Anda di halaman 1dari 23

MANAJEMEN DAN KESEHATAN SAPI BALI

PENYAKIT BLOAT DAN BALI ZIEKTE

DISUSUN OLEH :
Yeni Ratna Sari (1809511042)
Bravanasta Glory Rahmadyasti Utomo (1809511047)
Nur Baiti (1809511052)
Ahmad Rohmadhon Holifatullah (1809511064)
Lona Milena (1809511118)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas paper mata kuliah Manajemen dan
Kesehatan Sapi Bali yang berjudul “Penyakit Bloat dan Bali Ziekte” ini tepat pada waktunya.
Meskipun penulis menyadari masih banyak terdapat kesalahan didalamnya.
Paper ini bertujuan membantu mahasiswa untuk lebih mendalami dan mengetahui
tentang pentingnya mempelajari penyakit bloat dan bali ziekte. Penulis sangat berharap dengan
adanya paper ini dapat memberikan manfaat dan edukasi mengenai manajemen kesehatan sapi
bali berupa penanganan pada penyakit bloat dan bali ziekte. Namun, tidak dapat dipungkiri
bahwa dalam pembuatan paper ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar di kemudian hari paper ini
dapat penulis perbaiki dan menjadi lebih baik lagi.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan
terima kasih kepada dosen mata kuliah manajemen dan kesehatan sapi bali yang selalu
membantu penulis dalam melakukan kegiatan perkuliahan dikampus.

Denpasar, 4 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................2
1.4 Manfaat..............................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4
2.1 Penyakit Bloat pada Sapi Bali............................................................................4
2.1.1 Definisi Bloat............................................................................................4
2.1.2 Patogenesa Bloat.......................................................................................5
2.1.3 Gejala Klinis Bloat....................................................................................7
2.1.4 Perubahan Patologi..................................................................................8
2.2.5 Diagnosa Penyakit Bloat...........................................................................9
2.1.6 Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Bloat............................................9
2.2 Penyakit Bali Ziekte.........................…………………………………………10
2.2.1 Definisi Bali Ziekte.................................................................................10
2.2.2 Patogenesa Bali Ziekte............................................................................11
2.2.3 Gejala Klinis Bali Ziekte........................................................................13
2.2.4 Diagnosa Penyakit Bali Ziekte................................................................13
2.2.5 Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Bali Ziekte.................................14
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................16
3.1 Kesimpulan...............................................................................................16
3.2 Saran.........................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................17

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1..................................................................................................................5
Gambar 2..................................................................................................................8
Gambar 3................................................................................................................11
Gambar 4................................................................................................................13

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1         LATAR BELAKANG
Bloat atau kembung rumen adalah gangguan sistemik non-infeksius yang
mengakibatkan gangguan pada sistem pencernaan ruminansia (Munda et al., 2016).
Bloat dapat diklasifikasikan menjadi bloat primer (frothy/wet bloat) yang berbentuk
busa bersifat persisten yang bercampur dengan isi rumen dan bloat sekunder/timpani
bloat (free gas/dry bloat) yang berbentuk gas bebas yang terpisah dari ingesta.
Kejadian bloat di Indonesia cukup tinggi, tetapi tidak pernah ada data yang
terdokumentasikan dengan baik. Gejala klinis yang sering teramati adalah adanya
pembesaran atau distensi rumen bagian kiri, stress dan dispnu. Selain kematian, bloat
juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi seperti biaya perubahan
strategi manajemen pakan, tindakan pencegahan dan pengobatan. Kejadian bloat
dapat dicegah dengan berbagai metode mulai dari pencegahan melalui manipulasi
pakan sampai dengan pengobatan.
Sapi bali merupakan sapi khas Indonesia dengan beberapa keunggulan
diantaranya adalah tahan terhadap cuaca panas dibandingkan dengan sapi tropis dan
subtropics lainnya. Selain itu, sapi bali juga memiliki angka fertilitas yang tinggi
yaitu mencapai 83% dibanding sapi-sapi jenis lainnya. Sapi Bali juga memiliki
keungguan dengan memiliki prosentase karkas tertinggi yaitu 56%, sementara Sapi
Ongole memiliki karkas sekitar 45% dan Sapi Madura memilik berat karkas 48% atau
dengan kata lain sapi bali memiliki keunggulan dibanding-banding sapi lainnya
sehingga berpotesi untuk menjadi komoditas ternak potong unggulan (Made, 2013).
Bali ziekte merupakan penyakit yang secara khas menyerang sapi bali dengan
menunjukkan gejala klinis yaitu terjadinya dermatitis pada kulit sapi bali hingga lesi
melepuh. Kondisi pulau Bali yang panas dengan kontur tanah yang kering
menyebabkan sapi bali sulit untuk mendapatkan hijauan yang segar, sehingga sapi
bali cenderung digembalakan dan memakan seadanya hijauan terutama tumbuhan
perdu (Made, 2013).

