Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Deskripsi Konseptual
1. Brand Image (Citra Merek)
a. Definisi Citra Merek
Menurut definisi, citra merek adalah ''bagaimana suatu merek dipersepsikan oleh
konsumen dan itu terkait dengan sekumpulan asosiasi merek dalam ingatan konsumen
dan asosiasi semacam itu dipengaruhi oleh manfaat atau konsekuensi dari penggunaan
merek, atribut produk, dan kepribadian merek'' (Nyadzayo dan Khajehzadeh 2016).
Citra merek memainkan peran penting dalam membantu konsumen untuk
memutuskan apakah akan membeli merek dan dengan demikian mempengaruhi
perilaku niat beli mereka. Ini juga dapat berfungsi sebagai alat pemasaran defensif
untuk mempertahankan konsumen dan mendorong loyalitas konsumen, terutama
dalam konteks layanan di mana merek layanan atau perusahaan dianggap sama. Citra
merek perusahaan juga dapat mempengaruhi loyalitas konsumen (Nyadzayo dan
Khajehzadeh 2016). Andreassen dan Lindestad (1998) meneliti peran citra perusahaan
dalam pembentukan loyalitas konsumen di sektor jasa dan menemukan baik pengaruh
tidak langsung dan langsung citra merek terhadap loyalitas. Mikulic´ dan Prebezˇac
(2011) mengemukakan bahwa citra perusahaan adalah indikator kuat dari loyalitas
konsumen. Jika konsumen memiliki perasaan dan pemikiran yang menguntungkan
untuk perusahaan, maka mereka akan cenderung menggunakan kembali perusahaan
itu untuk di masa depan (Calisir et al. 2016). Dalam industri bisnis, citra merek
perusahaan biasanya dibentuk oleh ulasan konsumen serta iklan cetak dan media
televisi (Calisir et al. 2016).

Citra merek merupakan petunjuk yang digunakan oleh konsumen untuk


mengevaluasi produk ketika tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang suatu
produk. Terdapat kecenderungan bahwa konsumen akan memilih produk yang telah
dikenal baik melalui pengalaman menggunakan produk maupun berdasarkan
informasi yang diperoleh melalui berbagai sumber. a sebagai refleksi dari asosiasi
yang ada pada pikiran konsumen. Citra merek merupakan asosiasi yang muncul dalam
benak konsumen ketika mengingat suatu merek tertentu. Asosiasi tersebut secara
sederhana dapat muncul dalam bentuk pemikiran dan citra tertentu yang dikaitkan
dengan suatu merek. Citra merek tersusun dari asosiasi merek, bahwa asosiasi merek
adalah apa saja yang terkait dengan memori terhadap merek. Asosiasi merek memiliki
tingkat kekuatan tertentu dan akan semakin kuat seiring dengan bertambahnya
pengalaman konsumsi atau penggalian informasi dan akan bertambah kuat jika
didukung oleh jaringan lainnya. Sehingga citra merek ini penting bagi konsumen
untuk menjatuhkan pilihannya dalam membeli sebuah produk.
Perusahaan harus memiliki merek yang berbeda dengan pesaingnya, begitu pula
dengan citra merek yang tertanam di benak konsumen. Karena citra merek merupakan
salah satu hal yang dilihat pertama kali oleh konsumen sebelum melakukan pembelian
atau pemilihan produk. Menurut Kotler dan Keller (2012), citra merek
menggambarkan sifat ekstrinsik dari suatu produk atau jasa termasuk cara dimana
merek berusaha memenuhi kebutuhan psikologis atau sosial konsumen. Citra merek
merupakan pemahaman konsumen mengenai merek secara keseluruhan. Kepercayaan
konsumen terhadap suatu merek tertentu dan bagaimana konsumen memandang suatu
merek. Citra merek yang positif akan membuat konsumen menyukai suatu produk
dengan merek yang bersangkutan dikemudian hari, sedangkan bagi produsen citra
merek yang baik akan menghambat kegiatan pemasaran pesaing. Kotler dan
Armstrong (2013) mengemukakan pengertian citra merek adalah sekumpulan
keyakinan terhadap suatu merek disebut citra merek. Kotler dan Keller (2012)
mendefinisikan citra merek sebagai sekumpulan persepsi dan kepercayaan yang
dimiliki oleh konsumen terhadap suatu merek yang direfleksikan melalui
asosiasi-asosiasi yang ada dalam ingatan konsumen. Menurut Aaker dan Biel (1993)
citra merek adalah penilaian konsumen terhadap merek tersebut dalam sebuah pasar.
Penciptaan tersebut dapat tercipta berdasarkan pengalaman pribadi maupun
mendengar reputasinya dari orang lain atau media. Menurut Schiffman dan Kanuk
(2007) “citra merek adalah sekumpulan asosiasi mengenai suatu merek yang
tersimpan dalam benak atau ingatan konsumen”. Peter & Olson (1999) menyatakan:
“citra merek didefinisikan sebagai persepsi konsumen dan preferensi terhadap merek,
sebagaimana yang direfleksikan oleh berbagai macam asosiasi merek yang ada dalam
ingatan konsumen”.
Ketika suatu citra merek telah mampu untuk membangun karakter produk dan
memberikan proposisi nilai, kemudian menyampaikan karakter produk tersebut
kepada konsumennya secara unik, berarti merek tersebut telah memberikan suatu
kekuatan emosional lebih dari kekuatan rasional yang dimiliki oleh produk tersebut.
Hal ini akan membuat konsumen mengasosiasikan hal positif dalam pikirannya ketika
mereka memikirkan merek tersebut.

b. Dimensi Brand Image (Citra Merek )


Menurut Keller (2013) dimensi-dimensi utama membentuk citra sebuah merek
tertuang dalam berikut ini:
1. Brand Identity (Identitas Merek)
Brand identity merupakan identitas fisik yang berkaitan dengan merek atau
produk tersebut sehingga konsumen mudah mengenali dan membedakannya
dengan merek atau produk lain, seperti logo, warna, kemasan, lokasi, identitas
perusahaan, slogan, dan lain-lain.
2. Brand Personality (Personalitas Merek).
Brand personality adalah karakter khas sebuah merek yang membentuk
kepribadian tertentu sebagaimana layaknya manusia, sehingga khalayak
konsumen dengan mudah membedakannya dengan merek lain dalam kategori
yang sama, misalnya karakter tegas, kaku, berwibawa, nigrat, atau murah
senyum, hangat, penyayang, berjiwa sosial, atau dinamis, kreatif, independen,
dan sebagainya.
3. Brand Association (Asosiasi Merek).
Brand Association adalah hal-hal spesifik yang pantas atau selalu dikaitkan
dengan suatu merek, bisa muncul dari penawaran unik suatu produk, aktivitas
yang berulang dan konsisten misalnya dalam hal sponsorship atau kegiatan
social responsibility, isu-isu yang sangat kuat berkaitan dengan merek tersebut,
maupun persona perusahaan, simbol-simbol dan makna tertentu yang sangat
kuat melekat pada suatu merek.
4. Brand Attitude and Behavior (Sikap dan Perilaku Merek).
Brand attitude and behavior adalah sikap atau perilaku komunikasi dan
interaksi merek dengan konsumen dalam menawarkan
keuntungan-keuntungan dan nilai-nilai yang dimilikinya. Attitude and
behavior mencakup sikap dan perilaku konsumen, aktivitas dan atribut yang
melekat pada merek saat berhubungan dengan khalayak konsumen, termasuk
perilaku karyawan dan pemilik merek/perusahaan.
5. Brand Benefit and Competence (Manfaat dan Keunggulan Merek).
Brand benefit and competence merupakan nilai-nilai dan keunggulan khas
yang ditawarkan oleh suatu merek kepada konsumen yang membuat
konsumen dapat merasakan manfaat karena kebutuhan, keinginan, mimpi,
dan obsesinya terwujudkan oleh apa yang ditawarkan tersebut.
Aaker (1991) berpendapat citra merek terdiri dari tiga komponen yaitu:

1) Product Attributes (Atribut Produk) merupakan ciri yang sangat erat


kaitannya dengan sebuah merek, misalnya kemasan, isi produk, harga, rasa
dan banyak lainnya.

2) Consumer Benefits (Keuntungan Konsumen) merupakan pemanfaatan dan


penggunaan nilai guna suatu produk dari sebuah merek.
3) Brand Personality (Kepribadian Merek) merupakan gambaran (persepsi)
seseorang terhadap sebuah merek.

Biels dalam jurnal Xian and Gou lie (2011), Citra Merek terdiri dari tiga
komponen pendukung yaitu:
1. Citra Perusahaan

2. Citra Konsumen
3. Citra Produk

Peter & Olson (1999) menyatakan citra merek mencakup pengetahuan dan
keyakinan (kognisi) tentang:
1. Atribut merek

2. Konsekuensi dari penggunaan merek


3. Situasi konsumsi yang sesuai
4. Evaluasi perasaan dan emosi (tanggapan afektif) yang terkait dengan merek.
Pemasar perlu memahami respons afektif dan kognitif terhadap strategi
pemasaran seperti desain produk, iklan, dan tata letak perusahaan. Untuk beberapa
tujuan pemasaran, respons afektif konsumen lebih penting; dilain kasus, kognisi
adalah kuncinya.
Schiffman dan Kanuk (2007) menyebutkan faktor-faktor pembentuk citra merek
yaitu:

1) Kualitas atau mutu, berkaitan dengan kualitas produk barang yang


ditawarkan oleh produsen dengan merek tertentu.
2) Dipercaya atau diandalkan, berkaitan dengan pendapat atau kesepakatan
yang dibentuk oleh masyarakat tentang suatu produk yang dikonsumsi.
3) Kegunaan atau manfaat yang terkait dengan fungsi dari suatu produk barang
yang bisa dimanfaatkan oleh konsumen.

