Anda di halaman 1dari 13

Hakikat Keadilan Dalam Etika Hukum Bisnis

Dosen Pengampu: Budi Yuliarso, S.H., M.Kn

ETIKA BISNIS DAN PROFESI - F

Disusun oleh :

Catharina Hubertina Belanesia Pisa

19312174

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS BISNIS dan EKONOMIKA

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA
1. Hakikat Keadilan

Keadilan pertama kali didefinisikan oleh ahli hukum Roma yang bernama Ulpianus secara singkat
dalam bahasa Latin sebagai “tribuere cuique suum” atau yang bisa diterjemahkan sebagai
“memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”. Ada tiga ciri khas yang terdapat
dalam keadilan. Pertama, keadilan tertuju pada orang lain. Tidak mungkin seseorang berbicara
tentang keadilan atau ketidakadilan terhadap dirinya sendiri. Maka, masalah keadilan atau
ketidakadilan hanya bisa timbul dalam konteks antar-manusia, sekurang- kurangnya dua orang
manusia. Kedua, keadilan harus ditegakkan. Artinya, keadilan mengikat kita sehingga kita
mempunyai kewajiban, bukan sekedar mengharapkan atau menganjurkan keadilan saja. Berkaitan
dengan ciri pertama tadi, hal ini dikarenakan keadilan berhubungan dengan hak orang lain. Kalau
kita memberikan sesuatu atas dasar keadilan, maka kita harus memberikannya. Misalnya majikan
membayar gaji pegawai, atau mengembalikan uang pinjaman dari orang lain. Ketiga, keadilan
menuntut persamaan (equality). Kita harus memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya,
tanpa terkecuali. Misalnya seorang atasan memberikan gaji yang adil dan pantas untuk 1000 orang
karyawannya, namun tidak untuk satu orang lainnya. Maka atasan tersebut tidak berlaku adil,
karena ia tidak memperlakukan semua karyawannya secara sama.

2. Paham Tradisional tentang Keadilan

Pembagian keadilan ini terbagi atas tiga, yaitu keadilan legal/umum, keadilan komutatif dan
keadilan distributif, yang terbentuk berdasarkan pemikiran Aristoteles (384-322 SM).

a. Keadilan Legal

Merupakan keadilan yang menyangkut hubungan antara individu atau sekelompok masyarakat
dengan negara. Inti dari keadilan ini ialah adanya persamaan terhadap semua warga masyarakat.
Bahwa semua individu atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama sesuai dengan hukum
yang berlaku.
Dasar moral dari keadilan ini ialah, pertama, pada dasarnya semua orang memiliki harkat dan
martabat yang sama sehingga harus diperlakukan secara sama. Apabila terjadi perlakuan yang
berbeda atau diskriminatif, berarti merendahkan harkat martabat manusia. Kedua, semua orang
merupakan warga negara yang sama status dan kedudukannya, bahkan sama kewajiban sipilnya.
Karena itu, seharusnya diperlakukan secara sama sesuai dengan hukun yang berlaku.
Dasar moral tersebut memiliki beberapa konsekuensi legal dan moral. (1) Semua orang harus
dilindungi secara sama oleh hukum, dalam hal ini negara, (2) tidak ada orang yang akan
diperlakukan secara istimewa oleh hukum atau negara, (3) pemerintah tidak boleh mengeluarkan
produk hukum yang secara khusus dimaksudkan demi kepentingan orang atau sekelompok orang
tertentu, dan (4) seluruh warga harus tunduk dan taat pada hukum yang berlaku karena hukum
tersebut melindungi hak dan kepentingan semua warga.
Dalam bidang bisnis, keadilan legal menuntut agar negara bersikap netral dalam
memperlakukan semua pelaku ekonomi. Negara tidak akan berpihak kepada kepentingan bisnis
pihak manapun. Hal tersebut berarti bahwa apabila terdapat pihak yang dirugikan kepentingan
bisnisnya akan dibela oleh negara dan pihak yang merugikan pihak lain akan ditindak secara
hukum.
Selain itu, berdasarkan prinsip keadilan ini, negara akan menjamin keadilan bisnis yang sehat
dan mengeluarkan aturan hukum bisnis yang berlaku secara sama bagi semua pelaku bisnis. Maka
semua pelaku bisnis, termasuk pemerintah, harus tunduk dan taat pada aturan bisnis yang berlaku
bagi semua dan tidak meminta perlakuan hukum yang istimewa.