1
1.2         RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa pengertian penyakit bloat pada sapi bali?
1.2.2 Bagaimana patogenesa dari penyakit bloat ?
1.2.3 Bagaimana gejala klinis dari penyakit bloat ?
1.2.4 Bagaimana diagnosis dari penyakit bloat ?
1.2.5 Bagaimana pencegahan dan pengobatan bloat dapat dilakukan ?
1.2.6 Bagaimana Perubahan Patologi penyakit Blot?
1.2.7 Apa perngertian penyakit Bali Ziekte pada sapi bali?
1.2.8 Bagaimana patogenesa dari penyakit Bali Ziekte?
1.2.9 Bagaimana gejala klinis dari penyakit Bali Ziekte?
1.2.10 Bagaimana diagnosa dari penyakit Bali Ziekte?
1.2.11 Bagaimana pencegahan dan pengobatan Bali Ziekte yang dapat dilakukan?

1.3         TUJUAN


1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari penyakit bloat pada sapi.
1.3.2 Untuk mengetahui patogenesa dari penyakit bloat.
1.3.3 Untuk mengetahui gejala klinis dari penyakit bloat.
1.3.4 Untuk mengetahui perubahan patologi dari penyakit Blot.
1.3.5 Untuk mengetahui diagnosis dari penyakit bloat.
1.3.6 Untuk mengetahui pencegahan dan pengobatan dari penyakit bloat.
1.3.7 Untuk mengetahui definisi dari penyakit Bali Ziekte.
1.3.8 Untuk mengatahui patogenesa dari penyakit Bali Ziekte.
1.3.9 Untuk mengetahui gejala klinis dari penyakit Bali Ziekte.
1.3.10 Untuk mengetahui diagnosa dari penyakit Bali Ziekte.
1.3.11 Untuk mengetahui pencegahan dan pengobatan dari penyakit Bali Ziekte.

2
1.4 MANFAAT
Adapun manfaat dari paper ini adalah untuk memenuhi tugas Manajemen dan
Kesehatan Sapi Bali, serta menambah literatur mengenai “Penyakit Bloat dan Bali
Ziekte”. Selain itu paper ini juga bermanfaat untuk menambah wawasan bagi
mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENYAKIT BLOAT PADA SAPI
2.1.1. Definisi Penyakit Bloat
Bloat atau kembung rumen adalah gangguan pada saluran pencernaan
ruminansia yang disebabkan oleh retensi gas atau penyimpangan pengeluaran gas
dari rumen secara normal. Menurut Merck Veterinary Manual (2006), kembung
rumen didefinisikan sebagai pembesaran abdomen karena akumulasi berlebihan dari
gas yang terperangkap dalam rumino-retikulum. Bloat dapat diklasifikasikan
menjadi bloat primer (frothy/wet bloat) yang berbentuk busa bersifat persisten yang
bercampur dengan isi rumen dan bloat sekunder/timpani bloat (free gas/dry bloat)
yang berbentuk gas bebas yang terpisah dari ingesta (Rasby et al., 2010). Namun,
Irsik (2012) mengklasifikasikan bloat secara lebih rinci menjadi 3 yaitu (1) frothy
bloat disebabkan oleh pakan yang mengarah ke pembentukan busa yang stabil di
dalam rumen (2) free gas bloat disebabkan oleh pakan yang menyebabkan
peningkatan produksi gas dan penurunan pH rumen secara bersamaan (3) free gas
bloat karena kegagalan eruktasi akumulasi gas dari penyebab ekstraruminal seperti
obstruksi esofagus.
Pada sapi sehat, sekitar 30 sampai 50 liter gas dihasilkan setiap jam sebagai
hasil fermentasi mikroba dari pakan yang terkonsumsi dan terakumulasi di bagian
atas rumen. Perubahan dalam metode pemberian pakan yang semakin modern
mengakibatkan peningkatan kejadian bloat pada ruminansia. Penyebab paling
umum dari kejadian bloat primer pada ternak ruminansia adalah konsumsi pakan
leguminosa dan biji-bijian. Kembung terjadi ketika mekanisme eruktasi terganggu
atau terhambat dan laju produksi gas melebihi kemampuan ruminansia untuk
mengeluar-kannya. Gangguan mekanisme eruktasi tersebut akan mengakibatkan
volume gas yang diproduksi oleh rumen berlebihan sehingga kejadian bloat dapat
berkembang dengan sangat cepat.

