Anda di halaman 1dari 193

MAKALAH

ASUHAN KEBIDANAN KOLABORASI PADA KASUS PATOLOGI DAN KOMPLIKASI


PADA KLIEN DENGAN ROBEKAN JALAN LAHIR DERAJAT 3-4 DAN SERVIKALIS
Bd. 6.606

DOSEN PENGAMPU :
Henny Fitriani, S.SiT, M.Keb
Arlina Rachmaida, S.Tr.Keb, Bd, M.Keb
Rakhmawati, S.Tr.Keb

DISUSUN OLEH KELOMPOK 13:


1. Mitha Amelia (201091028)
2. Novi dwi utami (201091023)
3. Zahra ayu putri sopianto (201091058)

POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK


JURUSAN KEBIDANAN
PRODI SARJANA TERAPAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena hanya dengan
izin, rahmat dan kuasa-Nyalah kami masih diberikan kesehatan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Robekan Jalan Lahir Derajat 3-4 dan
Servikalis”
Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar- besarnya kepada semua pihak terutama kepada Dosen pengajar Mata
Kuliah asuhan kebidanan kolaborasi pada kasus patologi dan komplikasi yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan
masih jauh dari apa yang diharapkan.
Untuk itu, kami berharap dan kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah ini di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa sarana yang membangun. Semoga makalah sederhana ini
dapat bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.

Pontianak, April 2023

Penyusun

Kelompok
13

i
Daftar Isi

Kata Pengantar i
................................................................................................................
Daftar ii
Isi...........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
..........................................................................................................
1.2 Rumusan 3
Masalah....................................................................................................
1.3 Tujuan 3
.......................................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ringkasan Tinjauan Teori 4
.........................................................................................
2.2 Data Subyektif 7
...........................................................................................................
2.3 Data Obyektif 9
............................................................................................................
2.4 Penatalaksanaan 9
.......................................................................................................
2.5 Algoritma 13
...................................................................................................................
2.6 Latihan 14
Kasus.............................................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 16
................................................................................................................
3.2 Saran 16
..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut survei Demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) Angka
Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2007 sebesar 228/100.000 kelahiran
hidup, penyebab utamanya adalah perdarahan 28%, eklampsi 24%,
infeksi 11%, komplikasi puerpurium 8% dan lain-lain 29%. Perdarahan
merupakan penyebab utama kematian dimana salah satunya dapat
disebabkan oleh ruptur perineum.
Ruptur perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama
dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Namun hal ini dapat
dihindarkan atau dikurangi dengan jalan menjaga jangan sampai dasar
panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat dan adanya robekan
perineum ini dibagi menjadi: robekan perineum derajat I, robekan
perineum derajat II, III dan IV (Dr. Vladimir 2018) Klasifikasi robekan
jalan lahir diantaranya adalah robekan vagina, robekan vulva, robekan
serviks uteri, robekan korpus uteri, robekan uterus dan robekan
perineum (Prawirohardjo, 2012). Laserasi perineum adalah salah satu
dari robekan jalan lahir. Laserasi perineum merupakan robekan yang
terjadi pada perineum sewaktu proses persalinan. Persalinan dengan
tindakan seperti ekstraksi forsep, ekstraksi vakum, versi ekstraksi,
kristeller (dorongan pada fundus uteri) dan episiotomi dapat
menyebabkan robekan jalan lahir. Laserasi perineum dapat
diklasifikasikan berdasarkan derajat laserasi yaitu derajat I, derajat II,
derajat III dan derajat IV (Ariana 2020).
Serviks adalah bagian dari rahim yang berbentuk panjang, padat dan
tebal yang terdiri dari jaringan otot. Pada proses melahirkan, kontraksi
yang terjadi mengakibatkan jaringan serviks yang tebal untuk menipis,
melebar dan terbuka. Hal ini terjadi agar janin keluar dari rahim. Pada
kondisi ini, jaringan serviks yang meregang akan mudah mengalami
robekan (Suparyanto dan Rosad (2019).

1
Robekan yang terjadi pada jaringan serviks dapat mencapai jaringan
vagina dan perineum (kulit antara vagina dan anus). Robekan pada
serviks dekat dinding vagina akan menghasilkan cedera ringan sehingga
perdarahan yang keluar sedikit. Namun apabila robekan tepat pada
bagian leher rahim, robekan serviks bisa tergolong berat dan
menimbulkan banyak darah yang keluar. Perdarahan berat bisa
mengurangi volume cairan tubuh, syok dan kematian.  
Penyebab terjadinya robekan jalan lahir adalah partus presipitatus
dengan : Kepala janin besar, Presentasi defleksi (dahi, muka), Primipara,
Letak sungsang, Pimpinan persalinan yang salah, Pada obstetri dan
embriotomi :ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, dan embriotomi.
Terjadinya rupture perineum disebabkan oleh faktor ibu (paritas, jarak
kelahiran dan berat badan bayi), pimpinan persalinan tidak sebagaimana
mestinya, riwayat persalinan. ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, trauma
alat dan episiotomi.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun
2009 terjadi 2,7 juta kasus ruptur perineum pada ibu bersalin, angka
diperkirakan akan meningkat mencapai 6,3 juta pada tahun 2050 jika
tidak mendapat perhatian dan penanganan yang lebih. Di Asia ruptur
perineum juga merupakan masalah yang cukup banyak dalam
masyarakat, 50% dari kejadian ruptur perineum di dunia terjadi di Asia.
Wiknjosastro. H (2011) menyebutkan bahwa kematian ibu yang
disebabkan karena robekan jalan lahir hanya 4-5%. Namun, ada lebih dari
500.000 kelahiran yang berlangsung secara alami pertahun, dan terdapat
sejumlah besar wanita yang mengalami ruptur perineum pada saat
melahirkan kurang lebih 50-60% dari wanita ini memerlukan penjahitan.
Sekitar 2%, yaitu lebih dari 10.000 orang wanita setiap tahunnya,
mengalami ruptur perineum yang memerlukan penjahitan anus.
Dampak dari ruptur perineum antara lain terjadinya perdarahan
postpartum, perdarahan postpartum menjadi penyebab utama 40%
kematian ibu di Indonesia. Selain itu dapat terjadi infeksi pada luka
jahitan dimana dapat merambat pada saluran kandung kemih ataupun
pada jalan lahir yang dapat berakibat pada munculnya komplikasi infeksi

2
kandung kemih maupun infeksi pada jalan lahir. Selain itu juga dapat
terjadi disparenia dikarenakan jaringan parut yang terbentuk sesudah
laserasi perineum (Ariana 2016).

3
1.2 Rumusan Masalah
Sebagai persiapan dalam pembelajaran, jawablah pertanyaan-
pertanyaan pendahuluan berikut ini :
1. Apa yang dimaksud dengan robekan jalan lahir derajat 3-4 dan
servikalis?

2. Apa saja klasifikasi robekan jalan lahir 3-4 dan servikalis?


3. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi akibat robekan jalan lahir 3-4
dan servikalis ?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus robekan jalan lahir
derajat 3-4 dan servikalis?

1.3 Tujuan Pembelajaran


Setelah mempelajari topik asuhan kebidanan kolaborasi pada
bayi prematur dan BBLR, mahasiswa diharapkan mampu melakukan :
1. Pengkajian pada klien dengan robekan jalan lahir derajat 3-4 dan
servikalis dengan pendekatan holistik
2. Analisis data pada dengan robekan jalan lahir derajat 3-4 dan
servikalis klien dengan pendekatan holistik
3. Perencanaan asuhan pada klien dengan robekan jalan lahir derajat 3
-4 dan servikalis dengan pendekatan holistik
4. Implementasi asuhan pada klien dengan robekan jalan lahir derajat
3-4 dan servikalis dengan pendekatan holistik
5. Evaluasi asuhan pada klien dengan pendekatan holistik
6. Pendokumentasian asuhan pada klien dengan pendekatan holistic
7. Kajian kasus-kasus patologi dan komplikasi
8. Reflektif praktik.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Ringkasan Tinjauan Teori


A. Robekan Jalan Lahir derajat 3 dan 4
Ruptur adalah luka pada perineum yang disebabkan rusaknya
jaringan secara alami karena adanya desakan kepala janin atau bahu
ketika proses persalinan. Biasanya bentuk luka tidak teratur dan
penjahitan sulit dilakukan. Luka yang tidak dirawat dengan baik dapat
menyebabkan terjadinya infeksi (Suparyanto dan Rosad (2019).
Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi Ketika bayi lahir,
baik secara spontan maupun dengan alat atau tindakan, sering terjadi
pada garis tengah namun dapat meluas jika kepala janin lahir terlalu
cepat (Winkjosastro, 2008 dalam Fatimah & Lestari, P., 2019: 153).
Robekan perineum terjadi pada hampir semua primipara namun
tidak jarang juga terjadi pada persalinan berikutnya. Beberapa cidera
jaringan penyokong, baik cidera akut maupun nonakut, baik telah
diperbaiki atau belum, dapat menjadi masalah ginekologis di
kemudian hari (Bobak, 2012 dalam Fatimah & Lestari, P., 2019: 67).
Klasifikasi robekan perineum berdasarkan luasnya adalah sebagai
berikut:
a. Derajat Satu
Robekan meliputi jaringan mukosa vagina, vulva bagian
depan, dan kulit perineum.
b. Derajat Dua
Robekan terjadi pada jaringan mukosa vagina, vulva
bagian depan, kulit perineum, dan otot-otot perineum.
c. Derajat Tiga
Robekan terjadi pada jaringan mukosa vagina, vulva
bagian depan, kulit perineum, otot-otot perineum, dan sfingter
ani eksternal.

5
d. Derajat Empat
Robekan terjadi pada jaringan keseluruhan perineum dan
sfingter ani yang meluas sampai ke mukosa (Fatimah &
Lestari, P., 2019: 155).
Menurut Cunningham, et al. (2010), laserasi (ruptur) perineum
dapat diklasifikasikan menjadi:
a) Derajat 1
Pada ruptur perineum derajat 1 akan mengenai
fourchette, kulit perineum, dan membran mukosa vagina,
tetapi tidak mengenai fasia dan otot.
b) Derajat 2
Pada ruptur perineum derajat 2 mengenai kulit dan
membran mukosa, fasia dan otot-otot perineum, tetapi tidak
mengenai sphincter ani.
c) Derajat 3
 Derajat 3a: 50% spinchter ani externa
 Derajat 3b: >50% spinchter ani externa
 Derajat 3c: spincter ani externa & internad)
d) Derajat 4
Pada ruptur perineum derajat 4, meluas sampai ke
mukosa rektum sehingga lumen rektum. Pada derajat ini,
robekan di daerah uretra yang dapat menimbulkan
perdarahan hebat mungkin terjadi. Menurut Chapman (2006),
robekan mengenai kulit, otot dan melebar sampai sphincter
ani dan mukosa rektum (Emmett Grames 2020).

Gambar 2.1
Derajat Laserasi

6
Bahaya dan Komplikasi Ruptur Perineum antara lain :
a) Perdarahan Perdarahan pada ruptur perineum dapat menjadi
hebat khususnya pada ruptur derajat dua dan tiga atau jika
ruptur meluas ke samping atau naik ke vulva mengenai klitoris.
b) Infeksi Karena dekat dengan anus, laserasi perineum dapat
dengan mudah terkontaminasi feses. Infeksi juga dapat
menjadi sebab luka tidak segera menyatu sehingga timbul
jaringan parut.
c) Dispareunia Jaringan parut yang terbentuk sesudah laserasi
perineum dapat menyebabkan nyeri selama berhubungan
seksual.

B. Servikalis
   Serviks adalah bagian bawah rahim yang terhubung ke vagina.
Salah satu fungsi serviks adalah memproduksi lendir atau mukus.
Lendir membantu menyalurkan sperma dari vagina ke rahim saat
berhubungan seksual. 
Ruptur serviks atau robekan serviks adalah jaringan serviks uterus
yang robek atau terpisah, merupakan kondisi kegawatan obstetrik
karena terjadi perdarahan aktif per vagina. Beberapa faktor risiko
seperti pemakaian cincin cerclage, persalinan dengan alat bantu
forsep dan vakum, persalinan dengan induksi, dan partus presipitatus,
disebutkan dapat menyebabkan ruptur serviks. Diagnosis ruptur
serviks berdasarkan gambaran klinis perdarahan post partum aktif di
jalan lahir, disertai nyeri di perut bawah dan tonus fundus uteri
berkontraksi dengan baik (Pasiowan, Lontaan, and Rantung 2015).

7
Ruptur serviks dapat terjadi saat jaringan serviks meregang
terlalu kuat dan tidak mengalami relaksasi secara penuh. Ruptur
serviks umumnya menjadi penyebab perdarahan pasca melahirkan,
terutama pada proses melahirkan yang sulit dan perlu menggunakan
alat bantu seperti forsep. Namun begitu, ruptur serviks juga dapat
disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti:

1) Infeksi pada serviks.


2) Obat yang memicu terjadinya kontraksi rahim pada proses
persalinan
3) Ibu melahirkan bayi terlalu besar sehingga serviks meregang
terlalu kuat.
4) Pembengkakan atau peradangan pada jaringan serviks, bisa
terjadi akibat persalinan yang lama.
5) Bahu janin sulit lahir saat persalinan (distosia bahu).
6) Adanya jaringan parut pada serviks akibat robekan
sebelumnya.
7) Menjalani suatu prosedur tertentu pada serviks seperti
amputasi (pemotongan) serviks.
8) Ibu yang mengejan terlalu dini saat serviks belum terbuka
sempurna. Akibatnya, kepala bayi bisa menekan bagian
serviks dan memicu terjadinya robekan.

Penatalaksanaan ruptur serviks dimulai dari stabilisasi


kondisi umum pasien, sesuai dengan prinsip penanganan perdarahan
pada jalan lahir. Bila pasien ditemukan dalam kondisi syok hemoragik,
maka perlu dilakukan resusitasi terlebih dahulu. Bersamaan dengan
stabilisasi pasien, dilakukan penanganan penghentian perdarahan
aktif dari jaringan serviks yang robek.

2. Data Subyektif

(Suparyanto dan Rosad (2019)


A. Robekan Jalan Lahir derajat 3-4

8
1) Identitas ibu dan suami
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, agama, suku bangsa,
pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat, penghasilan per bulan.
2) Antisipatori
a. Status Kesehatan
alasan kunjungan, kunjungan, keluhan utama, riwayat
kesehatan.
b. Riwayat obstetri dan ginekologi
Riwayat haid, riwayat perkawinan, riwayat KB, riwayat
kehamilan & persalinan yang lalu, riwayat kehamilan &
persalinan sekarang,
c. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia
nutrisi, eliminasi, oksigenasi, aktivitas dan istirahat.
d. Dukungan sosial
dukungan emosi, dukungan informasi, dukungan fisik,
dukungan penghargaan.
e. Fungsi keluarga
f. Pengkajian budaya
g. Stress
h. Pemeriksaan fisik ibu
 Mata : konjungtiva normalnya berwana merah muda dan
sklera normalnya berwarna putih
 Mammae : payudara simetris atau tidak, putting susu
bersih dan menonjol atau tidak.
 Hiperpigmentasi areolla atau tidak, kolostrum sudah keluar
atau belum.
 Abdomen : terdapat luka bekas SC atau tidak, ada linea
atau tidak, striae ada atau tidak
 Genetalia : bersih atau tidak, oedema atau tidak,
kemerahan atau tidak, perineum ada bekas luka epiostomi
atau tidak - Ekstremitas : oedema atau tidak dan varises
atau tidak

9
B. Servikalis
1. Identitas ibu dan suami
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, agama, suku bangsa,
pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat, penghasilan per bulan.
2) Antisipatori
a. Status Kesehatan
alasan kunjungan, kunjungan, keluhan utama, riwayat
kesehatan.
b. Riwayat obstetri dan ginekologi
Riwayat haid, riwayat perkawinan, riwayat KB, riwayat
kehamilan & persalinan yang lalu, riwayat kehamilan &
persalinan sekarang,
c. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia
nutrisi, eliminasi, oksigenasi, aktivitas dan istirahat.
d. Dukungan sosial
dukungan emosi, dukungan informasi, dukungan fisik,
dukungan penghargaan.
e. Fungsi keluarga
f. Pengkajian budaya
g. Stress
h. Pemeriksaan fisik ibu
 Mata : konjungtiva normalnya berwana merah muda dan
sklera normalnya berwarna putih
 Mammae : payudara simetris atau tidak, putting susu
bersih dan menonjol atau tidak.
 Hiperpigmentasi areolla atau tidak, kolostrum sudah keluar
atau belum.
 Abdomen : terdapat luka bekas SC atau tidak, ada linea
atau tidak, striae ada atau tidak
 Genetalia : bersih atau tidak, oedema atau tidak,
kemerahan atau tidak, perineum ada bekas luka epiostomi

10
atau tidak - Ekstremitas : oedema atau tidak dan varises
atau tidak

4. Data Obyektif
(Ariana 2020).
A. Robekan Jalan Lahir derajat 3-4
1) Pemeriksaan tanda vital ibu (Tekanan darah, nadi, suhu, dan
respirasi)
2) Pemeriksaan TFU
3) Pemeriksaan robekan jalan lahir
4) Pemeriksaan perdarahan
B. Servikalis
1) Pemeriksaan tanda vital ibu (Tekanan darah, nadi, suhu, dan
respirasi)
2) Pemeriksaan TFU
3) Pemeriksaan robekan pada serviks
4) Pemeriksaan perdarahan

5. Penatalaksanaan
A. Robekan jalan lahir derajat 3-4
1) Alat dan bahan
a) Wadah DTT berisi sarung tangan, klem, pinset, pemegang
jarum, gunting, jarum jahit, benang jahit kromik atau catgut no 2/0
atau 3/0, kasa steril, prinset, jarum suntik 10 ml, kasa bersih
b) Povidon-iodin
c) Lidokain
d) Handuk atau kain bersih
e) Lampu sorot.
2) Persiapan
a) Atur posisi ibu menjadi posisi litotomi (berbaring terlentang
dengan kaki terangkat dan dipisah) dan arahkan cahaya lampu
sorot pada daerah yang benar.
b) Letakkan handuk atau kain bersih di bawah bokong ibu

11
c) Pastikan lengan atau tangan penolong tidak memakai
perhiasan, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir
d) Atur posisi penolong sehingga dapat bekerja dengan leluasa
dan aman
e) Pakai sarung tangan
f) Ambil jarum suntik 10 ml dengan tangan yang bersarung tangan,
isi jarum suntik dengan Lidokain dan letakkan ke dalam wadah
DTT
g) Gunakan kasa bersih, basuh vulva dan perineum dengan
larutan Povidon-iodin dengan gerakkan satu arah dari vulva ke
perineum. Tunggu selama kurang lebih 2 menit sebelum
menyuntikkan Lidokain (Anastesi lokal).
3) Anastesi Lokal
a) Beritahu ibu akan disuntik yang akan terasa nyeri dan
menyengat
b) Tusukkan jarum suntik pada ujung robekan perineum,
masukkan jarum suntik secara subkutan sepanjang tepi luka
c) Lakukan aspirasi untuk memastikan tidak ada darah yang
terhisap. Bila ada darah, tarik jarum sedikit dan kembali
masukkan. Ulangi melakukan aspirasi. Anastesi yang masuk ke
pembuluh darah dapat menyebabkan detak jantung yang tidak
teratur.
d) Suntikkan anastesi sambil menarik jarum suntik pada tepi luka
daerah perineum
e) Tanpa menarik jarum suntik ke luar dari luka, arahkan jarum
sepanjang tepi luka pada mukosa vagina, lakukan aspirasi dan
suntikkan anastesi sambil menarik jarum suntik. Bila robekan luas
dan dalam, anastesi daerah bagian dalam robekan, alur suntikkan
anastesi akan berbentuk seperti kipas (tepi perineum, dalam luka
dan mukosa vagina).
f) Tunggu 1-2 menit sebelum melakukan penjahitan untuk
mendapatkan hasil optimal dari anastesi lokal (Isra 2017).
 Penjahitan Laserasi Perineum Derajat tiga

12
1) Lakukan inspeksi vagina dan perineum untuk melihat robekan
2) Jika ada perdarahan yang terlihat menutupi luka perineum,
pasang tampon atau kasa ke dalam vagina
3) Pasang jarum jahit pada pemegang jarum kemudian kunci
pemegang jarum 4) Pasang benang jahit (kromik no. 2/0) pada
mata jarum
5) Tentukan dengan jelas batas laserasi perineum
6) Ujung otot spingter ani yang terpisah oleh laserasi diklem
menggunakan pean lurus
7) Kemudian tautkan ujung otot spingter ani dengan melakukan 2
-3 jahitan angka 8 sehingga bertemu kembali
8) Selanjutnya dilakukan jahitan lapis demi lapis seperti
melakukan jahitan pada laserasi perineum derajat dua.
 Penjahitan Laserasi Perineum Derajat Empat
1) Lakukan inspeksi vagina dan perineum untuk melihat robekan
2) Jika ada perdarahan yang terlihat menutupi luka perineum,
pasang tampon atau kasa ke dalam vagina
3) Pasang jarum jahit pada pemegang jarum kemudian kunci
pemegang jarum 4) Pasang benang jahit (kromik no. 2/0) pada
mata jarum
5) Tentukan dengan jelas batas laserasi perineum
6) Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit dengan
jahitan jelujur menggunakan catgut kromik no. 2/0
7) Jahit fasia perirectal dengan menggunakan benang yang sama,
sehingga bertemu kembali
8) Jahit fasia septum rektovaginal dengan menggunakan benang
yang sama, sehingga bertemu kembali
9) Ujung otot spingter ani yang terpisah karena robekan diklem
dengan menggunakan pean lurus
10) Kemudian tautkan ujung otot spingter ani dengan melakukan
jahitan 2-3 jahitan angka 8 sehingga bertemu kembali
11) Selanjutnya dilakukan jahitan lapis demi lapis seperti
melakukan jahitan pada laserasi perineum derajat dua (Ariana

13
2016).

B. Servikalis
(Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya 2019).
(1) Memposisikan ibu posisi litotomi dengan bokong berada di tepi
tempat tidur
(2) Tempatkan handuk atau kain bersih dibawah bokong ibu
(3) Tempatkan lampu sehingga perineum bisa dilihat dengan jelas
(4) Gunakan teknik aseptik atau memeriksa robekan atau
episiotomi, berikan anastesi lokal dan menjahit luka
(5) Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir
(6) Pakai sarung tangan DTT atau steril
(7) Persiapkan peralatan dan bahan DTT untuk penjahitan
(8) Duduk dengan posisi santi dan nyaman
(9) Gunankan kain/kassa DTT atau bersih untuk menyeka vulva,
vagina dan perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah
sambil menilai dalam dan luasnya luka
(10) Periksa vagina, serviks dan perineum secara lengkap.
Pastikan bahwa laserasi hanya derajat satu atau dua.
Masukkan jari yang bersarung tangan ke dalam anus dengan
hati-hati dan angkat jari tersebut perlahan untuk
mengidentifikasi sfingter ani. Raba tonus dan ketegangan
sfingter. (jika sfingter terbuka, ibu mengalami laserasi derajat III
dan harus segera dirujuk)
(11) Ganti sarung tangan dengan sarung tangan DTT atau steril
yang baru
(12) Berikan anastesi local
(13) Siapkan jarum dan benang. Gunakan benang kromik 2-0 atau
3-0
(14) Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90
derajat, jepit jarum dan lakukan penjahitan.

14
6. Algoritma
A. Robekan Jalan Lahir

B. Servikalis

7. Latihan Kasus
1) Luas robekan hingga mencederai spingter ani interna merupakan

15
robekan tingkat/grade...
A. 2
B. 3a
C. 3b
D. 3c
E. 4
Answer : D
Pembahasan : Laserasi perineum derajat 3 meliputi mukosa vagina,
kulit perineum, otot perineum dan otot spingterani eksternal. Pada
laserasi partialis denyut ketiga yang robek hanyalah spingter.

2) Hal yang diperlukan dalam perawatan pasien pasca penjahitan


robekan grade III-IV adalah...
A. Pemberian antibiotika
B. Pemberian analgetika
C. Pemasangan kateter
D. Diet dan pelunak tinja
E. Semua jawaban benar
Answer : E
Pembahasan : Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan
luka, Suplai aliran darah, Infeksi, Keadaan defisiensi, Penyakit yang
diderita, Obat-obatan, Teknik dan benang jahitan.
Perawatan Pasca Reparasi robekan Perineum  III-¬IV adalah
sebagai berikut:
 Antibiotika
 Analgetika
 Kateter
 Diet & pelunak feses
 Pemulangan pasien

16
BAB III
PENUTUP

17
1.1 Kesimpulan
Laserasi perineum merupakan robekan yang terjadi saat bayi lahir
baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat-alat tindakan,
robekan ini umumnya terjadi pada garis tengah dan bisa menjadi luas
apabila kepala janin terlalu cepat keluar. Menurut Maryunani (2016)
menyebutkan, laserasi perineum adalah robekan yang terjadi pada
perineum yang biasanya disebabkan oleh trauma saat persalinan.
Ruptur serviks adalah suatu kondisi yang menunjukkan adanya
robekan pada jaringan serviks (leher rahim). Robekan bisa muncul saat
proses melahirkan atau akibat prosedur tertentu.

1.2 Saran
Mengingat tingginya AKI dan AKB di Indonesia, maka
kegawatdaruratan maternal dan neonatal haruslah ditangani dengan
cepat dan tepat. Penanganan yang tepat dapat meningkatkan
kesejahteraan keluarga di Indonesia. Maka, dengan mempelajari dan
memahami kegawatdaruratan maternal dan neonatal, diharapkan
bidan dapat memberikan penanganan yang maksimal dan sesuai
standar demi kesehatan ibu dan anak.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ariana, Riska. 2016. “Laserasi Dijalan Lahir.” : 1–23.

———. 2020. “Pengaruh Sitz Bath Daun Binahong Terhadap Percepatan


Penyembuhan Luka Perineum.” : 1–23.

Dr. Vladimir, Vega Falcon. 2018. “Patofisiologi Luka Perineum.” Gastronomía


ecuatoriana y turismo local. 1(69): 5–24.

Isra, W A. 2017. “Identifikasi Ibu Bersalin Yang Mengalami Ruptur Perineum Di


Rumah Sakit Umum Dewi Sartika Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2016.”
http://repository.poltekkes-kdi.ac.id/id/eprint/125.

Pasiowan, S., A. Lontaan, and M. Rantung. 2015. “Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Robekan Jalan Lahir Pada Ibu Bersalin.” Jurnal Ilmiah
Bidan 3(1): 90926.

Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya. 2019. “Asuhan Kebidanan


Kolaborasi Patologi Dan Komplikasi.” : 1–33. http://opac-
kebidanan.poltekkesjogja.ac.id/hgz/files/digital/skripsi/SEPTIASIH W.pdf.

Suparyanto dan Rosad (2019. 2018. “Laporan Pendahuluan Ruptur Perineum.”


Suparyanto dan Rosad (2019 5(3): 248–53.

19
MAKALAH
CEPHALOPELVIC DISPROPORTION (CPD)
Bd.6.606

Dosen Pengampu :
01. Henny Fitriani, S.SiT., M.Keb
02. Arlina Rachmaida, S.Tr.Keb., Bd, M.Keb
03. Rakhmawati, S.Tr.Keb

DISUSUN OLEH KELOMPOK 12:


01. Lisa Purnamasari 201091059
02. Novita Sari 201091029

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PONTIANAK
JURUSAN KEBIDANAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa karna telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya
lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Cephalopelvic Disproportion”
dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata
kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
bidang yang di tekuni oleh kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, April 2023


Penyusun

Kelompok 12

i
Daftar Isi

Cover ................................................................................................................................ i
Kata Pengantar ................................................................................................................ ii
Daftar Isi ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ringkasan Tinjauan Teori ......................................................................................... 3
2.2 Data Subyektif ........................................................................................................... 5
2.3 Data Obyektif ............................................................................................................ 5
2.4 Penatalaksanaan ....................................................................................................... 6
2.5 Algoritma ................................................................................................................... 8
2.6 Latihan Kasus............................................................................................................. 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 10
3.2 Saran .......................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan didefenisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa
dan ovum serta dilanjutkan dengan midasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat
fertilisasi hingga bayi lahir, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40
minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional. Kelancaran
persalinan tergantung pada 3 faktor “P” utama yaitu kekuatan ibu (power), keadaan
jalan lahir (passage) dan keadaan janin (passanger). Dengan adanya keseimbangan
antara faktor-faktor “P” tersebut, persalinan normal diharapkan dapat berlangsung.
Bila ada gangguan pada satu atau lebih faktor “P” ini dapat terjadi kesulitan atau
gangguan pada jalannya persalinan yang disebut dengan distosia (Mardliyaini & Dewi,
2022).
Secara global, data di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa
penyebab utama kematian ibu hamil karena partus macet adalah cephalopelvic
disproportion. Komplikasi yang ditemukan berupa trauma jalan lahir, perdarahan
postpartum, dan infeksi genital. Banyak pasien yang mengalami distosia terlambat
memutuskan untuk ke fasilitas kesehatan atau terlambat mencapai fasilitas kesehatan
yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Deteksi awal CPD pada ibu hamil
penting dilakukan terutama di daerah perifer agar pasien tersebut dapat mencapai
fasilitas kesehatan sebelum proses persalinan dimulai. CPD mengakibatkan ibu
melakukan persalinan saectio caesarea di karenakan pinggul dan bayi tidak ada
kecocokan dan bayi tidak mampu melewati panggul karena panggul yang sempit
tersebut, sedangkan akibat saectio caesarea itu sendiri bisa terjadi pada ibu dan bayi,
efek samping pada ibu Antara lain beberapa hari pertama pasca persalinan akan
menimbulkan rasa nyari yang hebat pada daerah insisi, disebabkan oleh robeknya
jaringan pada dinding perut dan dinding uterus yang kadarnya berbeda-beda pada
setiap ibu. Sedangkan pada bayi dapat terjadi depresi pernafasan akibat obat anastesi
dan hipoksia akibat sindrom hipotensi terlentang (Dr.Evani, 2019).
Menurut Riskesdas Ansietas dapat dilakukan dengan terapi farmakologis antara
lain adalah benzodiazepin, buspiron, SSRI (Selective serotonin re uptake – inhibitor)dan
menggunakan non farmakologi. Terapi relaksasi secara non farmakologi salah satunya
yaitu dengan Slow deep Breathing. Ada beberapa teknik terapi relaksasi yang dapat
diaplikasikan untuk menurunkan kecemasan yaitu terapi Deep slow breathig (relaksasi
nafas dalam), terapi musik, terapi relaksasi otot progresif, terapi aromaterapi. kali ini
menggunakan Slow Deep Breathing (Riskesdas, 2020). Slow Deep Breathing adalah
relaksasi yang dilakukan untuk mengatur pernapasan secara dalam dengan lambat.
Slow Deep Breathing merupakan metode bernapas yang frekuensi napasnya kurang
atau sama dengan 10 kali per menit dengan fase ekshalasi yang panjang. Slow Deep
Breathing berpengaruh terhadap modulasi sistem kardiovaskular yang akan
meningkatkan fluktuasi dari intervensi frekuensi napas yang berdampak pada
peningkatan efektifitas barorefleks serta dapat berkontribusi terhadap penurunan
tekanan darah Slow Deep Breathing merupakan teknik pernapasan yang berfungsi
meningkatkan relaksasi, yang dapat menurunkan tingkat kecemasan. Terapi relaksasi
Slow Deep Breathing adalah suatu bentuk asuhan keperawatan berupa teknik
bernapas secara dalam, lambat, dan rileks,yang memberikan relaksasi (Nusantoro &
Listyaningsih, 2018).
Berdasarkan data yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat suatu
Rumusan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah asuhan maternitas gangguan

1
ansietas pada ibu hamil dengan cephaloc pelvic disproportion (Mardliyaini & Dewi,
2022).
1.2 Rumusan Masalah
Sebagai persiapan dalam pembelajaran, jawablah pertanyaan-pertanyaan
pendahuluan berikut ini :
1. Apa yang dimaksud dengan cephalopelvic disproportion ?
2. Apa saja tanda dan gejala cephalopelvic disproportion ?
3. Apa saja penyebab cephalopelvic disproportion ?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus cephalopelvic disproportion ?
1.3 Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari topik asuhan kebidanan kolaborasi pada kasus
persalinan prematur, mahasiswa diharapkan mampu melakukan :
1. Pengkajian pada pasien dengan cephalopelvic disproportion dengan pendekatan
holistik
2. Analisis data pada pasien dengan cephalopelvic disproportion dengan
pendekatan holistik
3. Penatalaksanaan dan perencanaan asuhan pada klien dengan cephalopelvic
disproportion dengan pendekatan holistik
4. Implementasi asuhan pada pasien dengan cephalopelvic disproportion dengan
pendekatan holistik
5. Evaluasi asuhan pada pasien dengan cephalopelvic disproportion dengan
pendekatan holistik
6. Pendokumentasian asuhan pada pasien dengan cephalopelvic disproportion
dengan pendekatan holistik
7. Kajian kasus-kasus patologi dan komplikasi
8. Reflektif praktik

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ringkasan Tinjauan Teori Cephalopelvic Disproportion


Cephalopelvic Disproportion yaitu keadaan yang timbul karena tidak adanya
keseimbangan antara panggul ibu dengan kepala janin disebabkan oleh panggul
sempit, janin yang besar sehingga tidak dapat melewati panggul. Dalam kasus CPD, jika
kepala janin belum masuk ke dalam pintu atas panggul pada saat term, mungkin akan
dilakukan SC karena risiko terhadap janin semakin besar apabila persalinan tidak
semakin maju. Apabila kepala janin telah masuk ke dalam pintu panggul, pilihannya
adalah section caesarea elektif atau percobaan persalinan (Rahmawati & Agustin,
2019).
Disproporsi kepala panggul atau Cephalopelvic Disproportion (CPD) umumnya
terjadi di negara berkembang dan akibatnya berupa partus macet dan komplikasi
persalinannya menjadi salah satu penyebab penting kematian ibu. Kejadian ini lebih
sering terjadi di Asia, karena orang-orang Asia cenderung memiliki tinggi badan yang
lebih rendah dari orang barat. Hal ini meningkatkan risiko untuk terjadinya CPD
(Rahmawati & Agustin, 2019).
Faktor Risiko
(Pahlavi et al., 2018)
1. Taksiran berat janin yang besar
2. Tinggi badan ibu <145 cm
3. BMI sebelum kehamilan dan sebelum kelahiran ≥ 25 kg/m2
4. Kenaikan berat badan selama kehamilan ≥ 16 kg
5. Nullipara
6. Tidak ada pelvimetri yang memadai
Faktor Penyebab
(Pohan, 2020)
1. Faktor Panggul Ibu
a. Defek Nutrisi dan Lingkungan
1) Defek minor: tepi paggul berbentuk segitiga (android), tepi panggul datar
(platipeloid)
2) Defek mayor: rakitis, osteomalasia
b. Penyakit atau Cidera
1) Spinal (kifosis, skoliosis, spondilolistesis)
2) Pelvik (tumor, fraktur, karies)
3) Anggota gerak (atrofi, poliomyelitis pada masa kanak-kanak, dislokasi
panggul kongenital).
c. Malformasi Kongenital
1) Pelvis naegel dan pelvis Robert
2) Pelvis asimilasi.
Pintu panggul dapat dikatakan sempit jika diameternya lebih kecil 1-2 cm
atau lebih. Kesempitan panggul bisa pada pintu atas panggul, ruang tengah
panggul atau pintu bawah panggul, ataupun kombinasi dari ketiganya. Pembagian
tingkatan panggul sempit :
a. Tingkat I: CV = 9 – 10 cm = borderline
b. Tingkat II: CV = 8 – 9 cm = relatif
c. Tingkat III: CV = 6 – 8 cm = ekstrim
d. Tingkat IV: CV = 6 cm = mutlak (absolut)
Pembagian tingkatan kesempitan panggul menurut tindakan :

3
a. CV = 8 – 10 cm = partus percobaan
b. CV = 6 – 8 cm = SC primer
c. CV = 6 cm = SC mutlak (absolut)
d. Inlet dianggap sempit bila CV
2. Faktor Janin
a. Janin Besar
Rata-rata bayi baru lahir dengan usia cukup bulan (37 minggu-42
minggu) berkisar antara 2.500 gram hingga 4.000 gram. Janin besar apabila
>4.000 gram. Janin dapat terlahir besar karena beberapa faktor, yaitu pada ibu
dengan diabetes gestational, post term atau pascamaturitas, faktor herediter,
multiparitas. Janin besar disebut juga makrosomia atau bila lingkar kepala janin
37-40 cm, dan untuk persalinan pervaginam dilakukan pada janin dengan
lingkar kepala <37 cm.
b. Malpresentasi Kepala
Sikap janin yang fisiologis adalah badan dalam keadaan kifose dan
menghasilkan sikap fleksi. Pada sikap ini akan menghasilkan presentasi
belakang kepala. Dengan adanya malpresentasi kepala, seperti presentasi
puncak kepala (defleksi ringan), presentasi dahi (defleksi sedang), dan
presentasi muka (defleksi maksimum), maka kemungkinan akan menimbukan
kemacetan dalam persalinan. Hal ini disebabkan karena kepala tidak dapat
masuk pintu panggul karena diameter kepala pada malpresentasi lebih besar
dari diameter panggul
Komplikasi Cephalopelvic Disproportion
(Pahlavi et al., 2018)
1. Komplikasi pada Kehamilan
a. Pada kehamilan lanjut inlet yang sempit tidak dapat dimasuki oleh bagian
terbawah janin, menyebabkan fundus tetap tinggi, keluhan sesak, sulit
bernapas, terasa penuh diulu hati dan perut besar.
b. Bagian terbawah janin masih bisa digoyangkan
c. Perut seperti abdomen pendulus.
d. Dijumpai kesalahan-kesalahan letak.
e. Fiksasi kepala tidak ada bahkan setelah persalinan dimulai.
f. Sering dijumpai tali pusat menumbung
2. Komplikasi pada Persalinan
a. Pada Ibu
Persalinan akan berlangsung lama, sering dijumpai KPD, karena kepala
tidak mau turun dan sering terjadi tali pusat menumbung, sering terjadi
inertia uteri sekunder, pada panggul sempit menyeluruh bahkan sering
didapati inertia uteri sekunder, partus yang lama akan menyebabkan
peregangan segmen bawah rahim dan bila berlarut-larut menyebabkan
rupture uteri, dapat terjaddi simfiolisis, partus lama mengakibatkan oedema
dan hematoma jalan lahir yang dapat menjadi nekrotik dan terjadilah fistula.
b. Pada Bayi
Pada kehamilan lanjut inlet yang sempit tidak dapat dimasuki oleh
bagian terbawah janin, menyebabkan fundus tetap tinggi, keluhan sesak, sulit
bernapas, terasa penuh diulu hati dan perut besar. b) Bagian terbawah janin
masih bisa digoyangkan c) Perut seperti abdomen pendulus. d) Dijumpai
kesalahan-kesalahan letak. e) Fiksasi kepala tidak ada bahkan setelah
persalinan dimulai. f) Sering dijumpai tali pusat menumbung

