Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN

BLOK HEMATO IMMUNOLOGI

PEMERIKSAAN FRAGILITAS ERITROSIT


Metode Daya Tahan Osmotik Cara Visual

Oleh :

Nama : Yuni Hanifah


NIM : G1A009097
Kelompok : VII
Asisten : Yuli Lestari

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO

2010
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN


BLOK HEMATO IMMUNOLOGI
PEMERIKSAAN FRAGILITAS ERITROSIT
Metode Daya Tahan Osmotik Cara Visual

Oleh:
Yuni Hanifah
G1A009097
Kelompok VII

Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum


Biokimia kedokteran BLOK Hemato Immunologi pada
Jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Diterima dan disahkan


Purwokerto, 25 September
2010

Asisten

Yuli Lestari
(GIA007010)
BAB I

PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum

Pemeriksaan Fragilitas Eritrosit

B. Tanggal Praktikum

21 September 2010

C. Tujuan Praktikum

1. Mengetahui fragilitas eritrosit

2. Menyimpulkan hasil pemeriksaan fragilitas eritrosit dalam darah dari

hasil praktikum setelah membandingkannya dengan nilai normal.

3. Melakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan

diagnosis dengan bantuan hasil praktikum yang digunakan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dasar Teori

A. Struktur Eritrosit

Untuk mengangkut hemoglobin agar berkontak erat dengan jaringan dan

agar pertukaran gas berhasil, eritrosit yang berdiameter 8 µm harus dapat

secara berulang melalui mikrosirkulasi yang diameter minimumnya 3.5 µm,

untuk mempertahankan hemoglobin dalam keadaan tereduksi (ferro) dan

untuk mempertahankan keseimbangan osmotik walaupun konsentrasi protein

(hemoglobin) tinggi di dalam sel. Perjalanan secara keseluruhan selama masa

hidupnya yang 120 hari diperkirakan sepanjang 480 km (300 mil). Untuk

memenuhi fungsi ini, eritrosit adalah cakram bikonkaf yang fleksibel dengan

kemampuan menghasilkan energi sebagi adenosine trifosfat (ATP) melalui

jalur glikolisis anaerob (Emboden-Meyerhof) dan menghasilkan kekuatan

pereduksi sebagai NADH melalui jalur ini serta sebagai nikotamida adenine

dinukleotida fosfat tereduksi (NADPH) melalui jalur pintas heksosa

monofosfat (hexsose monophosphate shunt) (Hoffbrand et al, 2005).

Sel darah merah atau SDM adalah sel yang terbanyak di dalam darah.

Karena sel ini mengandung senyawa yang berwarna merah, yaitu

hemoglobin, maka dengan sendirinya darah berwarna merah. Sel ini dengan

mudah dapat dilihat dengan bantuan mikroskop pada sediaan apusan darah.

Pada sediaan hapus dengan pewarnaan MGG, SDM tampak sebagai sel-sel

bulat dengan cirri khas tidak berinti, yang menutup lapangan pandangan.

Sesungguhnya, bila dilihat dari satu arah, SDM tampak sebagai lingkaran.

Bila dilihat dalam


arah yang tegak lurus dari arah yang pertama, akan tampak bentuk

penampang dwicekung atau bikonkaf dari SDM. Dengan demikian, dalam

keadaan yang biasa, morfologi SDM bukanlah berupa suatu bola, akan tetapi

berupa suatu cakram dwicekung atau bikonkaf. Namun, tidaklah berarti sel

ini selalu mempunyai morfologi serupa itu. Bila sel-sel tersebut terpaksa

harus melewati pembuluh kapiler dengan garis tengah rata-rata yang lebih

kecil daripada garis tengah SDM, sel ini dapat pula mengambil bentuk lain

sedemikian rupa, sehingga diameternya lebih kecil daripada kapiler. Bentuk

yang mungkin untuk itu hanyalah bentuk silinder atau bahkan kerucut.

Selain itu, dalam penyakit bawaan tertentu, SDM dapat pula berbentuk bola

yang sempurna, seperti yang tampak dalam keadaan sferositosis. Dalam

penyakit bawaan yang lain, yaitu ovalositosis, morfologi SDM seperti telur.

Pada umumnya, SDM dengan pola geometri yang bukan berupa cakram

dwicekung tersebut tidak dapat menyesuaikan garis tengahnya ketika melalui

pembuluh kapiler. Dengan perkataan lain, SDM seperti ini tidak selentur

SDM biasa yang berupa cakram dwicekung. Oleh karena itu, ketika masuk

melalui kapiler, banyak di antara SDM yang tidak biasa ini rusak sehingga

terjadilah pemecahan sel darah merah di dalam pembuluh darah (hemolisis

intravaskuler). Akibatnya, subjek dengan SDM seperti itu akan mengalami

keadaan kekurangan darah atau anemia (Sadikin, 2001).