4
2.1.2. PATOGENESA PENYAKIT BLOAT PADA SAPI

Gambar 1 : Bagan patogenesa penyakit bloat

5
Pemberian makanan dengan ukuran partikel yang sangat halus/konsentrat
tinggi/pakan kering tinggi mengakibatkan kecepatan pencernaan meningkat hingga
kondisi rumen berubah menjadi lebih asam dan menyebabkan kematian mikroba.
Mikroba yang mati tersebut mendorong peningkatan viskositas isi rumen sehingga
Gas [CO2 dan CH4] yang terbentuk dalam rumen terperangkap dalam cairan rumen
dalam bentuk emulsi dengan ukuran diameter buih atau gelembung sekitar 1 mm.
Rumen berkontraksi lebih kuat hingga isi rumen akan menumpuk mengisi rongga
rumen yang mengakibatkan rumen terdesak ke dada dan tekanan rumen terganggu
sehingga menghambat konstraksi rumen [atoni rumen] yang menyebabkan ujung
syaraf yang mengendalikan pembukaan esophagus terhambat akibat terjepit dan
didukung dengan hewan susah eruktasi akibatnya hewan sulit bernafas dan dapat
menyebabkan kematian.
a. Bloat Primer

Kejadian kembung rumen pada sapi yang bersifat primer kebanyakan terdapat
pada sapi-sapi yang digembalakan di padangan yang ditanami legum. Kondisi
lingkungan yang dapat mempengaruhi tersebut antara lain adalah temperatur
lingkungan, radiasi sinar matahari dan embun. Pada umumnya karena kondisi legum
akan terbentuk kembung rumen yang disertai oleh pembentukan busa, tanpa disertai
oleh gejala tonus rumen. Pada sapi-sapi yang dipelihara di kandang, kembung primer
yang terjadi biasanya disebabkan oleh gangguan eruktasi, yang hal tersebut mungkin
disebabkan oleh adanya gangguan di dalam kerongkongan atau alat tubuh yang lain.
Kebanyakan kembung rumen yang terjadi biasanya disebabkan oleh adanya gangguan
di dalam kerongkongan atau alat tubuh yang lain. Kebanyakan kembung rumen yang
terjadi disertai dengan hilangnya tonus rumen (atonia rumen).

Sebagai reaksi tubuh untuk membebaskan gas yang tertimbun di dalam rumen,
rumen akan berkontraksi lebih kuat serta lebih sering dari normalnya. Karena
kecepatan pembentukan gas usaha membebaskannya tidak akan segera berhasil,
sebaliknya kekuatan berkontraksi dari rumen akan menurun, dan bahkan lama-
kelamaan akan hilang. Juga kenaikan frekuensi gerak rumen pada awal pembentukan

6
gas akan mempercepat proses pencampuran gas dengan ingesta di dalam rumen,
hingga akhirnya gas akan terperangkap di dalam ingesta sehingga membentuk
gelembung-gelembung kecil atau busa. Dengan makin banyaknya gas yang terbentuk,
volume rumen juga akan meningkat. Pendesakan rumen ke arah dada menyebabkan
penderita mengalami kesulitan dalam bernafas, hingga pernafasannya jadi frekuen,
dangkal, dan bersifat torakal.

