ARTIKEL
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2017
Hubungan Rumus Sidik Jari dan Sidik Rugae Palatina pada Sub Ras
Deuteromelayu – Desyani Shalihah Setiadi ̶ 160110130055
ABSTRAK
Kata kunci : identifikasi, forensik kedokteran gigi, rumus sidik jari, rumus
sidik rugae palatina, sub ras Deuteromelayu
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... v
DAFTAR GRAFIK............................................................................................. vi
1. Pendahuluan .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 2
2. Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 2
2.1 Dactyloscopy ......................................................................................... 2
2.2 Palatoscopy............................................................................................ 4
2.4 Perumusan Sidik Rugae Palatina ........................................................... 6
2.5 Subras Deuteromelayu ........................................................................... 6
3. Metode Penelitian...................................................................................... 7
3.1 Jenis Penelitian ...................................................................................... 7
3.2 Populasi dan Sampel .............................................................................. 7
3.3 Alat dan Bahan Penelitian ...................................................................... 7
3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ................................................. 7
4. Hasil Penelitian Dan Pembahasan .............................................................. 8
4.1 Hasil Penelitian ...................................................................................... 8
5. Simpulan Dan Saran....................................................................................... 11
5.1 Simpulan ............................................................................................. 11
5.2 Saran ................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 12
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Grup dan Subgrup Pola Sidik Jari (Federal Bureau of Investigation,
1977) .................................................................................................. 3
Tabel 2. 3 Formulasi Sidik Jari Federal Bureau of Investigation (Federal Bureau
of Investigation 1987) ......................................................................... 5
Tabel 4. 1 Analisis Keterkaitan antara Rumus Sidik Jari dengan Rumus Sidik
Rugae Palatina .................................................................................. 10
Tabel 4. 2 Perbedaan dan Persamaan Sidik Jari dengan Sidik Rugae Palatina (G.,
1905; Bhullar et al., 2011; Hermosilla Venegas et al., 2009; Krishan et
al., 2012) .......................................................................................... 11
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4. 1 Kombinasi Secondary dan Main Form Rugae Kanan dan Kiri ............ 9
Grafik 4. 2 Kombinasi Major dan Main Form Rugae Kanan dan Kiri.................. 9
vi
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Bencana didefinisikan sebagai suatu kejadian akut yang terjadi secara
mendadak dan dapat menyebabkan pengalaman traumatic, berdasarkan data yang
didapatkan dari World Disaster Report 2015 oleh International Federation of Red
Cross and Red Crescent Societies, dalam rentan waktu tahun 2005-2014 telah terjadi
6.311 bencana di 94 negara di dunia dan tercatat 839.342 jiwa menjadi korban
meninggal dunia dalam peristiwa bencana tersebut (IFRC, 2015). Salah satu
kebutuhan terpenting dalam kegiatan tanggap bencana yaitu kebutuhan untuk
mengidentifikasi korban bencana (Disaster Victim Identification).
Proses identifikasi individu dilakukan dengan cara membandingkan antara
data yang didapatkan sebelum kematian (ante mortem) dan data yang didapatkan
setelah kematian (post mortem). Terdapat dua jenis sarana identifikasi, yaitu sarana
identifikasi primer dan sarana identifikasi sekunder. Sarana identifikasi primer
diantara lain sidik jari, data dental dan DNA sedangkan sarana identifikasi sekunder
antara lain deskripsi pribadi, temuan medis serta pakaian yang ditemukan pada
tubuh. Dalam proses identifikasi, kedua metode ini saling mendukung satu sama lain
dan saling melengkapi untuk dapat menentukan identitas korban (Cossio et al.,
2012).
Sidik jari merupakan salah satu standar yang telah lama digunakan dalam
proses identifikasi dikarenakan sifatnya yang individual, stabil, dapat dirumuskan
dan data ante mortem dari sidik jari mudah didapatkan . Perumusan sidik jari secara
manual telah ditetapkan oleh Federal Bureau of Investigation pada tahun 1987
dengan menggunakan perpaduan dari beberapa klasifikasi sidik jari dan perhitungan
ridge pada jari (Federal Bureau of Investigation, 1987). Kelemahan dari identifikasi
dengan sidik jari yaitu dalam kondisi tertentu proses identifikasi tidak dapat
dilakukan dikarenakan sulitnya untuk mendapatkan data post mortem, seperti dalam
kondisi rusaknya jari yang menyebabkan hilangnya pola sidik jari seseorang secara
permanen atau pada jenazah yang mengalami pembusukan lanjut (Kashyap et al.,
2012; Prawestiningtyas & Algozi, 2009). Dalam beberapa kondisi khusus tersebut
ketika sidik jari ataupun gigi sudah tidak ada, rugae palatina dapat dijadikan sebagai
sarana identifikasi alternative (Bansode & Kulkarni, 2009).
