Anda di halaman 1dari 89

PERBEDAAN LEBAR RAHANG BAWAH ANTARA SUKU BATAK

DENGAN SUNDA

SKRIPSI

HERDA PURNAMASARI
NPM. 160110120014

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2016
PERBEDAAN LEBAR RAHANG BAWAH ANTARA SUKU BATAK
DENGAN SUNDA

SKRIPSI

diajukan untuk menempuh ujian sarjana


pada Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjajaran

HERDA PURNAMASARI
NPM. 160110120014

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
BANDUNG
2016
JUDUL : PERBEDAAN LEBAR RAHANG BAWAH ANTARA SUKU
BATAK DENGAN SUNDA

PENYUSUN : HERDA PURNAMASARI

NPM : 160110120014

Bandung, Maret 2016

Menyetujui:

Pembimbing Utama,

drg. Moch. Rodian, M.Kes.


NIP. 19590225 198601 1 001

Pembimbing Pendamping,

drg. Yuti Malinda, MM.


NIP. 19820411 200912 2 003
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkat, rahmat,

dan hidayah-Nya, penulis skripsi dengan judul "Perbedaan Lebar Rahang Bawah

Antara Suku Batak Dengan Sunda" dapat menyelesaikan skripsinya agar dapat

mencapai gelar sarjana di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padajajaran.

Penulis menyadari dalam proses penulisan skripsi ini mengalami berbagai

kendala dan kesulitan. Namun atas bantuan, bimbingan, kerjasama, dan doa dari

berbagai pihak serta ridha dari Allah SWT. skripsi ini dapat diselesaikan.

Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Nina Djustiana, drg., M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Padjajaran.

2. Prof. Dr. drg. Hj. Mieke Hemiawati Satari, MS., selaku kepala

Departemen Oral Biologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Padajajaran.

3. drg. Fahmi Oscandar, M.Kes., Sp.RKG, selaku koordinator bagian

forensik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran.

4. drg. Moch. Rodian, M.Kes., selaku pembimbing utama yang telah

memberikan bimbingan, nasihat, dukungan, motivasi, serta meluangkan

waktu untuk membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi.

5. drg. Yuti Malinda MM., selaku pembimbing pendamping yang telah

memberikan bimbingan, nasihat, dukungan, motivasi, serta meluangkan

waktu untuk membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi.

iii
iv

6. drg. Murnisari Darjan MS., selaku dosen wali yang telah memberikan

bimbingan dan pengarahan selama penulis menjalani perkuliahan di

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran.

7. drg. Yuliawati Zenab, Sp.Ort., dan drg. Anisa Kusumadewi, selaku dosen

penguji yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis

melakukan penelitian.

8. Seluruh staf dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran yang

telah berbagi ilmu dan membimbing penulis selama menempuh

perkuliahan.

9. Orang tua tercinta yaitu Bapak Drs. H. Nadiman dan Mama Hj. Sri

Rachmawati, adik-adik Dewi Sri Fitriani, Fuji Tri Astuti dan Muhammad

Malik Asydiki serta keluarga besar yang selalu mendoakan, membantu,

dan mendukung penulis.

10. Sahabat-sahabat terbaik saya yang selalu membantu penelitian penulis,

Nur Laila Baharussalam, Narisa Luwinda, Erika Nurul Rachman, Intan

Deviani, dan Rita Debora.

11. Sahabat-sahabat satu permainan saya, Reitha Mega Putri, Anindya

Larasati, Dela Armilda, dan Gema Karina yang selalu memberi semangat

dan doa untuk penulis.

12. Teman-teman Unit Kesenian Sumatera Utara (UKSU) dan Lingkung Seni

Sunda (LSS) Institut Teknologi Bandung yang telah memberikan izin,

waktu dan bersedia sebagai subjek penelitian penulis.


v

Akhir kata, semoga Allah SWT. memberikan karunia-Nya dan membalas

kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, bidang

keilmuan Kedokteran Gigi Forensik dan Antropologi Forensik.

Bandung, Maret 2016

Penulis
Perbedaan Lebar Rahang Bawah Antara Suku Batak Dengan Sunda-Herda

Purnamasari-160110120014

ABSTRAK

Rahang bawah adalah salah satu struktur yang menjadi ciri khas suatu suku.
Lebar rahang bawah dipengaruhi oleh gen dan lingkungan. Tujuan penelitian
untuk mengetahui dan membandingkan lebar rahang bawah antara suku Batak
dengan Sunda.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif komparatif dan teknik
pengambilan sampel dengan purposive sampling. Penelitian dilakukan pada 20
anggota UKSU ITB dan 20 anggota LSS ITB. Lebar rahang bawah diukur
menggunakan metode Raberin yang terdiri dari jarak antar kaninus, antar molar
pertama, dan antar molar kedua rahang bawah.
Hasil penelitian pada suku Batak didapat data jarak antar kaninus 27,43 mm,
jarak antar molar pertama 48,53 mm, jarak antar molar kedua 57,63 mm. Hasil
penelitian pada suku Sunda didapat data jarak antar kaninus 26,57 mm, jarak antar
molar pertama 45,36 mm, jarak antar molar kedua 54,14 mm.
Simpulan penelitian menunjukan bahwa lebar rahang bawah antara suku
Batak dengan Sunda berbeda diukur dari jarak antar molar pertama dan jarak antar
molar kedua, tetapi tidak terdapat perbedaan pada jarak antar kaninus. Lebar
rahang bawah pada suku Batak lebih besar dari suku Sunda diukur dari jarak antar
molar pertama dan jarak antar molar kedua.

Kata Kunci : Lebar Rahang Bawah, Suku Batak, Suku Sunda

vi
The Difference of The Lower Jaw Width Between Batak with Sunda Ethnic

Group-Herda Purnamasari-160110120014

ABSTRACT

The lower jaw is one of ethnic group characteristic . The lower jaw width
influenced by gen and enviromental. The aim of research is to know and compare
the lower jaw width between Batak and Sunda ethnic group.
Descriptive comparative is the research method and purposive sampling is
the research sampling technique. The research examined 20 members of UKSU
ITB and 20 members of LSS ITB. Data is obtained by making mandible
impression. The lower jaw width is measured using Raberin method consist of
inter canine width, inter first molar width, and inter second molar width.
The result is Batak ethnic group's inter canine width is 27,43 mm, inter first
molar width is 48,53 mm, and inter second molar witdh is 57,63 mm. The result is
Sunda ethnic group's inter canine width is 26,57 mm, inter first molar width is
45,36 mm, and inter second molar witdh is 54,14 mm.
The conclusion shows that the lower jaw width of Batak ethnic group is
different with Sunda ethnic group in inter first molar width and inter second
molar width, but there is no difference in inter canine width. Lower jaw width of
Batak ethnic group is bigger than Sunda ethnic group in inter first molar width
and inter second molar width.

Key words : Lower Jaw Width, Batak Ethnic Group, Sunda Ethnic Group

vii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................iii

ABSTRAK.............................................................................................................vi

ABSTRACT...........................................................................................................vii

DAFTAR ISI.......................................................................................................viii

DAFTAR TABEL.................................................................................................xi

DAFTAR GAMBAR............................................................................................xii

DAFTAR GRAFIK.............................................................................................xiii

DAFTAR DIAGRAM.........................................................................................xiv

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................xv

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1

1.1 Latar Belakang Penelitian .........................................................................1

1.2 Identifikasi Masalah Penelitian .................................................................2

1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................3

1.4 Manfaat Penelitian.................................................................................... 3

1.5 Kerangka Pemikiran ..................................................................................3

1.6 Metode Penelitian .....................................................................................5

1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................7

2.1 Ilmu Kedokteran Gigi Forensik ................................................................7

2.2 Ilmu Antropologi Forensik ........................................................................9


2.3 Rahang Bawah ........................................................................................10

2.3.1 Anatomi Rahang Bawah..................................................................11

2.3.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Lebar Rahang Bawah.................14

2.3.3 Indikator Lebar Rahang Bawah sebagai Indikator Identifikasi

Forensik ............................................................................................17

2.4 Ras ...........................................................................................................19

2.4.1 Penyebaran Ras di Indonesia ..........................................................24

BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................28

3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................28

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ..............................................................28

3.3 Variabel Penelitian ..................................................................................29

3.4 Definisi Operasional ...............................................................................29

3.5 Alat dan Bahan Penelitian .......................................................................30

3.6 Prosedur Penelitian..................................................................................31

3.6.1 Prosedur Penelitian Awal ................................................................31

3.6.2 Pembuatan Model Rahang Bawah ..................................................32

3.6.3 Pengukuran Lebar Rahang Bawah...................................................32

3.6.4 Pemasukan Data ..............................................................................33

3.7 Analisis Data ...........................................................................................34


BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...............................35

4.1 Hasil Penelitian .......................................................................................35

4.1.1 Uji Normalitas .................................................................................35

4.1.2 Analisis Deskriptif ..........................................................................36

4.1.3 Uji Homogenitas .............................................................................40

4.1.4 Perbedaan Lebar Rahang Bawah Antara Suku Batak

dengan Sunda ...................................................................................41

4.2 Pembahasan .............................................................................................43

BAB V SIMPULAN DAN SARAN...................................................................47

5.1 Kesimpulan .............................................................................................47

5.2 Saran ........................................................................................................47

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................48

LAMPIRAN..........................................................................................................55

RIWAYAT HIDUP..............................................................................................73
DAFTAR TABEL

No. Halama
Teks
Tabel n
3.1 Contoh Tabel Data Lebar Rahang Bawah Suku
X ....... 33
4.1 Hasil Uji Normalitas
Data ............................................. 36
4.2 Rata-Rata Jarak Antar Kaninus Pada Suku Sunda
dan Suku
Batak .................................................................... 37
4.3 Rata-Rata Jarak Antar Molar Pertama Pada Suku
Sunda dan Suku
Batak .................................................. 38
4.4 Rata - Rata Jarak Antar Molar Kedua Pada Suku
Sunda dan Suku
Batak .................................................. 39
4.5 Uji Homogenitas Jarak Antar
Kaninus ......................... 40
4.6 Uji Homogenitas Jarak Antar Molar
Pertama ............... 40
4.7 Uji Homogenitas Jarak Antar Molar
Kedua ................. 41
4.8 Perbandingan Jarak Antar Kaninus Antara Suku
Batak Dengan
Sunda ............................................................... 42
4.9 Perbandingan Jarak Antar Molar Pertama Antara
Suku Batak Dengan
Sunda ..................................................... 42
4.10 Perbandingan Jarak Antar Molar Kedua Antara
Suku Batak Dengan
Sunda ..................................................... 43
DAFTAR GAMBAR

No. Halama
Teks
Gambar n
2.1 Anatomi Rahang Bawah Tampak Samping
(Netter,
2014) .....................................................................
... 13
2.2 Anatomi Rahang Bawah Tampak Belakang
(Netter,
2014) .....................................................................
... 13
2.3 Perkembangan Mandibula. Tempat Awal
Terjadinya Osifikasi (Premukmar,
2011) ................. 14
2.4 Pola Pertumbuhan Rahang Bawah Panah Merah
Menunjukan Deposisi. Panah Biru Menunjukan
Resorpsi (Premukmar,
2011) ................................... 16
DAFTAR GRAFIK

Halama
No. Grafik Teks
n
4.1 Rata-Rata Jarak Antar Kaninus Pada Suku Sunda
dan Suku
Batak ........................................................ 37
4.2 Rata-Rata Jarak Antar Molar Pertama Pada Suku
Sunda dan Suku
Batak ............................................. 38
4.3 Rata-Rata Jarak Antar Molar Kedua Pada Suku
Sunda dan Suku
Batak ............................................. 39

xiii
DAFTAR DIAGRAM

Halama
No. Diagram Teks
n
2.1 Pengelompokan Ras di
Dunia ................................ 27

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halama
Teks
Tabel n
1 Lembar Permohonan Persetujuan Pembuatan Skripsi
.. 55
2 Lembar Persetujuan Pembuatan
Skripsi ....................... 56
3 Surat Penunjukan Dosen Pembimbing 57
4 Surat Penugasan Dosen Pembimbing 58
5 Surat Izin Penelitian UKSU dan LSS ITB 59
6 Surat Balasan Izin Penelitian UKSU ITB 60
7 Surat Balasan Izin Penelitian LSS ITB 61
8 Surat Permohonan Persetujuan Komite Etik 62
9 Surat Balasan Komite
Etik ............................................ 63
10 Lembar Informed
Consent ............................................ 64
11 Lembar Informasi
Penelitian ......................................... 65
12 Hasil Pengukuran Lebar Rahang Bawah Suku Batak
... 68
13 Hasil Pengukuran Lebar Rahang Bawah Suku Sunda
.. 69
14 Output SPSS Uji
Normalitas ......................................... 70
15 Output SPSS Independent Sample T-test
..................... 71

xv
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Penelitian

Forensik pada kedokteran gigi meliputi berbagai pokok bahasan seperti

identifikasi manusia dari kecelakaan pesawat, kecelakaan industri, bencana alam,

serangan teroris, analisis bekas gigitan pada kasus penyiksaan anak dan korban

pemerkosaan, penentuan umur, jenis kelamin dan suku (Singh, 2014). Suku

merupakan sebuah kata yang menggambarkan perbedaan genetik dalam sebuah

populasi (Aspinall & Song, 2013). Setiap suku mempunyai karakteristik yang

dapat terlihat seperti perbedaan tulang yang menghasilkan karakter suatu wajah

(Senn & Stimson, 2010).