4) Harga, yang dalam hal ini berkaitan dengan tinggi rendahnya atau banyak
sedikitnya jumlah uang yang dikeluarkan konsumen untuk mempengaruhi
suatu produk, juga dapat mempengaruhi citra jangka panjang.
5) Citra yang dimiliki oleh merek itu sendiri, yaitu berupa pandangan,
kesepakatan dan informasi yang berkaitan dengan suatu merek dari produk
tertentu.

Smith (1993) menyatakan bahwa beberapa faktor yang membentuk citra merek
perusahaan, yaitu:

1. Produk atau jasa, termasuk kualitas produk dan kepedulian terhadap


konsumen.
2. Tanggung jawab sosial, keanggotaan perusahaan, perilaku etis, dan masalah
kemasyarakatan.

3. Lingkungan, termasuk kantor, showroom, dan pabrik.


4. Komunikasi termasuk periklanan, hubungan masyarakat, komunikasi
personal, brosur, dan program identitas perusahaan (corporate identity
program).

Berdasarkan beberapa pendapat dari para pakar tentang dimensi citra merek
maka penulis menyimpulkan untuk menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh
Keller (2013), dimana dimensi-dimensi utama membentuk citra sebuah merek
tertuang dalam berikut ini:
1) Brand Identity (Identitas Merek).
2) Brand Personality (Personalitas Merek).
3) Brand Association (Asosiasi Merek).
4) Brand Attitude and Behavior (Sikap dan Perilaku Merek).
5) Brand Benefit and Competence (Manfaat dan Keunggulan Merek).

2. Word of Mouth/WOM (Promosi Mulut ke Mulut)


a. Definisi WOM (Word of Mouth)
WOM (Word of Mouth) menurut Arndt (1967), didefinisikan sebagai komunikasi
lisan, orang-ke-orang antara penerima dan seorang komunikator yang oleh penerima
dianggap non-komersial, mengenai suatu merek, produk, atau layanan. WOM (Word
of Mouth) menurut Silverman (2001), adalah:
1. WOM (Word of Mouth) merupakan komunikasi tentang produk dan
layanan antara orang-orang yang dianggap independen dari perusahaan
yang menyediakan produk atau layanan, dalam media yang dianggap
independen dari perusahaan.

2. WOM (Word of Mouth) berasal dari pihak ketiga dan ditransmisikan


secara spontan dalam suatu cara yang independen dari produsen atau
penjual.
Kotler dan Keller (2009) menjelaskan bahwa word of mouth adalah komunikasi
dengan lisan yang melibatkan konsumen sehingga konsumen memilih untuk berbicara
dengan orang lain tentang produk, jasa, dan merek. Sedangkan menurut Schiffman
dan Kanuk (2008), komunikasi lisan adalah proses di mana seseorang (pemimpin
pendapat) secara informal mempengaruhi tindakan atau sikap orang lain. Pendapat ini
ditunjang oleh Ellis dalam Little John dan Foss (2014) yang menjelaskan bahwa
komunikasi lisan sangat fleksibel dan organis, pesan-pesan lisan sangat cepat dan
bersifat sementara sehingga individu dan kelompok harus menyimpan informasi
dalam pikiran konsumen dan memberikannya lagi melalui pembicaraan. Menurut
Kotler dan Armstrong (2008) terdapat dua sumber utama yang menciptakan word of
mouth di antaranya yaitu reference group dan opinion leader. Word of Mouth (WOM)
dicirikan sebagai ''komunikasi lisan, orang-ke-orang antara penerima dan komunikator
yang penerima menganggap sebagai nonkomersial, mengenai merek, produk atau
layanan'' (Shao-Chang, 2013). Konsep Word of Mouth (WOM) dibangun secara
berbeda, seperti transfer informal pembelian dan perilaku positif atau negatif yang
terkait dengan konsumsi di kalangan konsumen (De Bruyn dan Lilien, 2008). Sheth
(1971) menyimpulkan bahwa Word of Mouth (WOM) lebih penting daripada iklan
dalam meningkatkan kesadaran akan suatu inovasi dan dalam mengamankan
keputusan untuk mencoba produk (Buttle 1998).
Fungsi word of mouth adalah sebagai sarana komunikasi yang terjadi secara
disadari maupun tidak akan membentuk suatu penilaian konsumen terhadap suatu
produk atau merek tertentu. Perusahaan harus dapat merangsang terciptanya word of
mouth yang positif sehingga mempengaruhi konsumen dalam melakukan keputusan
pembelian. Menurut Kotler & Keller (2009), word of mouth marketing adalah
kegiatan pemasaran melalui perantara orang ke orang baik secara lisan, tulisan,
maupun alat komunikasi elektronik yang berhubungan dengan pengalaman pembelian
jasa atau pengalaman menggunakan produk atau jasa. Word of Mouth memiliki
kekuatan besar yang berdampak pada perilaku pembelian konsumen. Rekomendasi
dari teman yang sudah dipercaya, asosiasi, dan konsumen lain berpotensi untuk lebih
dipercaya dibandingkan dari sumber komersil, seperti iklan dan sales people.
Sebagian besar, word of mouth terjadi secara alami, konsumen mulai dengan
membicarakan sebuah merek yang mereka gunakan kepada orang lain (Kotler &
Amstrong, 2012). Menurut Sernovitz (2012), Word of Mouth Marketing adalah
memberikan orang alasan untuk membicarakan tentang produk anda dan
mempermudah pembicaraan itu terjadi.

b. Dimensi WOM (Word of Mouth)

Dimensi WOM (Word of Mouth) menurut Arndt (1967) dikemukakan sebagai


berikut:

1. Informal

2. Noncommercial

3. Exchange/Flow of information/Communication/Conversation.

Dimensi WOM (Word of Mouth) menurut Silverman (2001) dikemukakan sebagai


berikut:

1) Informal

2) Noncommercial

3) Exchange/Flow of information/Communication/Conversation.

Dimensi word of mouth dikemukakan oleh Kotler dan Amstrong (2008), terdapat
dua dimensi word of mouth yaitu:

1. Opinion Leader (Pemimpin Opini)

Opinion leader atau pemimpin opini adalah individu yang memimpin dalam
mempengaruhi pendapat orang lain tentang suatu inovasi.

2. Pesan

Menurut Sernovitz (2012) terdapat lima dimensi yang harus diperhatikan dalam
mengupayakan word of mouth yang menguntungkan, yaitu:

1. Talkers (pembicara), adalah kumpulan orang yang memilki antuasiasme dan


hubungan untuk menyampaikan pesan. Mereka yang akan membicarakan
suatu merek seperti teman, tetangga, dan lain-lain. Pembicara berbicara karena
mereka senang berbagi ide yang besar dan menolong teman mereka.
2. Topics (topik), berkaitan dengan apa yang dibicarakan oleh talker. Topik ini
berhubungan dengan sesuatu yang ditawarkan oleh suatu merek, seperti
tawaran spesial, diskon, produk baru, atau pelayanan yang memuaskan. Topik
yang baik adalah topik yang simpel, mudah dibawa, dan natural.
3. Tools (alat), mengacu kepada perlengkapan yang diperlukan untuk
mempermudah konsumen dalam melakukan word of mouth, seperti sampel,
kupon atau brosur.
4. Taking Part (partisipasi), perlunya partisipasi orang lain yang ikut serta dalam
percakapan agar word of mouth dapat terus berlanjut, seperti dari pihak
perusahaan yang terlibat di dalam percakapan membantu merespon mengenai
produk atau jasa dari calon konsumen sehingga arah word of mouth dapat
berkembang sesuai dengan sasaran.
5. Tracking (pengawasan), suatu tindakan perusahaan untuk mengawasi proses
word of mouth sehingga perusahaan dapat mengantisipasi terjadinya word of
mouth negatif mengenai produk atau jasa.
Menurut Goyette et al.,(2010), dalam mengukur pengaruh Electronic Word of
Mouth (e-WOM) menggunakan dimensi sebagai berikut:
1. Intensitas.
Intensitas dalam Electronic Word of Mouth (e-WOM) adalah banyaknya
pendapat atau komentar yang ditulis oleh konsumen dalam sebuah media
sosial. Goyette et al., (2010) membagi indikator dari intensitas sebagai
berikut :
a) Frekuensi mengakses informasi dari media sosial.
b) Frekuensi interaksi dengan pengguna media sosial.
c) Banyaknya ulasan yang ditulis oleh pengguna media sosial.
2. Konten.
Adalah isi informasi dari situs jejaring sosial berkaitan dengan produk dan
jasa. Indikator dari konten meliputi:
a) Informasi tentang variasi produk atau jasa.
b) Informasi tentang kualitas produk atau jasa.
c) Informasi mengenai harga yang ditawarkan.
d) Informasi mengenai keamanan transaksi dan situs jejaring internet yang
disediakan.
3. Pendapat Positif.
Adalah komentar positif mengenai produk, jasa dan merek.
a) Komentar positif dari pengguna media sosial.
b) Rekomendasi dari pengguna media sosial.
4. Pendapat Negatif.
Adalah komentar negatif konsumen mengenai produk, jasa dan merek.
a) Komentar negatif dari pengguna media sosial.
b) Berbicara hal-hal yang negatif kepada orang lain dari pengguna media
sosial.
Berdasarkan beberapa pendapat dari para pakar tentang dimensi word of mouth
maka penulis menyimpulkan untuk menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh
Sernovitz (2012), terdapat lima dimensi yang harus diperhatikan dalam
mengupayakan word of mouth yang menguntungkan, yaitu:

a) Talkers (pembicara)
b) Topics (topik)
c) Tools (alat)
d) Taking Part (partisipasi)
e) Tracking (pengawasan)