b. Bloat Sekunder

Bloat sekunder (free gas/dry bloat) memiliki frekuensi kejadian lebih sedikit
jika dibandingkan dengan bloat primer. Bloat sekunder biasanya terjadi karena hewan
tidak mampu mengeluarkan gas bebas dalam rumen dan pada umumnya terjadi sangat
cepat sehingga penanganan sering terlambat. Pada bloat sekunder cairan rumen tidak
mengandung busa dan sedikit atau juga tidak terdapat busa pada rumen bagian depan
sehingga kemungkinan ada penyebab lain yang menghambat eruktasi gas. Penyebab
ketidakmampuan mengeluarkan gas tersebut seringkali sulit atau bahkan tidak
ditemukan, namun demikian, kondisi tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh
obstruksi parsial akibat benda asing, abses ataupun tumor pada esofagus atau adanya
gangguan motilitas rumino retikuler. Pem-bentukan busa yang stabil dalam rumen
dapat menyelimuti kardia rumen sehingga menghambat eruktasi gas. Frekuensi
kejadian bloat sekunder pada hewan dewasa lebih rendah dan lebih sering bersifat
akut karena gangguan pada rumen hewan dewasa cenderung lebih cepat dan parah

2.1.3. GEJALA KLINIS PENYAKIT BLOAT PADA SAPI


Pada tahap awal kejadian bloat, fossa paralumbar sebelah kiri menunjukkan
distensi ringan dan bagian abdomen mengalami kembung. Saat proses kembung
berlangsung dan terjadi peningkatan tekanan intra abdominal maka distensi di fosa
paralumbar kiri menjadi lebih jelas dan ada kemungkinan terjadi penonjolan
rektum. Pada kondisi bloat, baik bentuk primer maupun sekunder distensi dari
rumen tersebut akan mengakibatkan tekanan pada diafragma rongga dada maupun
abdomen sehingga ternak akan sulit bernafas. Keadaan tersebut akan membuat
frekuensi pernafasan meningkat dan menjadi dangkal serta memaksa hewan

7
bernafas melalui mulut. Gejala klinis lain yang muncul adalah penurunan atau
hilangnya nafsu makan dan jika tidak tertangani dengan depat akan mengakibatkan
kematian.

Gambar 2 : Gejala Klinis Penyakit bloat

2.1.4. PERUBAHAN PATOLOGI


Pada umumnya dalam inspeksi terhadap bangkai hewan yang menderita
kembung rumen akan ditemukan peubahan-perubahan berikut. Bangkai hewan biasa
dapat ditemukan dalam keadaan terbaring dengan badan sebelah kanan di bawah,
dan dinding perut tampak menggembung. Mulut biasanya terbuka dengan lidah
yang dijulurkan. Pemeriksaan atas selaput lendir superfisial, terutama pada
konjungtiva akan terlihat adanya vasa injeksi. Setelah tubuh dibuka akan terlihat
adanya tanda-tanda terjadinya shock, yang terlihat dari adanya bendungan pada
pembuluh darah perifer. Perdarahan titik (petechiae), pada jaringan ditemukan pada
kelenjar limfe di daerah leher dan kepala, epikard, dan pada saluran pencernaan
makanan bagian depan. Paru-paru terlihat mengalami kompresi. Pada kerongkongan
di daerah leher tampak adanya kongesti dan perdarahan.
Rumen yang nampak menggembung setelah dibuka menunjukkan perubahan-
perubahan sebagai berikut. Selaput lendir berwarna pucat, dengan perdarahan titik
di berbagai tempat. Mungkin karena kurangnya darah di tempat tersebut, selaput
lendir rumen menglami degenerasi, hingga mudah dikelupas dari lapisan di
bawahnya. Ingesta yang terdapat di dalam rumen bersifat setengah padat, dengan

