Anda di halaman 1dari 14

UJIAN AKHIR SEMESTER

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

Nama : Syofina Dwi Putri A


NIM / Absen : 195010101111017 / 27
Kelas :D
Mata Kuliah : Hukum Perjanjian
Internasional

SOAL :

1). Pada bulan Desember 2014, Timor Leste memulai kasus terhadap Australia di Mahkamah
Internasional (ICJ). Singkatnya, Timor Leste menuduh Australia memata-matai para
menteri Timor Leste demi keuntungan komersial. Australia diduga melakukan spionase
dengan menyusup pada proyek bantuan renovasi kantor kabinet Timor Leste. Spionase
Australia diduga dilakukan dengan memasang alat penyadap di dinding-dinding kantor
kabinet agar bisa menguping pembahasan tentang perjanjian yang bernama Certain
Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) yang berisi pembagian 50-50 dari hasil
bidang energi maritim antara Australia dan Timor Leste. Nilainya diperkirakan 36 miliar
dolar AS. Hal ini dilakukan Australia dalam rangka untuk mendapatkan intelijen tentang
strategi Timor Leste dan posisi negosiasi.

Jelaskan prinsip-prinsip apa yang dilanggar oleh Australia dalam proses pembuatan
dan pelaksanaan perjanjian internasional tersebut! Lalu bagaimana Konvensi Wina
1969 mengatur mengenai akibat hukum dari pelaksanaan perjanjian internasonal
yang ada dalam kasus diatas?

2). Penafsiran sering dilakukan terhadap suatu perjanjian internasional untuk memperjelas arti
atau menghindari multitafsir. Dalam kasus-kasus intervensi kemanusiaan (humanitarian
intervention), pasal yang sering ditafsirkan berbeda oleh negara-negara adalah pasal 2 ayat
(4) Piagam PBB yang berbunyi:
“Semua Anggota harus menahan diri dalam hubungan internasional
mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial
atau kemerdekaan politik setiap negara, atau dengan cara lain tidak konsisten
dengan Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.”
Lakukanlah penafsiran terhadap pasal tersebut dengan menggunakan metode-
metode penafsiran !

JAWABAN :

1). Pada 20 Mei 2002 Timor Leste menjadi negara merdeka pertama di abad ke-21
setelah Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Timor Timur atau
United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) mengalihkan fungsi
dan wewenang pemerintahan sepenuhnya kepada rakyat Timor Leste. Sejak saat itu
pemerintah Timor Leste mulai menata urusan dalam negeri maupun hubungan luar
negerinya, termasuk persoalan mengenai pengelolaan sumber daya alam yang berada di
Laut Timor. Bersamaan dengan kemerdekaan yang diperoleh Timor Leste, Australia dan
Timor Leste menyepakati Perjanjian Laut Timor (PLT) untuk menggantikan Perjanjian
Celah Timor yang telah berakhir. Berkaitan dengan disepakatinya PLT pada tahun 2002,
serta masih belum disepakatinya penetapan batas maritim antara Australia dan Timor
Leste, dibentuklah Daerah Pengembangan Minyak Bersama / Joing Petroleum
Development Area (JDPA) di bawah administrasi Otoritas Khusus untuk Laut Timor.
Sementara itu, wilayah di luar JDPA berada di wilayah sengketa klaim oleh kedua negara.1
Timor Leste dan Australia kemudian melanjutkan kesepakatan teknis PLT melalui
Perjanjian Unitisasi Internasional (Sunrise IUA) pada tahun 2003 dan Perjanjian atas
Kesepakatan Maritim Khusus di Laut Timor (CMATS) pada tahun 2006.

Certain Maritime Arragements in the Timor Sea (CMATS) secara khusus


membahas mengenai pengoperasian dan pengelolaan ladang minyak Greater Sunrise, yang
terletak di luar wilayah JDPA, oleh Australia dan Timor Leste. Masing-masing negara
akan menerima 50% pendapatan dari ladang minyak Greater Sunrise. CMATS
merupakan pengaturan sementara, begitu juga dengan PLT dan IUA, yang dibentuk
berdasarkan ketentuan Pasal 74 dan Pasal 83 Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-
Bangsa (KHL). Kedua negara sepakat untuk membagi rata pendapatan dari ladang Greater
Sunrise yang juga merupakan pembaharuan dari ketentuan dalam IUA sebelumnya.

