Oleh Kelompok 1:
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kelancaran kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini bertujuan
untuk memenuhi tugas Keperawatan Transkultural. Makalah ini memuat tentang “Pembanding
Budaya dalam Konteks Beliefs, Values dan LIfeways dalam Siklus Kehidupan
Childhood/Anak”. Makalah ini tidak akan selesai tepat pada waktunya tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak..
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang berkaitan dalam proses
penyelesaian makalah ini. Dalam membuat makalah ini tentu ada kurang dan salahnya, sehingga
penulis memiliki harapan besar kepada pembaca agar memberikan kritik dan saran yang
membangun. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
sebagai tolok ukur yang menentukan baik-buruk, boleh-jangan, ya-tidak, atau benar-salah dalam
ekspresi perilaku anak. Pengasuhan dapat dipengaruhi oleh budaya, etnisitas, dan status sosial
ekonomi (Santrock, 2012).
Pola kemasyarakatan di kalangan masyaarakat asli Lampung yang sangat menonjol ialah
kekerabatan. pada umumnya orang Lampung sangat fanatik dengan solidaritas anggota keluarga
atau yang dinggap keluarga atau dalam teori sosiologi disebutnya “klik”. Sarbini dan Khalik
(2010) menegaskan bahwa sikap gotong royong di kalangan internal maupun eksternal “klik”
sangat kental baik dalam kehidupan sehari-hari, tradisi atau adat istiadat.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Memahami konsep pembandingan budaya Lampung dalam konteks beliefs, values
dan lifeways dalam siklus kehidupan childhood/anak dan aplikasinya.
2
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
3
2. Hasil penelitian Maas dalam Firanika (2010) menyatakan bahwa suku Sasak di Lombok,
ibu yang baru bersalin memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya
lebih dahulu) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa
apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi.
3. Pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur
tepung, bubur nasi, pisang, dan lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi
yang sudah dilumatkan ataupun madu, dan teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI
belum keluar. Demikian pula halnya dengan pembuangan kolostrum (ASI yang pertama
kali keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, kolostrum ini dianggap sebagai susu yang
sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan.
Selain itu, ada yang menganggap bahwa kolostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan
masuk angin pada bayi. Sementara, kolostrum justru sangat berperan dalam menambah
kekebalan tubuh bayi. Kualitas ASI sangat dipengaruhi oleh kesehatan ibu.
Sebagaimana hasil penelitian dalam Yuliarti (2010), menyatakan bahwa paling
tidak ada empat manfaat kolostrum pada ASI yang sangat berguna bagi bayi, antara lain:
a) Mengandung zat kekebalan - terutama Immunoglobulin A (Ig A) - untuk melindungi
bayi dari berbagai penyakit infeksi, seperti diare.
b) Jumlah kolostrum yang diproduksi bervariasi, tergantung isapan bayi pada harihari
pertama kelahiran. Walaupun sedikit, namun cukup memenuhi kebutuhan bayi.
c) Mengandung protein dan vitamin A yang tinggi, serta mengandung karbohidrat dan
lemak yang rendah sehingga sesuai dengan kebutuhan gizi bayi pada hari-hari pertama
kelahiran bayi.
d) Membantu mengeluarkan mekonium, yaitu kotoran bayi yang pertama, berwarna hitam
kehijauan. (Yuliarti, 2010).
Banyaknya pantangan terhadap pantangan yang dikonsumsi ibu baik pada saat
hamil maupun setelah melahirkan. Sebagai contoh pada masyarakat Kerinci, ibu yang
sedang menyusui pantang mengonsumsi bayam, ikan laut, atau sayur nangka dan telur.
Pada masyarakat Betawi, ibu menyusui dilarang makan ikan asin, ikan laut, udang dan
kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. (Maas, 2004) Adanya pantangan
makanan ini merupakan gejala yang hampir universal berkaitan dengan konsepsi “panas-
dingin” yang dapat mempengaruhi keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh manusia, yaitu
4
tanah, udara, api dan air. Apabila unsur - unsur di dalam tubuh terlalu panas atau terlalu
dingin maka akan menimbulkan penyakit. Untuk mengembalikan keseimbangan unsur-
unsur tersebut maka seseorang harus mengonsumsi makanan atau menjalani pengobatan
yang bersifat lebih dingin atau sebaliknya. Menurut beberapa suku bangsa, ibu yang sedang
menyusui kondisi tubuhnya dipandang dalam keadaan dingin sehingga ia harus makan
makanan yang panas dan menghindari makanan yang dingin. Sedangkan hal sebaliknya
harus dilakukan oleh ibu yang sedang hamil. (Firanika, 2010).
