Anda di halaman 1dari 60

Oleh: Dr. Joni Wahyuhadi, dr., Sp.

BS (K)

i
DAFTAR ISI

HAL
Cover i
Daftar isi ii
Daftar Gambar dan Tabel iii
Kata Pengantar iv
Tujuan Instruksional v
Pendahuluan 1
BAB 1 Embriologi sel glia 3
BAB 2 Anatomi dan fisiologi sel glia 11
BAB 3 Etiologi, klasifikasi dan epidemiologi glioma 17
BAB 4 Paparan zat kimia yang meningkatkan risiko glioma 30
BAB 5 Paparan radiasi terhadap risiko glioma 41
BAB 6 Angka harapan hidup dan prognosis pada glioma 49

ii
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

HAL
Gambar 1.1 Lempeng saraf (neural plate) membentuk tabung saraf 3
Gambar 1.2 Histogenesis sel di sistem saraf pusat. 6
Gambar 1.3 Sifat glial sel induk saraf (Neural stem cells / NSCs) dalam 8
perkembangan dan pada dewasa.
Gambar 2.1 Enam lapisan korteks serebri 13
Gambar 2.2 Ilustrasi sel-sel neuroglia 15
Gambar 3.1 Usulan alur patofisiologi genetik dari glioma 17
Gambar 3.2 Klasifikasi WHO 2016 untuk tumor SSP 18
Gambar 3.3 Klasifikasi glioma berdsaarkan WHO 2016 19
Gambar 3.4 Algoritma klasifikasi glioma difus berdasarkan histologi dan penenda genetik 20
Gambar 3.5 Karakteristik dari glioblastoma IDH-wildtype dan IDH-mutant 22
Gambar 3.6 Distribusi tumor otak primer SSP berdasarkan sifat 24
Gambar 3.7 Distribusi tumor otak primer dan glioma SPP 25
Gambar 3.8 Histologi tumor SSP pada orang dewasa 26
Gambar 3.9 Tingkat kejadian yang disesuaikan berdasarkan usia dari tumor SSP 27
Gambar 3.10 Insiden tumor jaringan neuroepithelial dan glioma berdasarkan usia dengan World 27
Standard Population
Gambar 3.11 Insidensi glioma ganas berdasarkan ras / etnis, yang disesuaikan usia 28
Tabel 4.1 Studi Epidemiologi tentang Penggunaan Ponsel Jangka Panjang dan Glioma 45
Gambar 6.1 Tingkat kelangsungan hidup 1 tahun, 5 tahun, dan 10 tahun pada glioma tertentu. 49

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur saya panjatkan ke Hadirat Allah Swt., karena hanya berkat rahmat, hidayah, dan karunia-
Nya-lah saya telah berhasil menyelesaikan modul pembelajaran untuk dokter dalam Program
Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) bedah saraf, dengan judul “Modul Dasar Glioma”. Mengingat
kemajuan ilmu dan teknologi yang tak dapat dibendung, maka wajarlah jika berbagai macam
perubahan dan perkembangan terjadi pada bidang ilmu kedokteran yang bersifat dinamis.
iii
Penyusunan buku ini merupakan suatu langkah maju untuk menjawab tantangan di bidang pelayanan,
pendidikan, penelitian, dan pengembangan. Mengingat tingginnya angka penderita tumor otak dan
rendahnya angka kelangsungan hidup penderita tumor otak, maka pembahasan mengenai tumor otak
harus terus dilakukan. Harapan besar saya, semoga hasil kerja keras ini mampu memberikan manfaat
besar terutama bagi para tenaga medis khususnya di bidang bedah saraf. Saya pribadi menyadari
akan ketidaksempurnaan buku ini. Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat saya
harapkan untuk pengembangan di masa kini dan seterusnya.
Akhir kata dari saya, semoga buku ini dapat bermanfaat sebesar-besarnya, terutama bagi ilmu bedah
saraf.

Surabaya, 2020

Dr. dr. Joni Wahyuhadi Sp.BS(K)

iv
TUJUAN INSTRUKSIONAL

Tujuan Instruksional Umum

Setelah membaca buku ini siswa/pembaca dapat memahami tentang Dasar Glioma.

Tujuan Instruksional Khusus

1. Siswa/Pembaca dapat menjelaskan Embriologi sel glia.


2. Siswa/Pembaca dapat menjelaskan Anatomi dan fisiologi sel glia.
3. Siswa/Pembaca dapat menjelaskan Etiologi, klasifikasi dan epidemiologi glioma.
4. Siswa/Pembaca dapat menjelaskan Paparan zat kimia yang meningkatkan risiko glioma.
5. Siswa/Pembaca dapat menjelaskan Paparan radiasi terhadap risiko glioma.
6. Siswa/Pembaca dapat menjelaskan Angka harapan hidup dan prognosis pada glioma.

v
PENDAHULUAN

Tumor dan kanker adalah penyakit berbahaya yang terjadi akibat tidak terkontrolnya
pertumbuhan sel abnormal pada satu atau lebih bagian tubuh. Tumor dan kanker tidak hanya
memiliki kemampuan mengeksploitasi “mesin seluler” penderita untuk keuntungan mereka
sendiri tetapi juga berpotensi menyebabkan kesengsaraan penderita. Tubuh manusia terdiri dari
berbagai jenis sel yang tumbuh, membelah, dan mati secara teratur (disebut apoptosis). Namun,
ketika beberapa sel dalam tubuh mengubah pola pertumbuhannya dan gagal untuk melakukan
apoptosis, mereka seringkali berubah menjadi tumor.
Sistem saraf manusia terdiri dari dua bagian utama: sistem saraf pusat (SSP) dan sistem
saraf tepi (SST). SSP mencakup otak dan sumsum tulang belakang, sedangkan SST terdiri dari
saraf kranial, saraf tulang belakang (akar dan cabangnya), saraf perifer, dan sambungan
neuromuskuler. SST menghubungkan SSP ke organ sensorik (misalnya, mata dan telinga), otot,
pembuluh darah, dan kelenjar, serta organ tubuh lainnya. Berdasarkan karakteristik histopatologi
dan klinis, tumor primer SSP dan PNS dibagi menjadi beberapa kategori berikut: (i) tumor
jaringan neuroepitel (misalnya, tumor astrositik, glioma lain, tumor oligodendroglial, tumor
oligoastrocytic, tumor ependymal, tumor koroid pleksus, tumor neuronal dan campuran
neuronal-glial, tumor pineal, dan tumor embrional), (ii) tumor saraf kranial dan paraspinal
(misalnya, neurofibroma, perineurioma, tumor selubung saraf perifer ganas, dan schwannoma),
(iii) tumor meninges (misalnya, meningioma, melanositik tumor, hemangiopericytoma, dan
hemangioblastoma), dan (iv) tumor area sellar (mis., craniopharyngioma).
Glioma adalah neoplasma SSP terbanyak yang berasal dari sel glia (Ostrom et al., 2018).
6 dari 100.000 orang di Amerika Serikat akan terdiagnosis mengalami glioma tiap tahunnya
(Ostrom et al., 2018). Glioma terdiri dari beberapa tipe yang dibagi dimana glioblastoma
merupkan subtipe dari glioma dengan tingkat malignansi tertinggi sedangkan pilositik
astrositoma merupakan subtipe yang paling jinak. Pada klasifikasi terdahulu, glioma diklasifikasi
menjadi beberapa subtipe berdasarkan histopatologinya seperti difus astrositoma,
oligodendroglioma atau campuran glioma/oligoastrositoma. Namun, klasifikasi terkini glioma
dibagi berdasarkan penanda molekular dan genetik. Temuan ini memberikan keuntungan dalam
hal prognostik dan terapeutik untuk pasien-pasien glioma. Selain itu, glioma juga

1
diklasifikasikan berdasarkan derajat proliferasinya menjadi grade I hingga IV yang diindikasikan
dengan indeks mitosis dan ada tidaknya nekrosis. (Louis et al., 2007, 2016)

2
1 EMBRIOLOGI SEL GLIA
Tanda awal dari perkembangan sistem saraf muncul pada minggu ketiga saat lempeng
saraf dan alur saraf berkembang pada aspek posterior embrio trilaminar (Gambar 1). Notokorda
dan mesenkim paraksial menyebabkan ektoderm di atasnya berdiferensiasi menjadi lempeng
saraf. Proses ini melibatkan beberapa molekul yang melibatkan faktor pertumbuhan transformasi
β, Sonic hedgehog (SHH), dan bone morphogenic proteins (BMP).(Keith, Persaud, and Torchia
2016)

Gambar 1.1. Lempeng saraf (neural plate) membentuk tabung saraf. A, tampilan dorsal menunjukkan embrio
berusia kira-kira 17 hari. B, Penampang melintang dari embrio menunjukkan lempeng saraf dan perkembangan awal
alur saraf (neural groove) dan lipatan saraf (neural fold). C, Tampak dorsal embrio kira-kira berusia 22 hari
menunjukkan bahwa lipatan saraf telah menyatu berlawanan dengan somit keempat hingga keenam tetapi menyebar
terpisah di kedua ujungnya. D ke F, Potongan melintang dari embrio pada tingkat yang ditunjukkan pada C
menggambarkan pembentukan tabung saraf (neural tube) dan pelepasannya dari ektoderm permukaan (Keith,
Persaud, and Torchia 2016).

3
Pembentukan sel glia berkaitan dengan proses yang disebut neurogenesis dan gliogenesis.
Neurogenesis dan gliogenesis adalah tahapan beberapa proses yang terdiri dari proliferasi
prekursor neuroektodermal multipoten (sel induk saraf), pembentukan sel progenitor (neural vs.
glial), dan pembentukan fenotipe seluler yang unik dan berbeda dimana menampilkan fitur
khusus tipe sel (diferensiasi terminal) (Alfonso 2017). Neurogenesis dan gliogenesis pada
manusia dimulai jauh sebelum lahir yaitu pada minggu ke delapan kehamilan. Neurogenesis
adalah pembentukan dan penggabungan neuron baru ke dalam sirkuit otak. Meskipun proses ini
sebagian besar terbatas pada perkembangan awal, namun neurogenesis berlanjut hingga dewasa
pada beberapa daerah otak dari banyak spesies vertebrata, termasuk manusia. Sedangkan
gliogenesis adalah proses perkembangan di mana sel glial (astrosit, oligodendrosit, sel Schwann,
mikroglia) dihasilkan disertai produksi sel progenitor glial dan diferensiasinya menjadi glia
matang (Rusznák et al. 2016). Pada vertebrata, neurogenesis mendahului gliogenesis selama
perkembangan embrionik namun pada kenyataannya pembentukan neuron dan glia
postembrionik atau postnatal masih sering terjadi pada kebanyakan organisme yang diteliti.
Kebanyakan organisme, jumlah sel induk saraf multipoten dan prekursor saraf menurun seiring
bertambahnya usia dan sangat terbatas pada tahap dewasa. Dalam kasus vertebrata, sel induk
saraf diasumsikan memiliki banyak identitas berbeda dan dapat dapat berdeferensiasi secara
terbatas saat perkembangan berlangsung tergantung perubahan lingkungan lokal yang terjadi. Sel
induk tersebut termasuk sel neuroepitelial, sel glial radial, sel progenerator yang diperkuat, dan
prekursor saraf pendek (Alfonso 2017).
Identifikasi sel induk dan garis keturunan adalah kunci pemahaman kita tentang
bagaimana keragaman jenis sel yang sangat besar diproduksi di otak, dan informasi ini akan
memandu upaya masa depan untuk memanfaatkan sel induk untuk memahami penyakit pada
pada otak termasuk keganasan serta berguna untuk manajemen kedepannya. Sel saraf dan sel
glial dalam sistem saraf pusat (SSP) secara klasik dianggap berasal dari kumpulan prekursor
berbeda yang mengalami penyimpangan awal selama perkembangan embrio. Pengetahuan garis
keturunan glial dan saraf memiliki sejarah yang panjang. Rudolf Virchow, yang pertama kali
mengusulkan adanya teori sel pendukung di SSP pada tahun 1846 dan menyebut sel glia
berfungsi seperti sel pendukung lain dalam tubuh, mereka juga memiliki asal mesenkim. Empat
dekade kemudian, Wilhelm His menunjukkan asal sel glial pada SSP, yang mengarah ke
penolakan hipotesis mesenkim. Namun demikian, dia menyimpulkan bahwa neuron dan sel glial

4
diproduksi oleh dua kumpulan sel induk terpisah. Konsep ini menjadi sangat berpengaruh di
sebagian besar abad yang lalu. Neuron diusulkan diturunkan dari induk khusus (neuroblas).
Spongioblas, sesuai dengan apa yang sekarang kita sebut glia radial (RG), dianggap sebagai
prekursor sel astroglial, sebuah proposisi yang didukung secara luas oleh deskripsi transformasi
RG menjadi astrosit selama perkembangan embrio akhir. Asal-usul neuron dan glia yang terpisah
diterima secara luas. Namun, yang mengejutkan, penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel-sel
yang dianggap sebagai bagian dari garis keturunan glial ini (RG dan subpopulasi astrosit)
sebenarnya berasal dari satu sel punca saraf yang berdiferensiasi menjadi neuron dan sel glial
selama perkembangan dan pascakelahiran di otak (Kriegstein and Alvarez-Buylla 2009).
Istilah neural stem cell (NSC) digunakan untuk merujuk pada sel progenitor primer pada
tahap perkembangan yang berbeda yang memulai garis keturunan pada pembentukan neuron
atau sel glial. Produk akhir ini, bagaimanapun, tidak selalu dihasilkan langsung dari NSC dan
dapat dihasilkan melalui satu atau beberapa tahap penguatan oleh prekursor dengan potensi yang
lebih terbatas. Sel precursor tersebut berasal dari NSC disebut sebagai sel progenitor perantara
(IPC). IPC dapat menghasilkan neuron (nIPC) atau menghasilkan sel glial, termasuk
oligodendrosit (oIPC) atau astrosit (aIPC) (Gambar 2). Istilah sel glial menjadi agak
membingungkan karena mengacu pada populasi progenitor serta populasi yang dibedakan dari
astrosit parenkim, oligodendrosit, dan sel ependymal. Namun, setidaknya beberapa fungsi
dikaitkan dengan terminal astrosit yang terdiferensiasi (mendukung fungsi saraf dan mengatur
aktivitas metabolik) kemungkinan besar terwakili pada sel dewasa dan sel progenitor
sebelumnya termasuk RG.

5
Gambar 1.2. Histogenesis sel di sistem saraf pusat. Setelah perkembangan lebih lanjut, neuroblas multipolar (kiri
bawah) menjadi sel saraf atau neuron. Sel neuroepitel menimbulkan semua neuron dan sel makroglia. Sel mikroglial
berasal dari sel mesenkim yang menyerang sistem saraf yang sedang berkembang dengan pembuluh darah (Keith,
Persaud, and Torchia 2016).