1
Tiara Ika Winarni, Pelanggaran Prinsip Iktikad Baik Terhadap Negosiasi Treaty On Certain Maritime
Arragements In Timor Sea (Kesepakatan Maritim Khusus di Laut Timor) Oleh Australia), PADJAJARAN Jurnal
Ilmu Hukum, Volume 2 No.1, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, hlm 45.
CMATS mulai berlaku bagi para pihak setelah dilakukan pertukaran nota di Dili, Timor
Leste pada 23 Februari 2007. Hal tersebut sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal
13 CMATS, bahwa:

“This Treaty shall enter into force on the day on which the Government of
Australia and the Government of the Democratic Republic of Timor-Leste have
notified each other, in writing, that their respective requirements for the entry into
force of this Treaty have been complied with.”

Namun pada tahun 2012, salah seorang mantan agen Dinas Rahasia Intelijen
Australia atau Australian Secret Intelligence Service (ASIS), memberikan informasi
kepada pemerintah Timor Leste bahwa Australia telah melakukan penyadapan terhadap
diskusi internal pemerintah Timor Leste mengenai negosiasi CMATS yang dilakukan
dengan dalih bantuan renovasi dan konstruksi dari Australia bagi ruang kerja kabinet dan
perdana menteri Timor Leste pada tahun 2004. Pada saat itu, mantan agen tersebut turut
serta dengan menyamar sebagai kontraktor di dalam misi penyadapan tersebut. Ia
bertugas untuk meng-install peralatan penyadapan di ruang kerja yang dimaksud,
sehingga Australia dapat memperoleh informasi mengenai diskusi internal pemerintah
Timor2 Leste. Penyadapan tersebut dilakukan Australia dengan cara memasang alat
penyadap di dinding-dinding kantor kabinet agar bisa mendengar pembahasan tentang
perjanjian yang bernama Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS)
yang berisi pembagian 50-50 dari hasil bidang energi maritim antara Australia dan Timor
Leste. Nilainya diperkirakan 36 miliar dolar AS. Hal ini dilakukan Australia dalam rangka
untuk mendapatkan informasi tentang strategi Timor Leste dan posisi negosiasi serta demi
mencapai keuntungan komersial yang ingin di capai dalam perjanjian ini.

Hal itulah yang dinyatakan oleh mantan agen Australia melalui surat sumpah
setelah ia mengetahui bahwa Alexander Downer, mantan Menteri Luar Negeri yang
menjabat saat penyadapan negosiasi tersebut berlangsung, saat ini berprofesi sebagai
penasihat perusahaan Woodside melalui perusahaan lobi-nya, Bespoke Approach.
Berdasarkan informasi dari mantan agen ASIS tersebut, pemerintah Timor Leste
kemudian mengirimkan nota diplomatik kepada Perdana Menteri Australia pada saat itu,
Julia Gillard, untuk menginformasikan mengenai penyadapan yang dilakukan oleh
Australia saat negosiasi CMATS serta Timor Leste meminta Australia untuk dapat
melakukan diskusi kembali terhadap perjanjian tersebut. Namun demikian, karena
Australia tidak menghiraukan nota diplomatik tersebut maka Timor Leste kemudian
melakukan tindak lanjut dengan mengajukan pembatalan perjanjian atas dasar tidak
dilaksanakannya negosiasi CMATS dengan prinsip iktikad baik kepada Permanent Court
of Arbitration (PCA), pada 23 April 2013 berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (b) Annex

2
Ibid., hlm 46.
B Timor Sea Treaty 2002.3
Sehingga, berdasarkan uraian kasus di atas dapat disimpulkan terdapat beberapa
prinsip yang dilanggar oleh Australia dalam proses pembuatan dan pelaksanaan
perjanjian internasional, yaitu :

a) Prinsip Itikad Baik (Good Faith)

Prinsip itikad baik (good faith) merupakan prinsip fundamental dalam proses
pembentukan dan pelaksanaan perjanjian internasional yang harus di patuhi oleh para
pihak yang terkait. Prinsip ini merupakan persyaratan moral yang menjadi pemicu
agar perjanjian dapat dilakukan dengan sungguh-sungguh. Mukaddimah Piagam
PBB secara implisit membahasa mengenai prinsip ini yang menyatakan bahwa PBB
bertekad atau menciptakann suasana keadlilan dan menghormati kewajiban yang
timbul baik dari perjanjian maupun sumber hukum internasional lainnya dapat
dilaksanakan.4 Sehingga, Jika negara-negara tidak memiliki good faith (itikad baik)
dalam hal pembuatan maupun pelaksanaan perjanjian internasional , maka keamanan
dan perdamaian internasional yang merupakan tujuan utama Piagam PBB dapat
terancam keberlangsungannya. Lebih lanjut, dalam pasal 2 ayat (2) Piagam PBB juga
menyatakan secara jelas bahwa “….semua anggota agar dapat terjamin hak dan
kewajiban yang diakibatkan dari keanggotaan mereka itu, harus melaksanakan
itikad baik kewajiban-kewajiban yang diberikan kepad mereka sesuai dengan
piagam.” Pasal 26 Konvensi tentang pacta sunt servanda bahkan menyebutkan
pentingnya penerapan prinsip ini, yang berbunyi :