8
cairan yang cukup, dan mungkin busa sudah tidak dapat ditemukan.Selain tanda-
tanda shock, jaringan lainnya tidak banyak mengalami perubahan. Meskipun tidak
mengalami perubahan patologis yang berarti, saat dibuka jantung tidak berisi darah.
Hati dan ginjal mungkin tampak pucat karena darah lebih banyak terdapat di daerah
perifer.
2.1.5. DIAGNOSA PENYAKIT BLOAT
Diagnosa dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis yang ditunjukkan oleh
ternak. Gejala klinis dapat meliputi abdomen yang terlihat kembung (membesar),
sesak napas, dan penurunan atau hilangnya nafsu makan.
Dapat dilakukan pemeriksaan abdomen (Inspeksi, Auskultasi, Palpasi, Perkusi).
Pada pemeriksaan abodmen yang pertama dilakukan adalah inspeksi dengan
mengamati perubahan pada bagian abodmen. Adanya pembesaran abdomen sebelah
kiri adalah hal yang paling mudah diamati dan terasa lebih keras. Selanjutnya
dilakukan auskultasi, dengan cara menekan stetoskop pada bagian fossa
paralumbalis. Pada ruminansia penderita saat dilakukan auskultasi tidak terdengar
adanya kontraksi dari rumen ataupun suara gurgling seperti halnya ruminansia
normal. Palpasi dengan cara menekan kepalan tangan ke daerah fossa paralumbalis.
Saat ditekan inilah akan terasa bahwa abdomen penderita terasa sangat keras dan
tegang yang disebabkan penimbunan gas pada bagian rumennya. Hitung frekuensi
pergerakan/motilitas rumen dan tonus rumen. Pada ruminansias penderita, motilitas
rumen dan tonus rumennya akan mengalami penurunan.
Selain itu juga dapat dilakukan pemasukkan stomach tube ke dalam rumen. Jika
stomach tube sudah dimasukkan ke dalam rumen dan yang keluar adalah isi rumen
dengan konsistensi berbusa makan bisa dipastikan bahwa hewan tersebut menderita
bloat.
2.2.5 PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
Berbagai macam metode untuk pencegahan bloat telah banyak diteliti dan
diaplikasikan di lapangan. Metode penggembalaan untuk mencegah kejadian bloat
yang paling umum adalah pengelolaan padang rumput disertai kontrol dalam
penggembalaan, pemberian suplemen makanan ringan, dan pemberian agen

9
antibakteri dan anti pembusaan. Dokter hewan di Kanada menggunakan
polyoxypropylene glycol surfactant polymer (PPG) atau campuran alcohol
ethoxylate dengan pluronic detergents yang terlarut dalam air untuk pencegahan
bloat. Sebagian besar praktisi menyatakan bahwa pemberian simethicone sebagai
anti pembentukan busa merupakan metode yang efektif untuk mencegah bloat
primer. Penggunaan antibiotika untuk pencegahan bloat juga telah diteliti dan
diterapkan. Antibiotika seperti telah digunakan aureomycin, terramycin, bacitracin,
streptomycin, dan penicillin, untuk pencegahan bloat. Selain itu hijauan yang
diberikan hendaknya dilayukan terlebih dahulu , diberi pakan dengan serat kasar 10
– 15% 3. Ternak jangan digembalakan terlalu pagi ketika rumput masih basah dan
hindari memberi ternak dengan rumut atau daun – daun muda. Selama musim hujan
sebaiknya ternak diberi pakan kasar sebelum dilepas di padang penggembalaan
yang basah.
Pendekatan terapi bloat bergantung pada kondisi di mana bloat terjadi,
bentuk bloat (primer atau sekunder) dan apakah kejadian tersebut mengancam
nyawa ternak. Ada berbagai metode telah digunakan untuk terapi bloat seperti
penggunaan senyawa oral atau stomach tube yang pada prinsipnya digunakan untuk
menghilangkan akumulasi gas yang terjadi. Prinsip pengobatan bloat pada
ruminansia diawali dengan upaya menghentikan proses pembentukan gas dan
membantu mengeliminasi gas tersebut. Jika upaya tersebut kurang berhasil maka
dapat dipergunakan trokar dan kanul yang digunakan untuk menusuk rumen dalam
usaha mengeluarkan gas. Pengobatan harus dilakukan secepat mungkin terutama
pada kasus bloat akut dan penggunaan trokar atau kanul merupakan upaya terakhir
karena dapat mencegah asfiksia atau perdarahan internal serta kematian ternak.
Secara medis dapat diberikan anti bloat (bahan aktif: dimethicone, wonder
athympanicum, bakazha oil, sintetik surfaktan (poloxalene), Alkohol ethoxylate,
minyak tumbuhan (kelapa, sayur, kacang), minyak mineral (parapin), minyak jaraki
dan cuka hangat serta minuman bersoda.
2.2 PENYAKIT BALI ZIEKTE
2.2.1. Definisi Bali Ziekte

