SOAL :
1). Pada bulan Desember 2014, Timor Leste memulai kasus terhadap Australia di Mahkamah
Internasional (ICJ). Singkatnya, Timor Leste menuduh Australia memata-matai para
menteri Timor Leste demi keuntungan komersial. Australia diduga melakukan spionase
dengan menyusup pada proyek bantuan renovasi kantor kabinet Timor Leste. Spionase
Australia diduga dilakukan dengan memasang alat penyadap di dinding-dinding kantor
kabinet agar bisa menguping pembahasan tentang perjanjian yang bernama Certain
Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) yang berisi pembagian 50-50 dari hasil
bidang energi maritim antara Australia dan Timor Leste. Nilainya diperkirakan 36 miliar
dolar AS. Hal ini dilakukan Australia dalam rangka untuk mendapatkan intelijen tentang
strategi Timor Leste dan posisi negosiasi.
Jelaskan prinsip-prinsip apa yang dilanggar oleh Australia dalam proses pembuatan
dan pelaksanaan perjanjian internasional tersebut! Lalu bagaimana Konvensi Wina
1969 mengatur mengenai akibat hukum dari pelaksanaan perjanjian internasonal
yang ada dalam kasus diatas?
2). Penafsiran sering dilakukan terhadap suatu perjanjian internasional untuk memperjelas arti
atau menghindari multitafsir. Dalam kasus-kasus intervensi kemanusiaan (humanitarian
intervention), pasal yang sering ditafsirkan berbeda oleh negara-negara adalah pasal 2 ayat
(4) Piagam PBB yang berbunyi:
“Semua Anggota harus menahan diri dalam hubungan internasional
mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial
atau kemerdekaan politik setiap negara, atau dengan cara lain tidak konsisten
dengan Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.”
Lakukanlah penafsiran terhadap pasal tersebut dengan menggunakan metode-
metode penafsiran !
JAWABAN :
1). Pada 20 Mei 2002 Timor Leste menjadi negara merdeka pertama di abad ke-21
setelah Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Timor Timur atau
United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) mengalihkan fungsi
dan wewenang pemerintahan sepenuhnya kepada rakyat Timor Leste. Sejak saat itu
pemerintah Timor Leste mulai menata urusan dalam negeri maupun hubungan luar
negerinya, termasuk persoalan mengenai pengelolaan sumber daya alam yang berada di
Laut Timor. Bersamaan dengan kemerdekaan yang diperoleh Timor Leste, Australia dan
Timor Leste menyepakati Perjanjian Laut Timor (PLT) untuk menggantikan Perjanjian
Celah Timor yang telah berakhir. Berkaitan dengan disepakatinya PLT pada tahun 2002,
serta masih belum disepakatinya penetapan batas maritim antara Australia dan Timor
Leste, dibentuklah Daerah Pengembangan Minyak Bersama / Joing Petroleum
Development Area (JDPA) di bawah administrasi Otoritas Khusus untuk Laut Timor.
Sementara itu, wilayah di luar JDPA berada di wilayah sengketa klaim oleh kedua negara.1
Timor Leste dan Australia kemudian melanjutkan kesepakatan teknis PLT melalui
Perjanjian Unitisasi Internasional (Sunrise IUA) pada tahun 2003 dan Perjanjian atas
Kesepakatan Maritim Khusus di Laut Timor (CMATS) pada tahun 2006.
1
Tiara Ika Winarni, Pelanggaran Prinsip Iktikad Baik Terhadap Negosiasi Treaty On Certain Maritime
Arragements In Timor Sea (Kesepakatan Maritim Khusus di Laut Timor) Oleh Australia), PADJAJARAN Jurnal
Ilmu Hukum, Volume 2 No.1, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, hlm 45.
CMATS mulai berlaku bagi para pihak setelah dilakukan pertukaran nota di Dili, Timor
Leste pada 23 Februari 2007. Hal tersebut sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal
13 CMATS, bahwa:
“This Treaty shall enter into force on the day on which the Government of
Australia and the Government of the Democratic Republic of Timor-Leste have
notified each other, in writing, that their respective requirements for the entry into
force of this Treaty have been complied with.”
