Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN PENELITIAN

K3 dan RISIKO
ASET BANGUNAN PUSKESMAS SUDI
Jalan Cigumelor Nomor 1 Kabupaten Bandung

Oleh :
Nufi Tirani
175244023

KELAS MANAJEMEN ASET 2017A


PROGRAM STUDI MANAJEMEN ASET
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya
penulisan laporan penelitian yang berjudul “K3 dan RISIKO ASET BANGUNAN
PUSKESMAS SUDI” dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam
semoga tercurah limpahkan kepada Nabi besar yakni Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabatnya.
Laporan ini berisi tentang penelitian program keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) yang diterapkan pada aset bangunan Puskesmas Sudi. Laporan ini
ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah K3 dan Risiko. Laporan ini
dapat bermanfaat bagi Puskesmas Sudi untuk mengevaluasi K3 dan risiko pada
aset bangunannya. Kegiatan penyusunan laporan ini dapat diselesaikan dengan
baik atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,
memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan lainnya baik moril maupun
materil.
Penyusun menyadari bahwa di dalam laporan ini terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penyusun berharap
adanya kritik dan saran demi perbaikan penyusunan laporan di masa yang akan
datang. Semoga laporan ini dapat memberikan ilmu dan menambah wawasan
yang bermanfaat bagi para pembaca.

Bandung, Juli 2020

Penyusun

i
RINGKASAN

Puskesmas Sudi beralamat di Jalan Cigumelor Nomor 1 Desa Sudi,


Kabupaten Bandung. Sebagai salah satu fasilitas kesehatan masyarakat,
Puskesmas Sudi tidak terlepas dari risiko dan bahaya yang mungkin terjadi di
tempat kerja. Aset bangunan puskesmas memiliki berbagai risiko yang dapat
mengancam keselamatan dan kesehatan karyawan, pasien maupun pengunjung
yang ada di lingkungan puskesmas. Oleh karena itu, pengelolaan K3 dan risiko
pada aset bangunan puskesmas sangat penting untuk mendukung lancarnya
kegiatan yang dilakukan pada bangunan tersebut. Penelitian ini membahas
mengenai risiko apa saja yang mungkin terdapat pada aset bangunan Puskesmas
Sudi, upaya penerapan program K3 yang diperlukan serta yang telah dilaksanakan
pada aset bangunan Puskesmas Sudi, dan bagaimana tingkat penerapan program
K3 tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui risiko-risiko yang
mungkin terdapat pada bangunan Puskesmas Sudi, mengetahui program K3 yang
sudah diterapkan dan seharusnya diterapkan di Puskesmas Sudi, dan mengetahui
tingkat penerapan program K3 pada aset bangunan Puskesmas Sudi.
Penelitian ini menggunakan teori bidang-bidang K3 dan teori building
safety index. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan
dengan cara observasi, studi dokumentasi, wawancara, dan kuisioner.
Penerapan program K3 pada aset bangunan Puskesmas Sudi telah
dilaksanakan dengan sangat baik. Hal tersebut berdasarkan hasil observasi dan
kuisioner dengan menggunakan tiga indikator safety building index. Adapun saran
yang dapat diberikan penulis yaitu program K3 pada aset bangunan Puskesmas
Sudi harus terus dilaksanakan. Selain itu, perlu dilaksanakan pelatihan terhadap
karyawan agar pengetahuan mengenai K3 dapat diketahui oleh seluruh pengguna
aset.

ii
DAFTAR ISI

Isi Halaman
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
RINGKASAN..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL....................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1. Latar Belakang Penelitian..............................................................1
1.2. Rumusan Masalah Penelitian.........................................................1
1.3. Tujuan Penelitian...........................................................................2
1.4. Lokasi dan Waktu Penelitian.........................................................2
BAB II LANDASAN TEORI...............................................................................3
2.1. Manajemen Aset............................................................................3
2.2. Siklus Aset.....................................................................................3
2.3. Jenis Aset.......................................................................................7
2.4. Keamanan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).....................7
2.4.1.Manajemen Risiko................................................................8
2.4.2.Bidang-Bidang K3 dan Risiko............................................10
2.5. Teori Building Safety Index..........................................................27
BAB III METOGOLOGI PENELITIAN............................................................30
3.1. Metode Penelitian........................................................................30
3.2. Jenis dan Sumber Data.................................................................30
3.2.1.Jenis Data............................................................................30
3.2.2.Sumber Data........................................................................31
3.3. Teknik Pengumpulan Data...........................................................31
3.4. Teknik Analisis Data....................................................................32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................33
4.1. Gambaran Umum Obyek.............................................................33
4.2. Hasil dan Pembahasan.................................................................34

iii
4.2.1.Risiko Pada Aset Bangunan Puskesmas Sudi.....................34
4.2.2.Program K3 yang Perlu Diterapkan pada Aset Bangunan
Puskesmas Sudi............................................................................36
4.2.3.Program K3 yang Sudah Diterapkan Pada Aset Bangunan
Puskesmas Sudi............................................................................37
4.2.4.......Tingkat Penerapan K3 pada Aset Bangunan Puskesmas
Sudi..............................................................................................43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................45
5.1. Kesimpulan..................................................................................45
5.2. Saran.............................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................46
LAMPIRAN...........................................................................................................48

iv
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel


Halaman
Tabel 2.1 Isi UU No.1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja...................10
Tabel 4.1 Program K3 yang perlu diterapkan.................................................36
Tabel 4.2 Program K3 yang sudah diterapkan................................................38
Tabel 4.3 Tingkat Penerapan K3 pada aset bangunan Puskesmas Sudi.........43

v
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar


Halaman
Gambar 2.1 Siklus Aset.....................................................................................4
Gambar 2.2 Kerangka Building Safety Index..................................................28
Gambar 4.1 Tampak Depan Puskesmas Sudi..................................................33
Gambar 4.2 Lokasi Puskesmas Sudi................................................................34

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Judul Lampiran


Lampiran A. Kuisioner Penerapan K3

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan upaya perlindungan yang
ditujukan agar semua orang yang berada di lingkungan kerja dalam keadaan
aman. K3 dianggap penting agar dapat melindungi dan memastikan keselamatan
dan kesehatan tenaga kerja maupun semua orang yang berada di lingkungan kerja
serta meminimalkan risiko di lingkungan kerja sehingga kinerja dari tenaga kerja
meningkat dan lingkungan kerja dalam keadaan aman.
Salah satu aset bangunan yang memiliki risiko yaitu puskesmas. Aset
bangunan puskesmas memiliki berbagai risiko yang dapat mengancam
keselamatan dan kesehatan karyawan, pasien maupun pengunjung yang ada di
lingkungan puskesmas. Oleh karena itu, pengelolaan K3 dan risiko pada aset
bangunan puskesmas sangat penting untuk mendukung lancarnya kegiatan yang
dilakukan pada bangunan tersebut.
Puskesmas Sudi adalah fasilitas kesehatan yang memiliki berbagai macam
risiko. Adanya risiko yang mungkin terjadi pada aset bangunan Puskesmas Sudi
melatar belakangi pentingnya K3 dan risiko di Puskesmas Sudi. Pengelolaan K3
dan risiko dapat mengurangi risiko yang mungkin terjadi, sehingga aset bangunan
dapat digunakan secara optimal. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian
terhadap K3 dan risiko pada aset bangunan Puskesmas Sudi.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Risiko apa sajakah yang mungkin ada pada aset bangunan Puskesmas Sudi?
2. Upaya penerapan program K3 apa sajakah yang diperlukan aset bangunan
Puskesmas Sudi?
3. Upaya penerapan program K3 apa sajakah yang sudah diterapkan pada aset
bangunan Puskesmas Sudi?

1
4. Bagaimanakah tingkat penerapan program K3 pada aset bangunan
Puskesmas Sudi ?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Risiko-risiko yang mungkin ada pada aset bangunan Puskesmas Sudi.
2. Program K3 yang seharusnya diterapkan pada aset bangunan Puskesmas
Sudi.
3. Program K3 yang sudah diterapkan pada aset bangunan Puskesmas Sudi.
4. Tingkat penerapan program K3 pada aset bangunan Puskesmas Sudi.

1.4. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian dilaksanakan di Puskesmas Sudi yang beralamat di Jalan
Cigumelor Nomor 1, Desa Sudi, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. Waktu
penelitian dilaksanakan mulai tanggal 14 April 2020 sampai dengan tanggal 30
Juli 2020.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Manajemen Aset


Menurut Sugiama (2013:15), Manajemen Aset adalah ilmu dan seni untuk
memandu pengelolaan kekayaan yang mencakup proses merencanakan kebutuhan
aset, mendapatkan, menginventarisasi, melakukan legal audit, menilai,
mengoperasikan, memelihara, membaharukan atau menghapuskan hingga
mengalihkan aset secara efektif dan efisien.
Pemerintah South Australia dalam Hariyono (2007:3) mendefinisikan
manajemen aset sebagai “...a process to manage demand and guide acquisition,
use and disposal of assets to make the most of their service delivery potential, and
manage risks and costs over their entire life”, yang artinya proses untuk mengelola
permintaan dan akuisisi panduan, penggunaan dan penjualan aset untuk
memanfaatkan potensi layanan, dan mengelola resiko dan biaya seumur hidup.
Menurut Danylo dan Lemer dalam Hariyono, (2007:4) manajemen aset
adalah “...a methodology to effeciently and equitably allocate resources amongst
valid and competing goals and objectives.”, yang artinya sebuah metodologi
efisien dan mengalokasikan sumber daya secara adil untuk mencapai tujuan dan
sasaran.
Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa manajemen aset mencakup
proses milai dari proses perencanaan (planning) sampai dengan penghapusan
(disposal) dan perlu adanya pengawasan terhadap aset-aset tersebut selama umur
penggunaannya oleh suatu organisasi.

2.2. Siklus Aset


Aset memiliki beberapa tahapan pada siklus alur aset, yang saling berkaitan
satu sama lain. Jika salah satunya tidak digunakan atau dilakukan maka proses
manajemen aset tidak akan berfungsi secara efektif, efisien dan optimal.

