Anda di halaman 1dari 22

UNIVERSITAS INDONESIA

OBESITAS PADA ANAK

LEMBAR TUGAS MAHASISWA


MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

DILLA YULIAN CHANIAGO


1906428700

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
S1 EKSTENSI
DEPOK
JANUARI 2021
A. Definisi
Kelebihan berat badan dan obesitas didefinisikan sebagai penumpukan lemak yang
tidak normal atau berlebihan yang berisiko bagi kesehatan. Indeks massa tubuh (BMI) di
atas 25 dianggap kelebihan berat badan, dan lebih dari 30 dianggap obesitas (WHO,
2017).
Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur (U), berat badan (BB), dan tinggi
badan (TB). Berat badan ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki
presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi
dengan presisi 0,1 cm. variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam benetuk tiga
indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U dan BB/TB.
Obesitas pada anak merupakan kelainan yang kompleks. Prevalensinya telah
meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir sehingga banyak yang
menganggapnya sebagai masalah kesehatan utama di negara maju. The National Health
and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa prevalensi obesitas
meningkat pada semua kelompok usia anak, baik jenis kelamin, maupun pada berbagai
kelompok etnis dan ras. Banyak faktor, termasuk genetika, lingkungan, metabolisme,
gaya hidup, dan kebiasaan makan, diyakini berperan dalam perkembangan obesitas.
Namun, lebih dari 90% kasus bersifat idiopatik; kurang dari 10% dikaitkan dengan
penyebab hormonal atau genetik (Schwarz, 2020).

B. Aspek Klinis
1. Gejala dan Tanda
Gejala umum pada anak yang mengalami obesitas menurut IDAI (2014) adalah
sebagai berikut:
a. Kepala : Wajah membulat, pipi tembem, dagu rangkap
b. Leher : Leher relatif pendek
c. Dada : Dada yang membusung dengan payudara membesar
d. Perut : Perut membuncit disertai dinding perut yang berlipat-lipat
e. Ekstremitas : Tungkai umumnya berbentuk X
f. Genitalia : Penis tampak kecil
g. Berat dan tinggi Anak < 2 tahun (IMT WHO 2006) : overweight (z score > +2)
badan, IMT obesitas (z score > +3) Anak 2-18 tahun (IMT CDC 2000) :
overweight (BMI >P85 – P95) , obesitas (BMI >P95)

Gejala Khusus pada anak yang mengalami obesitas menurut IDAI (2014) adalah
sebagai berikut:

Sistem Gejala Penjelasan


Antropometri Persentil BMI yang tinggi  Overweight atau obesitas
Perawakan pendek  Kondisi genetik atau
endokrin yang mendasari
Tanda vital Peningkatan tekanan darah Hipertensi jika tekanan darah
sistolik atau diastolik > P
untuk 95 usia, jenis kelamin,
dan tinggi badan pada ≥ 3
kali pemeriksaan
Kulit  Akantosis nigrikans  Sering ditemukan pada
 Jerawat berlebihan, anak obes, yaitu kulit
hirsutism terlihat gelap disebabkan
 Iritasi, inflamasi peningkatan risiko
 Striae violaceous resistensi insulin
 Sindrom ovarium
polikistik
 Konsekuensi dari
obesitas berat
 Sindrom Cushing
Mata Papiledema, paralisis n. VI Pseudotumor serebri
kranialis
Tenggorokan Hipertrofi tonsil Obstructive sleep apnea
Leher Goiter Hipotiroidism
Dada Wheezing Asma, terkait dengan
intoleransi latihan, sindrom
hipoventilasi obesitas
Abdomen  Nyeri abdomen  Gangguan refluks
 Hepatomegali gastroesofagus, penyakit
kandung empedu,
Nonalcoholic Fatty Liver
Disease (NAFLD)
 Nonalcoholic Fatty Liver
Disease (NAFLD)
Sistem reproduksi  Stadium Tanner  Timbulnya
 Mikropenis perkembangan seks
sekunder < 9 tahun pada
anak laki-laki atau < 8
tahun pada anak
perempuan
 Penis dengan ukuran
normal yang terpendam
dalam lemak suprapubik
Ekstremitas  Undescended testis  Sindrom Prader-Willi
 Abnormal gait, gerakan  Slipped Capital Femoral
panggul terbatas Epiphysis
 Bowing of tibia Tangan  Blount disease
dan kaki yang kecil  Beberapa sindrom
 Polidaktili genetik

2. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan rekomendasi dari IDAI (2014), berikut pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan untuk deteksi dini dan pengecekan morbiditas obesitas
pada anak:
1) Polisomnografi
2) Pemeriksaan Kadar glukosa darah TSH, prolaktin, testosteron total dan
bebas, DHEAS (dehydroepiandrosterone sulfate), 17-OH progesteron, FSH,
LH, estradiol Ureum, kreatinin, asam urat, SGOT atau SGPT
3) USG
4) Pemeriksaan pencitraan untuk mencari penyebab endogen peningkatan
ACTH (adrenocorticotropic hormone): CT Scan/MRI abdomen atau MRI
kepala
5) Pemeriksaan resistensi insulin (HOMA-IR)

b. Pemeriksaan Antropometri
Lemak tubuh yang berlebihan pada obesitas berhubungan dengan peningkatan
risiko kesehatan, khususnya faktor risiko kardivaskular. Indeks massa tubuh
(IMT) dan pengukuran berat badan terhadap tinggi badan merupakan metode
yang berguna untuk menilai lemak tubuh dan diukur dengan cara berat badan
(dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan (dalam meter). (IDAI,
2014). Konsensus internasional untuk penentuan gizi lebih adalah berdasarkan
grafik indeks massa tubu (grafik IMT) berdasarkan usia dan jenis kelamin. Saat
ini ada tiga klasifikasi yang digunakan untuk anak dan remaja yaitu CDC 2000
(Center for Disease Control and Prevention 2000), IOTF (International Obesity
Task Force), dan WHO 2006 (World Health Organization 2006) (IDAI, 2014).