Rugae palatina merupakan ridge dari membran mukosa di bagian anterior
palatal keras yang irregular, asimetris serta meluas ke lateral yang melintang dari
papilla insisivum dan merupakan bagian anterior dari median palatal raphe
(Hermosilla Venegas et al., 2009). Rugae palatina bersifat unik dan individual
sehingga rugae palatina dapat menjadi parameter yang ideal dalam proses
identifikasi (Bansode & Kulkarni, 2009). Penelitian Permatasari (2013) telah
mengangkat rugae palatina sebagai sarana identifikasi individu dengan membuat
1
rumus sidik rugae palatina berdasarkan pendekatan dari rumus sidik jari yang
kemudian disempurnakan oleh Nursamsi (2016).
Rumus sidik rugae palatina dapat memudahkan proses identifikasi dengan cara
dihubungkan dengan rumus sidik jari, sehingga dapat dibandingkan antara data ante
mortem sidik jari dengan data post mortem sidik rugae palatina dari korban. Dengan
menganalisis parameter-parameter dalam kedua rumus tersebut yaitu bentuk, ukuran,
arah, dan jumlah ridge, dapat ditentukan hubungan antara sidik jari dengan sidik
rugae palatina. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis
tertarik untuk meneliti hubungan antara rumus sidik jari dengan rumus sidik rugae
palatine dengan melanjutkan penelitian Permatasari (2013) dan Nursamsi (2016)
pada subras Deuteromelayu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
Bagaimana hubungan antara rumus sidik jari dengan rumus sidik rugae palatina
sebagai identifikasi forensik kedokteran gigi.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Dactyloscopy
Dactloscopy berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu dactylos yang
artinya garis jari dan scopein yang artinya mengamati atau meneliti. Dari
pengertian dua kata tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dactyloscopy
merupakan suatu pengamatan atau penelitian tentang garis-garis yang terdapat
pada ruas ujung jari baik tangan maupun kaki, yang dikenal sebagai sidik jari.
(Rizqiani et al., 2009). Sidik jari merupakan bagian dari friction ridge skin atau
struktur kulit yang memiliki penonjolan berfriksi. Fungsi dari friction ridges yaitu
membantu kulit untuk mendeteksi kekasaran permukaan dan juga berfungsi
sebagai lipatan pada kulit yang membuat kulit lentur. Selain sidik jari yang
termasuk kedalam friction ridges antara lain kulit telapak tangan dan kaki serta
bagian lipatan tubuh (Krishan et al., 2012).
Secara anatomis struktur penyusun friction ridges skin sama seperti struktur
penyusun kulit secara umum, yaitu tersusun atas lapisan epidermis dan dermis
(Krishan et al., 2012). Lapisan epidermis pada friction ridges skin didominasi oleh
sel berbentuk kolumnar, dan terdiri dari sel keratin (berfungsi sebagai proteksi),
sel melanin (mengandung pigmen melanin), sel Langerhans (berfungsi sebagai sel
pertahanan dan antibodi) dan sel Merkel (berfungsi sebagai sel sensoris). Struktur
dari lapisan epidermis ini sama dengan struktur epidermis pada bagian kulit
lainnya, yaitu terdiri dari empat lapisan, dari dalam ke luar ; stratum basale,
stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lucidum, stratum corneum dan
stratum disjuctivum. Primary ridge dan secondary ridge yang terbentuk dari
2
lipatan membrane basal pada minggu ke sepuluh hingga minggu ke enam belas
intrauterine terlihat jelas dari bagian superfisial epidermis hingga menembus ke
dermis membentuk suatu pola permanen yang terikat kuat sehingga tidak mudah
rusak dengan cedera superfisial (Krishan et al., 2012).
Double Central
Plain Tented Ulnar Radial Plain Accidental
Loop Pocket
Arch Arch Loop Loop Whorl Whorl
Whorl Whorl
3
Ciri khas lain dari sidik jari yang dapat mendukung proses identifikasi
individu diataranya yaitu jumlah ridge count dan ridge tracing. Ridge count
merupakan jumlah ridge yang terdapat diantara core dan delta sementara ridge
tracing adalah jumlah ridge yang terdapat diantara delta kanan dan kiri pada pola
whorl (Patmasari et al., 2009; Federal Bureau of Investigation, 1987).
a b
c d
Gambar 2. 2 Ridge Counting pada Pola Loop (a) (b) dan
Ridge Tracing pada pola Whorl (c) (d)
(Federal Bureau of Investigation 1977).