Namun pada tahun 2012, salah seorang mantan agen Dinas Rahasia Intelijen
Australia atau Australian Secret Intelligence Service (ASIS), memberikan informasi
kepada pemerintah Timor Leste bahwa Australia telah melakukan penyadapan terhadap
diskusi internal pemerintah Timor Leste mengenai negosiasi CMATS yang dilakukan
dengan dalih bantuan renovasi dan konstruksi dari Australia bagi ruang kerja kabinet dan
perdana menteri Timor Leste pada tahun 2004. Pada saat itu, mantan agen tersebut turut
serta dengan menyamar sebagai kontraktor di dalam misi penyadapan tersebut. Ia
bertugas untuk meng-install peralatan penyadapan di ruang kerja yang dimaksud,
sehingga Australia dapat memperoleh informasi mengenai diskusi internal pemerintah
Timor2 Leste. Penyadapan tersebut dilakukan Australia dengan cara memasang alat
penyadap di dinding-dinding kantor kabinet agar bisa mendengar pembahasan tentang
perjanjian yang bernama Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS)
yang berisi pembagian 50-50 dari hasil bidang energi maritim antara Australia dan Timor
Leste. Nilainya diperkirakan 36 miliar dolar AS. Hal ini dilakukan Australia dalam rangka
untuk mendapatkan informasi tentang strategi Timor Leste dan posisi negosiasi serta demi
mencapai keuntungan komersial yang ingin di capai dalam perjanjian ini.
Hal itulah yang dinyatakan oleh mantan agen Australia melalui surat sumpah
setelah ia mengetahui bahwa Alexander Downer, mantan Menteri Luar Negeri yang
menjabat saat penyadapan negosiasi tersebut berlangsung, saat ini berprofesi sebagai
penasihat perusahaan Woodside melalui perusahaan lobi-nya, Bespoke Approach.
Berdasarkan informasi dari mantan agen ASIS tersebut, pemerintah Timor Leste
kemudian mengirimkan nota diplomatik kepada Perdana Menteri Australia pada saat itu,
Julia Gillard, untuk menginformasikan mengenai penyadapan yang dilakukan oleh
Australia saat negosiasi CMATS serta Timor Leste meminta Australia untuk dapat
melakukan diskusi kembali terhadap perjanjian tersebut. Namun demikian, karena
Australia tidak menghiraukan nota diplomatik tersebut maka Timor Leste kemudian
melakukan tindak lanjut dengan mengajukan pembatalan perjanjian atas dasar tidak
dilaksanakannya negosiasi CMATS dengan prinsip iktikad baik kepada Permanent Court
of Arbitration (PCA), pada 23 April 2013 berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (b) Annex
2
Ibid., hlm 46.
B Timor Sea Treaty 2002.3
Sehingga, berdasarkan uraian kasus di atas dapat disimpulkan terdapat beberapa
prinsip yang dilanggar oleh Australia dalam proses pembuatan dan pelaksanaan
perjanjian internasional, yaitu :
Prinsip itikad baik (good faith) merupakan prinsip fundamental dalam proses
pembentukan dan pelaksanaan perjanjian internasional yang harus di patuhi oleh para
pihak yang terkait. Prinsip ini merupakan persyaratan moral yang menjadi pemicu
agar perjanjian dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh. Mukaddimah Piagam
PBB secara implisit membahasa mengenai prinsip ini yang menyatakan bahwa PBB
bertekad atau menciptakann suasana keadlilan dan menghormati kewajiban yang
timbul baik dari perjanjian maupun sumber hukum internasional lainnya dapat
dilaksanakan.4 Sehingga, Jika negara-negara tidak memiliki good faith (itikad baik)
dalam hal pembuatan maupun pelaksanaan perjanjian internasional , maka keamanan
dan perdamaian internasional yang merupakan tujuan utama Piagam PBB dapat
terancam keberlangsungannya. Lebih lanjut, dalam pasal 2 ayat (2) Piagam PBB juga
menyatakan secara jelas bahwa “….semua anggota agar dapat terjamin hak dan
kewajiban yang diakibatkan dari keanggotaan mereka itu, harus melaksanakan
itikad baik kewajiban-kewajiban yang diberikan kepad mereka sesuai dengan
piagam.” Pasal 26 Konvensi tentang pacta sunt servanda bahkan menyebutkan
pentingnya penerapan prinsip ini, yang berbunyi :
Sebagai unsur yang sangat subjektif, keberadaan itikad baik akan sangat sulit
untuk dibuktikan. Dalam berbagai analisis untuk menentukan sebuah itikad tersebut
baik ataupun jahat, hanya dapat ditemukan dari pikiran seseorang, yang secara khusus
memiliki pengaruh dalam menentukan kebijakan politik luar negeri dan orang
tersebut ditugaskan untuk menegosiasikan dan menerapkan perjanjian internasional.
Berdasarkan Pasal 26 Konvensi Wina, setiap perjanjian yang telah mengikat harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 31(1), menuntut itikad baik dalam penafsiran
perjanjian internasional. Lebih lanjut, dalam kasus spionase yang dilakukan Australia
terhadap Timor Leste pada pembahasan tentang perjanjian yang bernama Certain
Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) terdapat pelanggaran pada
prinsip Prinsip itikad baik (good faith). Hal ini dapat dibuktikan, berdasarkan
3
Ibid., hlm 47.