4
2.2 Data Subyektif Cephalopelvic Disproportion
(Istiqomah & Supriyatiningsih, 2018)
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
b. Informasi yang dicari tergantung pada paritas penderita. Kalau ada riwayat
kehamilan dan persalinan sebelumnya maka perincian mengenai kehamilan
dan persalinan tersebut sangat membantu dalammenetapkan prognosisnya.
Saat anamnesis dapat ditanyakan riwayat persalinan dengan makrosomia atau
kontraktur pelvis pada pasien maupun keluarga pasien.
c. Riwayat penyakit seperti diabetes gestasional perlu ditanyakan karena dapat
mengakibatkan makrosomia. Riwayat penyakit lain yang dapat mempengaruhi
kondisi panggul seperti skoliosis, fraktur pelvis, dan rakitis juga harus
ditanyakan karena akan menjadi pertimbangan untuk dilakukan pelvimetri
radiologi.
d. Tanyakan juga pada pasien metode persalinan sebelumnya. Pada proses
kehamilan, terutama saat usia kehamilan lanjut >36 minggu, PAP yang sempit
membuat janin tidak dapat turun, sehingga fundus uteri tetap tinggi dan ibu
mengeluhkan sesak, sulit bernapas, rasa penuh di ulu hati, dan perut yang
besar membentuk abdomen pendulum (perut gantung). Umumnya pada
primigravida dengan panggul normal kepala akan masuk panggul kurang lebih
3 minggu sebelum aterm. Sebaliknya pada presentasi bokong seringkali
bokong baru turun setelah dalam persalinan.
e. Riwayat Obstetri dan Ginekologi
1) Riwayat Menstruasi Usia pertama kali haid, siklus dan lamanya haid, warna
dan jumlah, HPHT dan tapsiran persalinan.
2) Riwayat Perkawinan Usia saat menikah dan usia pernikahan, pernikahan
ke berapa bagi klien dan suami.
3) Riwayat Keluarga Berencana Jenis kontrasepsi yang digunakan sebelum
hamil, waktu dan lamanya, apakah ada masalah, jenis kontrasepsi yang
akan digunakan.
f. Riwayat Obstetri
1) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu.
2) Tahun persalinan, tempat persalinan, umur kehamilan, jenis kelamin anak,
BB anak, keluhan saat hamil, dan keadaan anak sekarang
2.3 Data Obyektif Cephalopelvic Disproportion
(Istiqomah & Supriyatiningsih, 2018)
1. Pemeriksaan Fisik
a. Head to to
b. TB / BB
Tinggi badan ≤145 cm dapat digunakan untuk mendiagnosis tinggi
badan rendah dan berisiko untuk terjadinya partus macet. Ibu terlihat pendek,
skoliosis, kifosis, kelainan panggul, dan lain-lain. Pertambahan berat badan ibu
>15 kg (biasanya berhubungan dengan ukuran janin yang besar), dan BMI ibu
>30.
c. Pemeriksaan kehamilan seperti biasa
d. Pemeriksaan panggul dengan pelvimetri eksternal
Pemeriksaan pelvimetri eksternal dilakukan menggunakan instrumen
yang disebut Berisky pelvimeter. Pada pelvimetri eksternal dilakukan
pengukuran jarak antara krista iliaka, jarak antara spina iliaka anteriorsuperior,
jarak intertrokanter, jarak diagonal transversal area Michaelis-sakrum, dan

5
intertuberositas. Di daerah terpencil, di mana pelvimetri radiologi tidak
tersedia, pelvimetri eksternal dapat menjadi alternatif yang murah dan mudah
digunakan untuk memprediksi risiko distosia akibat CPD.
e. Pemeriksaan Pelvimetri Internal
Pemeriksaan fisik lain untuk memprediksi CPD adalah melalui
pelvimetri internal. Pelvimetri internal dilakukan dengan cara vaginal toucher
(VT)/pemeriksaan dalam menggunakan jari telunjuk dan tengah untuk
mengevaluasi kapasitas panggul, yakni bagian pintu atas panggul (PAP), ruang
tengah panggul (RTP), dan pintu bawah panggul (PBP). Pelvimetri internal
berbeda dengan VT biasa yang rutin dikerjakan pada persalinan yang bertujuan
mengevaluasi bukaan serviks, kantong amnion, penurunan, dan posisi janin.
Menurut WHO, pelvimetri internal tidak dianjurkan untuk dilakukan secara
rutin pada ibu hamil yang sehat dengan kemajuan persalinan yang normal.
Pelvimetri internal umumnya dilakukan saat pasien mengalami inpartu.
Pemeriksaan ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien.
Pelvimetri internal dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran kualitatif
struktur panggul dan mengidentifikasi risiko distosia pada pasien. Hasil
pemeriksaan pelvimetri internal yang normal adalah:
1) Bagian tepi atas tulang panggul bulat
2) Konjugata diagonalis ≥12,5 cm
3) Ketebalan simfisis pubis cukup, sejajar dengan sacrum
4) Sakrum berongga, kelengkukngan cukup
5) Dinding tepi panggul lurus
6) Spina ischiadika tumpul
7) Diameter interspinarum ≥10 cm
8) Lebar tonjolan sakroskiatik 2,5-3 jari
9) Sudut suprapubik >90 derajat (lebar 2 jari)
10) Diameter antara tuberositas >8 cm (sekepalan tangan)
11) Coccyx mobile
12) Diameter anteroposterior PBP ≥11 cm
2.4 Penatalaksanaan Cephalopelvic Disproportion
(Istiqomah & Supriyatiningsih, 2018)
1. Partus Percobaan
Untuk menilai kemajuan persalinan dan memperoleh bukti ada atau
tidaknya disproporsi kepala panggul, dapat dilakukan dengan partus percobaan.
Pada panggul sempit berdasarkan pemeriksaaan pada hamil tua diadakan
penilaian tentang bentuk serta ukuranukuran panggul dalam semua bidang dan
hubungan antara kepala janin dan panggul, dan setelah dicapai kesimpulan bahwa
ada harapan bahwa persalinan dapat berlangsung pervaginam dengan selamat,
dapat diambil keputusan untuk dilakukan persalinan percobaan. Persalinan ini
merupakan suatu tes terhadap kekuatan his dan daya akomodasi, termasuk
molase kepala janin.
Partus dikatakan maju apabila partus berjalan fisiologis, terjadi perubahan
pada pembukaan serviks, tingkat turunnya kepala, dan posisi kepala (rotasi). Jika
tidak terjadi perubahan tersebut maka disebut partus tidak maju. Apabila terjadi
kegagalan, partus dihentikan dengan indikasi dan harus dilakukan seksio sesarea.
2. Sectio Caesarea
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina, atau sectio
caesarea adalah suatu histerotomia melahirkan janin dari dalam rahim. Sectio

6
caesarea dilakukan untuk mencegah hal–hal yang membahayakan nyawa ibu.
Panggul sempit apabila ukurannya 1-2 cm kurang dari ukuran yang normal.
Sectio caesarea elektif direncanakan lebih dulu dan dilakukan pada
kehamilan cukup bulan karena kesempitan panggul yang cukup berat/absolut
atau karena terdapat disproporsi kepala panggul yang cukup nyata. Sectio
caesarea sekunder dilakukan karena partus percobaan dianggap gagal atau
karena timbul indikasi untuk menyelesaikan persalinan selekas mungkin, sedang
syarat-syarat untuk persalianan pervaginam tidak atau belum terpenuhi.
Penatalaksanan Sectio Caesarea adalah sebagai berikut :
a. Pemberian Cairan Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi,
maka pemberian cairan per intra vena harus cukup banyak dan mengandung
elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ
tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi
dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila
kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
b. Diet Pemberian cairan per infus biasanya dihentikan setelah penderita flatus
lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan per oral. Pemberian
minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 sampai 8
jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
c. Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi : Miring kanan dan kiri dapat
dimulai sejak 6 sampai 10 jam setelah operasi, Latihan pernafasan dapat
dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar, Hari
kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya, Kemudian posisi tidur
telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semi fowler),
Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada
hari ke-3 sampai hari ke-5 pasca operasi.
d. Katerisasi Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak
enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan
perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 – 48 jam/lebih lama lagi
tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
e. Pemberian Obat-Obatan Antibiotik cara pemilihan dan pemberian antibiotik
sangat berbeda-beda sesuai indikasi.
f. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan Obat yang
dapat diberikan melalui supositoria obat yang diberikan ketopropen 100 mg
sup 2x/24 jam, atau dapat diberikan tramadol atau paracetamol 500 mg tiap
6 jam, melalui injeksi ranitidin 50 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu.
g. Obat-obatan lain untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita
dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit C.
h. Perawatan luka dapat dilakukan dengan melihat kondisi balutan luka pada 1
hari post operasi, bila basah dan berdarah harus dibuka dan diganti.
i. Pemeriksaan rutin seperti suhu, tekanan darah, nadi,dan pernafasan.
j. Perawatan Payudara meliputi pemberian ASI dapat dimulai pada hari pertama
post operasi jika ibu memutuskan tidak menyusui, pemasangan pembalut
payudara yang mengencangkan payudara tanpa banyak menimbulkan
kompresi, biasanya mengurangi nyeri.
3. Simfisiotomi
Simfisiotomi adalah sebuah operasi untuk memperbesar kapasitas pelvis
dengan memotong jaringan ikat tulang pubis di bagian depan pelvis.

7
2.5 Algoritma Cephalopelvic Disproportion

8
2.6 Latihan Kasus Cephalopelvic Disproportion
1. Keadaan yang timbul karena tidak adanya keseimbangan antara panggul ibu
dengan kepala janin disebabkan oleh panggul sempit, janin yang besar sehingga
tidak dapat melewati panggul. Selain itu ibu juga mempunyai tinggi badan < 145
cm dan kenaikan berat badan >16 kg selama kehamilan.
Berdasarkan kasus diatas, diagnosis yang dapat ditegakkan untuk ibu tersebut
adalah…
A. CPD (Cephalopelvic Disproportion)
B. Hipoglikemia
C. Obesitas
D. Skoliosis
E. Panggul Neagle
Jawaban : A
2. Seorang ibu dianjurkan oleh dokter untuk melakukan sebuah operasi untuk
memperbesar kapasitas pelvis dengan memotong jaringan ikat tulang pubis di
bagian depan pelvis. Nama oprasi yang dianjurkan oleh dokter untuk mengatasi
cephalopelvic disproportion adalah…
A. Simfisiotomi
B. Sectio Caesarea
C. Partus spontan
D. Episiotomi
E. Laserasi jalan lahir
Jawaban : A
3. Persalinan akan berlangsung lama, sering dijumpai KPD, karena kepala tidak mau
turun dan sering terjadi tali pusat menumbung, sering terjadi inertia uteri
sekunder, pada panggul sempit menyeluruh bahkan sering didapati inertia uteri
sekunder, partus yang lama akan menyebabkan peregangan segmen bawah rahim
dan bila berlarut-larut menyebabkan rupture uteri, dapat terjaddi simfiolisis,
partus lama mengakibatkan oedema dan hematoma jalan lahir yang dapat
menjadi nekrotik dan terjadilah fistula.
Apakah yang dimaksud pada kasus diatas…
A. Komplikasi pada ibu akibat cephalopelvic disproportion
B. Komplikasi pada bayi akibat cephalopelvic disproportion
C. Faktor penyebab cephalopelvic disproportion
D. Epidemiolohi cephalopelvic disproportion
E. Semua benar
Jawaban : A

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cephalopelvic Disproportion yaitu keadaan yang timbul karena tidak adanya
keseimbangan antara panggul ibu dengan kepala janin disebabkan oleh panggul
sempit, janin yang besar sehingga tidak dapat melewati panggul. Dalam kasus CPD,
jika kepala janin belum masuk ke dalam pintu atas panggul pada saat term, mungkin
akan dilakukan SC karena risiko terhadap janin semakin besar apabila persalinan tidak
semakin maju. Apabila kepala janin telah masuk ke dalam pintu panggul, pilihannya
adalah section caesarea elektif atau percobaan persalinan (Rahmawati & Agustin,
2019).
Disporporsi kepala panggul atau Cephalopelvic Disproportion (CPD) umumnya
terjadi di negara berkembang dan akibatnya berupa partus macet dan komplikasi
persalinannya menjadi salah satu penyebab penting kematian ibu. Kejadian ini lebih
sering terjadi di Asia, karena orang-orang Asia cenderung memiliki tinggi badan yang
lebih rendah dari orang barat. Hal ini meningkatkan risiko untuk terjadinya CPD
(Rahmawati & Agustin, 2019).
3.2 Saran
Mengingat tingginya AKI dan AKB di Indonesia, maka kegawatdaruratan
maternal dan neonatal haruslah ditangani dengan cepat dan tepat. Penanganan yang
tepat dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga di Indonesia. Maka, dengan
mempelajari dan memahami kegawatdaruratan maternal dan neonatal, diharapkan
bidan dapat memberikan penanganan yang maksimal dan sesuai standar demi
kesehatan ibu dan anak

10
DAFTAR PUSTAKA

Dr.Evani, S. (2019). Epidemiologi Cephalopelvic Disproportion. Retrieved from


https://www.alomedika.com/penyakit/obstetrik-dan-ginekologi/cephalopelvic
disproportion/epidemiologi
Istiqomah, I., & Supriyatiningsih. (2018). HUBUNGAN ANTARA TINGGI BADAN IBU
BERSALIN TERHADAP KEJADIAN DISPROPORSI KEPALA PANGGUL.
Mardliyaini, A. S., & Dewi, N. E. C. (2022). Asuhan Keperawatan Maternitas Gangguan
Ansietas Pada Ibu Hamil Primigravida (cephalo pelvic dispropotion). Keperawatan
Malang, 7(2), 123–133.
Nusantoro, A. P., & Listyaningsih, K. D. (2018). Pengaruh SDB (slow deep breathing)
terhadap tingkat kecemasan dan kadar glukosa darah pada penderita diabetes
melitus. Maternal, II(4), 231–237.
Pahlavi, I. R., Sari, R. D. P., & Ramkita, N. (2018). Multigravida dengan Riwayat Sectio
Caesarea Atas Indikasi Disproporsi Kepala Panggul dengan Penyerta Tumor Paru,
Kekurangan Energi Kronik dan Anemia Berat. Jurnal Medula, 7(4), 30–36.
http://www.ejurnalbidanbestari-
poltekkesbjm.com/index.php/JKB/article/view/38/31
Pohan, R. A. (2020). Gambaran penyebab persalinan secara section caesarea pada ibu
primigravida. Jurnal Ilmiah Kohesi, 4(1), 123–128.
Rahmawati, D., & Agustin, L. (2019). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan Volume 10, No 1
(2019). 10(1).
Riskesdas. (2020, July 5). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Republik Indonesia. Retrieved from http://kesmas.kemkes.go.id

11
MAKALAH
INFEKSI NIFAS

Dosen Pengampu:
Henny Fitriani, S. Si.T., M. Keb
Arlina Rachmania, S. Tr. Keb., Bd, M. Keb
Rakhmawati, S. Tr. Keb

Disusun Oleh Kelompok 14:


Nada Irwanda ( 201091025 )
Nanda Putri Lestari ( 201091026 )
Siti Hajar ( 201091046 )

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PONTIANAK
SARJANA TERAPAN KEBIDANAN
TAHUN AJARAN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan
kuasa-Nyalah kami masih diberikan Kesehatan sehingga dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Infeksi Nifas”.
Pada kesempatan ini tidak lupa kami mengucapkan terimakasih sebesar-
besarnya kepada semua pihak terutama Dosen Pengajar Mata Kuliah Asuhan Kebidanan
Kolaborasi Komplikasi dan Patologi Kebidanan yang telah memberikan tugas ini kepada
kami. Kami berharap semoga makalah ini dapat berguna menambah wawasan serta
pengetahuan kita.
Kami sebagai penulis makalah ini berusaha dengan baik untuk membuat
makalah ini. Namun, jika masih ada yang kurang dair makalah ini yang kami buat, kmai
menerima kritik serta saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini agar lebih baik
kedepannya.

Pontianak, Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................................ ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Pembelajaran .............................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 3
2.1 Ringkasan Tinjauan Teori ........................................................................................ 3
2.2 Data Subjektif .......................................................................................................... 5
2.3 Data Objektif ............................................................................................................ 5
2.4 Penatalaksanaan ..................................................................................................... 6
2.5 Algoritma ................................................................................................................. 8
2.6 Latihan Kasus ........................................................................................................... 8
BAB III PENUTUP....................................................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 10
3.2 Saran ...................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan tolak ukur kemampuan layanan
kesehatan dari suatu bangsa. AKI menggambarkan jumlah wanita yang meninggal
dari suatu penyebab kematian yang tekait dengan gangguan kehamilan atau
penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan,
persalinan dan masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa menghitung lama
kehamilan per 100.000 kelahiran hidup. Tiga penyebab utama kematian ibu di
Indonesia dalam bidang komplikasi obstetrik yang merupakan faktor penyebab
langsung kematian ibu yaitu perdarahan, hipertensi dan infeksi nifas (Sari &
Indreswati, 2021).
Masa nifas merupakan masa yang rawan bagi ibu, sekitar 60% kematian ibu
di Indonesia terjadi setelah melahirkan dan hampir 50% dari kematian pada masa
nifas terjadi pada 24 jam pertama setelah persalinan, diantaranya disebabkan oleh
adanya komplikasi masa nifas (Sari & Indreswati, 2021). Menurut Prawiroharjo
(2009), masa nifas atau puerperium dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika
alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil dan berlangsung selama
kira-kira 6 minggu. Wiknjosastro (2006) mengatakan masa puerperium atau masa
nifas mulai sepetah partus selesai dan berakhir setelah kira-kira 6 minggu. Dapat
disimpulkan bahwa masa nifas merupakan masa dimulai sejak plasenta lahir dan
berakhir setelah 6 minggu atau hingga alat kandungan kembali seperti keadaan
sebelum hamil (Kamila, 2020).
Infeksi nifas merupakan salah satu faktor penyebab kematian ibu,
diperkirakan kematian ibu diakibatkan kehamilan, setelah persalinan dan pada masa
nifas 24 jam pertama. Menurut WHO, kematian ibu disebabkan karena komplikasi
selama dan setelah melahirkan, sebagian besar komplikasi ini terlihat sejak
kehamilan dan sebagian besar dapat dicegah dan diobati. Infeksi nifas merupakan
infeksi yang terjadi setelah ibu bersalin sampai hari ke 42 hari pasca persalinan.
Infeksi nifas dapat dicegah tanda gejala infeksi masa nifas adalah demam, nyeri
panggul, lochea berbau dan sub involusi uterus (Idyawati et al., 2022).
Bakteri yang mendiami servik dan vagina mendapat akses ke cairan amnion
pada saat persalinan dan pasca persalinan, dengan cara menginvasi jaringan uterus
yang mati. Dan diketahui sekitar 10-20% pada wanita hamil terdapat kolonisasi
bakteri Staphylococcus aureus pada vaginanya, hal ini membuat bakteri tersebut
mudah berkembang pada wanita pasca persalinan atau nifas (Kamila, 2020).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan infeksi masa nifas?
2. Apa saja penyebab dari infeksi masa nifas?
3. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus infeksi masa nifas?
1.3 Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari topik asuhan kebidanan kolaborasi mengenai infeksi
masa nifas, mahasiswa diharapkan mampu melakukan:
1. Pengkajian pada klien infeksi nifas dengan pendekatan holistik
2. Analisis data pada klien infeksi nifas dengan pendekatan holistik
3. Perencanaan asuhan pada klien infeksi nifas dengan pendekatan holistik
4. Implementasi asuhan pada klien infeksi nifas dengan pendekatan holistik

1
5. Evaluasi asuhan pada klien dengan pendekatan holistik
6. Pendokumentasian asuhan pada klien dengan pendekatan holistik
7. Kajian kasus-kasus patologi dan komplikasi

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ringkasan Tinjauan Teori
Infeksi nifas merupakan infeksi yang terjadi kepada ibu pasca persalinan
yang terjadi dimulai setelah bersalin hingga hari ke-42. Tanda gejala infeksi nifas
berupa demam, nyeri panggul, lochea berbau dan sub involusi uterus (Idyawati et al.,
2022). Infeksi nifas adalah peradaangan yang disebabkan oleh kuman pad asaat
proses persalinan dan masa nifas. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri pada tractus
genetalia yang terjadi setelah melahirkan, ditandai dengan kenaikan suhu hingga
38oC atau lebih selama 2 hari dalam 10 hari pertama setelah melahirkan dengan
pengecualian 24 jam pertama (Sari & Indreswati, 2021).
Infeksi nifas dapat terjadi karena adanya laserasi (trauma jaringan) dalam
saluran genetalia yang terinfeksi setelah persalinan dan terdapat juga penyebaran
infeksi yang berasal dari infeksi local yang menyebar melalui jalur sirkulasi vena atau
limfatik yang mengakibatkan infeksi bakteri terjadi ditempat yang lebih jauh. Area
peruasan infeksi nifas meliputi selulitis panggul, salpingitis, oofaringitis, peritonitis,
tromboflebitis panggul (femoral) dan bakteremia (Kamila, 2020).
Infeksi nifas dapat disebabkan oleh faktor langsung dan tidak langsung.
Faktor langsung dikarenakan proses persalinan yang dimulai semenjak dilakukannya
pemeriksaan dalam pada masa inpartu kala 1, partus lama, proses persalinan kala 2
dengan section caesarea, dan personal hygiene yang rendah. Partus lama merupakan
persalinan yang berlangsung lebih dari 12 jam pada primigravida dan 8 jam pada
multipara. Persalinan yang berlangsung lama akan membuat pemeriksaan dalam
terlalu sering. Luka bekas operasi dapat menjadi media infeksi silang. Penyebab tidak
langsung dari infeksi nifas yaitu tempat tinggal (lingkunan), tingkat Pendidikan,
pengetahuan, ketersediaan makanan, tempat bersalin IMT, riwayat kunjungan
antenatal care, Riwayat diabetes melitus dan anemia. Kurangnya kebersihan dan
kesadaran yang rendah untuk melakukan pemeriksaan jehamilan serta tingkat
Pendidikan dan status ekonomi memiliki hubungan ynag signifikan terhadap infeksi
nifas dikarenakan tidak mampu dalam pembiayaan Kesehatan dan imunitas yang
rendah karena gizi yang tidak terpenuhi (Idyawati et al., 2022).
Faktor penyebab lain dari infeksi nifas yaitu Teknik aseptic tidak sempurna,
manipulasi intrauteri (manual plasenta), luka terbuka seperti laserasi yang tidak
diperbaiki atau luka pada putting susu, retention sisa plasenta, kebersihan diri yang
tidak memadai setelah melahirkan, infeksi vagina/servik atau PMS yang tidak
ditangani. Kebersihan diri merupakan suatu upaya untuk memelihara kebersihan
tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Keberishan diri merupakan Langkah awal
untuk meminimalkan resiko seseorang terhadap kemungkinan terjangkitnya suatu
penyakit. Dengan tujuan meningkatkan derajat Kesehatan seseorang, membantu
mengurangii sumber infeksi, memelihara kebersihan diri seseorang, memperbaiki
personal hygiene yang kurang, mencegah penyakit, menciptakan keindahan,
meningkatkan perasaan nyaman kepada ibu dan meningkatkan rasa percaya diri (Sari
& Indreswati, 2021).
A. Endometritis
Endometritis merupakan infeksi pada endometrium (;apisan dalam dari
Rahim). Terjadi karena kuman-kuman memasuki endometrium, biasanya melalui
luka bekas insersio plasenta dalam waktu singkat mengikutsertakan sebuah

3
endometrium. Pada infeksi dengan kuman yang tidak terlalu patogen, radang
terbatas pada endometrium (Rini, 2016).
Endometrium sering terjadi karena infeksi pada endometrium atau
pelapis Rahim yang menjadi peka setelah terlepasnya plasenta, lebih sering terjadi
pada proses kelahiran Caesar, setelah proses persalinan yang terlalu lama atau
pecahnya embran yang terlalu dini.infeksi ini juga sering terjadi apabila ada
plasenta yang tertinggal di dalam Rahim, mungkin pula terjadi infeksi dari luka
pada leher Rahim, vagina atau vulva. Tanda dan gejala akan berbeda tergantung
dari asal infeksi, yaitu sedikit demam, nyeri yang samar-samar pada perut bagian
bawah dan akdang keluar nanah dari vagina dengan berbau khas yang tidak enak,
menunjukkan adanya infeksi pada endometrium. Infeksi karena luka biasanya
terdapat nyeri tekan apda daerah luka, kadang berbau busuk, pengeluaran kental,
nyeri pada perut, susah buang air kecil (Themone, 2018).
B. Parametritis
Parametritis atau disebut juga sellulitis pelvika merupakan infeksi
jaringan pelvis yang dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu penyebaran melalui
limfe dari luka serviks yang terinfeksi atau dari endometritis, penyebaran langsung
dari luka pada serviks yang meluas sampai dasar ligamentum serta penyebaran
sekunder dari tromboflebitis latum atau menyebar ekstraperitoneal ke semua
jurusan (Rini, 2016).
Penyebab parametritis yaitu kuman-kuman memasuki endometrium
(biasanya pada kuman insersio plasenta) dalam waktu singkat dan menyebar ke
seluruh endometrium. Jaringan desidua bersama bekuan darah menjadi nekrosis
dan mengeluarkan getah berbau yang terdiri atas keeping-keping nekrotis dan
cairan. Pada infeksi yang lebih berat batas endometrium dapat dilampaui dan
terjadilah penjalaran (Themone, 2018).
C. Peritonitis
Peritonitis dapat berasal dari penyebaran melalui pembuluh limfe
uterus, parametritis yang meluas ke peritoneum, salpigo-ooforitis meluas ke
peritoneum atau langsung sewaktu perabdominal. Peritonitis yang teralokasi
hanya rongga pelvis disebut pelvioperitonitis, bila meluas ke seluruh rongga
peritoneum disebut peritonitis umum dan keadaan ini sangat berbahaya karena
dapat menyebabkan kematiab 33% dari sleuruh kematian akibat infeksi (Rini,
2016).
Peritonitis umumnya disebabkan oleh kuman yang sangat pathogen dan
merupakan penyakit berat. Tanda dan gejalanya berupa suhu tubuh meningkat,
nadi cepat dan terlihat kecil, perut kembung dan nyeri, muka penderita semula
kemerahan menjadi pucat, kulit didaerah wajah teraba dinin dan mortalitas
peritonitis umum tinggi. Peritonitis yang bukan reritonistis umum, terbatas pada
pelvis memiliki tanda dan gejala yaitu penderita mengalami demam, nyeri pada
perut bagian bawah, tetapi keadaan umum tetap baik, namun gejala-gejalanya
tidak seberapa berat seperti pada peritonitis umum (Themone, 2018).
D. Infeksi trauma vulkva, perineum, vagina dan serviks
Tanda dan gejala infeksi episiotomi, laserasi atau trauma lain meliputi
sebagai berikut:
1. Nyeri lokal
2. Disuria

4
3. Suhu derajat rendah – jarang diatas 38,3oC
4. Edema
5. Sisi jahitan merah dan inflamasi
6. Mengeluarkan pus atau eksudat berwarna abu-abu kehijauan
7. Pemisahan atau terlepasnya lapisan luka operasi
E. Infeksi saluran kemih
Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relatif tinggi dan hal ini
dihubungkan dengan hipotoni kandung kemih akibat trauma kandung kemih saat
persalinan, pemeriksaan dalam yang sering, kontaminasi kuman poerineum atau
kateterisasi yang sering. Biakan dan tes sensitivitas urine harus dilakukan di awal
kehamilan lebih bagus pada kunjungan pertama, specimen diambil dari urin yang
diperoleh dengan cara bersih. Jika didiagnosis adnaya infeksi, pengobatan akan
dilakukan dengan memberikan antibiotic yang sesuai selama dua sampai tiga
minggu, disertai peningkatan asupan air dan obat antipasmodik traktus urinaria
(Rini, 2016).
F. Mastitis
Mastitis adalah infeksi payudara, adapun tanda dan gejalanya adalah:
1. Nyeri ringan pada salah satu lobus payudara yang diperberat jika bayi
manyusui
2. Gejala seperti flu,nyeri otot, sakit kepala dan keletihan
2.2 Data Subjektif
(Afifah, I., & Sopiany, 2017)
1. Ibu mengeluh masih merasakan nyeri pada daerah luka jahitan
2. Ibu mengatakan masih ada pengeluaran darah dari jalan lahir
3. Ibu telah dapat beranjak dari tempat tidur tanpa dibantu
4. Ibu belum dapat beraktivitas seaktif biasanya
5. Ibu telah mengganti pembalutnya dengan rutin dan pada saat kunjungannya
6. Ibu telah menyusui bayinya dan pengeluaran ASI lancar
7. Ibu telah BAB 2 kali setelah melahirkan yaitu pada tanggal 17 Juni 2017 dan pagi
ini dengan konsistensi feses lunak, berwarna kuning dan tidak bercampur darah
2.3 Data Objektif
(Afifah, I., & Sopiany, 2017)
1. Masa nifas hari ketiga
2. Keadaan umum ibu baik
3. Kesadaran composmentis
4. Ekspresi ibu sedikit meringis bila terlalu banyak bergerak
5. Tanda-tanda vital:
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit, teratur
Suhu : 36,6oC, aksilar
Pernapasan : 22 kali/menit, saat istirahat
6. Berat badan sewaktu hamil: 58 kg
7. Berat badan sekarang: 53 kg
8. Pemeriksaan fisik terfokus:
a. Wajah
Inspeksi: tidak pucat
Palpasi: konjungtiva: tidak ada pitting oedema

5
b. Mata
Inspeksi: konjungtiva merah uda, sklera tidak ikterus
c. Payudara
Inspeksi: tampak pembesaran, tidak ada peradangan, puting susu menonjol
Palpasi: tidak ada nyeri tekan, bila dilakukan penekanan pada aerola ada
pengeluaran ASI
d. Abdomen
Inspeksi: tidak ada bekas luka operasi, tampak linea nigra dan striae livid
Palpasi: tidak ada nyeri tekan, TFU 3 jari bawah pusat, kontraksi uterus baik
teraba bundar dan keras
e. Vulva dan perineum
Inspeksi: tidak ada varices, terdapat pengeluaran lochea rubra, terdapat
luka jahitan episiotomi secara mediolateral, luka jahitan tampak masih
sedikit lembab
Palpasi: terdapat nyeri tekan, tidak pitting oedema
Palpasi luka jahitan tidak terdapat ous/nanah, suhu perineum kurang lebih
sama dengan suhu tubuh sekitarnya, tidak ada bau busuk dari daerah luka
f. Ekstremitas
Inspeksi: tidak varices
Palpasi: tidak ada pitting oedema
2.4 Penatalaksanaan
Tanggal 19 Juni 2017 pukul 14.30 wita
1. Memberitahu kepada ibu bahwa kondisinya saat ini dalam keadaan baik
2. Mengobservasi kontraksi uterus sebagai upaya pencegahan perdarahan
postpartum
3. Menjelaskan kepada ibu penyebab masih keluarnya darah dari jalan lahir yaitu
disebabkan oleh terjadinya involusi uteri atau proses pengecilan uterus kembali
seperti keadaan sebelum hamil, dan pengeluaran darah yang keluar tidaklah
banyak dan masih berwarna merah.
4. Menganjurkan ibu tetap melakukan aktivitas secara bertahap dan menghindari
pekerjaan yang terlalu berat karena dengan mobilisasi dini dapat membantu
proses penyembuhan luka serta pencegahan infeksi pada luka episiotomi.
5. Menganjurkan ibu saat membersihkan daerah genetalianya dengan membasuh
dari arah depan ke belakang hingga tidak ada sisa-sisa kotoran yang menempel
di sekitar vagina dan perineum, setelah dibasuh, keringkan perineum dengan
handuk lembut, lalu kenakan pembalut baru.
6. Menganjurkan ibu mengganti pembalutnya sekali dalam ± 4 jam atau jika ibu
merasa pembalut telah penuh bahkan jika ibu merasa sudah tidak nyaman.
7. Menganjurkan kepada ibu bila membasuh daerah genetalia cukup
menggunakan air biasa yang besih, jangan pernah menaburi dengan bedak atau
ramuan-ramuan.
8. Memberikan pendidikan kesehatan tentang istirahat yang cukup yaitu ± 8 jam di
malam hari dan ± 2 jam di siang hari untuk masa pemulihan tenaga ibu setelah
melahirkan.
9. Menganjurkan kepada ibu untuk makan makanan yang bergizi seimbang yaitu
karbohidrat (nasi, kentang, roti), protein (tahu, tempe, daging, ikan, telur),
vitamin (buah dan sayur) dan memperbanyak konsumsi makanan yang

6
mengandung protein untuk mempercepat penyembuhan luka episiotomi. Selain
itu dengan pemenuhan nutrisi untuk produksi ASI, serta makanan yang berserat
agar saat buang air esar tidak kesulitan atau terjadi konstipasi.
10. Menganjurkan kepada ibu untuk tidak melakukan hubungan suami istri selama 6
minggu atau 40 hari karena batasan waktu 6 minggu didasarkan atas pemikiran
pada masa itu semua luka akibat persalinan, termasuk luka episiotomi biasanya
telah sembuh dengan baik.
11. Menjelaskan tanda-tanda ionfeksi pada luka episiotomo yakni terdapat warna
kemerahan daerah luka episiotomi, adanya pengeluaran darah yang banyak
padahal sebelumnya sudah tidak, terasa panas daerah genetalia, bahkan
mengeluarkan nanah dan mengeluarkan bau yang sangat menyengat dari luka
episiotomi hingga jalan lahir, bahkan suhu tubuh melebihi 37,5 oC
12. Menganjurkan kepada ibu untuk segera ke pelayanan kesehatan apabila ada
tanda-tanda infeksi pada luka episiotomi atau bila memiliki keluhan lainnya.

7
2.5 Algoritma

2.6 Latihan Kasus


1. Ny. D umur 30 tahun P3 A0 7 hari postpartum, persalinan ditolong oleh dukun,
datang ke PMB dengan keluhan demam, PPV cairan berbau tidak sedap. Hasil
pemeriksaan: TD: 100/70 mmHg, suhu: 39oC, Nadi:100 x/menit, pernapasan 28
x/menit. Diagnosis yang tepat untuk Ny. D adalah….
a. Demam postpartum
b. Infeksi Puerpuralis
c. Infeksi luka peirineum
d. Dehidrasi postpartum
e. Infeksi robekan jalan lahir
Jawaban: B. infeksi puerpuraslis
2. Ny. M usia 21 tahun P1 A0 10 hari yang lalu melahirkan di rumah sakit umum,
mengeluh rasa panas dingin disertai dengan kenaikan suhu,merasa lesu dan
tidak ada nafsu makan. Hasil pemeriksaan ditemukan mamae kanan membesar
dan nyeri, kulit merah, membengkak sedikit, nyeri pad aperabaan, putting susu
lecet. TD: 100/70 mmHg, S:39oC, N: 100 x/menit, R: 20 x/menit. Diagnosis yang
tepat pada Ny. M adalah….
a. Abses payudara
b. Metritis
c. Mastitis
d. Peritonitis
e. Engorgement
Jawaban: C. mastitis
3. Ny. S P3 A0 telah melahirkan 5 hari yang lalu ditolong oleh bidan, datang ke BPM
dengan keluhan badan terasa panas dan perut bagian bawah terasa nyeri. Hasil

8
pemeriksaan: TD: 90/60 mmHg, S: 39 oC, R: 22 x/menit, N: 110 x/menit. TFU 1 jari
bawah pusat, Lochea purulent dan berbau. Berdasarkan kasus diatas Ny. S
kemungkinan mengalami….
a. Selulitis
b. Peritonitis
c. Salpingitis
d. Endometritis
e. Endometriosis
Jawaban: D. endometritis

9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infeksi nifas merupakan infeksi yang terjadi kepada ibu pasca persalinan
yang terjadi dimulai setelah bersalin hingga hari ke-42. Tanda gejala infeksi nifas
berupa demam, nyeri panggul, lochea berbau dan sub involusi uterus. Infeksi nifas
dapat terjadi karena adanya laserasi (trauma jaringan) dalam saluran genetalia yang
terinfeksi setelah persalinan. Infeksi nifas dapat disebabkan oleh faktor langsung dan
tidak langsung. Faktor langsung dikarenakan proses persalinan yang dimulai
semenjak dilakukannya pemeriksaan dalam pada masa inpartu kala 1, partus lama,
proses persalinan kala 2 dengan section caesarea, dan personal hygiene yang rendah.
3.2 Saran
Untuk menghindari terjadinya infeksi pada nifas penting untuk ibu hamil
menjaga kebersihan diri, terlebih kebersihan pada personal hygiene. Dengan
terjadinya perilaku bersih maka akan mengurangi risiko terjadinya infeksi pada masa
nifas.

