Anda di halaman 1dari 25

TUGAS MATA KULIAH RANCANGAN FORMULA DAN EVALUASI

SEDIAAN FARMASI
MAKALAH RANCANGAN PENGAWASAN MUTU BAHAN
BAKU DAN SEDIAAN INJEKSI TIAMIN HIDROKLORIDA

Oleh:
Catur Putri Rahmawati 3351201034
Raina Davita 3351201048
Husni Hanifah 3351201125
Ervina Nur Fatin 3351201179
Lina Dewi K. 3351201181

Kelas B

Dosen pengampu: Prof. Dr. apt. Slamet Ibrahim., DEA.


Dr.ret.nat. apt. Sophi Damayanti, M.Si

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan........................................................................................................2
1.3 Manfaat.....................................................................................................2
BAB II RANCANGAN FORMULASI...............................................................3
2.1 Karakteristik Zat Aktif.............................................................................3
2.2 Formula....................................................................................................4
2.3 Uraian Formula.........................................................................................4
2.4 Pembuatan Injeksi Thiamin HCl..............................................................5
BAB III PERANCANGAN PENGAWASAN MUTU DAN EVALUASI........7
3.1 Bahan baku Tiamin Hidroklorida............................................................7
3.1.1 Menurut Farmakope Indonesia edisi VI (2020).......................................7
3.1.2 Menurut British Pharmacopeia (2009) dan USP 39..............................11
3.2 Sediaan injeksi Tiamin Hidroklorida.....................................................13
3.1 Menurut Farmakope Indonesia edisi VI (2020) dan USP 39.................13
3.2 Menurut British Pharmacopeia 2009......................................................15
3.3 Evaluasi sediaan injeksi..........................................................................16
BAB IV PENUTUP.............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22
LAMPIRAN..........................................................................................................23

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Semakin banyak bentuk sediaan farmasi yang beredar di masyarakat yang
tidak lepas dari semakin meningkatnya jumlah permintaan masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan. Sediaan farmasi yang banyak digunakan
masyarakat salah satunya adalah injeksi, sediaan ini termasuk ke dalam
sediaan steril. Keberadaan sediaan injeksi menjadi penting dalam dunia
kefarmasian terutama jika pasien tidak dapat menerima obat secara oral.
Selain itu, dalam beberapa kondisi sediaan injeksi dapat menjadi pilihan
utama karena efek yang diberikan lebih cepat dibanding dengan sediaan
oral, obat yang diinjeksikan akan langsung masuk dan terdistribusi melalui
pembuluh darah sehingga mempercepat onset kerja sediaan injeksi.

Dalam pembuatannya sediaan injeksi diharuskan dibuat dengan sifat


isotonis dan isohidri agar dapat diterima oleh tubuh dengan baik. Sehingga
dalam pembuatannya diperlukan rancangan formulasi yang tepat dengan
memperhatikan sifat-sifat bahan yang akan digunakan sesuai dengan
karakteristik zat aktif pada sediaan. Selain proses formulasi yang menjadi
kunci dari keberhasilan suatu bentuk sediaan, dilakukan pula evaluasi
sediaan untuk mengetahui layak atau tidaknya sediaan tersebut diberikan
kepada pasien. Pengujian evaluasi yang umum dilakukan dalam pembuatan
sediaan injeksi steril adalah uji pH, uji kejernihan, uji kebocoran, uji
keseragaman volume, uji pirogen, dan uji sterilisasi sediaan.

Makalah ini memuat penjelasan terkait sediaan injeksi Aneurin HCl atau
injeksi Vitamin B1 mulai dari rancangan formulasi hingga evaluasi sediaan
yang didasarkan pada metode-metode identifikasi maupun evaluasi sesuai
persyaratan Farmakope Indonesia Jilid 6 maupun Farmakope lain seperti
United State Pharmacopeia (USP) maupun British Pharmacopeia (BP).

1
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk:
- Memberikan infomasi lengkap terkait rancangan formulasi, metode
identifikasi sediaan injeksi aneurin HCl maupun bahan bakunya dan
evaluasi sediaan injeksi Aneurin HCl.
- Pemenuhan tugas kelompok mata kuliah Rancangan Formulasi dan
Evaluasi Sediaan Farmasi pada program studi Profesi Apoteker
Angkatan 30 UNJANI.

1.3 Manfaat
Menjadi sumber informasi yang lengkap terkait sediaan injeksi Aneurin HCl
mulai dari rancangan formulasi hingga evaluasi yang dilakukan berdasarkan
pada persyaratan yang berlaku.