3
Menurut Sugiama (2013), secara umum alur manajemen aset itu meliputi
pengadaan aset hingga penghapusan aset bersangkutan. Siklus aset dicerminkan
dalam gambar berikut.

Pengalihan Aset
Pemusnahan Aset (Penjualan,
Penyertaan Modal,
Hibah)

Penghapusan Pembaharuan/
Aset Rejuvenasi Aset

Pengoperasian dan
Pemeliharaan Aset

Penilaian Aset

Legal Audit Aset

Inventarisasi Aset

Pengadaan Aset

Perencanaan Kebutuhan Aset

Gambar 2.1 Siklus Aset


Sumber : Sugiama, 2013

Sebagaimana dicerminkan dalam gambar 2.1 , sklus aset mencakup


sembilan tahap sebagai berikut :
1. Perencanaan Kebutuhan Aset
Perencanaan kebutuhan aset adalah suatu kegiatan merumuskan rincian
semua yang dibutuhkan, sebagai dasar (master plan) dalam menentukan
langkah langkah selanjutnya dalam siklus aset.
2. Pengadaan Aset

4
Pengadaan aset adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh atau
mendapatkan aset/barang maupun jasa baik yang dilaksanakan sendiri secara
langsung oleh pihak internal, maupun oleh pihak luar sebagai mitra atau
penyedia/pemasok aset bersangkutan.
3. Inventarisasi Aset
Inventarisasi aset dalah serangkaian kegiatan untuk melakukan pendataan,
pencatatan, pelaporan hasil pendataan aset, dan mendokumentasikannya baik
aset berwujud maupun aset tidak berwujud pada suatu waktu tertentu.
4. Legal Audit Aset
Legal audit adalah serangkaian pemeriksaan (audit) untuk mendapatkan
gambaran jelas dan menyeluruh terutama mengenai status kepemilikan,
sistem dan prosedur penguasaan (penggunaan dan pemanfaatan), pengalihan
aset, mengidentifikasi kemunginan terjadinya berbagai permasalahan hukum,
serta mencari solusi dari masalah hukum tersebut.
5. Penilaian Aset
Penilaian aset adalah proses kegiatan penilai dalam memberikan suatu
estimasi dan pendapat atas nilai ekonomis suatu property, baik harta berwujud
(tangible asset) maupun harta tidak berwujud (intangible asset), berdasarkan
hasil analisis terhadap fakta-fakta yang objektif dan relevan dengan
menggunakan metode dan prinsip-prisip penilaian yang berlaku.
6. Pengoperasian dan Pemeliharaan Aset
Operasi dapat didefinisikan dari beragam sudut pandang. Berdasarkan
perspektif operasi sebuah aset, operasi dapat didefinisikan sebagai sebuah
proses atau serangkaian kegiatan yang secara khusus terdiri dari langkah-
langkah mendasar dalam sebuah pekerjaan atau kumpulan pekerjaan untuk
memfungsikan / memakai asset bersangkutan.
7. Pemeliharaan aset
Pemeliharaan aset adalah sebuah sistem yang mencakup kombinasi dari
sekumpulan aktivitas yang dilengkapi oleh beragam sumberdaya untuk
menjamin agar aset bersangkutan dapat berfungsi sebagaimana diharapkan.
Atau pemeliharaan aset adalah sekumpulan aktvitas yag diorganisaskan untuk

5
menjamin agar asset dapat dioperasikan dalam kondisi terbaik dengan biaya
terendah.
8. Pembaharuan/Rejuvenasi Aset
Rejuvenasi aset adalah membangun kembali aset agar memiliki fungsi
kembali sebagaimana semula, bahkan mempertinggi fungsi dari aset tersebut.
9. Penghapusan Aset
Aset yang telah tidak memungkinkan lagi direjuvenasi karena pertimbangan
ekonomi atau fungsinya, maka aset dapat dihapuskan atau disposal.
10. Pengalihan Aset (Pemindahtanganan Aset)
Pemindahtanganan aset adalah pengalihan kepemilikan aset dari satu pihak
kepada pihak lain sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara
menjual aset, mempertukarkan asset, menghibahkannya atau disertakan
sebagai modal pada pihak lain.

Pengelolaan aset milik Negara harus dilakukan dengan efektif dan efisien
agar mendapatkan hasil yang optimal. Pengelola aset milik Negara yaitu Menteri
Keuangan sebagai pemangku kewenangan sekaligus penanggung jawab, yang
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2008 mengatur mengenai perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan,
penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian,
penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan
pengendalian.
Pada pelaksanaannya, pengelolaan Barang Milik Negara semakin
berkembang dan lebih kompleks. Saat ini pengelolaan BMN belum dapat
dilaksanakan dengan optimal karena terdapat beberapa permasalahan serta praktik
pengelolaan yang penanganannya belum dapat dilaksanakan dengan Peraturan
Pemerintah tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penggantian untuk
menjawab permasalahan dan praktik yang belum tertampung dalam Peraturan
Pemerintah tersebut. Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Pasal 3

6
ayat 2 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara. Pengelolaan Barang Milik
Negara meliputi Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran, Pengadaan,
Penggunaan, Pemanfaatan, Pengamanan dan pemeliharaan, Penilaian,
Pemindahtanganan, Pemusnahan, Penghapusan, Penatausahaan, dan Pembinaan,
pengawasan dan pengendalian.

2.3. Jenis Aset


Hastings (2010), menjelaskan bahwa aset dibagi menjadi 2 (dua) yaitu aset
tetap (Fixed Asset) dan aset lancar (Current Asset). Aset tetap (Fixed Asset) adalah
suatu barang yang dapat dilihat wujud fisiknya yang digunakan untuk
menjalankan kegiatan operasional dalam suatu organisasi, mempertahankan nilai
suatu organisasi, dan digunakan dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun.
Sedangkan aset lancar (Current Asset) terdiri dari cash dan instrumen keuangan
lainnya, serta barang-barang fisik yang bergerak yang dikategorikan sebagai
fastmoving dan digunakan kurang dari 1 (satu) tahun.
Aset terbagi dalam 5 jenis yaitu aset real estates dan fasilitas, mesin dan
produksi, mobile assets, infrastruktur, dan teknologi informasi (Campbell, 2011).
Kelompok aset real estate dan fasilitas meliputi tanah, bangunan kantor, gudang,
sekolah, rumah, dan rumah sakit. Kelompok aset plant dan production meliputi
hasil pertambangan, tekstil, bahan kimia, minyak tanah, elektronik, makanan.
Kelompok aset bergerak meliputi pesawat terbang, mobil truck, kapal laut, kereta
api. Selanjutnya kelompok aset infastruktur meliputi rel kereta api, jalan raya,
jalan tol, irigasi, jembatan. Kelompok aset teknologi infomasi meliputi computer,
jaringan internet, software.

2.4. Keamanan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah program yang dibuat oleh
perusahaan maupun pekerja sebagai upaya pencegahan timbulnya kecelakaan dan
penyakit akibat kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi
menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif
apabila terjadi panyakit dan kecelakaan akibat kerja, dengan tujuan untuk

7
mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan dan penyakit akibat kerja
(Trisyulianti, 2007). OHSAS 18001 (2007) menyebutkan “Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) yaitu kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang berdampak,
pada kesehatan dan keselamatan karyawan atau pekerja lain (termasuk pekerja
kontrak dan personel kontraktor, atau orang lain di tempat kerja)”.

2.4.1. Manajemen Risiko


Menurut Siahaan (2009) risiko dijelaskan sebagai kombinasi antara potensi
suatu kejadian dengan dampak dari kejadian tersebut. Semua kegiatan atau
aktivitas manusia (organisasi) terdapat potensi kejadian dan dampak yang dapat
berupa keuntungan (upside risk) atau bahaya terhadap keberhasilan (downside
risk) (Siahaan, 2009). Risiko dapat dibedakan menjadi dua, yaitu risiko murni
(pure risk) dan risiko spekulasi (speculative risk). Risiko murni merupakan
potensi terjadinya sesuatu yang apabila terjadi akan menyebabkan kerugian,
sedangkan risiko spekulatif merupakan potensi terjadinya sesuatu yang apabila
terjadi dapat menimbulkan kerugian atau keuntungan (Siahaan, 2009).
Risiko dapat terjadi kapan dan dimana saja, bahkan sulit untuk dihindari.
Jika risiko tersebut terjadi pada suatu organisasi, dalam beberapa kondisi dapat
menimbulkan kerugian yang signifikan (Hanafi, 2016). Manajemen risiko
merupakan bagian penting dalam manajemen strategis suatu organisasi. Menurut
Siahaan (2009) “manajemen risiko adalah suatu proses dengan metode-metode
tertentu supaya suatu organisasi mempertimbangkan risiko yang dihadapi setiap
kegiatan organisasi dalam mencapai tujuan organisasi, atau risiko portofolio
kegiatan organisasi”. Pelaksanaan manajemen risiko akan terus berkembang
dengan menyesuaikan implementasi strategi (Siahaan, 2009).

2.4.1.1. Identifikasi Risiko


Identifikasi risiko bertujuan untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang
dihadapi oleh suatu organisasi. Ada beberapa teknik risiko yang biasa digunakan
dalam mengindentifikasi risiko, diantaranya yaitu brainstorming, questionnaire,
industry benchmarking, scenario analysis, risk assestment workshops, incident

8
investigation, dan auditing and inspection. Setelah risiko diidentifikasi, kemudian
dibuat deskripsi risiko untuk menjelaskan risiko yang telah diidentifikasi secara
terstruktur, seperti dengan menggunakan tabel (Siahaan, 2009).

2.4.1.2. Evaluasi dan Pengukuran Risiko


Langkah selanjutnya yaitu mengukur dan mengevaluasi risiko. Risiko
dapat diukur secara kuantitatif dan semi kuantitatif atau kualitatif (Siahaan, 2009).
Tujuan dari evaluasi risiko adalah untuk memahami karakterisitik risiko dengan
lebih baik, agar dapat mengambil keputusan risiko yang berpengaruh signifikan
terhadap organisasi akan diterima atau dapat dihilangkan. Ada beberapa teknik
dalam mengukur risiko tergantunh jenis risiko tersebut. Salah satunya dengan
membuat matriks dengan sumbu mendatar adalah probabilitas terjadinya risiko
dan sumbu vertikal adalah tingkat keseriusan konsekuensi risiko, setiap risiko
dievaluasi kemudian dimasukkan ke dalam matriks tersebut (Hanafi, 2016).