Pada awal perkembangan dinding tabung saraf terdiri atas neuroepitel kolumnar yang
tebal, berlapis semu, dan kolumnar neuroepitelial (Gambar1.2). Sel neuroepitelial ini membentuk
zona ventrikel (lapisan ependimal), dimana merupakan lokasi asal dari semua neuron dan sel
makroglia. Sel makroglial adalah terminologi umum untuk mencakup keluarga sel neuroglial,
yaitu termasuk astrosit dan oligodendrosit. Kemudian, pada zona marginal terdiri dari bagian luar
neuroepitelial. Beberapa sel neuroepitel di zona ventrikel (ventricular zone/VZ) berdiferensiasi
menjadi neuron primordial (neuroblas). Sel embrio ini membentuk zona perantara (lapisan
mantel) antara VZ dan zona marginal (marginal zone/MZ). Neuroblas kemudian menjadi neuron
saat mereka mengembangkan tonjolan sitoplasma (Keith, Persaud, and Torchia 2016).
Sel pendukung SSP yaitu disebut glioblas (spongioblas), berasal dari sel neuroepitel,
terutama setelah pembentukan neuroblas berhenti. Para glioblas bermigrasi dari zona ventrikel ke
zona perantara dan zona marginal. Beberapa glioblas menjadi astroblas dan kemudian astrosit,
sedangkan yang lain menjadi oligodendroblas dan akhirnya oligodendrosit. Ketika sel
neuroepitel berhenti memproduksi neuroblast dan glioblas, mereka berdiferensiasi menjadi
ependymal sel, yang membentuk ependim (epitel ependimal) yang melapisi ventrikel. SHH

6
memberikan sinyal untuk mengontrol proliferasi, kelangsungan hidup, dan pola sel progenitor
neuroepitelial dengan mengatur faktor transkripsi GLI (Keith, Persaud, and Torchia 2016).
Proses lebih detail mengenai embriologi dari sel glia terkini dijelaskan oleh Kreigstein
dan Arturo (Gambar 3). Proses tersebut adalah proses perkembangan dari sel neuroepitelial pada
hewan coba tikus. Sel neuroepitelial dalam perkembangan awal membelah secara simetris untuk
menghasilkan lebih banyak sel neuroepitel. Beberapa sel neuroepitel mungkin menghasilkan
neuron awal. Saat epitel otak yang berkembang menebal, sel neuroepitel memanjang dan
berubah menjadi sel radial glial (RG). RG membelah secara asimetris untuk menghasilkan
neuron secara langsung atau tidak langsung melalui sel progenitor perantara (nIPC).
Oligodendrosit juga diturunkan dari RG melalui sel progenitor perantara yang menghasilkan
oligodendrosit (oIPC). Saat keturunan dari RG dan IPC bergerak ke mantel untuk diferensiasi,
ketebalan otak, sel-sel RG yang semakin memanjang. Glia radial memiliki polaritas apikal-basal:
apikal (bawah), RG menghubungi ventrikel, di mana mereka memproyeksikan satu silia primer;
basal (atas), RG menghubungi meninges, lamina basal, dan pembuluh darah. Pada akhir
perkembangan embrio, kebanyakan RG mulai terlepas dari sisi apikal dan berubah menjadi
astrosit sementara produksi oIPC berlanjut. Produksi astrosit mungkin juga mencakup beberapa
IPC yang tidak diilustrasikan di sini. Subpopulasi RG mempertahankan kontak apikal dan terus
berfungsi sebagai NSC pada neonatus. RG neonatal ini terus menghasilkan neuron dan
oligodendrosit melalui nIPC dan oIPCS; beberapa diubah menjadi sel ependymal, sedangkan
yang lain diubah menjadi astrosit SVZ dewasa (sel tipe B) yang terus berfungsi sebagai NSC
pada orang dewasa. Sel B mempertahankan organisasi epitel dengan kontak apikal di ventrikel
dan ujung basal di pembuluh darah. Sel B terus menghasilkan neuron dan oligodendrosit melalui
(n dan o) IPC.

7
Gambar 1.3. Sifat glial sel induk saraf (Neural stem cells / NSCs) dalam perkembangan dan
pada dewasa. Ilustrasi ini menggambarkan beberapa hal yang dikenal sebagai otak hewan
pengerat yang sedang berkembang dan dewasa. Waktu dan jumlah divisi mungkin berbeda dari
satu spesies ke spesies lainnya, tetapi prinsip umum identitas dan garis keturunan NSC
cenderung dipertahankan. Panah padat didukung oleh bukti eksperimental; panah putus-putus
bersifat hipotetis. Warna menggambarkan transformasi simetris, asimetris, atau langsung. IPC,
sel progenitor perantara; MA, mantel; MZ, zona marjinal; NE, neuroepithelium; nIPC, sel
progenitor neurogenik; oIPC, sel nenek moyang oligodendrositik; RG, glia radial; SVZ, zona
subventrikuler; VZ, zona ventrikel (Kriegstein and Alvarez-Buylla 2009).

Perkembangan tumorigenesis, termasuk gliomagenesis, dapat dilihat melalui sudut


pandang biologi sel induk (biologic stem cell), dimana terdapat suatu sel induk yang dianggap
mengatur dan menyediakan substrat seluler untuk pertumbuhan suatu keganasan. Namun, sel
induk kanker tersebut hanya menyusun dari sebagian kecil pada tumor primer terkait, dengan
sebagian besar massa tumor yang lainnya terdiri dari turunan sel induk yang berbeda. Hal ini
diperkuat dengan heterogenitas seluler yang ditemukan di dalam suatu sel tumor, sehingga
menyebabkan hipotesis bahwa tumor adalah suatu sistem organ-jaringan yang berkembang dan
membutuhkan program perkembangan spesifik garis keturunan untuk menghasilkan beragam sel
yang diperlukan untuk mengeksekusi sifat "ciri khas" kanker yang menimbulkan keganasan.
Mutasi genetik secara jelas sudah diketahui mendorong pertumbuhan keganasan, dan berkeja
melalui mekanisme "membajak" program perkembangan untuk menghasilkan sel tumor.
Mengetahui dan mempelajari hubungan antara perkembangan dan mutase pada keganasan
menjadi cara untuk melihat peran langsung yang dimainkan oleh inti jalur perkembangan (Wnt,
Shh, BMP dan Notch) dalam tumorigenesis, pengaruh gen pendukung keganasan (p53, PTEN,

8
p16) pada perkembangan, dan fakta bahwa banyak gen kunci perkembangan sering bermutasi
pada kanker juga (EGFR, Notch, Shh).(Wainwright and Scaffidi 2017; Takebe et al. 2015; Joruiz
and Bourdon 2016; Veleva-Rotse and Barnes 2014). Berdasarkan pengamatan ini muncul
hubungan saling ketergantungan molekuler dan fungsional antara gen pendukung klasik kanker
dan jalur perkembangan yang menyebabkan keganasan. Dengan pengetahuan ini akan
bermanfaat menjelaskan mekanisme seluler dan molekuler yang terlibat dalam perkembangan
sistem saraf pusat (SSP) glia dan mengidentifikasi karakteristik antara perkembangan glial
normal dan pembentukan jenis keganasan mereka yaitu glioma (Laug, Glasgow, and Deneen
2018).

Daftar Pustaka

Alfonso, A. 2017. Neurogenesis as a Factor in the Functional Plasticity of the Nervous System.

9
Conn’s Translational Neuroscience. Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-
802381-5.00039-7.
Joruiz, Sebastien M., and Jean-Christophe Bourdon. 2016. “P53 Isoforms: Key Regulators of the
Cell Fate Decision.” Cold Spring Harbor Perspectives in Medicine 6 (8): a026039.
https://doi.org/10.1101/cshperspect.a026039.
Keith, Moore L, Persaud, and Mark G Torchia. 2016. “Nervous System.” In The Developing
Human: Clinically Oriented Embryology, edited by Moore L Keith, Persaud, and Mark G
Torchia, 10th ed., 379–400. Philadelphia: Elsevier.
Kriegstein, Arnold, and Arturo Alvarez-Buylla. 2009. “The Glial Nature of Embryonic and Adult
Neural Stem Cells.” Annual Review of Neuroscience 32 (1): 149–84.
https://doi.org/10.1146/annurev.neuro.051508.135600.
Laug, Dylan, Stacey M. Glasgow, and Benjamin Deneen. 2018. “A Glial Blueprint for
Gliomagenesis.” Nature Reviews Neuroscience 19 (7): 393–403.
https://doi.org/10.1038/s41583-018-0014-3.
Rusznák, Zoltán, Willem Henskens, Emma Schofield, Woojin S. Kim, and Yu Hong Fu. 2016.
“Adult Neurogenesis and Gliogenesis: Possible Mechanisms for Neurorestoration.”
Experimental Neurobiology 25 (3): 103–12. https://doi.org/10.5607/en.2016.25.3.103.
Takebe, Naoko, Lucio Miele, Pamela Jo Harris, Woondong Jeong, Hideaki Bando, Michael
Kahn, Sherry X. Yang, and S. Percy Ivy. 2015. “Targeting Notch, Hedgehog, and Wnt
Pathways in Cancer Stem Cells: Clinical Update.” Nature Reviews Clinical Oncology 12
(8): 445–64. https://doi.org/10.1038/nrclinonc.2015.61.
Veleva-Rotse, Biliana O., and Anthony P. Barnes. 2014. “Brain Patterning Perturbations
Following PTEN Loss.” Frontiers in Molecular Neuroscience 7 (May).
https://doi.org/10.3389/fnmol.2014.00035.
Wainwright, Elanor N., and Paola Scaffidi. 2017. “Epigenetics and Cancer Stem Cells:
Unleashing, Hijacking, and Restricting Cellular Plasticity.” Trends in Cancer 3 (5): 372–86.
https://doi.org/10.1016/j.trecan.2017.04.004.

10
2 ANATOMI DAN FISIOLOGI SEL GLIA
Sel glia atau neuroglia adalah sel non-neuronal di sistem saraf pusat (otak dan sumsum
tulang belakang) dan sistem saraf tepi yang tidak menghasilkan impuls listrik (Fields et al. 2014)
Mereka mempertahankan homeostasis, membentuk mielin, dan memberikan dukungan dan
perlindungan untuk neuron (Jessen and Mirsky 1980). Dalam sistem saraf pusat, sel glia
termasuk oligodendrosit, astrosit, sel ependymal, dan mikroglia, dan di dalam sistem saraf tepi
sel glial termasuk sel Schwann dan sel satelit. Mereka memiliki empat fungsi utama: (1) untuk
mengelilingi neuron dan menahannya pada tempatnya; (2) untuk memasok nutrisi dan oksigen ke
neuron; (3) untuk mengisolasi satu neuron dari neuron lainnya; (4) untuk menghancurkan
patogen dan menghilangkan neuron mati. Sel glia dianggap melebihi jumlah neuron dengan rasio
10: 1, penelitian terbaru menggunakan metode yang lebih baru dan penilaian ulang bukti
kuantitatif historis menunjukkan rasio keseluruhan kurang dari 1: 1, dengan variasi substansial
antara jaringan otak yang berbeda (von Bartheld 2018; von Bartheld, Bahney, and Herculano-
Houzel 2016). Sel glia pertama kali dipublikasikan pada tahun 1856, oleh ahli patologi Rudolf
Virchow dalam pencariannya akan "jaringan ikat" di otak. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani
γλία dan γλοία dalam bahasa inggris "glue” yang memiliki arti perekat dan menunjukkan kesan
asli bahwa mereka adalah perekat dari sistem saraf
Berat otak manusia kurang lebih 1500-gram, dimana tersusun oleh sekitar lebih dari 100
miliar neuron dan tiap-tiap neuron mempunyai 1.000 sampai 10.000 koneksi sinaps dengan sel
saraf lainnya. Otak adalah organ yang memiliki konsistensi kenyal dan terletak di dalam ruangan
yang tertutup oleh tulang tengkorak (kranium). Selain krainum, jaringan otak juga dilindungi
oleh beberapa pelindung yaitu rambut, kulit kepala, tengkorak, selaput otak (meningens), dan
cairan otak. Otak besar (serebrum) merupakan salah satu dari struktur penyusun sistem saraf
pusat yang terbesar dan paling rumit. Berdasarkan embriologisnya, serebrum berasal dari
telensefalon, yaitu bagian rostral dari vesikel otak. Bagian otak ini terdiri dari sepasang hemisfer
yang tersusun oleh tiga hal: (1) Korteks (massa kelabu/substansia grisea), (2) Massa putih
(substansia alba), dan (3) Ganglia basal (Satyanegara 2018)
Korteks terdiri dari sel saraf, sementara massa putih berisi serabut-serabut saraf (akson).
Korteks serebri memiliki luas ± 2352 cm2, namun hanya sepertiganya yang terdapat pada

11
permukaan, sisanya tersembunyi dalam lipatan sulkus dimana ketebalan korteks bervariasi antara
1-4.5 mm. Terdapat 6 Iapisan korteks serebri yang terdiri dari (dari luar ke dalam; gambar 2.1):
I. Lamina zonalis (Lapisan molekular / pleksiform)
Lapisan ini relatif “miskin” sel. Selain distal dendritik (berkas apikal) dari sel
piramidal dataran rendah dan akson yang melakukan kontak sinaptik dengan
mereka, lapisan ini sebagian besar mengandung neuron kecil (sel Cajal-Retzius),
yang dendritnya berjalan secara tangensial di dalam lapisan ini. Sel Cajal-Retzius
memainkan peran penting dalam perkembangan pola laminar kortikal. Beberapa
dari mereka mengalami degenerasi setelah perkembangan ini selesai.
II. Lamina granularis eksterna
Lapisan ini berisi banyak sel granul ("sel nonpiramidal") dan beberapa sel
piramidal yang dendritnya bercabang di dalam lapisan granular eksternal dan naik
ke lapisan molekuler. Sel nonpiramidal sebagian besar adalah neuron penghambat
GABAergik, sedangkan sel piramidal bersifat rangsang dan menggunakan
glutamat sebagai neurotransmitter.
III. Lamina piramidalis eksterna
Sesuai dengan namanya, lapisan ini mengandung banyak sel piramidal, yang lebih
kecil daripada lapisan kortikal yang lebih dalam. Sel-sel ini diorientasikan dengan
basisnya menuju materi putih subkortikal. Akson dari setiap sel piramidal muncul
dari sel dasar dan bergerak turun ke materi putih. Akson sudah menerima
selubung mielin di dalam lapisan piramidal eksternal. Ini dapat berfungsi sebagai
serat proyeksi atau, lebih umum, sebagai serat asosiasi atau komisural. Sebuah
dendrit yang muncul dari puncak sel piramidal bergerak ke atas menuju lapisan
granular dan molekuler eksternal, di mana ia membelah menjadi cabang
terminalnya (berkas apikal).

IV. Lamina granularis interna


Seperti lapisan granular eksternal, lapisan ini mengandung banyak sel
nonpiramidal. Sel granul ini terutama menerima aferen masukan dari neuron
thalamic melalui proyeksi thalamocortical. Serat yang terletak di lapisan

12
piramidal eksternal sebagian besar berorientasi radial, tetapi serat dari lapisan
granular memiliki arah tengensial membentuk external band of Baillarger.
V. Lamina piramidalis interna (ganglionaris)
Lapisan ini berisi sel piramidal berukuran sedang dan besar. Sel terbesar dari
lapisan ini (sel Betz) hanya ditemukan di wilayah girus precentral. Neurit mielin
yang sangat tebal dari sel-sel ini membentuk saluran kortikonuklear dan
kortikospinalis. Ini ayer juga mengandung banyak serat yang berorientasi
tangensial internal band of Baillarger
VI. Lamina multiformis
Lapisan sel polimorf ini dibagi lagi menjadi lapisan dalam yang kurang padat
berisi sel yang lebih kecil, dan lapisan luar yang berisi sel yang lebih besar.

Gambar 2.1 Enam lapisan korteks serebri (Baehr and Frotscher 2012)

Susunan 6 lapisan ini adalah khas untuk korteks lobus parietalis, lobus temporalis, lobus
oksipitalis, dan frontalis. Ada juga jenis korteks yang tidak mempunyai lapisan IV (granularis
interna) dan dinamakan korteks agranuler. Korteks ini tebal dan dan berisi berbagai macam sel
piramida kecil, sedang dan besar. Di dalam lapisan V terdapat sel piramida raksasa Betz. Korteks
jenis ini terdapat antara lain di dalam girus presentralis, anterior girus singuli, dan area
subkalosal. Jenis lainnya adalah korteks granuler, yaitu korteks yang tipis dan mengandung
hampir seluruhnya sel-sel granuler, dan tidak terdapat lapisan piramidalis interna dan eksterna.
Korteks jenis ini terdapat antara lain pada labia posterior sulkus sentralis Rolandi, girus
temporalis transversi Heschl, dasar dan labia insura kalkarina, dan sepanjang labia dorsalis insura
13
hipokampus. Kedua hemisfer serebri terpisah satu sama lain oleh insura longitudinalis serebri.
Pada insura ini terdapat falks serebri. Pada daerah frontal dan oksipital pemisahan ini sempurna,
tetapi pada bagian sentral kedua hemisfer dihubungkan oleh serabut komisura interhemisfer yang
disebut korpus kalosum yang berfungsi untuk menyampaikan impuls di antara keduanya
(Satyanegara 2018).
Sel-sel pada sistem saraf manusia terdiri dari dua komponen yaitu sel saraf dan sel glial.
Sel saraf atau neuron berfungsi sebagai struktur untuk menghantarkan impuls, sedangkan sel
glial berfungsi sebagai pemberi nutrisi pada neuron. Setiap satu neuron terdiri dari tiga bagian
utama yaitu badan sel (soma), dendrit dan akson. Sel penyokong atau neuroglia (sel glial) adalah
sel penunjang tambahan pada sistem saraf yang berfungsi sebagai jaringan ikat, selain itu juga
berfungsi mengisolasi neuron, menyediakan kerangka yang mendukung jaringan, membantu
memelihara lingkungan interseluler, dan bertindak sebagai fagosit. Jaringan pada tubuh
mengandung kira-kira 1 milyar neuroglia, atau sel glia, yang secara kasar dapat diperkirakan 5
kali dari jumlah neuron. Sel glia lebih kecil dari neuron dan keduanya memiliki kemapuan untuk
membelah namun kemampuan tersebut hilang pada banyak neuron. Secara bersama-sama,
neuroglia bertanggung jawab secara kasar pada setengah dari volume sistem saraf (Satyanegara
2018).
Ada empat macam sel glia pada SSP (gambar 5) yang memiliki fungsi berbeda yaitu:
(Satyanegara 2018)
1. Astrosit/Astroglia: Jenis sel makroglial yang paling banyak di SSP, astrosit (juga disebut
astroglia) memiliki banyak proyeksi yang menghubungkan neuron ke pembuluh darah
bersamaan dengan membentuk sawar darah-otak. Mereka mengatur lingkungan kimiawi
eksternal neuron dengan membuang kelebihan ion kalium, dan mendaur ulang
neurotransmiter yang dilepaskan selama transmisi sinaptik. Astrosit dapat mengatur
vasokonstriksi dan vasodilatasi dengan memproduksi zat seperti asam arakidonat, yang
metabolitnya vasoaktif. Secara umum, ada dua jenis astrosit, protoplasma dan fibrosa,
serupa fungsinya tetapi berbeda morfologi dan distribusinya. Astrosit protoplasma
memiliki prosesus pendek, tebal, bercabang tinggi dan biasanya ditemukan dalam materi
abu-abu. Astrosit fibrosa memiliki prosesus yang panjang, tipis, kurang bercabang dan
lebih sering ditemukan pada materi putih. Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa aktivitas
astrosit terkait dengan aliran darah di otak, dan inilah yang sebenarnya diukur dalam