Gambar 1 Grafik indeks massa tubuh (IMT) anak laki-laki usia 0-2 tahun
Gambar 2 Grafik indeks massa tubuh (IMT) anak perempuan usia 0-2 tahun

Gambar 3 Grafik indeks massa tubuh (IMT) anak laki-laki usia 2-20 tahun
Gambar 4 Grafik indeks massa tubuh (IMT) anak perempuan usia 2-20 tahun

3. Patogenesis
Menurut IDAI (2014) Obesitas terjadi karena ketidak-seimbangan antara asupan
energi dengan keluaran energi (energy expenditures), sehingga terjadi kelebihan
energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi
tersebut dapat disebabkan oleh asupan energi yang tinggi atau keluaran energi yang
rendah. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan,
sedangkan keluaran energi rendah disebabkan oleh rendahnya metabolisme tubuh,
aktivitas fisis, dan efek termogenesis makanan yang ditentukan oleh komposisi
makanan. Lemak memberikan efek termogenesis lebih rendah (3% dari total energi
yang dihasilkan lemak) dibandingkan karbohidrat (6-7% dari total energi yang
dihasilkan karbohidrat) dan protein (25% dari total energi yang dihasilkan protein).
Sebagian besar gangguan homeostasis energi ini disebabkan oleh faktor idiopatik
(obesitas primer atau nutrisional), sedangkan faktor endogen (obesitas sekunder atau
non-nutrisional, yang disebabkan oleh kelainan hormonal, sindrom, atau defek
genetik) hanya mencakup kurang dari 10% kasus. Secara klinis obesitas idiopatik
dan endogen, sedangkan pemeriksaan fisis serta dampak dan gejala yang harus dicari
pada anak dan remaja dengan obesitas.
Tabel 1 Karakteristik Obesitas Idiopatik dan Obesitas Endogen (IDAI, 2014)

4. Terapi
Terapi intensif berupa farmakoterapi dan terapi bedah dapat diterapkan dengan
persyaratan pada anak dan remaja obes yang mengalami penyakit penyerta dan tidak
memberikan respons pada terapi konvensional (IDAI, 2014).
a. Farmakoterapi
Secara umum farmakoterapi untuk obesitas dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu penekan nafsu makan (sibutramin), penghambat absorbsi zat-zat gizi
(orlistat), dan rekombinan leptin untuk obesitas karena defisiensi leptin bawaan,
serta kelompok obat untuk mengatasi komorbiditas (metformin). Belum
tuntasnya penelitian tentang efek jangka panjang penggunaan farmakoterapi
obesitas pada anak, menyebabkan belum ada satupun farmakoterapi tersebut di
atas yang diijinkan pemakaiannya pada anak di bawah 12 tahun oleh U.S. Food
and Drug Administration sampai saat ini. Sejak tahun 2003, Orlistat 120 mg
dengan ekstra suplementasi vitamin yang larut dalam lemak disetujui oleh U.S.
Food and Drug Administration untuk tata laksana obesitas pada remaja di atas
usia 12 tahun. Studi klinis menunjukkan bahwa orlistat dapat membantu
menurunkan berat badan dari 1,31 sampai 3,37 kg lebih banyak dibandingkan
plasebo.

b. Terapi Bedah
Prinsip terapi bedah pada obesitas (bedah bariatrik) adalah (1) mengurangi
asupan makanan (restriksi) atau memperlambat pengosongan lambung dengan
cara gastric banding dan vertical-banded gastroplasty, dan (2) mengurangi
absorbsi makanan dengan cara membuat gastric bypass dari lambung ke bagian
akhir usus halus. Sampai saat ini belum cukup banyak diteliti manfaat serta
bahaya pembedahan jika diterapkan pada anak Bedah bariatrik dapat di
pertimbangkan dilakukan pada:
 Remaja yang mengalami kegagalan menurunkan berat badan setelah
menjalani program yang terencana ≥ 6 bulan serta memenuhi persyaratan
antropometri, medis, dan psikologis
 Superobes (sesuai dengan definisi World Health Organization jika IMT
≥40)
 Secara umum sudah mencapai maturitas tulang (umumnya perempuan ≥13
tahun dan laki-laki ≥15 tahun), dan
 Menderita komplikasi obesitas yang hanya dapat diatasi dengan penurunan
berat badan

Remaja yang terindikasi tindakan bedah bariatrik harus dirujuk ke Pusat


Rujukan Obesitas yang bersifat multidisipliner serta mempunyai pengalaman
dalam penanganan jangka panjang. Terapi bedah bariatrik tetap berpotensi
menimbulkan komplikasi yang serius walaupun menghasilkan penurunan berat
badan yang bermakna pada pasien pediatrik. Komplikasi laparoscopic
adjustable gastric banding (LAGB) yang paling sering dilaporkan adalah band
slippage dan defisiensi mikronutrien, dengan beberapa kasus sporadik erosi
band, disfungsi lubang atau pipa, hiatal hernia, infeksi luka dan dilatasi
kantung. Komplikasi yang lebih berat dilaporkan setelah Roux-en-Y gastric
bypass (RYGB), seperti embolisme paru, syok, obstruksi usus, perdarahan
pasca bedah, kebocoran di tempat jahitan, dan gizi buruk.

5. Komplikasi
Sekitar 80% dari 10 hingga 15 tahun yang kelebihan berat badan menjadi orang
dewasa yang obesitas pada usia 25 tahun. Obesitas pada anak berpotensi
menyebabkan komplikasi fisiologis dan psikososial yang signifikan, yang jika tidak
ditangani pada masa kanak-kanak, akan menimbulkan konsekuensi kesehatan yang
negatif di masa dewasa. Berikut komplikasi obesitas pada anak menurut Robinson et
al, (2011) :
a. Penyakit Kardiovaskuler
Obesitas mempengaruhi manusia terhadap perubahan baik dalam struktur
jantung dan hemodinamik. Dikombinasikan dengan adipositas yang berlebihan,
obesitas menyebabkan peningkatan volume darah dan curah jantung dan dapat
menyebabkan kardiomiopati. Dua komorbiditas jantung yang paling umum dari
obesitas pada anak adalah dislipidemia dan hipertensi.
Biasanya, pada anak-anak obesitas, kolesterol lipoprotein densitas rendah
serum (LDL-C) dan trigliserida meningkat dan kolesterol lipoprotein densitas
tinggi (HDL-C) menurun. Mekanisme dislipidemia yang diusulkan pada anak-
anak obesitas adalah peningkatan asam lemak bebas yang diproduksi oleh
adiposit viseral dan hiperinsulinemia yang mendorong sintesis LDL-C dan
trigliserida oleh hati. Pengobatan andalan untuk dislipidemia adalah diet dan
olahraga; namun, rujukan yang tepat harus dilakukan jika tindakan konservatif
tidak efektif.
Meskipun hipertensi relatif jarang terjadi pada anak-anak, anak-anak yang
mengalami obesitas memiliki risiko hipertensi tiga kali lipat lebih tinggi
daripada anak-anak non-obesitas. Faktor penyebab hipertensi pada anak obesitas
antara lain hiperaktivitas sistem saraf simpatis, resistensi insulin, dan kelainan
pada struktur dan fungsi pembuluh darah.
Sementara sindrom metabolik umum terjadi pada orang dewasa, saat ini
tidak ada kriteria untuk mendiagnosis sindrom metabolik pada anak-anak.
Namun, dengan menggunakan kriteria orang dewasa yang dimodifikasi,
prevalensi keseluruhan dari sindrom metabolik adalah 38,7% pada anak-anak
dengan obesitas sedang dan 49,7% pada anak-anak dengan obesitas berat.
Pengobatan terdiri dari mengatasi dislipidemia, hipertensi, dan diabetes melitus
tipe 2.