10
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, I., & Sopiany, H. M. (2017). Manajemen Asuhan Kebidanan Ibu NIfas pada Ny. M
dengan Luka Episiotomi di RSUD Yusuf Gowa. 87(1,2), 149–200.
Idyawati, S., Afrida, B. R., Aryani, N. P., & Annisa, N. H. (2022). Faktor-Faktor Penyebab
Infeksi Masa Nifas. Jurnal Penelitian Dan Kajian Ilmiah Kesehatan, 8(1), 58–67.
www.lppm-mfh.com
Kamila, E. (2020). Infeksi Nifas. American Journal of Research Communication, 5(August),
12–42. http://downloads.esri.com/archydro/archydro/Doc/Overview of Arc
Hydro terrain preprocessing workflows.pdf%0A
https://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2017.11.003%0A
http://sites.tufts.edu/gis/files/2013/11/Watershed-and-Drainage-Delineation-
by-Pour-Point.pdf%0Awww
Rini, S. (2016). Masa Nifas. 1–23.
Sari, V. K., & Indreswati, I. (2021). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kunjungan Ibu Nifas
Pada Masa Pandemi Covid 19. Voice of Midwifery, 11(2), 42–51.
https://doi.org/10.35906/vom.v11i2.163
Themone, M. A. (2018). Gambaran Kejadian Infeksi Post Partum pada Ibu yang
Menggunakan Kompres Panas (Tatobi) di Desa Binaus Kecamatan Mollo
Tengah Kabupaten Timor Tengah Selatan. 10–28.
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12065/2/T1
_462008062_BAB II.pdf
MAKALAH
ASUHAN KEBIDANAN KOLABORASI PADA KASUS PATOLOGI DAN
KOMPLIKASI PADA PASIEN DENGAN INFEKSI LUKA PERINEUM
Bd.6.606

DOSEN PENGAMPU :
1. Henny Fitriani,S.SiT,M.Keb
2. Arlina Rachmaida,S.Tr.Krb,Bd,M.Keb
3. Rakhmawati, S.Tr.Keb

DISUSUN OLEH KELOMPOK 16 :


1. Nurmalasari (201091032)
2. Vinka Rizkika (201091052)

POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK


JURUSAN KEBIDANAN
PRODI SARJANA TERAPAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena hanya dengan izin,
rahmat dan kuasa-Nyalah kami masih diberikan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Infeksi Luka Perineum”
Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak terutama kepada Dosen pengajar Mata Kuliah asuhan
kebidanan kolaborasi pada kasus patologi dan komplikasi yang telah memberikan tugas
ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari apa yang diharapkan.
Untuk itu, kami berharap dan kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
ini di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana
yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi siapa pun
yang membacanya.

Pontianak, Mei 2023

Penyusun

Kelompok 16

ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. ii
BAB 1................................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................................................ 2
C. TUJUAN ................................................................................................................................. 2
BAB II................................................................................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................................................... 3
A. RINGKASAN TINJAUAN TEORI ............................................................................................... 3
1. Infeksi Luka perineum ....................................................................................................... 3
2. Data Subyektif ................................................................................................................... 5
3. Data Obyektif .................................................................................................................... 6
4. Penatalaksanaan ............................................................................................................... 6
5. Algoritma .......................................................................................................................... 8
6. Latihan Kasus .................................................................................................................... 9
BAB III.............................................................................................................................................. 10
PENUTUP ........................................................................................................................................ 10
A. KESIMPULAN ....................................................................................................................... 10
B. SARAN ................................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 11

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada umumnya ibu yang mengalami robekan perineum harus dilakukan


penjahitan, sehingga ibu postpartum harus mengetahui cara melakukan perawatan
luka perineum yang tepat terhadap luka tersebut.

Salah satu dampak dari luka perineum apabila tidak ditangani dengan tepat
dapat mengakibatkan terjadinya infeksi perineum. Selanjutnya infeksi perineum
tersebut dapat menyebar ke jalan lahir maupun ke saluran kandung kemih yang
kemudian dapat mengakibatkan infeksi pada jalan lahir atau infeksi kandung
kemih (Manuntungi et al., 2019).

Data prevalensi ibu bersalin yang mengalami infeksi perineum sebanyak 11%
(Rahmawati & Triatmaja, 2015). Infeksi termasuk urutan ketiga penyebab
kematian ibu (Primadona & Susilowati, 2015). Infeksi perineum umumnya
disebabkan oleh kurang terjaganya kebersihan perineum. Faktor lain yang dapat
menyebabkan infeksi adalah hygiene yang kurang baik, kurangnya daya tahan
tubuh ibu, kurang gizi atau mal nutrisi, dan anemia (Kusumawati & Daramita,
2013). Dengan demikian ibu yang memiliki luka perineum sangat berisiko
terhadap infeksi dan hal tersebut dapat berdampak terhadap penyembuhan luka
yang akan semakin lama.(Afni and Pitriani 2019)

Luka perineum merupakan luka yang diantara kelamin dan anus akibat
robekan spontan ataupun episiotomi, tidak menutup kemungkinan menyebabkan
nyeri pada perineum. Saat janin keluar menyebabkan perlukaan pada dinding
depan vagina atau di sekitar orifisium urethrae externum dan klitoris. Robekan
vagina ⅓ bagian atas umumnya merupakan lanjutan robek serviks uteri, dan ⅓
bagian bawah merupakan lanjutan robekan perineum (Prawirohardjo, 2011: 228-
230). Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) ada 2,7 juta kasus
nyeri luka perineum pada ibu bersalin, angka tersebut diperkirakan akan mencapai
6,3 juta pada tahun 2050 (Sigalingging, & Sikumbang, 2018: 162).

Hasil Santy, dkk (2020: 23) nyeri luka perineum merupakan masalah yang
cukup banyak di Asia, 50% dari kejadian nyeri luka perineum di dunia terjadi di
Asia, di Indonesia 75% ibu melahirkan pervaginam mengalami luka perineum,
57% ibu dengan nyeri jahitan luka perineum (28% karena episiotomi dan 29%
karena robekan spontan). Berdasarkan data dari Dinas Provinsi Lampung Tahun
2019, jumlah persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan (nakes) di Provinsi

1
Lampung berjumlah 92,1%, dan di Bandar Lampung berjumlah 96% di tolong
oleh nakes (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2019: 87). Dari banyaknya
jumlah persalinan tidak 2 menutup kemungkinan adanya robekan perineum secara
episiotomi maupun spontan lalu menyebabkan nyeri pada luka perineum.

B. RUMUSAN MASALAH
Sebagai persiapan dalam pembelajaran, jawablah pertanyaan-
pertanyaan pendahuluan berikut ini :
1. Apa yang dimaksud dengan Infeksi Luka Perineum?
2. Apa saja klasifikasi infeksi luka perineum ?
3. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi akibat infeksi luka perineum ?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus infeksi luka perineum?

C. TUJUAN
Setelah mempelajari topik asuhan kebidanan kolaborasi pada bayi
prematur dan BBLR, mahasiswa diharapkan mampu melakukan :
1. Pengkajian pada klien dengan infeksi luka perineum
2. Analisis data pada dengan infeksi luka perineum
3. Perencanaan asuhan pada klien infeksi luka perineum
4. Implementasi asuhan pada klien dengan infeksi luka perineum

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. RINGKASAN TINJAUAN TEORI

1. Infeksi Luka perineum

Infeksi luka perineum adalah peradangan karena masuknya kuman-


kuman ke dalam luka episiotomi atau robekan jalan lahir pada waktu
persalinan dan nifas dengan tanda-tanda infeksi jaringan sekitar.(Yulianisa
and Mardiyah n.d.)

Akibat perawatan perineum yang tidak benar dapat mengakibatkan


kondisi perineum yang terkena lokhea dan lembab sangat menunjang untuk
perkembangbiakan bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya infeksi
pada perineum. Munculnya infeksi pada perineum dapat merambat pada
saluran kandung kencing ataupun pada jalan lahir yang dapat berakibat
pada munculnya komplikasi infeksi kandung kencing maupun infeksi pada
jalan lahir, tetapi sangat kecil kemungkinannya jika luka perineum dirawat
dengan baik (Bahiyatun, 2016).

Infeksi Perineum ini merupakan peradangan karena masuknya kuman-


kuman kedalam alat-alat genital pada waktu persalinan dan nifas. Ditandai
oleh kenaikan suhu ≥ 38°, terjadi 2 hari berturut-turut, setelah 24 jam posr
partum atau 10 hari pertama masa nifas.(Annisa et al. n.d.)

Menurut Tulas et al (2017)bahwa ibu nifas yang menerapkan


perawatan luka pada perineum sehingga lukanya bersih dan kering
sebagian besar memiliki perilaku kebersihan diri baik. Kebersihan diri
pada ibu nifas akan mencegah bakteri masuk ke sumber luka dan
memberikan kenyamanan. Perawatan pada daerah genetalia dengan luka
jahitan pada perineum dengan menjaga daerah tersebut tetap
bersih dan kering, membersihkan daerah tersebut dari arah depan
ke belakang.

Cara membersihkan yang salah menyebabkan lochea mengenai


luka perineum, meningkatkan kelembaban yang menunjang
pertumbuhan bakteri penyebab terjadinya infeksi.Tahapan fase
penyembuhan luka perineum yaitu: tahap pertama adalah fase
inflamasi yang terjadi pada 1-2 hari, tahap kedua yaitu proliferasi
dalam waktu 2–5 hari, dan tahap ketiga disebut Fase maturasi pada 5

3
hari sampai dengan berbulan-bulan. Hasil penelitian Primadona dan
Susilowati (2015)bahwa tanda luka perineum yang ditunjukkan oleh ibu
nifas pada fase proliferasi antara lain tampak tepi luka pada kedua sisi
merapat, sudah tidak keluar darah, muncul jaringan parut, permukaan
luka halus, warna kulit luar putihbersemu merah dan semi transparan, da
ada sebagian kecil warna kulit bekas luka tampak merah
terang.(Agustin Dwi Syalfina et al. 2021)

Penyebab Luka Perineum :


a. Penyebab Maternal :
• Partus Presipitatus
• Pasien tidak mampu berhenti mengejan
• Partus dengan dorongan fundus yang berlebihan
• Arcus Pubis Sempit
• Perluasan Episiotomy
b. Faktor- factor Janin
• Bayi yang besar (Giant baby)
• Posisi kepala yang abnormal
• Kelahiran bokong
• Distosia Bahu
• Anomali Kongenital seperti Hidrosepalus
c. Tanda dan Gejala
• Demam
• Sakit di daerah Infeksi
• Berwarna Kemerahan
• Fungsi organ tersebut terganggu

d. Gambaran Klinis Infeksi


• Infeksi Lokal, yaitu pembengkakan luka episiotomy,
terjadi penanahan, perubahan warna kulit, pengeluaran
lochea bercampur nanah, mobilitasi terbatas karena rasa
nyeri, temperature badan dapat meningkat.
• Infeksi umum, Tampak sakit dan lemah, temperature
meningkat, tekanan darah menurun dan nadi meningkat
dan terasa sesak, kesadaran gelisah dan sampai menurun
serta koma, terjadi gangguan involusi uterus, lochea
berbau, dan bernanah.

e. Patosiologi
Setelah kala III, daerah insersio merupakan sebuah luka
dengan diameter sekitar 4 cm. Permukaan tidak rata, banyak ena

4
ditutupi thrombus. Daerah ini merupakan tempat yang baik
tumbuhnya kuman dan masuknya pathogen dalam tubuh
sehingga dapat terjadi infeksi.

f. Etiologi
• Eksogen ( bakteri ini masuk kedalam vagina dari luar).
• Autogen ( Bakteri ini masuk dari tempat lain dalam
tubuh).
• Endogen (bakteri ini secara normal hidup divagina dan
rectum tanpa menimbulkan bahaya). (Chalida Puter et
al., n.d.)

g. Komplikasi Luka perineum


yang terkena infeksi dapat merambat pada saluran
kencing atau pada jalan lahir yang dapat menyebabkan
komplikasi infeksi kandung kemih maupun infeksi jalan
lahir.(Ariana 2020)

2. Data Subyektif
1. Anamnesa
2. Identitas klien
3. Keluhan Utama :
• Nyeri: Pasien mungkin mengalami nyeri di area luka
perineum. Rasa sakit ini bisa berupa nyeri terus-menerus
atau nyeri saat menyentuh atau bergerak.
• Kemerahan dan bengkak: Area sekitar luka perineum dapat
terlihat merah dan terasa bengkak.
• Demam: Infeksi luka perineum yang parah dapat
menyebabkan demam, yaitu peningkatan suhu tubuh di atas
38°C.
• Keluarnya cairan: Infeksi luka perineum dapat
menyebabkan keluarnya cairan dari luka. Cairan ini bisa
berupa nanah atau cairan berwarna lainnya.
• Perasaan tidak enak atau tidak nyaman: Pasien mungkin
merasa tidak enak atau tidak nyaman secara umum karena
adanya infeksi pada luka perineum.
4. Riwayat Kesehatan ibu, Riwayat operasi, kondisi medis, dan
Riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya
5. Riwayat kebersihan ibu

5
Contoh :
Keluhan utama : Ibu mengatakan ingin memeriksakan kondisinya Ibu
mengatakan hari ini kunjungan ulang dengan badannya terasa panas sejak
lusa dan keluar cairan putih pada daerah vaginanya
3. Data Obyektif

1. Tanda- tanda vital : dengan memastikan tekanan darah ,nadi dan


respirasi .
Keadaan umum : baik
Kesadaran : composmentis

2. Pemeriksaan Fisik.
• Kemerahan: Area sekitar luka perineum mungkin terlihat merah
dan teriritasi.
• Bengkak: Peradangan akibat infeksi dapat menyebabkan
pembengkakan pada area luka.
• Nanah atau drainase: Infeksi yang parah dapat menyebabkan
keluarnya nanah dari luka.
• Bercak nekrotik atau jaringan terganggu: Infeksi yang parah
dapat menyebabkan kerusakan jaringan atau terbentuknya
bercak nekrotik pada luka.
• Bintik merah memar: Infeksi yang lebih dalam atau meluas dapat
menyebabkan pembentukan bintik merah atau memar di sekitar
luka.

3. Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)


• Pemeriksaan darah: Tes darah lengkap (complete blood
count/CBC) dapat menunjukkan peningkatan jumlah sel darah
putih, yang merupakan tanda peradangan atau infeksi.
• Kultur bakteri: Dokter mungkin mengambil sampel dari luka
untuk melakukan kultur bakteri dan mengidentifikasi jenis
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi.

4. Penatalaksanaan

6
Faktor Yang Mempengaruhi Perawatan Luka Perineum Gizi, Obat-obatan,
Keturunan, Budaya dan Keyakinan, Pengetahuan, Sosial ekonomi,
Personal higiene (kebersihan diri)
Penatalaksanaan :

1. Melakukan observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital klien, tinggi


fundus uteri, dan kontraksi uterus.
2. Menganjurkan ibu untuk mobilisasi dini.
3. Memberikan KIE tentang rasa nyeri pada luka jahitan dan rasa mulas
pada perut.
4. Menganjurkan ibu untuk menjaga agar perineum selalu bersih dan
kering.
5. Menganjurkan ibu untuk istirahat yang cukup.
6. Menganjurkan ibu untuk makan-makanan yang bergizi.
7. Menganjurkan ibu untuk perawatan perineum dengan baik dan benar.
8. Menganjurkan ibu untuk mengikuti KB sesuai dengan keinginannya.

Penanganan Infeksi Luka Perineum UPT PUSKESMAS PAKU ALAM


dinas kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun 2017 5.

Alat dan Bahan :


1. Administrasi syarat rujukan
2. Buku KIA dan status pasien
3. Resusitasi kit
4. Infus set
5. Antibiotik

Prosedur :
1. Petugas melakukan anamnesa
2. Petugas melakukan pemeriksaan tanda vital
3. Petugas melakukan kompres luka dengan NaCl 0,9 % sampai
basah, setiap 2 jam luka dibasahi dengan NaCl 0,9 %.
4. Petugas menyarankan pasien untuk selalu mengganti kassa
setiap hari
5. Petugas menyarankan pasien untuk jaga kebersihan, meminta
ibu untuk selalu mengenakan baju dan pembalut yang bersh
6. Petugas menyarankan pasien untuk makan-makanan bergizi
yaitu dengan menu tinggi protein.
7. Petugas menjelaskan kepada keluarga tentang keadaan pasien
8. Petugas mencatat semua kegiatan dalam buku register, buku
KIA dan status pasien

7
5. Algoritma

8
6. Latihan Kasus
1. Ny.R umur 24 tahun datang kebidan dengan keluhan didapatkan pus da
cairan pada luka perineum. Ny.R habis melahirkan anak yang kedua 6
hari yang lalu di bidan dengan jahitan perineum yang terasa nyeri. Dari
hasil pemeriksaan fisik didapatkan tensi 110/70 mmhg, suhu 39°C, RR
28x/menit, HB 11 gr%.
Tindakan apa yang dilakukan oleh bidan saat menjumpai kasus
tersebut?
a. Buka jahitan perineum
b. Lakukan pengeluaran pus dan cairan
c. Kompres anti septik
d. Jawaban A dan CN benar
e. Semua jawaban benar
Jabawan : E
2.Ny.B 25 tahun datang kebidan dengan keluhan panas dan pusing sudah 2
hari yang lalu. Ny.B habis melahirkan anak yang kedua 6 hari yang lalu
dibidan dengan jahitan perineum terasa nyeri dan berbau. Keadaan bayi
sehat. Dan dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/75
mmhg, suhu 39,5°C, RR 28x/menit, nadi 88x/menit, Hb 11 gr%.
Tindakan yang harus dilakukan bidan adalah?
a. Berikan kompres hangat
b. Berikan paracetamol 3x500 mg
c. Observasi kontraksi
d. Beri infus RL
e. Jawaban A dan B benar
Jawaban : E

3.Seorang perempuan berusia 24 tahun P1A0 6 hari post partum datang ke


klinik dengan keluhan rasa nyeri pada jahitan perineum. Dari hasil
pemeriksaan fisik TD 110/80 mmhg, Suhu 38,5°C, Nadi 88x/mnt, Rr
24x/mnt, Hb 11gr%. Inspeksi terdapat jahitan perineum memerah,
bengkak dan terdapat pus. Apakah diagnosis yang tepat untuk kasus
diatas?
a. stress
b.gejala baby blues
c. infeksi perineum
d.mastitis
e. abses
Jawaban : C

9
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Luka perineum memiliki risiko infeksi luka karena perawatan luka yang
tidak tepat menyebabkan luka perineum menjadi lembab yang sangat
memudahkan pertumbuhan bakteri.(Zuhana, Prafitri, and ... 2023).

Luka perineum terjadi karena regangan jalan lahir yang berlebih dan tiba-
tiba ketika janin di lahirkan, baik kepala maupun bahu janin (anak besar, shoulder
dystocia), sehingga pada proses kelahiran bayi dengan berat badan bayi lahir yang
besar sering terjadi luka dan nyeri pada perineum (Prawirohardjo, 2011: 328).

Luka pada perineum dapat mengakibatkan perih bila buang air kecil,
dengan demikian akan mengakibatkan perasaaan tidak nyaman bagi ibu yaitu
nyeri, menghambat mobilisasi, takut buang air kecil dan buang air besar, dan juga
dapat mengganggu ikatan ibu dan bayi selama masa nifas (Kusumaningsih, 2014:
2). Oleh karena itu, diperlukan alternatif lain untuk mengurangi nyeri selain
menggunakan farmakologi yaitu dengan non-farmakologi, salah satunya dengan
kompres dingin daun sirih.(Ariana 2016)

B. SARAN
Perlunya perhatian dan dukungan dari berbagai pihak, tidak cukup tenaga
kesehatan melainkan orang-orang terdekat ibu yaitu anggota keluarga terutama
suami atau teman agar ibu merasa mendapat dukungan dan tidak berkecil hati.

10
DAFTAR PUSTAKA
Afni, Rita, and Risa Pitriani. 2019. “Pencegahan Infeksi Perineum Dengan Perawatan
Luka Perineum Pada Ibu Hamil Trimester Iii - Nifas.” Jurnal Pengabdian
Masyarakat Multidisiplin 2(3): 221–26.
Agustin Dwi Syalfina, Dian Irawati, Sari Priyanti, and Ainul Churotin. 2021. “Studi
Kasus Ibu Nifas Dengan Infeksi Luka Perineum.” Jurnal Kesehatan Mercusuar 4(1):
1–7.
Annisa, Anindya, Dhona Ayu Gumilar, Nadya Alfira Oktavia, and Risky Ika Septiana P.
“Infeksi Luka Perineal Dan Luka Abdominal.”
Ariana, Riska. 2016. “Pengaruh Kompres Dingindaun Sirihterhadap
Penurunanintensitasnyeriluka Perineum Pada Ibu Postpartumdi Pmb Dwi Mayla Dan
Nyimas, Bandar Lampung.” : 1–23.
———. 2020. “Pengaruh Sitz Bath Daun Binahong Terhadap Percepatan Penyembuhan
Luka Perineum.” : 1–23.
Yulianisa, Ella, and Maryam Syarah Mardiyah. Sikap, Keterampilan Individu, Dan
Dukungan Suami Terhadap Perilaku Pencegahan Infeksi Luka Perineum Ibu
Postpartum.
Zuhana, N, L D Prafitri, and ... 2023. “Perawatan Luka Perineum Sebagai Upaya Deteksi
Dini Infeksi Luka Pada Ibu Nifas.” Prosiding University … 5(4): 811–17.
http://repository.urecol.org/index.php/proceeding/article/view/2549%0Ahttp://reposit
ory.urecol.org/index.php/proceeding/article/download/2549/2507.

11
12
MAKALAH
MASTITIS
Bd.6.606

Dosen Pengampu :
01. Henny Fitriani, S.SiT., M.Keb
02. Arlina Rachmaida, S.Tr.Keb., Bd, M.Keb
03. Rakhmawati, S.Tr.Keb

DISUSUN OLEH KELOMPOK 17:


01. Linda Rizky Witosari 201091021
02. Nurita 201091031
03. Nyemas putri Widya 201091033
Ningsih

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PONTIANAK
JURUSAN KEBIDANAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa karna telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas
rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “
Mastitis” dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang di tekuni oleh kami. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, 10 mei 2023


Penyusun

Kelompok 17

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan...................................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Mastitis .......................................................................................................................... 3
2.2 Data Subyektif ............................................................................................................... 8
2.3 Data Objektif ................................................................................................................. 9
2.4 Algoritma ...................................................................................................................... 9
2.5 Latihan Kasus ................................................................................................................ 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 13
B. Saran ........................................................................................................................ 13
BAB IV DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mastitis merupakan infeksi pada parenkim payudara yang dapat terjadi
pada masa nifas. Mastitis biasanya terjadi pada salah satu payudara dan dapat
terjadi pada minggu pertama sampai ketiga atau keempat setelah melahirkan.
Kejadian mastitis berkisar antara 2-33% pada ibu menyusui. Pada mastitis
lebih kurang 10% kasusnya dapat berkembang menjadi abses dengan gejala
yang lebih berat (Prawirohardjo, 2013).
World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa jumlah kasus
infeksi pada wanita seperti kanker, tumor, mastitis, penyakit fibrokistik terus
meningkat, dimana 12% kasus diantaranya merupakan infeksi payudara yang
disebabkan oleh mastitis pada wanita post partum. Indonesia sebagai negara
berkembang di dunia dengan presentasi kasus mastitis mencapai 10% pada ibu
post partum (WHO, 2005; 2008). Berdasarkan laporan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2008-2009 menunjukkan bahwa 55%
ibu menyusui mengalami mastitis dan puting susu lecet, hal tersebut
kemungkinan disebabkan karena perawatan payudara yang tidak benar.
Pengetahuan tentang perawatan payudara sangat penting untuk diketahui pada
masa nifas, ini berguna untuk menghindari masalah dalam proses menyusui.
Masalah dan gangguan pada payudara pada waktu menyusui akan
mengganggu produksi ASI (Depkes RI, 2007).
1.2 Rumusan Masalah
Sebagai persiapan dalam pembelajaran, jawablah pertanyaan-
pertanyaan pendahuluan berikut ini :
1. Apa yang dimaksud dengan Mastitis?
2. Apa saja tanda dan gejala pada Mastitis ?
3. Apa saja penyebab terjadinya Mastitis ?
4. Bagaimana Manifestasi klinis dan penatalaksanaan Mastitis?
1.3 Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari topik asuhan kebidanan kolaborasi pada kasus

1
Mastitis mahasiswa diharapkan mampu melakukan :
1. Pengkajian pada pasien dengan kasus Mastitis
2. Analisis data pada pasien dengan kasus Mastitis
3. Dapat melakukan Penatalaksanaan dan perencanaan asuhan pada klien
dengan kasus Mastitis
4. Evaluasi asuhan pada pasien dengan Mastitis
5. Pendokumentasian asuhan pada pasien dengan Mastitis

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ringkasan Tinjauan Teori


A. Mastitis
Mastitis adalah peradangan payudara pada satu segmen atau lebih
yang dapat disertai infeksi ataupun tidak. Mastitis biasanya terjadi pada
primipara (ibu pertama kali melahirkan), hal ini terjadi karena ibu belum
memiliki kekebalan tubuh terhadap infeksi bakteri Staphilococcus Aureus.
Kasus mastitis diperkirakan terjadi dalam 12 minggu pertama, namun
dapat pula terjadi pula sampai tahun kedua menyusui (Maretta Nur
Indahsari & Chusnul Chotimah, 2017). Mastitis perlu diperhatikan karena
dapat menimbulkan luka sehingga terjadi mastitis infeksi.
Mastitis adalah masalah umum yang signifikan pada ibu menyusui
yang dapat berkontribusi pada penyapihan menjadi masalah yang paling
banyak dilaporkan(Rsud, Margono, & Purwokerto, n.d.). Pada mastitis
terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu, mastitis biasanya dapat
menurunkan produksi ASI sehingga ibu akan berhenti menyusui.
Kemudian, mastitis juga berpotensi menyebabkan beberapa penyakit
(Nurhafni, 2018).
Ada dua jenis mastitis yaitu, mastitis non infeksi dan mastitis
infeksi. Mastitis non infeksi yang biasanya disebabkan oleh stasis susu
(susu diproduksi, tetapi tetap di payudara). Ibu yang mengalami mastitis
non infeksi biasanya merasakan payudara terasa nyeri, bengkak dan
ketidaknyaman (Chiu et al., 2010) . Stasis susu mungkin memiliki sebab-
sebab antara lain : Bayi tidak menempelkan payudara secara efektif saat
menyusui. Bayi mengalami kesulitan mengisap ASI dari payudara. Bayi
jarang mendapat ASI. Saluran susu dapat tersumbat karena tekanan pada
payudara seperti pakaian ketat. Apapun yang menghentikan ASI tidak
diekspresikan dengan benar biasanya akan menghasilkan stasis susu, yang
sering menyebabkan penyumbatan saluran susu jika dibiarkan akan timbul
luka sehingga mangakibatkan infeksi, sedangkan mastitis infeksi

3
disebabkan oleh bakteri yang umumnya tidak berkembang dalam saluran
susu. tetapi, jika saluran susu berhenti kemungkinan infeksi akan tumbuh
tumbuh. Para ahli percaya bahwa bakteri yang ada di permukaan kulit
payudara masuk ke payudara melalui retakan kecil atau pecah
kulit.Mereka juga menyarankan bahwa bakteri di mulut bayi bisa masuk
ke payudara ibu saat menyusui (Walker, 2009). Diagnosis mastitis
biasanya klinis, dengan pasien yang mengalami nyeri tekan dalam satu
payudara (Jeanne & Spencer, 2008).

B. Etiologi / Penyebab Mastitis


Ada beberapa penyebab terjadinya mastitis antara lain sebagai
berikut:
Stasis ASI dan infeksi yang berasal dari bakteri. Faktor
predisposisi yang menyebabkan mastitis diantaranya adalah umur, stress
dan kelelahan, pekerjaan di luar rumah (Inch dan Xylander, 2012). Stasis
ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan efisen dari payudara. Hal ini dapat
terjadi apabila ASI terbendung pada payudara yang disebabkan oleh
kenyutan bayi tidak efektif atau teknik menyusui yang tidak benar.Stasis
ASI merupakan penyebab primer dan jika dibiarkan akan berkembang
timbul infeksi. Menyusui yang efesien akan mencegah terjadi stasis ASI
(Rsud et al., n.d.). Infeksi disebabkan oleh bakteri yang bernama
Staphylococcus Aureus.
Bakteri ini berasal dari mulut bayi memalui saluran puting,
sehingga teknik menyusui yang salah akan menyebabkan puting menjadi
lecet. Hal ini akan memudahkan bakteri masuk pada payudara dan
mengakibatkan penyumbatan ASI payudara menjadi besar, terasa nyeri
tekan dan terasa panas. Penyumbatan yang diakibatkan oleh infeksi dapat
mengakibatkan terjadi mastitis, karena menyusui yang tidak
adekuat(Anasari & Sumarni, 2014).
Umur juga dapat menyebabkan terjadi mastitis. Umur merupakan
individu yang dihitung mulai dia lahir sampai berulang tahun, semakin
berumur semakin cukup tingkat kematangan dan seseorang akan lebih

4
matang befikir(Herry Rosyati, 2016). Wanita yang berumur 21-35 lebih
rentang menderita mastitis dari pada wanita dibawah 21 tahun dan diatas
35 tahun. Umur sangat menentukan kesehatan maternal dan kondisi ibu
saat hamil, persalinan dan menyusui. Diperkirakan alat reproduksi yang
belum matang, sedangkan jika umur lebih dari 35 akan rentang sekali
terjadi pendarahan. Hal tersebut memicu terjadinya mastitis (Herry
Rosyati, 2016).Strmengakibatkan terjadi mastitis, karena menyusui yang
tidak adekuat(Anasari & Sumarni, 2014).
Umur juga dapat menyebabkan terjadi mastitis. Umur merupakan
individu yang dihitung mulai dia lahir sampai berulang tahun, semakin
berumur semakin cukup tingkat kematangan dan seseorang akan lebih
matang befikir(Herry Rosyati, 2016). Wanita yang berumur 21-35 lebih
rentang menderita mastitis dari pada wanita dibawah 21 tahun dan diatas
35 tahun. Umur sangat menentukan kesehatan maternal dan kondisi ibu
saat hamil, persalinan dan menyusui. Diperkirakan alat reproduksi yang
belum matang, sedangkan jika umur lebih dari 35 akan rentang sekali
terjadi pendarahan. Hal tersebut memicu terjadinya mastitis (Herry
Rosyati, 2016)
Stres merupakan faktor psikologis dengan menciptakan suasa
pikiran tenang dan nyaman. Stress dan kelelahan maternal sering dikaitkan
dengan mastitis, biasanya dialami pada ibu primipara (Nurhafni, 2018).
Kondisi ibu yang stres dan cemas akan mempengaruhi kelancaran ASI
(Amalia, 2018). Semakin tinggi ibu mengalami gangguan emosi maka
semakin sedikit rangsangan hormon prolaktin yang diberikan sebagai
produksi ASI. Pekerjaan merupakan kegiatan formal yang dilakukan setiap
hari (Nurhafni, 2018).
Pekerjaan juga berhubungan dengan penurunan frekuensi
menyusui untuk mengosongkan payudara. Pengosongan payudara yang
tidak adekuat akan mengakibatkan pembengkakan payudara dan saluran
susu tersumbat sehingga akan mengakibatkan mastitis(Hasanah, 2017).

5
C. Patofisiologi
Pada umumnya porte de entry menyebabkan puting menjadi luka
dan lecet, kemudian bakteri menjalar pada duktus-duktus yang
berkembang biak sehingga terjadi pus. Terjadinya mastitis diawali dengan
peningkatan tekanan di dalam duktus (saluran ASI) akibat stasis ASI. Bila
ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi tegangan alveoli yang
berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI menjadi
datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat.
Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan natrium) dari
plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel
sehingga memicu respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan
kerusakan jaringan memudahkan terjadinya infeksi (Novyaningtias, 2016).
Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui Duktus
Laktiferus ke lobus sekresi, melalui puting yang retak ke kelenjar limfe
sekitar duktus (periduktal) atau melalui penyebaran hematogen (pembuluh
darah). Organisme yang paling sering adalah Staphylococcus Aureus,
Escherecia Coli dan Streptococcus. Kadang-kadang ditemukan pula
mastitis tuberkulosis yang menyebabkan bayi dapat menderita tuberkulosa
tonsil. Pada daerah endemis tuberkulosa kejadian mastitis tuberkulosis
mencapai 1% (IDAI, 2011).

D. Manifestasi Klinis dari Mastitis


Manisfestasi klinis mastitis yang umum adalah area payudara yang
terasasakit dan keras. Ibu menyusui yang mengalami mastitis mengalami
nyeri, bengkak sehingga ibu merasa tidak nyaman akibat tersumbatnya
saluran ASI pada payudara.
Berdasarkan jenisnya mastitis dibedakan menjadi dua, mastitis
infeksi dan mastitis non-infeksi. Gejala yang timbul dari mastiti infeksi
biasanya ditandai adanya respon inflamasi dan rusaknya jaringan puting
puting menjadi pecah-pecah sehingga dengan mudah bakteri untuk masuk,
sedangkan tanda dan gejala mastitis non-infeksi payudara mengalami
pembengkakan yang upnormal payudara yang mengeras, terasa sakit

6
apabila disentuh dan terasa tegang dikarenakan kurangnya waktu
menyusui untuk bayi (Walker,2009).

Mastitis merupakan peradangan kemudian terjadi infeksi pada


payudara. Selama masa nifas, infeksi
dan peradangan dapat terjadi pada ibu, terutama pada primipara. Penyebab
infeksi paling umum yaitu Staphylococcus aureus. Manifestasi klinis atau
tanda ibu mengalami mastitis adalah rasa terbakar disertai peningkatan
suhu tubuh, lesu dan tidak nafsu makan, payudara membesar dan nyeri
lokal, kulit merah, bengkak dan nyeri saat disentuh. Jika tidak segera
ditangani dapat menjadi abses .Pengetahuan yang kurang tentang mastitis
dan penangannya menyebabkan banyak ibu yang terlambat mendeteksi
adanya mastitis dan semakin memperparah keadaan mastitis. Pada masa
nifas, infeksi dan peradangan pada payudara dapat terjadi, terutama pada
primipara. Infeksi terjadi melalui luka pada putting susu tetapi juga
mungkin juga melalui peredaran darah. Pada awalnya ibu mengalami
peningkatan suhu dan rasa tidak enak badan .
Tata laksana mastitis dimulai dengan memperbaiki teknik
menyusui dan yang tidak kalah pentingnya yaitu kompres dengan air
hangat/air dingin untuk meredakan rasa nyeri. Namun, ini kurang efektif
dari sudut pandang medis karena tidak ada kandungan antibiotik pada
kompres yang dapat menekan pertumbuhan bakteri seperti staphylococcus
aureus .Ibu harus senantiasa memperhatikan kebersihan tangannya karena
staphylococcus aureus adalah kuman komensal yang paling banyak
terdapat dirumah sakit mau masyarakat. Untuk pencegahan mastitis bisa
juga dilakukan dengan ibu cukup istirahat dan secara teratur menyusui
bayinya agar payudara tidak bengkak. Gunakan BH yang sesuai dengan

7
ukuran payudara dengan cara membersihkan dengan kapas dan air hangat
sebelum dan sesudah menyusui.
Berdasarkan tempat terjadinya, maka mastitis dapat dibedakan
menjadi mastitis yang disebabkan adanya abses dibawah areoala mammae,
mastitis yang terdapat dibagian tengah mammae, sehingga terjadi abses,
dan mastitis yang terjadi pada jaringan dibawah dorsal dari kelenjar-
kelenjar yang menyebabkan abses antara mammae dan otot-otot
dibawahnya (Efrizal 2021). Penyebab utama mastitis yaitu infeksi dan
Statis ASI. Faktor predisposisi penyebab mastitis antara lain usia, paritas,
serangan sebelumnya, persalinan, nutrisi, faktor imun dalam ASI, stres dan
kelelahan, pekerjaan di luar rumah dan trauma.Risiko mastitis merupakan
salah satu masalah yang terjadi selama proses menyusui yang
mempengaruhi keberhasilan menyusui. Salah satu faktor yang dapat
meningkatkan risiko mastitis adalah
teknik menyusui. Kasus mastitis diperkirakan terjadi pada 12 minggu
pertama, namun dapat juga terjadi
hingga tahun kedua menyusui.

2.2 Data Subyektif


A. Mastitis
IDENTITAS
Nama: Ny. N.A
Usia: 26 tahun
Pekerjaan: IRT
Agama: Islam
Pendidikan: DIII
Alamat: Sawangan
Tanggal kunjungan: 18 Januari 2019
No. Rekam medik: 00.89.73
Nama suami :Tn. O
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta

8
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Bengkak di payudara kiri
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dngan keluhan nyeri pada
payudara sebelah kiri, nyeri sudah dirasakansemenjak 4 hari lalu, nyeri
dirasakan semakin hari semakin memberat, nyeri awalnyaterasa di putting
susu bila menyusui, payudara juga semakin membengkak, teraba panas
dan berwarna kemerahan, pasien memiliki bayi yang masih menyusui.
Pasien juga merasakan demam 1 hari yang lalu .
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat penyakit jantung, paru, ginjal, hati,
kencing manis, darah tinggi disangkal.
Riwayat Obstetrik Ginekologi
a.Riwayat perkawinan
Kawin : 1 kali, saat usia 24 tahun
Riwayat haid : Menarche saat 14 tahun. Siklus haid teratur setiap 28 hari
dengan lama haid 4-5 hari. Banyaknya haid 2-3 kali ganti pembalut. Nyeri
haid (-) sampai tidak bisa bekerja.
b. Riwayat KB:-
c. Riwayat penyakit, operasi, dan pemeriksaan dahulu
Keputihan : -
Penyakit kelamin : -
Operasi : -
d. Riwayat Penyakit Keluarga : Riwayat penyakit jantung, paru, ginjal,
hati, kencing manis, darah tinggi disangkal.
e. Riwayat Sosial Ekonomi : Pasien merupakan IRT.

2.3 Data Obyektif


PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum: Sakit sedang
Kesadaran: Compos mentis
Tekanan darah: 110/80 mmHg
Nadi: 88 kali/menit
Respirasi: 16 kali/menit

9
Suhu badan: 37,8⁰C
Kepala: Normocephali
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-)
Hidung: sekret (-/-)
Gigi dan mulut: karies (-), beslag (-)
Tenggorokan: T1/T1
Telinga: serumen (-/-)
Leher: pembesaran KGB (-)
Thoraks: simetris, retraksi (-)
Jantung: BJ I-II reguler normal, bising (-), gallop (-)
Paru: Sp. Vesikuler, Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Genitalia dan anus: normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT ≤2”
Berat badan: 60 kg
Tinggi badan: 155 cm
Inspeksi: tampak kulit eritema, batas tidak tegas, edema (+), pus (-),
darah(-)Palpasi: permukaan kulit menegang, nyeri tekan (+), massa (-)

RESUME PASIEN
Seorang wanita 26 tahun datang ke PPK1 dengan keluhan nyeri
pada payudarasebelah kiri, nyeri sudah dirasakan semenjak 4 hari lalu,
nyeri dirasakan semakin harisemakin memberat, nyeri awalnya terasa di
putting susu bila menyusui, payudara jugasemakin membengkak, teraba
panas dan berwarna kemerahan, pasien memiliki bayiyang masih
menyusui. Pasien juga merasakan demam 1 hari yang lalu . pada
pemeriksaan fisik ditemukan regio mammae sinistra deformitas bagian
lateral,payudara berwarna kemerahan, nyeri tekan +, payudara teraba
kencang danpanas.