2.4.1.3. Pengelolaan Risiko


Setelah dianalisis dan dievaluasi, langkah selanjutnya adalah dengan
mengelola risiko. Apabila organisasi gagal mengelola risiko, maka konsekuensi
yang dapat diterima akan cukup serius. Risiko dapat dikelola dengan beberapa
cara, seperti berikut ini (Hanafi, 2016):
1. Penghindaran, menghindar merupakan cara yang paling sederhana dalam
mengelola risiko, namun tidak optimal.
2. Ditahan (Retention), dalam beberapa kondisi akan lebih baik jika kita
menghadapi risiko yang dapat terjadi.
3. Diversifikasi merupakan penyebaran eksposur yang kita miliki sehingga
tidak berfokus hanya pada satu eksposur saja.
4. Transfer risiko, apabila kita tidak ingin menanggung risiko tertentu, kita
dapat mentransfer risiko tersebut ke pihak lain yang dianggap lebih
mampu menangani risiko tersebut.

9
2.4.2. Bidang-Bidang K3 dan Risiko
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja pasal 2 ayat 2 bagian a, b, m, n, dan r dapat diketahui
kondisi-kondisi tertentu yang berhubungan erat dengan keselamatan kerja. Berikut
isi UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 2 ayat 2 bagian a, b, m,
n, dan r dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Isi UU No.1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja


Bagian Isi
a) Dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat,
perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat
menimbulkan kecelakaan atau peledakan.
b) Dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut, atau
disimpan atau bahan yang dapat meledak, mudah terbakar, menggigit,
beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi.
c) Terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, suhu, kotoran, api, asap, uap,
gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran.
d) Dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah.
e) Diputar film, pertunjukan sandiwara atau diselenggarakan reaksi lainnya
yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik.
Sumber: UU No.1 Tahun 1970.

Dari kelima poin di atas, berikut merupakan aspek-aspek dari Keselamatan


dan Kesehatan Kerja (K3).
2.4.2.1. Konstruksi
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
Per.01/Men/1980 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada
Konstruksi Bangunan menyebutkan konstruksi adalah kegiatan yang
berhubungan dengan seluruh tahapan yang ada di tempat kerja. Pekerjaan
konstruksi bangunan merupakan pekerjaan yang mengandung potensi bahaya.
Sehingga, dalam memberi perlindungan keselamatan kerja kepada pekerja
diperlukan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang sangat tinggi.
Tahapan dalam konstruksi bangunan berhubungan dengan seluruh tahapan
yang dilakukan di tempat kerja. Diantara tahapan yang ada yaitu pekerjaan
penggalian, pekerjaan pondasi, pekerjaan beton, pekerjaan baja, dan
pembongkaran.

10
2.4.2.2. Penanggulangan Kebakaran
Kebakaran adalah suatu peristiwa oksidasi dengan ketiga unsur
(bahan bakar, oksigen, dan panas) yang berakibatkan menimbulkan kerugian
harta benda atau cidera bahkan sampai kematian (Karla, 2007: NFPA, 1986).
Sifat kebakaran seperti dijelaskan dalam bahan training keselamatan kerja
penanggulangan kebakaran adalah terjadi secara tidak terduga, tidak akan
padam apabila tidak dipadamkan dan kebakaran akan padam dengan
sendirinya apabila konsentrasi keseimbangan hubungan 3 unsur dalam segitiga
api tidak teprenuhi lagi. Sebab-sebab terjadinya kebakaran dapat terjadi karena
manusia, peristiwa alam, penyalaan sendiri dan unsur kesengajaan (Triyono,
2001).
1. Kebakaran karena manusia yang bersifat kelalaian, seperti:
a. Kurangnya pengertian, pengetahuan tentang penanggulangan bahaya
kebakaran.
b. Kurang hati-hati dalam menggunakan alat atau bahan yang dapat
menimbulkan api.
c. Kurangnya kesadaran pribadi atau tidak disiplin.
2. Kebakaran karena peristiwa alam terutama menyangkut cuaca dan gunung
berapi, seperti sinar matahari, letusan gunung berapi, gempa bumi, petir,
angin, dan topan.
3. Kebakaran karena penyalaan sendiri, sering terjadi pada gudang-gudng
bahan kimia dimana bahan-bahan tersebut bereaksi dengan udara, air, dan
juga dengan bahan-bahan lainnya yang mudah meledak atau terbakar.
4. Kebakaran karena unsur kesengajaan, untuk tujuan-tujuan tertentu,
misalnya:
a. Sabotase untuk menimbulkan hura-hura, kebanyakan dengan alasan
politis.
b. Mencari keuntungan pribadi karena ingin mendapatkan ganti rugi
melalui asuransi kebakaran.

11
c. Untuk menghilangkan jejak kejahtan dengan cara membakar dokumen
atau bukti-bukti yang dapat memberatkannya.
d. Untuk jalan taktis dalam pertempuran dengan jalan bumi hangus.

Klasifikasi kebakaran adalah penggolongan atau pembagian


kebakaran atas dasar jenis bahan bakarnya. Menurut NFPA (1986),
kebakarkan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelas, yaitu:
1. Kelas A, yaitu kebakaran bahan padat kecuali logam.
2. Kelas B, yaitu kebakaran bahan cair dan gas yang mudah terbakar.
3. Kelas C, yaitu kebakaran listrik dengan bertegangan.
4. Kelas D, yaitu kebakaran dengan bahan logam.
Adapun kebutuhan penanggulangan kebakaran dapat dijelaskan
sebagai berikut. Unit penanggulangan kebakaran ialah unit kerja yang
dibentuk dan ditugasi untuk menangani masalah penanggulangan kebakaran
di tempat kerja yang meliputi kegiatan administratif, identifikasi sumber-
sumber bahaya, pemeriksaan, pemeliharaan dan perbaikan sistem proteksi
kebakaran. (Kepmenaker RI, No: KEP-186/MEN/1999.) Unit
penanggulangan kebakaran terdiri dari:
1. Petugas peran penanggulangan kebakaran.
Petugas peran penanggulangan kebakaran adalah petugas yang ditunjuk
dan diserahi tugas tambahan untuk mengidentifikasi sumber bahaya dan
melaksanakan upaya penanggulangan kebakaran di unit kerjanya.
(Kepmenaker RI, No: KEP-186/MEN/1999). Tugas dari petugas peran
kebakaran adalah:
a. Mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor yang dapat
menimbulkan bahaya kebakaran.
b. Memadamkan kebakaran pada tahap awal.
c. Mengarahkan evakuasi orang dan barang.
d. Mengadakan koordinasi dengan instansi terkait.
e. Mengamankan lokasi kebakaran. (Kepmenaker RI, No:
KEP186/MEN/1999)

12
2. Regu penangggulangan kebakaran.
Regu penangggulangan kebakaran ialah satuan satgas yang mempunyai
tugas khusus fungsional di bidang penanggulangan kebakaran. Tugas dari
regu penanggulangan kebakaran adalah :
a. Mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor yang dapat
menimbulkan bahaya kebakaran.
b. Melakukan pemeliharaan sarana proteksi kebakaran.
c. Memberikan penyuluhan tentang penanggulangan kebakaran pada
tahap awal.
d. Membantu menyusun buku rencana tanggap darurat penanggulangan
kebakaran.
e. Memadamkan kebakaran.
f. Mengarahkan evakuasi orang dan barang.
g. Mengadakan koordinasi dengan instansi terkait.
h. Memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan.
i. Mengamankan seluruh lokasi tempat kerja.
3. Koordinator unit penanggulangan kebakaran.
Koordinator unit penanggulangan kebakaran adalah ialah orang yang
mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau bagiannya
yang berdiri sendiri. Tugas dari koordinator unit penanggulangan
kebakaran:
a. Memimpin penanggulangan kebakaran sebelum mendapat dari
instansi yang berwenang.
b. Menyusun program kerja dan kegiatan tentang cara penanggulangan
kebakaran.
c. Mengusulkan anggaran, sarana dan fasilitas penanggulangan
kebakaran kepada pengurus. (Kepmenaker RI, No:
KEP186/MEN/1999).
4. Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai penanggung jawab
teknis. Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran adalah tenaga teknis
yang berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang telah

13
ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. Tugas dari Ahli K3 spesialis
penanggulangan kebakaran adalah:
a. Membantu mengawasi pelaksanaan peraturan perundang undangan
bidang penanggulangan kebakaran.
b. Memberikan laporan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk
sesuai dengan peraturan perundangan berlaku.
c. Merahasiakan segala keterangan tentang rahasia perusahaan atau
instansi yang di dapat berhubungan dengan jabatannya.
d. Memimpin penanggulangan kebakaran sebelum mendapat bantuan
dari instansi yang berwenang.
e. Menyusun program kerja atau kegiatan penanggulangan kebakaran.
f. Mengusulkan anggaran, sarana dan fasilitas penanggulangan kepada
pengurus.
g. Melakukan koordinasi dengan instansi terkait. (Kepmenaker RI, No:
KEP-186/MEN/1999)
5. Jalur/Tempat Evakuasi.
Secara ideal, semua bangunan harus memiliki sekurang-kurangnya dua
jalan penyelamat diri pada dua arah yang bertentangan terhadap setiap
kebakaran yang terjadi pada sembarangan tempat dalam bangunan
tersebut, sehingga tak seorangpun bergerak kearah api untuk
menyelamatkan diri. Jalan-jalan penyelamatan demikian harus dipelihara
bersih, tidak terhalang oleh barang-barang, mudah terlihat dan di beri
tanda tanda yang jelas (Suma’mur, 1996). Jauh maksimum jalan
penyelamatan yang pada umumnya diterima adalah sekitar 40 m,
sekalipun pada bangunan-bangunan yang resiko kebakarannya kecil atas
dasar sifat tahan api jarak tersebut dapat diperbesar menjadi 50 m.
Sebaliknya, manakala bahaya perembetan api sangat cepat, jarak tersebut
harus dikurangi, katakanlah menjadi menjad 30 m atau kurang dari 30m.
Jarak tersebut harus diperhitungkan menurut keadaan sebenarnya dan
tidak menurut garis lurus sebagai akibat barang-barang atau hadangan
yang ada (Suma’mur, 1996). Peta evakuasi yang terbaru harus