b. Komplikasi Endokrin
Karena enzim penghasil hormon seks diekspresikan dalam jaringan adiposa,
kelebihan adipositas sentral dapat menyebabkan aktivitas androgen tinggi atau
hiperandrogenemia. Hingga 50% testosteron bebas berasal dari lemak pada
wanita muda. Hiperandrogenemia dan obesitas abdominal menyebabkan
hiperinsulinemia dan resistensi insulin, yang merangsang produksi androgen
dan estrogen oleh kelenjar adrenal dan ovarium. Selain itu, konsentrasi globulin
pengikat hormon seks (Sex Hormone Binding Globuline) yang lebih rendah
pada wanita gemuk menyebabkan peningkatan lebih lanjut dalam tingkat
testosteron bebas. Peningkatan testosteron ini dapat menyebabkan kelainan
menstruasi, seperti amenore, metrorrhagia, dan sindrom ovarium polikistik,
pada gadis remaja obesitas. Gadis gemuk yang mengalami ketidakseimbangan
hormon harus dirujuk ke spesialis untuk menjaga kesuburan.
Selama dua dekade terakhir, jumlah anak dengan diagnosis diabetes melitus
tipe 2, penyakit yang sebelumnya hanya menyerang orang dewasa, meningkat
10 kali lipat. Anak-anak yang mengembangkan Diabetes Melitus Tipe 2
berisiko mengalami perubahan mikrovaskular dan makrovaskular, termasuk
retinopati, nefropati, neuropati, dan aterosklerosis, pada usia yang lebih muda
daripada mereka yang mengembangkan penyakit di kemudian hari. Pubertas
dikaitkan dengan peningkatan sekresi hormon pertumbuhan, yang meningkatkan
resistensi insulin sementara. Oleh karena itu, pubertas meningkatkan risiko anak
berkembang dari resistensi insulin menjadi diabetes yang sebenarnya.
Anak-anak harus diskrining untuk Diabetes Melitus Tipe 2 jika BMI (Body
Mass Index) mereka yang dihitung berada di persentil ke-85 atau lebih tinggi
untuk usia dan jenis kelamin dan mereka memiliki faktor risiko tambahan untuk
Diabetes Melitus Tipe 2 , seperti riwayat keluarga atau tanda-tanda resistensi
insulin. Proses diagnostik untuk diabetes mellitus tipe 2 pada anak-anak sama
dengan pada orang dewasa: puasa atau pengukuran glukosa darah acak atau
pengujian toleransi glukosa oral bersama dengan penentuan hemoglobin
glikosilasi (A1C).
Pengobatan tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan dimulai
dengan modifikasi gaya hidup dan / atau metformin ketika glukosa darah puasa
antara 126 dan 200 mg / dL. 13 Terapi insulin harus dimulai pada anak-anak
dengan kadar glukosa puasa lebih dari 200 mg / dL. Insulin juga harus
ditambahkan ketika kontrol tidak dapat dicapai setelah 3 sampai 6 bulan terapi
metformin. 13 Seperti pada orang dewasa, target kadar glukosa untuk anak-anak
adalah antara 70 dan 100 mg / dL, kisaran A1C harus di bawah 6,5% atau 7%,
dan tes fungsi ginjal dan pemeriksaan retinal yang melebar diperlukan setiap
tahun. 13 Akhirnya, untuk mencapai tujuan terapeutik mereka, anak-anak
dengan Diabetes Melitus Tipe 2 paling baik ditangani oleh tim multispesialis.

c. Komplikasi Gastro Intestinal


Obesitas, sindrom metabolik, dan hiperinsulinemia merupakan faktor risiko
perkembangan kolelitiasis. Oleh karena itu, penyakit kandung empedu harus
menjadi bagian dari diagnosis banding untuk remaja obesitas dengan nyeri
kuadran kanan atas yang persisten.
Dengan kejadian satu dari setiap tiga anak obesitas, Nonalcoholic Fatty
Liver Disease (NAFLD), atau steatosis hati, menjadi lebih umum. Meskipun
kebanyakan kasus jinak, penyakit ini dapat menyebabkan peningkatan fibrosis
dan jarang dapat menyebabkan sirosis. Pada penderita NAFLD, kadar
aminotransferase hati sering meningkat empat hingga lima kali lipat, dan kadar
alkali fosfatase umumnya meningkat tiga kali lipat. 6 Pengujian fungsi hati
harus dilakukan setiap 2 tahun dimulai pada usia 10 tahun untuk anak-anak
dengan IMT pada persentil ke-95 atau lebih tinggi dan pada mereka yang
memiliki IMT pada persentil ke 85 hingga 94 yang memiliki faktor risiko.

d. Komplikasi Muskuloskeletal
Anak-anak yang kelebihan berat badan dan obesitas berisiko lebih besar
mengalami komplikasi ortopedi daripada anak dengan berat badan
normal. Selain itu, anak-anak yang kelebihan berat badan menunjukkan
prevalensi yang lebih besar untuk patah tulang (pinggul), ketidaknyamanan
muskuloskeletal, gangguan mobilitas, dan malalignment ekstremitas bawah.
Obesitas yang berlanjut hingga dewasa dapat menyebabkan osteoartritis dan
kerusakan tulang rawan artikular. Obesitas pada masa kanak-kanak juga dapat
menjadi predisposisi beberapa masalah ortopedi tertentu, termasuk Slip Capital
Femoral Epiphysis (SCFE) dan penyakit Blount. Hasil SCFE ketika kekuatan
lempeng pertumbuhan femoralis meningkat dan kepala femoralis tiba-tiba
terpisah dengan retakan tulang rawan epifisis atau ketika kekuatan kronis secara
bertahap menyebabkan slip. Gaya yang lebih besar sering kali disebabkan oleh
bertambahnya massa tubuh. Epiphysis femoralis Capital yang tergelincir dapat
menyebabkan nyeri pinggul atau lutut dan penurunan rentang gerak pada
pinggul yang terkena.
Penyakit blount, atau tibia vara, adalah gangguan pertumbuhan tibia yang
disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dari aspek medial tibia proksimal yang
menyebabkan tungkai bawah miring ke dalam. Karena anak-anak yang
kelebihan berat badan dan obesitas lebih cenderung mengalami komplikasi
ortopedi, termasuk ketidaknyamanan dengan mobilitas, mereka juga cenderung
tidak terlibat dalam aktivitas fisik, sehingga menyebabkan akumulasi kelebihan
berat badan.

