Anda di halaman 1dari 3

MENYUSUI DALAM KONTEKS BUDAYA

Secara umum budaya dapat diartikan sebagai pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai dan
perilaku yang ditransmisikan secara sosial dan diterima bersama oleh masyarakat.
Kebudayaan memberikan persepsi kepada manusia tentang kondisi sehat dan saki, serta
menetapkan cara-cara bagi manusia untuk merespons penyakit dan mencari upaya
penyembuhan

Aspek budaya juga berpengaruh dalam menyusui dan pemberian ASI eksklusif.
Berkembangnya informasi yang tidak benar dan kurang tepat di masyarakat, ditambah lagi
adanya mitos menyusui dapat membantu ibu kurang percaya diri serta menurun
semangatnya untuk menyusui. Mitos-mitos ini selalu diajarkan turun-menurun sehingga
menjadi semacam budaya atau adat istiadat

Mitos-mitos tetang menyusui, di antaranya adalah mitos untuk tidak langsung memberika
ASI pada bayi yang baru lahir. Banyak ibu yang baru melahirkan di daerah pedesaan
memeberikan makanan padat berupa nasi, pisang, dan bubur pada bayi yang baru berusia
2 jam. Menurut pendapat masyarakat dan dukun bayi, hal ini dilakukan untuk membuat usus
bayi kuat dan bayi cepat gemuk. Pada suku Sasak di lombok, ibu yang yang baru
melahirkan memberikan nasi pakpak(nasi yang telah dikunyah ibunya terlebih dahulu)
kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang
keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Pada masyarakat kerinci di
sumatera barat, pada usia sebulan bayi sudah di beri bubur tepung, bubur nasi, pisang dll.

Selain itu, dibeberapa masyarakat tradisional, kolustrum, yaitu ASI yang pertama keluar
dianggap sebagai susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya
yang kekuning-kuningan, ada juga mitos bahwa kolustrum dapat menyebabkan diare,
muntah dan masuk angin pada bayi. Padahal, dari segi kesehatan, kolustrum sangat
berperan dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi sehingga sayang sekali bila di
buang.

Pola makan ibu juga sangat menentukan jumlah ASI yang dikeluarkan. Dianjurkan untuk
mengkomsumsi maknanan dengan protein tinggi sehingga ASI yang dikeluarkan berkualitas
kandungan isinya. Penelitian yang dilakukan oleh Aswita dlam Dyah (2008), ditemukan
adanya tabu makan ikan pada ibu menyusui di makassar. Padahal ikan mengandung protein
tinggi, akibatnya ASI yang dikeluarkan dapat menjadi kurang berkualitas isinya.
Budaya yang mendukung akan memberikan persepsi salah pada ibu tentang manfaat
memberikan ASI eksklusif maupun upaya-upayayang harus dilakukan agar ASI yang
dikeluarkan berkualitas dan mencukupi untuk bayi .

PENGASUHAN ANAK DALAM KONTEKS BUDAYA

Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat, akan tetapi mempunyai pengaruh yang
besar bagi bangsa dan negara. Dari keluarga akan terlahir generasi penerus yang akan menentukan
nasib bangsa. Apabila keluarga dapat menjalankan fungsi dengan baik maka dimungkinkan tumbuh
generasi yang berkualitas dan dapat diandalkan yang akan menjadi pilar-pilar kemajuan bangsa.
Menurut Mead (1975 dalam Sarwono, 2014:45) menyatakan studi tentang pengasuhan orangtua
paling penting yaitu generasi dari budaya. Dalam proses sosialisasi budaya, terdapat agen-agen yang
berperan, yaitu orangtua, keluarga, teman, dan media massa. Jika dilihat lebih dalam, agen-agen ini
mewakili lingkungan budaya individu dalam perkembangan anak usia dini.Hal ini, konteks budaya
masyarakat berpotensi dapat membantu untuk memprediksi perbedaan gaya pengasuhan yang
mendominasi dalam masyarakat itu dan untuk memahami mengapa perbedaan ini terjadi.

