Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

PARKINSON DISEASE
STASE ILMU KESEHATAN SARAF

DISUSUN OLEH:

1. Audry Evandou Lubis (216210024)


2. Christine Lumban Tobing (216210043)
3. Dessy Marianti Marila (216210034)
4. Kevin Lumban Siantar (215210047)
5. Leonard Kristian Sinaga (215210020)
6. Mitha Agbelia Sitorus (216210028)
7. Nico Nerozin Pasaribu (213210093)
8. Nurlela Elfrida Tambunan (216210019)

PEMBIMBING:

dr. Toety M Simanjuntak, M.Ked (Neu), Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMAH SAKIT TENTARA PUTRI HIJAU KESDAM I/BB
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
T.A 2020/2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1

1.1 Latar belakang.....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................3

2.1 Definisi...............................................................................................................3

2.2 Epidemiologi......................................................................................................3

2.3 Etiologi...............................................................................................................4

2.4 Patofisiologi........................................................................................................5

2.5 Klasifikasi...........................................................................................................8

2.6 Gejala dan Tanda................................................................................................11

2.7 Diagnosis............................................................................................................15

2.8 Diagnosis Banding..............................................................................................18

2.9 Penatalaksanaan..................................................................................................20

2.10 Komplikasi........................................................................................................28

2.11 Pencegahan.......................................................................................................28

2.12 Prognosis..........................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................30

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit Parkinson adalah salah satu penyakit neurodegeneratif yang paling banyak
dialami pada umur lanjut dan jarang dibawah umur 30 tahun. Biasanya mulai timbul pada
usia 40-70 tahun dan mencapai puncak pada dekade keenam Penyakit Parkinson yang mulai
sebelum umur 20 tahun disebut sebagai Juvenile Parkinsonism.
Penyakit Parkinson lebih banyak pada pria dengan rasio pria dibandingkan wanita 3:2.
Penyakit Parkinson meliputi lebih dari 80% parkinsonism. Di Amerika Utara meliputi 1 juta
penderita atau 1% dari populasi berusia lebih dari 65 tahun. Penyakit Parkinson mempunyai
prevalensi 160 per 100.000 populasi dan angka kejadiannya berkisar 20 per 100.000 populasi.
Keduanya meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Pada umur 70 tahun, prevalensi
dapat mencapai 120 dan angka kejadian 55 kasus per 100.000 populasi pertahun. Dengan
semakin meningkatnya usia harapan hidup prevalensi Penyakit Parkinson akan semakin
meningkat, Penyakit ini semakin meningkat setiaptahunnya. Pada tahun 2030
diperkirakan prevalensi penyakit parkinson di Indonesia akan meningkat lebih dari dua kali
lipat dari tahun 2005 yang prevalensinya sebesar 90.000. Kematian biasanya tidak disebabkan
oleh penyakit Parkinson sendiri tetapi oleh karena terjadinya infeksi sekunder.
Etiologi dari penyakit parkinson belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa etiologi penyakit ini berhubungan
dengan faktor genetik, faktor lingkungan, umur, ras, cedera kranio-serebral dan stress
emosional. Faktor lingkungan yang berisiko menimbulkan penyakit parkinson adalah paparan
toksin terutama pestisida yang berbahaya bagi sistem neurologis.
Telah terbukti penurunan neurotransmitter dopamine sebagai penyebabnya dan
disokong dengan penemuan-penemuan patologis di mana didapatkan lesi dengan proses
degeneratif terutama di daerah limbik.
Kriteria diagnosis didasarkan atas klinis dari pasien menurut Hudges dan Roller. Secara
klinis memiliki karakteristik komplikasi motorik berupa tremor, rigiditas, brandikinesia, dan
hilangnya refleks postural, selain itu juga terdapat gangguan nonmotorik lainnya. Penyakit
Parkinson sendiri merupakan subklasifikasi dari parkinsonismeidiopatik dan mencakup 80%
dari seluruh kasus parkinsonisme.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif progresif yang dicirikan
dengan gangguan motorik (seperti bradikinesia, tremor istirahat, kekakuan, dan instabilitas
postural), onset gejala asimetris, dan respon yang baik untuk levodopa. Gangguan motorik
disebabkan karena hilangnya neuron dopaminergik substantia nigra pars compacta, dengan
patologi intraseluler berhubungan dengan agregasi α-synuclein, yang membentuk Lewy bodies
dan Lewy neurites. Beberapa mekanisme lain yang terlibat dalam Penyakit Parkinson,
diantaranya meliputi disfungsi mitokondria, penurunan mekanisme pembersihan protein non
fungsional, dan neuroinflamasi. Namun, interaksi antara berbagai faktor tersebut belum
sepenuhnya diketahui.
Faktor resiko untuk Penyakit Parkinson meliputi usia, jenis kelamin, dan faktor
lingkungan. Penyebab monogenetik Penyakit Parkinson telah diidentifikasi, tetapi dianggap
sangat langka hingga mutasi leusin-rich repeat kinase 2 (LRRK2) teridentifikasi pada suatu
populasi yang menyebabkan hingga 40% kasus. Faktor risiko lingkungan dari Penyakit
Parkinson dapat mendukung faktor risiko genetik dalam menimbulkan penyakit. Merokok,
konsumsi alkohol, paparan vitamin D, dan tingkat asam urat adalah contoh faktor lingkungan
yang mungkin memengaruhi timbulnya penyakit.
Terjadi peningkatan kejadian penyakit neurodegeneratif seperti Amyotrophic lateral
sclerosis (ALS) dan Penyakit Parkinson di Norwegia. Sebagian besar peningkatan dikaitkan
dengan peningkatan harapan hidup dalam populasi. Namun, data yang baru-baru ini diterbitkan
menunjukkan peningkatan risiko Penyakit Parkinson, terutama pada pria. Dihipotesiskan bahwa
peningkatan risiko Penyakit Parkinson bisa terkait dengan perubahan perilaku merokok setelah
abad kedua puluh. Peningkatan kejadian Penyakit Parkinson juga terkait dengan peningkatan
polusi udara.