14
fMRI. Mereka juga telah terlibat dalam sirkuit saraf yang memainkan peran
penghambatan setelah merasakan perubahan dalam kalsium ekstraseluler (Torres et al.
2012)
2. Oligodendrosit/Oligodendrolia: sel glia yang bertanggung jawab menghasilkan mielin
dalam susunan saraf pusat. Sel ini mempunyai lapisan dengan substansi lemak
mengelilingi penonjolan atau sepanjang sel saraf sehingga terbentuk selubung mielin.
Mielin pada susunan saraf tepi dibentuk oleh sel Schwann. Sel ini membentuk mielin
maupun neurolemma saraf tepi. Mielin menghalangi ion natrium dan kalium melintasi
membran neuronal dengan hampir sempurna. Serabut saraf ada yang bermielin ada yang
tidak. Transmisi impuls saraf disepanjang serabut bermielin lebih cepat daripada serabut
yang tak bermielin, karena impuls berjalan dengan cara meloncat dari nodus ke nodus
yang lain disepanjang selubung mielin.
3. Mikroglia: sel glia yang mempunyai sifat fagosit dalam menghilangkan sel-sel otak yang
mati, bakteri dan lain-lain. Sel jenis ini ditemukan diseluruh SSP dan dianggap penting
dalam proses melawan infeksi.
4. Sel ependimal: sel glia yang berperan dalam produksi cairan cerebrospinal.

Gambar 2.2. Ilustrasi sel-sel neuroglia, A. Macam-macam sel neuroglia B. Koneksi sel neuroglia dan glia

Daftar Pustaka

Baehr, Mathias, and Michael Frotscher. 2012. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology. 5th ed. New York: Thieme.

Bartheld, Christopher S. von. 2018. “Myths and Truths about the Cellular Composition of the Human Brain: A
Review of Influential Concepts.” Journal of Chemical Neuroanatomy 93 (November): 2–15.
https://doi.org/10.1016/j.jchemneu.2017.08.004.
Bartheld, Christopher S. von, Jami Bahney, and Suzana Herculano-Houzel. 2016. “The Search for True Numbers of
Neurons and Glial Cells in the Human Brain: A Review of 150 Years of Cell Counting.” Journal of
Comparative Neurology 524 (18): 3865–95. https://doi.org/10.1002/cne.24040.

15
Fields, R. Douglas, Alfonso Araque, Heidi Johansen-Berg, Soo-Siang Lim, Gary Lynch, Klaus-Armin Nave,
Maiken Nedergaard, Ray Perez, Terrence Sejnowski, and Hiroaki Wake. 2014. “Glial Biology in Learning and
Cognition.” The Neuroscientist 20 (5): 426–31. https://doi.org/10.1177/1073858413504465.
Jessen, Kristjan R., and Rhona Mirsky. 1980. “Glial Cells in the Enteric Nervous System Contain Glial Fibrillary
Acidic Protein.” Nature 286 (5774): 736–37. https://doi.org/10.1038/286736a0.
Satyanegara. 2018. “Anatomi.” In Ilmu Bedah Saraf, sixth, 21–31. Jakarta: Sinar Surya Megah Perkasa.
Torres, A., F. Wang, Q. Xu, T. Fujita, R. Dobrowolski, K. Willecke, T. Takano, and M. Nedergaard. 2012.
“Extracellular Ca2+ Acts as a Mediator of Communication from Neurons to Glia.” Science Signaling 5 (208):
ra8–ra8. https://doi.org/10.1126/scisignal.2002160.

16
ETIOLOGI, KLASIFIKASI DAN
3 EPIDEMIOLOGI GLIOMA
Etiopatologi glioma
Kebanyakan tumor otak terjadi secara sporadis dan tidak ada penyebab
lingkungan yang jelas dari tumor otak yang diketahui. Kadang-kadang, glioma muncul
sebagai bagian dari sindrom genetik langka (misalnya, neurofibromatosis tipe 1, sindrom
Li-Fraumeni dan sindrom Turcot tipe I. Berbagai jenis difus glioma dicirikan oleh
kelainan molekuler yang berbeda, seperti hilangnya kromosom 10, amplifikasi reseptor
EGF (EGFR), mutasi PTEN dan mutasi TERT pada glioblastoma, gabungan kehilangan
1p / 19q dan mutasi ATRX pada tumor oligodendroglial, mutasi TP53 dan Mutasi TERT
pada tumor astrositik derajat II dan III dan mutasi pada gen isocitrate dehydrogenase
(IDH) pada glioma difus derajat II dan III dan glioblastoma sekunder (Gambar 3.1).
Faktor epigenetik seperti metilasi gen MGMT dan gen lain terlibat dalam patogenesis,
tetapi perannya masih jauh dari pemahaman (Perkins,A. Liu 2016).

Gambar 3.1. Usulan alur patofisiologi genetik dari glioma (Perkins,A. Liu 2016)

Tumor yang berasal dari sel glia dan prekursornya disebut dengan glioma.
Terminologi glioma sering digunakan untuk menggantikan astrositoma. Namun jika
ditinjau berdasarkan fenotipnya, glioma dibagi menjadi astrositoma, oligodendroglioma,
campuran keduanya serta ependimoma. Saat ini, pembagian terbaru berdasarkan
klasifikasi oleh WHO di tahun 2016, yang mana glioma diklasifikasi tidak hanya

17
berdasarkan fenotipnya saja namun juga berdasarkan penanda molekular dan genetik
(Gambar 3.2). (Louis et al. 2016; Perry and Wesseling 2016)

Gambar 3.2. Klasifikasi WHO 2016 untuk tumor SSP (Louis et al. 2016)

Klasifikasi Glioma
Pada klasifikasi terbaru, secara umum glioma dibagi menjadi glioma difus dan
nondifus berdasarkan pertumbuhannya. Glioma yang bersifat ekstensif dan menginfiltrasi
ke jaringan normal disekitarnya tergolong glioma difus, sedangkan glioma yang
pertumbuhannya teratur termasuk dalam glioma nondifus (Gambar 7) (Louis et al. 2016;
Perry and Wesseling 2016).
WHO juga menentukan grade histopatologi glioma menjadi empat tingkatan.
Tumor dengan gambaran jinak dan pertumbuhan lambat termasuk dalam WHO grade I.
Penderita dengan tumor WHO grade I memiliki survival yang panjang. Tumor dengan
gambaran sitologi atipikal dan pertumbuhan lambat termasuk dalam grade II. Tumor ini
dapat mengalami rekurensi sebagai tumor high-grade. Tumor yang termasuk WHO grade
III adalah tumor dengan gambaran anaplastik dan aktivitas mitotik, tumor ini bersifat
ganas dan dapat mengalami rekurensi. Tumor dengan gambaran anaplastik, aktivitas
mitotik, proliferasi mikrovaskular, dan/atau nekrosis termasuk ke dalam grade IV (Louis
et al. 2007).

18
Gambar 3.3. Klasifikasi glioma berdsaarkan WHO 2016, A) Klasifikasi glioma difus B)Klasifikasi
glioma nondifus (Wesseling and Capper 2018)

WHO membuat klasifikasi glioma yang dilengkapi dengan kategori penanda


molekular. Glioma difus, baik astrositik maupun oligodendroglial, tergolong ke dalam
satu dari tiga kategori molekular berikut (Gambar 3.3): 1) isocitrate-dehydrogenase gene
(IDH) – wildtype, 2) IDH-mutant tanpa kodelesi 1p/19q, dan 3) IDH-mutant dengan
kodelesi 1p/19q. Glioma dengan kategori molekular pertama dan kedua memiliki fenotip
astrositik. Fenotip mayoritas glioma kategori IDH-mutant dengan kodelesi 1p/19q adalah
oligodendroglial (Wesseling and Capper 2018). Glioma difus yang tidak diketahui
kategori molekularnya, atau yang hasil pemeriksaannya meragukan, dikategorikan ke
dalam glioma nonspesifik (NOS). GBM primer adalah glioma difus WHO grade IV IDH-
wildtype. GBM yang berasal dari glioma difus dengan karakteristik IDH-mutant disebut
dengan GBM sekunder. Ciri mutasi IDH memiliki nilai prognostik pada kasus glioma.
Mutasi IDH menandakan prognosis yang lebih baik, oleh karena itu GBM primer
memiliki prognosis paling buruk dibandingkan glioma lainnya. GBM primer ditemukan
pada 90% kasus, paling banyak ditemukan pada pasien berusia di atas 55 tahun. GBM
sekunder terjadi pada kelompok umur di bawah 55 tahun. GBM sekunder berawal dari
gambaran histopatologi yang lebih rendah (grade II atau III) yang kemudian mengalami

19
perubahan dan progresi menjadi grade IV (Louis et al. 2016; Perry and Wesseling 2016;
Wesseling and Capper 2018)

Gambar 3.4. Algoritma klasifikasi glioma difus berdasarkan histologi dan penenda genetik. Peringatan
untuk diagram ini "aliran" diagnosis tidak selalu berlanjut dari histologi pertama ke fitur genetik
molekuler berikutnya, karena penanda molekuler terkadang dapat melebihi karakteristik histologis
dalam mencapai diagnosis "terintegrasi". Algoritma serupa dapat diikuti untuk glioma difus tingkat
anaplastik; * Karakteristik tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. (Louis et al. 2016)

3.2.1. Glioma Difus


Pergeseran nosologis menggunakan klasifikasi berdasarkan fenotipe dan genotipe
membuat klasifikasi glioma dapat dilakukan dengan beberapa cara. Sementara itu, di
masa lalu semua tumor astrositik telah dikelompokkan bersama, sekarang semua glioma
yang menyebar secara difusif (apakah astrositik atau oligodendroglial) dikelompokkan
bersama berdasarkan tidak hanya pada pola pertumbuhan dan perilaku mereka, tetapi
juga lebih tajam pada mutasi genetik bersama pada gen IDH1 dan IDH2. Dari sudut
pandang patogenetik, ini memberikan klasifikasi dinamis yang didasarkan pada fenotipe
dan genotipe; dari sudut pandang prognostik, ia mengelompokkan tumor yang memiliki
penanda prognostik serupa; dan dari sudut pandang manajemen pasien, ini memandu
penggunaan terapi (konvensional atau tertarget) untuk entitas yang mirip secara biologis
dan genetik. Dalam klasifikasi baru ini, glioma difus termasuk tumor astrositik derajat II
dan III WHO, oligodendroglioma derajat II dan III, glioblastoma (GBM) derajat IV, serta

20
glioma difus terkait masa kanak-kanak. Pendekatan ini menyebabkan astrositoma yang
memiliki pola pertumbuhan yang lebih terbatas, kekurangan perubahan keluarga gen IDH
dan memiliki perubahan BRAF (astrositoma pilositik, xantastrositoma pleomorfik) atau
mutasi TSC1 / TSC2 (astrositoma sel raksasa subependymal) berbeda dari glioma difus.
Dengan kata lain, astrositoma difus dan oligodendroglioma sekarang secara nosologis
lebih mirip daripada astrositoma difus dan astrositoma pilositik; pohon keluarga telah
digambar ulang (Louis et al. 2016).

3.2.1.1. Difus astrositoma dan astrositoma anaplastik


Difus astrositoma WHO derajat II dan anaplastik astrositoma WHO derajat III
sekarang masing-masing dibagi menjadi kategori IDH-mutan, IDH-wildtype dan NOS.
baik tumor derajat II dan III, sebagian besar termasuk dalam kategori IDH mutan jika
pengujian IDH tersedia. Jika imunohistokimia untuk protein mutan R132H IDH1 dan
sekuensing untuk kodon IDH1 132 dan kodon IDH2 172 mutasi gen keduanya negatif,
atau jika sekuensing untuk kodon IDH1 132 dan kodon IDH2 172 mutasi gen 172 saja
negatif, maka lesi dapat didiagnosis sebagai IDH-wildtype. Penting untuk diketahui,
bagaimanapun, bahwa difus astrositoma denga IDH-wildtype adalah diagnosis yang tidak
umum dan bahwa kasus seperti itu perlu dievaluasi secara hati-hati untuk menghindari
kesalahan diagnosis pada lesi tingkat rendah seperti ganglioglioma. Selain itu, anaplastic
astrositoma dengan IDH-wildtype juga jarang, dan sebagian besar tumor tersebut akan
menampilkan temuan genetik yang sangat khas dari IDH-wildtype glioblastoma (Reuss et
al. 2015). Akhirnya, dalam pengaturan difus astrositoma atau anaplastik astrositoma, jika
tes IDH tidak tersedia atau tidak dapat sepenuhnya dilakukan (misalnya, imunohistokimia
negatif tanpa urutan yang tersedia), diagnosis yang dihasilkan adalah astroctyoma difus,
NOS, atau astrositoma anaplastik, NOS

3.2.1.2. Glioblastoma
Glioblastoma dibagi dalam klasifikasi WHO 2016 dibagi menjadi dua dengan
karakteristik masing-masing (Gambar 3.5). Pertama adalah glioblastoma, IDH-wildtype

21
(sekitar 90% kasus), yang paling sering berhubungan dengan globlastoma primer atau de
novo glioblastoma dimana mendominasi pada pasien berusia di atas 55 tahun. Kedua
yaitu glioblastoma, IDH-mutan (sekitar 10% kasus), yang berhubungan erat dengan apa
yang disebut glioblastoma sekunder atau dengan riwayat glioma difus derajat rendah
sebelumnya dan secara istimewa muncul pada pasien yang lebih muda dan yang ketiga
adalah glioblastoma, NOS, diagnosis khusus untuk tumor yang tidak dapat dilakukan
evaluasi IDH lengkap (Ohgaki and Kleihues 2013).

Gambar 3.5. Karakteristik dari glioblastoma IDH-wildtype dan IDH-mutant (Stupp et al. 2014)

3.2.1.3. Oligodendroglioma
Diagnosis oligodendroglioma dan oligodendroglioma anaplastik membutuhkan
mutasi gen IDH dan kombinasi kehilangan seluruh lengan 1p dan 19q (codeletion 1p /
19q). Jika kemampuan pengujian atau dalam pengaturan hasil genetik tidak meyakinkan,
oligodendroglioma yang khas secara histologis harus didiagnosis sebagai NOS. (Louis et
al. 2016)

3.2.1.4. Oligoastrocytoma

22
Dalam klasifikasi WHO 2016 diagnosis oligoastrocytoma sangat tidak
disarankan. Hampir semua tumor dengan gambaran histologis menunjukkan komponen
astrositik dan oligodendroglial dapat diklasifikasikan sebagai astrositoma atau
oligodendroglioma menggunakan pengujian genetik. Oleh karena itu, diagnosis
oligoastrositoma derajat II WHO dan oligoastrositoma anaplastik derajat III WHO
ditetapkan sebagai NOS, yang menunjukkan bahwa diagnosis tersebut hanya dapat dibuat
tanpa adanya uji molekuler diagnostik yang sesuai. (Wilcox et al. 2015; Sahm et al. 2014)

3.2.2. Astrositoma lainnya


Dalam kelompok ini terdapat empat subtype yaitu, pilositik astrositoma,
astrositoma giant sel subependymal, xanthoastrocytoma pleomorfik dan
xanthoastrositoma pelomorfik anaplastik.