“Every treaty in force is binding upon the parties to it and it must be


performed by them in good faith.”5

Sebagai unsur yang sangat subjektif, keberadaan itikad baik akan sangat sulit
untuk dibuktikan. Dalam berbagai analisis untuk menentukan sebuah itikad tersebut
baik ataupun jahat, hanya dapat ditemukan dari pikiran seseorang, yang secara khusus
memiliki pengaruh dalam menentukan kebijakan politik luar negeri dan orang
tersebut ditugaskan untuk menegosiasikan dan menerapkan perjanjian internasional.
Berdasarkan Pasal 26 Konvensi Wina, setiap perjanjian yang telah mengikat harus
dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 31(1), menuntut itikad baik dalam penafsiran
perjanjian internasional. Lebih lanjut, dalam kasus spionase yang dilakukan Australia
terhadap Timor Leste pada pembahasan tentang perjanjian yang bernama Certain
Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) terdapat pelanggaran pada
prinsip Prinsip itikad baik (good faith). Hal ini dapat dibuktikan, berdasarkan

3
Ibid., hlm 47.
4
Sukarmi, et al., Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, UB Press, Malang, 2019, hlm 91.
5
Vienna Convention On The Law Treaties 1969, Article 26.
kronologi penyadapan yang sudah uraikan sebelumnya, bahwa penyadapan oleh
ASIS di dalam negosiasi CMATS yang dilaksanakan dengan cara menyusup secara
tidak sah ke wilayah teritorial Timor Leste, serta dengan menyamar sebagai
kontraktor bagi program AusAID, merupakan bentuk tindakan yang tidak jujur atau
tipu daya di dalam bernegosiasi.6

Hal ini dilakukan Australia dalam rangka untuk mendapatkan informasi


tentang strategi Timor Leste dan posisi negosiasi serta demi mencapai keuntungan
komersial yang ingin di capai dalam perjanjian ini. Sehingga, berdasarkan pernjelasan
tersebut sudah dapat terlihat dari penyadapan yang dilakukan Australia menunjukkan
bahwa negaranya tidak mematuhi serta melanggar prinsip itikad baik (Good Faith)
dalam pembentukan serta pelaksanaan perjanjian internasional, yang menyebabkan
pihak lain dalam perjanjian tersebut merasa dirugikan dalam pelaksanaan perjanjian
internasional tersebut yang tidak sesuai dengan pelaksanaan perjanjian sesuai dengan
kesepakatan awal.

b) Prinsip Pacta Sunt Servanda

Dalam menjalankan perjanjian internasional dikenal sebuah prinsip yang


sangat penting yaitu pacta sunt servanda, yang maksudnya setiap perjanjian harus
ditepati. Prinsip ini sangat mendasar dalam hukum internasional dan menjadi norma
imperatif dalam praktik perjanjian internasional. Prinsip ini memastikan bahwa
sebuah perjanjian akan ditaati setelah berlakunya. Black’s Law Dictionary
mengartikan prinsip ini sebagai “… Agreements must be kept. The rule that
agreements and sipulation, eps. Those contained must be observed.” Atau yang pada
dasarnya merupakan perjanjian yang harus ditepati. Prinsip ini sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya, yaitu prinsip yang harus diterima dan dilaksanakan oleh
negara-negara subjek perjanjian internasional. Prinsip ini juga dapat disebut sebagai
asas kepastian hukum jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia. Karenanya, prinsip
mengharuskan negara-negara yang terlibat dalam perjanjian internasional untuk
senantiasa mentaati ketentuan, keputusan, ketetapan, dan kesepakatan yang tertera
dalam dokumen perjanjian internasional. Apabila terdapat negara atau pihak yang
tidak menaatati isi dari asas-asas perjanjian internasional, maka negara atau pihak lain
yang merasa kepentingan dirinya dicederai dapat mengadukan negara yang melanggar
tersebut kepada mahkamah internasional untuk nantinya diadili oleh mereka.7