2.2 Epidemiologi
Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan wanita
hampir seimbang. 5 – 10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya muncul
sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun. Secara
keseluruhan, pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia dan 1,6 % di Eropa,
meningkat dari 0,6 % pada usia 60 – 64 tahun sampai 3,5 % pada usia 85 – 89 tahun.
Di Amerika Serikat, ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia sendiri,
dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000 penderita.
Rata-rata usia penderita di atas 50 tahun dengan rentang usia-sesuai dengan penelitian yang
dilakukan di beberapa rumah sakit di Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun. Statistik
menunjukkan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, lelaki lebih banyak terkena
dibanding perempuan (3:2) dengan alasan yang belum diketahui.

2.3 Etiologi
Etiologi Penyakit Parkinson belum diketahui (idiopatik), akan tetapi ada beberapa faktor
resiko (multifaktorial) yang telah diidentifikasikan, yaitu :
a. Usia : Meningkat pada usia lanjut dan jarang timbul pada usia dibawah 30 tahun
b. Rasial : Orang kulit putih lebih sering daripada orang Asia dan Afrika
c. Genetik : Diduga ada peranan faktor genetik

2.4 Patofisiologi
Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar
dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia nigra sebesar 40 – 50% yang
disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik ( Lewy bodies). Lewy bodies adalah inklusi
sitoplasmik eosinofilik konsentrik dengan halo perifer dan dense cores . Adanya Lewy bodies
dengan neuron pigmen dari substansia nigra adalah khas , akan tetapi tidak patognomonik untuk
Penyakit Parkinson , karena terdapat juga pada beberapa kasus parkinsonism atipikal. Untuk
lebih memahami patofisiologi yang terjadi perlu diketahui lebih dahulu tentang ganglia basalis
dan sistem ekstrapiramidal.
1. Ganglia Basalis

Dalam menjalankan fungsi motoriknya, inti motorik medula spinalis berada dibawah
kendali sel piramid korteks motorik, langsung atau lewat kelompok inti batang otak.
Pengendalian langsung oleh korteks motorik lewat traktus piramidalis, sedangkan yang
tidak langsung lewat sistem ekstrapiramidal, dimana ganglia basalis ikut berperan.
Komplementasi kerja traktus piramidalis dengan sistem ekstapiramidal menimbulkan
gerakan otot menjadi halus, terarah dan terprogram. Ganglia Basalis ( GB ) tersusun dari
beberapa kelompok inti, yaitu :
1. Striatum (neostriatum dan limbic striatum). Neostriatum terdiri dari putamen (Put) dan
Nucleus Caudatus (NC)