3.2.3. Ependimoma
Penilaian ependimoma menurut kriteria WHO yang ada saat ini sulit untuk dapat
diterapkan dan kegunaan klinisnya yang masih dipertanyakan. Akibatnya, didapatkan
kesulitan dalam menetapkan signifikansi klinis untuk nilai histologis ependimoma.
Meskipun demikian, diharapkan bahwa studi lanjutan tentang karakteristik molekuler
ependimoma akan memberikan cara yang lebih tepat dan objektif untuk membagi tumor
ini, memungkinkan untuk kelompok tumor yang lebih sempit. Sementara itu, satu subtipe
ependimoma yang ditentukan secara genetik telah diterima: Ependimoma, fusi RELA-
positif. Varian ini menyumbang sebagian besar tumor supratentorial pada anak-anak.
Kekhususan ekspresi L1CAM, pengganti imunohistokimia potensial untuk varian ini,
belum sepenuhnya dijelaskan. Terakhir, satu varian ependimoma, ependimoma seluler,
telah dihapus dari klasifikasi, karena dianggap saling tumpeng tindih dengan
ependimoma pada umumnya (Louis et al. 2016).

3.3. Epidemiologi
Glioma dapat terjadi di mana saja di sistem saraf pusat tetapi terutama terjadi di
otak dan muncul di jaringan glial. Central Brain Tumor Registration in United States
(CBTRUS) pada tahun 2011-2015 glioma menyumbang prosentase sebesar 26% dari

23
seluruh tumor otak (gambar 3.6). Tingkat kejadian glioma sangat bervariasi menurut jenis
histologis, usia saat diagnosis, jenis kelamin, ras, dan negara. Anaplastik astrositoma dan
glioblastoma meningkat insidennya seiring bertambahnya usia, memuncak pada
kelompok usia 75-84. Oligodendroglioma dan oligoastrositoma paling sering ditemukan
pada kelompok usia 35-44 tahun. Secara umum, glioma lebih sering terjadi pada pria
daripada wanita, dengan pengecualian pilositik astrositoma, yang terjadi pada tingkat
yang sama pada pria dan wanita. (Ostrom et al. 2015)

Gambar 3.6. Distribusi tumor otak primer SSP berdasarkan sifat (Ostrom et al. 2015)

Glioblastoma menyumbang sebagian besar glioma (56,6%). Tumor astrositik,


termasuk glioblastoma, menyumbang 75,8% dari semua glioma. Mayoritas glioma terjadi
di supra tentorium (gabungan lobus frontal, temporal, parietal, dan oksipital) (61,2%).
Hanya sebagian kecil glioma yang terjadi di area SSP selain otak (Gambar 3.7) (Ostrom
et al. 2018).

24
Gambar 3.7. Distribusi tumor otak primer dan glioma SPP lainya berdasarkan A) lokasi B) histologi (Ostrom et al.
2018)

Epidemiologi Glioma Secara Umum


Tumor susunan saraf pusat (SSP) termasuk salah satu grup tumor yang jarang ditemukan,
namun memberikan beban masalah kesehatan yang serius (Ho et al., 2014). Glioma merupakan
tumor susunan saraf pusat terbanyak kedua setelah meningioma. Sekitar 24% dari seluruh tumor
susunan saraf pusat (SSP) pada dewasa merupakan glioma (McNeill, 2016). Saat ini kejadian
rata-rata glioma di dunia meningkat dari 4,9 menjadi 5,9 per 100.000 penduduk (Ho et al., 2014).
Central Brain Tumor Registry of the United State (CBTRUS) memperkirakan kejadian glioma
sebesar 6,61 dan glioblastoma sebesar 3,19 per 100.000 penduduk di Amerika Serikat. (McNeill,
2016)
Gambaran penting yang menonjol dari glioma adalah glioblastoma, yaitu salah satu tipe
glioma dengan tipe histopatologis yang paling umum ditemukan pada orang dewasa dan ditandai
dengan angka probabilitas kelangsungan hidup yang sangat rendah, dengan 5-year survival rate
yang hanya 5%. Glioma umumnya lebih banyak ditemukan pada populasi pria daripada wanita.
(Trabelsi et al., 2014; McNeill, 2016)

25
Gambar 3.8 Histologi tumor SSP pada orang dewasa. (Diadaptasi dari Ostrom QT, Gittleman H, Liao P, et al.
(Laporan statistik CBTRUS: tumor otak dan sistem saraf pusat didiagnosis di Amerika Serikat pada 2007-2011.
Neuro Oncol2014; 16 Sup 4: iv1-iv63.) (McNeill, 2016)

Insiden glioma menurut subtipe histologis


Hampir setengah dari glioma merupakan glioblastoma, tumor otak maligna primer yang
paling umum pada orang dewasa. Glioblastoma dan glioma ganas lainnya mewakili sekitar 75%
dari tumor otak ganas. Insiden masing-masing juga bervariasi secara signifikan dengan wilayah
geografis. Penyebab variasi tersebut belum diketahui secara pasti. Hal tersebut disebabkan oleh
kurangnya definisi yang konsisten dari subtipe histologis, perbedaan dalam pengumpulan data,
metode surveillances antar negara, atau perbedaan yang nyata dalam insiden. CBTRUS
memperkirakan insiden glioma sebesar 6,61 dan glioblastoma sebesar 3,19 per 100.000
penduduk di Amerika Serikat. (Ostrom et al., 2013; McNeill, 2016)

Insiden glioma berdasarkan kelompok usia


Tumor grade I (pilocytic astrocytoma) terjadi terutama pada anak-anak dan dewasa muda,
sedangkan tumor grade II (oligodendroglial) memuncak pada dekade ke-3 hingga ke-4, dengan
insiden glioma maligna yang meningkat pada usia yang lebih tua hingga mencapai puncaknya
pada dekade ke-6 hingga ke-7. (McNeill, 2016)

26
Gambar 3.9 Tingkat kejadian yang disesuaikan berdasarkan usia dari tumor SSP yang dipilih berdasarkan histologi
dan usia, CBTRUS, 2007 hingga 2011. (Diadaptasi dari Ostrom QT, Gittleman H, Liao P, dkk. Laporan statistik
CBTRUS: tumor otak primer dan sistem saraf pusat yang didiagnosis di Amerika Serikat) Serikat pada tahun 2007–
2011. Neuro Oncol 2014; 16 Suppl 4: iv1 iv63.) (McNeill 2016)

Gambar 3.10 Insiden tumor jaringan neuroepithelial dan glioma berdasarkan usia dengan World Standard
Population (WSP); CBTRUS 2000–2004. (Ostrom et al. 2013; McNeill 2016)

Insiden glioma berdasarkan ras dan jenis kelamin


Glioma lebih sering ditemukan pada laki-laki. Sebanyak 55 % dari seluruh kasus glioma
terdapat pada laki-laki. Populasi glioma di Amerika Serikat lebih sering mempengaruhi orang
kulit putih non-hispanik dibandingkan kelompok etnis hispanik, kulit hitam, atau asia. Insiden
glioma selama masa hidup seseorang bervariasi menurut histologi tumor. Orang kulit putih non
hispanik memiliki tingkat kejadian glioma maligna yang lebih tinggi (dengan angka kejadian
5,5 / 100.000 penduduk) dibandingkan orang kulit hitam (angka kejadian 2,7/100.000
penduduk), Hispanik (angka kejadian 3,7/100.000 penduduk), atau Asia (angka kejadian
2,4/100.000 penduduk) di Amerika Serikat.(Ostrom et al., 2013)

27
Gambar 3.11. Insidensi glioma ganas berdasarkan ras / etnis, yang disesuaikan usia dengan Populasi Standar Dunia;
SIER 17 mendaftarkan data, 2000–2004. (McNeill 2016; Ostrom et al. 2013)

Daftar Pustaka

Louis, David N., Hiroko Ohgaki, Otmar D. Wiestler, Webster K. Cavenee, Peter C. Burger, Anne Jouvet, Bernd W.
Scheithauer, and Paul Kleihues. 2007. “The 2007 WHO Classification of Tumours of the Central Nervous

28
System.” Acta Neuropathologica 114 (2): 97–109. https://doi.org/10.1007/s00401-007-0243-4.
Louis, David N, Arie Perry, Guido Reifenberger, Andreas Von Deimling, Dominique Figarella, Branger Webster, K
Cavenee Hiroko, Otmar D Wiestler, Paul Kleihues, and David W Ellison. 2016. “The 2016 World Health
Organization Classification of Tumors of the Central Nervous System : A Summary.” Acta Neuropathologica.
https://doi.org/10.1007/s00401-016-1545-1.
McNeill, Katharine A. 2016. “Epidemiology of Brain Tumors.” Neurologic Clinics 34 (4): 981–98.
https://doi.org/10.1016/j.ncl.2016.06.014.
Ohgaki, Hiroko, and Paul Kleihues. 2013. “The Definition of Primary and Secondary Glioblastoma.” Clinical
Cancer Research 19 (4): 764–72. https://doi.org/10.1158/1078-0432.CCR-12-3002.
Ostrom, Quinn T., Haley Gittleman, Paul Farah, Annie Ondracek, Yanwen Chen, Yingli Wolinsky, Nancy E.
Stroup, Carol Kruchko, and Jill S. Barnholtz-Sloan. 2013. “CBTRUS Statistical Report: Primary Brain and
Central Nervous System Tumors Diagnosed in the United States in 2006-2010.” Neuro-Oncology 15
(SUPPL.2). https://doi.org/10.1093/neuonc/not151.
Ostrom, Quinn T., Haley Gittleman, Jordonna Fulop, Max Liu, Rachel Blanda, Courtney Kromer, Yingli Wolinsky,
Carol Kruchko, and Jill S. Barnholtz-Sloan. 2015. “CBTRUS Statistical Report: Primary Brain and Central
Nervous System Tumors Diagnosed in the United States in 2008-2012.” Neuro-Oncology 17: iv1–62.
https://doi.org/10.1093/neuonc/nov189.
Ostrom, Quinn T., Haley Gittleman, Gabrielle Truitt, Alexander Boscia, Carol Kruchko, and Jill S. Barnholtz-Sloan.
2018. “CBTRUS Statistical Report: Primary Brain and Other Central Nervous System Tumors Diagnosed in
the United States in 2011-2015.” Neuro-Oncology 20: iv1–86. https://doi.org/10.1093/neuonc/noy131.
Perkins,A. Liu, G. 2016. “Primary Brain Tumors in Adults: Diagnosis and Treatment - American Family Physician.”
American Family Physician 93 (3): 211–18. www.aafp.org/afp.
Perry, Arie, and Pieter Wesseling. 2016. Histologic Classification of Gliomas. Handbook of Clinical Neurology. 1st
ed. Vol. 134. Elsevier B.V. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-802997-8.00005-0.
Reuss, David E., Annekathrin Kratz, Felix Sahm, David Capper, Daniel Schrimpf, Christian Koelsche, Volker
Hovestadt, et al. 2015. “Adult IDH Wild Type Astrocytomas Biologically and Clinically Resolve into Other
Tumor Entities.” Acta Neuropathologica 130 (3): 407–17. https://doi.org/10.1007/s00401-015-1454-8.
Sahm, Felix, David Reuss, Christian Koelsche, David Capper, Jens Schittenhelm, Stephanie Heim, David T.W.
Jones, et al. 2014. “Farewell to Oligoastrocytoma: In Situ Molecular Genetics Favor Classification as Either
Oligodendroglioma or Astrocytoma.” Acta Neuropathologica 128 (4): 551–59.
https://doi.org/10.1007/s00401-014-1326-7.
Stupp, R., M. Brada, M. J. van den Bent, J. C. Tonn, and G. Pentheroudakis. 2014. “High-Grade Glioma: ESMO
Clinical Practice Guidelines for Diagnosis, Treatment and Follow-Up.” Annals of Oncology 25 (December
2004): 93–101. https://doi.org/10.1093/annonc/mdu050.
Wesseling, P., and D. Capper. 2018. “WHO 2016 Classification of Gliomas.” Neuropathology and Applied
Neurobiology 44 (2): 139–50. https://doi.org/10.1111/nan.12432.
Wilcox, Paul, Cheryl C.Y. Li, Maggie Lee, Brindha Shivalingam, Jeffrey Brennan, Catherine M. Suter, Kimberley
Kaufman, Trina Lum, and Michael E. Buckland. 2015. “Oligoastrocytomas: Throwing the Baby out with the
Bathwater?” Acta Neuropathologica 129 (1): 147–49. https://doi.org/10.1007/s00401-014-1353-4.

29
PAPARAN ZAT KIMIA YANG
4 MENINGKATKAN RISIKO GLIOMA
Dalam bab ini membahas beberapa zat kimia dan kaitannya dengan peningkatan risiko
mengalami glioma berdasarkan studi-studi yang ada. Zak kimia yang dibahas diantaranya:
1. 1,3-Butadiene and Isoprene
2. Cat berbahan dasar Benzidin
3. Acrylamide
4. Akrilonitril
5. Ethylene Oxide
6. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH)
7. Rokok
8. N-Nitroso Compound Exposure pada makanan
9. Vitamin and Antioksidan
10. COX-2 Inhibitors
11. Antihistamin

1,3-Butadiene and Isoprene


Isoprene dan 1,3-butadiene adalah bahan kimia yang mempunyai hubungan secara
struktur kimia. Isoprene adalah bentuk monomer dari karet alami, terpin, dan steroid sedangkan
1,3-butadiene adalah monomer sintetik yang dipakai dalam produksi karet sintetis. 1,3-Butadiene
telah diketahui merupakan bahan karsinogenik pada tikus dan mencit dan telah diklasifikasikan
sebagai bahan karsinogenik pada manusia (National Toxicology Program, 2000)
Penggunaan dan bentuk paparan
Bahan kimia ini banyak dipakai pada produksi karet, produk dengan bahan dasar minyak,
transportasi, pengolahan limbah, serta banyak didapatkan pada asap dengan konsentrasi yang
tinggi, buangan gas kendaraan bermotor maupun diesel (Rice and Boffetta, 2001; Chang et al.,
2011). Paparan terhadap 1,3-butadiene banyak didapatkan dari asap yang berasal dari rokok, api,
tungku api, dll (U.S. EPA, 1990; Sorsa et al., 1996)
Bukti karsinogenik

30
√ International Association for Research on Cancer (IARC) telah
mengklasifikasikan bahan ini sebagai bahan yang mempunyai potensi karsinogen
pada manusia (Besaratinia and Pfeifer, 2006).
√ Terdapat lebih dari 90 studi epidemiologi terhadap industri karet, 9 diantaranya
merupakan studi kohort yang mengaitkan dengan risiko tumor otak. Sebanyak 5
dari studi kohort tersebut menunjukkan peningkatan risiko tumor otak. Terdapat 4
laporan kasus dari 90 studi tersebut menunjukkan peningkatan resiko tumor otak.
Hal ini dapat mempengaruhi kondisi pegawai pada industri tersebut. (Borak,
Slade and Russi, 2005; Chang et al., 2011)
√ Pada studi meta analisis terakhir yang menganalisa 20 studi kohort menyimpulkan
bahwa tidak terlihat hubungan antara pekerjaan pada bidang industri karet dengan
resiko tumor otak. (Borak, Slade and Russi, 2005; Chang et al., 2011)

Cat berbahan dasar Benzidin


3,3-Dimethoxybenzidine Dihydrochloride, 3,3’-Dimethylbenzidine Dihydrochloride, C.I.
Direct Blue 15
Pewarna dengan bahan dasar benzidin digunakan dalam produksi pewarna
bisazopiphenyl dalam pewarnaan tekstil, kertas, plastik, karet, dan kulit. Pewarna ini juga
didapatkan pada produk berbahan dasar poli-urethane. Konsumsi zat pewarna ini secara oral
menimbulkan berbagai macam tumor pada tikus, termasuk astrositoma. (Chang et al., 2011)
Belum ada penelitian yang dilakukan terhadap pekerja yang terpapar zat warna berbasis
benzidine yang melaporkan peningkatan risiko tumor otak (Rosenman and Reilly, 2004; Chang
et al., 2011).