Lebih lanjut dalam prinsip ini satu-satunya pembatasan terhadap prinsip pacta

6
Op,cit., hlm 54.
7
Ibid., hlm 92.
sunt servanda ini adalah ketentuan peremptory norm of general international law atau
jus cogens. Pasal 64 Konvensi Wina menyatakan bahwa:

“if a new peremptory norm of general international law emerges, any existing
treaty which is in conflict with that norm becomes void and terminates.”8

Sehingga, berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat dalam hal ini ditentukan
bahwa perjanjian akan batal dan dihentikan apabila terdapat ketentuan yang
bertentangan dengan norma umum hukum internasional yang berlaku. Namun
perjanjian tersebut tidak akan batal secara retroaktif atau berlaku surut.

Sehingga, berdasarkan penjelasan pada prinisp ini, sebagaimana kronologi


kasus spionase yang dilakukan oleh Australia kepada Timor Leste saat pembahasan
tentang perjanjian Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) yang
telah di uraikan sebelumnnya, maka dapat disimpulkan bahwa kasus spionase tersebut
telah melanggar salah satu prinsip pembuatan dan pelaksanaan perjanjian
internasional yaitu prinsip Pacta Sunt Servanda.Lebih lanjut, hal ini dapat dibuktikan,
melalui pengakuan salah seorang mantan agen Dinas Rahasia Intelijen Australia atau
Australian Secret Intelligence Service (ASIS), yang memberikan informasi kepada
pemerintah Timor Leste bahwa Australia telah melakukan penyadapan terhadap
diskusi internal pemerintah Timor Leste mengenai negosiasi CMATS yang dilakukan
dengan dalih bantuan renovasi dan konstruksi dari Australia bagi ruang kerja kabinet
dan perdana menteri Timor Leste pada tahun 2004. Sehingga, berdasarkan penjelasan
tersebut maka apabila kasus penyadapan tersebut dihubungkan dengan prinsip pacta
sunt servanda , maka dapat dilihat bahwa dalam hal ini Timor Leste sebagai pihak
yang juga terkait dalam perjanjian tersebut dirasa terdapat kepentingannya yang
terganggu atau dicederai, yaitu dalam hal ini strategi negosiasi Timor Leste dalam
pembagian 50-50 dari hasil bidang energi maritim antara Australia dan Timor Leste,
sudah dapat diketahui oleh Australia terlebih dahulu dengan cara yang illegal serta
tidak sesuai dengan norma umum hukum Internasional, yaitu para pihak harus
melakukan perjanjian sebagaimana pada kesepakatan awal kedua belah pihak saja.

c) Prinsip Courtesy

Prinsip ini mempunyai arti bahwa setiap negara harus saling menghormati dan
saling menjaga kehormatan negara. Asas ini mengharuskan negara-negara yang
terlibat dalam perjanjian internasional untuk saling menghormati, yaitu menghormati
segala hal dari negara lain tersebut selama hal tersebut tidak melanggar perjanjian

8
Vienna Convention On The Law Treaties 1969, Article 64.
internasional dan aspek turunannya.9 Menghormati dalam hal ini, juga diartikan
sebagaimana diwajibkan dalam prinsip kesetaraan hak (egality rights), semua negara
adalah setara dalam perjanjian internasional.

Sehingga, berdasarkan penjelasan prinsip ini, maka dapat disimpulkan bahwa


Australia yang telah melakukan spionase terhadap Timor Leste dalam pembahasan
pembahasan tentang perjanjian yang bernama Certain Maritime Arrangements in the
Timor Sea (CMATS) sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya telah melanggar
salah satu prinsip pembentukan dan pelaksanaan perjanjian Internasional, yaitu
Prinsip Courtesy. Hal ini dapat dibuktikan melalui penyadapan oleh ASIS di dalam
negosiasi CMATS yang dilaksanakan dengan cara menyusup secara tidak sah ke
wilayah teritorial Timor Leste, serta dengan menyamar sebagai kontraktor bagi
program AusAID, merupakan bentuk tindakan yang tidak jujur atau tipu daya di
dalam bernegosiasi.10 Lebih lanjut, penyadapan yang dilakukan oleh ASIS ini
dilakukan di wilayah teritorial, dalam hal ini yaitu kantor pemerintahan Timor Leste.
Hal ini dapat merupakan tindakan yang mengancam integritas wilayah atau
kemerdekaan politik suatu negara sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (4) Piagam
PBB.