Lebar rahang bawah pada tiap individu berbeda, sesuai dengan ukuran gigi,

posisi gigi, pola pertumbuhan kraniofasial yang dipengaruhi oleh faktor genetik

dan lingkungan (Al-Zubair, 2013). Rahang bawah adalah salah satu struktur yang

menjadi ciri khas suatu suku (Senn & Stimson, 2010). Penelitian mengenai

karakteristik morfologi lengkung rahang suatu suku belum dilakukan (Yadav,

2014). Lebar rahang bawah pada Suku Batak dan Sunda belum diketahui.

Identifikasi rahang bawah penting dalam medikolegal dan perkerjaan

antropolog. Rahang bawah merupakan organ tubuh manusia setelah pelvis yang

akan membantu identifikasi usia, jenis kelamin, dan suku. Rahang bawah dan

variasinya dalam usia, jenis kelamin, dan suku akan membantu dokter, ahli bedah,

1
2

otoritas medikolegal dan antropolog untuk menginterpretasikan diagnosis

forensik dengan benar (Kumar & Lokanadham, 2013). Identifikasi sisa-sisa

kerangka manusia merupakan langkah awal dalam investigasi forensik dan krusial

untuk analisis selanjutnya (Indira, Markande, & David, 2012). Mengetahui lebar

rahang bawah pada beberapa suku di Indonesia akan memudahkan antropolog dan

ahli forensik lain dalam identifikasi forensik di Indonesia.

Suku Batak dan Sunda merupakan empat suku terbesar di Indonesia diikuti

dengan Suku Jawa dan suku lainnya di Pulau Sulawesi (Ananta & Arifin, 2014).

Lebar rahang bawah pada Suku Batak dan Sunda mungkin berbeda tetapi belum

dilakukan penelitian untuk mengukur dan membandingkan lebar rahang bawah

pada kedua suku tersebut. Penelitian mengenai pengukuran lebar rahang bawah

pada Suku Batak telah dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi dan

Teknik di Universitas Sumetara Utara, tetapi hanya pada satu suku sehingga tidak

ada suku pembandingnya (Jesika, 2012; Marcelina, 2014).

Sampai saat ini belum ada penelitian yang mendeskripsikan perbedaan lebar

rahang bawah antara Suku Batak dengan Sunda sehingga penulis tertarik untuk

melakukan penelitian ini.

I.2 Identifikasi Masalah Penelitian

Identifikasi masalah berdasarkan uraian latar belakang adalah apakah

terdapat perbedaan lebar rahang bawah antara suku Batak dengan Sunda yang

diukur dari jarak antar kaninus, jarak antar molar pertama, dan jarak antar molar

kedua.
3

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat

perbedaan lebar rahang bawah antara suku Batak dengan Sunda yang diukur dari

jarak antar kaninus, jarak antar molar pertama, dan jarak antar molar kedua.

I.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis yaitu memberi

informasi kepada pembaca mengenai lebar rahang bawah pada Suku Batak dan

Sunda, juga untuk memeroleh data antropometri mengenai lebar rahang bawah

pada Suku Batak dan Sunda. Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan

manfaat praktis yaitu membantu identifikasi korban dalam menentukan suku

korban.

I.5 Kerangka Pemikiran

Ilmu forensik merupakan aplikasi teknik ilmiah untuk memberikan bukti

hukum yang berhubungan dengan investigasi (Tilstone, Savage, & Clark, 2006).

Ilmu forensik menggambarkan ilmu yang berhubungan dengan manusia, tempat

dan hal yang berhubungan dengan masalah kriminal (Houck & Siegel, 2015).

Kedokteran gigi forensik merupakan bagian dari kedokteran gigi yang

berkaitan dengan penatalaksanaan, pemeriksaan, evaluasi dan presentasi bukti

dental dalam proses hukum pidana atau perdata (Herschaft, 2011). Forensik

antropologi merupakan cabang dari ilmu forensik yang berhubungan dengan

penggunaan pengetahuan antropologi secara umum dan metode untuk proses


4

hukum (Silva & Oliveira, 2008). Forensik antropologi mengoleksi dan

menganalisis sisa kerangka manusia untuk membantu identifikasi korban dan

merekonstruksi kejadian yang mengelilingi korban (Houck & Siegel, 2015).

Rahang bawah merupakan bagian yang paling besar, paling kuat dan bagian

yang dapat bergerak dari tengkorak (Kumar & Lokanadham, 2013). Rahang

bawah yang terdiri dari korpus bagian kanan dan kiri yang menyatu pada garis

tengah anterior (simfisis mandibula) dan dua ramus (Drake, Vogl, & Mitchell,

2014). Rahang bawah juga merupakan satu-satunya tulang pada daerah wajah

yang dapat bergerak bebas karena berartikulasi dengan tulang temporal pada

anterior fossa temporomandibular menuju kanal auditori eksternal. Rahang bawah

bergerak bebas ke segala arah, dan kondilus bergerak ke bawah dan ke depan pada

fossa artikular untuk membuka rahang (Coley & Caffey, 2013).

Manusia sangat bervariasi dalam karakteristik biologis yang ditemukan dari

manusia ke manusia. Beberapa ahli yang tertarik dalam meneliti keragaman

biologis spesies manusia menggunakan kata "suku" untuk mengungkapkan

perbedaan tersebut. Suku adalah kelompok biologis dari spesies yang berbagi

genetik yang membedakannya dari kelompok-kelompok sejenis lainnya (Crapo,

2002).

Indonesia yang sejauh ini diketahui dari penelitian antropologi sejarah

bangsa-bangsa di kawasan Asia terdiri dari kaum Proto Melayu atau keturunan

melayu tua yang datang bermigrasi ke Indonesia 1500 SM dan kaum Deutro

(Neo) Melayu atau keturunan melayu muda yang datang bermigrasi ke Indonesia
5

500 SM. Suku Batak termasuk ke dalam kaum Proto Melayu, sedangkan suku

Sunda termasuk ke dalam kaum Deutro (Neo) Melayu (B.S., 2009).

Penelitian mengenai perbedaan morfologi dan dimensi lengkung rahang pada

beberapa suku telah banyak dilakukan dengan hasil penelitian menunjukan

terdapat perbedaan antara suku satu dengan suku lainnya, seperti penelitian yang

dilakukan di India Tengah menunjukan bahwa suku Bhil memiliki mandibula

yang lebih kecil, maksila yang lebih dangkal, maksila dan lebar gigi seri pada

maksila dan mandibula lebih kecil dibanding dengan penduduk yang bukan

merupakan suku Bhil (Yadav, 2014), penelitian mengenai perbandingan bentuk

rahang bawah antara orang Vietnam dengan Korea menunjukan hasil bahwa orang

Vietnam memiliki lengkung rahang bawah yang lebih dalam dan lebar

dibandingkan dengan orang Korea (Lee et al., 2013), dan penelitian mengenai

perbandingan rahang bawah antara orang Amerika berkulit putih dengan berkulit

hitam menunjukan hasil bahwa orang Amerika berkulit hitam memiliki rahang

bawah yang lebih panjang dan ramus rahang bawah yang lebih lebar dari orang

Amerika berkulit putih (Harris et al, 1977). Penulis menarik hipotesis berdasarkan

uraian kerangka pemikiran diatas bahwa lebar rahang bawah Suku Batak berbeda

dengan Suku Sunda.

I.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif komparatif, yaitu

mendeskripsikan lebar rahang bawah Suku Batak dan Sunda serta

membandingkan lebar rahang bawah antara Suku Batak dengan Sunda.


6

I.7 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Unit Kesenian Sumatera Utara (UKSU) dan

Lingkung Seni Sunda (LSS) Institut Teknologi Bandung pada bulan Januari

sampai Maret tahun 2016.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Ilmu Kedokteran Gigi Forensik

Definisi kedokteran forensik secara luas adalah aplikasi ilmu kedokteran

untuk menegakan hukum. Definisi kedokteran forensik secara sempitnya adalah

aplikasi ilmu kedokteran untuk penegakan hukum pidana. Richard Saferstein,

salah satu penulis buku kedokteran forensik mengatakan bahwa kedokteran

forensik adalah aplikasi ilmu kedokteran untuk hukum pidana dan perdata yang

diberlakukan oleh lembaga kepolisian dalam sistem peradilan (Skelton, 2011).

Kedokteran forensik adalah disiplin ilmu yang merupakan kumpulan disiplin ilmu

lainnya yang mana bukan ilmu kedokteran, dinamakan hukum. Kedokteran

forensik memiliki dua disiplin utama yaitu kedokteran dan hukum dan kadang-

kadang keduanya memiliki konflik dan keduanya akan membuktikan

kebenarannya (Daeid, 2010).

Kedokteran Gigi Forensik menurut Keiser-Neilson pada tahun 1970

merupakan cabang forensik kedokteran yang menghubungkan hukum dengan

penanganan serta pemeriksaan bukti gigi dan evaluasi serta presentasi dari

penemuan gigi. Identifikasi gigi merupakan metode penting untuk identifikasi

postmortem, karena gigi memiliki variasi yang dapat diidentifikasi (Thompson,

2007). Kedokteran gigi forensik meliputi pengumpulan, pengelolaan, interpretasi,

evaluasi dan presentasi dari bukti dental untuk proses hukum pidana dan perdata.

7
8

Kedokteran gigi forensik merupakan kombinasi dari berbagai aspek, yaitu aspek

dental, ilmu kedokteran, dan profesi resmi. Kedokteran gigi forensik dapat

didefinisikan sebagai spesialisasi cabang dari kedokteran gigi yang menerapkan

pengetahuan dental untuk masalah pidana dan perdata (Rai, 2012).

Bidang utama dari kedokteran gigi forensik terdiri dari identifikasi dental,

estimasi umur, penentuan jenis kelamin, cheiloscopy, palatoscopy, molecular

biomarkers, analisis bekas gigitan, kekerasan dan penelantaran manusia, kelalaian

dalam praktik, antropologi dan arkeologi dental (Rai, 2012).

Kedokteran gigi forensik penting untuk identifikasi manusia, terutama jika

metode konvensional tidak dapat diterapkan, dikarenakan dekomposisi,

karbonisasi, ataupun fragmentasi dari tubuh. Sidik jari ataupun pengenalan wajah

sulit dilakukan atau bahkan mustahil dilakukan pada saat kecelakaan atau bencana

alam yang menyebabkan trauma berat (Gupta, 2014).

Keuntungan utama dari bukti dental adalah tahan setelah kematian dan tidak

terpengaruh oleh kondisi yang ekstrem karena gigi merupakan bagian tubuh yang

paling kuat dan dapat menahan kondisi yang sangat ekstrem, termasuk temperatur

tinggi mencapai 1.600⁰ C dan juga merupakan komponen dari tubuh yang dapat

bertahan dalam api karena kompisisinya yang sangat tahan terhadap api dan gigi

juga dilindungi oleh jaringan lunak dan keras wajah (Rai, 2012).

Dokter gigi yang praktik pada umumnya melakukan pencetakan mulut

pasiennya sehingga didapat model berbahan gips plaster atau gips batu. Cetakan

dibuat dengan berbagai alasan seperti perawatan ortodontik, konstruksi gigi

tiruan, ataupun prosedur restorasi. Model merupakan dental records dan harus
9

disimpan secara baik. Model akan sangat berguna untuk proses identifikasi,

terutama jika memungkinkan untuk mencetak postmortem. Model harus dituliskan

nama pasien, nama dokter gigi, nama tempat praktek, dan tanggal model dibuat.

Studi model dapat digunakan untuk identifikasi postmortem (Thompson, 2007).