4
Sukarmi, et al., Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, UB Press, Malang, 2019, hlm 91.
5
Vienna Convention On The Law Treaties 1969, Article 26.
kronologi penyadapan yang sudah uraikan sebelumnya, bahwa penyadapan oleh
ASIS di dalam negosiasi CMATS yang dilaksanakan dengan cara menyusup secara
tidak sah ke wilayah teritorial Timor Leste, serta dengan menyamar sebagai
kontraktor bagi program AusAID, merupakan bentuk tindakan yang tidak jujur atau
tipu daya di dalam bernegosiasi.6
Lebih lanjut dalam prinsip ini satu-satunya pembatasan terhadap prinsip pacta
6
Op,cit., hlm 54.
7
Ibid., hlm 92.
sunt servanda ini adalah ketentuan peremptory norm of general international law atau
jus cogens. Pasal 64 Konvensi Wina menyatakan bahwa:
“if a new peremptory norm of general international law emerges, any existing
treaty which is in conflict with that norm becomes void and terminates.”8
Sehingga, berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat dalam hal ini ditentukan
bahwa perjanjian akan batal dan dihentikan apabila terdapat ketentuan yang
bertentangan dengan norma umum hukum internasional yang berlaku. Namun
perjanjian tersebut tidak akan batal secara retroaktif atau berlaku surut.
c) Prinsip Courtesy
Prinsip ini mempunyai arti bahwa setiap negara harus saling menghormati dan
saling menjaga kehormatan negara. Asas ini mengharuskan negara-negara yang
terlibat dalam perjanjian internasional untuk saling menghormati, yaitu menghormati
segala hal dari negara lain tersebut selama hal tersebut tidak melanggar perjanjian
8
Vienna Convention On The Law Treaties 1969, Article 64.
internasional dan aspek turunannya.9 Menghormati dalam hal ini, juga diartikan
sebagaimana diwajibkan dalam prinsip kesetaraan hak (egality rights), semua negara
adalah setara dalam perjanjian internasional.
“ (1) State secrecy shall apply to data and intelligence the dissemination
of which is susceptible of causing damage to the unity and integrity of the State,
to the defence of the democratic institutions provided for in the Constitution, to
the free exercise of their respective functions by the organs of sovereignty, to the
internal security, to national independence, and to preparations for military
defence;
(2) Registrations, documents, files and archives of the intelligence services
relating to ma1ers referred to in the preceding paragraph shall be covered by the
9
Ranti Fatya Utami, 6 Cobtoh Asas-Asas Perjanjian dan Contohnya, https://guruppkn.com/asas-asas-
perjanjian-internasional (Online), (Diakses pada : 20 Desember 2020, Pukul : 16:26 WIB).
10
Tiara Ika Winarni, Pelanggaran Prinsip Iktikad Baik Terhadap Negosiasi Treaty On Certain Maritime
Arragements In Timor Sea (Kesepakatan Maritim Khusus di Laut Timor) Oleh Australia), PADJAJARAN Jurnal
Ilmu Hukum, Volume 2 No.1, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, hlm 54.
State secrecy and shall not be the object of requisition or examination by any
entity alien to the services, except the members of the Monitoring Council in
exercise of functions.”
Akibat Hukum :
11
Ibid., hlm 55.
12
Ibid., hlm 52.
Lebih lanjut dalam hal ini , penyadapan dapat diartikan sebagai cara untuk
mendapatkan bahan keterangan dengan menyadap sistem komunikasi pihak sasaran
yang dilakukan secara rahasia, tanpa diketahui oleh sasaran atau pihak-pihak lain.13
Penyadapan oleh Australian Secret Intelligence Service, yang selanjutnya akan
disingkat (ASIS) di dalam negosiasi CMATS yang dilaksanakan dengan cara
menyusup secara tidak sah ke wilayah teritorial Timor Leste, serta dengan menyamar
sebagai kontraktor bagi program AusAID, merupakan bentuk tindakan yang tidak
jujur atau tipu daya di dalam bernegosiasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Australia telah menunjukkan niat yang tidak baik14 di dalam membentuk CMATS
dengan berusaha memperoleh informasi mengenai negosiasi internal pemerintah
Timor Leste melalui cara yang ilegal yaitu melalui tindak penyadapan yang dilakukan
oleh ASIS di wilayah teritorial, dalam hal ini adalah pada wilayah kantor
pemerintahan Timor Leste.
13
Ibid., hlm 53.
14
Ibid., hlm 54.
15
Ibid., hlm 56.
