Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN BLOK HEMATO-IMMUNOLOGY Pemeriksaan Resistensi Osmotik Darah Secara Visual

Kelompok : B3 Anggota kelompok : Sofia Kusumadewi G1A010006 Liliana Yeni Safira G1A010019 Ning Maunah Mona Fadhila G1A010031 G1A010043

Febrillia Mutiara S G1A010056 Atep Lutpia P Sania Nadianisa G1A010069 G1A010083

Aria Yusti Kusuma G1A010095 Gretta Ayudha G1A010107

Asisten : Yuditya Dwi Cahya L G1A008024

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2011

LEMBAR PENGESAHAN Pemeriksaan Resistensi Osmotik Darah Cara Visual

Kelompok : B3 Sofia Kusumadewi G1A010006 Liliana Yeni Safira G1A010019 Ning Maunah Mona Fadhila G1A010031 G1A010043

Febrillia Mutiara S G1A010056 Atep Lutpia P Sania Nadianisa G1A010069 G1A010083

Aria Yusti Kusuma G1A010095 Gretta Ayudha G1A010107

Disusun untuk memenuhi persyaratan nilai praktikum biokimia blok HI pada Jurusan Kedokteran FKIK Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Diterima dan disahkan Purwokerto, September 2011 Asisten

Yuditya Dwi Cahya L. G1A008024

BAB I PENDAHULUAN A. JUDUL PRAKTIKUM Pemeriksaan Resistensi Osmotik Darah Secara Visual B. TANGGAL PRAKTIKUM Selasa, 13 September 2011 C. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mahasiswa mampu menyimpulkan hasil pemeriksaan fragilitas eritrosit pada saat praktikum setelah membandingkannya dengan nilai normal. 2. Mahasiswa memiliki kemampuan untuk memeriksa resistensi osmotik darah secara visual.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dasar Teori A. Bentuk dan ukuran sel-sel darah merah Sel darah normal, yang tampak pada gambar 1, berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter rata-rata kira-kira 7,8 mikrometer dan dengan ketebalan 2,5 mikrometer pada bagian yang paling tebal serta1 mikrometer atau kurang di bagian tengahnya. Volume rata-rata sel darah merah adalah 90 sampai 95 mikrometer kubik (Guyton dan Hall, 2008). Pada hakikatnya sel darah merah merupakan suatu membran yang membungkus hemoglobin (protein ini membentuk sekitar 95% protein intrasel sel darah merah) dan tidak memiliki organel sel misalnya mitokondria, lisosom atau apparatus golgi. Sel darah merah manusia, seperti sebagian sel darah merah hewan, tidak berinti(Murray dkk, 2009). Bentuk sel darah merah dapat berubah-ubah ketika sel berjalan melalui kapiler. Sesungguhnya, sel darah merah merupakan suatu kantung yang dapat berubah menjadi berbagai bentuk. Selanjutnya, karena sel yang normal mempunyai kelebihan membran sel untuk menampung banyak zat di dalamnya, maka perubahan bentuk tadi tidak akan meregangkan membran secara hebat, dan sebagai akibatnya, sel tidak akan mengalami rupture, seperti yang terjadi pada banyak sel lainnya. (Guyton dan Hall, 2008)

Gambar 1. Bentuk sel darah merah Sumber : http://ramditaa.blogspot.com/2011/04/sel-darah-merah-eritrosit.html B.Membran Sel Darah Merah Membran eritrosit terdiri atas lipid (lipid bilayer), protein membrane integral dan suatu rangka membran. Sekitar 50 % membrane adalah protein, 40% lemak dan 10% karbohidrat. Karbohidrat hanya terdapat pada permukaan luar sedangkan protein dapat di perifer atau integral menembus lipid dua lapis. (Hoffbrand dkk, 2005)