3. Brand Trust (Kepercayaan Merek)


a. Definisi Brand Trust (Kepercayaan Merek)
Brand trust menurut Chauduri dan Holbrook (2001) adalah kesediaan konsumen
untuk cenderung percaya pada kemampuan merek dalam menunjukkan kinerja sesuai
yang dijanjikan. Sedangkan menurut Delgado, Munuera & Yague (2003), brand trust
merupakan perasaan aman konsumen dalam interaksi mereka dengan merek, yang
didasarkan pada persepsi bahwa merek tersebut reliable dan responsible terhadap
minat dan keselamatan konsumen. Menurut Kumar (2008) brand trust digambarkan
sebagai kerelaan individu mempercayai kemampuan merek untuk memuaskan
kebutuhannya. Dalam situasi ini dimana individu tidak dapat secara objektif
mengevaluasi kualitas dari produk di muka, brand trust memainkan peranan penting
dalam mengurangi ketidakpastian dalam pembelian. Kautonen dan Karjaluoto (2008)
mendefinisikan brand trust sebagai perasaan aman konsumen dalam interaksinya
dengan merek berdasarkan pada harapan pasti dari keandalan (reliability) dan tujuan
(intentions) merek. Menurut Nick Black (2009), dalam risetnya mengenai Benefit &
Drivers of Brand Trust, menunjukkan bahwa:
a) 83% will recommend it to other people (mau merekomendasikan).
b) 82% will use its products & services, frequently (selalu menggunakan).
c) 78% will look to it first for the things they want (pilihan utama sebelum
memilih brand lain).
d) 78% will give its new products and services a chance (kesempatan mencoba).
e) 50% will pay more for its products & services (mau membayar lebih).
f) 47% believe it’ll inform them about products and services they’ll like
(percaya brand ini akan selalu memberikan informasi produk/jasa sesuai
dengan preferensi mereka).
Kepercayaan konsumen pada merek (brand trust) didefinisikan sebagai keinginan
konsumen untuk bersandar pada sebuah merek dengan resiko-resiko yang dihadapi
karena ekspektasi terhadap merek itu akan menyebabkan hasil yang positif (Lau dan
Lee, 1999). Kepercayaan merek adalah persepsi akan kehandalan dari sudut pandang
konsumen didasarkan pada pengalaman, atau lebih pada urutan-urutan transaksi atau
interaksi yang dicirikan oleh terpenuhinya harapan akan kinerja produk dan kepuasan.
Kepercayaan terbangun karena adanya harapan bahwa pihak lain akan bertindak
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen.
b. Dimensi Brand Trust (Kepercayaan Merek)
Menurut Nick Black, Vice President at Concerto Marketing Group dalam Brand
Trust: The Six Driver of Trust, ke enam indikator dibawah ini bersifat inseparable
(tidak dapat dipisahkan), merupakan kombinasi sukses dalam meraih brand trust
terdapat 6 faktor dalam membangun kepercayaan terhadap suatu produk atau jasa.
1. Stability (stabilitas). Suatu merek harus memiliki dasar yang kuat atau
kestabilan produk atau jasa agar bisa menjadi terpercaya.
2. Innovation (inovasi). Suatu merek harus melanjutkan untuk
mengembangkan dan menginovasi agar bisa dipercaya (bersifat sustainable)
3. Relationship (relasi). Suatu merek harus memberikan hubungan yang baik
agar bisa dipercaya. Relasi yang baik misalnya dalam bentuk
program-program terntentu.
4. Practical value (nilai praktis). Suatu merek harus memberikan nilai praktis
agar dapat dipercaya.
5. Vision. Suatu merek harus bisa memberikan bimbingan visi terhadap
konsumennya agar dapat dipercaya.
6. Competence. Suatu merek harus memiliki kompetensi agar dapat dipercaya.

Menurut Delgado Ballester (2004), Brand Trust adalah harapan akan kehandalan
dan intensi baik merek karena itu kepercayaan merek merefleksikan 2 hal yakni brand
reliability dan brand intensions.
1) Brand reliability atau kehandalan merek yang bersumber pada keyakinan
konsumen bahwa produk tersebut mampu memenuhi nilai yang dijanjikan
atau dengan kata lain persepsi bahwa merek tersebut mampu memenuhi
kebutuhan dan memberikan kepuasan. Brand reliability merupakan hal
yang esensial bagi terciptanya kepercayaan terhadap merek karena
kemampuan merek memenuhi nilai yang dijanjikannya akan membuat
konsumen menaruh rasa yakin mendapatkan apa yang dibutuhkan dalam
hal ini kebutuhan untuk keluar dari perasaan terancamnya.
2) Brand Intension didasarkan pada keyakinan konsumen bahwa merek
tersebut mampu mengutamakan kepentingan konsumen ketika masalah
dalam konsumsi produk muncul secara tidak terduga.
Kedua komponen kepercayaan merek bersandar pada penilaian konsumen yang
subjektif atau didasarkan pada persepsi masing-masing konsumen terhadap manfaat
yang dapat diberikan produk atau merek.
Lau & Lee (2000) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
kepercayaan terhadap merek. Ketiga faktor ini adalah merek itu sendiri, perusahaan
pembuat merek, dan konsumen.
1) Brand Characteristic
Berperan sangat penting dalam menentukan pengambilan keputusan
konsumen untuk mempercayai suatu merek. Hal ini disebabkan oleh penilaian
konsumen sebelum membeli. Karakterisktik merek yang berkaitan dengan
kepercayaan merek meliputi dapat diramalkan, memiliki reputasi, dan kompetensi,
dengan indikator sebagai berikut:
a) Merek dengan reputasi tinggi, yaitu merek dengan kualitas yang baik dan
mampu bersaing dengan merek lain.
b) Pengetahuan publik tentang merek, yaitu suatu tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap suatu merek.
c) Berita positif tentang merek produk, yaitu suatu kabar berita yang baik
tentang produk yang beredar di masyarakat.
d) Pengetahuan konsumen tentang merek, yaitu pengetahuan konsumen
mengenai merek yang telah digunakan.
e) Kinerja merek dapat diantisipasi, yaitu tingkat keefektifitasan suatu
perusahaan terhadap merek, sehingga dalam pelaksanaanya dapat
berjalan dengan baik.
f) Merek yang konsisten dengan kualitasnya, yaitu tingkat konsistensi suatu
merek dengan menjaga kualitas yang sesuai keinginan masyarakat.
g) Harapan konsumen terhadap merek, yaitu suatu keinginan konsumen
terhadap apa yang dilakukan perusahaan pada produk yang
dipasarkannya.
h) Berbeda dengan merek lain, yaitu perbandingan dengan merek ataupun
produk merek lain dengan bidang yang sama yang memiliki kekuatan
merek yang berbeda.
i) Efektivitas produk dibandingkan dengan merek lain, yaitu perbandingan
tingkat kinerja yang ditawarkan suatu perusaahn terhadap produk yang
dipasarkannya
j) Merek yang paling dapat memenuhi kebutuhan, yaitu suatu produk yang
memiliki kualitas yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
2) Company Characteristic
Karakterisitik perusahaan pembuat merek dapat mempengaruhi kepercayaan
konsumen terhadap merek tersebut. Pengetahuan konsumen tentang perusahaan
yang ada di balik merek suatu produk merupakan dasar awal pemahaman oleh
konsumen, indikatornya adalah sebagai berikut:
a) Kepercayaan terhadap perusahaan, yaitu suatu tingkat kepercayaan
konsumen terhadap perusahaan.
b) Perusahaan tidak akan menipu konsumen, merupakan suatu komitmen
yang dipegang oleh suatu perusahaan agar menciptakan loyalitas
konsumen.
c) Perhatian perusahaan terhadap konsumen, merupakan salah satu wujud
strategi pemasaran agar masyarakat merasakan kenyamanan dalam
menggunakan produk suatu perusahaan.
d) Keyakinan konsumen terhadap produk perusahaan, merupakan wujud
dari hasil suatu komitmen perusahaan untuk melayani konsumennya
dengan baik.
3) Consumer-brand characteristic
Merupakan dua faktor yang saling mempengaruhi. Oleh sebab itu,
karakteristik konsumen-merek dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap merek.
Karakteristik ini meliputi kemiripan antara konsep emosional konsumen dengan
kepribadian merek, kesukaan terhadap merek dan pengalaman terhadap merek.
Consumer-brand characteristic memiliki 3 indikator, yaitu:
a) Ada kesamaan merek dengan emosi konsumen, yaitu antara perusahaan
dengan konsumen memiliki keinginan dan tujuan yang sama.
b) Merupakan merek favorit, yaitu persepsi konsumen akan suatu merek
yang diinginkan tentunya dengan kualitas yang baik.
c) Merek yang sesuai dengan kepribadian konsumen, merupakan suatu
persepsi konsumen akan merek suatu produk yang digunakan.
Dimensi yang digunakan untuk mengukur kepercayaan merek berdasarkan
Chaudhuri & Holbrook (2001), meliputi:
1. Trust (kepercayaan).
2. Rely (dapat diandalkan).
3. Honest (jujur).
4. Safe (keamanan).
Pengukuran brand trust menurut Kautonen dan Karjaluoto (2008), brand trust
dapat diukur berdasarkan harapan pasti dari kehandalan dan tujuan merek. Dimensi
brand trust dirumuskan sebagai berikut:
1. Brand Reliability yaitu keyakinan konsumen bahwa produk tersebut mampu
memenuhi nilai yang dijanjikan.
2. Brand Intention adalah keyakinan konsumen bahwa merek tersebut mampu
mengutamakan kepentingan konsumen ketika masalah dalam konsumsi
produk muncul secara tidak terduga.
Berdasarkan beberapa pendapat dari para pakar tentang dimensi brand trust maka
penulis menyimpulkan untuk menggunakan dimensi yang dikemukakan oleh Lau &
Lee (2000) yang menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi
kepercayaan terhadap merek. Ketiga faktor ini adalah :
a) Brand Characteristic
b) Company Characteristic
c) Consumer-brand characteristic