16
Ibid., hlm 57.
berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan penyadapan
sebagai bentuk kecurangan yang dilakukan oleh Australia tersebut telah melanggar
kewajiban Australia sebagai salah satu subjek perjajian untuk bernegosiasi
dengan berdasar pada prinsip iktikad baik sebagaimana ketentuan Pasal 26
Konvensi Wina 1969.
17
Ibid., hlm 58.
IUA.18
2). Penafsiran dalam perjanjian internasional merupakan suatu kegiatan untuk memberikan
penjelasan atau pengertian atas kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga
orang lain dapat memahaminya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan
sesuatu hal yang menjadi maksud para pembuatnya. Jika pengertian ini dikaitkan dengan
perjanjian internasional, maka penafsiran dapat dimaknai sebagai proses menggali
sesuatu yang terkandung di dalam suatu naskah perjanjian. Namun, perlu diketahui
bahwa penafsiran bukan hal yang wajib dalam pebuatan suatu perjanjian, sehingga
apabila perjanjian itu sudah jelas, maka tidak harus dilakukan sebuah penafsiran. Oleh
karena, lebih lanjut dalam hal ini penafsiran juga dapat diartikan sebagai proses kedua,
dimana kegiatan tersebut baru dapat memainkan perannya setelah tidak ada
kemungkinan untuk mendapatkan pengertian yang sama, tentang apa yang
sesungguhnya yang dimaksudkan oleh perjanjian. 19
Lebih lanjut, dalam Konvensi Wina 1969 tidak diatur mengenai badan atau
lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan, jika di antara para peserta
timbul persengketaan mengenai penafsiran perjanjian internasional. Tidak diaturnya
mengenai masalah ini dalam konvensi, berarti kepada pihak-pihak peserta perjanjian
diberikan kebebasan untuk menyelesaikan masalahnya menurut keinginan pihak-pihak
bersengketa.20 Di dalam Hukum Internasional dikenal 3 (tiga) “school of thought”
mengenai interpretasi atau penafsiran, yaitu sebagai berikut:
a) Intention School
Aliran ini berpegang pada kehendak para pembuat perjanjian, terlepas dari teks
perjanjian itu. Aliran ini menggunakan secara luas pekerjaan pendahuluan (prepatory
work/travanc preoatories) dan bukti-bukti lain yang menggambarkan kehendak para
pihak tersebut.
b) Textual School
Aliran ini berpendapat bahwa pada teks perjanjian hendaknya diberikan arti yang
lazim dan yang terbaca dari kata-kata itu (ordinary and apparent meaning of the
words). Jadi, unsur terpenting dalam aliran ini adalah teks perjanjian itu dan kemudian
baru kehendak dari para pihak pembuat perjanjian serta objek dan tujuan dari
perjanjian itu. Berdasarkan fakta bahwa teks merupakan hasil akhir perundingan suatu
perjanjian internasional, maka teks menjadi sangat penting dalam teori ini.
18
Ibid., hlm 58.
19
Sukarmi, et al, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, UB Press, Malang, 2019, hlm 110.
20
Ibid., hlm 118.
c) Teleological School
Aliran ini menitikberatkan pada interpretasi dengan melihat pada objek dan
tujuan umum dari perjanjian yang mana berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula
dari para pembuat perjanjian. Dengan demikian teks suatu perjanjian dapat diartikan
secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan
tujuan umum darpada pihak pembuat perjanjian.21
21
Ibid., hlm 115.
penafsiran tersebut tetap tidak dibenarkan apabila bertentangan dengan penjelasan asli
Pasal yang sedang dilakukan penafsiran tersebut.
Ketiga, berdasarkan metode penafsiran Teleological School , maka penafsiran
pada pasal tersebut akan lebih ditikberatkan berdasarkan pada objek dan tujuan umum
dari perjanjian itu yang mana berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula dari para
pembuat perjanjian. Dengan demikian para metode penafsiran Teological School teks
perjanjian dapat ditafsirkan oleh anggota secara luas dan dapat ditambahkan
pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan tujuan umum perjanjian tersebut
serta dapat menjadi berbeda dengan kehendak semula para pembuat perjanjiannya. Oleh
Karen itu, dalam hal ini untuk menafsirkan Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB tersebut melalui
metode ini dapat diberikan kebebasan dalam menafsirkan bagi pihak-pihak yang berjanji,
namun dengan tetap sesuai dengan batasannya yaitu, tidak boleh bertentangan dari tujuan
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Jurnal
Tiara Ika Winarni, Pelanggaran Prinsip Iktikad Baik Terhadap Negosiasi Treaty On
Certain Maritime Arragements In Timor Sea (Kesepakatan Maritim Khusus di
Laut Timor) Oleh Australia), PADJAJARAN Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 No.1,
Fakultas Hukum Unpad, Bandung.
Web