II.2 Ilmu Antropologi Forensik

Sejarah antropologi forensik berhubungan dengan antropologi fisik dan

kedokteran forensik. Analisis tulang merupakan metode yang paling sering

diterapkan pada abad ke-18. Berbagai investigasi pada pertengahan abad 19

memfokuskan pada identifikasi ras melalui tengkorak. Antropolog forensik selalu

dihadapkan dengan pertanyaan klasifikasi ras dan suku dalam proses identifikasi

(Schmitt, 2006).

Antropologi forensik sebagai ilmu multi disiplin yang menggabungkan ilmu

antropologi fisik, arkeologi dan lainnya, termasuk forensik kedokteran gigi,

patologi dan kriminalitas. Definisi antropologi forensik yang lebih rumit lainnya

adalah disiplin ilmu yang memfokuskan pada hidup, mati, sejarah setelah

kematian seseorang, yang diketahui dari sisa kerangka dan fisiknya dengan

menempatkan konteks forensik (Iscan, 2013).

Antropologi forensik menunjukan aplikasi pengetahuan dan teknik

antropologi fisik untuk masalah kepentingan medikolegal. Tujuannya adalah

untuk membantu identifikasi sisa kerangka manusia dan untuk membantu

menentukan apa yang terjadi pada sisa kerangka manusia (Schmitt, 2006). Tujuan

ilmu antropologi forensik adalah untuk mengidentifikasi individu yang tidak


10

diketahui, biasanya dari sisa-sisa kerangka manusia yang telah terurai (Iscan,

2013). Antropologi forensik dalam identifikasi manusia diharapkan dapat

memperkirakan suku, jenis kelamin, umur saat kematian, dan perawakan korban

(Cox, 2006).

Area antropolog forensik tidak hanya pada sisa kerangka manusia tetapi

meluas ke area lain seperti menetapkan profil seseorang yaitu umur, jenis kelamin,

suku, dan perawarakannya untuk identifikasi awal, identifikasi personal

menggunakan sinar X, dental records, DNA, dan metode lain, identifikasi korban

bencana alam (Iscan, 2013).

II.3 Rahang Bawah

Mandibula adalah tulang rahang bawah yang menyokong gigi geligi bawah

(Singh, 2005). Mandibula merupakan tulang yang dapat bergerak, berbentuk

seperti huruf U, terdiri dari bagian horizontal dan vertikal, bagian horizontal

terdiri dari korpus dan simfisis ditengahnya. Bagian vertikal terdiri dari sudut

mandibula dan ramus, yang mana dapat berartikulasi dengan kranium melalui

kondilus dan sendi temporomandibular (Yadav, 2012). Mandibula terdiri dari dua

bagian yang sama besar, meluas dari simfisis menuju kondilus dan prosesus

koronoid. Setiap bagian disebut dengan hemimandible (Obwegeser, 2013).

Mandibula merupakan satu-satunya tulang pembentuk wajah yang dapat bergerak

(Kulkarni, 2011). Mandibula merupakan sistem yang kompleks pada wajah.

Mandibula terdiri dari sistem biologi yang berbeda, tulang, otot, pembuluh darah

dan saraf. Interaksi gen terjadi untuk pembentukan mandibula (Benoit, 2012).
11

Mandibula merupakan tulang yang unik baik dari segi struktur ataupun fungsi.

Bentuknya yang seperti tapal kuda dengan ramus vertikal disetiap ujung tapalnya.

Mandibula terdiri dari korpus, dua ramus, dua prosesus kondilus, dan dua

prosesus koronoid. Fungsi mandibula adalah menyediakan mobilitas rahang oleh

sendi temporomandibular, pengunyahan oleh gigi dan merupakan tempat

melekatnya otot pengunyahan, dan memelihara udara nafas (Premukmar, 2011).

Rahang bawah melekat dengan tulang wajah lainnya oleh sistem otot dan ligamen

yang kompleks. Rahang bawah berartikulasi dengan rahang atas melalui oklusi

gigi. Korpus mandibula tersusun atas tulang kortikal padat dengan sedikit

substansi spongiosa yang dilewati oleh pembuluh darah, pembuluh limfa, dan

pembuluh saraf (Yadav, 2012).

II.3.1 Anatomi Rahang Bawah

Rahang bawah memiliki bentuk seperti sepatu kuda yang terdiri dari korpus,

ramus kanan dan kiri. Setiap ramus berada pada posterior korpus. Ramus terdiri

dari prosesus kondilus dan koronoid (Kulkarni, 2011). Korpus mandibula

berbentuk huruf U yang berkembang dari dua bagian lalu menyatu menjadi satu

bagian. Korpus terdiri dari permukaan eksternal dan internal. Permukaan eksternal

terdiri dari simfisis, mental protuberance, mental tubercles, fossa insisif, foramen

mental, dan oblique line. Permukaan internal terdiri dari garis mylohyoid, fossa

submandibular, fossa sublingual, mylohyoid groove, dan mental spine atau genial

tubercles (Halim, 2008). Bagian dalam dari korpus menunjukan garis mylohyoid

yang dibawahnya terdapat fossa submandibular dan diatasnya terdapat fossa


12

sublingual. Garis tepi atas korpus dinamakan dengan prosesus alveolaris yang

menunjang soket untuk gigi bawah. Garis tepi bawah korpus dinamakan dengan

basis mandibula. Korpus mandibula dilalui oleh kanal tulang yang dinamakan

kanal mandibula. Foramen mandibula mengarah kedalamnya. Foramen mandibula

dilalui oleh pembuluh darah dan saraf alveolar inferior untuk gigi bawah

(Kulkarni, 2011). Saraf alveolar inferior pada foramen mandibula merupakan

cabang sensosris saraf mandibula yang menyediakan sensasi untuk gusi dan gigi

rahang bawah (Martini, 2005). Foramen mental berada dibawah premolar kedua

ataupun antara akar gigi premolar kesatu dengan premolar kedua (Scheid &

Weiss, 2012). Foramen mental dilalui oleh pembuluh darah dan saraf mental yang

merupakan cabang sensoris saraf mandibula yang menyediakan sensasi untuk

dagu dan bibir (Martini, 2005).

Ramus mandibula berbentuk persegi panjang dengan dua permukaan (lateral

dan medial), empat tepi (atas, anterior, bawah dan posterior), dan dua prosesus

yang dinamakan prosesus kondilus dan koronoid (Halim, 2008). Kepala

mandibula atau kondilus berada di prosesus kondilus. Dibawah kepala terdapat

leher yang sempit. Kondilus berartikulasi dengan fossa mandibula tulang temporal

pada sendi temporomandibular, tempat dimana mandibula dapat digerakan. Takik

mandibula atau mandibular notch adalah cekungan pada garis tepi ramus atas

yang meluas dari ujung atas prosesus kondilus menuju ujung atas prosesus

koronoid. Bagian dalam dari ramus ditandai dengan adanya foramen mandibula

yang dilindungi oleh lingula. Sudut mandibula merupakan titik pertemuan antara

garis tepi posterior dengan garis tepi bawah ramus (Kulkarni, 2011).
13

Gambar 2.1 Anatomi Rahang Bawah Tampak Samping (Netter, 2014)

Gambar 2.2 Anatomi Rahang Bawah Tampak Belakang (Netter, 2014)


14

II.3.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Lebar Rahang Bawah

Mandibula berkembang dari kartilago arkus faring pertama yaitu kartilago

Meckel's. Mandibula akan menjadi tulang yang menggantikan kartilago tersebut

sama halnya seperti tulang spenoid yang menggantikan kartilago yang berada

dibawah otak (Proffit, 2007). Mandibula terdiri dari dua kartilago pada masa

mudigah (Bishara, 2001). Kedua kartilago tersebut tidak bersatu pada garis

tengah tetapi terpisahkan oleh lapisan mesenkim yang tipis (Premukmar, 2011).

Kedua kartilago tersebut bersatu membentuk tulang yang parabola pada akhir

tahun pertama (Bishara, 2001).

Mandibula mulai dibentuk dari kondensasi mesenkim yang berada di lateral

kartilago Meckel's, sehingga prosesnya dinamakan formasi tulang intramembran

(Proffit, 2007). Kondensasi mesenkim yang terjadi di sudut lateral kartilago

Meckel's dibentuk oleh saraf alveolar inferior menuju cabang insisif dan mental

pada minggu keenam. Osifikasi intramembran ini dimulai pada minggu ketujuh

(Premukmar, 2011).

Gambar 2.3 Perkembangan Mandibula. Tempat Awal Terjadinya Osifikasi

(Premukmar, 2011)
15

Kartilago Meckel's mengalami disintegrasi dan menghilang saat mandibula

terbentuk (Proffit, 2007). Kartilago primer mandibula yaitu kartilago Meckel's

menghilang pada saat masih masa mudigah dengan meninggalkan sisa

membentuk maleus dan incus yang berada pada telinga tengah dan ligamen

spenomandibular, oleh karena itu terdapat turunan kartilago sekunder yaitu

prosesus kondilus (Bishara, 2001). Kartilago kondilus berkembang sebagai

kartilago sekunder yang independen, artinya kartilago kondilus terpisah dari

korpus mandibula lalu berfusi pada bulan keempat (Proffit, 2007).

Mandibula saat lahir terdiri dari dua bagian. Fusi dari kedua bagian tersebut

terjadi di simfisis pada tahun pertama. Letak kanal mandibula berada didekat garis

tepi bawah rahang, rahang tidak bergigi, besar sudut mandibula kira-kira 140⁰

karena kepala mandibula sejajar dengan korpus mandibula. Prosesus koronoid

letaknya lebih tinggi dari prosesus kondilus. Foramen mental berada didekat tepi

bawah rahang karena tulangnya hanya terbentuk oleh soket alveolaris dan tidak

terdapat prosesus alveolaris (Kulkarni, 2011). Mandibula saat lahir memiliki

ukuran yang kecil, ramus yang pendek, sudut rahang yang besar, fossa

submandibular yang datar, tanpa articular eminence, kondilus setinggi dataran

oklusal (Premukmar, 2011). Letak ramus saat bayi berada pada tempat erupsi gigi

molar pertama sulung. Remodeling posterior secara progresif dilakukan untuk

menyediakan tempat erupsi gigi molar kedua sulung dan berkelanjutan untuk gigi

molar permanen (Proffit, 2007).

Mandibula pada saat dewasa memiliki letak kanal yang paralel dengan garis

mylohyoid, besar sudut mandibula menngecil menjadi kira-kira 110⁰ karena


16

ramus hampir vertikal, soket alveolar mengandung gigi didalamnya, prosesus

kondilus lebih tinggi dari prosesus koronoid. Mandibula saat mencapai usia tua

mengalami pemendekan, kehilangan gigi, absorbsi pada prosesus alveolaris,

foramen mental dan kanal mandibula bergeser ke garis tepi atas rahang, dan sudut

mandibula menjadi 140⁰. (Kulkarni, 2011).

Konsep pertumbuhan mandibula adalah translasi ke bawah dan ke depan juga

tumbuh ke atas dan ke belakang sebagai respon translasi dan untuk

mempertahankan kontak dengan tengkorak (Proffit, 2007). Kepala kondilus

tumbuh keatas dan ke belakang, sehingga terlihat mandibula tumbuh dan bergerak

ke bawah dan ke depan (Bishara, 2001). Mandibula tumbuh memanjang karena

deposisi posterior ramus bersamaan dengan resorpsi anterior ramus. Korpus

mandibula tubuh memanjang sebagaimana ramus tumbuh menjauhi dagu (Proffit,

2007). Korpus mandibula mengalami deposisi pada permukaan luar dan

mengalami resorpsi pada inferior permukaan medial (Premukmar, 2011).

Gambar 2.4 Pola Pertumbuhan Rahang Bawah. Panah Merah Menunjukan

Deposisi. Panah Biru Menunjukan Resorpsi (Premukmar, 2011).


17

II.3.3 Indikator Lebar Rahang Bawah sebagai Indikator Identifikasi

Forensik

Pengukuran tulang tengkorak dan tulang panjang dapat digunakan untuk

memerkirakan tinggi badan seseorang dan juga dapat menentukan jenis kelamin

dan ras seseorang. Tulang merupakan dasar dalam pengklasifikasian ras dalam

prasejarah. Tulang dapat membantu proses identifikasi kasus forensik (Bass,

1987). Identifikasi gigi memiliki peranan penting dalam identifikasi kerangka

manusia ketika terjadi perubahan pada postmortem, luka jaringan, kurangnya data

sidik jari (Singh, 2014). Gigi merupakan material terbaik yang digunakan untuk

antropologi, genetik, odontologi, dan investigasi forensik (Gupta, 2014). Salah

satu keunikan dari morfologi tubuh manusia adalah gigi yang dapat bertahan

dalam jangka waktu yang panjang dan temperatur yang tinggi. Gigi merupakan

bagian tubuh manusia yang paling sulit dihancurkan. Gigi dapat bertahan hingga

ribuan tahun, contohnya adalah gigi yang ditemukan pada rahang bawah manusia

Tabun yang berumur 35.000 tahun (Balachander, 2015). Gigi merupakan material

terbaik untuk investigasi antropologi, genetik, kedokteran gigi, dan forensik.