b. Keadilan Komutatif

Berbeda dengan keadilan legal yang menyangkut hubungan vertikal antar negara dan warga
negara, keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara warga negara yang satu
dengan yang lainnya atau orang yang satu dengan yang lainnya atau juga sekelompok satu dengan
sekelompok lain.
Dasar dari keadilan komutatif ialah adanya keseimbangan atau kesetaraan dalam interaksi
sosial antara warga yang satu dengan warga yang lain. Prinsip keadilan ini menuntut agar semua
orang memberikan, menghargai, dan menjamin apa yang menjadi hak orang lain serta tidak boleh
ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Setiap orang diharapkan untuk selalu
menghargai hak dan kepentingan orang lain sebagimana hak dan kepentingannya sendiri ingin
dihargai.
Dalam hal bisnis, keadilan ini dapat diwujudkan dengan saling berlaku adilnya pelaku bisnis
yang satu dengan yang lain. Selain itu, ditunjukkan dengan adanya hubungan yang setara dan
seimbang dalam relasi bisnis. Itu berarti dalam relasi dan kegiatan bisnis tidak boleh ada yang
dirugikan kepentingannya.
Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut dengan keadilan tukar. Hal ini menyangkut
pertukaran yang fair antara pihak pihak yang terlibat dalam bisnis. Misalnya dengan menepati
janji, mengembalikan pinjaman, memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imabalan atau gaji
yang sesuai, dan menjual barang dengan harga dan mutu yang seimbang.

c. Keadilan Distributif

Keadilan distributif kini dikenal juga sebagai keadilan ekonomi, menyangkut pendistribuasian
ekonomi yang merata. Dengan kata lain, keadilan distributif menyangkut pembagian kekayaan
ekonomi atau hasil pembangunan negara.
Persoalannya ialah, apa yang menjadi dasar pembagian yang dianggap adil itu? Sejauh mana
pembagian itu dianggap adil? Aristoteles mengajukan dasar keadilan dalam pembagian ialah
berdasarkan sumbangan atau jasa dan prestasi serta peran masing-masing orang untuk negara demi
menunjang tercapainya tujuan negara. Jadi, orang yang memiliki sumbangan dan prestasi terbesar
akan mendapat imbalan terbesar, sedangkan orang yang sumbangannya kecil akan mendapat
imbalan yang kecil pula.
Dengan kata lain, keadilan distributif tidak membenarkan prinsip sama rata dalam hal
pembagian kekayaan ekonomi. Karena, prinsip sama rata dianggap menimbulkan ketidakadilan,
dimana mereka yang menyumbang paling besar tidak diberi imbalan yang setimpal, yang berarti
tidak sesuai dengan prinsip adil. Hal ini dicerminkan dalam sistem ekonomi liberal dan perusahan
modern yang kapitalis dimana setiap orang mendapatkan imbalan dan gaji yang sesuai dengan
prestasi, kedudukan, dan komitmen yang diberikannya untuk keberhasilan bisnis suatu
perusahaan. Namun, prinsip ini sangat bertentangan dalam sistem ekonomi sosialis, dimana semua
orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas dari sumbangan dan prestasinya
dalam kehidupan bersama atau perusahaan.
Berdasarkan keadilan distributif, relevansinya dalam dunia bisnis dan perusahaan, karyawan
harus digaji sesuai dengan prestasi, tugas, dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Semakin
besar tugas yang dijalankan dan tanggung jawab yang diberikan, makan semakin besar pula
imbalannya. Pada akhirnya, memang imbalan ekonomi yang didapat setiap orang tidak akan sama.
Hal tersebutdibenarkan dan diterima sebagai hal yang adil dan etis dengan syarat semua orang
diberikan peluang dan kesempatan yang sama untuk berprestasi, dan tugas dan tanggung jawab
untuk kedudukan tertentu terbuka untuk semua orang tanpa adanya pertimbangan subjektif dan
irasional seperti latar belakang etnis, hubungan keluarga, agama, dan lain-lain.