4. Pada adat Tolotang, Diantara makanan-makanan pantangan bagi ibu nifas/menyusui,
jagung dan singkong merupakan yang paling populer, karena dipercaya dapat
mengakibatkan perut bayi menjadi kembung dan menyebabkan diare. Namun, ditinjau dari
segi kandungan gizinya, jagung manis mengandung lutein dan zeaxathin sebagai
antioksidan yang melindungi mata dari kerusakan serta meningkatkan daya tahan tubuh
pada bayi. Setiap 100 gram jagung manis mengandung energi 140 kalori, protein 4,7 g,
lemak 1,3 g, karbohidrat 33,1 g, kalsium 6 mg, fosfor 118 mg, dan besi. Bahkan jagung
manis kerap kali dijadikan sebagai bahan makanan pendamping ASI untuk bayi usia 6-12
bulan. (Hani, 2014). Berdasarkan ulasan di atas, maka rencana tindakan yang dapat
diberikan adalah cultural care accomodation or negotiation, yaitu pemberian alternatif lain
untuk memenuhi kebutuhan gizi yang terkandung dalam jagung misalnya dengan
mengonsumsi apel dan buah beri yang juga mengandung karbohidrat dan antioksidan.
Sedangkan pada Pantangan mengonsumsi ubi/singkong bagi ibu nifas/menyusui
dengan alasan singkong dapat menyebabkan perut bayi yang hanya meminum ASI menjadi
kembung, sehingga dapat menyebabkan diare. Menurut Burhan (2014), singkong
mengandung racun glukosida sianogenik yang sewaktu hidrolisis dapat menghasilkan asam
sianida. Gejala keracunan sianida antara lain penyempitan saluran napas, mual, muntah,
sakit kepala bahkan pada kasus berat dapat menimbulkan kematian. Munculnya sianogen
pada proses memasak yang kurang baik dapat menimbulkan masalah bagi orang-orang
yang menjadikan singkong sebagai makanan pokok. Berdasarkan uraian di atas, maka
rencana tindakan yang dapat diberikan adalah cultural care maintenance or preservation,
karena tidak bertentangan dengan kesehatan.
5
2.2 Praktik Pengasuhan Anak dalam Konteks Berbagai Budaya
Konsepsi pengasuhan merupakan kemampuan dan ketahanan suatu keluarga atau rumah
tangga dan komunitas untuk memberi perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi
kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan serta bagi
anggota keluarga lainnya (McQuilland & Coleman, 2007: 137). Keluarga merupakan instrument
utama dalam kehidupan sebagai bagian penting dalam membentuk dan menentukan kehidupan
anak.
Dalam konteks pengasuhan, keluarga menjadi pusat proses sosialisasi bagi anak dalam
perilaku dan pembentuk disiplin. Dalam hal ini anakanak secara bertahap akan mengalami proses
internalisasi sesuai dengan harapan dan standar social yang telah ditetapkan yang pada gilirannya
akan membuat anak akan berusaha secara mandiri untuk mengatur kehidupannya. Oleh karena,
itu orang tua harus mendukung dan melakukan hal yang efektif dan konstruktif saat mengasuh
anak dalam masa-masa pertumbuhan dan perkembangan (Halpenny, 2010:6). Efektivitas
pengasuhan menurut Smith, dkk. (2005:14) harus didukung oleh segenap keluarga mela-lui
bentuk-bentuk kedisiplinan orang tua dan keluarga. Disamping itu diperlukan hubungan yang
kuat antara orang tua dengan anak. Hubungan tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk
komunikasi efektif dan relasi emosional dan motivasi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang
secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan ini tidak menekankan
pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan
anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan
social, dimana peran orangtua dalam keluarga memiliki arti yang sangat penting dalam
menumbuhkembangkan anak dalam kehidupannya.