4. Purchase Intention (Keputusan Pembelian)


a. Definisi Purchase Intention (Keputusan Pembelian)
Definisi Purchase Intention menurut Fishbein dan Ajzen yang dikutip dari Lin
dan Lin (2007) adalah “niat beli berarti kecenderungan subjektif konsumen terhadap
produk tertentu, dan telah terbukti menjadi faktor kunci untuk memprediksi perilaku
konsumen.” Menurut Engel, Kollat, dan Blackwell yang dikutip dari Lin dan Lin
(2007) Purchase Intention adalah “proses yang digunakan untuk mengevaluasi
pengambilan keputusan konsumen”. Sedangkan menurut Kotler (2000) definisi
Purchase Intention adalah “perilaku konsumen terjadi ketika konsumen distimulasi
oleh faktor-faktor eksternal dan pengambilan keputusan pembelian berdasarkan
karakteristik pribadi mereka dan proses pengambilan keputusan”.

Purchase Intention adalah sesuatu hal yang mewakili konsumen yang mempunyai
kemungkinan akan rencana atau bersedia untuk membeli suatu produk atau layanan di
masa depan. Peningkatan niat pembelian ini berarti peningkatan kemungkinan
pembelian (Dodds Et Al,1991; Schiffman dan Kanuk, 2007). Para peneliti juga bisa
menggunakan niat membeli sebagai indikator penting untuk memperkirakan perilaku
konsumen. Ketika konsumen telah mempunyai niat untuk membeli yang positif, ini
membentuk komitmen pada sebuah merek, bahwa merek itu positif dan baik. Hal
tersebutlah yang mendorong pembelian yang pada akhirnya akan dilakukan oleh
konsumen (Fishbein dan Ajzen, 1975; Schiffman dan Kanuk, 2007). Purchase
Intention atau minat beli menurut Assael (1998) merupakan kecenderungan konsumen
untuk membeli suatu merek atau mengambil tindakan yang berhubungan dengan
pembelian yang diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian.
Pengertian minat beli menurut Howard (1994) adalah sesuatu yang berhubungan
dengan rencana konsumen untuk membeli produk tertentu serta berapa banyak unit
produk yang dibutuhkan pada periode tertentu. Dapat dikatakan bahwa minat beli
merupakan pernyataan mental dari konsumen yang merefleksikan rencana pembelian
sejumlah produk dengan merek tertentu. Hal ini sangat diperlukan oleh para pemasar
untuk mengetahui minat beli konsumen terhadap suatu produk, baik pemasar maupun
ahli ekonomi menggunakan variabel minat untuk memprediksi perilaku konsumen di
masa yang akan datang. Kotler dan Amstrong (2003), keputusan pembelian adalah
tahap dalam proses pengambilan keputusan pembelian dimana konsumen benar-benar
membeli. Pengambilan keputusan merupakan suatu kegiatan individu yang secara
langsung terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang yang ditawarkan.

b. Dimensi Purchase Intention (Keputusan Pembelian)


Kotler dan Gary Amstrong (2008) menunjukkan bagaimana konsumen membuat
keputusan pembelian yang terdiri dari 5 tahap, seperti yang ditunjukkan pada gambar
berikut :

1. Pengenalan Kebutuhan
Pada tahap ini konsumen merasakan bahwa ada hal yang dirasakan kurang
dan menuntut untuk dipenuhi. Konsumen menyadari bahwa terdapat
perbedaan antara apa yang dialaminya dengan yang diharapkan. Kebutuhan
ini disebabkan karena adanya rangsangan internal maupun eksternal.
2. Pencarian Informasi

Pencarian informasi adalah dimana seorang konsumen ingin mencari


informasi lebih banyak. Konsumen mungkin hanya memperbesar perhatian
atau melakukan pencarian informasi secara aktif. Pencarian informasi ada dua
jenis menurut tingkatannya, yaitu:
a) Perhatian yang meningkat yang ditandai dengan pencarian informasi
yang sedang-sedang saja.

b) Pencarian informasi secara aktif yang dilakukan dengan mencari


informasi dari segala sumber.
3. Evaluasi Alternatif

Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber tersebut akan menjadi bahan
pertimbangan bagi konsumen untuk mengambil keputusan. Konsumen akan
mempertimbangkan atau membandingkan manfaat termasuk kepercayaan
merek dan biaya atau resiko yang akan diperoleh jika membeli suatu produk.
4. Keputusan Pembelian

Dalam tahap evaluasi, konsumen menentukan peringkat merek dan


menentukan niat pembelian. Pada umumnya, keputusan pembelian konsumen
adalah membeli merek yang disukai, tetapi dua faktor bisa berada antara niat
pembelian dan keputusan pembelian, yaitu sikap orang lain dan faktor
situasional yang tidak diharapkan.

5. Perilaku Pasca Pembelian


Setelah membeli, konsumen akan mengevaluasi atas keputusan dan
tindakannya dalam membeli. Jika konsumen menilai kinerja produk atau
layanan yang dirasakan sama atau melebihi apa yang diharapkan, maka
konsumen akan puas atau sebaliknya. Jika konsumen puas, kemungkinan dia
akan membeli kembali. Namun jika konsumen kecewa, maka dia dapat
bersikap negatif yang bisa berdampak buruk pada promosi yang dilakukan
perusahaan.
a) Perilaku pembelian adalah perilaku sesudah pembelian terhadap suatu
produk, dimana konsumen akan mengalami beberapa tingkat kepuasan
atau ketidakpuasan.
b) Kepuasan sesudah pembelian. Konsumen mendasarkan harapannya
kepada informasi yang mereka terima tentang produk. Jika kenyataan
yang mereka dapat ternyata berbeda dengan yang diharapkan maka
mereka akan tidak puas. Bila produk tersebut memenuhi harapan mereka
maka mereka akan merasa puas.
c) Tindakan sesudah pembelian. Penjualan perusahaan berasal dari dua
kelompok yaitu konsumen baru dan konsumen ulang. Mempertahankan
konsumen lama adalah lebih penting dari pada menarik konsumen baru.
Oleh karena itu, perusahaan harus memperhatikan kepuasan konsumen.
Jika konsumen merasa puas ia akan memperlihatkan kemungkinan untuk
membeli lagi produk tersebut.
Model AIDA merupakan unsur dari Purchase Intention seperti yang dijelaskan
oleh Kotler (2000). Model AIDA terdiri dari :

1. Attention
Keterkaitan konsumen dan produk, dalam hal ini di mana perusahaan dapat
menaruh perhatian konsumen dengan melakukan pendekatan agar konsumen
menyadari keberadaan produk dan kualitasnya.

2. Interest
Kepekaan konsumen terhadap produk, dalam tahap ini konsumen
ditumbuhkan dan diciptakan rasa ketertarikan terhadap produk tersebut.
Perusahaan berusaha agar produknya mempunyai daya tarik dalam diri
konsumen, sehingga konsumen memiliki rasa ingin tahu yang dapat
menimbulkan minatnya terhadap suatu produk.
3. Desire

Keinginan konsumen untuk mencoba dan memiliki produk tersebut, rasa


ingin tahu konsumen terhadap produk tersebut diarahkan kepada minat untuk
membeli.
4. Action

Tindakan konsumen untuk mengambil keputusan melakukan pembelian.


Menurut Assael (2002), ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi minat beli
konsumen, diantaranya yaitu:

1) Lingkungan, yakni lingkungan disekitar bisa mempengaruhi minat beli


konsumen dalam pemilihan suatu produk tertentu.
2) Stimulus pemasaran, yakni pemasaran berupaya menstimulus konsumen
sehingga bisa menarik minat beli konsumen.

Menurut Schiffman dan Kanuk (2007), ada beberapa aspek minat beli pada
konsumen, diantaranya yaitu:
1. Tertarik untuk mencari informasi tentang produk
Konsumen yang terangsang kebutuhannya akan terdorong untuk mencari
informasi yang lebih banyak. Ada 2 (dua) level rangsangan atau stimulan
kebutuhan konsumen, yaitu level pencarian informasi yang lebih ringan atau
penguatan perhatian dan level aktif mencari informasi yaitu dengan mencari
bahan bacaan, bertanya pada teman atau mengunjungi toko untuk
mempelajari produk tertentu.