2. Globus Palidus ( GP )

3. Substansia Nigra ( SN )

4. Nucleus Subthalami ( STN )

Pengaruh GB terhadap gerakan otot dapat ditunjukkan lewat peran sertanya GB dalam
sirkuit motorik yang terjalin antara korteks motorik dengan inti medula spinalis .Terdapat
jalur saraf aferen yang berasal dari korteks motorik, korteks premotor dan supplementary
motor area menuju ke GB lewat Putamen. Dari putamen diteruskan ke GPi (Globus Palidus
internus) lewat jalur langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) melalui GPe (Globus
Palidus eksternus) dan STN. Dari GPe diteruskan menuju ke inti – inti talamus (antara lain :
VLO : Ventralis lateralis pars oralis, VAPC : Ventralis anterior pars parvocellularis dan CM
: centromedian). Selanjutnya menuju ke korteks dari mana jalur tersebur berasal. Masukan
dari GB ini kemudian mempengaruhi sirkuit motorik kortiko spinalis (traktus piramidalis).
Kelompok inti yang tergabung didalam ganglia basalis berhubungan satu sama lain lewat
jalur saraf yang berbeda – beda bahan perantaranya (neurotransmitter/NT).
Terdapat tiga jenis neurotransmitter utama didalam ganglia basalis, yaitu : Dopamine
(DA), Acetylcholin (Ach) dan asam amino (Glutamat dan GABA)
2. Patofisiologi Ganglia Basalis

Agak sulit memahami mekanisme yang mendasari terjadinya kelainan di ganglia


basalis oleh karena hubungan antara kelompok – kelompok inti disitu sangat kompleks dan
saraf penghubungnya menggunakan neurotransmitter yang bermacam –macam . Namun ada
dua kaidah yang perlu dipertimbangkan untuk dapat mengerti perannya dalam patofisiologi
kelainan ganglia basalis.
Satu unit fungsional yang dipersarafi oleh lebih dari satu sistem saraf maka persarafan
tersebut bersifat reciprocal inhibition ( secara timbal balik satu komponen saraf melemahkan
komponen yang lain ). Artinya yang satu berperan sebagai eksitasi dan yang lain sebagai
inhibisi terhadap fungsi tersebut. Contoh klasik reciprocal inhibition adalah dalam fungsi
saraf otonom antara saraf simpatik dengan NT noradrenalin ( NA ) dan saraf parasimpatik
dengan NT asetilkolin ( Ach ).
Fungsi unit tersebut normal bilamana kegiatan saraf eksitasi sama atau seimbang dengan
saraf inhibisi . Bilamana oleh berbagai penyakit atau obat terjadi perubahan keseimbangan
tersebut maka timbul gejala hiperkinesia atau hipokinesia tergantung komponen saraf
eksitasi atau inhibisi yang kegiatannya berlebihan.
Patofisiologi GB dijelaskan lewat dua pendekatan , yaitu berdasarkan cara kerja obat
menimbulkan perubahan keseimbangan saraf dopaminergik dengan saraf kolinergik , dan
perubahan keseimbangan jalur direk ( inhibisi ) dan jalur indirek ( eksitasi ).
Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena penurunan
kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia nigra sebesar 40 – 50%
yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies). Lesi primer pada
penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang mengandung neuromelanin di dalam
batang otak, khususnya di substansia nigra pars kompakta, yang menjadi terlihat pucat
dengan mata telanjang. Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung
saraf nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik)
yang berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke globus palidus
segmen interna atau substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur yaitu jalur direk reseptor
D1 dan jalur indirek berkaitan dengan reseptor D2 . Maka bila masukan direk dan indirek
seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan.
Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia nigra pars
kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada rangsangan terhadap
reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum muncul sampai lebih dari 50%
sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin berkurang 80%. Reseptor D1 yang eksitatorik
tidak terangsang sehingga jalur direk dengan neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak
teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik tidak terangsang, sehingga jalur indirek dari
putamen ke globus palidus segmen eksterna yang GABAergik tidak ada yang menghambat
sehingga fungsi inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi
inhibisi dari saraf GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke nucleus subtalamikus
melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus meningkat akibat inhibisi.
Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen interna /
substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang eksitatorik akibatnya
terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus / substansia nigra. Keadaan ini
diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung ,sehingga output ganglia
basalis menjadi berlebihan kearah talamus.
Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah GABAnergik
sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya rangsangan dari talamus ke korteks
lewat saraf glutamatergik akan menurun dan output korteks motorik ke neuron motorik
medulla spinalis melemah terjadi hipokinesia.