10
Bali Ziekte merupakan penyakit yang menyerang Sapi Bali. Penyakit Bali
ziekte pertama kali ditemukan pada tahun 1925 Subberink dan LeCultre di beberapa
tempat di Bali, yang kemudian juga ditemukan di Sulawesi, Nusa Tenggara Timur
dan Nusa Tenggara Barat. Tetapi sampai saat ini penyebab dari penyakit Bali Ziekte
yang terjadi di Indonesia masih belum diketahui secara pasti. Walaupun Sobari
(1983) den Dharma dkk. Penyakit Baliziekte biasa ditemukan pada musim kemarau
pada Sapi Bali, penyebab penyakit ini adalah suatu reaksi hipersensitivitas
fotosensitisasi yang disebabkan oleh tanaman-tanaman: Lantana camara dan
medicago sp. Tanaman-tanaman ini sangat mudah tumbuh dan mampubertahan
dalam situasi kering sehingga terkadang menjadi pilihan makanan oleh ternak sapi
yang dipelihara dengan pola penggembalaan.Lantana camara mengandung
Lantadene-A yang bersifat meracuni hati (hepatotoksik)sehingga hati akan
melepaskan beberapa zat yang akan menimbulkan reaksi peningkatankepekaan kulit
terhadap sinar matahari fotosensitisasi.
2.2.2. PATOGENESA

11
Gambar 3 : Bagan Patogenesa penyakit Bali ziekte
Tanaman lantana atau tembelakan merupakan tanaman yang mengandung
Lantadane-A yang bersifat hepatotoksik dan dapat menjadi agen fotosensitisasi
apabila berada pada sistem darah perifer. Saat agen fotosensitisasi berupa lantedene A
berada pada sistem darah perifer dan disertai dengan ultra violet dari sinar matahari
yang langsung kontak ke kulit terutama pada daerah yang kurang terlindung rambut
seperti mata, vulva, telinga, dan hidung. Pada daerah tersebut apabila terpapar dengan
sinar matahari secara langsung akan menyebabkan kerusakan dari struktur seluler.
Sehingga akan muncul lesi dermatitis pada daerah tersebut pada kasus akut
sedangkan pada kasus kronis akan menimbulkan lesi hingg kulit mengelupas (Bahri,
1994).

Lantana camara yang mengandung Lantadane-A yang bersifat hepatotoksik,


keracunan lantana ini menimbulkan intrahepatic choeleostatsis sehingga
phylloerythrin yang seharusnya dikeluarkan di saluran empedu menjadi tertahan,

12
sehingga menimbulkan photosensitisasi dan kulit menjadi semakin peka terhadap
sinar matahari. Phylloerythrin merupakan agen fotodinamik yang merupakan
metabolit normal hasil fermentasi anaerobik dari chlorophyl di dalam rumen dan
harus segera dikeluarkan dari tubuh melalui empede dalam keadaan normal. Namun
dalam kasus konsumsi lantadene A dari tanaman lantana atau tembelakan dapat
menyebabkan intrahepatic choeleostatis sehingga proses phyloelletrin yang
seharusnya dikeluarkan dari saluran empedu menjadi tertahan dan masuk ke
peredaran darah sehingga jumlahnya meningkat di dalam darah perifer. Kadar
fotosensitisasi untuk phylloerythrin pada hewan adalah sebesar 0,1 ug/ml sudah
dapat menimbulkan fotosensitisasi pada hewan dengan ditandai kerusakan pada
organ hati dan menyebabkan fototoksisitas pada kulit (Bahri, 1994)