3. Keadilan Indivudual dan Struktural

Dari uraian mengenai paham tradisional menjelaskan bahwa keadilan bukanlah hanya
merupakan persoalan individu sebagaimana yang umum dipahami orang, keadilan bukan sekadar
menyangkut tuntutan agar semua orang diperlakukan secara sama oleh negara atau pimpinan
dalma perusahaan, keadilan bukanlah sekadar menyangkut tuntunan agar dalam interaksi sosial
setiap orang memberikan dan menghargai apa yang menjadi hak orang lain, dan keadilan bukan
sekadar soal sikap orang per orang untuk menolong memperbaiki keadaan sosial ekonomi orang
lain.
Keadilan dan upaya menegakkan keadilan menyangkut aspek lebih luas berupa penciptaan
sistem yang mendukung terwujudnya keadilan tersebut. Prinsip keadilan legal berupa perlakuan
yang sama terhadap setiap orang bukan lagi soal orang per orang, melainkan menyangkut sistem
dan struktur sosial politik secara keseluruhan sehingga semua orang memang benar-benar
diperlakukan secara adil atau mendapatkan kesempatan yang sama.
Permasalahan yang timbul adalah ketika perlakuan yang tidak adil menjadi didiamkan dan
dibenarkan, sehingga ketidakadilan tersebut menjadi sebuah sistem. Maka, untuk bisa menegakkan
keadilan legal, dibutuhkan sistem sosial politik yang memang mewadahi dan memberi tempat bagi
tegaknya keadilan legal tersebut, termasuk dalam bidang bisnis. Dalam bisnis, pimpinan
perusahaan manapun yang melakukan diskriminasi tanpa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan
secarar legal dan moral harus ditindak demi menegakkan sebuah sistem organisasi perusahaan
yang memang menganggap serius prinsip perlakuan yang sama, fair atau adil ini.
Dalam bidang bisnis dan ekonomi, mensyaratkan suatu pemerintahan yang juga adil,
pemerintah yang tunduk dan taat pada aturan keadilan dan bertindak berdasarkan aturan keadilan
itu. Yang dibutuhkan adalah apakah sistem sosial politik berfungsi sedemikian rupa hingga
memungkinkan distribusi ekonomi bisa berjalan baik untuk mencapai suatu situasi sosial dan
ekonomi yang bisa dianggap cukup adil. Sehingga struktur sosial politik harus benar benar adil
agar terciptanya keadilan.
Pemerintah mempunyai peran penting dalam hal menciptakan sistem sosial politik yang
kondusif, dan juga tekadnya untuk menegakkan keadilan. Termasuk di dalamnya keterbukaan dan
kesediaan untuk dikritik, diprotes, dan digugat bila melakukan pelanggaran keadilan. Tanpa itu
ketidakadilan akan merajalela dalam masyarakat.

4. Teori Keadilan Adam Smith

Sebelum Adam Smith ada sebuah teori yang telah dikeluarkan tentang keadilan yaitu teori yang
di kemukakan oleh Aristoteles. Teori Aristoteles adalah Teori keadilan Aristoteles Atas pengaruh
Aristoteles, dimana teori ini secara tradisional membagi keadilan menjadi tiga, yaitu :

1. Keadilan Legal

Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang
berlaku. Ini memiliki arti bahwa semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada
tanpa pandang bulu siapapun ini. Keadilan legal ini menyangkut hubungan antara individu atau
kelompok masyarakat dengan negara. Inti dari teori ini adalah semua orang atau kelompok
masyarakat diperlakukan secara sama oleh sebuah negara berdasarkan hukum yang berlaku.

2. Keadilan Komutatif

Keadilan komutatif ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang lain atau
antara warganegara yang satu dengan warga negara lainnya. Keadilan komutatif menyangkut
hubungan horizontal antara warga yang satu dengan warga yang lain. Dalam bisnis, keadilan
komutatif juga disebut atau berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif
menyangkut pertukaran yang adil antara pihak- pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif
menuntut agar semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengembalikan pinjaman,
memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas, dan menjual barang
dengan mutu dan harga yang seimbang.

3. Keadilan Distributif
Berdasarkan prinsip keadilan ala Aristoteles, setiap karyawan harus digaji sesuai dengan
prestasi, tugas, dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pandangan-pandangan Aristoteles
tentang keadilan bisa kita lihat dalam karyanya “nichomachean ethics, politics, dan rethoric”.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-
barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan
“pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi
kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi
yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya
bagi masyarakat.
Pada teori keadilan Aristoteles, Adam Smith hanya menerima satu konsep atau teori keadilan
yaitu keadilan komutatif. Alasannya pertama menurut Adam Smith, yang disebut keadilan
sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan,
keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain.
Keadilan yang sesungguhnya mengngkapkan kesetaraan dan keharmonisan hubungan diantara
manusia. Alasan kedua, adalah karena keadilan legal sesungguhnya sudah terkandung dalam
keadilan komulatif. Karena keadilan legal sesungguhnya hanya konsekuensi lebih lanjut dari
prinsip keadilan komutatif, yaitu bahwa demi menegakkan keadilan komutatif, negara harus
besikap netral dan memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali. Ketiga, Adam Smith
menolak keadilan distributif sebagai salah satu jenis keadilan. Alasanya antara lain karena apa
yang disebut keadilan selalu menyangkut hak, semua orang tidak boleh dirugikan haknya atau
secara positif setiap orang harus dipelakukan sesuai dengan haknya. Menurut Adam Smith,
keadilan distributif justru tidak berkaitan dengan hak.