2. Mempertimbangkan untuk membeli


Berdasarkan pengumpulan informasi, konsumen mempelajari merek yang
bersaing dan juga fitur merek tersebut. Melakukan evaluasi terhadap pilihan
dan mulai mempertimbangkan untuk membeli produk.
3. Tertarik untuk mencoba
Setelah konsumen berusaha memenuhi kebutuhan, mempelajari merek yang
bersaing dan juga fitur merek tersebut, konsumen akan mencari manfaat
tertentu dari solusi produk dan melakukan evaluasi terhadap produk tersebut.
Evaluasi ini dianggap sebagai proses yang berorientasi kognitif. Maksudnya,
konsumen dianggap menilai suatu produk secara sangat sadar dan rasional
hingga mengakibatkan ketertarikan untuk mencoba.
4. Ingin mengetahui produk
Setelah memiliki ketertarikan untuk mencoba suatu produk, konsumen akan
memiliki keinginan untuk mengetahui produk. Konsumen akan memandang
produk sebagai sekumpulan atribut dengan kemampuan yang berbeda dalam
memberikan manfaat yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan.
5. Ingin memiliki produk
Para konsumen akan memberikan perhatian besar terhadap atribut yang
memberikan manfaat yang dicarinya. Kemudian akhirnya konsumen akan
mengambil sikap (keputusan, preferensi) terhadap produk melalui evaluasi
atribut dan membentuk niat untuk membeli atau memiliki produk yang
disukai.
Ajzen (1991) menyatakan bahwa variabel yang mempengaruhi niat individu
(intention to use) dalam melakukan pembelian produk adalah

1. Variabel attitude.
2. Subjective norm.

3. Perceived behavior control.


Dimensi dari Purchase Intention menggunakan Model Perilaku Konsumen dari
Engel, Kollat dan Blackwell (EKB) dalam Engel, Miniard dan Blackwell (2006).
Model ini mempunyai kesamaan dengan model Howard dan Sheth, baik dalam ruang
lingkup, sudut pandang maupun tujuannya. Model EKB membedakan tipe-tipe
perilaku konsumen atas dasar situasi yang dihadapinya, apakah pilihan membeli
berlangsung secara rutin atau hanya pada saat tertentu saja. Model EKB merupakan
pengembangan dari model Howard dan Sheth mengenai situasi pemecahan masalah.
Langkah-langkah utama didalam model EKB adalah: pengenalan kebutuhan,
pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian dan hasilnya.
1) Pengenalan Kebutuhan

Terdapat tiga determinan pengenalan kebutuhan, yaitu informasi yang


disimpan dalam ingatan, perbedaan individu dan pengaruh lingkungan.

2) Pencarian Informasi
Langkah berikutnya setelah pengenalan kebutuhan adalah pencarian
informasi internal ke dalam ingatan untuk menentukan apakah cukup banyak
yang diketahui mengenai pilihan yang tersedia untuk memungkinkan pilihan
dibuat tanpa pencarian informasi lebih lanjut. Apabila informasi internal
kurang, dilakukan pencarian informasi eksternal. Pencarian internal adalah
pencarian berdasarkan yang ada pada diri konsumen, yaitu ingatan dan
pengalaman masa lalu. Pencarian eksternal adalah pencarian yang bersumber
di luar konsumen. Pencarian eksternal dilakukan dengan cara: dari mulut ke
mulut, mencoba-coba dan informasi dari pemasaran.
3) Evaluasi Alternatif

Penilaian alternatif dimulai dengan pembentukan dan perubahan kepercayaan


terhadap produk atau merek dan atributnya, diikuti perubahan sikap terhadap
tindakan pembelian, dan selanjutnya adalah niat untuk melakukan tindakan
pembelian. Dalam melakukan evaluasi alternatif memanfaatkan kriteria
evaluasi, yaitu standar dan spesifikasi, untuk membandingkan produk dan
merek yang berbeda. Kriteria evaluasi dibentuk dan dipengaruhi oleh
pebedaan individu dan pengaruh lingkungan. Ketika berbagai alternatif
dibandingkan, penilaian dibentuk.

4) Pembelian
Hasil Pembelian merupakan langkah setelah evaluasi alternatif. Setelah
membeli hasilnya adalah puas atau tidak tidak puas. Kepuasan merupakan
evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya
memenuhi atau melebihi harapan. Ketidakpuasan terjadi bila alternatif yang
dipilih lebih rendah dari yang diharapkan.
Berdasarkan beberapa pendapat dari para pakar tentang dimensi Purchase
Intention (Keputusan Pembelian) maka penulis menyimpulkan untuk menggunakan
dimensi yang dikemukakan oleh Engel, Kollat dan Blackwell (EKB) dalam Engel,
Miniard dan Blackwell (2006). Langkah-langkah utama didalam model EKB adalah :
a) Pengenalan Kebutuhan
b) Pencarian Informasi
c) Evaluasi Alternatif
d) Pembelian

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

Tabel 2.1
Hasil Penelitian Yang Relevan

No. Judul Metode Variable Hasil


1. The effect of Confirmatory Kualitas layanan Ada hubungan
service quality and factor analysis Kepuasan antara kualitas
innovation on word (CFA) dan pelanggan layanan dan
of mouth Structural Citra merek loyalitas
marketing success equation Loyalitas pelanggan
model (SEM) pelanggan dengan
Seyyed Sajjad dengan 180 Inovasi citra merek dan
Mohtasham konsumen dari WOM kepuasan
Sedigheh Kobra agen perjalanan pelanggan
Sarollahi perwakilan tiket sebagai variabel
Delara di kota Iran mediator.
Hamirazavi Rasht sebagai Faktor inovasi
(2017) responden. layanan
mempengaruhi
loyalitas
pelanggan.
Ada hubungan
antara loyalitas
pelanggan dan
WOM.

2. Brand image and Confirmatory Citra merek Keterikatan


equity: the factor analysis Keterikatan merek merek dan sikap
mediating role of (CFA) dan Pendorong merek secara
brand Structural keterikatan parsial
equity drivers and equation merek menengahi
moderating effects model (SEM) WOM hubungan antara
of product type dengan 321 citra merek dan
and word of mouth konsumen yang keterikatan
merupakan merek.
Amin Ansary pelajar di Jenis produk dan
Nik M. Hazrul Nik Malaysia WOM memiliki
Hashim sebagai efek moderasi
(2017) responden. yang signifikan
pada hubungan
antara citra
merek,
pendorong
keterikatan
merek, dan
keterikatan
merek.

3. Brand Structural Komunikasi Komunikasi


communication, equation merek merek memiliki
brand modelling Kepercayaan efek yang lebih
image and brand (SEM) dengan merek kuat pada citra
trust as 151 konsumen Citra merek merek daripada
antecedents of di Gauteng Loyalitas merek pada
brand loyalty in Afrika Selatan kepercayaan
Gauteng Province sebagai merek.
of South Africa responden. Citra merek
sangat
Richard mempengaruhi
Chinomona kepercayaan
(2014) merek.
Komunikasi
merek dapat
memiliki
pengaruh kuat
terhadap
kepercayaan
merek dan
loyalitas merek
melalui citra
merek.

4. The Effect of Confirmatory Elektronik WOM Terdapat


Electronic Word of factor analysis Citra merek hubungan positif
Mouth on Brand (CFA) dan Niat beli yang signifikan
Image and Structural antara
Purchase equation elektronik WOM
Intention: An model (SEM) pada citra merek
Application dengan 265 dan niat beli.
Concerning Cell pelajar di
Phone Brands for Eskisehir,
Youth Turkey sebagai
Consumers in responden.
Turkey

Omer Torlak
Behcet Yalin
Ozkara
Muhammet Ali
Tiltay
Hakan Cengiz
Mehmet Fatih
Dulger
(2014)
5. The impact of Confirmatory Pengalaman Pengalaman
brand experience, factor analysis merek merek, kualitas
service quality and (CFA) dan Kualitas layanan layanan, dan
perceived Structural Persepsi persepsi nilai
value on word of equation nilai yang dirasakan
mouth of retail model (SEM) WOM memiliki dampak
bank customers: dengan 412 signifikan pada
investigating pelanggan ritel rekomendasi
the mediating berbagai bank di WOM dari
effect of loyalty India sebagai pelanggan bank
responden. ritel.
Kaushik Mukerjee
(2018)

6. A STRUCTURAL Structural Citra merek Citra merek


MODEL OF THE equation Kepercayaan memiliki efek
RELATIONSHIPS model (SEM) merek positif pada
BETWEEN dengan 296 Loyalitas merek kepercayaan
BRAND IMAGE, siswa bisnis dari merek.
BRAND TRUST Institut Kepercayaan
AND BRAND Administrasi merek memiliki
LOYALTY Bisnis (HIBA) efek positif pada
sebagai loyalitas merek.
Abdullah responden.
Alhaddad
(2015)

7. The Differential Structural Citra merek Hasil


Roles Of Product equation produk menunjukkan
Brand modelling Citra merek toko bahwa
Image And Store (SEM) dengan Loyalitas kesesuaian citra
Brand Image 174 mahasiswa merek produk
In Retail Loyalty: bisnis sarjana di dan kesesuaian
A Self-Concept sebuah citra merek toko
Image Congruity universitas yang berhubungan
Perspective berlokasi di dalam penciptaan
Northeastern loyalitas ritel..
Joseph F. Rocereto Amerika Serikat
Joseph B. Mosca sebagai
(2012) responden.

8. The effect of Structural E-WOM Komunikasi


electronic word of equation Citra merek e-WOM
mouth on brand modelling Niat beli memiliki dampak
image and (SEM) dengan positif pada citra
purchase intention 341 konsumen merek.
sebagai Komunikasi
Mohammad Reza responden. e-WOM
Jalilvand memiliki dampak
Neda Samiei positif yang kuat
(2012) pada niat beli.
Citra merek
memiliki
pengaruh pada
niat beli.

9. The Effect of Word Structural WOM WOM


of Mouth equation Perilaku berkembang
Marketıng on the modelling pembelian lebih cepat pada
Purchase (SEM) dengan Citra merek institusi yang
Behavıor Vıa 256 konsumen Persepsi kualitas memiliki kualitas
Brand Image and sebagai persepsi tinggi
Perceıved Qualıty responden. dan citra merek
sebelumnya, dan
ZÜHREM mempengaruhi
YAMAN perilaku
(2018) pembelian
individu.