Selain itu, menurut Quincy Wright, penyadapan dapat dikatakan sebagai


bentuk spionase yang dilakukan di masa damai dengan memasuki wilayah teritorial
negara lain merupakan pelanggaran terhadap hukum nasional negara tersebut juga
terhadap kewajiban hukum internasional untuk menghargai integritas teritorial dan
kemerdekaan politik negara lain. Dalam hal ini, Timor Leste sendiri juga mengatur
kegiatan intelijen di wilayah nasionalnya melalui Law 9/2008 on the Intelligence
System of the Democratic Republic of Timor Leste. Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) yang
menyatakan :

“ (1) State secrecy shall apply to data and intelligence the dissemination
of which is susceptible of causing damage to the unity and integrity of the State,
to the defence of the democratic institutions provided for in the Constitution, to
the free exercise of their respective functions by the organs of sovereignty, to the
internal security, to national independence, and to preparations for military
defence;
(2) Registrations, documents, files and archives of the intelligence services
relating to ma1ers referred to in the preceding paragraph shall be covered by the

9
Ranti Fatya Utami, 6 Cobtoh Asas-Asas Perjanjian dan Contohnya, https://guruppkn.com/asas-asas-
perjanjian-internasional (Online), (Diakses pada : 20 Desember 2020, Pukul : 16:26 WIB).
10
Tiara Ika Winarni, Pelanggaran Prinsip Iktikad Baik Terhadap Negosiasi Treaty On Certain Maritime
Arragements In Timor Sea (Kesepakatan Maritim Khusus di Laut Timor) Oleh Australia), PADJAJARAN Jurnal
Ilmu Hukum, Volume 2 No.1, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, hlm 54.
State secrecy and shall not be the object of requisition or examination by any
entity alien to the services, except the members of the Monitoring Council in
exercise of functions.”

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, hasil diskusi pemerintah Timor Leste


dianggap sebagai rahasia negara sebagai bentuk pelaksanaan fungsi organ-organ
kedaulatan Timor Leste. Sehingga, penyadapan oleh ASIS terhadap Timor Leste
tersebut dianggap merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat
(2) yang melarang hasil negosiasi sebagai rahasia negara untuk menjadi objek
pengambilalihan dan pemeriksaan oleh entitas asing. Lebih lanjut, berdasarkan uraian
ini, maka dapat disimpulkan bahwa spionase yang dilakukan Asutralia secara illegal
tersebut sudah melanggar salah satu prinsip pembentukan dan pelaksanaan perjanjian
internasional dalam hal saling menghormati dan menjaga kehormatan suatu negara.11

Akibat Hukum :

Sementara, terkait dengan akibat hukum pada kasus tersebut sebagaimana


ketentuan pada Konvensi Wina 1969 dapat dilihat pada penjelasan berikut. Timor
Leste mengajukan pengajuan penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase sebagai
pembatalan Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea, yang selanjutnya akan
disingkat (CMATS) atas dasar tidak dilaksanakannya prinsip iktikad baik di dalam
negosiasi CMATS oleh Australia dengan dilakukannya tindak penyadapan. Lebih
lanjut, ketentuan mengenai pembatalan perjanjian internasional terdapat pada Bab
V dan dasar-dasar pembatalan perjanjian internasional diatur pada Pasal 46 - Pasal
53 Kovensi Wina. Salah satu dasar pembatalan yang terdapat pada ketentuan pasal
tersebut ialah kecurangan yang dilakukan oleh negara mitra berunding. Berdasarkan
Pasal 49 Konvensi Wina, bahwa suatu negara dapat menyatakan ketidakabsahan atau
batalnya suatu perjanjian yang telah disetujui apabila terjadi kecurangan dari negara
yang menjadi pihak terkait. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka agar suatu
perjanjian dapat 12dibatalkan harus terdapat unsur “melakukan penipuan” atau
fraudulent conduct pada tahap pembuatan perjanjiannya. Lebih lanjut, komisi Hukum
Internasional atau International Law Commission (ILC) memberikan kriteria bagi unsur
“melakukan penipuan”, antara lain seperti terdapatnya pernyataan palsu yang
disengaja (false statement), kesalahan tafsir (misrepresentations), maupun
tindakan yang tidak jujur atau tipu daya (deceiful proceedings) lainnya yang
menyebabkan negara mitra memberikan persetujuan terhadap perjanjian, namun
sesungguhnya persetujuan tersebut tidak akan diberikan apabila tindakan
kecurangan tersebut telah diketahui sebelumnya.