4
yang mengacu pada klasifikasi Henry. Sepuluh jari yang akan diidentifikasi diberi
nomor sesuai dengan klasifikasi Henry (Federal Bureau of Investigation, 1987).
Tabel 2. 2 Formulasi Sidik Jari Federal Bureau of Investigation (Federal Bureau of
Investigation 1987)
Sub-Secondary/
Key Major Primary Secondary Final
Small latter group
Numerator
Denominator
2.3 Palatoscopy
Palatoscopy atau palatal rugoscopy merupakan bidang ilmu yang mendalami
tentang rugae palatina dengan tujuan untuk penentuan identitas individu. Rugae
palatina merupakan lipatan atau kerutan anatomis yang tersusun dari jaringan ikat
fibrosa irregular dan berlokasi di sepertiga anterior dari palatal. (Rituraj Kesri,
Gautam Das, Jyoti Tote, 2010). Rugae palatina berbeda-beda untuk tiap
individunya, termasuk individu kembar. Sassouni menyatakan bahwa tidak ada
dua palatum yang memilki konfigurasi rugae yang serupa. Rugae palatina
dimediasi oleh gen genetik dan menunjukan variasi dan karakteristik khusus
dalam suatu populasi (Bing et al., 2014; Jain & Chowdhary, 2014).
Rugae palatina mulai terbentuk pada bulan ke-3 intra-uterin di daerah
yang terlokalisir, perkembangannya di kendalikan oleh interaksi epitelial-
mesenkimal, epitelnya mengalami proliferasi serta penebalan pada saat palatal
shelves mulai mengalami perkembangan. Setelah itu serat kolagen dan fibroblas
terakumulasi di dalam jaringan ikat di bawah epitel yang menebal dan kemudian
menjadikan akumulasi ini sebagai orientasi dari rugae (Bhullar et al. 2011;
Bharath, 2011). Rugae pertama berada 32 mm dari papila incisivus dan sudah
terlihat pada tahap prenatal, rugae pertama ini letaknya lebih ke anterior dan pada
umumnya lebih menonjol dari bagian posterior rugae. Pola khas dan jumlah dari
rugae palatina sudah mulai terllihat ketika individu lahir dan tidak mengalami
perubahan kecuali perubahan ukuran seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan individu. Carrea menyatakan bahwa pola dari rugae palatina mulai
terbentuk sejak minggu ke 12-14 intrauterin dan tidak mengalami perubahan
selama individu tersebut hidup (Rituraj Kesri, Gautam Das, Jyoti Tote, 2010; Jain
& Chowdhary, 2014).
Rugae palatina merupakan ridge yang dibentuk dari epitel skuamosa
parakeratin berlapis yang merupakan epitel pelapis palatum keras. Struktur
penyusun epitel pada bagian dan palatum sama, hanya saja berbeda dalam
kandungan serat reticulin halus dan fibroblas yang mana lebih banyak terdapat
pada epitel yang membentuk rugae (Bhullar et al. 2011, Avery 2006).
5
Papila incisivus
Median palatal raphe
Rugae palatina
Gambar 2. 3 Gambaran Anatomi dan Histologi Rugae Palatina (Bhullar et al. 2011,
Avery 2006).
Klasifikasi untuk menilai dan memudahkan pembacaan rugae palatina telah
dibuat dan dikembangkan olleh beberapa peneliti terdahulu. Hasil Penelitian
menunjukan rugae palatina dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran, bentuk
dan arah, beberapa diantaranya yaitu klasifikasi Lysell, klasifikasi Martin dos
Santos, klasifikasi Carrea (Rituraj Kesri, Gautam Das, Jyoti Tote, 2010; Bhullar et
al., 2011).