2.5 Klasifikasi
- Parkinson primer/ idiopatik/ paralysis agitans

Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi penyebabnya belum jelas.
Etiologi belum diketahui, masih belum diketahui. Terdapat beberapa dugaan, di antaranya
ialah: infeksi oleh virus yang non-konvensional (belum diketahui), reaksi abnormal terhadap
virus yang sudah umum, pemaparan terhadap zat toksik yang belum diketahui, terjadinya
penuaan yang prematur atau dipercepat.
- Parkinson sekunder/ simptomatik

Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain : tuberkulosis, sifilis
meningovaskuler, iatrogenik atau drug induced, misalnya golongan fenotiazin, reserpin,
tetrabenazin dan lain-lain yang merupakan obat-obatan yang menghambat reseptor dopamin
dan menurunkan cadangan dopamin misalnya perdarahan serebral petekial pasca trauma
yang berulang-ulang pada petinju, infark lakuner, tumor serebri, hipoparatiroid dan
kalsifikasi.
- Parkinson plus (multiple system degeneration)

Parkinson ini merupakan Parkinson primer dengan gejala-gejala tambahan. Pada kelompok
ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran penyakit keseluruhan. Jenis ini bisa
didapat pada Progressive supranuclear palsy, Multiple system atrophy, degenerasi
kortikobasal ganglionik, sindrom demensia, Hidrosefalus normotensif, dan Kelainan
herediter (Penyakit Wilson, Penyakit Huntington, Perkinsonisme familial dengan neuropati
peripheral). Klinis khas yang dapat dinilai dari jenis ini pada penyakit Wilson (degenerasi
hepatolentikularis), hidrosefalus normotensif, sindrom Shy-drager, degenerasi striatonigral,
atropi palidal (parkinsonismus juvenilis).
- Parkinson herediter

Parkinson herediter, terdiri dari penyakit Wilson, penyakit Huntington, penyakit Lewy
bodies.