http://www.msc.univ-paris-diderot.fr/~frgallet/Research_Activities/Research.html Sel darah merah harus mampu melewati bagian-bagian yang sempit dari mikrosirkulasi dalam perjalanannya mengelilingi tubuh, terutama saat melewati sinusoid limpa. Berbagai lipid membrane membantu menentukkan fluiditas membrane tersebut. Terdapat sejumlah protein sitoskeleton perifer yang melekat pada bagian dalam membrane sel darah merah. Dan berperan penting dalam mempertahankan bentuk dan kelenturannya. (Murray dkk, 2009) Spektrin merupakan protein utama sitoskeleton. Protein ini terdiri dari dua polipeptida, yaitu spektrin 1 rantai alfa dan spektrin 2 rantai beta. Keduanya tersususn atas segmen-segmen sebesar 106 asam amino yang tampak melipat dan membentuk kumparan-kumparan alfa helix untai triple yang disatukan oleh segmen-segmen non helix. Satu dimer berinteraksi dengan dimer-dimer yang lain membentuk tetramer pangkal ke pangkal. Brntuk ini akan menghasilkan fleksibilitas bagi protein. (Murray dkk, 2009) Ankirin adalah suatu protein berbentuk pyramid yang mengikat spektrin. Ankirin kemudian berikatan dengan pita 3 yang memperkuat ikatan spektrin pada membrane. (Murray dkk, 2009)

Aktin (pita 5) terdapat pada sel darah merah sebagai filament pendek helix ganda F-aktin. Ekor dimer spektrin berikatan dengan aktin, aktin juga berikatan dengan protein 4.1 (Murray dkk, 2009) Protein 4.1 adalah suatu protein globular yang berikatan erat dengan ekor spektrin di tempat yang dekat dengan lokasi terikatnya aktin, karena itu protein ini adalah bagian dari komplek triple protein 4.1-spektrin-aktin. Protein 4.1 juga berikatan dengan protein integral glikoforin a dan c, sehingga melekatkan kompleks triple pada membrane. Protein 4.1 dapat berinteraksi dengan fosfolipid sehingga lapisan ganda lipid terhubung dengan sitoskeleton. (Murray dkk, 2009)

http://www.chem.purdue.edu/low/Blood%20Group/Red%20Blood%20Cell %20Home.htm C.Daur hidup sel darah merah Ketika sel darah merah dihantarkan dari sumsum tulang masuk ke dalam sistem sirkulasi, sel tersebut normalnya akan bersirkulasi rata-rata 120 hari sebelum dihancurkan. Sistem metabolic dalam sel darah merah yang tua secara progresif makin kurang aktif, dan sel menjadi semakin rapuh, diduga karena

proses kehidupannya sudah banyak yang terpakai. Begitu membrane sel darah merah menjadi rapuh, sel tersebut bisa robek sewaktu melewati tempat-tempat yang sempit di sirkulasi. (Guyton dan Hall, 2008) Jika sel darah merah yang mengandung hemoglobin ini pecah, maka akan segera difagosit oleh sel-sel makrofag di banyak bagian tubuh namun terutama oleh sel-sel Kupffer hati, makrofag limpa dan makropaf sumsum tulang. Selama beberapa jam atau beberapa hari sesudahnya, makrofag akan melepaskan besi yang di dapat dari hemoglobin dan menghantarkannya kembali ke dalam darah dan diangkut oleh transferin ke sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah baru. (Guyton dan Hall, 2008) D. Metabolisme Eritrosit Eritrosit adalah cakram bikonkaf yang fleksibel dengan kemampuan menghasilkan energi sebagai adenosin trifosfat (ATP) melalui jalur gikolisis anaerob(Embden Meyerhof) dan menghasilkan kekuatan pereduksi sebagai NADH melalui jalur ini serta sebagai nikotamida adenine dinukleotida fosfat tereduksi (NADPH) melalui jalur pintas heksosa monofosfat (hexsose monophosphate shunt) (Hoffbrand et al, 2005). Jalur Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH yang diperlukan oleh enzim methemoglobin reduktase untuk mereduksi methemoglobin (hemoglobin teroksidasi) yang tidak berfungsi, yang mengandung besi ferri (dihasilkan oleh oksidasi sekitar 3% hemoglobin setiap hari) menjadi hemoglobin tereduksi yang aktif berfungsi. 2,3-DPG yang dihasilkan pada pintas Luebering-Rapoport (Luebering-Rapoport Shunt), atau jalur samping pada jalur ini membentuk suatu kompleks 1:1 dengan hemoglobin, dan seperti telah disebutkan di atas, penting dalam regulasi afinitas hemoglobin terhadap oksigen (Hoffbrand et al, 2005). Jalur Heksosa Monofosfat (pentosa fosfat). Sekitar 5% glikolisis terjadi melalui jalur oksidatif ini, dengan perubahan glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfoglukonat dan kemudian menjadi ribulosa-5-fosfat. NADPH dihasilkan dan berkaitan dengan glutation yang mempertahankan gugus sulfhidril (SH) tetap utuh dalam sel, termasuk SH dalam hemoglobin dan membran eritrosit. NADPH juga

