Anda di halaman 1dari 2

ASPEK SOSIAL – BUDAYA (Maria Dita 195060507111036)

Suku Baduy adalah masyarakat yang terkenal dengan lingkungan hidup di hutan yang dikelola
dengan bijaksana dalam rangka melindungi alam lingkungan dan sebagai penyedia utama kebutuhan
ekonomi serta pangan. Pemanfaatan hutan inilah yang menjadi penentu kelangsungan hidup mereka.

Tempat tinggal mereka yang berada di daerah terpencil seperti hutan membuat Suku Baduy
kurang mengenal system pendidikan formal seperti sekolah. Mereka memiliki pendapat dengan
mengenyam pendidikan maka mereka bisa menjadi orang pintar dan orang pintar adalah orang yang
cenderung merusak alam. Hal ini sangat bertentangan dengan aturan yang sudah ditetapkan sejak lama
yakni karuhun. Namun, hal ini tidak menghalangi masyarakat Baduy untuk belajar baca tulis dan
menghitung. Mereka tetap belajar cara berhitung untuk memahami system jual beli dan mereka juga
mampu menulis huruf latin. Meskipun tidak mengenyam pendidikan formal seperti yang lainnya, Suku
Baduy memperoleh pendidikan yang disampaikan oleh orang tuanya tentang buyut karuhun (larangan
leluhur) tentang cara memanfaatkan alam lingkungan.

Suku Baduy memiliki kepercayaan yang disebut sunda wiwitan, yaitu kepercayaan akan satu
kuasa yang biasa mereka sebut Batara Tunggal. Mereka percaya akan Batara Tunggal yang tidak bisa
dilihat mata namun dapat diraba hati, sang maha tahu yang bergerak dan berusik di dunia ini. Batara
Tunggal memiliki sebutan lain seperti Nungersaken (Yang Maha Menghendaki) dan Sang Hiyang Keresa
(Yang Menghendaki). Selain satu kuasa tersebut, masyarakat Baduy juga mempercayai kekuatan roh
nenek moyang yang biasa disebut karuhun/leluhur. Penerapan kepercayaan yang mereka anut ini
direalisasikan dengan mensejahterakan dunia melalui pekerjaan dan kegiatan yang berpedoman pada
pikukuh atau ketentuan mutlak.

Selain dari aspek pendidikan dan kepercayaan, system permukiman Suku Baduypun turut
memiliki beberapa aturan antara lain, permukimannya berbentuk klister dengan jajaran rapat rumah –
rumahnya. Rumah – rumah tersebut terletak pada transisi landau dekat aliran sungai guna memudahkan
air hujan untuk masuk ke sungai sehingga tidak terdapat genangan di lingkungan permukimannya.
Orientasi rumahpun selalu menghadap Utara dan Selatan serta berhadap – hadapan dengan tetangga
dalam jarak yang cukup rapat. Terdapat pelataran cukup luas untuk tempat berkumpul warga dengan
rumah kepala desa atau Puun di ujungnya serta banjar tempat pertemuan dan rumah lesung tempat
menumbuk padi di ujung yang lain. Kemudian terdapat pula lumbung padi yang terletak di tepi
permukiman yang merupakan kumpulan lumbung yang masing – masing dimiliki satu keluarga. Selain
itu, setiap keluarga memiliki huma di ladang yang letaknya agak jauh dari permukiman. Setiap keluarga
juga memiliki ladang yang luasnya sesuai dengan kemampuan tenaga yang mereka miliki.

Pembangunan rumah tradisional Suku Baduy (sulah nyanda) hanya akan dilakukan setelah
mendapatkann persetujuan dari sesepuh setempat. Keluarga yang akan membangun rumah harus
menabung materialnya terlebih dahulu, yang dapat berupa kayu dan bamboo sebagai rangka rumah,
anyaman bamboo sebagai bahan dinding dan lantai. Setelah semua materialnya dibilang mencukupi
untuk membangun sebuah rumah, barulah seluruh masyarakat ikut terlibat dalam bergotong royong
untuk mendirikan rumah. Yang membangun rumah biasanya adalah kaum lelaki, sementara kaum
wanitanya membantu memasak dan menyiapkan bagian – bagian rumah yang lebih kecil.
DAFTAR PUSTAKA

Asquith & Felinga. 2006. Vernacular Architecture in The Twentinth Century. Taylor & Francis,
London & New York.

GBCI 2011. Greenship Rating Tool untuk Gedung Terbangun versi 10. GBC Indonesia.

Hadi, Sudharto P. 2009. Manusia dan Lingkungan. BP Undip. Semarang.

Oliver, Paul. 2006. Built to Meet Needs, Cultural Issues in Vernacular Architecture. Elsevier,
Oxford.

Pangarsa, Galih W. 2007. Merah Putih Arsitektur Nusantara. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Poerwanto, Hari. 1997. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Depdikbud, Jakarta.

Rapoport, Amos. 1969. House Form and Culture. Prentice Hall, London.

Saraswati, T. 2011. Tantangan Menuju Arsitektur yang Lebih Tanggap Kondisi Bumi dan
Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Arsitektur dan Desain Universitas
Kristen Duta Wacana, Yogyakarta 12 Maret.

Wines, J. 2008. Green Architecture. Taschen Gmbh, Koln, Germany

Djoewisno, MS. 1987. Potret Kehidupan Mosvarakat Badult. Percetakan Setia Offset Jakarta.

Garna, J. 1988. Nyi Pohaci Sanghyang Asri dalam Orang Baduy dari Inti Jagad. Bentara Budaya,
Harian Kompas, E,tnodata Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa. Yogyakarta.

Iskandar, J. 1992. Ekologi Perladangan Indonesia : Studi Kasus dari Daerah Baduy Banten
Selatan, Jawa Barat. Djambatan. Jakarta.

Pemda Kabupataten Lebak, 2001. Peraturan Daerah No.32 tahun 2001 tentang Perlindungan
atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Rangkasbitung.

Permana, CE. 200l. Ke.setaroan Gender dalam Adat Inti Jagad Baduy. Wedatama Widya Sastra.
Jakarta.

Putranto, D. 1988. Mitologi dalam Kenltataan dalam Orang Baduy dari Inti Jagad. Bentara
Budaya, Harian Kompas, Etnodata Prosindo, Yayasan Budhi Dhanna Pradesa. Yogyakarta.

Senoaji, G. .2003 . Kearifan Lokal Masyarakut Bctdu.v dulam mengelola Hutan dan
Lingkungennve. Thesis Pasca Sarjana Urriversitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Simon, H.. 2000. .llulan .luti dqn Kernekmuran. Problematika dan Strategi Pemecahannya.
BIGRAF Publ ishing. Yogyakarta.

Steinlin. H. 1988. lv[enuju Kelestorian hutcrrt. Scri Studi Pcrtanian Kerjasama Jennan clan
lndoncsia. Yayasan Obor lndonesia. .lakarta.

Wiryontartono, A. Ilagocs. l99l . Budu.t,dulanr Tonlungcrn Moclernittr,s. Pristna No. 6, XXll. hal -l
- 22.

Anda mungkin juga menyukai