DIAGNOSIS KERJA
Mastitis Sinis

10
2.4 Algoritma
A. Mastitis
(Kementerian kesehatan RI 2017)

2.5 Latihan Kasus


A. Mastitis
1. Seorang perempuan usia 25 tahun, melahirkan anak pertama 10 hari
yang lalu datang ke BPM mengeluh payudara bengkak, warna kulit merah
mengklap, nyeri tekan, demam sudah 3 hari, Hasil pemeriksaan TD 110/70
mmHg R 22 /mnt. N:90x/mnt 5: 38°C: Hb: 9 gr payudara tampak merah
dan keras, puting susu tampak kotor, uterus tidak teraba pengeluaran
pervaginam lochea serosa. Apakah diagnosis yang tepat berdasarkan pada
kasus di atas?
A. Mastitis
B. Infeksi nifas
C. Bendungan ASI
D. Abses payudara
E. Sepsis pueperalis

2. Seorang Bidan melakukan Kunjungan Nitas kedua pada Ibu umur 25


tahun P1 A0 usia bayi 4 hari dalam masa laktasi. Ibu mengeluh bayi sering

11
tersedak setiap menyusu. Hasil pemeriksaan Payudara ibu mengisi putting
susu menonjol, AS lancer, refies menghisap bayi baik Posisi ibu saat
menyusui tidak tepat Bagaimana tanda posisi ibu tersebut menyusul
dengan benar?
A. Mulut bayu tidak terbuka lebar
B. Dagu bayi menempel pada payudara
C. Ibu merasakan nyeri puting dan areola
D. Dada bayi tidak melekat pada tubuh ibu
E. Sebagian besar bagian areola berada di luar mulut bayi

3. Seorang perempuan usia 28 tahun P1A0 postpartum 12 hari datang ke


RS mengeluh payudaranya nyeri dan bengkak. Hasil pemeriksaan terdapat
inflamasi dan kemerahan pada payudara di sebelah kiri. Apakah diagnosa
pada kasus di atas?

a. Bendungan payudara
b. Tumor payudara
c. Mastitis
d. Abses payudara
e. Kanker payudara

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mastitis merupakan proses peradangan payudara yang mungkin
disertai infeksi atau tanpa infeksi. Sebagian besar mastitis terjadi dalam 6
minggu pertama setelah bayi lahir. Diagnosis mastitis ditegakkan bila
ditemukan gejala demam, menggigil, nyeri seluruh tubuh serta payudara
menjadi kemerahan, tegang, panas dan bengkak. Beberapa faktor risiko
utama timbulnya mastitis adalah puting lecet, frekuensi menyusui yang
jarang dan pelekatan bayi yang kurang baik. Melancarkan aliran ASI
merupakan hal penting dalam tata laksana mastitis. Selain itu ibu perlu
beristirahat, banyak minum, mengkonsumsi nutrisi berimbang dan bila
perlu mendapat analgesik dan antibiotik.

B. Saran
Mastitis salah satu diagnosis yang tidak asing pada ibu menyusui. Jadi
untuk meminimalisirkan terjadinya mastitis diharapkan kepada ibu untuk
lebih memperhatikan keadaan payudaranya. Dan kita sebagai bidan lebih baik
lagi dalam memberi konseling dan penanganan pada ibu nifas.
Diharapkan kepada seluruh masyarakat, khususnya bagi wanita untuk
selalu menjaga kesehatan payudaranya agar tidak berpotensi terkena mastitis.
Namun, banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko mastitis
yaitu dengan cara tidak mengenakan bra atau pakaian yang tepat menekan
saluran susu danmenghambat aliran susu, menyusui sesering bayi
menginginkannya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Y. Melyani, “Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Nifas Dengan Sikap Dalam


Melakukan Perawatan Payudara Di Rumah Sakit Kartika Husada Kabupaten
Kubu Raya Tahun 2017,” Jurnal_Kebidanan, vol. 7, no. 2, pp. 55–62, 2020,
doi: 10.33486/jurnal_kebidanan.v7i2.62.

Zadrozny et al., 2018 July 03. Effect of postnatal HIV treatment on clinical
mastitis and breast inflammation in HIV-infected breastfeeding women,
Paediatr Perinat Epidemiol.(Jurnal NCBI)

Carpenito. Moyet Lynda Juall. 2006, BukuSakuDiagnosaKeperawatan,


Jakarta; EGC
Mansjoer.A.dkk 2001. KapilaselektaKedokteran, Jakarta: Media
Aesculapius,NANDA. 2010.

Prawirohadjo, S. 2001. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.


Jakarta: YBP
Djamudin, syahrul. 2009 Askep Nifas Pada Ibu Dengan Infeksi Payudara.
[serial online] http://healthycaus.com/ (4 Februari 2014).

14
MAKALAH
TROMBOFLEBITIS
Bd.6.606

Dosen Pengampu :
01. Henny Fitriani, S.SiT., M.Keb
02. Arlina Rachmaida, S.Tr.Keb., Bd, M.Keb
03. Rakhmawati, S.Tr.Keb

DISUSUN OLEH KELOMPOK 18:


01. Pitriani 201091035
02. Rahmi Nevilestari 201091038
03 Ria Apriyani 201091040

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PONTIANAK
JURUSAN KEBIDANAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa karna telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya
lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tromboflebitis” dengan tepat
waktu.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata
kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
bidang yang di tekuni oleh kami. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, Meil 2023


Penyusun

Kelompok 18

i
Daftar Isi

Cover ................................................................................................................................ i
Kata Pengantar ................................................................................................................ ii
Daftar Isi ........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ringkasan Tinjauan Teori ......................................................................................... 3
2.2 Data Subyektif ........................................................................................................... 7
2.3 Data Obyektif ............................................................................................................ 7
2.4 Penatalaksanaan ....................................................................................................... 8
2.5 Algoritma ................................................................................................................... 10
2.6 Latihan Kasus............................................................................................................. 10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 12
3.2 Saran .......................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagian besar kejadian kesakitan dan kematian ibu yang disebabkan oleh
perdarahan paska persalinan terjadi empat jam pertama setelah kelahiran bayi. Karena
itulah penting sekali untuk memantau ibu secara ketat, segera setelah setiap tahapan
atau kala persalinan diselesaikan, khususnya pada saat setelah persalinan. Pemantauan
ini berupa konsultasi paska persalinan di ruangan maupun pemeriksaan-pemeriksaan
yang diperlukan. Jika tanda-tanda vital dan tonus uterus masih dalam batas normal
selama dua jam pertama pasca persalinan, mungkin ibu tidak akan mengalami
perdarahan paska persalinan. Penting sekali untuk tetap berada di samping ibu dan
bayinya selama dua jam pertama pasca persalinan.
Tekanan darah dan denyut nadi harus diukur tiap 15 menit sekali, selama
beberapa jam pertama setelah pelahiran, atau lebih sering bila ada indikasi tertentu.
Pemijatan uterus untuk memastikan uterus menjadi keras juga diperlukan.
Pemantauan suhu tubuh, perdarahan harus diawasi. Tidak dianjurkan menggunakan
kain pembebat perut selama dua jam pertama pasca persalinan atau hingga ibu sudah
stabil. Dalam beberapa hari setelah melahirkan suhu badan ibu sedikit naik antara 37,2-
37,8 0C oleh karena resorbsi benda-benda dalam rahim dan mulainya laktasi. Dalam
hal ini disebut demam resorbsi, hal ini adalah normal.
Infeksi nifas adalah keadaan yang mencakup semua peradangan alat-alat
genitalia dalam masa nifas. Demam nifas adalah demam dalam masa nifas oleh sebab
apapun. Mobilitas puereuralis adalah kenaikan suhu badan sampai 38 0C atau lebih
selama 2 hari.Dalam 10 hari pertama postpatum. Kecuali pada hari pertama. Suhu
diukur 4x sehari secara oral (dari mulut). Beberapa faktor predisposisi, seperti Kurang
gizi atau nutrisi, anemia, higiene, kelelahan. Proses persalinan bermasalah, seperti
Partus lama atau macet, korioamnionitis, persalinan traumatic, kurang baiknya
pencegahan infeksi, manipulasi yang berlebihan dan dapat berlanjut keinfeksi dalam
masa nifas.
Infeksi diklasifikasikan menjadi Infeksi terbatas lokasinya pada perineum, vulva,
serviks, dan endometrium dan Infeksi yang menyebar ketempat lain melaui: pembuluh
darah vena, pembuluh limfe dan endometrium. Tomboflebitis merupakan inflamasi
permukaan pembuluh darah disertai pembentukan pembekuan darah. Tomboflebitis
cenderung terjadi pada periode pasca partum pada saat kemampuan penggumpalan
darah meningkat akibat peningkatan fibrinogen; dilatasi vena ekstremitas bagian
bawah disebabkan oleh tekanan keopala janin gelana kehamilan dan persalinan; dan
aktifitas pada periode tersebut yang menyebabkan penimbunan, statis dan
membekukan darah pada ekstremitas bagian bawah.
Sebagian besar kejadian dan kesakitan yang disebabkan oleh tromboflebitis
seperti pada kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan paska persalinan terjadi
empat jam setelah kelahiran bayi. Karena itu penting sekali memantau tromboflebitis
secara ketat, khusunya kejadian saat persalinan dilakukan.Jika sudah ada tanda-tanda
yang menyerupai tromboflebitis segera periksa apakah memang gejala tromboflebitis
atau hanya gejala radang biasa.
Kita harus dapat membedakan gejala antara tromboflebitis dengan
flebotrombosis ataupun radang biasa.Oleh karena itu, kita harus tahu sebenarnya
gejala dari keduanya agar dapat membedakannya sehingga kita dapat tanggap dalam
menanganinya,agar jangan sampai ke tahap yang lebih parah. Selama kehamilan

1
kejadiannya relatif rendah,risiko tromboflebitis vena kaki atau pelvis meningkat setelah
kehamilan atau operasi.
1.2 Rumusan Masalah
Sebagai persiapan dalam pembelajaran, jawablah pertanyaan-pertanyaan
pendahuluan berikut ini :
1. Apa yang dimaksud dengan tromboflebitis ?
2. Apa saja tanda dan gejala tromboflebitis ?
3. Apa saja penyebab tromboflebitis ?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada tromboflebitis ?
1.3 Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari topik asuhan kebidanan kolaborasi pada kasus
persalinan prematur, mahasiswa diharapkan mampu melakukan :
1. Pengkajian pada pasien dengan tromboflebitis dengan pendekatan holistik
2. Analisis data pada pasien dengan tromboflebitis dengan pendekatan holistik
3. Penatalaksanaan dan perencanaan asuhan pada klien dengan tromboflebitis
dengan pendekatan holistik
4. Implementasi asuhan pada pasien dengan tromboflebitis dengan pendekatan
holistik
5. Evaluasi asuhan pada pasien dengan tromboflebitis dengan pendekatan holistik
6. Pendokumentasian asuhan pada pasien dengan tromboflebitis dengan
pendekatan holistik
7. Kajian kasus-kasus patologi dan komplikasi
8. Reflektif praktik

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ringkasan Tinjauan Teori


A. Definisi
Tromboflebitis adalah inflamasi atau pembengkakan pada vena atau
pembuluh darah balik. Inflamasi ini disebabkan oleh penggumpalan darah yang
terjadi dalam vena. Umumnya, tromboflebitis terjadi pada vena di kaki. Meski
demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa kondisi ini bisa menyerang vena
pada tangan atau leher. Tromboflebitis bisa muncul di bawah permukaan kulit
maupun di bagian yang lebih dalam. Lokasi kemunculan itulah yang menjadi dasar
jenis tromboflebitis. Tromboflebitis yang terjadi pada vena di bagian yang lebih
dalam disebut trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT). Kondisi ini
memiliki risiko komplikasi yang lebih berbahaya karena gumpalan darah bisa
pecah dan memasuki aliran darah, sehingga berpotensi memicu penyakit serius
yang bahkan dapat mengancam jiwa. Contohnya, bila gumpalan darah sampai di
area paru dan menyumbat sirkulasi darah paru maka dapat mengakibatkan
kematian. Sejumlah komplikasi lain yang mungkin terjadi juga meliputi :
(Syahputri, 2021)
1. Pembengkakan dan rasa sakit yang parah sehingga bagian tubuh yang
terserang tidak bisa digerakkan.
2. Perubahan warna kulit pada area yang diperdarahi vena yang terkena DVT.
Pembengkakan kronis akan menekan kulit dari dalam. Lama kelamaan dapat
timbul luka borok pada area kulit yang berubah warna.
3. Terbentuknya varises
Kejadian tromboflebitis selama kehamilan kejadiannya relatif rendah,
risiko terjadinya tromboflebitis vena kaki atau pelvis meningkat setelah kehamilan
atau operasi. Insiden tromboflebitis superfisial sekitar 1 dalam 600 pasien-pasien
antepartum dan 1 dalam 95 bagi pasien-pasien postpartum. Insiden
tromboflebitis profunda berkisar 1 dalam 1900 pasien antepartum dan 1 dalam
700 pasien postpartum. Faktor-faktor yang mempermudah trombosis vena
(tromboflebitis) antar lain stasis (perlambatan aliran darah), luka pada dinding
pembuluh darah (iritasi lokal dan infeksi), dan perubahan fisika atau kimia pada
konstituen darah (Silvia Apriliana, 2021).
Menurut syahputri (2021) tromboflebitis diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :
(Syahputri, 2021)
1. Pelvio Tromboflebitis
Pelvio tromboflebitis yang paling sering meradang mengenai vena-
vena didinding uterus dan ligamentum latu yaitu vena ovarika, karena
mengalirkan darah dan luka bekas plasenta didaerah fundus uteri. Penjalaran
tromboflebitis pada vena ovarika kiri ialah ke vena renalis dan dari vena
ovarika kanan ke vena kava inferior. Biasanya terjadi sekitar hari ke-14 atau
ke-15 pasca partum. Trombosis yang terjadi setelah peradangan bermaksud
untuk menghalangi penjalaran mikroorganisme. Dengan proses ini, infeksi
dapat sembuh tetapi jika daya tahan tubuh kurang, trombus dapat menjadi
nanah. Bagian-bagian kecil trombus terlepas dan terjadilah emboli atau sepsis
dan karena embolus ini mengandung nanah disebut juga pyaemia. Embolus
ini biasanya tersangkut pada paru, ginjal dan katup jantung. Pada paru dapat
menimbulkan infark.
2. Tromboflebitis Femoralis

3
Tromboflebitis femoralis yaitu suatu tromboflebitis yang mengenai
vena safena magna atau vena femoralis. Hal ini disebabkan oleh adanya
trombosis atau embosis yang disebabkan karena adanya perubahan atau
kerusakan pada intima pembuluh darah, perubahan pada susunan darah, laju
peredaran darah, atau karena pengaruh infeksi atau venaseksi. Tromboflebitis
femoralis mengenai vena-vena pada tungkai, misalnya vena vemarolis, vena
poplitea dan vena safena. Sering terjadi sekitar hari ke-10 pasca partum. Hal
ini terjadi karena aliran darah lambat didaerah lipatan paha karena vena
tersebut tertekan oleh liginguinale juga karena dalam masa nifas kadar
fibrinogen meninggi.

B. Faktor Tromboflebitis
(Adityaputra et al., 2021)
1. Perluasan Infeksi Endometrium
Invasi/perluasan mikroorganisme patogen yang mengikuti aliran
darah disepanjang vena dan cabang-cabangnya, sehingga dapat
menyebabkan perluasan mikroorganisme ke endometrium dan menyebabkan
infeksi pada endometrium.
2. Mempunyai Varises pada Vena
Pada vena yang sebelumnya terdapat vena ektasia atau varises, maka
terdapatnya turbulensi darah pada kantong-kantong vena di sekitar klep
(katup) vena merangsang terjadinya thrombosis primer tanpa disertai reaksi
radang primer, yang kemudian karena faktor lokal, daerah yang ada
trombusnya tersebut mendapat radang. Menipisnya dinding vena karena
adanya varises sebelumnya, mempercepat proses keradangan. Dalam
keadaan ini, maka dua factor utama : kelainan dinding vena dan melambatnya
aliran darah, menjadi sebab penting dari terjadinya tromboplebitis.
3. Obesitas
Pada penderita obesitas ini berkaitan dengan aliran darah yang
lambat serta kemungkinan terjadi varises pada penderita obesitas yang
menjadi salah satu penyebab dari tromboflebitis,sehinga pada obesitas pula
kemungkinan terjadi tromboflebitis.
4. Pernah Mengalami Tromboflebitis
Seseorang dengan riwayat tromboflebitis merupakan faktor yang
mengakibatkan terulangnya kembali kejadian tromboflebitis, karena
perlukaan yang ditimbulkan dari tromboflebitis itu sendiri.
5. Usia
Berusia 30 tahun lebih dan pada saat persalinan berada pada posisi
litotomi untuk waktu yang lama. Pada proses persalinan tekanan pada arah
bawah lebih tinggi sehingga mengakibatkan terjadinya tromboflebitis
6. Trauma
Beberapa sebab khusus karena rangsangan langsung pada vena dapat
menimbulkan keadaan ini. Umumnya pemberian infus (di lengan atau di
tungkai) dalam jangka waktu lebih dari 2 hari pada tempat yang sama atau
pemberian obat yang iritan secara intra vena.
7. Malignitas (Karsinoma)
Adanya malignitas (karsinoma) yang terjadi pada salah satu segmen
vena. Tumor-tumor intra abdominal, umumnya yang memberikan hambatan
aliran vena dari ekstremitas bawah, hingga terjadi rangsangan pada segmen
vena tungkai

4
8. Kelainan Jantung
Memiliki insidens tinggi untuk mengalami tromboflebitis dalam
keluarga. Kelainan jantung yang secara hemodinamik menyebabkan kelainan
pula pada system aliran vena

C. Tanda Gejala
Penderita-penderita umumnya mengeluh spontan terjadinya nyeri di
daerah vena (nyeri yang terlokalisasi), yang nyeri tekan, kulit di sekitarnya
kemerahan (timbul dengan cepat diatas vena) dan terasa hangat sampai panas.
Juga dinyatakan adanya oedema atau pembengkakan agak luas, nyeri terjadi bila
menggerakkan lengan, juga pada gerakan-gerakan otot tertentu. Pada perabaan,
selain nyeri tekan, diraba pula pengerasan dari jalur vena tersebut, pada tempat-
tempat dimana terdapat katup vena, kadang-kadang diraba fluktuasi, sebagai
tanda adanya hambatan aliran vena dan menggembungnya vena di daerah katup.
Fluktuasi ini dapat pula terjadi karena pembentukan abses. Febris dapat terjadi
pada penderita-penderita ini, tetapi biasanya pada orang dewasa hanya dirasakan
sebagai malaise (Louro et al., 2021).
1. Pelvio Tromboflebitis
a. Nyeri yang terdapat pada perut bagian bawah dan atau perut bagian
samping, timbul pada hari ke-2-3 masa nifas.
b. Penderita tampak sakit berat dengan gambaran karakteristik sebagai
berikut:
1) Mengigil berulang kali, menggigil inisial terjadi sangat berat (30-40
menit) dengan interval hanya beberapa jam saja dan kadang kadang 3
hari pada waktu menggigil penderita hampir tidak panas.
2) Suhu badan naik turun secara tajam (36°C menjadi 40°C) yang diikuti
penurunan suhu dalam 1 jam (biasanya subfebris seperti pada
endometritis.
3) Penyakit dapat langsung selama 1-3 bulan
4) Cenderung terbentuk pus, yang menjalar kemana-mana, terutamake
paru-paru
c. Gambaran darah
1) Terdapat leukositosis (meskipun setelah endotoksin menyebar ke
sirkulasi, dapat segera terjadi leukopenia)
2) Untuk membuat kultur darah, darah diambil pada saat tepat sebelum
mulainya menggigil, kultur darah sangat sukar dibuatkarena bakterinya
adalah anaerob.
2. Tromboflebitis femoralis
a. Keadaan umum tetap baik, suhu badan subfebris selama 7-10 hari,
kemudian suhu mendadak naik kira-kira pada hari ke 10-20 yang disertai
dengan menggigil dan nyeri sekali.
b. Pada salah satu kaki yang terkena, memberikan tanda-tanda sebagai
berikut:
1) Kaki sedikit dalam keadaan fleksi dan rotasi keluar serta sukar bergerak,
lebih panas dibandingkan dengan kaki lainnya.
2) Seluruh bagian dari salah satu vena pada kaki terasa tegang dan keras
pada paha bagian atas
3) Nyeri hebat pada lipat paha dan daerah paha
4) Reflektorik akan terjadi spasmus arteria sehingga kaki menjadi bengkak,
tegang, putih, nyeri, dan dingin dan pulsasi menurun.

5
5) Edema kadang-kadang terjadi sebelum atau sesudah nyeri dan pada
umumnya terdapat pada paha bagian atas, teatapi lebih sering dimulai
dari jari-jari kaki dan pergelangan kaki kemudian meluas dari bawah ke
atas.
6) Nyeri pada betis, yang terjadi spontan atau dengan memijat betis.

Pada tromboflebitis terjadi pembentukan trombus yang merupakan akibat


dari stasis vena sehingga menyebabkan gangguan koagulabilitas darah atau
kerusakan pembuluh maupun endotelial. Stasis vena sering dialami oleh orang-
orang imobil maupun yang istirahat di tempat tidur dengan gerakan otot yang
tidak memadai untuk mendorong aliran darah. Statis vena juga mudah terjadi
pada orang yang berdiri terlalu lama, duduk dengan lutut dan paha ditekuk,
berpakaian ketat, obesitas, tumor maupun wanita hamil. Stasis aliran darah vena
terjadi ketika aliran darah melambat misalnya pada istirahat lama (imobilisasi)
seperti yang telah disebutkan sebelumnya sehingga dapat berpengaruh pada
pompa vena perifer, meningkatkan stagnasi dan penggumpalan darah pada
ekstremitas sehingga ektremitas mengalami edema. Hiperkoagulabilitas darah
yang menyertai trauma, kelahiran dan myocardial infret juga mempermudah
terjadinya pembentukan trombus (Louro et al., 2021).
Pembentukan trombus dimulai dengan melekatnya trombosit-trombosit
pada permukaan endotel pembuluh darah. Darah yang mengalir menyebabkan
makin banyak trombosit tertimbun. Oleh karena sifat trombosit ini, trombosis
dapat saling melekat sehingga terbentuk massa yang menonjol ke dalam lumen.
Faktor yang sangat berperan terhadap timbulnya suatu trombosis vena adalah
statis aliran darah dan hiperkoagulasi (Louro et al., 2021).
1. Statis Vena
Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis
terutama pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang
cukup lama. Statis vena merupakan predis posisi untuk terjadinya trombosis
lokal karena dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap
aktifitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya
trombin.
2. Kerusakan pembuluh darah
Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan
trombosis vena, melalui :
a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.
b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat
kerusakan jaringan dan proses peradangan.
Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel.
Endotel yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel
menghasilkan beberapa substansi seperti prostaglandin, proteoglikan, aktifator
plasminogen dan trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya
trombin. Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel
akan terpapar. Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di
aktifkan dan trombosir akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat
kolagen, membran basalis dan mikrofibril. Trombosit yang melekat ini akan
melepaskan adenosin difosfat dan tromboksan yang akan merangsang
trombosit lain yang masih beredar untuk berubah bentuk dan saling melekat.
Kerusakan sel endotel sendiri juga akan mengaktifkan sistem pembekuan
darah.

6
3. Perubahan daya beku darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem
pembekuan darah dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis,
apabila aktifitas pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis
menurun. Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas
pembekuan darah meningkat, seperti pada hiper koagulasi, defisiensi Anti
trombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.

2.2 Data Subyektif


(Glackin & Crabo, 2019)
1. Anamnesa
a. Biodata
b. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit terdahulu yang dikaji mengenai penyakit klien
terdahulu apakah sebelumnya pernah melahirkan atau tidak, jika pernah
melahirkan apakah pasca melahirkan mengalami tromboflebitis atau tidak,
dikaji pula apakah klien pernah mengalami penyakit jantung atau tidak yang
beresiko tinggi terjadinya tromboflebitis, pernah mengalami trauma atau
tidak, mempunyai varises vena atau tidak, dan menderita tumor atau tidak.
c. Keluhan
Keluhan utama yang paling umum dirasakan klien yaitu nyeri yang
pada daerah pembuluh darah vena, nyeri terjadi pada kaki dan kaki
mengalami edema.
d. Riwayat persalinan
e. Riwayat menstruasi

2.3 Data Obyektif


(Glackin & Crabo, 2019)
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. Pemeriksaan TTV
1) Tekanan darah meningkat / terjadi hipertensi
2) Nadi : biasanya nadi meningkat dikarenakan adanya nyeri yang dialami
klien
3) Suhu : biasanya klien mengalami demam, suhu antara 36-40° derajat C
4) Pernafasan : biasanya RR meningkat dikarenakan adanya nyeri
d. Pemeriksaan Head To To
2. Pmeriksaan Penunjang
a. Ultrasonograf Doppler
Tehnik dopler memungkinkan penilaian kualitatif terhadap
kemampuan katub pada vena profunda, vena penghubung dan vena yang
mengalami pervorasi. Ultrasonografi Doopler dilakukan dengan cara
meletakkan probe Doppler di atas vena yang tersumbat. Bacaan aliran
doopler tampak lebih kecil di banding tungkai sebelahnya atau tidak sama
sekali. Metode ini relative murah, mudah dilakukan, praktis, cepat dan non
infasif. Pemeriksaan ultrasonograf doppler dilakukan untuk menunjukkan
peningkatan lingkar ekstremitas.
b. Pemeriksaan hematokrit
Untuk mengidentifikasi Hemokonsentrasi, terjadinya peningkatan

7
hematokrit. Jika terjadi peningkatan hematokrit maka akan berpotensial
terjadinya pembentukan trombus.
c. Pemeriksaan Koagulasi
Untuk menunjukkan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan koagulasi ini
menilai aktifitas faktor pembekuan seperti uji masa protrombin, uji activated
partial thromboplastin time (APTT), thrombin time dan kadar fibrinogen.
d. Biakan darah
Pemeriksaan baik aerob maupun anaerob dapat membantu.
Organisme yang penting untuk di antisipasi meliputi Streptokokus aerob dan
anaerob. Staphilokokus aureus, Eschercia coli ,dan Bakteriodes. Pemeriksaan
ini dilakukan untuk mengetahui atau mendeteksi kuman didalam darah.
e. Pemindai ultrasuond dupleks
Dengan tehnik ini obstruksi vena dan refleks katub dapat dideteksi
dan dilokalisasi dan dapat dilihat diagram vena-vena penghubung yang tidak
kompeten.
f. Venografi
Bahan kontras disuntikkan kedalam sistem vena untuk memberikan
gambaran pada vena-vena di ekstrimitas bawah dan pelvis. Pemeriksaan
venografi berguna untuk mendiagnosis trombosis vena renalis.

2.4 Penatalaksanaan
(Silvia Apriliana, 2021)
1. Pelvio tromboflebitis
a. Lakukan pencegahan terhadap endometritis dan tromboflebitis dengan
menggunakan teknik aseptik yang baik.
b. Rawat inap : penderita tirah baring untuk pemantauan gejala penyakit dan
mencegah terjadinya emboli pulmonum.
c. Terapi medik: pemberian antibiotika, heparin terdapat tanda-tanda atau
dugaan adanya emboli pulmonum.
d. Terapi operatif : pengikatan vena kava inferior dan vena ovarika jika emboli
septik terus berlangsung sampai mencapai paru-paru; meskipun sedang
dilakukan hipernisasi, siapkan untuk menjalani pembedahan.
2. Tromboflebitis femoralis
a. Terapi medik : Pemberian analgesik dan antibiotik.
b. Anjurkan ambulasi dini untuk meningkatkan sirkulasi pada ekstremitas bawah
dan menurunkan kemungkinan pembentukan pembekuan darah. Jauhkan
tekanan dari daerah untuk mengurangi rasa sakit dan mengurangi risiko
kerusakan lebih lanjut.
c. Tinggikan daerah yang terkena untuk mengurangi pembengkakan. Pastikan
Pasien untuk tidak berada pada posisi litotomi dan menggantung kaki lebih
dari 1 jam, dan pastikan untuk memberikan alas pada penyokong kaki guna
mencegah adanya tekanan yaang kuat pada betis.
d. Sediakan stocking pendukung kepada Pasien pasca partum yang memiliki
varises vena untuk meningkatkan sirkulasi vena dan membantu mencegah
kondisi stasis.
e. Instruksikan kepada Pasien untuk memakai stocking pendukung sebelum
bangun pagi dan melepaskannya 2x sehari untuk mengkaji keadaan kulit
dibawahnya.
f. Anjurkan tirah baring dan mengangkat bagian kaki yang terkena.
g. Dapatkan nilai pembekuan darah perhari sebelum obat anti koagulan

8
diberikan.
h. Berikan anti koagulan, analgesik, dan antibiotik sesuai dengan resep.
i. Berikan alat pamanas seperti lampu atau kompres hangat basah sesuai
instruksi, pastikan bahwa berat dari kompres panas tersebut tidak menekan
kaki Pasien sehingga aliran darah tidak terhambat.
j. Sediakan bed cradle untuk mencegah selimut menekan kaki yang terkena.
k. Ukur diameter kaki pada bagian paha dan betis dan kemudian bandingkan
pengukuran tersebut dalam beberapa hari kemudian untuk melihat adanya
peningkatan atau penurunan ukuran.
l. Dapatkan laporan mengenai lokea dan timbang berat pembalut perineal
untuk mengkaji pendarahan jika pasien dalam terapi antikoagulan.
m. Adanya kemungkinan tanda pendarahan lain, misalnya: pendarahan pada
gusi, bercak ekimosis pada kulit atau darah yang keluar dari jahitan episiotomi.
n. Yakinkan Pasien bahwa heparin yang diterimanya dapat dilanjutkan pada
masa menyusui karena obat ini tidak akan berada didalam air susu.
o. Siapkan pemberian protamin sulfat sebagai antagonis heparin.
p. Jelaskan pada Pasien mengenai pemberian heparin yang harus dilakukan
melalui terapi sub kutan Jelaskan kepada pasien bahwa untuk kehamilan
selanjutnya ia harus memberitahukan tenaga kesehatan yang dia hadapi
untuk memastikan bahwa pencegahan trombofrebitis yang tepat telah
dilakukan.
3. Pola Pengobatan Tromboflebitis
Flebitis superfisialis sering menghilang dengan sendirinya. Untuk
mengurangi nyeri bisa diberikan obat pereda nyeri (misalnya Aspirin, ibuprofen).
Untuk mempercepat penyembuhan, bisa disuntikkan anestesi (obat bius) lokal,
dilakukan pengangkatan trombus dan kemudian pemakaian perban kompresi
selama beberapa hari. Jika terjadi di daerah selangkangan, trombus bisa masuk
ke dalam vena dalam dan terlepas. Untuk mencegah hal ini, dianjurkan untuk
melakukan pembedahan darurat guna mengikat vena permukaan. Untuk
rekomendasi lebih spesifik, lihat kondisi tertentu. Secara umum, pengobatan
dapat mencakup sebagai berikut: Obat analgesik (nyeri obat), antikoagulan atau
pengencer darah untuk mencegah pembentukan gumpalan baru, Trombolitik
untuk melarutkan bekuan yang sudah ada, non-steroid obat anti inflamasi
(OAINS), seperti ibuprofen untuk mengurangi rasa sakit dan peradangan,
antibiotik (jika infeksi hadir).

9
2.5 Algoritma

2.6 Latihan Kasus


1. Seorang ibu hamil G1P0AO hamil 36 minggu datang ke Rumah Sakit untuk
memeriksakan kehamilannya. Ibu mengeluh nyeri yang pada daerah pembuluh
darah vena, nyeri terjadi pada kaki dan kaki mengalami edema. Setelah dilakukan
pemeriksaan ibu mengalami inflamasi atau pembengkakan pada vena atau
pembuluh darah balik. Inflamasi ini disebabkan oleh penggumpalan darah yang
terjadi dalam vena…
Berdasarkan kasus diatas, diagnosa yang tepat adalah…
A. Tromboflebitis
B. Anemia
C. Leukemia
D. Jantung kronik
E. Hipertensi
2. Ibu hamil G5P4A0 hamil 38 minggu ingin memeriksakan kehamilannya ke Rumah
Sakit. Hasil pemeriksaan menunjukkan, keadaan umum lemah, kesadaran
composmentis, TD ; 150 / 90 mmHg, Nadi 101 x/m, Pernafasan 22 x/m, dan suhu
380C. Untuk menegakkan diagnosa tromboflebitis harus dilakukan pemeriksaan
penunjang yaitu….
A. USG
B. Sectio Caesarea
C. Ultrasonograf Doppler
D. Pap Smear
E. Kolposkopi

10
3. Ibu hamil G3P2A0 hamil 38 minggu mengalami tromboflebitis. Dilakukan
penatalaksanaan dengan pemberian antibiotika karna adanya dugaan emboli
pulmonum dan pengikatan vena kava inferior karena emboli septic terus
berlangsung.
Penatalaksanaan yang dilakukan diberikan pada jenis tromboflebitis…
A. Pelvio Tromboflebitis
B. Tromboflebitis Femoralis
C. Tromboflebitis primer
D. Tromboflebitis sekunder
E. Tromboflebitis

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tromboflebitis adalah inflamasi atau pembengkakan pada vena atau
pembuluh darah balik. Inflamasi ini disebabkan oleh penggumpalan darah yang terjadi
dalam vena. Umumnya, tromboflebitis terjadi pada vena di kaki. Meski demikian, tidak
menutup kemungkinan bahwa kondisi ini bisa menyerang vena pada tangan atau
leher. Tromboflebitis bisa muncul di bawah permukaan kulit maupun di bagian yang
lebih dalam. Lokasi kemunculan itulah yang menjadi dasar jenis tromboflebitis.
Tromboflebitis yang terjadi pada vena di bagian yang lebih dalam disebut trombosis
vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT). Kondisi ini memiliki risiko komplikasi
yang lebih berbahaya karena gumpalan darah bisa pecah dan memasuki aliran darah,
sehingga berpotensi memicu penyakit serius yang bahkan dapat mengancam jiwa.
Contohnya, bila gumpalan darah sampai di area paru dan menyumbat sirkulasi darah
paru maka dapat mengakibatkan kematian (Syahputri, 2021).

3.2 Saran
Mengingat tingginya AKI dan AKB di Indonesia, maka kegawatdaruratan
maternal dan neonatal haruslah ditangani dengan cepat dan tepat. Penanganan yang
tepat dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga di Indonesia. Maka, dengan
mempelajari dan memahami kegawatdaruratan maternal dan neonatal, diharapkan
bidan dapat memberikan penanganan yang maksimal dan sesuai standar demi
kesehatan ibu dan anak

12
DAFTAR PUSTAKA

Adityaputra, T. N. P., Dwi Sutanegara, B. A. P., & Suwirya, A. P. (2021). Diagnosis dan
tatalaksana tromboangitis obliterans/penyakit buerger dengan fenomena raynaud.
Intisari Sains Medis, 12(2), 433–436. https://doi.org/10.15562/ism.v12i2.999
Glackin, P., & Crabo, L. G. (2019). A Case of Postpartum Thrombophlebitis of a
Retroperitoneal Varix Mimicking Acute Appendicitis. Journal of Diagnostic Medical
Sonography, 35(5), 432–437. https://doi.org/10.1177/8756479319848744
Louro, J., Teixeira, B., & Silva, E. S. (2021). Septic thrombophlebitis of the portal vein – A
case report. Paediatria Croatica, 65(2), 10–104.
https://doi.org/10.13112/PC.2021.16
Silvia Apriliana. (2021). Thromboangitis Obliterans (TAO): Diagnosis dan Tatalaksana.
Cermin Dunia Kedokteran, 48(12), 713–717.
https://doi.org/10.55175/cdk.v48i12.169
Syahputri, S. R. (2021). Perancangan Aplikasi Diagnosa Tromboflebitis Dengan Algoritma
Sequential Minimal Optimization. Journal of Informatics, Electrical and Electronics
Engineering, 1(1), 15–19. https://djournals.com/jieee/article/view/55

13
MAKALAH
ASUHAN KEBIDANAN KOLABORASI PADA KASUS PATOLOGI DAN KOMPLIKASI
PADA BAYI PREMATUR DAN BBLR
Bd. 6.606

DOSEN PENGAMPU :
1. Henny Fitriani, S.SiT, M.Keb A
2. Arlina Rachmaida, S.Tr.Keb, Bd,M.Keb

DISUSUN OLEH KELOMPOK 19 :

1. PASKARIA YEYEN ( 201091034)


2. PUTRI (201091036)

POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK


JURUSAN KEBIDANAN
PRODI SARJANA TERAPAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena hanya dengan izin,
rahmat dan kuasa-Nyalah kami masih diberikan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “ BAYI PREMATUR DAN BBLR”
Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak terutama kepada Dosen pengajar Mata Kuliah asuhan
kebidanan kolaborasi pada kasus patologi dan komplikasi yang telah memberikan tugas ini
kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas
ini terdapat kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari apa yang diharapkan.
Untuk itu, kami berharap dan kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini
di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang
membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang
membacanya.