14
dipersiapkan dan ditempatkan di beberapa lokasi pada tiap-tiap fasilitas di
lokasi pabrik. Peta-peta ini harus menunjukkan pintu keluar terdekat,
pintu keluar cadangan dan titik pertemuan. Disarankan bahwa peta
evakuasi juga menunjukkan lokasi rencana gawat darurat, meja
resepsionis, alat pemadaman kebakaran, pencuci mata, pancuran air,
peralatan untuk menangani tumpahan bahan kimia, P3K dan elemen-
elemen penting lainnya. Para pekerja harus diberitahu untuk mengingat
rute utama dan rute cadangan bila jalan keluar utama tertup (Kuhre,1996)
6. Fasilitas dan Peralatan Dalam Kebakaran.
a. Sarana Komunikasi
Sarana komunikasi yang perlu dipersiapkan antara lain: alarm, radio
panggil, telepon genggam dengan satuan khusus dan lainlain. Karena
fungsinya yang sangat penting maka sarana komunikasi harus selalu
dirawat dan dijaga agar senantiasa berfungsi dengan baik dan dapat
dipakai secara terus menerus dengan efektif (Syukri Sahab, 1997).
b. Alat pelindung diri
Alat pelindung diri harus ditempatkan di lokasi yang strategis bagi tim
emergency, tergantung pada bahan kimia yang ada tempat kerja sesuai
dengan jenis kecelakaannya. Alat pelindung meliputi alat bantu
pernafasan dan saluran oksigen, baju tahan bahan kimia dan tahan
api,sarung tangan tahan api, sepatu boot. Alat pelindung tersebut
selalu diperiksa dan di uji coba secara rutin sehingga dapat pada saat
dibutuhkan selalu siap. Sebelum digunakan perlu dilakukan pengujian
untuk mencoba peralatan tersebut sebelum keadaan darurat yang
sebenarnya terjadi (Kuhre, 1996).
c. Peralatan Pemadam Kebakaran
Peralatan pemadam kebakaran seperti fire extinguiser (Alat Pemadam
Api Ringan/APAR), hidran, sprinkler, dan lain sebagainya harus
tersedia di seluruh bagian pabrik dan harus dicek secara teratur
(Kuhre, 1996). Setiap satu atau kelompok alat pemadam api ringan
harus ditempatkan pada posisi yang mudah dilihat dengan jelas,

15
mudah dicapai dan diambil serta di lengkapi dengan pemberian tanda
pemasangan. Pemberian tanda pemasangan yaitu segitiga sama sisi
dengan warna dasar merah, ukuran sisi 35 cm, tinggi huruf 3 cm dan
bewarna putih, serta tinggi tanda panah 7,5 cm warna putih. Tinggi
pemberian tanda pemasangan adalah 125 cm dari dasar lantai tepat
diatas satu atau kelompok alat pemadam api ringan bersangkutan.
Penempatan harus sesuai dengan jenis dan penggolongan
kebakarannya serta pemasangan antara alat pemadam api yang satu
dengan lainnya atau kelompok satu dengan lainnya tidak boleh
melebihi 15 meter, kecuali telah ditetapkan pegawai pengawas atau
ahli keselamatan kerja (Permenakertrans No: Per-04/Men/1980).
Instalasi alarm kebakaran otomatik adalah sistem atau rangkaian
alarm kebakaran yang menggunakan detektor panas, detektor asap,
detektor nyala api dan titik panggil secara manual serta perlengkapan
lainnya yang dipasang pada sistem alarm kebakaran. Setiap
perusahaan harus memiliki sistem alarm kebakaran baik secara
otomatis maupun manual untuk memperingatkan semua tenaga kerja
(Permenaker No: PER/02/MEN/1983).
d. Peralatan medis
Tim emergency harus dilengkapi dengan peralatan medik untuk
pertolongan darurat seperti oksigen, alat resusitasi jantung dan paru,
pembalut dan obat-obatan (Syukri Sahab, 1997).
e. Alat transportasi
Jika terdapat suatu keadaan darurat maka peralatan transportasi juga
memegang peranan tidak kalah pentingnya. Alat transportasi
dibutuhkan untuk memindahkan pekerja keluar dari lokasi,
mengangkut bantuan yang diperlukan dan membawa korban yang ada.
Untuk itu ambulans, mobil, bus, truk dan lain-lain harus tersedia
untuk keperluan evakuasi (Kuhre, 1996).

16
2.4.2.3. Pesawat Uap dan Baja Tekan
Menurut Permenaker No 1/Men/1988 tentang Klasifikasi dan syarat-
syarat Operator Pesawat Uap adalah serangkaian kegiatan pengawasan dan
semua tindakan yang dilakukan pegawai pengawas keselamatan kerja atas
pemenuhan pelaksanaan peraturan perundang-undangan terhadap obyek
pengawasan K3 pesawat uap dan bejana tekan ditempat kerja. Penggunaan
pesawat uap dan bejana tekan semakin berkembang dan bahaya pada
penggunaannya semakin berbahaya berupa peledak. Pengawasan terhadap
pesawat uap belum sangat optimal dikarenakan kualitas dan pegawai pengawas
spesialis pun sangat terbatas.
Berdasarkan undang-undang no: 1 tahun 1970 menggunakan pesawat
uap dan bejana tekan dapat berpotensi membahayakan dari pengoperasian
pesawat uap dan bejana tekan:
1. Semburan api
2. Air panas
3. Gas
4. Fluida
5. Uap panas
6. Debu
7. Suhu tinggi
8. Bahaya kejut listrik
9. Peningkatan tekanan

2.4.2.4. Mekanik
Aspek mekanik pada perencanaan program K3 yang dimaksud meliputi
penggunaan mesin dan peralatan, dan persiapan pengolahan.
1. Mesin dan Peralatan
Menurut dasar hukum Permen No.05/Men/1985 tentang pesawat angkat
dan angkut pengawasan K3 Mekanik adalah serangkaian kegiatan pengawasan
yang semua tindakan yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan

17
atas pemenuhan pelaksanaan peraturan perundang-undangan terhadap obyek
pengawasan K3 mekanik di tempat kerja. Berikut istilah dalam K3 Mekanik:
a. Turbin adalah mesin penggerak dimana energi fluida kerja dipergunakan
langsung untuk memutar roda turbin yang selanjutnya akan menggerakkan
generator, pompa, compressor, baling-baling atau mesin lainnya.
b. Mesin perkakas adalah mesin-mesin yang dijalankan dengan peralatan
tranmisi tenaga mekanik seperti ban mesin dengan puli atau dengan motor
listrik yang digunakan untuk membuat produk dari logam meliputi mesin
pemotongan logam, mesin bor, mesin gerinda, mesin bubut, mesin potong.
c. Mesin Gerinda adalah mesin yang digunakan untuk memotong logam
dalam bentuk tertentu dengan menggunakan roda gerinda yang padat.
d. Mesin pres adalah mesin yang digerakkan secara mekanis atau bantuan
kaki dan tangan operator dan digunakan untuk memotong, melubangi,
membentuk, atau merangkaikan bahan-bahan logam.
e. Tanur adalah tempat untuk mengolah besi dengan menggunakan suhu
pemanasan yang tinggi untuk mencairkan dan mengolahnya.
f. Pondasi mesin adalah bagian mesin yag berfungsi sebagai penyangga
mesin yang berada di atasnya. Sehingga pondasi mesin harus mampu
menahan beban dinamis dan statis dari mesin.
g. Pesawat angkat adalah mesin yang digunakan untuk mengangkat atau
mengangkut manusia ataupun barang.
h. Peralatan angkat terdiri dari alat dongkrak, keran angkat, elevator, pita
transport, pesawat angkutan di atas landasan permukaan.

Dalam upaya pencegahan kecelakaan hal yang perlu diperhatikan adalah


lingkungan tempat kerja, manusia yang bekerja, alat yang digunakan untuk
bekerja. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk pengaman mesin yang akan
harus dianalisa sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam model Code of
Safety Regulations for Industrial Establishment dalam regulasi No 82
dijelaskan sebagai berikut:

18
a. Pengaman-pengaman harus direncanakan, dibuat, dan dipakai sehingga
memenuhi kebutuhan perlindungan yang positif.
b. Tidak mengganggu keamanan dan ketenangan bagi operator.
c. Mencegah pendekatan terhadap semua wilayah berbahaya.
d. Tidak mengganggu jalannya produksi.
e. Dapat dipergunakan secara otomatis atau dengan sedikit usaha.
f. Sesuai untuk pekerjaan dan mesin.
g. Tidak mengganggu kebutuhan merawat.
h. Tahan terhadap pemakaian jangka panjang.
i. Tahan terhadap pemakaian secara normal dan dalam keadaan shock.
j. Tahan lama, tahan api, dan tahan korosi, tidak menimbulkan bahaya.
2. Persiapan Pengolahan
Menurut Sihite (2000), mengatakan bahwa “beberapa hal yang penting
dalam persiapan di tempat pengolahan” adalah:
a. Persiapan tempat pengolahan atau dapur
1) Perputaran udara sehingga asap dan udara panas dapat keluar dengan
sempurna
2) Lantai, dinding dan ruangan bersih dan terpelihara agar mengurangi
kemungkinan percemaran terhadap makanan meja peracikan bersih dan
permukaannya kuat atau tahan goresan agar bekas irisan tidak masuk
kedalam makanan.
3) Bebas lalat dan tikus
4) Tidak ada binatang peliharaan seperti kucing dan anjing.
b. Peralatan masak dan perabotan
1) Harus memenuhi syarat baik secara fisik maupun bakteriologis. Secara
fisik peralatan harus bersih, tidak berbau dan tidak ada bekas makanan
yang menempel pada permukaan peralatan. Sedangkan secara
bakteriologis peralatan harus bebas dari kuman penyebab pencemaran
makanan.
2) Keutuhan harus terjaga, tidak boleh padah, tergores atau retak karena
akan menjadi sarang kotoran atau bakteri.

