Anda di halaman 1dari 3

Nama : Kinanti Maryam Jamilah

NPM : 170210200051

PENCARIANKU TERHADAP ALLAH

Aku pernah mendengar bahwa salah satu nikmat terindah yang ada adalah terlahir
sebagai seorang muslim. Harus kuakui itu benar adanya. Teringat saat masih berumur 5 tahun,
aku seringkali bermain bersama teman-teman rumah sebelum buka puasa atau mengikuti
lomba-lomba saat peringatan hari besar Islam. Sebelum aku mengetahui bahwa agama di
Indonesia bahkan di dunia ada banyak jumlahnya, aku selalu percaya Islamlah satu-satunya
agama yang dianut oleh semua orang. Waktu ke waktu berlalu, berteman dengan banyak orang
yang notabene memiliki latar kehidupan berbeda membuat aku semakin terbiasa untuk
menjalani hidup penuh rasa toleransi, aku sadar bahwa kita semua ini beragam bahkan agama
itu bukan hanya Islam saja. Walaupun, terkadang stereotype masyarakat menganggap bahwa
berteman dengan seseorang yang berbeda iman terkesan aneh dan akan menimbulkan masalah,
tetapi aku menganggap ini adalah hal yang biasa bukan? Toh, di dunia ini bukan hanya orang
Islam saja yang hidup. Aku juga masih belum menerima (karena saat itu aku belum
menemukan jawaban pasti) bahwa orang-orang non-Islam tidak akan dimasukkan ke dalam
surga kelak, meskipun mereka selalu berbuat baik semasa hidupnya. Beranjak ke bangku SMA,
aku mulai bertemu orang-orang yang awalnya “sangat taat” berubah menjadi seeorang yang
acuh sekali saat mendengarkan adzan. Hatiku mulai tergerak, aku bingung, mengapa teman-
temanku bisa menjadi seperti ini? Karena aku mengetahui betul masa lalu mereka yang rajin
beribadah, taat kepada orang tuanya, dan sepertinya tidak mempunyai masalah hidup yang
terlalu berat. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Arya (nama samaran),
“Ar, kenapa sih kamu kok jadi gak mau shalat gini? Bahkan, jumatan aja suka gak mau.”
Dengan mudah ia menjawab, “Pertama, aku males. Kedua, aku berpikir untuk apa kita shalat
sebenarnya? Ketiga, bukannya orang Islam udah dijanjikan masuk surga?” Aku terdiam
sejenak. Lalu, aku katakam bahwa shalat bisa menentramkan hati dan bisa menjadi amal ibadah
kita kelak, intinya aku menjelaskan kewajiban umat muslim untuk beribadah. Namun, ia
menolak. Dia terus memberikan argumen penolakannya. Ini banyak terjadi di sekolahku,
bahkan aku berada di lingkungan dengan orang-orang seperti ini.
Seleksi Masuk Perguruan Tinggi pun berlangsung, di antara teman kelasku memang
sedikit peluang untuk aku masuk dalam kuota jalur 40% jalur undangan saat itu. Namun, aku
terus berharap, kupanjatkan doa setiap harinya dan (aku tidak tahu ini salah atau tidak)
kukatakan dalam doaku, “Ya Allah, masukkanlah aku dalam jajaran orang-orang yang
mendapatkan kuota untuk ikut SNMPTN. Masukan saja dulu, Ya Allah Aammiinnnn.” Ya, aku
tidak berdoa untuk diterima jalur SNMPTN ataupun diterima di fakultas yang aku inginkan
saat itu. Dan, pada Hari Rabu setelah pulang sekolah, kami mendapatkan kabar siapa saja yang
masuk. Alhamdulillah namaku masuk setelah aku begitu kehilangan harapan (dan malu karena
teman kelasku pasti masuk semua). Bahagia sekali rasanya, sampai lupa bahwa aku belum
“sah” masuk jalur undangan, hanya masuk jajaran 40% yang bisa ikut seleksi jalur undangan
nantinya. Akan tetapi, mungkin karena doaku hanya dimasukkan dalam kuota 40% saja, aku
akhirnya tidak diterima masuk di PTN pilihanku lewat jalur SNMPTN. Sedih? Kecewa?
Pastinya. Namun, aku ingat bahwa masih ada SBMPTN yang bisa aku perjuangkan lebih. Satu
hal yang menggelitik adalah, salah satu temanku diterima dan dia termasuk orang-orang “yang
tidak mempercayai Tuhan”. Hal itu menjadi perbincangan publik, tetapi bagiku itu memang
rezeki dia bukan? (saat itu aku berpikir demikian).
Perjalanan pun berlanjut, SBMPTN yang kukira bisa kuatasi nyatanya membuatku
takut bahkan ingin menyerah. Ditambah lagi masa pandemi membuat semuanya semakin sulit.
Ini titik terberat dalam hidupku. Sepele memang tetapi rasanya kesal dan marah sekali karena