11
Ibid., hlm 55.
12
Ibid., hlm 52.
Lebih lanjut dalam hal ini , penyadapan dapat diartikan sebagai cara untuk
mendapatkan bahan keterangan dengan menyadap sistem komunikasi pihak sasaran
yang dilakukan secara rahasia, tanpa diketahui oleh sasaran atau pihak-pihak lain.13
Penyadapan oleh Australian Secret Intelligence Service, yang selanjutnya akan
disingkat (ASIS) di dalam negosiasi CMATS yang dilaksanakan dengan cara
menyusup secara tidak sah ke wilayah teritorial Timor Leste, serta dengan menyamar
sebagai kontraktor bagi program AusAID, merupakan bentuk tindakan yang tidak
jujur atau tipu daya di dalam bernegosiasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Australia telah menunjukkan niat yang tidak baik14 di dalam membentuk CMATS
dengan berusaha memperoleh informasi mengenai negosiasi internal pemerintah
Timor Leste melalui cara yang ilegal yaitu melalui tindak penyadapan yang dilakukan
oleh ASIS di wilayah teritorial, dalam hal ini adalah pada wilayah kantor
pemerintahan Timor Leste.

Tindakan penyadapan tersebut merupakan kontribusi terhadap pembentukan


CMATS. Informasi yang diperoleh melalui penyadapan kemudian dipergunakan
untuk merumuskan ketentuan-ketentuan di dalam CMATS yang dianggap dapat
menguntungkan pihak Australia. Selain itu, operasi penyadapan yang dilakukan pada
masa negosiasi CMATS melalui dalih bantuan AusAID bagi Timor Leste merupakan
suatu bentuk tipu daya. Selain itu, dilakukannya penyadapan di dalam negosiasi
CMATS mengakibatkan Australia memperoleh keuntungan informasi mengenai
negosiasi internal Timor Leste. Keadaan tersebut menyebabkan terdapatnya15
perbedaan kekuatan negosiasi di antara Timor Leste dan Australia. Akses informasi
mengenai negosiasi suatu perjanjian internasional yang diperoleh melalui
penyadapan dapat membatasi kemampuan para pihak untuk bernegosiasi secara
bebas dan adil. Oleh karena itu, tindakan penyadapan ini merupakan bentuk
kecurangan (fraudulent conduct) oleh Australia di dalam pembentukan CMATS.
Dengan demikian, hal tersebut tentunya bertentangan dengan prinsip iktikad baik.16

Lebih lanjut, pada perjanjian tersebut yang sebelumnya sudah merupakan


perjanjian yang telah mengikat para pihak, maka timbul dalam perjanjian tersebut timbul
suatu kewajiban berdasarkan prinsip pacta sunt servanda sebagaimana ketentua Pasal
26 Konvensi Wina untuk Timor Leste dan Australia agar melaksanakan PLT
(Perjanjian Laut Timor) dengan prinsip iktikad baik, termasuk dalam hal mengadakan
usaha untuk mencapai pengembangan bersama melalui negosiasi. Sehingga,

13
Ibid., hlm 53.
14
Ibid., hlm 54.
15
Ibid., hlm 56.
16
Ibid., hlm 57.
berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan penyadapan
sebagai bentuk kecurangan yang dilakukan oleh Australia tersebut telah melanggar
kewajiban Australia sebagai salah satu subjek perjajian untuk bernegosiasi
dengan berdasar pada prinsip iktikad baik sebagaimana ketentuan Pasal 26
Konvensi Wina 1969.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bahwa penyadapan yang dilakukan


Australia yang merupakan pelanggaran atas prinsip prinsip umum pembentukan dan
pelaksanaan perjanjian internasional yang termasuk sebagai bentuk kecurangan
dalam pembentukan CMATS maka apabila dihubungkan dengan ketentuan Konvensi
Wina 1969 Pasal 60 ayat (1), maka terhadap CMATS dapat dilakukan permbatalan,
dengan alasan pelanggaran atas substansi oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan
untuk mengakhiri berlakunya perjanian. CMATS yang merupakan perjanjian
bilateral, maka ketidakabsahan yang telah ditemukan sebelumnya tersebut tidak
hanya mengenai pembatalan kesepakatan mengikatkan diri terhadap CMATS dari
Timor Leste saja, tetapi ketidakabsahan tersebut juga berkaitan dengan batalnya
CMATS secara keseluruhan, atau dengan kata lain, perjanjian bilateral ini akan batal
ab initio atau sejak awal sekaligus ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak akan
memiliki kekuatan hukum lagi. Sehingga, dalam hal ini dapat dilihat adanya suatu
akibat hukum yang timbul berdasarkan pelanggaran yang dilakukan Australia pada
negosiasi tersebut adalah dengan batalnya pelaksanaan CMATS tersebut .17 Lebih lanjut
dalam hal ini tentang prosedur untuk mengakhiri perjanjian internasional dapat
dilakukan dengan didsarkan pada ketentuan pasal 65 ayat (1) Konvensi Wina 1969,
yaitu :