Ada tiga prinsip pokok keadilan komutatif menurut Adam Smith, yaitu diantaranya :

1. Prinsip No Harm
Menurut Adam Smith, prinsip paling pokok dari keadilan adalah prinsipno harm atau prinsip
tidak merugikan orang lain dimana disini Adam Smith menjelaskan untuk tidak merugikan hak
dan kepentingan orang lain serta tidak melukai orang lain baik sebagai manusia, anggota keluarga
atau anggota masyarakat baik menyangkut pribadinya, miliknya atau reputasinya. Prinsip keadilan
ini adalah rumusan lain dari kaidah emas, dimana perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin
di perlakukan dan jangan lakukan pada orang lain apa yang Anda sendiri tidak ingin dilakukan
kepada Anda. Dasar dari prinsip ini adalah penghargaan atas harkat dan martabat manusia beserta
hak-hak yang melekat padanya, termasuk hak atas hidup. Sekaligus itu berarti dasar mengapa
orang harus adil adalah hormat akan hak-hak yang melekat pada manusia sebagai manusia baik
pada diriku maupun pada diri orang lain.
Menurut Adam Smith, prinsip no harm adalah prinsip minim dan karena itu paling pokok yang
harus ada untuk memungkinkan kehidupan manusia bertahan dan juga relasi sosial manusia bisa
ada dan bertahan. Tanpa prinsip paling minin dan paling pokok ini, relasi sosial apa pun (dalam
keluarga, pergaulan, sekolah, dan seterusnya) tidak akan terjalin atau terjamin kelangsungannya
karena tidak ada orang yang akan mau menjalin relasi sosial dengan siapa pun yang tidak menahan
diri untuk tidak merugikan orang lain. Bahkan, tanpa prinsip ini manusia akan musnah karena
kehidupan manusia akan dirongrong. Karena demikian pentingnya, prinsip ini tidak hanya berlaku
sebagai prinsip moral, melainkan juga dituangkan menjadi aturan yang tertulis. Itu berarti prinsip
ini tidak hanya berlaku sebagai imbauan moral begitu saja, melainkan pada akhirnya harus dapat
dipaksakan. Jadi, disatu pihak semua orang dari dalam dirinya berusaha menahan dirinya untuk
tidak sampai merugikan hak dan kepentingan pihak lain.
Dalam prinsip ini Adam Smith menjelaskan bahwa pertama, keadilan tidak hanya menyangkut
pemulihan kerugian, tetapi juga menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan
kepentingan pihak lain. Kedua, pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan
status sosialnya yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan
diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan rakyat sendiri wajib menaati pemerintah selama
pemerintah berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan terjamin
suatu tatanan sosial yang harmonis. Ketiga, keadilan berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan
(impartiality), yaitu prinsip perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat.
Prinsip ini pun berlaku dalam bidang bisnis dan ekonomi. Bagi Smith, prinsip ini merupakan
tuntutan dasar sekaligus niscaya (the necessary principle) bagi kegiatan bisnis. Prinsip no harm,
lalu menjadi prasyarat yang niscaya bagi berlangsungnya relasi bisnis yang baik dan etis. Tanpa
prinsip ini sulit diharapkan akan bisa terwujud kegiatan bisnis yang etis dan baik. Prinsip ini
menjelaskan bahwa, dalam bisnis tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya,
entah sebagai konsumen, pemasok, penyalur, karyawan, investor atau kreditor, maupun
masyarakat luas. Semua pihak dalam relasi bisnis apa pun tidak boleh saling merugikan satu sama
lain. Prinsip ini bukan hanya imbauan moral belaka, namun prinsip ini dibakukan dalam aturan-
aturan hukum bisnis dan ekonomi yang kemudia dilaksanakan secara konsekuen, dengan didukung
oleh sanksi dan hukuman yang adil.