19
3) Setiap peralatan mempunyai fungsi yang berbeda-beda dan tidak boleh
dicampur aduk dalam penggunaannya.
c. Sarana sanitasi
1) Tempat sampah yang tertutup dan tidak bocor
2) Saluran pembuangan air limbah harus dilengkapi dengan grease trap
untuk penangkap lemak
3) Kamar mandi untuk staff harus mencukupi
d. Peralatan untuk pencucian
1) Tersedia tempat untuk mencuci tangan (washtafel)
2) Tersedia sarana untuk mencuci bahan makanan dan peralatan
e. Pelindung pencemaran kuman dan bakteri
1) Setiap petugas yang bekerja disediakan pakaian kerja yaitu celemek
(apron) dan penutup kepala (hair cover)
2) Khusus untuk penjamah makanan masak disediakan sarung tangan
plastic yang sekali pakai (disfosable) dan penutup hidung dan mulut
(mouth and nose masker)

2.4.2.5. Listrik
Dalam lingkungan tempat kerja tertentu terdapat banyak peralat-
peralatan yang menggunakan sumber listrik. Bahkan sumber listrik yang
digunakan dengan kapasitas yang besar. Untuk itu pelaksanaan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja harus benar-benar diperhatikan dan dilaksanakan karena
apabila pelaksanaan K3 diabaikan akan sangat bahaya bagi para pekerja,
perusahaan dan lingkungan disekitar tempat kerja (Prianto, 2016).
Proteksi untuk keselamatan sangat menentukan sebagai persyaratan
terpenting untuk melindungi manusia dan peralatan yang ada di tempat kerja.
Proteksi tersebut (Prianto, 2016), yaitu:
1. Proteksi dari kejut listrik
2. Proteksi dari efek termal
3. Proteksi dari arus lebih
4. Proteksi dari tegangan lebih, khususnya akibat petir

20
5. Proteksi dari tegangan kurang
6. Pemisahan dan penyekelaran
Tindakan proteksi ini dapat diterapkan pada seluruh intalasi, pada
sebagian instalasi atau pada suatu perlengkapan, khususnya terhadap bahaya
kejut listrik. Bahaya kejut lstrik dapat dibedakan menjadi dua (Prianto, 2016),
yaitu:
1. Sentuhan secara langsung adalah bahaya sentuhan pada bagian konduktif
yang secara normal bertegangan. Cara mengatasi bahaya sentuh langsung
yaitu dengan cara:
a. Proteksi dengan usolasi bagian aktif.
b. Proteksi dengan penghalan atau selungkup.
c. Proteksi dengan rintangan.
d. Proteksi dengan penempatan di luar jangkauan.
e. Proteksi tambahan dengan gawai proteksi arus sisa.
2. Sentuhan tidak langsung adalah bahaya sentuhan pada bagian konduktif
yang secara normal tidak bertegangan, menjadi bertegangan karena terjadi
kegagalan isolasi. Cara mengatasi bahaya sentuhan tak langsung yaitu
dengan cara:
a. Proteksi dengan pemutusan suplai secara otomatis.
b. Proteksi dengan penggunaan perlengkapan kelas II atau dengan isolasi
ekivalen.
c. Proteksi dengan lokasi tidak konduktif.
d. Proteksi dengan ikatan penyama potensial lokas bebas bumi.
e. Proteksi dengan separasi listrik.

2.4.2.6. Lingkungan Kerja


Pengawasan ligkungan kerja adalah serangkaian kegiatan pengawasan
dari semua tindakan yang diakukan oleh pegawai pengawasan dari semua
tindakan yang dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan atas
pemenuhan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atas objek pengawasan
lingkungan kerja.

21
Lingkungan kerja adalah istilah generik yang mencakup identifikasi dan
evaluasi faktor-faktor lingkungan yang memberikan dampak pada kesehatan
tenaga kerja. Menurut Nitisemito (2011), lingkungan kerja adalah segala sesuatu
yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam
menjalankan tugas yang diembankan. Lingkungan kerja yang kondusif
memberikan rasa aman dan memungkinkan para pegawai dapat bekerja secara
optimal.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Lingkungan Kerja, menjelaskan bahwa lingkungan kerja adalah aspek higiene di
tempat kerja yang di dalamnya mencakup faktor fisika, kimia, biologi,
ergonomi, dan psikologi yang keberadaannya di tempat kerja dapat
mempengaruhi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Keselamatan dan
Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja yang selanjutnya disebut K3 Lingkungan
Kerja adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan
kesehatan tenaga kerja melalui pengendalian lingkungan kerja dan penerapan
higiene sanitasi di tempat kerja.
1. Faktor-faktor Bahaya Lingkungan Kerja
Faktor-faktor bahaya lingkungan kerja yang dapat menyebabkan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja adalah:
a. Faktor fisik
Faktor fisik adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas tenaga
kerja yang bersifat fisika, disebabkan oleh penggunaan mesin,
peralatan, bahan dan kondisi lingkungan di sekitar tempat kerja yang
dapat menyebabkan gangguan dan penyakit akibat kerja pada tenaga
kerja, meliputi:
1) Iklim Kerja, adalah suatu kombinasi dari suhu kerja, kelembaban
udara, kecepatan gerakan udara dan suhu radiasi pada suatu tempat
kerja. Suhu udara dianggap nikmat bagi orang Indonesia ialah
sekitar 24oC sampai 26oC dan selisih suhu didalam dan diluar tidak

22
boleh lebih dari 5oC. Batas kecepatan angin secara kasar yaitu 0,25
sampai 0,5m/dt.
2) Kebisingan, adalah bunyi yang didengar sebagai suatu rangsangan
pada telinga, dan manakala bunyi-bunyi tersebut tidak dikehendaki
maka dinyatakan sebagai suatu kebisingan. Bunyi dengan frekwensi
250 s/d 3.000 Herz sangat penting, karena frekwensi tersebut
manusia dapat mengadakan komunikasi dengan normal.
3) Getaran, adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan
arah bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya.
4) Radiasi Gelombang Mikro, adalah radiasi elektromagnetik dengan
frekuensi 30 (tiga puluh) kilo hertz sampai 300 (tiga ratus) giga
hertz.
5) Radiasi Ultra Ungu (Ultra Violet), adalah radiasi elektromagnetik
dengan panjang gelombang 180 (seratus delapan puluh) nano meter
sampai 400 (empat ratus) nano meter.
6) Medan Magnet Statis, adalah suatu medan atau area yang
ditimbulkan oleh pergerakan arus listrik.
7) Tekanan Udara Ekstrim, adalah tekanan udara yang lebih tinggi
atau tekanan udara yang lebih rendah dari tekanan udara normal (1
atmosphere).
8) Pencahayaan adalah suatu yang memberikan terang (sinar) atau
yang menerangi, meliputi pencahayaan alami dan pencahayaan
buatan. Pencahayaan merupakan salah satu komponen agar pekerja
dapat bekerja/mengamati benda yang sedang dikerjakan secara
jelas, cepat, nyaman, dan aman.
b. Faktor kimia
Faktor kimia adalah faktor yang dapat mempengaruhi akivitas tenaga
kerja yang bersifat kimiawi, disebabkan oleh penggunaan bahan kimia
dan turunanannya di tempat kerja yang dapat menyebabkan penyakit
pada tenaga kerja, meliputi kontaminan kimia di udara berupa gas, uap,
dan partikulat.

23
c. Faktor biologi
Faktor biologi adalah faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas tenaga
kerja yang bersifat biologi, disebabkan oleh makhluk hidup meliputi
hewan, tumbuhan dan produknya serta mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakit akibat kerja.
d. Faktor psikologi
Faktor psikologi adalah faktor yang mempengaruhi aktivitas tenaga
kerja, disebabkan oleh hubungan antar personal di tempat kerja, peran
dan tanggung jawab terdapap pekerjaan.
Ruang lingkup pengawasan kerja meliputi penanganan bahan kimia,
lingkungan kerja, penggunaan pestisida, limbah industri di tempat kerja,
higiene industri, alat pelindung diri di tempat kerja. Dengan demikian dapat
diketahui jenis atau macam faktor bahaya lingkungan kerja dari tiap tahap
maupun secara menyeluruh, maka setiap tenaga kerja memerlukan
pengenalan lingkungan terleih dahulu.
2. Pengenalan Lingkungan
Dalam pengenalan lingkungan perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Alat-alat teknis penanggulangan apa yang sudah tersedia atau
digunakan.
b. Bentuk bahan baku yang digunakan dan bagaimana cara penggunaanya.
c. Jumlah orang yang terpapar dan bekerja di tiap-tiap tahap dalam
rangkaian proses.
d. Informasi-informasi dari sumber-sumber tertentu tentang derajad racun
bahan kima, sifat-sifat sisik kimia, pengaruh bahan kimia terhadap
tubuh atau organ-organ tubuh, dan lain-lain akan sangat membantu
dalam pengenalan lingkungan.
Selain itu adapun manfaat pengenalan lingkungan, diantaranya:
a. Mengetahui secara kualitatif bahwa suatu tahap dari proses produksi
atau pelaksanaan pekerjaan timbul faktor yang secara potensial dapat
membahayakan.