Acrylamide
Acrylamide telah digunakan untuk memproduksi polimer yang larut dalam air
(polyacrylamide) sejak tahun 1950-an. Paparan kerja akrilamida dengan koknsentrasi tinggi
biasanya terjadi dalam kondisi kecelakaan industri dan menyebabkan neurotoksisitas. Tidak ada
efek lain yang telah didokumentasikan oleh studi pada akrilamida (Exon, 2006; Chang et al.,
2011)

31
Beberapa studi yang meneliti pengaruh acrylamide terhadap tumor otak diantaranya
adalah:
√ Dalam penelitian pada hewan, pajanan acrylamide dosis tinggi secara kronis dikaitkan
dengan peningkatan insiden beberapa tumor termasuk glioma. Belakangan ini telah
ditemukan acrlamid pada makanan kering, panggang, dan kopi yang menimbulkan
pertanyaan lanjutan terhadap paparan bahan kimia ini sampai ke bahan makanan diluar
bidang industri terkait (Tareke et al., 2002).
√ Studi epidemiologi telah menjabarkan paparan acrylamide terhadap makanan tetapi
belum dapat menemukan asosiasi yang kuat. (Rice, 2005). Hasil penelitian juga belum
mampu menyatakan bahan makanan yang mempunyai kandungan acrylamide secara
signifikan. (Chang et al., 2011)
Hal ini menyebabkan hubungan acrylamide dengan keganasan pada otak belum dapat
dipastikan. (Chang et al., 2011)

Akrilonitril
Akrilonitril adalah bahan kimia industri yang digunakan dalam pembuatan serat sintetis,
resin, plastik, elastomer, dan karet, dan telah digunakan dalam berbagai barang konsumen.
Jalur utama paparan pada manusia adalah melalui kulit dan inhalasi. Acrylonitrile mampu
menimbulkan tumor otak seperti pada paparan 1,3-butadiene, benzene, dan ethylene oksida pada
tikus (Ghanayem, 2002; Chang et al., 2011)

Ethylene Oxide
Ethylene oxide banyak digunakan dalam industri kimia untuk sintesis beberapa produk
dan sebagai bahan antiseptik dalam industri perawatan kesehatan (Chang et al., 2011)
Studi ethylene oxide terhadap tumor otak
√ Pada tikus, paparan etilen oksida meningkatkan risiko tumor otak. (Shore, Gardner and
Pannett, 1993; Brashear et al., 1996; Aronson et al., 1999; IARC, 2012)
√ Beberapa penelitian terhadap para petugas kesehatan yang berpotensi terkena paparan
etilen oksida menemukan peningkatan risiko tumor otak, khususnya di kalangan perawat
dan asisten perawat. Namun, paparan etilen oksida di rumah sakit di Amerika Serikat

32
telah menurun sejak 1984. (Shore, Gardner and Pannett, 1993; Brashear et al., 1996;
Aronson et al., 1999; IARC, 2012)
√ Studi meta-analisis dari 10 kohort yang mencakup 29.800 pekerja dan 2.540 kematian
menyimpulkan bahwa paparan pekerjaan terhadap etilena oksida tidak terkait dengan
peningkatan risiko tumor otak (Shore, Gardner and Pannett, 1993; Brashear et al., 1996;
Aronson et al., 1999; IARC, 2012)

Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH)


PAH terbentuk selama pembakaran batu bara, minyak dan gas, sampah, atau zat organik
lainnya seperti tembakau atau daging panggang. PAH adalah komponen dari knalpot kendaraan
dan ada dalam makanan pokok dan air minum. Paparan manusia terhadap PAH tersebar luas dan
tidak dapat dihindari. Maltoni menunjukkan bahwa senyawa ini dapat menyebabkan tumor otak
pada hewan (Boffetta et al., 2003). Meskipun paparan terhadap PAH tersebar secara luas,
beberapa pekerjaan seperti pemadam kebakaran memiliki pajanan yang lebih berisiko. (Chang et
al., 2011)
Studi mengenai pengaruh PAH pada tumor otak
√ Sebuah meta-analisis dari 11 kohort dan 5 studi case-control tidak menemukan bukti
peningkatan risiko tumor otak di antara petugas pemadam kebakaran. Namun, ketika
durasi kerja diperhitungkan, petugas pemadam kebakaran dengan masa kerja 30 tahun
atau lebih memiliki dua kali risiko tumor otak (Youakim, 2006).
√ Contoh lain dari paparan pekerjaan terhadap PAH adalah di antara para pekerja aspal.
Sebuah studi internasional besar di antara para pekerja aspal Eropa tidak menemukan
bukti yang meyakinkan bahwa paparan asap aspal dikaitkan dengan peningkatan risiko
kanker (Boffetta et al., 2003).
√ Cordier et al melaporkan bahwa paparan pra-konsepsi dari pihak paternal terhadap PAH,
baik dari asap tembakau atau paparan pekerjaan, dikaitkan dengan peningkatan risiko
tumor otak pada masa kanak-kanak, terutama tumor astroglial (Cordier et al., 2004).
√ Tidak ada efek yang timbul dari merokok atau pekerjaan ibu sebelum konsepsi atau
selama kehamilan. Sebuah studi sebelumnya oleh kelompok yang sama menemukan
bahwa risiko keseluruhan tumor otak meningkat untuk ayah yang terpapar PAH. Namun,

33
tidak ada hubungan dosis-respons yang ditemukan (Cordier et al., 1997; Chang et al.,
2011)

Rokok
Komposisi dan design rokok telah mengalami perubahan secara gradual sejak 1950.
Perubahan tersebut diantaranya komposisi tar dan nikotin yang lebih rendah, dan penambahan
zat aditif tembakau. Beberapa zat tambahan pada rokok diperkirakan bersifat karsinogenik atau
dapat menyebabkan zat karsinogen saat pembakaran. Pemahaman mengenai jenis spesifik rokok
yang digunakan (misalnya jenis filter atau non-filter) dan risiko glioma juga penting, terkait
perubahan zat-zat yang sebelumnya telah dijelaskan. (Shao et al., 2016)
Studi mengenai rokok dan risiko glioma
√ Literatur yang membahas hubungan ini terdiri dari laporan dari 16 studi kasus-kontrol
dan 5 kohort. Di antara studi case-control yang meneliti hubungan antara rokok yang
pernah merokok dan glioma, tujuh kasus melaporkan OR> 1, tetapi secara statistik tidak
signifikan. (Zheng et al., 2001; Benson et al., 2008)
√ Analisis disajikan secara terpisah berdasarkan jenis kelamin (Giles et al., 1994), dan
untuk perokok aktif serta mantan perokok (Ryan et al., 1992), memberikan perkiraan
risiko yang tidak mencapai signifikansi secara statistik. Meskipun teradapat beberapa
penelitian termasuk analisis dosis-respons (Ryan et al., 1992; Study et al., 2018)
√ Hanya satu penelitian yang melaporkan tren yang signifikan secara statistik untuk
peningkatan risiko dengan peningkatan jumlah rokok yang dikonsumsi (pak per tahun) (p
= 0,026). Jumlah kasus glioma yang termasuk dalam studi tersebut berkisar antara 42
hingga 434 kasus. (Chang et al., 2011)
√ Efird et al melaporkan hasil dari studi kohort pada 133.811 pasien, risiko glioma yang
terkait dengan merokok selama follow-up mempunyai nilai rata-rata 13,2 ± 6,7 tahun dan
menghasilkan risiko relatif 1,4 (95% CI: 1,0-2,1) untuk perokok yang pernah merokok
dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok (p = 0,07) dan 1,6 (95% CI : 1.0–
2.5) untuk perokok aktif dibandingkan dengan orang yang tidak pernah perokok (p =
0,06) (Efird et al., 2004).
√ Studi pada meta analisis terbaru, secara keseluruhan tidak ada perbedaan risiko glioma
berdasarkan jenis rokok. (Shao et al., 2016)

34
√ Terdapat hubungan yang linier antara peningkatan jumlah rokok per hari dengan
peningkatan risiko glioma. (Shao et al., 2016)

Meskipun sebagian besar studi yang disebutkan di atas hanya menghasilkan data tentang
merokok, beberapa penelitian juga meneliti risiko glioma yang terkait dengan produk tembakau
lainnya. Beberapa penelitian diatas memiliki terlalu sedikit data tentang zat ini untuk dilakukan
analisis, atau tidak menemukan hubungan yang secara statistik signifikan dengan glioma. (Chang
et al., 2011; Schwartzbaum et al., 2011; Shao et al., 2016)

N-Nitroso Compound Exposure pada makanan


Paparan manusia terhadap senyawa N-nitroso dapat berasal dari berbagai hal: 75%
berasal dari diet, 25% dari pekerjaan, 2% dari merokok, dan 1% dari sumber lainnya seperti
kosmetik, farmasi, dan udara dalam dan luar ruangan. (Zook, Simmens and Jones, 2000; IARC,
2010)
Studi terhadap makan dan tumor otak memiliki area konsentrasi pada makanan dan
nutrisi yang berpotensi serta kandungan N-nitroso didalamnya. Kuesioner makanan dan data
komposisi makanan telah dikembangkan untuk mempelajari paparan dari N-nitroso terhadap
kanker (Chen et al., 2002). Beberapa studi tentang N-nitroso dan risiko glioma diantaranya
adalah:
√ Glioma dapat lebih mudah terjadi pada populasi yang mengkonsumsi daging yang
diawetkan dan makanan dengan kandungan nitrat yang tinggi serta konsumsi sayur dan
buah dengan kandungan vitamin C yang rendah. Hal ini terlihat lebih nyata pada laki-laki
(Blowers, Preston-Martin and Mack, 1997).
√ Sebuah studi di Jerman (Boeing et al., 1993) terlihat peningkatan glioma pada daging
yang telah di proses. Sebuah studi di Australia menunjukkan konsumsi daging yang
diawetkan dan daging kaleng meningkatkan resiko tumor glia pada laki-laki. Studi yang
dilakukan di Kanada menunjukan peningkatan resiko tumor otak pada konsumsi air dari
sumber mata air alami dan anggur dimana terdapat kandungan N-nitroso. (Chang et al.,
2011)

Vitamin and Antioksidan

35
Mekanisme primer dari stres oksidatif meliputi ketidak seimbangan redoks yang dapat
dikaitkan dengan stimulasi onkogenik. Mutasi DNA adalah tahapan yang penting pada
karsinogenesis dan peningkatan level oksidatif dari kerusakan DNA pada berbagai tumor.
Kerusakan DNA dikaitkan terutama pada proses inisiasi. Antioksidan enzimatik dan
nonenzimatik dapat mengurangi karsinogensis. (Chang et al., 2011)
Antioksidan mempunyai asosiasi yang berlawanan dengan tumor otak melalu efek anti-
inflamasi dan reduksi dari stres oksidatif. Oksidan dapat merusak DNA dan menyebabkan
akumulasi dari kerusakan oksidatif yang selanjutnya akan mengganggu proses repair pada sel
dan menyebabkan peningkatan resiko kanker. Anti oksidan menghambat efek kerusakan
oksidatif pada DNA secara langsung dengan menyingkirkan atau menurunkan konsentrasi dari
oksidan untuk meminimalisir kerusakan DNA atau kerusakan sel, atau meningkatkan proses
repair. Beberapa studi epidemiologi telah memperlihatkan konsumsi antioksidan dari buah dan
sayuran mempunyai potensi protektif pada glioma di orang dewasa. (Chang et al., 2011) Peran
flavonoid dan karotenoid
Flavonoid mampu menghambat low-density lipoprotein ke dalam oksidasi melalu
regulasi dari iNOS dan ekspresi gen COX-2 (Raso et al., 2001). Karotenoid adalah molekul
lipofilik dengan sifat antioksidan dengan prinsip scavenger terhapad peroxynitrite, modulasi
repair DNA, dan mekanisme antiinflamasi (Kamat and Devasagayam, 2000). Pada sebuah studi
di Amerika Serikat, terlihat penurunan resiko glioma sebesar 50% pada peningkatan konsumsi
karotenoid. (Chen et al., 2002). Konsumsi karotenoid memperlihat kan hasil yang konsisten
terhadap efek proteksi tumor otak. (Chang et al., 2011)
Vitamin C telah dikenal sebagai antioksidant yang berfungsi sebagai scavenger dari
radikal hidroksil yang menghambat lesi DNA oksidatif seperti 8-hydroxydeoxyguanosine.
Penelitian menunjukan bahwa vitamin C memiliki kesan protektif terhadap kanker.Suplemen
vitamin juga dikaitkan dengan efek protektif dimana mampu menghambat nitrogenasi endogen
dan menurunkan resiko. (Chang et al., 2011)
Data tentang komponen makanan lain sangat terbatas. Hubungan terbalik antara glioma
dan konsumsi kalsium telah dilaporkan dan diperkirakan jalurnya melalui inhibisi produksi
hormon paratiroid pada orang dewasa dan anak-anak. Hasil yang kontroversial masih
memerlukan studi lebih lanjut terhadap produk daging, ikan segar, dan unggas dan penggunaan
garam dengan daging, ikan, dan sayuran. Terdapat potensi terhadap phytoesterogen, flavonoid,

36
poliunssaturated fatty acid, dan vitamin yang bersifat protektif terhadap glioma (Guo et al., 1994;
Kyritsis, Bondy and Levin, 2011).

COX-2 Inhibitors
Cox-2 merupakan bentuk isoform dari COX, enzim yang mengkatalisasi fase rate-
limiting dari sintesis prostalandin asam arakidonat. COX-2 diinduksi oleh sitokin, growth factor,
promotor tumor, onkogen, karsinogen. Induksi oleh zat ini meningkatkan motilitas, adhesi, dan
ekspresi COX-2 dan telah dikaitkan dengan pathogenesis dengan berbagai kanker termasuk
glioma. (Chang et al., 2011)
Non-steroidal anti-inflamatory drug (NSAID) merupakan COX-2 inhibitor non selektif.
Sebuah studi kohort menunjukkan asosiasi berkebalikan antara konsumsi NSAID dengan resiko
glioblastoma (OR = 0.76, 95% CI 0.5–1.1), menunjukan efek protektif dari NSAID. Secara
keseluruhan, NSAID diasosiasikan dengan penurunan resiko glioblastoma (OR = 0.69, 95% CI
0.51–0.94) namun untuk jenis histologis lainnya belum diketahui. (Chang et al., 2011)

Antihistamin
Antihistamin juga memiliki sifat antiinflamsi dan penggunaannya pada alergi
diasosiasikan dengan penurunan resiko glioma. Histamin mempunya peran yang penting pada
inflamasi / alergi akut akibat pelepasnnya dari sel mast dan basofil. Histamin juga dapat
diaktivasi oleh sistem imun maupun stimulus non-imunogenik seperti alergen, IgE, dan sitokin
lainnya. Penggunaan antihistamin telah diasosiasikan dengan peningkatan anaplastik astrositoma
tetapi tidak pada glioblasstoma. Studi yang telah ada belum dapat menyimpulkan hubungan
kausatif yang kuat dengan kejadian glioblastoma namun pada laporan penggunaan jangka
panjang terdapat peningkatan 3,5x resiko glioma (Scheurer et al., 2008).

37
Daftar Pustaka

Aronson, K. J. et al. (1999) ‘Surveillance of potential associations between occupations and causes of death in
Canada, 1965-91’, Occupational and Environmental Medicine, 56(4), pp. 265–269. doi:
10.1136/oem.56.4.265.
Benson, V. S. et al. (2008) ‘Lifestyle factors and primary glioma and meningioma tumours in the Million Women
Study cohort’, British Journal of Cancer, 99(1), pp. 185–190. doi: 10.1038/sj.bjc.6604445.
Besaratinia, A. and Pfeifer, G. P. (2006) ‘A review of mechanisms of acrylamide carcinogenicity’, Carcinogenesis,
28(3), pp. 519–528. doi: 10.1093/carcin/bgm006.
Blowers, L., Preston-Martin, S. and Mack, W. J. (1997) ‘Dietary and other lifestyle factors of women with brain
gliomas in Los Angeles County (California, USA)’, Cancer Causes and Control, 8(1), pp. 5–12. doi:
10.1023/A:1018437031987.
Boeing, H. et al. (1993) ‘Dietary carcinogens and the risk for glioma and meningioma in Germany’, International
Journal of Cancer, 53(4), pp. 561–565. doi: 10.1002/ijc.2910530406.
Boffetta, P. et al. (2003) ‘Cancer mortality among European asphalt workers: An international epidemiological
study. II. Exposure to bitumen fume and other agents’, American Journal of Industrial Medicine, 43(1), pp.
28–39. doi: 10.1002/ajim.10182.
Borak, J., Slade, M. D. and Russi, M. (2005) ‘Risks of Brain Tumors in Rubber Workers: A Metaanalysis’, Journal