2. Prinsip Non-Intervention
Disamping prinsip no harm, juga terdapat prinsip no intervention atau prinsip tidak ikut campur
tangan. Prinsip ini menuntun agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap
orang, tidak seorang pun diperkenakan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan
orang lain. Campur tangan dalam bentuk apa pun akan merupakan pelanggaran terhadap hak orang
tertentu yang merupakan suatu harm (kerugian), dan itu berarti terlah terjadi ketidakadilan. Prinsip
ini juga berlaku bagi hubungan antara pemerintah dan rakyat sedemikian rupa sehingga pemerintah
tidak diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan pribadi setiap warga tanpa alasan
yang dapat diterima. Karena itu, campur tangan pemerintah pun akan dianggap sebagai
pelanggaran keadilan.
Dalam bidang ekonomi, campur tangan pemerintah dalam urusan bisnis setiap warga tanpa
alasan yang sah akan di anggap sebagai tindakan yang tidak adil karena merupakan pelanggaran
atas hak individu tersebut, khususnya hak atas kebebasan. Bagi Smith, setiap manusia mempunyai
hak atas kebebasan yang diperolehnya sebagai manusia dan tak seorang pun, termasuk pemerintah,
dibenarkan untuk merampasnya kecuali dengan alasan yang sah, misalnya demi menegakkan
keadilan, khusunya prinsip no harm.

3. Prinsip Keadilan Tukar


Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan
terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. Ini sesungguhnya merupakan penerapan lebih
lanjut prinsip no harm secara khusu dalam pertukaran dagang antara satu pihak dengan pihak lain
dalam pasar. Dalam prinsip keadilan tukar ini, Adam Smith membedakan antara harga alamiah
dan harga pasar atau harga aktual. Harga alamiah adalah harga yang mencerminkan biaya produksi
yang telah dikeluarkan oleh produsen, yaitu terdiri dari tiga komponen biaya produksi berupa upah
buruh, keuntungan untuk pemilik modal, dan sewa. Sedangkan harga pasar atau harga aktual
adalah harga yang aktual ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang didalam pasar.
Menurut Adam Smith, kalau suatu barang dijual dan dibeli pada tingkat harga alamiah, itu
berarti barang tersebut dijual dan dibeli pada tingkat harga yang adil. Dengan demikian dapat
dijelaskan bahwa harga alamiah adalah harga yang adil karena pada tingkat harga itu para produsen
maupun konsumen sama-sama untung. Atau dengan kata lain, harga yang dibayarkan konsumen
cukup untuk menebus atau memulihkan kembali beban yang telah dikeluarkan produsen (berupa
biaya produksi). Harga alamiah mengungkapkan kedudukan yang setara dan seimbang antara
produsen dan konsumen karena apa yang dikeluarkan masing- masing dapat kembali (produsen:
dalam bentuk harga yang diterimanya, konsumen: dalam bentuk barang yang diperolehnya), maka
keadilan nilai tukar benar-benar terjadi. Namun, dalam kenyataannya konsumen tidak membayar
harga alamiah, melainkan harga pasar. Harga pasar ini tidak selalu sama dengan harga alamiah.
Harga pasar bisa sama, bisa diatas, tapi bisa juga dibawah harga alamiah.
Menurut Adam Smith, dalam jangka panjang melalui mekanisme pasar yang kompetitif, harga
pasar akan berfluktuasi sedemikian rupa di sekitar harga alamiah sehingga akan melahirkan sebuah
titik ekuilibrium yang menggambarkan kesetaraan posisi produsen dan konsumen. Jadi, dalam
jangka panjangkeadilan tukar ini masih akan tetap terwujud kendati harga yang dibayar konsumen
tidak selalu sama dengan harga alamiah. Ini disebabkan, dalam jangka panjang, fluktuasi harga
pasar di sekitar harga alamiah itu menyebabkan pada satu situasi tertentu, ketika harga jauh diatas
harga alamiah, posisi produsen lebih menguntungkan dan sebaliknya posisi konsumen lebih
dirugikan. Pada situasi yang lain, posisi ini terbalik, ketika harga pasar berada dibawah harga
alamiah, yang berarti konsumen diuntungkan dan sebaliknya posisi produsen lebih dirugikan.
Ketika harga pasar sama dengan harga alamiah, posisi keduanya setara. Sehingga, ada sebuah titik
ekuilibrium yang mengungkapkan keseimbangan, kesetaraan, dan keadian dalam posisi kedua
belah pihak.
Dalam pasar bebas yang kompetitif, semakin langka barang dan jasa yang ditawarkan dan
sebaliknya semakin banyak permintaan, harga akan semakin naik. Pada titik ini produsen akan
lebih diuntungkan sementara konsumen lebih dirugikan. Namun karena harga naik, semakin
banyak produsen yg tertarik untuk masuk ke bidang industri tersebut, yang menyebabkan
penawaran berlimpah dengan akibat harga menurun. Maka konsumen menjadi diuntungkan
sementara produsen dirugikan. Demikian selanjutnya harga akan berfluktuasi sesuai dengan
mekanisme pasar yang terbuka dan kompetitif ini.Karena itu dalam pasar yang terbuka dan
kompetitif, fluktuasi harga akan menghasilkan titikekuilibrium, yang dimana merupakan sebuah
titik di mana sejumlah barang yang akan dibeli oleh konsumen sama dengan jumlah yang ingin
dijual oleh produsen, dan harga tertinggi yg ingin dibayar konsumen sama dengan harga terendah
yang ingin ditawarkan produsen. Titik ekuilibrium inilah yang menurut Adam Smith
mengungkapkan keadilan komutatif dalam transaksi bisnis.