MFw;RCn;δy;[(Fz;Mx)d]
Keterangan :
RP : Rugae Palatina
MFwR/L : Rugae Utama/Main Form (Right/Left)
RCnR/L : Rugae Counting (Right/Left)
δyR/L : Rugae Tracing (Right/Left)
FzR/L : Bentuk dari setiap rugae/Form (Right/Left)
MxR/L : Ukuran dari setiap rugae/Measurement (Right/Left)
dR/L : Rugae palatina ke- n (1,2,3 … dst; termasuk rugae utama)
6
Kalimantan Barat dan Sulawesi Barat yang terdiri atas suku Batak, Gayo, Riau,
Sakai, Talang, Utan, Rawar, Mamak, Kubu, Lubu, Nias, Mentawai, Badui, Sasak,
Tengger, Toraja. Setelah bangsa Proto Melayu masuk,barulah ras Deutro Melayu
masuk ke Indonesia sekitar tahun 300 SM, yang tersebar dengan mayoritas
menempati dua pertiga bagian Barat Indonesia dan terbagi menjadi beberapa suku
bangsa, yaitu Aceh, Jawa, Sunda, Minangkabau, Riau, Bugis dan sebagian dari
suku Tamiang, Melayu Deli, Jambi, Bengkulu, Palembang, Makasar, Bali dan
Sasak (Prasetyono 2009 ; Nursamsi 2016).
3. Metode Penelitian
7
digunakan yaitu dengan analisis statistika asosiatif secara kuantitatif dan
kualitatif. Analisa kuantitatif dilakukan dengan analisis hipotesis kesamaan dan
korelasi Pearson yang diawali dengan proses transformasi skala dari ordinal ke
interval dengan metode successive interval, sedangkan analisa kualitatif
menggunakan Koefisien Korelasi Spearman Rank yang merupakan teknik yang
digunakan untuk menghitung hubungan antar variabel bila datanya berbentuk
ordinal (Sugiyono, 2012). Data yang berbentuk nominal akan dirubah terlebih
dahulu dalam bentuk ordinal dengan membuat ranking. Pada tabel tersebut pola
sidik jari dan bentuk rugae palatina akan diinput dalam bentuk score dengan
menggunakan angka 1-10.
Pada penelitian ini analisis dilakukan antara bentuk rugae palatina utama
dengan pola sidik jari telunjuk secara linear dan secara silang. Analisis secara
linear dilakukan dengan menganalisis hubungan antara bentuk rugae utama
palatum kanan dan bentuk rugae utama palatum kiri dengan pola sidik jari
telunjuk kiri, sementara analisis secara silang dilakukan antara rugae kanan
dengan jari kiri begitupun sebaliknya. Sistem analisis tersebut digunakan juga
untuk melihat hubungan antara major dan rugae utama.
8
Grafik 4. 1 Kombinasi Secondary dan Main Form Rugae Kanan dan Kiri
25%
U-C
U-S
20%
U-B
P-C
15%
U-L
P-S
10%
P-O
C-B
5%
P-B
C-C
0%
S-MF [R] S-MF [L]
kombinasi kedua yang paling banyak muncul adalah large dan bifurcated dengan
jumlah 13 subjek (12%) pada sisi kanan dan 7 subjek (14%) pada sisi kiri, diikuti
oleh kombinasi lain dengan angka persentase yang lebih kecil.
Grafik 4. 2 Kombinasi Major dan Main Form Rugae Kanan dan Kiri
30%
L-C
25%
L-B
M-C
20%
L-S
15% L-O
M-S
10% S-C
M-L
5% M-B
L-An
0%
M-MF [R] M-MF [L]
Pola major dan main form rugae utama seluruh subjek kemudian dianalisis
menggunakan korelasi spearman rank untuk mencari hubungan antar kedua
variabel tersebut dengan membandingkan nilai rs (koefisien korelasi hitung)
dengan r tabel (koefisien korelasi tabel).
Hasil dari analisis untuk hubungan antara secondary dengan main form rugae
baik secara kuantitatif ataupun kualitatif didapatkan koefisien korelasi (r s) terbesar
pada hubungan antara secondary kiri dan main form rugae kiri yaitu sebesar 0.148
9
yang setelah dibandingkan dengan nilai koefisien korelasi pada tabel degan
sampel 100 orang didapatkan r tabel sebesar 0,1654. Dari perbandingan ini
didapatkan hasil bahwa koefisien korelasi (rs) hasil perhitungan lebih kecil
daripada koefisien korelasi pada tabel. Sementara itu hasil analisis untuk major
dan main form rugae didapatkan koefisein korelasi terbesar pada hubungan major
kiri dengan main form rugae kanan yaitu sebesar 0.098 yang mana masih lebih
kecil daripada koefisien korelasi pada tabel. Kedua hasil analisis tersebut
menunjukan bahwa hubungan antara rumus sidik jari dan rumus sidik rugae
palatina dinyatakan tidak signifikan secara statistika. Keterkaitan yang didapatkan
antara keduanya sangat kecil dan berdasarkan hasil analisis keterkaitan yang
terbesar dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4. 1 Analisis Keterkaitan antara Rumus Sidik Jari dengan Rumus Sidik Rugae
Palatina
Hubungan Keterkaitan
Pola sidik jari telunjuk (secondary) kiri dengan bentuk
2,20 %
rugae utama (main form rugae) kiri.