Pontianak, Maret 2023

Penyusun

Kelompok 19

i
Daftar Isi

Cover ................................................................................................................................
Kata Pengantar ................................................................................................................ i
Daftar Isi........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ringkasan Tinjauan Teori ......................................................................................... 3
2.2 Data Subyektif ........................................................................................................... 10
2.3 Data Obyektif ............................................................................................................ 10
2.4 Penatalaksanaan ....................................................................................................... 11
2.5 Algoritma ................................................................................................................... 13
2.6 Latihan Kasus............................................................................................................. 15
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 16
3.2 Saran .......................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator yang mencerminkan
derajat kesehatan anak, serta cerminan dari status kesehatan suatu negara. Menurut
WHO pada tahun 2018 sebanyak 7000 bayi baru lahir di dunia meninggal setiap harinya.
AKB di Indonesia pada tahun 2017 yaitu 24 per 1000 kelahiran hidup (Tania, Murni and
Maolinda 2020).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2009 penyebab utama
kematian bayi prematur yakni gangguan pada sistem pernapasan (35,9%) dan berat lahir
rendah (32,4%). Bayi yang menggunakan ventilator karena adanya gangguan pernafasan
diperkirakan mencapai lebih dari 75% (Anggraeni, Indiyah, and Daryati 2019).
Sebanyak tiga-perempat kematian neonatal terjadi pada minggu pertama
kehidupan dan 40% terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama kematian bayi baru
lahir adalah prematur, komplikasi terkait persalinan (asfiksia atau kesulitan bernafas saat
lahir), infeksi dan cacat lahir (Tania, Murni and Maolinda 2020).
Prevalensi global BBLR tahun 2015 adalah 14,6 %, lebih dari setengahnya berada di
kawasan Asia. Dengan kata lain, dari 20,5 juta bayi yang lahir dengan berat lahir rendah
setiap tahunnya, 12,8 juta bayi berada di kawasan ASIA. Bayi berat badan lahir rendah
memiliki risiko tinggi mengalami kematian pada 28 hari kehidupan (UNICEF and WHO,
2019).
Prevalensi BBLR di Indonesia tahun 2018 adalah 6,2%. Persentase paling tinggi
yakni di Provinsi Sulawesi Tenggara (8,9 %) dan paling rendah Provinsi 8 Jambi (2,6 %)
(Riskesdas, 2018). Presentase BBLR di Provinsi Bali tahun 2019 adalah 2,7% dari total
kelahiran hidup 65.665 orang dengan AKN adalah 3,5 per 1.000 kelahiran hidup. BBLR
menempati urutan pertama penyebab kematian neonatal (42%) (Dinkes Provinsi, 2019).
Menurut definisi WHO, bayi prematur adalah bayi lahir hidup sebelum usia
kehamilan minggu ke 37 (dihitung dari hari pertama haid terakhir). Bayi prematur atau
bayi preterm adalah bayi yang berumur kehamilan 37 minggu tanpa memperhatikan
berat badan, sebagian besar bayi prematur lahir dengan berat badan kurang 2500 gram
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2.500
gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah berat yang ditimbang satu jam
setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan atau pada bayi cukup bulan yang
mengalami intrauterine growth restriction atau biasa kita kenal dengan pertumbuhan
janin terhambat (PJT) (Novelinda Permatasari, 2017).
Tingginya angka kejadian bayi prematur membutuhkan keahlian khusus dari multi
disiplin ilmu khususnya perawat dalam penanganan bayi prematur dan BBLR. Hal ini
dilakukan agar bayi prematur dan BBLR mendapatkan penanganan yang tepat dan
memperkecil kemungkinan risiko terjadinya komplikasi.

1.2 Rumusan Masalah


Sebagai persiapan dalam pembelajaran, jawablah pertanyaan-pertanyaan
pendahuluan berikut ini :
1. Apa yang dimaksud dengan bayi prematur dan BBLR ?

1
2. Apa saja klasifikasi bayi prematur dan BBLR?
3. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi akibat prematur dan BBLR ?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus bayi prematur dan BBLR?

1.3 Tujuan Pembelajaran


Setelah mempelajari topik asuhan kebidanan kolaborasi pada bayi prematur
dan BBLR, mahasiswa diharapkan mampu melakukan :
1. Pengkajian pada klien dengan pendekatan holistik
2. Analisis data pada klien dengan pendekatan holistik
3. Perencanaan asuhan pada klien dengan pendekatan holistik
4. Implementasi asuhan pada kien dengan pendekatan holistik
5. Evaluasi asuhan pada kien dengan pendekatan holistik
6. Pendokumentasian asuhan pada klien dengan pendekatan holistic
7. Kajian kasus-kasus patologi dan komplikasi
8. Reflektif praktik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Ringkasan Tinjauan Teori


A. Bayi Prematur
Bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu.
Prematuritas dapat menyebabkan angka kematian perinatal yang cukup tinggi.
Berbagai masalah yang terjadi pada bayi prematur dikarenakan ketidakmatangan
sistem organ tubuhnya, ketika dilahirkan akan mengakibatkan organnya tidak dapat
bekerja secara optimal sehingga bayi prematur akan sulit beradaptasi dengan
kehidupannya di luar rahim dan akan mengalami banyak gangguan kesehatan
dengan daya tahan tubuh yang lemah berpotensi mengalami berbagai komplikasi
(Tania, Murni and Maolinda 2020).
Bayi prematur yang masa kandungannya kurang dari 37 minggu mempunyai angka
kematian 5 kali lebih tinggi dari bayi cukup bulan sehingga memerlukan perawatan
yang lebih intensif dibandingkan bayi lahir normal atau cukup bulan (Anggraeni,
Indiyah, and Daryati 2019).

a) Klasifikasi
Menurut Rukiyah & Yulianti (2012), bayi dengan kelahiran prematur dapat
dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Bayi Prematur Sesuai Masa Kehamilan (SMK) Bayi prematur sesuai masa
kehamilan (SMK) adalah bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang dari 37
minggu dan berat badannya sesuai dengan usia kehamilan. Derajat
prematuritas dapat digolongkan menjadi 3 kelompok antara lain adalah
sebagai berikut:
1) Bayi sangat prematur (extremely premature) : bayi yang lahir pada 24
sampai 30 minggu dan lahir dengan berat badan 500 sampai 1400 gram
dan semua masalah yang terjadi ditandai dengan penampilan kecil,
tidak memiliki lemak dan kulit sangat tipis.
2) Bayi prematur sedang (moderately premature) : yaitu bayi yang lahir 31
sampai 36 minggu, dengan berat 1500 sampai 2500 gram, masalah yang
sering terjadi yaitu pengaturan glukosa, keseimbngan cairan, anemia
dan infeksi dan penampilan pada bayi perematur sedang itu seperti kulit
tipis dan lebih banyak pembuluh darah.
3) Borderline premature : yang lahir pada ke 37 minggu gestasi dengan
berat badan 2500 sampai 3250 gram, bayi ini mempunyai sifat prematur
dan matur. Beratnya seperti bayi matur akan tetapi sering timbul
masalah seperti yang dialami bayi prematur misalnya ketidaksetabilan,
kesulitan menyusui, ikteris, dan Respiratory Distress Syndrome (RDS).
Adapun penampilan pada bayi prematur di garis batas itu adalah lipatan
pada kaki itu lebih sedikit, banyak rambut halus dan genitalia kurang
berkembang.
2. Bayi Prematur Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK) Bayi prematur kecil untuk
masa kehamilan (KMK) adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang
dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi tersebut. Banyak istilah
yang dipergunakan untuk menunjukkan bahwa bayi KMK ini dapat
menderita gangguan pertumbuhan di dalam uterus (intrauterine
retardation = IUGR) seperti pseudopremature, small for dates, dysmature,
fetal malnutrition syndrome, chronis fetal distress, IUGR dan small for
gestational age (SGA). Setiap bayi baru lahir (prematur, matur dan post
3
matur) mungkin saja mempunyai berat yang tidak sesuai dengan masa
gestasinya.

b) Pathofisiologi
Secara umum bayi baru lahir rendah ini berhubungan dengan usia
kehamilan yang belum cukup bulan (prematur) disamping itu juga disebabkan
dismaturitas. Biasanya hal tersebut terjadi karena adanya gangguan
pertumbuhan sewaktu dalam kandungan yang disebabkan oleh penyakit ibu
seperti adanya kelainan plasenta, infeksi, hipertensi, dan 12 keadaan-keadaan
yang dapat menyebabkan suplai makanan ke bayi jadi berkurang.
Bayi prematur umumnya relatif kurang mampu untuk bertahan hidup
karena struktur anatomi dan fisiologi yang imatur dan fungsi biokimianya belum
bekerja seperti bayi yang lebih tua.
Bayi prematur atau imatur tidak dapat mempertahankan suhu tubuh
dalam batas normal karena pusat pengatur suhu pada otak yang belum matur,
kurangnya cadangan glikogen dan lemak coklat sebagai sumber kalori. Tidak ada
atau kurangnya lemak subkutan dan permukaan tubuh yang relatif lebih luas akan
menyebabkan kehilangan panas tubuh yang lebih banyak. Respon menggigil bayi
kurang atau tidak ada, sehingga bayi tidak dapat meningkatkan panas tubuh
melalui aktivitas. Selain itu kontrol reflek kapiler kulit juga masih kurang.
Adanya reflek hisap dan menelan yang masih imatur mengakibatkan tidak
memadainya koordinasi antara reflek hisap dan menelan, terutama pada bayi
yang lahir sebelum usia kehamilan 34 minggu. Dalam sistem pencernaan semakin
rendah umur gestasi, maka semakin kecil atau lemah refleks menghisap dan
menelan, bayi yang paling kecil tidak mampu minum secara efektif, regurgitasi
merupakan hal yang paling sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh karena
mekanisme penutupan spingter pilorus yang secara relatif kuat. Keadaan ini
mengakibatkan bayi tidak mendapatkan ASI secara eksklusif sehingga bayi
mengalami diskontinuitas dalam pemberian ASI.

c) Komplikasi Bayi Prematur


Sering kali komplikasi yang terjadi pada
bayi prematur adalah yang berhubungan dengan fungsi organ imatur dari
sistem organ. Komplikasi-komplikasi yang bisa terjadi meliputi :
a. Paru-paru
Produksi surfaktan seringkali tidak memadai guna mencegah alveolar
collapse dan atelektasis, yang dapat terjadi Respiratory Distress Syndrome.
b. Neurologik
Bayi preterm berisiko memiliki masalah neurologik akut seperti, perdarahan,
intrakarnial, dan depresi perinatal. Penyebab utama kelainan neurologis pada
bayi baru lahir adalah enselopati iskemik hipoksik (EIH), disamping
perdarahan periventrikuler dan intraventrikular yang menyebabkan kelainan
neurologis terutama pada bayi preterm. Jejas pada otak yang terjadi pada
masa perinatal ini dikenal sebagai penyebabutama gangguan neurologis
berat dan terjadi dampak dampaknya dalam jangka panjang yang dikenal
dengan Cerebral Palsy pada bayi dan anak. Manifestasi perdominan yang
dikaitkan dengan palsi serebral adalah gangguan gerak yang dapat berupa
karakter spastik, ataksik atau atetoid. Disfungsi motorik ini biasanya disertai
gangguan neurologik lainnya seperti retardasi mental, gangguan visual
kortikal dan kejang.
c. Susunan Saraf Pusat
Disebabkan tidak memadainya koordinasi refleks menghisap dan menelan,
4
bayi yang lahir sebelum usia gestasi 34 minggu harus diberi makanan secara
intravena atau melalui sonde lambung. Immaturitas pusat pernapasan di
batang otak mengakibatkan apneic spells (apnea sentral).
d. Kardiovaskular
Gangguan yang sering dialami adalah hipotensi akibat hipovolemia., misalnya
kehilangan volume karena memang volumenya yang relatif kecil atau
gangguan fungsi jantung dan vasodilatasi akibat sepsis. Kejadian Patient
Ductus Arteriosus (PDA) sering terjadi dan dapat mengakibatkan terjadinya
gagal jantung kongestif.
e. Infeksi
Akibat defisiensi respon imun seluler dan humoral, bayi preterm
mempunyai risiko terjadinya infeksi lebih besar dibandingkan bayi aterm.
f. Pengaturan suhu
Bayi prematur mempunyai luas permukaan tubuh yang besar dibanding rasio
masa tubuh, oleh karena itu ketika terpapar dengan suhu lingkungan di
bawah netral, dengan cepat akan kehilangan panas dan sulit untuk
mempertahankan suhu tubuhnya karena efek shivering pada prematur tidak
ada.
g. Saluran pencernaan
Belum sempurna sehingga tidak mampu menyerap ASI dengan baik.
Pengosongan lambung terhambat sehingga menimbulkan desistensi lambung
dan usus.
h. Volume perut yang kecil dan reflek menghisap dan menelan yang masih
immatur pada bayi prematur, pemberian makanan melalui nasogastrik tube
dapat terjadi risiko aspirasi.
i. Ginjal
Fungsi ginjal pada bayi prematur masih immatur, sehingga batas konsentrasi
dan ilusi cairan urine kurang memadai seperti pada bayi normal.
j. Hiperbilirubinemia
Pada bayi prematur bisa berkembang hiperbilirubinemia lebih sering
dibandingkan dengan bayi aterm, dan kemicterus bisa terjadi pada level
bilirubin serum paling sedikit 17 mg/dl (170 umol/L) pada bayi kecil, bayi
prematur yang sakit.
k. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan penyebab utama kerusakan otak pada periode
perinatal. Kadar glukosa darah kurang dari 20 mg/100cc pada bayi kurang
bulan atau bayi prematur dianggap menderita hipoglikemia.
l. Mata
Retrolental fibroplasia, kelainan ini timbul sebagai akibat pemberian oksigen
yang berlebihan pada bayi prematur yang umur kehamilannya kurang dari 34
minggu. Tekanan oksigen yang tinggi dalam arteri akan merusak pembuluh
darah retina yang masih belum matang (immatur).
m. Tendensi
Pembuluh darah masih rapuh, sehingga permeabilitasnya tinggi, yang
memudahkan terjadinya ekstravasasi cairan dan mudah terjadinya oedema.
Terjadi gangguan keseimbangan faktor pembekuan dara sehingga terjadi
perdarahan dalam keadaan yang gawat.

B. BBLR
BBLR Adalah bayi baru lahir (BBL) dengan berat badan lahir < 2500 gram (Iskandar
5
2017).
Bayi berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan sebagai bayi dengan berat lahir kurang
dari 2.500 gram (Setyarini and Suprapti, 2016). BBLR dapat disebabkan oleh
kelahiran prematur (kelahiran sebelum usia gestasi 37 minggu) dengan berat badan
yang sesuai masa kehamilan (SMK), atau karena bayi yang beratnya kurang dari berat
yang semestinya atau kecil masa kehamilan (KMK), atau keduanya (Novelinda
Permatasari 2017)
a) Klasifikasi
1. Berat Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) atau sangat kecil
Bayi sangat kecil (< 1500 gr atau < 32 minggu) sering terjadi masalah yang
berat yaitu :
(1) Sukar bernafas
(2) Kesukaran pemberian minum
(3) Icterus yang berat
(4) Infeksi
(5) Rentan hypothermi bila tidak dalam incubator
2. Bayi Prematur Sedang (BBLR)
Bayi premature sedang (33 – 38 minggu) atau BBLR (1500 – 2500 gram)
dapat mempunyai masalah segera setelah lahir. Asuhan yang diberikan
adalah :
(1) Jika bayi tidak ada kesukaran bernafas dan tetap hangat dengan metode
Kanguru:
- Rawat bayi tetap bersama ibunya
- Dorong ibu mulai menyusui dalam 1 jam pertama
(2) Jika bayi sianosis sianosis (biru) atau sukar bernafas (frekuensi 60 X/menit,
tarikan dinding dada ke dalam atau merintih) beri oksigen 0,5 l /menit lewat
kateter hidung atau nasal prong
(3) Jika suhu aksiler turun dibawah 35oC,hangatkan bayi segera (Politeknik
Kesehatan Kemenkes Palangka Raya 2019).

Berdasarkan umur kehamilan atau masa gestasi di bedakan menjadi:


1. Preterm infant atau bayi prematur adalah bayi yang lahir pada umur
kehamilan tidak mencapai 37 minggu
2. Term infant atau bayi cukup bulan (mature atau aterm) adalah bayi yang lahir
pada umur kehamilan 37-42 minggu.
3. Postterm infant atau bayi lebih bulan adalah bayi yang lahir pada umur
kehamilan sesudah 42 minggu.

Berdasarkan pengelompokkan tersebut bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat di


kelompokkan menjadi prematuritas murni dan dismaturitas :
1. Prematuritas murni adalah bayi dengan kehamilan kurang dari 37 minggu
dan berat badannya sesuai untuk masa kehamilan itu atau biasa di sebut
dengan neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan (NKB – SMK)
2. Dismaturitas adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari berat
badan seharusnya untuk kahamilan itu atau biasa di sebut neonatus kurang
bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB – SMK). Berarti bayi mengalami
gangguan intra uteri dan merupakan bayi yang kecil masa kehamilan (KMK).

b) Etiologi BBLR
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya BBLR adalah :
1. Faktor ibu
6
a. Penyakit
1) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia,perdarahan
antepartum, preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung kemih.
2) Menderita penyakit seperti malaria,infeksi menular seksual,
hipertensi, HIV/AIDS, TORCH, penyakit jantung.
3) Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol.
b. Umur ibu
Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia < 20
tahun atau lebih dari 35 tahun.
c. Jarak persalinan
Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun).
d. Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya.
e. Keadaan sosial ekonomi
1) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini
dikarenakan keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang.
Status ekonomi biasanya erat hubungannya dengan pendapatan
seseorang atau keluarga. Penghasilan yang terbatas membuat
kelangsungan kehamilanya membuat berbagai masalah kebidanan.
Ketergantungan sosial ekonomi pada keluarga menimbulkan stress
dan nilai gizi yang relatifrendah dapat menimbulkan berbagai
masalah kebidanan sehingga memudahkan terjadinya Berat Badan
Lahir Rendah (BBLR). Pada keadaan sosial ekonomi yang rendah
tentu sangat mempengaruhi berat badan lahir rendah dikarenakan
apabila seseorang termasuk ekonomi bawah maka orang tersebut
tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi yang baik bagi
kehamilannya. Nutrisi yang buruk dimulai dari pertumbuhan janin
dalam rahim akan mempengaruhi seluruh siklus kehidupan. Selain
itu keadaan ekonomi rendah berpengaruh pada pemberian
makanan pada janin berpengaruh pula pada pemeliharaan
kesehatan dan sanitasi linkungan yang akhirnya mempengaruhi
daya beli dan asupan makan untuk memenuhi kebutuhan akan
pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta pencegahan terhadap
penyakit infeksi yang berakibat pada pertumbuhan janin. Oleh
karena itu, berat lahir rendah (<2500 gram) sering digunakan
sebagai tanda untuk IUGR.Tingkat insiden berat lahir rendah
membantu untuk menggolongkan status gizi selama hidup janin.
Hal ini karena insiden berat lahir rendah pada bayi disebabkan oleh
faktor gizi
2) Aktivitas fisik yang berlebihan
Pada saat hamil ibu tetap perlu melakukan aktiftas fisik, Tetapi
terbatas pada aktifitas ringan. Aktifitas fisik yang berat bisa
menyebabkan keguguran kandungan, apalagi bila dilakukan pada
bulan-bulan awal kehamilan. Aktifitas fisik yang berat bisa
mengakibatkan kelelahan. Ibu hamil yang terlalu sering mengalami
kelelahan fisik, besarnya janin akan menyusut atau
berkembangnnya tidak baik.
2. Faktor janin
Faktor janin meliputi: kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi
sitomegali, rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar.
3. Faktor plasenta
Faktor plasenta disebabkan oleh: plasenta previa, solutio plasenta, sindrom
tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah dini.
7
4. Faktor lingkungan
Lingkungan yang berpengaruh antara lain: tempat tinggal di dataran tinggi,
terkena radiasi, serta terpapar zat beracun

c) Patofisiologi BBLR
Adapun beberapa patofisiologi BBLR, yaitu :
1. Keadaan sosial ekonomi secara tidak langsung mempengaruhi kejadian
BBLR, karena pada umumnya ibu dengan keadaan sosial ekonomi yang
rendah akan mempunyai intake makan yang lebih rendah baik secara
kualitas maupun secra kuantitas, yang berakibat kepada rendahnya status
gizi pada ibu hamil.
2. Gangguan psikologis selama kehamilan berhubungan dengan terjadinya
peningkatan indeks resistensi arteri uterina. Hal ini disebabkan karena
terjadi peningkatan konsentrasi noradrenalin dalam plasma, sehingga
aliran darah ke uterus menurun dan uterus sangat sensitif terhadap
noradrenalin sehingga menimbulkan efek vasokonstriksi. Mekanisme inilah
yang mengakibatkanterhambatnya proses pertumbuhan dan
perkembangan janin intra uterin sehingga terjadi BBLR.
3. Risiko paritas terjadi karena sistem reproduksi ibu sudah mengalami
penipisan akibat sering melahirkan. Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi
paritas ibu, kualitas endometrium akan semakin menurun. Kehamilan yang
berulang-ulang akan mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin dimana
jumlah nutrisi akan berkurang dibandingkan dengan kehamilan
sebelumnya.
4. Pajanan asap rokok terhadap kejadian BBLR dan berat plasenta dengan
beberapa mekanisme yaitu kandungan tembakau seperti nikotin, CO dan
polysiklik hydrokarbon, diketahui dapat menembus plasenta.
Carbonmonoksida mempunyai afinitas berikatan dengan hemoglobin
membentuk karboksihemoglobin, yang menurunkan kapasitas darah
mengangkut oksigen ke janin. Sedangkan nikotin menyebabkan
vasokontriksi arteri umbilikal dan menekan aliran darah plasenta.
Perubahan ini mempengaruhi aliran darah di plasenta. Kombinasi hypoxia
intrauterine dan plasenta yang tidak sempurna mengalirkan darah diyakini
menjadi penghambat pertumbuhan janin.
5. Anemia pada ibu hamil dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen ke
jaringan, selain itu juga dapat merubah struktur vaskularisasi plasenta, hal
ini akan mengganggu pertumbuhan janin sehingga akan memperkuat risiko
terjadinya persalinan prematur dan kelahiran bayi dengan berat badan
lahir rendah terutama untuk kadar hemoglobin yang rendah mulai dari
trimester awal kehamilan.
6. Implantasi plasenta abnormal seperti plasenta previa berakibat
terbatasnya ruang plasenta untuk tumbuh, sehingga akan mempengaruhi
luas permukaannya. Pada keadaan ini lepasnya tepi plasenta disertai
perdarahan dan terbentuknya jaringan parut sering terjadi, sehingga
meningkatkan risiko untuk terjadi perdarahan antepartum.Apabila
perdarahan banyak dan kehamilan tidak dapat dipertahankan, maka
terminasi kehamilan harus dilakukan pada usia gestasi berapapun. Hal ini
menyebabkan tingginya kejadian prematuritas yang memiliki berat badan
lahir rendah disertai mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
7. Pre-eklamsi ringan jarang sekali menyebabkan kematian dan bila tidak
diobati dapat menyebabkan kerusakan yang menetap pada sistem syaraf,
pembuluh darah atau ginjal dari ibu sehingga terjadi keterbelakangan pada
8
janin karena kurangnya aliran darah melalui plasenta atau kurangnya
oksigen pada janin yang menyebabkan BBLR.
8. Faktor janin berupa hidramnion atau polihidramnion, kehamilan ganda,
dan kelainan koromosom. Hidramnion merupakan kehamilan dengan
jumlah air ketuban lebih dari 2 liter. Produksi air ketuban berlebih dapat
merangsang persalinan sebelum kehamilan 28 minggu, sehingga dapat
menyebabkan kelahiran prematur dan dapat meningkatkan kejadian
BBLR.Pada kehamilan ganda berat badan kedua janin pada kehamilan tidak
sama, dapat berbeda 50-1000 gram, hal ini terjadi karena pembagian darah
pada plasenta untuk kedua janin tidak sama.
9. Pada BBLR ditemukan tanda dan gejala berupa disproporsi berat badan
dibandingkan dengan panjang dan lingkar kepala, kulit kering pecah-pecah
dan terkelupas serta tidak adanya jaringan subkutan. Karena suplai lemak
subkutan terbatas dan area permukaan kulit yang besar dengan berat
badan menyebabkan bayi mudah menghantarkan panas pada lingkungan.
Sehingga bayi dengan BBLR dengan cepat akan kehilangan panas badan dan
menjadi hipotermia.
10. Tipisnya lemak subkutan menyebabkan struktur kulit belum matang dan
rapuh. Sensitivitas kulit yang akan memudahkan terjadinya kerusakan
integritas kulit, terutama pada daerah yang sering tertekan dalam waktu
yang lama 24. Pada bayi prematuritas juga mudah sekali terkena infeksi,
karena daya tahan tubuh yang masih lemah, kemampuan leukosit masih
kurang dan pembentukan antibodi belum sempurna.
11. Kesukaran pada pernafasan bayi prematur dapat disebabakan belum
sempurnanya pembentukan membran hialin surfaktan paru yang
merupakan suatu zat yang dapat menurunkan tegangan dinding alveoli
paru. Defisiensi surfaktan menyebabkan gangguan kemampuan paru untuk
mempertahankan stabilitasnya, alveolus akan kembali kolaps setiap akhir
ekspirasi sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan
negative intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang
kuat. Hal tersebut menyebakan ketidakefektifan pola nafas. Alat
pencernaan bayi BBLR masih belum sempurna, lambung kecil, enzim
pencernaan belum matang. Selain itu jaringan lemak subkutan yang tipis
menyebabkan cadangan energi berkurang yang menyebabkan malnutrisi
dan hipoglikemi. Akibat fungsi organ-organ belum baik terutama pada otak
dapat menyebabkan imaturitas pada sentrum-sentrum vital yang
menyebabkan reflek menelan belum sempurna dan reflek menghisap
lemah. Hal ini menyebabkan diskontinuitas pemberian ASI.

d) Komplikasi yang dapat terjadi pada BBLR


Pada BBLR sistem fungsi dan struktur organ tubuh masih sangat
muda/imatur/prematur sehingga belum berfungsi optimal. Hal ini dapat
menimbulkan beberapa komplikasi, diantaranya :
1) Susunan saraf pusat Aktifitas reflek yang belum maksimal sehingga
proses menghisap dan menelan terganggu.
2) Komplikasi saluran pernafasan Akibat defisiensi surfaktan dalam alveoli
yang berfungsi mengembangkan alveoli dapat terjadi Idiopathic
Respiratory Distress Syndrome (IRDS).
3) Pusat thermoregulator belum sempurna Hal ini mengakibatkan BBLR
mudah mengalami hipotermia.
4) Metabolisme Produksi enzim glukoronil transfererase ke sel hati belum
9
sempurna sehingga mudah terjadi ikterus neonatorum.
5) Imunoglobulin masih rendah Hal ini mengakibatkan bayi BBLR mudah
terkena infeksi
6) Ginjal belum berfungsi sempuna Filtrasi gromerulus belum sempurna
sehingga mudah mengalami keracunan obat dan menderita asidosis
(metabolik) (Novelinda Permatasari 2017).

2. Data Subyektif (S)


A. Bayi prematur
1. Anamnesa
- Biodata
- Riwayat selama hamil : Komplikasi yang terjadi pada kehamilan ibu
seperti perdarahan antepartum, pre eklamsia berat, eklamsia, dan
kelahiran prematur
- Riwayat kesehatan : ada riwayat penyakit Seperti malaria, anemia,
sipilis, infeksi TORCH, dan lain-lain.
- Riwayat kelahiran : Prematur, hidramion, kehamilan
kembar/ganda (gemelli), kelainan kromosom
3. Data objektif (o)
Tanda klinis atau penampilan yang tampak sangat bervariasi, bergantung pada usia
kehamilan saat bayi dilahirkan. Makin prematur atau makin kecil umur kehamilan saat
dilahirkan maka makin besar pada perbedaannya dengan bayi yang lahir cukup bulan,
adapun tanda dan gejala bayi prematur adalah
- Umur kehamilan sama dengan atau kurang dari 37 minggu
- Berat badan sama dengan atau kurang dari 2500 gram
- Panjang badan sama dengan atau kurang dari 46 cm
- Kuku panjangnya belum melewati ujung jari.
- Batas dahi dan rambut kepala tidak jelas.
- Lingkar kepala sama dnegan atau kurang dari 33 cm.
- Lingkar dada sama dengan atau kurang dari 30 cm.
- Rambut lanugo masih banyak.
- Jaringan lemak subkutan tipis atau kurang.
- Tulang rawan daun telinga belum sempurna pertumbuhannya,
sehingga seolah- olah tidak teraba tulang rawan daun telinga.
- Tumit mengkilap, telapak kaki halus.
- Alat kelamin pada bayi laki- laki pigmentasi dan rugae pada
scrotum kurang. Testis belum turun kedalam skrotum. Untuk bayi
perempuan klitoris menonjol, labia minora belum tertutup oleh
labiya mayora.
- Tonus otot lemah, sehinga bayi kurang aktif dan pergerakannya
lemah.
- Fungsi saraf yang belum matang atau kurang matang,
mengakibatkan refleks hisap, menelan dan batuk masih lemah
atau tidak efektif , dan tangisnya lemah.
- Verniks kaseosa tidak ada atau sedikit.
4. Planning (P)
a. Pengaturan suhu tubuh bayi

10
b. Terapi oksigen dan bantuan oksigenasi (jika perlu)
c. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
d. Pemberian nutrisi yang cukup
e. Pencegahan dan penanganan infeksi.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada bayi BBLR menurut Nurarif, Amin Huda
dan Kusuma, Hardhi (2015) dalam Latifah (2017) :
a. Periksa jumlah sel darah putih : 18.000/mm3, netrofil meningkat sampai
23.000 – 24.000/mm3, hari pertama setelah lahir (menurun bila ada
sepsis)
b. Hematokrit (Ht) : 43 %- 61% ( peningkatan sampai 65% atau lebih
menandakan polisetmia, penurunan kadar menunjukan anemia atau
hemoragic perinatal ).
c. Hemoglobin (Hb) : 15-20 gr/dl kadar lebih rendah berhubungan dengan
anemis atau hemolisis berlebih ).
d. Bilirubin total : 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl 1-2 hari,
dan 12 mg/dl pada 3-5 hari.
e. Destrosix : tetes glukosa pertama selama 4-6 jam pertama setelah
kelahiran rata-rata 40-50 mg/dl meningkat 60-70 mg/dl pada hari ketiga.
f. Pemantauan elektrolit (Na, K, Cl ) : biasanya dalam batas normal pada
awalnya.
g. Pemeriksaan analisa gas darah.

BBLR
1. Data subjektif (S)
Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamnesis untuk menegakan
mencari etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR :
- Pada anamnese sering di jumpai adanya riwayat abortus partus
prematur dan lahir mati.
- Pergerakan janin yang pertama (quikening) terjadi lebih lambat,
gerakan janin lebih lambat, walaupun kehamilannya sudah agak
lanjut.
- Pembesaran uterus tidak sesuai tuanya kehamilan.
- Pertambahan berat badan ibu lambat.
- Sering di jumpai kehamilan dengan oligohidramnion atau bisa pula
hidramnion,
- hiperemesis gravidarum dan pada hamil lanjut dengan toxemia
gravidarum.
- Umur ibu
- Riwayat hari pertama hari terakhir haid
- Riwayat persalinan sebelumnya
- Paritas, jarak kelahiran sebelumnya
- Kenaikan berat badan selama hamil
- Aktivitas selama kehamilan
- Penyakit yang diderita selama hamil
11
- Obat-obatan yang diminum selama hamil
2. Objektif (O)
Yang dapat dijumpai saat pemeriksaan fisik pada bayi BBLR antara lain :
- Berat badan <2500 gram
- Verniks kaseosa sedikit/tidak ada.
- Jaringan lemak bawah kulit sedikti.
- Tulang tengkorak lunak mudah bergerak.
- Menangis lemah.
- Kulit tipis, merah dan transparan.
- Tonus otot hipotonik
- Tanda-tanda prematuritas (pada bayi kurang bulan)
- Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk
masa kehamilan)
3. Planning (P)
1) Mempertahankan Suhu Tubuh Dengan Ketat
Karena bayi BBLR mudah mengalami hipotermi, maka itu suhu tubuhnya harus
di pertahankan dengan ketat. Cara mempertahankan suhu tubuh bayi BBLR
dan penangannya jika lahir yaitu :
• Keringkan badan bayi BBLR dengan handuk hangat, Kering dan Bersih.
• Kain yang basah secepatnya di ganti dengan yang kering dan hangat dan
pertahankan tubuhnya dengan tetap
• Berikan lingkungan hangat dengan cara kontak kulit ke kulit dan bungkus
bayi BBLR dengan kain hangat
• Beri lampu 60 watt denga jarak minimal 60 cm dari bayi
• Tali pusat dalam keadaan bersih
2) Mencegah infeksi dengan ketat
Bayi BBLR sangat rentan akan infeksi, maka prinsip – prinsip pencegahan
infeksi termasuk cuci tangan sebelum memegang bayi.
3) Pengawasan Nutrisi
Refleks menelan bayi BBLR belum sempurna dan sangat lemah, sehingga
pemberian nutrisi harus di lakukan dengan cermat. Sebagai langkah awal jika
bayi BBLR bisa menelan adalah tetesi ASI dan jika bayi BBLR belum bisa
menelan segera rujuk.
4) Penimbangan Ketat
Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi / nutrisi bayi dan erat
kaitannya dengan daya tahan tubuh, oleh sebab itu penimbangan berat badan
harus dilakukan dengan ketat. Kebutuhan cairan untuk bayi baru lahir adalah
120-150 ml/kg/hari atau 100-120cal/kg/hari. Pemberian dilakukan secara
bertahap sesuai dengan kemampuan bayi untuk segera mungkin mencukupi
kebutuhan cairan/kalori. Selain itu kapasitas lambung bayi BBLR sangat kecil
sehingga minum harus sering di berikan tiap jam. Perhatikan apakah selama
pemberian minum bayi menjadi cepat lelah, menjadi biru atau perut
membesar / kembung (Rukiah, dkk, 2013: 245-246).
Pada BBLR terdapat pula perawatan Menggunakan Perawatan Bayi Lekat
((Kangaroo Mother Care), perawatan bayi lekat ini merupakan cara yang
murah, aman dan mudah diterapkan yaitu dengan cara mempertahankan suhu
tubuh bayi dengan cara kontak ke kulit seawal mungkin, mendukung ibu untuk
memberikan Asi, Manfaat KMC ini yaitu dapat menjaga ikatan emosi ibu dan
12
bayi, dapat melatih ibu cara menyusui yang baik dan benar, melatih bayi untuk
menghisap dan menelan secara teratur dan terkoordinasi.

4. Algoritma
A. Bayi Prematur

13
B. BBLR

14
5. Latihan Kasus

1) Bayi Ny. Ina baru lahir 15 menit yang lalu, dengan denyut jantung 50X/menit, tonus
otot sedikit fleksi,gerakan sedikit,suhu 36 derajat, respirasi tidak teratur lalu Bayi
Ny.ina belum cukup bulan dapat saat dilahirkan
Pertanyaanya: Bayi Cukup Bulan (BCB) Adalah BBLR dengan usia kehamilan
a. Kurang dari 42 miggu
b. Kurang dari 37 - 42 minggu
c. Kurang dari 28 miggu
d. Lebih dari 37 miggu
e. Semua Benar
jawaban: B

2) Bayi "B" Lahir prematur di BPM dengan usia kehamilan 35 minggu, BB: 2400 gram, P:
46 cm, RR, 20x/menit, dan APGAR skor 4-6
1) Keringkan bayi secepatnya dengan haduk hangat
2) Beri lampu 50 wattjarak 50 cm dari bayi
3) Berikan oksigen
4 Kepala bayi di tutupi handuk basah
5) Berikan ASI Secukupnya bila kondisi bayi memungkinkan
Asuhan apa yang harus diperhatikan oleh bidan pada keadaan BBLR dan berikan
jawaban yang benar adalah
a. 1,2 dan 4
b 3,4 dan 5
c. semua salah
d. 1, 3 dan 5
e. 1, 2 dan 3
jawaban: D

3) Bayi Ny. Liana baru lair dengan denyut jantung 50X/menit, tons otot sedikit fleksi,
gerakan sedikit, suhu 36 derajat, respirasi tidak teratur dengan BB: 2400 gram TB: 49
cm. Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusya merupakan
pengertian dari
a. Dismaturitas
b. Prematurias
c. Aterm
d. Posterm
e. Semua Benar
jawaban: A

4) Seorang ibu melahirkan bayi secara spontan, bayi menangis kuat, BB 2.700 gram PB
48 cm RR 40 x/menit, dengan usia kehamilan saat lahir 37 minggu. Dari hasil
pemeriksaan tidak ada kelainan.
Dari data di atas usia kehamilan dan bayi tersebut termasuk dalam kategori apa ?
a. Premature
b. Dismature
c. Matures
d. Post Maturus
e. Presipatatus
Jawaban : c. Matures
Pembahasan : Partus Matures/aterm adalah partus pada umur kehamilan 37-40
15
minggu, janin matur, berat badan diatas/ > 2. 500 gram.

16
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Bayi prematur adalah bayi yang lahir kurang bulan atau kurang dari 37 minggu yang
dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu usia ibu hamil, riwayat prematur dan
kehamilan dengan preeklamsia berat (PEB). Ketidakmatangan organ tubuh bayi
prematur menyebabkan sangat rentan terhadap masalah kesehatan sehingga
memerlukan perawatan yang intensif.
Bayi berat lahir rendah (BBLR) didefinisikan sebagai bayi dengan berat lahir kurang
dari 2.500 gram (Setyarini and Suprapti, 2016). BBLR dapat disebabkan oleh kelahiran
prematur (kelahiran sebelum usia gestasi 37 minggu) dengan berat badan yang sesuai
masa kehamilan (SMK), atau karena bayi yang beratnya kurang dari berat yang
semestinya atau kecil masa kehamilan (KMK), atau keduanya
1.2 Saran
Mengingat tingginya AKI dan AKB di Indonesia, maka kegawatdaruratan
maternal dan neonatal haruslah ditangani dengan cepat dan tepat. Penanganan yang
tepat dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga di Indonesia. Maka, dengan
mempelajari dan memahami kegawatdaruratan maternal dan neonatal, diharapkan
bidan dapat memberikan penanganan yang maksimal dan sesuai standar demi
kesehatan ibu dan anak

17
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Lina Dewi, E Sri Indiyah, and Susi Daryati. 2019. “Pengaruh Posisi Pronasi Pada Bayi
Prematur Terhadap Perubahan Hemodinamik.” Journal of Holistic Nursing Science 6(2): 52–
57.
Iskandar, Harris. 2017. “Modul 3 Modul 3.” Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangkaraya (Pppurg
1987): 1–26. file:///C:/Users/ASUS/Downloads/2.Modul Suhu dan Kalor.pdf, diakses pada
tanggal 27 maret 2020.
Novelinda Permatasari. 2017. “Hubungan Usia Ibu Saat Melahirkan Dengan Kejadian Berat Badan
Lahir Rendah Di RSUD Tidar Magelang.” Bencthnk poceapabhaaeopa 6: 1–8.
Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya. 2019. “Asuhan Kebidanan Kolaborasi Patologi Dan
Komplikasi.” : 1–33. http://opac-
kebidanan.poltekkesjogja.ac.id/hgz/files/digital/skripsi/SEPTIASIH W.pdf.
Tania, Murni, Sarkiah, and Winda Maolinda. 2020. “Asuhan Kebidanan Pada Bayi Baru Lahir Dengan
Kelahiran Prematur Naskah Publikasi Program Studi Diploma Tiga Kebidanan Fakultas
Kesehatan Universitas Sari Mulia Banjarmasin 2020.”

18
MAKALAH
KELAINAN KONGENITAL ATAU HASIL PEMERIKSAAN TIDAK NORMAL PADA BAYI
Bd.6.602

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan kolaborasi Pada Kasus Patologi
dan Komplikasi

Dosen Pegampu :
Henny Fitriani, S.SiT, M.Keb
Arlina Rachmaida, S.Tr.Keb, Bd, M.Keb
Rakhmawati, S.Tr.Keb

Disusun oleh kelompok 20 :


1. Putri Yani Siswanti (201091037)
2. Reva Duanda (201091039)
3. Wulandari (201091054)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK
JURUSAN KEBIDANAN PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan izin, rahmat dan kuasa-Nyalah
kami diberikan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “KELAINAN
KONGENITAL ATAU HASIL PEMERIKSAAN TIDAK NORMAL PADA BAYI”.
Pada kesempatan ini tak lupa kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak terutama kepada Dosen Pengajar Mata Kuliah Asuhan Kebidanan kolaborasi Pada Kasus
Patologi dan Komplikasi yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dan menambah wawasan serta
pengetahuan kita khususnya mengenai “KELAINAN KONGENITAL ATAU HASIL PEMERIKSAAN TIDAK
NORMAL PADA BAYI”.
Untuk itu kami berharap kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun. Semoga
makalah sederhana ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi siapapun yang membacanya.

Pontianak, Mei 2023


Penyusun

Kelompok 20

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................ i


Daftar Isi........................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
C. Tujuan ....................................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Ringkasan Tinjauan Teori ......................................................................................... 4
B. Data Subyektif ........................................................................................................... 8
C. Data Obyektif ............................................................................................................ 9
D. Penatalaksanaan ....................................................................................................... 12
E. Algoritma ................................................................................................................... 13
F. Latihan Kasus............................................................................................................. 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 15
B. Saran .......................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelainan kongenital adalah suatu kelainan pada struktur, fungsi maupun metabolisme
tubuh yang ditemukan pada neonatus. Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam
pertumbuhan struktur bayi yang timbul semenjak kehidupan hasil konsepsi sel telur.

Menurut data profil kesehatan Indonesia Angka Lahir Hidup pada tahun 2019 di
Indonesia yaitu 4.778.621 dan menurut profil kesehatan ibu dan anak pada tahun 2020,
persentase ibu yang melahirkan Anak Lahir Hidup (ALH) yang terakhir dilahirkan di Fasilitas
Kesehatan menurut provinsi, 2019-2020 di Jawa Barat yaitu : Tahun 2019 (85,41%), Tahun
2020 (86,88%). Anak Lahir Hidup adalah semua anak yang waktu lahir memeperlihatkan
tanda-tanda kehidupan, walaupun sesaat, seperti adanya detak jantung, bernafas, menangis
dan tanda-tanda kehidupan lainnya

World Health Organization menyatakan 260.000 kematian neonatal di seluruh dunia


(7%) disebabkan karena kelainan bawaan. Kematian akibat kelainan bawaan terjadi 1 dari 5
kasus kematian bayi dengan rata-rata 137.6 kematian per 100.000 kelahiran hidup, lebih tinggi
dari penyebab kematian yang lain seperti respiratory distress syndrome (25.3/100.000).
Diperkirakan 3,3 juta anak di bawah 5 tahun meninggal setiap tahun karena kelainan bawaan
dan terdapat sekitar 3,2 juta anak yang mampu bertahan tetapi hidup dengan berbagai
keterbatasan (Effendi 2020).

Sekitar 3% bayi baru lahir mempunyai kelainan bawaan (kongenital). Meskipun angka
ini termasuk rendah, akan tetapi kelainan ini dapat mengakibatkan angka kematian dan
kesakitan yang tinggi. Di negara maju, 30% penderita yang dirawat di rumah sakit anak terdiri
atas penderita kelainan kongenital dan akibat yang ditimbulkannya. Sepuluh persen kematian
periode perinatal dan 40% kematian periode satu tahun pertama disebabkan oleh kelainan
bawaan (Effendi 2020).
Di negara maju, 30% penderita yang dirawat di rumah sakit anak terdiri atas penderita
kelainan kongenital dan akibat yang ditimbulkannya. Sepuluh persen kematian periode
perinatal dan 40% kematian periode satu tahun pertama disebabkan oleh kelainan bawaan.

1
Kelahiran bayi dengan kelainan bawaan ini menimbulkan berbagai permasalahan
dalam keluarga meliputi perasaan tertekan, malu, rasa bersalah, serta masalah perhatian dan
pembiayaan yang lebih besar daripada anak normal. Kelainan bawaan yang terjadi dapat
disebabkan faktor genetik (defek gen tunggal, gangguan kromosom, multifaktorial) dan
nongenetik (teratogen dan defisiensi mikronutrien) (Effendi 2020).

Faktor risiko lainnya yang paling sering ialah usia ibu saat hamil mulai 20 tahun hingga
lebih. Khusus di Indonesia belum ada data bermakna yang menunjukkan faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian kelainan kongenital, namun dua artikel dari Indonesia
menunjukkan peningkatan kejadian kelainan kongenital pada ibu yang terinfeksi saat hamil.
Faktor risiko lainnya yang hanya didapatkan pada satu hingga dua jurnal saja seperti, paparan
rokok, konsumsi obat maupun narkoba, serta riwayat keluarga yang pernah mengalami
kejadian kelainan bawaan sebelumnya.

Hasil kajian juga mendapatkan beberapa diagnosis penyakit kelaianan kongenital yang
di golongkan dalam sistem organ, didominasi oleh sistem kardiovaskular. Simpulan penelitian
ini ialah faktor risiko yang berhubungan dengan kelainan kongenital ialah usia ibu,
multiparitas, riwayat abortus, kelainan kongenital bawaan pada kehamilan sebelumnya,
diabetes gestasional, paparan asap rokok, konsumsi alkohol, konsumsi obat-obatan, tidak
mengonsumsi asam folat, riwayat keluarga mengalami kelainan kongenital, adanya hubungan
darah antara ayah dan ibu, dan status social ekonomi rendah.

B. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari topik asuhan kebidanan kolaborasi tentang kelainan
kongenital atau pemeriksaan tidak normal pada bayi, mahasiswa diharapkan mampu
melakukan :
1. Pengkajian pada klien dengan kelainan kongenital
2. Analisis data pada dengan kelainan kongenital
3. Perencanaan asuhan pada klien dengan kelainan kongenital
4. Implementasi asuhan pada klien dengan kelainan kongenital dengan pendekatan
holistik
5. Evaluasi asuhan pada klien dengan pendekatan holistik
6. Pendokumentasian asuhan pada klien dengan pendekatan holistic
7. Kajian kasus-kasus patologi dan komplikasi
8. Reflektif praktik.

2
C. Pertanyaan Pendahuluan
Sebagai persiapan dalam pembelajaran, jawablah pertanyaan-pertanyaan
pendahuluan berikut ini :
1. Apa yang dimaksud dengan kelainan kongenital?
2. Apa saja faktor resiko terjadinya kelainan kongenital?
3. Apa saja klasifikasi kelainan kongenital?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus kelainan kongenital?

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ringkasan Tinjauan Teori


1. Definisi Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang


timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab
penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kejadian bayi baru
lahir dengan kelainan kongenital kurang lebih 15 per 1000 kelahiran. Kelainan kongenital
pada bayi baru lahir merupakan penyebab kematian nomor tiga dari kematian bayi dibawah
umur satu tahun (Ayu Murtini, Kompiang Sriasih, and Suarniti 2021).
Kelainan bawaan/kongenital merupakan penyebab kematian tersering ketiga
setelah prematuritas dan gizi buruk. Di negara maju, 30% dari seluruh penderita yang dirawat
di rumah sakit anak terdiri dari penderita kelainan kongenital seperti: hidrosefalus,
anencephalus, bibir/palatum sumbing, hipospadia, malformasi anorektal, hirschsprung,
fimosis, dan akibat yang ditimbulkannya (Effendi 2020).

2. Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko yang berperan dalam timbulnya kelainan kongenital adalah
sebagai berikut:
a. Nutrisi
Pangan yang dikonsumsi seorang wanita saat belum hamil dan saat hamil sangat
menentukan tingkat kesehatan janin yang dikandungnya. Janin mendapat nutrisi penuh dari
plasenta yang menempel pada rahim sang wanita. Calon ibu yang kekurangan asam folat dari
nutrisinya dapat menyebabkan janinnya lahir dengan cacat pada tabung saraf (neuraltube
defect). Kadar asam folat yang dibutuhkan oleh ibu hamil agar janinnya terhindar dari cacat
tabung saraf adalah 400 mikrogram per hari. Kadar ini bisa diperoleh dengan mengonsumsi
satu tablet asam folat per hari atau dengan mengonsumsi makanan tinggi asam folat
misalnya kacang-kacangan, buah jeruk, brokoli, dan bayam.
Selain asam folat, calon ibu yang kekurangan yodium akan menyebabkan janinnya
lahir dengan kadar yodium rendah sehingga janin tersebut akan tumbuh dengan disabilitas
intelektual. Sebuah penelitian di Australia menemukan asosiasi antara defisiensi yodium
ringan pada ibu selama masa kehamilan dengan gangguan memori dan kecepatan proses
mendengar pada anak yang dikandungnya. Beberapa bahan pangan mengandung

4
insektisida. Bila insektisida ini terkonsumsi oleh calon ibu secara rutin dan dalam jumlah yang
banyak dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin sehingga janin kemungkinan lahir
dengan kecacatan bawaan.
b. Konsumsi obat

Ibu yang mengonsumsi obat antimuntah Ondansetron pada trimester pertama


kehamilan memiliki risiko lebih besar melahirkan bayi dengan kelainan kongenital pada
jantung dan celah orofasial. Ondansetron dapat menyebabkan pemanjangan gelombang QT
dan aritmia jantung. Efek teratogeniknya timbul akibat aritmia jantung embrio, terganggunya
suplai darah dan oksigen pada embrio, serta kerusakan reperfusi. Namun, hingga saat ini
masih ada pro kontra terkait efek teratogenik Ondansetron karena ada penelitian yang tidak
menemukan asosiasi antara konsumsi Ondansetron pada ibu hamil dengan kelainan
kongenital. Ibu hamil sering menderita keputihan dan diobati dengan obat antifungal.
Namun, konsumsi obat antifungal Fluconazole diketahui dapat menimbulkan celah bibir dan
langit-langit (cleft lip and palate) serta kelainan pembuluh darah besar.
c. Usia orang tua

Usia ibu dan usia ayah yang tua saat terjadi pembuahan dapat meningkatkan risiko
timbulnya kelainan kongenital pada janin yang dikandung. Dalam sebuah penelitian di
Norwegia, ditemukan hubungan antara usia orang tua yang tua dengan timbulnya cleft
palate. Sebuah penelitian yang menggunakan data dari The National Birth Defects Prevention
Study mendapatkan hasil bahwa peningkatan usia ayah meningkatkan risiko timbulnya cleft
palate, hernia diafragma,dan kelainan kongenital pada jantung janin. Penelitian ini juga
menemukan bahwa usia ayah yang muda juga dapat menimbulkan gastroschisis.
Usia ayah yang termasuk tua pada saat pembuahan dikaitkan dengan
meningkatnya mutasi DNA dan aberasi kromosom dalam sperma. Pengaruh usia ayah
terhadap timbulnya kelainan kongenital masih kontroversial karena ada penelitian yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kedua hal tersebut. Salah satunya adalah
penelitian kohort retrospektif di Ohio yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
usia ayah yang tua dengan timbulnya kelainan kongenital.
d. Lingkungan
Seorang ibu hamil yang merokok dapat menyebabkan timbulnya kelainan kongenital
pada janin yang dikandungnya. Hal ini dibuktikan dalam suatu penelitian di Brazil dimana
ditemukan hubungan antara ibu yang merokok dengan timbulnya cleft lip palate pada
janinnya. Mekanisme mengapa merokok dapat menyebabkan kelainan kongenital pada janin
masih belum dimengerti. Ada dugaan bahwa paparan komponen rokok pada janin dalam

5
kandungan dapat menginduksi gengen dengan jalur metabolism tertentu, misalnya
glutathione S-transferase theta (GSTT1) atau nitric oxide synthase-3 (NOS3). Induksi GSTT1
kemungkinan menyebabkan defisiensi pada jalur detoksifikasi sehingga menimbulkan
kelainan kongenital.
Sebuah penelitian di China juga menguatkan hal tersebut dimana ibu hamil yang
terpapar asap rokok dari lingkungannya lebih besar kemungkinannya melahirkan janin
dengan kelainan jantung kongenital. Jika ibu terpapar polusi udara saat hamil maka janin
dapat mengalami kelainan bawaan, terutama pada bagian genital dan dinding perut. Salah
satu contoh kelainan kongenital pada bagian genital adalah hipospadia, yaitu posisi lubang
penis di bagian bawah batang penis, bukan pada bagian ujungnya. Upaya Pencegahan The
Commission on Social Determinants of Health memberikan tiga rekomendasi untuk menutup
celah ketidakseimbangan kesehatan pada generasi berikutnya. Rekomendasi tersebut adalah
meningkatkan kondisi kehidupan sehari-hari;
Mengatasi ketidakseimbangan penyebaran kekuasaan, ekonomi, dan sumber daya
alam; serta mengukur dan memahami masalah yang sebenarnya dan menentukan hasil dari
aksi yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Perkembangan otak pada masa awal
kehidupan anak yang akan berpengaruh sepanjang kehidupannya. Nutrisi yang baik sangat
penting dan dimulai sebelum kehamilan dengan pemberian nutrisi yang adekuat bagi ibu.
Nutrisi yang baik ini terus diberikan sebelum, selama, dan setelah kehamilan bagi
ibu dan anak, dan untuk anak diteruskan hingga tahun-tahun pertama kehidupan. Bila calon
ibu maupun ibu hamil tinggal di daerah pertanian yang sering menggunakan insektisida,
maka mereka sebaiknya tidak diizinkan bekerja dengan insektisida sehingga hanya sedikit
terpapar. Anggota keluarga perlu diberi edukasi terkait tidak merokok di sekitar ibu hamil
karena paparan asap rokok secara rutin dapat menyebabkan kelainan kongenital pada janin
(Ayu Murtini, Kompiang Sriasih, and Suarniti 2021).

3. Klasifikasi Kelainan Kongenital


Berikut ini terdapat beberapa macam pembagian kelainan kongenital, yaitu:
a. Pembagian kongenital menurut kemungkinan hidup bayi:
b. Kelainan kongenital yang tidak mungkin hidup, misalnya: anensefalus
c. Kelainan kongenital yang mungkin hidup, misalnya: Sindrom Down, spina bifida,
meningomielocele, fokomelia, hidrosefalus, labiognatopalatoschizis, kelainan jantung
bawaan, penyempitan saluran cerna (misalnya: hirschsprung), atresia ani.

6
Pembagian kelainan kongenital menurut bentuk/morfologinya, misalnya gangguan
pertumbuhan alat dalam tubuh, misalnya: ansefalus, mikrosefalus
a. Gangguan penyatuan jaringan tubuh, misalnya: labioskizis, palatoskizis, palatoskizis,
spinafibida.
b. Gangguan migrasi alat, misalnya: malrotasi usus, testis tidak turun.
c. Gangguan terbentuknya saluran-saluran, misalnya: hipospadia.
d. Gangguan invaginasi suatu jaringan, misalnya: atresia ani.

Pembagian kelainan kongenital berdasarkan yang memerlukan tindakan segera, karena


membahayakan dan memerlukan tindakan selekas-lekasnya, yaitu: hernia diafragmatika,
Sindrom Pierre Robin, atresia choanae, omfalokel (amniokel, eksomfalos), obstruksi
kongenital saluran pencernaan (misalnya: obstruksi pada esofagus, duodenum, ileum,
yeyunum dan kolon). Bisa juga karena faktor mekanis, yaitu faktor intrinsik atresia atau
stenosis pada salah satu bagian pencernaan dan faktor ekstrinsik: volvulus, malrotasi, hernia
inkarserata dan faktor fungsional gangguan syaraf otot- otot kolon (Penyakit hirschsprung)
(Intan 2020).

Pembagian kelainan kongenital yang dapatnmengakibatkan gangguan perkembangan,


yaitu (Effendi 2020).
a. Kelainan kromosom, yaitu: Sindrom Down, Sindrom Edward (Trisomi 18), Sindrom Patau
(Trisomi 13), Sindrom Turner.
b. Kelainan fasial, yaitu: celah bibir dan langit-langit (labiopalatoskizis), craniosynostosis.
c. Penyakit jantung bawaan.
d. Dysplasia skeletal, yaitu: akondroplasia, osteogenesis imperfecta.
e. Lain-lain: fenilketonuria (PKU), hipotiroidisme kongenital.

4. Insiden Kelainan Kongenital


Insiden atau angka kejadian kelainan kongenital atau kelainan bawaan yang
berat/besar berkisar 15 per 1000 kelahiran. Angka kejadian ini akan menjadi 4-5% bila bayi
diikuti terus sampai berusia 1 tahun (Siti rahayu 2019).
Angka kejadian dan jenis kelainan kongenital berbeda- beda untuk berbagai suku bangsa
dan negara, namun secara keseluruhan frekuensi kelainan kongenital hampir sama
jumlahnya.

7
5. Diagnosis Kelainan Kongenital
a. Diagnosis
Dengan kemajuan di bidang teknologi kedokteran maka pemeriksaan untuk
menemukan adanya kelainan kongenital dapat dilakukan baik sebelum lahir
(prenatal/antenatal) maupun setelah lahir (postnatal). Diagnosis prenatal/antenatal
telah lama dikaitkan sebagai salah satu sarana untuk mengenali kelainan atau cacat
genetik. Ketika suatu diagnosis untuk kelainan genetik diperlukan, perlu dipastikan
bahwa:
1) Terdapat indikasi pemeriksaan/tindakan diagnosis prenatal tersebut jelas.
2) Terdapat fasilitas pemeriksaan prenatal yang akurat dan dapat dipercaya
Sebelum dilakukan pemeriksaan prenatal, sebaiknya diberikan konseling
genetik. Konseling genetik merupakan proses komunikasi untuk ibu yang
menginginkan anak sehat, dengan adanya penderita/resiko menderita penyakit
genetik keluarga. Konseling genetik ini sebaiknya dilakukan pada ibu yang sudah siap
hamil. Adapun indikasi untuk konseling genetik dan pemeriksaan prenatal adalah:
1) Riwayat kehamilan dengan kelainan kongenital yang multipel, yang meliputi
berbagai sistem organ.
2) Aborsi berulang (abortus habitualis) yang tidak diketahui penyebabnya.
3) Riwayat kehamilan yang buruk, misalnya IUFD atau stillbirth/lahir mati yang tidak
diketahui penyebabnya
4) Riwayat keluarga dengan sindrom down/retardasi mental lainnya yang tidak
diketahui penyebabnya.
5) Umur ibu di atas 35 tahun atau umur ayah di atas 55 tahun.
6) Kelainan kromosom pada salah satu orang tua.
7) Ayah dan ibu (pasangan suami istri) ada hubungan keluarga.
8) Perkawinan lain yang pernah dengan anak cacat (Prasetyowati and Ridwan
2018).

B. Data Subjektif
1. Identitas ibu dan suami
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, agama, suku bangsa, pendidikan terakhir,
pekerjaan, alamat, penghasilan per bulan.
2. Antisipatori
a. Status Kesehatan
alasan kunjungan, kunjungan, keluhan utama, riwayat kesehatan.
b. Riwayat obstetri dan ginekologi

8
Riwayat haid, riwayat perkawinan, riwayat KB, riwayat kehamilan & persalinan yang
lalu, riwayat kehamilan & persalinan sekarang,
c. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia
nutrisi, eliminasi, oksigenasi, aktivitas dan istirahat.
d. Dukungan sosial
dukungan emosi, dukungan informasi, dukungan fisik, dukungan penghargaan.
e. Fungsi keluarga
f. Pengkajian budaya
g. Stress (Suparyanto dan Rosad (2019).

3. Identitas Bayi
a. Nama Bayi
Pengkajian nama bayi akan menghindarkan petugas terhadap kekeliruan.
b. Tangal Lahir
Tanggal lahir dapat menentukan usia bayi dan juga crosscheck usia bayi
c. Jenis Kelamin
Untuk memberikan informasi pada ibu dan keluarga serta memfokuskan
saat pemeriksaan genetalia.
d. Umur
Rentan usia bayi baru lahir adalah 0 sampai dengan 28 hari
e. Alamat
Untuk mempermudah dalam memberikan asuhan yang berkesinambungan.

C. Data Objektif
1) Pemeriksaan Umum
Denyut Jantung : Normalnya 130-160 kali/menit
Pernapasan : Normalnya 30-60 kali/menit
Suhu : Normalnya 36,5 - 37˚C
Berat Badan : Normalnya 2500-4000 gram
Panjang Badan : Antara 48-52 cm
2) Pemeriksaan Fisik
Kepala : Rabalah kepala sepanjang garis sutura dan fontanela, apakah ukuran dan
lebarnya normal. Sutura yang berjarak lebar menandakan bayi preterm, moulding yang
buruk atau hidrosefalus. Pada kelahiran normal letak kepala, sering terlihat tulang kepala

9
tumpang tindih yang disebut moulding/moulase. Keadaan ini normal kembali setelah
beberapa hari sehingga ubunubun mudah diraba. Lakukan pemeriksaan terhadap
adanya trauma kelahiran misalnya, caput suksedaneum, cephal hematoma, perdarahan
subaponeuroti/ fraktur tulang tengkorak. Perhatikan adanya kainan konginetal seperti
anensefali, mikrosefali, kraniotabes dan sebagainya.
Wajah : Wajah harus tampak simetris. Terkadang wajah bayi tampak asimetris hal ini
dikarenakan posisi bayi intrauteri. Perhatikan kelainan wajah yang khas seperti sindrom
down atau sindrom piere robin.
Mata : Periksa adanya glaukoma konginetal, Periksa adanya sekret pada mata,
konjungtivitis oleh kuman gonokokus dapat menjadi panoftalmia dan menyebabkan
kebutaan. Apabila ditemukan epichantus melebar kemungkinan bayi mengalami
sindrom down.
Hidung : Periksa adanya sekret yang mukopurulen yang terkadang berdarah, ini
kemungkinan adanya sifilis konginetal. Periksa adanya pernapasan cuping hidung, jika
cuping hidung mengembang menunjukan adanya gangguan pernapasan.
Mulut : Perhatikan mulut bayi, bibir harus berbentuk dan simetris. Ketidaksimetrisan
bibir mennjukan adanya palsi wajah. Mulut yang kecil menunjukan micrognatia. Periksa
adanya bibir sumbing, adanya gigi atau ranua (kristal lunak yang berasal dari dasar
mulut).
Telinga : Telinga diperiksa kanan dan kiri, periksa dan pastikan jumlah, bentuk dan
posisinya. Pada bayi cukup bulan, tulag rawan sudah matang. Daun telinga harus
berbentuk sempurna dengan lengkungan yang jelas dibagian atas.
Leher : Periksa adanya trauma leher menyebabkan kerusakan pada fleksus brakialis.
Lakukan perabaan untuk mengidentifikasi adanya pembengkakan periska adanya
pembesaran kelenjar tiroid dan vena jugularis.
Dada : Periksa kesimetrisan gerakan dada saat bernapas. Apabila tidak simetris
kemungkinan bayi mengalami Pneumonia toraks, paralisis diafragma atau hernia
diafragmatika.
Abdomen : Abdomen harus tampak bulat dan bergerak secara bersamaan dengan
gerakan dada saat bernapas. Kaji adanya pembengkakan. Jika perut sangat cekung
kemungkinan terdapat hernia diafagmatika.
Genetalia : Pada bayi laki-laki panjang penis 3-4 cm, lebar 1-1,3 cm. Periksa lubang uretra.
Pada bayi perempuan cukup bulan labia mayora menutupi labia minora. Lubang uretra

10
terpisah dengan lubang vagina. Terkadang tampak adanya sekret yang berdarah pada
vagina.
Anus dan Rektum : Periksa adanya kelainan atresia ani, kaji posisinya. Mekonium secara
umum keluar pada 24 jam pertama. Jika sampai 48 jam belum keluar kemungkinan
adanya mekonium plug syndrom, megakolon, atau obstruksi saluran pencernaan.
Ekstremitas : Pada tangan, kedua lengan bayi harus sama panjang, periksa dengan cara
meluruskan kedua lengan ke bawah. Perhatikan adanya polidaktili atau sidaktili.
Pada kaki dan tungkai, periksa kesimetrisan kaki dan tungkai. Periksa panjang kedua kaki
dengan meluruskan keduanya dan bandingkan. Kedua tungkai harus dapat bergerak
bebas. Kurang nya gerakan berkaitan dengan fraktur, kerusakan neurologis. Periksa
adanya polidaktil atau sindaktili pada jari kaki.
Kulit : Periksa adanya ruam dan bercak atau tanda lahir. Periksa adanya pembekakan.
Perhatikan adanya verniks kaseosa. Perhatikan adanya lanugo, jumlah yang banyak
terdapat pada bayi kurang bulan.
3) Pemeriksaan Neurologis
a) Reflek Terkejut/ Refleks Moro. Apabila bayi diberi sentuhan mendadak terutama
dengan jari dan tangan, maka akan menimbulkan gerakan terkejut.
b) Reflek Menggenggam. Apabila telapak tangan bayi disentuh dengan jari pemeriksa,
maka ia akan berusaha menggenggam jari pemeriksa
c) Reflek Mencari/ Refleks Rooting. Apabila pipi bayi disentuh oleh jari pemeriksa, maka
ia akan menoleh dan mencari sentuhan itu.
d) Reflek Mengisap/ Sucking. Refleks Apabila bayi diberi dot/puting, maka ia berusaha
mengisap
e) Reflek Glabella/ Glabellar Reflex. Apabila bayi disentuhpada daerah os glabella
dengan jari tangan pemeriksa, maka ia akan mengerutkan keningnya dan
mengedipkan mata.
f) Gland Refleks. Apabila bayi disentuh pada lipatan paha kanan dan kiri, maka ia
berusaha mengangkat kedua pahanya g) Tonick Neck Refleks Apabila bayi diangkat
dari tempat tidur, maka ia akan berusaha mengangkat kepalanya (Siti rahayu 2019).
4) Pemeriksaan Antropometri.
Berat badan : Pada bayi normal 2500-4000 gram
Panjang badan : pajang badan bayi lahir normal 48-52 cm
Lingkar kepala : lingkar kepala bayi normal 33-38 cm
Lingkar lengan atas : 10-11 cm

11
Ukuran Kepala Circumferensial (Keliling) :
a) Circumferensial fronto occipitalis : ± 34 cm
b) Circumferensia mento occipitalis : ± 35 cm
c) Circumferensia sub occipito bregmatika : ± 32 cm (Siti rahayu 2019)

D. Penatalaksanaan
Bidan atau perawat dalam menghadapi kelainan kongenital perlu berkonsultasi
dengan dokter atau tenaga ahli karena kelainan kongenital ada yang memerlukan tindakan
bedah, kelainan kongenital bersifat medik dan kelainan kongenital yang memerlukan koreksi
kosmetik. Setiap kelainan kongenital ditemukan pada bayi baru lahir, maka hal ini harus
diberitahukan kepada keluarga (orangtua) tentang kejadian ini dan jeni kemungkinan faktor
penyebab, langkah-langkah penanganan dan prognosisnya.
Kelainan bawaan ini harus terdeteksi segera saat lahir untuk diinformasikan kepada
dokter kebidanan dan keluarga pasien, sedangkan segi penatalaksanaan terbagi atas:
1. Kelainan bawaan yang memerlukan tindakan emergensi
2. Kelainan bawaan yang tidak memerlukan tindakan emergensi, tetapi pendekatan secara
cermat.
a. Pendekatan dismorfologi
b. Pendekatan sindromologi
c. Pendekatan konseling genetik
d. Konseling prakonsepsi (Effendi 2020).

12
E. Algoritma

Sumber: (Prasetyowati and Ridwan 2018)

F. Latihan Kasus
1. Seorang bayi usia 6 hari, sejak lahir bayi tersebut mengalami atresia ani, bayi tersebut
tidak bisa buang air besar. Apa penyebab pada kasus tersebut?
a. Gangguan organogenesis
b. Gangguan bakteri

13
c. Gangguan usus
d. Gangguan parasit

Jawaban: A

dr. Chandra Adi Purwadi, Sp. BA mengungkapkan bahwa atresia ani adalah suatu
kelainan bawaan yang sudah terjadi sejak bayi berada di dalam kandungan. Gangguan ini
diakibatkan oleh gagalnya pembentukan calon saluran pembuangan sehingga saluran
tidak terbentuk dan hanya tertutup oleh kulit.

2. Seorang bayi usia 2 bulan, sejak lahir bayi tersebut mengalami hernia diafragmatika dan
terlihat sesak nafas. Tanda dari kasus tersebut adalah?
a. Suara nafas terdengar dari paru-paru
b. Suara nafas terdengar pada perut
c. Terdengar bising usus pada daerah dada
d. Terdengar bising usus pada daerah abdomen

Jawaban: C

Tanda-tanda hernia diafragmatika adalah?

1) Kesulitan bernapas atau sesak pada bayi.


2) Napas bayi cenderung cepat.
3) Denyut jantung bayi cepat.
4) Kulit bayi terlihat berwarna kebiruan.
5) Perkembangan dada bayi terlihat tidak normal dengan satu sisi dada lebih besar
daripada yang lain.
6) Terdengar suara bising dari dada
7) Perut bayi tampak cekung

14
BAB III

PENUTUP

A. Latar Belakang
Kelainan bawaan (kongenital) merupakan suatu tantangan bagi tenaga kesehatan di
seluruh dunia terutama dalam era beyond MDGs. Berbagai variasi etiologis, keilmuan dasar,
klinis dan penatalaksanaan, merupakan hal yang penting dikenali oleh segenap lapisan
pelayanan kesehatan. Konseling genetik yang merupakan salah satu upaya penatalaksanaan
kelainan bawaan dengan sebab genetik merupakan langkah pendukung yang penting untuk
bayi maupun keluarganya.
Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir yang
dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun nongenetik.
Kelahiran bayi dengan kelainan bawaan ini menimbulkan berbagai permasalahan
dalam keluarga meliputi perasaan tertekan, malu, rasa bersalah, serta masalah perhatian dan
pembiayaan yang lebih besar daripada anak normal. Kelainan bawaan yang terjadi dapat
disebabkan faktor genetik (defek gen tunggal, gangguan kromosom, multifaktorial) dan
nongenetik (teratogen dan defisiensi mikronutrien) (Effendi 2020).

B. Saran
Bayi yang lahir dengan kelainan kongenital memerlukan perhatian lebih dan
penanganan segera oleh tenaga kesehatan, pentingnya melakukan fisik menyeluruh saat lahir
dapat mendeteksi kelainan kongenital. Tenaga kesehatan harus lebih teliti dalam mendeteksi
adanya kelainan kongenital pada bayi baru lahir.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ayu Murtini, Ni Ketut, Ni Gusti Kompiang Sriasih, and Ni Wayan Suarniti. 2021. “Gambaran
Karakteristik Ibu Dengan Bayi Yang Mengalami Kelainan Kongenital Di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar Tahun 2020.” Jurnal Ilmiah Kebidanan (The Journal Of Midwifery) 9(2): 116–
22.
Effendi, Sjarif Hidayat. 2020. “Penanganan Bayi Dengan Kelainan Kongenital Dan Konseling Genetik.”
Simposium Building Golden Generation: 132–62.
Intan, Karlina. 2020. “Faktor Penyebab Kejadian Kongenital Di RSUP DR Hasan Sadikin Kota Bandung
Tahun 2018 Karlina Intan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Rajawali Bandung.” Jurnal Kesehatan
Rajawali 10(2): 36–51.
Prasetyowati, and M Ridwan. 2018. “Hipotiroid Kongenital.” Buku Ajar Endokrinologi Anak VIII(2):
256–77.
Siti rahayu. 2019. “Sop Pemeriksaan Fisik Bayi Baru Lahir.” Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Jember: 1–5.
Suparyanto dan Rosad (2019. 2018. “Laporan Pendahuluan” Suparyanto dan Rosad (2019 5(3): 248–
53.

16
MAKALAH
KANKER SERVIKS
Bd.6.606

Dosen Pengampu :
1. Henny Fitriani, S.SiT., M.Keb
2. Arlina Rachmaida, S.Tr.Keb., Bd, M.Keb
3. Rakhmawati, S.Tr.Keb

DISUSUN OLEH KELOMPOK 22:


1. Saryani (201091042)
2. Stevani Andriyani (201091048)
3. Windi Melania (201091053)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PONTIANAK
JURUSAN KEBIDANAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa karna telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas
rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kanker Serviks” dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang di tekuni oleh kami. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, 7 April 2023


Penyusun

Kelompok 22

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Pembelajaran ................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 4
2.1 Ringkasan Tinjauan Teori ......................................................................... 4
2.2 Data Subyektif ........................................................................................ 10
2.3 Data Obyektif ......................................................................................... 10
2.4 Penatalaksanaan ...................................................................................... 11
2.5 Algoritma................................................................................................ 14
2.6 Latihan Kasus ......................................................................................... 15
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 17
3.2 Saran ....................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker serviks merupakan kanker kedua yang paling banyak diderita
oleh perempuan di Dunia. Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks
menduduki urutan ke-7 secara global dalam segi angka kejadian (urutan ke-6
di negara kurang berkembang) dan urutan ke-8 sebagai penyebab kematian
(menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama dengan angka mortalitas akibat
leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di negara berkembang,
dan urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global (Riani &
Ambarwati, 2020).
Kasus kanker serviks di Indonesia menduduki peringkat kedua setelah
kanker payudara yang diderita oleh perempuan dengan angka kejadian
23,4/100.000 penduduk dengan rata-rata kematian sebesar 13,9/100.000
penduduk. Menurut perkiraan Kementrian Kesehatan RI saat ini, jumlah
perempuan penderita baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000
penduduk dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks (Riani &
Ambarwati, 2020).
Terdapat beberapa factor penyebab meningkatnya kasus kanker serviks.
Salah satu penyebab terbesar kanker serviks yaitu 90% merupakan infeksi dari
Human Papiloma Virus (HPV). Dan penyebab 10% lainnya terjadi karena
kebiasaan merokok, riwayat aktifitas seksual pada usia muda/ multipartner,
penggunaan alat kontrasepsi pil dalam jangka panjang, melahirkan lebih dari
lima kali, gangguan imunitas, serta tidak melakukan screening IVA/ papsmear
secara berkala (Riani & Ambarwati, 2020).
Kanker serviks menjadi salah sayu penyebab morbiditas dan mortalitas
di dunia. Dengan meningkatnya umur harapan hidup perempuan maka akan
menurunkan insident kejadian kanker serviks, dimana terdapat hubungan
antara peningkatan umur dengan kejadian kanker. Kanker serviks akan sangat
mempengaruhi hidup penderita dan keluarga. Pengobatan dan perawatan
penderita kanker serviks akan membutuhkan banyak biaya yang tidak sedikit.

1
Hal ini akan mempengaruhi sector pembiayaan kesehatan oleh pemerintah
(Riani & Ambarwati, 2020).
Keterlambatan diagnose kanker serviks menjadi salah satu penyebab
meningkatnya kasus kanker serviks. Kurangnya pengetahuan akan kanker
servik menjdai salah satu penyebab yang mempengaruhi persepsi dan sikap
masyarakat untuk melakukan deteksi dini kanker serviks. Diharapkan dengan
melakukan deteksi secara dini jika terdapat kelainan pada serviks maka akan
mendapat penanganan dan pengobatan lebih dini. Sehingga dapat
meningkatkan harapan hidup perempuan, yaitu sebesar 85%-95% (Riani &
Ambarwati, 2020).
Perempuan menyadari dirinya menderita kanker serviks setelah
mengalami perdarahan vagina abnormal atau keputihan patologis. Pada
tahapan ini biasanya kanker serviks sudah memasuki stadium lanjut. Pada
tahap akhir kanker serviks menunjukkan adanya obstruksi ureter akibat
penyebaran sel kanker ke arah parametrium, sehingga dapat menyebabkan
uremia yang merupakan penyebab paling umum kematian pada kanker serviks
(Chan et al., 2019).
Tujuan secara umum penyusunan makalah ini adalah sebagai upaya
menurunkan angka kejadian dan angka kesakitan yang disebabkan oleh kanker
serviks di masyarakat sehingga dapat meningkatkan derajat hidup perempuan.
Secara khusus tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan pengetahuan tentang
kanker serviks, memberikan kesadaran akan pentingnya pemeriksaan IVA/
papsmear untuk deteksi dini kanker serviks pada mitra (Riani & Ambarwati,
2020).

1.2 Rumusan Masalah


Sebagai persiapan dalam pembelajaran, jawablah pertanyaan-
pertanyaan pendahuluan berikut ini :
1. Apa yang dimaksud dengan kanker serviks ?
2. Apa saja tanda dan gejala kanker serviks ?
3. Apa saja penyebab kanker serviks ?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus kanker serviks ?