Kedudukan pengasuhan dalam kehidupan anak dapat dilihat dengan jelas dalam perspektif
ekologi. Dalam perspektif ekologi, pengasuhan dari orang tua merupakan sistem dilingkungan
terdekat atau microsystem anak. Sebagai microsystem anak, pengasuhan berada di bawah
pengaruh sistem lingkungan yang lebih luas (macrosystem) yaitu budaya atau nilai-nilai yang
dihidupi oleh masyarakat setempat. Dalam perspektif ekologi, keseluruhan sistem yang
melingkupi kehidupan anak akan berubah seiring dengan perkembangan zaman (Bronfenbrenner,
1979, 1994). Perspektif ekologi menempatkan konsep pengasuhan secara kontekstual, baik
6
secara kultural maupun waktu. Dengan demikian pengukuran pengasuhan semestinya sesuai
dengan budaya setempat dan perkembangan zaman.
Nilai-nilai dan cita-cita suatu budaya diturunkan ke generasi berikutnya melalui praktik
pengasuhan anak. Oleh karena itu, anak-anak dalam konteks budaya yang berbeda dapat
dikembangkan oleh orang tua mereka untuk berperilaku berbeda. Dalam hal ini, perlu untuk
mempertimbangkan pentingnya budaya ketika mengevaluasi perilaku pengasuhan anak.
Budaya dapat mempengaruhi gaya pengasuhan orang tua. Tapi kembali lagi kepada orang
tua. Apakah orang tua bersedia menurunkan budaya-budaya yang telah nenek moyang turunkan,
ataukah lebih memilih pengasuhan moderen yang sama sekali tidak melibatkan budaya dalam
pengasuhan terhadap anak.
7
bisa menjadi ahli dan terampil dalam bidang-bidang itu. Kita begitu menyatu dengan masyarakat
dan budaya kita, tempat dimana kita hidup dan dibesarkan. Tetapi ketika kita semakin besar, kita
mempelajari banyak aturan-aturan perilaku budaya dan kita banyak mempraktekkannya,
sehingga, disadari atau tidak, hal itu telah menjadi budaya kedua bagi kita. Banyak perilaku-
perilaku kita sebagai orang dewasa dipengaruhi oleh pola-pola dan aturan yang telah kita pelajari
di tengah-tengah masayarakat. Kita akhirnya memprakktekkannya dengan baik secara otomatis
tanpa disengaja, tanpa memberi banyak perhatian untuk melakukannya.
Hal sangat penting yang memformulasikan mekanisme pembinaan anak-anak muda di
banyak masyarakat dan budaya sekarang ini adalah sistem pendidikan. Banyak dari kita berpikir
bahwa sistem pendidikan di berbagai negara semata-mata adalah sebuah lembaga yang
mengajarkan keterampilan berpikir dan pengetahuan. Namun sebenarnya sistem pendidikan
masyarakat merupakan lembaga paling penting yang mengembangkan kepekaan sosial kepada
anak-anak, mengajarkan dan memperkuat penanaman nilai-nilai budaya kepada mereka
(Kozleski, Engelbrecht, Hess, Swart & Eloff, 2008).
Perbedaan kemampuan dan hasil-hasil belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang
menurut berbagai literatur meliputi: perbedaan bahasa, sistem sekolah, nilai-nilai yang dianut
oleh keluarga dan orang tua, gaya mengajar, hubungan guru-murid, serta sikap dan penilaian
terhadap murid. Perbedaan-perbedaan dalam hal-hal di atas berkontribusi terhadap perbedaan
lintas nasional dalam hasil-hasil studi yang dicapai, dan secara keseluruhan merupakan sebuah
penjelasan nyata tentang adanya hubungan antara budaya dan pendidikan. Pembahasan mengenai
faktor-faktor terkait budaya yang ikut berkontribusi terhadap hasil-hasil belajar siswa di sekolah
akan dibahas dalam topik tersendiri.
8
anak perempuan tidak dianggap penting. Kemudian Envhius d Burn (dalam Angraini, dkk.,
2019) mengatakan bahwa wanita dengan usia 18 tahun yang tinggal di pedesaan akan beresiko
dua kali untuk menikah di usia dini dibandingkan dengan wanita usia 18 tahun yang tinggal di
perkotaan. Selanjutnnya, anak perempuan yang tidak bersekolah akan beresiko tiga kali untuk
menikah di usia dini dibandingkan dengan anak perempuan yang tidak menyelesaikan
pendidikan sampai dengan pendidikan menengah.