e. Komplikasi Pernapasan
Selama dua dekade terakhir, terjadi peningkatan prevalensi asma dan
obesitas. Tidak ada hubungan sebab-akibat antara asma dan obesitas yang telah
ditetapkan dengan jelas, tetapi peningkatan simultan pada kedua kondisi
tersebut telah mengarahkan para peneliti untuk memeriksa apakah ada
kaitannya. Mekanisme yang mungkin untuk berkembangnya asma termasuk
diet, gastroesophageal reflux, efek mekanis dari obesitas, atopi, dan pengaruh
hormonal. Gejala asma pada anak obesitas sama dengan pada anak non obesitas.
Tes fungsi paru sebaiknya dilakukan pada anak-anak yang diduga menderita
asma. Perawatannya sama dengan untuk anak-anak non-obesitas; namun,
bimbingan harus diberikan mengenai aktivitas fisik agar tidak membatasi
jumlah latihan yang dilakukan anak.
Ditandai dengan episode apnea dan hipoapnea selama tidur, apnea tidur
obstruktif (Obstuctive Sleep Apnea/OSA) empat hingga enam kali lebih
mungkin berkembang pada anak-anak obesitas seperti pada anak-anak dengan
berat badan normal. OSA merupakan faktor risiko penting, karena
keberadaannya pada orang dewasa dikaitkan dengan perkembangan hipertensi,
penyakit kardiovaskular, penyakit serebrovaskular, dan kualitas hidup yang
buruk. Selain itu, apnea tidur obstruktif dapat menyebabkan hipertensi arteri
paru. Gejala kantuk di siang hari, mendengkur, dan enuresis nokturnal
semuanya bisa menjadi gejala OSA pada anak-anak. Tes definitif untuk OSA
adalah polisomnografi. Diagnosis dipastikan ketika indeks apnea-hypoapnea
adalah lima atau lebih insiden per jam. Perawatan terdiri dari adenotonsilektomi
untuk pasien dengan tonsil atau hipertrofi adenoid dan rujukan ke ahli paru jika
pembedahan tidak efektif dalam meredakan gejala.

f. Dampak Psikologis
Peneliti menemukan bahwa penurunan harga diri pada anak-anak yang
mengalami obesitas menyebabkan peningkatan tingkat kesedihan, kesepian, dan
kegugupan. Lebih lanjut, anak-anak dengan masalah ini lebih cenderung
merokok dan minum alkohol. Anak-anak obesitas juga lebih mungkin terisolasi
secara sosial dan memiliki tingkat gangguan makan yang lebih tinggi, seperti
pesta makan, serta kecemasan dan depresi.
Pada usia dini, anak mengasosiasikan obesitas dengan karakteristik negatif,
seperti kemalasan dan tingkat kecerdasan yang lebih rendah. Persepsi ini dapat
menimbulkan diskriminasi terhadap anak obesitas, yang dapat berdampak
negatif di kemudian hari. Wanita yang kelebihan berat badan selama masa
remaja menyelesaikan lebih sedikit tahun sekolah, lebih kecil kemungkinannya
untuk menikah, dan memiliki pendapatan rumah tangga yang lebih rendah
daripada mereka yang tidak kelebihan berat badan selama masa remaja. Selain
itu, pria yang kelebihan berat badan selama masa remaja cenderung tidak
menikah.

C. Aspek Epidemiologi
1. Gambaran Epidemiologi Dunia

Gambar 5 Prevalens obesistas diantara anak-anak dan remaja (WHO, 2021)

Obesitas merupakan epidemi global yang mempengaruhi semua wilayah dunia.


Obesitas meningkat paling cepat di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah. Pada tahun 2016, setengah dari semua anak yang kelebihan berat badan
atau obesitas tinggal di Asia dan seperempatnya tinggal di Afrika. Paradoksnya,
kelebihan berat badan dan obesitas ditemukan pada populasi di mana kekurangan
gizi tetap umum - istilah 'beban ganda malnutrisi' terkadang digunakan untuk
menggambarkan pengaturan ini (WHO, 2017). Pada 2019, secara global 144 juta
anak di bawah usia 5 tahun sebanyak 38 juta mengalami kelebihan berat badan.
Pelaporan data internasional dalam Schwarz (2020) mengenai obesitas pada anak
bervariasi, dan keakuratannya mungkin kurang dari optimal; namun, Eneli dan Dele
Davies melaporkan bahwa di 77% negara yang dianalisis, tingkat prevalensi untuk
anak-anak yang kelebihan berat badan paling sedikit 10%. Khususnya, tingkat
tertinggi untuk anak-anak yang berisiko mengalami obesitas ditemukan di Malta
(25,4%) dan Amerika Serikat (25,1%). Lituania (5,1%) dan Latvia (5,9%) memiliki
tingkat terendah. Sebuah Studi Jantung Remaja Eropa baru-baru ini menunjukkan
bahwa anak-anak Swedia memiliki risiko yang lebih rendah untuk menjadi
kelebihan berat badan atau obesitas pada masa remaja dibandingkan dengan anak-
anak Estonia.
Obesitas pada masa kanak-kanak merupakan masalah serius di Amerika Serikat
yang membuat anak-anak dan remaja berisiko mengalami kesehatan yang buruk.
Prevalensi obesitas pada anak dan remaja masih terlalu tinggi (CDC, 2019). Untuk
anak-anak dan remaja usia 2-19 tahun:
a. Prevalensi obesitas 18,5% dan mempengaruhi sekitar 13,7 juta anak dan remaja.
b. Prevalensi obesitas adalah 13,9% pada usia 2 sampai 5 tahun, 18,4% pada usia 6
sampai 11 tahun, dan 20,6% pada usia 12 sampai 19 tahun. Obesitas anak juga
lebih umum terjadi pada populasi tertentu.
c. Hispanik (25,8%) dan non-Hispanik kulit hitam (22,0%) memiliki prevalensi
obesitas lebih tinggi daripada kulit putih non-Hispanik (14,1%).
d. Orang Asia non-Hispanik (11.0%) memiliki prevalensi obesitas yang lebih
rendah dibandingkan orang kulit hitam non-Hispanik dan Hispanik.