digunakan oleh methemoglobin reduktase lain untuk mempertahankan besi hemoglobin dalam keadaan Fe2+ yang aktif secara fungsional. Pada salah satu kelainan eritrosit diturunkan yang sering ditemukan (yaitu defisiensi glukosa-6fosfat dehidrogenase (G6PD)), eritrosit sangat rentan terhadap stres oksidasi (Hoffbrand et al, 2005). E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fragilitas Eritrosit Ada 2 macam hemolisa, yaitu hemolisa osmotik dan hemolisa kimiawi. Hemolisa osmotik terjadi karena adanya perubahan yang besar antara tekanan osmosa cairan di dalam sel darah merah dengan cairan di sekeliling sel darah merah. Dalam hal ini tekanan osmosa sel darh merah jauh lebih besar daripada tekanan osmosa di luar sel. Tekanan osmosa di dalam sel darah merah sama dengan tekanan osmosa larutan NaCl 0.9%. Bila sel darah merah dimasukkan ke dalam larutan 0.8% belum terlihat adanya hemolisa, tetapi sel darah merah yang dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0.4% hanya sebagian saja yang megalami hemolisa, sedangkan sebagian sel darah merah yang lainnya masih utuh. Perbedaan ini disebabkan karena umur sel darah merah, SDM yang sudah tua, membran selnya mudah pecah sedangkan SDM muda membran selnya masih kuat. Bila SDM dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0.3% semua SDM akan mengalami hemolisa. Hal ini disebut hemolisa sempurna. Larutan yang mempunyai tekanan osmosa lebih kecil daripada tekanan osmosa ini SDM disebut larutan hipotonis, sedangkan larutan yang mempunyai tekanan osmosa lebih besar dari tekanan osmosa isi SDM disebut larutan hipertonis. Suatu larutan yang mempunyai tekanan osmosa yang sama besar dengan tekanan osmosa isi SDM disebut larutan isotonis. Sedangkan pada jenis hemolisa kimiawi, SDM dirusak oleh macam-macam substansi kimia. Dinding SDM terutama terdiri dari lipid dan protein, membentuk suatu lapisan lipoprotein. Jadi, setiap substansi kimia yang dapat melarutkan lemak (pelarut lemak) dapat merusak atau melarutkan membran SDM. Kita mengenal bermacam-macam pelarut lemak, yaitu kloroform, aseton, alkohol benzen, dan eter. Substansi lain yang dapat merusak membran SDM

diantaranya adalah bisa ular, bisa kalajengking, garam empedu, saponin, nitrobenzen, pirogalol, asam karbon, resin, dan senyawa arsen (Asscalbiass, 2011) Sel penyusun suatu organisme pasti berada dalam suatu cairan yang mengandung berbagai zat yang diperlukan oleh sel. Cairan tersebut berupa cairan ekstraseluler yang dapat dibedakan menjadi cairan interstitial dan/atau plasma darah. Sel pada umumnya berada dalam cairan interstitial, sedangkan eritrosit berada dalam plasma darah. Membran sel eritrosit seperti hanya membran sel lainnya tersusun atas lipid bilyer, dan bersifat semipermeabel. Pada kondisi cairan hipertonis, maka air akan berpindah dari dalam eritrosit ke luar sehingga eritrosit akan mengalami penyusutan (krenasi). Sebaliknya pada kondisi larutan hipotonis, maka air akan masuk ke dalam sitoplasma eritrosit sehingga eritrosit akan menggembung yang kemudian pecah (lisis). Kecepatan hemolisis dan krenasi eritrosit diperngaruhi oleh konsentrasi larutan (Syamsuri 2000).

BAB III METODE PRAKTIKUM Data probandus Nama : Atep Lutpia Pahlepi

Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 19 tahun

A. ALAT DAN BAHAN 3. Alat 4. Bahan Larutan NaCl 0,5% Aquades Alkohol Tabung reaksi Rak tabung reaksi Pipet Cavum med Spuit Kapas