Bentuknya dipengaruhi oleh budaya, lingkungan, dan faktor ras. Karakteristik

bentuk gigi telah banyak diteliti dan dipelajari. Lebar dan panjang rahang lebih

penting untuk diteliti dan dipelajari (Agnihotri, 2007).

Dokter gigi memiliki peran penting dalam proses identifikasi manusia.

Rekam medis gigi dan mulut digunakan untuk tiga jenis identifikasi. Pertama

identifikasi dental dan membandingkan data antemortem dengan postmortem.


18

Kedua untuk rekonstruksi profil dental postmortem digunakan ketika identitas

tidak diketahui. Ketiga mengacu pada aplikasi penggunaan teknik profil DNA.

Kolaborasi antara kedokteran gigi forensik dengan antropologi forensik dapat

membantu identifikasi manusia menggunakan sisa kerangka seperti tengkorak,

lalu dibandingkan dengan data dental, foto, dan data klinis (Silva & Oliveira,

2008).

Gigi kaninus mandibula dipertimbangkan sebagai gigi kunci untuk

identifikasi karena kaninus merupakan gigi terakhir yang diekstraksi sehubungan

dengan usia, paling sedikit terpengaruh oleh penyakit mulut dibandingkan dengan

gigi lain, lebih tahan dari trauma parah seperti kecelakaan udara, badai, atau api

(Ayoub, 2014). Kaninus merupakan gigi yang memiliki derajat dimorfisme

seksual yang tinggi sehingga sangat akurat untuk hasil identifikasi. Jarak antar

kaninus dan Mandibular Canine Index (MCI) memiliki keakuratan yang tinggi

dalam penentuan jenis kelamin (Daniel, 2014). Jarak antar kaninus dan antar

molar rahang bawah dapat membantuk ahli forensik dan ahli anatomi untuk

menentukan pertumbuhan, dimorfisme seksual dan identifikasi (Rai, 2007). Jarak

antar molar juga dapat digunakan untuk menentukan jenis kelamin secara akurat

jika tidak terdapar gigi kaninus. Gigi molar digunakan karena merupakan gigi

permanen pertama yang erupsi dan jarang mengalami impaksi (Daniel, 2014).

Jarak antar kaninus dan antar premolar dapat memerkirakan tinggi seseorang

(Khangura et al, 2015). Jarak antar kaninus, antar premolar, dan antar molar

rahang bawah dapat membantu dalam dimorfisme seksual (Rastogi, 2013).


19

Dimensi rahang seperti jarak antar kaninus, antar premolar dan antar molar

digunakan dalam kedokteran gigi untuk membantu diagnosa ortodontik, dan

forensik untuk identifikasi sisa kerangka manusia. Literatur mengatakan bahwa

setiap suku memiliki perhitungan dan karakteristik lengkung rahang yang unik.

Penghitungan lengkung rahang seperti jarak antar kaninus, antar premolar dan

antar molar berguna untuk praktik dokter gigi dan lebih penting lagi dapat

diaplikasikan untuk kedokteran gigi forensik (Okori, 2015).

II.4 Ras

Kata "ras" selalu disamakan dengan kata "warna". Orang-orang selalu

mengatakan orang Afrika sebagai satu ras, begitu pula dengan orang Asia dan

orang Eropa. Setiap orang dapat membedakan karakteristik fisik dari setiap

kelompak ras. Ras merupakan gagasan yang sopan digunakan untuk menyiratkan

atas adanya perbedaan biologis antara manusia sehingga menghasilkan sebuah

kelompok (Malik, 1996). Pengertian ras sebagai suatu golongan manusia yang

menunjukan berbagai ciri tubuh tertentu dengan frekuensi yang besar

(Koentjaraningrat, 1990). Ras adalah kelompok besar manusia yang memiliki ciri-

ciri dan sifat-sifat fisik yang berkembang penuh dan menurun secara biologis

sehingga berbeda dengan kelompok-kelompok lain dalam wujud secara anatomis

(Suhamihardja, 1997). Manusia yang hidup dalam lingkungan alam

beranekaragam di seluruh muka bumi dapat digolongkan berdasarkan ciri-ciri

fisik seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, bentuk bagian-bagian muka

dan sebagainya yang menimbulkan pengertian "ras", atau golongan manusia yang
20

secara umum memiliki ciri tubuh tertentu (Koentjaraningrat, 2005). Ras

merupakan suatu pengertian biologi bukan kultural. Ras berkaitan dengan ciri-ciri

fisik contohnya seperti bentuk badan, bentuk kepala, bentuk tulang rahang bawah,

bentuk hidung, warna kulit, warna mata, dan warna rambut (Yusuf, 2001).

Ras-ras besar di dunia menurut A.L. Kroeber (Soeroso, 2008) terdiri dari

Kaukasoid, Mongoloid, Negroid, Austroloid, dan ras-ras khusus lainnya.

Penyebaran dan penggolongan ras-ras besar di dunia menurut A.L. Kroeber antara

lain: (Soeroso, 2008; Linton, 1984)

1. Ras Kaukasoid

Ciri-ciri fisik ras Kaukasoid antara lain:

1) Hidung mancung tinggi.

2) Bibir sedang.

3) Rahang sedikit prognatis sehingga proyeksi muka maju ke depan.

4) Rambut bergelombang sampai keriting.

5) Rambut badan dan jenggot banyak.

Ras Kaukasoid terdiri atas subras berikut ini:

1) Nordic berada di Eropa Utara dan sekitar laut Baltik.

Ciri-ciri fisik subras Nordic antara lain:

1. Kepala lebih panjang.

2. Badang lebih tinggi.

3. Pigmentasi rambut pirang.

2) Alpine berada di Eropa Tengah dan Eropa Timur.

Ciri-ciri fisik subras Alpine antara lain:


21

1. Kepala lebih bundar.

2. Tinggi badan sedang sampai pendek.

3. Perawakan kuat.

4. Gemuk.

5. Pigmentasi sedang dengan rambut dan mata coklat.

3) Mediteranian berada di sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia,

Arab dan Iran.

Ciri-ciri fisik subras Mediteranian antara lain:

1. Kepala lebih panjang.

2. Tinggi badan sedang sampai pendek.

3. Perawakan ringan.

4. Pigmentasi agak hitam dengan rambut dan mata berwarna coklat

tua dan hitam.

5. Rambut keriting.

4) Indic berada di Pakistan, India, Bangladesh, dan Sri Lanka.

Ciri-ciri fisik subras Indic antara lain:

1. Ciri-ciri sama seperti subras Mediteranian dengan bentuk badan

lebih tinggi dan warna kulit lebih hitam.

2. Ras Mongoloid

Ciri-ciri fisik ras Mongoloid antara lain:

1) Warna kulit bertingkat dari berkulit coklat tembaga (Indian Amerika)

sampai kuning terang (Tiongkok Utara).

2) Rambut lurus.
22

3) Rambut badan dan jenggot jarang.

Ras Mongoloid terdiri atas subras berikut ini:

1) Asiatik Mongoloid berada di Asia Utara, Asia Tengah, dan Asia

Timur.

Ciri-ciri fisik subras Asiatik Mongoloid antara lain:

1. Tinggi.

2. Kepala bundar.

3. Kulit kuning terang.

4. Hidung lurus, kecil.

5. Bibir tipis.

6. Mata sipit.

2) Malayan Mongoloid berada di Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia,

Filipina dan Taiwan.

Ciri-ciri fisik subras Malayan Mongoloid antara lain:

1. Pendek.

2. Bentuk kepala dan tubuh bervariasi.

3. Warna kulit sawo matang.

3) American Mongoloid atau lebih dikenal dengan Indian berada di

Amerika.

Ciri-ciri fisik subras Indian antara lain:

1. Rambut bergelombang sampai setengah keriting.

3. Ras Negroid

Ciri-ciri fisik ras Negroid antara lain:


23

1) Hidung pesek.

2) Bibir tebal.

3) Prognatisme rahang besar.

4) Rambut keriting.

5) Pigmentasi sangat hitam.

6) Kepala panjang.

Ras Negroid terdiri dari subras berikut ini:

1) African Negroid berada di Afrika.

Ciri-ciri fisik subras African Negroid antara lain:

1. Warna kulit hitam.

2. Rambut keriting.

2) Negrito berada di Afrika Tengah, Semenanjung Malaya, dan Filipina.

Ciri-ciri fisik subras Negrito antara lain:

1. Badan lebih pendek.

2. Perawakan lebih ramping.

3. Kepala bundar.

4. Rambut badan dan jenggot tidak ada atau sedikit.

5. Warna kulit hitam.

6. Rambut keriting.

3) Melanesian berada di Papua dan Melanesia.

Ciri-ciri fisik subras Melanesian antara lain:

1. Berperawakan kuat.

2. Warna kulit hitam.


24

3. Rambut keriting.

4. Ras Australoid

Ras Australoid terdiri atas subras Aborigin yang berada di Australia

memiliki ciri-ciri fisik antara lain:

1) Kepala panjang dengan dahi menjorok.

2) Prognatisme rahang jelas.

3) Rambut badan dan jenggot lebat.

4) Rambut bergelombang.

5) Pigmentasi coklat sedang sampai tua.

5. Ras-Ras Khusus

Ras-ras ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam empat ras diatas. Ras ini

terdiri dari :

1) Bushman berada di gurun Kalahari, Afrika Selatan.

2) Veddoid berada di Sri Lanka dan Sulawesi Selatan.

3) Polynesian berada di kepulauan Mikronesia dan Polinesia.

4) Ainu berada di pulau Karafuto dan Hokaido, Jepang.

II.4.1 Penyebaran Ras di Indonesia

Pembagian ras besar di dunia menurut Kroeber diatas, Indonesia termasuk ke

dalam ras Mongoloid dan subras Malayan Mongoloid atau Melayu. Mereka yang

bertempat tinggal di daerah atau kawasan tertentu memiliki berbagai kesamaan

fisik. Indonesia memiliki berbagai kekhasan antara suku bangsa satu dengan suku

bangsa lainnya, oleh karena itu setiap suku bangsa di Indonesia meskipun berasal
25

dari keturunan yang sama tetapi memiliki perbedaan yang nyata satu dengan yang

lainnya (Soeroso, 2008). Perpindahan subras Melayu ke Indonesia tidak terjadi

dalam kurun waktu yang sama, melainkan secara berturut-turut. Subras Melayu

yang ada di Indonesia terbagi menjadi subras Melayu Tua atau Proto Melayu dan

subras Melayu Muda atau Deutro Melayu. Subras Melayu Tua memerlihatkan

ciri-ciri fisik ras Mongoloid. Suku bangsa yang termasuk ke dalam subras Melayu

Tua contohnya adalah suku Batak, suku Toraja, suku di Nusa Tenggara. Ciri-ciri

fisik subras Melayu Muda memerlihatkan ciri-ciri yang sama dengan subras

Melayu Tua, tetapi terdapat perbedaan pada bentuk kepala. Subras Melayu Tua

memiliki bentuk kepala pendek (brachicephali), sedangankan subras Melayu

Muda memiliki bentuk kepala panjang (dolichocephali). Suku bangsa yang

termasuk ke dalam subras Melayu Muda contohnya adalah suku yang berada di

Jawa, Madura, Bali dan Sulawesi (Suhamihardja, 1997).

Kebudayaan dalam suatu masyarakat dapat berwujud sebagai suatu

komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lain yang

menampilkan suatu corak khas. Corak khas dalam suatu kebudayaan dapat terlihat

karena kebudayaan itu menghasilkan suatu unsur kecil berupa unsur kebudayaan

fisik dengan bentuk yang khusus, pola sosial khusus, atau tema budaya yang

khusus. Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas adalah "suku

bangsa" dalam bahasa Inggris ethnic group (kelompok etnik). Suku bangsa adalah

suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan

kebudayaan yang dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga (Koentjaraningrat, 1990).


26

Bekker (Soeroso, 2008) menyatakan bahwa Indonesia memiliki 472 macam

suku bangsa yang terdiri dari 366 suku bangsa dan 106 subsatuan suku bangsa.