Jika dilihat dari faktor penyebab kasus kehamilan pada anak, dampak yang terjadi
sepenuhnya akan dibebankan oleh anak perempuan yang menikah pada usia dini. Sebab ketika
pernikahan dini tersebut terjadi, seorang anak akan kehilangan berbagai tahap-tahap
perkembangan dan haknya yang seharusnya masih bisa ia dapat pada usianya dan kondisi-
kondisi sulit yang belum sewajarnya ia hadapi. Seperti misalnya, hak pendidikan, potensi
kekerasan dalam rumah tangga, dan kecenderungan perceraian karena ketidakmatangan emosi,
kesehatan reproduksi dan sebagainya.
Secara biologis akan merugikan sel reproduksi wanita dan terjadinya kehamilan beresiko
sebab seorang anak perempuan yang menjalani kehamilan dapat dengan mudah terancam anemia
yang tentunya juga akan membahayakan kondisi janin.
Kehamilan di usia muda memiliki resiko yang tinggi, tidak hanya merusak masa depan
remaja yang bersangkutan, tetapi juga sangat berbahaya untuk kesehatannya. Dikarenakan
perempuan yang belum dewasa, memiliki organ reproduksi yang belum kuat untuk proses
kehamilan dan melahirkan, sehingga gadis dibawah umur memiliki resiko 4 kali lipat mengalami
luka serius dan meninggal akibat melahirkan.
Beberapa daerah yang memiliki budaya atau tradisi menikah dan hamil pada usia muda
yaitu:
1. Madura
Menikah di usia belia dianggap lazim di wilayah Madura, Jawa Timur. Tak sedikit
ditemukan gadis berusia 15 tahunan bahkan yang lebih muda sudah memiliki anak. Ada
beberapa faktor yang membuat mereka menikah muda, di antaranya untuk mengikat
keluarga yang jauh, hingga dilatari faktor utang budi. Pernikahan muda di sana juga kerap
diawali dengan perjodohan sesuai kesepakatan kedua orangtua.
9
2. Indramayu
Indramayu juga dikenal sebagai daerah banyak ditemukan masyarakat yang menikah di
usia belia. Banyak ditemukan gadis belia yang berusia antara 13-15 tahun terlihat sibuk
menggendong anaknya. Motif menikah muda di Indramayu cukup beragam, seperti alasan
ekonomi, hingga bertujuan mengangkat derajat keluarga jika si menantu berasal dari
keluarga berada.
3. Sulawesi selatan
Ada sebuah pulau di Sulawesi Selatan bernama Kodingareng. Pulau tersebut terletak tidak
jauh dari Kota Makassar. Di daerah ini juga punya tradisi kawin muda. Namun, di Pulau
Kodingareng aturannya memang agak ekstrem. Misalnya dari segi usia pernikahan yang
ditentukan dengan tanggal pertama seorang anak perempuan mengalami menstruasi.
Kemudian saat orangtua mengetahui hal ini, maka mereka akan segera mencarikan
pasangan dan buru-buru menikahkan anak gadisnya. Para orangtua di pulau ini umumnya
beranggapan jika anak gadis itu susah menjaga dirinya. Sehingga menikah dijadikan solusi
utamanya. Kendati begitu, sebagian orangtua di sana cukup aware dengan memberikan KB
kepada anaknya setelah menikah agar tidak lekas hamil.
4. Kalimantan Selatan
Adat budaya daerah yang masih sangat kuat dan melekat di Kecamatan Cempaka yang
mempengaruhi pola pikir masyarakat, pola pikir orangtua dan anak, sehingga perkawinan
usia muda banyak terjadi karena faktor adat dan budaya yang turun temurun dan sudah
menjadi darah daging bagi masyarakat setempat. Persepsi budaya masyarakat daerah
Cempaka, sikap remaja putri terhadap persepsi anjuran untuk segera menikah agar
terhindar dari fitnah dan dosa, sikap remaja putri terhadap persepsi bahwa wanita tidak
boleh mengenyam pendidikan lebih tinggi dibandingkan laki-laki dan Sikap informan
terhadap persepsi bahwa pekerjaan utama wanita adalah ibu rumah tangga
2.5 Komunikasi Terhadap Anak Sehat dan Sakit dalam Konteks Budaya
Komunikasi terhadap anak dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Komunikasi Antar Pribadi
Menurut Devito, komunikasi antarpribadi adalah penyampaian pesan oleh satu orang
dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai
10
dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera. Komunikasi
antarpribadi diperlukan untuk mengatur tata krama pergaulan antar manusia, sebab dengan
melakukan komunikasi antarpribadi dengan baik akan memberikan pengaruh langsung
pada struktur seseorang dalam kehidupannya.
Proses komunikasi pada dasarnya mencakup proses komunikasi primerdan sekunder.
Proses komunikasi primer berlangsung tanpa alat, yaitu secara langsung dengan
menggunakan bahasa,gerakan yang diberi arti khusus, aba-aba dan sebagainya. Sedangkan
proses komunikasi sekunder berlaku dengan menggunakan alat. Proses komunikasi primer
mendasari pola komunikasi tradisional, sedangkan proses komunikasi sekunder mendasari
komunikasi modern.
2. Pengenalan budaya pada anak
Kebudayaan merupakan keseluruhan kompleks yang didalamnya meliputi
pengetahuan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan atau kebiasaan
yang dilakukan oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat. Kebudayaan
merupakan warisan orang dewasa kepada anak-anak
Ada tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat; Kebudayaan sebagai ide,
gagasan, nilai, atau norma; Kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia
dalam masyarakat; Kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud
pertama berbentuk absarak, sehingga tidak dapat dilihat
denganinderapenglihatan.Wujudiniterdapatdidalampikiranmasyarakat.Ide atau gagasan
banyak hidup bersama dengan masyarakat.Gagasan itu selalu berkaitan dan tidak bisa
lepas antara yang satu dengan yang lainnya.Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut
sistem. Koentjaraningrat mengemukaan bahwa kata „adat‟ dalam bahasa Indonesia adalah
kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide
atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat istiadat.
Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial.Sistem sosial
dijelaskan Koentjaraningrat sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk
tindakan manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya.Aktifitas ini dilakukan setiap
waktu dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam
masyarakat tersebut.Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut sebagai
11
sistem sosial oleh Koentjaraningrat. Sistemsosial berbentuk kongkrit karena bisa dilihat
pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan.
Wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik. Wujud kebudayaan ini
bersifat konkret karena merupakan benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan,
aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat
3. Keluarga sebagai agen sosialisasi budaya
Menurut Charles H Cooley dalam Solihat, konsep diri (self concept) seseorang
berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui
interaksi dengan orang lain dinamakan looking-glass self.
Looking glass self terbentuk melalui tiga tahap. Tahap pertama seseorang
mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Tahap kedua seseorang
mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya. Tahap
ketiga, seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian
orang lain terhadapnya. Pada tahap ini seorang anak tidak hanya mengetahui peran apa
yang harus dijalankannya tetapi telah pula mengetahui peran apa yang harus ia jalankan.
Seorang anak memerlukan bimbingan dan pengawasan yang baik untuk menjadi
individu yang berkemampuan dan berwawasan jauh dan matang.Sebelum anak tiba ke
tangan pendidik atau guru di sekolah, peran orangtua khususnya peran ibu sangat
berpengaruh besar dalam upaya mengarahkan perkembangan anak.
2.6 Aplikasi Asuhan Keperawatan Peka Budaya pada Anak Sehat dan Sakit
Sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan social
seseorang. Cara hidup dan gaya hidup manusia merupakan fenomena yang dapat dikaitkan
dengan munculnya berbagai macam penyakit, selain itu hasil berbagai kebudayaan juga dapat
menimbulkan penyakit. Penyebabnya bersifat Naturalistik yaitu seseorang menderita sakit akibat
pengaruh lingkungan, makanan, kebiasaan hidup, ketidakseimbangan dalam tubuh. Masyarakat
menggolongkan penyebab sakit ke dalam 3 bagian, yaitu karena pengaruh gejala alam seperti
panas atau dingin terhadap tubuh manusia, makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan
panas dan dingin, supranatural seperti roh, guna-guna, setan.
12
Contoh aplikasi pada anak sehat dan sakit pada budaya lampung, yaitu anak dikatakan sakit
apabila tidak mampu melakukan aktifitas seperti biasanya, sedangkan dikatakan sehat apabila
mampu berjalan, berfikir, dan dapat menjalankan aktifitas sehari-hari tanpa ada hambatan atau
kendala.
13
BAB III
CONTOH KASUS
Pola Asuh Orang Tua dalam Mendidik Anak Usia Prasekolah Ditinjau dari Aspek Budaya
Lampung
1. Dalam Hal Pengasuhan Anak menggunakan Pola Asuh Otoriter
Budaya yang diterapkan dalam pola asuh adalah pola asuh otoriter, dimana ayah
akan bersikap tegas kalau salah anak langsung diberikan punishment (hukuman) baik
verbal berupa aramah, atau nonverbal dengan mengunci di kamar misalnya. Ketika pola
asuh para orang tua ini dikaitkan dengan aspek budaya, ada suatu kebiasan dari orang
Lampung yang ketika berbicara dengan nada yang tinggi, tegas dan dominan (cenderung
berkuasa) terbawa saat menerapkan pola asuh kepada anak.
Untuk memutuskan sesuatu perkara yang berkenaan dengan kepentingan anak,
misalnya membelikan baju, orang tua tidak menawarkan pilihan model atau warna kepada
anak terlebih dahulu. ibu mengakui bahwa ketika membelikan baju untuk anaknya, ibu
yang menentukan warna, model dan ukurannya. Berkenaan dengan hal tersebut, orang tua
tidak memberikan ruang kepada anak untuk bermusyawarah mufakat, berbagi ide, ataupun
mengekspresikan keinginan sang anak. Namun, ketika anak menginginkan sesuatu di depan
khalayak ramai misalnya ketika dibawa ke tempat hajatan tiba-tiba si anak menginginkan
balon yang dijual oleh penjaja mainan keliling, orang tua akan langsung menuruti
permintaan si anak. Maka dalam hal ini, orang tua mengaku sering kalah dengan si anak
ketika menangis di khalayak ramai.
2. Pola Komunikasi Antara Orang Tua dengan Anak
Dibangun dengan bahasa yang lebih luwes (tidak kaku) dimana anak tetap dianggap
sopan ketika menyapa orangtuanya dengan sebutan “niku” (kamu) baik secara langsung
ataupun tidak. Walaupun ada istilah yang lebih dianggap tinggi kedudukannya ketika
menyebutkan kata ganti orang kedua yaitu “pusekam”. Namun ketika berhadapan dengan
orang yang berbeda suku misalnya suku Jawa, anak yang lazim menggunakan kata ganti
“niku” dan menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai kamu sering terbawa dalam
berkomunikasi. Dimana kata ganti kamu untuk menyapa orang yang lebih tua (contohnya
guru) dianggap kurang etis.
14
3. Dalam Hal Pemisahan Tempat Tidur
Orang tua akan memisahkan tempat tidur anak ketika memasuki usia sekolah. Hal
ini akan berpengaruh pada kemandirian anak dalam mengelola kamar tidurnya dan melatih
tanggungjawab sejak dini.
4. Dalam Hal Bersosialisasi
Sejak dini anak-anak dikenalkan dengan para saudara agar hubungan pertalian tetap
terjalin meskipun hubungan darah sudah jauh karena yang bersaudara langsung adalah para
buyut atau di atasnya lagi. anak-anak sering diajak orang tuanya ketika pergi ke suatu acara
keluarga (buhajat/hajatan). Suku Lampung terkenal dengan berbagai macam perayaan yang
dilakukan secara adat mulai dari cukuran bayi, khitanan anak, pernikahan, dan lain
sebagainya. Umumnya para keluarga akan berkumpul untuk membantu menyiapkan segala
keperluan hajat (dalam bahasa Jawa dikenal dengan rewang).
Di dalam masyarakat Lampung perlakuan kepada anak laki-laki lebih bebas
dibandingkan anak perempuan. Sehingga anak laki-laki cenderung egosentrisme merasa
lebih disayang dan diistimewakan karena mendapat keleluasaan yang lebih dibanding anak
perempuan. Anak perempuan dibatasi tidak boleh bermain jauh dan terlalu lama di luar
rumah. Perilaku anak laki-laki yang salah lebih sering dibiarkan daripada anak perempuan
di usia yang sama.
5. Garis Keturunan
Dalam konteks budaya, masyarakat suku Lampung menganut prinsip garis
keturunan Bapak (patri lineal), dimana anak laki-laki tertua begitu dihormati dan istimewa
karena merupakan pusat pemerintahan kekerabatan. Ini mendorong anak untuk lebih
memikirkan dirinya sendiri daripada orang lain.
Di dalam kelompok keluarga, anak sulung, anak tunggal, atau anak bungsu di dalam
keluarga besar lebih didorong untuk bersikap egosentrisme melalui perlakuan-perlakuan
yang diterima. Namun, dalam hal perkakas/mainan biasanya anak perempuan lebih banyak
pernakperniknya daripada anak laki-laki.
15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam setiap budaya, masa kanak-kanak adalah suatu masa terjadinya perubahan penting
dibanding dengan periode lain dalam rentang kehidupan manusia berkaitan dengan terjadinya
pengaruh budaya dan lingkungan sekitar. Dalam konteks pengasuhan, keluarga menjadi pusat
proses sosialisasi bagi anak dalam perilaku dan pembentuk disiplin. Dalam hal ini anak-anak
secara bertahap akan mengalami proses internalisasi sesuai dengan harapan dan standar social
yang telah ditetapkan yang pada gilirannya akan membuat anak akan berusaha secara mandiri
untuk mengatur kehidupannya. Oleh karena, itu orang tua harus mendukung dan melakukan hal
yang efektif dan konstruktif saat mengasuh anak dalam masa-masa pertumbuhan dan
perkembangan. Budaya yang menganggap pendidikan sebagai yang penting untuk sukses, maka
nilai-nilai terkait pendidikan akan diperkenalkan kepada anak-anak mereka. Semakin pentingnya
pendidikan sebagai ukuran utama suksesnya seorang anak, maka orang tua akan semakin terlibat
dalam setiap proses pendidikan anak-anak mereka, termasuk dalam menentukan sekolah mana
yang sebaiknya dimasuki.
4.2 Saran
Melalui makalah ini, penulis menyarankan pada pembaca agar dapat memahami konsep
pembandingan budaya dalam konteks beliefs, values dan lifeways dalam siklus kehidupan
childhood/anak serta dapat mengaplikasikan askep peka budaya pada anak sehat dan sakit.
Aplikasi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, tentunya harus dengan pemahaman konsep
terlebih dahulu. Untuk itu, sebaiknya pembaca dapat memahami konsep pembanding budaya
dalam konteks beliefs, values adan lifeways khususnya dalam siklus kehidupan childhood dari
berbagai sumber, salah satunya makalah ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
Bernadhi T,. Pernikahan Usia Dini Suku Madura di Desa Sungai Kunyit Hulu Kecamatan Sungai
Kunyit Kabupaten Pontianak. Jurnal S1 Ilmu Sosiatri 2013; 2(1): 1-8.
Etikawati, A. I., Siregar, J. R., Widjaja, H., & Jatnika, R. (2019). Mengembangkan konsep dan
pengukuran pengasuhan dalam perspektif kontekstual budaya. Buletin Psikologi, 27(1), 1-
14.
Firanika, R. (2010). Aspek Budaya Dalam Pemberian Asi Eksklusif Di Kelurahan Bubulak Kota
Bogor Tahun 2010. 1–215.
Gea, A. A. (2011). Enculturation Pengaruh Lingkungan Sosial terhadap Pembentukan Perilaku
Budaya Individu. Humaniora, 2(1), 139. https://doi.org/10.21512/humaniora.v2i1.2966
Karsmawati, D.W., Lukitaningsih, R.K,. Studi tentang Faktor-Faktor yang Mendorong Remaja
Melakukan Pernikahan Dini di Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Jurnal
Mahasiswa Bimbingan Konseling. 2013; 1(1): 50-60.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016) http://repositori.uin-
alauddin.ac.id/2133/1/MARHANI.pdf
Rahman, F. Kajian Budaya Remaja Pelaku Pernikahan Dini di Kota Banjarbaru Kalimantan
Selatan. JURNAL MKMI. 2015; 108-117
17