2.2.3. GEJALA KLINIS


Pada awalnya, sapi yang mengalami penyakit bali ziekte mengalami demam,
pucat (anemik)mata berlendir dan hidung mengalami peradangan. Peradangan pada
selaput lendir akan berlanjut menjadi luka-luka dangkal yang tertutup oleh
keropeng. kerusakan kulit berupa eksim akan mengering, kemudian mengelupas
menyerupai kerupuk dan akhirnya terlepas meninggalkan luka. Umumnya tingkat
mortalitas penyakit ini rendah, kerugian timbul karena laju pertambahan bobot
badan yang sangat rendah, kematian akan timbul bila terjadi infeksi general(sepsis)
akibat adanya infeksi sekunder pada luka-luka terbuka. Perkembangan luka radang
biasanya akan diikuti oleh timbulnya larva lalat yang bertelur pada luka (myasis),
keadaan ini akan semakin memperparah kondisi sapi yang sakit. Pada tindakan

13
nekropsi ditemukan adanya kekuningan di seluruh organ tubuh bagian dalam. Hal
ini dikarenakan sifat toksin dari lantara camara yang tinggi yang menyerang hepar
menyebabkan tingginya kadar bilirubin sehingga menyebar ke seluruh organ tubuh
berubah menjadi warna tampak kuning.
Gamabar 4 : Gejala klinis Bali Ziekta

2.2.4. DIAGNOSA PENYAKIT BALI ZIETKE


Untuk menentukan diagnosa harus dicari keterangan tentang makanan/pakan
(material) apa yang diberikan kepada ternak. Perhatikan juga gejala klinisnya yang
jelas terlihat adanya eritema atau dermatitis pada daerah telinga, sekitar mulut,
hidung, dan bagian-bagian lain yang sedikit ditumbuhi bulu-bulu. Ada gejala ikterus
pada membran mukosa. Disamping itu tampak jelas bahwa ternak takut terhadap
cahaya/sinar matahari (Fotopobia) dan berusaha bergerak ke tempat-tempat yang
terlindung dari sinar matahari. Analisis kadar bilirubin dan enzim-enzim hati seperti
SGPT, SGOT dan GDH dalam serum akan dapat membedakan apakah
fotosensitisasi tersebut primer atau sekunder. Kadar bilirubin dan enzimenzim hati
yang meningkat menandakan penyebabnya adalah sekunder .
2.2.5. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
 Pengobatan
Dasar pengobatan etno-veteriner untuk penyakit ini adalah mengeliminasi
racun yang ada dalam sirkulasi darah dengan beberapa tahapan sebagai
berikut:
1. Sapi ditempatkan pada tempat yang terlindung dari sinar matahari
langsung.
2. Berikan air minum dalam jumlah yang banyak.
3. Luka ditutup dengan campuran kapur + Biji Pinang (Areca catechu) +
kunyit (Curcuma domesticate rhizoma) (2: 1: 2 dalam berat) selama 3
hari berturut-turut. Semua bahan dihaluskan dan dicampur menjadi
satu, kemudian ditambah dengan sedikit air, hingga berbentuk krim
atau lotion.

14
4. Sementara sapi diberikan makanan yang bersifat detoksikatif seperti :
rambutan + garam atau mentimun + garam. (3 kg + 3 sendok makan
garam, per hari untuk sapi dewasa (125 -277 kgm. Bobot Badan)
selama 3 hari berturut-turut, atau diberikan air kelapa sebanyak 5 butir
kelapa per hari selama 3 hari berturut-turut.
5. Pencegahan infeksi sekunder dilakukan dengan pemberian bawang
putih (57 gram-177 gram untuk sapi dewasa) yang dihancurkan dan
dicampurkan dengan konsentrat, kemudian dibentuk seperti bola-bola
kecil dan diberikan per hari selama 5 hari berturut-turut, ramuan ini
lebih baik lagi bila ditambah dengan temulawak (Curcuma
xanthorrica) (50 gram untuk sapi dewasa) untuk mempercepat
regenerasi sel-sel hati. Dosis untuk sapi muda lebih kurang ¼-1/2
dosis sapi dewasa.

 Pencegahan
1. Eliminasi semua tanaman yang bersifat hepatotoksik di sekitar area
pemeliharaan.
2. Peningkatan produksi pakan hijauan untuk mencegah kasus keracunan.