Ras dan etnis dikaitkan dengan peningkatan angka obesitas pada anak-anak dan
remaja. Anak-anak prasekolah Puerto Rico, Amerika Kuba, dan Pribumi Amerika
mengalami peningkatan insiden obesitas; Anak-anak usia sekolah kulit hitam,
Pribumi Amerika, Puerto Rico, Meksiko, dan asli Hawaii memiliki tingkat obesitas
tertinggi dalam kelompok usia ini. Sekitar 25% remaja kulit hitam mengalami
obesitas. Rosen dalam Schwarz (2020) melaporkan bahwa hipoventilasi apnea tidur
obstruktif lebih sering terlihat pada anak-anak kulit hitam daripada anak-anak
Hispanik atau kulit putih. Amandel dan kelenjar gondok berada pada ukuran
puncaknya, relatif terhadap ukuran orofaring, ketika anak-anak berusia 2-7 tahun.
Selama dekade kedua kehidupan, perempuan lebih cenderung mengalami obesitas
daripada laki-laki, kecuali remaja kulit hitam, di antara mereka laki-laki lebih
cenderung mengalami obesitas daripada perempuan. Meskipun jenis kelamin laki-
laki dikaitkan dengan peningkatan kejadian apnea tidur obstruktif pada orang
dewasa, tidak ada perbedaan yang teridentifikasi pada anak-anak sebelum pubertas
Schwarz (2020)
Obesitas pada remaja merupakan prediktor dari obesitas dewasa, dengan 80%
remaja yang mengalami obesitas terus mengalami obesitas saat dewasa. Obesitas
lebih mungkin terjadi selama periode kehidupan tertentu, seperti saat anak berusia
5-7 tahun dan selama masa remaja. Sebuah Studi Jantung Pemuda Eropa baru-baru
ini menunjukkan bahwa seks pria memberikan risiko obesitas yang lebih tinggi
pada masa remaja (Schwarz, 2020)

2. Gambaran Epidemiologi Indonesia


Obesitas pada anak 5-12 tahun di Indonesia sebenayak 18,8% kelebihan berat
badan dan 10,8% mengalami obesitas. Berdasarkan Riskesdas (2013) dalam
Kemenkes (2015) pada tahun 2013 terdapat 11,9% balita gemuk. Berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dalam IDAI (2014) didapatkan prevalensi
obesitas pada anak balita di tahun 2007, 2010, dan 2013 berdasarkan berat badan
menurut tinggi badan lebih dari Z score 2 menggunakan baku antropometri anak
balita WHO 2005 berturut-turut 12,2%, 14,0%, dan 11,9%, serta anak berusia 5-12,
13-15, dan 16-18 tahun berturut-turut 8,8%, 2,5%, dan 1,6% berdasarkan indeks
massa tubuh menurut umur lebih dari Z score 2 menggunakan baku antropometri
WHO 2007 untuk anak berumur 5-18 tahun. Beberapa penelitian mengenai
prevalensi obesitas pada anak dan remaja telah dilakukan di Jakarta, Bali, dan
Semarang. Prevalensi anak obes di dua sekolah dasar negeri di Jakarta Pusat 9,6%
dari 488 anak, prevalensi anak obes di tiga sekolah dasar swasta di Jakarta Timur
27,5% dari 2292 anak, prevalensi obesitas pada anak sekolah dasar usia 10-12 tahun
di lima wilayah DKI Jakarta 15,3% dari 600 anak, prevalensi obesitas 11% dari 552
anak berusia 11-17 tahun di kota Denpasar dan Badung, prevalensi obesitas 15%
dari 241 anak berusia 6-10 tahun di dua sekolah dasar negeri di Bali, 10,6% dari
1157 anak usia 6-7 tahun di kota Semarang. Penelitian Multisenter 10 PPDSA di
Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi obesitas pada anak usia sekolah dasar
rata-rata 12,3% (IDAI, 2014).

3. Faktor Risiko
Menurut Sahoo et al (2015) bahwa faktor risiko anak untuk obesitas meliputi
asupan makanan, aktivitas fisik, dan perilaku. Dampak faktor risiko tersebut
dimoderasi oleh faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin. Karakteristik keluarga gaya
pengasuhan, gaya hidup orang tua juga berperan. Faktor lingkungan seperti
kebijakan sekolah, demografi, dan tuntutan terkait pekerjaan orang tua selanjutnya
mempengaruhi perilaku makan dan aktivitas. Berikut faktor risiko obesitas pada
anak menurut Sahoo et al (2015):
a. Genetika
Genetika merupakan salah satu faktor terbesar yang diteliti sebagai
penyebab obesitas. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa BMI adalah
25-40% diwariskan. Namun, kerentanan genetik sering kali perlu digabungkan
dengan faktor lingkungan dan perilaku yang berkontribusi untuk mempengaruhi
berat badan. Faktor genetik menyumbang kurang dari 5% dari kasus obesitas
pada masa kanak-kanak. Oleh karena itu, meskipun genetika dapat berperan
dalam perkembangan obesitas, itu bukanlah penyebab peningkatan dramatis
pada obesitas pada anak.

b. Laju metabolisme basal


Laju metabolisme basal juga telah dipelajari sebagai kemungkinan
penyebab obesitas. Laju metabolisme basal, atau metabolisme, adalah
pengeluaran energi tubuh untuk fungsi istirahat normal. Tingkat metabolisme
basal bertanggung jawab atas 60% dari total pengeluaran energi pada orang
dewasa yang tidak banyak bergerak. Telah dihipotesiskan bahwa individu yang
mengalami obesitas memiliki tingkat metabolisme basal yang lebih rendah.
Namun, perbedaan tingkat metabolisme basal tidak mungkin bertanggung jawab
atas peningkatan tingkat obesitas.