2
BAB II
RANCANGAN FORMULASI

2.1 Karakteristik Zat Aktif


Nama Zat : Thiamin Hydrochloridum
Nama lain : Vitamin B1, Aneurin HCl
Stuktur Molekul :

Berat Molekul : 337,27 g/mol


Rumus Molekul : C12H17ClN4OS.HCl
Persyaratan Kadar : Tiamin hidroklorida mengandung tidak kurang dari 98,0%
dan tidak lebih dari 102,0% C12H17ClN4OS.HCl dihitung
terhadap zat anhidrat.
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur, putih; bau khas lemah. Jika
bentuk anhidrat terpapar udara dengan cepat menyerap air
lebih kurang 4%. Titik Lebur : Melebur pada suhu lebih
kurang 248º disertai peruraian.
Kelarutan : Mudah larut dalam air, larut dalam gliserin, sukar larut
dalam etanol, tidak larut dalam eter dan dalam benzen.
Kegunaan : Zat aktif, berfungsi sebagai untuk mencegah dan
mengobati sindrom defisiensi tiamin HCl seperti penyakit
beri-beri, delirium dan neuritis peripheral/neuritis
kehamilan
Stabilitas : Stabil dalam penyimpanan normal, terdegradasi dalam
larutan alkalin

pH : Untuk bahan baku memiliki pH antara 2,7 dan 3,4,


sedangkan untuk sediaan injeksi memiliki pH antara 2,5
dan 4,5.

3
Dosis : Untuk sediaan injeksi dosis secara SC, IM sehari 25 mg
sampai 100 mg
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindungi dari cahaya
Cara sterilisasi : Menggunakan Autoclave 1150C selama 30 menit
(FI VI, hal 1708, Fornas Edisi II, hal 289)

2.2 Formula
Tiap 10 ml mengandung:
Thiamini Hydrochloridum 100 mg
NaCl 65 mg
Aqua pro Injectio hingga 10 ml
(Fornas ed. 1966, hal 98)

2.3 Uraian Formula


a. NaCl
Nama zat : Natrium klorida
Sinonim : Sodium klorida
Rumus molekul : NaCl
Berat Molekul : 58,44 g/mol
Persyaratan kadar : Natrium Klorida mengandung tidak kurang dari
99,0% dan tidak lebih dari100,5% NaCl,dihitung
terhadap zat kering.
Pemerian : Hablur bentuk kubus, tidak berwarna atau serbuk
hablur putih, rasa asin
Kelarutan : Mudah larut dalam air; larut dalam gliserin; sukar
larut dalam etanol.
Kegunaan : Zat pengisotonis
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
(FI VI, hal. 1225)
b. Aqua pro Injeksi
Nama zat : Air steril pro injeksi
Rumus Molekul : H2O
Berat Molekul : 18,02 g/mol
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau.

4
Persyaratan : Air steril untuk injeksi dibuat dari Air untuk
Injeksi yang disterilkan dan dikemas dalam wadah
yang sesuai. Tidak mengandung zat antimikroba
dan zat tambahan lain.
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpanan : Dalam wadah dosis tunggal dari kaca atau plastik,
tidak lebih besar dari 1 L. Wadah kaca lebih baik
dari kaca tipe I atau II.
Penandaan : Pada etiket tertera tidak mengandung antimikroba
atau zat tambahan lain dan tidak digunakan untuk
penyuntikan intravascular tanpa terlebih dahulu
dibuat isotonik dengan menambahkan zat terlarut
yang sesuai
(FI VI, hal.
70)

2.4 Pembuatan Injeksi Thiamin HCl


a. Sterilkan alat dan bahan dengan cara masing-masing
b. Timbang bahan-bahan yang akan digunakan dengan menggunakan kaca
arloji yang telah disterilkan terlebih dahulu
c. Dilarutkan thiamine HCl dengan sebagian aqua pro injeksi dalam
Erlenmeyer lalu dimasukkan ke dalam beaker glass 100 ml.
d. Dilarutkan NaCl dengan sebagian aqua pro injeksi dalam Erlenmeyer lalu
dimasukkan ke dalam beaker glass 100 ml.
e. Kemudian tuangkan semua larutan yang sudah terlarut sempurna kedalam
gelas ukur hingga volume tertentu dibawah volume akhir
f. Disaring larutan dalam gelas ukur melalui corong dengan kertas saring
yang telah dibasahi aqua pro injeksi
g. Dibilas gelas piala yang digunakan dalam proses pelarutan, kemudian
dimasukkan hasil bilasan ke dalam gelas ukur, kemudian disaring kembali.
h. Lalu ditambahkan aqua pro injeksi sampai 10 ml
i. Lakukan pemeriksaan pH larutan, adjust pH jika diperlukan

5
j. Dituangkan ke dalam buret steril dan tutup ujung atas buret dengan
menggunakan aluminium foil
k. Sebelum dilakukan proses pengisian, seka jarum buret dengan kapas yang
telah dibasahi alcohol 70%. Kemudian diiisikan ke dalam wadah berupa
ampul
l. Dilakukan gassing (penggantian O2 dengan gas N2) dengan mengalirkan
gas N2 ke dalam ampul yang telah berisi larutan injeksi
m. Ditutup ampul dengan menggunakan api (cara flambeer)
n. Dilakukan cara sterilisasi akhir dengan menggunakan autoclave suhu
115ºC selama 30 menit dengan posisi wadah terbalik untuk ampul yang
diletakkan dalam beaker glass yang telah dialasi kapas
o. Dilakukan evaluasi terhadap sediaan injeksi yang diperoleh
p. Dikemas sediaan dalam dus obat yang sudah diberi etiket dan disertakan
informasi obat yang sesuai