EDTA

B. TATA URUTAN KERJA 5. 6. 7. 8. Disusun 12 tabung reaksi, dibagi menjadi 2 baris. Diberi nomor urut dari nomor 25,24,23,22,21,20,19,18,17,16,15,14. Dimasukkan NaCl 0,5% dengan jumlah tetes sesuai nomor tabung. Ditambahkan aquades sehingga tiap tabung berjumlah 25 tetes, misalnya : 22 tetes NaCl 0,5% + 3 tetes aquades. 9. Dihomogenkan larutan sehingga konsentrasi NaCl berubah menghitung dengan rumus V1M1 = V2M2, konsentrasi tabung menjadi 0,5%, 0,48%, 0,46%, 0,44%, 0,42%, 0,40%, 0,38%, 0,36%, 0,34%, 0,32%, 0,30%, 0,28%. 10. Diambil sampel darah, kemudian ditambah EDTA (whole blood) tiap tabung diberi 1 tetes darah. C. NILAI NORMAL Permulaan lisis : 0,42% - 0,46%

Hemolisis sempurna : 0,32% - 0,36%

V1M1 = V2M2 16 tetes nacl+9 akua. Brp % larutan? 16. 0,6=25.?

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Hasil pengamatan: a. Konsentrasi permulaan lisis : 0,44 % b. Konsentrasi hemolisis sempurna : 0,36%

Gambar Hasil Praktikum

Interpretasi : a. Konsentrasi permulaan lisis : normal b. Konsentrasi hemolisis sempurna : normal B. PEMBAHASAN Praktikum biokimia pada blok Hemato-Imunologi (HI) melakukan pemeriksaan fragilitas eritrosit dengan menggunakan metode daya tahan osmotik cara visual. Secara sederhana fragilitas bisa berarti kerapuhan. Uji fragilitas osmotic eritrosit (juga disebut resistensi osmotik eritrosit) dilakukan untuk mengukur kemampuan eritrosit menahan terjadinya hemolisis (destruksi eritrosit) dalam larutan yang hipotonis. Sampel darah yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel whole blood atau darah penuh. Sampel darah yang sudah diambil dari probandus sebanyak 3 cc menggunakan spuit dimasukkan ke dalam vacum med yang sudah diberi antikoagulan agar sampel darah tidak mengalami pembekuan. Tekanan osmosa isi cairan di dalam sel darah merah sama dengan tekanan osmosa larutan NaCl 0,9%. Apabila SDM dimasukkan ke dalam larutan yang isotonis maka membrane SDM tetap utuh atau tidak mengalami kerusakan. Secara teori membran sel darah merah akan mengalami hemolisis atau pemecahan pada

larutan yang bersifat hipotonis daripada membran sel darah merah. Hemolisis akan terjadi apabila tekanan osmosa isi cairan di dalam sel darah merah lebih besar daripada tekanan osmosa cairan di sekeliling sel. Praktikum ini menggunakan larutan NaCl 0,5%, untuk itu agar diperoleh konsentrasi NaCl yang lebih hipotenis diperlukan pengenceran dengan menggunakan aquades. Pengenceran larutan NaCl ini supaya ditemukan konsentrasi NaCl yang menyebabkan permulaan lisis dan hemolisis sempurna. Berdasarkan hasil pengamatan, permulaan lisis terjadi pada tabung dengan konsentrasi 0,44%. Oleh karena itu, permulaan lisis dapat dikatakan normal karena berada dalam rentang konsentrasi yang normal yaitu pada konsentrasi NaCl 0,42%0,46%. Sedangkan untuk pengamatan hemolisis sempurna terjadi pada konsentrasi 0,36% karena sel darah merah terlihat tersebar atau mengalami fragilitas pada konsentrasi tersebut. Apabila dibandingkan dengan nilai normal, hemolisis sempurna dapat dikatakan normal karena nilai normal hemolisis sempurna adalah pada konsentrasi NaCl 0,32%-0,36%. Walaupun hasil praktikum yang menunjukkan bahwa permulaan lisis dan hemolisis sempurna dinyatakan normal tetapi ketika praktikum masih ditemukan beberapa kesalahan sehingga hasil praktikum belum bisa dinyatakan valid. Kesalahan yang mungkin terjadi diantaranya : 1. Kurang telitinya praktikan dalam mengukur bahan-bahan. Ketika praktikann mengambil larutan NaCl sesuai tetes nomor tabung dan aquades sehingga volumenya menjadi 25 tetes dilakukan oleh tiga orang yang berbeda dan pipet yang berpeda pula sehingga dirasa kurang valid jumlah volume pada tabung, hal ini juga dibuktikan ketika tabung diletakkan di rak tabung reaksi dan dilihat dengan mata tinggi volume larutan tidak sama. 2. Praktikan kurang berhati-hati dalam meneteskan sampel whole blood, karena pada tabung nomor 22 tetesan darah mengenai dinding tabung. Sehingga pada tabung nomor 22 eritrosit tidak mengalami fragilitas. 3. Kesalahan dalam penyimpanan tabung, karena praktikan banyak berjumlah sembilan mungkinrak tabung reaksi sedikit bergoyang.