c. Faktor Lingkungan dan Perilaku


Faktor di balik pola makan yang buruk dan menawarkan banyak wawasan
adalah tentang bagaimana faktor orang tua dapat berdampak pada obesitas pada
anak-anak. Mereka mencatat bahwa anak-anak belajar dengan mencontohkan
preferensi, asupan, dan kemauan orang tua dan teman untuk mencoba makanan
baru. Ketersediaan dan paparan berulang terhadap makanan sehat adalah kunci
untuk mengembangkan preferensi dan dapat mengatasi ketidaksukaan terhadap
makanan. Struktur waktu makan penting dengan bukti yang menunjukkan
bahwa keluarga yang makan bersama mengonsumsi lebih banyak makanan
sehat. Selain itu, makan di luar atau menonton TV sambil makan dikaitkan
dengan asupan lemak yang lebih tinggi.
Gaya pemberian makan orang tua juga penting. Penulis menemukan bahwa
pemberian makan otoritatif (menentukan makanan mana yang ditawarkan,
memungkinkan anak memilih, dan memberikan alasan untuk pilihan sehat)
dikaitkan dengan kognisi positif tentang makanan sehat dan asupan yang lebih
sehat.Pembatasan yang menarik dari "junk-food" dikaitkan dengan peningkatan
keinginan untuk makanan yang tidak sehat dan berat badan yang lebih tinggi.
Kebijakan pemerintah dan sosial juga berpotensi mendorong perilaku sehat.
Penelitian menunjukkan rasa, diikuti oleh rasa lapar dan harga, adalah faktor
terpenting dalam pilihan camilan remaja. Penelitian lain menunjukkan bahwa
remaja mengasosiasikan junk food dengan kesenangan, kemandirian, dan
kenyamanan, sedangkan menyukai makanan sehat dianggap aneh. Hal ini
menunjukkan bahwa diperlukan investasi untuk mengubah makna makanan, dan
persepsi sosial tentang perilaku makan. Seperti yang diusulkan oleh National
Taskforce on Obesity (2005), kebijakan fiskal seperti mengenakan pajak pada
pilihan yang tidak sehat, memberikan insentif untuk distribusi makanan sehat
yang murah, dan berinvestasi pada fasilitas rekreasi yang nyaman atau kualitas
estetika lingkungan dapat meningkatkan pola makan sehat dan aktivitas fisik.
Setiap jam tambahan menonton televisi per hari meningkatkan prevalensi
obesitas sebesar 2%. Penayangan televisi di antara anak-anak dan remaja telah
meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan jumlah
waktu yang dihabiskan dalam perilaku menetap telah menurunkan jumlah waktu
yang dihabiskan dalam aktivitas fisik. Penelitian yang menunjukkan jumlah jam
yang dihabiskan anak-anak untuk menonton TV berkorelasi dengan konsumsi
barang-barang yang paling banyak diiklankan, termasuk sereal manis, permen,
minuman manis, dan makanan ringan asin. Meskipun terdapat kesulitan dalam
menilai dampak media secara empiris, penelitian lain yang dibahas menekankan
bahwa efek iklan tidak boleh diremehkan. Efek media telah ditemukan untuk
agresi remaja dan merokok dan pembentukan ideal tubuh yang tidak
realistis. Direkomendasikan untuk mengatur pemasaran makanan tidak sehat,
demikian juga dengan media advokasi untuk mempromosikan makan sehat.
Sementara menonton televisi yang ekstensif dan penggunaan media
elektronik lainnya telah berkontribusi pada gaya hidup menetap, faktor
lingkungan lain telah mengurangi kesempatan untuk aktivitas fisik. Peluang
untuk aktif secara fisik dan lingkungan yang aman untuk aktif telah berkurang
dalam beberapa tahun terakhir. Mayoritas anak-anak di masa lalu berjalan kaki
atau bersepeda ke sekolah. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2002
menemukan bahwa 53% orang tua mengantar anak-anak mereka ke sekolah.
Dari orang tua tersebut, 66% mengatakan bahwa mereka mengantar anak-anak
mereka ke sekolah karena rumah mereka terlalu jauh dari sekolah. Alasan lain
yang diberikan orang tua untuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah
termasuk tidak ada rute berjalan yang aman, takut akan predator anak, dan tidak
nyaman bagi anak. Anak-anak yang tinggal di daerah yang tidak aman atau
yang tidak memiliki akses ke rute pejalan kaki yang aman dan terang memiliki
lebih sedikit kesempatan untuk aktif secara fisik.

d. Faktor Makanan
Konsumsi Makanan Cepat Saji: Peningkatan konsumsi makanan cepat saji
telah dikaitkan dengan obesitas dalam beberapa tahun terakhir. Banyak
keluarga, terutama yang dua orang tuanya bekerja di luar rumah, memilih
tempat-tempat ini karena sering disukai oleh anak-anak mereka dan nyaman
serta murah. Makanan yang disajikan di restoran cepat saji cenderung
mengandung banyak kalori dengan nilai gizinya rendah. Sebuah penelitian yang
dilakukan meneliti kebiasaan makan remaja kurus dan kelebihan berat badan di
restoran cepat saji. Para peneliti menemukan bahwa kedua kelompok
mengonsumsi lebih banyak kalori saat makan makanan cepat saji daripada yang
biasanya mereka lakukan di rumah, tetapi kelompok kurus mengkompensasi
asupan kalori yang lebih tinggi dengan menyesuaikan asupan kalori mereka
sebelum atau sesudah makan makanan cepat saji sebagai antisipasi atau
kompensasi atas kelebihan kalori. dikonsumsi selama makanan cepat saji.
Meskipun banyak penelitian telah menunjukkan penambahan berat badan
dengan konsumsi makanan cepat saji secara teratur, sulit untuk membangun
hubungan kausal antara makanan cepat saji dan obesitas.
 Minuman manis
Minuman manis adalah faktor lain yang telah diteliti sebagai faktor
penyebab potensial untuk obesitas. Minuman manis sering dianggap
terbatas pada soda, tetapi jus dan minuman manis lainnya termasuk dalam
kategori ini. Banyak penelitian telah meneliti hubungan antara konsumsi
minuman manis dan berat badan, dan hal itu terus ditemukan sebagai faktor
penyebab kelebihan berat badan. Minuman manis kurang mengenyangkan
daripada makanan dan dapat dikonsumsi lebih cepat, yang menghasilkan
asupan kalori yang lebih tinggi.
 Makanan ringan
Makanan ringan termasuk makanan seperti keripik, makanan yang
dipanggang, dan permen. Banyak penelitian telah dilakukan untuk meneliti
apakah makanan ini berkontribusi terhadap peningkatan obesitas pada
anak. Meskipun ngemil telah terbukti meningkatkan asupan kalori secara
keseluruhan, tidak ada penelitian yang dapat menemukan hubungan antara
ngemil dan kelebihan berat badan.
 Ukuran porsi
Ukuran porsi telah meningkat secara drastis dalam dekade
terakhir. Mengkonsumsi porsi besar, selain sering mengemil makanan
berkalori tinggi, berkontribusi pada asupan kalori yang
berlebihan. Ketidakseimbangan energi ini dapat menyebabkan penambahan
berat badan, dan akibatnya menjadi obesitas.