5. Teori Keadilan Distributif John Rawls

John Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf yang secara keras mengkritik sistem ekonomi
pasar bebas, kususnya teori keadilan pasar sebagaimana yang dianut Adam Smith. Ia sendiri pada
tempat pertama menerima dan mengakui keunggulan sistem ekonomi pasar. Pertama-tama
karena pasar memberi kebebasan dan peluang yang sama bagi semua pihak pelaku ekonomi.
Kebebasan adalah nilai dan salah satu hak asasi paling penting yang dimiliki oleh manusia, dan ini
dijamin oleh sistem ekonomi pasar.

a. Prinsip-prinsip Keadilan Distributif Rawls

Karena kebebasan merupakan salah satu hak asasi paling penting dari manusia Rawls sendiri
menetapkan kebebasan sebagai prinsip pertama dari keadilannya berupa, "Prinsip Kebebasan yang
Sama". Prinsip ini berbunyi "Setiap orang harus mempunyai hak dan sama atas sistem kebebasan
dasar yang sama yang paling luas sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua". Ini berarti
pada tempat pertama keadilan dituntut agar semua orang diakui, dihargai, dan dijamin haknya atas
kebebasan secara sama. Kalau ada jaminan akan kebebasann dan peluang yang sama bagi semua
orang, bisa diharapkan adanya situasi yang adil, yang memungkinkan semua orang bisa
memperoleh apa yang dibutuhkannya. Rawls disini juga mau menunjukan bahwa setiap orang
mempunyai harkat dan martabat yang sama luhurnya, dan karena diperlakuan yang adil
mengandaikan sikap hormat kepada harkat dan martabat manusia yang sama-sama luhur ini.
Dengan itu berarti manusia diakui sebagai makhluk yang mampu mengatur dan menentukan
hidupnya sendiri (self-determination). Contoh prinsip ini yaitu seperti hak untuk mengemukakan
pendapat, hak untuk mengikuti hati nurani, hak untuk berkumpul dan sebagainya harus tersedia
dengan cara yang sama untuk semua orang.
Dalam prinsip ini, Rawls mengkritik sistem ekonomi pasar karena dari segi lain pasar justru
menimbulkan bahkan memperbesar jurang ketimpangan ekonomi antara kaya dan miskin. Pasar
tidak berhasil menjamin suatu pemeratraan ekonomi yang adil. Menurut Rawls, pasar bebas justru
menimbulkan ketidakadilan. Bagi Rawls, “ketidakadilan yang paling jelas dari sistem kebebasan
kodrati adalah bahwa sistem ini menginzinkan pembagian kekayaan dipengaruhi secara tidak tepat
oleh kondisi-kondisi )alamiah dan sosial yang kebetulan) ini, yang dari sudut pandang moral
sedemikian sewenang-wenang. Maksud Rawls, karena setiap orang masuk dalam pasar dengan
bakat dan kemampuan alamiah yang berbeda-beda, peluang yang sama yang diberikan pasar tidak
akan menguntungkan semua peserta.
Dengan kata lain, sistem pasar yang memberikan kebebasan yang sama itu justru membuka
peluang bagi yang kuat memakan yang lemah, yang kaya menjadi semakin kaya, dan yang miskin
menjadi semakin miskin. Pasar, dengan kebebasan dan peluang yang sama bagi semua orang,
justru hanya menguntungkan bagi yang berbakat, punya kemampuan, dan yang sudah kuat. Pasar
sebaliknya tidak menguntungkan bagi mereka yang lemah dan tak berdaya.
Sebagai jalan keluar, menurut Rawls, sistem sosial harus diatur sehingga pada akhirnya,
berdasarkan peluang dan kebebasan yang sama bagi semua, sistem sosial itu bekerja sedemikian
rupa untuk menguntungkan kelompok yang paling kurang berunutung. Atas dasar ini, Rawls lalu
mengajukan prinsip keadilan yang kedua, berupa Prinsip Perbedaan (Difference Principle), yaitu
bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga ketidaksamaan
tersebut (1) menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung, dan (2) sesuai dengan tugas
dan kedudukan yang terbuka bagi semua dibawah kondisi persamaan kesempatan yang sama.
Prinsip perbedaan ini mengatur supaya masyarakat diatur dengan adil, tidak perlu semua orang
mendapat hal-hal yang sama. Boleh saja ada perbedaan dalam apa yang dibagi dalam masyarakat.
Tetapi perbedaan itu harus demikian rupa sehingga menguntungkan mereka yang minimal
beruntung. Misalnya, boleh dianggap adil saja, jika negara menyelenggarakan kursus keterampilan
untuk orang miskin atau memberikan tunjangan kepada janda dan yatim piatu atau menyediakan
fasilitas khusu untuk orang catat, sedangkan kepada orang lain yang cukup mampu tidak diberikan
apa-apa. Dengan prinsip perbedaan ini Rawls sebenarnya meletakan landasan etis untuk welfare
state modern.
Dengan demikian menurut Rawls, jalan keluar utama untuk memecahkan ketidakadilan
distribus ekonomi oleh pasar adalah dengan mengatur sistem dan struktur sosial agar terutama
menguntungkan kelompok yang tidak beruntung. Tujuan utama Rawls adalah “mengurangi
pengaruh kondisi sosial dan nasib kodrati yang kebetulan atas distribusi kekayaan”. Bagi Rawls
“pengaturan harus dilakukan dalam kerangka pranata-pranata politik dan legal yang mengatur
kecenderungan umum peristiwa-peristiwa ekonomi dan menjaga kondisi sosial yang niscaya bagi
kesamaan peluang yang fair”.