10. Investigating the Structural Citra merek Citra merek


Effects of Brand equation Kualitas berpengaruh
Image, Marketing modelling pelayanan positif terhadap
and Word of (SEM) dengan Hubungan kualitas layanan
Mouth: Evidence 384 konsumen pemasaran dan niat
from Kish Island sebagai WOM wisatawan untuk
Hotels responden. Kepuasan menggunakan
Niat penggunaan kembali.
Mohammad kembali Hubungan
HAGHIGHI pemasaran secara
Mansoor SAMADI positif
Masoud Q. mempengaruhi
YEGANEH kualitas layanan,
(2017) kepuasan
wisatawan, dan
dari WOM.
Kualitas layanan
secara positif
mempengaruhi
kepuasan
wisatawan dan
niat penggunaan
kembali.
Kepuasan
wisatawan secara
positif
mempengaruhi
niat penggunaan
kembali mereka.

11. Online hotel Structural Citra merek Citra merek


booking: The equation Harga secara positif
effects of brand modelling Kepercayaan mempengaruhi
image, price, trust (SEM) dengan Nilai harga yang
and value on 366 konsumen Niat pembelian dipersepsikan,
purchase intentions sebagai kepercayaan,
responden. nilai, dan niat
Che-Hui Lien beli.
Miin-Jye Wen Harga ditemukan
Li-Ching Huang memiliki dampak
Kuo-Lung Wu positif pada nilai
(2015) dan niat beli.
Nilai
berpengaruh
signifikan dan
positif terhadap
niat beli.
Citra merek
berdampak
positif pada niat
beli melalui
kepercayaan.

12. Social Structural Tanggung jawab Hasil penelitian


responsibility equation sosial perusahaan menunjukkan
influence on modelling (CSR), bahwa CSR
customer trust in (SEM) dengan Reputasi memiliki efek
hotels: mediating 300 tamu hotel perusahaan (CR) langsung dan
effects of sebagai Word-of-mouth positif pada CT,
reputation and responden. (WOM) CR dan WOM;
word-of-mouth Perilaku dan CSR memiliki
kepercayaan pengaruh tidak
Mohammad Reza pelanggan (CT) langsung dan
Jalilvand, Leila positif pada CT
Nasrolahi Vosta, melalui CR dan
Hamze Kazemi WOM sebagai
Mahyari and variabel mediasi;
Javad Khazaei CR adalah
Pool pendahulu WOM
(2016) yang signifikan;
dan CR dan
WOM secara
positif terkait
dengan CT.

13. International brand Pearson Kepercayaan Kepuasan


vs. local brand: an Correlation merek pelanggan
evaluation of brand dengan 40 Reputasi merek memiliki
trust, brand responden di Kepuasan hubungan positif
reputation, Malaysia pelanggan yang signifikan
customer Niat beli terhadap
satisfaction and kepercayaan
purchase intention merek yang akan
of Malaysian mengarah pada
customers niat pembelian di
masa depan.
Nazatul Shima Dalam niat
Abdul Rani pembelian,
Zurinah Suradi reputasi merek
(2017) adalah yang
terakhir
dipertimbangkan,
seperti dapat
dilihat,
pelanggan
kepuasan dan
kepercayaan
merek adalah
faktor utama
yang harus
dipertimbangkan
untuk niat
pembelian di
masa depan
di antara
pelanggan di
Malaysia.

C. Kerangka Teoritik
Dalam persaingan bisnis kesehatan yang semakin tinggi diantara berbagai
perusahaan layanan kesehatan khususnya pada pelayanan fasilitas cathlab, maka
rumah sakit yang selain berorientasi sebagai produsen produk dan jasa, rumah sakit
mulai berorientasi pada pemasaran. Rumah sakit mulai menempatkan kebutuhan,
keinginan dan harapan pasien terhadap produk dan jasa sebagai nilai pelayanan yang
harus dipenuhi. Menurut Kotler (1996), pemasaran merupakan kunci untuk meraih
tujuan organisasi yang lebih efektif dari para pesaing karena memadukan kegiatan
pemasaran untuk menetapkan dan memuaskan kebutuhan dan keinginan sasaran pasar.
Penggunaan alat canggih dalam bidang medis sudah menjadi keunggulan dari rumah
sakit untuk menjaring konsumen. Penggunaan alat canggih dalam bidang medis sudah
menjadi keunggulan dari rumah sakit untuk menjaring konsumen. Salah satu alat
canggih yang marak digunakan saat ini adalah fasilitas cathlab. Kateter Jantung &
Angiografi (Cath Lab) adalah suatu tindakan medis atau prosedur diagnostik invasif
yang berfungsi untuk mendeteksi penyempitan atau sumbatan pembuluh darah
jantung atau koroner. Melalui prosedur ini, dapat diketahui jenis tindakan yang sesuai
bagi pasien. Sehingga dokter dapat merekomendasikan tindak lanjut pengobatan yang
mana tergantung dari hasil angiografi. Tindakan termasuk pasang ring jantung,
intervensi dengan balon, atau tindakan operasi bypass. Maka untuk meningkatkan
minat beli konsumen pada fasilitas cathlab diperlukan kepercayaan merek rumah sakit
dari masyarakat yang dapat diperoleh dari citra merek rumah sakit dan promosi mulut
ke mulut.

Brand image (citra merek) merupakan petunjuk yang digunakan oleh konsumen
untuk mengevaluasi produk ketika tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang
suatu produk. Terdapat kecenderungan bahwa konsumen akan memilih produk yang
telah dikenal baik melalui pengalaman menggunakan produk maupun berdasarkan
informasi yang diperoleh melalui berbagai sumber. Brand image (citra merek)
menurut Kotler dan Keller (2016) merupakan persepsi konsumen tentang suatu merek
sebagai refleksi dari asosiasi yang ada pada pikiran konsumen. Brand image (citra
merek) merupakan asosiasi yang muncul dalam benak konsumen ketika mengingat
suatu merek tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul dalam bentuk
pemikiran dan citra tertentu yang dikaitkan dengan suatu merek. Brand image (citra
merek) tersusun dari asosiasi merek, bahwa asosiasi merek adalah apa saja yang
terkait dengan memori terhadap merek. Asosiasi merek memiliki tingkat kekuatan
tertentu dan akan semakin kuat seiring dengan bertambahnya pengalaman konsumsi
atau penggalian informasi dan akan bertambah kuat jika didukung oleh jaringan
lainnya. Sehingga brand image (citra merek) ini penting bagi konsumen untuk
menjatuhkan pilihannya dalam membeli sebuah produk.

Word of Mouth/WOM (promosi mulut ke mulut) merupakan salah satu dari


banyak perangkat bisnis yang digunakan oleh pebisnis untuk memasarkan produknya.
Cara ini dinilai cukup efektif dalam menarik konsumen baru dan menyakinkan
mereka untuk membeli sebuah produk bisnis. Apalagi di era digital sekarang ini,
peranan Word of Mouth/WOM pada perkembangan sebuah bisnis memiliki dampak
yang sangat besar. Word of Mouth/WOM merupakan strategi marketing yang
mengandalkan rekomendasi dan penilaian dari konsumen, baik secara personal
maupun kelompok terhadap suatu produk atau jasa sehingga bisa menarik lebih
banyak konsumen baru yang potensial. Penilaian yang diberikan tentulah yang
bersifat positif, seperti kepuasan pelanggan terhadap produk atau pelayanan. Hal ini
akan mempersuasi dan meyakinkan orang lain untuk menggunakan produk atau jasa
dari bisnis tersebut. Strategi pemasaran ini lebih terlihat simpel dan tidak
membutuhkan biaya yang besar, namun memiliki tingkat efektif yang cukup besar.

Brand trust (kepercayaan merek) merupakan keinginan pelanggan untuk


bersandar pada sebuah merek dengan risiko-risiko yang dihadapi karena ekspektasi
terhadap merek itu akan menyebabkan hasil yang positif (Lau dan Lee, 1999). Brand
trust (kepercayaan merek) memiliki peran yang penting dalam pemasaran industri.
Dinamika lingkungan bisnis yang cepat memaksa pemasaran perusahaan untuk
mencari cara yang lebih kreatif dan fleksibel untuk beradaptasi. Untuk tetap bertahan
dalam situasi tersebut, perusahaan akan mencari cara yang kreatif melalui
pembentukan hubungan yang kolaboratif dengan konsumen (Lau dan Lee, 1999).
Brand trust (kepercayaan merek) dianggap sebagai cara yang paling penting dalam
membangun dan memelihara hubungan dengan pelanggan dalam jangka panjang. Hal
ini menjelaskan bahwa penciptaan awal hubungan dengan partner didasarkan pada
kepercayaan. Perusahaan harus memahami tiga karakteristik penting dalam
membangun dan mengembangkan brand trust (kepercayaan merek), sebagai
determinan kepercayaan pelanggan yang pada akhirnya akan mengarah pada Word of
Mouth/WOM (promosi mulut ke mulut). Oleh karena itu, kepercayaan yang telah
dibangun oleh konsumen pada suatu merek kemungkinan akan mengarah pada
loyalitas terutama Word of Mouth/WOM (promosi mulut ke mulut) positif terhadap
rekomendasi merek tersebut.
Purchase intention (minat beli) merupakan perilaku konsumen yang muncul
sebagai respon terhadap objek yang menunjukkan keinginan pelanggan untuk
melakukan pembelian. Menurut Belch dan Belch (2003) purchase intention adalah
predisposisi untuk membeli barang atau merek tertentu, dan pada umumnya purchase
intention didasarkan pada pencocokan motif pembelian dengan atribut atau
karakteristik merek yang dipertimbangkan. Purchase intention dapat muncul setelah
seorang calon konsumen melakukan evaluasi terhadap produk tersebut (Kotler dan
Armstong, 2014).

Dari unit rekam medis di Rumah Sakit Swasta B, didapatkan data jumlah
kunjungan pasien di unit cathlab. Data kunjungan cathlab yang bervariasi setiap
bulannya pada periode tahun 2019 menjadi evaluasi tersendiri dari bidang medis dan
bidang pemasaran di Rumah Sakit Swasta B, dimana evaluasi ini akan menjadi acuan
strategi bidang pemasaran rumah sakit untuk dapat meningkatkan citra merek rumah
sakit, kepercayaan merek rumah sakit serta meningkatkan minat beli dari konsumen
terhadap Rumah Sakit Swasta B. Permasalahan yang sering kali timbul dalam
pengembangan citra merek rumah sakit dalam meningkatkan kunjungan pasien di unit
cathlab disebabkan karena adanya pesaing-pesaing lain yang menawarkan jasa yang
sama disertai paket-paket yang menarik. Banyak rumah sakit yang tumbuh serta
menawarkan produk layanan yang lebih baik. Strategi dari bidang pemasaran rumah
sakit diketahui telah melakukan promosi di berbagai daerah melalui kegiatan seminar
kesehatan bagi masyarakat awam, namun umpan balik dari strategi pemasaran
tersebut kurang menjadi target dari bidang pemasaran. Hal ini menjadikan citra merek
Rumah Sakit Swasta B kurang mendapatkan perhatian dan kepercayaan masyarakat
terhadap merek Rumah Sakit Swasta B. Banyak hal yang perlu dicermati dalam
meningkatkan strategi pemasaran rumah sakit seperti menggunakan stategi pemasaran
Word of Mouth/WOM (promosi mulut ke mulut). Dimana strategi tersebut bertujuan
dalam upaya meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap merek rumah sakit serta
meningkatkan minat beli konsumen itu sendiri.
Penelitian ini dilaksanakan pada unit cathlab Rumah Sakit Swasta B. Penelitian
ini disusun sedemikian rupa mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang lazim digunakan
dalam penelitian bidang-bidang sosial sehingga diharapkan mampu menjawab
permasalahan-permasalahan pokok penelitian. Untuk mencapai tujuan penelitian ini
maka perlu adanya kerangka pemikiran, yang akan mempermudah dan dapat
mendukung perolehan hasil yang optimal. Hal ini dapat terlihat pada kerangka teori
berikut ini:

Brand Image H2

Brand Trust Purchase

H4 Intention H1
WOM H3

Gambar 2.1. Kerangka Teori


Brand image (citra merek), menurut Kotler dan Keller (2016), citra merek
adalah persepsi konsumen tentang suatu merek sebagai refleksi dari asosiasi yang ada
pada pikiran konsumen. Citra merek merupakan asosiasi yang muncul dalam benak
konsumen ketika mengingat suatu merek tertentu. Menurut Keller (2013)
dimensi-dimensi utama membentuk citra sebuah merek tertuang dalam berikut ini:
a. Brand Identity (Identitas Merek)
Brand identity merupakan identitas fisik yang berkaitan dengan merek atau
produk tersebut sehingga konsumen mudah mengenali dan
membedakannya dengan merek atau produk lain, seperti logo, warna,
kemasan, lokasi, identitas perusahaan, slogan, dan lain-lain.
b. Brand Personality (Personalitas Merek).
Brand personality adalah karakter khas sebuah merek yang membentuk
kepribadian tertentu sebagaimana layaknya manusia, sehingga khalayak
konsumen dengan mudah membedakannya dengan merek lain dalam
kategori yang sama, misalnya karakter tegas, kaku, berwibawa, nigrat, atau
murah senyum, hangat, penyayang, berjiwa sosial, atau dinamis, kreatif,
independen, dan sebagainya.
c. Brand Association (Asosiasi Merek).
Brand Association adalah hal-hal spesifik yang pantas atau selalu
dikaitkan dengan suatu merek, bisa muncul dari penawaran unik suatu
produk, aktivitas yang berulang dan konsisten misalnya dalam hal
sponsorship atau kegiatan social responsibility, isu-isu yang sangat kuat
berkaitan dengan merek tersebut, maupun persona perusahaan,
simbol-simbol dan makna tertentu yang sangat kuat melekat pada suatu
merek.
d. Brand Attitude and Behavior (Sikap dan Perilaku Merek).
Brand attitude and behavior adalah sikap atau perilaku komunikasi dan
interaksi merek dengan konsumen dalam menawarkan
keuntungan-keuntungan dan nilai-nilai yang dimilikinya. Attitude and
behavior mencakup sikap dan perilaku konsumen, aktivitas dan atribut
yang melekat pada merek saat berhubungan dengan khalayak konsumen,
termasuk perilaku karyawan dan pemilik merek/perusahaan.
e. Brand Benefit and Competence (Manfaat dan Keunggulan Merek).
Brand benefit and competence merupakan nilai-nilai dan keunggulan khas
yang ditawarkan oleh suatu merek kepada konsumen yang membuat
konsumen dapat merasakan manfaat karena kebutuhan, keinginan, mimpi,
dan obsesinya terwujudkan oleh apa yang ditawarkan tersebut.

Word of Mouth/WOM (Promosi Mulut ke Mulut), menurut Sernovitz (2012),


Word of Mouth Marketing adalah memberikan orang alasan untuk membicarakan
tentang produk anda dan mempermudah pembicaraan itu terjadi. Menurut Sernovitz
(2012) terdapat lima dimensi yang harus diperhatikan dalam mengupayakan word of
mouth yang menguntungkan, yaitu:
1. Talkers (pembicara), adalah kumpulan orang yang memilki antuasiasme
dan hubungan untuk menyampaikan pesan. Mereka yang akan
membicarakan suatu merek seperti teman, tetangga, dan lain-lain.
Pembicara berbicara karena mereka senang berbagi ide yang besar dan
menolong teman mereka.
2. Topics (topik), berkaitan dengan apa yang dibicarakan oleh talker. Topik
ini berhubungan dengan sesuatu yang ditawarkan oleh suatu merek, seperti
tawaran spesial, diskon, produk baru, atau pelayanan yang memuaskan.
Topik yang baik adalah topik yang simpel, mudah dibawa, dan natural.
3. Tools (alat), mengacu kepada perlengkapan yang diperlukan untuk
mempermudah konsumen dalam melakukan word of mouth, seperti sampel,
kupon atau brosur.
4. Taking Part (partisipasi), perlunya partisipasi orang lain yang ikut serta
dalam percakapan agar word of mouth dapat terus berlanjut, seperti dari
pihak perusahaan yang terlibat di dalam percakapan membantu merespon
mengenai produk atau jasa dari calon konsumen sehingga arah word of
mouth dapat berkembang sesuai dengan sasaran.
5. Tracking (pengawasan), suatu tindakan perusahaan untuk mengawasi
proses word of mouth sehingga perusahaan dapat mengantisipasi terjadinya
word of mouth negatif mengenai produk atau jasa.