6
BAB III
PERANCANGAN PENGAWASAN MUTU DAN EVALUASI

3.1 Bahan baku Tiamin Hidroklorida


Jenis
Pengawasa FI VI, 1709 USP 39, 6108 BP 2009, 5982
n Mutu
Identifikasi  Spektrofotometri  Spektrofotometr  Spektrofotometri
inframerah i inframerah inframerah
 Reaksi klorida  Reaksi klorida  Reaksi klorida
 Pelarutan  Pelarutan
Atribut  Titik leleh  pH  pH
mutu  pH  Kelarutan  kelarutan
 Kelarutan
Kemurnian  Cemaran  Senyawa nitrat  Kandungan air
organic  Kandungan air  Logam berat
 Senyawa nitrat  Sisa pemijaran  Senyawa
 Titrasi sulphate
titrimetric  Senyawa nitrat
 Susut  Sisa pemijaran
pengeringan
Kadar KCKT KCKT Titrasi

3.1.1 Menurut Farmakope Indonesia edisi VI (2020)


a. Metode Identifikasi
 Metode fisikokimia dapat menggunakan spektrofotometri inframerah.
Dengan cara spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan pada
suhu 105° selama 2 jam dan didispersikan dalam kalium bromida P,
menunjukkan maksimum hanya pada bilangan gelombang yang sama
seperti pada Tiamin Hidroklorida BPFI
 Metode kimia untuk menunjukkan reaksi klorida
Metode A. Tambahkan perak nitrat LP ke dalam larutan klorida maka
akan terbentuk endapan putih seperti dadih yang tidak larut dalam asam
nitrat P, tetapi larut dalam amonium hidroksida 6 N sedikit berlebih.

Metode B. Pada uji amin klorida (termasuk alkaloida klorida) tidak


menunjukkan reaksi terhadap uji A, tambahkan 1 tetes asam nitrat encer
LP dan 0,5 mL perak nitrat LP pada larutan uji jika tidak dinyatakan lain

7
pada monografi, lebih kurang 2 mg ion klorida dalam 2 mL maka akan
terbentuk endapan putih seperti dadih. Sentrifus segera campuran dan
pisahkan beningan. Cuci endapan 3 kali, tiap kali dengan 1 mL asam
nitrat P (1 dalam 100) dan buang air pencuci. Tambahkan tetes demi tetes
amonia LP pada endapan: endapan segera larut.

Metode C. Campur senyawa klorida kering dengan mangan dioksida P


bobot sama, basahi dengan asam sulfat P, dan panaskan perlahan maka
akan terbentuk klor yang menghasilkan warna biru pada kertas kanji
iodida P basah.

b. Atribut mutu
 Melebur pada suhu lebih kurang 248º disertai peruraian
 pH syarat pH Antara 2,7 dan 3,4
 Kelarutan: mudah larut dalam air; larut dalam gliserin; sukar larut dalam
etanol; tidak larut dalam eter dan dalam benzene
c. Kemurnian
 Cemaran organic, pengujian menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi
 Senyawa nitrat.
Kriteria penerimaan : tidak terjadi cincin cokelat pada bidang batas
kedua
lapisan.
Prosedur : Pada 2 mL larutan (1 dalam 50) tambahkan 2 mL
asam sulfat P, dinginkan, teteskan lewat dinding
tabung 2 mL besi(II) sulfat
 Penetapan kadar air menggukan metode titrimetri, persyaratan tidak lebih
dari 5,0%.
Prosedur:
1. Kecuali dinyatakan lain, masukan 35 mL hingga 40 mL methanol P
atau pelarut lain yang sesuai kedalam labu titrasi, dan titras dengan
pereaksi sampai titik akhir secara elektrometik atau visual untuk
menetapkan kelembapan yang mungkin ada (abaikan volume
pereaksi yang digunakan karena tidak termasuk dalam perhitungan).

8
2. Tambahkan segera larutan uji (kecuali dinyatakan lain dalam
masing-masing monografi, gunakan sejumlah zat uji yang ditimbang
atau diukur seksama yang diperkirakan mengandung 2mg sampai
250 mg), campur dan titrasi dengan pereaksi sampai titik akhir secara
elektrometrik atau visual.
3. Hitung kadar air dalam zat uji, dalam mg, dengan rumus SxF.
S adalah volume pereaksi, yang digunakan pada titrasi kedua, dalam
mL dan F adalah factor kesetaraan air dari pereaksi
 Susut pengeringan, persyaratan Tidak lebih dari 0,2%.
Prosedur:
1. Campur dan timbang seksama zat uji, kecuali dinyatakan lain dalam
masing-masing monografi, lakukan penetapan dengan 1 gram hingga
2 gram, apabila zat uji berupa hablur besar, gerus secara cepat hingga
ukuran partakel kurang dari 2 mm. tara botol timbal dangkal
bersumbat kaca yang telah dikeringkan selama 30n menit pada
kondisis seperti yang akan digunakan dalam penetapan.
2. Masukan zat uji kedalam botol timbang tersebut, dan timbang
seksama botol beserta isinya.
3. Perlahan-lahan dengan menggoyang, ratakan zat uji sampai setinggi
lebih kurang 5 mm dan dalam hal zat ruahan tidak lebih dari 10 mm.
4. Masukkan kedalam oven, buka sumbat dan biarkan sumbat ini
didalam oven. Panaskan zat uji pada suhu dan waktu tertentu seperti
tertera pada monografi.
5. Jika dinyatakan “timbang hingga bobot tetap” dalam monografi,
pengeringan dilanjutkan hingga dalam dua kali penimbangan tidak
berbeda lebih dari 0,50 mg per g zat.
6. Pada waktu oven dibuka segera ditutup dan biarkan dalam desikator
sampai suhunya mencapai suhu kamar sebelum ditimbang

d. Kadar

9
Tiamin hidroklorida mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari
102,0% C12H17ClN4OS.HCl dihitung terhadap zat anhidrat. Metode yang
digunakan adalah meode kromatograsi (kromatografi cair kinerja tinggi).
 Fase gerak, buat campuran dari Larutan A-Larutan B (60:40). Pembuatan
larutan Adan larutan B
o Larutan A, buat larutan natrium 1-oktanasulfonat 0,005 M dalam
larutan asam asetat glasial P (1 dalam 100)
o Larutan B, buat campuran methanol P-asetonitril P (3:2)
 Pembuatan Larutan baku internal dengan cara pipet 2 mL metilbenzoat P
ke dalam labu tentukur 100mL, encerkan dengan metanol P sampai tanda
batas.
 Pembuatan Larutan baku dengan cara timbang saksama sejumlah Tiamin
Hidroklorida BPFI, larutkan dalam Fase gerak, hingga kadar lebih kurang
1 mg /mL. Pipet 20 mL larutan ini ke dalam labu tentukur 50-mL,
tambahkan 5,0 mL Larutan baku internal, encerkan dengan Fase gerak
sampai tanda batas, hingga diperoleh kadar 400 μg per mL.
 Pembuatan Larutan uji. Timbang saksama lebih kurang 200 mg zat,
masukkan ke dalam labu tentukur 100-mL, larutkan dan encerkan dengan
Fase gerak sampai tanda. Pipet 10 mL larutan ini ke dalam labu tentukur
50-mL, tambahkan 5,0 mL Larutan baku internal, encerkan dengan Fase
gerak sampai tanda.
 Sistem kromatografi Kromatograf cair kinerja tinggi dilengkapi dengan
detektor 254 nm dan kolom 4 mm x 30 cm berisi bahan pengisi L1. Laju
alir lebih kurang 1 mL per menit. Lakukan kromatografi terhadap Larutan
baku, rekam kromatogram dan ukur respons puncak seperti tertera pada.
Persyaratan system kromatografi:
o Resolusi, R, antara puncak tiamin dan puncak metilbenzoat tidak
kurang dari 6,0
o Tailing factor untuk puncak tiamin tidak lebih dari 1,5
o Efisiensi kolom yang ditentukan dari puncak tiamin tidak kurang
dari 1500 lempeng teoritis

10
o Simpangan baku relatif pada penyuntikan ulang tidak lebih dari
2,0%.
 Prosedur Suntikkan secara terpisah sejumlah volume sama (lebih kurang
10 μL) Larutan baku dan Larutan uji ke dalam kromatograf, rekam
kromatogram dan ukur respons puncak utama. Hitung jumlah dalam mg
tiamin hidroklorida, C12H17ClN4OS.HCl, dalam zat yang digunakan dengan
rumus:
o 0,5𝐶(𝑅𝑈/𝑅𝑆)
o C adalah kadar Tiamin Hidroklorida BPFI dalam μg per mL
Larutan baku; RU dan RS berturut-turut adalah perbandingan
respons puncak tiamin terhadap metilbenzoat dalam Larutan uji
dan Larutan baku

3.1.2 Menurut British Pharmacopeia (2009) dan USP 39 (2016)


a. Metode identifikasi
 Metode fisiko-kimia bisa menggunakan spektrofotometri inframerah
dengan cara membandingkan dengan spektrum diperoleh dengan tiamin
hidroklorida baku. Jika spektrum yang diperoleh menunjukkan perbedaan,
larutkan zat yang akan diperiksa dan zat pembanding secara terpisah
dalam air, kemudian dibiarkan menguap sampai kering dan rekam
spektrum baru menggunakan residu.
 Metode kimia untuk menunjukkan reaksi klorida dengan cara larutkan
sekitar 20 mg tiamin HCl dalam 10 ml air, tambahkan 1 ml asam asetat
encer dan 1,6 ml natrium hidroksida 1M. Panaskan di atas penangas air
selama 30 menit dan biarkan dingin. Tambahkan 5 ml natrium hidroksida
encer larutan, 10 ml larutan kalium besi sianida dan 10 ml butanol lalu
kocok kuat-kuat selama 2 menit. Lapisan alkohol menunjukkan fluoresensi
biru muda yang intens, terutama pada sinar ultraviolet di 365 nm. Ulangi
pengujian menggunakan 0,9 ml natrium hidroksida 1M dan 0,2 g natrium
sulfit sebagai gantinya 1,6 ml natrium hidroksida 1M. Praktis tidak ada
fluoresensi yang terlihat.

11
b. Atribut mutu
 pH berkisar 2,7 sampai 3,3
 Memiliki kelarutan mudah larut dalam air, larut dalam gliserin dan agak
larut dalam alcohol
c. Kemurnian
 Kandungan air tidak boleh lebih dari 5 %
 Logam berat tidak boleh lebih dari 20 ppm
 Senyawa sulphate tidak boleh lebih dari 300 ppm
 Senyawa nitrat. Kriteria penerimaan tidak terjadi cincin cokelat pada
bidang batas kedua lapisan. Dengan cara 20 mg/ml larutan tiamin HCl
ditambahkan kedalam 2ml asam sulfur. Kemudian dibiarkan dingin dan
ditambahkan 2ml larutan fero sulfat.
 Sisa pemijaran tidak boleh lebih dari 0,1%
Prosedur:
1. Pijarkan krus yang sesuai (sebagai contoh silica, kuarsa atau
porselen) pada 600±50º selama 30 menit, dinginkan krus dalam
desikaor dan timbang seksama
2. Timbang seksama 1 g hingga 2 g zat kedalam krus
3. Basahkan dengan sejumlah kecil, umumnya 1 mL asam sulfat P,
kemudian panaskan perlahan-lahan sampai zat mengarang sempurna,
dinginkan
4. Timbang seksama dan hitung persentasi sisa. Jika jumlah sisa yang
diperoleh lebih dari batas yang ditetapkan, basahkan lagi zat sisa
dengan asam sulfat P, panaskan dan oijarkan seperti sebelumnya
selama 30 menit, sehingga perbedaan penimbangan dua berturut-
turut tidak lebih dari 0,5 mg.
d. Kadar
Tiamin hidroklorida mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari
101,0% C12H17ClN4OS.HCl dihitung terhadap zat anhidrat.
Metode yang digunakan untuk penetapan kadar Thiamin HCl adalah metode
titrasi. Caranya larutkan 0,110 g Tiamin HCl dalam 5 ml asam format dan
tambahkan 50 ml asetat anhidrat. Dititrasi dengan 0,1 M asam perklorat, dan

12
tentukan titik akhir titrasi secara potensiometri dan lakukan titrasi dalam 2
menit. Lakukan titrasi blanko. 1 ml dari asam perklorat 0,1 M setara dengan
16,86 mg C12H17ClN4O

3.2 Sediaan injeksi Tiamin Hidroklorida


Jenis pengawasan Pustaka rujukan
mutu FI VI, 1709 USP 39, 6108 BP 2009, 5982
Identifikasi  Reaksi  Reaksi warna  KLT
warna  Fluoresensi  Fluoresensi
 Penyinaran
UV
Kadar KCKT KCKT Kromatografi
cair
Kemurnian pH  pH pH
 kadar
endotoksin

3.1 Menurut Farmakope Indonesia edisi VI (2020) dan USP 39 (2016)


a. Metode identifikasi
 Tiamin hidroklorida injeksi akan menghasilkan endapan putih dengan
merkuri klorida, dan endapan merah-coklat dengan iodium. Tiamin
hidroklorida injeksi juga akan menghasilkan endapan dengan merkuri-
kalium iodida, dan dengan trinitrophenol.
 Encerkan tiamin hidroklorida injeksi dengan air sampai konsentrasi sekitar
10 mg/mL. diambil 0,5 mL larutan hasil pengenceran tambahkan 5 mL
natrium hidroksida 0,5 N kemudian tambahkan 0,5 mL kalium ferrisianida
dan 5 mL isobutil alkohol, kocok campuran dengan kuat selama 2 menit,
dan biarkan lapisan cairan terpisah: bila diterangi dari atas oleh pancaran
sinar UV secara vertikal dan dilihat dari sudut yang tepat terhadap
pancaran ini, meniskus udara-cair menunjukkan fluoresensi biru cerah,
yang menghilang bila campuran sedikit diasamkan, tetapi muncul kembali
saat dibuat basa lagi.

b. Penetapan kadar

13
Injeksi Tiamin Hidroklorida adalah larutan steril dari Tiamin Hidroklorida
dalam Air untuk Injeksi. Ini mengandung tidak kurang dari 90,0 persen dan
tidak lebih dari 110,0 persen dari jumlah berlabel tiamin hidroklorida
(C12H17ClN4OS · HCl).

 Fase gerak, siapkan campuran yang telah disaring dan dibuang gasnya dari
0,04 M kalium fosfat monobasa dan metanol (55:45).
 Larutan standar internal, siapkan larutan methylparaben dalam fase gerak
dengan konsentrasi sekitar 100 µg per mL.
 Persiapan standar, siapkan larutan USP Thiamine Hydrochloride dalam
fase gerak yang memiliki konsentrasi 500 µg per mL. Pipet 10 mL larutan
ini dan 10 mL larutan standar internal ke dalam labu ukur 100 mL,
encerkan dengan fasa gerak ke volume, dan campur untuk mendapatkan
sediaan standar yang memiliki konsentrasi yang diketahui sekitar 50 µg
per mL.
 Persiapan pengujian, encerkan secara kuantitatif tiamin hidrokorida injeksi
500 µg/mL. Pipet 10 mL larutan yang dihasilkan dan 10 mL larutan
standar internal ke dalam labu ukur 100 mL, encerkan dengan fase gerak
ke volume, dan aduk.
 Sistem kromatografi, kromatografi cair dilengkapi dengan detektor 254-
nm dan kolom 3,9 mm × 30-cm yang berisi kemasan L1. Laju aliran
sekitar 1,0 mL per menit. Kromatografi preparasi Standar, dan catat respon
puncak seperti yang diarahkan untuk Prosedur: waktu retensi relatif sekitar
0,35 untuk tiamin dan 1,0 untuk metilparaben; resolusi, R, antara puncak
tiamin dan metilparaben tidak kurang dari 6,0; dan deviasi standar relatif
untuk suntikan ulangan tidak lebih dari 2,0%.
 Prosedur, hitung kuantitas, dalam mg, tiamin hidroklorida
(C12H17ClN4OS · HCl) dalam setiap mL Injeksi yang diambil dengan
rumus:

C (L / D) (RU / RS)

Keterangan:
C = konsentrasi dalam mg/mL USP Thiamine Hydrochloride dalam sediaan
standar

14
L = jumlah berlabel dalam mg /mL tiamin hidroklorida dalam Injeksi
D = konsentrasi (mg/mL) dalam sediaan uji berdasarkan jumlah berlabel dan
tingkat pengenceran
RU & RS = rasio respons puncak tiamin terhadap metilparaben yang diperoleh masing
masing dari preparasi uji dan preparasi Standar.
c. Kemurnian
 Tiamin hidrokorida injeksi mengandung tidak lebih dari 3,5 USP Unit
Endotoksin per mg tiamin hidroklorida.
 pH antara 2,5 dan 4,5

3.2 Menurut British Pharmacopeia 2009


a. Metode identifikasi
 Lakukan metode kromatografi lapis tipis, menggunakan selulosa F 254
sebagai bahan pelapis dan campuran 60 volume butan-1-ol, 25 volume air
dan 15 volume asam asetat glasial sebagai fase gerak. Totolkan secara
terpisah ke plat sebanyak 2 μl dari masing-masing solusi berikut. Untuk
larutan (1) gunakan injeksi yang diencerkan jika perlu dengan air
mengandung 0,1% b/v Tiamin Hidroklorida. Larutann (2) mengandung
0,1% b/v BPCRS tiamin mononitrat dalam air. Setelah itu biarkan
mengering di udara, panaskan pada suhu 105° selama 30 menit, semprot
dengan campuran volume yang sama dari larutan 0,3% b/v kalium
heksasianoferrat (III) dan larutan natrium hidroksida 10% b/v dan periksa
di bawah sinar ultraviolet (365 nm). Tempat utama dalam kromatogram
diperoleh dengan larutan (1) sesuai dengan kromatogram yang diperoleh
dengan larutan (2).
 Untuk volume yang mengandung 20 mg Tiamin Hidroklorida diencerkan,
jika perlu, menjadi 10 ml dengan air, tambahkan 2 ml asam asetat 1M dan
1,6 ml natrium hidroksida 1M, panaskan dalam water bath selama 30
menit dan dinginkan. Tambahkan 5 ml natrium hidroksida 5 M, 10 ml
kalium encer larutan hexacyano-ferrate (III) dan 10 ml butan-1-ol dan
kocok kuat-kuat selama 2 menit. Lapisan atas menunjukkan fluoresensi
biru muda yang intens saat terpapar sinar ultraviolet. Ulangi pengujian
tetapi tambahkan 0,9 ml natrium hidroksida 1M dan 0,2 g natrium sulfit
1,6 ml natrium hidroksida 1M. Tidak lebih dari fluoresensi ringan
diproduksi.

15
 Untuk campuran 0,1 ml nitrobenzene dan 0,2 ml asam sulfat tambahkan
volume injeksi yang mengandung 5 mg Tiamin Hidroklorida. Biarkan
selama 10 menit, dinginkan dalam es dan tambahkan perlahan sambil
diaduk 5 ml air diikuti dengan 5 ml natrium hidroksida 10M. Tambahkan
5 ml aseton dan diamkan. Tidak ada warna ungu yang dihasilkan di bagian
atas. Tambahkan 5 ml aseton dan diamkan. Tidak ada warna ungu yang
dihasilkan di lapisan atas.
b. Pengujian kadar
Lakukan metode untuk kromatografi cair, menggunakan yang berikut ini.
 Larutan (1) mengandung 0,005% b/v BPCRS tiamin mononitrat dalam
0,005M asam hidroklorik.
 Untuk larutan (2) encerkan volume injeksi yang mengandung 0,1 g Tiamin
Hidroklorida menjadi 100 ml dengan asam klorida 0,1 M dan selanjutnya
encerkan 5 ml menjadi 100 ml dengan air.
Prosedur kromatografi dapat dilakukan dengan menggunakan
 kolom baja tahan karat (10 cm×4,6 mm) dikemas dengan gel silika
oktadekilsilil tertutup ujung untuk kromatografi (5 μm) (Nukleosil C18
cocok),
 sebagai fase gerak dengan laju alir 2 ml/menit larutan dibuat dengan
melarutkan 1 g natrium heptana-sulfonat dalam campuran 180 ml metanol
dan 10 ml trietilamina, encerkan menjadi 1000 ml dengan air dan
sesuaikan pH 3,2 dengan asam ortofosfat dan
 panjang gelombang deteksi 244 nm.
Hitung kadar C12H17CIN4OS, HCl menggunakan kadar yang dinyatakan
C12H17N5O4S di BPCRS tiamin mononitrat. Setiap mg C12H17N5O4S setara
dengan 1.030 mg C12H17CIN4OS, HCl.

c. Kemurnian
pH 2,8 hingga 3,4

3.3 Evaluasi sediaan injeksi


Evaluasi fisika

16
a. Uji Kejernihan dan Warna (FI VI <882) hal 2020)
Tujuan : Memastikan bahwa setiap larutan obat suntik jernih dan bebas
pengotor 
Prinsip : Wadah-wadah kemasan akhir diperiksa satu persatu dengan
menyinari wadah dari samping dengan latar belakang hitam untuk
menyelidiki pengotor berwarna putih dan latar belakang putih
untuk menyelidiki pengotor berwarna.
Hasil : Memenuhi syarat bila tidak ditemukan pengotor dalam larutan.

b. Pemeriksaan pH (FI VI <1071> hal 2066)


Alat : pH meter 
Tujuan : Mengetahui pH sediaan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan
Prinsip : Pengukuran pH cairan uji menggunakan pH meter yang telah
Dikalibrasi

c. Pemeriksaan Bahan Partikulat (FI VI <751> hal 1990)


Tujuan : Menghitung partikel asing subvisibel dalam rentang ukuran
tertentu dalam sediaan injeksi
Metode : Uji Hitung Partikel Secara Hamburan Cahaya
Uji Hitung Partikel Secara Mikroskopik
Prinsip : Pengukuran jumlah partikel berdasarkan hamburan cahanya
larutan uji.
Pengukuran jumlah partikel berdasarkan perhitungan partikel
yang terlihat dengan mikroskop.

Prosedur :
 Sejumlah tertentu sediaan uji diukur hamburan cahayanya kemudian
dibandingkan dengan larutan baku.
 Sejumlah tertentu sediaan uji difiltrasi menggunakan membran, lalu
membran tersebut diamati di bawah mikroskop. Jumlah partikel dengan

17
dimensi linear efektif 10 mikrometer atau lebih dan sama atau lebih besar
dari 25 mikrometer dihitung.

Hasil : 
 Injeksi volume kecil memenuhi syarat uji jika jumlah partikel yang
dikandung yang memiliki diameter ≥10 µm ≤ 6000 dan yang memiliki
diameter ≥25 µm ≤ 600 per wadah.
 Injeksi volume kecil memenuhi syarat uji jika jumlah partikel yang
dikandung yang memiliki diameter ≥10 µm ≤ 3000 dan yang memiliki
diameter ≥25 µm ≤  300 per wadah

d. Uji Kebocoran (Goeswin Agoes, Larutan Parenteral, 191)

Tujuan : Memeriksa keutuhan kemasan untuk menjaga sterilitas dan


volume serta kestabilan sediaan.
Prinsip : Untuk cairan bening tidak berwarna
(a) wadah takaran tunggal yang masih panas setelah selesai
disterilkan, dimasukkan ke dalam larutan metilen biru 0,1%. Jika
ada wadah yang bocor maka larutan metilen biru akan masuk ke
dalam karena perubahan tekanan di luar dan di dalam wadah
tersebut sehingga larutan dalam wadah akan berwarna biru. Untuk
cairan yang berwarna

(b) lakukan dengan posisi terbalik, wadah takaran tunggal


ditempatkan diatas kertas saring atau kapas. Jika terjadi
kebocoran, maka kertas saring atau kapas akan basah.