Diameter SDM manusia biasanya sebesar 7,82 + mm, sedangkan tebal

cakramnya adalah 0.81 + 0.35 mm di tempat yang paling tipis dan 2.58 +

0.27 di tempat yang paling tebal. Volume SDM rata-rata adalah 94 + 14 fL,

sedangkan luas permukaannya adalah 135 + 16 mm2. Ukuran-ukuran ini

dapat
berubah menjadi lebih besar atau lebih kecil, yang selalu berhubungan

dengan kelainan sel darah merah dan menyebabkan atau menyertai anemia.

Bila ukuran volume SDM menjadi lebih besar, keadaan tersebut biasanya

dinamai sebagai makrositis. Sebaliknya, bila ukuran volume itu menjadi

lebih kecil dari biasanya, terjadi keadaan mikrositis (Sadikin, 2001).

Membran eritrosit terdiri atas lipid dua lapis (lipid bilayer), protein

membran integral, dan suatu rangka membran. Sekitar 50% membran adalah

protein, 40% lemak, dan 10% karbohidrat. Karbohidrat hanya terdapat pada

permukaan luar sedangkan protein dapat di perifer atau integral, menembus

lipid dua lapis. Beberapa protein eritrosit telah diberi nomor menurut

mobilitasnya pada elektroforesis gel poliakrilamid (polyacrilamide gel

electrophoresis) (Hoffbrand et al, 2005).

Rangka membran terbentuk oleh protein-protein struktural yang

mencakup spektrin a dan þ, ankirin, protein 4.1 dan aktin. Protein-protein

tersebut membentuk jaringan horisontal pada sisi dalam membran eritrosit

dan penting untuk mempertahankan bentuk bikonkaf. Spektrin adalah protein

yang terbanyak, terdiri atas dua rantai (a dan þ) yang saling mengelilingi

untuk membentuk heterodimer, kemudian berkumpul sendiri dengan posisi

kepala- kepala membentuk tetramer. Tetramer ini terkait pada aktin di sisi

ekornya dan melekat pada protein band 4.1. pada sisi kepala, rantai spektrin

þ melekat pada ankirin yang berhubungan dengan band 3, protein

transmembran yang bekerja sebagai saluran anion ( hubungan vertikal’)

protein 4.2. memperkuat interaksi ini (Hoffbrand et al, 2005).


Sel darah merah memiliki struktur yang jauh lebih sederhana

dibandingkan kebanyakan sel pada manusia. Pada hakikatnya, sel darah

merah merupakan suatu membran yang membungkus larutan hemoglobin

(protein ini membentuk sekitar 95% protein intrasel sel darah merah), dan

tidak memiliki organel sel, misalnya mitokondria, lisosom atau aparatus

Golgi. Sel darah manusia, seperti sebagian sel darah merah pada hewan,

tidak berinti. Namun, sel darah merah tidak inert secara metabolis. Melalui

proses glikolisis, sel darah merah membentuk ATP yang berperan penting

dalam proses untuk memperthankan bentuknya yang bikonkaf dan juga

dalam pengaturan transpor ion (mis. oleh Na+-K+ ATPase dan protein

penukar anion serta pengaturan air keluar-masuk sel. Bentuk bikonkaf ini

menigkatkan rasio permukaan- terhadap-volume sel darah merah sehingga

mempermudah pertukaran gas. Sel darah merah mengandung komponen

sitoskeletal yang berperan penting dalam menentukan bentuknya (Murray,

2009).

Sel darah merah harus mampu melewati bagian-bagian yang sempit dari

mikrosirkulasi dalam perjalanannya mengelilingi tubuh, terutama saat

mengelilingi sinusoid limpa. Agar sel darah merah mudah mengalami

deformasi secara reversible, membrannya haruslah cair dan lentur; membran

ini juga harus tetap mempertahankan bentuk bikonkaf karena bentuk ini

mempermudah pertukaran gas. Terdapat sejumlah protein sitoskeleton

perifer yang melekat pada bagian dalam membran sel darah merah dan

berperan penting dalam mempertahankan bentuk dan kelenturannya; protein-

protein ini adalah:


1. Spektrin. Spektrin merupakan protein utama sitoskeleton. Protein ini

terdiri dari dua polipeptida: spektrin 1 (rantai a) dan spektrin 2 (rantai þ).

Kedua rantai yang berukuran panjang sekitar 100 nm dan tersusun secara

antiparalel serta berjalina secara longgar ini membentuk suaatu dimer.

Keduanya tersusun oleh segmen-segmen sebesar 106 asam amino yang

tampak melipat, dan membentuk kumparan-kumparan a-heliks untai-

tripel yang disatukan oleh segmen-segmen nonheliks. Satu dimer

berinteraksi dengan dimer lain, yang membentuk tetramer pankal ke

pangkal. Bentuk keseluruhan ini akan menghasilkan fleksibilitas bagi

protein yang pada gilirannya akan memperngaruhi membran sel darah

merah. Di spektrin, terdapat sedikitnya empat tempat pengikatan: untuk

penyususnan diri sendiri, untuk ankirin, untuk aktin, dan untuk protein

4.1.