38
of Occupational and Environmental Medicine, 47(3), pp. 294–298. doi:
10.1097/01.jom.0000155715.08657.a2.
Brashear, A. et al. (1996) ‘Ethylene oxide neurotoxicity: A cluster of 12 nurses with peripheral and central nervous
system toxicity’, Neurology, 46(4), pp. 992–998. doi: 10.1212/WNL.46.4.992.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2019) Glycidol, The National Institute for Occupational Safety
and Health (NIOSH).
Chang, S. M. et al. (2011) Principles and Practice of Neuro-Oncology A Multidisciplinary Approach, Society.
Edited by M. P. Mehta. New York: Demos Medical Publishing.
Chen, H. et al. (2002) ‘Diet and risk of adult glioma in eastern Nebraska, United States’, Cancer Causes and Control,
13(7), pp. 647–655. doi: 10.1023/A:1019527225197.
Cordier, S. et al. (1997) ‘Parental occupation, occupational exposure to solvents and polycyclic aromatic
hydrocarbons and risk of childhood brain tumors (Italy, France, Spain)’, Cancer Causes and Control, 8(5),
pp. 688–697. doi: 10.1023/A:1018419118841.
Cordier, S. et al. (2004) ‘Parental Exposure to Polycyclic Aromatic Hydrocarbons and the Risk of Childhood Brain
Tumors: The SEARCH International Childhood Brain Tumor Study’, American Journal of Epidemiology,
159(12), pp. 1109–1116. doi: 10.1093/aje/kwh154.
Efird, J. T. et al. (2004) ‘The risk for malignant primary adult-onset glioma in a large, multiethnic, managed-care
cohort: Cigarette smoking and other lifestyle behaviors’, Journal of Neuro-Oncology, 68(1), pp. 57–69. doi:
10.1023/B:NEON.0000024746.87666.ed.
Exon, J. H. (2006) ‘A Review of the Toxicology of Acrylamide’, Journal of Toxicology and Environmental Health,
Part B, 9(5), pp. 397–412. doi: 10.1080/10937400600681430.
Ghanayem, B. I. (2002) ‘Acrylonitrile Is a Multisite Carcinogen in Male and Female B6C3F1 Mice’, Toxicological
Sciences, 68(1), pp. 59–68. doi: 10.1093/toxsci/68.1.59.
Giles, G. G. et al. (1994) ‘Dietary factors and the risk of glioma in adults: Results of a case ‐control study in
melbourne, Australia’, International Journal of Cancer, 59(3), pp. 357–362. doi: 10.1002/ijc.2910590311.
Guo, W. et al. (1994) ‘Diet and serum markers in relation to primary brain tumor risk in China’, Nutrition and
Cancer, 22(2), pp. 143–150. doi: 10.1080/01635589409514339.
IARC (2010) ‘World health organization international agency for research on cancer’, Iarc Monographs On The
Evaluation Of Carcinogenic Risks To Humans, 94.
IARC (2012) ‘Chemical agents and related occupations.’, IARC monographs on the evaluation of carcinogenic risks
to humans / World Health Organization, International Agency for Research on Cancer, 100(Pt F), pp. 9–562.
Kamat, J. P. and Devasagayam, T. P. A. (2000) ‘Oxidative damage to mitochondria in normal and cancer tissues,
and its modulation’, Toxicology, 155(1–3), pp. 73–82. doi: 10.1016/S0300-483X(00)00279-1.
Kyritsis, A., Bondy, M. and Levin, V. (2011) ‘Modulation of Glioma Risk and Progression by Dietary Nutrients and
Antiinflammatory Agents’, Nutrition and Cancer, 63(2), pp. 174–184. doi: 10.1080/01635581.2011.523807.
National Toxicology Program (2000) National Toxicology Program and U.S. Department of Health and Human
Services, Ninth Report on Carcinogens: 1,3-Butadiene. Research Triangle Park, NC.
Preston-Martin, S., Mack, W. and Henderson, B. E. (1989) ‘Risk Factors for Gliomas and Meningiomas in Males in
Los Angeles County’, Cancer Research, 49(21), pp. 6137–6143.
Qiu, J., Shi, Z. and Jiang, J. (2017) ‘Cyclooxygenase-2 in glioblastoma multiforme’, Drug Discovery Today, 22(1),
pp. 148–156. doi: 10.1016/j.drudis.2016.09.017.
Raso, G. M. et al. (2001) ‘Inhibition of inducible nitric oxide synthase and cyclooxygenase-2 expression by
flavonoids in macrophage J774A.1’, Life Sciences, 68(8), pp. 921–931. doi: 10.1016/S0024-3205(00)00999-
1.
Rice, J. M. (2005) ‘The carcinogenicity of acrylamide’, Mutation Research/Genetic Toxicology and Environmental
Mutagenesis, 580(1–2), pp. 3–20. doi: 10.1016/j.mrgentox.2004.09.008.
Rice, J. M. and Boffetta, P. (2001) ‘1,3-Butadiene, isoprene and chloroprene: Reviews by the IARC monographs
programme, outstanding issues, and research priorities in epidemiology’, Chemico-Biological Interactions,
135–136, pp. 11–26. doi: 10.1016/S0009-2797(01)00175-2.
Rosenman, K. D. and Reilly, M. J. (2004) ‘Cancer mortality and incidence among a cohort of benzidine and
dichlorobenzidine dye manufacturing workers’, American Journal of Industrial Medicine, 46(5), pp. 505–
512. doi: 10.1002/ajim.20093.
Roycroft, J. (1989a) ‘Toxicology and carcinogenesis studies of bromoethane in F344 rats and B6C3F1 mice’,
National Toxicology Program, 39(2), pp. 207–219. doi: 10.1016/0300-483X(86)90137-X.
Roycroft, J. (1989b) ‘Toxicology and carcinogenesis studies of chloroethane in F344 rats and B6C3F1 mice’,
National Toxicology Program, 39(2), pp. 207–219. doi: 10.1016/0300-483X(86)90137-X.

39
Ryan, P. et al. (1992) ‘Amalgam fillings, diagnostic dental X-rays and tumours of the brain and meninges’,
European Journal of Cancer. Part B: Oral Oncology, 28(2), pp. 91–95. doi: 10.1016/0964-1955(92)90034-X.
Scheurer, M. E. et al. (2008) ‘Long-term Anti-inflammatory and Antihistamine Medication Use and Adult Glioma
Risk’, Cancer Epidemiology Biomarkers & Prevention, 17(5), pp. 1277–1281. doi: 10.1158/1055-9965.EPI-
07-2621.
Schwartzbaum, J. A. et al. (2011) ‘Allergies and Glioma Risk’, in Chang, S. M. et al. (eds) Principles and Practice of
Neuro-Oncology A Multidisciplinary Approach. New York: Demos Medical.
Shao, C. et al. (2016) ‘Smoking and glioma risk: Evidence from a meta-analysis of 25 observational studies’,
Medicine (United States), 95(2), pp. 1–9. doi: 10.1097/MD.0000000000002447.
Shore, R. E., Gardner, M. J. and Pannett, B. (1993) ‘Ethylene oxide: an assessment of the epidemiological evidence
on carcinogenicity.’, Occupational and Environmental Medicine, 50(11), pp. 971–997. doi:
10.1136/oem.50.11.971.
Sills, R. C. et al. (1999) ‘Examination of Low-Incidence Brain Tumor Responses in F344 Rats Following Chemical
Exposures in National Toxicology Program Carcinogenicity Studies’, Toxicologic Pathology, 27(5), pp. 589–
599. doi: 10.1177/019262339902700513.
Sorsa, M. et al. (1996) ‘Assessment of environmental and occupational exposures to butadiene as a model for risk
estimation of petrochemical emissions’, Mutagenesis, 11(1), pp. 9–17. doi: 10.1093/mutage/11.1.9.
Study, N. J. J. C. et al. (2018) ‘EPIDEMIOLOGY OF PRIMARY CENTRAL NERVOUS SYSTEM While
numerous theories as to the origin of primary neoplasms of the central nerv- system have been proposed ,
most have offered from lack of supporting evidence . epidemiologic approaches to the problem have’,
91(March), pp. 467–485.
Tareke, E. et al. (2002) ‘Analysis of Acrylamide, a Carcinogen Formed in Heated Foodstuffs’, Journal of
Agricultural and Food Chemistry, 50(17), pp. 4998–5006. doi: 10.1021/jf020302f.
U.S. EPA (1990) Cancer Risk from Outdoor Exposure to Air Toxics. Vol. 1, Final Report. Research Triangle Park,
NC.
Youakim, S. (2006) ‘Risk of Cancer Among Firefighters: A Quantitative Review of Selected Malignancies’,
Archives of Environmental & Occupational Health, 61(5), pp. 223–231. doi: 10.3200/AEOH.61.5.223-231.
Zheng, T. et al. (2001) ‘Risk of brain glioma not associated with cigarette smoking or use of other tobacco products
in Iowa’, Cancer Epidemiology Biomarkers and Prevention, 10(4), pp. 413–414.
Zook, B. C., Simmens, S. J. and Jones, R. V. (2000) ‘Evaluation of ENU-Induced Gliomas in Rats: Nomenclature,
Immunochemistry, and Malignancy’, Toxicologic Pathology, 28(1), pp. 193–201.

40
PAPARAN RADIASI TERHADAP
5 RISIKO GLIOMA
Pengaruh Radiasi Pengion Terhadap Resiko Glioma
Radiasi pengion merupakan partikel-partikel gelombang elektromagnetik dimana
memiliki cukup energi untuk mengionisasi atom pada manusia sehingga dapat menginduksi
perubahan kimia dan biologis yang penting untuk fungsi sel (Organization World Health 2000).
Dampak utama dari radiasi ini adalah kerusakan pada satu atau dua untaian heliks DNA dalam
sel, sehingga dapat mengakibatkan kematian sel, kerusakan kromosom, atau mutasi. Sumber
paparan radiasi pengion alami diantaranya sinar kosmik dan radon. Sumber paparan radiasi
pengion buatan meliputi sinar-x, nuclear medicine, dan pembangkit listrik tenaga nuklir (Davis
2018; United Nations Scientific Committee 2000)
Bukti karsinogenik
Sejak tahun 1950-an, bukti-bukti potensi karsinogenik yang disebabkan oleh radiasi
pengion telah banyak didokumentasikan, seperti paparan radiasi bom atom di Jepang (Preston
2002), kecelakaan saat pengujian senjata nuklir, penggunaan radiasi pengion dalam bidang medis
(termasuk radioterapi pada tumor jinak dan ganas, serta prosedur diagnostik), paparan pekerjaan,
dan paparan lingkungan alami (misalnya, radon) (Krewski et al. 2006).
Meskipun risiko glioma yang terkait dengan paparan radiasi pada diagnostik medis telah
diteliti dalam beberapa studi, hubungan tersebut masih belum jelas karena hasil yang tidak
konsisten. Berikut beberapa studi tentang radiasi pengion dan kaitannya dengan glioma:
√ Peningkatan risiko glioma terkait dengan x-ray kepala (OR: 5,49; 95% CI: 1,32-32) dan
dengan frekuensi pemeriksaan x-ray gig mulut (setelah usia 25, p untuk tren 0,04) telah
dilaporkan oleh Hu dan Preston-Martin (Preston-Martin, Mack, and Henderson 1989).
√ Sebaliknya, penurunan risiko glioma yang signifikan terkait dengan paparan rontgen gigi
diagnostik (RR: 0,42; 95% CI: 0,24-0,76; p = 0,004), rontgen diagnostik nondental pada
kepala dan leher (OR : 0,7; 95% CI: 0,5-0,9), dan setiap paparan medis dengan radiasi
pengion diagnostik (OR: 0,63; 95% CI: 0,48-083) juga telah dilaporkan.
√ Penelitian yang dilakukan oleh Wrensch et al, sumber radiasi pengion dan nonionisasi,
tidak menunjukkan hubungan dengan glioma. (Karipidis et al. 2007).

41
√ Studi kasus-kontrol yang menggunakan matriks paparan kerja di Finlandia untuk menilai
paparan radiasi melaporkan OR 1,08 (95%) CI: 0,55-2,12) untuk risiko glioma pada
tertile ketiga paparan radiasi pengion (Chang et al. 2011)
√ Salah satu penjelasan tidak adanya hubungan hubungan radiasi diagnostik dengan glioma
dewasa yaitu dosis paparan yang relatif rendah dari sebagian besar prosedur diagnostik.
Asosiasi tersebut telah dikuantifikasi dalam empat studi kohort, yang semuanya
memberikan bukti hubungan dosis-respons linier. (Chang et al. 2011)
√ Davis et al.(Davis et al. 2011) mengamati peningkatan risiko untuk glioma setelah 3 atau
lebih paparan kumulatif pada CT scan ke kepala dan leher, tetapi hanya dalam kasus
pasien dengan riwayat kanker pada keluarga.

Dosis radiasi
Dosis radiasi yang diserap dapat dihitung secara dosimetri dan diukur dengan satuan
"gray" (Gy) atau sama dengan 1 J/Kg. "Dosis ekuivalen" merupakan istilah dosimetri yang
menyatakan jumlah dosis terserap dimana secara efektif menimbulkan kerusakan biologis akibat
radiasi ke organ atau jaringan (diukur dengan "sievert" [Sv]). "Dosis efektif" adalah jumlah
dosimetri biologis yang sering digunakan untuk keperluan radioproteksi. Dosis ini menyatakan
seberapa bahayanya pajanan radiasi yang diterima oleh seseorang untuk keseluruhan kerusakan
biologis yang ditimbulkan. Kerusakan ini bervariasi antar organ dan jaringan sesuai dengan
tingkat radiosensitifitasnya (Organization World Health 2000).

Dosis pada radiologi diagnostik


Dalam prosedur pencitraan diagnostik, dosis efektif umumnya cukup rendah, mulai dari
0,1 hingga 10 mSv. Paparan radiasi terapi untuk kanker ditandai oleh dosis yang jauh lebih
tinggi, biasanya berkisar antara 20 hingga 60 Gy ) (United Nations Scientific Committee 2000).

Dosis radiasi yang Berhubungan dengan Tumor Otak atau Glioma


Banyak studi mengenai faktor risiko lingkungan yang mempengaruhi perkembangan
glioma, namun masih sedikit yang memberikan hasil signifikan. (Davis 2018) Radiasi pengion
dosis sedang hingga tinggi, baik pada bidang medis maupun lingkungan, merupakan satu-
satunya faktor risiko yang telah dipelajari dengan baik pada tumor otak / SSP. (Bondy et al.

42
2008) Hal ini didukung oleh penelitian pada penderita bom atom (Preston 2002) dan anak-anak
yang mendapat radioterapi untuk tumor jinak (Ron 2003) serta tumor primer (Davis 2018; Neglia
et al. 2006)
Penelitian terbaru tentang hubungan radiasi pengion dosis rendah dengan tumor otak /
SSP masih terbatas dan tidak konsisten, sehingga diperlukan studi prospektif tambahan untuk
menilai sepenuhnya risiko paparan radiasi dosis rendah hingga sedang terhadap perkembangan
tumor otak / SSP (Braganza et al. 2012).

Pengaruh Radiasi X Ray dan CT Scan pada Glioma


Sumber terbesar paparan radiasi buatan pada bidang medis saat ini adalah sinar X.
Penggunaan sinar X semakin meningkat di berbagai negara. Data di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa 5-10% dari semua pencitraan radiologis dilakukan menggunakan CT,
sedangkan 40-67% dari semua paparan radiasi medis berasal dari sinar-X (Semelka et al. 2007).
Penggunaan CT scan telah meningkat pesat di negara maju, dan beberapa macam scan memiliki
dosis radiasi yang diserap hingga 15 mSv. (Chang et al. 2011; Hall et al. 2009) Penelitian tentang
X-ray dan risiko glioma
Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa paparan berulang sinar X dari CT scan ke
daerah kepala dan leher dapat meningkatkan risiko glioma pada orang dewasa, terutama yang
memiliki riwayat keluarga dengan kanker. (Tepper 2008) Data epidemiologis tentang paparan
sinar-X diagnostik yang berhubungan dengan tumor otak (atau glioma) belum menunjukkan
hasil yang konsisten. (Davis et al. 2011).
Penelitian yang dilakukan Davis et al.(Davis et al. 2011) menunjukkan peningkatan risiko
untuk glioma setelah 3 kali atau lebih paparan kumulatif pada CT scan ke kepala dan leher, tetapi
terbatas pada kasus pasien dengan riwayat kanker pada keluarga. Terdapat peneltian yang
memperkirakan bahwa faktor genetik cenderung memiliki peran penting terhadap efek kerusakan
pada dosis radiasi yang rendah atau sedang (Ronckers et al. 2008).