e. Faktor Keluarga
Faktor keluarga juga dikaitkan dengan peningkatan kasus obesitas. Jenis
makanan yang tersedia di rumah dan preferensi makanan anggota keluarga
dapat memengaruhi makanan yang dimakan anak. Selain itu, waktu makan
keluarga dapat mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi dan
jumlahnya. Terakhir, kebiasaan keluarga, apakah mereka tidak aktif atau aktif
secara fisik, memengaruhi anak. Penelitian telah menunjukkan bahwa memiliki
ibu yang kelebihan berat badan dan tinggal di rumah dengan orang tua tunggal
dikaitkan dengan kelebihan berat badan dan obesitas pada masa kanak-kanak.

f. Faktor Sosial Budaya


Faktor sosial budaya juga terbukti mempengaruhi perkembangan
obesitas. Masyarakat kita cenderung menggunakan makanan sebagai hadiah,
sebagai alat untuk mengontrol orang lain, dan sebagai bagian dari sosialisasi.
Penggunaan makanan seperti ini dapat mendorong perkembangan hubungan
yang tidak sehat dengan makanan, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
obesitas.

g. Faktor Psikologis
 Depresi dan kecemasan
Sebuah tinjauan baru-baru ini menyimpulkan bahwa mayoritas studi
menemukan hubungan prospektif antara gangguan makan dan depresi.
Namun, hubungan ini tidak searah; depresi dapat menjadi penyebab dan
konsekuensi dari obesitas. Selain itu, dalam sampel klinis dari remaja
obesitas, prevalensi gangguan kecemasan yang lebih tinggi dilaporkan
dibandingkan dengan kontrol non-obesitas. Meskipun beberapa penelitian
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan BMI
dan peningkatan gejala kecemasan. Dengan demikian, hubungan antara
obesitas dan kecemasan mungkin tidak searah dan tentu saja tidak konklusif.

 Harga diri
Temuan penelitian yang membandingkan anak-anak yang kelebihan
berat badan / obesitas dengan anak-anak dengan berat badan normal dalam
hal harga diri telah beragam. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa
anak-anak obesitas memiliki harga diri yang lebih rendah sementara yang
lain tidak. Ada beberapa konsensus dalam literatur bahwa pendekatan global
untuk pengukuran harga diri dengan anak-anak yang kelebihan berat badan /
obesitas menyesatkan karena domain fisik dan sosial dari harga diri
tampaknya menjadi tempat di mana anak-anak ini paling rentan.

 Ketidakpuasan tubuh
Penelitian secara konsisten menemukan bahwa kepuasan tubuh lebih
tinggi pada pria daripada wanita di segala usia. Perbedaan gender mungkin
mencerminkan cita-cita budaya kebarat-baratan tentang kecantikan karena
ketipisan adalah satu-satunya ideal yang didefinisikan secara budaya untuk
wanita, sementara pria didorong untuk menjadi kurus dan berotot. Jadi, ada
hubungan linier antara ketidakpuasan tubuh dan peningkatan BMI pada anak
perempuan; sedangkan untuk anak laki-laki, hubungan berbentuk U
menunjukkan bahwa anak laki-laki dengan BMI pada ekstrem rendah dan
tinggi mengalami ketidakpuasan tubuh tingkat tinggi.

 Gejala gangguan makan


Ciri-ciri yang terkait dengan gangguan makan tampaknya umum pada
populasi remaja obesitas, terutama untuk anak perempuan. Sejumlah
penelitian telah menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dari patologi yang
berhubungan dengan makan (yaitu Anorexia, Bulimia Nervosa, dan regulasi
impuls) pada anak-anak / remaja obesitas.

 Masalah emosional
Dalam salah satu dari sedikit penelitian untuk menyelidiki dampak
psikologis dari kelebihan berat badan/obesitas pada anak-anak, tinjauan dari
10 penelitian yang diterbitkan selama periode 10 tahun (1995-2005) dengan
ukuran sampel lebih dari 50 mengungkapkan bahwa semua peserta
melaporkan beberapa tingkat dampak psikososial sebagai akibat dari status
berat badan mereka. Umur yang lebih muda, perempuan, dan dengan
peningkatan persepsi kurangnya kontrol atas makan tampaknya
meningkatkan konsekuensi psikososial.

h. Penggunaan Obat-obatan tertentu


Obat-obatan tertentu. Beberapa obat resep dapat meningkatkan risiko
terjadinya obesitas. Mereka termasuk prednison, lithium, amitriptyline,
paroxetine (Paxil), gabapentin (Neurontin, Gralise, Horizant) dan propranolol
(Inderal, Hemangeol) (Mayoclinic, 2019).

D. Upaya Pencegahan
Prinsip pengelolaan obesitas adalah mengatur keseimbangan energi. Energi yang masuk
harus lebih rendah dibandingkan dengan yang dibutuhkan. Tips pencegahan obesitas
pada anak dan remaja menurut Kemenkes RI (2018) sebagai berikut :
1) Bayi :
a. Inisiasi Menyusui Dini (IMD)
b. ASI Ekslusif sampai 6 bulan
c. Melanjutkan ASI sampai 2 tahun
d. MP-ASI dimulai pada usia 6 bulan
e. Pemberian Makanan Bayi Anak (PMBA) sesuai dengan kelompok umur
f. Tummy time untuk bayi yang belum bisa merangkak sebagai usaha aktivitas
fisik
2) Balita :
a. Aneka ragam pangan, makan lebih banyak yang bergizi (anak usia 2-5 tahun)
b. Jangan terlalu banyak digendong, biarkan anak bergerak bebas
3) Anak & Remaja
a. Tidak makan sambil menonton TV
b. Batasi penggunaan gadget
c. Perbanyak aktivitas di luar ruangan
d. Biasakan makan dengan keluarga
e. Biasakan selalu sarapan sehat
f. Biasakan membawa bekal makanan sehat dan air putih dari rumah
g. Batasi makanan siap saji dan pangan olahan, jajanan dan makanan selingan
yang manis asin dan berlemak
h. Banyak makan sayur buah
i. Mengonsumsi aneka ragam pangan
j. Tidak merokok dan minum-minuman beralkohol
k. Hindari konsumsi minuman ringan dan bersoda