Subsatuan suku bangsa merupakan bagian kecil dari suku bangsa. Subsatuan suku

bangsa memiliki ciri yang sama dengan suku bangsa induknya, tetapi terdapat

perbedaan dengan subsatuan suku bangsa lain dalam satuan suku bangsa yang

bersangkutan. Penyebaran suku bangsa yang ada di Indonesia seperti berikut ini:

1. Pulau Sumatera sebanyak 49 suku bangsa.

2. Pulau Jawa sebanyak 7 suku bangsa.

3. Pulau Kalimantan sebanyak 73 suku bangsa.

4. Pulau Sulawesi sebanyak 117 suku bangsa.

5. Kepulauan Nusa Tenggara sebanyak 30 suku bangsa.

6. Pulau Maluku-Ambon sebanyak 41 suku bangsa.

7. Kepulauan Irian Jaya sebanyak 49 suku bangsa.

Suku Batak termasuk ke dalam subras Melayu Tua. Suku Batak mendiami

daerah pengunungan Sumatera Utara, mulai dari perbatasan Daerah Istimewa

Aceh di utara sampai ke perbatasan dengan Riau dan Sumatera Barat di sebelah

selatan. Suku Batak juga mendiami dataran rendah yang berada di antara pantai

Timur Sumatera Utara dengan pantai Barat Sumatera Utara. Suku Sunda termasuk

ke dalam subras Melayu Muda. Suku Sunda secara antropologi budaya adalah

orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Sunda serta

dialeknya dalam kehidupan sehari-hari dan berasal serta bertempat tinggal di

daerah Jawa Barat (Koentjaraningrat, 2002).


27

Pengelompokan Ras di Dunia

Ras Ras Ras Ras Ras - Ras


Kaukasoid Negroid Mongoloid Australoid Khusus

Subras Subras
Subras Malayan (Soeroso, 2008)
Asiatik American
Mongoloid
Mongoloid Mongoloid
Indonesia

Proto Melayu Deutro Melayu

Suku Batak Suku Sunda (Suhamihardja, 1997)

Diagram 2.1 Pengelompokan Ras di Dunia.


BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif komparatif. Penelitian

dilakukan dengan mengukur dan membandingkan lebar rahang bawah antara

Suku Batak pada Unit Kesenian Sumatera Utara Institut Teknologi Bandung

dengan Suku Sunda pada Lingkung Seni Sunda Institut Teknologi Bandung .

III.2 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi suku Batak dalam penelitian ini adalah mahasiswa Institut

Teknologi Bandung angkatan 2012, yang merupakan anggota dari Unit Kesenian

Sumatera Utara dan berusia antara delapan belas tahun sampai dua puluh lima

tahun. Populasi suku Sunda dalam penelitian ini adalah mahasiswa Institut

Teknologi Bandung angkatan 2012, yang merupakan anggota dari Lingkung Seni

Sunda dan berusia antara delapan belas tahun sampai dua puluh lima tahun.

Jumlah populasi suku Batak sebanyak enam puluh lima. Jumlah populasi suku

Sunda sebanyak sembilan puluh dua.

Teknik pemilihan sampel yang digunakan pada penelitian ini dengan teknik

purposive sampling dengan kriteria sampel suku Batak dan Sunda yang memenuhi

subjek studi sebagai berikut :

1. Merupakan Suku Batak secara keturunan dari dua generasi ke atasnya untuk

sampel Suku Batak. Merupakan Suku Sunda secara keturunan dari dua

generasi ke atasnya untuk sampel Suku Sunda. (Ayoub et al., 2014).

28
29

2. Gigi permanen dengan bentuk yang normal lengkap (kecuali molar ketiga)

dengan syarat tidak terdapat tambalan besar, kehilangan gigi kongenital, gigi

supernumerary (Al-Zubair, 2013).

3. Bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian.

4. Tidak terdapat abrasi, atrisi, dan fraktur pada gigi yang akan diuji.

5. Gigi yang diuji bukan merupakan gigi tiruan.

6. Tidak terdapat gigi berjejal.

7. Tidak sedang atau pernah menjalani perawatan ortodontik.

8. Tidak sedang atau pernah mengalami fraktur mandibula.

Jumlah sampel Suku Batak adalah dua puluh sampel, dan jumlah sampel

Suku Sunda adalah dua puluh sampel yang didapat menggunakan teknik

purposive sampling sehingga sampel didapat secara tidak acak dan sesuai dengan

kriteria sampel yang telah dibuat.

III.3 Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini antara lain :

1. Lebar rahang bawah.

2. Suku Batak.

3. Suku Sunda.

III.4 Definisi Operasional

1. Lebar rahang bawah terdiri dari jarak antar puncak bonjol kaninus kiri dan

kanan rahang bawah, jarak antar puncak bonjol mesio bukal molar pertama
30

kiri dan kanan rahang bawah, jarak antar puncak bonjol disto bukal molar

kedua kiri dan kanan rahang bawah.

2. Suku Sunda pada penelitian ini adalah mahasiswa Institut Teknologi Bandung

angkatan 2012 yang secara keturunan merupakan suku Sunda dari dua

generasi keatas yang diketahui melalui biodata sampel penelitian dan anggota

dari Lingkung Seni Sunda.

3. Suku Batak pada penelitian ini adalah mahasiswa Institut Teknologi

Bandung angkatan 2012 yang secara keturunan merupakan suku Batak dari

dua generasi keatas yang diketahui melalui biodata sampel penelitian dan

anggota dari Unit Kesenian Sumatera Utara.

III.5 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dasar yang digunakan untuk memeriksa rongga mulut subjek penelitian

antara lain :

1. Kaca mulut.

2. Sonde.

3. Pinset.

Alat yang digunakan untuk proteksi diri/standard precautions antara lain :

1. Hand scoon.

2. Masker.

3. Jas Laboratorium.

Alat dan bahan yang digunakan untuk mencetak rahang bawah antara lain :

1. Rubber bowl.
31

2. Spatula.

3. Sendok cetak rahang bawah berlubang berbagai ukuran.

4. Bahan cetak alginate.

Alat dan bahan yang digunakan untuk membuat model studi :

1. Rubber bowl.

2. Spatula.

3. Gips batu.

Alat yang digunakan untuk mengukur lebar rahang bawah antara lain :

1. Pensil.

2. Jangka sorong digital.

Peneliti akan melakukan prosedur penelitian menggunakan alat dan bahan

diatas. Prosedur penelitian dimulai dengan mencetak rahang bawah, selanjutnya

dibuat model studi, lalu dilakukan penghitungan jarak antara gigi kaninus kiri dan

kanan, jarak antara gigi molar pertama kiri dan kanan, jarak antara gigi molar

kedua kiri dan kanan menggunakan metode Raberin (Al-Zubair, 2014).

III.6 Prosedur Penelitian

III.6.1 Prosedur Penelitian Awal

Prosedur penelitian awal terdiri dari :

1. Sampel penelitian diberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian.

2. Mencatat data diri sampel pada formulir persetujuan peserta penelitian

(informed consent) dan formulir data penelitian.


32

III.6.2 Pembuatan Model Rahang Bawah

Pembuatan model rahang bawah dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Mengamati rongga mulut pasien menggunakan kaca mulut.

2. Menyesuaikan ukuran sendok cetak dengan ukuran rahang bawah sampel.

3. Mempersiapkan posisi sampel dan memberikan instruksi untuk dilakukan

pencetakan rahang bawah.

4. Melakukan manipulasi bahan cetak alginat.

5. Melakukan pencetakan rahang bawah sehingga didapat cetakan negatif.

6. Melakukan pengecoran gips pada cetakan negatif sehingga didapat

cetakan positif.

III.6.3 Pengukuran Lebar Rahang Bawah

Pengukuran lebar rahang bawah dilakukan menggunakan metode Raberin

(Al-Zubair, 2013) dengan cara sebagai berikut :

1. Menandai model studi dengan menggunakan pensil pada bagian antara lain

1) Puncak bonjol kaninus kiri dan kanan yang menggambarkan jarak

antar kaninus kiri dan kanan rahang bawah.

2) Puncak bonjol mesiol-bukal molar pertama permanen kiri dan kanan

yang menggambarkan jarak antar molar pertama kiri dan kanan

rahang bawah.
33

3) Puncak bonjol disto-bukal molar kedua permanen kiri dan kanan

yang menggambarkan jarak antar molar kedua kiri dan kanan rahang

bawah.

2. Menghubungkan puncak bonjol-bonjol yang telah disebutkan pada poin

diatas menggunakan ujung jangka sorong digital.

3. Menulis angka yang tertera pada jangka sorong digital ke dalam tabel yang

dibuat untuk pengolahan data.

III.6.4 Pemasukan Data

Data yang didapat dari pengukuran dimasukan ke dalam contoh tabel seperti

berikut ini :

Tabel 3.1 Contoh Tabel Data Lebar Rahang Bawah Suku X

Jarak Antar Jarak Antar Premolar Jarak Antar Molar


No
Kaninus (mm) Pertama (mm) Kedua (mm)
1.
2.
3.
4.
5.
Dst.
Rata-Rata

III.7 Analisis Data

Data jarak antar kaninus, jarak antar molar pertama dan jarak antar molar

kedua rahang bawah akan dicari rata-rata. Analisis statistik yang pertama

dilakukan adalah uji normalitas Shapiro-Wilk menggunakan SPSS versi 20 untuk

mengetahui distribusi data penelitian. Analisis statistik yang kedua dilakukan


34

adalah uji homogenitas Varians Levene's menggunakan SPSS versi 20 untuk

mengetahui varians data. Uji normalitas dan uji homogenitas dilakukan karena

kedua analisis tersebut merupakan uji prasyarat sebelum melakukan uji hipotesis

menggunakan Independent Sample T-test (Dahlan, 2013).

Analisis statistik yang terakhir adalah uji hipotesis menggunakan

Independent Sample T-test menggunakan SPSS versi 20 dengan taraf signifikansi

0,05. Jika nilai T lebih kecil dari taraf siginifikansi maka H0 ditolak dengan kata

lain terdapat perbedaan lebar rahang bawah pada Suku Batak dengan Suku Sunda.

Hipotesis yang diuji antara lain :

H0 : μ1 = μ2, artinya tidak terdapat perbedaan lebar rahang bawah pada suku Batak

dengan Sunda.

H1 : μ1 ≠ μ2, artinya terdapat perbedaan lebar rahang bawah pada suku Batak

dengan Sunda.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 20 anggota Unit Kesenian Sumatera Utara

(UKSU) dan 20 anggota Lingkung Seni Sunda (LSS) yang merupakan mahasiswa

Institut Teknologi Bandung angkatan 2012 yang berumur delapan belas sampai

dua puluh lima tahun. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebar rahang

bawah pada suku Batak dan Sunda juga mengetahui apakah terdapat perbedaan

lebar rahang bawah antara suku Batak dengan Sunda. Lebar rahang bawah pada

penelitian ini terdiri dari jarak antar puncak bonjol kaninus kiri dan kanan rahang

bawah, jarak antar puncak bonjol mesio bukal molar pertama kiri dan kanan

rahang bawah, jarak antar puncak bonjol disto bukal molar kedua kiri dan kanan

rahang bawah.

IV.1.1 Uji Normalitas

Uji normalitas data dalam penelitian ini dilakukan untuk menentukan analisis

data yang digunakan apakah menggunakan analisis parametrik atau non

parametrik. Hasil pengujian normalitas data berdistribusi normal, maka analisis

data menggunakan analisis parametrik (Independent Sample T-test), tetapi jika

data tidak berdistribusi normal, maka analisis data yang digunakan adalah statistik

non parametrik (Mann Whitney). Uji normalitas data menggunakan uji Shapiro-

Wilk dengan hasil sebagai berikut:

35
36

Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas Data

Kelompok
Indikator Suku Sunda Suku Batak
p-value Distribusi p-value Distribusi
Jarak Antar Kaninus 0.596 Normal 0.205 Normal
Jarak Antar Molar
0.733 Normal 0.728 Normal
Pertama
Jarak Antar Molar Kedua 0.132 Normal 0.219 Normal
Keterangan : Normal jika p-value > 0,05

Tidak Normal jika p-value < 0,05

Hasil pengujian normalitas di atas terlihat bahwa p-value yang diperoleh

masing-masing kelompok uji > 0,05 yang menunjukan bahwa jarak antar kaninus,

molar pertama dan molar kedua pada suku Batak dan Sunda berdistribusi secara

normal, sehingga uji perbandingan yang dipakai adalah analisis parametrik

(Independent Sample T-test).