2. Ankirin. Ankirin adalah suatu protein berbentuk piramid yang mengikat

spektrin. Ankirin kemudian berikatan erat dengan pita 3 yang

memperkuat perlekatan spektrin pada membran. Ankirin peka terhadap

proteolisis, yang menjadi penyebab munculnya pita 2.2, 2.3, dan 2.6,

yang kesemuanya merupakan turunan pita 2.1.

3. Aktin. Aktin terdapat di sel darah merah sebagai filament pendek heliks-

ganda –aktin. Ekor dimer spektrin berikatan dengan aktin. Aktin juga

berikatan dengan protein 4.1.

4. Protein 4.1. protein 4.1. adalah suatu protein globular yang berikatan erat

dengan ekor spektrin di tempat yang dekat dengan lokasi terikatnya aktin;

karena itu, protein ini adalah bagian dari kompleks tripel protein 4.1-

spektrin-aktin. Protein 4.1 juga berikatan dengan protein integral,


glikoforin A dan C, sehingga melekatkan kompleks tripel pada

membran. Selain itu, protein 4.1. dapat berinteraksi dengan fosfolipid

membran tertentu sehingga lapisan ganda lipid terhubung dengan

sitoskeleton (Murray, 2009).

B. Metabolisme Eritrosit

Jalur Embden-Meyerhof. Dalam rangkaian reaksi biokimia ini, glukosa

dimaetabolisme menjadi laktat. Untuk tiap molekul glukosa yang dipakai,

dihasilkan dua molekul ATP, dan dengan demikian dihasilkan ikatan fosfat

energy tinggi. ATP menyediakan energy untuk mempertahankan volume,

bentuk, dan kelenturan eritrosit. Eritrosit mempunyai tekanan osmotik lima

kali lipat plasma dan adanya kelemahan intrinsik membran menyebabkan

pergerakan Na+ dan K+ yang terjadi secara terus menerus. Diperlukan pompa

natrium ATPase membran, dan pompa ini menggunakan satu molekul ATP

untuk mengeluarkan 3 ion natrium dari sel dan memasukan dua ion kalium ke

dalam sel (Hoffbrand et al, 2005).

Jalur Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH yang diperlukan oleh

enzim methemoglobin reduktase untuk mereduksi methemoglobin

(hemoglobin teroksidasi) yang tidak berfungsi, yang mengandung besi ferri

(dihasilkan oleh oksidasi sekitar 3% hemoglobin setiap hari) menjadi

hemoglobin tereduksi yang aktif berfungsi. 2,3-DPG yang dihasilkan pada

pintas Luebering-Rapoport (Luebering-Rapoport Shunt), atau jalur samping

pada jalur ini membentuk suatu kompleks 1:1 dengan hemoglobin, dan

seperti
telah disebutkan di atas, penting dalam regulasi afinitas hemoglobin terhadap

oksigen (Hoffbrand et al, 2005).

Jalur Heksosa Monofosfat (pentosa fosfat). Sekitar 5% glikolisis terjadi

melalui jalur oksidatif ini, dengan perubahan glukosa-6-fosfat menjadi 6-

fosfo-glukonat dan kemudian menjadi ribulosa-5-fosfat. NADPH dihasilkan

dan berkaitan dengan glutation yang mempertahankan gugus sulfhidril (SH)

tetap utuh dalam sel, termasuk SH dalam hemoglobin dan membran eritrosit.

NADPH juga digunakan oleh methemoglobin reduktase lain untuk

mempertahankan besi hemoglobin dalam keadaan Fe2+ yang aktif secara

fungsional. Pada salah satu kelainan eritrosit diturunkan yang sering

ditemukan (yaitu defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD)),

eritrosit sangat rentan terhadap stres oksidasi (Hoffbrand et al, 2005).

Sel darah merah memiliki pengangkut glukosa di membrannya.

Kecepatan masuknya glukosa ke dalam sel darah merah jauh lebih besar

daripada yang diperhitungkan untuk difusi sederhana. Hal ini merupakan

contaoh difusi terfasilitasi. Protein spesifik kecepatan yang berperan dalam

proses ini dinamai glucose transporter (GLUT1) atau glukosa permease.

Sekitar dua belas macam pengangkut glukosa yang berbeda, tetapi berkaitan

telah diisolasi berbagai jaringan manusia; tidak seperti pengangkut pada sel

darah merah, sebagaian pengangkut ini bersifat dependen-insulin (Murray,

2009).