24
b. Apabila diperlukan pengukuran, dapat secara tepat dan cepat diketahui
lokasi dimana bahaya serta alat dan metode apa yang dipakai.
c. Mengetahui secara kuantitatif bahwa sejumlah tenaga kerja terpapar
pada faktor bahaya tersebut.
3. Syarat-syarat Lingkungan Kerja
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan
Kerja, Pengusaha dan/atau Pengurus wajib melaksanakan syarat-syarat K3
Lingkungan Kerja meliputi:
a. Pengendalian faktor fisika dan kimia agar di bawah NAB;
b. Pengendalian faktor biologi, ergonomi, dan psikologi kerja agar
memenuhi standar;
c. Penyediaan fasilitas kebersihan dan sarana higiene di tempat kerja yang
bersih dan sehat;
d. Penyediaan personil K3 yang memiliki kompetensi dan kewenangan K3
di bidang Lingkungan Kerja.
Pelaksanaan syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja bertujuan untuk
mewujudkan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan nyaman dalam rangka
mencegah kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
4. Pelaksanaan Syarat-syarat K3 Lingkungan
Kerja Pelaksanaan syarat-syarat K3 Lingkungan Kerja dilakukan melalui
kegiatan:
a. Pengukuran dan pengendalian lingkungan kerja, meliputi faktor fisika,
kimia, biologi, ergonomi, dan psikologi.
b. Penerapan Higiene dan Sanitasi Higiene adalah usaha kesehatan preventif
yang menitikberatkan kegiatannya kepada usaha kesehatan individu
maupun usaha pribadi hidup manusia. Sedangkan sanitasi adalah usaha
kesehatan preventif yang menitikberatkan kegiatannya kepada usaha
kesehatan lingkungan hidup manusia. Penerapan higiene dan sanitasi ini
meliputi:
1) Bangunan tempat kerja

25
Penerapan higiene dan sanitasi harus di terapkan pada setiap bangunan
tempat kerja, meliputi:
a) Halaman
Halaman pada tempat kerja harus bersih, tertata rapi, rata, tidak
becek, dan cukup luas untuk lalu lintas orang dan barang.
b) Gedung
Penerapan higiene dan sanitasi pada gedung dilakukan untuk
memastikan gedung dalam kondisi:
 Terpelihara dan bersih.
 Kuat dan kokoh struktrnya.
 Cukup luas sehingga memberikan ruang gerak paling sedikit 2
(dua) meter persegi per orang.
c) Bangunan bawah tanah
Penerapan higiene dan sanitasi pada bangunan bawah tanah
dilakukan untuk memastikan bangunan bawah tanah:
 Mempunyai struktur yang kuat.
 Mempunyai sistem ventilasi udara.
 Mempunyai sumber pencahayaan.
 Mempunyai saluran pembuangan air yang mengalir dengan baik
 Bersih dan terawat dengan baik.
 Fasilitas kebersihan Fasilitas kebersihan harus disediakan pada
setiap tempat kerja, meliputi:
- Toilet dan kelengkapannya
Toilet yang dimaksud harus bersih dan tidak menimbulkan bau,
tidak ada lalat, nyamuk, atau serangga yang lainnya, tersedia
saluran pembiangan air yang mengalir dengan baik, tersedia air
bersih, dilengkapi dengan pintu, memiliki penerangan yang
cukup, memiliki sirkulasi udara yang baik, dibersihkan setiap
hari secara periodik, dapat digunakan selama jam kerja.
Sedangkan kelengkapan fasilitas toilet paling sedikit meliputi:
jamban, air bersih yang cukup, alat pembilas, tempat sampah,

26
tempat cuci tangan, sabun selain itu, penempatan harus terpisah
antara laki-laki, perempuan, dan penyandang cacat, serta
diberikan tanda yang jelas.
- Loker dan ruang ganti pakaian.
- Tempat sampah dan peralatan kebersihan.
Tempat sampah dan peralatan kebersihan harus disediakan pada
setiap tempat kerja. Tempat sampah pada tempat kerja paling
sedikit harus:
 Terpisah dan diberikan label untu sampah organik, non
organik, dan bahan berbahaya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
 Dilengkapi dengan penutup dan terbuat dari bahan kedap
air.
 Tidak menjadi sarang lalat atau binatang serangga lainnya.
 Kebutuhan udara Kebutuhan atas udara yang bersih dan
sehat harus dipenuhi pada setiap tempat kerja. Pemenuhan
kebutuhan udara di tempat kerja dilakukan melalui: KUDR,
ventilasi, dan ruang udara.
d) Tata laksana kerumahtanggaan
Pengusaha dan/atau pengurus harus melaksanakan
ketatarumahtanggaan dengan baik yang meliputi:
 Memisahkan alat, perkakas, dan bahan sesuai yang diperlukan
atau digunakan.
 Menata alat, perkakas, dan bahan sesuai dengan posisi yang
ditetapkan.
 Membersihkan alat, perkakas, dan bahan secara rutin .
 Menetapkan dan melaksanakan prosedur kebersihan,
penempatan, dan penataan untuk alat, perkakas, dan bahan.
 Mengembangkan prosedur kebersihan, penempatan, dan
penataan untuk alat, perkakas, dan bahan.

27
2.5. Teori Building Safety Index
Menurut Daniel dan Yau (2003), Building Safety Index (BSI) didefinisikan
sebagai alat tolok ukur untuk mengklasifikasikan bangunan sehubungan dengan
keselamatan dan kondisi fisik. Building Safety Index (BSI) umumnya digunakan
untuk mengukur tingkat pencapaian bangunan dalam meningkatkan keselamatan
penggunanya. Menurut Rajali dan Bakri (2016), terdapat 17 variabel faktor yang
berkontribusi terhadap kinerja keselamatan dan kesehatan bangunan. Faktor
tersebut didukung oleh tiga konstruksi, yaitu architect, building service, dan
external environment. Rincian variabel BSI dapat dilihat pada gambar berikut ini.

28
Gambar 2.2 Kerangka Building Safety Index
Gambar tersebut menunjukkan bahwa ada tiga katergori untuk BSI,
masing –masing terdiri dari variabel. Penjelasan BSI secara rinci adalah sebagai
berikut.
1. Arsitektur
Arsitektur mengacu pada konfigurasi tata letak dan disposisi bangunan,
yang ditambahkan untuk memberikan lingkungan yang lebih besar serta detail
desain terbaik. Variabel dalam kategori arsitektur terdiri dari jalur evakuasi,
sarana akses, sistem struktural, fungsionalitas ruang, bahan bangunan, dan
konstruksi tahan api. Arsitektur juga meliputi persyaratan keselamatan yang
termasuk sistem pemadam kebakaran, detektor asap, tangga dan pegangan
tangan, lebar minimum lapangan, selesai eksterior dan jumlah ada dan keluar
jarak dan dimensi akses.
2. Building services
Layanan bangunan meliputi desain, instalasi, operasi, dan pemantauan
sistem mekanik dan listrik, seperti pasokan listrik, penerangan, ventilasi, pipa
ledeng dan sanitasi, layanan kebakaran, dan lift. Namun, Lai (2004)
menyatakan bahwa instalasi layanan bangunan meliputi sistem kelistrikan,
penerangan, ventilasi dan pendingin udara, pasokan air, drainase, instalasi
layanan kebakaran, pasokan gas, lift dan eskalator.
3. External environment
Langkah-langkah keselamatan dan kesehatan harus mencakup
perlindungan terhadap bahaya tambahan yang ditimbulkan oleh lingkungan
eksternal. Istilah bahaya lingkungan mengacu pada semua ancaman potensial
yang dihadapi masyarakat manusia oleh peristiwa yang berasal dari, dan
ditularkan melalui, lingkungan . Kategori utama bahaya lingkungan adalah
bahaya alam (banjir dan tanah longsor), bahaya teknologi (bahan berbahaya,
bangunan dan fasilitas publik yang tidak aman) dan bahaya konteks (degradasi
lingkungan dan polusi udara).

29
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif menurut Sugiama (2013) adalah prosedur penelitian yang
mengumpulkan data berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati secara deskriptif. Pendekatan kualitatif digunakan
untuk memahami lebih dalam mengenai implementasi K3 dan risiko di Puskesmas
Sudi.
Jenis metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Menurut Sugiaman (2013), metode deskriptif adalah riset yang berupaya
mengumpulkan data, menganalisis secara kritis atas data-data tersebut dan
menyimpulkannya berdasarkan fakta-fakta pada masa sekarang. Penggunaan
metode deskriptif dilakukan untuk mengumpulkan data dan menganalisis data-
data tersebut sehingga mendapatkan gambaran terkait fenomena yang sedang
diteliti.

3.2. Jenis dan Sumber Data


Jenis dan sumber data pada subbab ini akan dijelaskan sebagai berikut.
3.2.1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan
kuantitatif. Pengertian data kualitatif menurut Sugiyono (2015) adalah data yang
berbentuk kata, skema, dan gambar. Data kualitatif dalam penelitian ini
diantaranya yaitu gambaran umum objek penelitian, meliputi sejarah singkat
berdirinya objek, letak geografis objek, visi dan misi, , dan kondisi eksisting
sistem K3.
Data kuantitatif menurut Sugiyono (2015) adalah data yang berbentuk angka
atau data kualitatif yang diangkakan. Dalam hal ini data kuantitatif yang
diperlukan adalah persentase tingkat penerapan K3.

30
3.2.2. Sumber Data
Menurut Sugiyono (2015), sumber data penelitian dibedakan menjadi dua,
yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan dua sumber data yaitu :

a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data (Sugiyono, 2015). Adapun yang menjadi sumber
data primer dalam penelitian ini adalah staff di Puskesmas Sudi.
b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang tidak langsung memberikan
data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat
dokumen. Dalam penelitian ini, dokumentasi dan angket merupakan
sumber data sekunder.

3.3. Teknik Pengumpulan Data


Dalam memperoleh data yang dikehendaki sesuai dengan permasalahan
dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut :
1. Observasi
“Observasi atau pengamatan merupakan suatu teknik atau cara
mengumpulkan data dengan cara mengadakan pengamatan terhadap
kegiatan yang berlangsung” (Sukmadinata,2011:220). Metode ini
digunakan untuk mengetahui penerapan sistem K3 di Puskesmas Sudi.
2. Wawancara
Pengertian wawancara menurut P.Joko Subagyo (2011:39)adalah sebagai
berikut :“Suatu kegiatan dilakukan untuk mendapatkan informasi secara
langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para
responden.wawancara bermakna berhadapan langsung antara interview
dengan responden, dan kegiatannya dilakukan secara lisan. ”Dalam
penelitian ini metode wawancara digunakan untuk mendapatkan data
tentang sejarah atau latar belakang berdirinya obyek, letak geografis obyek
penelitian, dan penerapan sistem K3 di Puskesmas Sudi.
3. Studi Dokumentasi

31
Sugiyono (2009: 329) menjelaskan bahwa “dokumen merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar,
atau karya-karya monumental dari seseorang.” Studi dokumentasi
merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari
dokumen untuk mendapatkan data atau informasi yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti. Dalam melaksanakan studi dokumentasi,
peneliti mendapatkan data-data tertulis seperti dokumen-dokumen
Puskesmas Sudi misalnya visi dan misi, struktur organisasi, keadaan
sarana dan prasarana, dan sistem K3.
4. Kuisioner
Kuisioner atau angket merupakan serangkaian pertanyaan tertulis yang
kemudian disampaikan kepada sejumlah responden (Sugiama, 2015).
Kuisioner pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui pendapat
responden mengenai tingkat penerapan K3 dan risiko di Puskesmas Sudi.

3.4. Teknik Analisis Data


Analisis data menurut Bogdan dalam Sugiyono (2009) adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah
dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Data kualitatif
yang dikumpulkan oleh peneliti berbentuk narasi dan bersifat deskripsi atas
sejumlah kejadian, interaksi, argumentasi subjek penelitian, maka teknik analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif.
Selain itu, pada penelitian ini terdapat data kuantitatif yang diperoleh dari
kuisioner yang menggunakan skala Likert. Sehingga, metode analisis data
kuantitatif yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis statistik. Adapun
teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis statistik deskriptif. Pada
penelitian ini menggunakan statistis deskriptif untuk mengetahui rata-rata tingkat
penerapan K3.

32
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Obyek


Puskesmas Sudi beralamat di . Puskesmas Sudi didirikan tahun 1991
sebagai sebuah puskesmas pembantu (pustu). Pada 1 April 1994 puskesmas sudi
resmi berganti menjadi fasilitas kesehatan desa sebagai puskesmas. Puskesmas
Sudi berdiri pada lahan hibah dan terdiri dari dua lantai. Aset bangunan
Puskesmas Sudi merupakan aset milik negara, lebih tepatnya aset milik Dinas
Kesehatan Kabupaten Bandung dan Pemda Kabupaten Bandung. Bangunan
tampak depan Puskesmas Sudi dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 4.3 Tampak Depan Puskesmas Sudi

Puskesmas Sudi berlokasi di Jl. Cigumelor No 1 Desa Sudi Kecamatan Ibun


Kabupaten Bandung. Puskesmas Sudi berada diantara pemukiman warga. Letak
Puskesmas Sudi cukup strategis untuk diakses oleh warga sekitar, namun tidak
terdapat angkutan umum yang dapat menjangkau Puskesmas Sudi. Puskesmas
Sudi hanya dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi dan ojek. Lokasi
Puskesmas Sudi dapat dilihat dalam gambar berikut ini.

33
Gambar 4.4 Lokasi Puskesmas Sudi
Sumber : Google maps, 2020

Sebagai sebuah organisasi, Puskesmas Sudi memiliki visi dan misi yang
ingin dicapai. Visi Puskesmas Sudi yaitu “Puskesmas Sudi sebagai sarana
pelayanan, motivator dan fasilitator untuk mewujudkan masyarakat dalam
mendapatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya”. Adapun misi Puskesmas
Sudi adalah :
1. Memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal dan merata.
2. Memotivasi,memfasilitasi masyarakat dalam menggali potensi dalam rangka
pemberdayaan.
3. Mewujudkan kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat dan mandiri.

4.2. Hasil dan Pembahasan


Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai hasil penelitian beserta
pembahasannya.

4.2.1. Risiko Pada Aset Bangunan Puskesmas Sudi


Puskesmas merupakan aset yang digunakan sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan masyarakat. Aset bangunan puskesmas merupakan salah satu tempat
kerja yang memiliki risiko terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Rincian
risiko yang mungkin terjadi pada aset bangunan Puskesmas Sudi akan dijelaskan
sebagai berikut.

34
1. Risiko Arsitektur

Sebagai sebuah aset bangunan gedung, Puskesmas Sudi tidak terlepas dari
adanya risiko yang berkaitan dengan arsitektur bangunan. Tidak hanya
meliputi estetika bangunan, namun termasuk risiko konstruksi bangunan.
Puskesmas Sudi merupakan bangunan yang terdiri dari dua lantai.
Konstruksi bangunan Puskesmas Sudi dapat menimbulkan risiko bagi
pasien atau tenaga kesehatan apabila tidak dilengkapi dengan konstruksi
yang memadai. Pada saat ini tidak terdapat kerusakan yang menimbulkan
risiko konstruksi, namun risiko konstruksi dapat terjadi suatu saat. Risiko
yang dapat terjadi yaitu kerusakan konstruksi karena bencana alam atau
disebabkan oleh umur bangunan yang sudah tua. Sehingga, risiko konstruksi
pada Puskesmas Sudi saat ini tidak terlalu tinggi.
Selain itu, risiko arsitektur yang mungkin terjadi yaitu kebakaran. Risiko
kebakaran pada aset bangunan Puskesmas Sudi dapat disebabkan oleh
korsleting listrik. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena Puskesmas Sudi
menggunakan instalasi listrik untuk menunjang penggunaan aset bangunan.
Selain itu, risiko kebakaran dapat terjadi apabila suatu waktu terjadi bencana
alam. Sama seperti risiko konstruksi, risiko kebakaran pada aset bangunan
Puskesmas Sudi tidak terlalu tinggi untuk saat ini.
2. Building service
Risiko yang dapat ditimbulkan dari layanan bangunan yaitu risiko
listrik. Pada satu sisi, dalam menjalankan aktivitas sehari-hari kita sangat
membutuhkan daya listrik. Namun pada sisi lain, listrik sangat
membahayakan keselamatan kita jika tidak kelola dengan baik. Aset
bangunan Puskesmas Sudi memiliki risiko listrik karena terdapat
penggunaan listrik yang dominan untuk menunjang penggunaan bangunan.
Selain itu, Puskesmas Sudi memiliki sarana dan prasarana yang perlu
diperhatikan bagi keselamatan dan kesehatan kerja. Layanan bangunan yang
perlu diperhatikan yaitu sanitasi seperti tempat sampah, pengolahan limbah,
dan kamar mandi. Aspek building service lainnya yang dapat menimbulkan
risiko yaitu washtafel dan alat pelindung diri dari pencemaran

35
kuman/bakteri. Sebagai aset bangunan yang memberikan fasilitas kesehatan
bagi masyarakat, tentunya pencemaran kuman dan bakteri sangat rentan
terjadi sehingga hal ini merupakan risiko yang mungkin saja terjadi di
Puskesmas Sudi.
3. External Environment
Faktor-faktor bahaya dari luar (lingkungan kerja) yang dapat
menyebabkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja adalah meliputi
faktor fisik (iklim kerja, kebisingan, pencahayaan, getaran), faktor kimia
(bahan kimia yang berbahaya), faktor biologi, dan faktor psikologi.
Sehingga, Puskesmas Sudi harus berada pada lokasi yang jauh dari sumber
bahaya. Kualitas udara pada lingkungan Puskesmas Sudi juga harus terjaga
agar terhindar dari faktor kimia yang berbahaya.

4.2.2. Program K3 yang Perlu Diterapkan pada Aset Bangunan Puskesmas


Sudi
Berdasarkan teori building safety index, program K3 yang perlu diterapkan
pada aset bangunan Puskesmas Sudi terdiri dari tiga aspek yaitu aspek arsitektur,
building service, dan external environment. Program K3 yang perlu diterapkan
pada aset bangunan Puskesmas Sudi secara rinci akan diuraikan pada tabel berikut
ini.

Tabel 4.2 Program K3 yang perlu diterapkan


No Aspek Indikator Keterangan
1. Architect Jalur evakuasi Tersedianya sarana dan prasarana
Jalur Evakuasi meliputi tangga
kebakaran, assembly Point, pintu
kebakaran, signage, dan pengeras
suara.

Mean of access Lokasi Puskesmas Sudi harus mudah


(sarana dijangkau dari lokasi lainnya serta
aksesibilitas) tersedianya transportasi umum.

Fire resistant Konstruksi bangunan harus tahan


Construction terhadap kerusakan akibat kebakaran
(konstruksi tahan dan mencegah penyebaran api.

36
api)
Building material Bahan bangunan yang digunakan
(Bahan bangunan) harus berkualitas agar tidak
menimbulkan kerusakan pada
bangunan.

Building Electricyty Tersedia instalasi listrik dengan


Service installation lengkap dan penyimpanan yang rapi,
terlindung dari hujan, dan aman.
Lighting Tersedianya cahaya didalam
ruangan, baik menggunakan cahaya
alami maupun cahaya buatan.
Ventilation and air Tersedia ventilasi udara.
conditioning
Plumbing & Terdapat program sanitasi seperti
sanitary services tempat sampah, pengelolaan limbah,
penyediaan air bersih.

Fire services Layanan instalasi untuk mengurangi


installation risiko dari adanya api. Contohnya
yaitu tersedianya APAR.

External Emergency Terdapat layanan darurat yang dapat


environment services digunakan oleh pengguna aset pada
saat terjadi bahaya.

Air quality and Kualitas udara dan lingkungan yang


peaceful baik.
environment
Location Lokasi bangunan harus jauh dari area
yang membahayakan keselamatan
bangunan.

4.2.3. Program K3 yang Sudah Diterapkan Pada Aset Bangunan Puskesmas


Sudi
Berdasarkan hasil wawancara, terdapat program K3 yang sudah diterapkan
oleh Puskesmas Sudi. Program K3 dilakukan dengan membuat sebuah tim yang
terdiri dari tiga orang. Pengawasan terhadap program K3 juga sering dilakukan
pada saat rapat karyawan. Adapun penerapan program K3 di Puskesmas Sudi
secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut.

37
Tabel 4.3 Program K3 yang sudah diterapkan
No Aspek Indikator Keterangan Gambar
1. Architect Jalur evakuasi  Puskesmas Sudi memiliki
beberapa petunjuk jalur evakuasi.
 Terdapat assembly point atau titik
tempat berkumpul.

Mean of access Puskesmas Sudi dapat diakses oleh -

38
(sarana kendaraan pribadi, namun tidak
aksesibilitas) terdapat angkutan umum untuk
mengakses lokasi, kecuali layanan
ojek.
Fire resistant Konstruksi bangunan Puskesmas
Construction Sudi dalam kondisi kokoh dan baik.
(konstruksi tahan
api)

Building material Bahan bangunan yang digunakan


(Bahan bangunan) merupakan bahan berkualitas
sehingga kondisi aset bangunan
Puskesmas Sudi dalam keadaaan
baik. Dinding terbuat dari tembok
yang dilapisi cat. Atap mengunakan
eternit dan plafon. Lantai
menggunakan keramik yang tidak
licin.