2.6 Gejala dan Tanda


Keadaan penderita pada umumnya diawali oleh gejala yang non spesifik, yang didapat
dari anamnesis  yaitu kelemahan umum, kekakuan pada otot, pegalpegal  atau  kram  otot, 
distonia  fokal,  gangguan  ketrampilan,  kegelisahan,  gejala sensorik (parestesia) dan gejala
psikiatrik (ansietas atau depresi). Gambaran klinis penderita parkinson :
1. Tremor
Biasanya  merupakan  gejala  pertama  pada  PP  dan  bermula  pada  satu  tangan
kemudian meluas pada tungkai sisi yang sama. Kemudian sisi yang lain juga akan turut
terkena. Kepala, bibir dan lidah  sering tidak terlihat, kecuali pada  stadium lanjut.
Frekuensi tremor berkisar antara 4-7 gerakan per detik dan terutama timbul pada 
keadaan  istirahat  dan  berkurang  bila  ekstremitas  digerakan.  Tremor  akan bertambah
pada keadaan emosi dan hilang pada waktu tidur.
2. Rigiditas
Pada  permulaan  rigiditas  terbatas  pada  satu  ekstremitas  atas  dan  hanya
terdeteksi pada gerakan pasif. Pada stadium lanjut, rigiditas menjadi menyeluruh dan
lebih berat dan memberikan tahanan jika persendian digerakan secara pasif. Rigiditas 
timbul sebagai reaksi terhadap regangan pada otot agonis dan antagonis. Salah  satu 
gejala  dini  akibat  rigiditas  ialah  hilang  gerak  asosiatif  lengan  bila berjalan.
Rigiditas disebabkan oleh meningkatnya aktivitas motor neuron alfa.
3. Bradikinesia
Gerakan  volunter  menjadi  lambat  dan  memulai  suatu  gerakan  menjadi  sulit.
Ekspresi  muka  atau  gerakan  mimik  wajah  berkurang  (muka  topeng). 
Gerakangerakan  otomatis  yang  terjadi  tanpa  disadari  waktu  duduk  juga  menjadi 
sangat kurang.  Bicara  menjadi  lambat  dan  monoton  dan  volume  suara  berkurang
(hipofonia).
4. Hilangnya refleks postural
Meskipun  sebagian  peneliti  memasukan  sebagai  gejala  utama,  namun  pada
awal  stadium  PP  gejala  ini  belum  ada.  Hanya  37%  penderita  PP  yang  sudah
berlangsung  selama  5  tahun  mengalami  gejala  ini.  Keadaan  ini  disebabkan
kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan labirin dan sebagian kecil impuls dari 
mata,  pada  level  talamus  dan  ganglia  basalis  yang  akan  mengganggu kewaspadaan
posisi tubuh. Keadaan ini mengakibatkan penderita mudah jatuh.
5. Wajah Parkinson
Seperti  telah  diutarakan,  bradikinesia  mengakibatkan  kurangnya  ekspresi
muka  serta  mimik.  Muka  menjadi  seperti  topeng,  kedipan  mata  berkurang,
disamping itu kulit muka seperti berminyak dan ludah sering keluar dari mulut.
6. Mikrografia
Bila  tangan  yang  dominan  yang  terlibat,  maka  tulisan  secara  graduasi
menjadi kecil dan rapat. Pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini.
7. Sikap Parkinson
Bradikinesia  menyebabkan  langkah  menjadi  kecil,  yang  khas  pada  PP. Pada
stadium yang lebih lanjut sikap penderita dalam posisi kepala difleksikan ke dada, bahu
membongkok ke depan, punggung melengkung kedepan, dan lengan tidak melenggang
bila berjalan.
8. Bicara
Rigiditas  dan  bradikinesia  otot  pernafasan,  pita  suara,  otot  faring,  lidah  dan
bibir mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata  yang monoton dengan
volume  yang  kecil  dan  khas  pada  PP.  Pada  beberapa  kasus  suara  berkurang
sampai berbentuk suara bisikan yang lamban.
9. Disfungsi otonom
Disfungsi  otonom  pada  pasien  PP  memperlihatkan  beberapa  gejala  seperti
disfungsi  kardiovaskular   (hipotensi  ortostatik,  aritmia  jantung),  gastrointestinal
(gangguan dismotilitas  lambung, gangguan pencernaan, sembelit dan regurgitasi),
saluran  kemih  (frekuensi,  urgensi  atau  inkontinensia),  seksual  (impotensi  atau
hypersexual drive), termoregulator (berkeringat berlebihan atau intoleransi panas atau
dingin). Disfungsi otonom ini mungkin terlihat sebagai gejala dini PP  namun lebih
spesifik dikaitkan dengan stadium lanjut PP. Prevalensi disfungsi otonom ini berkisar 
14-18%  .  Patofisiologi  disfungsi  otonom  pada  PP  diakui  akibat degenerasi dan
disfungsi nukleus  yang mengatur  fungsi otonom, seperti nukleus vagus  dorsal, 
nukleus  ambigus  dan  pusat  medullary  lainnya  seperti  medulla ventrolateral, rostral
medulla, medulla ventromedial dan nukleus rafe kaudal.
10. Gerakan bola mata
Mata kurang berkedip, melirik kearah atas terganggu, konvergensi menjadi sulit,
gerak bola mata menjadi terganggu.
11. Tanda Myerson
Dilakukan  dengan  jalan  mengetok  di  daerah  glabela  berulang-ulang.Pasien
Parkinson tidak dapat mencegah mata berkedip pada tiap ketokan. Disebut juga sebagai
tanda “Myerson”
12. Demensia
Demensia  adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif
yang  menyebabkan  deteriorasi  kognisi  dan  fungsional,  sehingga  mengakibatkan
gangguan  fungsi  sosial,  pekerjaan  dan  aktifitas  sehari-hari  (Asosiasi  Alzaimer
Indonesia,  2003).  Kelainan  ini  berkembang  sebagai  konsekuensi  patologi  PP
disebut kompleks parkinsonism demensia. Demensia pada  PP  mungkin baru akan
terlihat pada stadium lanjut, namun pasien PP telah memperlihatkan perlambatan fungsi 
kognitif  dan  gangguan  fungsi  eksekutif  pada  stadium  awal.  Gangguan fungsi 
kognitif  pada  PP  yang  meliputi  gangguan  bahasa,  fungsi  visuospasial, memori
jangka panjang dan fungsi eksekutif ditemukan lebih berat  dibandingkan dengan proses
penuaan normal. Persentase gangguan kognitif diperkirakan 20%.
13. Depresi
Sekitar  40%  penderita  PP  terdapat  gejala  depresi.  Hal  ini  dapat  terjadi
disebabkan  kondisi  fisik  penderita  yang  mengakibatkan  keadaan  yang menyedihkan 
seperti  kehilangan  pekerjaan,  kehilangan  harga  diri  dan  merasa dikucilkan.  Hal  ini 
disebabkan  keadaan  depresi  yang  sifatnya  endogen.  Secara anatomi  keadaan  ini 
dapat  dijelaskan  bahwa  pada  penderita  Parkinson  terjadi degenerasi neuron
dopaminergik dan juga terjadi degenerasi neuron norepineprin yang  letaknya  tepat 
dibawah  substansia  nigra  dan  degenerasi  neuron  asetilkolin yang letaknya diatas
substansia nigra.