Kesalahan dalam penafsiran pada tabung reaksi, hal ini terjadi karena praktikan baru pertama kali melakukan praktikum fragilitas eritrosit dan belum dirasa matang dalam menafsirkan. C. APLIKASI KLINIS Fragilitas eritrosit bisa meningkat dan menurun. Hal tersebut terjadi karena adanya gangguan pada eritrosit baik dari struktur maupun membran . Pada kasus penurunan fragilitas bisa terjadi : a. Polisitemia vera (PV) Adalah suatu penyakit kelainan pada sistem mielopoliferatif di mana terjadi klon abnormal pada hemopoietik sel induk dengan peningkatan sensitivitas pada growth factor yang berbeda untuk terjadinya maturasi yang berakibat meningkatnya banyak sel (Sudoyo,2009). Sel darah yang abnormal ini tidak memerlukan eritopoietin untuk proses pematangannya. Di dalam sirkulasi darah tepi PV didapati peningkatan hematokrit yang manggambarkan peningkatan konsentrasi eritrosit terhadap plasma >49% pada wanita dan total(Sudoyo,2009) (Sudoyo,2009). Permasalahan muncul berkaitan dengan masa eritrsit,basofil, dan trombosit yang bertambah, serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah fibrosis sumsum tulang(Sudoyo,2009). Gejala awal penyakit adalah pusing, telinga berdenging, mudah lelah, gangguan daya ingat, pengelihatan, dan sesak nafas. Gejala akhir nya pasien PV mengalami perdarahan atau trombosis. Komplikasi lain peningkatan asam urat dalam darah. Sekitar 30% gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali. Pada fase ini terjadi kegagalan sumsum tulangdan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan transfusi meningkat, liver dan limpa membesar(Sudoyo,2009). Pengobatan yang dapat dilakukan adalah Flebotomi untuk mempertahankan jumlah hematokrit agar mencegah timbulnya hiperviskositas, selain itu >52% pada pria serta peningkatan eritrosit

kemoterapi biologi (sitokin) yang bertujuan untuk mengontrol trombositopenia (Sudoyo,2009). b. Post splenektomi Splenoktomi adalah operasi pengangkatan limpa yang menjadi pengobatan utama ada pasien hipersplenisme primer. Tindakan ini diambil bila pada pemeriksaan sumsum tulang hasilnya normal atau hiperseluler. Selain karena trauma, tumor limpa, atau penyakit kimpa primer, tindakan splenektomi biasanya dilakukan pada pasien anemia karena kelaian bentuk eritrosit, kelainan hemoglobin dan pada keadaan trombositopeni sehingga penghancuran eritrosit dan dan trombosit berkurang atau terhambat. Karena itu tinadakan splenektomi dapat dilakukan sebagai pilihan terkahir pengobatan penyakit-penyakit hipertensi portal, leukimia, dan limfoma (Sudoyo,2009). Pengangkatan limpa dapat menyebabkan terjadinya infeksi bakteri atau sepsis terutama 1 sampai 3 bulan setelah operasi. Setelah pengangkatan limpa terjadi kenaikan cepat jumlah trombosit yang disertai jumlah eritrosit (Sudoyo,2009). Kemudian untuk kasus peningkatan fragilitas dapat mengakibatkan : a. Anemia Hemolitik Autoimun Anemia hemolitik autoimun (Autoimmune Hemolytic Anemia, AIHA) merupakan kelainan darah yang didapat, dimana autoantibodi IgG yang dibentuk terikat pada membran sel darah merah (SDM). Antibodi ini biasanya berhadapan langsung dengan komponen dasar dari sistem Rh dan sebenarnya dapat terlihat pada sel darah merah semua orang. Klasifikasi AIHA adalah sebagai berikut : 1. Warm-antibody immunohemolytic anemia Idiopatik : > 50% kasus Limfoma : leukimia limfositik kronik, limfoma nonHodgkin, dan penyakit Hodgkin Lupus eritematosus sistemik (LES) dan penyakit kolagen vaskuler lainnya

Obat-obatan a. Tipe metildopa (autoantibodi pada antigen Rh) b. Tipe penisilin (hapten stabil) c. Tipe kuinidin (hapten tak stabil)