39
Building Electricyty Instalasi listrik di Puskesmas Sudi
Service installation terlihat rapi meskipun dipasang di
luar bangunan, namun terlindungi
oleh atap.

Lighting Pencahayaan di Puskesmas Sudi


menggunakan pencahayaan alami
dan buatan. Bangunan Puskesmas
Sudi mendapatkan cahaya alami

40
yang baik melalui jendela bangunan.
Sedangkan cahaya buatan berasal
dari lampu yang dipasang.

Ventilation and air Ventilasi di Puskesmas Sudi -


conditioning menggunakan jendela yang terbuka
serta terdapat AC didalam ruangan.
Plumbing & Terdapat aktivitas sanitasi seperti
sanitary services pengolahan limbah, penyediaan
tempat sampah untuk sampah medis
dan non medis, serta saluran air yang
memadai.

41
Fire services Terdapat alat pemadam api ringan.
installation

External Emergency Layanan darurat yang dapat -


environment services digunakan oleh pengguna aset pada
saat terjadi bahaya
Air quality and Puskesmas Sudi berada di pedesaan -
peaceful dengan kualitas udara yang masih
environment segar.
Location Lokasi bangunan jauh dari area yang -
membahayakan.

42
4.2.4. Tingkat Penerapan K3 pada Aset Bangunan Puskesmas Sudi
Tingkat penerapan K3 pada aset bangunan Puskesmas Sudi diukur melalui
kuisioner dan observasi. Berdasarkan hasil observasi dan pengumpulan data,
tingkat penerapan K3 pada aset bangunan Puskesmas Sudi sudah cukup baik. Hal
tersebut tercermin pada program K3 yang telah dilaksanakan oleh Puskesmas Sudi
(subbab 4.2.3). Aspek arsitektur, building service, dan external environment telah
dilakukan untuk mencegah risiko-risiko yang mungkin terjadi.
Tingkat penerapan K3 pada aset bangunan Puskesmas Sudi juga diukur
melalui kuisioner yang diisi oleh 10 responden. Kuisioner yang diberikan
mencakup tiga aspek yaitu arsitektur, building service, dan external environment.
Berikut ini merupakan perhitungan hasil kuisioner dengan menggunakan skala
Likert.
Tabel 4.4 Tingkat Penerapan K3 pada aset bangunan Puskesmas Sudi
Dimensi Arsitektur
Skala
Indikator Total Rata-rata
5 4 3 2 1
Jalur evakuasi 2 6 2     40 4
Aksesibilitas 2 4 2 2   36 3,6
Fire construction 7 3       47 4,7
Building material 7 1 2     45 4,5
Total 16,8
Rata-rata 4,2
 
Dimensi Building Service
Skala
Indikator Total Rata-rata
5 4 3 2 1
Instalasi Listrik 3 5 2     41 4,1
Pencahayaan 10         50 5
Ventilasi 6 3 1     45 4,5
Sanitasi 9 1       49 4,9
Sanitasi 6 4       54 5,4
Instalasi kebakaran 5 3 2     43 4,3
Total 28,2
Rata-rata 4,7
 

43
Dimensi external environment
Skala
Indikator Total Rata-rata
5 4 3 2 1
Layanan darurat   1 1 3 5 18 1,8
Kualitas udara 7 3       47 4,7
Kualitas lingkungan 7 3       47 4,7
Lokasi 4 5 1     43 4,3
Total 15,5
Rata-rata 3,875

Keterangan :
0 – 1,00 : sangat buruk
1,1 – 2,00 : buruk
2,1 – 3,00 : cukup
3,1 – 4.00 : baik
4,1 – 5,00 : sangat baik

Berdasarkan hasil kuisioner, menunjukkan bahwa rata-rata dimensi


arsitektur adalah 4,2. Artinya, dimensi arsitektur pada aset bangunan Puskesmas
Sudi sudah diterapkan dengan sangat baik. Hal ini dikarenakan indikator-indikator
arsitektur sudah memadai seperti jalur evakuasi, konstruksi bangunan, dan
aksesibilitas. Meskipun aksesibilitas Puskesmas Sudi dirasa kurang karena tidak
dapat diakses oleh transportasi umum.
Dimensi building service memiliki rata-rata 4,7 yang artinya sudah
diterapkan sangat baik. Hal ini didukung oleh hasil observasi yang menunjukkan
bahwa pencahayaan, ventilasi udara, instalasi api, instalasi listrik, dan sanitasi
sudah dilaksanakan dengan baik. Hasil observasi dapat dilihat pada tabel 4.2.
Adapun dimensi external environment yang menyangkut keamanan dari faktor
eksternal menunjukkan rata-rata 3,8. Artinya, aset bangunan Puskesmas Sudi
dalam keadaan baik atau aman dari pengaruh faktor eksternal. Hal ini dapat dilihat
dari lokasi Puskesmas Sudi yang sudah baik karena jauh dari area berbahaya.
Berdasarkan penjelasan diatas, tingkat penerapan K3 dan risiko di
Puskesmas Sudi telah dilaksanakan dengan sangat baik. Tingkat penerapan K3
dan risiko berdasarkan tiga indikator berada pada nilai rata-rata 4,2. Dalam skala
Likert, 4,2 termasuk sudah sangat baik.

44
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai
berikut:
1. Risiko dari aspek arsitektur dapat terjadi pada aset bangunan Puskesmas
Sudi, sehingga perlu diterapkan program K3 (aspek arsitektur). Puskesmas
Sudi telah menerapkan program K3 (aspek arsitektur) dan tingkat
penerapannya yaitu 4,2 (sangat baik).
2. Risiko dari aspek building service dapat terjadi pada aset bangunan
Puskesmas Sudi, sehingga perlu diterapkan program K3 (aspek building
service). Puskesmas Sudi telah menerapkan program K3 (aspek building
service) dan tingkat penerapannya yaitu 4,7 (sangat baik).
3. Risiko dari aspek external environment dapat terjadi pada aset bangunan
Puskesmas Sudi, sehingga perlu diterapkan program K3 (aspek external
environment). Puskesmas Sudi telah menerpkan program K3 (aspek
external environment) dan tingkat penerapannya yaitu 3,87 (baik). Ada
beberapa indikator yang belum dilaksanakan seperti tidak adanya layanan
darurat.

3.2. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan kepada pengelola Puskesmas Sudi
adalah sebagai berikut:
1. Meminimalisir risiko-risiko yang mungkin terjadi pada aset bangunan
Puskesmas Sudi dengan melanjutkan program K3 dan risiko yang sudah
dilaksanakan atau melaksanakan program yang belum ada.
2. Melakukan pelatihan mengenai K3 yang lebih baik dan rutin untuk
menambah pengetahuan tenaga kerja akan K3.
3. Menyediakan layanan darurat yang dapat mendukung keamanan
pengguna aset.

45
4. Melakukan evaluasi dan montioring terhadap penerapan program K3
yang telah dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Daniel C.W. HO and Y. Yau 2003. Building Safety and Conditions Index: A
Benchmarking Tool for Maintenance Managers. Department of Real Estate
and Construction, University of Hong Kong.
Ismara, K. Ima & Eko Prianto. 2016. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Bidang
Kelistrikan (Electrical Safety). Yogyakarta: Adimeka, CV.
Kuhre, W Lee. 1996. Sertifikat ISO 14001 : Sistem Pengelolaan Lingkungan.
Jakarta :Prenhallindo.
Lai, J.H.K. and Yik, F.W.H. 2004. Law and building services maintenance in
Hong Kong. Transactions. 11(1), 7-14.
Lestari, T. dan Trisyulianti, E. 2007. Hubungan Keselamatan dan Kesehatan (K3)
dengan Produktivitas Kerja Karyawan. Tugas Akhir. Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim. Bogor.
Hariyono, T. 2007. Modul Diklat Teknis Manajemen Aset Daerah. Jakarta.
Hastings, N. A. J. 2010. Physical Asset Management. London: Springer.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I No.Kep.186/Men/1999 Tentang Unit
Penanggulangan Kebakaran Ditempat Kerja
M. Hanafi, Mamdun. 2016. Manajemen Risiko. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
National Fire Protection Association (NFPA). Fire Protection Handbook.
Nineteenth Edition I Volume 1 & 2.
OHSAS 18001. 2007. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Terjemahan oleh Jack Matatula. Usaha Mandiri.
P.Joko Subagyo. 2011. Metodologi Penelitian Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta :
Aneka Cipta.
Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per. 04/Men/1980 tentang Syarat-syarat
Pemasangan Alat Pemadam Api Ringan. Jakarta: Permenaker RI.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja.

46
Rajali, R.B., & Bakri, A.B. 2016. Building Safety Index : Contributing Factor
Amirul.

Sari, Karla Juwita. 2007. Evaluasi sistem pencegahan dan penanggulangan


kebakaran pada Gedung Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia
Kampus Depok. Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Peminatan
K3. Depok.
Siahaan, Hinsa. 2009. Manajemen Risiko pada Perusahaan dan Birokrasi. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo.
Sugiama, A.Gima. 2013. Metode Riset Bisnis dan Manajemen. Edisi Pertama,.
Bandung: Guardaya Intimarta.
Sugiama, A. Gima. 2013. Manajemen Aset Pariwisata. Bandung: Guardaya
Intimarta.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :
PT Alfabet.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Suma'mur P. K. 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Toko
Gunung Agung.
Syukri, Sahab. 1997. Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Jakarta: Bima Sumber Daya Manusia.
Triyono, A. 2001. Keselamatan Petugas Kebakaran. Retrieved from Doc Player:
https://docplayer.info/48670498-Materi-6-oleh-agus-triyono-m-kes-td-
penckebakaran-agust-doc-1.html
Undang-Undang No 1 Tahun 1970 : Tentang Keselamatan Kerja

47
LAMPIRAN

48
LAMPIRAN A : Kuisioner Penerapan K3 dan Risiko

49
50
51
52
53

Anda mungkin juga menyukai