b. Kritik atas Teori Rawls

Teori Rawls kendati sangat menarik dan dalam banyak hal efektif memecahkan persoalan
ketimpang dan kemiskinan ekonomi mendapat kritik tajam dari segala arah khususnya
menyangkut prinsip kedua, Prinsip perbedaan. Kritik yang paling pokok adalah bahwa teori Rawls
khususnya prinsip perbedaan malah menimbulkan ketidakadilan baru :
1. Prinsip tersebut membenarkan ketidak adilan karena dengan prinsip tersebut pemerintah
dibenarkan untuk melanggar dan merampas hak pihak tertentu untuk diberikan kepada pihak lain.
2. Yang lebih tidak adil lagi adalah bahwa kekayaan kelompok tertentu yang diambil pemerintah
tadi juga diberikan kepada kelompok yang menjadi tidak beruntung atau miskin karena
kesalahanya sendiri.
Dalam hal ini Rawls terlalu deterministik memastikan bahwa bakat dan kemampuan alamiah
seseorang dengan sendirinya menentukan lotre distribusi kekayaan dalam pasar. Seakan bakat
yang hebat dengan sendirinya membuat orang tersebut unggul dan menjadi kaya. Tentu saja ada
benarnya, namun tidak dengan sendirinya akan seperti itu, karena bakat dan kemampuan hanya
menyumbang sekian persen bagi keberhasilan seseorang dalam kehidupannya, termasuk dalam
kehidupan ekonomi dan sosial. Dalam hal ini Rawls tidak memberi tempat dan tidak
memperhitungkan secara serius usaha, ketekunan, kegigihan, jerih payah, keuletan, dan berarti
kebebasan seseorang dalam menjalankan kehidupannya terlepas dari bakat yang dimilikinya, dan
yang pada akhirnya bisa merubah hidupnya. Ini berarti prinsip perbedaan justru memperlakukan
secara tidak adil mereka yang dengan gigih, tekun, displin dan kerja keras telah berhasil mengubah
nasib hidupnya terlepas dari bakat dan kemampuannya.