IV.1.2 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan untuk melihat gambaran masing-masing

variabel yang diteliti sebelum dilakukan analisis perbandingan dengan

menggunakan Independent Sample T-test. Analisis deskriptif dalam penelitian ini

menggunakan rata-rata atau mean dan standar deviasi untuk jarak antar kaninus,

molar pertama dan molar kedua rahang bawah

Tabel 4.3 Rata-Rata Jarak Antar Kaninus Pada Suku Sunda dan Suku Batak
37

Rata-Rata Jarak Antar Kaninus

Variabel Suku Sunda Suku Batak

Mean SD Mean SD

Jarak Antar Kaninus 26.57 mm 2.19 27.43 mm 2.05

Grafik 4.1 Rata-Rata Jarak Antar Kaninus Pada Suku Sunda dan Suku

Batak

Jarak Antar Kaninus (mm)


30
25
20
15
10
5
0
Suku Sunda Suku Batak

Jarak Antar Kaninus (mm)

Nilai rata-rata jarak antar kaninus pada suku Sunda Sunda sebesar 26,658

mm lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata jarak antar kaninus pada suku

batak sebesar 27,423 mm menurut tabel dan grafik diatas. Hal ini menunjukan

bahwa lebar antar kaninus suku Batak lebih lebar jika dibandingkan dengan suku

Sunda.

Tabel 4.4 Rata-Rata Jarak Antar Molar Pertama Pada Suku Sunda dan Suku Batak
38

Rata-Rata Jarak Antar Molar Pertama

Variabel Suku Sunda Suku Batak

Mean SD Mean SD
Jarak Antar Molar
45.36 mm 2.48 48.53 mm 2.57
Pertama

Grafik 4.2 Rata-Rata Jarak Antar Molar Pertama Pada Suku Sunda dan

Suku Batak

Jarak Antar Molar Pertama (mm)


49
48
47
46
45
44
43
Suku Sunda Suku Batak

Jarak Antar Molar Pertama (mm)

Nilai rata-rata jarak antar molar pertama pada suku Sunda sebesar 45,359 mm

lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata jarak antar molar pertama suku

Batak sebesar 48,531 mm menurut tabel dan grafik diatas ini menunjukan bahwa

lebar antar molar pertama Suku Batak lebih lebar jika dibandingkan dengan Suku

Sunda.

Tabel 4.5 Rata - Rata Jarak Antar Molar Kedua Pada Suku Sunda dan Suku Batak
39

Rata-Rata Jarak Antar Molar Kedua

Variabel Suku Sunda Suku Batak

Mean SD Mean SD
Jarak Antar Molar
54.14 mm 3.59 57.63 mm 2.57
Kedua

Grafik 4.3 Rata-Rata Jarak Antar Molar Kedua Pada Suku Sunda dan Suku

Batak

Jarak Antar Molar Kedua (mm)


58
57
56
55
54
53
52
Suku Sunda Suku Batak

Jarak Antar Molar Kedua (mm)

Nilai rata-rata jarak antar molar kedua pada suku Sunda sebesar 54,136

mm lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata jarak antar molar kedua pada

suku Batak sebesar 57,632 mm menurut tabel dan grafik diatas. Hal ini

menunjukan bahwa lebar antar molar kedua suku Batak lebih lebar jika

dibandingkan dengan suku Sunda.


40

IV.1.3 Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah data jarak antar

kaninus, jarak antar molar pertama, dan jarak antar molar kedua rahang bawah

pada suku Batak dan Sunda memiliki varians yang sama atau tidak. Varians data

perlu diketahui untuk menentukan hasil uji banding. Varians data diuji

menggunakan Levene's test, jika hasil pada kolom "Sig" melebih taraf signifikansi

0,05, maka varians data pada suku Batak dan Sunda sama.

Tabel 4.6 Uji Homogenitas Jarak Antar Kaninus

Levene's test for Equality of Variances


F Sig.
Jarak Antar Kaninus
.001 .975

Nilai Sig sebesar 0.975. Nilai Sig lebih besar dari taraf signifikansi 0.05,

artinya data jarak antar kaninus rahang bawah pada suku Batak dan Sunda

memiliki varians data yang sama.

Tabel 4.7 Uji Homogenitas Jarak Antar Molar Pertama

Levene's test for Equality of Variances


Jarak Antar Molar F Sig.
Pertama .011 .917

Nilai Sig sebesar 0.917. Nilai Sig lebih besar dari taraf signifikansi 0.05,

artinya data jarak antar molar pertama rahang bawah pada suku Batak dan Sunda

memiliki varians data yang sama.


41

Tabel 4.8 Uji Homogenitas Jarak Antar Molar Kedua

Levene's test for Equality of Variances


F Sig.
Jarak Antar Molar Kedua
1.786 .189

Nilai Sig sebesar 0.189. Nilai Sig lebih besar dari taraf signifikansi 0.05,

artinya data jarak antar molar kedua rahang bawah pada suku Batak dan Sunda

memiliki varians data yang sama.

IV.1.4 Perbedaan Lebar Rahang Bawah Antara Suku Batak dengan Sunda

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui lebar rahang bawah

suku Batak dan Sunda juga mengetahui apakah terdapat perbedaan lebar rahang

bawah antara suku Batak dengan Sunda menggunakan uji hipotesis Independent

Sample T-test. Lebar Rahang bawah dalam penelitian ini diukur dengan

menggunakan tiga indikator yaitu jarak antar kaninus, antar molar pertama dan

antar molar kedua rahang bawah.

Perbedaan lebar rahang bawah yang bermakna antara suku Batak dengan

Sunda dilakukan uji hipotesis dengan rumusan hipotesis sebagai berikut:

H0 : μ1 = μ2, artinya tidak terdapat perbedaan lebar rahang bawah pada suku

Batak dengan Sunda.

H1 : μ1 ≠ μ2, artinya terdapat perbedaan lebar rahang bawah pada suku Batak

dengan Sunda.

Taraf signifikansi (α) : 0,05 dengan kriteria pengujian sebagai berikut:

H0 diterima jika p value > 0.05


42

H0 ditolak jika p value < 0.05

Tabel 4.9 Perbandingan Jarak Antar Kaninus Antara Suku Batak Dengan Sunda

p Kesimpula
Jarak Antar Kaninus n t df
value n
Suku Batak vs Suku - Ho
40 37.973 0.196
Sunda 1.316 diterima

Nilai p value sebesar 0.196. Nilai p value lebih besar dari taraf signifikansi

0.05 artinya H0 diterima. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada jarak

antar kaninus rahang bawah antara Suku Batak dengan Sunda.

Tabel 4.10 Perbandingan Jarak Antar Molar Pertama Antara Suku Batak Dengan

Sunda

Jarak Antar Molar Pertama n t df p-value Kesimpulan

Suku Sunda vs Suku Batak 40 -3.975 37.949 0.000 Ho ditolak

Nilai p value sebesar 0.000. Nilai p value lebih kecil dari taraf signifikansi

0.05 artinya H0 ditolak. Terdapat perbedaan yang bermakna pada jarak antar molar

pertama rahang bawah antara suku Batak dengan Sunda.

Tabel 4.11 Perbandingan Jarak Antar Molar Kedua Antara Suku Batak Dengan

Sunda

Jarak Antar Molar n t df p-value Kesimpulan


43

Kedua
Suku Sunda vs Suku
40 -3.545 34.408 0.001 Ho ditolak
Batak

Nilai p value sebesar 0.001. Nilai p value lebih kecil dari taraf signifikansi

0.05 artinya H0 ditolak. Terdapat perbedaan yang bermakna pada jarak antar molar

kedua rahang bawah antara suku Batak dengan Sunda.

IV.2Pembahasan

Tabel 4.5 menunjukan perbandingan jarak antar kaninus rahang bawah pada

suku Batak dengan Sunda. Jarak antar kaninus rahang bawah pada suku Batak

dengan Sunda secara analisis statistik tidak menunjukan perbedaan yang

signifikan artinya tidak terdapat perbedaan jarak antar kaninus rahang bawah pada

suku Batak dengan Sunda dengan rata-rata jarak kaninus rahang bawah pada suku

Batak sebesar 27,43 mm dan pada suku Sunda sebesar 26,57 mm.

Tabel 4.6 menunjukan perbandingan jarak antar molar pertama rahang bawah

pada suku Batak dengan Sunda. Jarak molar pertama rahang bawah pada suku

Batak dengan Sunda secara analisis statistik menunjukan perbedaan yang

signifikan artinya terdapat perbedaan jarak antar molar pertama rahang bawah

pada suku Batak dengan Sunda. Jarak antar molar pertama rahang bawah pada

suku Batak lebih lebar dari suku Sunda dengan rata-rata jarak molar pertama

rahang bawah pada suku Batak sebesar 48,53 mm dan pada suku Sunda sebesar

45,36 mm.
44

Tabel 4.7 menunjukan perbandingan jarak antar molar kedua rahang bawah

pada suku Batak dengan Sunda. Jarak molar kedua rahang bawah pada suku Batak

dengan Sunda secara analisis statistik menunjukan perbedaan yang signifikan

artinya terdapat perbedaan jarak antar molar kedua rahang bawah pada suku Batak

dengan Sunda. Jarak antar molar kedua rahang bawah pada suku Batak lebih lebar

dari suku Sunda dengan rata-rata jarak molar kedua rahang bawah pada suku

Batak sebesar 57,63 mm dan pada suku Sunda sebesar 54,14 mm.

Hasil penelitian lebar rahang bawah pada suku Batak dan Sunda yang telah

dilakukan menunjukan bahwa rahang bawah suku Batak berbeda dengan suku

Sunda. Rahang bawah suku Batak lebih lebar dari suku Sunda pada jarak antar

molar pertama dan kedua rahang bawah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Senn

dan Stimson pada tahun 2010, bahwa rahang bawah adalah salah satu struktur

yang menjadi ciri khas suatu suku (Senn & Stimson, 2010). Lebar rahang bawah

pada tiap individu berbeda, sesuai dengan ukuran gigi, posisi gigi, pola

pertumbuhan kraniofasial yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan

(Al-Zubair, 2013). Perbedaan suku menunjukan variasi yang berbeda pada ukuran

dan bentuk lengkung rahang (Lavelle et al, 1971).

Penelitian-penelitian mengenai perbandingan ukuran dan bentuk rahang antar

suku dan ras telah banyak dilakukan dan hasil penelitian menunjukan adanya

perbedaan ukuran dan bentuk rahang antar suku maupun ras. Penelitian mengenai

perbandingan lebar rahang bawah pada tiga suku di Texas menunjukan hasil

bahwa orang Meksiko Amerika memiliki rahang bawah yang paling lebar

dibanding dengan orang Amerika berkulit hitam dan putih. Rahang bawah orang
45

Meksiko Amerika lebih lebar 0,2 mm dari orang Amerika berkulit hitam. Rahang

bawah pada orang Amerika berkulit putih 0,8 sampai 1,2 mm lebih sempit dari

suku lainnya (Nummikoski, 1988). Penelitian mengenai bentuk klinis rahang

bawah orang Kaukasus dan Jepang menunjukan hasil bahwa rahang bawah pada

orang Jepang lebih lebar dari rahang bawah orang Kaukasus, tetapi rahang bawah

orang Kaukasus lebih tingi dari rahang bawah orang Jepang (Nojima,2001).

Penelitian mengenai bentuk klinis rahang bawah orang Kaukasus dan Afrika

Amerika juga menunjukan hasil bahwa orang Kaukasus memiliki dimensi rahang

bawah yang lebih kecil dari orang Afrika Amerika (Jerome, 2012). Penelitian

mengenai lengkung rahang pada orang Korea dan Amerika Utara berkulit putih

menunjukan hasil bahwa rahang bawah orang Korea lebih lebar dari orang

Amerika Utara berkulit putih, tetapi memiliki ketinggian rahang bawah yang sama

(Kook, 2004). Penelitian mengenai lengkung rahang pada suku Kurdish dan

Yemenites menunjukan hasil bahwa lengkung rahang suku Kurdhish secara

signifikan lebih lebar dari lengkung rahang suku Yemenites (Kaye, 2005).

Penelitian mengenai rahang pada populasi berkulit hitam dan putih menunjukan

hasil bahwa lengkung rahang pada populasi berkulit hitam lebih lebar dibanding

dengan populasi berkulit putih (Merz, 1991).

Kallianpur pada tahun 2011 mengatakan bahwa data antropometri digunakan

untuk mengetahui karakteristik suatu suku, selain itu pada penelitiannya mengenai

antropometri tinggi wajah, tinggi rahang, dan rugae palatina pada orang India dan

Nepal menunjukan hasil bahwa rahang bawah dan rahang atas pada orang India

lebih panjang dari orang Nepal (Kallianpur, 2011). Penelitian antropometri tiga
46

populasi yang dilakukan Santini dan Alayan tahun 2012 pada populasi India, Cina

dan Eropa menunjukan hasil bahwa rahang bawah pada populasi India lebih

pendek dari populasi Cina dan Eropa (Santini & Alayan, 2012).
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

V.1 Simpulan

Simpulan penelitian menunjukan bahwa lebar rahang bawah antara suku

Batak dengan Sunda berbeda diukur dari jarak antar molar pertama dan jarak antar

molar kedua, tetapi tidak terdapat perbedaan pada jarak antar kaninus. Lebar

rahang bawah pada suku Batak lebih besar dari suku Sunda diukur dari jarak antar

molar pertama dan jarak antar molar kedua.

V.2 Saran

Saran berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebaiknya

dilakukan penelitian lebih lanjut yang melibatkan jenis kelamin pada setiap suku,

karena selain untuk data antropometri, data yang dipakai juga dapat digunakan

sebagai data penunjang bagi keperluan kedokteran gigi forensik untuk keperluan

identifikasi awal yang terdiri dari identifikasi umur, jenis kelamin, dan suku.

47
DAFTAR PUSTAKA

Agnihotri, G., Gulati, M. 2007. Maxillary molar and premolar indices in North
Indians: A dimorphic study. The Internet Journal of Biological Anthropology.
2(1): 1-5.

Al-Zubair, N. 2013. The relationship between mandibular arch length and widths
in a sample of Yemeni subjects with normal dento-Skeletal relationship.
Journal of Orthodontic Science. 2(4): 120-123. Available online at:
http://doi.org/10.4103/2278-0203.123198, (diakses 12 Mei 2015).

Al-Zubair, N. 2014. Determinants factors of Yemeni dental arch forms. Journal of


Orthodontic Research. 2(2): 55-59. Available online at:
http://doi.org/10.4103/2321-3825.131114, (diakses 18 November 2015).

Ananta, A., & Arifin, N. E. 2014. A new classification of Indonesia’s ethnic


groups. ISEAS Working Paper.Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies.

Aspinall, P., & Song, M. 2013. Mixed Race Identities. London: Palgrave
Macmillan. Available online at: https://books.google.co.id/books?
id=tSE0AAAAQBAJ, (diakses 10 November 2015).

Ayoub, F., et al. 2014. Mandibular canine dimorphism in establishing sex identity
in the Lebanese population. International Journal of Dentistry.
2014(2014):1-3. Available online at: http://doi.org/10.1155/2014/235204,
(diakses 15 Oktober 2015).

B.S., Buanajaya. 2009. Penelitian historis keberadaan budaya keagamaan


khonghucu di Indonesia. Tesis. Surakarta: Matakin Dewan Rohaniwan
Agama Khonghucu Indonesia.

Balachander, N., et al. 2015. Evolution of forensic odontology: An overview.


Journal of Pharmacy and Bioallied Sciences. 7: 176.

Bass, William M. 1987. Human Osteology: A Laboratory and Field Manual.


United States: Missouri Archaeological Society, Inc.

Benoit, Roland. 2012. Development of human mandible under the influence of the
enviroment and/or genetics. J Dentofacial Anom Orthod. 1-4.

Bishara, Samir E. 2001. Textbook of Orthodontics. Pennsylvania: W. B. Saunders


Company.
Coley, B. D., & Caffey, J. 2013. Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging. United
States: Elsevier Saunders. Available online at:

48
49

https://books.google.co.id/books?id=8ySklgEACAAJ, (diakses 10 November


2015).

Cox, Katharine., et al. 2006. Forensic identification of "race". Anthropological


Research. 47 (5), 869-873. Available online at:
http://search.ebscohost.com/login.aspx?
direct=true&db=lfh&AN=22462285&site=ehost-live (diakses 13 Januari
2016).

Crapo, R. H. 2002. Cultural Anthropology Understanding Ourselves & Others.


New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Daeid, Niamh Nic. 2010. Fifty Years of Forensic Science. United Kingdom:
Wiley-Blackwell. Available online at: https://books.google.co.id/books?id=-
I1zVIt41xsC&dq=forensic+science+definition&source=gbs_navlinks_s
(diakses 4 Februari 2016).

Dahlan, M. S. 2013. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta: Salemba


Medika.

Daniel, M. Jonathan, et al. 2014. Comparison of inter-canine and inter-molar width


as an aid in gender determination: a preliminary study. J Indican Acad
Forensic Med. 3(2): 168-170.

Drake, R., et al. 2014. Gray’s Anatomy for Students. United States: Elsevier
Health Sciences. Available online at: https://books.google.co.id/books?
id=Lh20BQAAQBAJ, (diakses 10 November 2015).

Gupta, Amit, et al. 2014. Stature and gender determination and their correlation
using odontometry and skull antropometry. Journal of Forensic Dental
Science. 6(2): 101-106. Available online at:: http://www.jfds.org/article.asp?
issn=0975-
1475;year=2014;volume=6;issue=2;spage=101;epage=106;aulast=Gupta
(diakses 3 November 2015).

Halim, A. 2008. Anatomy Regional and Clinical for Dental Students. New Delhi:
I.K. International Publishing House Pvt. Ltd. Available online at:
https://books.google.co.id/books?
id=hyoX9SkGBysC&vq=mandible&dq=mandible+is&source=gbs_navlinks_
s (diakses 6 Februari 2016).

Harris, J. E., et al. 1977. Age and race as factors in craniofacial growth and
development. Journal of Dental Research. 56(3): 266-273.

Herschaft, E. E. 2011. Manual of Forensic Odontology. Boca Raton: Taylor &


Francis. Available online at: https://books.google.co.id/books?
50

id=r2LLVEGemh4C, (diakses 20 November 2015).

Houck, M. M., & Siegel, J. A. 2015. Fundamentals of Forensic Science. San


Diego: Elsevier Science. Available online at:
https://books.google.com.hk/books?id=8dicBAAAQBAJ, (diakses 18
November 2015).

Indira, A. P.; Markande, A.; & David, M. P. 2012. Mandibular ramus : An


indicator for sex determination – A digital radiographic study. Journal of
Forensic Dental Science. 4(2): 58-62. Available online at:
http://doi.org/10.4103/0975-1475.109885, (diakses 10 November 2015).

Iscan, Mehmet Yasar & Steyn, Maryna. 2013. The Human Skeleton In Forensic
Medicine. United States: Charles C Thomas. Available online at:
https://books.google.co.id/books?
id=BhziCAAAQBAJ&dq=The+Human+Skeleton+In+Forensic+Medicine&s
ource=gbs_navlinks_s (diakses 12 Januari 2016).

Jerome, John Robert. 2012. A comparative study of Caucasian and African


American mandibular clinical arch forms. Disertasi. California: University of
Southern California.

Jesika. 2012. Ukuran dan bentuk lengkung gigi rahang bawah pada mahasiswa
suku batak Fakultas Kedokteran Gigi dan teknik Universitas Sumatera Utara.
Skripsi. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara.

Kallianpur, Shreenivas., et al. 2011. An antrophometric analysis of facial height,


arch length, and palatal rugae in the Indian and Nepalese population. Journal
of Forensic Dental Sciences. 3(1): 33-37. Available online at: http://e-
resources.perpusnas.go.id:2057/docview/894756991/fulltextPDF/2A01A02A
B50B473CPQ/1?accountid=25704 (diakses 10 Maret 2016).

Kaye, Edith Koyoumdjisky., et al. 2005. A comparative study tooth and dental
arch dimensions in Jewish children of different ethnic descent Kurdhis and
Yemenites. American Journal of Physical Anthropology. 44(3): 437-443.
Available online at:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/ajpa.1330440307/abstract (diakses
11 Maret 2016).

Khangura, Rajbir Kaur, et al. 2015. Four odontometric parameters as a forensic


tool in stature estimation. Journal of Forensic Dental Sciences. 7(2): 132-136.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:


Djambatan.
51

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta.

Kook, Yoon Ah., et al. 2004. Comparison or arch forms between Korean and
North American white populations. American Journal of Orthodontics and
Dentofacial Orthopedics. 126(6): 680-686. Available online at:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0889540604006523
(diakses 11 Maret 2016).

Kulkarni, Neeta V. 2011. CIinical Anatomy (A Problem Solving Approach),


Second Edition. India: JP Medical Ltd. Available online at:
https://books.google.co.id/books?
id=IoB7hQhFkK0C&dq=mandible+is&source=gbs_navlinks_s (diakses 6
Februari 2016).

Kumar, M., & Lokanadham, S. 2013. Sex determination & morphometric


parameters of human mandible. International Journal of Research in
Medical Science. 1(2): 93-96. Available online at:
http://doi.org/10.5455/2320-6012.ijrms20130511, (diakses 12 Oktober
2015).

Lavelle, C. L. B., et al. 1971. Dental arch in various ethnic groups. The Angle
Orthodontist. 41(4): 293-299. Available online at:
http://www.angle.org/doi/abs/10.1043/00033219(1971)041%3C0293:DAIVE
G%3E2.0.CO%3B2 (diakses 11 Maret 2016).

Lee, K.-J., et al. 2013. Comparison of mandibular arch forms of Korean and
Vietnamese patients by using facial axis points on three-dimensional models.
Korean Journal of Orthodontics. 43(6): 288-293. Available online at:
http://doi.org/10.4041/kjod.2013.43.6.288, (diakses (16 Desember 2015).

Linton, Ralph. 1984. Study of Man. Bandung: C.V. Jemmars.

Malik, Kenan. 1996. The Meaning of Race. New York: New York University
Press. Available online at: https://books.google.co.id/books?
id=mE8TCgAAQBAJ&dq=race+definition&source=gbs_navlinks_s (diakses
11 Februari 2016).

Marcelina, S. 2014. Ukuran lenkung gigi rahang atas dan rahang bawah pada
mahasiswa suku batak mandailing di FKG USU. Skripsi. Medan: Fakultas
Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara.

Martini, Frederic H. 2005. Anatomy & Physiology. Singapore: Pearson Education


Inc.
Merz, Mary Lynn, et al. 1991. Tooth diameters and arch perimeters in a black and
white population. American Journal of Orthodontics and Dentofacial
52

Orthopedics. 100(1): 53-58. Available online at:


http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/0889540691700493 (diakses
10 Maret 2016).

Netter, Frank H. 2014. Atlas of Human Anatomy, Professional Edition: including


NetterReference.com Access with Full Downloadabel Image Bank.
Philadelphia: Elsevier Health Sciences. Available online at:
https://books.google.co.id/books?
id=grIBCgAAQBAJ&vq=mandible&dq=mandible+is&source=gbs_navlinks
_s (diakses 6 Februari 2016).

Nojima, Kunihiko., et al. 2001. A comparative study of Caucasian and Japanese


mandibular clinical arch forms. The Angle Orthodontist. 71(3): 195-200.
Available online at: http://www.angle.org/doi/abs/10.1043/0003-
3219(2001)071%3C0195:ACSOCA%3E2.0.CO;2 (diakses 11 Maret 2016).

Nummikoski, Pirkka., et al. 1988. Dental and mandibular arch widths in three
ethnic groups in Texas: A radiographic study. Oral Surgery, Oral Medecine,
Oral Pathology. 65(5): 609-617. Available online at:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/0030422088901466 (diakses
11 Maret 2016).

Obwegeser, Hugo L. 2013. Mandibular Growth Anomalies: Terminology -


Aeotology Diagnosis - Treatment. Germany: Springer Science and Bussines
Media. Available online at: https://books.google.co.id/books?
id=E_3uCAAAQBAJ&dq=mandible+is&source=gbs_navlinks_s (diakses 6
Februari 2016).

Okori, Hilda, et al. 2015. A secondary analysis to determine variations of dental


arch measurements with age and gender among Ugandans. BMC Research
Notes. Available online at:
http://articles.casejournals.com/rendered_articles/55ff429baa48c127d71190a
7/full (diakses 9 Februari 2016).

Premukmar, Sridhar. 2011. Textbook of Craniofacial Growth. New Delhi: Jaypee


Brothers Medical Publisher (P) Ltd. Available online at:
https://books.google.co.id/books?
id=x8qIAzv4tXAC&dq=mandible+development&source=gbs_navlinks_s
(diakses 6 Februari 2016).

Proffit, William R., et al. 2007. Contemporary Orthodontics. Missouri: Mosby


Elsevier.

Rai, Balwant & Kaur, Jasdeep. 2012. Evidence-Based Forensic Dentistry.


Amsterdam: Springer Science & Bussines Media. Available online at:
https://books.google.co.id/books?
53

id=WgeUu6C3X0YC&dq=forensic+dentistry&source=gbs_navlinks_s
(diakses 4 Februari 2016).

Rai, B., et al. 2007. Changing maxillary and mandibular antar-canine and antar-
molar distance between 8 to 20 years: male and female. The Antarnet Journal
of Forensic Science. 3(1): 1-3.

Rastogi, Prakteek, et al. 2013. Sexual diamorphism-an odontometric approach.


Anthropol. 1(2): 1-4.

Santini, A. & Alayan I. 2012. A comparative anthropometric study of position of


the mental foramen in three population. British Dental Journal. 212(7): 1-6.
Available online at: http://e-
resources.perpusnas.go.id:2057/docview/1018692505?pq-origsite=summon
(diakses 10 Maret 2016).

Scheid, Rickne C. & Weiss, Gabriela. 2012. Woelfel's Dental Anatomy.


Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.

Schmitt, Aurore, et al. 2006. Forensic Anthropology and Medicine


Complementary Sciences From Recovery to Cause of Death. New Jersey:
Humana Press. Available online at: https://books.google.co.id/books?
id=XJvGm6CO5N0C&dq=Forensic+Anthropology+and+Medicine+Comple
mentary+Sciences+From+Recovery+to+Cause+of+Death&source=gbs_navli
nks_s (diakses 11 Januari 2016).

Senn, D. R., & Stimson, P. G. 2010. Forensic Dentistry Second Edition. Boca
Raton: Taylor & Francis Group.

Silva, R., & Oliveira, R. 2008. Forensic anthropology and molecular biology:
independent or complementary sciences in forensic dentistry: An overview.
Brazilian Journal of Oral Sciences. Available online at:
http://bases.bireme.br/cgibin/wxislind.exe/iah/online/?
IsisScript=iah/iah.xis&src=google&base=LILACS&lang=p&nextAction=lnk
&exprSearch=521319&indexSearch=ID, (diakses 15 Oktober 2015).

Singh, Inderbir. 2005. Essentials of Anatomy. India: Rex Bookstore, Inc. Available
online at: https://books.google.co.id/books?
id=bbGW0lMLhbUC&source=gbs_navlinks_s (diakses 6 Februari 2016).

Singh, N. N. 2014. Exploring trends in forensic odontology. Journal of Clinical


and Diagnostic Research. 8(12): 28-30. Available online at:
http://doi.org/10.7860/JCDR/2014/9976.5273, (diakses 20 November 2015).

Skelton, Randall R. 2011. A Survey of the Forensic Sciences. United States:


www.lulu.com. Available online at: https://books.google.co.id/books?
54

id=BjxTAgAAQBAJ&dq=forensic+science+definition&source=gbs_navlink
s_s (diakses 2 Februari 2016).

Soeroso, Andreas. 2008. Sosiologi 2 SMA Kelas XI. Bogor: Quadra. Available
online at: https://books.google.co.id/books?
id=cHRDenEoeWEC&dq=ras+dunia&source=gbs_navlinks_s (diakses 11
Februari 2016).

Suhamihardja, Agraha Suhandi. 1997. Pola Hidup Masyarakat Indonesia.


Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.

Thompson, Tim & Black, Sue. 2007. Forensic Human Identification. Boca Raton:
Taylor and Francis Group. Available online at:
https://books.google.co.id/books?
id=IobMBQAAQBAJ&dq=Forensic+Human+Identification+thompson&sour
ce=gbs_navlinks_s (diakses 9 Januari 2016).

Tilstone, W. J., et al. 2006. Forensic Science: An Encyclopedia of History,


Methods, and Techniques. California: ABC-CLIO. Available online at:
https://books.google.co.id/books?id=zIRQOssWbaoC, (diakses 20 November
2015).

Yadav, Rajesh R., et al. 2012. Fracture Mandible. India: Jaypee Brothers
Publishers. Available online at: https://books.google.co.id/books?
id=hCKlBAAAQBAJ&dq=mandible+is&source=gbs_navlinks_s (diakses 6
Februari 2016).

Yadav, S. N. 2014. Morphological and dimensional characteristics of dental arch


among tribal and non-tribal population of Central India : A comparative
study. Journal of International Oral Health. 6 (6), 26-31.

Yusuf, Daud Ekalaya. 2001. Pengantar Antropologi Sistem Sosial Budaya


Indonesia dan Wisata. Bandung: Ekalaya Grup.
55

Lampiran 1 Lembar Permohonan Persetujuan Pembuatan Skripsi


56

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Pembuatan Skripsi


57

Lampiran 3 Surat Penunjukan Dosen Pembimbing


58

Lampiran 4 Surat Penugasan Dosen Pembimbing


59

Lampiran 5 Surat Izin Penelitian UKSU dan LSS ITB


60

Lampiran 6 Surat Balasan Izin Penelitian UKSU ITB


61

Lampiran 7 Surat Balasan Izin Penelitian LSS ITB


62

Lampiran 8 Surat Permohonan Persetujuan Komite Etik


63

Lampiran 9 Surat Balasan Komite Etik


64

Lampiran 10 Lembar Informed Consent

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN (PSP)

UNTUK IKUT SERTA DALAM PENELITIAN

(INFORMED CONSENT)

Saya telah membaca atau memperoleh penjelasan, sepenuhnya menyadari,


mengerti, dan memahami tentang tujuan, manfaat, dan risiko yang mungkin
timbul dalam penelitian, serta telah diberi kesempatan untuk bertanya dan telah
dijawab dengan memuaskan, juga sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dari
keikut sertaannya, maka saya setuju/tidak setuju*) ikut dalam penelitian ini, yang
berjudul:
"Perbedaan Lebar Rahang Bawah Antara Suku Batak Dengan Sunda"
Saya dengan sukarela memilih untuk ikut serta dalam penelitian ini tanpa
tekanan/paksaan siapapun. Saya akan diberikan salinan lembar penjelasan dan
formulir persetujuan yang telah saya tandatangani untuk arsip saya.
Saya setuju:
Ya/Tidak*)
Tgl.: Tanda tangan (bila
tidak bisa dapat
digunakan cap jempol)
Nama Peserta:
Usia:
Suku :
Alamat :

Nama Peneliti:
Nama Saksi:

*) coret yang tidak perlu


65

Lampiran 11 Lembar Informasi Penelitian

INFORMASI

"Perbedaan Lebar Rahang Bawah Antara Suku Batak Dengan Sunda"

Saya Herda Purnamasari, mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Padjajaran yang sedang melakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan lebar

rahang bawah antara Suku Batak dengan Sunda" di Unit Kegiatan Mahasiswa

Lingkung Seni Sunda dan Unit Kesenian Sumatera Utara Institut Teknologi

Bandung.

Tujuan :

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui lebar rahang bawah Suku Batak dan

Sunda dan mengetahui apakah terdapat perbedaan lebar rahang bawah antara

Suku Batak dengan Sunda.

Mengapa Anda Terpilih :

Anda terpilih untuk diikutsertakan dalam penelitian ini karena anda merupakan

suku Batak/Sunda secara keturunan, berusia 18-25 tahun, memiliki gigi geligi

rahang bawah yang lengkap, dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.

Tata Cara/Prosedur :

Apabila anda bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, anda diminta

untuk menandatangani lembar persetujuan ini rangkap dua, satu untuk anda

simpan dan satu untuk peneliti. Prosedur selanjutnya adalah:

Peneliti meminta anda mengisi lembar biodata.

Peneliti mempersilahkan anda untuk duduk.

Peneliti meminta anda untuk berkumur.


66

Peneliti meminta ada untuk membuka mulut, untuk diperiksa rongga mulutnya

apakah sesuai dengan kriteria sampel penelitian atau tidak.

Jika sesuai kriteria sampel penelitian, peneliti akan melakukan pencetakan rahang

bawah.

Setelah dilakukan pencetakan, peneliti meminta anda untuk berkumur untuk

membersihkan rongga mulut anda dari bahan yang digunakan untuk mencetak

rahang bawah anda.

Risiko dan Ketidaknyamanan :

Penelitian dilakukan dengan memeriksa dan mencetak rahang bawah anda. Anda

diminta untuk meluangkan waktu untuk menjadi subjek penelitian. Tidak ada

risiko dalam penelitian ini.

Manfaat :

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain :

Untuk peneliti :

Mengetahui lebar rahang bawah Suku Batak dan Sunda

Memperoleh data antropometri mengenai lebar rahang bawah Suku Batak dan

Sunda.

Untuk subjek penelitian :

Mendapatkan informasi mengenai keadaan gigi geligi rahang bawahnya.

Kerahasiaan Data :

Selama anda berpartisipasi dalam penelitian ini, setiap data dan informasi

mengenai subjek penelitian akan dirahasiakan.


67

Perkiraan Jumlah Subjek yang akan Diikutsertakan :

40 responden akan diikutsertakan dalam penelitian ini.

Kompensasi :

Semua biaya penelitian akan ditanggung oleh peneliti.

Insentif :

Subjek peneliti akan diberi souvenir berupa sikat gigi dan pasta gigi.

Kesukarelaan :

Keikutsertaan anda dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa paksaan

apapun.

Pertanyaan :

Jika anda memiliki pertanyaan mengenai penelitian ini, anda dapat menghubungi :

Nama : Herda Purnamasari

No. HP : 082128281958

Alamat : Jln. Ciheulang Baru I No.13, Coblong, Bandung


68

Lampiran 12 Hasil Pengukuran Lebar Rahang Bawah Suku Batak

Jarak Antar Jarak Antar Molar Jarak Antar Molar


No.
Kaninus (mm) Pertama (mm) Kedua (mm)
1 26.3 46.2 53.53
2 27.62 49.92 56.03
3 32.86 52.57 61.52
4 26.68 48.98 58.3
5 26.76 47.54 56.41
6 29.94 51.57 61.08
7 24.55 44.11 57.65
8 25.72 44.52 55.05
9 29.89 52.97 61.75
10 28.71 51.95 60.55
11 27.53 46.94 54.08
12 29.49 48.53 56.97
13 28.27 51.1 56.74
14 28.62 48.52 61.25
15 26.09 48.19 57.63
16 27.36 47.24 58.44
17 25.78 48.43 57.88
18 26.01 49.18 57.64
19 25.12 45.39 53.7
20 25.33 46.77 56.43
Rata-
27.4315 48.531 57.6315
Rata
Standar
2.05 2.57 2.57
Deviasi
69

Lampiran 13 Hasil Pengukuran Lebar Rahang Bawah Suku Sunda

Jarak Antar Jarak Antar Molar Jarak Antar Molar


No.
Kaninus (mm) Pertama (mm) Kedua (mm)
1 28.23 44.87 54.82
2 25.25 43.45 50.06
3 26.95 47.04 54.97
4 23.1 41.21 44.52
5 28.71 47.19 57.94
6 26.15 43.98 52.44
7 24.96 44.39 53.79
8 25.14 45.66 53.2
9 26.48 44.32 55.73
10 27.28 48.02 56.18
11 30.65 40.94 49.68
12 25.76 49.91 59.05
13 28.91 49.02 57.57
14 26.48 41.4 49.81
15 25.32 45.24 57.62
16 22.59 46.99 55.48
17 27.21 45.58 56.14
18 30.52 47.42 57.77
19 25.57 46.25 52.37
20 26.09 44.29 53.58
Rata-
26.5675 45.3585 54.136
Rata
Standar
2.19 2.48 3.59
Deviasi
70

Lampiran 14 Output SPSS Uji Normalitas


71

Lampiran 15 Output SPSS Independent Sample T-test

T-test Jarak Antar Kaninus

T-test Jarak Antar Molar Pertama


72

T-test Jarak Antar Molar Kedua


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 4 Januari 1995.

Pada tahun 1999-2000, penulis mengikuti pendidikan di Taman Kanak-

Kanak IT Al-Wasilah Al-Musadaddiyah, Garut.

Pada tahun 2000-2006, penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar

Negeri Regol 13, Garut.

Pada tahun 2006-2009, penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Menengah

Pertama Negeri 2 Garut.

Pada tahun 2009-2012, penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Menengah

Atas Negeri 5 Bandung.

Pada tahun 2012 hingga sekarang, penulis mengikuti pendidikan di Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran Bandung.

73

Anda mungkin juga menyukai