Pasca infeksi virus Tumor-tumor lainnya (jarang)

2. Cold-antibody immunohemolytic anemia Penyakit cold-aglutinin a. Akut : infeksi mikoplasma, infeksi mononukleosis b. Kronik : idopatik, limfoma Paroxymal cold hemoglobinuria

Manifestasi Klinis Anemia ini bervariasi dari yang ringan sampai berat (mengancam jiwa). Pasien mengelu fatig dan keluhan ini dapat terlihat bersama dengan angina atau gagal jantung kongestif. Pada pemeriksaan fisik, biasanya dapat ditemukan ikterus dan splenomegali. Apabila pasien mempunyai penyakit dasar seperti LES atau leukimia limfositik kronik, gambaran klinis penyakit tersebut dapat terlihat. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium dapat menemukan kadar Hb yang bervariasi dari ringan sampai berat (Ht<10%). Retikulositosis dan sferositosis biasanya dapat terlihat pada pemeriksaan apusan darah tepi. Pada kasus dengan hemolisis berat, penekanan oada sumsum tulang dapat mengakibatkan sel darah merah yang terpecah-pecah. Sekitar 10% dari seluruh pasien AIHA terjadi bersama-sama dengan immune trombositopenia (sindrom Evan). Tes Coombs langsung positif dan tes Coombs tak langsung dapat positif atau negatif. Penatalaksanaan

Terapi inisial dengan menggunakan prednison 1-2 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi. Jika terjadi anemia yang mengancam hidup, transfusi darah harus diberikan dengan hati-hati. Keputusan untuk melakukan transfusi harus melalui konsultasi dengan ahli hematologi terlebih dahulu. Apabila prednison tidak efektif dalam menanggulangi kelainan ini, atau penyakit mengalami kekambuhan dalam periode taperingoff (penurunan dosisi secara bertahap) dari prednison, maka dianjurkan untuk melakukan splenektomi. Apabila keduanya tidak menolong, maka dilakukan terapi dengan menggunakan berbagai jenis obat imunosupresif. Imunoglobulin dosis tinggi intravena (500 mg/kgBB/hari selama 1-4 hari) mungkin mempunyai efektifitas tinggidalam mengontrol hemolisis. Namun efek pengobatan ini hanya sebentar (1-3 minggu) dan sangat mahal harganya. Dengan demikian pengobatan ini hanya digunakan pada situasi gawat darurat dan bila pengobatan dengan prednison merupakan kontraindikasi. Prognosis Prognosis jangka panjang pada pasien penyakit ini adalah baik. Splenektomi seringkali dapat mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya.

BAB V KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil pengamatan, permulaan lisis terjadi pada tabung dengan konsentrasi 0,44%. Oleh karena itu, permulaan lisis dapat dikatakan normal karena berada dalam rentang konsentrasi yang normal yaitu pada konsentrasi NaCl 0,42%-0,46%. 2. Sedangkan untuk pengamatan hemolisis sempurna terjadi pada konsentrasi 0,36% karena sel darah merah terlihat tersebar atau mengalami fragilitas pada konsentrasi tersebut. Apabila dibandingkan dengan nilai normal, hemolisis sempurna dapat dikatakan normal karena nilai normal hemolisis sempurna adalah pada konsentrasi NaCl 0,32%-0,36%. 3. Kelainan pada sel darah merah dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit. Pada kasus penurunan fragilitas sel darah merah bisa terjadi Polisitermia vera (PV) dan Post splenektomi, sedangkan peningkatan fragilitas eritrosit dapat mengakibatkan AIHA (Autoimmune Hemolytic Anemia).

DAFTAR PUSTAKA Asscalbiass. 2011. Buku Panduan Praktikum Biokimia Kedokteran Blok Hemato Immunology. Purwokerto. Hlm. 10-12 Bahasoan, Yusuf. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Guyton, Arthur C, dan Hall, John E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Hoffbrand, AV, Pettit JE, Moss PAH. 2002. Kapita selekta hematologi Edisi empat Jakarta: EGC. Hlm 1,15-17. Murray, Robert K., Daryl K. Granner, dan Victor W. Rodwell. 2009. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta: EGC. Sherwood, Lauralle.2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC Sudoyo Aru, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Syamsuri, Istamar, dkk.2000. Biologi 2000 2B SMU Kelas 2. Jakarta: Erlangga

Anda mungkin juga menyukai