Retikulosit aktif menyintesis protein. Sel darah merah matang tidak dapat

menyintesis protein.retikulositlah yang aktif menyintesis protein. Ketika

masuk ke dalam peredarah darah, retikulosit akan kehilangan organel

intraselnya (ribososm, mitokondria, dsb) dalam waktu sekitar 24 jam,


kemudian berubah menjadi sel darah merah muda sehingga kehilangan

kemampuan untuk membentuk protein (Murray, 2009).

C. Fragilitas Eritrosit

Hemolisa adalah peristiwa keluarnya hemoglobin dari dalam sel darah

merah menuju ke cairan di sekelilingnya. Keluarnya hemoglobin ini

disebabkan karena pecahnya membran sel darah merah. Membran sel darah

merah mudah dilalui atau ditembus oleh ion-ion H+, OH-NH4+, HCO3-, Cl-, dan

juga oleh substansi-substansi yang lain seperti glukosa, asam amino, urea, dan

asam urat. Sebaliknya membran sel darah merah tidak dapat ditembus oleh

Na+, K+, Ca2+, Mg2+, fosfat organik, dan juga substansi lain seperti hemoglobin

dan protein plasma (Asscalbiass, 2010).

Membran sel darah merah termasuk membran permeabel selektif, yaitu

membran yang dapat ditembus oleh molekul air dan substansi-substansi

tertentu, tetapi tidak dapat ditembus oleh substansi yang lain (Asscalbiass,

2010).

Ketahanan membran eritrosit terhadap terjadinya hemolisis dapat

diketahui dengan mencampurkan eritrosit ke dalam larutan hipotonis (NaCl)

dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Larutan hipotonis dengan

konsentrasi tertentu dapat mengakibatkan pecahnya eritrosit. Keadaan ini

disebut dengan fragilitas eritrosit (Adoe, 2006).


D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fragilitas Eritrosit

Ada 2 macam hemolisa, yaitu hemolisa osmotik dan hemolisa kimiawi.

Hemolisa osmotik terjadi karena adanya perubahan yang besar antara

tekanan osmosa cairan di dalam sel darah merah dengan cairan di sekeliling

sel darah merah. Dalam hal ini tekanan osmosa sel darh merah jauh lebih

besar daripada tekanan osmosa di luar sel. Tekanan osmosa di dalam sel

darah merahsama dengan tekanan osmosa larutan NaCl 0.9%. Bila sel darah

merah dimasukkan ke dalam larutan 0.8% belum terlihat adanya hemolisa,

tetapi sel darah merah yang dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0.4% hanya

sebagian saja yang megalami hemolisa, sedangkan sebagian sel darah merah

yang lainnya masih utuh. Perbedaan ini disebabkan karena umur sel darah

merah, SDM yang sudah tua, membran selnya mudah pecah sedangkan SDM

muda membran selnya masih kuat. Bila SDM dimasukkan ke dalam larutan

NaCl 0.3% semua SDM akan mengalami hemolisa. Hal ini disebut hemolisa

sempurna. Larutan yang mempunyai tekanan osmosa lebih kecil daripada

tekanan osmosa ini SDM disebut larutan hipotonis, sedangkan larutan yang

mempunyai tekanan osmosa lebih besar dari tekanan osmosa isi SDM

disebut larutan hipertonis. Suatu larutan yang mempunyai tekanan osmosa

yang sama besar dengan tekanan osmosa isi SDM disebut larutan isotonis.

Sedangkan pada jenis hemolisa kimiawi, SDM dirusak oleh macam-macam

substansi kimia. Dinding SDM terutama terdiri dari lipid dan protein,

membentuk suatu lapisan lipoprotein. Jadi, setiap substansi kimia yang dapat

melarutkan lemak (pelarut lemak) dapat merusak atau melarutkan membran

SDM. Kita mengenal bermacam-macam pelarut lemak, yaitu kloroform,

aseton, alkohol benzen, dan


eter. Substansi lain yang dapat merusak membran SDM diantaranya adalah

bisa ular, bisa kalajengking, garam empedu, saponin, nitrobenzen, pirogalol,

asam karbon, resin, dan senyawa arsen (Asscalbiass, 2010).

SDM yang ditempatkan pada larutan garam yang isotonis tidak akan

mengalami kerusakan dan tetap utuh. Tetapi bila SDM ditempatkan dalam air

destilata SDM akan mengalami hemolisa karena tekanan osmosa isi SDM

jauh lebih besar daripada di luar sel sehingga mengakibatkan banyak air

masuk ke dalam SDM (osmosis). Selanjutnya air yang banyak masuk ke

dalam SDM itu akan menekan membran SDM sehingga membran pecah

(Asscalbiass, 2010).