tidak bisa mengerti dan mendapatkan nilai bagus pada tryout yang kukerjakan. Padahal, aku
selalu bangun pagi untuk belajar dan tidur tengah malam karena belum selesai mengerjakan
soal. Keimananku diuji saat itu, suatu ketika aku benar-benar Lelah sekali, aku telah belajar
mati-matian dan selalu mendapat nilai jelek di salah satu subtes. Aku kehilangan harapan dan
menanyakan, “Aku telah berusaha mati-matian, tapi kenapa hasilnya seperti ini terus? Ini tidak
adil.” Namun, tak berlangsung lama. Aku bangkitkan lagi semangatku dan lebih mendekatkan
diri kepada Allah. Nyaman dan tenang, salah satu hal yang selalu aku dapatkan ketika sedang
beribadah (baik itu shalat maupun mengaji). Aku berusaha percaya bahwa Allah pasti
membalas segala usaha umatnya. Akhirnya, SBMPTN pun dimulai dan ya aku tidak yakin
(sebenarnya) dengan ujianku, tetapi aku selalu menguatkan (diriku) dan juga lingkungan
sekitarku bahwa Allah pasti membalas segala usaha kita (walaupun akupun tidak siap saat itu
dengan hasil terburuk). Semakin hari rasa cemasku terus meningkat, aku tetap menjalankan
shalat sunnah atau ibadah lainnya, tetapi baru kusadari (sekarang) bahwa aku melakukannya
tidak tulus. Aku tidak tulus menjalankannya karena Allah, aku menjalankannya karena
keinginan duniawiku. Puncaknya adalah ketika aku memang dinyatakan TIDAK LULUS
dalam SBMPTN 2020 ini. Aku menangis sejadi-jadinya, tidak peduli siapapun itu kumatikan
ponsel karena rasa malu benar-benar menggeliat di tubuhku. Aku marah. Saat itu yang ada
dipikiranku adalah, “Aku telah berusaha dengan keras aku bahkan lebih rajin beribadah
dibandingkan teman-temanku yang jarang shalat tapi ternyata bisa diterima di SBMPTN!
Kenapa aku tidak bisa? Kenapa aku tidak diizinkan? Kenapa Engkau tidak mengabulkan doaku
ya Allah? Inikah yang terbaik? Tidak, aku tidak bisa menerima ini.” Dengan segala
keangkuhanku, aku seperti orang yang munafik saat itu. Berusaha tegar dan menerima
keputusan dengan embel-embel “mungkin ini yang terbaik dari Allah” padahal tidak. Dan
Allah membalas itu semua. Allah tunjukkan kuasanya bahwa tidak ada yang mungkin bagi-
Nya. Pagi itu, aku mendapatkan musibah, saat ingin memasak kompor di rumahku meledak
dan seluruh tubuhku terkena api tersebut. Namun, kuasa Allah benar-benar dahsyat, Allah
benar-benar Maha Pelindung. Aku terkena luka bakar di bagian wajah, kedua tangan, dan
kedua kaki bagian bawah, tetapi aku masih diselamatkan oleh Allah. Api yang meledak pun
hanya hitungan detik dan mataku refleks terpejam saat kejadian, sungguh benar-benar hebat
kuasa Allah. Kejadian ini sungguh membuatku sedih dan takut karena aku sadar bahwa Allah
benar-benar nyata, Allah benar-benar mempunyai kuasa atas segala, dan Allah tidak pernah
mengabaikan hambanya. Ini adalah karma dari kesombongan dan keangkuhanku. Tak lama,
saat aku masih dalam masa pemulihan aku mendapatkan kabar bahwa aku diterima di Seleksi
Mandiri Unpad 2020. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, kuucap rasa syukur yang tiada
tara.
Aku menyadari bahwa kita seringkali hanya mengingat Allah saat berada dalam posisi
terpuruk. Kita selalu menganggap bahwa diri kita adalah manusia yang paling tersakiti.
Padahal, Allah telah menentukan garis takdir kita bahkan sebelum lahir di dunia. Namun,
bukan berarti perjuangan yang dilakukan semasa hidup kita ini sia-sia. Perjuangan inilah yang
memberikan pelajaran untuk kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Kita tidak bisa menebak
kuasa Allah karena itu di luar kekuasaan kita. Yang bisa kita lakukan adalah percaya sepenuh
hati, berdoa dengan sungguh-sungguh, dan mencintai dengan tulus terhadap Allah, para rasul,
dan Islam itu sendiri. Selama kita melakukan sesuatu karena Allah, insyaAllah hasil yang
diberikan pun akan bernilai maknanya. Aku sedang berusaha menanamkan itu dalam diriku
sekarang, inshaAllah doakan yang terbaik saja. Aaammiiinnn.

Anda mungkin juga menyukai