Menurut Maccoby (1984 dalam Santrock, 2002:164) Memasuki masa anak usia dini, perkembangan
anak terlihat sedemikian cepatnya. Umumnya, orangtua akan membantu anak untuk tumbuh
menjadi anak yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Batasan usia untuk anak usia dini yaitu
2-5tahun dimana anak-anak berubah ketika anak tumbuh dari masa bayi ke masa kanak-kanak.
Dalam hal ini anak-anak memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda. Orangtua akan
menyesuaikan diri terhadap perubahan perkembangan anak. Baik secara langsung maupun tidak
langsung orangtua akan melakukan pengasuhan sesuai dengan budaya dimana mereka tinggal atau
budaya keluarga secara turun temurun. Dalamperkembangan anak pada budaya Jawa memiliki
gambaran yang sangat unik dengan cara-cara yang sangat lekat pada budaya njawi dalam melakukan
pengasuhan kepada anak usia dini.

Pengasuhan orangtua dalam lintas budaya menurut Steinberg,dkk (1997 dalam Sarwono, 2014:46)
terutama pada budaya Jawa, anak dituntut menjadi anak yang penurut dan taat kepada orangtua.
Dalam hal ini, pengasuhan orangtua dalam budaya Jawa merupakan pengasuhan orangtua yang
selalu berusaha membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku dan tindakan anak agar sesuai
dengan aturan standar. Dalam budaya Jawa, anak dituntut harus menaati peraturan yang diberikan
oleh orangtua dan orangtua juga membentuk anak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
orangtua.
Adanya perbedaan penggunaan bahasa antara anak dengan orangtua dan teman atau orang lain,
mengajarkan pada anak “nuwun sewu” atau permisi dengan membungkukan badan jika ingin lewat,
selain itu orangtua percaya dengan adanya mitos sepeti menakuti anak jangan bermain terlalu
malam nanti diambil setan. Orangtua juga menuntut anak untuk menaati perintah dan aturan yang
diberikan oleh orangtua. Tuntutan yang diberikan orangtua pada anak yang lain adalah mengenal
lebih banyak lagi adat-istiadat, tatanan, dan sopan santun yang mengatur hubungan dalam
bermasyarakat. Tuntutan yang diberikan pada anak ini membuat pengasuhan yang dilakukan oleh
orangtua juga berbeda dengan budaya lainnya.

Nilai-nilai dan cita-cita suatu budaya diturunkan ke generasi berikutnya melalui praktik pengasuhan
anak. Oleh karena itu, anak-anak dalam konteks budaya yang berbeda dapat dikembangkan oleh
orang tua mereka untuk berperilaku berbeda. Dalam hal ini, perlu untuk mempertimbangkan
pentingnya budaya ketika mengevaluasi perilaku pengasuhan anak.

Jauh lebih tepat untuk memeriksa gaya pengasuhan dan artinya dalam konteks budaya. Budaya
berteori untuk memberikan makna yang berbeda terhadap perilaku (misalnya, pengasuhan anak)
dan memiliki efek yang berbeda pada anak-anak dan remaja di berbagai budaya yang berbeda".
Penelitian menyebutkan bahwa anak-anak akan menerima perilaku pengasuhan yang konsisten
dengan nilai-nilai budaya.

Jadi, budaya dapat mempengaruhi gaya pengasuhan orang tua. Tapi kembali lagi kepada orang tua.
Apakah orang tua bersedia menurunkan budaya-budaya yang telah nenek moyang turunkan,
ataukah lebih memilih pengasuhan moderen yang sama sekali tidak melibatkan budaya dalam
pengasuhan terhadap anak.

Puranamasi, Dyah umiyarni. 2010. ASPEK SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI DALAM PELAKSANAAN
PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI. Jurnal humanis. Volume 4 No 2 November 2010.

Anda mungkin juga menyukai