Hasil : Sediaan memenuhi syarat jika larutan dalam wadah tidak menjadi
biru (prosedur a) dan kertas saring atau kapas tidak basah (prosedur
b)

Evaluasi biologi

e. Uji sterilitas (FI VI <71> hal 1836)

18
Tujuan : Menetapkan apakah bahan Farmakope yang harus steril
memenuhi
persyaratan berkenaan dengan uji sterilitas yang tertera    pada
masing-masing monografi.
Prosedur : Inokulasi langsung ke dalam media uji dan teknik penyaringan
membran.
Hasil : Jika tidak terjadi pertumbuhan mikroba, maka bahan uji
memenuhi
syarat sterilitas. Jika terbukti terjadi pertumbuhan mikroba, maka
bahan uji tidak memenuhi syarat sterilitas, kecuali dapat
ditunjukkan bahwa uji tidak absah disebabkan oleh hal yang tidak
berhubungan dengan bahan uji. Uji dikatakan tidak absah jika
satu atau lebih kondisi dibawah ini dipenuhi:
 Data pemantauan mikrobiologi terhadap fasilitas uji sterilitas
menunjukkan ketidaksesuaian.
 Pengkajian prosedur uji yang digunakan selama pengujian
menunjukkan ketidaksesuaian.
 Pertumbuhan mikroba ditemukan pada kontrol negatif
 Setelah dilakukan identifikasi mikroba yang diisolasi dari hasil
uji, pertumbuhan mikroba (beberapa mikroba) dapat dianggap
berasal dari kesalahan pada bahan uji, atau teknik pengujian
yang digunakan pada prosedur uji sterilitas.
 Jika pengujian dinyatakan tidak absah, lakukan uji ulang
dengan jumlah bahan yang sama dengan uji awal. Jika tidak
terbukti terjadi pertumbuhan mikroba pada uji ulang, maka
contoh memenuhi syarat uji sterilitas. Jika ditemukan
pertumbuhan mikroba pada uji ulang, makacontoh tidak
memenuhi syarat uji sterilitas

f. Uji endotoksin bakteri (FI VI <201> hal 1890)

Tujuan : Untuk memperkirakan kadar endotoksin bakteri yang mungkin


ada

19
didalam atau pada bahan uji.
Prinsip : Pengujian dilakukan menggunakan "Limulus Amebocyte Lysate"
(LAL), terdapat dua teknik uji, teknik pemebentukan jendal gel
dan teknik fotometrik. Teknik fotometrik mencakup metode
turbidimetri, yang didasarkan pada pembentukan kekeruhan
setelah penguraian substrat endogen dan metode kromogenik
yang didasarkan pada pembentukan warna setelah terjadi
penguraian kompleks kromogen-peptida sintetik. Dilakukan salah
satu dari teknik tersebut, kecuali jika dinyatakan lain pada
monografi. 
Hasil : Memenuhi syarat jika kadar endotoksin tidak lebih dari yang
ditetapkan pada masing-masing monografi.

20
BAB IV
PENUTUP

Pengawasan mutu menjadi aspek yang sangat penting dalam produksi bahan baku
maupun sediaan farmasi sebelum dipasarkan secara luas di masyarakat karena hal
ini berkaitan dengan stabilitas, keamanan, dan efektivitas sediaan tersebut.
Pengawasan Mutu merupakan bagian yang esensial dari Cara Pembuatan Obat
yang Baik untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten
mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Pengawasan mutu
berdasarkan Farmakope Indonesia edisi VI mencakup syarat identifikasi, syarat,
atribut mutu, syarat baku kemurnian, potensi kadar, dan kinerja sediaan bagi
sediaan farmasi.

21
DAFTAR PUSTAKA

British Pharmacopoeia. (2009). British Pharmacopoeia. Volume 1 & 2. London:


The British Pharmacopoeia Commission
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Farmakope Indonesia Edisi
Keenam. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1978. Formularium Nasional Edisi
kedua. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Hussin, Alaa F., Daamy, Muneer A., Alkhalily, Abd-almutalb B. 2010.
Spectrophotometric determination of Thiamine.HCl in pharmaceutical
preparations using Prussian blue reaction. Journal of Kerbala University,
Vol. 8 No. 3 Scientific.
U.S. Department of Commerce: National Institute of Standards and Technology.
2018. Thiamine Hydrochloride. https://webbook.nist.gov/cgi/formula?
ID=B6001851&Mask=80# (diakses pada tanggal 17 Januari 2021 pukul
11.30 WIB)
U.S. Pharmacopeia. 2016. The United States Pharmacopeia, USP 39/ The
National Formulary, NF 34. Rockville, MD: U.S. Pharmacopeial
Convention, Inc.

22
LAMPIRAN

Gambar 1. Spektrum inframerah tiamin hidroklorida


(NIST, 2018)

Gambar 2. Spektrum UV-Vis tiamin hidroklorida dengan λmax = 747 nm


(Hussin, 2010)

23

Anda mungkin juga menyukai