2.7 Diagnosis
Diagnosis penyakit Parkinson yang didasarkan pada riwayat medis dan pemeriksaan
neurologis melalui wawancara dan mengamati pasien secara langsung menggunakan Unified
Parkinson’s Disease Scale Rating. Selain dengan metode tersebut, untuk mendiagnosis penyakit
parkinson, dapat dilakukan berdasar pada beberapa kriteria, yakni:
Secara klinis
 Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, atau
 3 dari 4 tanda motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia dan ketidakstabilan postural
 Gejala klinis kelompok B (gejala dini tak lazim), diagnosa alternatif, terdiri dari:
- Instabilitas postural yang menonjol pada 3 tahun pertama
- Fenomena tak dapat bergerak sama sekali (freezing) pada 3 tahun pertama
- Halusinasi (tidak ada hubungan dengan pengobatan) dalam 3 tahun pertama
- Demensia sebelum gejala motorik pada tahun pertama.

Kriteria yang dipakai di Indonesia adalah kriteria Hughes yaitu :


 Diagnosis “possible”: terdapat paling sedikit 2 dari gejala kelompok A dimana salah satu
diantaranya adalah tremor atau bradikinesia dan tak terdapat gejala kelompok B, lama
gejala kurang dari 3 tahun disertai respon jelas terhadap levodopa atau dopamine agonis.
 Diagnosis “probable”: terdapat paling sedikit 3 dari 4 gejala kelompok A, dan tidak
terdapat gejala dari kelompok B, lama penyakit paling sedikit 3 tahun dan respon jelas
terhadap levodopa atau dopamin agonis.
 Diagnosis “definite”: memenuhi semua kriteria probable dan pemeriksaan histopatologis
yang positif.

Pada setiap kunjungan penderita :


- Tekanan darah diukur dalam keadaan berbaring dan berdiri, hal ini untuk mendeteksi
hipotensi ortostatik.
- Menilai respons terhadap stress ringan, misalnya berdiri dengan tangan diekstensikan,
menghitung surut dari angka seratus, bila masih ada tremor dan rigiditas yang san gat,
berarti belum berespon terhadap medikasi.
- Mencatat dan mengikuti kemampuan fungsional, disini penderita disuruh menulis kalimat
sederhana dan menggambarkan lingkaran-lingkaran konsentris dengan tangan kanan dan
kiri diatas kertas, kertas ini disimpan untuk perbandingan waktu follow up berikutnya.
- Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan EEG dapat menunjukkan perlambatan yang
progresif dengan memburuknya penyakit. CT-scan otak menunjukkan atrofi kortikal difus
dengan melebarnya sulsi dan hidrosefalus eks vakuo pada kasus lanjut.

Untuk menentukan berat ringannya penyakit, digunakan stadium klinis berdasarkan


Hoehn and Yahr yaitu :
- Stadium I : Terdapat gejala unilateral ringan yang menganggu tetapi belum menimbulkan
kecacatan, biasanya terdapat tremor pada satu ekstremitas, gejala dapat dikenali orang
terdekat.
- Stadium II : Terdapat gejala bilateral, kecacatan minimal, sikap atau cara berjalan
terganggu.
- Stadium III : Gerakan tubuh melambat, keseimbangan mulai terganggu saat berjalan atau
berdiri, disfungsi umum sedang.
- Stadium IV : Terdapat gejala berat, masih dapat berjalan pada jarak tertentu, rigiditas dan
bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat berkurang dibandingkan stadium
sebelumnya.
- Stadium V : Stadium kakhetik (cachatic stage), kecacatan total, tidak mampu berdiri dan
berjalan walau dibantu.

2.8

Diagnosis Banding

2.9 Penatalaksanaan

2.10 Komplikasi

2.11 Pencegahan
2.12 Prognosis
Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson, sedangkan

perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali terkena parkinson, maka

penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya. Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi

mengalami progress hingga terjadi total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan

fungsi otak general, dan dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada

setiap pasien berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan

gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping pengobatan

terkadang dapat sangat parah.

PD sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi berkembang sejalan

dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien PD pada umumnya lebih rendah

dibandingkan yang tidak menderita PD. Pada tahap akhir, PD dapat menyebabkan komplikasi

seperti tersedak, pneumoni, dan memburuk yang dapat menyebabkan kematian. Progresifitas

gejala pada PD dapat berlangsung 20 tahun atau lebih. Namun demikian pada beberapa orang

dapat lebih singkat. Tidak ada cara yang tepat untuk memprediksikan lamanya penyakit ini pada

masing-masing individu. Dengan treatment yang tepat, kebanyakan pasien PD dapat hidup

produktif beberapa tahun setelah diagnosis.


DAFTAR PUSTAKA

1. Commission on Classification and Therminology of the International League Against


Epilepsy.1981. Proposal for revised clinical and electroencephalographic
classification of epileptic seizures. Epilepsia.22(4):489-501
2. Commission on Classification and Therminology of the International League Against
Epilepsy.1989. Proposal for revised clinical and electroencephalographic
classification of epileptic seizures. Epilepsia.30(4):389-399
3. Engel J. Fejerman N, Berg AT, Wolf P. Classification of Epilepsi. In Engel J, Pedley
TA. Epilepsi A Comprehensive Textbook 2nd Ed. Voln one. Lippincott Williams &
Wilkins. USA; 2008; 767-772.
4. Fisher RS, Boas W, Blume W, et al. Epileptic Seizures and Epilepsy: Definitions
Proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the International
Bureau for Epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46(4):470-2.
5. Gunn R, Stapley HB. Epilepsy 2017. A Practical Guide to Epilepsy: ILAE. 2017.

6. Harsono.2007. Epilepsi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

7. Li SC, Schoenberg BS, Wang CC, Cheng XM, Zhou SS, Bolis CL. Epidemiology of
epilepsi in urban areas of people‘s republic of China. Epilepsia 1985; 26(5): 391-4.
8. Mac TL, Tran DC, Quet F, Odermatt P, Peux PM, Tan CT. Epidemiolog, aetology,
and clinical management of epilepsi in Asia: A systematic review. Lancet Neurology
2007; 6: 533-43.
9. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA. 2016.Epilepsi pada anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 1:5-6
10. Panayiotopoulus CP. The Epilepsies Seizure, Syndrome and Management. Blandom
Medical Publishing. UK; 2005; 1-26.
11. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi: Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 5th ed. Kusumastuti K, Gunadharma
S, Kustiowati E, editors. Airlangga University Press. 2014. 1-96 p.
12. PERDOSSI. 2019. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta : Perdosi;13-19

13. Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia. 2014. Pedoman dan Tatalaksana Epilepsi.
Airlangga University Press. Ed. 5.
14. Persatuan Dokter Saraf Indonesia (PERDOSSI)., 2013 .Penegakan Diagnosis Pada
Pasien Epilepsi. Jakarta : PERDOSSI
15. Rafia. MH, Bee. EG. 2010. Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy.
Consultant Neurologist & Head. Division of Neurology. Hospital Kuala Lumpur
16. Rohkamm R. dan Guther S.M., 2004. Epilepsy: Pathogenesis and Treatment. Color
Atlas of Neurology. Germany: Georg Thieme Verlag & New York: Thieme New
York. pp: 198-199
17. WHO. Epilepsi. WHO fact sheet October 2012; number 999. Available at: http://
www.who.int/mediacentre/factsheet/fs 999/en/.
18. World Health Organization (WHO). 2019. Epilepsy Fact Sheet. Tersedia dari:
https://www.who.int/news-room /fact-sheets/detail/epilepsy

Anda mungkin juga menyukai