2
1.3 Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari topik asuhan kebidanan kolaborasi pada kasus
persalinan prematur, mahasiswa diharapkan mampu melakukan :
1. Pengkajian pada pasien dengan kanker serviks dengan pendekatan
holistik
2. Analisis data pada pasien dengan kanker serviks dengan pendekatan
holistik
3. Penatalaksanaan dan perencanaan asuhan pada klien dengan kanker
serviks dengan pendekatan holistik
4. Implementasi asuhan pada pasien dengan kanker serviks dengan
pendekatan holistik
5. Evaluasi asuhan pada pasien dengan kanker serviks dengan pendekatan
holistik
6. Pendokumentasian asuhan pada pasien dengan kanker serviks dengan
pendekatan holistik
7. Kajian kasus-kasus patologi dan komplikasi
8. Reflektif praktik

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ringkasan Tinjauan Teori


A. Definisi
Kanker serviks merupakan tumor ganas primer yang berasal dari
kanalis servikalis dan atau porsio. Kanker ini akan mengenai epitel
serviks, dimana sel epitel akan mengalami penggandaan dan berubah
secara patologi anatomi. Sifat sel yang ganas dapat mengalami penyebaran
ke organ – organ lain melalui jalur limfe dan vascular (Wardani, 2021).
Kanker serviks adalah salah satu kanker yang paling mematikan di
dunia - tetapi kanker yang dapat dicegah dengan mudah, bertanggung
jawab atas lebih dari 2.700 kematian setiap tahunnya, dimana 85% terjadi
di negara berkembang. Ini adalah kanker keempat yang paling sering
didiagnosis pada wanita pada 2012, dengan perkiraan 527.600 kasus baru
di seluruh dunia. Dengan meningkatnya populasi dan penuaan, jumlah
kasus kanker serviks diperkirakan akan meningkat 1,5 kali lipat pada
tahun 2030 (Wardani, 2021).
Kanker serviks disebabkan oleh adanya infeksi Human Papiloma
Virus (HPV). HPV merupakan suatu virus DNA yang digolongkan
berdasarkan sekuens DNA nya dan di bagi menjadi risiko onkogenik
tinggi dan rendah. HPV onkogenik risiko tinggi saat ini menjadi satu-
satunya faktor yang sangat penting pada proses keganasan serviks. Dari
segi patologi serviks, HPV tipe 16 dan 18 adalah yang paling penting
dimana HPV 16 bertanggung jawab atas 60% kasus kanker serviks
sedangkan HPV 18 mencakup 10% kasus. Beberapa tipe lainnya masing-
masing berkontribusi pada kurang dari 5% kasus. Beberapa faktor lain
yang berpengaruh yaitu perilaku seksual, seperti umur pertama kali
melakukan hubungan seksual, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti
pasangan, jumlah paritas, sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan
pendidikan yang rendah serta kebiasaan merokok (Wardani, 2021).

4
Karsinoma serviks timbul dari epitel serviks yang normal melalui
perkembangan progresif lesi intraepitel serviks (CIN) derajat rendah dan
derajat tinggi, di mana infeksi hrHPV memainkan peran kausatif utama.
Infeksi HPV ke dalam epitel serviks menyebabkan perubahan genom
inang, yang menyebabkan penekanan berbagai faktor penekan tumor di
satu sisi, dan menginduksi fungsi yang menyimpang dari berbagai faktor
pemicu tumor di sisi lain. Ketidak seimbangan dan ketidakstabilan yang
disebabkan oleh berbagai faktor onkogenik yang diturunkan oleh hrHPV
ke dalam genom inang dari sel epitel serviks mendorong perkembangan
neoplastik selama bertahun-tahun (Wardani, 2021).

B. Faktor Risiko
(Mardiah, 2019)
1. Makanan, bahwa defisiensi asam folat dapat meningkatkan risiko
terjadinya displasia ringan atau sedang
2. Gangguan Sistem Kekebalan,Wanita yang terkena gangguan
kekebalan atau kondisi imunosupres (penurunan kekebalan tubuh)
dapat terjadi peningkatan terjadi kanker serviks. Pada wanita
imunokompromise (penurunan kekebalan tubuh) seperti transplasi
ginjal, dan HIV, dapat mengakselerasi. (mempercepat) pertumbuhan
sel kanker dari nonivasif menjadi invasive (tidak ganas menjadi
ganas)
3. Pemakaian kontrasepsi, Penggunaan kontrasepsi pil dalam jangka
waktu lama yaitu lima tahun lebih menigkatkan risiko kanker servik
sebanyak 2 kali
4. Ras, Ras dapat menyebabkan risiko kanker serviks karena ras akan
mempengaruhi faktor sosio ekonomi
5. Polusi Udara menyebabkan kanker leher rahim. Sumber dari polusi
udara ini disebut oleh dioksin. Zat dioksin ini tentu merugikan tubuh.
Adapun sumber dioksin berasal dari beberapa faktor antara lain :
(Mardiah, 2019)
a. Pembakaran limbah padat dan cair

5
b. Pembakaran sampah, asap, kendaraan bermotor
c. Asap hasil industry
d. Kebakaran hutan dan asap rokok
6. Wanita merokok
Tembakau adalah bahan pemicu kaeriogenik yang paling baik. Asap
rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heteroyclic
nitrosamines. Wanita perokok memilih risiko 2 kali lebih besar
terkena kanker serviks dibanding dengan wanita yang tidak merokok.
Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan
status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus.
Sebuah penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita perokok
mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok.
Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks disamping
merupakan kokarsinogen infeksi virus.
7. Penggnaan celana ketat
Bahan celana yang dapat menghambat pernafasan daerah vulva dan
vagina misalnya nilon. Penggunaan celana yang ketat dengan waktu
yang lama akan mengakibatkan kanker serviks karena didalam vagina
banyak mikroorganisme yang sebagian besar tidak membahayakan
tubuh. Hanya sekitar 5% saja pathogen yang berkeliaran dalam
vagina. Namun jika ada bakteri dari luar yang menyerang maka
bakteri tersebut dapat berkembang
8. Umur
Kisaran 35-55 tahun memiliki risiko 2-3 kali lipat untuk menderita
kanker serviks. Semakin tua umur seseorang akan mengalami proses
kemunduran.
9. Paritas
Ini berbahaya dengan memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang atau
jarak persalinan terlampau dekat. Sebab dapat menyebabkan
timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada kanker serviks. Jika
jumlah anak yang dilahirkan melalui jalan normal banyak dapat
menyebabkan terjadinya perubahan sel abnormal dari epitel pada

6
serviks dan dapat berkembang menjadi ganas.
10. Umur saat menikah
Dalam kenyataan menikah dini mempunyai beberapa risiko. Selain
perubahan sel-sel serviks. Hal ini karena pada saat usia muda, sel-sel
rahim masih belum matang. Selsel tersebut tidak rentan terhadap zat-
zat yang dibawa oleh sperma

C. Tanda Gejala
a) Tanda gejala awal kanker serviks : (Wardani, 2021)
1. Keluar lendir berwarna darah, cair, encer, yang banyak
2. Metroragia atau bercak yang tidak nyeri, intermiten- gejala klasik,
3. Perdarahan atau bercak postcoitus/post-douching,
b) Tanda gejala lanjut kanker serviks : (Wardani, 2021)
1. Episode perdarahan menjadi lebih berat, sering, dan lama
2. Perdarahan post menopause
3. Nyeri panggul atau kaki dikarenakan keterlibatan ureter, dinding
pelvis, rute saraf sciatica
4. Disuria, hematuria-keterlibatan kandung kemih
5. Perdarahan dari rectum, sulit BAB - keterlibatan rectum
6. Edema ekstremitas bawah (satu/keduanya) dikarenakan blockade
vena atau limfatik oleh penyakit dinding pelvis
7. Pada kasus yang berat uremia sebagai hasil dari kompresi ureter
bilateral dan kerusakan ginjal karena tekanan balik

D. Skrinning Kanker Serviks


Diketahui bahwa skrining kanker serviks dapat mengurangi
kejadian dan kematian akibat kanker serviks. Penggabungan tes HPV ke
dalam strategi skrining kanker serviks memiliki potensi untuk
memungkinkan peningkatan deteksi penyakit dan peningkatan interval
skrining (mengurangi kerugian seperti dampak psikososial dari skrining
positif, kunjungan dan prosedur klinis tambahan, dan pengobatan lesi yang
ditujukan untuk sembuh) (Chan et al., 2019).

7
Meskipun modalitas skrining yang direkomendasikan untuk kanker
serviks telah berkontribusi pada penurunan kejadian kanker serviks dan
kematian akibat kanker serviks, manfaat skrining kanker serviks belum
sepenuhnya terwujud di negara-negara dengan program skrining yang
tidak terorganisir dengan baik untuk wanita berisiko. Rekomendasi terbaru
WHO untuk skrining dan pencegahan kanker serviks dirangkum dalam
tabel berikut ini : (Chan et al., 2019)

Tabel 1. Rekomendasi WHO tentang skrinning dan pencegahan kanker


serviks untuk negara berpenghasilan rendah dan menengah

E. Pencegahan Kanker Serviks


1. Pencegahan Primer Kanker Serviks dengan Vaksinasi HPV
Tiga vaksin HPV profilaksis saat ini tersedia di banyak negara
untuk digunakan pada wanita dan pria dari usia 9 tahun untuk
pencegahan lesi prakanker dan kanker yang mempengaruhi serviks,
vulva, vagina, dan anus yang disebabkan oleh jenis HPV risiko tinggi:
bivalen vaksin yang menargetkan HPV16 dan HPV18; vaksin
kuadrivalen yang menargetkan HPV6 dan HPV11 selain HPV16 dan
HPV18; dan vaksin nonavalen yang menargetkan HPV tipe 31, 33, 45,
52, dan 58 selain HPV 6, 11, 16, dan 18. Dua vaksin terakhir

8
menargetkan kutil anogenital yang disebabkan oleh HPV 6 dan 11
selain yang disebutkan di atas lesi ganas dan premaligna. Semua
vaksin adalah vaksin rekombinan yang terdiri dari partikel mirip virus
(VLP) dan tidak menular karena tidak mengandung DNA virus. Untuk
anak perempuan dan laki-laki berusia 9-14 tahun, jadwal dua dosis (0.
5 mL pada 0 dan 5-13 bulan) dianjurkan. Jika dosis vaksin kedua
diberikan lebih awal dari 5 bulan setelah dosis pertama, dosis ketiga
dianjurkan. Untuk mereka yang berusia 15 tahun ke atas, dan untuk
pasien immunocompromised tanpa memandang usia, rekomendasinya
adalah untuk tiga dosis (0,5 mL pada 0, 1, 6 bulan).5 WHO telah
meninjau data terbaru dan menyimpulkan bahwa tidak ada masalah
keamanan terkait vaksin HPV (Chan et al., 2019).

2. Penceghan Sekunder Kanker Serviks dengan Deteksi Dini dan


Pengobatan Lesi Prakanker
Beberapa strategi skrining serviks telah ditemukan efektif
dalam berbagai pengaturan. Tes yang digunakan secara luas termasuk
sitologi konvensional (Pap smear), dalam beberapa tahun terakhir
sitologi berbasis cairan dan pengujian HPV, dan, dalam LMICs,
inspeksi visual dengan asam asetat (VIA). Meskipun Pap smear masih
menjadi alat skrining utama dan dikaitkan dengan penurunan risiko
kanker serviks yang substansial di negara-negara berpenghasilan
tinggi, Pap smear merupakan teknologi yang menantang dan intensif
sumber daya yang tidak dapat dilakukan di rangkaian sumber daya
rendah di mana organisasi yang buruk, cakupan, dan kurangnya
penjaminan mutu menghasilkan hasil yang kurang optimal. Dalam
konteks penurunan infeksi HPV setelah diperkenalkannya vaksin HPV
satu dekade yang lalu, banyak sistem perawatan kesehatan sedang
mempertimbangkan untuk beralih ke skrining HPV primer, yang
memiliki sensitivitas lebih tinggi dan nilai prediksi negatif, dan
memungkinkan interval skrining yang diperpanjang atau bahkan
skrining seumur hidup tunggal dengan rendah -pengaturan sumber

9
daya. IVA melibatkan deteksi lesi acetowhite pada serviks 1 menit
setelah aplikasi 3% -5% asam asetat segar. Mengingat kelayakannya,
skrining VIA telah diterapkan secara luas dalam pengaturan
oportunistik di banyak negara berpenghasilan rendah di Afrika Sub-
Sahara. Pendekatan kunjungan tunggal (SVA) untuk skrining dengan
diagnosis dan pengobatan yang cepat meningkatkan cakupan,
meniadakan kunjungan tindak lanjut, dan membuat skrining lebih
hemat waktu dan biaya di rangkaian dengan sumber daya rendah.
Skrining IVA sangat cocok untuk SVA dan WHO telah mengeluarkan
pedoman untuk menerapkan SVA di lingkungan kesehatan masyarakat
(Chan et al., 2019).

2.2 Data Subyektif


(Wardani, 2021)
1. Anamnesa
a. Biodata
b. Riwayat penyakit
c. Keluhan
Merasakan sakit perut terus-menerus, kesulitan BAB, ada flek
gumpalan hitam kecoklatan, terdapat lendir, darah segar, lemas dan
gemetar
d. Riwayat menikah
e. Riwayat persalinan
f. Riwayat menstruasi

2.3 Data Obyektif


(Wardani, 2021)
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. Pemeriksaan TTV
d. Pemeriksaan Head To To

10
Biasa pada pemeriksaan kepala / leher didapatkan normocephal,
conjungtiva anemis (+), bibir kering dan pucat (+), tungkai oedema,
vagina tidak rata, portio berdungkul, PPV (+) tidak aktif, dan sting (+)
2. Pemeriksaan Penunjang
a. DL
b. Faal
c. Ginjal
d. Elektrolit
e. Biopsi Lesi

2.4 Penatalaksanaan
Pada tahun 2018, telah direvisi oleh Komite Onkologi Ginekologi
FIGO untuk memungkinkan pencitraan dan temuan patologis, jika tersedia,
untuk menetapkan stadium, yaitu : (Bhatla et al., 2018)
1. Kanker stadium IA1, pengobatan pilihan adalah operasi. Histerektomi
abdominal total, histerektomi radikal, dan atau konisasi adalah prosedur
yang diterima. Diseksi kelenjar getah bening biasanya tidak diperlukan
jika kedalaman invasi
2. Kanker stadium IA2, histerektomi radikal (tipe II) dengan diseksi nodus
panggul. Tahap IB1: Histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis
bilateral dengan atau tanpa kemoradioterapi. Terapi radiasi: Iradiasi
panggul sinar eksternal yang dikombinasikan dengan aplikasi intrakaviter
dosis 80Gy ke titik A
3. Stadium IB2 dan IIA: Opsi perawatan meliputi; terapi radiasi radikal
(eksternal plus intracavitary), histerektomi radikal (Tipe III) dengan
limfadenektomi bilateral pelvis, kemoradioterapi
4. Kanker stadium IIB, III A atau IIIB. Radioterapi adalah pengobatan
pilihan. Hasil dari banyak percobaan acak besar menunjukkan peningkatan
dramatis dalam tingkat kelangsungan hidup dengan kemoradioterapi. Oleh
karena itu, penggunaan kemoterapi berbasis Cisplatin dalam kombinasi
dengan radiasi telah menjadi standar perawatan untuk manajemen wanita
dengan tingkat lanjut secara local

11
5. Stadium IVA dan IVB, untuk penyakit lanjut terapi paliatif adalah
andalan. Terapi radiasi untuk mengontrol perdarahan dan nyeri, sedangkan
kemoterapi sistemik untuk penyakit diseminata direkomendasikan
Penatalaksanaan kanker serviks terutama dilakukan dengan pembedahan atau
terapi radiasi, dengan kemoterapi sebagai tambahan dalam pengobatan, yaitu :
(Bhatla et al., 2018)
1. Manajemen Bedah
Pembedahan cocok untuk tahap awal, di mana konisasi serviks,
histerektomi sederhana total, atau histerektomi radikal dapat dipilih sesuai
dengan stadium penyakit dan luasnya penyebaran kanker serviks.
Tabel 2. Jenis Histerektomi Radikal
Histerektomi Histerektomi Histerektomi
Ekstrafasial Radikal Modifikasi Radikal
Sederhana
Klasifikasi
piver dan Tipe I Tipe II Tipe III
Rutledge
Klasifikasi
querleu dan Tipe A Tipe B Tipe C
morrow
Tahap IB1 dan
Ketika IA1 dengan
Indikasi Tahap IA1 IB2, dipilih
LVSI. IA2
Tahap IIA
Rahim dan
Dihapus Dihapus Dihapus
leher
Penghapusan Penghapusan Penghapusan
Ovarium
opsional opsional opsional
Seperempat atas
Batas vagina Tidak ada 1-2 cm
hingga sepertiga
Terowongan
Terowongan melalui
Ureter Tidak dimobilisasi melalui ligament
ligament yang luas
yang luas
Dibagi dimana ureter Terbagi pada
Ligamen Terbagi pada batas
transit ligament yang dinding samping
Kardinal uterus dan serviks
luas panggul
Ligamentum Terbagi pada batas Terbagi dekat
Sebagian dihapus
uterosacral servikal asal sacral
Kandung Dimobilisasi kedasar Dimobilisasi Dimobilisasi ke
kemih kandung kemih kevagina bagian atas vagina tengah
Dimobilisasi Dimobilisasi
Dubur Tidak dimobilisasi
dibawah serviks dibawah serviks
Pendekatan Laparotomi atau Laparotomi atau Laparotomi atau
bedah laparoskopi atau laparoskopi atau laparoskopi atau

12
bedah robotik bedak robotic bedah robotik

2. Manajemen Radiasi
Terlepas dari peran kuratifnya, radioterapi juga dapat digunakan
sebagai terapi tambahan untuk pasien yang dioperasi untuk mencegah
kekambuhan lokoregional, meskipun peran "modalitas ganda" tidak
dianjurkan, dan sebagai terapi paliatif untuk mengurangi gejala yang
menyusahkan pada pasien dengan penyakit lanjut yang tidak dapat
disembuhkan. Meskipun pembedahan lebih disukai untuk penyakit tahap
awal, dalam kasus dengan kontraindikasi untuk pembedahan atau anestesi,
radioterapi memberikan hasil yang sama baiknya dalam hal kontrol lokal
dan kelangsungan hidup. Keputusan pengobatan harus dibuat atas dasar
faktor klinis, anatomi, dan sosial. Pasien dengan penyakit mikroinvasif
telah diobati dengan terapi radiasi intracavitary (ICRT) saja dengan hasil
yang baik jika pembedahan dikontraindikasikan karena masalah medis.
Pasien tertentu dengan penyakit Tahap IB1 yang sangat kecil (kurang dari
1 cm) juga dapat diobati dengan ICRT saja, terutama jika ada
kontraindikasi relatif terhadap terapi radiasi sinar eksternal (EBRT)
(Bhatla et al., 2018).

Tabel 3. Desain Lapangan untuk Radioterapi Panggul


Bidang Berbatasan Negara
Bidang AP-
Unggul Interspace vertebra L4-5
PA
2 cm dibawah foramen obturator atau
Lebih rendah 3 cm dibawah penyakit distal, mana
yang lebih rendah
1,5 – 2 cm lateral ke pinggiran
Menyamping
panggul
Bidang
Unggul Sama seperti bidang AP-PA
lateral
Lebih
Sama seperti bidang AP-PA
Rendah
Depan Didepan simfisis pubis
0,5 cm posterior ke batas anterior
persimpangan vertebra S2/3. Dapat
Belakang
mencakup seluruh sacrum untuk
menutupi luasnya penyakit

13
2.5 Algoritma

14
2.6 Latihan Kasus
1. Ny. E P6A1 usia 40 tahun datang ke TPMB untuk melakukan pemeriksaan
darah. Dari hasil pemeriksaan didapatkan K/U pucat, TD 90/60 mmHg, N
88 x/m, S 37 C, Hb 7 Gr%. Hasil anamnesa pasien mengalami keputihan
yang berbau kurang lebih 1 tahun belakangan dan akhir-akhir ini
mengalami perdarahan saat berhubungan intim serta nyeri perut yang
hebat dan sulit BAB. Kemungkinan diagnose Ny. E adalah…
A. Cervisitis
B. Polip serviks
C. Ca. serviks
D. Radang panggul
E. Kista
Jawaban : C
2. 1. Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina
2. Timbul nyeri Panggul atau perut dibagian bawah bila ada radang
panggul
3. Timbulnya pendarahan setelah masa menopause
4. Terjadi kram di daerah ekstremitas
5. Terjadi sesak napas ketika beraktivitas berat
Menurut data di atas manakah yang termasuk manifestasi klinis dari
kanker serviks ?
A. 1,2,3
B. 1,2
C. 1,3
D. Semua salah
E. Semua benar
Jawaban : A

3. Ny. S berumur 25 tahun datang ke puskesmas ingin melakukan skrining


kanker serviks. Dibawah ini tes deteksi dini kanker serviks yang dapat ia
lakukan yaitu :
a. Pap smear
b. Test IVA

15
c. Pemeriksaan HPV DNA
d. USG
Manakah pemeriksaan untuk kanker serviks…
A. a, b, dan c
B. a, b, dan d
C. Semua benar
D. a dan d
E. a, c, dan d
Jawaban : A

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kanker serviks merupakan tumor ganas primer yang berasal dari
kanalis servikalis dan atau porsio. Kanker ini akan mengenai epitel serviks,
dimana sel epitel akan mengalami penggandaan dan berubah secara patologi
anatomi. Sifat sel yang ganas dapat mengalami penyebaran ke organ – organ
lain melalui jalur limfe dan vascular (Wardani, 2021).
Kanker serviks disebabkan oleh adanya infeksi Human Papiloma Virus
(HPV). HPV merupakan suatu virus DNA yang digolongkan berdasarkan
sekuens DNA nya dan di bagi menjadi risiko onkogenik tinggi dan rendah.
HPV onkogenik risiko tinggi saat ini menjadi satu- satunya faktor yang sangat
penting pada proses keganasan serviks. Dari segi patologi serviks, HPV tipe
16 dan 18 adalah yang paling penting dimana HPV 16 bertanggung jawab atas
60% kasus kanker serviks sedangkan HPV 18 mencakup 10% kasus. Beberapa
tipe lainnya masing-masing berkontribusi pada kurang dari 5% kasus.
Beberapa faktor lain yang berpengaruh yaitu perilaku seksual, seperti umur
pertama kali melakukan hubungan seksual, aktivitas seksual yang sering
berganti-ganti pasangan, jumlah paritas, sosial ekonomi yang rendah berkaitan
dengan pendidikan yang rendah serta kebiasaan merokok (Wardani, 2021).

3.2 Saran
Mengingat tingginya AKI dan AKB di Indonesia, maka
kegawatdaruratan maternal dan neonatal haruslah ditangani dengan cepat dan
tepat. Penanganan yang tepat dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga di
Indonesia. Maka, dengan mempelajari dan memahami kegawatdaruratan
maternal dan neonatal, diharapkan bidan dapat memberikan penanganan yang
maksimal dan sesuai standar demi kesehatan ibu dan anak

17
DAFTAR PUSTAKA

Bhatla, N., Aoki, D., Sharma, D. N., & Sankaranarayanan, R. (2018). Cancer of
the cervix uteri. International Journal of Gynecology and
Obstetrics, 143, 22–36. https://doi.org/10.1002/ijgo.12611
Chan, C. K., Aimagambetova, G., Ukybassova, T., Kongrtay, K., & Azizan, A.
(2019). Human Papillomavirus Infection and Cervical Cancer:
Epidemiology, Screening, and Vaccination - Review of Current
Perspectives. Journal of Oncology, 2019.
https://doi.org/10.1155/2019/3257939
Mardiah, M. (2019). Studi Literatur Predisposisi Dan Upaya Prevensi Keganasan
Kanker Serviks Pada Wanita. Proceeding Of Sari Mulia University
Midwifery National Seminars, 1(1), 167–176.
https://doi.org/10.33859/psmumns.v0i1.39
Riani, E. N., & Ambarwati, D. (2020). Early Detection Kanker Serviks Sebagai
Upaya Peningkatan Derajat Hidup Perempuan. SELAPARANG
Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan, 3(2), 144.
https://doi.org/10.31764/jpmb.v3i2.1883
Wardani, R. P. (2021). Seorang Wanita Berusia 59 Tahun P 5-5 Dengan Kanker
Serviks: Laporan Kasus. Proceeding Book National Symposium
and Workshop Continuing Medical Education XIV., 951–959.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/handle/11617/12803

18
MAKALAH
KANKER SERVIKS
Bd.6.606

Dosen Pengampu :
1. Henny Fitriani, S.SiT., M.Keb
2. Arlina Rachmaida, S.Tr.Keb., Bd, M.Keb
3. Rakhmawati, S.Tr.Keb

DISUSUN OLEH KELOMPOK 22:


1. Saryani (201091042)
2. Stevani Andriyani (201091048)
3. Windi Melania (201091053)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN PONTIANAK
JURUSAN KEBIDANAN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa karna telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas
rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kanker Serviks” dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan terkait bidang yang di tekuni oleh kami. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami terima demi
kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, 7 April 2023


Penyusun

Kelompok 22

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Pembelajaran ................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 4
2.1 Ringkasan Tinjauan Teori ......................................................................... 4
2.2 Data Subyektif ........................................................................................ 10
2.3 Data Obyektif ......................................................................................... 10
2.4 Penatalaksanaan ...................................................................................... 11
2.5 Algoritma................................................................................................ 14
2.6 Latihan Kasus ......................................................................................... 15
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 17
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 17
3.2 Saran ....................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker serviks merupakan kanker kedua yang paling banyak diderita
oleh perempuan di Dunia. Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks
menduduki urutan ke-7 secara global dalam segi angka kejadian (urutan ke-6
di negara kurang berkembang) dan urutan ke-8 sebagai penyebab kematian
(menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama dengan angka mortalitas akibat
leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di negara berkembang,
dan urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global (Riani &
Ambarwati, 2020).
Kasus kanker serviks di Indonesia menduduki peringkat kedua setelah
kanker payudara yang diderita oleh perempuan dengan angka kejadian
23,4/100.000 penduduk dengan rata-rata kematian sebesar 13,9/100.000
penduduk. Menurut perkiraan Kementrian Kesehatan RI saat ini, jumlah
perempuan penderita baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000
penduduk dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks (Riani &
Ambarwati, 2020).
Terdapat beberapa factor penyebab meningkatnya kasus kanker serviks.
Salah satu penyebab terbesar kanker serviks yaitu 90% merupakan infeksi dari
Human Papiloma Virus (HPV). Dan penyebab 10% lainnya terjadi karena
kebiasaan merokok, riwayat aktifitas seksual pada usia muda/ multipartner,
penggunaan alat kontrasepsi pil dalam jangka panjang, melahirkan lebih dari
lima kali, gangguan imunitas, serta tidak melakukan screening IVA/ papsmear
secara berkala (Riani & Ambarwati, 2020).
Kanker serviks menjadi salah sayu penyebab morbiditas dan mortalitas
di dunia. Dengan meningkatnya umur harapan hidup perempuan maka akan
menurunkan insident kejadian kanker serviks, dimana terdapat hubungan
antara peningkatan umur dengan kejadian kanker. Kanker serviks akan sangat
mempengaruhi hidup penderita dan keluarga. Pengobatan dan perawatan
penderita kanker serviks akan membutuhkan banyak biaya yang tidak sedikit.

1
Hal ini akan mempengaruhi sector pembiayaan kesehatan oleh pemerintah
(Riani & Ambarwati, 2020).
Keterlambatan diagnose kanker serviks menjadi salah satu penyebab
meningkatnya kasus kanker serviks. Kurangnya pengetahuan akan kanker
servik menjdai salah satu penyebab yang mempengaruhi persepsi dan sikap
masyarakat untuk melakukan deteksi dini kanker serviks. Diharapkan dengan
melakukan deteksi secara dini jika terdapat kelainan pada serviks maka akan
mendapat penanganan dan pengobatan lebih dini. Sehingga dapat
meningkatkan harapan hidup perempuan, yaitu sebesar 85%-95% (Riani &
Ambarwati, 2020).
Perempuan menyadari dirinya menderita kanker serviks setelah
mengalami perdarahan vagina abnormal atau keputihan patologis. Pada
tahapan ini biasanya kanker serviks sudah memasuki stadium lanjut. Pada
tahap akhir kanker serviks menunjukkan adanya obstruksi ureter akibat
penyebaran sel kanker ke arah parametrium, sehingga dapat menyebabkan
uremia yang merupakan penyebab paling umum kematian pada kanker serviks
(Chan et al., 2019).
Tujuan secara umum penyusunan makalah ini adalah sebagai upaya
menurunkan angka kejadian dan angka kesakitan yang disebabkan oleh kanker
serviks di masyarakat sehingga dapat meningkatkan derajat hidup perempuan.
Secara khusus tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan pengetahuan tentang
kanker serviks, memberikan kesadaran akan pentingnya pemeriksaan IVA/
papsmear untuk deteksi dini kanker serviks pada mitra (Riani & Ambarwati,
2020).

1.2 Rumusan Masalah


Sebagai persiapan dalam pembelajaran, jawablah pertanyaan-
pertanyaan pendahuluan berikut ini :
1. Apa yang dimaksud dengan kanker serviks ?
2. Apa saja tanda dan gejala kanker serviks ?
3. Apa saja penyebab kanker serviks ?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus kanker serviks ?

2
1.3 Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari topik asuhan kebidanan kolaborasi pada kasus
persalinan prematur, mahasiswa diharapkan mampu melakukan :
1. Pengkajian pada pasien dengan kanker serviks dengan pendekatan
holistik
2. Analisis data pada pasien dengan kanker serviks dengan pendekatan
holistik
3. Penatalaksanaan dan perencanaan asuhan pada klien dengan kanker
serviks dengan pendekatan holistik
4. Implementasi asuhan pada pasien dengan kanker serviks dengan
pendekatan holistik
5. Evaluasi asuhan pada pasien dengan kanker serviks dengan pendekatan
holistik
6. Pendokumentasian asuhan pada pasien dengan kanker serviks dengan
pendekatan holistik
7. Kajian kasus-kasus patologi dan komplikasi
8. Reflektif praktik

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ringkasan Tinjauan Teori


A. Definisi
Kanker serviks merupakan tumor ganas primer yang berasal dari
kanalis servikalis dan atau porsio. Kanker ini akan mengenai epitel
serviks, dimana sel epitel akan mengalami penggandaan dan berubah
secara patologi anatomi. Sifat sel yang ganas dapat mengalami penyebaran
ke organ – organ lain melalui jalur limfe dan vascular (Wardani, 2021).
Kanker serviks adalah salah satu kanker yang paling mematikan di
dunia - tetapi kanker yang dapat dicegah dengan mudah, bertanggung
jawab atas lebih dari 2.700 kematian setiap tahunnya, dimana 85% terjadi
di negara berkembang. Ini adalah kanker keempat yang paling sering
didiagnosis pada wanita pada 2012, dengan perkiraan 527.600 kasus baru
di seluruh dunia. Dengan meningkatnya populasi dan penuaan, jumlah
kasus kanker serviks diperkirakan akan meningkat 1,5 kali lipat pada
tahun 2030 (Wardani, 2021).
Kanker serviks disebabkan oleh adanya infeksi Human Papiloma
Virus (HPV). HPV merupakan suatu virus DNA yang digolongkan
berdasarkan sekuens DNA nya dan di bagi menjadi risiko onkogenik
tinggi dan rendah. HPV onkogenik risiko tinggi saat ini menjadi satu-
satunya faktor yang sangat penting pada proses keganasan serviks. Dari
segi patologi serviks, HPV tipe 16 dan 18 adalah yang paling penting
dimana HPV 16 bertanggung jawab atas 60% kasus kanker serviks
sedangkan HPV 18 mencakup 10% kasus. Beberapa tipe lainnya masing-
masing berkontribusi pada kurang dari 5% kasus. Beberapa faktor lain
yang berpengaruh yaitu perilaku seksual, seperti umur pertama kali
melakukan hubungan seksual, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti
pasangan, jumlah paritas, sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan
pendidikan yang rendah serta kebiasaan merokok (Wardani, 2021).

4
Karsinoma serviks timbul dari epitel serviks yang normal melalui
perkembangan progresif lesi intraepitel serviks (CIN) derajat rendah dan
derajat tinggi, di mana infeksi hrHPV memainkan peran kausatif utama.
Infeksi HPV ke dalam epitel serviks menyebabkan perubahan genom
inang, yang menyebabkan penekanan berbagai faktor penekan tumor di
satu sisi, dan menginduksi fungsi yang menyimpang dari berbagai faktor
pemicu tumor di sisi lain. Ketidak seimbangan dan ketidakstabilan yang
disebabkan oleh berbagai faktor onkogenik yang diturunkan oleh hrHPV
ke dalam genom inang dari sel epitel serviks mendorong perkembangan
neoplastik selama bertahun-tahun (Wardani, 2021).

B. Faktor Risiko
(Mardiah, 2019)
1. Makanan, bahwa defisiensi asam folat dapat meningkatkan risiko
terjadinya displasia ringan atau sedang
2. Gangguan Sistem Kekebalan,Wanita yang terkena gangguan
kekebalan atau kondisi imunosupres (penurunan kekebalan tubuh)
dapat terjadi peningkatan terjadi kanker serviks. Pada wanita
imunokompromise (penurunan kekebalan tubuh) seperti transplasi
ginjal, dan HIV, dapat mengakselerasi. (mempercepat) pertumbuhan
sel kanker dari nonivasif menjadi invasive (tidak ganas menjadi
ganas)
3. Pemakaian kontrasepsi, Penggunaan kontrasepsi pil dalam jangka
waktu lama yaitu lima tahun lebih menigkatkan risiko kanker servik
sebanyak 2 kali
4. Ras, Ras dapat menyebabkan risiko kanker serviks karena ras akan
mempengaruhi faktor sosio ekonomi
5. Polusi Udara menyebabkan kanker leher rahim. Sumber dari polusi
udara ini disebut oleh dioksin. Zat dioksin ini tentu merugikan tubuh.
Adapun sumber dioksin berasal dari beberapa faktor antara lain :
(Mardiah, 2019)
a. Pembakaran limbah padat dan cair

5
b. Pembakaran sampah, asap, kendaraan bermotor
c. Asap hasil industry
d. Kebakaran hutan dan asap rokok
6. Wanita merokok
Tembakau adalah bahan pemicu kaeriogenik yang paling baik. Asap
rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heteroyclic
nitrosamines. Wanita perokok memilih risiko 2 kali lebih besar
terkena kanker serviks dibanding dengan wanita yang tidak merokok.
Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan
status imun lokal sehingga dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus.
Sebuah penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita perokok
mengandung nikotin dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok.
Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks disamping
merupakan kokarsinogen infeksi virus.
7. Penggnaan celana ketat
Bahan celana yang dapat menghambat pernafasan daerah vulva dan
vagina misalnya nilon. Penggunaan celana yang ketat dengan waktu
yang lama akan mengakibatkan kanker serviks karena didalam vagina
banyak mikroorganisme yang sebagian besar tidak membahayakan
tubuh. Hanya sekitar 5% saja pathogen yang berkeliaran dalam
vagina. Namun jika ada bakteri dari luar yang menyerang maka
bakteri tersebut dapat berkembang
8. Umur
Kisaran 35-55 tahun memiliki risiko 2-3 kali lipat untuk menderita
kanker serviks. Semakin tua umur seseorang akan mengalami proses
kemunduran.
9. Paritas
Ini berbahaya dengan memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang atau
jarak persalinan terlampau dekat. Sebab dapat menyebabkan
timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada kanker serviks. Jika
jumlah anak yang dilahirkan melalui jalan normal banyak dapat
menyebabkan terjadinya perubahan sel abnormal dari epitel pada

6
serviks dan dapat berkembang menjadi ganas.
10. Umur saat menikah
Dalam kenyataan menikah dini mempunyai beberapa risiko. Selain
perubahan sel-sel serviks. Hal ini karena pada saat usia muda, sel-sel
rahim masih belum matang. Selsel tersebut tidak rentan terhadap zat-
zat yang dibawa oleh sperma

C. Tanda Gejala
a) Tanda gejala awal kanker serviks : (Wardani, 2021)
1. Keluar lendir berwarna darah, cair, encer, yang banyak
2. Metroragia atau bercak yang tidak nyeri, intermiten- gejala klasik,
3. Perdarahan atau bercak postcoitus/post-douching,
b) Tanda gejala lanjut kanker serviks : (Wardani, 2021)
1. Episode perdarahan menjadi lebih berat, sering, dan lama
2. Perdarahan post menopause
3. Nyeri panggul atau kaki dikarenakan keterlibatan ureter, dinding
pelvis, rute saraf sciatica
4. Disuria, hematuria-keterlibatan kandung kemih
5. Perdarahan dari rectum, sulit BAB - keterlibatan rectum
6. Edema ekstremitas bawah (satu/keduanya) dikarenakan blockade
vena atau limfatik oleh penyakit dinding pelvis
7. Pada kasus yang berat uremia sebagai hasil dari kompresi ureter
bilateral dan kerusakan ginjal karena tekanan balik

D. Skrinning Kanker Serviks


Diketahui bahwa skrining kanker serviks dapat mengurangi
kejadian dan kematian akibat kanker serviks. Penggabungan tes HPV ke
dalam strategi skrining kanker serviks memiliki potensi untuk
memungkinkan peningkatan deteksi penyakit dan peningkatan interval
skrining (mengurangi kerugian seperti dampak psikososial dari skrining
positif, kunjungan dan prosedur klinis tambahan, dan pengobatan lesi yang
ditujukan untuk sembuh) (Chan et al., 2019).

7
Meskipun modalitas skrining yang direkomendasikan untuk kanker
serviks telah berkontribusi pada penurunan kejadian kanker serviks dan
kematian akibat kanker serviks, manfaat skrining kanker serviks belum
sepenuhnya terwujud di negara-negara dengan program skrining yang
tidak terorganisir dengan baik untuk wanita berisiko. Rekomendasi terbaru
WHO untuk skrining dan pencegahan kanker serviks dirangkum dalam
tabel berikut ini : (Chan et al., 2019)

Tabel 1. Rekomendasi WHO tentang skrinning dan pencegahan kanker


serviks untuk negara berpenghasilan rendah dan menengah

E. Pencegahan Kanker Serviks


1. Pencegahan Primer Kanker Serviks dengan Vaksinasi HPV
Tiga vaksin HPV profilaksis saat ini tersedia di banyak negara
untuk digunakan pada wanita dan pria dari usia 9 tahun untuk
pencegahan lesi prakanker dan kanker yang mempengaruhi serviks,
vulva, vagina, dan anus yang disebabkan oleh jenis HPV risiko tinggi:
bivalen vaksin yang menargetkan HPV16 dan HPV18; vaksin
kuadrivalen yang menargetkan HPV6 dan HPV11 selain HPV16 dan
HPV18; dan vaksin nonavalen yang menargetkan HPV tipe 31, 33, 45,
52, dan 58 selain HPV 6, 11, 16, dan 18. Dua vaksin terakhir

8
menargetkan kutil anogenital yang disebabkan oleh HPV 6 dan 11
selain yang disebutkan di atas lesi ganas dan premaligna. Semua
vaksin adalah vaksin rekombinan yang terdiri dari partikel mirip virus
(VLP) dan tidak menular karena tidak mengandung DNA virus. Untuk
anak perempuan dan laki-laki berusia 9-14 tahun, jadwal dua dosis (0.
5 mL pada 0 dan 5-13 bulan) dianjurkan. Jika dosis vaksin kedua
diberikan lebih awal dari 5 bulan setelah dosis pertama, dosis ketiga
dianjurkan. Untuk mereka yang berusia 15 tahun ke atas, dan untuk
pasien immunocompromised tanpa memandang usia, rekomendasinya
adalah untuk tiga dosis (0,5 mL pada 0, 1, 6 bulan).5 WHO telah
meninjau data terbaru dan menyimpulkan bahwa tidak ada masalah
keamanan terkait vaksin HPV (Chan et al., 2019).