“(1) Konvensi, suatu perjanjian internasional yang hendak


diakhiri eksistensinya berdasarkan kehendak dari salah satu pihak atau
beberapa pihak, dapat mengajukan keinginan-nya itu secara tertulis
kepada negara-negara peserta yang lainnya disertai dengan alasan-
alasannya dan langkah-langkah yang seyogyanya ditempuh untuk
mengakhiri eksistensi perjanjian itu.”

Sehingga, dengan dibatalkannya perjanjian CMATS tersebut, maka perjanjian tersebut


selanjutnya akan dipandang sama sekali tidak pernah ada serta ketentuan-ketentuan
di dalamnya tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Olher karena itu, apabila
CMATS menjadi batal, segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam di ladang
Greater Sunrise yang didasarkan kepada ketentuan yang berdasarkan CMATS tidak
lagi memiliki kepastian hukum. Dengan demikian, pengelolaan ladang Greater
Sunrise beserta pembagian pendapatannya kembali diatur oleh ketentuan di dalam

17
Ibid., hlm 58.
IUA.18

2). Penafsiran dalam perjanjian internasional merupakan suatu kegiatan untuk memberikan
penjelasan atau pengertian atas kata atau istilah yang kurang jelas maksudnya, sehingga
orang lain dapat memahaminya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan
sesuatu hal yang menjadi maksud para pembuatnya. Jika pengertian ini dikaitkan dengan
perjanjian internasional, maka penafsiran dapat dimaknai sebagai proses menggali
sesuatu yang terkandung di dalam suatu naskah perjanjian. Namun, perlu diketahui
bahwa penafsiran bukan hal yang wajib dalam pebuatan suatu perjanjian, sehingga
apabila perjanjian itu sudah jelas, maka tidak harus dilakukan sebuah penafsiran. Oleh
karena, lebih lanjut dalam hal ini penafsiran juga dapat diartikan sebagai proses kedua,
dimana kegiatan tersebut baru dapat memainkan perannya setelah tidak ada
kemungkinan untuk mendapatkan pengertian yang sama, tentang apa yang
sesungguhnya yang dimaksudkan oleh perjanjian. 19

Lebih lanjut, dalam Konvensi Wina 1969 tidak diatur mengenai badan atau
lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan, jika di antara para peserta
timbul persengketaan mengenai penafsiran perjanjian internasional. Tidak diaturnya
mengenai masalah ini dalam konvensi, berarti kepada pihak-pihak peserta perjanjian
diberikan kebebasan untuk menyelesaikan masalahnya menurut keinginan pihak-pihak
bersengketa.20 Di dalam Hukum Internasional dikenal 3 (tiga) “school of thought”
mengenai interpretasi atau penafsiran, yaitu sebagai berikut:

a) Intention School
Aliran ini berpegang pada kehendak para pembuat perjanjian, terlepas dari teks
perjanjian itu. Aliran ini menggunakan secara luas pekerjaan pendahuluan (prepatory
work/travanc preoatories) dan bukti-bukti lain yang menggambarkan kehendak para
pihak tersebut.

b) Textual School
Aliran ini berpendapat bahwa pada teks perjanjian hendaknya diberikan arti yang
lazim dan yang terbaca dari kata-kata itu (ordinary and apparent meaning of the
words). Jadi, unsur terpenting dalam aliran ini adalah teks perjanjian itu dan kemudian
baru kehendak dari para pihak pembuat perjanjian serta objek dan tujuan dari
perjanjian itu. Berdasarkan fakta bahwa teks merupakan hasil akhir perundingan suatu
perjanjian internasional, maka teks menjadi sangat penting dalam teori ini.

