sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria inklusi dalam
penelitian ini adalah: (1) pasien dengan diagnosa stroke hemoragik yang
ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan head CT-scan, (2) berada pada fase
akut (< 72 jam), (3) mendapat terapi manitol, dan (4) bersedia menjadi responden.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: (1) memiliki riwayat gangguan
neurologi, (2) berada pada fase kronik, (3) pasien yang meninggal < 72 jam (fase
akut) dan (4) pasien yang menerima terapi manitol lebih dari 3 hari setelah
serangan stroke.
oleh peneliti. Dalam penelitian ini, desain penelitian adalah kohort sehingga
₂
n= ₂
Keterangan:
n : Jumlah sampel
𝑧 𝛼 ₂
sehingga, : Standar normal deviasi untuk α, (jika α: 0,05, maka z: 1,960)
σ : Standar deviasi dari penelitian terdahulu (SD = 4,52)
d n= : Deviasi dari mean prediksi (absolute precision)
n=
n=
n = 31
mengantisipasi kemungkinan subjek atau sampel yang dipilih drop out maka perlu
penambahan jumlah sampel 10%, maka besar sampel yang dibutuhkan adalah 34
orang.
Tahap persiapan
Selanjutnya, peneliti mengajukan surat lulus uji etik (ethical clearance) kepada
pengambilan data dan lulus uji etik dikeluarkan, peneliti mengajukan permohonan
izin untuk melaksanakan penelitian kepada Direktur RSUP. Adam Malik Medan
dan rumah sakit Pirngadi Medan melalui bagian pendidikan dan penelitian.
Setelah surat izin penelitian dikeluarkan, selanjutnya peneliti meminta izin kepada
kepala ruangan stroke corner neurologi RSUP. Adam Malik Medan dan ruangan
unit stroke rumah sakit Pirngadi Medan serta menjelaskan tujuan dan membuat
perubahan status neurologis dan tanda-tanda vital pasien stroke akut setelah
pemberian manitol.
Tahap Pelaksanaan
vital adalah satu jam atau dua jam pertama setelah pemberian manitol, karena
efek klinis segera dapat diperoleh dalam waktu 15 menit dan berakhir setelah
terhadap cahaya), refleks kornea, facial grimace, serta tanda-tanda vital (tekanan
kesehatan dahulu.
oleh Teasdale dan Jennett. Glasgow coma scale (GCS) atau skala koma Glasgow
adalah suatu skala yang digunakan secara luas sebagai pengukuran klinis
dan motorik penderita (Lewis, Dirksen, Heitkemper, Margaret & Bucher, 2012).
kesadaran adalah saraf kranial III, V, VII, IX, dan X. Namun, pemeriksaan saraf
intrakranial.
pasien sadar maupun tidak sadar. Poin umum yang harus diperhatikan saat menilai
pupil adalah ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya. Penilaian ukuran pupil
menyinari mata, pupil akan segera menyempit dan saat cahaya dijauhkan pupil
akan melebar dengan segera dan cepat. Nilai reaksi pupil terhadap cahaya adalah:
(1) pupil kiri dan kanan reaktif terhadap cahaya, (2) salah satu pupil reaktif
terhadap cahaya dan (3) pupil kiri dan kanan tidak reaktif terhadap cahaya. Lesi
pada talamus menunjukkan pupil yang kecil dan reaktif terhadap cahaya,
sedangkan lesi pada pontine, pupil tidak reaktif terhadap cahaya. Herniasi
Saraf kranial V
pasien, kemudian mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujungnya dibuat
(Lumbantobing, 2012). Hasil yang didapatkan adalah refleks berkedip (blink) ada
lubang hidung. Hasil: meringis (grimace) seluruh wajah, bandingkan hasil secara
Tanda-tanda vital
Tekanan darah
Tekanan darah diukur dengan sphygmomanometer air raksa merk GEA, dan
Hasil pengukuran tekanan darah yang didapat adalah (1) optimal: sistolik < 120
mmHg, diastolik < 80 mmHg; (2) normal: sistolik 120-129 mmHg, diastolik 80-
84 mmHg; (3) normal tinggi: sistolik 130-139 mmHg, diastolik 85-89 mmHg; (4)
hipertensi derajat 3: sistolik ≥ 180 mmHg, diastolik ≥ 110 mmHg; dan (7)
Respirasi
dalam waktu satu menit. Hasil pengukuran frekuensi respirasi yang didapat
adalah: (1) normal: 16-24x/menit, (2) takipnea >24x/menit, dan (3) bradipnea
<16x/menit.
Suhu
dengan merk Dr. Care. Termometer yang digunakan dalam penelitian ini telah
yang didapat adalah: (1) normotemia 36,5-37,5°C, (2) hipertermia >37,5°C, dan
Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada titik nadi radial dengan cara menghitung
denyut nadi dalam waktu satu menit. Hasil pengukuran denyut nadi yang didapat
adalah: (1) normal: 60-100 x/menit, (2) takikardia > 100 x/menit, dan (3)
Penelitian ini dibantu oleh 4 asisten peneliti yang memiliki latar belakang
menggunakan asisten peneliti di dua rumah sakit tempat penelitian yaitu RSUP H.
Adam Malik medan dan RSU. Dr. Pirngadi Medan. Dalam menentukan asisten
peneliti, peneliti utama tidak melakukan uji interabilitas namun dipilih sesuai
standar yang sebelumnya telah ditetapkan. Setelah memilih asisten peneliti maka
responden yang terdiri dari penilaian tingkat kesadaran dengan instrumen tingkat
kesadaran Glasgow Coma Scale dan penilaian saraf kranial serta penilaian tanda-
tanda vital. Pelatihan ini dilakukan dengan menggunakan media proposal tesis dan
dalam penilaian tingkat kesadaran dan saraf kranial peneliti dan asisten peneliti
Ukuran pupil penilaian ukuran pupil kiri dan Pemeriksaan Ukuran pupil normal: Ordinal
(Saraf kranial III) kanan fisik 3-4 mm & isokor
Dilatasi (midriasis >5
mm) unilateral
Dilatasi (midriasis >5
mm) bilateral
Konstriksi (miosis: <
3 mm) unilateral
Konstriksi (miosis: <
3 mm) bilateral
Reaktivitas terhadap
Refleks pupil penilaian ukuran dan respon Pemeriksaan cahaya Ordinal
(Saraf kranial III) pupil terhadap rangsangan fisik Pupil kiri dan kanan
cahaya yang diberikan reaktif terhadap
cahaya
Salah satu pupil
reaktif terhadap
cahaya
Pupil kiri dan kanan
tidak reaktif terhadap
cahaya
Simetris
Otot-otot wajah Penilaian facial grimacing Pemeriksaan Asimetris Ordinal
(Saraf kranial pada pasien setelah diberi fisik
VII) rangsangan nyeri
paru-paru ke atmosfer
Normotemia 36,5-
Suhu Suhu tubuh adalah perbedaan Pemeriksaan 37,5°C Rasio
antara jumlah panas yang fisik Hipertermia >
diproduksi oleh proses tubuh 37,5°C
dan jumlah panas yang hilang
ke lingkungan luar
Hipotermia < 36,5
°C
Normal: 60-100
Nadi Denyut nadi adalah gelombang Pemeriksaan x/menit Rasio
darah yang dibentuk oleh fisik Bradikardia <60
kontraksi ventrikel kiri jantung x/menit
Takikardia >100
x/menit
Metode Pengukuran
kesadaran digunakan Glowscoma Scale (GCS), penilaian saraf kranial dan tanda-
sphygmomanometer air raksa dengan merk GEA, stetoskop dengan merk GEA
dan thermometer digital dengan merk Dr. Care. Penilaian status neurologis dan
tanda-tanda vital dilakukan setelah 10 menit hingga satu jam pemberian manitol.
Validitas
suatu alat ukur atau sejauh mana sebuh instrumen mampu mengukur apa yang
seharusnya diukur (Polit & Beck, 2012). Nilai validitas yang diukur yaitu
menggunakan Content Validity Index (CVI), yaitu uji validitas yang dilakukan
untuk menilai relevansi dari masing–masing item terhadap apa yang akan di ukur
oleh peneliti. Nilai CVI yang dipertimbangkan yaitu ≥ 0,80 dan 0,90 merupakan
nilai yang dianjurkan sebagai nilai standard yang baik. Nilai CVI yang didapatkan
Reliabilitas
alat ukur, dapat diandalkan dan tetap konsisten bila dilakukan pengukuran ulang
(Polit & Back, 2012). Uji reliabilitas penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam
Malik Medan.
Menurut Wood dan Haber (2006), terdapat tiga metode untuk menentukan
reliabilitas suatu instrumen yang dilakukan dengan cara menilai apakah 2 orang
yang baik akan menghasilkan nilai uji kesepakatan yang baik pula (Dharma,
2015).
Agreement dan Cohen’s Kappa dilakukan untuk menilai reliabilitas dari suatu
instrumen yang mneghasilkan data nominal dari suatu hasil observasi. Sedangkan
untuk data berskala interval dan rasio dilakukan menggunakan uji Pearson’s
Dari beberapa variabel yang diteliti dalam penelitian ini terdapat variabel
yang berskala ordinal yaitu refleks kornea, facial grimacing, ukuran pupil, respon
pupil terhadap cahaya, sehingga untuk variabel ini uji reliabilitas dilakukan
dengan metode Cohen’s Kappa. Sedangkan untuk variabel yang berskala interval
dan rasio adalah variabel nilai GCS, tekanan darah, frekuensi pernafasan, denyut
nadi dan suhu tubuh di uji dengan Pearson’s Product Moment Correlation.
Cohen’s Kappa
agreement yang aktual dan proportion agreement yang terjadi karena peluang.
atau
berikut (Fleiss, 1981): (1) rendah: 0,00 – 0,40, (2) sedang: 0,41 – 0,59, (3) baik:
0,60 – 0,74, dan (4) sangat baik: 0,75 - 1,00. Dari beberapa variabel yang diuji
variabel adalah 0,6 yang berarti nilai reliabilitas antar observer adalah baik.
Untuk data berskala interval atau rasio, uji reliabilitas dilakukan dengan
adalah:
Untuk mendapatkan nilai r, terlebih dahulu menghitung ∑X, ∑Y, X², Y²,
antara observer.
variabel dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara hasil
pengukuran observer.
Pengolahan data
Data yang telah terkumpul melalui lembar observasi diolah melalui empat
tahapan yaitu :
Editing
Proses ini dilakukan selama berada dengan konsumen atau dilapangan sehingga
apabila ada data yang meragukan, salah atau tidak diisi dapat dikonfirmasi
Coding
kode untuk masing-masing kelas terhadap data yang diperoleh dari sumber data
yang telah diperiksa kelengkapannya. Data-data yang berupa angka atau tulisan
Entry Data
entry data dari instrument penelitian kedalam komputer melalui program statistik.