Pengaruh Penggunaan Telepon Seluler pada Glioma


Penggunaan telepon seluler meningkat pada beberapa dekade terakhir. Beberapa studi
telah mengamati perkembangan tumor otak dan penggunaan telepon seluler terkait paparan

43
radiofrequency electromagnetic fields (RF-EMF). (Davis 2018). Berikut beberapa Studi
mengenai telepon seluer dan risiko glioma
Rentang frekuensi
International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 2011 mengevaluasi
efek karsinogenik dari RF-EMR, kemudian menyimpulkan bahwa frekuensi 30KHz hingga
300GHz tergolong kategori 2B (kemungkinan memiliki sifat karsinogenik pada manusia).
Lokasi
Tidak ada peningkatan risiko glioma secara keseluruhan pada penggunaan telepon
seluler, namun diperkirakan terdapat peningkatan risiko pada kondisi-kondisi seperti: paparan
tingkat tinggi, penggunaan pada sisi ipsilateral (tumor pada sisi kepala yang sering terpapar
telepon seluler), dan pada lobus temporal, untuk pengguna yang sangat sering menggunakan
telepon seluler.
Sebagian besar studi mengamati penurunan OR pada sisi yang berlawanan dan tidak ada
peningkatan risiko secara keseluruhan. Bias dapat terjadi karena ketika melaporkan sisi
penggunaan, pasien lebih cenderung melaporkan menggunakan ponsel paling sering di sisi yang
terdapat tumor setelah mereka mengetahui lokasi tumor. Bias recall seperti itu akan
menghasilkan peningkatan risiko tumor di sisi yang sama dengan telepon yang digunakan, dan
penurunan risiko di sisi yang berlawanan.(Chang et al. 2011)
Durasi penggunaan telepon seluler
Meta analisis yang dilakukan Yang et al menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara
risko glioma dan penggunaan telepon seluler, namun terdapat hubungan antara pengguna telepon
seluler jangka panjang (>10 tahun) terhadap glioma low-grade.(Yang et al. 2017)
Sebagian besar studi yang memberikan beberapa informasi tentang penggunaan ponsel
jangka panjang, memberikan hasil pada penggunaan ponsel setidaknya 10 tahun, meskipun dua
penelitian telah memilih setidaknya 6 tahun penggunaan sebagai batas bawah dari kriteria
penggunaan jangka panjang (Hardell et al. 2013; Hardell, Carlberg, and Mild 2006)

Tabel 4.1. Studi Epidemiologi tentang Penggunaan Ponsel Jangka Panjang dan Glioma (Hardell et al. 2006)
Jumlah Durasi penggunaan telepon seluler
Studi OR(95%CI)
kasus (tahun)/tipe tumor otak
Hardell et al 16 1.2 (0.6-2.6) >10/semua tumor otak
Hardell et al 43 1.2 (0.8-1.8) >6/maligna (analog)
12 1.7 (0.7-4.3) >6/maligna (digital)
Hardell et al 48 3.5 (2.0-6.4) >10/maligna (analog)

44
19 3.6 (1.7-7.5) >10/maligna (digital)
Lonn et al 25 0.9 (0.5-1.5) >10/glioma
Christensen et al 14 0.7 (0.3-1.6) >10/glioma
Hepworth et al 66 0.9 (0.6-1.3) >10/glioma
Schuz et al 12 2.2 (0.9-5.1) >10/glioma
Schuz et al cohort study 28 0.7 (0.4-0.9) >10/tumor otak dan SSP
Lahkola et al 143 0.9 (0.7-1.2) >10/glioma
Klaeboe et al 70 0.8 (0.5-1.2) >6/glioma

Tabel 4.1 menunjukkan studi yang diterbitkan oleh Hardell et al (Hardell et al. 2006)
pada 2006 yang melaporkan peningkatan perkiraan risiko relatif yang terkait dengan penggunaan
ponsel jangka panjang. Penelitian ini juga melaporkan peningkatan risiko untuk penggunaan
jangka pendek dan menengah. (Hardell et al. 2006)

Paparan Radiofrekuensi pada Pekerjaan Terhadap Glioma


Paparan medan RF pada pekerjaan telah dipelajari selama lebih dari 20 tahun, dan
sebagian besar investigasi berfokus pada risiko tumor otak dan keganasan hematologis, misalnya
leukemia. Berbagai pekerjaan telah diselidiki, termasuk berbagai frekuensi paparan yang
berbeda, tetapi metode penilaian paparan umumnya buruk. Seringkali klasifikasi eksposur
didasarkan pada judul pekerjaan saja tanpa pengetahuan aktual tentang tingkat paparan untuk
pekerja dalam pekerjaan tertentu. (Chang et al. 2011). Beberapa studi tenteng pajanan RF pada
pekerjaan dan glioma diantaranya adalah:
√ Sebuah penelitian di Norwegia terhadap 37.945 pekerja laki-laki yang sering
bersinggungan dengan alat-alat elektronik menemukan perkiraan risiko relatif untuk
tumor otak di bawah satu, dengan CI yang luas (Tynes, Andersen, and Langmark 1992),
berdasarkan pada kategorisasi jenis pekerjaan yang mungkin terpapar pada bidang RF.
Temuan ini didasarkan hanya pada tiga kasus yang terpapar. Pekerjaan yang terpapar,
misalnya, operator radio / telegraf dan reparasi radio / televisi, tetapi tidak ada
pengukuran lapangan yang dilakukan. Faktor perancu potensial tidak terkontrol,
meskipun perbandingan dibuat dengan populasi yang aktif secara ekonomi untuk
membatasi pengaruh efek pekerja yang sehat. (Chang et al. 2011; Tynes et al. 1992)
√ Sebuah studi kasus-kontrol pada kelompok laki-laki anggota Angkatan Udara AS
dilakukan oleh Grayson et al. (Grayson 1996). Kasus insiden tumor otak diidentifikasi di
antara subyek yang bertugas di Angkatan Udara AS selama periode penelitian, 1970–
1989, tetapi tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengikuti mereka yang meninggalkan
45
studi kohort. Riwayat pekerjaan diperoleh untuk kasus dan kontrol yang cocok; ini
dikategorikan menurut frekuensi radiasi yang sangat rendah,terhadap RF dan radiasi
pengion. Paparan RF dikaitkan dengan OR untuk tumor otak 1,39 (95% CI: 1,01-1,90),
sedangkan hasil yang sesuai untuk radiasi pengion adalah 0,58 (95% CI: 0,22-1,52).

Terlepas dari usia dan ras, tidak ada kontrol perancu yang dibuat. Studi ini melaporkan
peningkatan risiko tumor otak yang terkait dengan pangkat militer, yang konsisten dengan
laporan lain tentang peningkatan risiko yang terkait dengan status sosial ekonomi tinggi
(Chakrabarti et al. 2005; Chang et al. 2011).

Daftar Pustaka

Bondy, Melissa L., Michael E. Scheurer, Beatrice Malmer, Jill S. Barnholtz-Sloan, Faith G. Davis, Dora Il’yasova,
Carol Kruchko, Bridget J. McCarthy, Preetha Rajaraman, Judith A. Schwartzbaum, Siegal Sadetzki, Brigitte
Schlehofer, Tarik Tihan, Joseph L. Wiemels, Margaret Wrensch, and Patricia A. Buffler. 2008. “Brain Tumor
Epidemiology: Consensus from the Brain Tumor Epidemiology Consortium.” Cancer 113(7):1953–68.
Braganza, Melissa Z., Cari M. Kitahara, Amy Berrington De González, Peter D. Inskip, Kimberly J. Johnson, and
Preetha Rajaraman. 2012. “Ionizing Radiation and the Risk of Brain and Central Nervous System Tumors: A
Systematic Review.” Neuro-Oncology 14(11):1316–24.
Chakrabarti, Indro, Myles Cockburn, Wendy Cozen, Ya Ping Wang, and Susan Preston-Martin. 2005. “A
Population-Based Description of Glioblastoma Multiforme in Los Angeles County, 1974-1999.” Cancer
104(12):2798–2806.
Chang, Susan M., Abhijit Guha, Herbert B. Newton, and Michael A. Vogelbaum. 2011. Principles and Practice of
Neuro-Oncology A Multidisciplinary Approach. edited by M. P. Mehta. New York: Demos Medical
Publishing.

46
Davis, Faith, Dora Il’yasova, Kristin Rankin, Bridget McCarthy, and Darell D. Bigner. 2011. “Medical Diagnostic
Radiation Exposures and Risk of Gliomas.” Radiation Research 175(6):790–96.
Davis, Mary Elizabeth. 2018. “Epidemiology and Overview of Gliomas.” Seminars in Oncology Nursing 34(5):420–
29.
Grayson, J. Kevin. 1996. “Radiation Exposure, Socioeconomic Status, and Brain Tumor Risk in the US Air Force: A
Nested Case-Control Study.” American Journal of Epidemiology 143(5):480–86.
Hall, Eric J., Noelle Metting, Jerome Puskin, and Elaine Ron. 2009. “Low Dose Radiation Epidemiology: What Can
It Tell Us?” Radiation Research 172(1):134–38.
Hardell, Lennart, Michael Carlberg, and Kjell Hansson Mild. 2006. “Case-Control Study of the Association between
the Use of Cellular and Cordless Telephones and Malignant Brain Tumors Diagnosed during 2000-2003.”
Environmental Research 100(2):232–41.
Hardell, Lennart, Michael Carlberg, Fredrik Söderqvist, and Kjell Hansson Mild. 2013. “Case-Control Study of the
Association between Malignant Brain Tumours Diagnosed between 2007 and 2009 and Mobile and Cordless
Phone Use.” International Journal of Oncology 43(6):1833–45.
Karipidis, Ken K., Geza Benke, Malcolm R. Sim, Timo Kauppinen, and Graham Giles. 2007. “Occupational
Exposure to Ionizing and Non-Ionizing Radiation and Risk of Glioma.” Occupational Medicine 57(7):518–24.
Krewski, Daniel, Jay H. Lubin, Jan M. Zielinski, Michael Alavanja, Vanessa S. Catalan, R. William Field, Judith B.
Klotz, Ernest G. Létourneau, Charles F. Lynch, Joseph L. Lyon, Dale P. Sandler, Janet B. Schoenberg, Daniel
J. Steck, Jan A. Stolwijk, Clarice Weinberg, and Homer B. Wilcox. 2006. “A Combined Analysis of North
American Case-Control Studies of Residential Radon and Lung Cancer.” Journal of Toxicology and
Environmental Health - Part A 69(7–8):533–97.
Neglia, Joseph P., Leslie L. Robison, Marilyn Stovall, Yan Liu, Roger J. Packer, Sue Hammond, Yutaka Yasui,
Catherine E. Kasper, Ann C. Mertens, Sarah S. Donaldson, Anna T. Meadows, and Peter D. Inskip. 2006.
“New Primary Neoplasms of the Central Nervous System in Survivors of Childhood Cancer: A Report from
the Childhood Cancer Survivor Study.” Journal of the National Cancer Institute 98(21):1528–37.
Organization World Health. 2000. “International Agency for Research on Cancer Iarc Monographs on the
Evaluation of Carcinogenic Risks To Humans.” IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks
to Humans 77: Some I:521.
Preston-Martin, Susan, Wendy Mack, and Brian E. Henderson. 1989. “Risk Factors for Gliomas and Meningiomas
in Males in Los Angeles County.” Cancer Research 49(21):6137–43.
Preston, D. L. 2002. “Tumors of the Nervous System and Pituitary Gland Associated With Atomic Bomb Radiation
Exposure.” CancerSpectrum Knowledge Environment 94(20):1555–63.
Ron, Elaine. 2003. “Cancer Risks from Medical Radiation.” Health Physics 85(1):47–59.
Ronckers, Cécile M., Michele M. Doody, John E. Lonstein, Marilyn Stovall, and Charles E. Land. 2008. “Multiple
Diagnostic X-Rays for Spine Deformities and Risk of Breast Cancer.” Cancer Epidemiology Biomarkers and
Prevention 17(3):605–13.
Semelka, Richard C., Diane M. Armao, Jorge Elias, and Walter Huda. 2007. “Imaging Strategies to Reduce the Risk
of Radiation in CT Studies, Including Selective Substitution with MRI.” Journal of Magnetic Resonance
Imaging 25(5):900–909.
Tepper, Stewart J. 2008. “Computed Tomography - An Increasing Source of Radiation Exposure: Commentary.”
Headache 48(4):657.
Tynes, Tore, Aage Andersen, and Frøydis Langmark. 1992. “Incidence of Cancer in Norwegian Workers Potentially
Exposed to Electromagnetic Fields.” American Journal of Epidemiology 136(1):81–88.
United Nations Scientific Committee. 2000. Sources and Effects of Ionizing Radiation, United Nations Scientific
Committee on the Effects of Atomic Radiation UNSCEAR 2000 Report to the General Assembly, with
Scientific Annexes. Vol. I.
Yang, Ming, Wen Wen Guo, Chun Sheng Yang, Jian Qin Tang, Qian Huang, Shou Xin Feng, Ai Jun Jiang, Xi Feng
Xu, and Guan Jiang. 2017. “Mobile Phone Use and Glioma Risk: A Systematic Review and Meta-Analysis.”
PLoS ONE 12(5):1–13.

47
ANGKA HARAPAN HIDUP DAN PROGNOSIS
6 PADA GLIOMA
Kelangsungan hidup pasien glioma secara keseluruhan masih buruk, kecuali pada
astrositoma pilositik (Burkhard et al., 2003). Kelangsungan hidup glioma bervariasi menurut
histologi, contohnya astrositoma pilositik memiliki angka kelangsungan hidup 10 tahun lebih
dari 90%, sedangkan hanya 5% dari pasien dengan glioblastoma yang bertahan hidup sampai 5
tahun (McNeill, 2016; Ostrom et al., 2013)

Gambar 6.1. Tingkat kelangsungan hidup 1 tahun, 5 tahun, dan 10 tahun pada glioma tertentu. (McNeill, 2016)

Tantangan studi tentang prognosis pada glioma


Mempelajari kelangsungan hidup pasien glioma cukup rumit karena sebagian besar
pasien dengan glioma maligna memiliki rentang waktu hidup yang sangat sempit. Sulit untuk
mengidentifikasi faktor prognostik ketika tidak ada banyak perbedaan dalam waktu bertahan
hidup antara jangka panjang dan jangka pendek.
Faktor yang berkaitan dengan kelangsungan hidup pasien glioma diantaranya adalah:
(Ostrom et al., 2013)
1. Jenis histologis dan grade
2. Usia
3. Luasnya reseksi
4. Lokasi tumor
5. Terapi radiasi
6. Beberapa rejimen kemoterapi

Faktor usia terhadap prognosis glioma


48
Studi pada semua kelompok umur dengan tipe histologis secara umum menunjukkan
peningkatan dalam kelangsungan hidup 3 tahun (3-years survival) pada kelompok usia 15 hingga
49 tahun yang didiagnosis dengan glioma, namun bukan termasuk glioblastoma (De Robles et
al., 2015).
Kelangsungan hidup anak-anak dengan tumor glial yang didiagnosis di Eropa bervariasi,
namun terdapat tren positif dalam probabilitas kelangsungan hidup untuk kasus yang didiagnosis
setelah 1982 dibandingkan dengan sebelum 1981(Desandes et al., 2014).
Pada pasien yang lebih tua, respons terhadap radiasi lebih buruk (Barker et al., 2001).
Faktor yang berkontribusi mungkin terkait dengan frekuensi yang berbeda dari penyimpangan
molekuler atau kromosom di antara tumor dari pasien yang lebih tua dibandingkan dengan yang
dari pasien yang lebih muda. (Ho et al., 2014)

Hubungan tipe histologis dan grade dengan prognosis glioma


Beberapa studi terkait tipe histologi dan prognosis glioma diantaranya adalah:
√ Kelangsungan hidup relatif satu, dua dan lima tahun dari waktu diagnosis untuk glioma
maligna adalah 53,8%, 38,8%, dan 31,7%. (Ranuncolo et al., 2004).
√ Astrositoma pilositik memiliki tingkat kelangsungan hidup 5 tahun tertinggi: semua
pasien astrositoma pilositosis di Zurich, Swiss, bertahan 5 tahun setelah diagnosis dan
93,8% pasien Amerika yang tinggal di daerah tertutupi oleh SIER Registry juga hidup 5
tahun setelah diagnosis (Ranuncolo et al., 2004).
√ Tipe histologi lain dengan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun lebih besar dari 65% yaitu
oligodendroglioma dan ependymoma (Wrensch et al., 2006). Pada anak-anak,
kelangsungan hidup 5 tahun adalah 76% untuk astrositoma dan 57% untuk ependymoma
(Yang et al., 2005). Glioblastoma memiliki tingkat kelangsungan hidup 5 tahun terburuk
yaitu 1,2% di Zurich, Swiss, dan 3,4% dalam data SIER, tanpa perbaikan dalam
kelangsungan hidup setelah 1980-an (Hegi et al., 2005).