18
Ibid., hlm 58.
19
Sukarmi, et al, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, UB Press, Malang, 2019, hlm 110.
20
Ibid., hlm 118.
c) Teleological School
Aliran ini menitikberatkan pada interpretasi dengan melihat pada objek dan
tujuan umum dari perjanjian yang mana berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula
dari para pembuat perjanjian. Dengan demikian teks suatu perjanjian dapat diartikan
secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan
tujuan umum darpada pihak pembuat perjanjian.21

Sehingga, berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilakukan penafsiran terhadap


pasal yang sering ditafsirkan berbeda oleh negara-negara yaitu,pasal 2 ayat (4) Piagam
PBB yang berbunyi:
“Semua Anggota harus menahan diri dalam hubungan internasional
mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial
atau kemerdekaan politik setiap negara, atau dengan cara lain tidak konsisten
dengan Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.”
Dengan menggunakan metode penafsiran “school of thought”, yaitu sebagai berikut :
Pertama, berdasarkan metode penafsiran Intention School , maka pernafsiran pasal
tersebut akan lebih memfokuskan pelaksanaan penafsiran berpegang utama kepada
“Kehendak para pihak pembuat perjanjian, terlepas dari teks perjanjian itu”.Artinya
adalah metode penafsiran intention school dilakukan dengan berpedoman kepada
keinginan para pihak yang ikut serta dalam perjanjian tersebut terlepad dari teks
perjanjian itu disebabkan dalam metode penafsiran ini yang diprioritaskan adalah
penafsiran dari para pihak itu sendiri sementara materi muatan dari pasal tersebut dapat
dikesampingkan. Lebih lanjut, pada aliran metode ini dalam hal melakukan penafsiran
adalah dengan menggunakan pekerjaan pendahuluan (prepatory work/travanx
prepatories) dan bukti-bukti lain yang menggambarkan kehendak para pihak tersebut.
Kedua, berdasarkan metode penafsiran Textual School ,maka penafsiran pasal
tersebut akan lebih memfokuskan kegiatan penafsiran yang dilakukan pada teks
perjanjian itu dan kemudian baru kehendak dari para pihak pembuat perjanjian serta objek
dan tujuan dari perjanjian itu. Sehingga, dalam metode penafsiran textual school dapat
dipahami bahwa apabila pada proses penafsiran yang berdasarkan materi muatannya
belum belum menemukan hasil penafsiran yang dianggap jelas, maka dapat dilakukan
tahapan penafsiran selanjutnya pada pasal tersebut berdasarkan kehendak para pihak
pembuat perjanjian dan objek serta tujuan dari perjanjian itu yang tidak jauh dari apa yang
tertulis pada pasal tersebut. Lebih lanjut dalam hal ini , para pihak pembuat perjanjian
harus menafsirkan pasal tersebut sesuai dengan materi muatannya saja. Sehingga, apabila
para pihak pembuat perjanjian ingin menafsirkan berdasarkan kehendaknya sendiri maka

21
Ibid., hlm 115.
penafsiran tersebut tetap tidak dibenarkan apabila bertentangan dengan penjelasan asli
Pasal yang sedang dilakukan penafsiran tersebut.
Ketiga, berdasarkan metode penafsiran Teleological School , maka penafsiran
pada pasal tersebut akan lebih ditikberatkan berdasarkan pada objek dan tujuan umum
dari perjanjian itu yang mana berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula dari para
pembuat perjanjian. Dengan demikian para metode penafsiran Teological School teks
perjanjian dapat ditafsirkan oleh anggota secara luas dan dapat ditambahkan
pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan tujuan umum perjanjian tersebut
serta dapat menjadi berbeda dengan kehendak semula para pembuat perjanjiannya. Oleh
Karen itu, dalam hal ini untuk menafsirkan Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB tersebut melalui
metode ini dapat diberikan kebebasan dalam menafsirkan bagi pihak-pihak yang berjanji,
namun dengan tetap sesuai dengan batasannya yaitu, tidak boleh bertentangan dari tujuan
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Sukarmi, et al., Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, UB Press, Malang, 2019.

Jurnal

Tiara Ika Winarni, Pelanggaran Prinsip Iktikad Baik Terhadap Negosiasi Treaty On
Certain Maritime Arragements In Timor Sea (Kesepakatan Maritim Khusus di
Laut Timor) Oleh Australia), PADJAJARAN Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 No.1,
Fakultas Hukum Unpad, Bandung.

Vienna Convention On The Law Treaties 1969

Web

Ranti Fatya Utami, 6 Contoh Asas-Asas Perjanjian dan Contohnya,


https://guruppkn.com/asas-asas-perjanjian-internasional(Online), (Diakses pada : 20
Desember 2020, Pukul : 16:26 WIB).

Anda mungkin juga menyukai