Sedangkan menurut rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) (2014)


pencegahan obesitas dapat dilakukan dengan pencegahan primer, sekunder dan tersier.
1) Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan menggunakan dua strategi pendekatan yaitu strategi
pendekatan populasi untuk mempromosikan cara hidup sehat pada semua anak dan
remaja beserta orang tuanya, serta strategi pendekatan pada kelompok yang berisiko
tinggi mengalami obesitas. Anak yang berisiko mengalami obesitas adalah seorang
anak yang salah satu atau kedua orangtuanya menderita obesitas dan anak yang
memiliki kelebihan berat badan semenjak masa kanak-kanak. Usaha pencegahan
dimulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan di Pusat Kesehatan
Masyarakat Tindakan pencegahan primer tidak jauh berbeda dengan Tips
pencegahan obesistas pada anak dari Kemenkes RI (2018).

2) Pencegahan Sekunder
Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendeteksi early
adiposity rebound. Anak mengalami peningkatan IMT pada tahun pertama
kehidupan. Indeks massa tubuh menurun setelah usia 9-12 bulan dan mencapai nilai
terendah pada usia 5-6 tahun, dan selanjutnya meningkat kembali pada masa remaja
dan dewasa. Nilai IMT paling rendah adalah disebut sebagai adiposity rebound.
Waktu terjadinya adiposity rebound merupakan periode kritis untuk perkembangan
obesitas pada masa anak. Adiposity rebound yang terjadi lebih dini dan cepat (<5
tahun) berhubungan dengan sindrom metabolik dikemudian hari.

Gambar 6 Adiposity rebound

3) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan dengan mencegah komorbiditas yang dilakukan
dengan menata laksana obesitas pada anak dan remaja. Prinsip tata laksana obesitas
pada anak berbeda dengan orang dewasa karena faktor tumbuh kembang pada anak
harus dipertimbangkan. Tata laksana obesitas pada anak dan remaja dilakukan
dengan pengaturan diet, peningkatan aktivitas fisis, mengubah pola hidup
(modifikasi perilaku), dan terutama melibatkan keluarga dalam proses terapi.10,79
Sulitnya mengatasi obesitas menyebabkan kecenderungan untuk menggunakan jalan
pintas, yaitu diet rendah lemak dan kalori, diet golongan darah atau diet lainnya serta
berbagai macam obat. Penggunaan diet rendah kalori dan lemak dapat menghambat
tumbuh kembang anak terutama di masa emas pertumbuhan otak, sedangkan diet
golongan darah ataupun diet lainnya tidak terbukti bermanfaat untuk digunakan
dalam tata laksana obesitas pada anak dan remaja. Penggunaan obat
dipertimbangkan pada anak dan remaja obes dengan penyakit penyerta yang tidak
memberikan respons pada terapi konvensional.

Selain dari pola makan, obesitas juga dapat dicegah dengan aktifitas fisik. Center for
Disease Control and Prevention Amerika Serikat dalam IDAI (2014) menganjurkan
anak dan remaja harus melakukan latihan fisis setiap hari selama 60 menit atau lebih,
yang terdiri dari aktivitas aerobik, penguatan otot, dan penguatan tulang.

1) Aktivitas aerobik Aktivitas aerobik merupakan latihan fisis yang dapat dilakukan
setiap hari selama 60 menit atau lebih. Aktivitas aerobik terdiri dari aktivitas aerobik
dengan intensitas sedang (misalnya jalan cepat) atau aktivitas aerobik dengan
intensitas bugar (misalnya berlari). Aktivitas aerobik dengan intensitas bugar
dilakukan paling sedikit tiga kali dalam satu minggu.
2) Penguatan otot (muscle strengthening) Aktivitas penguatan otot, seperti senam atau
push-up, dilakukan paling sedikit tiga kali dalam satu minggu sebagai bagian dari
total latihan fisis selama 60 menit atau lebih.
3) Penguatan tulang (bone strengthening) Aktivitas penguatan tulang, seperti lompat
tali atau berlari, dilakukan paling sedikit tiga kali dalam satu minggu sebagai bagian
dari total latihan fisis selama 60 menit atau lebih.
DAFTAR PUSTAKA
CDC. (2019). Childhood Obesity Facts.
https://www.cdc.gov/obesity/data/childhood.html#:~:text=The%20prevalence%20of%2
0obesity%20was,more%20common%20among%20certain%20populations.

IDAI. (2014). Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Diagnosis, Tata Laksana dan
Pencegahan Obesitas pada Anak dan Remaja. http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/Rekomendasi-Diagnosis-Tata-laksana-dan-Pencegahan-
Obesitas-Pada-Anak-dan-Remaja.pdf.

Kemenkes RI. (2018). Obesitas Kit Informasi Obesitas.


http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/N2VaaXIxZGZwWFpEL1VlRFdQQ3ZRZz09/201
8/02/FactSheet_Obesitas_Kit_Informasi_Obesitas.pdf.

Robinson, Georgina A. PA-C; Geier, Megan; Rizzolo, Denise PA-C, PhD; Sedrak, Mona PA-
C, PhD. (2011). Childhood obesity: Complications, prevention strategies, treatment.
Journal of the American Academy of PAs: Volume 24 - Issue 12 - p 58-65.
https://journals.lww.com/jaapa/fulltext/2011/12000/childhood_obesity__complications,
_prevention.9.aspx&prev=search&pto=aue.

Sahoo, K., Sahoo, B., Choudhury, A. K., Sofi, N. Y., Kumar, R., & Bhadoria, A. S. (2015).
Childhood obesity: causes and consequences. Journal of family medicine and primary
care, 4(2), 187–192. https://doi.org/10.4103/2249-4863.154628.

Schwarz, Steven M. (2020). Obesity in Children.


https://emedicine.medscape.com/article/985333-overview.

WHO. (2017). Obesity. https://www.who.int/health-topics/obesity#tab=tab_1.

WHO. (2021). Prevalence Of Obesity Among Children And Adolescents BMI > +2 Standard
Deviations Above The Median (Crude Estimate).
https://www.who.int/data/gho/data/indicators/indicator-details/GHO/prevalence-of-
obesity-among-children-and-adolescents-bmi-2-standard-deviations-above-the-median-
(crude-estimate)-(-).

Anda mungkin juga menyukai