Komposisi membran plasma sel darah merah yang relatif terdiri dari

asam lemak fosfolipid, dan kolesterol sangat serat dihubungkan dengan

stabilitas membran dan fungsinya. Baru-baru ini, Aldrich et al. (2006)

melaporkan bahwa morfologi, ukuran, dan populasi dari sel darah merah

yang berinti adalah faktor fisiologis lain yang secara signifikan bisa

mempengaruhi stabilitas dan permeabilitas membran. Selanjutnya,

xenobiotik tertentu, seperti primaquine dan ekstak kacang Fava telah

dilaporkan sebagai agent yang dapat mengganggu status redoks sel darah

merah khususnya pada mereka yang memiliki gangguan pada aktivitas

glukosa-6-fosfat dehidrogenase (Mayes, 1983; Champe et al., 2005; Ojo et

al., 2006). Sel darah merah orang-orang tersebut telah memiliki kompensasi

untuk menghadapi tekanan osmotik (Chikezie et al, 2009).

Analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

bermakna, penurunan kadar MDA plasma sebelum dan setelah pemberian

vitamin E antara kelompok dataran rendah dan dataran tinggi (p<0,05).

Rerata kadar
MDA, vitamin E dan fragilitas eritrosit pada KDR, sebelum diberi vitamin E

berturut-turut adalah 2,77 0,54nmol/ml, 18,90 6,52 µg/ml, dan 0,76

0,33%. Sedangkan rerata kadar MDA, vitamin E dan fragilitas eritrosit pada

KDR, setelah diberikan vitamin E berturut-turut adalah 2,03 0,40 nmol/ml,

29,13 9,00 µg/ml, dan 0,57 0,16%. Rerata kadar MDA, vitamin E dan

fragilitas eritrosit pada KDT, sebelum diberi vitamin E berturutturut adalah

3,54 0,73nmol/ml, 15,78 6,52 µg/ml, dan 0,75 0,13%. Sedangkan rerata

kadar MDA, vitamin E dan fragilitas eritrosit pada KDR, setelah diberi

vitamin E berturut-turut adalah 2,53 0,40 nmol/ml, 24,04 8,49 µg/ml, dan

0,59 0,12%. Hasil uji-t amatan ulangan sebelum dan setelah pemberian

vitamin E kedua kelompok berbeda bermakna (p<0,05). Analisis kovarian

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penurunan kadar MDA plasma dan

penurunan fragilitas eritrosit yang bermakna antara sebelum pemberian

vitamin E (sampel I) dan sesudah pemberian vitamin E (sampel II), antara

KDR dan KDT. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberian vitamin E

pada manula di daerah dataran tinggi dan dataran rendah dapat menurunkan

kadar MDA plasma, meningkatkan kadar vitamin E plasma dan menurunkan

fragilitas eritrosit (Saryono, 2004).

Fragilitas eritrosit juga dipengaruhi oleh pH darah dalam larutan

hipotonis. Perubahan pH sebesar 0,1 setara dengan perubahan konsentrasi

NaCl sebesar 0,1%. Pada umumnya, fragilitas eritrosit akan menurun apabila

terjadi peningkatan pH (Adoe, 2006).

Indeks fragilitas osmosa sel darah merah dipengaruhi oleh lingkungan,

keadaan fisiologis, dan patologis (Chikezie et al, 2009).


Sinar ultraviolet yang terdapat dalam sinar matahari dapat meningkatkan

lisis membran eritrosit dengan cara membentuk radikal bebas. Paparan sinar

matahari juga berpengaruh terhadap eritrosit. Paparan sinar ultraviolet dari

matahari dapat menyebabkan terbentuknya molekul oksigen singlet (O2),

radikal superoksida (O2), hidrogen peroksida (H2O2), radikal peroksil

(ROO°), dan radikal hidroksil (OH°). Radikal hidroksil (OH°) ini merupakan

oksidan yang paling toksik karena dapat bereaksi dengan bermacam-macam

senyawa elemen dalam sel seperti protein, asam nukleat, lipid dan lain-lain,

sehingga dapat dengan mudah dan cepat merusak struktur sel atau jaringan.

Reaksi radikal hidroksil (OH°) dengan protein dapat mempercepat terjadinya

proteolisis. Membran eritrosit merupakan salah satu membran sel yang

rentan terhadap serangan radikal hidroksil (OH°). Jika radikal hidroksil

(OH°) menyerang membran sel, maka dapat terjadi lisis bahkan kematian

eritrosit. Hal ini menyebabkan terlepasnya hemoglobin dan dapat berlanjut

menjadi anemia (Adoe, 2006).

Hasil pemeriksaan fragilitas eritrosit dengan Osmotik Fragility Test

(OFT) metode Sanford didapatkan nilai rata-rata fragilitas eritrosit kelompok

I adalah 0,341 dan kelompok II adalah 0,301. Hal ini menunjukkan

hemolisis lengkap pada kelompok I rata–rata telah terjadi pada konsentrasi

NaCl 0,341%, sedangkan pada kelompok II, hemolisis lengkap rata–rata

terjadi pada konsentrasi NaCl 0,301%. Hasil penelitian ini sebanding dengan

hasil penelitian E.Rigel (2003) mengenai hubungan antara fragilitas eritrosit

dengan kadar hemoglobin pada intensitas paparan asap kendaraan bermotor.