Ukuran ridge counting atau ridge tracing ibu jari (major)
0,957 %
kiri dengan bentuk rugae utama (main form rugae) kanan.
Dari seluruh penelitian yang telah dipublikasikan, ditemukan satu
penelitian yang meneliti tentang hubungan sidik jari dengn rugae palatina yaitu
penelitian Wichnieski, Franco, AIgnácio, dan Batista pada tahun 2012 yang
berjudul Comparative Analysis between Dactyloscopy and Rugoscopy (Analisis
Komparatif antara Dactyloscopy dn Palatoscopy). Penelitian tersebut dilakukan
pada 94 orang asal Brazil tanpa mempertimbangkan ras dan tanpa
memperhitungkan rumus. Variabel yang dibandingkan dalam penelitian tersebut
adalah pola sidik jari pada ibu jari berdasarkan klasifikasi Vucetich dan arah
rugae utama berdasarkan klasifikasi Carrea. Hasil yang didapatkan dari analisis
chi-square pada penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian kali ini, yaitu
tidak ditemukannya hubungan yang signifikan antara sidik jari dan rugae
palatina. Rugae palatina dan sidik jari jika ditinjau secara deskriptif
memperlihatkan beberapa persamaan dan perbedaan yang dapat dilihat pada tabel
4.2.
10
Tabel 4. 2 Perbedaan dan Persamaan Sidik Jari dengan Sidik Rugae Palatina (G., 1905;
Bhullar et al., 2011; Hermosilla Venegas et al., 2009; Krishan et al., 2012)
Perbedaan Persamaan
Sidik Jari Sidik Rugae Palatina
Pola mulai terbentuk sejak Pola mulai terbentuk sejak Tidak mengalami
minggu ke 10-16 intrauterin minggu ke 12-14 perubahan dalam hal
setelah pembentukan volar intrauterin setelah fusi dari bentuk dan pola setelah
pads. prosessus palatina. proses pembentukan
berakhir.
Ridge terbentuk dari lipatan Ridge terbentuk dari Dimulai dengan
dan undulasi dari membran akumulasi jaringan ikat pembentukan bagian
basalis yang melintang fibrosa dan serat reticulum inti (core untuk sidik
menembus dermis hingga halus pada dermis yang jari dan rugae utama
ke bagian superfisial membentuk peninggian untuk sidik rugae).
epidermis. permanen hingga ke bagian
superfisial epidermis.
Sel yang mendominasi Sel yang mendominasi Terbentuk dari epitel
adalah sel kelenjar ekrin adalah sel Merkel. skuomosa parakeratin
yang erada dibawah setiap berlapis banyak.
ridge primer.
Terdapat pada ujung jari Hanya terdapat pada Merupakan metode
tangan dan kaki. bagian anterior palatum identifikasi forensik
keras. yang ideal.
11
DAFTAR PUSTAKA
12
Patmasari, R.Ramdhani, M.& Rizal, A. 2009. Perancangan Perangkat Lunak
Rumus Sidik Jari. , 2009(Snati), pp.
Permatasari, A. 2013. Identifikasi sidik rugae palatina subras Deuteromelayu
dengan pendekatan rumus sidik jari sebagai aplikasi forensik kedokteran
gigi. Skripsi. Bandung: FKG Unpad.
Prasetyono, T.O.H. 2009. Morphometry of deutero malay female nose. Med J
Indones, 18(2), pp.
Prawestiningtyas, E. & Algozi, A.M. 2009. Forensic Identification Based on Both
Primary and Secondary Examination Priority in Victim Identifiers on Two
Different Mass Disaster Cases Identifikasi Forensik Berdasarkan
Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada
Dua Kasus B. Jurnal Kedokteran Brawijaya, XXV(2), pp.
Rituraj Kesri, Gautam Das, Jyoti Tote, P.T. 2010. Rugoscopy- Science of Palatal
Rugae: A Review. Int J Dent Med Res, 1(4), pp.
Rizqiani, K. et al. 2009. Perancangan Perangkat Lunak. , pp.
13