15
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan paparan kajian pustaka dapat disimpulkan bahwa bloat
merupakan pembesaran abdomen karena akumulasi berlebihan dari gas yang
terperangkap dalam rumino-retikulum. Perubahan dalam metode pemberian pakan
yang semakin modern mengakibatkan peningkatan kejadian bloat pada ruminansia.
Gejala umum yang ditunjukkan adalah abdomen membesar, sesak napas, dan
penurunan nafsu makan. Ada beberapa metode pencegahan bloat yaitu meghindari
pemberian pakan yang masih basah serta pemberian pakan serat kasar. Terapi
pengobatan yang dapat dilkukan yaitu menggunakan trokar dan pengobatan medis.
Bali ziekte merupakan penyakit yang secara khas menyerang sapi bali yang di
sebabkan oleh keracunan tanaman lantana camara apabila keracunan menunjukkan
gejala klinis yaitu terjadinya dermatitis pada kulit sapi bali hingga lesi melepuh.

16
3.2          SARAN
Saran yang dapat disampaikan yakni agar para peternak lebih memahami dan
memperhatikan asupan makanan yang diberikan kepada ternaknya. Hal ini tentunya
membutuhkan sosialisasi serta pendampingan dan pengawasan mengenai pencegahan
dari penyakit bloat. Penulis menyadari paper ini masih banyak kekurangan, sehingga
diharapkan pembaca dapat memberikan kritik dan masukan yang bersifat membangun
demi menyempurnakan paper ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdisa, T. 2018. Study on the Prevalence of Bovine Frothy Bloat in and Around
Kebele Lencha, Tokke Kutaye District, Oromia Region. Appro Poult Dairy
& Vet Sci, 2(3),1-10.
Abdullah, F.F.J., Adamu, L., Saad, M.Z., Osman, A.Y., Haron, A.W., Awang, D.N.,
and Roslim. N. 2014. Concurrent Bloat and Rectal Prolapse in A Cow.
International Journal of Livestock Research, 4 (1), 115-160.
Broucek, J. 2014. Production of Methane Emissions from Ruminant Husbandry: A
Review. Journal of En- DOI: 10.21776/ub.jiip.2018.028.02.07 151
vironmental Protection, 5(15), 1482-1493.
Digraskar, S.U., Muley, V.D., Ravikanth, K., Dandale, M., and Maini, S. 2012.
Therapeutic potential of AFANIL against bloat and for early restoration of
rumen function in Bovines. JIVA, 10(3), 15-18.

Made Bagoes Oka. 2013. Penanggulangan Penyakit Bali Ziekte di Singaraja. Dinas
Pertanian Kabupaten Singaraja
Miltko, R., Bełżecki, G., Kowalik, B., and Skomiał, J. 2016. Presence of car-
bohydrate-digesting enzymes throughout the digestive tract of sheep. Turk
J Vet Anim Sci, 40(3), 271-277.

Munda, S., Pandey, R., Bhojne, G.R., Dakshinkar, N.P., Kinhekar, A.S., Kumar, V.,
Ravikumar, R.K., and Kumar, V. 2016. Indigenous Knowledge Research
System [IKRS] for treatment of bloat and its significance towards
greenhouse gas emission: Jharkhand, India. Adv. Anim. Vet. Sci., 4(5),
241-249.
Murdiati, T.B., H. Hamid, J . Van Eys ., A.J . Wilson, P . Zahari, dan D.R.Stoltz.
Studi Pendahuluan Kasus Keracunan Brachiaria Sp. Pro ceedings
Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil . Bogor; 1984.

v
Smith, B.L. Photosensitisation of Herbivores in Australia and New Zealand
.Proceedings No. 103. Veterinary Clinical Toxicology;1987.
Subronto. 2017. Ilmu Penyakit Ternak I-a (Mammalia). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Yanuartono, Y., Nururrozi, A., Indarjulianto, S., Purnamaningsih, H., and Rahardjo,
S. 2017. Molasses: dampak negatif pada ruminansia. Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan, 27(2). 25 – 34.

vi

Anda mungkin juga menyukai