Pada penelitian tersebut diketahui bahwa hemolisis lengkap pada kelompok

yang
jarang terpapar asap kendaraan bermotor rata-rata terjadi pada konsentrasi

NaCl 0,36%, sedangkan pada kelompok yang sering terpapar asap kendaraan

bermotor, hemolisis lengkap rata-rata terjadi pada konsentrasi NaCl 0,332%

(Adoe, 2006).

Eritrosit pada subyek yang sering terpapar sinar matahari kurang fragil

fragilitasnya lebih rendah) disbanding eritrosit pada subyek yang jarang

terpapar sinar matahari (Adoe, 2006).


BAB III

METODE

A. Alat dan Bahan

A.1. Alat

1. Spuit 3 cc

2. Tourniquet

3. 12 Tabung reaksi

4. Rak tabung reaksi

5. Pipet

6. Beaker Glass

7. Cavum Med

8. Kapas + Alkohol

A.2. Bahan

1. Darah

2. EDTA

3. NaCl 0.5%

4. Akuades

B. Tata Urutan

1. Mengambil darah dari probandus dengan menggunakan spuit 3 cc.

2. Memasukkan darah ke dalam vacuum med yang sudah diberi EDTA

sebanyak 2 tetes.
3. Mendapatkan Whole blood untuk sampel.

4. Menyusun 12 tabung reaksi pada rak tabung reaksi dan dibagi menjadi 2

baris, masing-masing 6 tabung.

5. Memberi masing-masing tabung tersebut nomor dari kiri ke kanan – ke

belakang dengan urutan 25, 24, 23, 22, 21, 20, 19, 18, 17, 16, 15, 14.

6. Meneteskan NaCl 0.5% dengan pipet kapiler yang banyaknya

menyesuaikan dengan nomor urut tabung.

7. Meneteskan juga akuades pada tiap tabung, sampai volumenya

berjumlah 25 tetes tiap tabung.

8. Konsentrasi NaCl pada masing-masing tabung sekarang menjadi 0.5%;

0.48%; 0.46%; 0.44%; 0.42%; 0.40%; 0.38%; 0.36%; 0.34%; 0.32%;

0.30%; dan 0.28%.

9. Memasukkan 1 tetes sampel whole blood pada masing-masing tabung

reaksi.

10. Memperhatikan hasilnya setelah satu jam (60 menit).

11. Memperhatikan hasilnya yang mana saja tabung yang terjadi permulaan

hemolisa dan hemolisa sempurna (complete hemolysis).

12. Memperhatikan apakah darah mengalami peningkatan fragilitas atau

penurunan fragilitas.

C. Nilai Normal

Permulaan lisis : pada NaCl 0.44% (0.44 + 002%

NaCl) Hemolisis Sempurna : pada NaCl 0.34% (0.34 +

002% NaCl)
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Probandus

Nama : Hafidh Riza Perdana

Usia : 18 tahun

Jenis Kelamin : Laki-

laki

2. Kriteria konsentrasi dan fragilitas

3. Interpretasi fragilitas eritrosit probandus

Permulaan lisis : pada NaCl 0.48% □ abnormal (terlalu cepat lisis)

Hemolisis sempurna : pada NaCl 0.38% □ abnormal (terlalu cepat lisis)

Fragilitas eritrosit probandus mengalami peningkatan.


B. Pembahasan

Praktikum pemeriksaan fragilitas eritrosit ini dimulai dengan mengambil

darah untuk dijadikan sampel whole blood. Setelah darah diambil dari

probandus, darah segera disimpan di dalam vacuum med yang sudah ditetesi

EDTA (Etilen Diamine Tetra Acid) agar darah tidak menggumpal. Darah yang

dimasukkan ke dalam plakon dari spuit tidak disemprotkan begitu saja, tatapi

dengan menempelkan spuit ke dinding plakon agar sel-sel darah tidak rusak.

Setelah itu, menyiapkan 12 tabung reaksi pada rak tebung reaksi dan diberi

nomor tabung 25, 24, 23, dan seterusnya sampai nomor tabung 14. Selanjutnya,

meneteskan setiap tabung dengan NaCl 0.5% yang banyak tetesnya disesuaikan

dengan nomor tabung. Selanjutnya menambahkan akuades pada masing-masing

tabung reaksi sehingga volume pada tabung reaksi adalah 25 tetes. Karena

ditambahkan akuades maka konsentrasi NaCl dalam tiap-tiap tabung sekarang

berbeda-beda. Lalu sampel darah whole blood ditambahkan pada masing-masing

tabung sebanyak 1 tetes. Tabung dibiarkan tegak lurus dalam tabung reaksi dan

dibiarkan selama 60 menit untuk kemudian diinterpretasikan hasilnya.

Setelah 60 menit, 12 tabung reaksi pada dua baris rak diamati dilihat

yang mana yang paling berwarna merah. Setelah diamati didapatkan bahwa

permulaan hemolisis terjadi di tabung bernomor 24 (konsentrasi NaCl 0.48%)

dan hemolisis sempurna pada tabung dengan nomor 19 (konsentrasi NaCl

0.38%).

Hasil pemeriksaan fragilitas eritrosit ini abnormal, didiaptkan

peningkatan fragilitas eritrosit. Hal ini bisa terjadi karena memang benar-benar

eritrosit probandus yang tidak normal atau karena beberapa kesalahan yang

mungkin dalam praktikum.


Beberapa kesalahan sangat mungkin terjadi dan menyebabkan hasil

pemeriksaan menjadi abnormal. Kesalahan yang mungkin terjadi di antaranya

adalah:

1. Pemeriksaan fragilitas eritrosit ini dikerjakan secara berkelompok, dan ada

beberapa orang yang meneteskan NaCl, akuades, dan sampel darah (bukan

satu orang yang meneteskan) sehingga sangat mungkin hasilnya tidak sama

banyak tiap tetes.

2. Rak tabung reaksi yang tidak sengaja tergeser sehingga tabung reaksi yang

ada di dalamnya menjadi terguncang.

3. Mata pengamat yang mengamati berbeda-beda fokusnya (kesalahan teknis).

C. Aplikasi Klinis

1. Peningkatan Fragilitas Eritrosit

a. Leukemia Limfositik Kronik (CLL)

Hingga saat ini, leukemia limfositik kronik adalah leukemia

limfoid kronik yang paling sering dijumpai dan insidensi puncak

terdapat pada usia 60-80 tahun. Etiologinya belum diketahui.

Beberapa temuan laboratorium pada kasus CLL ini adalah

limfositosis, penentuan imunofenotipe limfosit menunjukan bahwa

limfosit tersebut adalah sel B; anemia normokromatik normokrom

terdapat pada stadium lanjut karena infiltrasi sumsum tulang;

trombositopenia; aspirasi sumsum tulang memperlihatkan adanya

penggantian elemen sumsum tulang oleh limfosit; kadar

immunoglobulin serum yang


menurun; kelainan-kelainan kromosom; dan gen VH sel B

mengalami hipermutasi somatik di pusat-pusat germinal (Hoffbrand

et al, 2005).

Awitannya tersembunyi dan berbahaya dan sering ditemukan

pada pemeriksaan darah rutin, yang memperlihatkan peningkata

jumlah limfosit absolut atau karena limfadenopati dan splenomegali

yang tidak sakit. Waktu penyakitnya berkembang, hati juga

membesar. Pasien yang hanya menderita limfositosis dan

limfadenopati dapat bertahan 10 tahun lebih lama. Dengan terkenanya

organ, terutama lien prognosis memburuk (Price dan Wilson, 2005).

b. Anemia Hemolitik Auto Imun (AIHA)

Anemia hemolitik autoimun (Autoimmune hemolytic anemia,

AIHA) disebabkan oleh produksi antibodi oleh tubuh terhadap

eritrosit sendiri. Temuan laboratorium dan biokimia bersifat khas

pada anemia hemolitik ekstravaskuler dengan sferositosis yang

menonjol dalam darah tepi. Direct Antiglobulin test positif akibat

IgG, IgG dan komplemen atau IgA pada sel dan pada beberapa kasus,

autoantibodi memperlihatkan spesifisitas pada sistem rhesus

(Hoffbrand et al, 2005).

Anemia normositik adalah anemia yang volume rata-rata

corpuscular (MCV) berada dalam rentang normal atau, setidaknya,

tidak menyimpang jauh dari normal. Langkah pertama yang

direkomendasikan dalam hasil pemeriksaan anemia normositik adalah

penghitungan retikulosit untuk membedakan antara anemia akibat


peningkatan produksi atau akibat penurunan produksi sel darah

merah yang normal (Froom et al, 2005).

Diagnosis dari 52 pasien dengan anemia yang onsetnya baru,

normositik antiglobulin-positif dengan perhitungan retikulosit 3.841

dan 424 tes antiglobulin langsung. Itu adalah temuan baru pada

sekitar 80% dari pasien dan menyebabkan perawatan yang lebih tepat

waktu dan tepat pada setengah dari seluruh pasien (Froom et al,

2005).

2. Penurunan Fragilitas Eritrosit

a. Thalassemia Mayor dan Minor

Beberapa kelainan bawaan yang ditandai dengan produksi

hemoglobin yang abnormal. Salah satunya adalah thalassemia.

Bentuk- bentuk yang bervariasi pada thalassemia dikarenakan

ketidakmampuan untuk memproduksi jumlah rantai alfa dan beta

pada hemoglobin yang adekuat. Sehingga, kecepatan produksi

eritrosit melambat, dan eritrosit-eritrosit yang sudah mature sangat

mudah pecah (fragilitasnya tinggi). Kekurangan jumlah sel darah

merah yang normal menurunkan kapasitas pengangkutan oksigen dan

memicu pada masalah pengaturan dan pertumbuhan tubuh. Orang

dengan thalassemia yang parah harus melakukan transfuse secara

periodic untuk menjaga jumlah sel darah merah yang mencukupi di

aliran darah (Martini, 2009).

b. Aneimia Defisiensi Besi

Anemia Defisiensi Besi adalah anemia yang timbul akibat

berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan


besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan

pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi

digolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolism besi

bersama anemia penyakit kronik dan anemia sideroblastik. Berbeda

dengan anemia defisiensi besi, pada anemia akibat penyakit kronis

penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurag, sedangkan cadangan

besi masih normal. Pada anemia sideroblastik penyediaan besi untuk

eritropoiesis berkurang karena gangguan mitokondria yang

menyebabkan inkorporasi besi ke dalam heme terganggu (IPD jilid II,

2006).

Temuan morfologi darah perifer dalam berbagai jenis anemi

merupakan subyek deskripsi anekdot sangat banyak tetapi hanya

sedikit data kuantitatif yang mendukung. Hal ini membatasi aplikasi

data morfologi untuk diagnosis diferensial. Sebuah diferensial yang

biasa ditemui adalah anemia mikrositik, yang, dalam praktik, terbatas

pada anemia defisiensi besi, talasemia minor, dan kasus anemia

penyakit kronis (Harrington et al, 2008).


BAB V

KESIMPULAN

1. Eritrosit probandus mengalami permulaan lisis pada konsentrasi 0.48%, dan

hemolisis sempurna pada konsentrasi 0.38%. Hemolisis terlalu cepat pada

praktikum kali ini. Sehingga disimpulkan bahwa eritrosit probandus

mengalami peningkatan fragilitas.

2. Fragilitas eritrosit dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah

tekanan osmosa, pajanan zat kimia, suhu, pH darah, morfologi dan ukuran

sel darah merah, radikal bebas, asupan vitamin E.


DAFTAR PUSTAKA

Adoe, Desmiyati Natalia. 2006. Perbedaan Fragilitas Eritrosit Antara Subyek


yang Jarang dengan yang SeringTerpapar Sinar Matahari . Semarang:
FK UNDIP.
Asscalbiass. 2010. Buku Panduan Praktikum Biokimia Kedokteran Blok
Hemato Immunology. Purwokerto. Hlm. 10-12
Bakta, I Made., Suega Ketut., Dharmayuda, Tjokorda Gde. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI. Hlm. 634
Chikezie, P.C., Uwakwe, A.A., Monago, C.C. 2009. Studies of Human HbAA
Erythrocyte Osmotic Fragility Index of Non Malarious Blood in The
Presence of Five Antimalarial Drugs: Academic Journals. Vol 3 (3): 041-
042.
Froom, Paul et al. 2005. Automatic Laboratory-Initiated Reflex Testing to
Identify Patients With Autoimmune Hemolytic Anemia. Medscape. Vol
(1): 130.
Harrington, Alexandra M., Ward, Patrick, JC., Kroft, Steven H. 2008. Iron Deficiency
Anemia, Beta-Thalassemia Minor, and Anemia of Chronic Disease: A
Morphologic Reappraisal. Medscape. Vol (3): 466-471.
Hoffbrand, AV, Pettit JE, Moss PAH. 2002. Kapita selekta hematologi. Edisi
empat. Jakarta: EGC. Hlm 15-17, 59, 177-179.
Martini, Frederic H., dan Judi L. Nath. 2009. Fundamentals of Anatomy and
Physiology Eighth Edition. San Francisco: Pearson Education. Hlm. 658.
Murray, Robert K., Daryl K. Granner, dan Victor W. Rodwell. 2009.
Biokimia
Harper Edisi 27. Jakarta: EGC. Hal. 636, 638-640.
Price, Sylvia A, et all. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Psoses
Penyakit volume l. Jakarta: EGC. Hlm. 279.
Sadikin, Mohammad. 2001. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika. Hlm. 13-14.
Saryono. 2004. Kadar Malondialdehid Plasma dan Fragilitas Eritrosit Setelah
Pemberian Vitamin E pada Manusia Usia Lanjut (Manula) di Daerah
Dataran Tinggi dan Dataran Rendah. Yogyakarta: FK UGM.

Anda mungkin juga menyukai