Brand Trust (Kepercayaan Merek), menurut Lau dan Lee (1999) kepercayaan
konsumen pada merek (brand trust) didefinisikan sebagai keinginan konsumen untuk
bersandar pada sebuah merek dengan resiko-resiko yang dihadapi karena ekspektasi
terhadap merek itu akan menyebabkan hasil yang positif. Lau & Lee (2000)
menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kepercayaan terhadap
merek. Ketiga faktor ini adalah merek itu sendiri, perusahaan pembuat merek, dan
konsumen.
1) Brand Characteristic
Berperan sangat penting dalam menentukan pengambilan keputusan
konsumen untuk mempercayai suatu merek. Hal ini disebabkan oleh penilaian
konsumen sebelum membeli. Karakterisktik merek yang berkaitan dengan
kepercayaan merek meliputi dapat diramalkan, memiliki reputasi, dan kompetensi,
dengan indikator sebagai berikut:
a) Merek dengan reputasi tinggi, yaitu merek dengan kualitas yang baik dan
mampu bersaing dengan merek lain.
b) Pengetahuan publik tentang merek, yaitu suatu tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap suatu merek.
c) Berita positif tentang merek produk, yaitu suatu kabar berita yang baik
tentang produk yang beredar di masyarakat.
d) Pengetahuan konsumen tentang merek, yaitu pengetahuan konsumen
mengenai merek yang telah digunakan.
e) Kinerja merek dapat diantisipasi, yaitu tingkat keefektifitasan suatu
perusahaan terhadap merek, sehingga dalam pelaksanaanya dapat berjalan
dengan baik.
f) Merek yang konsisten dengan kualitasnya, yaitu tingkat konsistensi suatu
merek dengan menjaga kualitas yang sesuai keinginan masyarakat.
g) Harapan konsumen terhadap merek, yaitu suatu keinginan konsumen
terhadap apa yang dilakukan perusahaan pada produk yang
dipasarkannya.
h) Berbeda dengan merek lain, yaitu perbandingan dengan merek ataupun
produk merek lain dengan bidang yang sama yang memiliki kekuatan
merek yang berbeda.
i) Efektivitas produk dibandingkan dengan merek lain, yaitu perbandingan
tingkat kinerja yang ditawarkan suatu perusaahn terhadap produk yang
dipasarkannya
j) Merek yang paling dapat memenuhi kebutuhan, yaitu suatu produk yang
memiliki kualitas yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
2) Company Characteristic
Karakterisitik perusahaan pembuat merek dapat mempengaruhi kepercayaan
konsumen terhadap merek tersebut. Pengetahuan konsumen tentang perusahaan
yang ada di balik merek suatu produk merupakan dasar awal pemahaman oleh
konsumen, indikatornya adalah sebagai berikut:
a. Kepercayaan terhadap perusahaan, yaitu suatu tingkat kepercayaan
konsumen terhadap perusahaan.
b. Perusahaan tidak akan menipu konsumen, merupakan suatu komitmen
yang dipegang oleh suatu perusahaan agar menciptakan loyalitas
konsumen.
c. Perhatian perusahaan terhadap konsumen, merupakan salah satu wujud
strategi pemasaran agar masyarakat merasakan kenyamanan dalam
menggunakan produk suatu perusahaan.
d. Keyakinan konsumen terhadap produk perusahaan, merupakan wujud
dari hasil suatu komitmen perusahaan untuk melayani konsumennya
dengan baik.
3) Consumer-brand characteristic
Merupakan dua faktor yang saling mempengaruhi. Oleh sebab itu,
karakteristik konsumen-merek dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap merek.
Karakteristik ini meliputi kemiripan antara konsep emosional konsumen dengan
kepribadian merek, kesukaan terhadap merek dan pengalaman terhadap merek.
Consumer-brand characteristic memiliki 3 indikator, yaitu:
a) Ada kesamaan merek dengan emosi konsumen, yaitu antara perusahaan
dengan konsumen memiliki keinginan dan tujuan yang sama.
b) Merupakan merek favorit, yaitu persepsi konsumen akan suatu merek
yang diinginkan tentunya dengan kualitas yang baik.
c) Merek yang sesuai dengan kepribadian konsumen, merupakan suatu
persepsi konsumen akan merek suatu produk yang digunakan.
Purchase Intention (Keputusan Pembelian), menurut Engel, Kollat, dan
Blackwell yang dikutip dari Lin dan Lin (2007) Purchase Intention adalah “proses
yang digunakan untuk mengevaluasi pengambilan keputusan konsumen”. Dimensi
dari Purchase Intention menggunakan Model Perilaku Konsumen dari Engel, Kollat
dan Blackwell (EKB) dalam Engel, Miniard dan Blackwell (2006). Model ini
mempunyai kesamaan dengan model Howard dan Sheth, baik dalam ruang lingkup,
sudut pandang maupun tujuannya. Model EKB membedakan tipe-tipe perilaku
konsumen atas dasar situasi yang dihadapinya, apakah pilihan membeli berlangsung
secara rutin atau hanya pada saat tertentu saja. Model EKB merupakan pengembangan
dari model Howard dan Sheth mengenai situasi pemecahan masalah.
Langkah-langkah utama didalam model EKB adalah: pengenalan kebutuhan,
pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian dan hasilnya.

1) Pengenalan Kebutuhan
Terdapat tiga determinan pengenalan kebutuhan, yaitu informasi yang
disimpan dalam ingatan, perbedaan individu dan pengaruh lingkungan.
2) Pencarian Informasi
Langkah berikutnya setelah pengenalan kebutuhan adalah pencarian
informasi internal ke dalam ingatan untuk menentukan apakah cukup banyak
yang diketahui mengenai pilihan yang tersedia untuk memungkinkan pilihan
dibuat tanpa pencarian informasi lebih lanjut. Apabila informasi internal
kurang, dilakukan pencarian informasi eksternal. Pencarian internal adalah
pencarian berdasarkan yang ada pada diri konsumen, yaitu ingatan dan
pengalaman masa lalu. Pencarian eksternal adalah pencarian yang bersumber
di luar konsumen. Pencarian eksternal dilakukan dengan cara: dari mulut ke
mulut, mencoba-coba dan informasi dari pemasaran.

3) Evaluasi Alternatif
Penilaian alternatif dimulai dengan pembentukan dan perubahan kepercayaan
terhadap produk atau merek dan atributnya, diikuti perubahan sikap terhadap
tindakan pembelian, dan selanjutnya adalah niat untuk melakukan tindakan
pembelian. Dalam melakukan evaluasi alternatif memanfaatkan kriteria
evaluasi, yaitu standar dan spesifikasi, untuk membandingkan produk dan
merek yang berbeda. Kriteria evaluasi dibentuk dan dipengaruhi oleh
pebedaan individu dan pengaruh lingkungan. Ketika berbagai alternatif
dibandingkan, penilaian dibentuk.
4) Pembelian

Hasil Pembelian merupakan langkah setelah evaluasi alternatif. Setelah


membeli hasilnya adalah puas atau tidak tidak puas. Kepuasan merupakan
evaluasi pasca konsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya
memenuhi atau melebihi harapan. Ketidakpuasan terjadi bila alternatif yang
dipilih lebih rendah dari yang diharapkan.
D. Hubungan Antar Variabel
Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu maka dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
1. Pengaruh word of mouth (promosi mulut ke mulut) dan brand image (citra
merek) terhadap purchase intention (minat beli) melalui brand trust
(kepercayaan merek).
Konsumen saat ini sangatlah kritis dalam memilih suatu produk atau jasa
yang diinginkan, diperlukan banyak pertimbangan dan rekomendasi dari
berbagai pihak baik dari perusahaan maupun masyakat sekitar yang
berpengaruh bagi konsumen dalam memutuskan pembelian dari produk atau
jasa tersebut. Dalam penelitian Torlak et al., 2014 menemukan hubungan
positif yang signifikan antara elektronik word of mouth pada citra merek dan
niat beli pada suatu merek telepon selular di Turkey. Pada penelitian
Haghighi et al., 2017 menemukan bahwa citra merek berpengaruh positif
terhadap kualitas layanan dan niat wisatawan untuk melakukan pembelian
kembali disertai hubungan pemasaran secara positif yang mempengaruhi
kualitas layanan, kepuasan wisatawan, dan word of mouth pada suatu hotel di
Kish Island. Pada penelitian Lien et al., 2015 ditemukan bahwa citra merek
berdampak positif pada niat beli melalui kepercayaan pada konsumen hotel
di Taiwan. Dari literatur diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan yaitu:
H1: Word of mouth (promosi mulut ke mulut) dan brand image (citra
merek) berpengaruh terhadap purchase intention (minat beli) melalui
brand trust (kepercayaan merek) sebagai variabel intervening.

2. Pengaruh brand image (citra merek) terhadap brand trust (kepercayaan


merek).
Citra merek suatu perusahaan yang baik akan menumbuhkan rasa
kepercayaan konsumen terhadap merek perusahaan tersebut, sebaliknya jika
citra merek suatu perusahaan kurang diketahui oleh masyarakat, maka
kepercayaan terhadap merek perusahaan tersebut belum tentu mendapatkan
respon positif di masyarakat. Pada penelitian Chinomona, 2014 ditemukan
bahwa citra merek sangat mempengaruhi kepercayaan merek pada konsumen
di Gauteng Afrika Selatan. Alhaddad, 2015 melakukan penelitian pada siswa
bisnis dari Institut Administrasi Bisnis dan didapatkan bahwa citra merek
memiliki efek positif pada kepercayaan merek. Dari literatur diatas, maka
hipotesis yang dapat diajukan yaitu:
H2: Brand image (citra merek) berpengaruh terhadap brand trust
(kepercayaan merek).

3. Pengaruh word of mouth (promosi mulut ke mulut) terhadap brand trust


(kepercayaan merek).
Pembicaraan di masyarakat terkait suatu merek perusahaan dapat menjadi
penilaian tersendiri bagi perusahaan. Pembicaraan yang baik disertai
penilaian positif merek perusahaan di masyarakat dapat menjadi promosi
yang positif dan menimbulkan kepercayaan masyarakat untuk menggunakan
merek perusahaan tersebut. Pada penelitian Jalilvand et al., 2016 ditemukan
bahwa word of mouth akan secara positif mempengaruhi kepercayaan
pelanggan terhadap merek hotel di Iran. Dari literatur diatas, maka hipotesis
yang dapat diajukan yaitu:
H3: Word of mouth (promosi mulut ke mulut) berpengaruh terhadap
brand trust (kepercayaan merek).

4. Pengaruh brand trust (kepercayaan merek) terhadap purchase intention


(minat beli).
Kepercayaan merek perusahaan yang positif di masyarakat memiliki arti
tersendiri bagi perusahaan dan memungkinkan dapat menjadi acuan terhadap
niat beli masyarakat terhadap produk atau jasa perusahaan yang dijual. Pada
penelitian Rani et al., 2017 ditemukan bahwa ada hubungan positif antara
kepercayaan merek dan niat beli produk berbagai merek waralaba di
Malaysia. Dari literatur diatas, maka hipotesis yang dapat diajukan yaitu:
H4: Brand trust (kepercayaan merek) berpengaruh terhadap purchase
intention (minat beli).

E. Hipotesis Penelitian
H1: Word of mouth (promosi mulut ke mulut) dan brand image (citra merek)
berpengaruh terhadap purchase intention (minat beli) melalui brand trust
(kepercayaan merek) sebagai variabel intervening.
H2: Brand image (citra merek) berpengaruh terhadap brand trust (kepercayaan
merek).
H3: Word of mouth (promosi mulut ke mulut) berpengaruh terhadap brand trust
(kepercayaan merek).
H4: Brand trust (kepercayaan merek) berpengaruh terhadap purchase intention
(minat beli).

Anda mungkin juga menyukai