Astrositoma maligna, yang terdiri dari astrositoma anaplastic (WHO grade III),
glioblastoma (WHO grade IV) dan gliosarkoma adalah keganaasan sistem saraf pusat primer
yang paling sering terjadi pada orang dewasa. Median waktu survival dari glioblastoma adalah

49
kurang dari 2 tahun, dan glioma anaplastik selama 2 hingga 5 tahun, meskipun telah dilakukan
tatalaksana dan terapi yang optimal. (Winn & Youmann, 2017).
Prognosis glioblastoma sangat buruk. Pada pasien yang tidak diterapi, maka median
waktu survival hanya 3 bulan. Pada kasus yang diterapi dengan optimal, prognosis berkisar 14,6
bulan setelah onset. Rata – rata survival rate 2 tahun adalah 27% dan survival rate 5 tahun adalah
10% (Winn & Youmann, 2017).
Faktor yang mempengaruhi prognosis glioblastoma. Kelangsungan hidup glioblastoma dapat
dikaitkan dengan: (Claus & Black, 2006).
√ Skor Skala Kinerja Karnofsky
√ Tingkat reseksi
√ Lokasi dan resectability
√ Tingkat nekrosis
√ Peningkatan studi pencitraan resonansi magnetik pra operasi
√ Pendekatan terapi
√ Ukuran tumor sebelum dan sesudah operasi
√ Lokasi tumor noncentral (didefinisikan sebagai infiltrasi splenium, ganglia basal,
thalamus, atau otak tengah)
√ Kondisi pasien sebelum terapi radiasi
√ Kadar albumin serum pra operasi

Secara umum, glioma low grade memiliki probabilitas kelangsungan hidup 5 tahun lebih
baik daripada glioma high grade pada anak-anak (76,3% banding 17,8%) dan orang dewasa
(75,0% banding 14,2%). Beberapa studi tentang prognosis glioma low grade diantaranya adalah:
√ Kelangsungan hidup lima tahun untuk glioma low grade supratentorial adalah 59,9%.
(Yang et al., 2005)
√ Kelangsungan hidup yang lebih tinggi terdapat pada perempuan, berkulit putih, usia yang
lebih muda saat didiagnosis, jenis tumor oligodendroglial (Yang et al., 2005).
√ Tingkat kelangsungan hidup rata-rata pada orang dewasa dengan glioma low grade
supratentorial meningkat dari 4,1 tahun (tahun 1970 hingga 1981) menjadi 9,2 tahun

50
(tahun 1982 dan 1993). Peningkatan tersebut terlihat pada setiap subkelompok histologis
(Ranuncolo et al., 2004).

Kelangsungan hidup lima tahun untuk glioma spinal lebih tinggi pada orang dewasa
dengan ependymoma (81,9%) dan lebih rendah pada mereka dengan astrositoma (47,3%)
dibandingkan dengan anak-anak (masing-masing 68,8% dan 59,7%) (Wrensch et al., 2006).

Hubungan karakteristik molekuler terhadap prognosis glioma


P53
Telah dilakukan banyak peneltian yang menilai hubungan p53 dengan prognosis Glioma,
antara lain :
√ Idbaih et al (Idbaih et al., 2007) melaporkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
TP53 72 Arg / Pro dan kelangsungan hidup oligodendroglioma.
√ Jiang et al (Shi et al., 2012) juga melaporkan tidak ada hubungan antara TP53 72 Arg /
Pro dan kelangsungan hidup semua pasien glioma atau pasien GM atau
oligodendroglioma. Namun, di antara 42 pasien glioma yang diobati dengan terapi
ajuvan, pasien dengan genotipe Arg / Pro atau Pro / Pro memiliki kelangsungan hidup
rata-rata yang lebih lama dibandingkan dengan mereka yang memiliki genotipe Arg /
Arg. CHEK2, gen penekan tumor lainnya, telah diperiksa hubungannya dengan
kelangsungan hidup glioma.
√ Claus et al (Claus & Black, 2006) mempelajari CHEK2 rs2017309 A / T di antara kasus
GM, dan menemukan bahwa paisen dengan genotipe AA memiliki kelangsungan hidup
terburuk dibandingkan dengan pasien yang memiliki genotype AT atau TT; Namun,
hubungan ini tidak lagi signifikan setelah disesuaikan dengan faktor prognostik lainnya
termasuk usia, Skor Kinerja Karnofsky, dan perawatan pasca operasi.(Antonelli et al.,
2010)

YKL-40
YKL40 merupakan biomarker prediktif yang baik untuk menilai prognosis pada pasien
glioblastoma. YKL-40 diperkirakan diproduksi oleh makrofag teraktivasi, dan juga
diekspresikan secara berlebihan pada meningitis dan ensefalitis. Ekspresi YKL-40 pada astrosit

51
juga meningkat pada kondisi neuroinflamasi. Temuan tersebut menunjukkan bahwa ekspresi
YKL-40 dapat meningkat ketika glioblastoma terjadi, dan itu dapat menjadi biomarker pada
pasien glioblastoma. Studi sebelumnya juga telah menyarankan bahwa YKL-40 mungkin
memiliki peran penting dalam proliferasi sel dan invasi kanker. YKL-40 terlibat dalam respon
inflamasi, angiogenesis, dan remodelling dari matriks ekstraseluler selama perkembangan kanker
(Qin et al., 2017). Beberapa penelitian mengenai pengaruh ekspresi YKL-40 dan prognosis
glioma:
√ Temuan dalam meta-analisis menunjukkan bahwa ekspresi YKL-40 yang tinggi dikaitkan
dengan kelangsungan hidup secara keseluruhan yang lebih buruk pada pasien
glioblastoma (Qin et al., 2017).
√ Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa YKL-40 terutama diekspresikan oleh sel
glioma, dan itu juga terkait dengan beberapa perubahan molekuler penting dalam jaringan
tumor (Qin et al., 2017).
√ Overekspresi pada pasien glioblastoma dapat dikaitkan dengan stadium lanjut atau invasif
tinggi glioblastoma, yang selanjutnya dapat menyebabkan prognosa yang lebih buruk,
walaupun fungsi pasti YKL-40 pada glioma dan glioblastoma belum diketahui. Hal ini
dapat menjadi fokus penting untuk penelitian selanjutnya .(Antonelli et al., 2010; Qin et
al., 2017) Mutasi IDH1

Isocytrate dehydrogenase 1 (IDH-1)


Isocytrate dehydrogenase 1 (IDH-1) merupakan suatu gen yang mengkode cytosolic
isocitrate dehydrogenase 1 yang ikut berperan dalam kerusakan seluler oksidatif. (Labussiere et
al., 2010) Beberapa studi tentang IDH 1 dan prognosis glioma diantaranya:
√ Terdapat publikasi tentang mutasi IDH1 pada glioblastoma, yang telah menunjukkan
bahwa tumor yang membawa mutasi IDH1 memiliki prognosis yang lebih baik daripada
tumor dengan IDH1 wild type. (Wick et al., 2013) Hal ini berlaku pada seluruh grade
glioma WHO II-IV, termasuk tumor astrocytic dan oligodendroglial.
√ Mutasi IDH1 dikaitkan dengan peningkatan kelangsungan hidup secara keseluruhan,
tetapi tidak merespon terhadap temozolamide setelah terapi radiasi(Van Den Bent et al.,
2010).

52
Mutasi IDH2
Isocytrate dehydrogenase 2 (IDH-2) merupakan gen yang mengkode cytosolic isocitrate
dehydrogenase 2. Pasien dengan glioma yang menyimpan IDH1 / 2 memiliki overall survival
yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pasien yang tidak memiliki mutasi IDH1 / 2.
Adanya mutasi IDH1 / 2 mengurangi mortalitas keseluruhan sebesar 61% dan mortalitas bebas
perkembangan sebesar 58% dibandingkan dengan gen wild type (Van Den Bent et al., 2010).

Ekspresi TLR9
Ekspresi TLR9 diekspresikan secara signifikan pada glioma high grade dibandingkan
pada glioma low grade. Immunoreaktivitas TLR9 menjadi penanda penting dari prognosis yang
lebih buruk (Miyar et al., 2016) Dampak TLR9 pada prognosis penyakit mungkin sangat terkait
dengan jenis kanker.
Pasien dengan ekspresi TLR9 yang lebih tinggi secara signifikan terkait dengan overall
survival (OS) yang lebih buruk daripada pasien dengan ekspresi yang lebih rendah. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa ekspresi TLR9 pada pasien dengan glioblastoma berkorelasi
dengan kelangsungan hidup bebas perkembangan dan kelangsungan hidup multiforme
keseluruhan(Cooper et al., 2011; Leng et al., 2012).

Daftar Pustaka

Antonelli, M., Buttarelli, F. R., Arcella, A., Nobusawa, S., Donofrio, V., Oghaki, H., & Giangaspero, F. (2010).
Prognostic significance of histological grading, p53 status, YKL-40 expression, and IDH1 mutations in
pediatric high-grade gliomas. Journal of Neuro-Oncology, 99(2), 209–215. https://doi.org/10.1007/s11060-
010-0129-5
Barker, F. G., Chang, S. M., Larson, D. A., Sneed, P. K., Wara, W. M., Wilson, C. B., Prados, M. D., Adler, J. R.,
Piepmeier, J. M., Kondziolka, D., & Sawaya, R. (2001). Age and radiation response in glioblastoma
multiforme. Neurosurgery, 49(6), 1288–1298. https://doi.org/10.1097/00006123-200112000-00002
Burkhard, C., Di Patre, P. L., Schüler, D., Schüler, G., Yaşargil, M. G., Yonekawa, Y., Lütolf, U. M., Kleihues, P.,
& Ohgaki, H. (2003). A population-based study of the incidence and survival rates in patients with pilocytic

53
astrocytoma. Journal of Neurosurgery, 98(6), 1170–1174. https://doi.org/10.3171/jns.2003.98.6.1170
Claus, E. B., & Black, P. M. (2006). Survival rates and patterns of care for patients diagnosed with supratentorial
low-grade gliomas: Data from the SEER program, 1973-2001. Cancer, 106(6), 1358–1363.
https://doi.org/10.1002/cncr.21733
Cooper, D. J., Rosenfeld, J. V, Murray, L., Arabi, Y. M., Davies, A. R., D’Urso, P., Kossmann, T., Ponsford, J.,
Seppelt, I., Reilly, P., & Wolfe, R. (2011). Decompressive craniectomy in diffuse traumatic brain injury. The
New England Journal of Medicine, 364(16), 1493–1502. https://doi.org/10.1056/NEJMoa1102077
De Robles, P., Fiest, K. M., Frolkis, A. D., Pringsheim, T., Atta, C., St. Germaine-Smith, C., Day, L., Lam, D., &
Jette, N. (2015). The worldwide incidence and prevalence of primary brain tumors: A systematic review and
meta-analysis. Neuro-Oncology, 17(6), 776–783. https://doi.org/10.1093/neuonc/nou283
Desandes, E., Guissou, S., Chastagner, P., & Lacour, B. (2014). Incidence and survival of children with central
nervous system primitive tumors in the French National Registry of Childhood Solid Tumors. Neuro-
Oncology, 16(7), 975–983. https://doi.org/10.1093/neuonc/not309
Hegi, M. E., Diserens, A. C., Gorlia, T., Hamou, M. F., De Tribolet, N., Weller, M., Kros, J. M., Hainfellner, J. A.,
Mason, W., Mariani, L., Bromberg, J. E. C., Hau, P., Mirimanoff, R. O., Cairncross, J. G., Janzer, R. C., &
Stupp, R. (2005). MGMT gene silencing and benefit from temozolomide in glioblastoma. New England
Journal of Medicine, 352(10), 997–1003. https://doi.org/10.1056/NEJMoa043331
Ho, V. K. Y., Reijneveld, J. C., Enting, R. H., Bienfait, H. P., Robe, P., Baumert, B. G., & Visser, O. (2014).
Changing incidence and improved survival of gliomas. European Journal of Cancer, 50(13), 2309–2318.
https://doi.org/10.1016/j.ejca.2014.05.019
Idbaih, A., Boisselier, B., Marie, Y., El Hallani, S., Sanson, M., Crinière, E., Rodero, M., Carpentier, C., Paris, S.,
Laigle-Donadey, F., Ducray, F., Hoang-Xuan, K., & Delattre, J. Y. (2007). TP53 codon 72 polymorphism,
p53 expression, and 1p/19q status in oligodendroglial tumors. Cancer Genetics and Cytogenetics, 177(2), 103–
107. https://doi.org/10.1016/j.cancergencyto.2007.06.010
Labussiere, M., Sanson, M., Idbaih, A., & Delattre, J. (2010). IDH1 Gene Mutations: A New Paradigm in Glioma
Prognosis and Therapy? . The Oncologist, 15(2), 196–199. https://doi.org/10.1634/theoncologist.2009-0218
Leng, L., Jiang, T., & Zhang, Y. (2012). TLR9 expression is associated with prognosis in patients with glioblastoma
multiforme. Journal of Clinical Neuroscience, 19(1), 75–80. https://doi.org/10.1016/j.jocn.2011.03.037
McNeill, K. A. (2016). Epidemiology of Brain Tumors. Neurologic Clinics, 34(4), 981–998.
https://doi.org/10.1016/j.ncl.2016.06.014
Miyar, A., Habibi, I., Ebrahimi, A., Mansourpour, D., Mokarizadeh, A., Rajabi, A., Farshgar, R., Eshaghzadeh, M.,
Zamani-Ahmadmahmudi, M., & Nodushan, S. M. H. T. (2016). Predictive and prognostic value of TLR9 and
NFKBIA gene expression as potential biomarkers for human glioma diagnosis. Journal of the Neurological
Sciences, 368, 314–317. https://doi.org/10.1016/j.jns.2016.07.046
Ostrom, Q. T., Gittleman, H., Farah, P., Ondracek, A., Chen, Y., Wolinsky, Y., Stroup, N. E., Kruchko, C., &
Barnholtz-Sloan, J. S. (2013). CBTRUS statistical report: Primary brain and central nervous system tumors
diagnosed in the United States in 2006-2010. Neuro-Oncology, 15(SUPPL.2).
https://doi.org/10.1093/neuonc/not151
Qin, G., Li, X., Chen, Z., Liao, G., Su, Y., Chen, Y., & Zhang, W. (2017). Prognostic Value of YKL-40 in Patients
with Glioblastoma: a Systematic Review and Meta-analysis. Molecular Neurobiology, 54(5), 3264–3270.
https://doi.org/10.1007/s12035-016-9878-2
Ranuncolo, S. M., Varela, M., Morandi, A., Lastiri, J., Christiansen, S., Bal de Kier Joffé, E., Pallotta, M. G., &
Puricelli, L. I. (2004). Prognostic value of Mdm2, p53 and p16 in patients with astrocytomas. Journal of
Neuro-Oncology, 68(2), 113–121. https://doi.org/10.1023/B:NEON.0000027741.19213.99
Shi, M., Huang, R., Pei, C., Jia, X., Jiang, C., & Ren, H. (2012). TP53 codon 72 polymorphism and glioma risk: A
meta-analysis. Oncology Letters, 3(3), 599–606. https://doi.org/10.3892/ol.2011.521
Van Den Bent, M. J., Dubbink, H. J., Marie, Y., Brandes, A. A., Taphoorn, M. J. B., Wesseling, P., Frenay, M.,
Tijssen, C. C., Lacombe, D., Idbaih, A., Van Marion, R., Kros, J. M., Dinjens, W. N. M., Gorlia, T., &
Sanson, M. (2010). IDH1 and IDH2 mutations are prognostic but not predictive for outcome in anaplastic
oligodendroglial tumors: A report of the European Organization for Research and Treatment of Cancer Brain
Tumor Group. Clinical Cancer Research, 16(5), 1597–1604. https://doi.org/10.1158/1078-0432.CCR-09-2902
Wick, W., Meisner, C., Hentschel, B., Platten, M., Schilling, A., Wiestler, B., Sabel, M. C., Koeppen, S., Ketter, R.,
Weiler, M., Tabatabai, G., Von Deimling, A., Gramatzki, D., Westphal, M., Schackert, G., Loeffler, M.,
Simon, M., Reifenberger, G., & Weller, M. (2013). Prognostic or predictive value of MGMT promoter
methylation in gliomas depends on IDH1 mutation. Neurology, 81(17), 1515–1522.
https://doi.org/10.1212/WNL.0b013e3182a95680

54
Winn, H., & Youmann. (2017). Youmans & Winn Neurological Surgery (7th ed.). Elsevier.
Wrensch, M., Wiencke, J. K., Wiemels, J., Miike, R., Patoka, J., Moghadassi, M., McMillan, A., Kelsey, K. T.,
Aldape, K., Lamborn, K. R., Parsa, A. T., Sison, J. D., & Prados, M. D. (2006). Serum IgE, tumor epidermal
growth factor receptor expression, and inherited polymorphisms associated with glioma survival. Cancer
Research, 66(8), 4531–4541. https://doi.org/10.1158/0008-5472.CAN-05-4032
Yang, P., Kollmeyer, T. M., Buckner, K., Bamlet, W., Ballman, K. V., & Jenkins, R. B. (2005).
Polymorphisms in GLTSCR1 and ERCC2 are associated with the development of oligodendrogliomas. Cancer,
103(11), 2363–2372. https://doi.org/10.1002/cncr.21028

55

Anda mungkin juga menyukai