Cleaning
terhadap data yang sudah di entri apakah ada kesalahan atau tidak.
Analisa data
Ananlisis Univariat
adanya tanpa membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.
Analisis ini hanya berupa akumulasi data dasar dalam bentuk deskripsi
semata dalam arti tidak mencari atau menerangkan hubungan, menguji hipotesis
yang berhubungan dengan perubahan status neurologis dan tanda vital pasien
menggunakan aplikasi SPSS for windows 15.0. sehingga hasilnya bisa didapat
berupa frekuensi dan presentasi (proporsi) yang disajikan dalam bentuk narasi
dan kurva.
Pertimbangan Etik
dasar etik penelitian yang terdiri dari beneficience, respect for human dignity dan
justice (Polit & Beck, 2012). Pertimbangan etik terkait penelitian ini dilakukan
Asas manfaat merupakan salah satu prinsip etik yang paling mendasar,
dalam hal ini peneliti harus menghindari segala macam resiko yang dapat
keuangan responden (Polit & Beck, 2012). Sebelum penelitian ini dilakukan,
keluarga sebagai salah satu langkah peneliti untuk mencegah terjadinya kerugian
partisipasi, informasi serta data yang diberikan tidak akan menimbulkan kerugian
pada responden dimasa yang akan datang (Polit & Beck, 2012). Peneliti
memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga bahwa informasi dan data
yang diberikan hanya utuk kepentingan penelitian dan hasil yang didapatkan
memiliki hak untuk memutuskan apakah akan berpartisipasi dalam penelitian atau
tidak serta menarik diri dari proses selama penelitian berlangsung tanpa adanya
rasa khawatir mendapatkan sanksi atau tuntutan hukum, bebas dari paksaan serta
ancaman (Polit & Beck, 2012). Selama proses penelitian berlangsung, peneliti
sangat menghargai dan menerima semua keputusan pasien yang dalam hal ini
diwakilkan oleh keluarga sehingga pasien atau keluarga terlibat dalam penelitian
secara sukarela.
dasar penting dalam informed concent (Polit & Beck, 2012). Sebelum penelitian
kesempatan untuk bertanya serta memutuskan apakah pasien dapat terlibat dalam
penelitian.
Hak untuk mendapatkan tindakan yang adil (the right to fair treatment)
maksud atau posisi tertentu. Responden diperlakukan sama tanpa adanya unsur
keyakinan, budaya serta sosial ekonomi responden (Polit & Beck, 2012).
informasi dirinya untuk dijaga kerahasiaannya (Polit & Beck, 2012). Dalam
penelitian ini peneliti menghargai privasi pasien, untuk menjaga privasi tersebut
HASIL PENELITIAN
status neurologis dan tanda-tanda vital pasien stroke akut yang mendapat terapi
manitol, yang terdiri dari gambaran umum tempat penelitian dan hasil analisa
univariat (deskripsi subjek penelitian, hasil analisa data variabel status neurologis
dan tanda-tanda vital setelah pemberian terapi manitol), dan hasil analisa data
Penelitian ini dilakukan di ruang stroke corner rumah sakit RSUP Adam
Malik Medan dan ruang unit stroke RSUD Dr. Pirngadi Medan. Penelitian
berlangsung pada bulan Januari sampai Maret 2018 dengan jumlah responden 34
orang, dengan diagnosa medis stroke hemoragik sesuai dengan kriteria inklusi dan
riwayat kesehatan dahulu, riwayat status merokok, jenis perdarahan dan lokasi
neurologis dan tanda-tanda vital setelah pemberian terapi manitol selama tiga hari.
95
Subjek dalam penelitian ini pasien adalah pasien stroke akut yang mendapat
terapi manitol. Deskripsi subjek penelitian ini terdiri dari usia, jenis kelamin,
perdarahan dan riwayat kesehatan dahulu. Dapat dilihat pada tabel berikut ini:
terapi manitol diketahui bahwa pada saat penelitian mayoritas berusia lansia awal
manitol mulai terjadi pada waktu 48 jam atau setelah mendapat terapi manitol
yang kelima yaitu sebanyak 12 pasien (35%) memiliki tingkat kesadaran baik
mengalami tingkat kesadaran yang baik (GCS 13-15), sedangkan 23 pasien (68%)
manitol pada pemberian pertama hingga pemberian kelima adalah 11,35. Pada
pemberian manitol keenam hingga keduabelas juga terjadi peningkatan nilai rata-
rata GCS pasien, masing-masing adalah 12,02, 12,20, 12,32, 12,32, 12,67, 12,82,
12,85.
Begitu juga pada waktu 24 jam berikutnya (hari ketiga) jumlah pasien
terapi manitol yang kesembilan jumlah pasien stroke akut dengan tingkat
kesadaran baik (GCS 9-12) bertambah menjadi 21 pasien (62%), dan jumlah
pasien yang memiliki tingkat kesadaran sedang (GCS 9-12) 13 pasien (38%).
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan
stroke akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel
dibawah ini:
nilai GCS diperoleh nilai GCS awal pasien stroke akut yang mendapat terapi
manitol terbanyak adalah 12-13 (52,9%) dan nilai GCS akhir pasien stroke akut
yang mendapat terapi manitol yang mengalami gangguan dimulai pada waktu 24
jam pertama setelah mendapat terapi manitol. Setelah mendapat terapi manitol
yang ke tiga, jumlah pasien yang memiliki ukuran pupil normal bertambah
menjadi 24 pasien (71%), setelah mendapat terapi manitol yang keempat jumlah
pasien stroke akut dengan ukuran pupil normal menjadi 30 pasien (88%)
Pada pemberian manitol hari kedua dan ketiga yaitu pemberian kelima
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan
rumah sakit Pirngadi perubahan status neurologis yaitu ukuran pupil pasien stroke
akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel
dibawah ini:
Ukuran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
pupil
f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Normal 2 5 2 5 2 7 3 8 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10
0 9 0 9 4 1 0 8 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0
Miosis 9 2 9 2 8 2 4 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Unilater 7 7 4 2
al
Midriasi 5 1 5 1 2 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
unilater 5 5
al
akut yang mendapat terapi manitol yang mengalami gangguan dimulai pada waktu
24 jam pertama. Setelah mendapat terapi manitol yang ke tiga, jumlah pasien yang
memiliki reaktivitas pupil normal bertambah menjadi 26 pasien (77%) dan setelah
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan
rumah sakit Pirngadi perubahan status neurologis yaitu reaktivitas pupil pasien
stroke akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel
dibawah ini:
Reaktivit 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
as pupil
f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Pupil kiri 2 7 2 7 2 7 3 8 3 97 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10
dan 4 1 4 1 6 7 0 8 3 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0
kanan
reaktif
Salah 1 2 1 2 8 2 4 1 1 2, 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
satu pupil 0 9 0 9 4 2 9
reaktif
akut yang mendapat terapi manitol yang mengalami gangguan dimulai pada waktu
48 jam. Setelah mendapat terapi manitol yang keenam, jumlah pasien yang
manitol keduabelas masih terdapat satu pasien (2,9%) yang mengalami gangguan
refleks kornea
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan
rumah sakit Pirngadi perubahan status neurologis yaitu refleks kornea pasien
stroke akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel
dibawah ini:
mengalami gangguan otot wajah adalah sebanyak enam pasien (18%) dan yang
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan
rumah sakit Pirngadi perubahan status neurologis yaitu otot wajah (facial
grimace) pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara
Manitol
Facial 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
grimace
f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Simetris 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18 6 18
Asimetris 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82 28 82
keduabelas masih terdapat pasien yang mnegalami hipertensi. Tekanan darah yang
normal baru daat dicapai setelah pasien stroke akut mendapat manitol yang
hipertensi derajat 1 dan hipertensi derajat 2, dan pada pemberian manitol hari
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan
rumah sakit Pirngadi perubahan tanda vital yaitu tekanan darah pasien stroke akut
yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel dibawah ini:
Tekanan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
darah
f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Normal 0 0 0 0 0 0 1 3 2 5,9 2 6 2 6 2 6 4 12 8 24 10 29 11 32
Normal 1 3 1 3 1 3 2 5,9 2 5,9 3 9 5 15 9 27 9 27 8 24 9 27 8 24
tinggi
HT 1 11 32 11 32 12 35 10 29 14 41 17 50 16 47 15 44 15 44 15 44 14 41 14 41
HT 2 10 29 10 29 11 32 13 38 8 24 7 21 8 24 7 21 6 18 3 9 1 3 1 3
HT 3 12 35 12 35 10 29 8 24 8 24 5 15 3 9 1 3 0 0 0 0 0 0 0 0
keempat mayoritas pasien memiliki denyut nadi normal dan seluruh pasien
memiliki denyut nadi normal dapat dicapai setelah 24 jam pemberian manitol.
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan
rumah sakit Pirngadi perubahan tanda vital yaitu denyut nadi pasien stroke akut
yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel dibawah ini:
Denyut 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
nadi
f % f % F % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Normal 2 6 2 7 2 7 3 8 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10
2 5 5 4 5 4 0 8 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0
Takikard 1 3 9 2 9 2 4 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
ia 2 5 7 7 2
mengalami hipertermia, suhu tubuh normal seluruh pasien (100%) baru dapat
dicapai pada waktu setelah 24 jam yaitu pada pemberian manitol keenam.
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan
rumah sakit Pirngadi perubahan tanda vital yaitu suhu tubuh pasien stroke akut
yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel dibawah ini:
Tabel 19. Distribusi frekuensi dan Persentase Perubahan Tanda Vital (suhu
tubuh) Responden Stroke Akut di RSUP Adam Malik Medan dan RS
Pirngadi Medan (n=34)
Suhu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
tubuh
f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f % f %
Normal 4 1 1 4 1 5 2 8 3 97 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10 3 10
2 4 1 7 0 9 5 3 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0 4 0
Hiperter 3 8 2 5 1 5 5 1 1 2, 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
mia 0 8 0 9 7 0 5 9
pasien (100%) baru dapat dicapai pada waktu setelah 24 jam yaitu pada
Hasil dari penelitian yang telah dilakukan di rumah sakit Adam Malik dan
rumah sakit Pirngadi perubahan tanda vital yaitu frekuensi pernafasan pasien
stroke akut yang mendapat terapi manitol dapat dilihat secara lengkap pada tabel
dibawah ini:
PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan tentang interpretasi dan diskusi hasil penelitian yang
telah dijelaskan pada bab 4 dengan mengacu pada teori dan hasil penelitian
tanda-tanda vital setelah pemberian terapi manitol pada pasien stroke fase akut,
Karakteristik Responden
Usia
adalah mayoritas responden yang berusia lansia awal (46-55 tahun) berjumlah 21
responden (61%), lansia akhir (56-65 tahun) berjumlah 12 responden (35,3%) dan
usia diatas 65 tahun terdapat satu responden (2,9%). Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Berman, Hiswani & Makmur di rumah
sakit Adam Malik Medan tahun 2012 didapatkan rentang usia terkena stroke
rata-rata stroke adalah 58,8 tahun ± 13,3 tahun, dengan kisaran usia 18-95 tahun.
Usia kurang dari 45 tahun sebanyak 12,5% dan lebih dari 65 tahun sebanyak
106
Jenis Kelamin
Penelitian lain yang dilakukan oleh Safri (2013) juga mendapatkan hasil
dengan penelitian ini. Didapatkan jumlah pasien laki-laki yang mengalami stroke
kejadian stroke lebih banyak dialami oleh laki-laki. Hal ini dikaitkan dengan
hormon testoteron pada laki-laki yang dapat meningkatkan kadar LDL darah.
Apabila kadar LDL tinggi akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah, dan
degeneratif karena kolesterol darah yang tinggi merupakan salah satu faktor risiko
penyebab penyakit degeneratif salah satunya adalah stroke (Watila, dkk., 2010).
Tingkat pendidikan
Dari hasil penelitian ini didapatkan data bahwa mayoritas pasien 17 (50%)
SMA.
mengikuti petunjuk agar sehat, apabila seseorang buta huruf informasi tertulis
tentang perilaku sehat dan sumber sehat menjadi tidak berharga (Lemone, Burke
Pekerjaan
Suirauka (2012) mengatakan bahwa beban kerja yang tinggi, tekanan hidup yang
berat ataupun hal lainnya tanpa disadari dapat menyebabkan efek jangka panjang
pada fisik dan mental, salah satunya adalah stres. Stres menyumbang 20%
dalam darah yang dapat membuat pembuluh darah tersumbat sehingga berisiko
terkena stroke.
Stres yang bersifat konstan dan terus menerus mempengaruhi kerja kelenjar
adrenal dan tiroid dalam memproduksi hormon adrenalin, tiroksin dan kortisol.
Sebagai hormon utama stres akan naik jumlahnya dan berpengaruh secara
juga menaikkan denyut jantung, frekuensi nafas dan peningkatan denyut jantung
(Herke, 2006).
pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya plak didalam pembuluh darah yang
(Suiroka, 2012).
Stres yang telah dialami >1 tahun terakhir memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian stroke (Jood, et al., 2009). Penelitian yang dilakukan
signifikan dapat meningkatkan kejadian stroke pada usia menengah ke atas dan
dewasa tua.
pekerjaan, namun tidak menutup kemungkinan juga dialami pada orang yang
kecenderungan hidup santai, pola makan yang tidak teratur, malas berolahraga,
dan tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang bekerja.
Status Perkawinan
responden adalah duda/janda. Sejalan dengan hasil yang diperoleh pada studi oleh
Baidya, Chaudhuri & Devi (2013), didapatkan data responden yang terkena stroke
Perkawinan adalah salah satu aktivitas sentral dari manusia yang bertujuan
untuk memperoleh suatu kehidupan yang bahagia, namun dalam setiap hubungan
seperti perkawinan masalah tidak selalu dapat dihindarkan karena pada dasarnya
sebuah perkawinan terdiri dari dua orang yang mempunyai sifat, kepribadian,
faktor munculnya stres pada individu yang telah kawin dan beresiko
menyebabkan stroke.
Dari hasil penelitian didapatkan mayoritas pasien adalah perokok aktif yaitu
sebanyak 20 responden (58.82 %). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian
responden (53,8%) lebih banyak dari pada jumlah penderita stroke yang tidak
Dinding arteri yang rusak akibat asap rokok akan menjadi lokasi
penimbunan lemak, sel trombosit, kolestrol, dan terjadi penebalan lapisan otot
darah arteri, hal inilah yang menimbulkan stroke (Wahyu Genis, 2010).
Selain itu, zat nikotin yang terdapat dalam rokok dapat meningkatkan
meningkatkan daya dorong oleh jantung dan tahanan terhadap aliran darah yang
Begitu juga dengan peningkatan ACTH dan endhorpin-beta di mana hal tersebut
pada endotel vaskuler dapat menimbulkan penumpukan monosit dan lipid (berupa
penampilan makrofag menyerupai busa. Sel busa makrofag ini kemudian bersatu
Dengan berjalannya waktu fatty steak menjadi lebih besar dan bersatu, dan
membentuk plak yang makin lama makin besar. Makrofag juga melepaskan zat
yang menimbulkan inflamasi dan proliferasi lebih lanjut dari jaringan fibrosa dan
sklerosis menjadi sangat besar dan arteri menjadi kaku dan tidak lentur.
lipid yang lain dari plak yang menimbulkan kalsifikasi sekeras tulang yang dapat
membuat arteri seperti saluran kaku (pengerasan arteri) (Guyton, 2007). Sehingga
darah, maka pembuluh darah ruptur dan terjadi perdarahan dalam otak.
kejadian stroke seperti penelitian yang dilakukan oleh Berman, Hiswani &
Makmur di rumah sakit Adam Malik Medan tahun 2012 menunjukkan proporsi
faktor resiko penderita stroke hemoragik yang tertinggi adalah hipertensi 78,4%
dan yang terendah adalah penyakit jantung, aneurysma, operasi tumor otak, dan
dijumpai pada 50-70% pada pasien stroke. Seseorang yang memiliki hipertensi
berisiko 3-4 kali mengalami stroke dibandingkan dengan orang yang tidak
darah. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi selama berbulan-bulan atau
menjadi tetap. Hal ini berbahaya karena pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi
atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari tekanan darah
sistemik.
bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi pada dinding
Lokasi Perdarahan
(14,74%). Lokasi perdarahan yang dialami sebagian besar pasien adalah basal
ganglia (27,6%), talamus (20,7%), lobus (41,4%), serta basal ganglia dan talamus
(10,3%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Berman,
Hiswani & Makmur di rumah sakit Adam Malik Medan tahun 2012, proporsi
(PSA) 11,7%.
(PIS) 18,5% dengan pembagian perdarahan lobar 8,8%, perdarahan basal ganglia
merupakan prediktor independen kematian selama perawatan akut dan studi oleh
Almutawa, Shahda & Albalooshi (2012) juga mengungkapkan bahwa faktor risiko
perdarahan pada nukleus kaudatus dan putamen dengan ukuran hematoma yang
Hasil penelitian Susilawati, Nuartha & Eko (2016) menyebutkan bahwa lesi
lesi di daerah talamus sebanyak 19 pasien (63,3%) dan 7 pasien (23,3%) pada
Hematoma talamus juga sering menimbulkan obstruksi dan kompresi ventrikel III
Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi penurunan
tingkat kesadaran pada pasien stroke hemoragik fase akut. Distribusi pasien
berdasarkan nilai GCS diperoleh nilai GCS awal pasien yang terbanyak adalah 12-
13 (52,9%) dengan nilai GCS paling rendah adalah 9 dan nilai GCS pasien setelah
12 kali mendapat terapi manitol yang terbanyak adalah 14-15 (50%) dengan nilai
Rata-rata nilai GCS pasien yang mendapat terapi manitol pada pemberian
pertama hingga pemberian kelima adalah 11,35. Rata-rata GCS pasien yang
nilai GCS penderita stroke hemoragik lebih banyak dalam kategori sedang &
buruk bila dibandingkan dengan nilai GCS pada penderita stroke non hemoragik
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Baidya, Tiwari & Usman
(2015) yang mengungkapkan bahwa pada pasien stroke hemoragik fase akut akan
penurunan kesadaran dengan GCS 9-12 adalah sebanyak 25 pasien (50%), skor
GCS 13-15 sebanyak 5 pasien (10%), skor GCS 4-8 sebanyak 18 pasien (36%),
karena dua alasan yaitu: (1) sel khusus dari korteks serebral paling sensitif
intrakranial karena adanya edema serebral pada pasien stroke, dan (2) penurunan
dipasok oleh arteri terminal, sehingga suplai oksigen ke sel sensitif korteks
penurunan kesadaran pada pasien stroke hemoragik fase akut terjadi karena edema
gangguan konduksi aliran impuls saraf aferen spesifik dan impuls aferen non-
korteks secara difus dan bilateral yang dikenal sebagai diffuse ascending reticular
system.
Derajat kesadaran itu sendiri ditentukan oleh banyak neuron penggerak atau
potensial aksi. Selain itu juga didukung oleh proses-proses yang memelihara
Dari hasil penelitian ini juga dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi
perbaikan tingkat kesadaran pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol (<72
jam), walaupun perbaikan nilai GCS terjadi secara perlahan. Perbaikan tingkat
kesadaran dimulai pada hari kedua (48 jam) yaitu setelah pemberian manitol
Asghari et al., (2013) yang menyimpulkan bahwa nilai GCS meningkat secara
Penelitian lain yang sejalan adalah penelitian yang dilakukan oleh Jaya,
Widodo & Ganda (2017) yang menyebutkan bahwa pemberian manitol 20% pada
awal masuk hingga hari kelima (120 jam) menunjukkan peningkatan nilai GCS
pada pasien cedera kepala sedang. Rerata nilai GCS pasien sebelum yaitu 11,24
dan sesudah (penilain V) yaitu 13,72. Dinamika GCS pada awal dan akhir
Perbaikan tingkat kesadaran pada pasien stroke akut yang mendapat terapi
manitol terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) peningkatan aliran darah
peningkatan aliran darah (Wani, Ramzan, Nizami, Malik, Kirmani, Bhatt &
oleh sifat manitol sebagai agen osmoterapi. Dimana di dalam tubuh pemberian
edema serebral akibat peningkatan kadar air dalam jaringan otak akan menurun.
Mayer & LeRous, 2009). Sehingga jaras kesadaran yang dimulai dengan masukan
impuls dari pusat sensorik pada korteks serebri yang terdiri dari serat-serat
asenden yang berasal dari formasio retikularis, menuju RAS (Reticular Activating
meningkat sampai 15,6% dan mencapai nilai maksimum saat pemberian selesai
Dengan adanya perbaikan perfusi serebral maka sel khusus dari korteks
serebral yang paling sensitif terhadap penurunan suplai oksigen yang terjadi
akibat peningkatan tekanan intrakranial karena adanya edema serebral pada pasien
stroke tidak akan mengalami gangguan lagi dan arteri terminal yang memasok
Choi, Fatouros, Ward & Bullock (1999) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
skor GCS setelah pemberian terapi manitol pada pasien cedera kepala. Secara
teori manitol memperbaiki aliran darah ke semua bagian otak termasuk batang
otak. Dengan alasan ini, terjadinya perbaikan tingkat kesadaran diduga lebih
manitol.
Dolinskas, dan Langfitt (1979) juga menyimpulkan bahwa aliran darah serebral
maka tingkat kesadaran juga akan semakin meningkat. Hasil penelitian Bouma,
Muizelaar, Choi, Newlon & Young (1991) juga menyimpulkan bahwa terdapat
korelasi antara aliran darah serebral (CBF) dengan skor motorik pasien, yaitu
kesadaran setelah terapi manitol menurut peneliti dapat dijelaskan dengan teori
aktivitas sel saraf dan perubahan pada aliran darah otak (CBF). Besaran
perubahan aliran darah serebral sangat erat hubungannya dengan aktivitas neuron
melalui rangkaian yang kompleks dan melibatkan neuron, glia dan sel pembuluh
darah. Apabila terjadi peningkatan aliran darah serebral maka aktivitas sel akan
dari edema serebral sehingga selanjutnya akan menurunkan viskositas darah atau
Sejalan dengan hal diatas, hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmah
setelah pemberian manitol yang diikuti dengan perbaikan kondisi klinis pasien
Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Mutiari, Dewi & Zakiah
antara pasien yang mengalami penurunan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) ≥ 3
deterioration) dengan yang bukan END pada stroke akut. Nilai Hematokrit tinggi
stroke muncul (END) pada stroke akut dibandingkan dengan yang tidak
Penelitian lain yang dilakukan oleh Dringer, scalfani, Zazulia, Videen, Dhar
& Power (2011) juga mengungkapkan terdapat hubungan antara kadar hematokrit
(viskositas darah) dengan aliran darah serebral yaitu peningkatan kadar hematokrit
terjadi pada waktu 48 jam dipengaruhi oleh proses pembentukan edema serebral.
jam pertama. Pembentukan edema ini akan terus terjadi dengan lambat hingga 9-
14 hari kemudian menurun. Fase pembentukan edema serebral terdri dari tiga fase
yaitu: (1) pada beberapa jam pertama setelah terjadi stroke hemoragik terjadi
pembentukan bekuan darah, sel darah merah yang intak dalam area hematoma, (2)
setelah kaskade koagulasi menjadi aktif dalam 24-48 jam berikutnya trombin
menjadi aktif dan merusak integritas sawar darah otak mengakibatkan cairan
intravaskuler masuk ke ruang ekstraseluler (edema vasogenik), dan (3) fase ketiga
muncul saat sel-sel darah merah hematoma mulai lisis. Hemoglobin dan produk-
Namun, selain perbaikan nilai GCS penurunan nilai GCS juga terjadi. Dari
12 kali pemberian manitol terdapat dua pasien (5,9%) dari 34 pasien yang
mengalami penurunan nilai GCS. Dimana pasien yang mengalami penurunan nilai
GCS setelah 12 kali mendapat terapi manitol memiliki nilai GCS 10.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Silviantri
bahwa pada pasien stroke dengan nilai GCS saat masuk rumah sakit dalam
rentang sedang-buruk beresiko 2.231 kali untuk mengalami prognosis yang buruk
dan mortalitas dibandingkan dengan pasien stroke yang mempunyai nilai GCS
Menurut peneliti, penurunan nilai GCS pasien stroke hemoragik akut tidak
terlepas dari faktor yang mempengaruhi prognosis pasien yaitu letak lesi dan usia
pasien. Berdasarkan data demografi pada penelitian ini diketahui bahwa lokasi lesi
kedua pasien yang mengalami penurunan nilai GCS selama 12 kali pemberian
manitol adalah lesi pada talamus dan basal ganglia. Lokasi lesi dan usia dapat
neurologis pasien.
prognosis perdarahan talamus tidak sebaik pada perdarahan nukleus kaudatus atau
putamen dengan ukuran hematoma yang sama. Hal ini disebabkan karena
Hematoma talamus sering menimbulkan obstruksi dan kompresi ventrikel III dan
klinis neurologis pada lesi di daerah talamus sebanyak 19 (63,3%) orang dan 7
yang mendapat terapi manitol yang mengalami penurunan nilai GCS adalah 61,5
tahun. Menurut Camacho et al. (2014) usia tua mengalami penuaan pada
usia yang lebih muda. Sebuah penelitian kohort terhadap 2219 penderita yang
meneliti pengaruh usia pada perbaikan klinis stroke hemoragik akut didapatkan
kesimpulan perbaikan klinis menurun seiring bertambahnya usia dimana pada usia
>55 tahun hanya mencapai 50% perbaikan klinis dibandingkan dengan usia ≤55
Selain itu, terdapat perbedaan fungsi organ dan sistem tubuh pada responden
yang berusia muda dengan responden yang berusia tua, dimana usia tua tidak
dapat mentoleransi kondisi perdarahan yang terjadi dan pengobatan yang agresif
dibandingkan usia muda, hal ini berkaitan erat dengan fungsi organ hati dan ginjal
Selain lokasi lesi dan usia, faktor yang mempengaruhi penurunan nilai GCS
adalah riwayat kesehatan dahulu dan riwayat status merokok. Dimana pada
penelitian ini pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol yang mengalami
penurunan nilai GCS mempunyai riwayat kesehatan dahulu hipertensi dan riwayat
status merokok. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Aji &
berusia 50 tahun dengan riwayat merokok (n=9) dengan nilai median GCS 4 (3-
15) serta p=0,03 dan kombinasi pasien hipertensi tidak terkontrol berusia 50 tahun
dengan riwayat merokok (n=7) dengan median GCS 4 (3-15) serta p=0,08
merupakan faktor yang mempengaruhi penurunan nilai GCS pada kejadian stroke
perdarahan.
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa terjadi perubahan ukuran pupil
abnormal pada pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol. Perubahan
ukuran pupil yang terjadi adalah miosis unilateral dan midriasis unilateral.
Rusnak & Lingsma (2015), merupakan akibat berkurangnya aliran darah menuju
batang otak (iskemia batang otak) selain adanya kompresi saraf kranial III.
darah ke batang otak yang mengakibatkan iskemik batang otak adalah penyebab
Hasil penelitian Ritter, Mauzilaar, Barnes, Choi, Fatourus, Ward & Bullock
aliran darah menuju batang otak (iskemia), karena tidak semua pasien dengan
bahwa selama serangan jantung dan iskemia terjadi dilatasi pupil. Sobotka dan
Gebert (1972) mendapatkan hasil terjadi dilatasi pupil dalam 5 menit setelah
reperfusi, dan durasi waktu kembali pupil menjadi normal secara langsung terkait
dengan durasi iskemia. Penelitian yang dilakukan oleh Binnion dan McFarland
(1968) juga menunjukkan hasil bahwa henti jantung maksimum pada anjing
normal.
Aktivitas sel otak sangat tergantung pada suplai darah ke otak karena tidak
memiliki cadangan oksigen dan glukosa. Perubahan aliran darah akibat gangguan
suplai darah ke otak (stroke hemoragik) dapat menurunkan aktivitas sel-sel otak
serebral tidak cukup adekuat maka kebutuhan oksigen & glukosa sel-sel saraf
Selain itu, menurut Koutoukidis et al., (2017) & Majdan et al., (2015) juga
gangguan serebral disebabkan oleh adanya kompresi nervus kranialis ketiga oleh
edema serebral dan herniasi. Edema serebral yang berkembang akibat stroke
serebral tengah dan arteri basilar dan arteri yang ruptur pada perdarahan
arteri basilar. Selain merupakan arteri pembentuk sirkulus willisi yang merupakan
pokok anastomosis pembuluh darah arteri yang penting di dalam otak, serabut
motorik nervus okulomotorius berjalan di antara arteri serebri posterior dan arteri
2015).
Hal ini dapat menyebabkan gangguan impuls yang mengatur ukuran pupil
akibat adanya efek depresan dan terjadi invaginasi nodus Ranvier dan demielinasi.
mempengaruhi otot-otot yang dinervasi oleh nervus III seperti M. rekti medialis
dan inferior ipsilateral, kedua M. levator palpebra, dan kedua M. rektus superior.
Apabila lesi mengenai nervus okulomotorius di mana saja dari nukleus (otak
akomodasi, dan ptosis kelopak mata atas, sering cukup berat sehingga pupil
tertutup. Dan semua lesi yang terjadi akan menimbulkan lesi yang semata-mata
ipsilateral.
Dari penelitian ini juga didapat hasil bahwa terjadi perbaikan ukuran pupil
pasien yang mendapat terapi manitol. Pada hari pertama yaitu pada pemberian
pertama dan kedua dari 34 pasien terdapat sembilan pasien (26,5%) mengalami
gangguan ukuran pupil miosis unilateral dan lima pasien (14,7%) mengalami
Pada pemberian manitol ketiga, dari 34 pasien terdapat dua pasien (5,9%)
pupil miosis unilateral. Pada pemberian manitol keempat, dari 34 pasien terdapat
empat pasien (11,8%) memiliki ukuran pupil abnormal yaitu miosis unilateral.
Pada pemberian manitol hari kedua dan ketiga yaitu pemberian kelima
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ritter,
Mauzilaar, Barnes, Choi, Fatourus, Ward & Bullock (1999), setelah pemberian
pupil abnormal serta reaktivitas pupil karena terjadi peningkatan aliran darah
serebral.
Pickard & Czosnyka (1996), yang meneliti efek cepat setelah pemberian manitol
didapatkan hasil bahwa aliran darah arteri serebral tengah (middle cerebral artery)
yang merupakan salah satu dari tiga sirkulasi willisi di otak meningkat.
perfusi serebral sebanyak 18% dan penurunan tekanan intraserebral sebanyak 21%
tanpa mempengaruhi tekanan darah arteri. Pada penelitian tersebut flow velocity
pada arteri serebral medial meningkat sebesar 15,6% (Rachman, Rahardjo &
Saleh, 2015).
plasma secara cepat sehingga kadar hematokrit dan viskositas darah menurun,
aliran darah otak (CBF) meningkat dan terjadi peningkatan penghantaran oksigen
volume darah sistemik dan terjadi peningkatan perfusi darah serebral (Rachman,
meningkatkan aktivitas sel saraf, sehingga sistem saraf parasimpatik dan simpatik
yaitu bagian sistem saraf otonom yang berfungsi mengendalikan otot-otot sfingter
iris dan otot dilator pupil akan berfungsi kembali (Mathôt, S. 2018).
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa terjadi gangguan reaktivitas pupil
pada pasien stroke akut. Menurut peneliti gangguan reaktivitas pupil terhadap
cahaya pada penelitian ini disebabkan oleh adanya efek kompresi pada area
yang merupakan saraf otonom pengatur kontriksi pupil yang akan menyebabkan
2007).
otak tengah yaitu arteri basilaris (arteri serebri posterior) akan terganggu, akibat
Hubungan antara aktivitas saraf dengan aliran darah otak (CBF) ini dapat
lokasi perubahan aliran darah berkaitan dengan perubahan aktivitas saraf melalui
urutan yang peristiwa yang kompleks dan terkoordinasi yang melibatkan neuron,
glia, dan sel-sel vaskular. Aktivitas saraf yang mengalami gangguan aliran darah
Freeman, 2008).
Dari penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa terjadi perbaikan reaktivitas
pupil pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol, yaitu pada hari pertama
pada pemberian yang pertama dan kedua adalah terdapat 10 pasien (29,4%)
memiliki salah satu pupil yang tidak reaktif terhadap cahaya dan 24 pasien
(70,6%) memiliki pupil kiri dan kanan yang reaktif terhadap cahaya.
salah satu pupil yang tidak reaktif terhadap cahaya dan 26 pasien (76,5%)
memiliki pupil kiri dan kanan yang reaktif terhadap cahaya. Pemberian manitol
yang keempat didapatkan empat pasien (11,8%) memiliki salah satu pupil yang
tidak reaktif terhadap cahaya dan 30 pasien (88,2%) memiliki pupil kiri dan kanan
Pada pemberian manitol hari kedua, yaitu pada pemberian yang kelima
didapatkan satu pasien (2,9%) memiliki salah satu pupil yang tidak reaktif
terhadap cahaya dan sebanyak 33 pasien (97,1%) memiliki pupil kiri dan kanan
yang reaktif terhadap cahaya. Pada pemberian yang keenam hingga pemberian
keduabelas didapatkan seluruh pasien memiliki pupil kiri dan kanan yang reaktif
terhadap cahaya.
Sejalan dengan hasil penelitian yang didapat oleh Rahmah (2012) bahwa
perbaikan reaktivitas pupil mulai terjadi setelah pemberian manitol. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Ritter, Muizelaar, Barnes, Choi, Fatouros, Ward & Bullock
(1999), pasien dengan nilai GCS 4 (pupil midriasis) yang membutuhkan ventilasi
mekanik dan sedasi menunjukkan perbaikan reaktivitas pupil dan ukuran pupil
reaktivitas pupil pada pasien-pasien cedera kepala dengan aliran darah batang otak
melalui pemeriksaan dengan Xenon CT. Pada pasien dengan pupil tidak reaktif
bilateral aliran darah batang otak adalah 30,5 ± 16,8 ml/100 g/menit sedangkan
pada pasien dengan pupil normal aliran darah batang otak adalah 43,8 ± 18,7
ml/100 g/menit (P<0.001) (Ritter, Muizelaar, Barnes, Choi, Fatouros, Ward &
Bullock, 1999).
pada pasien stroke akut. Dari 34 pasien stroke akut, sebanyak 17 pasien (50%)
Hasil penelitian ini sejalan dengan Ostow & Ostow (1946), yang
menyatakan bahwa tidak adanya refleks kornea dapat ditemukan pada pasien
Refleks kornea juga hilang pada beberapa orang yang tampaknya normal.
(fasialis). Menurut Mardjono (2009), adanya lesi pada cabang optalmikus (nervus
Pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol pada hari pertama dan
kedua, yaitu pada pemberian pertama hingga kelima sebanyak 17 pasien (50%)
memiliki refleks kornea yang normal (refleks kornea kiri dan kanan positif) dan
17 pasien (50%) memiliki refleks kornea abnormal (salah satu refleks kornea
positif).
kornea kiri dan kanan positif) dan sebanyak 14 pasien (41,2%) memiliki refleks
kornea abnormal (salah satu refleks kornea positif). Pada pemberian ketujuh,
kornea kiri dan kanan positif) dan sebanyak sembilan pasien (26,5%) memiliki
refleks kornea abnormal (salah satu refleks kornea positif). Pada pemberian
kornea normal (refleks kornea kiri dan kanan positif) dan tujuh pasien (20,6%)
kornea kiri dan kanan positif) dan sebanyak empat pasien (11,8%) memiliki
refleks kornea abnormal (salah satu refleks kornea positif). Pada pemberian
kornea normal (refleks kornea kiri dan kanan positif) dan dua pasien (5,9%)
memiliki refleks kornea abnormal (salah satu refleks kornea positif). Dan pada
(97,1%) memiliki refleks kornea normal (refleks kornea kiri dan kanan positif)
dan satu pasien (2,9%) memiliki refleks kornea abnormal (salah satu refleks
kornea positif).
mencerminkan keadaan kornea yang normal baik secara struktural maupun secara
berkedip.
intrakranial yang akan menimbulkan efek depresan pada nervus V dan terjadi
invaginasi dari nodus Ranvier serta demielinasi. Kondisi ini akan menyebabkan
gangguan konduksi aliran impuls saraf aferen refleks kornea yang diawali dari
Dari hasil penelitian ini juga didapatkan lokasi lesi intrakranial adalah pada
basal ganglia sebanyak 41,2%, talamus sebanyak 29,4%, lobus 17,6%, serta basal
Kimura, Powers, dan Van Allen (1969), dan Young and Shahani (1969), bahwa
refleks kornea dari 13 pasien yang mengalami lesi intrakranial disimpulkan bahwa
lesi pada lobus parietal adalah yang paling menyebabkan hilangnya refleks kornea
refleks kornea. Sedangkan lesi pada lobus frontal dan temporal tidak
Menurut peneliti hal ini disebabkan karena letak nervus trigeminus, baik
motorik maupun sensorik keluar dari batang otak pada sisi pons, bergabung
dengan nervus fasialis (N. VII) dan juga nervus akustikus (N. VIII), dimana area
ini berdekatan dengan area parietal dan subkortikal tempat terjadinya lesi.
fungsi nervus trigeminus. Adanya pemulihan defisit neurologis pada pasien stroke
terjadi oleh karena: (1) hilangnya edema serebral, (2) perbaikan sel saraf yang
(CPP), (2) vasodilatasi serebral, dan (3) perbaikan rheologi yang akan
nukleus nervus trigeminus yang berada di batang otak tidak mengalami kompresi
dengan baik. Dan juga aliran darah serebral yang tidak efektif akibat edema
Pada penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa sampai hari ketiga (12 kali
pemberian manitol) masih ada pasien yang mengalami gangguan refleks kornea.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dipublikasikan oleh Rushworth
(1962), Bender (1968), Bender, Maynard, dan Hastings (1969), Kimura, Powers,
dan Van Allen (1969), dan Young and Shahani (1969), yang meneliti tentang
refleks kornea pada 13 pasien yang mengalami lesi intrakranial, terdapat empat
pasien akibat stroke yang mengalami gangguan refleks kornea menetap hingga
enam minggu setelah serangan stroke. Responden pertama refleks kornea masih
serangan, responden ketiga masih mengalami gangguan hingga minggu ketiga dan
(Ross, 1972).
hari ketiga pada penelitian ini dapat disebabkan oleh faktor riwayat penyakit
pasien dan usia responden. Dimana pasien yang mengalami gangguan refleks
kornea sampai dengan hari ketiga memiliki riwayat penyakit DM. Saito (2011)
dan penurunan refleks sekresi air mata pada pasien DM. Berdasarkan penelitian
gangguan hingga pada hari ketiga juga disebabkan oleh usia. Dimana rata-rata
usia responden pada penelitian ini adalah adalah lansia awal (46-55 tahun)
responden (35,3%) dan usia diatas 65 tahun terdapat satu responden (2,9%).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tavakoli dkk (2012) & Murphy
sensibilitas kornea. Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi sistem saraf dan
usia yang lebih muda. Selain itu, usia tua juga tidak dapat mentoleransi kondisi
perdarahan yang terjadi dan pengobatan yang agresif dibandingkan usia muda.
Dari penelitian ini didapatkan bahwa dari 34 pasien, terdapat enam pasien
(18%) yang tidak mengalami gangguan otot wajah setelah serangan stroke dan
mendapat 12 kali terapi manitol (72 jam) pasien yang mengalami gangguan otot
Hasil penelitian ini sejalan dengan National Stroke Association ( 2016) yang
sekitar 80% mengalami kelumpuhan salah satu sisi tubuh, yang berdampak pada
Wajah tidak simetris diartikan sebagai fitur wajah yang tidak sejajar. Satu
mata mungkin terletak lebih tinggi dari yang lain. Cuping hidung agak bengkok.
Sebelah bibir tersungging lebih tinggi dari yang lain. Ukuran mata sebelah kiri
lebih kecil dan kelopak mata tidak terbuka selebar sebelah kanan (Kelby, 2011).
terganggunya saraf otak nervus facialis (nervus VII) dan nervus trigeminal
(nervus V). Biasanya terjadi pada salah satu sisi wajah, sehingga wajah nampak
Nervus fasialis terdiri atas tiga komponen yaitu komponen motorik, sensorik
levator palpebra superior. Selain otot wajah nervus fasialis juga mempersarafi
sensoris mempersarafi dua pertiga anterior lidah untuk mengecap, melalui corda
motorik dan sensorik dari lidah bekerja sama dengan nervus kranial yang lain,
karena itu termasuk ke dalam mixcranial nerve (Gillig & Sanders, 2010).
tegmentum pons bagian bawah. Pada tegmentum pons, akson pertama motorik
vestibulokoklearis.
ganglion genikulatum. Pada ujung kanalis tersebut nervus fasialis keluar dari
motorik menyebar ke wajah dan beberapa melewati kelenjar parotis (Snell, 2012).
Kerusakan atau gangguan yang terjadi pada area otak, dapat menimbulkan
adanya lesi atau infark. Lesi atau infark yang terjadi di pons akan mempengaruhi
atau mengganggu motorik dari nervus VII atau nervus fasialis, karena pons
merupakan inti motorik nervus VII. Bentuk kanalis yang unik dan dikarenakan
nuklear dan infranuklear. Hal tersebut mengakibatkan nervus VII terjepit di dalam
maupun di sepanjang serabut saraf nervus fasialis, gangguan aliran darah serebral
pembuluh darah sehingga tekanan perfusi serebral harus cukup adekuat untuk
Terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan nervus VII jenis sentral dan
perifer. Pada gangguan jenis sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat
persarafan dari 2 sisi tidak lumpuh, melainkan bagian bawah dari wajah yang akan
lumpuh. Pada gangguan jenis perifer maka semua otot wajah akan lumpuh baik
setelah 12 kali pemberian manitol dapat disebabkan karena pasien masih berada
pada fase akut. Pada fase akut pasien stroke menjalani penanganan
stroke yaitu: (1) hilangnya edema serebral, (2) perbaikan sel saraf yang rusak, (3)
tergantung pada stimulus eksternal, melalui terapi latihan dan proses kompensasi
yang dapat tercapai melalui latihan berulang untuk suatu fungsi tertentu
(Wirawan, 2009).
beratnya defisit motorik saat serangan stroke akut. Pasien dengan defisit motorik
tampak nyata pada tiga bulan pertama dan mencapai tingkat maksimal dalam
bahwa perbaikan fungsi motorik dan defisit neurologis terjadi paling cepat dalam
30 hari pertama setelah serangan stroke dan menetap setelah 3-6 bulan, walaupun
minggu pertama.
reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan fungsi motorik seperti facial exercise
dan facial massage untuk mengembalikan fungsi otot wajah yang mengalami
gangguan, untuk itu pasien harus telah melewati fase akut sehingga upaya
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan tekanan darah
pada pasien stroke akut. Pada hari pertama sebagian besar pasien mengalami
hipertensi derajat 3, hingga hari ketiga sebagian besar pasien masih mengalami
hipertensi derajat 1. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Alghifari &
Andina (2017) yang juga memperoleh hasil tekanan darah yang paling banyak
dialami penderita stroke akut tahun 2015 di RSU Haji Medan adalah hipertensi
derajat 3 yaitu sebanyak 59 orang (41,3%). Begitu juga penelitian yang dilakukan
oleh Marisyka (2012) di RSUP H. Adam Malik Medan yang mendapatkan hasil
bahwa tekanan darah penderita stroke fase akut sangat tinggi pada 48 jam pertama
yaitu mengalami hipertensi derajat 3 (sistolik ≥180 mmHg dan diastolik ≥110
Hal ini juga ditemukan pada penelitian oleh Wallace, dkk (1981) yang
jam paska awitan dan tekanan darah kembali normal terjadi sekitar 10 hari
daerah iskemik dan akan kembali normal setelah selesai fase akut. Tepatnya di
saat telah terjadi perbaikan fungsi otak (Wallace & Levy, 1981 dalam Ekayanti,
Sebuah penelitian mengenai aliran darah otak atau cerebral blood flow
(CBF) pada penderita hipertensi menahun dan pasien lanjut usia dengan stroke
secara pasif. Sehingga, peningkatan tekanan darah pada awal stroke sebagai reaksi
pada fase akut stroke hemoragik menurut Tikhonoff et al., (2009) dapat
disebabkan oleh nyeri kepala, retensi urine, infeksi dan stres yang mengakibatkan
adrenomedullary.
Menurut peneliti, tekanan darah pasien yang tinggi juga dapat disebabkan
oleh adanya peningkatan suhu tubuh pasien. Hipertermia pada pasien stroke dapat
kematian neuron (neuronal injury) dan bertambahnya edema serebral. Selain itu,
tubuh. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, jantung akan bekerja maksimal agar
kebutuhan terpenuhi.
Pertiwi (2019) mengungkapkan bahwa perubahan tekanan darah pada stroke fase
akut dapat dipengaruhi oleh irama sirkadian. Irama sirkadian adalah irama
fisiologis endogen dengan durasi sekitar 24 jam yang terdapat pada makhluk
hidup. Irama sirkadian tidak hanya mengatur siklus tidur dan bangun endogen
tetapi juga mempengaruhi perilaku dan hampir setiap fungsi fisiologis. Pada
fungsi molekular dan selular yang kemudian mempengaruhi tekanan darah, nadi,
Pada percobaan pengukuran tekanan darah pasien stroke akut dalam 72 jam
pertama (empat kali dalam sehari) didapatkan hasil bahwa penurunan tekanan
darah ini mulai tampak jelas setelah lebih dari 24 jam perawatan. Terdapat
berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pola irama sirkadian seperti stres atau
trauma. Stroke menyebabkan suatu stres metabolik yang dapat mengganggu pola
irama sirkadian. Namun demikian, pada umumnya irama sirkadian dapat kembali
normal setelah stroke melewati masa akut (Ekayanti, Bachtiar, Mawuntu &
Pertiwi, 2019).
merupakan faktor resiko utama pada stroke. Tekanan darah pada pasien stroke
pasien stroke akut yang tidak memiliki riwayat hipertensi. Meningkatnya tekanan
darah pada pasien stroke akut merupakan respon kompensasi tubuh akibat adanya
banyak diderita oleh pasien stroke yaitu terdapat tujuh orang pasien (20,5%).
glukosa, dimana pasien stroke akut cenderung akan melepaskan hormon stres
seperti kortisol dan norepinefrin yang dapat memicu peningkatan kadar glukosa
darah. Apabila stroke memasuki fase akut maka pelepasan hormon stres akan
lebih besar, sehingga akan terjadi peningkatan kadar glukosa darah yang lebih
riwayat penyakit pasien, faktor lain yang dapat menghambat tidak tercapainya
Amboro, Puspitasari dan Pinzon (2015) adalah (1) usia, dari data demografi
penelitian ini diperoleh sebagaian besar pasien (50%) berusia 45-55 tahun, dan
(20,6%) berusia 56-65 tahun, umur dapat mempengaruhi terapi hipertensi karena
dinding pembuluh darah manusia pada usia >50 tahun sudah mengeras yang
tekanan darah tidak tercapai (Watson et al., 2008 dalam Amboro, Puspitasari dan
Pinzon 2015), (2) jenis kelamin, sebagian besar pasien (79,4%) adalah laki-laki,
hal ini terjadi karena laki-laki menghasilkan hormon androgen (testoteron) lebih
banyak dari pada pada wanita. Hormon testosteron lebih bersifat meretensi air dan
garam serta merendahkan kadar HDL dan mempertinggi sedikit kadar LDL
(Rahardja dan Tjay, 2001 dalam Amboro, Puspitasari dan Pinzon, 2015), dan (3)
(Mathisen dkk., 2010). Renin juga akan merangsang pelepasan aldosteron yang
Hasil ini sesuai dengan penelitian Bannay, et al., (2014) dari sebanyak 371 subyek
Dari penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa terjadi penurunan rata-rata
tekanan darah pada pasien stroke hemoragik fase akut yang mendapat terapi
manitol. Rata-rata tekanan darah awal pasien adalah hipertensi derajat 2 (sistolik
160-179 mmHg, diastolik 100-109 mmHg) dengan nilai tekanan darah paling
rendah adalah 130/90 mmHg dan rata-rata tekanan darah pasien setelah 12 kali
mendapat terapi manitol adalah normal tinggi (sistolik 130-139 mmHg, diastolik
85-89 mmHg) dengan tekanan darah paling rendah adalah 120/80 mmHg.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmah
rata tekanan darah dan nadi pasca pemberian manitol. Penurunan rata-rata tekanan
darah dan nadi pasca pemberian manitol juga sejalan dengan hasil penelitian
Sabharwal et al., serta Andrews et al., yang melakukan pengukuran tiap 5 menit
pasca pemberian manitol mendapatkan hasil terjadi penurunan nilai rata-rata 25-
45 menit pemberian dan penurunan tekanan darah pada semua waktu pengukuran.
denyut nadi pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol. Rata-rata denyut
nadi pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol awal manitol adalah 95
x/menit dengan denyut nadi paling tinggi adalah 115 x/menit dan denyut nadi
paling rendah adalah 75 x/menit. Rata-rata denyut nadi pasien stroke akut yang
mendapat terapi manitol keduabelas adalah 83 x/menit dengan denyut nadi paling
tinggi adalah 99 x/menit dan denyut nadi paling rendah adalah 70 x/menit.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmah
rata tekanan darah dan nadi pasca pemberian manitol. Penurunan rata-rata nadi
pasca pemberian manitol juga sejalan dengan hasil penelitian Sabharwal et al.,
serta Andrews et al., yang melakukan pengukuran tiap 5 menit pasca pemberian
pemberian dan penurunan denyut nadi pada semua waktu pengukuran (Rahmah,
2012).
(2019) mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan denyut nadi pada pasien stroke
hemoragik akut. Puncak tertinggi tekanan darah dan nadi harian mulai menurun
setelah 24 jam perawatan. Hal ini juga ditemukan pada penelitian oleh Wallace,
dkk (1981) yang mendapatkan 84% kasus stroke mengalami peningkatan denyut
nadi dalam 24 jam paska awitan dan kembali normal terjadi sekitar 10 hari
kemudian.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penurunan denyut nadi yang
paling besar terjadi pada 24 jam setelah pasien mendapat terapi manitol. Dimana
rata-rata pada hari pertama denyut nadi pasien adalah 91 x/menit berkurang
menjadi 81 x/menit pada 24 jam setelah mendapat terapi manitol. Sedangkan pada
edema serebral akan berkembang cepat pada 24 jam stroke dan kemudian proses
peneliti yang lainnya adalah bahwa takikardia pada pasien stroke hemoragik akut
juga dapat disebabkan oleh suhu tubuh yang tinggi (hipertermi) pada 24 jam
pertama. Dimana rata-rata suhu tubuh pasien pada hari pertama mendapat manitol
adalah 38°C.
sebanyak 13%, peningkatan kebutuhan kalori serta cairan, sehingga detak jantung
akan meningkat untuk memenuhi peningkatan kebutuhan oksigen tubuh (Potter &
Perry, 2010).
Denyut jantung dikontrol oleh sistem saraf pusat yang menerima umpan
balik dari reseptor sensorik yang berada pada dinding pembuluh darah.
sekuncup dan meningkatkan frekuensi denyut nadi, yang berperan sangat penting
aktivitas saraf simpatis. Aktivitas dari saraf ini dikendalikan oleh sistem
pengaturan yang terletak di batang otak yaitu pusat kendali jantung (Guyton &
Hall, 2012).
dan akan kembali normal setelah selesai fase akut tepatnya di saat telah terjadi
perbaikan fungsi otak (Wallace & Levy, 1981 dalam Ekayanti, Bachtiar, Mawuntu
tubuh dan proses pembentukan edema serebral, perubahan denyut nadi dan
tekanan darah pada pasien stroke hemoragik akut juga dipengaruhi oleh irama
sirkadian. Irama sirkadian adalah irama fisiologis endogen dengan durasi sekitar
24 jam yang terdapat pada makhluk hidup. Irama sirkadian tidak hanya mengatur
siklus tidur dan bangun endogen tetapi juga mempengaruhi perilaku dan hampir
mempengaruhi tekanan darah, nadi, respirasi, suhu tubuh, waktu tidur, dan
metabolisme tubuh lainnya (Jehn, Brotman & Appel, 2008 dalam Ekayanti,
Di lain pihak, terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pola irama
sirkadian seperti stres atau trauma. Stroke menyebabkan suatu stres metabolik
yang dapat mengganggu pola irama sirkadian. Namun demikian, pada umumnya
irama sirkadian dapat kembali normal setelah stroke melewati masa akut (Ajayi,
Ajayi, Adekeye & Busari, 2013 dalam Ekayanti, Bachtiar, Mawuntu & Pertiwi,
2019).
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan suhu tubuh
pada psien stroke akut. Rata-rata suhu tubuh pasien yang mendapat terapi manitol
awal adalah 38°C dengan suhu pasien yang tertinggi adalah 41°C dan terendah
adalah 37° sedangkan rata-rata suhu tubuh pasien yang mendapat terapi manitol
keduabelas adalah 36,8°C dengan suhu tubuh pasien tertinggi 37°C dan suhu
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Haryuni (2017), bahwa dari 73
stroke dengan hipertermi memiliki suhu hingga 39°C dalam waktu 1 hingga 7
hari, namun kejadian ini tidak terus-menerus terjadi dan akan mereda dalam
stroke, hanya satu studi yang melaporkan prevalensi rendah (5,3%) dari
hipertermia (Castillo dkk., 2001; Zaremba, 2004; Saini dkk., 2009; Lukovits dkk.,
umumnya demam terkait dengan proses inflamasi karena pasien stroke rentan
terhadap berbagai komplikasi. Demam tanpa infeksi ditemukan pada 33% pasien
stroke akibat proses hipertermi pada pusat pengaturan suhu di hipotalamus yang
ditandai dengan awitan demam yang cepat, suhu tinggi dan ditandai oleh suhu
yang berfluktuasi serta respon yang buruk terhadap penggunaan antipiretik dan
Selama fase akut stroke terjadi pengurangan aliran darah otak yang
menyebabkan iskemik serebri yang terdiri dari inti iskemik dan dikelilingi oleh
kerusakan otak serta luaran buruk pada penderita stroke (Ceulemans dkk., 2010).
cedera iskemik serebri. Dalam beberapa jam setelah terjadi iskemik serebri terjadi
peningkatan kadar sitokin dan kemokin yang akan meningkatkan ekskresi molekul
adhesi pada sel endotel otak serta meningkatkan adhesi dan migrasi neutrofil dan
monosit transendothelial.
aliran darah otak atau ekstravasase ke dalam parenkim otak. Infiltrasi leukosit ke
dalam sel-sel parenkim otak termasuk neuron dan glia, dapat melepaskan mediator
meningkatkan set poin temperatur tubuh (Saini, Saqqur, Kamruzzaman, Lees &
Shuaib, 2010).
pasien stroke juga dapat disebabkan oleh lokasi hematoma. Hematoma talamus
sering menimbulkan obstruksi dan kompresi ventrikel III dan penetrasi perdarahan
dan penekanan daerah hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh.
Sejalan dengan teori Caplan (2009), hasil penelitian yang dilakukan oleh
diperoleh bahwa sebagian besar stroke hemoragik yang terjadi adalah perdarahan
konsumsi oksigen sebanyak 13% setiap kenaikan suhu tubuh 1°C, peningkatan
kebutuhan kalori serta cairan, sehingga detak jantung akan meningkat untuk
jantung dan pernapasan, maka demam dalam jangka panjang akan menghabiskan
simpanan energi pasien dan pasien akan merasa lemah karena metabolisme yang
Dari penelitian ini juga dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi penurunan
rata-rata suhu tubuh pasien stroke akut. Rata-rata suhu tubuh pasien pada hari
pertama adalah 38°C dengan suhu tubuh teringgi adalah 41°C dan suhu tubuh
terendah 36,8°C. Pada hari kedua rata-rata suhu tubuh pasien adalah 37°C dengan
suhu tubuh tertinggi 37,5°C dan suhu tubuh terendah adalah 36,8°C. Pada hari
ketiga rata-rata suhu tubuh pasien adalah 36,8°C dengan suhu tubuh tertinggi
adalah 37,1°C dan suhu tubuh terendah adalah 36,5°C. Pada pemberian awal
manitol rata-rata suhu tubuh pasien masih tinggi (hipertermia) sedangkan pada
hari kedua dan ketiga rata-rata suhu tubuh pasien sudah normal (normotermia).
Penurunan suhu tubuh pasien yang mendapat terapi manitol disebabkan oleh
pengurangan edema serebral oleh manitol yang dapat menarik cairan dari
suhu tubuh akibat penekanan pada pusat pengatur suhu tubuh (hipotalamus).
Selain itu, proses pembentukan edema serebral yang terjadi secara cepat pada 24
jam pertama stroke menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan suhu tubuh
Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa pasien stroke akut yang mendapat
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Paramadina (2013),
yang mendapatkan hasil bahwa pada pasien stroke masih mengalami takipnea
besar pasien pada hari pertama merupakan pertanda adanya hipoksia jaringan
akibat gangguan perfusi serebral karena edema serebral yang terbentuk segera
setelah serangan stroke. Adanya kerusakan jaringan otak akan memicu terjadinya
otak, yang diikuti dengan kenaikan penggunaan energi dan metabolisme basal dan
memicu kebutuhan oksigen yang lebih tinggi dari kondisi normal. Sehingga tubuh
pula pada peningkatan PaO2 dan saturasi oksigen jaringan (Werner & Engelhard,
2007).
kedalaman pernafasan, dan begitu juga sebaliknya ketika gas darah kembali pada
konsentrasi normal (Marieb & Mallat, 2001). Perubahan suplai darah serebral,
bersinaps dengan interneuron atau motor neuron yang terletak di regio servikal,
torakal dan lumbal. Inti sel saraf spinal yang menerima input dari medula
oblongata membentuk saraf tepi, keluar dari medula spinalis, menginervasi otot
inspirasi dan otot ekspirasi sehingga akan terjadi peningkatan ventilasi paru.
Selain itu, edema serebral yang terjadi segera setelah stroke dapat menekan
oleh suhu tubuh. Pengaruh suhu tubuh pasien stroke yang mengalami hipertermia
13% setiap kenaikan suhu tubuh 1°C, peningkatan kebutuhan kalori serta cairan,
Dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa terjadi penurunan rata-rata
frekuensi pernafasan pada pasien stroke yang mendapat terapi manitol. Rata-rata
frekuensi pernafasan pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol pada hari
x/menit dan frekuensi paling rendah adalah 21 x/menit. Pada hari kedua
didapatkan rata-rata frekuensi pernafasan pasien stroke akut yang mendapat terapi
frekuensi pernafasan paling rendah adalah 17 x/menit. Pada hari ketiga rata-rata
frekuensi pernafasan pasien stroke akut yang mendapat terapi manitol adalah 18
edema serebral. Fase pembentukan edema serebral berlangsung cepat pada 24 jam
pertama stroke setelah itu proses pembentukan terjadi dengan lambat hingga hari
9-14.
terapi manitol terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu: (1) peningkatan aliran
darah serebral akibat peningkatan tekanan perfusi serebral (CPP), (2) vasodilatasi
peningkatan aliran darah (Wani, Ramzan, Nizami, Malik, Kirmani, Bhatt &
dan tekanan osmosis kapiler bekerja berlawanan arah pada dinding kapiler.
intravaskuler, sehingga edema otak akibat peningkatan kadar air dalam jaringan
otak akan menurun. Selain itu, peningkatan cairan dalam intravaskuler juga akan
manitol dan akan meningkat kembali ke kadar normal 6 jam pasca pemberian
peningkatan aliran darah serebral (Dringer, Scalfani, Zazulia,, Videen, Dhar &
Power, 2012).
Keterbatasan Penelitian
Metodologi
teori yang ada sehingga tidak menutup kemungkinan instrumen penelitian ini
uji reliabilitas dan uji validitas sebelumnya, (2) peneliti dibantu oleh asisten
melakukan uji interabilitas, namun dipilih sesuai kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya, dan (3) penelitian ini dalam pengambilan sampel tidak mengontrol
Proses penelitian
karena jumlah pasien stroke hemoragik yang lebih sedikit dibandingkan dengan
stroke iskemik.
Kesimpulan
5. Tidak terjadi perbaikan otot wajah (nervus fasialis) pada pasien stroke akut
8. Terjadi perubahan tanda-tanda vital yaitu perbaikan suhu tubuh pada pasien
158
Saran
sakit Adam Malik Medan dan rumah sakit Pirngadi Medan khususnya di unit
stroke (stroke corner) hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan
sebagai data dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pemberian
terapi manitol pada pasien stroke akut, mengingat manitol merupakan standar
intrakranial akibat edema serebral. Dan juga menjadi data dasar untuk melakukan
penelitian mengenai stroke hemoragik khususnya pada fase akut yang menjadi
Daftar Pustaka
Adja, Yuliana Monika Imelda Wea Ora. (2015). Hipertermi dalam 72 jam awitan
sebagai prediktor perburukan klinis penderita stroke iskemik akut selama
perawatan di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Tesis.
Aji, Reza Panji. (2014). Faktor risiko yang mempengaruhi nilai Glasgow Coma
Scale (GCS) pada pasien stroke perdarahan dengan hipertensi di RSUP Dr.
Sardjito. Diakses
http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/68683 pada 24
September 2018.
Anness, Elizabeth & Tirone, Kelly. (2009). Evaluating the neurologic status of
unconscious patients. American Nurse Today. Vol. 4. No. 4.
Baidya, OP,. Chaudhuri S,. & Devi, KG. (2013). Clinico-Epidemiological Study
Of Acute Hemorrhagic Stroke in A Tertiary Care Hospital Of
Northeneastern State Of India. Int J Res Med. Vol. 2 (3):34-7.
Baidya, Omkar Prasad,. Tiwari, Sunita,. & Usman, Kauser. (2015). Acute
hemorrhagic stroke in young adults-a study in a tertiary-care hospital of
North India. International Journal of Biomedical and Advance Research.
Vol 6 (05): 449-453.
Barret, Kim E., Barman, Susan M., Baitano, Scott & Brooks, Heddwen L. (2014).
Buku ajar fisiologi kedokteran ganong. Editor edisi bahasa Indonesia, Dian
Ramadhani. Jakarta: EGC.
Batubara, Rio Nurdinsyah & Iqbal, Kiki Mohammad. (2011). Penyebab mortalitas
pada pasien stroke fase akut di RSUP. Haji Adam Malik Medan.
Batticaca, F.B. (2008). Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem
persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Berman, Audrey., Snyder, Shilee., Frandsen, Geralyn. (2016). Kozier & Erb’s
fundamentals of nursing: concepts, practice, and process. Tenth edition.
USA: Pearson Education, Inc.
Black & Hawks. (2005). Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcomes (Ed.7). St. Louis: Missouri Elsevier Saunders.
Ceulemans, A.G., Zgavc T., Kooijman R., Hachimi-Idrissi S., Sarre S, Michotte
Y. (2010). The dual role of the neuroinflammatory response after ischemic
stroke: modulatory effects of Hypothermia. Journal of
Neuroinflammation.Vol.7: 74.
Chen, Shiyu., Zeng, Liuwang & Hu, Zhiping. (2014). Progressing haemorrhagic
stroke: categories, causes, mechanisms and managements. Journal
Neurology. Vol. 261: 2061–2078.
Corwin, EJ. (2009), Buku Saku Patofisiologi, 3rd edition. Jakarta: EGC.
Dilles, Tinne., Elsevier, Monique M., Rompaey, Bart Van., Bortel, Lucas M. Van
& Stichele, Robert R. Vander. (2011). Barrier for nurses to safe medication
management in nursing home. Journal of nursing Scholarship. Vol. 43 (2).
Dringer, Micheal N., Scalfani, Michael T., Zazulia, Allyson R., Videen, Tom O.,
Dhar, Rajat & Powers, William J. (2012). Effect mannitol on cerebral blood
volume in patients with head injury. Journal neurosurgery. Vol. 70.
Gillig, Paulette Marie & Sanders, Richard D. (2010). The trigeminal (V) and
facial (VII) cranial nerves: head and face sensation and movement.
Psychiatry & Neurology. Vol. 7 (1).
Go, A.S., Mozaffarian, D., Roger, V.L., Benjamin, E.J., Berry, J.D., Borden,
W.B., ...Turner, M.B. (2013). Heart disease and stroke statistics update: A
report from the American Heart Association. Circulation. Vol. 127: 245.
Guyton, Arthur C & Hall, John E. (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi
11. Jakarta: EGC.
Hacke, Werner., Kaste, Markku., Olsen, Tom Skyhoj., Bogousslavsky, Julien., &
Orgogozo, Jean-Marc. (2010). Acute treatment of ischemic stroke.
Cerebrovascular disease. Vol. 10: 22-33.
Hadi, Anica. (2013). Edema serebral sebagai prediktor mortalitas pada perdarahan
intraserebral akut (Master thesis). Available from etd. repository.UGM.
ac.id.
Hicks, Rodney W., Wanzer, Linda J & Denholm, Bonnie. (2012). Implementing
AORN recommended practices for medication safety. AORN Journal. Vol.
96. No. 6.
Jaya, Ismail,. Widodo, Djoko & Ganda, Idham Jaya. (2017). Perbandingan efek
pemberian hipertonik salin solution 3% dan amnitol 20% pada pasien
trauma kepala sedang. JST Kesehatan. Vol. 7 No. 4: 374–380.
Kelly, G.S. (2010). Body temperature variability (Part 2): Masking Influences of
Body Temperature Variability and a Review of Body Temperature
Variability in Disease. Altern Med Rev. Vol. 12 (1): 49–62.
Khotimah, Diah Khusnul., Puguh, Sri K., & Purnomo, Eko Ch. (2017). Efektivitas
Facial Massage dan Facial Expression terhadap Kesimetrisan Wajah Pasien
Stroke dengan Face Dropping di RS Mardi Rahayu Kudus. Jurnal Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan (JIKK), Vol. 3. No. 5.
Klit, H., Finnerup, N.B., Overvad, K., Andersen, G., Jensen, T.S. (2011). Pain
following stroke: A population-based follow-up study. PLoS ONE 6(11):
e27607. doi:10.1371/journal.pone.0027607.
Lewis, Sharon L., Dirksen, Shannon Ruff., Heitkemper, Margaret McLean &
Bucher, Linda. (2012). Medical Surgical Nursing: Assessment and
Management of Clinical Problems. Ninth edition. Canada: Elsevier.
Lopez, George A, Afshinnik, Arash & Samuels, Owen. (2011). Care of the stroke
patient: routine management to lifesaving treatment options.
Neurotherapeutics. Vol. 8.
Mardjono M, Sidharta P. (2006). Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat (149-
159).
Marieb, Elaine N & Mallat, Jon. (2001). Human anatomy. Third edition. USA:
Benjamin Cummings.
Marisyka P, Nasya. (2012). Gambaran Tekanan Darah pada Penderita Stroke Fase
Akut di RSUP H. Adam Malik Medan. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Mayuni, I Gusti A.O. (2013). Pelatihan senam lansia menurunkan tekanan darah
lansia di Banjar Tuka Dalung. Diakses http://www.pps.unud.ac.id pada Juni
2018.
Murray, C.J., Vos, T., Lozano, R., Naghavi, M. (2012). Disability-adjusted life
years (DALYs) for 291 diseases and injuries in 21 regions, 1990–2010: A
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet;
380: 2197–223.
Nedeltchev K., Renz N., Karameshev A., Haefeli T., Brekenfeld C., Meier N., et
al. (2010). Predictors of early mortality after acute ischaemic stroke. Swiss
Med Wkly. Vol. 140(17-18): 254-9.
Obrist, WD., Gennarelli, TA., Segawa, H., Dolisnkas, CA & Langfitt, TW.
(1979). Relation of Cerebral Blood Flow to Neurological Status and
Outcome in Head Injured Patients. J Neurosurg Vol. 51: 292-300.
Paramytha, Dya., (2016). Hubungan Suhu Tubuh dengan Outcome pada Pasien
Stroke Iskemik Berdasarkan Standar Nasional Institute of Health Stroke
Scale (NIHSS) di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.
Diakses http://repository.unjaya.ac.id/438/1/Dya%20Paramytha%20A.U_22
12135_nonfull%20resize.pdf pada 14 Juni 2018.
Plum F & Posners JB. (1982). The diagnosis of stupor and coma. 3rd edition,
Philadelphia, FA Davis CO.
Rachman, Iwan Abdul., Rahardjo, Sri & Saleh, Siti Chasnak. (2015). Terapi
Hiperosmolar pada Cedera Otak Traumatika. JNI. Vol. 4 (2): 119–33.
Roger, V.L., Go, A.S., Lloyd-Jones, D.M., Benjamin, E.J., Berry, J.D., Borden,
W.B., et al., (2011). Heart Disease and Stroke Statistics--2011 Update : A
Report From the American Heart Association, American Heart Association,
Circulation Vol. 125: 68-87.
Roux, Peter Le. (2013). Physiological monitoring of the severe traumatic brain
injury patient in the intensive care unit. Current neurology neuroscience
reports. Vol. 13.
Sacco, R.L., Kasner, S.E., Broderick, J.P., Caplan, L.R., Connors, J.J & Culebras,
A. (2013). An Update Definition of Stroke for The 21st Century: A
Statement for Healthcare Professionals from The American Heart
Association/ American Stroke Association. Stroke. 44: 2064-2089.
Saini, M., Saqqur, M., Kamruzzaman, A., Lees, K.R & Shuaib, A. (2010). Effect
of Hyperthermia on Prognosis After Acute Ischemic Stroke. Journal of The
American Heart Association. Vol. 40: 3051-3059.
Sherwood, L. (2001). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Slamovits, Thomas L., Glaser, Joel S. (2004). The Pupils and Acomodation,
Duane’s Clinical Ophthalmology, Chapter 15, Vol. 2; Revised edition,
Lippincot Williams & Wilkins.
Susilawati, Ni Nyoman Ayu., Nuartha, AABN,. & Eko, Thomas P. (2016). Lesi
talamus sebagai faktor risiko perburukan neurologis pada stroke perdarahan
intraserebral supratentorial akut. MEDICINA. Vol 50 (1): 38-47.
Tiex, R & Tsirka, SE. (2010). Brain edema after intracerebral hemorraghe:
Mechanisme, treatment options, management strategies and operative
indication. Neurosurg Focus. Vol. 22 (5): 6.
Tikhonoff, Valérie., Zhang, Haifeng., Richart, Tom., & Staessen, Jan A. (2009).
Blood pressure as a prognostic factor after acute stroke. Lancet Neurol; 8:
938–48.
Vicenzini, E., Ricciardi, M.C., Zuco, Sirimarco G., Di Piero, V & Lenzi, G.L.
(2011). Effects of a single mannitol bolus on cerebral hemodynamics in
intracerebral hemorrhage: A transcranial doppler study. Cerebrovascular
Disease. Vol. 32: 447-453.
Wani, AA., Ramzan, AU., Nizami, F et al. (2008). Controversy in use of mannitol
in head injury. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT). Vol. 5 (1): 11-3.
Witherspoon, Briana & Ashby, Nathan E. (2017). The use of mannitol and
hypertonic saline therapies in patients with elevated intracranial pressure.
Journal nursing clinics. Vol. 10.
World Health Organization, (2010). The atlas of heart disease and stroke. dilihat
10 April 2017. Diunduh dari
www.who.int/cardiovascular_diseases/resources/atlas/en/
Zauner, Alois., & Muizelaar, J. Paul. (1997). Brain Metabolism & Cerebral Blood
Flow. Chapman & Hall.
Zheng, Haiping., Chen, Chunli, Zhang, Jie & Hu, Zhiping. (2016). Mechanism
and therapy of brain edema after intracerebral hemmorrhage.
Cerebrovascular Disease. Vol. 42: 155-169.
Pekerjaan : Mahasiswa
Riwayat Pendidikan:
Peneliti
Responden Peneliti
Kode :
INSTRUMEN PENELITIAN
ANALISIS PERUBAHAN STATUS NEUROLOGIS KLINIS PASIEN STROKE
FASE AKUT YANG MENDAPAT TERAPI MANNITOL DI RUMAH SAKIT
KOTA MEDAN TAHUN 2018
PETUNJUK PENGISIAN
Pengisian dilakukan oleh peneliti dengan memberi tanda ceklis (√)
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Usia : tahun
Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan
Tingkat pendidikan : Riwayat status merokok:
Tidak Sekolah Tidak pernah Sudah berhenti
SD Masih merokok Perokok pasif
SMP
Lokasi perdarahan
SMA
Supratentorial
v Perguruan Tinggi
Infratenrotial
Pekerjaan
Jenis perdarahan
v Bekerja
Tidak bekerja
v Perdarahan intraserebral
Status perkawinan Perdarahan subarakhnoid
v Menikah
Lokasi perdarahan :
v Tidak Menikah
Duda/Janda
Riwayat kesehatan dahulu
Hipertensi
v
v Diabetes melitus
v Gagal ginjal
Kode :
LEMBAR OBSERVASI TINGKAT KESADARAN
(GLASGOW COMA SCALE)
PETUNJUK: Lembar observasi ini diisi langsung oleh peneliti berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dengan memberi tanda ceklis (√)
No Domain Skor
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Mata
4 : spontan
5 : orientasi baik
Kode :
PETUNJUK: Lembar observasi ini diisi langsung oleh peneliti berdasarkan hasil
pemeriksaan fisik dengan memberi tanda ceklis (√)
2 Saraf kranial III Pupil kiri dan kanan Pupil kiri dan kanan Pupil kiri dan kanan
(okulomotorius)
reaktif terhadap cahaya reaktif terhadap cahaya reaktif terhadap cahaya
Respon pupil
terhadap cahaya Salah satu pupil reaktif Salah satu pupil reaktif Salah satu pupil reaktif
terhadap cahaya terhadap cahaya terhadap cahaya
Pupil kiri dan kanan Pupil kiri dan kanan Pupil kiri dan kanan
3 Saraf kranial V Refleks kornea kanan Refleks kornea kanan Refleks kornea kanan
(trigeminus) dan kiri positif dan kiri positif dan kiri positif
Refleks kornea
Salah satu refleks Salah satu refleks Salah satu refleks
No Domain Nilai
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Tekanan darah
2 Nadi
3 Suhu
4 Frekuensi pernafasan