2. Penceghan Sekunder Kanker Serviks dengan Deteksi Dini dan


Pengobatan Lesi Prakanker
Beberapa strategi skrining serviks telah ditemukan efektif
dalam berbagai pengaturan. Tes yang digunakan secara luas termasuk
sitologi konvensional (Pap smear), dalam beberapa tahun terakhir
sitologi berbasis cairan dan pengujian HPV, dan, dalam LMICs,
inspeksi visual dengan asam asetat (VIA). Meskipun Pap smear masih
menjadi alat skrining utama dan dikaitkan dengan penurunan risiko
kanker serviks yang substansial di negara-negara berpenghasilan
tinggi, Pap smear merupakan teknologi yang menantang dan intensif
sumber daya yang tidak dapat dilakukan di rangkaian sumber daya
rendah di mana organisasi yang buruk, cakupan, dan kurangnya
penjaminan mutu menghasilkan hasil yang kurang optimal. Dalam
konteks penurunan infeksi HPV setelah diperkenalkannya vaksin HPV
satu dekade yang lalu, banyak sistem perawatan kesehatan sedang
mempertimbangkan untuk beralih ke skrining HPV primer, yang
memiliki sensitivitas lebih tinggi dan nilai prediksi negatif, dan
memungkinkan interval skrining yang diperpanjang atau bahkan
skrining seumur hidup tunggal dengan rendah -pengaturan sumber

9
daya. IVA melibatkan deteksi lesi acetowhite pada serviks 1 menit
setelah aplikasi 3% -5% asam asetat segar. Mengingat kelayakannya,
skrining VIA telah diterapkan secara luas dalam pengaturan
oportunistik di banyak negara berpenghasilan rendah di Afrika Sub-
Sahara. Pendekatan kunjungan tunggal (SVA) untuk skrining dengan
diagnosis dan pengobatan yang cepat meningkatkan cakupan,
meniadakan kunjungan tindak lanjut, dan membuat skrining lebih
hemat waktu dan biaya di rangkaian dengan sumber daya rendah.
Skrining IVA sangat cocok untuk SVA dan WHO telah mengeluarkan
pedoman untuk menerapkan SVA di lingkungan kesehatan masyarakat
(Chan et al., 2019).

2.2 Data Subyektif


(Wardani, 2021)
1. Anamnesa
a. Biodata
b. Riwayat penyakit
c. Keluhan
Merasakan sakit perut terus-menerus, kesulitan BAB, ada flek
gumpalan hitam kecoklatan, terdapat lendir, darah segar, lemas dan
gemetar
d. Riwayat menikah
e. Riwayat persalinan
f. Riwayat menstruasi

2.3 Data Obyektif


(Wardani, 2021)
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. Pemeriksaan TTV
d. Pemeriksaan Head To To

10
Biasa pada pemeriksaan kepala / leher didapatkan normocephal,
conjungtiva anemis (+), bibir kering dan pucat (+), tungkai oedema,
vagina tidak rata, portio berdungkul, PPV (+) tidak aktif, dan sting (+)
2. Pemeriksaan Penunjang
a. DL
b. Faal
c. Ginjal
d. Elektrolit
e. Biopsi Lesi

2.4 Penatalaksanaan
Pada tahun 2018, telah direvisi oleh Komite Onkologi Ginekologi
FIGO untuk memungkinkan pencitraan dan temuan patologis, jika tersedia,
untuk menetapkan stadium, yaitu : (Bhatla et al., 2018)
1. Kanker stadium IA1, pengobatan pilihan adalah operasi. Histerektomi
abdominal total, histerektomi radikal, dan atau konisasi adalah prosedur
yang diterima. Diseksi kelenjar getah bening biasanya tidak diperlukan
jika kedalaman invasi
2. Kanker stadium IA2, histerektomi radikal (tipe II) dengan diseksi nodus
panggul. Tahap IB1: Histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis
bilateral dengan atau tanpa kemoradioterapi. Terapi radiasi: Iradiasi
panggul sinar eksternal yang dikombinasikan dengan aplikasi intrakaviter
dosis 80Gy ke titik A
3. Stadium IB2 dan IIA: Opsi perawatan meliputi; terapi radiasi radikal
(eksternal plus intracavitary), histerektomi radikal (Tipe III) dengan
limfadenektomi bilateral pelvis, kemoradioterapi
4. Kanker stadium IIB, III A atau IIIB. Radioterapi adalah pengobatan
pilihan. Hasil dari banyak percobaan acak besar menunjukkan peningkatan
dramatis dalam tingkat kelangsungan hidup dengan kemoradioterapi. Oleh
karena itu, penggunaan kemoterapi berbasis Cisplatin dalam kombinasi
dengan radiasi telah menjadi standar perawatan untuk manajemen wanita
dengan tingkat lanjut secara local

11
5. Stadium IVA dan IVB, untuk penyakit lanjut terapi paliatif adalah
andalan. Terapi radiasi untuk mengontrol perdarahan dan nyeri, sedangkan
kemoterapi sistemik untuk penyakit diseminata direkomendasikan
Penatalaksanaan kanker serviks terutama dilakukan dengan pembedahan atau
terapi radiasi, dengan kemoterapi sebagai tambahan dalam pengobatan, yaitu :
(Bhatla et al., 2018)
1. Manajemen Bedah
Pembedahan cocok untuk tahap awal, di mana konisasi serviks,
histerektomi sederhana total, atau histerektomi radikal dapat dipilih sesuai
dengan stadium penyakit dan luasnya penyebaran kanker serviks.
Tabel 2. Jenis Histerektomi Radikal
Histerektomi Histerektomi Histerektomi
Ekstrafasial Radikal Modifikasi Radikal
Sederhana
Klasifikasi
piver dan Tipe I Tipe II Tipe III
Rutledge
Klasifikasi
querleu dan Tipe A Tipe B Tipe C
morrow
Tahap IB1 dan
Ketika IA1 dengan
Indikasi Tahap IA1 IB2, dipilih
LVSI. IA2
Tahap IIA
Rahim dan
Dihapus Dihapus Dihapus
leher
Penghapusan Penghapusan Penghapusan
Ovarium
opsional opsional opsional
Seperempat atas
Batas vagina Tidak ada 1-2 cm
hingga sepertiga
Terowongan
Terowongan melalui
Ureter Tidak dimobilisasi melalui ligament
ligament yang luas
yang luas
Dibagi dimana ureter Terbagi pada
Ligamen Terbagi pada batas
transit ligament yang dinding samping
Kardinal uterus dan serviks
luas panggul
Ligamentum Terbagi pada batas Terbagi dekat
Sebagian dihapus
uterosacral servikal asal sacral
Kandung Dimobilisasi kedasar Dimobilisasi Dimobilisasi ke
kemih kandung kemih kevagina bagian atas vagina tengah
Dimobilisasi Dimobilisasi
Dubur Tidak dimobilisasi
dibawah serviks dibawah serviks
Pendekatan Laparotomi atau Laparotomi atau Laparotomi atau
bedah laparoskopi atau laparoskopi atau laparoskopi atau

12
bedah robotik bedak robotic bedah robotik

2. Manajemen Radiasi
Terlepas dari peran kuratifnya, radioterapi juga dapat digunakan
sebagai terapi tambahan untuk pasien yang dioperasi untuk mencegah
kekambuhan lokoregional, meskipun peran "modalitas ganda" tidak
dianjurkan, dan sebagai terapi paliatif untuk mengurangi gejala yang
menyusahkan pada pasien dengan penyakit lanjut yang tidak dapat
disembuhkan. Meskipun pembedahan lebih disukai untuk penyakit tahap
awal, dalam kasus dengan kontraindikasi untuk pembedahan atau anestesi,
radioterapi memberikan hasil yang sama baiknya dalam hal kontrol lokal
dan kelangsungan hidup. Keputusan pengobatan harus dibuat atas dasar
faktor klinis, anatomi, dan sosial. Pasien dengan penyakit mikroinvasif
telah diobati dengan terapi radiasi intracavitary (ICRT) saja dengan hasil
yang baik jika pembedahan dikontraindikasikan karena masalah medis.
Pasien tertentu dengan penyakit Tahap IB1 yang sangat kecil (kurang dari
1 cm) juga dapat diobati dengan ICRT saja, terutama jika ada
kontraindikasi relatif terhadap terapi radiasi sinar eksternal (EBRT)
(Bhatla et al., 2018).

Tabel 3. Desain Lapangan untuk Radioterapi Panggul


Bidang Berbatasan Negara
Bidang AP-
Unggul Interspace vertebra L4-5
PA
2 cm dibawah foramen obturator atau
Lebih rendah 3 cm dibawah penyakit distal, mana
yang lebih rendah
1,5 – 2 cm lateral ke pinggiran
Menyamping
panggul
Bidang
Unggul Sama seperti bidang AP-PA
lateral
Lebih
Sama seperti bidang AP-PA
Rendah
Depan Didepan simfisis pubis
0,5 cm posterior ke batas anterior
persimpangan vertebra S2/3. Dapat
Belakang
mencakup seluruh sacrum untuk
menutupi luasnya penyakit

13
2.5 Algoritma

14
2.6 Latihan Kasus
1. Ny. E P6A1 usia 40 tahun datang ke TPMB untuk melakukan pemeriksaan
darah. Dari hasil pemeriksaan didapatkan K/U pucat, TD 90/60 mmHg, N
88 x/m, S 37 C, Hb 7 Gr%. Hasil anamnesa pasien mengalami keputihan
yang berbau kurang lebih 1 tahun belakangan dan akhir-akhir ini
mengalami perdarahan saat berhubungan intim serta nyeri perut yang
hebat dan sulit BAB. Kemungkinan diagnose Ny. E adalah…
A. Cervisitis
B. Polip serviks
C. Ca. serviks
D. Radang panggul
E. Kista
Jawaban : C
2. 1. Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina
2. Timbul nyeri Panggul atau perut dibagian bawah bila ada radang
panggul
3. Timbulnya pendarahan setelah masa menopause
4. Terjadi kram di daerah ekstremitas
5. Terjadi sesak napas ketika beraktivitas berat
Menurut data di atas manakah yang termasuk manifestasi klinis dari
kanker serviks ?
A. 1,2,3
B. 1,2
C. 1,3
D. Semua salah
E. Semua benar
Jawaban : A

3. Ny. S berumur 25 tahun datang ke puskesmas ingin melakukan skrining


kanker serviks. Dibawah ini tes deteksi dini kanker serviks yang dapat ia
lakukan yaitu :
a. Pap smear
b. Test IVA

15
c. Pemeriksaan HPV DNA
d. USG
Manakah pemeriksaan untuk kanker serviks…
A. a, b, dan c
B. a, b, dan d
C. Semua benar
D. a dan d
E. a, c, dan d
Jawaban : A

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kanker serviks merupakan tumor ganas primer yang berasal dari
kanalis servikalis dan atau porsio. Kanker ini akan mengenai epitel serviks,
dimana sel epitel akan mengalami penggandaan dan berubah secara patologi
anatomi. Sifat sel yang ganas dapat mengalami penyebaran ke organ – organ
lain melalui jalur limfe dan vascular (Wardani, 2021).
Kanker serviks disebabkan oleh adanya infeksi Human Papiloma Virus
(HPV). HPV merupakan suatu virus DNA yang digolongkan berdasarkan
sekuens DNA nya dan di bagi menjadi risiko onkogenik tinggi dan rendah.
HPV onkogenik risiko tinggi saat ini menjadi satu- satunya faktor yang sangat
penting pada proses keganasan serviks. Dari segi patologi serviks, HPV tipe
16 dan 18 adalah yang paling penting dimana HPV 16 bertanggung jawab atas
60% kasus kanker serviks sedangkan HPV 18 mencakup 10% kasus. Beberapa
tipe lainnya masing-masing berkontribusi pada kurang dari 5% kasus.
Beberapa faktor lain yang berpengaruh yaitu perilaku seksual, seperti umur
pertama kali melakukan hubungan seksual, aktivitas seksual yang sering
berganti-ganti pasangan, jumlah paritas, sosial ekonomi yang rendah berkaitan
dengan pendidikan yang rendah serta kebiasaan merokok (Wardani, 2021).

3.2 Saran
Mengingat tingginya AKI dan AKB di Indonesia, maka
kegawatdaruratan maternal dan neonatal haruslah ditangani dengan cepat dan
tepat. Penanganan yang tepat dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga di
Indonesia. Maka, dengan mempelajari dan memahami kegawatdaruratan
maternal dan neonatal, diharapkan bidan dapat memberikan penanganan yang
maksimal dan sesuai standar demi kesehatan ibu dan anak

17
DAFTAR PUSTAKA

Bhatla, N., Aoki, D., Sharma, D. N., & Sankaranarayanan, R. (2018). Cancer of
the cervix uteri. International Journal of Gynecology and
Obstetrics, 143, 22–36. https://doi.org/10.1002/ijgo.12611
Chan, C. K., Aimagambetova, G., Ukybassova, T., Kongrtay, K., & Azizan, A.
(2019). Human Papillomavirus Infection and Cervical Cancer:
Epidemiology, Screening, and Vaccination - Review of Current
Perspectives. Journal of Oncology, 2019.
https://doi.org/10.1155/2019/3257939
Mardiah, M. (2019). Studi Literatur Predisposisi Dan Upaya Prevensi Keganasan
Kanker Serviks Pada Wanita. Proceeding Of Sari Mulia University
Midwifery National Seminars, 1(1), 167–176.
https://doi.org/10.33859/psmumns.v0i1.39
Riani, E. N., & Ambarwati, D. (2020). Early Detection Kanker Serviks Sebagai
Upaya Peningkatan Derajat Hidup Perempuan. SELAPARANG
Jurnal Pengabdian Masyarakat Berkemajuan, 3(2), 144.
https://doi.org/10.31764/jpmb.v3i2.1883
Wardani, R. P. (2021). Seorang Wanita Berusia 59 Tahun P 5-5 Dengan Kanker
Serviks: Laporan Kasus. Proceeding Book National Symposium
and Workshop Continuing Medical Education XIV., 951–959.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/xmlui/handle/11617/12803

18
MAKALAH
KORBAN KEKERASAN FISIK DAN SEKSUAL
ASUHAN KEBIDANAN KOLABORASI PADA KASUS PATOLOGI DAN
KOMPLIKASI

Dosen Pengampu :
1. Henny Fitriani, S.SiT, M.Keb
2. Arlina Rachmaida, S. Tr. Keb, Bd, M.Keb
3. Rakhmawati, S.Tr Keb

Disusun Oleh Kelompok 23 :


1. Shelly Indah Sari (201091043)
2. Shelvi Fitria Pratama (201091045)
3. Siti Zulaiha (201091060)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKNIK KESEHATAN PONTIANAK
JURUSAN KEBIDANAN PROGRAM SARJANA TERAPAN
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah memberikan kesempatan kepada
kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “KORBAN KEKERASAN FISIK DAN SEKSUAL”
dengan tepat waktu.
Kami mengucapkan teeima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pengampu Mata Kuliah
Asuhan Kebidanan Kolaborasi Pada Kasus Paatologi dan Komplikasi. Tugas yang telah diberikan
ini dapat menambah pengetahuan serta wawasan terkait bidang yang di tekuni oleh kami. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepda semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.
Kami menmnyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
menerima kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, Maret 2023


Penyuaun

Kelompok 23

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... ii


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. iii
BAB I ............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
1.3 Tujuan............................................................................................................................... 1
BAB II............................................................................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................. 2
2.1 Pengertian korban kekerasan fisik dan seksual ................................................................ 2
2.2 Bentuk-Bentuk Kekerasan................................................................................................ 3
2.3 Penyebab Tindak Kekerasan Yang Dominan Terjadi ...................................................... 4
2.4 Dampak kekerasan seksual............................................................................................... 4
2.5 Peran Bidan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan 5
BAB III ........................................................................................................................................... 8
PENUTUP....................................................................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................... 8
3.2 Saran ................................................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 10

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena yang sering menjadi bahan
perbincangan setiap orang. Perempuan sering kali menjadi korban diskriminasi, pelecehan, dan
menjadi obyek kekerasan. Biasanya kekerasan yang terjadi identik dengan kekerasan fisik
seperti penganiayaan dan juga kekerasan seksual seperti pemerkosaan. Akan tetapi pada
kenyataannya kekerasaan tersebut tidak hanya berupa kekerasan fisik saja melainkan juga
merupakan kekerasan psikis korban atau kekerasan mental.
Perempuan yang menjadi korban kekerasan umumnya berusia antara 21 keatas dan berasal
dari berbagai golongan, misalnya: ibu rumah tangga, pebisnis, dosen, dan pejabat publik.
Perempuan yang menjadi korban kekerasan sering dianggap sebagai pihak yang disalahkan di
kalangan masyarakat padahal mereka hanyalah korban. Keberadaan mereka sampai saat ini
masih terpinggirkan dan cendrung dikucilkan.
Dengan perlakuan yang demikian, masih mampukah mereka mempertahankan eksistensi
dirinya? Mengingat lingkungan mereka sendiri telah memandang sebelah mata terhadap
mereka. Manakala masyarakat seringkali mengabaikan korban kekerasan terhadap perempuan,
dan pada kenyataannya mereka diasingkan di lingkunganya.
Dari banyaknya kasus kekerasan yang terjadi menunjukkan bahwa masih kurangnya
perlindungan dari Pemerintah terhadap warga negaranya. Sedangkan harusnya Negara
berperan untuk memberikan perlindungan terhadap semua warga negaranya tanpa ada
diskriminasi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Pengertian korban kekeran fisik dan seksual
2. Bentuk-bentuk kekerasan
3. Penyebab tindak kekerasan yang dominan terjadi
4. Dampak kekerasan seksual
5. Peran bidan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan

1.3 Tujuan
Diharapkan mahasiswa mampu mengkaji kasus-kasus korban kekerasan fisik dan seksual serta
mengerti bagaiamana upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian korban kekerasan fisik dan seksual


A. pengertian korban
Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli maupun yang bersumber dari
peraturan-peraturan hukum nasional mengenai korban kejahatan, antara lain:
a. Pasal 1 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2004 menentukan
bahwa: “Korban adalah orang yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan
dalam lingkup masyarakat”.
b. Pasal 1 angka (2) UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
menetukan bahwa: “korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik,
mental dan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.
c. Pasal 1 angka (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002
tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitas terhadap Korban Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat, mengatakan bahwa: “korban adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, maupun mental
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
B. penngertian kekerasan seksual
Kekerasan adalah suatu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang
lain dengan maksud untuk menyengsarakan, melakukan tindakan tidak manusiawi baik
dalam bentuk fisik maupun psikis. Kekerasan terhadap anak tidak sekedar pelanggaran
norma sosial, tetapi juga norma agama dan susila.
Jane Robert Chapman berpendapat, bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan dan
anak-anak terjadi secara universal di semua Negara. Dari 90 Negara yang diteliti selalu
ditemukan kekerasan dalam keluarga dan dalam perilaku tersebut yang paling sering terjadi
adalah tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Perilaku kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak di atas tidak sesuai dengan martabat kemanusiaan maupun hak-
hak korban yang melekat sejak lahir. Isu kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak
hanya merupakan masalah global, karena terkit dengan isu global tentang hak asasi
manusia (HAM).
Seksual berasal dari kata seks yang artinya perbedaan biologis perempuan dan laki-laki
sering disebut dengan jenis kelamin.24 Seksualitas diartikan mengandung pengertian khas,
intim dan mesra dalam kaitannya dengan hubungan pria dan wanita. Seksualitas adalah
cara-cara seseorang mendapatkan kepuasan dalam menyalurkan dorongan seksualnya
dengan cara yang normal.

2
Kekerasan seksual adalah praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara
kekerasan dan bertentangan dengan ajaran agama. Kekerasan ditonjolkan untuk
membuktikan pelakunya memiliki kekuatan fisik yang lebih. Menurut pemikiran
seksualitas kontemporer, pendekatan ini memusatkan perhatiannya pada wanita dan
mendefinisikan seksualitas sebagai ungkapan kekuasaan sosial pria, serta menganggap
bahwa kekerasan seksual sebagai ciptaan pria.
Jurnal of Population Report yang telah dikutip oleh Fathul Jannah dkk, mengatakan
bahwa kekerasan seksual adalah berupa hubungan seksual dengan pemaksaan atau tanpa
persetujuan korban. Lebih dari itu, kekerasan seksual yang dialaminya dengan
mengikutkan pukulan fisik ataupun hinaan kata-kata.
Kekerasan seksual didefenisikan sebagai setiap tindakan seksual, usaha melakukan
tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual yang tidak
disengaja ataupun sebaliknya, tindakan pelanggaran untuk melakukan hubungan seksual
dengan paksaan kepada seseorang. (WHO, 2017)
Kekerasan seksual adalah segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas seksual yang
dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh anak kepada anak lainnya.
Kekerasasan seksual meliputi penggunaaan atau pelibatan anak secara komersial dalam
kegiatan seksual, bujukan ajakan atau paksaan terhadap anak untuk terlibat dalam
kegiatan seksual, pelibatan anak dalam media audio visual dan pelacuraran anak
(UNICEF, 2014).
Dari pernyataan diatas dapat di Tarik eksimpulan bahwa korban kekerasan fisik dan
seksual adalah pihak (perempuan dan anak) yang mengalami penderitaan baik secara
langsung maupun tidak langsung (penderitaan fisik maupun mental emosional) akibat
mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan secara paksa dan tanpa persetujuan oleh
seseorang dengan maksud untuk menyengsarakan, melakukan tindakan tidak manusiawi
baik dalam bentuk fisik maupun psikis.

2.2 Bentuk-Bentuk Kekerasan


a. Kekerasan Fisik
Kekerasan ini di definisi sebagai seluruh tingkah laku yang dapat mengakibatkan
trauma dan luka fisik.32 Seperti memukul, menendang, menjambak rambut, mendorong,
mencekik, pemaksaan berhubungan dengan seks, menggunakan alat dengan sengaja.
b. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual yaitu tindak kekerasan yang di alami oleh anak yang di arahkan
pada alat reproduksi, sehingga mengakibatkan terganggunya tumbuh kembang anak secara
fisik, psikis maupun sosial anak. Jenis tindak kekerasan seksual tersebut antara lain
hubungan seksual secara paksa atau tidak wajar (pemerkosaan atau percobaan
pemerkosaan, sodomi), penjualan anak untuk pelacuran atau pornografi, pemaksaan untuk
menjadi pelacur atau pencabulan atau pelecehan seksual serta memaksa anak untuk
menikah.
c. Perlakuan Salah Terhadapa Anak
Secara Psikis Yaitu perlakuan yang salah dari orang dewasa terhadap anak yang
membuat anak berada dalam kondisi jiwa yang sangat tertekan, seperti sangat takut dan
3
terhina. Hal ini disebabkan karena orang tua berbicara terlalu keras, menggunakan kata-
kata yang tidak pada tempatnya.

2.3 Penyebab Tindak Kekerasan Yang Dominan Terjadi


Anak-anak kerap menjadi korban kekerasan seksual ada beberapa faktor yang mendorong
diantaranya:
a. Faktor Innocent (polos) dan tak berdaya.
Apalagi, jika harus berhadapan dengan orang-orang dewasa. Itu sebabnya, perkosaan
banyak dilakukan oleh orang terdekat anak. Sangat jarang tindakan perkosaan dilakukan
oleh orang jauh dan tidak dikenal. Sebab, dalam perkosaan anak, ada unsur unjuk kekuatan
dari pelaku pada si korban. Biasanya, pelaku adalah orang pengecut yang ingin
menunjukkan kekuatannya pada si lemah.
b. Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas.
pelaku juga memicu munculnya perkosaan. Moralitas dan mentalitas yang tidak dapat
tumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.
Korban yang belum mempunyai kedewasaan penuh, biasanya tidak berani berbicara
tentang permerkosaan yang menimpanya karena mereka biasanya diancam.
c. Faktor anak mengalami cacat tubuh,
Retardasi mental atau gangguan tingkah laku juga menjadi salah satu sebab banyaknya
kasus perkosaan terhadap anak. Anak-anak penyandang cacat ini menjadi sasaran empuk
bagi pelaku kekerasan seksual, sebab beberapa faktor yang dianggap menguntungkan
karena pelaku perkosaan terhadap anak-anak penyandang cacat biasanya sudah
merencanakan niatnya itu dengan memperhitungkan berbagai faktor, yakni keamanan pada
saat melakukan dan lemahnya bukti yang bisa dicari karena korban masih anak-anak atau
penyandang cacat.
d. Kemiskinan atau faktor ekonomi rendah juga menjadi faktor penyebab terjadinya
kekerasan seksual terhadap anak, banyak orang tua yang menyuruh anaknya melakukan
pekerjaan menjual diri (Pekerja Seks Komersial) untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya padahal anak mereka masih dibawah umur.

2.4 Dampak kekerasan seksual


Kekerasan seksual terhadap anak bisa menimbulkan dampak yang sama beratnya secara
psikis maupun fisik, meskipun waktu kejadian kekerasannya berbeda. Jika anak sering
mendapatkan kekerasan, perkembangan fisiknya akan terganggu dan mudah diamati. Secara
psikologis anak akan menyimpan semua derita yang ditanggunya.Anak akan mengalami
berbagai penyimpangan kepribadian seperti menjadi pendiam, atau sebaliknya menjadi agresif,
konsep dirinya negatif, menyalahkan diri sendiri, mudah curiga, menarik diri dari orang lain,
mudah marah, malu, sulit mengendalikan diri, mimpi buruk, sulit tidur, depresi, gangguan
kecemasan, panik, hilangnya kepercayaan diri sedangkan secara fisik anak akan mengalami
luka fisik. Dan yang lemih memperhatinkan adalah anak akan meyakini kekerasan adalah cara
yang dapat diterima dalam menyelesaikan sebuah konflik.

4
Kekerasan seksual berdampak besar terhadap psikologis anak, karena mengakibatkan
emosi yang tidak stabil. Oleh karena itu, anak korban kekerasan seksual harus dilindungi dan
tidak dikembalikan pada situasi dimana tempat terjadinya kekerasan seksual tersebut dan
pelaku kekerasan dijauhkan dari anak korban kekerasan. Korban yang biasanya adalah anak-
anak perempuan, biasa menderita kecemasan yang mendalam sehubungan dia merasa dirinya
tidak gadis lagi. Sehinga banyak anak-anak perempuan yang menjadi pekerja seks komersil
karena merasa dirinya sudah tidak suci atau sudah tidak gadis lagi.
Hal ini berkaitan dengan status keadan yang masih dinilai tinggi dalam masyarakat
Indonesia. Akibat lain bisa timbul dari kekerasan seksual semasa anak-anak ini adalah perasaan
rendah diri, sulit bergaul, terutama dengan pria. Ia menjadi tidak pernah berani menjalin
hubungan yang terlalu akrab dengan pria, takut kalau menikah akan ketahuan statusnya yang
bukan gadis lagi. Kemajuan teknologi yang terjadi pada saat ini telah membawa dampak
perubahan bagi masyarakat, baik itu dampak yang positif maupun dampak negative

2.5 Peran Bidan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan:
a. Upaya pencegahan terhadap koreban kekerasan di tiap tingkat pelayanan
Pelayanan kesehatan dilakukan di tingkat kesehatan dasar dan rujukan yang perlu didukung
adalah kegiatan di masyarakat oleh bidan
1. Kegiatan pelayanan ditingkat masyarakat
Bidan berperan menyebarluaskan informasi yang di tunjukkan kepada msyarakat
khususnya kepada para kader kesehatan dan tokoh masyarakat agar mereka mampu
merespon secara simpatik terhadap korban KTP. Kegiatan dilakukan oleh bidan dengan
memanfaatkan forum yang telah ada atau pelatihan yang sudah ada berupa:
- Mengenalakan maslaah KTP dan bentuk hubungan/ interaksi yang sehat dalam
keluarga
- Mempromosikan hubungan suami istri yang sehat dan alkternative penanganan
KTP melalui pendidikan agama
- Memberikan dukungan emosional dan spiritual kepada korban KTP
2. Kegiatan pelayanan di tingkat pelayanan dasar
Tindakan yang perlu dilakukan di tingkat pelayanan dasar adalah sebagai berikut:
- Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bidan tentang KTP
- Selalu melatih diri mereka dalam mengidentifikasi korban KTP dan cara
pencegaghan dan penanganannya
- Mencatat kasus KTP secara baik dan membuat catatan penanganan dan
penyelamatan yang dilkukan
- Melibatkan organisasi wanita setempat misalnya kelompok PKK, pengajian,
arisan,dll dakn penangana korban kekerasan
- Menayangkan poster dan alat KIE lainnya diruang tunggu praktek bidan baik
polindes, Rumah bersalin, Praktek perorangan, Puskesmas dimana bidan bertugas
3. Pelayanan ditingkat rujukan primer
- Melatih bidan untuk mengenali dan menanggapi korban KTP secara memadai
- Menguppayakan rencana peneyelamtan diri dan pencatatan kasus

5
- Memasang poster dan pamphlet di ruang tunggu
- Melakukan screening terhadap KTP terhadap kelompok tertentu,Misalnya pasien
kebidanan, pasien unit garurat dan pasien kesehatan jiwa
- Menyusun prosedur tetap untuk penanganana korban KTP
- Memasukan pertanyaan tentang KTP kedalam format pencacatatan data klien yang
sudah ada
- Mengorganisasi kelompok wanita dengan perempuan yang sudah pernah menjadi
dan memberi bantuan korban KTP, agar mampou mandiri serta meminjamkan
tempat kepada kelompok wanita untuk membantu perempuan korban kekerasan
- Koordinasi dengan kelompok wanita setempat untuk menyediakan pelayanan
melalui telepon
- Mengadakan pelayanan khusus dengan privasi yang tinggi untuk korban perkosaan
2. Upaya KIE dalam pencegahan KTP oleh bidane
Strategi KIE yang dapat dilakukan oelh bidan dalam penangana KTP dapat dilakukan
menurut sasaran yang ditruju, antara lain:
1. Kelompok dewasa
- Melakukan sarasehan dan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan
menolak kekerasan sebagai cara untuk memecahkan maslah, terutama dalam rumah
tangga
- Memberi penyuluhan tentang jenis kekerasan dan akibatnya bagi keluarga dan
masyarakat
- Melakukan promosi tentang sikap yang mendukung dana tau tidak menyalahkan
korban melalui berbagai media
- Memasukkan materi tentang kekerasan fisik dan seksual tehadap perempuan
kepada penyuluhan-penyuluhan berkaitan dengan kesehatan reproduksi yang
dilakukan bidan
Petugas kesehatan khususnya bidan dapat berperan penting dalam kasus kekerasan
pada perempuan. Pertolongan sedini mungklin dapat mencegah terjadinya masalah
kesehatan yang seriuys dan berlarut-larut akibabt kekerasan.
Dalam memberikan pelayana kesehatan kepad akorban, tenaga kesehatan harus
memperhatikan beberapa hal, diantaranya:
a. Memeriksa korban sesuai dengan standar profesi
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban atau surat keterangan
medis yang mmemiliki kekuatan hokum yang sama sebagai alat bukti
c. Palayanan dilakukan di sarana kesehatan

LATIHAN SOAL KASUS


1. Seorang wanita bernama sebut saja mawar sedang berjalan menuju kampunya yang
berada tak juh dri kost tempat ia tinggal. Pada suatu pagi mawar melewati gang yang
biasa ia lewati bersama seorang teman wanitanya. Sat dijalan ia melihat seorang lelaki
membuka celananya dan memperlihatkan alat vitalya kepada mawar.

6
kasus yang dengan sengaja memperlihatkan bagian tubuhnya (termasuk alat vital)pada
anak/remaja. hal ini termasuk dalam bagian...
a. Defenisi pelecehan seksual
b. Bentuk pelecehan seksual berupa sentuhan
c. Bentuk sentuhan yang berupa tidak sentuhan
d. Macam macam pelecehan seksual
e. Pencegahan pelecehn seksual
Jawaban : C. Bentuk sentuhan yang berupa tidak sentuhan

2. "Tr" seorang kepala sekolah dikabarkan melecehkan 12 siswanya yang bersekolah di


sebuah SDN di Pabuaran Tumpeng, Karawaci, Kota Tangerang. 'Tr' pun telah
dilaporkan oleh orang tua murid ke polisi. Aksi ini dilakukan Tr dalam beberapa hari
belakangan.akibat perbuatannya Tr akan langsung dicopot dari jabatannya sebagai
kepala sekolah. Bisa juga non-aktifkan. untuk status kepegawaiannya sebagai PNS
akan diurus badan kepegawaian,dan mendapat sanksi hukum.
Dari kasus diatas dapat dijelaskan bahwa seorang yang melakukan pelecehan seksual
diberikan hukuman agar pelaku jera. Pemberian hukuman diberikan dengan maksud.
a. Upaya pencegahan terjadi pelecehan seksual
b. Agar psikis anak dapat pulih
c. Untuk melindungi anak-anak yang dilecehkan
d. Sebagai bentuk pembeda antara pelaku dan korban
e. Sagar orang tua murid tenang
Jawaban : A. Upaya pencegahan terjadinya pelecehan seksual

7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
korban kekerasan fisik dan seksual adalah pihak (perempuan dan anak) yang mengalami
penderitaan baik secara langsung maupun tidak langsung (penderitaan fisik maupun mental
emosional) akibat mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan secara paksa dan tanpa
persetujuan oleh seseorang dengan maksud untuk menyengsarakan, melakukan tindakan tidak
manusiawi baik dalam bentuk fisik maupun psikis.
Jenis tindak kekerasan seksual tersebut antara lain hubungan seksual secara paksa atau
tidak wajar (pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan, sodomi), penjualan anak untuk
pelacuran atau pornografi, pemaksaan untuk menjadi pelacur atau pencabulan atau pelecehan
seksual serta memaksa anak untuk menikah. Oleh karena itu, anak korban kekerasan seksual
harus dilindungi dan tidak dikembalikan pada situasi dimana tempat terjadinya kekerasan
seksual tersebut dan pelaku kekerasan dijauhkan dari anak korban kekerasan.
Dalam memberikan pelayana kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus
memperhatikan beberapa hal, diantaranya: a. Memeriksa korban sesuai dengan standar profesi
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban atau surat keterangan medis
yang mmemiliki kekuatan hokum yang sama sebagai alat bukti c. Palayanan dilakukan di
sarana kesehatan
3.2 Saran
Dalam menyampaikan masukan guna menyambung maksud dan tujuan dari maateri diatas
maka dapat disarankan :
1. Orang tua diharapkan lebih sering berkomunikasi dengan anak-anaknya mengenai
berbagai hal yang dialami anak dalam keseharianya, baik berbagai hal yang dialami anak
di lingkungansekolah maupun di lingkungan masyarakat sekitarnya.
Terjalinnyakomunikasi yang baik antara anak dan orang tua diharapkan
terbentukhubungan batin yang kuat antara anak dan orang tua sehingga apabilaterjadi
benturan keinginan dapat diselesaikan dengan komunikasipositif, sehingga kekerasan
anak dalam keluarga dapatt dihindarkan.
2. Tanamkan sejak dini pendidikan agama pada anak. Agamamengajarkan moral pada anak
agar berbuat baik, hal ini dimaksudkanagar anak tersebut tidak menjadi pelaku kekerasan
itu sendiri.Sesekalibicaralah secara terbuka pada anak dan berikan dorongan pada
anakagar bicara apa adanya/berterus terang. Hal ini dimaksudkan agarorang tua bisa
mengenal anaknya dengan baik dan memberikanbimbingan dan nasihat kepada anak, guna
mempersipakan diri anakyang bermental tangguh.
3. Masyarakat diharapkan lebih peka terhadap tanda-tanda terjadinyakekerasan anak, dan
masyarakat juga harus memiliki pengetahuanterkait perilaku kekerasan terhadap anak,
sehingga timbul kesadaranuntuk mencegah dan melaporkan tindak kekerasan terhadap
anak.Bentuk pencegahan yang dilakukan adalah peningkatan pengawasandan penjagaan

8
agar anak tidak memperoleh kekerasan oleh orang dilingkungan sekitarnya baik di sekolah
maupun di lingkunganmasyarakat.
4. Melaporkan kecurigaan terhadap adanya kekerasan terhadap anakkepada pimpinan
masyarakat seperti kepala lingkungan, Tokohmasyarakat atau agama dan bisa langsung
melaporkan kepada pihakberwajib maupun kepada Komisi Perlindungan Anak
Indonesia(KPAI) untuk mencegah agar angka tindakan kekerasan anak tidaksemakin
meningkat.
5. Pemerintah wajib melakukan sosialisasi dalam hal ini diwakili KelurahanBinjai dan
program edukasi kepada semua golongan masyarakat mengenaipencegahan kejahatan
terhadap anak dan tindakan-tindakan serta hukumanbagi pelaku. Sosialisasi akan
dilakukan secara masif dan berkelanjutan.Pemerintah wajib memberikan perhatian pada
rehabilitasi anak yangmenjadi korban, terutama pendampingan secara psikologis
sehinggamemulihkan cedera mental atau trauma yang dialami anak.

9
DAFTAR PUSTAKA
Thoeng Sabrina (Ed.), Komnas Perempuan, Modul dan Pedoman Kekerasan Seksual: 15
Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan, Komnas Perempuan, hlm. 6, terdapat
dalam
https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Modul%20dan%20Pedoman/Kekerasa
n%20Se ksual/15%20BTK%20KEKERASAN%20SEKSUAL.pdf.
Achie, Sudiarti Luhulima. 2002. Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Alternatif Pencegahannya. Jakarta: Pusat Kajian Wanita dan Gender UI.
E. Purwandari Kristi. 2008. Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan: Tinjauan Psikologi
dan Feministik. Bandung: Alumni
Sugiarno, Indra. 2007. Aspek Klinis Kekerasan Pada Anak dan Upaya Pencegahan, Ketua
Satuan Tugas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia. (PP_IDAI).
Purnianti dan Rita Serena Kalibonso, “Menyikapi Tirai Kekerasan Dalam Rumah Tangga”,
(Jakarta : Mitra Perempuan, 2003)

10

Anda mungkin juga menyukai