6. Teori Keadilan Distributif Robert Nozick

Menurut Nozick, kita memiliki sesuatu dengan adil, jika pemilikan itu berasal dari keputusan
bebas yang mempunyai hak. Disini ada tiga kemungkinan yang menelurkan tiga prinsip. Pertama,
prinsip “original acquisition” : kita memperoleh sesuatu untuk pertama kali dengan memproduksi
hal itu. Kedua, prinsip “transfer” : kita memiliki sesuatu karena diberikan oleh orang lain. Ketiga,
prinsip “rectification of injustice” : kita mendapat kembali apa yang sebelumnya dicuri dari kita,
perumpamaannya.
Nozick mempunyai dua keberatan mendasar terhadap prinsip-prinsip (material) keadilan
distributif yang tradisional. Prinsip-prinsip ini bersifat ahistoris dan mempunyai pola yang
ditentukan sebelumnya (patterned). Dengan memandang kedua keberatan ini kita dapat memahami
posisi Nozick sendiri dengan lebih baik. Ketiga prinsip Nozick tadi merupakan prinsip-prinsip
historis, artinya mereka tidak saja melihat hasil pembagian tetapi mereka juga
mempertanggungjawabkan proses itu sampai terjadi. Sedangkan prinsip-prinsip tradisional
(khususnya “kebutuhan”) bersifat ahistoris, karena tidak memerhatikan bagaiman pembagian itu
sampai terjadi. Itulah yang disebut “endstate principles”, dimana menurut Nozick mereka
memperhatikan keadaan terakhir dari suatu proses yang barangkali panjang dan penuh dengan
keputusan bebas dari pihak- pihak bersangkutan. Keberatan ini berlaku juga untuk prinsip
perbedaan dari Rawls. Rawls hanya melihat aktual dari mereka yang minimal beruntung. Rawls
tidak memperhatikan mengapa mereka sampai terjerat kedalam keadaan itu. Bisa juga mereka
menjadi miskin karena kesalahan mereka sendiri, sebab memboroskan segala harta milik dengan
bermain judi (perumpaaannya).
Keberatan kedua adalah bahwa prinsip-prinsip tradisional menerapkan pada pembagian barang
suatu pola yang ditentukan sebelumnya. Prinsip-prinsip itu semua bersifat “patterned”. Pola itu
berbentuk “Dari setiap orang menurut X- nya, kepada setiap orang menurut Y-nya”, seperti
misalnya prinsip dari Karl Marx. Tetapi memaksa pola seperti itu berarti mengorbankan
kebebasan. Supaya adil, prinsip-prinsip berpola itu hanya bisa dipakai pada keadaan awal ketika
semua orang masih sama, tetapi tidak bisa dipakai lagi setelah para anggota masyarakat memiliki
harta milik yang berbeda-beda, akibat menjalani hak-haknya yang legitim dengan bebas. Sepintas
lalu rupanya prinsip-prinsip Rawls luput dari keberatan kedua ini karena dirumuskan dalam posisi
asali (original position), ketika semua anggota masyarakat masih sama. Tetapi, menurut Nozick,
prinsip perbedaan Rawls terkena juga keberatan kedua ini, karena menurut pandangan Rawls kita
dalam posisi asali harus memihak pada mereka yang minimal beruntung dan dengan demikian
kebebasan dilanggar.
Kesimpulan dari Nozick adalah bawa keadilan ditegakkan, jika diakui bakat-bakat dan sifat-
sifat pribadi beserta segala konsekuensinya (seperti hasil kerja) sebagai satu-satunya landasan hak
(entitlement). Dapat dikatakan juga, menurut Nozick :
“Dari setiap orang sesuai dengan apa yang dipilihnya, kepada setiap orang sesuai dengan apa yang
dihasilkannya sendiri (barangkali dengan bantuan orang lain berdasarkan kontrak) dan apa yang
dipilih orang lain untuk melakukan bagi dia dan memberikan kepada dia dari apa yang sebelumnya
(berdasarkan prinsip ini juga) diberikan kepada mereka sendiri dan belum mereka habiskan atau
alihkan kepada orang lain”. Atau dapat dirumuskan dengan lebih singkat : “ Dari setiap orang
sebagaimana mereka pilih, kepada setiap orang sebagaimana merea pilih”
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Keraf, A Sony. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya bab 6. 1998. Jakarta : Penerbit
Kanisius Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis, Seri Filsafat Atmajay:21 bab 3. 2000. Jakarta :
Penerbit Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai