Anda di halaman 1dari 379

PSIKOLOGI JUNGIAN,

FILM, SASTRA
Archetype, Anima/Animus,
Ekstrovert/Introvert

Anas Ahmadi
PSIKOLOGI JUNGIAN, FILM, SASTRA
Archetype, Anima/Animus, Ekstrovert/introvert

Penulis
Anas Ahmadi
Editor
Nuria Reny
Desain Sampul
Galang M. Damar Sejati
Lay out
Alek Subairi
Cetakan pertama, April 2019
Penerbit
Temalitera
Anggota IKAPI (201/JTI/2018)
Jln. Palem Kartika 1-03 Perum Japan Asri
Sooko, Mojokerto
Web: temalitera.com, email: temalitera@gmail.com
telp. 085231586507

xii + 366 halaman, 15 x 23 cm


ISBN: 978-602-0769-48-6

Sanksi Pelanggaran Pasal 27 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak


cipta
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak
cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii Psikologi Jungian, Film, Sastra


“Anima inter bona et mala sita”
(soul placed between good and evil)
(Jung, 1963:6).

Psikologi Jungian, Film, Sastra iii


KATA PENGANTAR

B uku monograf yang berjudul Psikologi Jungian, Film,


Sastra: Archetype, Anima/Animus, Ekstrovert/Introvert
merupakan hasil ekstraksi pikiran penulis tentang Psikologi
Jungian. Buku ini merupakan mozaik pemikiran penulis
–tentang psikologi kepribadian-- yang sejak lama masih
berkelijatan di imaji. Jika ditelusur secara historis, tulisan-
tulisan tentang psikologi sudah pernah penulis lahirkan,
mulai dari Psikologi Berbicara (2012), Psikologi Menulis (2015),
sampai Psikologi Sastra (2015). Tentunya, dunia psikologi
secara tidak sadar memengaruhi pemikiran penulis untuk
menulis tentang psikologi.
Dalam relevansinya dengan psikologi, deretan tokoh
psikoanalisis, Freud, Jung, Fromm, Anna Freud, Karen
Horney, Adler, dan Erikson (psikoanalisis klasik), Jung
tampaknya lebih estetis dari segi pemikiran. Keestetisan

Psikologi Jungian, Film, Sastra v


tersebut bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu
yang rumit, circulus, dan unpredictable sehingga tidak
semua orang menyukai pemikiran Jung yang mistis,
teleologis, telepatis, occultis, dan simbolis. Namun, di
situlah sisi keestetisan psikologi Jungian. Jung, dengan
pandangan-pandangannya, berusaha membongkar ar-
chetype yang konon sudah hilang ditelan masa, tetapi dia
menyebutnya dengan rhizoma, muncul dan tenggelam,
datang dan pergi.
Psikologi atau dikenal juga dengan studi psikologi
di era kekinian semakin marak seiring dengan kesadaran
psikologis masyarakat modern tentang pentingnya
pemahaman terhadap (1) psikologi manusia dengan dirinya
sendiri; (2) psikologi manusia dengan orang lain; (3) psikologi
manusia dengan masyarakat; (4) psikologi manusia dengan
lingkungan, dan (5) psikologi manusia dengan Tuhan.
Manusia modern sebagai homo sapiens, homo ludens,
homo esperans, dan homo socius, tentunya memang
membutuhkan pemahaman diri yang mendalam dan
filosofis. Karena itu, tidak salah jika Socrates mengatakan
Gnoti Seaton, kenalilah dirimu. Mempelajari psikologi
ibarat menelusuri jalan panjang tak bertepi yang semakin
lama semakin mengecil, menggelap, tetapi semakin lama
semakin mengasyikkan.

vi Psikologi Jungian, Film, Sastra


Buku monograf ini terbagi menjadi (1) pendahuluan,
di dalamnya memaparkan historisme psikologi Jungian; (2)
jung, kehidupan, dan karyanya, di dalamnya memaparkan
kehidupan Jung sebagai seorang anak, pemuda,
mahasiswa, dosen, suami, psikolog, dan karya-karyanya; (3)
archetype, di dalamnya dipaparkan teori archetype dalam
hubungannya dengan konteks film, sastra, dan agama; (4)
anima/animus, di dalamnya dipaparkan teori anima/animus
dan dikaitkan dengan konteks film dan sastra; (5) tipe
kepribadian, ekstrovert, introvert, di dalamnya dipaparka
karakteristik tipikal manusia yang terbuka dan yang
tertutup; (6) simbolisme mimpi, di dalamnya dipaparkan
teori mimpi dan metodologi dalam studi mimpi; (7) Jung
dan film, di dalamnya di paparkan psikologi Jungian dalam
konteks studi film; (8) Jung dan sastra di dalamnya di
paparkan psikologi Jungian dalam konteks studi sastra; (9)
penutup, di dalamnya dipaparkan tentang psikologi Jungian
menatap masa depan.
Buku ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
yang substansial, baik secara teoretis maupun metodologis
untuk perkembangan studi psikologi sastra. Tentunya,
buku ini bisa digunakan oleh (1) mahasiswa bidang: bahasa,
sastra, film, (2) guru, (2) dosen, ataupun (3) praktisi yang
konsern pada bidang psikologi, sastra, dan film. Sebagai

Psikologi Jungian, Film, Sastra vii


sebuah tulisan tentunya celah masih berjumpalitan di sana-
sini. Untuk itu, kritik konstruktif senantiasa dinantikan oleh
penulis di anasahmadi@unesa.ac.id

Surabaya, 2019

Penyusun

viii Psikologi Jungian, Film, Sastra


DAFTAR ISI

MOTTO ............................................................................iii
KATA PENGANTAR ..............................................................v
DAFTAR ISI ........................................................................ ix
DAFTAR TABEL ...................................................................x
DAFTAR GAMBAR ............................................................ xi

1. PENDAHULUAN: JUNG SEBUAH JALAN AWAL .............3


2. JUNG, KEHIDUPAN, DAN KARYANYA .........................35
3. ARCHETYPE ...............................................................89
4. ANIMA/ANIMUS .....................................................125
5. EKSTROVERT/INTROVERT........................................141
6. SIMBOLISME MIMPI ...............................................155
7. JUNG DAN FILM ......................................................177
8. JUNG DAN SASTRA ..................................................259
9. PENUTUP: PSIKOLOGI JUNGIAN
MENATAP MASA DEPAN..........................................309

DAFTAR RUJUKAN ..........................................................322


GLOSARIUM............... ...................................................343
I N D E X............................................................................347
BIOGRAFI PENULIS........................................................352

Psikologi Jungian, Film, Sastra ix


DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Karya dalam Bentuk Buku Mandiri ................ 68


Tabel 2 : Time line Jung ............................................... 86
Tabel 3 : Postulat Tipe Kepribadian Jung ....................150
Tabel 4 : Perbandingan Film A Dangerous Method (2011)
dan The Soul Keeper (2002) ...........................227

x Psikologi Jungian, Film, Sastra


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Jung pada usia muda..................................5


Gambar 2 : Jung pada usia tua ...................................27
Gambar 3 : Jung bersama istri (Emma Rauscenbach)
dan anak-anaknya ....................................51
Gambar 4 : Sabina Spielrein .......................................81
Gambar 5 : Archetype great mother ........................ 105
Gambar 6 : Archetype spirit ..................................... 110
Gambar 7 : Ibu dan spirit .......................................... 112
Gambar 8 : Quan Yin di kuil Buddhisme, Tiongkok ... 130
Gambar 9 : Tokoh Kevin Wendell Crumb
dengan 12 kepribadian ...........................146
Gambar 10 : Website resmi MBTI ............................... 153
Gambar 11 : Jung memberikan terapi kepada klien ...194
Gambar 12 : Diskusi Jung dengan Sabina
Spielrien di Sebuah Kapal.......................199
Gambar 13 : Jung yang berdiskusi dengan Freud .......209
Gambar 14 : Keluarga Sabina Spielrein yang
datang ke Zurich ....................................212
Gambar 15 : Jung dan Sabina Spielrein sedang
berdialog ...............................................216

Psikologi Jungian, Film, Sastra xi


Gambar 16 : Jung memulai terapi dengan
Sabina Spielrein .....................................218
Gambar 17 : Jung dan Sabina Spielrein
di tempat makan.................................... 222
Gambar 18 : Sabina Spielrein yang akan
dieksekusi oleh tentara Nazi ..................224
Gambar 19 : Mr. Saito dan Dom Cobb yang
berada dalam mimpi .............................. 233
Gambar 20 : Totem yang digunakan sebagai
penanda mimpi ...................................... 235
Gambar 21 : Dom Cobb yang mendiskusikan
inception ...............................................236
Gambar 22 : Dom Cobb yang berdialog
dengan temannya ..................................239
Gambar 23 : Dom Cobb, kawan-kawan,
dan skenario yang di luar rencana .........243
Gambar 24 : Dom Cobb dan kawan-kawan
menyoal limbo .......................................245
Gambar 25 : Dom Cobb bertemu istrinya di mimpi
tingkat ketiga ........................................248
Gambar 26 : Mr. Saito yang menjadi tua .................... 257
Gambar 27 : Proses perkembangan kehidupan
manusia ................................................. 317

xii Psikologi Jungian, Film, Sastra


PSIKOLOGI JUNGIAN,
FILM, SASTRA
Archetype, Anima/Animus,
Ekstrovert/Introvert
1
PENDAHULUAN:
JUNG SEBUAH JALAN AWAL

N ama besar dalam psikologi dunia terutama psikologi


ketidaksadaran tidak lepas dari nama seorang
pemuda yang berasal dari Swiss, Carl Gustav Jung (1875-
1961). Sebuah jalan awal untuk seorang pemuda yang
konon mampu menggerakkan geliat energi psikologi yang
berkesadaran menuju sebuah kebaruan yang bernama
psikologi ketidaksadaran –dengan seniornya (Sigmund
Freud) yang dianggap pula sebagai bapak ‘akademis’
yang memberikan pengaruh besar pada dirinya. Jung
(sebutan yang terkenal di buku-buku, jurnal, dan diskusi
psikologi) nama tersebut sampai sekarang masih bergaung
dan memberikan pengaruh besar dalam dunia psikiatri,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 3


psikologi, dan psikoterapi. Dalam konteks yang lebih makro,
nama Jung merasuki dunia spiritual, seksologi, maskulinitas,
feminitas, sosial, budaya, dan bahkan dunia kerja. Riset
yang dilakukan oleh Cohen (2015:4) menunjukkan bahwa
Jung sebagai seorang terapis dan psikolog telah menangani
ratusan kasus psikologis. Riset Cohen tersebut menunjukkan
bahwa Jung merupakan seorang terapis dan psikolog yang
handal dalam menangani masalah psikologis.
Nama besar Jung memang disandingkan dengan
nama besar Freud –yang merupakan pendiri dan pelopor
psikoanalisis di Jerman [Eropa] dan berkembang sampai
saat ini—sebagai seniornya. Pertemuan Jung dan Freud
membuahkan hasil yang besar, yakni adanya kesatupaduan
dalam menumbuhkembangkan psikoanalisis di Jerman pada
masa itu. Mulanya, Jung muda sebagai seorang psikolog dan
psikiatri, memang sangat simpati dan apresiatif pada Freud
dengan pemikiran-pemikirannya yang membuka dunia
baru dalam wilayah psikologi (Jung, 1912). Kesimpatian dan
keapresiasian tersebut muncul dalam diri Jung sebab dia
merasakan bahwa Freud adalah sosok pembaharu dalam
psikologi modern yang selama ini cenderung berada dalam
bayang-banyak kesadaran dan tidak pernah melewati batas
kesadaran, yakni ketidaksadaran. Freud sebagai seorang
psikiatri sekaligus psikolog lebih banyak mendalami
psikologi ketidaksadaran dan Jung tampaknya kagum

4 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dengan psikologi ketidaksadaran yang dikembangkan oleh
Freud tersebut. Dalam surat menyuratnya dengan Freud,
Jung (1912; McGuire, 1974) seringkali mendiskusikan klien
dan pemikirannya tentang dunia psikiatri. Melalui surat-
surat tersebut Jung menunjukkan rasa hormat kepada
Freud sebagai seniornya di bidang psikiatri. Jung (1959:144)
juga menunjukkan sikap apresiatif terhadap Freud dalam
kaitannya dengan penyusunan biografi Freud yang ditulis
oleh Ernest Jones. Jung muda kala itu memang sangat
obsesif dengan dunia ketidaksadaran terutama yang
berhubungan dengan psikologi yang sedang digelutinya.
Dalam pandangannya, dunia ketidaksadaran merupakan
sesuatu yang besar, sedangkan dunia kesadaran merupakan
sesuatu yang kecil dan berada di permukaan.

Gambar 1: Jung pada usia muda


(Sumber: http://www.jungsocietymelbourne.com/carl-gustav-jung)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 5


Pada masa kejayaan psikoanalisis, muncul pula nama-
nama besar psikoanalisis yang lain, misalnya Erich Fromm
yang banyak berbicara tentang filsafat, psikologi, dan sosial.
Karena itu, ia dianggap sebagai seorang psikolog yang lebih
dekat pada pandangan yang filosofis. Begitu juga dengan
nama Adler yang lebih banyak mendiskusikan masalah
psikologi dengan ke-diri-an sehingga dia dikenal dengan
studi tentang psikoanalisis yang fokus pada psikologi
individual.
Sikap apresiatif terhadap Freud memang benar-benar
ditunjukkan oleh Jung dalam bentuk diskusi dan surat-surat
kepada Freud. Ketika menghadapi pasien, seringkali Jung
berkonsultasi dengan Freud. Hal itulah yang menyebabkan
Jung sangat disayang oleh Freud. Bahkan, karena
pemikirannya yang brilian, Freud sampai mengangkat
Jung sebagai Presiden Psikoanalisis. Dalam perkembangan
selanjutnya, sebagai seorang anak, Jung memiliki pemikiran
yang berbeda dengan bapaknya, Freud. Karena itu,
beberapa pemikiran Jung berseberangan dengan pemikiran
Freud terutama mengenai ketidaksadaran. Masa inilah
yang dianggap sebagai masa kontra (Jung, 1961) yang
membuat perpecahan antara Freud dan Jung. Keduanya,
mulai menunjukkan kekuatan pikiran masing-masing dalam
kaitannya dengan psikologi.

6 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Freud sebagai psikoanalis lebih mengedepankan
pandangan bahwa manusia lebih banyak didorong oleh
pulsi libido. Karena itu dia dianggap sebagai psikoanalis
yang mengarah pada panseksisme, sedangkan Jung
memandang bahwa manusia didorong oleh energi kreatif.
Jung sebagai psikoanalis lebih berpandangan optimistis
dalam memandang manusia, baik masa lalu, masa
sekarang, ataupun masa depan. Pandangan tersebut sangat
berbeda dengan pandangan Freud yang lebih determinis
dalam memandang kehidupan manusia. hal inilah yang
menyebabkan Freud lebih banyak memandang masa lalu
untuk memandang masa kini dan masa depan. Pandangan
Freud tersebut lebih banyak mengandalkan eksperimentasi
yang mengarah pada pandangan determinis dan agnostis
dalam memandang manusia. Jika Freud melahirkan keti-
daksadaran individual, Jung (1968:v) melahirkan “collec-
tive unconscious,”a source of energy and insight in the
depth of the human psyche which has operated in and
through man from theearliest periods of which we have
records”. Ketidaksadaran kolektif dalam pandangan Jung
tersebut didasarkan pada archetype yang muncul dalam
spiritualisme, mitologi, ataupun seni.
Sebagai seorang psikolog, psikiatri, dan dosen bidang
psikiatri, Jung pun banyak mendapatkan berbagai julukan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 7


dari orang-orang yang pro pada dirinya ataupun orang yang
kontra pada dirinya. Lihat saja, sebutan “occultist, scientist,
prophet, charlatan, philosopher, racist, guru, anti-semite,
liberator of women, misogynist, Freudian apostate, gnostic,
post-modernist, polygamist, healer, poet, con-artist,
psychiatrist, and anti-psychiatrist” (Samdhasani, 2003:1);
“deep psychotherapy” (Douglas, 2010), “great creative
thinkers” (Cervone & Pervin, 2013). Sebutan tersebut
dilabelkan pada Jung tersebut dimunculkan dalam konteks
yang positif –tentunya yang menggunakan konsep positif
adalah yang pro Jungian. Dalam konteks kontra, orang-
orang yang mengkritik Jung menggunakan bahasa yang
sama dengan orang-orang yang pro Jungian, tetapi mereka
melihatnya dari konsep yang pesimistis. Keduanya, baik
pro maupun yang kontra memang merupakan sebuah titik
keseimbangan, ibarat yin yang dalam filosofi China.
Jung sebagai seorang psikolog dikenal sebagai sosok
yang mendalam ketika menuangkan ide-idenya dalam
bentuk tulisan. Karena itu, beberapa pandangannya agak
sulit diikuti oleh para pembaca, terutama pembaca psikologi
Jungian pada tahap pemula. Diakui atau tidak, memang
tulisan-tulisan Jung yang banyak berserakan tentang istilah-
istilah yang berkait dengan bidang yang nonpsikologi,
misal saja istilah numinous, archetype, oposisi, persona,

8 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yang merupakan diksi dalam wilayah filsafat, spiritual, dan
antropologi. Samdhasani (1961:xv) memang memberikan
gambaran konkret bahwa Jung memadupadankan ilmu
psikologi yang berkait dengan mitologi dan agama dengan
konteks antropologi. Hal tersebut menunjukkan tingkat
akademis Jung yang memang suka membaca. Tentunya,
dalam hal ini tidak jauh dari karakter introvertnya yang
membuat dirinya menjadi penyuka buku bacaan.
Sebagai seorang psikolog, Jung terinspirasi oleh
pemikir-pemikir besar dunia, misalnya Imanuel Kant,
Nietszche, dan Scopenhauer. Berkait dengan Scopenhauer,
Jung (1989:4-5) mengakui bahwa adalah mahasiswa
kedokteran yang menyukai dunia filsafat dia banyak belajar
pada Scopenhauer tentang filosofi kehidupan “it happens
in the creative will to make the world”. Dalam perjalanan
akademik dan eksperimental yang berkait dengan psikologi
dan psikoterapi, pengaruh yang paling besar dalam pemikiran
Jung adalah Sigmund Freud dan Eugen Bleuleur. Sosok
Eugen Bleuleur adalah profesor dan sekaligus promotor
Jung sewaktu dia mengambil studi doktor dengan judul
disertasi “On the Psychology and Pathology of So-Called
Occult Phenomena” (1902). Beberapa waktu kemudian,
disertasi Jung tersebut diterbitkan dalam bentuk buku
dengan judul Psychology and Occult (1966) yang diterbitkan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 9


oleh publisher Routledge. Sebagai seorang promotor,
Profesor Eugen Bleuleur juga menjadikan Jung sebagai
kolega dalam menangani psikoterapi. Kebetulan, Eugen
Bleuleur memang memiliki tempat praktik psikoterapi.
Pada masa-masa gemilang ini, Jung mempraktikkan
studi eksperimental yang berkait dengan asosiasi kata. Jung
berusaha mengembangkan asosiasi kata dalam hubungan
dengan orang-orang yang terkena gangguan psikologis,
misalnya schizophrenia, psikosis, ataupun histeria. Jung
terinspirasi oleh Eeugen Bleuler yang sudah mengumpulkan
165 asosiasi kata yang digunakan untuk mengenali orang-
orang yang normal ataupun yang abnormal dalam kaitannya
dengan masalah kejiwaan. Dalam pandangan Jung (1981:16),
asosiasi yang dikembangkan oleh Eeugen Bleuler tersebut
masih kurang optimal dalam pemilahan orang yang
kategori normal dan abnormal. Untuk itu, Jung berusaha
mengembangkan asosiasi kata tersebut menjadi lebih
kompleks dan lebih utuh sehingga eksperimentasi tentang
asosiasi tersebut memudahkan seorang psikiater dalam
melakukan pemilihan seseorang yang terkategorikan normal
ataupun abnormal. Selain itu, melalui eksperimentasi asosiasi
kata tersebut diharapkan pasien lebih mudah disembuhkan.
Jung mengembangkan metode eksperimentasi asosiasi
kata tersebut dibantu oleh paseinnya yang bernama Sabina

10 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Nikolayevna Spielrein. Sosok Sabina Nikolayevna Spielrein
adalah seorang pasien perempuan yang masih muda dan dia
bisa diajak bekerja sama oleh Jung untuk mengembangkan
riset yang sedang dilakukannya. Dalam A Dangerous Method
(2011), digambarkan sosok tokoh Jung yang memunculkan
kata, sedangkan pasiennya yang memberikan jawaban.
00:12:07,433 --> 00:12:08,307
Kotak.

183
00:12:08,308 --> 00:12:09,767
Tempat tidur.

184
00:12:10,868 --> 00:12:12,103
Uang.

00:12:12,145 --> 00:12:13,396


Bank.

00:12:30,670 --> 00:12:31,663


Seks.

00:12:31,704 --> 00:12:32,789


Uh...

00:12:38,128 --> 00:12:39,004


Bunga.

00:12:42,874 --> 00:12:43,841


Muda.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 11


Jawaban dari sang pasien tersebut dianalisis dan
disesuaikan dengan konteks yang permasalahan sang
pasein. Dalam film itu, sang pasien mengalami masalah
dengan keluarganya. Karena itu, dia diterapi di klinik yang
diketuai oleh Eugen Bleuleur. Jung dengan metode asosiasi
kata tersebut akhirnya menemukan jawaban bahwa
masalah yang dihadapi oleh si pasien tersebut disebabkan
oleh sang suami. Untuk itu, sebagai seorang terapis harus
mampu memberikan solusi terkait dengan masalah
tersebut. Asosiasi kata yang dikembangkan oleh Jung
tersebut dianggap sebagai rintisan dan pengembangan dari
Jung, tetapi awal dasar yang memunculkan asosiasi kata
tersebut diduga merupakan ide dari Eugen Bleuleur dan juga
atas masukan dari koleganya, Freud. Dalam perkembangan
selanjutnya, memang Jung yang lebih dikenal dengan
metode asosiasi kata tersebut.
Kerr (2011) menunjukkan bahwa Jung bekerja di tempat
praktik Eugen Bleuleur dan di tempat tersebut Eugen Bleuleur
adalah direkturnya. Di sanalah Jung merawat perempuan
yang bernama Sabina Nikolayevna Spielrein –seorang
perempuan muda yang terkena histeria— yang dalam
perkembangan selanjutnya Sabina Nikolayevna Spielrein
menjadi mahasiswa Jung dalam studi psikiatri. Melalui
kedekatan kerja dan kedekatan akademik inilah Jung semakin

12 Psikologi Jungian, Film, Sastra


meningkat ilmu dan juga pengalaman eksperimentasinya
tentang psikologi dan psikiatri. Selain itu, Jung juga banyak
belajar dari kakek moyangnya, Goethe yang turut serta dalam
penginspirasian Jung untuk melahirkan karya-karyanya. Jung
merasakan bahwa kepandaiannya juga tidak lepas dari kakek
moyangnya tersebut.
Jung sebagai seorang psikolog juga menyentuh dunia
filsafat. Beberapa peneliti psikologi Jungian, misal Falzeder
(2016), Lowinsky (2012), Mills (2013; 2014), Willeford (1992)
menggambarkan bahwa Jung adalah sosok psikolog yang
juga berbicara tentang metafisika, superpersonal, dan
filsafat. Pemikiran Jung memang dipengaruhi oleh Immauel
Kant, filsafat China, ataupun yang lainnya, terutama yang
berkait dengan pemikiran filosofis klasik, misal saja tentang
dewa-dewi, dan agama. Hal tersebut terbukti dalam
beberapa karyanya yang memang tidak lepas dari pemikiran
filosofis dan masalah religiusitas yang bersifat metafisika.

Jung, Freud, dan Fromm: Tokoh Utama dalam Psikoanalisis


Nama besar Jung masuk dalam psikoanalisis. Nama
besar psikoanalisis tidak lepas dari nama Jung, Freud,
dan Fromm. Ketiganya, adalah tokoh utama dalam psiko-
analisis. Merekalah yang membesarkan psikoanalisis,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 13


baik di dalam negeri maupun di luar negeri, baik di
barat dan di timur. Meskipun demikian, nama tokoh
psikoanalisis, misalnya Anna Freud, Karen Horney, Adler,
dan Erikson, tidak bisa dilupakan juga kontribusinya dalam
perkembangan psikoanalisis dunia. Namun, dalam paparan
ini, lebih diketengahkan paparan tentang pemikiran
psikoanalisis Freudian dan Frommian dalam psikoanalisis
yang memiliki kedekatan pemikiran dengan Jung. Para
psikoanalisis tersebut memiliki konsep yang berbeda
dalam psikoanalisis. Tentunya, hal tersebut merupakan
kategori yang wajar sebab mereka memiki latarbelakang
keilmuan dan minat yang berbeda. Karena itu, mereka juga
melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Berikut
tokoh psikoanalisis dan pemikirannya.
Sigmund Freud. Sebagai seorang psikoanalisis, Freud
merupakan tokoh pendiri dan sekaligus tokoh utama
dalam psikoanalisis. Dia dianggap sebagai tokoh dalam
psikoanalisis klasik yang memperkenalkan psikoanalisis
sebagai psikologi yang lebih mengarahpandangkan pada
terapi wicara. Sebagai seorang psikoanalisis yang ortodoks,
Freud banyak memunculkan pemikiran-pemikiran yang
kontroversial. Meskipun demikian, pemikirannya merupa-
kan pemikiran yang banyak merasuki pemikiran-pemikiran
para psikoanalisis lainnya.

14 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Freud (1901) memunculkan pandangannnya yang
berkait dengan psikopatologi. Buku yang berjudul Psychopa-
thology of Everyday Life merupakan hasil kerja Freud dalam
kaitannya dengan psikopatologi. Freud menggambarkan
karakteristik orang-orang yang mengalami gangguan
mental, yakni histeria dan kompulsif-neorosis. Studi
yang dilakukan Freud ini tidak lepas juga dari pandangan
beberapa tim yang menjadi grup dalam psikoanalisis,
misalnya Sabina Spielrein. Suatu kebetulan juga bahwa
pada masa lalu, Sabina Spielrein merupakan orang yang
mengalami histeria. Dalam memperkuat dan mempertajam
psikoanalisis Freud (1914) menerbitkan buku The History of
the Psychoanalytic Movement. Dalam buku tersebut Freud
benar-benar menyebut bahwa dirinya adalah pencetus
psikoanalisis dan penggagas psikoanalisis. Karena itu, Freud
(1914:1) menyatakan “For psychoanalysis is my creation; for
ten years I was the only one occupied with it….”
Freud (1910) memunculkan teori yang memperkuat
psikoanalisis, misalnya teori tahapan kepribadian, teori
struktur kepribadian, teori seksual (Freud, 1920), instink
kematian dan instink kehidupan, dan mekanisme pertaha-
nan ego. Dalam pandangan Freud, manusia sebagai sosok
yang didorong oleh energi alam bawah sadar, memiliki
mekanisme pertahanan ego. Mekanisme pertahanan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 15


ego tersebut disebabkan oleh adanya pemertahanan diri
ketika ada sesuatu yang kurang menyenangkan muncul/
menyerang diri seseorang. Mekanisme pertahanan ego
dalam pandangan Freud, di antaranya rasionalisasi,
proyeksi, kompensasi.
Freud (1955) memunculkan teori mimpi. Dalam teori
mimpi tersebut, Freud mengidentifikasi historisme mimpi
mulai zaman pra-sejarah, zaman Dewa-Dewi, zaman
kenabian, sampai dengan zaman modern. Ia mengutip
beberapa mimpi-mimpi yang terdapat dalam kitab suci
dan dikaitkan dengan mimpi-mimpi yang ada pada masa
sekarang ini. Freud juga menunjukkan karakteristik mimpi,
jenis-jenis mimpi dan juga metodologi mimpi. Sebagai
seorang psikoanalis yang lebih memfokuskan pada
eksperimentasi, Freud juga menunjukkan bukti riset yang
telah dilakukannya dalam kaitannya dengan studi mimpi.
Fromm adalah tokoh dalam psikoanalisis yang kuat
dalam perspektif filsafat dan masalah-masalah sosial.
Karena itu, dia dianggap sebagai seorang psikoanalis
yang mengarah pada filsafat dan psikologi sosial. Kajian-
kajiannya memang mengarah pada wilayah filsafat dan
sosial. Pemikiran Fromm (1947, 1954, 1964, 1966, 1968,1973)
yang berkait dengan psikoanalisis yang mengarah pada
konteks sosial mengarah pada konteks berikut (1) manusia

16 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dalam hubungannya dengan diri sendiri, agresi, kompulsif,
sadism, masochism; (2) manusia dalam hubungannya
dengan manusia yang lain, alienasi, hubungan relasional ;
dan (3) manusia dalam hubungannya dengan lingkungan,
biophilia dan necrophilia. Fromm adalah sosok yang
memfilsuf sehingga bahasa dalam pemikirannya banyak
yang menggunakan bahasa-bahasa filosofis, idealis, dan
membaca masa depan. Ia sebagai seorang psikolog agak
terpengaruh pemikirannya Marx tentang alienasi. Karena
itu, Fromm dianggap agak Marxian. Meskipun demikian, dia
masih menunjukkan optimisme dalam kehidupan sehingga
dia memunculkan the art of loving, sebuah pemikiran
tentang teori cinta.

Sekolah/Perguruan Tinggi yang Konsentrasi pada


Psikologi Jungian
Nama Jung tidak hanya terkenal dalam konteks
psikologi, tetapi terkenal juga dalam konteks sekolah/
perguruan tinggi. Sekolah/perguruan tinggi yang membuka
kelas/program untuk psikologi Jungian tersebar di berbagai
negara di seluruh dunia. Sekolah/perguruan tinggi/institut
tersebut menawarkan studi S1, S2, ataupun S3. Dengan
demikian, psikologi Jungian tidak hanya diakui di level
S1 saja, melainkan sampai pada level S2 dan S3. Hal ini

Psikologi Jungian, Film, Sastra 17


mengindikasikan bahwa psikologi Jungian merupakan
psikologi yang diminati di berbagai negara. Sekolah/
perguruan tinggi yang berkonsentrasi pada psikologi
Jungian, misalnya sebagai berikut.
Pertama, International School of Analytical Psychology
Zurich, yang terdapat di Stampfenbachstrasse 115 CH-8006
Zürich, Jerman. Lembaga ini didirikan oleh Carl Gustav
Jung. Lembaga ini memiliki konsentrasi pada terapi Jungian
dan konseling yang menggunakan psikologi Jungian yang
dikaitkan dengan pendidikan. Dengan demikian, psikologi
Jungian tidak hanya berbicara di konteks psikologi, tetapi
juga berkait di konteks dengan pendidikan juga sehingga
lebih komprehensif antara pendidikan dan psikologi.
Kedua, Pasifica Graduate Institute, Lambert, Santa
Barbara, CA, (https://www.pacifica.edu/) merupakan insti-
tut yang menawarkan kajian psikologi untuk S2 dan S3,
di antaranya adalah Jungian dan Archetypal Studies (MA/
Ph.D.), Mythological Studies (MA/Ph.D.). Pasifica Graduate
Institute, Lambert, Santa Barbara, CA, merupakan institut
yang sangat kuat dalam menawarkan kajian-kajian tentang
psikologi Jungian, beberapa judul dari hasil penelitian tesis/
disertasi yang berkait dengan psikologi Jungian diterbitkan
pula oleh institut ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebagai sebuah institut yang memfokuskan kajian pada

18 Psikologi Jungian, Film, Sastra


psikologi Jungian, Pasifica Graduate Institute tidak hanya
konsern pada bidang penelitian saja, tetapi juga konsern
pada bidang publikasi tesis/disertasi. Dengan demikian,
nama Pasifica Graduate Institute menjadi lebih kuat sebab
menguatkan psikologi Jungian dari dua sisi, penelitian dan
publikasi hasil penelitian.
Studi tentang psikologi Jungian di Pasifica Graduate
Institute, Lambert, Santa Barbara, CA tersebut berkait
dengan konteks (1) mempelajari dan mendalami psikologi
Jungian secara kritis dalam kaitannya dengan studi: mimpi,
penyembuhan jiwa, mistisisme, film, sastra, ekologi,
agama, kreativitas, transformasi pribadi, individuasi,
pengembangan kesadaran , dan lainnya; (2) mempertajam
dan memperdalam pemikiran tentang studi imajinal,
simbolik, mistis, kritis, teoretis, dan arketipal; (3) mengasah
kemampuan berpikir kritis mahasiswa dalam kaitannya
dengan penulisan, dan publikasi hasil penelitian, baik bentuk
jurnal ataupun buku. Dengan demikian, mahasiswa yang
menembuh studi di tempat tersebut tidak hanya memahami
konteks teoretis dalam kepenulisan, tetapi mereka juga
memahami konteks praktis dalam hal kepenulisan.
Ketiga, CG Jung Institute Chicago, 53 W Jackson
Blvd, Ste 438, Chicago, IL 60604. Institut ini menawarkan
Jungian Psychotherapy Program (JPP) dan Jungian Studies

Psikologi Jungian, Film, Sastra 19


Program (JSP). Program inilah yang dikaitkan dengan
perspektif psikologi Jungian. Selain itu, tempat tersebut
menawarkan terapi model Jungian. Sekolah/perguruan
tinggi tersebut tidak hanya melahirkan Jungian baru dari
perspektif psikologi, tetapi juga melahirkan Jungian baru
dalam perspektif terapi dan konseling. Diakui atau tidak,
perkembangan psikologi saat ini memang bersanding
dengan konseling. Keduanya, psikologi dan konseling, saat
ini memang menjadi tren di dunia.
Seiring dengan perkembangan zaman, terapi dan
konseling memang menaik dan mulai banyak diminati
berbagai penjuru negara terutama negara yang berkembang
dan negara maju yang lebih konsern dan ingin menguatkan
bisa terapi dan konseling. Diakui atau tidak, kebutuhan terapis
dan konseling semakin lama semakin meningkat sebab
dengan perkembangan modernitas yang tanpa batas ini
membuat manusia modern lebih cepat stress dan mengalami
gangguan psikologis. Karena itu, mereka membutuhkan
terapis dan konselor untuk mendampinginya.
Pemikiran Jung memang dalam, problematik,
ambiguistik, mistik, dan saintik. Karena itu, bagi sebagian
orang hal tersebut membingungkan. Tapi, di sisi yang
lain, hal tersebut merupakan sebuah komplektisitas
sebuah pemikiran yang benar-benar mendalam. Bertolak

20 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dari karakter pemikiran Jung yang demikian komplikatif
tersebut tidak semua orang suka membaca dan bahkan
untuk mengikuti pemikiran Jung dalam kaitannya dengan
konteks psikologi yang konon mistisis dan teleologis.
Ada sebuah pengalaman individual seorang dosen
yang ingin mengajarkan studi Jungian. Dosen tersebut
bernama Tacey. Ternyata, ia kurang begitu diminati, bukan
si Tacey-nya, tetapi psikologi Jungian-nya. Tacey (2007:56)
mengisahkan bahwa ketika dia mencoba menawarkan
psikologi Jungian di tempatnya mengajar, tetapi ada
beberapa hal yang dilematis. Menurut orang-orang filsafat,
pemikiran Jung bukanlah filsafat melainkan empirisme.
Menurut orang-orang empirisme, pemikiran Jung intuitif.
Menurut orang-orang psikologi, pemikiran Jung lebih ke
agama. Menurut orang-orang agama, pemikiran Jung lebih
ke sains. Akhirnya, hanya satu pintu terakhirnya, yakni studi
Jungian bisa masuk dalam kritik sastra. Hal ini menunjukkan
bahwa psikologi Jungian pada masa itu hanya berterima
(dan sangat kuat) pada bidang sastra, meski pada bidang
yang lain juga bisa masuk.
Jika dipandang dari perspektif yang lebih mendalam,
pengalaman Tacey sebagai seorang tersebut menunjukkan
bahwa Jung tidak hanya dikenal dalam bidang psikologi
saja, melainkan dikenal juga dalam bidang yang lain,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 21


yakni filsafat, agama, sains, dan juga sastra. Hal tersebut
menunjukkan kedalaman dan kemampuan Jung untuk
masuk ke dalam ilmu-ilmu tersebut. Memang tidak bisa
dipungkiri bahwa Jung suka belajar tentang wilayah yang
humaniora, misal psikologi, filsafat, dan agama. Karena itu
juga, pemikiran-pemikirannya banyak yang terpengaruh
oleh bidang-bidang tersebut dan akhirnya dia juga bisa
masuk ke dalam bidang tersebut.

Jurnal tentang Psikologi Jungian


Sebagai sebuah aliran psikologi jalur utama, baik
di tempat kelahirannya, Jerman (Eropa) atau bahkan di
wilayah yang lain, Amerika dan Jepang, Douglas (2010)
menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam studi
psikologi Jungian. Menurutnya, psikologi Jungian semakin
menggeliat dan ramai di berbagai negara. Pada tahun
2019, Association for Analytical Psychology memberikan
2929 sertifikat pada member di 45 negara yang tersebar di
belahan dunia, 51 masyarakat profesional bidang psikologi
Jungian. Hal tersebut menunjukkan bahwa minat terhadap
psikologi Jungian semakin menguat sebab psikologi Jungian
merupakan psikologi jalur utama. Dari segi masyarakat
profesional yang mendalami psikologi Jungian, muncul
jurnal-jurnal berikut. Journal of Analytical Psychology

22 Psikologi Jungian, Film, Sastra


(Inggris) Jung Journal: Culture and Psyche (San Fransisco);
Psychological Perspectives (Los Angeles Institute) Journal
of Jungian Theory and Practice (New York Institute); Chiron
(Chicago’s series of monographs on clinical practice); Spring;
Cahiers de Psychologie Jungienne (Paris); Zeitschrift fürm
Analytische Psychologie (Berlin); dan La Rivista di Psicologia
Analitica (Roma). Kesemua bidang tersebut berkonsentrasi
pada psikologi Jungian, baik konteks teoretis, metodologis,
ataupun praktis. Jurnal yang bertemakan tentang psikologi
Jungian merupakan jurnal internasional yang reputatif.
Dengan demikian, hal tersebut sangat membanggakan
sebab Jung tidak hanya dikenal dan dikenang dari segi karya
dan psikologi yang kuat, tetapi dikenal dan dikenang juga
dalam kaitannya dengan perkembangan psikologi kekinian
yang lebih banyak mengarah pada studi interdisipliner dan
multidipliner. Adanya jurnal yang banyak membicarakan
psikologi Jungian juga menunjukkan bahwa eksistensi
psikologi Jungian sampai sekarang benar-benar masih
bertahan bahkan menguat.
Psikologi Jungian memang saling bertalian dengan
psikologi Freudian. Hanya saja, psikologi Jungian dan
psikologi Freudian sama-sama memiliki penganut yang
berbeda. Para penganut psikologi Jungian merupakan
penganut psikoanalisis yang mengarahkan kajiannya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 23


pada bidang-bidang archetype, anima/animus, shadow,
mimpi, ataupun ketidaksadaran kolektif. Adapun psikologi
Freudian lebih mengandalkan dan mengedepankan
ketidaksadaran individual, insting kehidupan dan insting
kematian, seksisme dan mimpi. Keduanya, jika digali lebih
dalam memang bersumber pada satu core yang sama, yakni
psikologi ketidaksadaran.
Perkembangan psikologi Jungian memang sangat kuat
pada saat ini dan pengaruhnya besar dalam bidang psikologi
ataupun psikiatri. Perkembangan tersebut didukung oleh
menguatnya pandangan masyarakat terhadap psikologi
dan meningkatnya studi psikologi di dunia. Meskipun
demikian, pada mulanya, psikologi Jungian merupakan
psikologi yang kurang diminati di kawasan barat, terutama
Amerika. Begitu pula dengan psikoanalisis Freudian. Hal
tersebut disebabkan oleh faktor-faktor berikut.
Pertama, psikologi yang ditawarkan dan dikembangkan
oleh Freud dan Jung merupakan psikologi yang mengede-
pankan alam ketidaksadaran yang mengendalikan manusia
dalam melakukan tindakan. Psikologi yang mengedepankan
alam ketidaksadaran merupakan psikologi yang kurang
berterima bagi masyarakat barat yang mengandalkan rasio
dan keilmiahan. Pada masa masa itu, masa tahun 1910-an
masih belum kuat yang namanya psikologi ketidaksadaran

24 Psikologi Jungian, Film, Sastra


memang tidak begitu marak dan tidak begitu dikenal oleh
masyarakat. Karena itu, ketika masyarakat menemukan
psikologi yang berbicara tentang alam ketidaksadaran.
Diakui atau tidak, psikologi Jungian memang lebih
mengarah pada mistisisme, occultisme, dan teleologisme
tersebut membuat alam berpikir barat sulit menerimanya
sehingga psikologi ini lama masuknya ke barat pada awal
kemunculannya –meskipun sudah berkembang pesat di
wilayah Eropa. Hal ini menyebabkan psikologi Jungian
memang benar-benar tertinggal di dunia barat. Bahkan,
gaungnya memang kurang terdengar sebab orang yang
menawarkan dan membawa pengaruh psikologi Jungian
ke barat juga sangat minim –tentunya keminiman tersebut
berdasarkan pada masa itu—didiskusikan, diteliti, dan
didiseminasikan. Meskipun demikian, psikologi Jungian di
barat saat ini sudah ramai diperbincangkan, didiskusikan,
dan dijadikan sebagai studi ataupun terapi.
Kedua, barat dengan paham rasionalitasnya lebih banyak
mengandalkan psikologi kesadaran. Psikologi kesadaran
adalah psikologi yang secara keilmiahan sangat terukur
sebab berdasarkan pada perilaku dan empirisme sehingga
kadar keilmiahannya dapat dipertanggungjawabkan
dalam perspektif sains. Kerlinger (1990) menunjukkan
bahwa dalam konteks ilmu pengetahuan, kekuatannya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 25


terletak pada sisi sistematis, metodologis, dan bisa dikaji
secara empiris. Selain itu, terlepas dari masalah politis-
akademik, gelombang psikoanalisis ataupun psikologi
Jungian memang dimulai dari Eropa dan bukan dari
Amerika sehingga gaung psikologi Jungian pada awal-
awal perkembangannya memang masih sulit berterima
di barat. Tentunya, hal tersebut bisa dimaklumi sebab
pada masa lalu akses keilmuan dan sains memang tidak
semudah dan tidak sepesat sekarang sehingga hal tersebut
menyebabkan perkembagan suatu ilmu pengetahuan tidak
berjalan dengan cepat seperti sekarang yang seolah ‘berlari’
maraton atau seperti dunia yang dilipat.
Kedua hal tersebut mengimplikasikan bahwa psikologi
Jungian di barat memang pada mulanya berat untuk
bersanding dengan psikologi yang lain yang terdapat di
barat sebab barat lebih mengandalkan metodologi yang
berdasarkan pada eksperimentasi, empirisme, dan juga
kevaliditasan yang tinggi. Dengan demikian, segala ilmu
pengetahuan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
dan keilmiahan tersebut akan tampak ketika diujicoba
oleh orang banyak. Dalam pandangan orang saintifiks,
ilmu yang memenuhi standar ilmu pengetahuan adalah
penggeneralisasian. Tatkala suatu pengetahuan tersebut
diujicoba menjadi ilmu pengetahuan, ujicoba tersebut

26 Psikologi Jungian, Film, Sastra


harus mampu muncul dalam konteks generalisasi. Jika yang
muncul lebih banyak unsur subjektivitas, falsifikasi, ataupun
fabrikasi dalam pengujicobaan tersebut, ilmu pengetahuan
kurang kuat bahkan disebut tidak kuat.
Namun, sesuatu dengan hukum survavilitas, kekuatan
yang besar akan mengalahkan kekuatan yang kecil dan
itulah homo homini lupus, yang kuat akan mengalahkan
yang lemah. Begitu juga dengan dunia pemikiran dan dunia
ilmu pengetahuan, ada yang tumbuh-kembang dan ada pula
yang timbul-tenggelam. Psikologi Jungian lama-kelamaan
tumbuh dan berkembang di barat dan sampai akhirnya
berterima sebagai bagian dari psikologi dan psikiatri yang
masuk jalur utama dan bukan merupakan mumbo jumbo.

Gambar 2: Jung pada usia tua


(Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=xK2Uv-82z_M)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 27


Jung sebagai sosok psikolog muda yang kreatif, inovatif,
dan sedikit sensitif ternyata membawa pemikirannya lebih
jauh lagi ke depan. Karena itu, ketika Jung menginjak usia
kematangan sekitar 40-an ke atas, dia semakin menunjukkan
dengan jelas bahwa psikologi yang dipelajarinya tidak
lepas dari konteks teleologis, membaca masa depan yang
masih menjadi misteri. Pemikiran Jung yang demikian itu,
dianggap oleh sebagian orang kurang akademik sebab
terkesan mistis dan bersifat tahayul. Namun, bagi kalangan
yang pro-Jungian, tentunya pandangan Jung tersebut
dianggap sebagai sebuah warna baru dalam dunia psikologi
ketidaksadaran.
Warna baru yang dimunculkan oleh Jung dalam
psikologi memang berbeda dengan warna yang lain dalam
psikologi. Karena itu, Jung sebagai seorang psikolog memi-
liki kelebihan dan kekuatan dalam menarasikan psiko-
logi dengan konteks-relevansi intuisi dan spiritualistis-
mistis (Ellis, 2018; Dourley, 2015; Robertson, 2002; Senn,
1989). Hal itulah yang membuat pemikiran Jung mampu
membangkitkan pemikiran orang lain di bidang psikologi
yang selama ini tampaknya tidak mau ataupun tidak berani
menjamah wilayah yang terra incognito tersebut.
Selama ini, sebagaimana diketahui bersama, psikologi
lebih banyak mengandalkan konteks kesadaran. Namun,
dalam pandangan Jung yang memang membawahi

28 Psikologi Jungian, Film, Sastra


pemikiran psikoanalisis, ia mencoba memberikan warna
baru dengan memunculkan psikologi ketidaksadaran
sebab lawan tanding dari psikologi yang berkesadaran.
Tidak hanya itu, Jung menambahkan psikologi yang lebih
dalam lagi, yakni psikologi spiritual, sebuah psikologi yang
berbicara tentang keberkaitan antara psikologi, agama,
dan mistisisme. Pemikiran yang demikian jika digali secara
filosofis lebih dekat dengan wilayah kajian studi agama
daripada psikologi. Meskipun demikian, akar dari studi
agama dalam pandangan Jung bermula dari psikologi
sehingga induk dari kajian terhadap pemikiran Jung lebih
mengarah dan tetap pada fokus psikologi. Pemikiran-
pemikiran tentang psikologi, agama, dan mistisisme
ternyata saat ini ramai didiskusikan sebab ketiganya
memang merupakan satu kesatuan yang bukan merupakan
fragmentaria.

Tahapan Perkembangan Manusia


Jung seperti halnya psikolog yang lainnya, misal
Freud, Adler, dan Erikson, memunculkan pembagian dalam
tahapan perkembangan kepribadian manusia. Tahapan
perkembangan kepribadian dalam konteks psikologi
berkaitan dengan realisasi diri manusia dalam melalui
tahapan kehidupan mulai dari bayi sampai dengan usia senja.
Proses perkembangan kepribadian tersebut tidak lepas dari

Psikologi Jungian, Film, Sastra 29


adanya distorsi-distorsi dalam kehidupan sehingga dalam
menjalankan proses perkembangan tersebut manusia ada
yang mengalami perkembangan kepribadian secara normal
dan ada juga yang kurang normal sebab terkait dengan
konteks pribadi dan juga lingkungan.
Jung (Feist & Feist, 2009) membagi tahapan perkem-
bangan manusia menjadi (1) masa kanak-kanak, (2) masa
remaja, (3) masa dewasa, (4) masa paruh baya, dan (5) masa
tua. Masa perkembangan tersebut dalam pandangan Jung
diibaratkan seperti matahari. Dalam konteks kehidupan
keseharian, manusia pada awalnya ibarat masih matahari
di ufuk timur dan kagori matahari pagi. Dalam kehidupan
perkembangan dewasa, manusia memasuki masa matahari
siang. Pada masa ini, kekuatan manusia memang berada
pada puncak-puncaknya. Manusia pada masa ini adalah
manusia yang mencapai usia kematangan jiwa. Karena
itu, mereka akan menjadi manusia yang benar-benar
memahami dirinya.
Ketika mencapai usia dewasa, Jung memunculkan
istilah individuasi. Istilah ini untuk menunjukkan kemata-
ngan diri manusia dalam prosesi kehidupan (Feist & Feist,
2009). Manusia sebagai ‘the real man’, muncul pada masa
ini. Sebuah masa ketika manusia dihadapkan pada masa lalu,
masa kini, dan masa depan. Beberapa kasus terjadi manusia
di masa dewasa, banyak dikejar dan dibayang-bayangi oleh

30 Psikologi Jungian, Film, Sastra


masa lalu mereka yang penuh dengan kejayaan, tetapi di
masa kini mereka mengalami penurunan. Bayang-bayang
masa lalu tersebut membuat mereka menjadi manusia yang
ketakutan dengan diri mereka sendiri, sebuah ketakutan
yang paling menakutkan sebab takut dengan diri sendiri,
bukan takut dengan orang lain. Sebagai manusia yang
memahami dirinya sendiri, dia harus mampu mengalahkan
bayangan masa lalunya dan menatap masa depan yang
lebih pasti dan lebih real sebab masa depanlah yang akan
dihadapi manusia, bukan masa lalu.
Miller (2004:xi) menyebut individuasi dengan “the
transcendent function is the core of Carl Jung’s theory
of psychological growth and the heart of what he called
“individuation”. Karena itu, seseorang yang mampu melalui
tahapan dan mencapai tahapan individuasi ini merupakan
orang-orang yang sudah tercerahkan dan mencapai
tahapan iluminasi dan menjadi manusia yang wholeness,
memiliki kesatuan jiwa dengan ketubuhan. Diakui atau
tidak, tidak banyak manusia yang mencapai individuasi
dengan baik. Kebanyakan, malah semakin gagal memahami
dirinya sendiri sehingga kehilangan jati diri dalam konteks
psikologis.
Dalam pandangan Jung (1956:265), individuasi yang
terdapat dalam diri manusia memang berbeda-beda sebab
manusia memiliki alam pikir psikologis yang berbeda.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 31


Manusia sebagai sosok yang unik tidak bisa disamakan
secara psikologis, tetapi dalam alam ketidaksadarannya,
mereka memiliki kemiripan dalam hal individuasi tersebut.
Kemiripan tersebut disebabkan manusia memiliki archetype
yang sama dalam derajat yang berbeda –tentunya dalam
hal pemikiran tentang kematangan jiwa—sehingga
setiap orang jika diamati secara seksama memunculkan
karakteristik yang tidak jauh beda.
Pada masa ini, seseorang sudah mampu mengenali
dirinya sendiri dengan baik, manusia yang sudah mampu
mereduksi hasrat-hasrat persona yang masuk dalam
shadow yang akan membawa pada jurang kegelapan
manusia. Jika seseorang tidak mampu menarik dirinya dari
kegelapan yang dalam, ia akan terjebak dalam kegelapan
tersebut dan tidak akan bisa kembali menjadi manusia yang
seutuhnya. Manusia yang gelap adalah manusia yang tidak
bisa membenahi dirinya dan tidak bisa menyadarkan dirinya
sendiri untuk menjadi manusia yang lebih baik. Padahal,
pada masa kedewasaan ini, manusia bisa mengendalikan
diri dan mengendalikan elemen-elemen yang terdapat
dalam dirinya sehingga dia menjadi manusia yang real
bukan unreal.
Dalam konteks manusia modern, pemahaman
tentang kedirian yang disebut juga dengan self dalam
psikologi Jungian memang membutuhkan pemahaman

32 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yang mendalam. Manusia yang sudah mampu mengenali
diri, mengendalikan diri, dan mengevaluasi dirinya akan
menjadi manusia yang individuasi dan mencapai titik
mandala. Secara historis, istilah mandala diadaptasi dari
Budhisme yang berkait dengan sesuatu yang melingkar,
konsep tersebut hampir sama dengan yin dan yang ataupun
konsep ouroboros. Mandala merupakan titik puncak dari
kehidupan manusia.
Menurut Miller (2005), mandala dalam konteks psiko-
terapi memang diujicobakan oleh Jung dalam menerapi
kliennya. Seseorang yang mengalami gangguan jiwa juga
mampu memunculkan mandala. Konsep mandala dalam
diri orang yang mengalami gangguan jiwa berbeda dengan
mandala yang berada dalam diri manusia yang normal.
Dalam diri manusia yang mengalami gangguan jiwa mereka
memiliki konsep dalam diri tentang mandala dan konsep
tersebut bisa muncul dalam bentuk karya seni, gambar
ataupun tulisan. Untuk itu, Jung menggunakan seni yang
dikaitkan dengan konteks psikoterapi sehingga membuat
pasien lebih merasa nyaman dengan terapi-seni. Dalam
perkembangan selanjutnya, konsep tentang mandala
tersebut masuk dalam wilayah transpersonal psikologi yang
dalam masa modern ini juga ramai diperbincangkan.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 33


Manuskrip: Surat-surat Jung kepada Freud
(Sumber: The Freud/Jung Letters [McGuire, 1974])

34 Psikologi Jungian, Film, Sastra


2
JUNG, KEHIDUPAN,
DAN KARYANYA

R ujukan yang dianggap sebagai semiautobiografi


ataupun biografi tentang Carl Gustav Jung pernah
ditulis Carl Gustav Jung (rentang tahun 1957-1961)
dengan judul Memories, Dream, Reflections (1961).
Buku ini merupakan buku yang ditulis oleh Jung di
masa tuanya –waktu itu ia berusia sekitar 82 tahun--
dan buku tersebut terbit setelah dia meninggal dunia.
Dalam proses menulis buku tersebut, Jung dibantu oleh
asistennya yang bernama Aniela Jaffé, dia adalah sosok
asisten yang sangat setia dan sabar pada Jung terutama
menyelesaikan tugas-tugas yang berkait dengan dunia
tulis-menulis.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 35


Jika dikaitkan dengan psikoanalisis, Jung memiliki
semibiografi yang berjudul Memories, Dream, Reflections
(1961), sedangkan senior/guru/mentornya yang bernama
Freud juga memiliki biografi yang ditulis oleh Ernest
Jones, yakni The Life and Work of Sigmund Freud (1967),
The Complete Correspondence of Sigmund Freud and Ernest
Jones (1993) yang berbicara tentang korespondensi
antara Freud dan Ernest Jones. Bedanya, biografi yang
ditulis oleh Jung lebih dominan karya Jung –sehingga
disebut dengan semiotobiografi--, sedangkan untuk
biografi Freud lebih dominan ditulis oleh Ernest Jones.
Kedua biografi tersebut, baik tentang Jung ataupun
tentang Freud, sama-sama memiliki celah di dalamnya.
Dalam The Life and Work of Sigmund Freud (1967),
sang penulis biografi menunjukkan bahwa penulisan
biografi tentang Freud masih memiliki celah, ada
kekurangan, distorsi, ataupun hal yang lainnya. Dalam
hal ini, Jones (1967) sebagai sang penulis biografi
memang memaparkan secara terbuka bahwa apa yang
ditulis di dalam buku biografi tentang Freud tersebut
belum tentu benar adanya sebab Freud juga kurang
setuju ketika buku biografi tersebut diterbitkan secara
terbuka untuk khalayak luas. Diakui atau tidak, Freud
dan juga keluarganya merasa kurang suka jika masalah

36 Psikologi Jungian, Film, Sastra


privasi diangkat ke ruang publik. Karena itulah, Jones
mengungkapkan bahwa biografi yang dia tulis bukanlah
biografi yang populer, tetapi lebih tepatnya biografi
yang berisikan pemikiran Freud. Dengan demikian,
biografi tersebut lebih mengarah apda tataran yang
akademik daripada tataran yang mengungkap masalah
privasi Freud dalam kehidupan kesehariannya. Terlepas
dari apapun yang terjadi, usaha menerbitkan biografi
ataupun autobiografi merupakan hal yang berat sebab
hal tersebut seperti mengumpulkan mozaik-mozaik kecil
layaknya sejarah yang tercecer untuk menjadi sebuah
karya yang bermartabat dan berkontribusi bagi dunia
ilmu pengetahuan.
Salah satu bagian dalam biografi Freud memang ada
yang dianggap sensitif. Dalam biografi tersebut, Jones
(1967) menunjukkan bahwa dalam melakukan terapi
penyembuhan kepada klien. Freud menggunakan terapi
kokain. Dalam biografi tersebut Jones memang mengutip
penjelasan dari Freud terkait dengan penggunaan kokain
kepada kliennya. Tentunya, dalam hal ini secara etika tidak
diperkenankan. Freud juga merasa bersalah terhadap
dirinya sendiri sebab dia merasa telah menggunakan
jalan yang salah dalam melakukan pengobatan kepada
klien dengan menggunakan kokain. Hal inilah yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 37


tampaknya kurang begitu diminati oleh Freud sebab
mengungkapkan Freud yang terkesan melegalkan
narkoba dalam melakukan terapi penyembuhan kepada
klien terlepas dari argumentasi rasional apapun.
Taylor (2007) menandai bahwa pemikiran Jung
yang tertuang dalam buku berjudul Memories, Dream,
Reflections (1961) sebenarnya terinspirasi oleh pemikiran
Imanuel Kant yang berjudul Dreams of a Spirit-seer
(1900). Salah satu hal yang tampak kelihatan terpegaruh
adalah dalam kaitannya dengan masalah after the death.
Dalam pandangan Kant (1900), setelah seseorang mati,
jiwa (anima) masih tetap ada dalam diri, tetapi dia
sudah meninggalkan raga. Tentunya, Jung dan Kant,
merupakan seorang yang memegang konsep religiusitas.
Karena itu, mereka berpandangan bahwa kehidupan
setelah kematian memang ada sebab itu oleh Tuhan
diciptakan surga dan neraka sebagai tempat yang kekal
bagi manusia. Manusia tidak akan bisa lari dari kematian
dan memang mereka sebagai makhluk yang memiliki
jiwa akan menuju ke dunia setelah kematian.
Sebagaimana otobiografi ataupun biografi yang
beredar di masyarakat, Jaffé (1961) menjelaskan bahwa
biografi Jung bukanlah sebuah biografi yang dianggap
sebagai rujukan komprehensif, tetapi rujukan yang

38 Psikologi Jungian, Film, Sastra


bersifat restropektif tentang perjalanan kehidupan
Jung mulai dari kecil, remaja, dewasa, sampai masa
tuanya. Penjelasan Jaffé tersebut menunjukkan secara
implisit bahwa biografi Jung ataupun biografi yang lain
yang berbicara tentang alur kehidupan dan alur pemikiran
seseorang tentunya memiliki ‘celah’ yang memang dengan
sengaja ditenggelamkan demi sesuatu hal yang tentunya
bersifat positif. Tanpa berpretensi apapun, biografi dalam
paparan ini hampir sama dengan apa yang diungkapkan
oleh Jaffé, biografi yang bersifat restrospektif, bukan
yang mengarah pada justifikatif.
Carl Gustav Jung (dikenal dengan sebutan Jung) lahir
di Kesswil, Switzerland, Swiss, 26 Juli 1875 dan meninggal
pada 6 Juni 1961 (usia 85). Ia lahir dari pasangan suami
istri yang bernama Paul Achilles Jung (seorang pastur
dari Protestan) dan Emilie Preiswerk. Jung merupakan
anak dari keluarga yang terkategorikan berada. Hidup
dan kehidupan Jung merupakan sebuah realisasi dan
konkretisasi dari manifestasi alam bawah sadarnya. Ia
memang lebih banyak mengungkapkan bahwa pemikiran-
pemikirannya pun tidak lepas dari alam bawah sadar.
Karena itu, Jung banyak memunculkan pemikiran tentang
psikologi yang berhubungan dengan alam bawah sadar dan
ketidaksadaran. Kehidupan manusia yang banyak dirasuki

Psikologi Jungian, Film, Sastra 39


oleh pengalaman-pengalaman bawah sadar tersebut tidak
lepas dari mitologi (cerita rakyat).
Bishop (2014:22) menuliskan bahwa Jung adalah
keturunan dari Goethe (1749-1832) –seorang sastrawan
Jerman yang terkenal dengan novelnya Faust. Jika ditelusuri
secara garis keturunan Goethe merupakan kakek moyang
Carl Gustav Jung. Hal itu menunjukkan bahwa secara garis
keturunan Jung memiliki bakat alam dalam kaitannya
dengan seni terutama sastra. Karena itu, Jung juga menulis
tentang psikologi yang berkait dengan masalah kesastraan
dan mitologi. Minat itulah yang tidak lepas dari pengaruh
kakek buyutnya, Goethe.

Masa Pagi: Kehidupan Kanak-kanak


Kehidupan Jung kecil sampai beranjak remaja tidak
lepas dari bayang-bayang introversi. Karena itu, McLynn
mendeskripsikan Jung tidak lepas dari tipikal yang
suka bertahayul, xenophobia, dan introvert (McLynn,
2014:1). Karakter Jung yang demikian, menurut Hyde &
McGuinness (2004) tidak lepas dari konteks psike individu
yang melankolis. Kemelankolisannya tersebut tampak
dalam kehidupan kesehariannya dia. Ia memang tipe
anak yang suka berkhayal, bermimpi, memiliki ketakutan-

40 Psikologi Jungian, Film, Sastra


ketakutan kepada dunia luar sehingga hal tersebut semakin
membuat dirinya menjadi seorang anak yang pendiam dan
cenderung menutup diri dalam pergaulan di luar. Hal itulah
yang tampaknya memperkuat dirinya sebagai sosok yang
introvert dan melankolis dalam menghadapi kehidupan.
Dari sisi keluarga, baik ayah dan ibu, Jung tampaknya
agak jauh dengan sosok ayahnya. Mungkin karena kesibukan
ayahnya dalam bekerja. Namun, ia lebih dekat dengan
ibunya. Dalam kehidupan keseharian, sang ibu memiliki
dua karakter, yakni kadang muncul dengan sisi yang hangat
(warm) dan kadang muncul dalam sisi yang buruk (terrible)
sehingga membuat Jung melahirkan kehidupan pagi dan
kehidupan malam. Sang ibu ketika pagi merupakan sosok
yang baik, sedangkan ketika malam sang ibu menjadi sosok
yang buruk (Douglas, 2010:118). Ibu Jung tersebut diduga
mengalami gangguan psikologis, ia mengalami fantasi
bertemu dengan orang-orang mati. Karena itu, Casement
(2001:4) menunjukkan bahwa ibunya Jung memang pernah
masuk di rumah sakit jiwa selama berbulan-bulan karena
penyakit yang dideritanya. Hal tersebut membuat Jung
kecil merasa dalam kesendirian dan kesepian. Ia sempat
merasakan bahwa orang tuanya terkesan meninggalkan
dirinya sebab orang tuanya sibuk dengan masalahnya
sendiri. Pengalaman masa kecil ini merupakan masa yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 41


tidak terlupa dalam diri Jung kecil sebab dia merasa masa-
masa dekat dengan ibunya sempat hilang. Hilangnya masa
bahagia dengan ibunya tersebut memang disebabkan
oleh faktor gangguan psikologis yang melanda ibunya,
bukan karena faktor yang lainnya. Namun, kelak pada usia
remaja, ia menjadikan pengalaman individualnya di masa
kecil ini sebagai pondasi untuk menulis disertasi tentang
occultism yang sebenarnya secara archetypis tidak lepas
dari historisme yang pernah dia alami pada masa kecil.
Pernah pada masa kecilJung mengisahkan bahwa dirinya
pernah Ia disakiti oleh temannya, dipukul dan membuatnya
cidera (Kerr, 2011). Cidera tersebut mengakibatkan dirinya
tidak bisa masuk sekolah seperti biasanya dalam beberapa
waktu. Cidera yang dialami oleh dirinya tersebut membuat
dia mengalami neurosis yang kelak di kemudian waktu
tatkala dia menginjak dewasa, baru dipahami neurosis yang
terdapat dalam dirinya tersebut (Jung, 1989). Karakter
Jung yang memang introvert dan melancholis tampaknya
memperparah neurosis yang terdapat dalam dirinya ketika
dia masih kanak-kanak. Karena itu, ketika besar pun, Jung
masih teringat dengan masa lalunya yang berkait dengan
neurosis tersebut. Untungnya, dia mampu menyembuhkan
neurosis yang menjangkiti dirinya. Ternyata, tidak hanya
Jung saja yang mengalami masalah psikologis ketika masih

42 Psikologi Jungian, Film, Sastra


kanak-kanak, psikolog yang lainnya, misal Erik H. Erikson,
yang mengalami depresi dan konflik batin dalam dirinya.
Namun, dia mampu memanfaatkan depresi dan konflik
batin yang menjangkiti dirinya dan menjadikannya sebagai
katalis. Ketika dewasa, dia pun akhirnya menjadi psikoanalis
dan bergabung dengan aliran Freudian. Begitu pula dengan
Jung, dia bisa menyembuhkan masalah psikologis yang
terdapat dalam dirinya sehingga ia bisa menjadi psikolog
yang handal pada zaman kejayaan psikoanalisis dan ia
memang sampai sekarang gaungnya masih menggema ke
mana-mana.
Pada masa kanak-kanak ini, Jung menuliskan bahwa
ia mengalami beberapa mimpi yang diingat sampai dia
beranjak dewasa. Mulanya, ketika ia masih kanak-kanak, ia
bingung dengan mimpi-mimpinya yang tidak bisa dipahami
dan tidak bisa diterjemahkan oleh dirinya. Ia juga bingung
sebab tidak ada orang yang bisa diajak untuk berdiskusi
tentang mimpi-mimpi yang selalu berkelijatan dalam
pikirannya. Jung (1961) mengisahkan bahwa sewaktu dirinya
berusia 4 tahunan ia pernah bermimpi tentang tentang batu,
singgasana, dan pohon yang sangat besar. Mimpi tersebut
sangatlah mengganggu Jung kecil. Ia sangat ketakutan
sehingga di hari-hari berikutnya ia pun kesulitan tidur
sebab merasa dihantui oleh mimpi tersebut. Mimpi yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 43


baginya menakutkan dan buruk tersebut dirahasiakannya
kepada siapapun. Ia takut jika menceritakan mimpi tersebut
kepada orang lain, bisa jadi mimpi tersebut akan menguak
siapa sebenarnya Jung yang real. Pada masa itu, Jung
adalah anak yang introvert dan sensitif sehingga ia kurang
begitu suka mendiskusikan masalah pribadinya kepada
orang lain. Jung dalam masa-masa ini memang berada
pada masa kebimbangan dalam kaitannya dengan masalah
mimpi-mimpi yang harus digelutinya sendiri dan harus
dipikirkannya sendiri dalam-dalam.
Barulah ketika dia beranjak dewasa dia membukanya
dan menuliskannya dalam autobiografinya, Memories,
Dreams, Reflections (1961). Jung pun juga baru memahami
bahwa apa yang dimimpikannya di masa lalu adalah
mimpi tentang phalus, sebuah simbol laki-laki. Kekuatan
mimpi Jung yang dianggap sebagai sesuatu yang memiliki
simbolisme ini ternyata berkait juga dengan kekuatan
Jung yang dalam hal pelihatan. Jung sebagai psikolog
yang occultism, memercayai bahwa pelihatan adalah
kinerja dari psike alam bawah sadar manusia. Sebagai
manusia yang banyak didorong oleh energi bawah sadar,
manusia juga memiliki kekuatan pelihatan. Tentunya,
dalam hal ini, pelihatan yang muncul dalam diri seseorang
tersebut memiliki keberbedaan yang disebabkan oleh (1)

44 Psikologi Jungian, Film, Sastra


kemampuan dalam melakukan pelihatan yang dialaminya
dan (2) kemampuan dalam menafsirkan pelihatan tersebut.
Dengan demikian, pelihatan seseorang tersebut tidak lepas
dari simbol-simbol yang harus dipecahkan dan ditafsirkan
oleh sang pelihat. Melalui tafsir dari simbol-simbol tersebut
seorang pelihat bisa melihat ‘apa yang sebenarnya’ dari
esensi simbol yang muncul dalam pelihatan tersebut. Di
samping itu, seorang pelihat harus benar-benar mampu
melihat apakah yang dilihatnya itu adalah suatu pelihatan
yang dianggap sebagai sebuah tanda (sign) yang memiliki
makna bagi kehidupan manusia sebab pemahaman
terhadap tanda dalam pelihatan sangat diperlukan agar
manusia bisa menjadi manusia yang lebih baik, bukan
menjadi manusia yang lebih buruk.
Pemikiran Jung yang berkait dengan pelihatan ini
pada akhirnya membuat dirinya lebih dekat dengan istilah
cenayang, dukun, saman, ataupun peramal. Beberapa
peneliti, misalnya Senn (1989), Keith (1976), Richter (2018)
menyatakan bahwa psikologi Jungian memang tidak lepas
dari dunia supranatural. Karena itu, di dalam psikologi
didiskusikan masalah manusia dengan dunia yang lain, misal
saja yang berkait dengan roh, kematian, ataupun ramalan.
Pemikiran Jung yang berkait dengan pelihatan ini juga
dihubungkaitkan dengan telepati manusia. Dalam kaitannya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 45


dengan pemikiran tentang telepati dan mistis, Freud
sebagai senior dan mentornya merasa kurang sependapat
dengan Jung sebab masalah telepati sebenarnya bukan
wilayah kajian dalam psikoanalisis. Namun, Jung dengan
pemikirannya yang masih muda dan masih bersemangat, ia
ingin menunjukkan bahwa ide yang dipikirkannya itu adalah
sebuah pemikiran yang benar dan bukan pemikiran yang
mengada-ada sehingga menyebabkan sebuah sesat pikir
dalam psikologi.

Masa Kuliah
Jung secara pribadi mengungkapkan bahwa dirinya
merasa bahwa keluarganya dari sisi finansial tidak begitu
mewah. Karena itu, dia ingin berkuliah di kampus yang
menurutnya sesuai dengan finansial keluarga. Tampaknya,
Jung tidak ingin membebani orang tuanya, terutama sang
ayah. Namun, sang ayahlah yang tampaknya ingin anaknya
berkuliah di tempat yang prestisius dan mahal (dalam hal
ini versi Jung), Universitas Basel. Di kampus itu, ternyata
sang ayah meminta keringanan untuk biaya kuliah dan
ternyata keringanan tersebut diterima oleh pihak kampus.
Tentunya, hal ini membuat Jung merasa bahagia dan juga
malu (Jung, 1989) ketika hal tersebut terjadi. Kebahagiaan
tersebut muncul ketika dia diterima di Universitas Basel dan

46 Psikologi Jungian, Film, Sastra


rasa malu tersebut muncul ketika orang tunya meminta
keringanan biaya di Universitas Basel. Meskipun demikian,
Jung sangat bangga dengan orang tua terutama ayahnya
yang rela berjuang agar anaknya bisa studi di kampus yang
bergengsi tersebut. Dengan berbekal semangat dan serta
motivasi dari keluarga, akhirnya Jung memang berkuliah di
Universitas Basel.
Sebagai seorang pelajar, Jung mengakui bahwa dirinya
adalah anak yang kurang menyenangkan bagi orang lain.
Rasa tersebut disebabkan dirinya yang memang cenderung
introvert sehingga menjustifikasi bahwa dirinya kurang
menyenangkan bagi orang lain. Tidak hanya itu, dia juga
merasa bahwa dirinya adalah sosok yang temperamen dan
tidak mampu mengendalikan diri. Namun, di lain pihak,
dia mengungkapkan bahwa dirinya adalah pelajar yang
hebat yang memiliki ambisi-ambisi besar (Jung, 1989).
Karakterisasi Jung tersebut memang menunjukkan bahwa
dia adalah tipe manusia yang kurang begitu terbuka pada
dunia luar. Masa- masa kuliah memang merupakan masa
Jung yang lebih dominan dengan keintrovertannya. Ia masih
terbawa dengan karakter kanak-kanak yang dibawanya.
Namun, pada masa kuliah ini Jung mulai memunculkan
optimisme dalam studi karena dia merasa bahwa dirinya
memiliki ambisi untuk menjadi orang yang kreatif.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 47


Masa Perkembangan Pemikiran dan Mengajar
Jung dianggap sebagai sosok pioner bidang psikiatri
yang pemikirannya memunculkan banyak pengaruh pada
berbagai spektrum, pengobatan/terapi, psikologi, religi,
antropologi, sosiologi, sastra (Stephenson, 2016), seni,
sains-humaniora (Dunne, 2015:1) yang mengarah pada
mistisisme (Stein, 2015). Pemikiran Jung yang banyak
memberikan pengaruh dalam berbagai disiplin ilmu tersebut
disebabkan kemampuan Jung yang tidak hanya mengarah
pada psikologi saja, tetapi bidang yang lainnya. Dengan
begitu, psikologi yang dikembangkan oleh Jung dirasuki
oleh pemikiran dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan
yang lain sehingga memperkaya pandangannya tentang
psikologi dan psikiatri. Hal tersebut dibuktikan dengan
pemikirannya yang berkait dengan bidang-bidang tersebut,
misal dalam konteks psikologi dan sastra, Jung (1966)
menulis Spirit in Man, Art, and Literature.
Kehebatan Jung sebagai seorang psikolog dan psikiatris
yang mendunia memang tidak lepas dari kritikan. Salah satu
analis Jungian, Spiegelman (2007:66) menunjukkan bahwa
banyak orang yang mengkritik keberadaan Jung sebagai
psikolog yang anti-Semit, occultism, rasism, dan misoginism.
Pascameninggalnya Jung dan orang-orang dekatnya Jung –
yang turut mengembangkan Psikologi Jungian, misalnya C.
A. Meier and Marie-Louise von Franz—tampak jelas bahwa

48 Psikologi Jungian, Film, Sastra


orang beranggapan dan mengkritik tajam bahwa kekuatan
psikologi Jungian sebenarnya dipertanyakan kesahihannya.
Para praktisi bidang psikologi dan bidang psikiatri
mempertanyakan studi yang dilakukan oleh Jung sebab
dalam pandangan mereka psikologi Jungian merupakan
psikologi yang lebih mengarah pada hal yang occultism dan
beberapa kasus pemikiran Jung sulit diinterpretasikan sebab
menggunakan bahasa yang ‘seolah-olah’ hanya mampu
dipahami oleh Jung itu sendiri. Diakui atau tidak bahasa
yang digunakan oleh Jung dalam buku, seminar, ataupun
artikel yang ditulisnya menggunakan bahasa-bahasa yang
banyak memunculkan perlambangan, baik konteks spiritual,
antropologi, dan filosofi. Hal inilah yang agak memberatkan
bagi peneliti psikologi terutama peneliti psikologi yang
masih pemula –dengan segala keterbatasan pemahamannya
tentang simbolisme yang terdapat dalam konteks filsafat,
psikologi, dan antropologi—dengan ilmu yang pemula juga.
Dalam konteks psikologi yang mengarah pada
ketidaksadaran (yang dalam perjalanannya lebih dikenal
dengan psikoanalisis) Jung, Freud, dan Adler adalah tokoh
yang berpengaruh dalam psikoanalisis. Ketiga orang tersebut
merupakan tokoh generasi pertama dalam pergerakan
psikoanalisis yang memiliki pengaruh besar di Jerman
(Shamdasani, 2018) dan memberikan dampak yang besar

Psikologi Jungian, Film, Sastra 49


bagi perkembangan ilmu pengetahuan di berbagai negara di
dunia. Gelombang psikoanalisis memang besar pada masa
Freud, Jung, dan Fromm dan gelombangnya tersebut sampai
ke Amerika. Sampai saat ini, gelombang psikoanalisis sebagai
salah satu psikologi arus utama masih kuat dan bertahan dan
bahkan tumbuh kembang di berbagai negara. Meskipun
demikian, tidak dinafikkan adanya gelombang feminisme
yang dimunculkan oleh perempuan psikoanalis, misalnya
Anna Freud, Karen Horney, dan Sabina Spielrein.
Tahun 1903 Jung menikah dengan seorang perempuan
yang bernama Emma Rauscenbach. Melalui pernikahannya
dengan Emma Rauscenbach tersebut, Jung dikaruniai
lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki. Kelima
anak tersebut bernama (1) Gathe Niehus, (2) Franz Jung-
Merker, (3) Gret Baumann, (4) Helene Hoerni, dan (5)
Marianne Niehus (Krapp, 2015). Sosok Emma Rauscenbach
adalah perempuan dari keluarga kaya raya sehingga hal
tersebut membuat taraf kehidupan Jung dan keluarganya
menjadi meningkat dari sisi finansial. Dalam kehidupan
keseharian, sosok Emma Rauscenbach merupakan istri
yang baik dan memiliki kemampuan intelektual di bidang
psikologi yang bagus sebab dia turut membantu Jung dalam
mengembangkan psikologi Jungian. Ia menulis buku, Anima
dan Animus (1985) dan The Grail Legend (1998). Buku-buku

50 Psikologi Jungian, Film, Sastra


karya Emma Jung itu turut mengiringi kekuatan psikologi
Jungian di kancah psikologi internasional.
Kehidupan Jung pada masa pernikahan memang
merupakan masa tumbuh kembang dari sisi finansial.
Hal itu diperkuat oleh paparan Nelson-Jones (2006) yang
menyebutkan bahwa Undang-undang yang terdapat di Swiss,
Jerman –pada masa itu— menjelaskan dan memberikan
kemudahan kepada para suami untuk memiliki akses penuh
pada finansial istri dan bisa menggunakan semuanya tanpa
harus diketahui oleh disyahkan oleh istri sebagai pemilik
utama kekayaan tersebut. Seorang suami benar-benar diberi
kekuatan dan hegemoni dalam hal kehidupan rumah tangga.
Meskipun demikian, Jung masih tetap berusaha mandiri
dengan bekerja sebagai psikiatri dan dosen di universitas.

Gambar 3: Jung bersama istri (Emma Rauscenbach) dan anak-anaknya


(Sumber: Carl Jung [Bishop, 2014])

Psikologi Jungian, Film, Sastra 51


Rentang tahun 1904-1910 Jung dilanda masalah etika
profesi. Praktisi yang pro-Jungian mengungkapkan bahwa
Jung tidak melakukan kesalahan ketika menangani Sabina
Nikolayevna Spielrein1. Misal saja, tulisan Lothane (2003:191)
yang menegaskan bahwa Jung memang sebenarnya tidak
melakukan tindakan nonetik ketika melakukan terapi
kepada Sabina Nikolayevna Spielrein (Сабина Николаевна
Шпильрейн). Ia menunjukkan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh Jung kepada kliennya tersebut merupakan
bentuk yang wajar antara seorang terapis dengan kliennya
dalam rangka upaya penyembuhan. Namun, kalangan yang
berbeda menunjukkan bahwa Jung memang melanggar
etika profesi dalam hubungannya dengan klien yang
bernama Sabina Nikolayevna Spielrein tersebut.
Dalam konteks pro dan kontra tentang Sabina
Nikolayevna Spielrein, penulis tidak berusaha menelusuri
lebih jauh tentang hubungan Jung dengan Sabina
Nikolayevna Spielrein tersebut sebab biografi ini lebih
mengarah pada restropektif. Dengan begitu, pembaca
yang ingin menelaah lebih jauh tentang perjalanan Jung
dan Sabina Nikolayevna Spielrein bisa mencari rujukan
1 Ia adalah sosok perempuan psikoanalisis yang berasal dari Rusia.
Sebagai pasien yang terkena histeria, Sabina Nikolayevna Spielrein
juga mahasiswa yang dibimbing oleh Jung dan Freud. Dalam
perkembangan selanjutnya, Sabina Nikolayevna Spielrein bisa
mengatasi masalah psikologisnya dan menjadi psikoanalis.

52 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yang lain. Dalam konteks restropektif, Sabina Nikolayevna
Spielrein sebagai klien Jung sebenarnya sudah memberikan
kontribusi yang sangat baik dalam psikoanalisis. Sabina
Nikolayevna Spielrein mampu menjadi seorang perempuan
psikoanalisis. Diakui atau tidak, selama ini memang
psikoanalisis lebih banyak digawangi oleh kaum laki-laki,
misal saja, Freud, Jung, Adler, Fromm, Erikson, ataupun
psikologi neo-Freudian, misalnya Lacan. Adapun psiko-
analisis yang digawangi perempuan memang sangat sedikit,
yakni Anna Freud2, Karen Horney, dan Sabina Nikolayevna
Spielrein3. Para perempuan inilah yang membawa nama
besar psikoanalisis di mata perempuan.
Menurut studi yang ditulis oleh Graf-Nold (2005),
Jung mulai aktif mengajar di perguruan tinggi (lagi) sekitar
2 Anna Freud merupakan anak biologis Sigmund Freud yang turut serta
menumbuhkembangkan psikoanalisis di Wina, Jerman. Salah satu
tokoh yang menjadi tim dalam psikoanalisis yang dipegang oleh Anna
Freud adalah Erik H Erikson. Ia banyak berguru kepada Anna Freud
dan kelak dikemudian waktu ia (Erik H Erikson) akhirnya menjadi
terapis psikoanalisis dan bergabung dengan timnya Anna Freud.
3 Sabina Nikolayevna Spielrein adalah psikoanalisis yang terkenal di
Rusia. Mulanya memang dia adalah klien Jung dalam terapi, tetapi
dalam perjalanan kehidupannya, dia menikah dengan orang Rusia
(dan ia mengikuti suaminya tersebut). Di Rusia, Sabina Nikolayevna
Spielrein membuka terapi psikoanalisis. Sabina Nikolayevna Spielrein
juga pernah bekerja sama dengan Jean Piaget dalam konteks
psikologi. Ia pun dikenal sebagai sosok perempuan psikoanalisis yang
memunculkan teori tentang hasrat kematian. Sebagai psikoanalis, ia
melahirkan buku, misalnya The Essential Writing of Sabina Spielrein
(2018).

Psikologi Jungian, Film, Sastra 53


tahun 1933. Jung pada waktu itu menjadi dosen di Institut
Teknologi Federal Swiss (ETH) yang terdapat di Zurich.
Kuliah perdana dalam bidang psikologi tersebut diberi judul
“Modern Psychology” as part of the “General Division”.
Dalam perkembangan selanjutnya, Jung sebagai seorang
dosen diangkat menjadi profesor di ETH pada tahun 1935
dan ia mengajar di kampus tersebut sampai tahun 1941.
Sebelumnya, Shamdasani (2005a) menunjukkan bahwa Jung
sudah pernah mengajar di perguruan tinggi. Sekitar tahun
1914, Jung memang sudah pernah menjadi dosen yang
mengajar di Universitas Zurich (di bidang medis). Pada waktu
itu, ia memang mengundurkan diri dengan alasan tertentu.
Karena itu, ketika tahun 1933 dia mengajar lagi, hal tersebut
menunjukkan eksistensinya di perguruan tinggi setelah ia
vacum dari dunia perguruan tinggi beberapa tahun.
Pada 30 Juli dan 6 Agustus 1938 Jung mengikuti seminar
Tenth International Medical Congress for Psychotherapy
di Oxford. Dalam acara tersebut, Jung mengungkapkan
salah satu point penting yang berkait dengan bagaimana
Masyarakat Psikoterapi Swiss bisa menggunakan analisis
psikologi (psychological analysis) dalam melakukan terapi
(Shamsadani, 2005b). Jung mendapatkan banyak apre-
siasi terkait dengan pemikirannya tentang psikoterapi
yang dikaitkan dengan konteks psikologi analitik yang

54 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dikembangkannya. Munculnya psikologi analitik tersebut
sebagai bentuk perpecahan dari psikonalisis yang semula ia
ikut dalam jalur utama psikoanalisis. Namun, sebagaimana
diketahui bersama bahwa Jung tidak bisa lepas dari jalur
utama psikoanalisis sebab dia juga turut membesarkan
nama psikoanalisis dan dia juga pernah menjadi anak
emasnya Freud dalam bidang psikoanalisis.

Masa Inkubasi dan Katalis


Masa inkubasi adalah perspektif filsafat dan
spiritual adalah masa ketika seseorang mengalami suatu
permeditasian/hening untuk mendapatkan sesuatu yang
lebih baik yang berkait dengan nominous ataupun iluminatif.
Masa inkubasi inilah masa ketenangan seseorang dalam
menemukan jati diri. Dalam konteks biologi dan kesehatan,
masa inkubasi berkait dengan masa awal sampai dengan
masa munculnya suatu penyakit. Dalam konteks psikologis,
masa ini adalah masa ketika Jung mengalami “kebuntuan
intelektual” atau stagnasi akademik sebab ia sulit dalam
melahirkan tulisan. Hal ini terjadi ketika Jung mengalami
perpecahan dengan Freud dalam kaitannya dengan
pandangan tentang psikologi, terutama berkait dengan
psikologi ketidaksadaran. Namun, masa kesulitan ini

Psikologi Jungian, Film, Sastra 55


ibarat sebuah proses menuju ke proses intelektualitas dan
kreativitas yang tinggi. Ibaratnya, ketika seseorang ketika
mengalami proses stagnasi intelektual, sebenarnya tahapan
ini merupakan proses pengendapan pemikiran sehingga
pada masa selanjutnya seseorang mampu melahirkan
sebuah karya akademik maupun nonakademik.
Moura (2005) mencatat bahwa masa konfrontasi antara
Jung dan Freud terjadi pada rentang tahun 1906 and 1913.
Pada masa ini memang Jung mulai menunjukkan pemikiran-
pemikiran yang berbeda dengan pemikiran Freud. Sebagai
seorang senior, Freud juga merasa kurang setuju dengan
pandangan-pandangan Jung tentang alam ketidaksadaran.
Meskipun demikian, mulanya, keduanya sangat akrab dalam
hubungan kolegial dan saling mendukung dalam menguatkan
pemikiran-pemikirannya. Artinya, Jung mendukung pemiki-
ran Freud tentang psikologi ketidaksadaran dengan berbagai
postulat yang dia munculkan. Begitu juga dengan Freud
juga mendukung pemikiran Jung berkait dengan psikologi
ketidaksadaran –tentang occultism, agama, spiritualisme,
ataupun mitologi yang sebenarnya agak mengarah pada
dunia mistisisme— yang terdapat dalam diri manusia.
Jung kurang begitu menerima pandangan Freud bahwa
manusia didorong oleh energi libido yang menyebabkan
manusia lebih cenderung didorong oleh hasrat seksual dalam

56 Psikologi Jungian, Film, Sastra


alam bawah sadarnya. Perpecahan Jung dan Freud tersebut
akhirnya dibukukan Jung Contra Freud. The Collected Works
of C.G.Jung Volume 4, Part 2 (Jung, 1961). Perpecahan ini
memang di sisi lain membuat Jung mengalami kebuntuan
intelektual, tetapi pada sisi lain, Jung mampu berdiri sendiri
tanpa berada di bawah bayang-bayang Freud. Meskipun
demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa pemikiran Jung
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Freud yang dalam
hal ini sebagai guru ataupun kolega dalam bekerja untuk
mengembangkan psikoanalisis. Namun, ada juga pandangan
yang menunjukkan bahwa Jung mengalami konfrontasi
dengan Freud karena adanya Sabina Spielrein. Munculnya
perempuan muda di antara mereka berdua, Jung dan Freud,
ternyata membuahkan masalah yang besar sebab Jung
diduga melakukan tindakan yang melanggar etika.
Jung menyadari bahwa pandangan-pandangan Freud
sudah mulai semakin surut pengaruhnya dalam dirinya.
Ia benar-benar merasakan hal tersebut. Namun, sebagai
seorang murid yang sekaligus sebagai seorang kolega, Jung
tetap merasakan dan mengakui bahwa sosok Freud adalah
sosok yang kuat dan superior (Jung, 1969) sehingga dia sulit
untuk memadamkan itu. Pada masa-masa kontra ini, Jung
memang mulai memberikan kritikan-kritikan terhadap
pandangan Freud yang tidak relevan dengan pemikirannya.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 57


Freud sebagai seorang psikolog dan senior tentunya merasa
bahwa apa yang menjadi pikiran Jung tidaklah sesuai
dengan apa yang dia pikirkan dan apa yang dia cita-citakan
untuk masa depan psikoanalisis yang lebih baik.
Jung sebagai seorang yang memiliki tipikal introvert
memang merasa depresi secara psikologi sebab dia yang
biasanya berdiskusi dengan Freud terkait masalah psikologi.
Ia merasakan hal yang berbeda ketika tidak ada Freud sebagai
teman diskusi akademik. Diakui atau tidak, rasa kesepian
memang menjangkiti Jung. Ditambah lagi, dia juga keluar dari
asosiasi psikoanalisis yang didirikan oleh Freud. Jung merasa
benar-benar tidak bisa melakukan kegiatan intelektual pada
masa itu. Namun, setelah pasca inkubasi tersebut, Jung bisa
menulis satu buku yang berjudul Psychological Types (Jung,
1921). Dalam buku tersebut Jung memunculkan dua tipe
kepribadian dasar, yakni ekstrovert dan introvert. Pandangan
Jung tersebut sebenarnya tidak lepas dari eksperimentasi
dirinya yang berkait dengan introversi dan dia memunculkan
oposisi dari introversi, yakni ekstroversi.

Agama dan Spiritualitas


Jung adalah seorang anak yang terlahir dari kalangan
agamis. Ia adalah anak seorang pastur dari Protestan.

58 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Dengan begitu, dia sudah dibekali agama dan keyakinan
yang kuat dari keluarganya. Hal tersebut memang benar-
benar dibuktikan oleh dirinya sendiri bahwa dia memang
seorang yang agamis dan memiliki kepercayaan pada ranah
spiritualisme. Sebagai seorang psikolog, sejak kecil dia
sudah banyak belajar membaca tentang bidang kesastraan,
drama,sejarah, ataupun ilmiah. Baginya, membaca buku
adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Tidak hanya
itu, ia juga suka membaca kitab-kitab suci. Karena itu,
dengan tegas Jung mengungkapkan bahwa dirinya adalah
penganut Kristiani yang patuh.
Keyakinan Jung yang sangat kuat memang ditampakkan
secara eksplisit dalam pemikirannya. Misal saja, Jung (1961)
menegaskan bahwa dia kurang begitu menyukai orang-
orang yang terkesan mengabaikan Tuhan karena masalah
ilmu pengetahuan, agnostik. Dalam pandangan Jung,
Tuhan sebagai zat yang tertinggi memang nyata adanya
dan bukanlah sesuatu yang tidak nyata. Memahami Tuhan
memang harus menggunakan pemahaman yang benar-
benar religius agar manusia bisa menemukan Tuhan.
Keyakinan Jung ini mengimplikasikan bahwa dia menya-
yangkan pemikir yang tampaknya mengabaikan eksistensi
Tuhan. Pemikiran-pemikiran Jung tentang ketuhanan
pada akhirnya memang banyak memengaruhi pandangan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 59


psikologis sehingga dia mendapatkan sebutan sebagai
psikolog yang beraliran mistisisme dan spiritualisme
(Zemmelman, 2012). Sampai saat ini pun, sebutan untuk
Jung sebagai psikolog mistisisme dan spiritualisme tidak
pernah luntur sebab memang kemampuannya dalam
menulis psikologi dan spiritualisme yang masih merupakan
karya besar sampai sekarang.
Pandangan Jung tentang agama dan spiritualisme tidak
hanya berhenti sampai pada tahap keyakinan dan tindakan
dalam melakukan spiritualisme, Jung juga menuangkan
pemikirannya yang berkait dengan spiritualisme. Tulisan
Jung yang berkait dengan agama dan spiritualisme, yakni
Psychology and Religion: West and East (Jung, 1958). Dalam
buku tersebut Jung membicarakan historisme spiritualisme
dunia, baik barat dan timur. Mulanya, ia memaparkan
agama Kristiani (dan agama sebelum itu, Mesir dan Yunani).
Dalam konteks ketimuran, Jung membicarakan agama
di Tibet, di India (Brahman), I Ching (orang tua bijak dari
China [Biksu Budha]), dan Zen di Jepang. Selain itu, Jung
juga menulis Psychology and Alchemy (1968). Dalam buku
tersebut Jung (1968) berbicara tentang agama Kristiani dan
hubungannya dengan alchemy. Kedua buku tersebut sangat
kental berbicara tentang psikologi, religi, dan spiritualitas.
Kekuatan tersebut didukung oleh pengalaman empiris

60 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Jung yang memang seorang yang kuat dalam memegang
agamanya sehingga memengaruhi pemikiran tentang
psikologi yang peloporinya. Jung juga menulis spiritualisme
dalam kaitannya dengan filsafat zen (aliran filsafat yang
terdapat di Jepang) dengan Suzuki DT.
Pandangan Jung tentang psikologi yang dihubungkait-
kan dengan agama, menurut Kay (1997:6), membuat Jung
menjadi sosok yang menawarkan sebuah alternatif dalam
interpretasi simbol agama. Simbol-simbol agama sebagai
sebuah simbol yang memiliki ‘kedalaman’ perlu untuk
direinterpretasi untuk menemukan makna yang terkandung
di dalamnya. Dengan demikian, simbol-simbol dalam agama
perlu diredefinisi, reinterpretasi, dan rekonseptualisasi.
Beberapa penulis, misalnya Segal (2018), Dourley
(1995), Gaist (2014) menunjukkan bahwa Jung sebagai
psikolog memiliki pemahaman tingkat tinggi yang berhubu-
ngan dengan keilahian dan kemanusiaan. Pandangan Jung
yang mengolaborasikan hubungan antara psikologi dan
agama secara universal merupakan sebuah pemikiran yang
rumit, dalam, sekaligus reflektif. Hal inilah yang menyebab-
kan tidak semua orang mampu memahami dan mengikuti
alur berpikir Jung dalam kaitannya psikologi dan agama
yang memiliki energi-energi kekuatan yang dialami dalam
diri manusia dan agama. Bentuk transendensi dan imanensi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 61


manusia dalam kaitannya dengan psikologi ketidaksadaran
yang terepresentasikan dalam archetype. Dengan begitu,
manusia mau tidak mau akan sadar secara psikologis bahwa
mereka sebagai makhluk akan menuju pada keilahian.
Mereka adalah makhluk yang memiliki psike-spiritualitas.

Masa Sore: Sebuah Pelihatan


Masa sore (meminjam istilah Jung dalam kaitannya
dengan psikologi sore) dalam kehidupan semua manusia
hampir sama, yakni masa mendekati kematian, masa
menjelang ajal datang menjemput, dan masa seseorang
sudah mulai menua. Tentunya, masa tersebut adalah masa
bagi manusia yang hidup dengan usia normal sehingga dia
bisa mencapai masa sore. Ketika mengalami sakit jantung
dan tampaknya agak parah, Jung merasakan sesuatu yang
berbeda. Dalam koridor filosofis inilah yang disebut dengan
pelihatan. Karena itu dia menggungkapkan “the images
were so tremendous that I myself concluded that I was close
to death” (Jung, 1989:289). Melalui pelihatannya, Jung
merasa bahwa dirinya dekat dengan kematian.
Seseorang yang mengalami sakit parah memang
biasanya mengalami fantasi yang luar biasa. Penyebab
munculnya fantasi tersebut disebabkan oleh fungsi otak

62 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yang terganggu karena efek sakit sehingga tidak bisa
melakukan kinerja yang normal. Karena itu, Jung juga
merasakan hal yang demikian. Ia seolah-olah bisa melihat
dunia beserta isinya. Dia merasakan bahwa dirinya seolah-
olah terbang melayang ke udara dan melihat semuanya.
Pada suatu titik, Jung merasa bahwa apa yang dia lihat akan
menjadi kenyataan. Salah satu dokter yang merawat dirinya
–dalam pelihatan yang dialaminya—akan meninggal dunia.
Ketika mengetahui hal tersebut Jung segera menceritakan
kepada dokter yang bersangkutan. Namun, sang dokter
tampaknya tidak menggubrisnya sebab kematian mungkin
bukanlah hal yang patut diperbincangkan. Apalagi
perbincangan tersebut berkait dengan pasien dan dokter.
Kenyataan pun terjadi, sang dokter dalam pelihatan Jung
tersebut akhirnya meninggal beberapa waktu kemudian
(Jung, 1989). Pelihatan Jung ini menunjukkan bahwa
dalam konteks psikologi-spiritual, sesuatu yang kasat mata
ternyata bisa dilogikakan dalam perspektif sains. Namun,
dalam pandangan orang-orang yang mengandalkan logika,
tentunya apa yang dipaparkan oleh Jung tersebut tentunya
masih perlu diuji lagi kebenarannya.
Sebelum kematian istrinya, Jung juga mengalami
pelihatan yang berkait dengan kematian istrinya tersebut.
Ia bermimpi bahwa istrinya menjadi sosok perempuan yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 63


masih muda. Sang istri menggunakan pakaian yang bagus
dan serasi. Wajahnya menampakkan aura bahagia dan
tidak tebersit rasa-rasa yang tidak bahagia (Jung, 1989).
Pelihatan Jung itu pun benar-benar terjadi bahwa sang
istri tercinta pada akhirnya meninggalkan dirinya dalam
kesendirian di dunia ini. Sampai pada usia senja dan sampai
meninggal dunia, Jung masih menyendiri sehingga ia pun
mendapatkan julukan “orang tua bijak dari Wina”. Ia masih
mengenang memori bersama dengan istri tercintanya,
Emma Jung.

Karya-karya Jung

Jung sebagai seorang psikolog merupakan sosok yang


kreatif dan produktif dalam menulis. Karya-karya Jung
mulanya berbahasa Jerman. Kemudian, dalam rangka
memperkuat pengaruh keilmuan psikologi, karya-karyanya
haruslah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Akhirnya,
banyak karya-karya Jung tersebut diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris. Penerjemahan terhadap karya Jung yang
dilakukan secara besar-besaran tersebut dilakukan agar
pikiran-pikiran Jung tentang psikologi tidak hanya terkenal
di Eropa, tetapi terkenal juga di wilayah Amerika. Tidak
hanya itu, sebagaimana diketahui bersama bahwa bahasa

64 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Inggris merupakan bahasa internasional yang benar-benar
bahasa internasional. Dengan demikian, untuk menembus
pangsa pasar akademik dunia, pemikiran-pemikiran
tersebut harus bisa diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Bahkan, terdapat ungkapan dalam dunia ilmu pengetahuan,
pemikiran yang tidak diterjemahkan dalam bahasa Inggris
akan sulit berkembang sebab bahasa Inggris merupakan
bahasa internasional yang mendunia.
Karya-karya Jung yang berbahasa Jerman diterjemahkan
dalam bahasa Inggris berdasarkan rekomendasi dari Jung.
Orang-orang yang menerjemahkan karyanya Jung diharap-
kan mampu menelusuri dan menyelami karya Jung secara
mendalam. Jika sang penerjemah bisa memahami dan
menyelami karya Jung secara mendalam, diharapkan tidak
terjadi misunderstanding. Untuk itu, orang-orang yang
menerjemahkan karya Jung merupakan orang yang benar-
benar pilihan dari segi keilmuan sehingga penerjemahan
bisa sesuai dengan yang diinginkan oleh sang penulis buku
aslinya.
Shamdasani (2007:174) mencatat bahwa Jung pernah
mengungkapkan kepada tim penerjemah bukunya bahwa
bahasa yang ditulisnya (oleh Jung) merupakan bahasa
psikologi, tetapi bahasanya lebih menyastra. Dengan
demikian, Jung merekomendasikan agar sang penerjemah

Psikologi Jungian, Film, Sastra 65


–dalam hal ini Richard Hull—memiliki kapasitas dalam
menerjemahkan secara mendalam dan komprehensif,
memahami dunia psikiatri, dan mampu menerjemahkan
dengan menggunakan bahasa yang ambiguistis, samar,
dan mendalam sehingga muncul kesan estetisnya daripada
kesan ilmiah. Karya-karya Jung dalam perkembangan
selanjutnya memang lebih banyak diterjemahkan oleh
Richard Hull. Jung pun tampaknya memang merasa
cocok dan nyaman menggunakan Richard Hull sebagai
penerjemah bukunya. Hal tersebut tampak dari puluhan
bukunya yang menggunakan terjemahan dari Richard Hull,
buku tersebut misalnya Psychology and Religion:West and
East (1953) yang dieditori oleh Sir Herbert Read, Michael
Fordham, dan Gerhard Adler; Psychiatric Studies (1970)
yang diterjemahkan oleh Richard Hull dari bahasa Jerman
ke dalam Bahasa Inggris.
Sepanjang amatan penulis, Jung merupakan penulis
yang kreatif dan produktif. Berikut beberapa karya-
karya Jung, baik yang dalam bentuk menulis pribadi
ataupun dalam bentuk menulis kolektif. Perlu diketahui
bahwa buku-buku Jung sebenarnya terbagi menjadi lima
kategorial, yakni (1) buku yang merupakan hasil seminar-
seminar/catatan/manuskrip Jung yang di kemudian hari
dibukukan (buku ini disebut juga dengan collected works

66 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yang dikumpulkan/ditulis oleh Jung [diterbitkan secara
penuh oleh Bolingen Series dan Princeton University
Press); (2) buku yang merupakan hasil dari disertasi yang
ditulis oleh Jung; (3) buku yang ditulis oleh Jung secara
pribadi; (4) buku yang ditulis oleh Jung, tetapi di dalamnya
juga digabung dengan beberapa tulisan karya orang
lain, hal tersebut tampak pada Man and His Symbols; (5)
buku yang ditulis dari interviu, misal saja Jung Speaking:
Interviews and Encounters (1977); dan (6) surat-menyurat
yang ditulis oleh Jung kepada Freud ataupun koleganya
yang lain,misalnya Sabina Spielrein. Surat-menyurat
yang masih dalam bentuk manuskrip dikumpulkan dan
diarsip oleh asistennya Jung dan surat menyurat tersebut
diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Jung Letters
Volume 1. 1906-1950 dan Jung Letters Volume 2. 1951-1961
yang diterbitkan oleh publisher Routledge. Surat Jung
kepada Sabina Spielrein memang jarang didiskusikan.
Baru-baru ini marak dimunculkan dan didiskusikan
surat Jung dan Sabina Spielrein setelah Sabina Spielrein
meninggal dunia. Buku biografi Jung yang ditulis oleh Jung
dan dibantu oleh asistennya, merupakan buku yang ditulis
ketika Jung mendekati kematiannya. Secara teperinci,
karya-karya Jung terpapar sebagai berikut.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 67


Tabel 1: Karya dalam Bentuk Buku Mandiri

1912 Jung Letters Volume 1. 1906-1950. London:


Routledge.
1933 Modern Man in Search of a Soul
1934 Archetypes and the Collective Unconscious. London:
Roudletge.
1938 Psychology and Religion
1959 Jung Letters Volume 2. 1951-1961. London:
Routledge.
1921 Psychological Types. In Collected Works (Volume.
6, R. F. C. Hull, Trans.). Princeton, NJ: Princeton
University Press.
1951 Aion: Researches into the Phenomenology of the Self
1952 Symbols of Transformation (revised edition
of Psychology of the Unconscious)
1952 Synchronicity: An Acausal Connecting Principle
1953 Four Archetypes Mother, Rebirth, Spirit, Trickster.
London: Roudletge.
1954 Answer to Job
1955 Mysterium Coniunctionis: An Inquiry into the
Separation and Synthesis of Psychic Opposites in
Alchemy
1957 Animus and Anima
1961 Memories, Dreams, Reflections. New York:Vintage
Books.

68 Psikologi Jungian, Film, Sastra


1961 Introduction to Jungian Psychology: Notes of the
Seminar on Analytical Psychology Given in 1925.
Princeton: Princeton University.
1961 Psychology and Religion: West and East. New York:
Pantheon Books.
1963 Analytical Psychology: Its Theory and Practice
1964 Man and His Symbols. New York: Anchor Press
Books.
1966 Spirit in Man, Art, and Literature: Collected Works
Vol. 15. Princeton: Princeton University Press.
1966 Pyschology and Occult. London: Routledge.
1968 Psychology and Alchemy. Collected Works Volume
12. Princeton: Princeton University Press.
1977 CG Jung Speaking: Interviews and Encounters.
Princeton: Princeton University Press.
1989 Jung Contra Freud. The Collected Works of C.G.Jung
Volume 4, Part 2. Princeton: Princeton University
Press.
Buku yang ditulis dengan Orang Lain
1969 Essays on A Science of Mythology: The Myth of
the Divine Child and the Mysteries of Eleusis. New
York: Pantheon Books (ditulis oleh Jung, Carl G. &
Kerenyi, C)
1964 Man and His Symbols. New York: Anchor Press
Books (ditulis oleh Jung, dkk).
Sumber: diolah dari berbagai referensi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 69


Data tersebut diolah dan dikompilasi dari berbagai
sumber. Buku yang ditulis Jung memang beberapa
muncul pascakematiannya. Buku-buku yang diterbitkan
pascakematian Jung merupakan upaya dari sahabat,
publisher, dan donatur yang memiliki konsern pada psikologi
Jungian.

Narasi Pascakematian
Stephens (2016) memperkuat pemikiran Jung tentang
konsepsi kematian. Dalam studi yang dilakukan oleh
Stephens tersebut Jung sudah menunjukkan narasi yang
berkait dengan kematian yang muncul dalam mimpi-
mimpinya. Munculnya mimpi tentang kematian: bertemu
dengan orang mati, berbicara dengan orang mati, ataupun
melihat orang mati, dalam kehidupan Jung muncul rentang
1911–1912. Hal tersebut menjadi penanda fase kehidupan
Jung dalam kaitannya dengan konteks ketidaksadaran
dalam kaitannya dengan kematian.
Menyoal kematian, Jung memang sejak kecil sudah
mengalami banyak eksperimentasi dengan fakta kematian.
Hall & Norbdby (1973) memberikan gambaran yang jelas
bahwa pada masa kecil Jung sudah sering bergesekan dengan
fakta kematian, mulai dari fakta kematian nelayan yang
tenggelam, orang yang mati karena banjir, dan kemuraman-

70 Psikologi Jungian, Film, Sastra


kemuraman dari keluarga yang ditinggalkan. Imaji tentang
kematian sangat kuat dalam diri Jung sebab dia adalah sosok
anak yang introvert pada masa itu. Kejadian-kejadian yang
berkait dengan kematian yang dekat dengan dirinya tersebut
di masa tua, memperkuat dirinya untuk berbicara tentang
kematian dan pascakematian. Tentunya, tema tentang
kematian tersebut sudah digalinya pada masa kecilnya dulu
dan ia memunculkannya dalam bentuk pemikiran pada
masa tuanya. Dalam konteks memori individual, manusia
yang berusia dewasa akan mengenang memori masa lalu
yang belum terpecahkan. Memori masa lalu yang belum
terpecahkan tersebut disebabkan adanya perbedaan pemiki-
ran antara usia kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Karena itu,
ketika mereka berusia dewasa, terkadang kembali ke masa
lalu untuk mengenang memori-memori yang belum sempat
terpecahkan ketika mereka berusia kanak-kanak.

Jung (1999:12) menjelaskan kematian itu simpel


sebab maknanya adalah sesuatu yang selesai. Namun,
faktanya kematian tidaklah sesedehana itu. Sebagaimana
diketahui bersama bahwa banyak orang yang panik dan
takut dengan kematian. Mereka takut jika meninggal dunia
dan meninggalkan dunia ini. Padahal, kematian itu adalah
sebuah kepastian sebab manusia yang pernah dihidupkan,
pasti mereka akan dimatikan. Hal itu juga sudah menjadi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 71


hukum alam dalam konteks ketuhanan ataupun dalam
konteks ekologis.
Dalam konteks ketuhanan, manusia diciptakan,
dilahirkan, hidup di muka bumi, selanjutnya adalah menuju
pada kematian. Semua orang tidak bisa lari dari kematian.
Menjadi mati itu adalah kepastian sehingga manusia
diharapkan bisa berdamai dengan kematian. Ketika mereka
dekat dengan kematian, bukanlah ketakutan yang mereka
munculkan dalam diri, tetapi sebuah kebahagian jiwa.
Namun, hal tersebut sangat tidak mudah sebab untuk
menjadi manusia yang mampu berdamai dengan kematian
memang sulit. Tak ada kisah dan juga tidak pernah ada orang
yang kembali dari kematian dan orang tersebut bercerita pada
manusia yang masih hidup tentang bagaimana kehidupan
yang ada di alam kematian sana. Karena itulah, manusia-
manusia yang belum mampu berdamai dengan kematian
akan merasa selalu dikejar-kejar oleh bayangan kematian.
Dalam film Final Destination (2000, 2003, 2006, 2009,
2011) menunjukkan dan mengisahkan tentang remaja yang
berusaha lari dari takdir yang disebut dengan kematian.
Mereka yang mendapatkan tanda kematian berusaha lari
dari kematian agar mereka bisa terselamatkan dari maut
yang akan merenggutnya. Untuk itu, remaja-remaja yang
sudah mengetahui tanda kematian yang akan datang

72 Psikologi Jungian, Film, Sastra


padanya, ia melarikan diri sejauh-jauhnya agar malaikat
maut tidak datang menjemputnya. Namun, sejauh apapun
manusia akan lari dari kematian, tetapi saja sang maut akan
menjemput sebab mati itu merupakan sebuah kepastian
yang memang tidak pasti, tetapi pasti dalam ketidakpastian.
Seseorang tidak tahu pasti dia kapan akan mati, di mana
dia akan mati, dan faktor apakah yang menyebabkan
kematiannya, mereka tidak akan pernah tahu sebab hal itu
adalah misteri yang tidak akan pernah terpecahkan oleh
umat manusia.
Buku semiautobiografi Jung memang ditulis ketika
dia berusia senja. Bahkan, setelah merampungkan semi-
autobiografi tersebut tidak seberapa lama Jung meninggal
dunia dengan usia 85 tahun. Pada bagian terakhir buku
Memories, Dreams, and Reflection (1961) tersebut
memunculkan narasi pascakematian. Sebuah tema yang
jarang ditulis/dibicarakan oleh kalangan psikolog. Namun,
hal tersebut tidak berlaku bagi Jung sebab dia adalah
sosok psikolog-spiritual. Dengan demikian, hal yang
berkait dengan masalah supranatural, kematian, ataupun
bahkan pascakematian bukanlah hal yang tabu untuk
diperbincangkan dan ditulis oleh Jung. Pandangan Jung
tentang kematian dan pascakematian sebenarnya tidak
lepas dari pengaruh filsafat dan spiritualisme, misal saja

Psikologi Jungian, Film, Sastra 73


pandangan spiritualisme Budhisme yang di dalamnya –di
antaranya—berkaitan dengan kehidupan setelah kematian
atau yang dikenal dengan reinkarnasi. Dalam konteks ajaran
agama langit, misalnya Islam dan Kristen, di dalamnya juga
berkait dengan kehidupan setelah kematian, yakni adanya
surga dan neraka. Setelah manusia mati, mereka akan
menemukan surga atau neraka sebagai balasan perbuatan
mereka di masa lalu, masa sebelum kematian. Orang-orang
yang masuk surga adalah orang yang memiliki perilaku
baik dan menjalankan perintah Tuhan serta menjauhi
larangan-larangannya. Adapun orang yang masuk neraka
adalah orang yang tidak mau menjalankan perintah Tuhan
dan melanggar larangan-larangan Tuhan sehingga mereka
akan masuk ke dalam neraka. Surga adalah tempat yang
menyenangkan sebab surga merupakan tempat orang yang
baik-baik. Adapun neraka adalah tempat yang menyakitkan
sebab neraka adalah tempat orang yang jahat.

Untuk menulis narasi tentang kematian ataupun


pascakematian memang membutuhkan kekuatan yang
luar biasa sebab tidak semua orang bisa seperti itu. Menulis
tentang narasi kematian ataupun pascakematian agak
ditakuti sebab ada mitos bahwa orang yang menuliskan
narasi tentang kematian adalah orang yang dekat dengan
kematian. Tentunya, dalam logika berpikir, hal tersebut

74 Psikologi Jungian, Film, Sastra


tidak berterima sebab psikologi kematian berbicara tentang
kematian dan penulisnya juga bukanlah orang-orang
yang dekat dengan kematian. Memang, ada fakta bahwa
seseorang yang menulis tentang kematian adalah orang-
orang yang memang sebenarnya sudah dibayang-bayangi
oleh kematian. Tahun 2015 saya pernah menulis artikel
“Sastra dan Jiwa-jiwa yang Terbungkam: Memahami Cerpen
dan Puisi Ayu Meita Silviana” (Ahmadi, 2013). Dalam artikel
tersebut saya menceritakan seorang perempuan yang
menulis cerpen dan puisi yang berkait dengan diksi-diksi
kematian. Tentunya, cerpen dan puisinya tersebut tidak
hanya sekali saja –yang berkait dengan kematian—tetapi
ia memunculkannya beberapa kali dalam penggunaan diksi
kematian //genjer-genjer neng kedokan pating keleler//
diksi tersebut berkait dengan sebuah lagu di era tahun
1965-an. Lagu itu, konon, didendangkan pada zaman PKI
untuk mengiringi kematian. Bulu kuduk rasanya merinding
jika mendengar lagu itu. Tampaknya, sang tokoh mulai
menikmati dendang-dendang kematian. Ah, sebuah langkah
awal untuk mati, mendengarkan dan mendendangkan
lagu kematian. Gairah kematian itu semakin menguat dan
menguat. Ia pun mencoba beraudiensi dengan sang maut. Ia
sudah mulai bermain-main dengan sang malaikat pencabut
nyawa yang siap siaga untuk menebas lehernya. Dalam

Psikologi Jungian, Film, Sastra 75


imajinya, sang tokoh, membangun rumah mungil yang
ubinnya dari pahatannya sendiri. Ini adalah rumah kematian,
nisan dan makam. Sebuah rumah mungil yang diidamkan
sang tokoh. Ia ingin tinggal di sana, mengadu, pada sang
khalik. Ternyata, Ayu Meitha (sang penulis fiksi) tersebut
benar-benar meninggal di tahun itu. Dalam pandangan
psikologi Jungian, apa yang dialami oleh Ayu Meitha
tentang kematian merupakan pelihatan dirinya tentang
bayang-bayang kematian. Ia sudah mulai dekat dengan
bayang-bayang kematian. Terkadang, dalam pandangan
orang-orang yang percaya pada konteks mistisisme dan
occultisme, seseorang yang dekat dengan kematian akan
diberi pelihatan tentang bayang-bayang kematian yang
sudah mendekatinya. Dalam hal ini, tidak semua orang
mampu memahami pelihatan yang dialaminya sebab
pelihatan tersebut bisa berkait dengan fenomena alam
yang tidak biasa ataupun berkait dengan simbol tertentu
yang tiba-tiba muncul sebagai sebuah pertanda tentang
dekatnya sebuah kematian.

Berkait dengan pelihatan dan bayang-bayang kema-


tian, suatu ketika Jung bermimpi tentang kuburan dan ada
bayangan yang mirip dengan istrinya. Ia pun terjaga dari
mimpinya dan melihat jam yang menunjukkan pukul 3 dini
hari. Itu adalah sebuah mimpi yang aneh. Keesokan harinya,

76 Psikologi Jungian, Film, Sastra


ternyata, keponakan istrinya Jung meninggal dunia (Jung,
1961). Bertolak dari hal tersebut Jung ingin menunjukkan
bahwa Jung melihat bayang-bayang kematian dan orang
yang mampu melihat bayang-bayang kematian adalah
orang yang memiliki kedekatan dengan kematian.

Seseorang menuju usia senja memang mau tidak


mau memiliki kedekatan dengan kematian. Begitu pula
dengan Jung yang merupakan psikolog dengan pandangan
spiritualnya. Ketika dia berusia senja, ia berusaha membim-
bing dirinya untuk menuju alam selanjutnya, yakni alam
setelah kematian (Jung, 1961). Alam kematian adalah
alam kebangkitan setelah kita meninggal di alam yang
fana. Orang-orang yang menganut pandangan ateis tidak
akan berpandangan demikian sebab orang yang ateisme
berpandangan tidak ada dunia setelah kematian sebab
mereka percaya bahwa Tuhan sebagai zat yang paling tinggi
tidak ada di muka bumi ini.

Jung dan Sisi Lain

Sisi lain Jung memang tidak lepas apa yang disebutnya


sendiri dengan istilah shadow. Sama seperti manusia pada
umumnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap.Tentunya,
sisi gelap tersebut tidak lepas dari kontekstualisasi manusia

Psikologi Jungian, Film, Sastra 77


yang memiliki oposit-dualistik yang menjadi manusia
sebagai sosok yang berdiri pada wilayah archetypis yang
dualitis. Jung memang terkenal sebagai seorang psikolog
yang membesarkan nama psikoanalisis, psikoanalitik, dan
psikologi Jungian. Namun, di sisi lain, dia juga memunculkan
sisi yang lain tentang dirinya yang merupakan bagian dari
dirinya.

Jung dalam perjalanan karier akademiknya sebagai


seorang psikolog sekaligus sebagai seorang dosen memang
sempat tersandung masalah affair dengan kliennya yang
bernama Sabina Spielrein. Seorang perempuan yang berasal
dari Rusia yang mengalami histeria. Dalam perkembangan
terapi yang dilakukan oleh Jung –dalam konteks ini Jung
berkonsultasi pada Bleuler dan Freud—ternyata Sabina
Spielrein bisa sembuh dan dia menjadi mahasiswanya
bahkan bimbingannya Jung dan Prof. Bleuler dalam menulis
disertasi. Sosok Sabina Spielrein dalam dunia psikoanalisis
sebenarnya kuat, tetapi terlepas dari konteks patriarkhi,
sampai sekarang data yang berusaha merilis perjalanan
hidup Sabina Spielrein masih minim, salah satunya adalah
yang dikumpulkan oleh Allain-Dupr´e (2004) tentang
biografi Sabina Spielrein dan Kerr (2011) yang berbicara
tentang hubungan Jung, Freud, dan Sabina Spielrein, dan
yang terakhir buku tentang pemikiran Sabina Spielrein

78 Psikologi Jungian, Film, Sastra


(2018) The Essential Writing of Sabina Spielrein: Pioneer of
Psychonalysis yang diterbitkan oleh Routledge.
Tulisan Kerr (2011) menunjukkan sebuah fakta baru
tentang kisah perjalanan hidup antara Jung, Sabina Spielrein,
dan Freud. Kisah tersebut berkait dengan affair antara
Jung dan Sabina Spielrein. Namun, bagi para pendukung
Jung, tulisan Kerr bukanlah tulisan yang mengarah pada
fakta-fakta yang kuat, tetapi lebih mengarah pada narasi.
Keduanya, baik pihak yang pro-Jungian dan kontra-Jungian
sama-sama memiliki fakta yang dipegang dalam kaitannya
dengan Jung dan Sabina yang masih kontroversial tersebut.
Tulisan yang mendiskusikan hubungan Jung dengan
Sabina, misalnya Launer (2015), menulis secara teperinci
dan detil tentang hubungan keduanya. Launer mencoba
menelusuri tulisan-tulisan yang berkait dengan hubungan
antara Jung dan Sabina Spielrein. Pada tahap selanjutnya,
ia menggali lebih dalam informasi dari data-data diari dan
catatan-catatan lain yang ditulis oleh Sabina Spielrein.
Berdasar dari data-data tersebut Launer menunjukkan
dengan gaya kritis-reflektif di mana posisi Jung pada waktu
itu berperan sebagai seorang terapis dan di mana posisi
Sabina Spielrein yang berperan sebagai seorang klien.
Lothane (1996) menunjukkan bahwa Sabina Spiel-
rein adalah seorang pasien yang berasal dari Rusia (usia

Psikologi Jungian, Film, Sastra 79


pada waktu itu 20 tahun) yang mengidap histeria karena
kekerasan dan perlakuan orang tua (sang ayah) kepada
anak-anaknya. Perpecahan Jung dan Freud konon salah
satu di antaranya tidak lepas juga dari nama Sabina
Spielrein. Salah satu kutipan Lothane (1996:207) tentang
Jung adalah “a cure by love”. Hal ini menunjukkan bahwa
Jung pada waktu terjadinya peristiwa tersebut ingin
menunjukkan bahwa penyembuhan dalam terapi tidak
mengandalkan hal-hal yang terkesan kejam dan sadis. Jung
sebagai seorang terapis memunculkan terobosan baru
bahwa ia menggunakan metode yang lebih baik dan tidak
kejam, yakni dengan metode terapi wicara. Melalui metode
tersebut diharapkan pasien tidak lagi merasa tersakiti
ataupun merasa tidak nyaman dengan apa yang dilakukan
oleh terapis pada pasiennya.

Sebagaimana diketahui bersama, pada masa lalu,


terapis memang menggunakan metode yang dianggap
sadis untuk ukuran etika sekarang ini dalam hubungannya
untuk menyembuhkan pasien, misal saja mulai dari teknik
perendaman dalam bak air sampai dengan diguyur dengan
air dingin. Hal itu, dalam perkembangan psikiatri sekarang
dianggap kurang manusiawi sebab tidak memperlakukan
manusia sebagaimana manusia yang lain, meskipun mereka
adalah orang yang mengalami gangguan secara psikologis.

80 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Gambar 4: Sabina Spielrein
Sumber: https://www.freud-museum.at/
de/veranstaltung/Russian

Beberapa temuan yang kritis-mendalam, misalnya


tulisan Skea (2006), secara komprehensif menunjukkan
data eksplisit bahwa pemikiran Sabina Spielrein tentang
psikoanalisis yang dimasukkan dalam karya Jung dan Freud,
sama sekali tidak diberikan kontribusi. Artinya, Sabina

Psikologi Jungian, Film, Sastra 81


Spielrein yang waktu itu memang pada mulanya sakit
dan kemudian bisa disembuhkan. Dalam perkembangan
selanjutnya, Sabina Spielrein ternyata bisa mengikuti jalan
pemikiran Jung dan Freud terkait dengan psikoanalisis.
Bahkan, Skea mengungkap jika pemikiran Sabina Spielrein
yang cemerlang tentang psikoanalisis agak diabaikan
oleh Jung dan Freud. Untuk Jung, pemikiran tentang
ketidaksadaran kolektif juga tidak lepas dari pandangan
Sabina Spielrein. Untuk Freud, pemikiran tentang instink
kematian sama sekali tidak memasukkan kontribusi Sabina
Spielrein. Pemikiran Sabina Spielrein dalam diskusi tentang
teori agresi dan teori kematian sama sekali tidak muncul
dalam karya-karya Freud. Pandangan Lothane (2016)
tentang Jung dan Sabina Spielrein semakin dipertajam
dan semakin berkembang. Lothane menunjukkan tentang
adanya fakta biografis bahwa masalah Jung dan Sabina
Spielrein terbagi menjadi data yang bersifat fakta dan fiksi.
Karena itu, data-data yang berserak dan muncul dalam
masyarakat tersebut bergantung pada interpretasi teks
sang pembaca dalam memahami konteks tentang Jung
dan Spielrein. Untuk itu, dalam paparan di sini, semuanya
dikembalikan kepada sang pembaca dalam memaknai sisi
lain Jung.

82 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Pemikir yang Memengaruhi Jung
Jung sebagai seorang psikolog yang kategori kreatif
banyak mempelajari bidang ilmu yang di luar wilayahnya.
Karena itu, Jung juga banyak terpengaruh oleh pemikiran-
pemikiran dari para pendahulunya ataupun pengaruh dari
pemikir yang muncul pada zamannya. Tentunya, dalam
konteks ini, istilah keterpengaruhan merupakan hal yang
wajar dan bukan dianggap sebagai epigoner ataupun bahkan
plagiasi. Pemikiran Jung yang terasuki oleh pemikiran-
pemikiran dari pemikir yang lain merupakan sebuah sisi
kreativitas yang lebih meningkatkan mutu pemikiran Jung
dalam melahirkan pemikiran di bidang psikologi. Berikut
pemikir/pemikiran yang memengaruhi pemikiran Jung
dalam melahirkan psikologi Jungian.
Pemikiran Imanuel Kant. Pemikiran Kant (1900) meme-
ngaruhi Jung dalam ide-idenya tentang mimpi. Jung banyak
terinspirasi tentang ide-ide yang berkait dengan mimpi,
kematian, dan alam bawah sadar. Pikiran Jung tentang
archetype yang berkait dengan ide dasar yang instinktif
tidak lepas pula dari pandangan Imanuel Kant.
Pemikiran Levi-Strauss. Pemikiran Levi-Strauss (1963)
yang banyak menginspirasi dan memengaruhi dalam
kaitannya dengan konteks oposisi biner. Dalam pandangan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 83


Jung, istilah oposisi biner dikaitkan dengan pandangan
tentang anima/animus. Anima/animus merupakan jiwa
yang terdapat dalam diri manusia. Seorang perempuan
memiliki anima untuk memahami laki-laki, seorang laki-laki
memiki animus untuk memahami perempuan. Keduanya,
merupakan sebuah oposisi. Jika Levi-Strauss mengarahkan
pandangannya yang berkait dengan oposisi biner pada
konteks budaya, Jung mengarahkan oposisi biner pada
konteks psikologi.
Pemikiran Freud. Pemikiran Freud (1955) merupakan
pemikiran yang paling banyak memengaruhi pemikiran Jung
dalam mengembangkan psikoanalis versi Jung (yang dalam
perkembangannya dikenal dengan psikoanalitis/psikologi
Jungian). Pemikiran Jung yang terpengaruh oleh pemikiran
Freud adalah sebagai berikut.
Pemikiran tentang ketidaksadaran individual (versi
Freud) dan Jung memunculkan ketidaksadaran kolektif.
Pemikiran tentang instink kematian dalam pandangan
Freud dan Jung memunculkan pandangan tentang
kehidupan setelah kematian. Instink kematian dalam
pandangan Freud muncul ketika seseorang memiliki hasrat
kematian karena sesuatu masalah dalam kehidupan. Jung
tidak begitu menguatkan masalah instink kematian, tetapi
dia menguatkan pemikiran tentang kehidupan setelah

84 Psikologi Jungian, Film, Sastra


kematian. Perbedaan pandangan antara Freud dan Jung
tersebut disebabkan oleh aliran Freud yang agnostik dan
Jung adalah sosok yang gnostik.
Pemikiran Freud tentang psikoanalisis yang didorong
oleh energi libidinal tidak sepenuhnya diikuti oleh Jung.
Dalam kaitannya dengan ini, Jung malah bertentangan
dengan Freud. Jung mengungkapkan bahwa energi libidinal
dalam diri manusia akan mendorong manusia ke arah
yang kreatif. Perbedaan pandangan ini merupakan salah
satu pemicu terjadinya konfrontasi intelektual antara Jung
dan Freud. Jung memang banyak terpengaruh sebab dia
memang berguru kepada Freud tentang psikoanalisis dan
psikologi. Jung menganggap Freud sebagai guru dan juga
mentor dalam terapi. Ketika menyembuhkan klien yang
terkena masalah psikologis, Jung lebih banyak konsultasi
kepada Freud.
Dalam konteks teori mimpi Jungian, Jung juga
banyak terinspirasi oleh pemikirannya Freud. Karena itu,
ia sangat simpati dan apresiatif terhadap karyanya Freud
The Interpretation of Dreams (1955), yang diakui atau tidak
merupakan buku yang berbobot dalam memaparkan hakikat,
teori, metode, dan implementasi. Jung merasa sejalan
dengan pemikiran Freud dalam memandang mimpi. Dalam
pandangan Freud, mimpi merupakan hasil dari pemikiran alam

Psikologi Jungian, Film, Sastra 85


bawah sadar. Begitu juga dengan Jung, mimpi merupakan hasil
konkretisasi dari alam bawah sadar. Mimpi juga penuh dengan
simbolisme-simbolisme dan harus bisa dimaknai secara tepat
sesuai dengan konteksnya. Jung pun menulis buku tentang
mimpi yang berjudul Memories, Dreams, Reflections (1961)
yang di dalamnya salah satu babnya membahas tentang
mimpi. Namun, kekuatan tentang menulis mimpi yang ditulis
oleh Jung masih kalah dengan kekuatan menulis tentang
mimpi yang ditulis oleh Freud.

Time Line Jung


Jung merupakan sosok yang melegenda dalam dunia
psikologi, baik di wilayah Eropa, Asia, ataupun Amerika.
Sebagai seorang psikolog, ia adalah sosok psikolog
yang berumur panjang. Time line Jung sebagai seorang
akademisi, psikiatri, dan psikolog terpapar sebagai berikut.
Tabel 2: Time line Jung
Tahun Keterangan
1875 Jung lahir di Keswill, Swiss, Jerman
Jung mengikuti pelatihan medis di Universitas
1895-1900
Basel
1896 Kematian ayahnya

86 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Jung jadi psikiatris di Rumah Sakit Universitas
1900
Psikiatri Klinik Zürich di bawah arahan Prof.
Eugen Bleuler {1857-1939}
Jung bersama Pierre Janet di Paris untuk studi
1901-1902
psikopatologi teoretis
Disertasi Jung berjudul “On the Psychology
1902
and Pathology of So-Called Occult Pheno-
mena” diterbitkan
Pernikahan Jung dengan Emma Rauschen-
1903
bach {1882-1955}
Kelahiran anak pertamanya, Agathe Regina
1904 Niehus-Jung dan berteman dengan Sabina
Spielrein {1885-1942}
Menempati jabatan dokter staf senior dan
1905-1909
dosen di Universitas Zürich
Memulai korespondensi dengan Sigmund
1906 Freud (1856-1939) dan kelahiran anak kedua
Anna Margaretha
1907 Menemui Sigmund Freud di Wina
Kelahiran anak ketiganya, Franz Karl Jung-
1908
Merker
Pindah ke Küsnacht, dekat Zürich, dan meng-
1909
abdikan dirinya untuk praktik pribadi
Presiden pertama Asosiasi Psikoanalisis In-
1910 ternasional; Kelahiran anak keempatnya,
Marianne Niehus-Jung

Psikologi Jungian, Film, Sastra 87


Mengundurkan diri sebagai presiden Asosiasi
1914 Psikoanalisis Internasional; Kelahiran anak
kelimanya, Helene Hoerni-Jung
Pendirian Klub Psikologi Zürich; deskripsi
imajinasi aktif, dan penggunaan istilah
1916
ketidaksadaran pribadi, ketidaksadaran
kolektif, individuasi, animus / anima, persona;
Memulai studi tentang tulisan-tulisan Gnostik
1920 Perjalanan ke Afrika Utara (Aljazair dan Tunisia)
Kematian ibunya;mulai membangun menara
1923 di Bollingen di pantai Cekungan Obersee di
Danau Zürich
1924-1925 Perjalanan Jung ke Amerika Serikat
Perjalanan Jung ke Afrika Timur (Kenya,
1925-1926
Uganda, dan Nil)
1935 Jung diangkat sebagai profesor di ETH Zürich
Mengundurkan diri dari jabatan sebagai
1942
profesor di ETH Zürich
1948 Inagurasi CG Jung Institut di Zurich
1955 Istri Jung, Emma meninggal dunia
Jung dan Aniela Jaffé menulis Memories,
1957
Dreams, Reflections
Jung menyelesaikan bukunya Approaching the
1961 Unconscious dan meninggal pada tahun ini
juga.
(Sumber:https://speakingofjung.com/jung,https://www.carl-jung.net/
timeline.html, http://oaks.nvg.org/jung-timeline.html#r) 3

88 Psikologi Jungian, Film, Sastra


3
ARCHETYPE

A rchetype adalah pemikiran Jung yang paling banyak


dikenal oleh para peneliti psikologi. Sebagai sebuah
teori, archetype Jungian tidak hanya digunakan dalam
perspektif monodisipliner, tetapi archetype juga digunakan
dalam konteks yang interdisipliner. Karena itu, archetype
bisa muncul dalam konteks yang hibridatif, masuk dalam
berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Dalam kaitannya
dengan archetype, Jung memang puluhan tahun bekerja
untuk mencari dan menemukenali sisi-sisi yang kurang
dari teori archtype yang dibangunnya dengan harapan agar
teorinya menjadi kokoh. Jung memang banyak mengaitkan
hal psikologis dengan archetype sebab hampir semua ide
tidak lepas dari archetype.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 89


Jung (1969:154)menyebut archetype dengan pemak-
naan “primordial images”. Disebut dengan primordial
images sebab archetype merupakan ciri dasariah yang
muncul dalam mimpi, agama, dan juga mitologi. Selain
muncul dalam segmentasi tersebut archetype juga bisa
muncul dalam perfilman. Munculnya archetype dalam
perfilman sebenarnya tidak lepas dari proyeksi sang penulis
film dalam melahirkan film tersebut. Meskipun di film,
archetype bisa muncul sebab narasi dalam film tersebut
ditulis berdasarkan ide yang terkadang muncul dalam
alam bawah sadar manusia sehingga jika dikaitkan dengan
pandangan Levi-Strauss, alam bawah sadar yang muncul
secara archetypis dan tercecer bisa terpolakan dengan baik
sebab alam sebenarnya sudah memiliki pola yang teratur.
Hanya saja pola tersebut membutuhkan interpretasi dari
manusia agar bisa membaca pola alam tersebut dengan
baik dan tepat.
Jung (1960) mengidenfikasikan bahwa archetype
merupakan sebuah struktur sebab memiliki fungsi yang
berpola instinktif dari lingkungan/konteks. Struktur archetype
bisa ditemukan pada folklor –dalam konteks ini foklor bisa
berkait dengan mitologi, cerita rakyat, puisi rakyat, ataupun
lagu rakyat-- primitif yang terdapat di Mesir, Yunani, ataupun
di Meksiko kuno. Tidak hanya itu, struktur archetype bisa

90 Psikologi Jungian, Film, Sastra


muncul juga dalam bentuk khayali, imajinasi, dan juga mimpi-
mimpi purba yang terpendalam dalam soulnya manusia masa
lalu yang timbul juga pada masa modern seperti sekarang ini.
Jung sebagai seorang psikolog memang agak condong pada
sesuatu yang berkait dengan imajinasi dan fantasi. Karena
itu, ketika berbicara tentang archetype pun, hal tersebut
tidak lepas juga dari konteks imajinasi.
Archetype sebagai bentuk yang mengalami perulangan
dari masa ke masa sebenarnya memang tidak lepas dari
pemikiran manusia. Sebagai makhuk yang memiliki
kemampuan dalam bersimbolisme, manusia memunculkan
simbol-simbol yang diduga muncul dari pemikiran-pemikiran
yang primordial. Pemikiran tersebut tidak akan pernah
hilang sebab bersifat simultan dan akan tetap ada selama
masih ada ide-ide tentang sesuatu. Archetype muncul
dalam konteks perulangan sebab pada dasarnya manusia
zaman dahulu dengan manusia zaman sekarang memiliki
kesamaan dalam hal idea. Simbolisme yang muncul dalam
bentuk archetype memang tidak boleh diinterpretasikan
sampai di situ saja. Namun, dalam hal penginterpretasian,
seorang ahli psikologi harus mampu mengaitkan archetype
dengan konteks masa lalu dan konteks masa sekarang.
Harapannya, jika seseorang mampu mengaitkan masa lalu
dan masa sekarang dalam perspektif psikologis terutama

Psikologi Jungian, Film, Sastra 91


dalam memandang archetype, akan ditemukan ciri asali
yang hubungannya dengan pikiran yang primordial.
Pandangan tentang primordial dalam psikologi memang
bukanlah hal yang mudah sebab berkait juga dengan alam
ketidaksadaran. Banyak orang yang menyangkal kekuatan
dan kekokohan istilah primordialisme dalam psikologi
Jungian sebab dalam mengungkapkan hal yang ilmiah,
seseorang harus berpijak pada hal yang ilmiah pula.
Pemikiran Jung tentang archetype banyak muncul
pada buku Archetypes and the Collective Unconscious (1934)
dan Four Archetypes Mother, Rebirth, Spirit, Trickster (1953).
Jung memang lebih banyak mencurahkan pembahasan
tentang archetype sebab bahasan tersebut tidak lepas dari
disertasinya yang berkait dengan psikologi dan occultism “The
Psychology and Pathology of So Called Occult Phenomena”
(1902) yang diterbitkan menjadi buku Psychology and the
Occult (1982). Archetype dalam pandangan Jung sebenarnya
merupakan jejak-jejak pengalaman pribadi yang bersifat
instinktif (Jung,1961). Pengalaman pribadi yang instinktif
tersebut terkategorikan sebagai instinksi primordial yang
muncul dalam bentuk ketidaksadaran kolektif (collectives
uncounsciousness) manusia. Dengan demikian, archetype
memiliki sifat-sifat yang arketipis dan yang muncul bisa
berkait dengan hal yang bersifat nominous. Untuk menggali

92 Psikologi Jungian, Film, Sastra


archetype yang terserak dalam mitologi, mimpi, imajinasi,
ataupun dalam samanisme, seseorang memang memerlukan
tingkat interpretasi yang lebih dalam agar tidak gagal dalam
menginterpretasikan archetype.
Menurut Stevens (2006), Jung memperkenalkan
dan mempromosikan archetype dalam artikelnya “Instinct
and the Unconscious” (1919) yang dimunculkan dalam
sebuah Simposium yang dipresentasikan pada Pertemuan
Bersama British Psychological Society, Aristotelian Society
dan the Mind Association, di London, 12 Juli 1919. Pada
tahun-tahun berikutnya, sebagaimana dipaparkan Graf-
Nold (2005) bahwa Jung sebagao sosok psikolog sekaligus
psikiatri mulai menguatkan dan mengembangkan teori
archetype (dan juga tipologi serta individuasi) pada tahun
1933. Jung memang bekerja maksimal untuk archetype dan
hal tersebut terbukti dengan menguatnya teori archetype.
Ketiga teori tersebut dianggap sebagai konsep utama yang
terdapat dalam psikologi Jungian. Meskipun demikian,
teori yang lain tentang anima dan animus juga merupakan
bagian yang tidak terlupakan dari psikologi Jungian sebab
anima dan animus juga tidak lepas dari alam ketidaksadaran
kolektif. Begitu juga dengan archetype, sebagai sebuah
komponen yang tidak lepas ketidaksadaran kolektif manusia
purba ataupun manusia modern seperti sekarang ini.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 93


Jung menjelaskan bahwa munculnya konsep archetype
sudah sejak lama ada. Bahkan, konsep tersebut sudah
muncul pada masa Yunani Kuno. Dalam konteks ini, misal
saja, archetype berkait dengan prototipe semua cahaya
yang berkait dengan ketuhanan. Dalam konteks yang lain,
archetype bisa muncul dalam mitologi, dongeng, mimpi,
yang muncul dalam ketidaksadaran kolektif yang muncul
dalam berbagai tempat/wilayah (Jung, 1953; 1981).
Pandangan Jung bahwa archetype sudah muncul sejak
lama sebab archetype merupakan pemikiran dan idea-idea
yang memurba dan dalam hal ini disebut dengan archaik.
Archetype memiliki karakter yang kadang manifest ataupun
laten sehingga membutuhkan interpretasi dalam pembong-
karan makna yang terkandung di dalamnya. Selama ini,
--pada masa Jung masih aktif dalam mengembangkan
psikologi yang archetypian—memang belum ada psikolog
lain yang memperbincangkan ataupun mendiskusikan
pemikiran tentang archetype. Freud sebagai mentor dan
juga guru psikoanalisisnya, juga tidak pernah menyinggng-
nyinggung istilah archetype dalam tulisan-tulisannya.
Begitu juga dengan koleganya Jung –yang sesama tokoh
besar psikoanalisis--, misalnya Fromm dan Adler, juga tidak
mendiskusikan archetype secara panjang lebar. Karena itu,
dalam psikoanalisis, Jung memang sebagai pelopor dalam

94 Psikologi Jungian, Film, Sastra


pemunculan dan pengembangan teori archetype yang
masuk di wilayah psikologi.
Tokoh psikoanalisis memang memiliki keunikan
tersendiri dalam pemikirannya sehingga meskipun mereka
memiliki satu arus utama dalam kaitannya dengan konteks
psikoanalisis, tetapi mereka memiliki keunikan dalam
pemikiran untuk memunculkan penciri yang berbeda.
Dengan begitu, pemikir-pemikir dalam psikoanalisis
tidak akan bertumbukan secara pemikiran sebab mereka
memiliki wilayah tersendiri dalam hal orisinalitas ide. Dalam
kaitannya dengan archetype, perlu diketahui bersama
bahwa istilah archetype memang bukan dimunculkan kali
pertama oleh Jung, tetapi Jung sebagai seorang psikolog,
dialah yang mengembangkan dan membesarkan teori
archetype hingga terkenal ke penjuru dunia bahkan sampai
sekarang pun akhirnya banyak bermunculan buku-buku
tentang archetype dan juga studi ilmiah tentang archetype.
Archetype adalah teori Jung yang paling banyak
pengaruhnya pada disiplin ilmu yang lain, misalnya
antropologi, religi (Leeming, 2014), sosiologi, seni (rupa/
desain) (Hunter, 2008), ataupun sastra (Zimmerman, 2016;
Ahmadi, 2015; Rowland, 1999). Jika ditelusur secara historis,
sebagai seorang pembaca yang handal, Jung memang
suka membaca buku-buku tentang filsafat, psikologi,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 95


dan antropologi. Salah satunya adalah pemikiran filsuf
Immanuel Kant. Palmquist (2015:178) mengungkapkan
bahwa Jung terinspirasi pemikiran Imanuel Kant tentang
archetype sebab dia (Jung) membaca karya-karya Immanuel
Kant. Dalam pandangan Imanuel Kant, archetype memiliki
makna ide yang individual yang terdapat dalam diri manusia.
Archetype merupakan sebuah pola dasar yang dikre-
asikan mulai zaman dahulu dan memiliki konten yang
unik di dalam budaya tertentu, seni tertentu, dan mimpi
tertentu (Hollis, 2000:5). Archetype tersebut dianggap
unik sebab sebagai ciri primordial memiliki persamaan
meskipun di tempat yang berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa alam berpikir manusia sejak zaman dahulu sampai
dengan zaman sekarang tidak jauh berbeda. Hal inilah
yang membuat Jung berpandangan bahwa manusia zaman
dahulu dengan manusia dengan zaman modern seperti
sekarang ini merupakan sosok individu yang memiliki psike
ketidakdadaran kolektif mirip. Dengan demikian, jejak
masa lalu dalam pandangan Jung sangatlah berarti sebab
berkait dengan archetype yang muncul di dalam berbagai
budaya yang terdapat di berbagai negara di dunia.
Pandangan yang berkait dengan jejak masa lalu dalam
alam berpikir Jung agak berbeda dengan pandangan jejak
masa lalu dalam pandangan Freud. Dalam pandangan
Freud, jejak masa lalu yang berkait dengan kegagalan
perampungan tahapan kepribadian akan berakibat tidak

96 Psikologi Jungian, Film, Sastra


baik bagi perkembangan psikologis manusia di masa yang
akan datang. Karena itu, Freud sebagai seorang psikolog
lebih pesimistis dalam memandang masa lalu, sedangkan
Jung lebih optimistis dalam memandang masa depan.
Dengan demikian, kedua psikolog tersebut, meskipun
memiliki mazhab yang sama dalam psikoanalisis, tetapi
keduanya memiliki perbedaan yang sangat kuat terutama
dalam memandang psike manusia.
Franz 4(1997, 1999) mendukung pemikiran Jung tentang
archetype yang diarahkan ke studi dongeng. Karena itu,
dia (Franz) melakukan studi terhadap dongeng di berbagai
negara, yakni Perancis, China, Denmark, Spanyol, Africa, dan
Jerman. Franz menunjukkan bahwa dongeng purba yang
terdapat di berbagai negara sebenarnya memiliki keunikan
sebagai bentuk archetype. Tentunya, dalam hal ini keunikan
tersebut berkait dengan ciri arkaistis yang terdapat dalam
dongeng yang merupakan manifestasi alam ketidaksadaran
kolektif psike manusia. Franz (1980) juga menunjukkan
bahwa penebusan (redemption) dalam dongeng sebenarnya
juga tidak lepas dari archetype yang memurba.
4 Maria-Louise von Franz adalah penganut psikoanalisis dan
merupakan teman akrab Carl Gustav Jung dalam mengembangkan
psikoanalisis Jungian (atau yang lebih dikenal dengan psikologi
Jungian). Karena itu, dia juga menulis buku yang bertalian dengan
psikologi Jungian, misalnya The Psychological Meaning of Redemption
Motifs in Fairy Tales (1980); On Divination and Synchronicity: The
Psychology of Meaningful Chance (1980); Alchemy: An Introduction
to the Symbolism and the Psychology (1981)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 97


Dalam rangka memperkuat dan mempertajam pemikir-
an tentang archetype, Jung memang memperbanyak dan
memperdalam literatur yang berkait dengan spiritualis-
me dan juga mitologi. Literatur yang berkait dengan
spiritualisme dan mitologi merupakan representasi alam
ketidaksadaran kolektif yang muncul secara spontan yang
diarahkan pada alam kesadaran kolektif (Jung, 1981). Istri
Jung juga turut memperkuat pemikiran Jung tentang
archetype, Jung (1985:6) menunjukkan bahwa spiritualisme
dan mitologi pada hakikatnya memiliki kemiripan satu sama
lainnya. Kemiripan tersebut tidak lepas dari ketidaksadaran
kolektif psike manusia.
Dunia spiritualisme bukanlah dunia yang mudah
dipelajari sebab dunia spiritualisme adalah dunia yang tidak
semua orang mampu menginterpretasikannya. Seseorang
bisa menginterpretasikan artchetype yang terdapat dalam
dunia spiritualisme sebab archetype tersebut memiliki ciri
archaik yang sama dengan yang lainnya (dalam derajat yang
berbeda). Hal tersebut mengimplikasikan bahwa interpretasi
terhadap archetype yang terdapat dalam dunia spiritualisme
memang membutuhkan interpretasi yang lebih dalam.
Interpretasi yang lebih dalam tersebut akan menghasilkan
temuan yang tepat untuk archetype sehingga makna asali
dari archetype tersebut bisa muncul dengan tepat.

98 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Archetype sebagai sesuatu yang archaik dan merupakan
konkretisasi dari ketidaksadaran kolektif terkadang mengalami
fusi. Hal ini yang mengakibatkan bahwa archetype orang tua
bijak dan pahlawan berfusi sehingga memunculkan dualisme
dalam satu psyche (Hall & Linzey, 1978). Archetype memiliki
fungsi untuk kompensasi dan memberikan perbaikan pada
alam kesadaran manusia (Jung & Kerenyi, 1969). Archetype
tersebut pada akhirnya tidak bisa dijadikan patokan bahwa
archetype memiliki karakter dan tipikalitas tunggal dalam
suatu psike, tetapi bisa jadi menjadi karakter yang dualistis
karena adanya fusi dalam archetype yang muncul. Archetype
yang model fusi tersebut hampir mirip dengan archetype
yang lainnya, ia bisa muncul dalam neurosis, upacara-upacara,
mistisisme, karya seni, spiritualitas, mitologi, dan juga mimpi.
Archetype itu akan muncul secara berulang, tetapi dalam
derajat yang berbeda. Derajat perbedaan tersebut disebabkan
adanya alam budaya yang berbeda, waktu yang berbeda,
dan juga kondisi lingkungan yang berbeda. Hal itu akan
mengakibatkan archetype tersebut memiliki kemiripan, tetapi
berbeda secara kederajatan.
Archetype memiliki ciri dasar dalam pemunculannya
sehingga karakterisasi archetype tersebut bersifat monoar-
chetype, misal saja ayah, ibu, Tuhan, iblis, malaikat. Namun,
adapula kategori multiarchetype atau disebut pula dengan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 99


hibridarchetype. Model yang bersifat hibrid tersebut
disebabkan oleh adanya pemikiran yang kompleks sehingga
melahirkan komplektisitas. Dalam archetype yang hibrid
memunculkan karakterisasi sosok yang memiliki dualitas
dalam satu idea. Tentunya, hal ini sangat jarang muncul
sebab pemikiran yang kompleks dalam kaitannya dengan
archetype memang tidak begitu kuat dimunculkan oleh
Jung. Tampaknya, Jung lebih banyak memunculkan dan
menguatkan karakter archetype yang bersifat monotipe
sehingga karakter tersebut memudahkan peneliti ataupun
orang yang belajar tentang archetype. Namun, untuk
mengatasi adanya kemunculan dualtipe, Jung memunculkan
juga tipe hibrid dalam archetype sebab adanya dualtipe
tersebut tidak bisa dipungkiri juga dalam ciri dasar yang
archaistis. Begitu juga dengan kehidupan yang berada di alam
real, monotipe memang banyak ditemukan dalam kehidupan
keseharian, tetapi dualtipe juga akan muncul seiring dengan
perkembangan zaman yang meminta dan memaksa manusia
untuk menjadi karakter dualtipe ataupun bahkan tripletipe.
Archetype lebih kuat muncul dalam monotipe di antaranya
juga disebabkan oleh karakterisasi idea yang muncul pada
zaman dahulu dan tang tertemukan di mitologi memang
lebih banyak memunculkan monotipe daripada dualtipe. Hal
inilah yang tampaknya turut memengaruhi pemikiran Jung
dalam melahirkan monotipe.

100 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Ibu Agung (Great Mother)
Archetype IbuAgung (Great Mother) merupakan archetype
yang masuk dalam wilayah studi agama dan berhubungan
juga dengan mitologi para dewi (Jung, 1953). Ibu Agung5
memang lebih banyak ditemukan dalam literatur spiritual
ataupun dalam konteks mitologi sebab karakter dan imaji
tentang Ibu Agung memang lebih mengarah pada pemaknaan
yang bertalian dengan pemikiran orang-orang yang agamis
dan/atau keyakinan. Sebagai sebuah archetype, Ibu Agung
memiliki ciri prototipe dan memiliki ciri derivatif yang terdapat
dalam ketidaksadaran kolektif (collective uncounsciousness).
Untuk archetype kategori prototipe muncul secara terbatas.
Adapun ciri derivatif dalam archetype Ibu Agung tidak terbatas
jumlahnya. Jung menandai bahwa ciri Ibu Agung sebagai
prototipe ataupun derivatifnya memang memiliki kemiripan
di berbagai wilayah sebab kemiripan tersebut tidak lepas dari
ketidaksadaran kolektif.
Archetype Ibu Agung memiliki varian yang banyak
sebagai bentuk derivasinya, tentunya dalam hal ini berkait
dengan tipikal ibu yang manifest ataupun ibu yang laten.
5 Pemikiran Jung tentang archetype Ibu Agung memang lebih banyak
dipengaruhi oleh keyakinannya sebagai seorang yang lebih mengarah
pada agama dan lebih mengarahkan psikologinya pada psikologi
spiritualisme. Sebagaimana diketahui, Jung banyak mempelajari
literature tentang spiritualisme dan occultism. Hal itu banyak
memengaruhi cara pandangnya dalam mewujudkan narasi tentang
archetype.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 101


Jung (1953) menegaskan bahwa archetype ibu yang
muncul sebagai ciri dasar, misalnya archetype ibu, archetype
nenek, archetype ibu tiri, dan archetype ibu mertua. Selain
itu, ada pula ibu yang merupakan archetype dari bagian
yang lainnya, tetapi masih memiliki relevansi dan pertalian
dengan pola dasar, yakni ibu pengasuh, ibu suri, ataupun ibu
yang berkait dengan nenek moyang. Archetype ibu dalam
konteks mitologi -- kedewian, bisa muncul pada dewi-dewi,
misalnya Demeter, Persephone, atau juga Bunda Maria,
Shopia, ibu yang berada di surga.
Archetype Ibu Agung juga bisa diasosiasikan dalam
bentuk simbolisme kesuburan, kebun, ladang yang di bajak,
sawah, mata air, sumur yang dalam, lotus, yoni, ataupun
bejana (Jung, 1953). Asosiasi tentang sosok Ibu agung
ataupun dalam hal ini Jung lebih sering menggunakan kata
ibu, --meskipun dia lebih menekankan pada kunci utama
Ibu Agung—memiliki hubungan dengan alam. Archetype
ibu yang digambarkan oleh Jung dalam bentuk yang laten
merupakan asosiasi dari alam yang memiliki karakterisasi
sosok ibu sebagai manusia yang bisa memberikan
kehidupan, kelahiran, dan juga kebaruan. Karena itu,
fenomena alam yang memiliki keberkaitan dengan
kehidupan merupakan simbolisme seorang ibu. Archetype
yang merupakan asosiasi dari ibu tidak hanya yang memiliki
karakter yang positif, tetapi karakter yang negatif juga
merupakan archetype ibu, misalnya Medusa. Simbolisme

102 Psikologi Jungian, Film, Sastra


ibu dapat muncul juga dalam konteks yang berkebalikan
dengan simbol ibu yang positif. Pada masa lampau dan
masa sekarang simbolisme tentang ibu sebagai manifestasi
yang positif akan bertentangan dengan simbolisme ibu
sebagai manifestasi yang negatif. Meskipun demikian,
dalam mitologi yang terdapat pada masyarakat masa
lampau menunjukkan bahwa bentuk-bentuk postif ataupun
negatif terkadang saling menguatkan. Dengan demikian,
pada satu sisi kadang simbol ibu yang positif yang menang
dan terkadang simbol ibu yang negatif yang menang.
Sebaliknya, hal tersebut terjadi dalam bentuk perulangan.
Archetype Ibu Agung sebenarnya tidak hanya
muncul dalam konteks agama ataupun para dewi (dalam
masyarakat penganut dewa/dewi, misalnya Yunani), tetapi
archetype tersebut bisa muncul dalam konteks yang lain,
misalnya dalam mimpi, sastra modern, ataupun film.
Jika pada mulanya Jung membatasi adanya archetype
sebagai prototipe ataupun derivatif, pada era modern ini
sebenarnya archetype tersebut bisa bergeser, berubah,
ataupun mengalami transformasi. Namun, sekali lagi,
dalam pandangan Jung, perubahan, pergeseran, ataupun
transformasi tersebut tidaklah dianggap sebagai sebuah
perubahan, tetapi dikaitkan dengan masalah derajat wilayah
dan perkembangan zaman. Karena itu, manusia masa lalu
dan manusia masa sekarang sebenarnya memiliki kemiripan
dalam hal ketidaksadaran kolektif yang bersemayam dalam

Psikologi Jungian, Film, Sastra 103


diri manusia. ketidak sadaran kolektif itulah yang tidak akan
pernah hilang ataupun musnah. Memang, ketidaksadaran
itu sesekali bisa tidak muncul, tetapi ketidakmunculan
tersebut bersifat temporal. Ketika ada spirit yang membuat
ketidaksadaran tersebut bangun, ketidaksadaran tersebut
memunculkan archetype yang sempat ‘tidur’.
Dalam konteks spiritualisme, sosok Ibu Agung muncul
pada nama-nama Dewi dalam Mitologi Yunani Kuno,
misalnya Athena, Hestia, Artemis, Hecate, Hera, Aphrodite,
dan Psyche. Riset tentang archetype Ibu Agung pernah
dilakukan Bolen (2004) dengan menggunakan perspektif
psikologi Jungian yang difokuskan pada archetype.
Bolen meneliti tentang mitologi dewi-dewi Yunani Kuno.
Berdasarkan riset yang dilakukannya, Bolen menunjukkan
bahwa archetype mitologi Dewi Yunani Kuno memunculkan
temuan sebagai berikut: dewi yang perawan (Dewi Artemis,
Dewi Athena, Dewi Hestia; dewi yang rentan dengan
masalah: Dewi Hera, Dewi Persephone, Dewi Demeter).
Bolen tidak hanya berbicara tentang kategorialisasi para
dewi, terapi dia juga mengklasifikasikan karakter para dewi
tersebut dalam bentuk penabelan sehingga memudahkan
pembaca untuk memahami para dewi beserta archetype
yang muncul. Riset yang dilakukan oleh tersebut turut
memperkuat dan mendukung psikologi Jungian yang lebih
diarahkan pada studi archetype.

104 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Gambar 5: Archetype great mother
Sumber: https://www.pinterest.de/pin/416090453052573956/

Eksplanasi Jung tentang archetype Ibu Agung sangat


kaya dan eksploratif. Dalam tulisan ini hanya dibatasi sampai
pada eksplanasi archetype Ibu Agung yang banyak digunakan
dan diperbincangkan oleh para peneliti bidang psikologi,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 105


antropologi, ataupun bidang kesastraan. Pembatasan
archetype Ibu Agung ini juga didasari pada pemunculan
archetype Ibu Agung dalam wilayah seni dan sastra. Carter &
Seifert (2013) menggarisbawahi bahwa archetype ibu agung
memiliki karakterisasi cinta yang nirbatas dalam kehidupan.
Pandangan tersebut mengindikasikan bahwa Ibu Agung
memang dikategorialisasikan dalam dewi ataupun sosok yang
dimuliakan sehingga karakter mereka adalah karakter baik.
Dalam konteks kesekarangan, munculnya tokoh won-
derwomen, catwomen, merupakan salah satu representasi
dari adanya archetype ibu agung, ibu, yang sebenarnya
sudah ada pada zaman dahulu kala. Archetype tersebut
akan timbul dalam suatu masa dan akan tenggelam dalam
suatu masa yang lain sebab pemunculan tersebut tentang
dalam lingkungan (istilah lingkungan di sini dikaitkan
dengan konteks sosial-budaya suatu masyarakat).
Pandangan tentang karakter ibu agung yang memiliki
cinta nirbatas tersebut memiliki kemiripan pandangan
Fromm dalam kaitannya dengan cinta yang dimiliki oleh
ibu. Seorang ibu dalam pandangan Fromm (1956) memiliki
cinta yang nirbatas. Sebagai seorang ibu, ia memiliki cinta
tanpa syarat. Cinta inilah yang membedakan cinta yang
dimiliki oleh ayah. Cinta yang dimiliki oleh ayah adalah yang
bersyarat.

106 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Kelahiran Kembali (Rebirth)
Kelahiran kembali secara harafiah memiliki makna
sesuatu yang dilahirkan/dimunculkan kembali ke dunia.
Kelahiran kembali banyak ditemui dalam studi spiritualisme
Hinduisme dan juga Budhisme. Dalam konteks hinduisme
dan Budhisme, kelahiran kembali dikenal dengan istilah
reinkarnasi. Mitologi spiritual banyak menggambarkan
bahwa reinkarnasi bisa dalam bentuk yang lain dari wujud
yang semula. Film White Snake Legend (1990) yang tayang
di Indonesia merupakan saah satu bentuk film yang berkait
dengan reinkarnasi. Film tersebut menarasikan ular putih dan
ular hijau yang bereinkarnasi menjadi manusia. Keduanya,
adalah ular yang bertapa selama ribuan tahun sehingga
mereka bisa bereinkarnasi menjadi manusia. Sebagai
manusia yang sebenarnya bukan manusia atau istilahnya
siluman, ular hijau dan ular putih tersebut berusaha menjadi
manusia yang baik untuk menebus kesalahan dan kejahatan
mereka di masa lalu. Namun, dalam catatan legenda tentang
ular putih dan ular hijau, mereka melakukan reinkarnasi
menjadi manusia yang dikategorikan siluman dan menjadi
siluman yang mengganggu manusia.
Kelahiran kembali dalam pandangan Jung bukanlah
sesuatu yang memiliki makna yang stagnan. Namun, kelahiran
kembali dalam pandangan psikologi Jungian memiliki

Psikologi Jungian, Film, Sastra 107


makna yang dinamis. Dengan begitu, makna simbolis yang
terdapat dalam berbagai ketidaksadaran kolektif (mitologi,
spiritualisme, dan mimpi) memiliki keberagaman interpretasi.
Sampai sejauh ini, konsep kelahiran kembali dalam pandangan
Jung lebih banyak dipengaruhi oleh dunia spiritualisme yang
digelutinya sejak dia kecil. Hal inilah yang membuat penganut
psikologi Jungian generasi ketiga merevisi beberapa hal yang
berkait dengan konsep dan pandangan Jung yang dianggap
kurang kontekstual dengan dunia kesekarangan.
Jung memunculkan lima hal utama yang berkait
dengan kelahiran kembali, yakni sebagai berikut. Pertama,
metempsychosis, kelahiran kembali yang berkait dengan
transmigrasi jiwa. Kedua, reincarnation, kelahiran kembali
yang berhubungan dengan kontinuitas jiwa. Ketiga,
resurrection, kebangkitan, kelahiran kembali yang berhubu-
ngan dengan pembentukan kembali manusia yang telah mati
melalui transmutasi ataupun transformasi. Keempat, rebirth-
renovatio, kelahiran kembali yang berhubungan dengan
kebaruan. Kelima, participation in the process of transfor-
mation (partisipasi dalam proses transformasi), kelahiran
kembali yang berkait dengan keikutsertaan dalam kelahiran
kembali, tetapi tidak secara langsung (Jung, 1953).
Kelima hal utama yang dimunculkan oleh Jung tersebut lebih
banyak bersandarkan pada konteks spiritualitas.

108 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Spirit
Spirit6 dalam ungkapan Jung, merupakan sesuatu
yang membutuhkan upaya yang sangat besar dalam
pendefinisian dan pemaknaannya. Spirit merupakan
sesuatu yang berbeda dari sesuatu yang lain. Dalam hal ini,
yang menduduki level universal adalah Tuhan (Jung, 1953).
Dalam konteks yang lebih makro, spirit dihubungkaitkan
dengan roh ‘sesuatu yang tidak terlihat’, baik hantu, orang
mati, ataupun sesuatu yang gaib’. Dengan demikian, spirit
lebih banyak mengarah pada hal yang kasat mata.
Pandangan Jung tentang spirit jika ditelusuri lebih
dalam memang memiliki kesamaan dalam pandangan
folklorian. Sejauh ini, kajian yang banyak melakukan studi
pada spirit adalah folklor yang secara spesifik masuk dalam
studi. Watts (2007) memberikan batasan bahwa ghostlore
merupakan studi dalam folklor yang menelaah dunia
perhantuan dalam konteks lampau, sekarang, ataupun masa
yang akan datang. Spirit dalam hal ini sesuatu yang tidak
terlihat pada hakikatnya adalah roh yang termanifestasikan
dalam simbolisme suara, kelebatan, mimpi, ataupun
meminjam tubuh manusia. Spirit memang muncul dengan
6 Penggunaan kata ‘spirit’ di sini tentang digunakan spirit oleh penulis
dengan catatan bahwa spirit memiliki makna psikologi Jungian
dan tidak diterjemahkan dalam kata ‘roh’ sebagai pengganti spirit.
Meskipun demikian, sesekali dalam paparan buku ini bentuk ‘spirit’
dan bentuk ’roh’ akan muncul secara bersamaan.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 109


karakterisasi yang berbeda sehingga setiap orang juga
memberikan pemaknaan yang berbeda dalam relevansinya
dengan spirit. Masyarakat intelektual sebagaimana
kalangan barat kurang begitu memercayai spirit sebab
pemunculan spirit dalam kehidupan keseharian tidak
bisa dipertanggungjawabkan secara logika. Masyarakat
intelektual lebih mengedepankan rasio dan akal. Karena itu,
spirit yang muncul di luar batas kontruksi pikiran manusia
tidak begitu disukai oleh masyarakat intelektual sebab
dianggap sebagai sesuatu yang irrasional.

Gambar 6: Archetype spirit


Sumber: Film Insidious: The Last Key (2018)

Dalam kaitannya dengan memandang spirit, masyarakat


intelektual berpandangan bahwa spirit merupakan persepsi

110 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dan bahkan halusinasi dari seseorang yang mengalami deviasi
pikiran. karena itu, seseorang yang mengalami pertemuan
dengan spirit ataupun seseorang yang memang bertemu
dengan hal yang berkait dengan kespiritan memang lebih
banyak dialami oleh orang-orang yang mengalami gangguan
psikologis. Orang-orang yang mengalami malpersepsi akan
memunculkan persepsi lain tentang persepsi yang dialami
sehingga hal itulah yang menyebabkan seseorang bisa
bertemu dengan hantu berdiskusi dengan hantu atau bahkan
disakiti oleh hantu. Ada penelitian yang menunjukkan
bahwa seseorang yang bertemu dengan spirit (hantu)
bukan disebabkan dia memang bertemu dengan hantu,
tetapi karena alam pikirannya sedang terganggu sehingga
muncullan hantu dalam pikiran-pikirannya. Banyak dugaan
terutama orang-orang dari kalangan intelektual, orang-orang
yang sering bertemu hantu adalah orang yang memang
terganggu persepsinya.
Bertolah dari spirit yang ditengarai disebabkan oleh
persepsi seseorang yang keliru dalam memunculkan
persepsi. Namun, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa
film-film yang berkait dengan hantu sampai sekarang masih
banyak dan masih laris manis. Film yang berkait dengan
spirit misalnya, Insidious yang muncul sampai beberapa
sekuel, Insidious (2010), Insidious (2013), Insidious (2015),

Psikologi Jungian, Film, Sastra 111


Last keys (2018). Film ini merupakan kategori fi lm
yang bertemakan supranatural yang mengisahkan
perjalanan seorang laki-laki yang masuk ke dalam
dunia yang lain. Namun, laki-laki yang masuk ke
dalam dunia yang lain tersebut tidak memahami
bahwa dirinya masuk dalam dunia yang lain sebab
masuknya dia ke dalam dunia yang lain itu terjadi pada
masa kecilnya dan dia baru memahami itu ketika dia
dewasa.

Gambar 7: Ibu dan spirit


Sumber: Film Insidious (2010)

Seseorang yang terlalu modern memang menjadi dunia


yang irrasional sebab tidak bisa dipertanggungjawabkan
keilmiahannya, baik secara teoretis maupun metodologis.
Namun, di sisi lain, mereka merindui sisi yang hilang itu,

112 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yakni sisi tentang manusia yang merindui dunia irrasional.
Melalui dunia itulah manusia bisa berekreasi ke alam
yang irrasional sebagai penyembuh dari lelah karena
menggunakan pikiran-pikiran rasional.
Spirit dalam psikologi Jungian memang lebih mengarah
pada dunia spiritualisme yang tentunya tidak lepas pula dari
masa kanak-kanak Jung yang banyak bertemu dengan dunia
spiritualisme baik dalam konteks kehidupan keseharian
ataupun mimpi-mimpinya.
Dalam konteks sastra ataupun mitologi, spirit muncul
dalam bentuk mimpi yang berkait dengan orang tua yang
muncul dalam mimpi seorang pahlawan. Spirit dalam
manifestasi orang tua tersebut memiliki kemampuan dalam
kaitannya dengan memberikan pertolongan kepada sang
tokoh (Jung, 1969). Hal ini menunjukkan bahwa orang tua
yang muncul tersebut merupakan archetype orang tua
bijak yang menjadi sebuah spirit. Beberapa film, misalnya
saja How to Train Your Dragon (2019)7 menarasikan tokoh
laki-laki muda sang penunggang naga. Namun, dalam
suatu peristiwa naga hitam yang dimilikinya menghilang
7 Film ini merupakan film ketiga dari sekuel pertama yang berjudul
How to Train Your Dragon 1 yang rilis pada tahun 2010 dan sekuel
kedua berjudul How to Train Your Dragon 2 yang rilis pada tahun 2014.
Film ini didasarkan pada novel anak How to Train Your Dragon karya
Cressida Cowell.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 113


sebab dia (sang naga hitam) bertemu dengan pasangannya
naga putih. Ketika sang tokoh berada dalam kesedihan
sebab tidak mampu menghadapi musuh yang kuat tanpa
memiliki tunggangan naga hitam, spirit orang tua muncul
dalam imajinya. Spirit inilah yang menjadi energi si tokoh
untuk mampu mandiri menjadi sosok pria muda yang tidak
hanya mengandalkan kemampuan naga tunggangannya
saja, tetapi ia juga bisa berdiri sendiri tanpa naga tersebut.
Ternyata, apa yang dilakukan oleh sang tokoh itu benar-
benar menjadikan kekuatan buat dirinya sehingga dia
memang menjadi sosok laki-laki yang sebenarnya tanpa
pertolongan dari sang naga pun dia mampu mengatasi
sendiri. Itulah sebuah jiwa kepemimpinan. Mereka, sang
pemimpin, harus mampu mengatasi masalahnya sendiri
terlebih dahulu kemudian mengatasi masalah orang lain.
Tentunya, hal tersebut memang merupakan rumus yang
utama, seseorang yang mampu mengatasi diri sendiri,
secara tidak langsung akan mampu mengatasi masalah
dari anggota ataupun anak buah yang dipimpinnya. Jika
seseorang menjadi pemimpin padahal dirinya tidak mampu
mengatasi masalahnya sendiri, hal tersebut menjadi sebuah
stigma yang kurang bagus. Ibaratnya, ingin memimpin
masyarakat yang jumlahnya banyak dengan harapan
memperbaiki pemerintahan, tetapi dirinya sendiri tidak
mampu dia kendalikan ataupun ditata terlebih dahulu.

114 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Karena itu, sampai muncul istilah sebelum memperbaiki
orang lain, perbaikilah diri sendiri terlebih dahulu. Meskipun
demikian, tidak semua orang melakukan demikian sebab
setiap kehidupan manusia memiliki masalah yang berbeda-
beda, mereka bisa memimpin masyarakat, tetapi tidak
mampu memimpin keluarga. Ada yang mampu memimpin
keluarga, tetapi tidak mampu memimpin masyarakat.
Bahkan, ada yang hanya mampu memimpin diri sendiri.
Tapi, itu masih lebih baik daripada orang yang tidak mampu
untuk memimpin diri sendiri. Artinya, orang tersebut tidak
mampu mengendalikan diri sendiri.

Shadow
Shadow adalah sisi gelap manusia bersumber dari
archetype yang bersifat alamiah, naluriah, dan instinktif
kebinatangan yang berdiam dalam diri manusia melalui
sebuah proses pentransformasian (Jung, 1948) yang sangat
panjang. Karena berkait dengan sisi gelap, Carter & Seifert
(2013) menegaskan bahwa shadow dalam pandangan
Jung –sebagai sebuah archetype-- merupakan sisi terburuk
manusia sebab berkait dengan instinksi purba yang
sebenarnya dalam konteks idea masih sangat jauh dari
konsep tertinggi. Dalam artian, shadow adalah sesuatu
yang negatif yang terdapat dalam diri manusia. Manusia

Psikologi Jungian, Film, Sastra 115


yang mengikuti jalan shadow berarti dia menuju pada
jalan kegelapan. Nelson-Jones (2006) memberikan batasan
bahwa shadow merupakan hasrat instinktif manusia yang
archaik yang tidak lepas dari hasrat kebinatangan.
Shadow sebagai bagian dari archetype yang terdapat
di berbagai wilayah bisa muncul dalam bentuk “iri (envy),
agresi (aggression), serakah (greed), kemalasan (laziness),
dan kecemburuan (jealousy)” (Casement, 2006). Sebagai
sebuah archetype, shadow memang lebih banyak mengarah
pada hal yang cenderung berorientasi negatif yang
mendorong manusia sebagai pemilik archetype tersebut
untuk melakukan tindakan yang negatif pula. Namun,
kecenderungan yang masih orientatif tersebut tidak
sepenuhnya menunjukkan bahwa shadow mengarah pada
hal yang negatif. Jika energi shadow sebagai archetype itu
mampu diarahkan pada energi yang positif, shadow akan
melahirkan hal yang positif pula.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, shadow
sebagai sebuah archetype dianggap sebagai sesuatu
yang melanggar etika. Hal ini berlandaskan pada fakta
jika shadow tersebut mengarah pada energi yang negatif
sehingga dalam hal ini, shadow yang (1) mengarahkan energi
yang ke luar diri dan (2) mengarahkan energi ke dalam diri
akan memberikan dampak yang merugikan bagi individu
ataupun kolektif. Seseorang yang sangat kuat ditopang

116 Psikologi Jungian, Film, Sastra


oleh archetype shadow akan cenderung mendrobrak
tatanan etika yang terdapat dalam masyarakat sebab dia
lebih mengedepankan energi shadow-nya sebagai energi
yang kuat dalam diri yang mendorongnya untuk melakukan
pikiran dan tindakan yang mengarah pada filosofi estetis
saja, bukan etis, ataupun spiritualistis.
Simbol archetype yang berkait dengan shadow muncul
dalam manifestasi ular, monster, iblis, ataupun penjahat.
Jika dihubungkaitkan dengan simbolisme dalam mimpi,
seseorang yang memimpikan shadow yang mengarah
pada sisi gelap dan sisi kejahatan, sebenarnya hal tersebut
merupakan representasi dari dirinya sendiri. Si pemimpi
yang memimpikan mimpi simbolik tersebut sedang
bertarung dengan shadow yang terdapat dalam dirinya
sendiri. Pertarungan antara shadow dengan tokoh pahlawan
merupakan sebuah pergulatan diri untuk menerapi secara
individual diri sendiri agar bisa menjadi lebih baik.
Jung (1959) menunjukkan bahwa archetype tentang
shadow adalah archetype yang merupakan elemen yang
bersifat negatif yang terdapat dalam alam ketidaksadaran
kolektif. Shadow sebagai archetype pada akhirnya
merupakan elemen yang merugikan bagi manusia sebab
archetype tersebut merupakan bayang-bayang kegelapan.
Bayang-bayang yang memiliki dan memunculkan energi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 117


nonpositif dalam kepribadian manusia. Namun, dalam
konteks dialektikal, archetype shadow juga dibutuhkan
dalam kaitannya dengan penyeimbang archetype lainnya.

Penipu
Archetype penipu bisa ditemukan dalam mitologi dan
cerita rakyat (Jung, 1953). Archetype penipu banyak
muncul dalam mitologi dan cerita rakyat sebab penipu
merupakan karakter yang berada di antara dua oposisi,
yakni tokoh yang baik dan tokoh yang buruk. Penipu yang
muncul dalam mitologi merupakan keseimbangan dalam
sebuah mitologi. Begitu juga dalam kehidupan, penipu juga
muncul di antara kebaikan dan keburukan. Penipu pada
suatu ketika akan berwajah baik sebab dia menginginkan
sesuatu dan penipu akan berwajah buruk sebab dia juga
menginginkan sesuatu. Dalam Mahabaratha, sosok yang
menjadi penipu –dalam konteks antropologi stukturalnya
Levi-Strauss hal itu disebut dengan tokoh liminal sebab
dia berada di tengah, tetapi dia adalah sosok yang bukan
menjadi mediator, tetapi provokator. Tokoh jenis ini diwakili
oleh Sengkuni –sosok yang menimbulkan prahara antara
keluarga Kurawa dan keluarga Pandawa yang pada akhirnya
menyebabkan terjadinya peperangan di antara keluarga
besar tersebut. Pada akhirnya juga, Sengkuni sebagai sosok
penipu akhirnya mati di tangan Pandawa.

118 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Munculnya karakter penipu dalam mitologi, sastra,
ataupun dalam cerita rakyat sebenarnya tidak lepas dari
diri manusia. Sebagai individu, manusia juga memiliki
instink penipu. Dalam konteks ini, modulasi yang aneh
dan memang muncul dalam mitologi yang sebenarnya
merupakan representasi jati diri manusia purba dan/
atau manusia modern. Dalam kehidupan real, manusia
juga memiliki sifat sebagai penipu. Munculnya sifat
penipu tersebut disebabkan oleh faktor berikut. Pertama,
keinginan untuk menjadi pejabat/penguasa. Seseorang
yang menginginkan kekuasaan –dalam hal ini konteks
yang negatif—akan melakukan orientasi destruktif. Ia
akan menjadi manusia penipu sebab dia ingin menjadi
penguasa dengan melakukan berbagai cara. Jika seseorang
melakukan penipuan tersebut ia berharap bisa menjadi
penguasa. Meskipun belum tentu orang tersebut bisa
menjadi penguasa karena kemampuan menipunya. Kedua,
seseorang yang terpepet. Ketika seseorang dalam kondisi
terpepet, ia akan cenderung melakukan penipuan –dalam
konteks ini penipuan yang dijadikan landasan utama
adalah penipuan demi kepentingan pribadi, bukan untuk
kepentingan orang banyak. Diakui atau tidak, seseorang
yang terpepet dalam suatu masalah, akan cenderung
mengeluarkan mekanisme pertahanan diri dengan harapan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 119


mampu menjaga dirinya dari ‘muka’ yang dipermalukan
ataupun dirugikan. Ketiga, penipu yang muncul karena
keadaan. Ada seorang penipu yang menjadi penipu karena
keadaan lingkungan yang terdapat dis sekitarnya, mulanya
ia adalah orang yang baik-baik saja, tetapi karena lingkungan
yang membentuk dirinya, akhirnya dia menjadi seorang
penipu. Keempat, penipu yang memang jejak masa lalunya
adalah penipu. Dalam pandangan Freudian yang mengarah
pada determinisme. Orang-orang yang kehidupan masa
lalunya buruk, kehidupan masa sekarangnya tidak jauh
beda dengan hal tersebut.
Dalam konteks perfilman juga demikian adanya,
tokoh penipu akan selalu dimunculkan sebagai penguat
film. Dalam film kategori pembunuhan, misteri, ataupun
detektif, sosok penipu sangat dibutuhkan untuk menarik
dan menguatkan jalannya cerita dalam film tersebut. Jika
tidak ada penipu, film tersebut kurang kuat sebab tanpa
adanya penipu film menjadi hambar dan kurang estetis.
Di tambah lagi, jika ternyata sosok yang penipu tersebut
sebenarnya bukanlah penipu pada awalnya. Namun, dalam
perjalanan, tokoh tersebut menjadi penipu. Hal tersebut
tentu akan menggiring penonton untuk semakin menikmati
film tersebut.

120 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Persona
Persona adalah wajah seseorang yang dimunculkan
dalam konteks publik/umum (Douglas, 2010). Secara
harafiah, persona dikaitkan dengan topeng. Seorang manusia
sebagai sosok individual akan menggunakan topeng dalam
kehidupan keseharian yang berkait dengan masyarakat.
Melalui topeng yang digunakan, seseorang bisa menutupi
dirinya agar diri yang asli tidak terlihat dalam kehidupan
bermasyarakat. Seseorang yang tidak menggunakan
topeng sama sekali dalam kehidupan bermasyarakat juga
tidak sepenuhnya benar sebab dia membuka apa saja yang
berkait dengan dirinya sebab tidak semuanya harus dibuka
dalam kaitannya dengan masalah privasi kehidupan. Dengan
demikian, persona dalam diri manusia yang sebenarnya
merupakan salah satu representasi ketidaksadaran individual
dan ketidaksadaran kolektif memiliki sisi elemen positif dan
juga sisi elemen yang negatif.
Persona dalam konteks psikologi Jungian berkait
dengan muka seseorang dalam hal ini secara spesifik
mengarah pada muka psikologis. Seseorang yang
menggunakan muka baik di konteks publik merupakan
muka publik yang diketahui oleh masyarakat. Adapun muka
pribadi tidak dimunculkan. Tentunya, dalam hal ini muka
pribadi tidak dimunculkan dalam konteks publik sebab yang
ditakutkan adalah mukanya akan tercemar oleh hal yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 121


bersifat sensitif. Kesensitifan dalam tiap budaya memiliki
etika yang berbeda-beda dengan demikian, kesensitifan di
negara barat akan berbeda dengan masalah kesensitifan
yang berada di negara timur. Tentunya, hal tersebut
merupakan sesuatu yang lumrah sebab setiap budaya
memiliki tradisi dan kepercayaan yang berbeda-beda.

Studi-studi tentang Archetype: Dulu dan Sekarang


Teori tentang archetype merupakan teori yang banyak
digunakan oleh para peneliti bidang psikologi, terutama
yang menjadi penganut psikologi Jungian. Penelitian ten-
tang archetype yang menggunakan perspektif Jungian
masuk dalam ranah sastra, budaya, dan agama. Berikut
peneliti yang menggunakan perspektif archetype.
Khenu (2013) meneliti musik dan agama yang dikaitkan
dengan rasa dan sensibilitas jiwa manusia. Khenu menun-
jukkan bahwa musik dan agama sebenarnya memiliki
keberkaitan. Ia menunjukkan bahwa dalam musik dan
agama zaman dahulu dan zaman sekarang memiliki pola
archetypes yang sama sehingga hal tersebut menunjukkan
bahwa dalam konteks primordial psike tidak ada perubahan
yang esensial sebab pada dasarnya alam berpikir manusia
memiliki kemiripan. Hanya saja, kemiripan tersebut akan
memiliki perbedaan dalam kaitannya dengan masalah
derajat kewaktuan.

122 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Jacoby (2006) menelaah hasrat kerinduan pada surga
dalam kaitannya dengan orang-orang yang hidup di
dunia. Dalam hal ini, tentunya merupakan impian semua
orang (terutama orang-orang yang menganut agama)
untuk bisa masuk dalam surga yang dirindukan. Mereka
sangat merindukan surga sebab surga adalah tempat yang
paling indah dan merupakan tujuan akhir dari kehidupan
manusia. Studi ini merupakan studi psikologi, filsafat, religi,
dan antropologi sebab mengaji wilayah manusia dalam
kaitannya dengan surga. Jacoby menunjukkan bahwa di
kitab suci (Bible) ditunjukkan surga yang dirindukan oleh
manusia. Surga inilah yang dianggap sebagai archetype
dalam konteks religiusitas.
Sebenarnya, dalam konteks agama besar dunia, surga
memang benar-benar dirindukan. Karena itu, banyak
manusia yang berlomba-lomba untuk menuju ke surga
tersebut. Manusia yang religius dan agamis akan berusaha
menjauhi larangan Tuhan dan melaksanakan perintahnya.
Hal itu merupakan sebuah bukti sebagai seorang manusia
yang agamis. Meskipun demikian, belum menjadi suatu
ukuran bahwa seseorang yang agamis akan masuk surga
dengan mudah sebab bisa jadi dia menjadi agamis karena
sebatas kulit saja. Tidak hanya itu, orang-orang yang
agamanya biasa-biasa saja juga merindukan surga sebab
surga merupakan milik bersama bukan miliki perseorangan.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 123


Adapun neraka merupakan hal yang tidak dimimpikan oleh
semua orang sebab manusia memang merindukan surga,
bukan merindukan neraka.
Studi archetype memang bukanlah menjadi klaim
bagi psikologi Jungian saja, melainkan bagi masyarakat
pecinta riset dalam konteks yang lain. Karena itu, kajian-
kajian dalam konteks antropologi juga bisa menggunakan
archetype dalam kaitannya dengan budaya. pemahaman
ini juga tidak lepas dari studi masa kini yang berhubungan
dengan rekoneksi dalam ilmu pengetahuan. Saat ini,
ilmu pengetahuan bersanding dengan ilmu pengetahuan
yang lain dalam rangka mengatasi masalah kompleksitas
kehidupan dan menjawab tantangan global yang semakin
lama semakin kompleks. Ilmu pengetahuan sebagai ujung
tombak untuk memecahkan masalah dalam kehidupan
memang harus mampu bertransformasi dan berkawin
silang dengan ilmu pengetahuan yang lain agar kuat dalam
menghasilkan temuan yang lebih jenis dan benar-benar
genuine yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia, bukan
masyarakat lokal. Karena itu, psikologi Jungian dalam
kaitannya dengan archetype bisa dikoneksikan dengan
teori-teori yang lain sebagai bentuk dari tranformasi ilmu
pengetahuan yang saat ini sedang ramai memperbincangkan
studi interdisipliner, multidisipliner, dan trandisipliner.

124 Psikologi Jungian, Film, Sastra


4
ANIMA/ANIMUS

D alam psikologi Jungian terdapat istilah yang


bersinggungan, yakni anima yang berkait dengan jiwa
(soul) dan anima yang berkait dengan archetype manusia.
Secara historis, istilah anima berasal dari bahasa Latin yang
bermakna jiwa, kehidupan. Anima dalam konteks ini sebagai
jiwa merupakan sesuatu yang murni dan numinous. Karena
itu, “anima inter bona et mala sita”(soul placed between
good and evil) (Jung, 1963:6). Anima memang berdiri di
antara keduanya, good dan evil sebab untuk menjadi jiwa
yang baik manusia berarti memiliki jiwa kategori malaikat
yang bersih dan suci. Adapun untuk menjadi manusia yang
berjiwa jahat, mereka bisa menjadi setan yang memiliki

Psikologi Jungian, Film, Sastra 125


karakter jahat dan merusak. Manusia memang bukan
keduanya, sebab malaikat dan setan merupakan sebuah
sisi ekstrim yang sama-sama memiliki karakter penguat
dalam konteks sebagai sang perusak dan sang pembangun,
konstruktif dan destruktif.
Manusia yang memiliki karakter jahat, mereka akan
dianggap seperti setan, sedangkan manusia yang memiliki
karakter baik akan dianggap seperti malaikat. Namun, yang
lebih baik adalah manusia yang bisa menyeimbangkan
keduanya sebab manusia memang bukanlah keduanya.
Manusia adalah makhluk yang memiliki keunikan yang luar
biasa dibandingkan makhluk Tuhan yang lainnya. Tentunya,
inilah yang dianggap sebagai anugerah manusia sebagai
makhluk yang memiliki anima (jiwa) yang bisa digunakan
untuk memahami dan mengenali manusia yang lain di muka
bumi ini.
Anima dalam diri manusia berkiblat pada alam sebab
alam sudah menawarkan segalanya berkait dengan oposisi.
Terbentuknya oposisi tersebut muncul mulai sejak zaman
dahulu kala dan tidak diketahui secara pasti kapan awal
munculnya dalam kehidupan sejarah manusia. Melalui
oposisi inilah alam dan manusia bisa hidup. Jung (1963)
menunjukkan secara gamblang bahwa di muka bumi
ini sudah muncul yang namanya oposisi sebagai bentuk
tandingan dalam segala segmentasi kehidupan.

126 Psikologi Jungian, Film, Sastra


for instance the opposites are humidum (moist)/siccum (dry),
frigidum (cold) j calidum (warm), superiora (upper, higher) /
inferiora (lower), spiritus-anima (spirit-soul)/corpus(body),
coelum (heaven) / terra (earth), ignis (fire) / aqua (water),
bright/dark, agens (active)/patiens (passive), volatile
(volatile, gaseous)/fixum (solid), pretiosum (precious, costly;
also carum, dear) / vile (cheap, common), bonum (good)/
malum (evil), manifestum (open) / occultum (occult; also
celatum, hidden), oriens (East) J occidens (West), vivum
(living) / mortuum (dead, inert), masculus (masculine) /
foemina (feminine), Sol /Luna.
(Jung, 1963:3).

Melalui kutipan tersebut Jung ingin menunjukkan


bahwa oposisi tersebut dipetik dari alam. Artinya, alam
sebagai sebuah makrokosmos sudah menyediakan bentuk
oposisi sebagai manifestasi dari archetype. Alam tempat
manusia tinggal jika digali sangat banyak memunculkan
opposite. Tentunya, penggalian bentuk-bentuk oposisi
tersebut membutuhkan ketajaman dalam berpikir, waktu,
dan tenaga. Sangatlah berat jika seseorang ingin menggali
tentang oposisi yang terdapat di alam semesta tanpa
melakukan studi eksperimentasi, perenungan, inkubasi,
dan juga verifikasi. Untuk itu, orang-orang yang konsern
ke wilayah tersebut sangat jarang dengan alasan studi ke
wilayah archetype merupakan studi yang incognito.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 127


Anima ialah elemen perempuan yang terdapat dalam
diri laki-laki, sedangkan animus ialah elemen laki-laki yang
terdapat dalam diri perempuan (Jung, 1961:177). Anima dan
animus dalam konteks psikologi ketidaksadaran merupakan
bagian dari archetype. Anima sebagai elemen perempuan
yang terdapat dalam diri laki-laki bisa digunakan untuk
memahami sisi feminim dalam diri. Melalui pemahaman
yang mendalam tentang sisi feminim dalam diri laki-laki,
laki-laki bisa memahami perempuan melalui bantuan
elemen lain yang terdapat dalam diri. Sebaliknya, ketika
seorang perempuan memahami seorang laki-laki, dia akan
memanfaatkan animus yang terdapat dalam dirinya. Melalui
animus tersebut seorang perempuan bisa memahami laki-laki
melalui sisi maskulinitas yang dimilikinya. Melalui keduanya,
baik anima ataupun animus, psike manusia bisa menjadi
lebih baik sebab mereka bisa mengenali dan mengendalikan
dirinya terkait dengan interaksi dengan individu yang lain.
Istilah anima dan animus ini dikenal juga dengan “the
syzygy, lying in the unconscious” (Casement, 2001:87). Anima
dan animus dalam diri manusia sudah dimiliki sejak dulu
kala. Namun, tidak semua orang menyadari sebab anima
dan animus merupakan pikiran bawah sadar manusia dalam
memahami manusia yang lain. Karena itu, anima dan animus
merupakan proyeksi diri dari diri masing-masing pribadi.
Dengan demikian, seseorang dengan kemampuan animanya
sebenarnya ingin mengenali dirinya sendiri melalui sebuah

128 Psikologi Jungian, Film, Sastra


proyeksi. Jika pemahaman tentang proyeksi tersebut baik, ia
akan mampu menemukan dirinya yang ber-anima ataupun
ber-animus. Melalui penemuan inilah seseorang membawa
dirinya menuju jalan yang lebih baik atas pertolongan dari
anima dan animus yang terdapat dalam diri masing-masing
individu. Tentunya, seorang manusia yang tersadarkan
dengan anima dan animus yang terdapat dalam dirinya, dia
akan berusaha untuk memperbaiki dirinya. Namun, ada juga
seseorang yang sudah menemukan dirinya dan memahami
dirinya, tetapi tidak mau mengubah dirinya sehingga hal
tersebut mengakibatkan tidak terjadinya transformasi pada
diri. Sebenarnya, orang yang sudah bisa memahami dirinya
dengan anima dan animus yang berada dalam dirinya, sudah
tentu akan membuat mereka lebih mudah untuk memahami
dan mengenali orang lain sehingga mereka tidak melakukan
hal yang melanggar etika ataupun secara psikologis tidak
membawa perkembangan yang positif untuk diri sendiri.
Pandangan Jung tentang anima dan animus jika
ditelusuri lebih dalam memiliki relevansi dengan dunia
spiritualitas. Anima dan animus merupakan dualitas dalam
satu diri manusia, baik manusia yang memurba ataupun
manusia modern. Pria dengan elemen animusnya dan wanita
dengan elemen animanya akan berusaha menjadi pribadi
yang lebih memahami diri sendiri dan diri orang lain. Ia lebih
banyak mengambil konteks spiritualitas yang dikaitkan
dengan anima dan animus sebab Jung memang lebih banyak

Psikologi Jungian, Film, Sastra 129


mempelajari dunia spiritualitas ketika dia masih kecil dan hal
itu terus dikembangkannya hingga dia dewasa.
Dalam spiritualisme Budhisme, sosok Quan Yin bisa
direpresentasikan dan dimanifestasikan dalam wujud
perempuan ataupun bisa bermanifestasi menjadi pria.
Dalam konteks ini, Quan Yin bisa melampaui apa yang
terdapat dalam kontruksi psikologis manusia. Ia adalah sosok
yang bisa melahirkan anima dan animus. Karena itu, dalam
pandangan masyarakat yang menganut Quan Yin, mereka
tidak menggunakan istilah perempuan atau laki-laki ataupun
dewa atau dewi dalam penyebutan untuk Quan Yin.

Gambar 8: Quan Yin di kuil Buddhisme, Tiongkok


(Sumber: Dokumentasi Anas Ahmadi)

130 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Dalam beberapa mitologi, Quan Yin dikisahkan
sebagai sosok perempuan yang bisa menjadi dewi. Namun,
dalam manifestasinya sebagai seorang dewi, Quan Yin
juga bisa mengalami bertransformasi wujud menjadi pria
(Idema, 2008; Levine, 2013). Hal tersebut menunjukkan
bahwa sebenarnya dalam ranah spiritualisme pada masa
lampau manusia sudah mengenal dan memahami anima
dan animus. Hanya saja, dalam pengenalan terhadap
anima dan animus tersebut manusia pada masa lampu
belum banyak memikirkan apa yang mereka ‘tindakkan’
dalam simbolisme-simbolisme yang berkait dengan
ketidaksadaran kolektif. Dalam pandangan orang-orang
yang menganut agama Budha, sosok Quan Yin merupakan
sosok Dewi yang memang bisa berantromorf menjadi
dewa. Hal itu menunjukkan bahwa Quan Yin memiliki
kekuatan yang luar biasa. Masyarakat pada masa primitif
memang sudah menemukan dan memahami apa itu
simbolisme dan mereka banyak membuat karya yang di
dalamnya mengandung simbol-simbol tertentu. Dalam
hal ini, simbol-simbol pada masa lalu masih sederhana
sebab berkait dengan pengetahuan masa lalu yang
juga masih sederhana. Meskipun demikian, simbol-
simbol sederhana pada masa lalu sampai sekarang pun
simbolisme tersebut masih ada dan muncul di kehidupan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 131


manusia modern. Manusia pada masa lalu dengan manusia
pada masa sekarang memiliki keberbedaan derajat dan
waktu dalam memikirkan dan menafsirkan simbolisme.
Hal tersebutlah yang menciptakan keberbedaan dalam
masalah pemaknaan simbolisme.
Yin dan yang juga menjadi simbol purba yang archaik
dalam kaitannya dengan hitam dan putih. Yin dan yang
disimbolkan warna hitam dan warna putih dalam satu
lingkaran. Keduanya, baik hitam dan putih memiliki batas
tegas, tetapi batas tersebut akan melebur menjadi satu
sebagai bentuk keseimbangan. Karena itu, dalam anima
dan animusnya-Jung, keduanya, sama-sama muncul dalam
bentuk yang berbeda untuk memunculkan keseimbangan
alam psike manusia. alam psike manusia tersebut sangatlah
purba, tetapi dalam kepurbaan tersebut bisa ditarik hal yang
paling archaik yakni yin dan yang, konsep pertemuan hitam
dan putih. Simbol yin dan yang merupakan simbol archaik
yang bisa digunakan manusia untuk membangkitkan
energi positif dan kreatif yang terdapat dalam diri mereka.
Sampai saat ini pun, simbol yin dan yang banyak dipercayai
dan digunakan oleh masyarakat modern sebagai sebuah
simbol kekuatan dan keseimbangan. Simbol yin dan yang
tersebut bisa digunakan dan dimunculkan dalam bentuk
seni, gambar, desain, ataupun dalam bentuk puisi.

132 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Gambar: Yin dan yang
(Sumber: Karya Ardiansyah Putra Annur [2019])

Anima dan animus tidak hanya termanifestasikan


dalam spiritualisme saja. Munculnya anima dan animus
bisa termanifestasikan melalui mimpi. Sebagai bentuk
pemenuhan pulsi ketidaksadaran kolektif, mimpi menawar-
kan ‘jalan’ bagi manusia untuk memahami dirinya. Dalam hal
ini, muncullah anima dan animus yang merupakan elemen

Psikologi Jungian, Film, Sastra 133


pembantu untuk merampungkan masalah psike yang belum
ataupun kurang terpecahkan dalam dunia realitas. Lebih
jauh, Kas (2006:65) menandaskan bahwa anima dan animus
memiliki fungsi untuk “vitality, creativity, and flexibility”.
Tidak hanya itu, anima dan animus juga merupakan
konektivitas antara psike dan alam ketidaksadaran.
Anima dan animus merupakan bagian kecil dari
archetype yang terdapat dalam alam ketidasadaran
kolektif. Sama seperti halnya archetype yang lainnya, anima
dan animus tidak lepas dari ciri elemen yang memurba dan
bersifat archaik. Pada masa lampau, manusia sebenarnya
sudah memahami anima dan animus dalam diri mereka,
sebagai bentuk dari alam ketidaksadaran. Namun, pemaha-
man tentang simbolisme dalam anima dan animus manusia
pada zaman lampau terkadang masih terlewatkan. Pada
masa lampu manusia lebih cenderung mengandalkan
konteks kefisikan. Artinya, manusia lebih mengedepankan
tindakan-tindakan yang bersifat spiritual ataupun nonspiri-
tual. Adapun pemahaman tentang simbolisme-simbolisme
yang arkhaik masih kurang diperhatikan pada masa lampau.
Jung (1961) secara eksplisit mencontohkan bahwa
anima dan animus juga bisa muncul dalam konteks perfilman
dan juga dalam konteks sastra. Secara sadar ataupun tidak
sadar, tokoh dalam film dan sastra memunculkan anima

134 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dan animusnya. Dalam konteks film, Jung merujuk (salah
satunya) film Ugetsu Monogatari (1953)8. Film kategori
fantasi romantik dan kisah hantu tersebut mengisahkan
tokoh Genjuro yang bertemu dengan perempuan hantu.
Berkait dengan konteks anima, film tersebut memunculkan
sisi anima yang bersifat destruktif. Sisi kedestruktifan
tersebut disebabkan oleh karakter jahat yang muncul
dalam diri tokoh perempuan yang berusaha memengaruhi
(secara psikologis ke arah yang nonetik) tokoh utama.
Dalam kaitannya dengan sastra, Jung memunculkan
Madame Bovary (1856)9 karya Gustave Flaubert. Dalam
novel tersebut, Jung menunjukkan bahwa ada anima
proyektif yang muncul dalam diri tokoh perempuan. Tokoh
perempuan dalam novel tersebut dimanifestasikan sebagai
sosok perempuan yang memiliki hasrat seksual yang tinggi
sehingga dia menyukai banyak laki-laki.
Jung sebagai seorang psikolog ternyata tidak hanya
mengamati dunia perilaku saja, melainkan dia juga
mengamati dan mempelajari dunia perfilman. Untuk itu,
Jung menggunakan film sebagai bentuk konkretisasi dari
8 Film Ugetsu Monogatari (1953) diangkat dari dongeng Jepang yang
ditulis oleh Akira Ueda yang terbit kali pertama tahun 1776 dengan
judul yang sama Ugetsu Monogatari. Film ini mengisahkan perjalanan
hidup seorang pria yang sudah berkeluarga. Dalam perjalanan
hidupnya, dia hantui oleh seorang perempuan hantu.
9 Novel Madame Bovary (1856) karya Gustave Flaubert pernah diangkat
perfilman dengan judul yang sama Madame Bovary (2014).

Psikologi Jungian, Film, Sastra 135


perilaku manusia yang muncul dalam kehidupan keseharian.
Memang, film tidak bisa merepresentasikan kehidupan
secara utuh. Namun, film merupakan manifestasi dari
imaji manusia yang dikonretisasikan melalui sebuah ide
kreatif yang berbentuk film. Di dalamnya, sejauh-jauhnya
seorang scriptor berlari menjauh, tetapi saja napas
ketidaksadarannya muncul dalam film tersebut dalam
bentuk mekanisme pertahanan ego.
Dalam kaitannya dengan masalah anima dan animus,
seorang pria dilahirkan ke muka bumi ini tidak hanya
memiliki sisi maskulinitas saja dalam kehidupannya, tetapi
dia juga memiliki sisi feminitas (Karaban, 1992:39). Begitu
juga dengan perempuan, mereka dilahirkan di muka bumi
ini tidak hanya memiliki sisi feminitas saja, melainkan dia
juga memiliki sisi maskulinitas. Pandangan Jung tentang
anima dan animus ini sebenarnya memiliki pertalian dengan
pandangan Lévi-Strauss10 (1963) tentang oposisi biner.
Dalam pandangan Lévi-Strauss, segala sesuatu di dunia
memiliki elemen-elemen yang bersifat oposisi biner (saling
bertolak belakang), baik diadik, triadik, kwardik, ataupun

10 Levi-Strauss merupakan antropolog yang dikenal dengan konsep


oposisi biner dalam memahami konteks budaya suatu masyarakat.
Dalam pandangan Levi-Strauss, suku, desa, ataupun masyarakat
memiliki oposisi, baik oposisi kategori mutlak ataupun oposisi
kategori biasa. Untuk memahami oposisi tersebut seorang peneliti
harus mampu membongkar simbol yang terdapat di masyarakat.

136 Psikologi Jungian, Film, Sastra


pentadik. Oposisi biner tersebut bisa berkembang semakin
banyak seiring dengan kemampuan interpretasi manusia
dalam memahami simbol-simbol yang dimunculkan oleh
alam. Sebagai kesatuan yang makrokosmos, simbol-simbol
alam sangat banyak dan berserak sehingga dibutuhkan
pemahaman dan pembongkaran terhadap simbol-simbol
tersebut. Manusia yang kemampuan interpretatifnya
bagus, akan bagus pula dalam menafsirkan simbol-simbol
yang terdapat di alam raya ini.
Oposisi biner yang muncul di dalam sebuah budaya
yang terdapat dalam suatu masyarakat sebenarnya tidak
lepas dari ketidaksadaran manusia. Secara tidak sadar,
manusia hidup berdampingan dengan oposisi dan oposisi
biner tersebut jika dihubungkaitkan dengan perspektif
Jungian tidaklah lepas dari konteks archetype. Manusia tidak
tahu asal-muasal munculnya oposisi biner yang bersifat
diadik, triadik, kwardik, dan pentadik. Dalam konteks yang
spiritual, munculnya oposisi tersebut merupakan archetype
yang ‘prime’ yang bersifat keilahian. Dengan demikian,
munculnya oposisi yang paling dasar sebenarnya tidak
lepas dari konteks agama. Pemikiran Jung yang demikian
kuatnya dalam psikologi dan agama tersebut akhirnya
memunculkan warna baru bahwa psikologi dan agama
sebenarnya bertalian sebab keduanya memang tidak bisa

Psikologi Jungian, Film, Sastra 137


dipisahkan. Psikologi yang berbicara tentang perilaku dan
agama yang berbicara juga tentang perilaku manusia yang
ber-Tuhan.
Pada tataran yang lebih rendah, opisisi biner ditemukan
dalam jumlah yang rendah pula. Adapun pada tataran yang
lebih tinggi, oposisi biner juga ditemukan dalam bentuk
yang lebih tinggi pula. Temuan tentang oposisi biner yang
mendalam atau tidak dalam konteks antropologi sangat
tergantung kepada peneliti sebagai eksekutor dalam
menginterpretasi data-data yang berkait dengan ke-
antropologi-an. Elemen yang oposisi biner (baik dalam
bidang antropologi antaupun psikologi) tersebut memang
secara alamiah ada di dunia sebagai suatu elemen yang
saling menguatkan. Dalam konteks kemasalaluan, untuk
tingkatan dewa pun ternyata juga memunculkan oposisi
biner sebagai penyeimbang. Dewa langit beroposisi
dengan dewa bumi, dewa air akan beroposisi dengan
dewa api, dewi beroposisi dengan dewa. Kesemua opisisi
tersebut memang akan selalu bergesekan sehingga bisa
menghasilkan mediasi dalam kehidupan. Mediasi kehidupan
inilah yang dibutuhkan manusia agar mereka bisa langgeng
dalam kehidupan di muka bumi ini.
Pandangan Lévi-Strauss tersebut banyak memengaruhi
bidang yang lain, misalnya psikologi dan sastra. Dalam

138 Psikologi Jungian, Film, Sastra


konteks psikologi, tampaknya Jung adalah sosok yang
memang menyukai dan ia juga terpengaruh oleh pemikiran
Lévi-Strauss dalain kaitannya dengan elemen oposisi
biner. Memang, keduanya, baik Jung ataupun Lévi-Strauss
memiliki pemikiran yang hampir sama dalam kaitannya
dengan masalah ketidaksadaran kolektif. Jung lebih
mengarahkan pada ketidaksadaran kolektif dalam konteks
psikologis, sedangkan Lévi-Strauss lebih mengarahkan
pada ketidaksadaran kolektif dalam konteks antropologis.
Ia meneliti budaya masyarakat pedesaan yang memiliki
oposisi dengan masyarakat pedesaan yang lainnya. Begitu
juga dengan kondisi geografis. Lévi-Strauss menguatkan
bahwa kondisi geografis dalam suatu masyarakat tertentu
memiliki oposisi biner. Karena itu, ada letak geografis
yang di pegunungan, di pebukitan, di lereng, di darat, dan
di tepian pantai, dan di laut. Hal tersebut menunjukkan
keberbedaan yang disebut dengan oposisi dalam kaitannya
dengan budaya suatu masyarakat tertentu.
Tipikal anima bisa muncul dalam bentuk elemen ibu,
cinta, istri (Jamalinesari, 2015) ataupun yang memiliki
kemiripan dengan elemen keibuan tersebut. Anima tersebut
muncul dan beriringan dengan animus sebagai bentuk
penyeimbangnya. Munculnya anima tersebut bisa dalam
bentuk karakterisasi yang kontruktif maupun karakteristik

Psikologi Jungian, Film, Sastra 139


yang destruktif. Keduanya, sebenarnya muncul untuk saling
mengisi dan saling menguatkan sebagai bentuk dari adanya
keseimbangan alam. Dalam konteks keseimbangan,
memang dibutuhkan adanya sisi gelap dan sisi terang untuk
memunculkan ‘kesejajaran’ dalam kehidupan. Keduanya,
tidak akan bermakna jika tidak ada lawannya. Kegelapan
tidak akan bermakna kegelapan jika tidak ada terang.
Sebaliknya, terang juga tidak akan menjadi hal yang terang
jika tidak ada kegelapan. Kesemuanya memang saling
membutuhkan untuk saling memberikan pengaruh dan
memengaruhi dan saling memberikan kontribusi.

140 Psikologi Jungian, Film, Sastra


5
EKSTROVERT/INTROVERT

S ejak zaman dahulu kala, manusia sudah berusaha


membagi dan mencari karakteristik manusia melalui
perspektif filsafat ataupun psikologi. Manusia dengan
hasrat yang instinktif dalam kaitannya dengan diri (self)
tidak pernah berhenti untuk digali dan ditemukan. Manusia
selalu mencari dirinya dalam kesejatian yang sejati-
sejatinya. Manusia berusaha memahami siapa dirinya yang
sebenarnya. Untuk itu, berbagai eksperimentasi, metode,
dan pengalaman-pengalaman diperas dan diekstraksikan
untuk menemukan kesejatian. Manusia memang sosok
makhluk yang kata Sartre (2002) sebagai sosok yang “etre-
pour-soi”, manusia yang mengada di muka bumi sehingga

Psikologi Jungian, Film, Sastra 141


manusia tidak akan pernah berhenti mencari dirinya.
Manusia akan selalu berusaha menemukan dirinya dan
tidak akan pernah puas dengan dirinya. Jika manusia puas
dengan dirinya, dia hanya sebatas “etre-en-soi”, manusia
yang hanya mengandalkan ke-ada-annya saja dan tidak
ingin melakukan pencarian dalam rangka menemukan jati
diri yang sejati.
Dalam kaitannya dengan karakterisasi kepribadian,
pada masa lalu, ada nama besar yang turut menyumbangkan
penggolongan dalam psikologi, misalnya (1) Galen yang
memunculkan empat tipe manusia: sanguine, phlegmatic,
choleric, dan melancholic; (2) Hippocrates yang memun-
culkan tipe manusia: air, water, fire, dan earth (Jung, 1921).
Pemikiran para pendahulu tersebut menginspirasi Jung
dalam memunculkan tipe kepribadian. Dalam konteks tipe
kepribadian, Jung sebenarnya mengaca pada dirinya sendiri
yang pada mulanya dia merasa adalah sosok introvert.
Keintrovertannya tersebut dia rasakan ketika dia masih usia
kanak-kanak. Bertolak dari hal itulah, Jung sedikit-demi
sedikit menguatkan tipe kepribadian dalam psikologi.
Pemikiran tentang tipe kepribadian sebelum Jung, pada
masa Jung, dan masa pasca-Jung juga muncul beberapa.
Namun, dalam konteks psikologi kepribadian, karakter tipe
kepribadian ekstrovert dan introvert yang dimunculkan

142 Psikologi Jungian, Film, Sastra


oleh Jung sangat dikenal bahkan sampai digunakan sebagai
alat tes untuk masuk dalam perusahaan/akademik. Hal itu
menunjukkan bahwa tipe kepribadian yang ditawarkan oleh
Jung merupakan tipe kepribadian yang masih relevan dengan
perkembangan zaman. Namun, dalam perkembangan
zaman yang kekinian tersebut beberapa pandangan Jung
yang terkait dengan studi psikologi memunculkan dua
model, yakni model yang tetap mengikuti pandangan Jung
yang terdahulu sehingga dianggap sebagai psikologi Jungian
klasik dan model yang kedua adalah psikologi Jungian yang
diadaptasi dan mengikuti pandangan pemikiran yang relevan
dengan kesekarangan. Pandangan ini yang disebut dengan
psikologi Jungian modern. Keduanya, memang sama-
sama memiliki alasan pemikiran yang kuat dan filosofis
sehingga keduanya sampai sekarang masih bertahan dengan
kekuatannya masing-masing dan membangun komunitas
dengan sesama pandangan tersebut.
Jung (1921) mengungkapkan bahwa karakter merupa-
kan bentuk dasar manusia. Karakteristik dari tipe kepriba-
dian manusia adalah sesuatu yang sudah melekat dalam diri
sehingga seseorang sulit untuk lepas dari hal itu. Karena itu,
pada zaman dahulu, seseorang yang memiliki karakteristik
pemurung, akan cenderung menjadi pemurung selamanya.
Jika pada suatu ketika dia tidak murung, hal tersebut

Psikologi Jungian, Film, Sastra 143


bukanlah sebuah indikasi bahwa dia sudah lepas dari
karakter murungnya. Itulah yang disebut oleh Jung dengan
sesuatu yang sudah tetap dalam diri manusia. karena itu, ada
sebuah anggapan bahwa seseorang yang memiliki karakter
temperamental akan sulit menjadi karakter yang baik dan
sabar sebab karakter tersebut sudah menjadi bagian dari
dirinya. Begitu juga dengan seseorang yang memiliki karakter
ceria, dia juga akan sulit menjadi karakter pemurung. Jika
sudatu ketika orang yang memiliki karakter ceria tersebut
murung, hal tersebut bukan menjadi sebuah acuan bahwa
dirinya adalah sosok yang murung atau dia berubah menjadi
sosok yang pemurung. Namun, dalam beberapa kasus yang
langka, memang tidak menutup kemungkinan seseorang
yang bertipe pemurung akhirnya berubah menjadi orang
yang bertipe ceria. Hal itu tentunya disebabkan oleh banyak
faktor yang sangat kuat sehingga bisa mengubah karakter
awal yang terdapat dalam diri orang tersebut.
Tipe kepribadian utama dalam pandangan Jung (1921)
ada dua, yakni ekstrovert dan introvert. Tipe orang yang
ekstrovert memiliki ciri mengarahkan energinya keluar diri,
sedangkan introvert mengarahkan energinya ke dalam diri.
Orang yang memiliki kepribadian ekstrovert cenderung
terbuka terhadap lingkungan di sekitarnya, sedangkan orang
yang introvert cenderung tertutup terhadap lingkungan

144 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yang terdapat di sekitarnya. Keduanya, baik ekstrovert
maupun introvert tidak membicarakan kepribadian yang
paling baik ataupun kepribadian yang paling tepat, tetapi
hanya menemukenali karakter orang-orang yang memiliki
keunikan dengan tipikal masing-masing. Dengan demikian,
seseorang yang memiliki tipikal ekstrovert tidak lebih baik
ataupun lebih sukses dibandingkan dengan seseorang yang
memiliki tipikal introvert.
Dalam kaitannya dengan tipe kepribadian, seseorang
yang memiliki tipe kepribadian ganda tidaklah masuk dalam
kategori ekstrovert ataupun introvert. Dalam psikologi,
orang yang memiliki kepribadian ganda tersebut dengan
istilah Dissociative Identity Disorder (DID). Orang yang
dengan tipe DID disebabkan oleh faktor keterpecahbelahan
identitas. Hal itulah yang menyebabkan karakternya
menjadi multipersonality. Film Split (2017) merupakan
film yang mengisahkan seorang laki-laki yang mengalami
12 kepribadian (diperankan oleh Kevin Wendell Crumb).
Ia adalah sosok yang laki-laki yang bisa menjadi karakter
sabar, baik, jahat, dan kejam dalam sepersekian menit.
Karakter seperti ini sangat langka dalam konteks psikologi
sebab orang yang memiliki keterpecahbelahan identitas
memang jarang ditemukan. Karakter yang seperti ini
sangat berbahaya jika tidak tertangani dengan baik sebab

Psikologi Jungian, Film, Sastra 145


dia sebagai sang pelaku terkadang tidak memahami yang
mana dirinya yang sebenarnya sebab dia memiliki banyak
karakter kepribadian.

Gambar 9: Tokoh Kevin Wendell Crumb dengan 12 kepribadian


(Sumber: Film Split, 2017)

Dari kedua sikap yang ekstrovert dan introvert tersebut


Jung memunculkan empat fungsi sebagai penopangnya.
Empat fungsi tersebut, yakni pemikir (thingking), perasa
(feeling), sensasi (sensation), intuisi (intuition) (Jung,
1921). Setiap orang tidak ada yang memiliki kepribadian
tunggal yang kuat dalam kaitannya dengan ekstroversi dan
introversi. Seseorang hanya dominan dengan salah satu
tipe, yakni introvert ataupun ekstrovert. Melalui ekstroversi
dan introversi tersebut seseorang akan dibantu oleh empat
fungsi sikap yakni (thingking), perasa (feeling), sensasi

146 Psikologi Jungian, Film, Sastra


(sensation), intuisi (intuition) yang akan membuat mereka
menjadi manusia yang lebih baik dan seimbang dalam
menjalani kehidupan.
Ekstrovert memiliki tipikal yang berkecenderungan
suka travelling, menyukai orang baru, melihat tempat-
tempat yang baru. Sosok ekstrovert adalah manusia
yang memiliki tipikal petualangan yang unik, khas, dan
menarik. Kehidupannya terbuka dan penuh keramahan.
Adapun introvert adalah sosok yang bertipikal konservatif,
suka memiliki teman yang akrab, memiliki rutinitas,
dan cenderung memiliki kemandirian (Sharp, 1987).
Tipe-tipe tersebut memiliki orientasi yang berbeda dan
kadang skala preferensinya juga berbeda, seseorang yang
ekstrovert terkadang tidak sepenuhnya ekstrovert sebab
dia juga memiliki sisi lain yang berada dalam dirinya. Begitu
juga orang yang bertipe introvert, mereka juga kadang
tidak sepenuhnya berkarakter introvert sebab memiliki sisi
lain yang terdapat dalam dirinya.
Dalam kaitannya dengan masalah kekuasaan, manusia
yang bertipe ekstrovert akan mengarahkan kekuatan
energinya keluar (outwards), sedangkan untuk manusia
yang bertipe introvert akan mengarahkan kekuatan
energinya ke dalam (inwards) (Odajnyk, 2012). Seorang
penguasa yang mengarahkan energinya ke luar, dia akan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 147


cenderung menjadi agresor sebab dia lebih suka melakukan
ekspansi. Kekuatan menghegemoni seorang penguasa yang
ekstrovert juga lebih besar sebab dia memiliki kekuatan
untuk melakukan lobi yang besar pula. Berbeda halnya
dengan seorang penguasa yang mengarahkan energinya ke
dalam, ia akan lebih banyak bekerja dengan menggunakan
energinya untuk mengoptimalkan kekuatan yang terdapat
di dalam. Ia tidak begitu banyak menggunakan energi untuk
menghegemoni anak buahnya.
Jung (1921) mengusulkan bahwa seseorang yang
bertipologi ekstrovert ataupun introvert tidak lepas dari
energi libidonya. Seseorang yang ekstrovert berarti
mengarahkan energi libidonya keluar, sedangkan seseorang
yang introvert mengarahkan energi libidonya ke dalam.
Keduanya, baik tipe ekstrovert dan ekstrovert bukanlah tipe
yang baik ataupun yang buruk, melainkan sebuah tipe yang
berkait dengan karakter yang mengeksplosifkan energi ke
dalam ataupun ke luar. Dalam hubungannya dengan orang
yang mengidap schizoprenia, Jung menunjukkan bahwa
orang yang mengalami halusinasi tampak pula dari karakter
yang melekat pada dirinya. Seseorang yang bertipe
ekstrovert akan memunculkan halusinasi yang berasal dari
luar dirinya, sedangkan seseorang yang bertipe introvert
akan memunculkan halusinasi yang berasal dari dalam

148 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dirinya. Pandangan Jung tersebut rasional sebab dalam
mimpi-mimpi orang-orang yang mengalami schizoprenia,
antara yang ekstrovert dan introvert akan berbeda.
Ekstrovert suka bepergian, bertemu orang baru,
melihat tempat baru. Mereka adalah petualang yang
khas, kehidupan pesta, terbuka dan ramah. Introvert pada
dasarnya konservatif, lebih menyukai lingkungan rumah
yang akrab, masa intim dengan beberapa teman dekat.
Sebagai tambahan, introvert adalah suka dalam rutinitas,
tidak begitu suka dengan kebaruan, dan dapat diprediksi.
Sebaliknya, introvert, yang cenderung lebih mandiri
daripada ekstrovert, mungkin menggambarkan yang
terakhir itu sebagai kegembiraan, sesuatu yang dangkal. Hal
ini menunjukkan bahwa kedua tipe tidak berbicara tentang
masalah konteks benar dan salah dalam diri manusia, tetapi
lebih sebagai elemen yang mendorong dan mengawal
manusia dalam menjalani kehidupan.
Dalam perkembangan kekinian, tipe kepribadian Jung
diadaptasi oleh peneliti yang lain, misal saja Wilde (2011)
yang memunculkan postulat dalam kaitannya dengan tipe
kepribadian ekstrovert dan introvert. Wilde memunculkan
tiga postulat, yakni (1) pembagian ekstroversi dan introversi;
(2) fungsi tipe ekstroversi dan introversi; dan (3) persepsi
dan domain penelitian. Untuk kategori postulat yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 149


pertama, Wilde membagi kategori ekstroversi pada wilayah
kiri dengan karakter: sociable, expressive, groups, listening,
talkative, sedangkan introversi pada sebelah kanan dengan
karakter: reserved, contained, individuals, (i) reading, dan
(i) quiet. Jika divisualisasikan, gambaran tersebut tampak
pada tabel berikut.
Tabel 3: Postulat Tipe Kepribadian Jung
EI1 You are more (e) sociable (i) reserved
EI2 You are more (e) expressive (i) contained
EI3 You prefer (e) groups (i) individuals
EI4 You learn better by: (e) listening (i) reading
EI5 You are more: (e) talkative (i) quiet
Sumber: Wilde (2011) Jung’s Qualitative Personality Theory.
London: Springer.

Postulat yang dimunculkan oleh Wilde tersebut hampir


sama dengan model yang dibuat oleh Myers-Briggs Type
Indicator (MBTI). Meskipun demikian, keduanya memiliki
perbedaan dari segi penggunaan istilah postulat.

Myers-Briggs Type Indicator (MBTI)


Seorang ibu dan seorang anak perempuan -- Katharine
Cook Briggs dan Isabel Myers-- yang mendalami tipe
kpribadian Jung membuat tes kepribadian kepribadian

150 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yang diberi nama Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). Tes
ini merupakan pengembangan dari kepribadian Jung tentang
ekstroversi dan introversi. Sebagai sebuah tes psikologi, tes
ini merupakan tes yang banyak digunakan dalam konteks
perusahaan ataupun untuk menerima pegawai sebab tes MBTI
tersebut lebih mengarah pada memahami karakter atau sikap
seseorang yang berhubungan dengan pekerjaan. Sampai
sejauh ini, memang tes kepribadian dianggap sebagai sebuah
kata kunci dalam memberikan justifikasi seseorang layak atau
tidak diterima sebagai mahasiswa, dosen, pekerja, ataupun naik
jabatan. Padahal, kesemua itu hanyalah sebagian kecil saja dari
pemahaman seseorang terhadap si klien yang dites. Artinya,
alat tes kepribadian hanya menunjukkan sebagian kecil saja
tentang kemampuan seseorang ataupun karakter seseorang.
Jika merujuk pada pandangan Freudian, karakter manusia itu
hanya sebagian kecil yang terlihat, sedangkan bagian besarnya
tidak terlihat sebab berada di alam bawah sadar. Alam bawah
sadar itulah yang paling besar pengaruhnya dalam kehidupan
manusia.
Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) muncul sekitar
tahun 1940-an dan tipe kepribadian tersebut dikembangkan
dan diperbaiki selama bertahun-tahun oleh si pemiliknya
--Katharine Cook Briggs dan Isabel Myers-- sehingga menjadi
tes kepribadian yang lebih kokoh. Dalam perkembangannya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 151


sekarang, Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) telah menjadi
merek dagang terdaftar yang berkait dengan tes psikologi
(Tieger et al., 1992). Hal ini mengindikasikan bahwa
penggunaan tes Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) harus
mendapatkan izin dari pihak yang memiliki merek dagang
tersebut. Meskipun demikian, tes yang menggunakan Myers-
Briggs Type Indicator (MBTI) juga ada yang tidak berbayar –
tersedia secara gratis di website. Hal itulah yang memudahkan
seseorang dalam mengenali kepribadiannya sendiri tanpa
harus datang ke tempat tes kepribadian ataupun merogoh
uang untuk tes kepribadian.
Bidang yang terdapat dalam MBTI ditrainer oleh orang-
orang yang memiliki keahlian di bidang psikologi. Adapun
bidang yang dimunculkan dalam MBTI berkait dengan
ranah berikut
 Sumber daya manusia
 Pengembangan organisasi
 Konsultasi manajemen
 Pembinaan pribadi
 Pengembangan kepemimpinan
 Membangun tim
 Pendidikan dan pembelajaran
 Konseling untuk individu dan keluarga

152 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Gambar 10: Website resmi MBTI
(Sumber: https://mbtitraininginstitute.myersbriggs.org/about-us/)

Sebagai sebuah lembaga psikologi yang memiliki


lisensi untuk tes kepribadian, MBTI termasuk lembaga
yang profesional dan harga untuk tes pun juga kategori
profesional. Lembaga ini banyak digunakan di beberapa
negara besar, di antaranya Amerika dan Eropa. Pada web
resmi MBTI, harga untuk tes MBTI mencapai 2295 USD.
Harga yang dibanderol tersebut terkategorikan harga kelas
premium untuk sebuah tes psikologi. Karena itu, tidak
semua orang yang bersedia ikut untuk tes MBTI sebab harga
tes yang dipatok oleh MBTI sangat mahal jika dibandingkan
dengan tes psikologi yang lain. Namun, MBTI sebagai sebuah
lembaga yang menyelenggarakan tes kepribadian memang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 153


mempunyai kelebihan dalam kaitannya dengan tes masuk
untuk pegawai di sebuah perusahaan dan perusahaan pun
sangat membutuhkan tes tersebut untuk memahami dan
mengenali pegawai.

154 Psikologi Jungian, Film, Sastra


6
SIMBOLISME MIMPI

“ The dream is a natural phenomenon” (Jung, 2006:8).


Pernyataan Jung sejak awal sudah menunjukkan dengan
tegas bahwa mimpi adalah sesuatu yang alamiah. Mimpi
merupakan produksi dari kegiatan ketika manusia tidur.
Dalam tidur, manusia cenderung bermimpi. Bahkan, boleh
dibilang ketika manusia tidur pasti bermimpi. Hanya saja,
mimpi tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda
sehingga kadang mimpi sulit diingat ataupun dipanggil lagi.
Sampai saat ini mimpi masih menjadi misteri bagi sebagaian
orang sebab mimpi memang memliki simbol-simbol yang
terkadang masih belum bisa dipecahkan. Berkait dengan
mimpi, secara umum, dalam kaitannya dengan masalah
ingatan, mimpi terbagi menjadi tiga, yakni sebagai berikut.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 155


Pertama, mimpi yang utuh. Mimpi yang muncul dalam
tidur seseorang dan mimpi tersebut bisa dipanggil secara
utuh. Mimpi kategori ini merupakan mimpi yang mudah
dipahami dan mudah dikenali sehingga sang pemimpi bisa
mengingat mimpi tersebut secara utuh ketika dia sadar
dalam mimpi. Dalam mimpi tersebut sang pemimpi bisa
mengisahkan mulai dari awal mimpi, peristiwa yang terjadi
dalam mimpi dan akhir mimpi. Seorang yang mengalami
mimpi tentang perjalanan ke luar negeri, ia akan ingat
dengan detil kisah perjalanannya, mulai dari dia berangkat
menuju bandara, menggunakan pesawat yang berjenis air
bus dengan merek tertentu. Dalam perjalanan udara pun dia
masih ingat bahwa dirinya bercengkerama dengan seorang
pria tua memberikan informasi tentang negara yang akan
dikunjunginya. Setelah sampai di negara yang dituju, ia pun
juga masih ingat bahwa tiba di negara tersebut pukul 01
dini hari dan dalam kondisi cuaca yang kurang bersahabat.
Hujan dan badai disertai angin kencang. Dengan demikian,
mimpi yang muncul dan mimpi yang dikisahkan oleh sang
pemimpi tersebut dimunculkan secara utuh.
Kedua, mimpi yang fragmentaris. Mimpi ini merupakan
mimpi yang muncul secara utuh dalam tidurnya seseorang.
Namun, mimpi tersebut hanya bisa dikenali dan dipanggil
dalam bentuk parsial. Mimpi ini memang muncul dan

156 Psikologi Jungian, Film, Sastra


hanya dipahami oleh sang pemimpi hanya dalam bentuk
potongan-potongan saja sebab dia (sang pemimpi) tidak
mampu memanggil mimpi tersebut secara utuh. Banyak
faktor yang menyebabkan hilangnya fragmen dalam mimpi
tersebut, salah satu di antaranya adalah berkait dengan
isi cerita tersebut yang terlalu pendek sehingga ketika
dipanggil yang muncul hanya parsial saja dan sang pemimpi
tidak bisa memanggil lagi sebab selain terlalu pendek bisa
jadi mimpi tersebut tertindas oleh pikiran-pikiran yang
lain. Dalam kaitannya dengan mimpi ini, seorang pemimpi
mungkin hanya mampu mengingat bahwa dia sedang
berjalan di sebuah tempat yang sepi dan dia menyendiri.
Namun, untuk mengetahui ada apa dia di tempat yang sepi
itu dan mengapa dia ada disitu tidak bisa dijawab melalui
mimpi tersebut.
Ketiga, mimpi yang tidak bisa dipanggil. Mimpi jenis ini
merupakan mimpi yang benar-benar sedikit sekali sehingga
sulit untuk dipanggil. Potongan mimpi yang terdapat dalam
diri sang pemimpi sangat kecil, tipis, dan tidak bermakna
sehingga sulit untuk dipanggil muncul ke permukaan.
Bahkan, tidak hanya itu, sang pemimpi tidak mampu
mengingat-ingat isi mimpi tersebut. Meskipun, sebenarnya
dia ingat bahwa ia sebenarnya mengalami mimpi dalam
tidurnya. Namun, untuk memanggil mimpi-mimpi tersebut

Psikologi Jungian, Film, Sastra 157


agar muncul ke permukaan sulit dilakukan. Seseorang yang
terbangun dari tidur merasa bahwa dia bermimpi, tetapi dia
tidak mampu memanggil mimpinya. Jika bisa, terkadang
yang muncul hanya mozaik mimpi, misalnya jatuh, jalan,
lari, tetapi mimpi tentang hal itu tidak bisa diperjelas jatuh
di mana dan apa yang menyebabkan kejatuhan tersebut.
Begitu juga dengan jalan, sang pemimpi sulit menunjukkan
dan mengenali di mana posisi jalan tersebut atau dia berjalan
dengan siapa waktu berjalan tersebut dan waktu itu dia
berjalan pada kondisi siang hari, malam hari, atau sore hari.
Pada era modern seperti sekarang ini, manusia
sudah tidak begitu memercayai lagi mimpi. Mereka lebih
mengandalkan keilmiahan dan kelogikaan yang terdapat
dalam diri. Karena itu, manusia modern dianggap sebagai
manusia yang mengandalkan rasionalitas. Manusia yang
menuhankan logika. Namun, dibalik manusia modern
seperti sekarang ini kepercayaan terhadap mimpi masih
kuat dan melekat dalam diri manusia modern, tetapi cara
berpikir mereka masih kategori awam. Makna awam
di sini adalah cara berpikir tentang mimpi yang masih
kategori awan. Mereka adalah manusia modern yang masih
memercayai mistisisme, spiritualisme, dan dukunisme.
Dengan demikian, mereka masih memercayai ritual-ritual
yang dilakukan oleh para spiritual, mistisis, ataupun dukun.

158 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Dalam pandangan mereka, para spiritual, dukun, ataupun
cenayang adalah sosok yang masih mampu melihat mimpi
dengan jernih. Merekalah yang mampu memecahkan
simbol-simbol mimpi dengan benar sebab mereka memiliki
kedekatan dengan ruh atau bahkan Tuhan.
Lihat saja, seseorang habis bermimpi sesuatu yang
dianggapnya jahat atau berbahaya, misal berkait dengan
masalah suami, keluarga, atau harta benda. Sang pemimpi
itu akan datang ke guru spiritual11. Mereka (si klien yang
bermimpi) akan mendatangi guru spiritual dan bertanya
(lebih dalam lagi bahasanya meminta petunjuk) tentang
persoalan mimpi yang dialaminya. Sang guru spiritual
dengan kemampuannya akan melakukan ritual berupa
pemujaan ataupun pengorbanan. Melalui pemujaan dan
pengorbanan tersebut sang guru spiritual akan ditampakkan
bagaimana tafsir dari simbolisme mimpi yang dialami sang
klien. Entah benar ataupun salah dalam konteks interpretasi
mimpi, sampai sekarang masih ada orang yang menaruh
kepercayaan tafsir mimpinya kepada guru spiritual.
Mimpi bagi sebagian orang memang tidak memiliki arti
sebab mimpi dianggap sebagai ‘sesuatu yang nirmaknawi’.

11 Guru spiritual adalah sosok guru yang dianggap mampu dan mumpuni
di bidang spiritualitas. Untuk kategori guru spiritual ini sebenarnya
bisa dipilah menjadi dua, yakni guru spiritual kategori agama dan
guru spiritual kategori dukun.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 159


Kenirmaknawian tersebut disebabkan mimpi tidak memiliki
fungsi untuk manusia, baik fungsi dalam konteks terapi
ataupun fungsi dalam konteks budaya. Karena itu, ada pula
anggapa bahwa mimpi adalah bunga tidur. Jika dianggap
sebagai bunga tidur, mimpi memang tidak memiliki apa-
apa selain hanya untuk memperindah seseorang ketika
mereka sedang tidur. Mimpi yang penuh misteri tersebut
menjadi perhatian bagi kalangan psikolog.
Mimpi dalam masyarakat Tiongkok klasik (sekitar 4 SM)
berkait dengan representasi hubungan kausalitas. Seseorang
yang bermimpi sebenarnya mendapatkan sebuah tanda,
peringatan tentang sesuatu, entah yang berkait dengan
kebaikan, kejahatan, keburukan, ataupun yang berkait
dengan hal yang lainnya (Li, 1999:17). Gambaran tersebut
menunjukkan bahwa mimpi dipenuhi oleh simbol-simbol
dan memang sang pemimpi harus mampu menafsirkannya
agar bisa memahami mimpi tersebut dengan baik.

Mimpi Konteks Agama


Mimpi dan simbolisme mimpi banyak dijumpai dalam
kehidupan keseharian. Mimpi dan simbolisme mimpi juga
muncul dalam konteks agama. Dalam konteks agama,
mimpi memiliki simbolisme sebagai tanda wahyu kenabian,

160 Psikologi Jungian, Film, Sastra


tanda tentang masa depan, teguran (datangnya dari Tuhan)
terkait dengan sesuatu, ataupun tanda akan terjadinya
sesuatu. Mimpi-mimpi tersebut merupakan mimpi yang
memang susbtansial sebab orang yang mendapatkan
mimpi adalah orang-orang yang terpilih. Dalam konteks
yang lain, mimpi dalam kaitannya dengan agama bisa
jadi merupakan mimpi yang berasal dari setan. Karena
itu, seorang pemimpi harus mampu menafsirkan mimpi
tersebut. Jika mereka tidak mampu menerjemahkan,
menginterpretasikan, mereka memerlukan penafsir mimpi.
Dengan demikian, diharapkan simbolisme mimpi tersebut
bisa terjawab dengan bagus dan tidak menyesatkan.
Nuruddin (2016) menjelaskan secara spefisik bahwa
dalam konteks agama Islam, mimpi dalam pandangan
ulama terkategorikan menjadi dua, yakni mimpi yang
jelas dan mimpi yang kosong. Mimpi yang jelas adalah
mimpi yang memang benar-benar berkait dengan wahyu
keilahian, sedangkan mimpi yang kosong adalah mimpi
yang tidak ada kaitannya dengan konteks ataupun yang
lain. Selain itu, mimpi juga muncul dua kategori dalam
kaitannya dengan masalah nilai, yakni mimpi yang benar
dan mimpi yang salah. Mimpi yang benar merupakan
mimpi yang memang datangnya dari orang-orang terpilih
(nabi, sahabat, ulama), sedangkan mimpi yang bohong

Psikologi Jungian, Film, Sastra 161


adalah mimpi yang muncul dari dukun ataupun cenayang.
Para dukun ataupun cenayang memunculkan tafsir mimpi
(takwil) dalam kaitannya dengan persekutuan dengan setan
sehingga mimpi tersebut dianggap mimpi yang kategori
bohong.
Mimpi dalam konteks agama memang berbeda dengan
mimpi yang dalam konteks biasa. Mimpi dalam konteks
agama lebih kompleks dan lebih sensitif sebab berkait
dengan masalah keagamaan. Karena itu, sang penafsir
mimpi dalam mimpi agama harus berhati-hati dalam
menafsirkan mimpi agama sebab berkait dengan masalah
tafsir keilahian.

Mimpi dan Psikoanalisis


Pandangan tentang mimpi yang paling terkenal selama
ini adalah tulisannya Freud (1955) tentang interpretasi
mimpi. Dalam buku tersebut, Freud dengan tangkas dan jeli
memaparkan apa yang disebut dengan mimpi, karakterisasi
mimpi, teori mimpi, cara kerja mimpi, dan metodologi
mimpi. Freud juga menunjukkan dengan tegas simbolisme-
simbolisme yang muncul dalam mimpi. Sebagai psikolog
yang lebih tendens pada konsepsi seksisme, Freud lebih
mengedepankan simbolisme-simbolisme yang berkait

162 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dengan seksisme. Pandangan Freud tersebut memunculkan
kubu yang pro-Freudian (yang mendukung pemikiran
Freud dalam kaitannya dengan panseksisme) dan kubu
yang kontra-Freudian (yang tidak mendukung pemikiran
Freud dalam kaitannya dengan panseksisme). Mimpi-
mimpi dalam pandangan Freud adalah mimpi yang muncul
dalam orang-orang yang mengalami neurosis lebih banyak
memunculkan fenomena represi ataupun sublimasi yang
terkait dengan masalah seksual.
Mimpi dalam pandangan Freud (1955) sebenarnya tidak
lepas drai genealogi mimpi-mimpi purba. Freud banyak
mengutip mimpi dan simbolisme mimpi keagamaan dan
dikaitkan dengan mimpi konteks kontemporer. Tidak hanya
itu, Freud juga mengaitkan dengan mimpi yang terdapat
dalam mitologi kuno. Sumber mimpi utama yang digunakan
oleh Freud memang tidak bisa lepas dari keduanya, mimpi
dalam kitab suci keagamaan dan mimpi yang terdapat
dalam mitologi sebab keduanya dianggap sebagai sumber
yang memiliki otoritas.
Freud sebagai psikolog yang memunculkan psikologi
mimpi dan dia dianggap sebagai sosok yang mengawali
keberkaitan psikologi dan mimpi. Meskipun demikian,
jauh sebelum itu, rujukan tentang mimpi sudah pernah
ditulis oleh Andrew Lang –seorang antropolog yang sangat

Psikologi Jungian, Film, Sastra 163


aktif dalam melakukan riset dan publikasi sehingga ia
menghasilkan puluhan buku tentang antropologi dan juga
buku yang berkait dengan folklore/cerita rakyat yang sampai
saat ini karya-karya tersebut masih melegenda-- (1897) The
Book of Dreams and Ghosts. Dalam buku tersebut, Lang
(1897) sebagai sosok antropolog menjelaskan bahwa tidur
itu sealami bangun tidur. Artinya, dalam mimpi seseorang
bisa melakukan apa saja sebab mimpi merupakan dunia lain
yang berada dalam alam ketidaksadaran fisik, tetapi berada
dalam alam kesadaran psikis. Karena itu, seseorang yang
bermimpi dikejar oleh sesuatu yang menakutkan, ia akan
cenderung berlari sebab naluri manusia yang ketakutan
menunjukkan bahwa mereka akan berlari. Dalam kaitannya
dengan budaya, pikiran yang muncul dalam mimpi tentu
dibentuk oleh budaya yang terdapat dalam masyarakat
tersebut.
Seseorang yang berasal dari Indonesia tidak akan
pernah memimpikan hal yang berkait dengan Eropa, misal
Jerman. Tentunya, dalam konteks ini seseorang tersebut
tidak pernah mendapatkan pengetahuan tentang apa itu
negara Jerman. Dengan demikian, memori yang terdapat
dalam otaknya tidak akan pernah bisa memunculkan budaya
Jerman dalam mimpinya sebab pikirannya memang tidak
pernah menginput materi tentang budaya Jerman. Begitu

164 Psikologi Jungian, Film, Sastra


juga sebaliknya, orang yang tidak pernah ke kutub dan tidak
mengetahui budaya kutub akan sulit memimpikan sesuatu
tentang kutub sebab dia tidak pernah mendapatkan asupan
materi tentang kutub, baik secara empiris maupun secara
informasi pengetahuan yang diperolehnya dari rujukan,
media, ataupun diskusi dengan orang lain.
Selain teori mimpi yang dimunculkan oleh Freud, buku-
buku yang berbicara tentang mimpi juga sudah ada pada
masa-masa Freud dan Jung, salah satunya adalah tulisannya
Nicoll (1917) yang mengetengahkan keberkaitan antara
psikologi dan mimpi. Dalam pandangan Nicoll, psikoterapi
bisa menggunakan medium mimpi sebagai sarana terapi
bagi orang-orang yang mengalami neurosis. Pandangan
Nicoll ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Freud dan
Jung bahwa mimpi bisa digunakan sebagai sarana untuk
menemukenali masalah psike yang terdapat dalam diri
manusia.
Pandangan Freud tentang mimpi tersebut mengins-
pirasi pemikiran Jung dalam melahirkan pandangan ten-
tang mimpi. Jung memang sangat kagum pada karya
Freud yang secara detil dan komprehensif menggali mimpi
dan mengolahnya menjadi kajian yang bersifat ilmiah.
Kegaguman Jung terhadap buku tentang mimpi tersebut
ditunjukkan melalui diskusi dan juga surat-menyurat yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 165


dilakukan oleh Jung dan Freud selama beberapa tahun.
Kekaguman Jung terhadap Freud dalam hubungannya
dengan mimpi yang ternyata dijadikan sebagai jalur
utama oleh Jung adalah konsep tentang ketidaksadaran
yang muncul dalam mimpi. Namun, perbedaannya adalah
Jung tidak bersepakat dengan pandangan Freud bahwa
mimpi sebagai bentuk dari alam ketidaksadaran yang
lebih banyak didorong oleh elemen yang mengarah pada
hasrat seksisme. Jung berpandangan lebih positif bahwa
mimpi merupakan sarana bagi manusia untuk mengenali
dan menyembuhkan dirinya melalui mimpi-mimpi yang
dipecahkan melalui simbol-simbol. Tentunya, dalam
konteks ini, penginterpretasian mimpi tidak hanya bersifat
fragmentaris, tetapi harus bersifat simultan dan holistis
sehingga bisa ditemukenali simbolisme mimpi yang lebih
relevan.
Jika merujuk pada pandangan Ackroyd (1993), psikologi
mimpi tidak lepas dari nama besar Freud, Jung, dan psikologi
gestalt. Dalam konteks psikologi gestalt, mimpi tidak seperti
pandangan psikoanalisis Freudian ataupun Jungian yang
dimodelkan dengan klien mengisahkan mimpinya pada
sang terapis dan dokter membantu menginterpretasikan
simbol-simbol mimpi tersebut untuk digunakan sebagai
penyembuhan (healer). Dalam gestalt, mimpi dianggap

166 Psikologi Jungian, Film, Sastra


sebagai sebuah jalan menuju integrasi diri. Dengan begitu,
sang pemimpi diajak untuk membangunkan/membangkitkan
kembali mimpinya.
Dalam peradaban barat, diakui atau tidak, buku
interpretasi mimpi yang melegenda memang hanya ada
dua, yakni Freud dan Jung. Keduanya memang memberikan
pengaruh besar kepada dunia barat dan juga berbagai
negara di seluruh dunia (Shamdasani, 2003:100). Hal
tersebut menunjukkan bahwa kekuatan pemikiran Freud
dan Jung sangat kuat sebab keduanya memang berbicara
tentang alam ketidaksadaran yang terkadang muncul dalam
mimpi. Tidak hanya itu, mimpi-mimpi yang terdapat dalam
diri orang-orang yang mengalami neurosis bisa digunakan
sebagai bahan psikoterapi untuk penyembuhan klien.
Dalam pandangan Jung (1961) mimpi merupakan
suatu energi yang muncul tidak dari dalam diri manusia
itu sendiri, melainkan muncul dari alam yang di dalamnya
memiliki unsur positif dan negatif. Unsur-unsur tersebut
tentunya tidak lepas dari ruh yang memiliki tipikal kebaikan
dan kejahatan. Untuk memahami dunia mimpi yang dalam
tersebut manusia harus mampu mengenali mitologi, fabel,
dan spiritualisme yang di dalamnya memang berbicara
tentang sesuatu yang dalam dan filosofis. Bersepakat
atau tidak, manusia modern saat ini memang harus belajar

Psikologi Jungian, Film, Sastra 167


pada manusia primitif di zaman lampau sebab banyak
simbol-simbol yang belum terpecahkan pada masa kini.
Pemecahan simbol-simbol tersebut bisa dipecahkan dengan
pemahaman terhadap mitologi dan kehidupan manusia
primitif pada zaman lampau.
Catatan terapi yang berhubungan dengan mimpi
dalam psikologi Jungian tidak jauh dari neurosis. Orang-
orang yang mengalami neurosis bisa diterapi dengan
mengisahkan mimpinya kepada sang terapis. Sebagai
seorang terapis, Jung telah melakukan beberapa terapi
mimpi orang-orang yang mengalami neurosis. Jung (1961)
mengisahkan salah seorang kliennya yang mengalami
mimpi yang berulang. Mimpi yang dialami oleh klien adalah
mimpi yang menggambarkan bahwa sang klien berada di
sebuah tempat yang tinggi. Di tempat yang tinggi tersebut
dia bisa memandang berbagai keindahan alam, mulai dari
hutan, sungai, dan danau. Ia ingin menujuk ke sana, tetapi
seolah-olah ada kekuatan besar yang menahannya. Karena
memiliki kekuatan dan keinginan besar, si klien berusaha
menuju ke danau yang diingin. Namun, hawa dan udara
yang tidak bersahabat menghalangi dirinya untuk mencapai
danau tersebut.
Melalui mimpi tersebut Jung menunjukkan bahwa
mimpi yang dialami kliennya tersebut memiliki pertalian

168 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dengan kondisi spiritual sang klien. Klien itu adalah seorang
teolog yang berusahan memperdalam spiritualitasnya.
Namun, dia masih ketakutan dengan beberapa hal
yang menghalangi cara berpikirnya dalam relevansinya
dengan masalah agama. Ia merasa terkungkung dengan
dogma yang terdapat di dalam agama yang dianutnya.
Ia merasakan bahwa ada sekat dan batas yang berkait
dengan dogma dan keinginannya sebagai seorang teolog
(Jung, 1961). Mimpi-mimpi yang disajikan dalam terapi
yang dilakukan oleh Jung lebih banyak mengisahkan
mimpi yang berkait dengan konteks spiritual klien.
Tampaknya, hal tersebut dipengaruhi oleh tipikal Jung
yang memang lebih mengedepankan psikologi spiritul
dan karena dia juga sosok psikolog yang lebih ‘bernada’
occultism. Dengan begitu, narasi tentang mimpi-mimpi
Jung banyak dimunculkan dalam (Jung, 1964) Memories,
Dreams, Reflections, Jung (1964) Man and his Symbols;
(Jung, 1934) Archetypes and the Collective Unconscious.
Hal ini menunjukkan perbedaan yang sangat tinggi
dibandingkan dengan mimpi yang paparkan oleh Freud.
Mimpi-mimpi yang dialami oleh kliennya Freud lebih
banyak yang berkait dengan masalah simbolisme seksual.
Pandangan Jung tentang simbolisme mimpi memang
tidak sebanyak dan sekompleks pandangan Freud tentang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 169


mimpi. Jung memunculkan pandangan-pandangan tentang
simbolisme mimpi dan juga terapi mimpi yang memang
menjadi pengalaman individualnya dalam melakukan
terapi pada klien-kliennya. Sampai akhir kematiannya,
Jung memang tidak pernah menuliskan manuskrip tentang
simbolisme mimpi ataupun psikologi mimpi dalam satu
monograf. Ia menulis mimpi dalam bentuk segmentasi yang
tersebut dalam berbagai tulisannya. Namun, apapun yang
terjadi Jung tetap memberikan sumbangan besar dalam
perkembangan studi mimpi yang sampai saat ini digunakan
dalam studi psikologi kontemporer.
Mimpi dalam pandangan Jung merupakan sebuah
kompensasi. Mimpi merupakan suatu proses psikologis yang
mengatur kompensasi dalam diri manusia. Kompensasi
dalam mimpi tersebut terbagi menjadi tiga. Pertama,
mimpi yang merupakan distorsi dari ego si pemimpi. Mimpi
tersebut mendistorsi hasrat ego menjadi sesuatu yang
tereduksi. Kedua, mimpi yang merupakan representasi
ego. Ketiga mimpi yang berkait dengan archetype yang
bertalian dengan individuasi (Hall, 1983:24). Kategorialisasi
mimpi itu merupakan urutan bahwa semakin dalam mimpi,
akan semakin misterius pula simbolisme yang terdapat di
dalamnya.

170 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Pendekatan Mimpi Model Jungian
Guna memahami simbolisme mimpi yang berkait
dengan imaji, ornament, ataupun animasi dibutuhkan
cara untuk menghampirinya. Penghampiran simbolisme
mimpi dalam perspektif psikologi Jungian memiliki tiga
tahapan, yakni (1) pemahaman yang jelas dan detil tentang
mimpi; (2) pengumpulan asosiasi dan amplifikasi yang
menduduki tiga level, personal, kultural, dan arketipal; dan
(3) penempatan mimpi yang disesuaikan dengan konteks
situasi dan kondisi sang pemimpi dan juga dikaitkan dengan
proses individuasinya (Hall, 1983). Tahapan dalam
memahami simbolisme tersebut sangat penting sebab
sangat berpengaruh dalam interpretasi penelitian. Tidak
hanya itu, seorang peneliti mimpi harus mampu memahami
situasi kehidupan sang pemimpi. Untuk memahami konteks
kehidupan sang pemimpi tersebut sehingga tidak terjadi
misunderstanding.
Ketangkasan dan ketepatan seorang analis dan terapis
dalam memaknai mimpi sangatlah diperlukan karena data
mimpi yang terserak terkadang memerlukan interpretasi
lebih dalam. Mimpi-mimpi yang terserak tersebut
membutuhkan kedalaman dan ketangkasan dalam menata
mozaik-mozaik yang terserak sehingga menjadi gambaran
utuh yang mampu merepresentasikan makna mimpi dari

Psikologi Jungian, Film, Sastra 171


sang klien. Mimpi orang yang normal dan mimpi orang
yang tidak normal memiliki asosiasi dan kompensasi
yang berbeda. Seseorang yang mengalami neurosis akan
mengalami mimpi yang cenderung berulang, mimpi
yang berkait dengan pengejaran, dan mimpi-mimpi yang
menakutkan. Hal tersebut memang disebabkan oleh alam
berpikirnya yang mengalami gangguan sehingga gangguan
alam berpikir tersebut akan masuk dalam alam bawah sadar
dan alam bawah sadar tersebut akan muncul dalam mimpi.
Munculnya mimpi tersebut merupakan bentuk kompensasi
dari neurosis yang dialami oleh sang klien. Pengalaman
dan jam terbang seorang terapis akan menentukan pula
kemampuan terapis dalam memecahkan simbolisme-
simbolisme mimpi yang dialami oleh si klien.
Dalam mimpi terdapat beberapa karakter yang
muncul, yakni mimpi yang berhubungan dengan depresi,
mimpi yang berhubungan dengan kecemasan, mimip yang
berhubungan dengan psikosis, mimpi yang berhubungan
dengan masalah fisik (Hall, 1983). Mimpi-mimpi tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda dengan mimpi orang
yang normal. Karena itu, sang pemimpi juga harus mampu
menceritakan latar belakang dan konteks sosial cerita
yang berkait dengan mimpi yang dialaminya. Melalui
pengenalan mimpi tersebut sang terapis akan lebih mudah

172 Psikologi Jungian, Film, Sastra


untuk mengenali dan menganalisis simbol-simbol mimpi
dari sang klien.
Ketika seorang terapis mimpi menggali mimpi sang klien,
sang terapis harus mampu menggali dan menautkannya
dengan konteks yang lain yang memiliki relevansi dengan
konteks mimpi. Hal tersebut sangat diperlukan sebab
beberapa kasus terjadi terutama pada mimpi anak-anak
yang kurang kuat dalam memanggil mimpinya. Ketika
pasien kurang baik dalam memanggil mimpinya, akan terjadi
kesalahan fatal dalam penafsiran terhadap mimpi. Tentunya,
kesalahan fatal tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya
disebabkan oleh si penafsir mimpi, tetapi disebabkan juga
oleh sang klien yang ternyata mengalami kegagalan dalam
memanggil mimpi secara utuh dan secara jelas. Perlu
diketahui juga bahwa seorang psikolog sebagai terapis yang
diharapkan mampu menyembuhkan klien, tetapi mereka
juga manusia sehingga hal tersebut tidak akan sepenuhnya
benar sebab mereka juga manusia yang berusaha mencari
kebenaran dalam penafsiran. Namun, terkadang mereka
gagal dalam menafsirkan. Hal ini sama dengan seorang
psikolog yang menggunakan terapi tertentu kepada klien
ternyata si klien tidak semakin sembuh, tetapi semakin parah.
Mimpi memiliki motif-motif yang jika digeneralisasikan
memiliki kesamaan. Motif dalam mimpi tidak ada lepas

Psikologi Jungian, Film, Sastra 173


dari adanya kontekstualisasi dari mimpi yang dimimpikan
oleh sang pemimpi. Karena itu, motif mimpi yang umum
bisa dikenali oleh manusia sebab tidak lepas dari konteks
kehidupan mereka. Di tangan seorang terapis yang handal
dan mumpuni, potongan mimpi yang tidak lengkap
ataupun mimpi fragmentaris yang konon nirmaknawi, bisa
digunakan untuk menginterpretasikan mimpi-mimpi yang
fragmentaris lainnya. Dengan demikian, seorang terapis
harus mampu menyatukan lubang-lubang puzzle yang
belum lengkap sehingga menjadi puzzle yang utuh dan
memiliki makna.
Motif mimpi yang sering muncul, antara lain mimpi yang
berkait dengan (1) incest –mimpi yang berhubungan dengan
perkawinan sedarah/hubungan sedarah (ayah dengan anak
ataupun ibu dengan anak; (2) duka –mimpi yang di dalamnya
berhubungan dengan kematian seseorang sehingga sang
pemimpi bisa melihatnya dalam mimpinya; (3) rumah –
merupakan mimpi yang berhubungan dengan kondisi jiwa
seseorang; (4) kendaraan –merupakan mimpi yang berkait
dengan transformasi jiwa/perjalanan jiwa seseorang dalam
menemukan dirinya atau bisa jadi berkait dengan struktur
ego; (5) narkoba dan alkohol –merupakan mimpi yang
berkaitan dengan seseorang yang terlibat/menjadi pecandu
narkoba ataupun alkohol; (6) kematian –merupakan mimpi

174 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yang berkaitan dengan kematian, tetapi kematian di sini
jarang terjadi sebagai bentuk mimpi yang aktual/sebenarnya,
mimpi kematian merupakan simbol transformasi archetype
seseorang ketika mengalami perubahan; (7) ular –
merupakan mimpi yang memiliki simbol kemiripan dengan
phallus sehingga bisa jadi memiliki keberkaitan dengan
maskulinitas. Namun, bisa jadi simbolisme ular tersebut
berkait dengan keotonoman ataupun penyembuhan (Hall,
1983). Karakterisasi motif mimpi tersebut merupakan sebuah
kriterium standar yang banyak muncul dalam konteks sosial-
budaya. Karena itu, tidak menutup kemungkinan adanya
motif-motif lain dalam mimpi yang memiliki relevansi dengan
konteks sang pemimpi.
Guna mempermudah seseorang dalam menginter-
pretasi mimpi, Jung (2006) memberikan alternatif
contoh metode penganalisisan mimpi dengan tahapan
berikut (1) locale –berkait dengan tempat, waktu, dan
dramatik persona; (2) exposition –berkait dengan ilustrasi/
pemaparan masalah; (3) peripateia –berkait dengan ilustrasi
transformatif; dan (4) lisis –berkait dengan hasil mimpi dan
interpretasi terhadap mimpi, kompensasi mimpi. Metode
mimpi yang dimunculkan Jung bukanlah metode mimpi
yang paten dan tidak bisa diubah. Ia hanya menawarkan
sebuah alternatif dalam pendekatan sebuah mimpi.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 175


Terkadang, oleh para pengguna analisis mimpi, mereka
menggunakan sepenuhnya apa yang dipaparkan oleh Jung
sebab hal tersebut dianggap sebagai pemikiran Jung yang
orisinal dan pakem. Karena itu, mereka sebagai analis
mimpi tidak mau keluar dari apa yang ditawarkan oleh Jung.

176 Psikologi Jungian, Film, Sastra


7
JUNG DAN FILM

P emikiran Jung tidak hanya memengaruhi bidang


spiritual, antropologi, sastra, tetapi juga masuk dalam
studi film (Fredericson, 1980; Hauke & Alister, 2001; Hauke &
Luke, 2011; Rountree, 2007; Rockefeller, 1994) ). Film yang
merupakan hasil dari proses kreatif tidak lepas dari konteks
psikologis. Karena itu, psikologi Jungian bisa dimasukkan
dalam konteks studi perfilman. Dalam perfilman, psikologi
bisa muncul melalui tiga hal, yakni sebagai berikut.
Pertama, psikologi penulis/sutradara. Dalam konteks
ini, studi psikologi dihubungkaitkan dengan psikologi sang
penulis/sutradara film. Seperti halnya karya kreatif lainnya
–dalam hal ini film dianggap seperti karya sastra-- film tidak

Psikologi Jungian, Film, Sastra 177


lepas dari sang pengarang yang melahirkan film tersebut.
Dalam film, karakterisasi tokoh yang dimunculkan tidak
lepas dari psikologi sang pengarang sebagai sosok yang
melahirkan karya kreatif tersebut. Pemunculan psikologi
dalam film tersebut bisa dalam bentuk yang real, sublimasi,
ataupun dalam bentuk kompensasi. Dalam pandangan
Freudian klasik, manusia yang memunculkan sesuatu
melalui sesuatu yang lain sebenarnya tidak lepas dari
sang pengarang/penulis. Seorang penulis/sutradara yang
menyukai tema-tema psikologis akan cenderung memilih
menggarap film yang bertemakan psikologis. Tentunya,
dalam konteks ini sang penulis merupakan penulis yang
memiliki idealisme dalam kaitannya dengan perfilman yang
berkait dengan psikologis.
Kedua, psikologi dalam film. Psikologi dalam film pada
hakikatnya berkait dengan unsur psikologis yang muncul
dalam film. Munculnya unsur psikologis dalam film tampak
dalam segmentasi (1) monolog sang tokoh dalam film.
Monolog dalam film tersebut bisa muncul dalam suasana
senang, sedih, rindu, gembira, ataupun gila. Dalam film A
Beautiful Mind (2001), monolog muncul dalam diri tokoh
utama yang bernama John Nash. Ia sering bermonolog
dan monolog tersebut merupakan halusinasi dari dalam
dirinya sendiri. Karena itu, monolog yang dia munculkan

178 Psikologi Jungian, Film, Sastra


merepresentasikan dirinya yang mengidap skizofrenia.
Seseorang yang melakukan monolog dengan preferensi
yang tinggi dalam kehidupan keseharian memang
merupakan hal yang tidak wajar sebab dalam konteks orang
yang mengalami schizophrenia, monolog dalam diri muncul
sebab orang tersebut mengalami ilusi dan delusi.
Psikologi dalam konteks teks/monolog/dialog dalam
film merupakan studi yang paling banyak dilakukan
oleh peneliti. Faktor yang melatarbelakangi maraknya
penelitian yang berkait dengan studi psikologi dalam film
ini di antaranya adalah kemudahan dalam mengambil
data. Ketika seseorang menonton film, pada saat itu juga
dia bisa melakukan identifikasi, klasifikasi, dan reduksi
data penelitian. Hal ini merupakan kemudahan tersendiri
yang bisa dilakukan oleh peneliti dalam menngolah data
berdasarkan teks/monolog/dialog dalam film.
Ketiga, psikologi penonton film. Psikologi penonton
film pada hakikatnya berkait dengan kondisi psikologis
sang penonton film pada saat menonton film ataupun
pascamenonton film. Kondisi psikologis tersebut berkait
dengan apa yang dirasakan oleh sang penonton ketika
menonton film tertentu. Dalam film Happy Death Day 2 U
(2019), film yang mengisahkan tentang seorang perempuan
yang dikejar oleh kematian, berusaha menemukan jalan agar

Psikologi Jungian, Film, Sastra 179


dia tidak mengalami kematian. Dalam film tersebut, sang
tokoh utama tersebut berusaha menemukan jalan untuk
kehidupan sebab ia terjebak dalam masa lalunya. Untuk
kembali dalam ke masa depan, ia harus mampu melakukan
tindakan bunuh diri agar dia bisa kembali ke dunia masa
depan. Ketika menonton film tersebut, penonton seolah-
olah merasakan bagaimana rasanya seorang perempuan
yang dikejar-kejar oleh kematian.
Perasaan ketakutan dan marah menghinggapi penon-
ton film tersebut. Hal itulah yang menjadi salah satu kajian
dalam psikologi penonton. Kajian psikologi penonton tidak
begitu ramai diperbincangkan dalam konteks perfilman.
Setidaknya, salah satu penyebab utamanya adalah infor-
man yang terkait dengan film tersebut. Seorang peneliti
psikologi penonton harus memahami, mengenali, dan
memiliki kedekatan dengan informan terkait dengan film
yang akan dijadikan bahan penelitian. Untuk itu, butuh
waktu, tenaga, dan biaya yang lebih besar dalam melahirkan
kajian psikologi penonton.
Selain itu, film sebenarnya secara tidak langsung
memiliki peta penonton. Dalam hal ini, seseorang yang
masih remaja secara psikologis akan mencari film yang
sesuai dengan psikologi dirinya. Dengan begitu, ia akan
menikmati film yang ia tonton. Misal saja, remaja yang suka

180 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dengan romantisme akan menyukai film-film romantisme,
misal Titanic yang mengisahkan percintaan antara seorang
perempuan dari kalangan bangsawan dengan laki-laki
yang berasal dari kalangan biasa. Dalam perjalanan kisah
cinta mereka, ternyata perjalanan cinta mereka terpisah
oleh kematian. Kapal pesiar yang mereka naiki ternyata
tenggelam dan sang laki-laki meninggal dunia, sedangkan
si tokoh perempuan terselamatkan. Untuk perfilman anak-
anak, mereka akan menyukai film yang berkait dengan
masalah anak-anak, misalnya animasi ataupun film kartun.
Itulah psikologi film untuk anak-anak. Untuk anak-anak,
film How to Train Your Dragon (2019), tentunya disukai oleh
anak-anak sebab psikologi anak-anak memang menyukai
film yang bertemakan dengan fantasi, imajinasi, dan juga
animasi. How to Train Your Dragon merupakan film anak
yang digemari oleh anak-anak sebab selain filmnya bagus
dan animatif, film tersebut mengisahkan seorang anak pria
yang menunggangi naga hitam. Dalam film tersebut sang
naga hitam meninggalkan tokoh utama sebab dia bertemu
dengan sang naga putih. Naga hitam merupakan naga
jantan, sedangkan naga putih merupakan naga betina.
Interpretasi dalam studi psikologi perfilman tentunya
bukan hal yang mudah. Seorang peneliti tidka boleh
terjebak pada teori tertentu dan fanatik pada teori tertentu

Psikologi Jungian, Film, Sastra 181


sehingga semua data film diarahkan dengan menggunakan
pendekatan psikologi tertentu, misalnya, seseorang yang
sudah fanatik denngan psikologi Freudian, semua film
dianalisis dengan perspektif psikologi Freudian. Padahal,
tidak semua film bisa ‘match’ jika dikaji melalui perspektif
psikologi Freudian. Karena itu, dalam studi psikologi film
ada hal yang sebaiknya diikuti oleh peneliti, terutama
peneliti yang masih tahapan pemula, yakni sebagai berikut.
Pertama, pemahaman tentang ilmu psikologi. Seorang
peneliti psikologi dan film harus mengenali, memahami, dan
menguasai (1) teori-teori yang terdapat dalam psikologi; (2)
cara aplikasi/teknik penerapan psikologi tersebut (3) dan
jenis psikologi; psikologi klinis, psikologi agama, psikologi
antropologi, psikologi anak-anak, psikologi abnormal,
psikologi kepribadian, psikologi maskulinitas, psikologi
massa, psikologi sosial, psikologi feminisme, psikologi
posmodernisme. Melalui pemahaman yang mendalam
tentang psikologi tersebut, seorang peneliti bisa menggali
lebih dalam tentang isi film jika dikaitkan dengan masalah
psikologis.
Kedua, ketajaman dalam menganalisis. Seorang
peneliti harus memiliki ‘mata analisis’ yang tajam agar hasil
analisis yang dilakukannya sesuai dengan yang diharapkan.
Seorang peneliti bisa melakukan analisis dengan model

182 Psikologi Jungian, Film, Sastra


verifikatif, yakni melakukan perulangan pada hasil analisis
dalam rangka mempertajam analisis. Ketika hasil analisis
diverifikasi secara berulang-ulang, hasil analisis tersebut akan
menjadi lebih baik. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan
bahwa seseorang yang melakukan verifikasi penelitian
harus benar-benar melakukan verifikasi dan ada perubahan
yang signifikan dalam penelitian. Dengan demikian, hasil
penelitian bisa menjadi lebih baik dan lebih tajam.
Ketiga, jam terbang penelitian yang simultan. Untuk
menjadi seorang peneliti yang bagus dan mendalam tidak
hanya berbicara tentang hasil saja, melainkan juga berbicara
tentang proses. Seorang peneliti yang handal akan selalu
berproses dan berproses untuk melahirkan karya bidang
psikologi dan film. Semakin banyak dan semakin sering dia
melakukan penelitian, kemampuan dan ketangkasan dalam
melakukan penelitian menjadi lebih baik dan lebih bagus.
Seorang peneliti harus selalu mengasah kemampuannya
dalam melakukan penelitian agar ilmunya tidak hilang.
Ibaratnya, semakin sering seseorang mengasah pedang,
akan pedang tersebut semakin lama akan semakin tajam.
Pedang yang semakin tajam tersebut tentunya akan
membuat mudah si pengguna tatkala akan menggunakan
pedang tersebut untuk menebas pohon ataupun menebas
musuhnya. Jika tidak diasah dengan baik, pedang tersebut

Psikologi Jungian, Film, Sastra 183


akan menyusahkan si pemilikinya. Ketika pedang digunakan
untuk menebas musuh, belum tentu musuh akan terbunuh
sebab pedang yang digunakan untuk menebas musuh
tersebut tidak tajam. Selain itu, hal utama yang perlu
diperhatikan dalam mengasah adalah cara mengasah yang
benar. Jangan sampai, seseorang mengasah pedang, tetapi
tidak memahami dan tidak menguasai cara mengasah
yang benar. Memang, kadang dijumpai seseorang yang
sudah melakukan penelitian yang banyak dan sering,
tetapi ternyata penelitiannya tersebut hanya itu-itu saja.
Hal tersebut memang tidak sebabkan minimnya jam
terbang, tetapi disebabkan minimnya kemampuan dalam
menajamkan analisis.
Keempat, mentoring pada yang memiliki otoritas.
Ketika seseorang sudah melakukan eksplorasi penelitian
terkait dengan asupan gizi dalam psikologi, penajaman
penelitian, peningkatan jam terbang penelitian,
tetapi seorang peneliti tidak boleh lupa bahwa ia juga
membutuhkan mentoring dari sang otoritas. Artinya,
seorang peneliti harus memiliki guru akademik yang bisa
mengarahkan hasil penelitiannya menjadi tulisan yang lebih
baik. Seorang mentor, supervisor, pembimbing, tentunya
memiliki kapabilitas dalam bidang penelitian. Untuk itu,
seorang peneliti harus mampu memilah dan memilih

184 Psikologi Jungian, Film, Sastra


seorang mentor yang benar-benar memiliki otoritas. Jika
seseorang melakukan kekeliruan dalam memilih otoritas,
ia akan mendapatkan masukan yang sedikit bahkan lebih
parah lagi ia akan mendapatkan masukan yang sebenarnya
masuk dalam ‘kekeliruan intelektual’ atau lebih parah lagi
disebut dengan ‘sesat intelektualitas’.
Kelima, praktik dan pengomunikasian hasil. Seorang
peneliti tidak hanya belajar memahami, menguasai,
menulis, tetapi juga harus mampu mempraktikkan dan
mengomunikasikan hasil penelitian. Seseorang yang sudah
mampu menghasilkan karya berkait dengan penelitian
psikologi dan film, ia harus mampu mengomunikasikannya
kepada orang lain. Jika ia mampu mengomunikasikan hasil
penelitian, ia akan menjadi lebih convidence dan lebih
mantap dalam mengapresiasikan, mempresentasikan,
dan berargumentasi mengenai hasil penelitian yang
dilakukannya. Dalam konteks riset, tahapan yang paling
akhir dan paling utama adalah tahapan pengomunikasian
hasil. Tahapan pengomunikasian hasil tersebut disebut pula
dengan tahapan diseminasi. Tahap diseminasi merupakan
tahapan ketika seseorang mengomunikasikan hasil
penelitian kepada khalayak luas. Hal tersebut dilakukan
agar hasil penelitian tersebut dikenali dan bisa memberikan
kontribusi bagi masyarakat luas.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 185


Kelima faktor tersebut bukanlah hal yang utama
dalam kaitannya dengan studi psikologi dan film. Kelima
hal tersebut merupakan alternatif dalam kaitannya dengan
cara untuk memantapkan penelitian tentang psikologi dan
film. Jika seseorang sudah bisa melakukan kelima tahapan
tersebut, ia akan bisa lebih mudah dalam melakukan
penelitian konteks psikologi dan film. Tentunya, setiap
orang memiliki kemampuan sendiri dalam mengikuti kelima
faktor tersebut.
Film memang bukan dunia real tempat manusia
hidup. Film memiliki logika sendiri dalam kaitannya dengan
menghidupkan logika-logika baru di dalamnya. Namun,
film sebagai hasil proses kreatif sang penulis tentu tidak
lepas dari logika-logika psikologi sebab sang penulis dalam
menuangkan ide juga menggunakan psikologi, tentunya
psikologi akan masuk dalam naskah film tersebut. Film
itu sendiri memiliki karakter yang berbeda-beda dalam
pemunculannya. Jika dikaitkan dengan kategorialisasi
film: drama, komedi, perang, action, romantisme, fantasi,
kriminal, noir, sci-fi, dokumenter, ataupun animasi. Tentunya,
karakterisasi dalam film-film tersebut akan berbeda isinya
sebab disesuaikan dengan konteks perfilman tersebut.
Untuk kategori komedi, tentu karakterisasi psikolo-
gis yang diangkat ringan sebab para penontonnya

186 Psikologi Jungian, Film, Sastra


menginginkan bacaan yang ringan pula sehingga mereka
bisa tertawa dan terhibur dengan karakterisasi tokoh
yang terdapat dalam film tersebut –yang muncul dalam
model konyol, lucu, dan kadang menyakitkan sang tokoh—
sehingga konteks psikologis digunakan model yang menarik
dan memotivasi seseorang untuk tertawa. Film kategori ini
memang tidak menguras pikiran sebab memang kategori
komedi, bahasa dan isi yang dimunculkan di dalamnya
dibuat ringan sehingga penonton bisa mengikutinya dengan
mudah tanpa harus menguras energi psikologi.
Jika ingin menonton film yang karakterisasi psikologinya
dalam, seseorang bisa memilih kategori drama yang di
dalamnya memang berusaha mengandalkan karakterisasi
psikologis. Dalam drama tersebut masih terdapat
subgenre yang berkait dengan: drama romantisme, drama
pembunuhan, drama komedi, drama politik, ataupun drama
perang. Film drama tersebut kadang membosankan sebab
yang dikuatkan adalah dialog-dialog dalam film tersebut
sehingga penonton yang mengandalkan kekuatan fisik,
misal perang, silat, tanding, ataupun duel , akan mengalami
kebosanan ketika menonton film yang model demikian.
Karena itu, setiap penonton memang memiliki kecintaan
terhadap genre film yang dia sukai. Dengan demikian, film
dengan sendirinya akan menarik penonton yang sesuai

Psikologi Jungian, Film, Sastra 187


dengan karakter genre film tersebut sehingga sangat
jarang seorang penonton film action, tetapi dia menonton
film drama. Sungguh hal tersebut membutuhkan kesabaran
tingkat tinggi sebab di film action yang diandalkan adalah
laga, sedangkan drama yang diandalkan adalah dialog.
Sebuah jalan yang sulit dipertemukan, meskipun bisa-bisa
saja dipertemukan.
Dalam kaitannya dengan psikogi dan film, dalam
subbab ini dipaparkan Jung dan film berkait dengan film
yang di dalamnya berkaitan dengan kehidupan Jung selama
ia muda. Dua film yang digunakan dalam paparan bab ini
adalah A Dangerous Method (2011) dan film The Soul Keeper
(2002).Kedua film tersebut dipilih sebab merepresentasikan
kehidupan Jung pada masa muda dalam hubungannya
dengan seorang pasien yang bernama Sabina Spielrein.
Pemilihan film tersebut tidak berkait dengan konteks benar
ataupun salah dalam kaitannya dokumenter Jung dan
Sabina, tetapi karena film tersebut berkait dengan Jung.

Film dan Studi Jungian


Penelitian tentang film perspektif Jungian bukanlah
hal baru. Film san psikologi merupakan sebuah fakta
empiris bahwa keduanya memang sulit dipisahkan.

188 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Dengan demikian, studi Jungian dalam perspektif
perfilman merupakan hal yang menarik dan unik sebab
mengaitkan film dengan konteks psikologi ketidaksadaran.
Berikut peneliti yang pernah melakukan penelitian film
menggunakan perspektif psikologi Jungian.
Palmer (2013) yang meneliti film The King’s Speech,
melalui perspektif psikologi Jungian. Ia menunjukkan bahwa
pangeran Albert yang mengalami kegagapan (suttering)
dalam berbicara tidak hanya disebabkan oleh semata-mata
faktor fisik dan faktor psikologis. Namun, jika ditelusuri
lebih dalam, sang pangeran Albert memang memiliki
masalah dengan bayangan masa kecilnya. Hal inilah
yang perlu ditelusuri sebab dalam konteks psikoanalisis
yang berpegang pada determinis, memandang masa
lalu memiliki dampak pada kehidupan manusia di masa
yang akan datang. Sang pangeran kesulitan berbicara,
tetapi ketika dia marah, energinya tereksplosifkan dan
dia bisa berbicara dengan lancar. Karena itu, sang mentor
meminta agar pangeran harus bisa berbicara yang all out
sehingga semua energi dalam dirinya bisa muncul dan dia
bisa berbicara dengan lancar tanpa ada hambatan. Film
The King’s Speech ini akhirnya ber-ending bahagia dengan
penuh kemenangan sebab sang tokoh, yakni Pangeran
Albert sudah mampu berbicara dengan lancar.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 189


Merritt, Merritt, & Lu, Kevin (2018) meneliti film
Hunger Games menggunakan pendekatan psikologi Jungian
dengan perspektif archetype. Ketiga peneliti tersebut
menunjukkan bahwa Hunger Games sebagai sebuah film
merepresentasikan simbolisme kehidupan masa lalu yang
ada hubungannya dengan kehidupan masa kekinian. Karena
itu, sebenarnya film Hunger Games tersebut merupakan
simbolisme dari kepemimpinan sekarang. Dalam konteks
ini, sang peneliti mengaitkan Hunger Games dengan
simbolisme ketidakpuasan terhadap pemerintahan Bush.
Cooper (2019) meneliti tentang film Les Enfants du
Paradis [Children of Paradise]. Penelitian yang dilakukan
oleh Cooper menggunakan anima/animus Jungian. Untuk
memperdalam analisis, peneliti tidak hanya mengarah
pada Jungian saja, ia juga mengolaborasikannya dengan
dengan pandangan Lacan yang berkait dengan pandangan
neo-Freudian. Ia menunjukkan bahwa film Les Enfants du
Paradis [Children of Paradise] merupakan film yang berbicara
tentang psikoseksual. Cooper menunjukkan bahwa anima,
surialisme, dan wanita yang harus mampu mengalahkan
proyeksi laki-laki agar mereka bisa hidup bahagia dan bebas.
Iaccino (1998) melakukan riset tentang psikologi Jungian
dengan menggunakan studi arketipal pada film-film yang
science-fiction. Film yang digunakan, yakni The Star Wars,

190 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Planet of the Apes, Superman, Batman, Indiana Jones, The
Higlanders. Iaccino mengaitkan film-film tersebut dalam
hubungannya dengan archetype yang kait dengan heroisme,
orang tua, dan juga perjalanan. Iaccino membandingkan juga
karakter film-film setting zaman dulu dengan film zaman
sekarang dalam kaitannya dengan archtype. Tidak hanya
dari film yang diangkat ke layar lebar, Iaccino juga menelaah
film yang muncul di televisi, salah satunya adalah Hulk,
manusia raksasa hijau. Dalam konteks ini, Iaccino berbicara
tentang shadow yang terdapat dalam diri sang tokoh dalam
Hulk tersebut.
Penelitian tentangJung dan film memang tidak sebanyak
kajian sosial yang dikaitkan dengan film. Diakui atau tidak,
kajian film dan psikologi memang kalah ramai dengan kajian
film dan sosiologi ataupun antropologi. Tentunya, tinjauan
tersebut berdasarkan pada kecenderungan kajian film yang
saat ini marak diperbincangkan. Ada tiga faktor utama yang
menyebabkan minimnya studi film yang dikaitkan dengan
perspektif psikologi.
Pertama, studi psikologi tidak begitu jauh berbeda
dengan studi filsafat. Meskipun demikian, studi filsafat lebih
sedikit lagi peminatnya. Faktor penyebabnya adalah studi
psikologi –begitu juga dengan studi filsafat—merupakan
studi pemikiran, yakni sebuah studi yang berbicara tentang
dunia dalam manusia, baik yang berbicara tentang alam

Psikologi Jungian, Film, Sastra 191


sadar maupun alam bawah sadar. Beberapa kecenderungan
manusia, lebih suka memilih studi yang tidak begitu berat.
Suatu ketika, tatkala saya mengajar matakuliah Filsafat
Ilmu, dari 40 mahasiswa yang memprogram matakuliah
tersebut hanya 10% saja yang menyukai studi filsafat.
Ketika saya kaitkan dengan psikologi, yang respek terhadap
psikologi hanya 20%. Hal tersebut disebabkan oleh asumsi
bahwa belajar psikologi sangat rumit sebab berbicara
tentang kejiwaan. Begitu pula dengan mahasiswa saya
pemprogram matakuliah Psikologi Sastra, peminatnya juga
sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa materi tentang psikologi
tampaknya dihindari oleh sebagaian orang dengan alasan
bahwa studi psikologi adalah studi yang berat.
Kedua, literatur tentang psikologi dalam kaitannya
dengan konteks perfilman tidak sebanyak kajian yang
lainnya, misal sosiologi ataupun antropologi. Karena itu,
para calon peneliti merasa kesulitan untuk melakukan
penelitian yang terkait dengan film dan psikologi. Meskipun
demikian, hal tersebut bukanlah alasan bahwa minimnya
suatu penelitian disebabkan oleh kurangnya literatur.
Kebanyakan, minimnya suatu penelitian disebabkan oleh
kurangnya minat penelitian di bidang itu.
Ketiga, adanya asumsi bahwa studi konteks psikologi
tidak semarak dan tidak semenguntungkan studi yang
lainnya. Hal tersebut mengakibatkan studi psikologi dan

192 Psikologi Jungian, Film, Sastra


film tidak sebegitu ramai dan marak seperti studi yang
lainnya. Asumsi tersebut memang kuat jika didasarkan pada
fakta bahwa publisher yang memberikan ruang untuk studi
psikologi tidak semarak dengan studi yang lebih populer,
misal sosial science ataupun antropologi yang memang
banyak peminatnya dibandingkan dengan studi psikologi.
Hal itu juga memengaruhi adanya seminar-seminar yang
dihelat dalam kaitannya dengan konteks film dan psikologi
sebab pihak penyelenggara seminar tidak mau rugi ketika
mengadakan kegiatan tersebut.

Jung dan Film A Dangerous Method (2011)


A Dangerous Method (2011) merupakan film dokumen-
ter yang mengisahkan Jung dan kliennya. Ia adalah seorang
klien yang mengalami histeria. Film ini merupakan film
yang oleh sebagian praktisi di bidang psikologi sebagai
film dokumenter pada umumnya. Namun, pada sisi lain,
film tersebut merupakan film yang hanya merupakan
narasi dari kehidupan Jung yang diangkat dari sebuah
buku. Karena itu, masalah kebenaran yang terdapat dalam
film tersebut masih pro dan kontra sebab secara historis
biografi Jung sampai sekarang masih dinamis. Artinya, data
tentang kehidupan Jung yang ditulis oleh penulis (biografi/
peneliti) mengalami perubahan dan kadang bertentangan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 193


antara satu dan yang lainnya. Namun, satu hal yang bisa
digarisbawahi bahwa Jung adalah seorang psikolog yang
tidak diragukan kontribusinya dalam dunia psikologi dunia.
Film A Dangerous Method (2011) pada tahap awal
dibuka dengan narasi Jung yang memberikan terapi pada
kliennya yang bernama Sabina Spielrein yang merupakan
sosok perempuan yang mengalami histeria yang salah satu
penyebabnya adalah adanya trauma masa lalu. Histeria
yang muncul dalam diri klien tersebut salah satunya adalah
bentuk ketidakmampuan mengendalikan tuturan. Untuk
itulah, Jung memberikan terapi pada perempuan klien
tersebut. Gambaran tersebut tampak pada adegan berikut.

Gambar 11: Jung memberikan terapi kepada klien


(Sumber: A Dangerous Method, 2011)

194 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Adegan tersebut terjadi ketika Jung memberikan terapi
psikoanalisis kepada kliennya. Jung menggunakan metode
terapi wicara dengan kliennya. Ia berusaha menggali pulsi
ketidaksadaran individual ataupun pulsi ketidaksadaran
kolektif dari kliennya. Sabina Spielrien, sang klien memiliki
masalah traumatis dengan masa lalunya. Ia pernah
mengalami masalah psikologis dengan orang tuanya.
Karena itulah, dia mengalami histeria yang ditandai dengan
ketidakmampuannya dalam mengendalikan diri ketika ia
berbicara dengan orang lain. Pada masa itu, seseorang
yang mengalami histeria dianggap sebagai orang yang
kerasukan setan sebab salah satu tanda dari orang yang
terkena histeria adalah orang yang berbicara ngelantur
dan tidak jelas. Padahal, dalam konteks kejadian ini, orang
tersebut bukan karena dirasuki oleh setan melainkan karena
ada gangguan psikologis dalam dirinya dan salah satunya
bisa disembuhkan dengan terapi psikoanalisis.
Diskusi dan terapi wicara Jung dengan Sabina Spielrien
dilakukan secara simultan dan bertahap. Sabina Spielrien
yang terkena histeria, memang menginginkan Jung agar
menjadi terapis untuk mennyembuhkan dirinya dari kejaran
trauma masa lalu yang menyebabkan dirinya mengalami
histeria. Hal tersebut tentunya dengan persetujuan kedua
belah pihak. Gambaran tersebut tampak pada penggalan
dialog berikut.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 195


00:02:06,846 --> 00:02:08,167
Saya yang merawatmu kemarin.

00:02:11,512 --> 00:02:12,419


Aku tidak...

00:02:13,452 --> 00:02:15,849


Aku tidak...
tidak marah , kau tahu.

00:02:19,647 --> 00:02:21,423


Biarkan saya jelaskan apa yang ada dipikiran saya.

00:03:26,794 --> 00:03:31,750


Semacam, Aku tak bisa melihatnya dan ini membuatku merasa
ingin muntah.

00:03:31,790 --> 00:03:36,498


Aku mulai berkeringat,
Keringat dingin.

Penggalan dialog antara Jung dan Sabina Spielrien


menunjukkan hubungan yang akrab dan menyenangkan.
Hal itu memang dilakukan oleh seorang terapis psikoanalis
ketika menggali masalah trauma ataupun masalah
ketidaksadaran yang terdapat dalam diri sang klien. Hal
tersebut dilakukan agar seorang klien bisa menceritakan
apa-apa yang selama ini dipendamnya secara mendalam.

196 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Melalui terapi yang bersifat akrab dan menenangkan
tersebut, seorang klien akan dengan mudah mengeksplorasi
masalah individualnya dengan tanpa hambatan. Jung
sebagai seorang terapis menyilakan si klien Sabina Spielrien
mencoba berdamai dengan masalah yang terdapat dalam
dirinya. Ia pun memberikan solusi-solusi atau yang disebut
dengan treatment psikologis guna penyembuhan si klien.
Dialog tersebut muncul ketika Jung menanyai bagai-
mana tanggapan Sabina Spielrein tentang dirinya sendiri.
Sabina Spielrein sangat tidak suka dan muak jika melihat
ayahnya sendiri. Menurutnya, sang ayah adalah sosok
yang pemarah, temperamental, dan melecehkan Sabina
Spielrein . Hal itulah yang membuat Sabina Spielrein sema-
kin traumatis dengan masa lalunya yang menurutnya kelam
dan membuat dirinya ketakutan dengan masa lalu itu.
Melalui dialog-dialog yang dilakukan secara simultan
tersebut tekanan yang berada dalam diri sang klien diharap-
kan akan berangsur-angsur menurun. Dengan demikian, si
klien akan merasa lebih lega sebab bisa mengeluarkan uneg-
uneg yang masuk dalam alam bawah sadar yang selama ini
dipendamnya begitu lama. Dalam kasus Sabina Spielrien,
ia merasa dilecehkan secara seksual oleh orang ayahnya
semasa ia kecil. Hal tersebut menjadi masalah traumatis
dalam dirinya. Ia tidak berani bercerita kepada siapa-siapa.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 197


Jika ia bercerita kepada orang lain, ia akan merasa malu
dan takut jika cerita individualnya tersebut diceritakan
kepada orang lain. Rasa malu dan menyakitkan yang
dipendam semakin lama tersebut mengakibatkan dirinya
mengalami gangguan psikologis. Untuk itu, dalam konteks
psikoanalisis, masalah yang terpendam dan terepresi
tersebut harus dipanggil lagi dan kemudian dikeluarkan
melalui terapi wicara.

00:32:17,530 --> 00:32:20,982


Menurutmu apakah mungkin aku bisas menjadi psikiater?
00:32:22,608 --> 00:32:24,018
Aku tahu kau bisa.

00:32:24,844 --> 00:32:27,754


Aku tak mendengar apapun kecuali reputasi baikmu dalam
pekerjaan di universitas.

00:32:28,873 --> 00:32:31,050


Kau benar-benar orang yang kita butuhkan.

Dalam perjalanan terapi yang berjalan secara simultan,


Jung dan Sabina Spielrien merasakan hal yang berbeda.
Tampaknya, keduanya saling memendam rasa suka. Terapi
yang dilakukan pun tidak hanya di dalam ruangan, tetapi
bisa juga di luar ruangan. Dalam perkembangan selanjutnya,

198 Psikologi Jungian, Film, Sastra


keduanya berdiskusi di sebuah kapal. Berdasarkan pada
dialog tersebut, Sabina Spielrien menanyakan apakah
dirinya bisa menjadi seorang psikiater –pertanyaan tersebut
ditujukan kepada Jung sebagai seorang doktor yang sekaligus
pembimbing mahasiswa doktoral. Jung pun mengungkapkan
bahwa Sabina Spielrien adalah seorang perempuan yang
sangat cocok dan bagus untuk menjadi seorang psikiater.
Memang, pada tahap selanjutnya Jung adalah pembimbing
Sabina Spielrien dalam pengerjaan disertasi.

Gambar 12: Diskusi Jung dengan Sabina Spielrien di Sebuah Kapal


(Sumber: A Dangerous Method, 2011)

Hubungan Jung dengan Sabina Spielrien yang semakin


lama semakin akrab dan dalam ternyata tidak hanya di
konteks hubungan terapis-pasien, tetapi lebih dari itu.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 199


Keduanya, ternyata menjalin hubungan asmara. Jalinan
hubungan asmara yang dilakukan Jung dan Sabina Spielrien
merupakan hal yang masih pro dan kontra.
Beberapa penulis, misalnya Covington (2003:1)
menunjukkan secara eksplisit bahwa “Sabina Spielrein
is perhaps best known for her love affair with Carl Jung”.
Covington sebenarnya menunjukkan bahwa dirinya juga
mengikuti fakta-fakta yang ada jika Jung memang terlibat
hubungan asmara dengan Sabina Spielrein. Covington
juga menunjukkan bahwa hubungan asmara tersebut
tidak hanya berhenti pada titik itu, tetapi mengarah juga
pada konteks yang akademik. Jung dan Spielrein akhirnya
menjadi orang yang memperkuat studi psikoanalisis,
terutama psikoanalisis yang dimunculkan oleh Jung dengan
nama psikoanalitik –yang kelak di kemudian hari lebih
dikenal dengan nama psikologi Jungian. Begitu juga dengan
Cremerius (2003:64). Ia mengungkapkan bahwa percintaan
antara Jung dan Sabina “It is a terrible story” . Affair di
antara keduanya ini dianggap sebagai kisah yang terlupakan
(forgotten). Ini adalah kisah tragis dan buruk sebab terjadi
antara seorang pasien dan terapis. Sigmund Freud dalam
konteks kejadian ini merupakan pihak ketiga yang muncul
sebagai mediator. Dalam konteks ini, Cremerius terlihat
sebagai sosok yang kritis. Ia menginterpretasikan bahwa

200 Psikologi Jungian, Film, Sastra


tindakan yang dilakukan oleh Jung dan Sabina tersebut
merupakan tindakan yang melanggar etika dan disebut
dengan istilah “professional blunder” sebab keduanya,
sama-sama bersalah dalam affair. Memang, bersepakat
atau tidak, dalam konteks etika, seorang terapis tetap
harus memegang teguh etika terapis yang dipegangnya.
Tidaklah etis jika seorang terapis menjalin affair dengan
kliennya dengan alasan pengobatan dan alasan yang
lainnya. Di tambah lagi, waktu itu, Jung sebagai seorang
terapis sudah memiliki istri. Hal itulah yang semakin
membuat masalah Jung dan Sabina Spielrein menjadi
tambah buruk dan tragis dalam dunia terapi psikoanalisis.
Tentunya, pandangan Cremerius tersebut tidak lepas juga
dari kacamata perempuan yang tidak suka melihat seorang
terapis ‘memanfaatkan’ kepentingan individualnya dengan
alasan tertentu.
Minder (2003:137) menunjukkan bahwa affair yang
terjadi antara Jung dan Sabina Spielrein sudah diketahui
orang tuanya. Namun, Jung sebagai seorang psikolog
yang memang menjalin hubungan dengan Sabina Spielrein
tampaknya kesulitan untuk memutus jalinan asmara
tersebut. Diduga, Jung sebagai terapis memang sengaja
tidak melepaskan hubungan affairnya dengan Sabina
Spielrein. Hal itu tampak dari surat orang tua Sabina

Psikologi Jungian, Film, Sastra 201


Spielrein yang tidak diserahkan kepada Freud. Surat
tersebut diduga berisikan keinginan orang tua (dalam
hal ini ibunya) agar anaknya, Sabina Spielrein, tidak lagi
dirawat oleh Jung. Bersepakat atau tidak, Sigmund Freud
juga sudah memberikan diskusi dan arahan kepada Jung
dan juga Sabina Spielrein dalam kaitannya dengan masalah
affair tersebut. Karena itu, dalam tragedi ini, ada tiga nama
besar yakni Jung, Freud, dan Sabina Spielrein.
Kembali pada konteks film A Dangerous Method,
hubungan affair antara Jung dengan Sabina Spielrein juga
ditampilkan secara eksplisit. Mulanya, memang Jung biasa
saja dalam melakukan terapi kepada Sabina Spielrein.
Namun, lama-kelamaan terapi tersebut membuahkan hasil
yang disebut dengan affair. Hubungan Jung dan Sabina
Spielrein tersebut terdengar oleh umum, suatu ketika, ia pun
dikritik dan disindir oleh temannya yang kebetulan menjadi
sesama terapis. Gambaran sindiran tersebut tampak pada
narasi berikut.

00:35:40,049 --> 00:35:41,419


Misalkan saja kau ingin mencumbu mereka?

Dialog tersebut terjadi ketika Otto, teman Jung,


mengunjungi dirinya dan berdiskusi tentang masalah

202 Psikologi Jungian, Film, Sastra


pasien. Otto dengan secara terang-terangan menyindir
Jung bahwa terapi yang terlalu nyaman akan bisa membuat
seorang terapis mencumbu klien. Tentunya, dalam hal ini
didasarkan pada rasionalitas adanya hubungan relasional
yang terarah antara terapis dan klien. Namun, Jung dengan
tegas mengungkapkan bahwa dirinya tidak akan melakukan
hal yang tidak etis dengan melakukan hubungan seksual
dengan klien. Gambaran tersebut tampak pada narasi
berikut.

00:36:41,728 --> 00:36:44,295


Jadi kau tak pernah tidur dengan pasienmu?

00:36:45,814 --> 00:36:46,798


Tentu tidak.

Jung mengungkapkan bahwa dirinya tidak melaku-


kan hubungan seksual dengan perempuan yang dijadi-
kan kliennya. Tentunya, dalam hal ini Jung berusaha
menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang terapis yang
profesional, bukan seorang terapis yang sembrono dalam
melakukan treatment terapi kepada kliennya. Namun,
ketika kisah affair antara Jung dan Sabina semakin
berkembang, Freud juuga turun tangan dan memberikan
masukan kepada Jung agar tidak terjebak asmara dengan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 203


pasien. Jika ia terjebak affair dengan pasien tentunya hal
tersebut merupakan indikasi yang tidak bagus sebab Jung
adalah seorang psikiater yang ternama. Hal tersebut akan
menjatuhkan reputasinya sebagai seorang psikiater muda.
Jung pun melakukan tindakan kompensasif dalam rangka
melindungi dirinya dari masalah affair tersebut. Karena itu,
dia segera menemui Sabina Spielrein dan mengungkapkan
bahwa dia harus mampu menjaga diri agar tidak terjebak
pada sesuatu hal yang tidak etis.

00:55:56,545 --> 00:55:59,533


Cobalah untuk mengingat cinta dan pasien yang aku tunjukkan
padamu saat kau sakit.
00:55:59,534 --> 00:56:01,375
- Itulah yang aku butuhkan darimu sekarang.
- Tentu saja.

00:56:01,780 --> 00:56:03,224


Kau selalu memilikinya.

00:56:03,265 --> 00:56:06,188


- Oh, Tolong jangan pergi.
- Aku harus.

Melalui narasi film tersebut tampak bahwa Junglah


yang berusaha menghindar dari affair yang sudah
terbangun antara dirinya dan Sabina. Namun, Sabina

204 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Speilrein yang terlihat dan terkesan tidak mau ditinggalkan
oleh Jung. Sabina Speilrein sebenarnya merasa nyaman
ketika dirinya berada dekat dengan Jung. Karena itu,
ketika Jung memutuskan untuk menyelesaikan masalah
affair tersebut dengan cepat, tetapi Sabina Speilrein
malah ingin melanjutkan kisah affair yang terjadi di antara
mereka berdua. Namun, dalam lubuk hati yang paling
dalam, Jung sebenarnya sulit untuk meninggalkan Sabina
Speilrein. Karena itu, dirinya merasa dalam dilema yang
berkepanjangan. Di satu sisi dia merasa menyukai Sabina
Speilrein, di satu sisi yang lain, hal tersebut melanggar etika
sebab dia sudah memiliki istri, Emma Rauschenbach.
Dalam perkembangan keilmuan Jung di bidang
psikoanalisis, dia tidak serta merta mengikuti pemikiran
pendahulunya, Sigmund Freud. Salah satunya adalah pemi-
kiran tentang bahwa manusia yang kehidupannya didorong
oleh hasrat seksual. Freud sebagai seorang psikolog lebih
mengarah pada kajian yang eksperimentatif. Dengan demi-
kian, pemikirannya lebih banyak ditopang pada pengalaman
empiris daripada penelitian yang bersifat eksploratif.
Gambaran tersebut tampak pada narasi berikut.

00:37:44,142 --> 00:37:47,587


Menurutku obsesi Freud pada seks mungkin karena ada banyak…

Psikologi Jungian, Film, Sastra 205


Jung menunjukkan bahwa dirinya memang memp-
unyai pemikiran yang berseberangan dengan Freud
masalah wanita dan seks. Dalam pandangan Freud,
manusia memiliki pulsi instinktif yang sangat kuat yaitu
energi libidinal yang mendorong manusia untuk melakukan
apa saja yang diinginkan dalam konteks itu. Jung sebagai
seorang psikoanalis muda lebih cenderung mengungkapkan
bahwa manusia lebih banyak ditopang oleh kekuatan alam
bawah sadar yang berkait dengan ketidaksadaran kolektif.
Dalam alam ketidaksadaran kolektif tersebut manusia akan
memperbaiki dirinya sendiri melalui penemuan jati diri yang
disebut Jung sebagai individuasi.
Jung memiliki pikiran tersendiri dalam kaitannya
dengan perempuan. Jung mengungkapkan bahwa dirinya
berpandangan jika manusia itu memiliki dua sisi. Seoarang
laki-laki memiliki sisi perempuan, sedangkan seorang
perempuan memiliki sisi laki-laki. Hal tersebut muncul
sebab manusia memang dianugerahi dua sisi. Dua sisi
tersebut digunakan untuk menjadikan manusia sebagai
sosok pribadi yang bisa mengenal diri sendiri dan diri
orang lain dengan sebaik-baiknya. Itulah yang disebut Jung
dengan anima dan animus.
00:40:15,938 --> 00:40:18,033
Pernahkah kau berpikir bahwa ada sisi laki-laki pada setiap
wanita...

206 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Istilah anima dan animus yang dimunculkan oleh
Jung menjadi terkenal dan dianggap sebagai teori yang
dimunculkan oleh Jung. Anima adalah sisi laki-laki yang
terdapat dalam diri perempuan, sedangkan animus adalah
sisi perempuan yang terdapat dalam diri laki-laki. Keduanya,
akan saling mencocokkan dan saling memberikan
pemahaman tentang psikologi perempuan dan psikologi
laki-laki.
Dalam perkembangan selanjutnya, Sabina Spielrien
menjadi anak bimbing Jung untuk disertasi yang ditulisnya.
Sabina Spielrien menulis disertasi tentang “On the
Psychological Content of a Case Schizophrenia (Dementia
Praecox) (1911)” yang pada tahap berikutnya –pada masa
sekarang ini-- dibukukan dengan judul The Essential Writing
of Sabina Spielrein (Spielrein, 2019). Buku tersebut berbicara
tentang praktik psikoanalisis yang dilakukan oleh Spielrein
kepada para kliennya. Ia mengutip data-data penelitian
ketika dia melakukan terapi wicara dengan klien-kliennya.
Pandangan Jung sebagai seorang psikoanalis semakin
berkembang dan memang benar-benar menunjukkan arah
yang berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh Freud.
Jung memiliki pandangan yang berkait dengan psikologi
mistis yang digelutinya termasuk yang dijadikan sebagai
bahan dalam disertasinya. Namun, Freud sebagai sang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 207


guru, mentor, dan juga teman diskusi, ternyat tidak begitu
sepemahaman dengan Jung. Hal itulah yang membuat
keduanya mulai renggang. Gambaran Jung dan Freud yang
mendiskusikan tentang perbedaan pemikiran tersebut
tampak pada kutipan berikut.
00:52:45,494 --> 00:52:48,557
Kita tak bisa hanya berkeliaran di daerah spekulatif.

1000:52:48,600 --> 00:52:53,199


Telepati, Sampul buku yang bisa menyanyi, peri yang berada di
dasar taman.

00:52:53,636 --> 00:52:54,836


Itu takkan berhasil.

Narasi tersebut menunjukkan betapa tidak setuju


Freud dengan pemikiran Jung tentang psikologi yang
mengarah pada dunia spekulatif. Dunia yang berbicara
tentang mistisisme dan hal yang mengarah pada konteks
tahayu. Namun, Jung sebagai seorang psikolog yang
memiliki pemikiran yang berbeda dengan Freud, dia
tetap memang teguh apa yang dipikirkannya. Ia ingin
menunjukkan bahwa psikologi tidak hanya berbicara dalam
konteks kesadaran, ketidaksadaran, tetapi juga dalam
konteks yang mistis sebab kemistisan tersebut sebenarnya
bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

208 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Gambar 13: Jung yang berdiskusi dengan Freud
(Sumber: A Dangerous Method, 2011)

Perjalanan pemikiran Jung dalam psikoanalisis ternya-


ta memang tidak berjalan dengan mulus sebab dalam
beberapa tahun kemudian, Jung memutuskan untuk
keluar dari psikoanalisis. Jung selanjutnya mendirikan
psikoanalitik yang merupakan varian baru dari psikoanalisis.
Namun, Jung sebenarnya tidak mengungkapkan bahwa
psikoanalitik merupakan varian baru dari psikoanalisis.
Hanya saja, pandangan dalam psikoanalitik memang
tidak jauh beda dengan psikoanalisis. Karena itu, sebagian
pengikutnya menyebut dengan istilah psikologi Jungian.
Ketika terjadi konflik intelektualitas dengan Freud, Jung
merasa dirinya dalam depresi. Ia merasa bahwa dirinya
tidak bisa melakukan apa-apa. Ia mengalami kebuntulan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 209


intelektual dalam menulis dan melakukan kegiatannya
dalam hal psikoterapi. Pada masa ini, Jung juga sudah
berpisah dengan Sabina Speilrein.
Berdasarkan paparan Sabina Speilrein, ia sudah
menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari Rusia.
Ketika dalam masa depresi, istri Jung, Emma, menemui
Sabina Speilrein. Ia mengungkapkan bahwa Jung saat itu
dalam kondisi yang kurang stabil secara psikologis. Karena
itu, ia berharap Sabina Speilrein berkenan menemui Jung
agar bisa memberikan masukan kepada Jung yang sedang
dilanda masalah psikologis. Gambaran tersebut tampak
pada paparan berikut.
01:26:17,062 --> 01:26:18,273
Jadi kau sudah menikah.

01:26:20,165 --> 01:26:21,091


Ya.

01:26:23,396 --> 01:26:24,717


Dia seorang dokter?

01:26:26,914 --> 01:26:28,944


Ya.
Namanya Pavel Scheftel.
01:26:31,292 --> 01:26:32,217
Orang Rusia.

01:26:40,483 --> 01:26:41,632


Seperti apa dia?

210 Psikologi Jungian, Film, Sastra


01:26:44,120 --> 01:26:45,025
Mirip.

Sabina Spielrein akhirnya bersedia menemui Jung.


Pertemuan keduanya pun berlangsung dengan biasa
saja sebab keduanya saat itu sudah berkeluarga dan
Sabina Speilrein dalam kondisi hamil. Sabina Speilrein
menjelaskan secara gamblang tentang siapa suaminya,
sosok laki-laki yang berasal dari Rusia dan secara tidak
langsung memang memiliki kemiripan dengan Jung. Pada
akhir film ini dinarasikan bahwa Sabina Speilrein pada
akhirnya menuju ke Rusia hidup dengan suaminya di sana.
Film ini merupakan film dokumenter yang menggambarkan
perjalanan kehidupan Jung dalam perspektif intelektual
dan asmaranya. Terlepas dari konteks apapun, film ini ingin
menunjukkan bahwa seorang psikolog yang ternama pun
bisa mengalami masalah psikologis dan masalah affair.
Karena itu, tidak salah jika film ini diberi nama sesuai dengan
judul bukunya, A Dangerous Method.

Jung dan The Soul Keeper (2002)


Film The Soul Keeper (2002) merupakan film roman-
tisme yang mengisahkan romantisme Jung dan Sabina
Speilrein. Jung adalah seorang psikiater dan Sabina
Speilrein adalah kliennya. Film ini berdurasi pendek hanya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 211


90 menit. The Soul Keeper merupakan film yang tidak jauh
beda dengan A Dangerous Method (2011). Keduanya, sama-
sama mengisahkan hubungan romantisme antara Jung
dan Sabina Speilrein. Namun, perbedaannya, film The Soul
Keeper (2002) digarap secara biasa saja jika dibandingkan
dengan film A Dangerous Method (2011) yang digarap dengan
lebih baik dan lebih intelektual sebab banyak memunculkan
dan mengutip pemikiran-pemikiran tokoh psikoanalisis,
yakni Jung, Freud, dan juga Sabina Speilrein. Dalam adegan
awal film tersebut dinarasikan bahwa keluarga dari Sabina
Speilrein mendatangi Jung.

Gambar 14: Keluarga Sabina Spielrein yang datang ke Zurich


(Sumber: The Soul Keeper, 2002)

Keluarga Sabina Spielrein menceritakan bahwa Sabina


Spielrein mengalami histeria semenjak adiknya meninggal

212 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dunia. Meskipun demikian, pada mulanya Sabina Spielrein
sudah mengalami histeria dan histeria yang menjangkiti
Sabina Spielrein semakin lama semakin menguat ketika
adiknya meninggal dunia. Orang tua Sabina Spielrein
tampaknya tidak mampu mengatasi masalah yang mendera
Sabina Spielrein yang konon semakin lama semakin
memburuk. Untuk itu, keluarganya datang dari Russia
menuju ke Jerman, Zurich, untuk menyembuhkan anaknya
tersebut dari histeria. Narasi tersebut tampak pada dialog
berikut.
00: 02: 10,760 -> 00: 02: 13,069
Kami benar-benar tidak tahu
apa yang harus dilakukan, Profesor.

00: 02: 13.240 -> 00: 02: 15.435


Dia sudah seperti ini
selama setahun sekarang ...

00: 02: 15.640 -> 00: 02: 19.110


... Sejak adik perempuannya,
Irina, meninggal karena pneumonia.

00: 02: 19.520 -> 00: 02: 21.397


Dia semakin buruk setiap hari.

Perilaku dan kondisi psikologis Sabina Spielrein


memang tidak terkendali dan menunjukkan bahwa dia tidak

Psikologi Jungian, Film, Sastra 213


mampu mengontrol kemampuan berbicaranya. Ia berbicara
yang di luar bahasa yang biasa atau dalam psikologi
dianggap sebagai bahasa yang neologisme. Seseorang yang
mengalami histeria akan mengeluarkan bahasa-bahasa
yang terkadang tidak dipahami oleh orang lain. Hal tersebut
disebabkan orang yang mengalami histeria tidak mampu
mengontrol kemampuan berbahasanya. Ia memang bisa
berbicara dengan dirinya sendiri, dengan orang lain, tetapi
ia tidak bisa mengendalikan bahasa yang secara tiba-tiba
muncul dari alam pikirannya yang tidak terkendali.
Adegan yang muncul dalam film The Soul Keeper pada
segmen keluarga yang datang pada Jung tidak muncul
dalam A Dangerous Method. Karena itu, adegan ini lebih detil
dalam mengisahkan perjalanan Sabina Spielrein dari Rusia
menuju ke Jerman dalam rangka penyembuhan dirinya
yang mengidap histeria. Ketika diwawancarai Jung dalam
kaitannya dengan terapi, Sabina Spielrein mengungkapkan
kata-kata yang merupakan representasi dari histerianya.
Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut.
00: 05: 25.400 -> 00: 05: 28.073
Profesor Bleuler telah menempatkan saya
yang bertanggung jawab atas kasus Anda.

00: 05: 33.680 -> 00: 05: 34.635


Tidak, dengan lembut.

214 Psikologi Jungian, Film, Sastra


00: 05: 38.960 -> 00: 05: 40.757
Pergi! Biarkan aku mati!

00: 05: 46.600 -> 00: 05: 47.430


Tinggalkan saya.

00: 06: 00.640 -> 00: 06: 05.191


- Mengapa kamu ingin mati?
- Karena aku jahat!

00: 06: 06.600 -> 00: 06: 08.192


Itu hampir tidak cukup alasan.

Narasi dialog antara Jung dan Sabina Spielrein


menunjukkan bahwa Sabina Spielrein merasa bahwa dirinya
tidak nyaman hidup. Ia ingin mati. Ia ingin melakukan tindak
bunuh diri. Memang, waktu itu, sebagai seorang perempuan
yang agak rentan, Sabina Spielrein, mencoba melakukan
bunuh diri dengan cara melukai dirinya sendiri. Sabina
Spielrein merasa dirinya bukan perempuan yang baik-baik.
Ia mengungkapkan itu pada Jung –dalam konteks ini dia
adalah dokter yang diminta oleh sang direktur, Bleuler,
untuk menangani Sabina Spielrein-- dan menganggap Jung
sebagai seorang laki-laki yang baik-baik.
Adegan dalam film tersebut menunjukkan bahwa
Sabina Spielrein berbicara dengan kondisi ketakutan. Jung

Psikologi Jungian, Film, Sastra 215


mengungkapkan bahwa dirinya adalah dokter yang akan
menanganinya. Karena itu, Sabina Spielrein tidaklah boleh
merasa takut kepada Jung sebab Jung adalah terapisnya
yang akan berusaha dengan segala upaya agar Sabina
Speilrein bisa sembuh dari penyakit yang diidapnya tersebut.
Namun, Sabina Speilrein seolah-olah takut berbicara
dengan Jung yang dianggapnya sebagai orang yang masih
baru ‘orang asing’ dalam kehidupan kesehariannya.

Gambar 15: Jung dan Sabina Spielrein sedang berdialog


(Sumber: The Soul Keeper, 2002)

Jung sebagai seorang doktor dan dokter muda dalam


dunia terapi ingin memunculkan metode baru dalam hal
terapi. Karena itu, ketika dia diperintahkan oleh direktur
rumah sakit untuk menangani Sabina Speilrein, ia ingin

216 Psikologi Jungian, Film, Sastra


memunculkan metode tersebut. Sebuah metode yang
digunakan untuk menerapi pasien dengan menggunakan
terapi wicara. Terapi ini sebenarnya merupakan konsep
utama dari psikoanalisis yang dikembangkan dan dipelopori
oleh Sigmund Freud. Karena itu, Jung sebagai teman
kolegial Freud, juga mengembangkan terapi tersebut.
Terapi itu dikenal dan disebut dengan psikoanalisis.
Dalam perkembangan selanjutnya, psikoanalisis masuk
dalam psikologi kepribadian, psikologi klinis. Psikologi
yang berbicara tentang masalah psikologi dalam, jiwa dan
masalah kejiwaan (kompleks, waham, delusi, ilusi).
00: 06: 19.760 -> 00: 06: 22.069
Saya ingin mencoba
perawatan baru dengan Anda.

00: 06: 22.280 -> 00: 06: 24.430


Tidak ada yang dipaksakan.
Tidak ada pancuran air dingin ...

00: 06: 24.680 -> 00: 06: 26.875


... tidak membelenggumu ke tempat tidur.

00: 06: 27.760 -> 00: 06: 30.479


Ini pada dasarnya terdiri
membiarkan Anda berbicara.

00: 06: 31.000 -> 00: 06: 35.039


Apa pun yang muncul di kepala Anda.
Anda berbicara, saya mendengarkan.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 217


Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Jung sebagai
seorang terapis tidak ingin memunculkan model terapi
yang dianggapnya kejam dan sadis. Beberapa contoh hal
yang dianggap kurang etis dan sadis dalam terapi, misalnya,
pasien yang diguyur dengan air dingin, pasien yang diikat
ketika dia meronta dan marah-marah, ataupun pasien
yang dimasukkan dalam kamar yang kecil. Jung berusaha
menghilangkan semua metode-metode dalam terapi yang
demikian sebab baginya terapi tersebut menyakitkan. Ia
akan menerapi klien dengan model yang membiarkan
pasien berbicara tentang masalah yang dialaminya.

Gambar 16: Jung memulai terapi dengan Sabina Spielrein


(Sumber: The Soul Keeper, 2002)

218 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Usaha Jung dalam menerapi Sabina Spielrein tidaklah
sia-sia. Sabina Spielrein mengalami perkembangan yang luar
biasa dalam masa-masa pemberian terapi dan penyembuhan.
Sabina Spielrein berangsur-angsur bisa mengendalikan
dirinya dari histeria yang dialaminya. Perlahan, dengan
menggunakan terapi wicara, Sabina Spielrein mulai
menceritakan masalah yang terdapat dalam dirinya. Ia
mengungkapkan kisah individualnya yang selama ini tidak ia
ceritakan kepada siapapun. Ia sangat malu jika menceritakan
hal tersebut. Namun, kepada Jung, ia menceritakan hal
tersebut sebab ia sudah merasa nyaman dekat dengan Jung.
Gambaran tersebut tampak pada narasi berikut.
00: 23: 32.600 -> 00: 23: 35.319
... dengan satu atau lain cara,
melibatkan unsur cinta.

00: 23: 35.480 -> 00: 23: 38.074


Bisakah saya memberi tahu Anda
salah satu rahasiaku, kalau begitu?

00: 23: 40.600 -> 00: 23: 43.273


Terkadang, saat aku sendirian ...

00: 23: 46,440 -> 00: 23: 47,759


... aku menyentuh diriku sendiri.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 219


Dalam suatu adegan makan, Sabina Spielrein mengi-
sahkan bahwa dirinya suka menyentuh dirinya sendiri.
Tentunya, dalam konteks ini dia melakukan dan menuruti
hasrat libidis yang terdapat dalam dirinya. Sejalan dengan
pandangan Freud bahwa hasrat libidis merupakan hasrat
yang berada dalam alam bawah sadar dan suatu saat
akan keluar dalam bentuk yang ‘sebenarnya’ ataupun
dalam bentuk yang lain. Sabina Spielrein merasa malu
mengungkapkan hal tersebut kepada Jung sebab Jung
adalah dokternya. Dalam konteks psikologis, seseorang
yang merasa bahwa dirinya bersalah akan merasa malu
akan hal dilakukannya. Hal tersebut disebabkan kuatnya
etika yang terdapat dalam diri personal tersebut sehingga
dia merasakan rasa bersalah yang sangat besar dan rasa
bersalah tersebut akan berkepanjangan. Rasa bersalah
tersebut akan semakin menumpuk dan menumpuk. Ketika
semakin menumpuk dan tidak terbendung lagi, seseorang
akan mengalami depresi dengan masalah yang menumpuk
tersebut. Untuk itu, dibutuhkan sarana untuk menyalurkan
jiwa yang berada dalam masalah tersebut.
Dalam beberapa kasus yang terjadi di lapangan, seorang
klien rata-rata malu untuk mengungkapkan masalah
pribadinya kepada orang lain. Ketika seseorang malu untuk
mengungkapkan masalah individunya kepada orang lain,

220 Psikologi Jungian, Film, Sastra


masalah tersebut akan semakin menguat dan semakin
banyak terpendam dalam alam bawah sadarnya. Hal
tersebut sangat kuat terjadi sebab seseorang yang memiliki
masalah individual akan berusaha memendamnya ke alam
bawah sadar dengan menggunakan alam sadar yang masih
bisa dikuasai dan dikendalikan oleh pikiran. Dengan begitu,
seseorang memang bisa memendam, melupakan, dan
menutupi masalah individualnya yang menurut pandangan
pribadi tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Namun,
lama-kelamaan akan terjadi apa yang disebut dengan
eksplosif jiwa, seseorang yang sudah tidak kuat menahan
gelombang dari alam bawah sadar yang berkecamuk
dan siap untuk muncul ke permukaan. Dalam pandangan
taoime, hal seperti ini diibaratkan seperti seseorang yang
memendamkan bola ke dalam air. Bola yang di dalamnya
terisi udara tersebut, ketika semakin ditekan ke dalam air,
akan semakin kuat tekanannya. Dengan begitu, ketika bola
tersebut dilepaskan, bola tersebut akan meloncat keluar
dari air dengan tenaga yang dimunculkan dari air tersebut.
Seperti itulah filosofi jiwa. Jika semakin ditekan, semakin
lama jiwa tersebut menumbuk dan akan meledak seperti
bom waktu. Bom waktu dalam konteks ini, jika belum
meledak, semakin lama semakin besar dan semakin kuat
daya eksplosifnya.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 221


Sabina Spielrein sebagai pasien dari Jung tampaknya
dia tidak begitu sungkan sebab Jung memberikan terapi
yang bersifat wicara dan bukan terapi yang menyakitkan.
Jung sebagai seorang psikiater juga menunjukkan
tanggapan yang tidak serta merta menghakimi bahwa apa
yang dilakukan oleh Sabina Spielrein merupakan tindakan
yang salah dalam perspektif etika ataupun dalam perspektif
psikologis.

Gambar 17: Jung dan Sabina Spielrein di tempat makan


(Sumber: The Soul Keeper, 2002)

Mereka berdua, Jung dan Sabina Spielrein, ternyata


menjalin affair. Namun, dalam perjalanan affair dilakukan
oleh keduanya, Jung merasa bahwa apa yang dilakukanny
adalah perbuatan yang salah sebab dia adalah seorang

222 Psikologi Jungian, Film, Sastra


terapis dan Sabina Spielrein merupakan kliennya yang harus
disembuhkan. Sebagai seorang yang masih memegang
teguh agama dan juga sebagai seorang psikiater yang
memegang etika profesi, tentunya Jung sebagai orang
yang terlibat dengan masalah tersebut merasa benar-benar
bersalah. Karena itu, ia benar-benar ingin menjauhi Sabina
Spielrein dan ingin menghilangkannya dalam ingatannya.
Namun, apa yang ingin dilakukannya tersebut bukanlah yang
mudah sebab dia harus menghilangkan dan memendam
memorinya tentang Sabina Spielrein dalam alam sadar dan
alam bawah sadarnya. Ternyata, hal tersebut sulit dilakukan.
Keduanya, sama-sama saling menyukai sehingga keduanya
juga sulit untuk melepaskan dari hal tersebut. Gambaran
tersebut tampak pada penggalan dialog film berikut.
00: 33: 50.400 -> 00: 33: 51.310
Waktunya habis.

00: 34: 07.240 -> 00: 34: 09.993


- Maafkan aku. Maafkan aku.
- Untuk apa?

00: 34: 13.920 -> 00: 34: 16.514


Kadang-kadang
Saya tidak bisa mengendalikan diri.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 223


Jung sebagai seorang psikiater merasa bahwa dirinya
adalah sosok yang paling bersalah dalam kejadian affair
tersebut. Romantisme yang dilakukannya dengan Sabina
Spielrein bukanlah romantisme yang biasa sebab romantisme
ini terjadi antara terapis dan pasien. Setelah selesai terapi
dengan Jung, Sabina Spielrein berpisah dengannya dan
ia menikah dengan laki-laki yang berasal dari Rusia dan
Sabina Spielrein mendapatkan gelar doktor. Sabina Spielrein
selanjutnya tinggal di Rusia bersama suaminya. Di sana, pada
masa itu masih ramai Nazi. Pada masa ini, banyak orang yang
dibunuh, termasuk Sabina Spielrein. Ketika ia ditangkap oleh
Nazi, ia pun masih mengenang Jung dalam dirinya. Gambaran
tersebut tampak pada adegan berikut.

Gambar 18: Sabina Spielrein yang akan dieksekusi oleh tentara Nazi
(Sumber: The Soul Keeper, 2002)

224 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Gambaran pada masa itu memang mencekam sebab
tentara Nazi memang merajai dan menguasai negara.
Mereka, para tentara Nazi dengan segala kekuatannya,
tidak akan segan-segan membunuh orang-orang yang tidak
sepemikiran dengan idelologi. Karena itu, pada masa itu
banyak orang yang tidak berdosa dibunuh, termasuk orang-
orang yang berasal dari golonganYahudi. Pada masa ini, Nazi
sangat terkenal dengan holocaust, pembantaian membuat
jutaan jiwa manusia yang tidak bersalah melayang. Banyak
orang yang dijadikan tenaga kerja paksa di kamp konsentasi.
Mereka dipaksa bekerja tanpa diperhatikan asupan gizinya
sehingga banyak yang mengalami malagizi dan meninggal
dunia. Untuk orang-orang yang sudah tidak produktif,
mereka dibawa ke kamp pemusnahan, dimasukkan ke
dalam ruangan gas dan di bakar di dalamnya. Dalam film
The Boy in the Striped Pajamas (2008) kamp pemusnahan
itu memiliki sebuah tempat khusus yang berasal dari besi.
Para tahanan diminta mandi terlebih dahulu agar bersih.
Kemudian, secara bersama-sama, mereka digiring tempat
pembakaran tersebut. Ketika mereka masuk dalam ruang
besi tersebut. Pintu pun ditutup rapat-rapat. Kemudian,
dari atas ruangan tersebut dituangkan minyak dan selang
beberapa detik kemudian api pun menjalar di dalam
ruangan tersebut dan semua orang terbakar-terpanggang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 225


di dalamnya. Ini adalah salah satu kekejaman Nazi dalam
melakukan pemusnahan manusia secara kolektif. Mereka
membakar orang-orang yang dianggap sudah tidak layak
ataupun orang-orang yang dianggap membahayakan Nazi.
Ketika Sabina Spielrein menjelang ajal, ia benar-benar
masih teringat dan terkenang dengan Jung sampai dia
mengungkapkan “ When I am dead, I want Dr. Jung to have
my head”. Ketika prosesi pembunuhan terhadap Sabina
Spielrein, Jung –yang waktu itu berada di tempat yang lain-
- merasakan sesuatu yang berbeda yang dianggap sebuah
pelihatan. Kala itu, ia sedang tidur dan ia tiba-tiba terbangun
dan mendengar sebuah tembakan. Padahal, mereka berada
di tempat yang berbeda. Namun, Jung bisa merasakan hal
tersebut. Ia merasakan ada sesuatu yang terjadi. Inilah yang
menurut Jung dianggap sebagai psikologi mistisisme, sebuah
telepati yang muncul ketika empati disstres.

Perbandingan A Dangerous Method (2011) dan film The


Soul Keeper (2002)
Kedua film, yakni A Dangerous Method (2011) dan
film The Soul Keeper (2002) sama-sama merupakan film
semidokumenter yang mengisahkan kehidupan Jung dan
Sabina Spielrein. Kedua film tersebut mendapatkan apresiasi
dari orang-orang yang memiliki konsern kepada dunia

226 Psikologi Jungian, Film, Sastra


psikologi, terutama yang mengarah pada psikologi Jungian.
Selama ini, film yang digarap oleh masyarakat film memang
lebih banyak mengandalkan dan memilih film yang memang
populer dan memiki daya jual di masyarakat dunia. Jika tidak,
produksi perfilman akan gulung tikar sebab sebagaimana
sebuah prediksi klasik bahwa film yang menayangkan idea
akan cenderung dikalahkan oleh film yang menawarkan
kepopuleran. Hal tersebut memang diakui tepat sebab tidak
bisa dipungkiri bahwa orang yang konsern pada dunia filosofis
tentunya sedikit jika dibandingkan dengan orang yang
konsern pada dunia sosial-budaya. Hal tersebut memang
sudah menjadi fakta umum.
Jika ditelusuri lebih dalam, kedua film tersebut A
Dangerous Method (2011) dan film The Soul Keeper (2002,
memiliki persamaan dan perbedaan. Untuk mempermudah,
persamaan dan perbedaan tersebut dimunculkan dalam
bentuk tabel berikut.
Tabel 4: Perbandingan Film A Dangerous Method (2011) dan
The Soul Keeper (2002)
Kategori A Dangerous The Soul Keeper
Method (2011) (2002)
Tokoh utama Jung Sabina Speilrein
Adegan pembuka Sabina Speilrein Sabina Speilrein
yang dibawa yang dibawa ke
menemui Jung rumah sakit di
Zurich

Psikologi Jungian, Film, Sastra 227


Penarasian Lebih banyak Bercerita tentang
bercerita tentang kehidupan
kehidupan Jung Sabina Speilrein
dan Sabina mulai dari awal
Speilrein sampai akhir
(dibunuh Nazi)
Proses terapi Tidak begitu Sangat dikuatkan
psikoanalisis (yang dikuatkan dan menunjukkan
dilakukan Jung) perbedaan
dengan terapi
model klasik
Sosok Freud Sangat kuat Kurang begitu
dimunculkan kuat dalam
pemunculannya
Keluarga Jung Dimunculkan Dimunculkan
dengan kuat secara biasa saja
Adegan penutup Jung bertemu Sabina Speilrein
dengan Sabina yang ditembak
Speilrein yang mati oleh tentara
sudah menikah Nazi
dengan laki-laki
dari Rusia
Tema Romantisme Romantisme
Gaya penceritaan Film digarap Film digarap
dengan lebih kurang optimal
baik sebab lebih dalam kaitannya
kuat dalam dengan
memunculkan memunculkan
pemikiran tokoh pemikiran yang
dalam kaitannya berkait dengan
dengan psikologi masalah psikologi

228 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Kedua film semidokumenter tersebut menunjukkan
persamaan dalam kaitannya dengan masalah romantisme
antara Jung dan Sabina Speilrein yang dianggap sebagai
kesalahan intelektual dan kesalahan profesional dalam
dunia psikologi, terutama psikoanalisis. Namun, bagi
sebagian kalangan akademis yang pro-Jungian berusaha
--menguak, mengungkap, dan mengeksplorasi fakta-fakta
empiris-- menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan
sesuatu yang sekiranya tidak dijadikan sebagai alat untuk
menjatuhkan nama baik Jung yang telah banyak berkiprah di
dunia psikoanalisis. Tentunya, nama besar seseorang akan
lebih mudah jatuh ketika tersandung dengan sesuatu yang
kurang bagus. Namun, dalam pepatah lama diungkapkan
“semakin tinggi pohon, akan semakin besar angin yang
akan meniupnya.”
Jika ditinjau dari segi perbedaan, kedua film tersebut
memiliki sudut pandang yang berbeda. Dalam film A
Dangerous Method (2011), gaya penceritaan lebih mengarah
pada narasi Jung dalam menjalani kehidupan pada saat
ia masih muda. Jung sebagai seorang psikoanalis muda,
banyak memunculkan terobosan dalam kaitannya dengan
psikologi. Ia memang sosok yang kreatif dan inovatif dalam
memunculkan ide-ide yang cemerlang. Karena itu, Freud
sebagai senior dalam bidang psikoanalisis sangat bangga
kepadanya –sebab dia melihat Jung adalah sosok yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 229


visioner dan mampu mengembangkan psikoanalisis di
masa yang akan datang dengan baik dan lebih bermartabat
di mata dunia-- dan bahkan mengangkat Jung sebagai
putra mahkotanya dalam psikoanalisis. Jung beranggapan
bahwa Freud merupakan bapak akademiknya yang turut
menyukseskan dirinya dalam mengembangkan pemikiran
tentang psikoanalisis yang dikembangkannya. Namun,
dalam perkembangan pemikiran, Jung pada akhirnya
memang harus berpisah dengan Freud karena masalah beda
pandangan. Keduanya, baik Jung dan Freud, memutuskan
untuk tidak berdiskusi tentang konteks psikoanalisis
sebab mereka ternyata sama-sama memiliki mazhab yang
berbeda dalam memandang alam bawah sadar manusia.
Dalam The Soul Keeper (2002), kesan pemunculan teori
dan pandangan Jung ataupun Freud tentang psikoanalisis
kurang begitu ditampilkan dengan baik sebab yang lebih
banyak difokuskan adalah penceritaan tentang Sabina
Spielrein secara mendetil dan mendalam. Sisi inilah yang
lebih banyak dibidik dalam film A Dangerous Method agar
memiliki sisi keberbedaan –meskipun film ini lebih didasarkan
pada buku-- dengan The Soul Keeper. Dengan demikian,
kedua film tersebut sama-sama memiliki kekuatan dan gaya
penceritaan yang berbeda sehingga mampu menarik pangsa
pasar yang berbeda pula.

230 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Mimpi, Realita, dan Inception (2010)
Jika di dunia bisa kita temukan mimpi, dalam dunia
film pun kita juga bisa menemukan mimpi. Sebuah alam
yang muncul dari alam bawah sadar manusia adalah alam
mimpi. Film yang berbicara tentang mimpi tentunya
banyak dan tentunya juga menarik, tetapi sampai sekarang
tampaknya belum ada yang semenarik Inception. Film
Inception (2010) adalah film yang berdurasi panjang sebab
148 menit (sekitar 2:28). Film ini dianggap sebagai film
yang kategori science-fiction yang berat sebab selain durasi
filmnya panjang, film ini juga membutuhkan keseriusan
dalam menonton dan menikmatinya. Jika tidak, segmen
film yang terlewatkan akan membuat penonton kehilangan
alur film yang meloncat-loncat tersebut. Ibaratnya, jika kita
menonton film ini dan kita tinggalkan sejenak untuk ke
kamar kecil ataupun membuat kopi di dapur, tentunya kita
akan kehilangan beberapa sekuen dalam film tersebut.
Film Inception sebagai sebuah film yang bergenre
science-fiction tersebut benar-benar membuktikan kekua-
tannya sebagai film yang bermutu secara internasional, hal
tersebut tampak dari empat penghargaan yang diperolenya,
yakni (1) best picture, (2) best original screenplay, (3) best
art direction, dan (4) best original score. Bahkan, film
Inception ini juga tembus box office.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 231


Film ini mengangkat tema tentang mimpi dalam
mimpi. Dalam film ini, sang tokoh utama Dom Cobb,
seorang pencuri kelas kakap. Dalam konteks ini, Dom
Cobb adalah pencuri yang bisa masuk dalam dunia mimpi
seseorang. Karena itu, dia merupakan penjahat yang
model baru dalam melakukan pencurian. Ia menawarkan
model tersebut kepada seseorang yang bernama Mr. Saito.
Gambaran tersebut tampak pada penggalan dialog berikut.
00:14:19,316 --> 00:14:23,444
Mimpi di dalam mimpi, ya?
Aku terkesan.

00:14:24,697 --> 00:14:28,199


Tapi dalam mimpi saya, Kau bermain dengan aturan saya.

00:14:28,367 --> 00:14:30,618


Ah, ya, tapi Anda lihat, Mr Saito ...

Dom Cobb sebagai seorang muda yang memiliki


idealisme menjelaskan bahwa apa yang dilihat oleh Mr.
Saito adalah mimpi. Melalui mimpi tersebut seseorang bisa
mencuri sesuatu melalui alam pikirannya. Agar sang klien
percaya, Dom Cobb mengujicobakannya kepada Mr. Saito
dan ternyata Mr. Saito apresiatif dan terkesan dengan teknik
masuk ke dalam dunia mimpi yang ditawarkan oleh Dom
Cobb. Namun, Mr. Saito meminta lebih dari hal tersebut.

232 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Mr. Saito menginginkan agar Dom Cobb tidak hanya
masuk dalam mimpi orang lain saja, melainkan masuk dan
juga menanamkan pikiran pada orang lain. memang, hal
tersebut bukanlah hal yang mudah sebab untuk masuk ke
dalam mimpi orang lain saja sudah membutuhkan banyak
strategi, ditambah lagi dengan menanamkan pikiran orang
lain dengan cara masuk ke dalam mimpi orang yang akan
dijadikan sebagai korban yang pikirannya ditanami pikiran
yang lain.

Gambar 19: Mr. Saito dan Dom Cobb yang berada dalam mimpi
(Sumber: Inception, 2010)

Mimpi yang muncul ketika tidur memang merupakan


hal yang berada dalam alam bawah sadar. Namun, dalam
konteks psikoanalisis, mimpi sebenarnya merupakan alam

Psikologi Jungian, Film, Sastra 233


sadar manusia. Seseorang yang sedang bermimpi, dalam
pandangan masyarakat awam, dianggap tidak sadar sebab
yang bersangkutan sedang tidur dan orang yang tidur tidak
bisa merasakan apa-apa dan tidak bisa melakukan apa-
apa. Namun, dalam pandangan psikoanalisis, seseorang
yang bermimpi tersebut sadar dengan rasioanalisasi (1)
seseorang yang bermimpi dikejar-kejar oleh anjing, ia akan
berusaha melarikan diri dari kejaran anjing tersebut ataupun
dia akan menghajar anjing tersebut sampai mati; (2) seseo-
rang yang bermimpi bisa mengendalikan mimpinya. Ketika
dia bermimpi sesuatu yang tidak menyenangkan, ia akan
berusaha melakukan kompensasi menuju jalan yang menye-
nangkan; dan (3) ketika seseorang bermimpi, dia masih bisa
merekam dan menceritakan mimpinya dengan detil (catatan:
beberapa kasus tertentu memang ada orang yang merasa
bahwa dia bermimpi, tetapi dia tidak mampu menjelaskan
ataupun menceritakan mimpinya kepada orang lain).
Cara masuk dalam alam mimpi ternyata sangat
menarik. Untuk memahami bahwa seseorang sedang dalam
mimpi ataukah berada dalam alam nyata, dia menggunakan
sebuah alat yang mirip gasing (dalam konteks ini disebut
dengan totem). Alat tersebut memiliki kekuatan sebagai
penanda bahwa seseorang pada kondisi itu sedang berada
di alam realitas ataupun berada di alam mimpi.

234 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Jika totem tersebut diputar, sang pemimpi akan
segera tahu bahwa dirinya sedang dalam posisi di mimpi
ataukah di alam realitas. Jika dia berada di alam realitas,
sang pemimpi tersebut tidak akan mengalami perubahan
tempat. Artinya, dia tidak dalam kondisi berada di suatu
tempat tertentu. Adapun ketika seorang pemimpi berada di
dunia realitas, tetapi ia ingin memahami benarkah ia berada
di dunia realitas ataukah berada di di dalam dunia realitas
yang terdapat dalam dunia mimpi, ia tinggal menggunakan
totem tersebut. Jika tidak mengalami perubahan berarti
dia berada di dunia realitas yang benar-benar realitas dan
bukan berada dalam dunia relitas yang berada dalam mimpi.
Berikut visualisasi dari totem yang digunakan sebagai alat
untuk memahami apakah seseorang bermimpi atau tidak.

Gambar 20: Totem yang digunakan sebagai penanda mimpi


(Sumber: Inception, 2010)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 235


Alat yang berupa gasing tersebut (catatan: selanjutnya
disebut dengan totem) tidak boleh dilupakan ataupun
hilang sebab alat tersebut sangat penting. Dalam kondisi
apapun, alat tersebut harus dijaga dengan aman dan di
simpan ditempat yang benar-benar aman, di dalam saku,
di kotak, ataupun di dalam dompet. Sang pemimpi dan
alat itu tidak boleh jauh sebab jika jauh nanti alat tersebut
mudah hilang. Jika alat tersebut hilang, seseorang yang
sedang masuk dalam dunia mimpi akan kesulitan kembali
ke dalam alam real. Dalam jangka waktu yang lama, orang
yang masuk dalam mimpi dan jika ia tidak sadar tatkala
berada dalam mimpi, mau tidak mau dia akan tersesat
dalam mimpi dan menjadi mimpi yang tak bertepi. Jika
sudah demikian, seseorang yang masuk dalam mimpi itu
akan sangat sulit kembali ke alam nyata.

Gambar 21: Dom Cobb yang mendiskusikan inception


(Sumber: Inception, 2010)

236 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Tawaran Dom Cobb yang ditunjukkan kepada Mr.
Saito yang berkait masuk ke alam mimpi. Mr. Saito lebih
menginginkan menanamkan sesuatu di pikiran orang lain.
Melalui penanaman pikiran kepada orang lain tersebut
masuk dalam mimpi, itulah yang disebut dengan inception.
Penanaman pikiran dengan pikiran tersebut memang
belum pernah dilakukan oleh Dom Cobb sebab hal tersebut
sulit untuk dilakukan, meskipun bisa dilakukan. Mr. Saito
ingin agar Dom Cobb masuk dalam pikiran Fischer dan
memberikan pikiran-pikiran yang lain. gambaran tersebut
tampak pada penggalan narasi berikut.
00:47:35,435 --> 00:47:38,688
Dan menyarankan konsep-konsep
ke pikiran sadar Fischer.

00:47:38,855 --> 00:47:40,690


Kemudian, ketika kita membawanya ke
tingkat yang lebih ...

00:47:40,857 --> 00:47:44,360


... proyeksi Browning sendiri yang
harus memberi makan untuk kembali kepadanya.

00:47:44,528 --> 00:47:46,445


Jadi dia memberi dirinya sendiri ide.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 237


Dom Cobb dan kawan-kawan berusaha merancang
strategi dalam kaitannya masuk ke dalam pikiran orang
lain. Untuk masuk ke dalam pikiran orang lain tersebut
melalui tiga tahapan mimpi. Tingkatan dalam mimpi
tersebut memiliki tahapan dan durasi yang berbeda. Dom
Cobb menjelaskan bahwa tingkatan pertama dalam mimpi
berdurasi selama seminggu. Enam bulan di tingkatan
kedua. Adapun durasi untuk mimpi tingkatan ketiga sangat
lama, yakni 10 tahun.
Kawan-kawannya Dom Cobb merasa keberatan
ketika berbicara tentang mimpi tingkat ketiga. Mereka
berpandangan ketika menuju ke mimpi ke tingkat ketiga
tentu penuh dengan risiko yang tinggi dan harus disertai
dengan kemauan yang kuat. Seseorang yang menuju ke
tingkat mimpi yang ketiga harus mampu mempersiapkan
diri untuk menjelajahi mimpi selama sepuluh tahun
dengan catatan itupun mereka belum tentu bisa kembali
ke alam realitas. Hal itulah yang tampaknya membuat
teman Dom Cobb merasa canggung untuk masuk ke
dalam mimpi tingkat ketiga –seandainya mereka ternyata
terpaksa masuk ke dalam mimpi ketiga tersebut-- yang
sangat berat.

238 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Gambar 22: Dom Cobb yang berdialog dengan temannya
(Sumber: Inception, 2010)

Diskusi tentang mimpi pun semakin mendalam, tim


Dom Cobb pemikiran futuristiknya mampu menata dan
memprediksi hal yang akan terjadi di masa yang akan
datang. Mereka sudah memikirkan bagaimana caranya
masuk dalam mimpi yang berlapis-lapis. Namun, yang
menjadi masalah utama adalah siapa yang mau masuk
ke dalam mimpi yang ketiga, mimpi yang memiliki durasi
selama 10 tahun. Durasi tersebut bukanlah durasi yang
cepat dalam kehidupan keseharian. Namun, sebagai tim
yang solid mereka berusaha agar tetap bisa melakukan
agenda untuk masuk ke dalam mimpi yang memang sudah
menjadi rencana mereka. Dom Cobb menunjukkan bahwa

Psikologi Jungian, Film, Sastra 239


salah satu cara jitu untuk mengembalikan seseorang yang
masuk dalam mimpi tahap ketiga, harus ada hentakan
yang kuat. Sebuah hentakan yang mampu menembus
tiga tahapan mimpi. Hentakan tersebut tentunya haruslah
hentakan yang kuat sebab harus mampu melampaui ketiga
mimpi. Gambaran tersebut tampak pada penggalan narasi
berikut.
00:52:19,094 --> 00:52:21,762
Ini minggu, tingkat pertama ke bawah.

00:52:22,472 --> 00:52:25,307


Enam bulan tingkat kedua ke bawah,
dan tingkat ketiga ...

00:52:25,475 --> 00:52:26,892


Itu 10 tahun.

00:52:29,562 --> 00:52:31,730


Siapa yang ingin terjebak
dalam mimpi selama 10 tahun?

Berdasarkan narasi tersebut tampak bahwa mimpi


tahap ketiga tampaknya merupakan mimpi yang
menakutkan sebab mimpi tersebut sangat dalam dan
sangat lama untuk dilalui oleh seseorang. Jika saat ini dia
masuk dalam mimpi berusia 50 tahun, ia akan keluar dari
dalam mimpi tersebut pada usia 60 tahun. Tentunya, dalam

240 Psikologi Jungian, Film, Sastra


masa tunggu selama 10 tahun tersebut akan muncul suatu
masalah, yakni bagaimana d engan kondisi fisik dan psikis
orang tersebut. Kondisi fisik dan psikis harus bisa dijaga
dengan baik sebab jika tidak, akan menjadi masalah besar.
Munculnya masalah tersebut tatkala seseorang yang
kembali dari mimpi ternyata fisiknya sudah rusak sehingga
ia sulit untuk kembali lagi ke fisiknya tersebut. Untuk
mengatasi hal tersebut, kawan Dom Cobb memberikan
solusi yang jitu,yakni memberikan obat penenang yang
banyak dan juga obat penunjang kesehatan. Hal tersebut
dilakukan jika mereka terpaksa masuk dalam mimpi
tahap ketiga, mereka tidak akan mudah terbangun sebab
mengonsumsi banyak obat-obatan penenang. Selain itu,
untuk menjaga fisik, mereka mengonsumsi obat penunjang
kesehatan.
Dalam perjalanan mimpi tahap pertama yang diujicoba
oleh Dom Cobb, ternyata dia bisa menemui istrinya –yang
sudah meninggal sejak lama-- dalam mimpi tersebut.
Tentunya, Dom Cobb sangat senang sebab dia bisa
menemui istri tercinta yang sudah lama meninggal. Ia
memang benar-benar merasa kehilangan ketika istrinya
meninggal dunia dan Dom Cobb sangat bahagia ketika
dia bisa bertemu dengan istrinya tersebut. Namun, yang
menjadi masalah adalah istrinya ingin mengikuti dirinya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 241


keluar dari mimpi. Dom Cobb dalam hal ini mengalami
dilema yang berkepanjangan. Hatinya berada di antara dua
sisi. Pada satu sisi, Dom Cobb ingin tetap bersama istrinya
di dunia mimpi. Pada sisi yang lain, dia ingin tetap hidup di
dunia sebab di dunia itu kedua anaknya yang masih kecil
menunggu dirinya kembali dari perjalanan jauh dalam
rangka mencari jawaban tentang kematian sang istri.
Tim Dom Cobb pun akhirnya mencoba mempraktikkan
masuk ke dunia mimpi lawannya, Fischer. Cara yang
dilakukannya sangat jitu, mereka memesan pesawat yang
kebetulan pesawat tersebut ditumpangi oleh Fischer.
Melalui bantuan Mr, Saito, maskapai pesawat tersebut
dibeli olehnya langsung. Dengan demikian, di pesawat, Dom
Cobb dan kawan-kawan bisa melakukan aksinya dengan
leluasa tanpa harus takut diketahui oleh si Fischer ataupun
juga bodyguardnya (pada waktu naik pesawat ternyata
Fischer hanya sendirian). Di pesawat tersebut, Dom Cobb
dan kawan-kawan mulai beraksi untuk masuk ke dalam
mimpi Fische. Langkah awalnya, mereka membius Fischer
dan memasang peralatan –ditempelkan ke tangan Fischer--
yang digunakan untuk masuk ke dunia mimpi. Merekapun
masuk dalam dunia mimpi secara bersama-sama. Namun,
dalam dunia mimpi mereka bersama Fischer, ternyata ada
hal yang muncul di luar dugaan.

242 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Di tengah jalan, mereka (Dom Cobb dan kawan-kawan)
memang bisa menyandera Fischer, tetapi langkah tersebut
tiba-tiba berantakan gara-gara ada kereta yang muncul di
tengah jalan. Tentu saja, kereta yang berjalan dengan cepat
tersebut di luar dugaan Dom Cobb dan kawan-kawan.
Mereka tidak menyangka bahwa ada kereta di tengah
jalan yang menabrak mereka. Tidak hanya itu, mereka
juga diserang oleh kelompok yang tidak dikenal. Kelompok
tersebut bersenjata lengkap dan menyerang Dom Cobb dan
kawan-kawan dengan cara yang membabi buta. Hal inilah
yang membuat mereka bingung sebab tidak sesuai dengan
skenario di awal sewaktu akan masuk ke dalam mimpi.

Gambar 23: Dom Cobb, kawan-kawan, dan skenario yang di luar


rencana
(Sumber: Inception, 2010)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 243


Mereka sangat bingung ketika rencana masuk dalam
mimpi Fischer tersebut sudah diketahui oleh si musuhnya.
Tentunya, dalam hal ini mereka baru memahami bahwa
kemungkinan Fischer memiliki ekstraktor yang mampu
menangkal ataupun melawan seseorang yang ingin masuk
dalam pikirannya. Namun, hal tersebut baru diketahui
oleh Dom Cobb dan kawan-kawan ketika mereka masuk
dalam mimpi. Dalam kondisi yang seperti itu, Mr. Saito
mengalami pendarahan dan sekarat. Hal itu membuat
Dom Cobb dan kawan-kawan semakin bingung sebab
untuk menyelamatkan Mr. Saito bukanlah perkara mudah
karena mereka ada dalam dunia mimpi. Gambaran tersebut
tampak pada narasi berikut.
01:07:47,980 --> 01:07:49,747
Lalu kenapa kami disergap?

01:07:49,815 --> 01:07:52,233


Mereka bukan proyeksi normal.
Mereka sudah dilatih, demi Allah.

01:07:54,320 --> 01:07:55,945


- Bagaimana ia bisa dilatih?
- Fischer memiliki extractor ...

01:07:56,113 --> 01:08:00,325


... Mengajarkan alam bawah sadarnya untuk membela diri,
sehingga alam bawah sadarnya adalah militer.

01:08:00,492 --> 01:08:02,118


Ini seharusnya ditunjukkan dalam penelitian

244 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Dom Cobb dan kawan-kawan merasa bahwa prediksi
mereka meleset dari dugaan. Mereka ternyata tidak
mengetahui bahwa lawannya adalah sosok yang tanggunh.
Lawan yang sudah mempersiapkan diri ketika dia akan
didatangi musuh melalui alam bawah sadarnya. Tentunya,
hal tersebut mengagetkan Dom Cobb dan kawan-kawan.
Karena itu, Dom Cobb sangat marah kepada temannya yang
tidak memantau lebih dalam mengenai kehidupan Fischer
sebelumnya agar tidak terjadi kegagalan kelak di kemudian
hari. Ketika mereka mendapati Mr. Saito terluka parah,
mereka-- Dom Cobb dan kawan-kawan—ingin kembali ke
alam nyata, alam real yang bukan tempat mimpi. Namun,
untuk kembali ke dunia real bukanlah perkara yang mudah
sebab mereka ternyata diberi obat penenang yang terlalu
tinggi dosisnya. Dengan demikian, untuk kembali ke alam
real dibutuhkan tenaga yang begitu kuat.

Gambar 24: Dom Cobb dan kawan-kawan menyoal limbo


(Sumber: Inception, 2010)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 245


Perjalanan mimpi mereka ternyata tidak hanya masuk
pada tahapan mimpi kedua. Mereka ingin masuk pada
tahapan mimpi yang ketiga sebab mereka ingin bisa benar-
benar masuk dalam pikiran Fischer. Namun, sama seperti
halnya dalam mimpi yang pertama dan mimpi yang kedua,
mereka dikejar oleh orang-orang yang muncul sebagai
proyeksi dari Fischer yang dianggap sebagai ekstraktor.
Orang-orang inilah yang menyerang perjalanan Dom Cobb
dan kawan-kawan dalam mimpi mereka. Perjalanan dalam
mimpi mereka tidaklah semudah yang dibayangkan sebab
banyak elemen yang tiba-tiba muncul dalam mimpi yang
sebenarnya sudah diprediksi oleh mereka.
Dalam mimpi yang ketiga, tokoh Dom Cobb ternyata
bertemu lagi dengan istrinya yang sudah meninggal dunia.
Sang istri, Mal namanya, mengajak dia untuk hidup di
dunia mimpi tersebut. Sang istri mengungkapkan bahwa
inilah kehidupan yang sebenarnya, sebuah kehidupan
yang real dan bukan kehidupan yang unreal. Namun, Dom
Cobb sadar bahwa dirinya tidak mungkin melakukan hal
tersebut. Ia tahu bahwa yang berkata pada dirinya adalah
bayangan istrinya yang ada di masa lalu dan bukan istrinya
yang ada di masa yang sekarang sebab istrinya sudah
meninggal dunia.

246 Psikologi Jungian, Film, Sastra


02:08:08,221 --> 02:08:10,999
... Saya tidak bisa membayangkanmu
dengan semua kompleksitas yang ada ...

02:08:11,099 --> 02:08:13,643


... Semua kesempurnaan Anda,
semua ketidaksempurnaan Anda.

02:08:14,770 --> 02:08:15,770


- Kau baik-baik saja?
- Ya.

02:08:15,937 --> 02:08:17,772


Lihatlah dirimu.

02:08:19,024 --> 02:08:23,944


Kau hanya naungan.
Kau hanya bayangan dari istri saya yang sebenarnya.

Dom Cobb memang mengakui bahwa dirinya sangat


cinta kepada istrinya. Ia sangat sedih ketika ditinggal oleh
istrinya mati –dengan cara yang tragis, yakni bunuh diri,
meskipun dalam pandangan istrinya kematian itu adalah
untuk menemukan dunia yang real, bukan berada dalam
dunia mimpi—dan ia merasa yang paling bertanggung
jawab atas kematian istrinya. Dom Cobb sama sekali tidak
menduga bahwa istrinya berani melakukan bunuh diri
sebab berdasarkan hasil pemeriksaan psikolog, istrinya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 247


dalam kondisi yang sehat jiwanya dan tidak ada masalah
dengan konteks pikiran. Namun, malapetaka tetap terjadi,
sang istri bunuh diri tepat di depan matanya Dom Cobb dan
lebih parah lagi bunuh diri tersebut dilakukan ketika mereka
berdua memperingati hari ulang tahun pernikahan.

Gambar 25: Dom Cobb bertemu istrinya di mimpi tingkat ketiga


(Sumber: Inception, 2010)

Dom Cobb sebenarnya merasa senang dan nyaman


ketika bertemu istrinya. Sebagai seorang suami, ia merasa
bersalah membiarkan sang istri bunuh diri –sewaktu berada
dalam dunia nyata—dan ia tidak mampu menolongnya.
Karena itu, Dom Cobb berusaha mencari jalan untuk
menemui istrinya, salah satunya adalah melalui jalan masuk
ke dalam mimpi. Dalam pandangan Jung (1961), seseorang

248 Psikologi Jungian, Film, Sastra


memang bisa bertemu seseorang yang lain dalam mimpinya.
Hal tersebut merupakan wilayah dalam alam ketidaksadaran
kolektif manusia. Jung menunjukkan bahwa ketika dia
mengalami sakit parah, dirinya bermimpi bahwa dia
bertemu dengan sosok istrinya (catatan: istrinya Jung sudah
meninggal). Dalam mimpinya tersebut Jung melihat bahwa
istrinya berparas sederhana dan biasa saja. Jung percaya
bahwa yang dilihat dalam mimpinya tersebut adalah istrinya.
Selang beberapa waktu kemudian, Jung tutup usia. Hal ini
menunjukkan bahwa mimpi memang bisa membuka jalan
seseorang untuk bertemu dengan orang lain yang terdapat
dalam mimpi tersebut. Hanya saja, pertemuan dalam mimpi
tersebut bisa muncul dalam bentuk mimpi yang kategori
laten dan mimpi yang kategori manifest.
Pertama, mimpi laten. Mimpi laten (Freud, 1955) ialah
mimpi yang tidak terlihat secara kasat mata. Dalam hal ini,
mimpi yang muncul banyak dibalut dengan simbolisme-
simbolisme, baik simbolisme yang kontemporer ataupun
simbolisme yang archaik. Untuk itu, seorang pemimpi
harus mampu menginterpretasikan mimpi dengan bagus
berdasarkan simbolisme-simbolisme tersebut. Begitu juga
seorang interpreter, mereka juga harus mampu mengaitkan
simbolisme dengan konteks mimpi sang pemimpi. Hal
tersebut sangat penting untuk dilakukan agar tidak terjadi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 249


kesalahan interpretasi simbol-simbol mimpi. Jika terjadi
kesalahan dalam penafsiran simbol mimpi, hal tersebut
akan berakibat fatal.
Tafsir simbolisme yang archaik memang lebih berat
dan sulit sebab seseorang –dalam hal ini adalah sang
interpreter—harus memahami simbolisme yang berada
dalam kitab suci, mitologi, ataupun bahkan data-data yang
muncul pada masa prasejarah. Hal tersebut sangat penting
sebab seseorang bisa memahami simbolisme archaik dari
data-data tersebut. Pemahaman yang komprehensif tentang
simbolisme yang archaik lebih mudah dan memudahkan
sang interpreter dalam memaknai simbolisme daripada
yang kurang memahami teks-teks kuno dalam kaitannya
dengan simbolisme. Karea itu, Freud (1955) menunjukkan
bahwa simbolisme yang muncul dalam mimpi dalam konteks
modern terkadang tidak lepas dari simbolisme-simbolisme
yang archaik. Hal ini mengisyaratkan bahwa sang pemimpi
tidak mungkin bisa memunculkan simbolisme yang archaik
jika dia tidak mempelajari kitab-kitab kuno ataupun tentang
mitologi-mitologi yang terdapat pada masyarakat masa
lampau.
Dalam sebuah mitologi Yunani, Oedipus Rex,
mengisahkan seorang anak (Oedipus) yang membunuh
ayahnya sendiri (seorang raja Thebe, Lailos). Kesalahan

250 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yang muncul dalam tragedi pembunuhan ini adalah adanya
salah interpretasi terhadap ramalan yang dimunculkan
oleh Oracle Delphi. Berdasarkan pelihatan Oracle Delphi,
ditunjukkan bahwa Oedipus kelak akan membunuh
ayahnya sendiri. Dalam konteks ini, pelihatan/terawangan/
ramalan, hampir sama dengan dunia mimpi, di dalamnya
banyak simbolisme-simbolisme yang harus ditafsirkan
dengan tepat sebab ketidaktepatan dalam menafsirkan
akan berakibat malapetaka. Hal itupun terjadi pada kisah
Oedipus Rex, ia pada akhirnya membunuh ayahnya sendiri.
Padahal, dia sudah berusaha melarikan diri dan menjauh
dari orang tuanya. Dalam kisah ini, Oedipus memang
dibuang oleh ayah aslinya dan dia ditemukan oleh seorang
bapak. Ketika Oedipus besar, ia tidak tahu bahwa ayah yang
dianggap sebagai orang tua kandung adalah ayah tirinya.
Karena itu, ketika dia berusaha menjauhi orang tua aslinya
(padahal ayah tiri) agar dia tidak membunuh ayahnya, tetapi
dia malah bertemu dengan seorang raja yang ternyata raja
tersebut ayah kandungnya sendiri. Ia pun pada akhirnya
membunuh ayah kandungnya tersebut. Itulah sebuah
kegagalan dalam menafsirkan simbol-simbol yang muncul
dalam pelihatan ataupun dalam mimpi yang laten.
Dalam konteks mimpi yang laten, terkadang tidak hanya
dibaluti oleh banyaknya simbol yang samar-samar, tetapi

Psikologi Jungian, Film, Sastra 251


juga munculnya mimpi laten yang bersifat distorsi. Istilah
distorsi pada hakikatnya berkait dengan penyimpangan
mimpi, seseorang yang bermimpi bertemu dengan orang
yang dicintainya, bisa jadi dalam alam kenyataan ia gagal
bertemu dengan orang yang dicintainya. Dengan demikian,
seseorang yang menafsirkan mimpi harus mampu mencoba
mendistorsi mimpi-mimpi tersebut. Pada beberapa kasus
mimpi yang berkait dengan judi, para pejudi berusaha
membolak-balik karakter yang muncul dalam mimpi, misal
saja seseorang yang bermimpi tentang membunuh kadal,
digigit kadal, kadal masuk rumah. Mimpi tentang kadal
dalam perjudian tersebut bisa muncul dengan angka 40,
60. Namun, angka togel tersebut bisa dibalik sebab angka
dalam mimpi tersebut bersifat distorsi. Penggunaan distorsi
tersebut tidak selamanya benar sebab pendistorsian
tersebut bisa muncul secara tepat dan tidak tepat.
Mimpi yang terlalu banyak simbolisme, mimpi aneh,
mimpi yang menakutkan, jika preferensinya tinggi, bisa
jadi disebabkan bukan karena isi mimpi, melainkan karena
isi pikiran. seseorang yang jiwanya dalam masalah atau
mengalami gangguan jiwa, isi pikirannya cenderung
memunculkan hal yang aneh-aneh. Hal yang aneh-aneh
tersebut akan muncul dalam mimpi mereka. Karena itu,
seseorang yang mengalami schizhoprenia, akan mengalami

252 Psikologi Jungian, Film, Sastra


mimpi yang didatang hantu jahat, orang yang sangat besar
dan menakutkan, mimpi dikejar-kejar orang yang tidak
dikenal, mimpi dipukuli oleh orang yang tidak dikenal.
Mimpi-mimpi tersebut sebenarnya merupakan representasi
dari pikiran sang pemimpi yang sebenarnya terganggu oleh
masalah alam berpikir. Karena itu, dalam konteks ini, yang
harus menafsirkan mimpi adalah sang terapis mimpi. Melalui
mimpi-mimpi tersebut sang terapis bisa menyembuhkan
seseorang yang sedang mengidap schizophrenia.
Kedua, mimpi manifest, mimpi yang manifest (Freud,
1955) berarti mimpi yang benar-benar sesuai dengan
realitas kejadian yang ada dalam kehidupan real, misal saja
seseorang yang bermimpi bertemu dengan orang yang
sangat dibencinya, ternyata dalam kehidupan yang nyata,
orang tersebut benar-benar bertemu dengan orang yang
dibencinya. Kejadiannya pun terkadang sama tempat, sama
waktu, dan sama suasana. Mimpi yang jenis kedua ini lebih
mudah ditafsirkan sebab tidak banyak simbol yang muncul
di dalamnya. Dengan begitu, kemungkinan terjadi salah
tafsir terhadap mimpi tersebut sangat jarang. Mimpi bagi
orang-orang yang normal biasanya lebih cenderung muncul
dalam bentuk yang biasa-biasa saja dan tidak aneh sebab
mimpi juga bisa dipengaruhi oleh alam berpikir seseorang.
Seseorang yang jiwanya dalam kondisi normal dan stabil,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 253


akan memunculkan mimpi yang normal dan stabil juga,
tetapi seseorang yang jiwanya tidak stabil, sulit untuk
memunculkan mimpi yang normal dan stabil.
Dalam pandangan Jung (1961) mimpi-mimpi yang
muncul sebenarnya bisa menjadi penyembuh dalam diri
manusia. Karena itu, ketika ada masalah, terkadang mimpi
akan menuntun manusia untuk menemui jalan pencerahan,
sebuah jalan mediator untuk menuju sebuah resolusi dalam
sebuah masalah. Karena itu, Jung tidak begitu mendukung
pandangan Freud bahwa mimpi lebih cenderung ditopang
oleh simbolisme-simbolisme yang seksisme. Jung lebih
berpandangan bahwa mimpi merupakan sebuah proses trans-
formasi diri untuk menjadi manusia yang lebih baik selama dia
bisa menginterpretasikan mimpi tersebut dengan baik.
Kembali pada film Inception (2010), setelah mereka
–Dom Cobb dan kawan-kawan—berhasil memengaruhi
pikiran Fischer, mereka kembali ke alam real dengan
menggunakan hentakan yang kuat. Dom Cobb, dengan
berat hati meninggalkan istrinya, Mal, yang berada dalam
mimpi tingkat ketiga. Sebenarnya ia sangat menyukai
istrinya, namun satu hal yang berada dalam pikirannya
bahwa istrinya adalah proyeksi diri saja dan bukanlah istrinya
yang sebenarnya. Di alam real, dia masih mempunyai dua
anak yang masih menunggunya. Karena itu, Dom Cobb

254 Psikologi Jungian, Film, Sastra


mencoba kembali ke alam real demi anak-anaknya yang
sangat dicintainya. Tentunya, untuk kembali ke alam real
tersebut membutuhkan kekuatan yang sangat besar sebab
dia akan meninggalkan istrinya yang berada di alam mimpi
tingkat yang ketiga.
Sebelum menuju ke alam real, Dom Cobb mencoba
menemui Mr. Saito. Padahal, teman-temannya Dom Cobb
sudah keluar dari mimpi tahap ketiga. Mereka sudah menuju
ke mimpi tahap kedua –yang pada waktu itu kondisinya
mereka jatuh di sungai bersama dengan Fischer dan Peter
(pamannya Fischer). Mereka mempertanyakan mengapa
Dom Cobb tidak ikut keluar dari mobil yang tenggelam.
Ternyata, Dom Cobb masih mencari Mr. Saito, bukan mencari
istrinya sebab Dom Cobb sudah mampu mengendalikan
alam pikirannya. Dalam perjalanannya tersebut, Dom Cobb
memang benar-benar bertemu dengan Mr. Saito dan pada
waktu itu Mr. Saito sudah tua. Dalam pertemuan itu, Mr. Saito
pun sudah mulai melupa tentang kejadian yang terjadi di
masa mudanya. Diskusipun terjadi di antara mereka berdua.
02:16:33,393 --> 02:16:35,769
<i>Sesuatu yang pernah Anda tahu.</i>

02:16:38,606 --> 02:16:40,858


>”Bahwa dunia ini tidak nyata”

Psikologi Jungian, Film, Sastra 255


02:16:45,780 --> 02:16:50,284
Untuk meyakinkan saya untuk menghormati
pengaturan kita?

02:16:51,119 --> 02:16:53,871


Untuk melakukan lompatan kepercayaan, ya?

02:16:59,961 --> 02:17:01,295


<b>Kembalilah ...</b>

02:17:03,840 --> 02:17:07,217


<i>... Sehingga kita dapat
muda bersama lagi.</i>

Dom Coob menunjukkan kenangan lama mereka


berdua bahwa semasa muda mereka pernah mendiskusikan
tentang kesepakatan di antara mereka. Sebuah kesepakatan
untuk menjadi muda lagi dalam sebuah pertemuan di
tempat yang real, bukan di tempat yang namanya alam
mimpi sebab mimpi bukanlah tempat yang real bagi
kehidupan manusia. Mimpi adalah tempat bersemayamnya
alam bawah sadar manusia yang penuh dengan simbolisme-
simbolisme. Mimpi itu akan selalu ada dan selalu bermain di
dalam alam pikiran bawah sadar manusia. Untuk itu, Dom
Coob menemui Mr. Saito tua dan mengajaknya kembali ke
dunia yang real, bukan dunia mimpi.

256 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Gambar 26: Mr. Saito yang menjadi tua
(Sumber: Inception, 2010)

Film Inception tersebut memang sangat kuat berbicara


tentang mimpi dan memang mengandalkan alur film dari
kekuatan mimpi. Film ini mulai dari awal sampai akhir lebih
banyak berbicara tentang alam mimpi. Sebuah lompatan
tentang mimpi dalam mimpi dalam mimpi dan kembali dari
mimpi menuju alam real. Kekuatan mimpi sangat besar
dalam film ini sehingga mimpi dikaitkan dengan inception,
penanaman pikiran dengan pikiran.
Jika disimpulkan, film Inception tersebut memunculkan
tiga hal utama tentang mimpi. Pertama, mimpi sebagai
kerja dari alam bawah sadar memiliki tingkatan yang
disebut dengan tahapan dalam mimpi, meliputi tahapan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 257


pertama, tahapan kedua, dan tahapan ketiga. Ketiga
tahapan tersebut miliki durasi yang berbeda, semakin
dalam tahapan mimpi, akan semakin lama. Kedua, mimpi
bisa dimasuki melalui alam pikiran dan untuk masuk
dalam mimpi menggunakan alat, selanjutnya untuk
kembali ke alam real si pemimpi tersebut menggunakan
totem. Keempat, mimpi yang terdapat dalam alam bawah
sadar bisa dikendalikan oleh manusia sebab mimpi juga
merupakan alam pikiran manusia. Dengan demikian, mimpi
tersebut bisa dikendalikan oleh manusia.

258 Psikologi Jungian, Film, Sastra


8
JUNG DAN SASTRA

S ebagai seorang psikolog, Jung tidak melupakan wilayah


kajian yang lain, yakni wilayah sastra. Jung memandang
sastra sebagai teks yang di dalamnya memunculkan jiwa
di dalamnya. Melalui sastra, seseorang bisa belajar dan
menggali kearifan, kehidupan, archetype, ataupun hal yang
berkait dengan masalah psikologis lainnya. Karena itu,
Jung dalam perspektif sastra: melalui pandangan masa lalu
atau yang disebut dengan mite dianggap sebagai sebuah
pemikiran yang tidak akan lekang oleh masa sebab di
dalamnya mengandung archtype yang bersifat archaistik.
Mite tersebut masih akan relevan dengan zaman sekarang
sebab mite merupakan hasil dari pemikiran manusia yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 259


‘memurba’. Dalam konteks sastra kontemporer, Jung (1961,
1981) menyukai bacaan-bacaan sastra dari pengarang yang
terkenal pada masa itu, yakni Goethe, Gustave Flaubert,
Dante, dan Nietzche. Sosok Goethe sebagai seorang
pengarang sangat disukai oleh Jung sebab Goethe adalah
kakek buyutnya. Jung (1961) membaca karya Goethe, Faust.
Seorang penganut psikologi Jungian, von Franz
(1980) menegaskan bahwa Jung sebagai psikolog
memang menyukai bacaan kesastraan. Untuk itu, Jung mene-
laah bidang kesastraan dan memberikan contoh psikologi
yang dikaitkan dengan sastra. Tacey (2007) menunjukkan
bahwa studi psikologi Jungian bisa digunakan untuk meneliti
karya sastra. Begitu juga dengan Rowland (1999), Fike (2014)
semakin memperkuat fakta bahwa studi psikologi Jungian
bisa digunakan dalam konteks kesastraan terutama sastra
kontemporer. Adapun Leigh (2015), Gill (2019) menelaah
sastra dengan perspektif psikologi Jungian dengan fokus
utama archetypal. Studi yang dilakukan oleh peneliti sastra
tersebut menunjukkan bahwa psikologi Jungian memang
bisa digunakan untuk meneliti sastra, baik perspektif penulis/
pengarang; perspektif karya; dan perspektif pembaca.
Berdasarkan paparan tentang Jung dalam konteks sastra
tampak bahwa (1) Jung memang merupakan seorang psikolog
yang sekaligus menyukai bidang kesastraan sehingga ilmu

260 Psikologi Jungian, Film, Sastra


psikologinya dikombinasikan dengan ilmu sastra dan Jung
memang menggunakan (beberapa) data sastra untuk bidang
psikologi yang dikembangkannya tersebut. Hal tersebut
mempermudah Jung dalam menjelaskan fakta-fakta psiko-
logis sebab sastra juga tidak lepas dari fakta psikologis
kemanusiaan; (2) berdasarkan riset yang dilakukan oleh
para psikolog yang propsikologi Jungian, mereka memang
melakukan riset dengan menggunakan data sastra. Hasilnya,
para peneliti tersebut bisa menemukan hal lain dalam
kaitannya dengan psikologi Jungian yang digunakan dalam
karya sastra. Mereka –para penganut psikologi Jungian—
percaya bahwa studi psikologi Jungian bisa dilakukan dengan
menggunakan data sastra dan hal tersebut juga telah diuji
oleh Jung ketika menggunakan data sastra. Melalui studi
yang dilakukan dengan menggunakan data sastra, hal
tersebut semakin menunjukkan pula bahwa sastra memang
kaya akan jiwa manusia, baik sebagai eksplorasi ataupun
sebagai narasi tentang jiwa manusia; dan (3) menunjukkan
adanya hubungan timbal-balik antara psikologi dan sastra
dan sastra dengan psikologi sebab keduanya merupakan
studi yang juga membicarakan jiwa manusia.
Diakui atau tidak, tidak banyak seorang psikolog
yang memang menyukai sastra dan mengaitkan sastra
dengan studi psikologi yang digelutinya. Jung sebagai

Psikologi Jungian, Film, Sastra 261


seorang psikolog merupakan satu di antara sekian banyak
psikolog yang mau menggeluti dunia sastra dan mengim-
plimentasikan teori psikologi dengan sastra. Sebagaimana
diketahui bersama, psikolog yang lainnya, --sesama
psikoanalisis--, misalnya Freud, Anna Freud, Fromm, dan
Adler, tidak begitu banyak mengaitkan teori psikologinya
dengan konteks kesastraan.
Para tokoh psikoanalisis yang lainnya, berdasarkan
amatan penulis, memang kurang dieksplorasi tentang
diskusi ilmiah yang mengaitkan psikologi dengan sastra.
Hal tersebut sangat wajar dan maklum sebab kecintaan
terhadap sastra tidaklah dipaksakan. Karena itu, muncullah
pepatah yang berbunyi “de gustibus non est disputandum”
yang bermakna bahwa tak ada yang patut diperdebatkan
jika menyangkut masalah selera. Memang demikianlah
adanya, seorang psikolog yang menyukai sastra, biarlah
dia menyukai sastra sedangkan psikolog yang menyukai
nonsastra, biarlah dia menyukai hal tersebut sebab
keberbedaan dalam keilmuan merupakan suatu keindahan
tersendiri dalam kehidupan. Jika dalam kehidupan ini
sama saja antara yang satu dengan yang lainnya, tentunya
kehidupan ini menjadi tidak asyik dan tidak menyenangkan.
Tampaknya, pengaitan antara sastra dan psikologi dan
pengaitan psikologi dengan sastra tidak lepas dari minat

262 Psikologi Jungian, Film, Sastra


seseorang. Siapapun itu, ketika minat sastranya tinggi, mau
tidak mau dia akan mempertahankan dan mengaitkannya
dengan bidang keilmuan yang lain selama hal tersebut masih
relevan dan masih memiliki ketepatan dalam berlogika. Hal
itulah yang dipegang oleh Jung sebagai seorang psikolog
yang menaruh minat pada bidang kesastraan.
Adanya keberkaitan dan antara sastra dan psikologi
dan psikologi dengan sastra hal ini tentunya merupakan
angin segar bagi para pecinta sastra, baik yang teoretis,
akademis, maupun praktis. Melalui sastra yang merupakan
hasil proses kreatif sang pengarang, seorang pembaca bisa
menggali lebih dalam apa yang terdapat di dalamnya.
Sebuah penggalian tentang dunia yang berbicara tentang
psike manusia. Seorang sastrawan dalam melahirkan karya
sastra tidaklah lepas dari psikologi. Dalam hal itu, seorang
pengarang muncul dalam tiga kategorial, yakni sebagai
berikut.
Pertama, seorang pengarang yang memahami dan
menguasai ilmu psikologi. Pengarang jenis ini merupakan
pengarang yang multitalenta sebab dia bisa mempelajari,
memahami, dan menguasai ilmu psikologi, baik secara
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Pengarang jenis
ini sangatlah jarang sebab untuk mampu memahami dan
menguasai dua wilayah keilmuan merupakan hal yang berat

Psikologi Jungian, Film, Sastra 263


dan tidak semua orang bisa menguasainya dengan baik.
Sastrawan jenis ini akan sangat baik dalam menarasikan
konteks psikologi yang muncul dalam karya sastra yang
dibuatnya sebab dia memang memahami dan menguasai
ilmu psikologi. Karakter tokoh dalam sastra juga akan
tampak lebih hidup sebab secara psikologis sang tokoh
sudah dinarasikan seperti manusia yang memiliki jiwa.
Selain itu, sastrawan kategori ini merupakan sastrawan
yang secara sadar memunculkan ilmu psikologi dalam
karya sastra. Untuk pembaca, sastra jenis ini sangat bagus
dipelajari terutama bagi pembaca yang menginginkan
mempelajari psikologi melalui jalur kesastraan. Jika
mempelajari psikologi melalui jalur murni, artinya belajar
psikologi dengan teks-teks psikologi, tentunya rasanya
menjadi kering dan kaku. Image ini muncul disebabkan
bidang keilmuan yang berbeda, tetapi bagi orang yang
memang memiliki bakat dan penyuka psikologi, tentunya
kering dan kaku merupakan sesuatu yang menyenangkan
sebab orisinal. Namun, dalam konteks dunia sastra,
seseorang akan merasa lebih estetis ketika membaca
perpaduan antara sastra dan psikologi yang diramu dan
diracik menjadi satu narasi.
Guna memahami konteks ini, seorang pembaca sastra
juga harus memiliki bekal keilmuan yang berkait dengan

264 Psikologi Jungian, Film, Sastra


psikologi. Hal ini sangat perlu dan sangat dibutuhkan guna
menguatkan interpretasi seseorang dalam melahirkan
interpretasi psikologis yang tepat terhadap karya sastra.
Jika sang pembaca sastra kurang kuat dalam memahami
bidang keilmuan psikologi, ia akan terseok-seok dalam
memahami psikologi yang terdapat dalam karya sastra
tersebut. Bahkan, yang lebih parah lagi adalah ketika sang
pembaca mengungkapkan ia tidak mendapatkan apa-
apa dari apa yang dipelajarinya. Tentunya, filosofi yang
digunakan “hanya orang yang tidak tahu apa-apa yang
mampu mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan apa-
apa dari sesuatu yang dibacanya”. Hal itu, menunjukkan
kadar kemampuan seseorang dalam menafsirkan sesuatu
sehingga dirinya mengatakan dia tidak mendapatkan apa-
apa. Padahal, apa yang dibacanya tersebut sangat berbobot
dan bagus.
Kedua, sastrawan yang memunculkan psikologi di
dalam karya sastra secara parsial. Artinya, sastrawan dalam
konteks ini adalah sastrawan yang memahami psikologi,
tetapi hanya konteks yang umum saja. Dengan begitu,
pemahaman tentang psikologi masih di permukaan.
Meskipun demikian, sang sastrawan menyisipkan
psikologi dalam sastranya sehingga sastra tersebut masih
memunculkan kekuatan psikologinya. Tentunya, dalam hal

Psikologi Jungian, Film, Sastra 265


ini, sang pembaca bisa mengambil ilmu psikologi dari sastra
yang ditulis oleh sastrawan tersebut. Namun, sang pembaca
juga harus mampu mengenali dan memahami latarbelakang
sastrawan tersebut dalam kaitannya dengan psikologi yang
dianut oleh sang sastrawan. Sastrawan yang melahirkan
sastra kategori ini memang kadar sadar ataupun tidak sadar
memasukkan ilmu psikologi tertentu dalam karyanya. Untuk
kategori ini, psikologi sastra masuk kategori kedua dari
segi isi. Meskipun demikian, ketika kekuatan psikologinya
kategori umum, tetapi karya sastranya bagus, tetap saja
karya sastra yang dilahirkan tersebut bagus sebab psikologi
hanyalah pemanis saja dalam sastra.
Ketiga, sastrawan yang kurang memahami ilmu
psikologi. Sastrawan kategori ini merupakan sastrawan
yang memang memiliki keahlian dalam menulis sastra.
Sastrawan yang memang memiliki bakat dalam kaitannya
dengan melahirkan karya sastra. Namun, beberapa kasus
yang terjadi menunjukkan bahwa sastrawan kategori
ini secara akademis jenjang pendidikannya tidak tinggi
sehingga pemahaman tentang ilmu psikologi tidak
mendalam. Bahkan, jika boleh mengatakan sastrawan
tersebut tidak mempelajari ilmu psikologi. Meskipun
demikian, sastrawan kategori ini memiliki kelebihan
kaitannya dengan orisinalitas.

266 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Sastrawan jenis ketiga ini bisa menulis dengan orisinal
karakter tokoh yang terdapat di dalamnya. Jika merujuk
pada archetype, manusia memiliki pikiran yang sama dalam
derajat yang berbeda. Dengan demikian, sastrawan kategori
ini memang tidak memunculkan ilmu psikologi di dalam
karya sastranya. Namun, ia secara tidak sadar memang
memunculkan ilmu psikologi di dalamnya. Tentunya, mun-
culnya ilmu psikologi tersebut bukan disebabkan sang
sastrawan mempelajari ilmu psikologi, tetapi lebih pada
kemampuannya dalam memunculkan ilmu psikologi yang
muncul secara tidak sadar dari dalam dirinya. Tipe-tipe
sastrawan seperti ini merupakan sastrawan yang memiliki
kekhasan tersendiri sebab bahasa menggunakan bahasa
yang orisinal dari kehidupan keseharian dan pengalaman
empiris yang telah mereka lalui.
Sastrawan memiliki strategi tersendiri dalam memba-
ngun psikologi tokoh dalam karya sastra. seorang sastrawan
yang mumpuni di bidang keilmuan psikologi bukan berar-
ti dia akan bagus dalam melahirkan karya sastra. begitu
juga seorang sastrawan yang kurang mumpuni dalam
memahami psikologi, berarti kurang bagus dalam memun-
culkan karya sastra yang dilahirkannya. Semuanya, baik
yang ahli psikologi dan yang tidak ahli psikologi sama-
sama memiliki kemampuan dalam melahirkan karya sastra.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 267


hanya saja, yang menjadi penentu adalah masyarakat
pembaca. Di tangan merekalah karya sastra yang dilahirkan
oleh sang pengarang dikritik, nikmati, dan dinilai apakah
sastra ini merupakan sastra kanon ataupun yang bukan
sastra kanon. Namun, satu hal yang paling penting adalah
melahirkan karya sastra adalah sebuah ungkapan jiwa dan
pengungkapan jiwa itu adalah ilmu psikologi dalam bentuk
yang lain.
Sastra bisa digunakan sebagai mitra dialog (partner of
a dialogue) dalam kaitannya dengan psikologi (Jauregue,
2017:1169). Pemikiran Jauregue tersebut tidak lepas dari
pandangan psikoanalisis bahwa sastra dan psikologi memang
memiliki keberkaitan. Tentunya, keberkaitan tersebut harus
mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah agar terbukti
benar-benar sebagai ilmu pengetahuan yang kokoh. Selama
ini, studi psikoanalis –dalam pandangan orang-orang yang
beraliran psikologi kesadaran—dianggap sebagai psikologi
yang kurang mampu mempertanggungjawabkan kadar
keilmiahannya sebab menggunakan kajian yang fokusnya
pada alam ketidaksadaran. Padahal, alam ketidaksadaran
tersebut sulit untuk diukur dengan menggunakan skala
keilmuan yang mengandalkan adanya fakta empiris. Jika
fakta empiris tersebut sulit dimunculkan dan ditampakkan
sebagai penguat keterandalan suatu ilmu pengetahuan,

268 Psikologi Jungian, Film, Sastra


ilmu pengetahuan tersebut akan sulit berterima di kalangan
masyarakat luas.
Diakui atau tidak, masyarakat saat ini lebih mengandal-
kan keilmiahan dalam berbagai ilmu pengetahuan. Jika tidak
mampu memunculkan hal tersebut, mau tidak mau ilmu
tersebut akan tenggelam dengan sendirinya sebab digerus
oleh perkembangan keilmuan yang semakin lama semakin
menuntut keilmiahan, keempirisan, dan kegeneralisasian.
Studi psikologi dalam sastra memang memunculkan pro dan
kontra sebab sastra sebagai teks kreatif tentunya agak sulit
digunakan sebagai data empiris dalam kaitannya dengan
psikologi. Hal itu wajar sebab memang sastra dilahirkan
dalam rangka proses kreatif sang pengarang dan tidak
ada tendensi dalam kaitannya dengan masalah psikologis,
meskipun memang ada riak tendensi psikologis. Berkait
dengan kontroversi psikologi dalam studi sastra, Santos et
al. (2018:767) mengemukakan bahwa logika dalam psikologi
bertentangan dengan kesastraan (opposite to literature).
Logika dalam psikologi tersebut tidak bisa dikaitkan
dengan logika dalam sastra sebab keduanya sebagai
disiplin ilmu memiliki logika yang berbeda dalam keilmuan
dan penerapannya. Logika yang berbeda tersebut tidak
bisa disandingkan, tetapi di dalamnya bisa dikaitkan dan
diselaraskan sehingga bisa memunculkan keberhubungan
yang saling berkaitan antara satu dan lainnya.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 269


Melalui kajian psikologi sastra yang sudah marak saat
ini –meski tidak semarak bidang keilmuan yang lainnya--,
studi tentang sastra tidak hanya berorientasu di konteks
sosiologi ataupun antropologi tetapi juga mengarah pada
bidang yang psikologi. Dengan begitu, kekuatan studi
psikologi sastra bisa sejajar dengan studi sosiologi sastra
yang terdapat dalam konteks kritik sastra. Semoga para
peminat dan pendukung psikologi sastra berjuang agar
studi psikologi sastra masih kuat dan makin lama harus
lebih kuat.

Studi Sastra dan Cerita Rakyat dan Psikologi Jungian


Studi sastra dan cerita rakyat yang berkait dengan
psikologi Jungian bukanlah sebuah studi yang baru. Studi
kategori psikologi Jungian dalam konteks sastra dan cerita
rakyat cenderung mengarah pada studi archetype. Salah
satu hal yang paling mendasari mengapa studi sastra
dan cerita rakyat lebih mengarah pada archetype sebab
archetype merupakan teori Jungyang dianggap sebagai
teori yang paling kokoh dan paling orisinal. Faktanya, Jung
memang banyak bergelut dengan teori archetype selama
puluhan tahun agar archetype benar-benar menjadi teori
yang teori.

270 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Jika ditelusuri lebih dalam, studi psikologi Jungian
memang banyak terasuki oleh pemikiran Jung tentang
archetype, misal saja dalam simbolisme mimpi dan anima/
animus. Kesemuanya tidak lepas dari diskusi tentang
archetype. Untuk menemukenali archetype yang sebenar-
nya tidak lepas dari ketidaksadaran kolektif manusia, lebih
mudah mendapatkannya dari sumber data mitologi sebab
sumber data tersebut sampai sekarang masih ada dan masih
konkret. Hal itu tampaknya juga dijadikan pedoman bagi
para psikolog untuk menemukan archetype. Studi sastra
dan cerita rakyat yang berkait dengan psikologi Jungian
sudah pernah dilakukan oleh peneliti berikut (catatan: data
sementara yang dilakukan oleh penulis sampai tahun 2019).
Neumann (1963) memperdalam studi archetype
Jungian dengan menelaah mitologiYunani kuno. Ia menggali
mitologi Yunani kuno dan dihubungkaitkan dengan konteks
pattern of archetype. Neumann menunjukkan bahwa
struktur dalam dewi yang terdapat dalam mitologi Yunani
kuno sebenarnya terpolakan dan memiliki simbolisme-
simbolisme yang memerlukan pemaknaan secara men-
dalam. Merujuk pada pandangan Jung, archetype dalam
mitologi salah satunya adalah dewi. Karena itu, Neumann
lebih mengarahkan pada dewi yang terdapat dalam mitologi
Yunani. Neumann menemukan bahwa dewi dalam Yunani

Psikologi Jungian, Film, Sastra 271


kuno muncul dalam tipikal perusak-pembangun, baik-jahat,
bumi-langit.
Studi yang dilakukan oleh Neumann (1963) tersebut
sangat bagus dan detil dalam menggali data sebab dia
menunjukkan paparan hasil analisis yang berkait dengan
dewa-dewi pada bagian lampiran. Hal tersebut sangat
memudahkan pembaca untuk memahami bagaimana
struktur pola archetype dewa-dewi Yunani jika meng-
gunakan pandangan psikologi Jungian yang difokuskan
pada archetype. Neumann juga sangat mengenali dan
memahami data naratif tentang para dewa-dewi sehingga
hal tersebut memudahkan dirinya dalam memaparkan
archetype tentang dewa-dewi Yunani.
Von Franz (1997) menggali archetype dari cerita rakyat
yang terdapat di berbagai negara. Sebagai seorang penganut
psikologi Jungian, ia menunjukkan secara komprehensif
cerita rakyat dunia yang memiliki pola archetypes. Studi
tersebut merupakan hasil interpretasinya selama bertahun-
tahun dalam kaitannya dengan archetype. Hasil penelitian
tentang archetype dan cerita rakyat tersebut dirangkum
dari serangkaian kuliah Von Franz pada tahun 1974 di C.G.
Jung Institut di Zürich dan kemudian dibukukan menjadi
buku yang berkait dengan archtype.

272 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Ahmadi (2011) meneliti tentang cerita rakyat Pulau
Raas, Madura dengan menggunakan psikologi Jungian. Ia
menggunakan teori archetype yang biasanya secara umum
digunakan dalam penelitian cerita rakyat, yakni (1) tokoh,
(2) perjalanan, (3) peristiwa, dan (4) imaji. Ia melakukan
penelitian dengan studi etnografis untuk mendapatkan
data tentang cerita rakyat sehingga data yang diperolehnya
berupa data sastra lisan yang ditransliterasikan dan
kemudian ditranskripsikan. Berdasarkan hasil penelitian,
Ahmadi menunjukkan bahwa cerita rakyat Pulau Raas
sebagai hasil pemikiran primordial memiliki archeytpe
yang sama. Kesamaan dengan yang cerita rakyat yang
lainnya tersebut disebabkan karena keterpengaruhan dan
juga karena disebabkan adanya idea yang sama dalam
archetype.
Ahmadi (2017) meneliti tentang cerita rakyat Jerman
dengan menggunakan perspektif psikologi Jungian. Pene-
litian tersebut menggunakan pendekatan psikologi kualitatif
dengan sumber data cerita rakyat Jerman. Teori yang digu-
nakan yakni archetype Jungian dan sakralitas-profanitas
Mircae. Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan
archetype Jungian, cerita rakyat Jerman memunculkan
perempuan yang bertipikal sakral dan bertipikal profan.
Munculnya sakralitas dan profanitas dalam diri perempuan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 273


tersebut tidak lepas dari archetype manusia yang muncul
secara primodial dalam diri manusia.
Studi yang dilakukan oleh Ahmadi tersebut agak
berbeda dengan studi yang dilakukan dengan studi yang
dilakukannya ketika menggunakan psikologi Jungian untuk
menganalisis data cerita rakyat. Dalam kaitannya dengan
cerita rakyat Jerman, dia menggunakan data teks tulis cerita
rakyat Jerman yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Begitu juga dengan sudut pandang penelitiannya,
dalam mendekati cerita rakyat Jerman digunakan konsep
sakral dan profan Mircea sehingga hasil penelitian tidak
hanya berbicara tentang archetype yang berkait dengan
tipe perempuan, tetapi juga dikaitkan dengan sakral dan
profan dengan harapan hasil temuan lebih komprehensif.

Jung, Archetype, dan Sastra Kontemporer


Psikologi Jungian tidak hanya bisa dan masuk
dalam studi sastra klasik ataupun cerita rakyat. Psikologi
Jungian juga bisa digunakan dalam studi terhadap
sastra kontemporer. Sastra kontemporer sebagaimana
sastra klasik juga menarasikan hal yang berkait dengan
masalah psikologi, terutama yang muncul melalui tokoh-
tokoh yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Tidak

274 Psikologi Jungian, Film, Sastra


hanya itu, sang pengarang yang melahirkan karya sastra
tersebut tidak lepas juga dari unsur penelitian. Bahkan,
sang pembaca juga. Dengan demikian, seorang pembaca.
Dengan demikian, dalam studi sastra kontemporer, sang
peneliti bisa menelaah lebih dalam dan lebih kompleks
sebab sekarang ini masalah kejiwaan semakin kompleks
dengan meningkatnya kompleksitas kehidupan manusia
modern.
Salah satu novel yang saya sukai adalah Musashi karya
Eiji Yoshikawa. Novel ini merupakan novel yang legendaris
sebab di pengantarnya dipaparkan bahwa novel Musashi
terjual lebih dari jumlah penduduk Jepang pada masa itu.
Hal ini menunjukkan bahwa novel tersebut sangat laris
manis dan memang benar-benar disukai oleh masyarakat.
Ketika saya membaca novel tersebut (tentunya yang sudah
terjemahan dalam bahasa Indonesia) ada hal yang menarik,
yakni sebagai berikut.
Pertama, segi gaya penceritaan yang enak, renyah,
dan mengalir. Tapi, sang pengarang sebagai sosok penulis
yang sudah mumpuni, tetap tidak meninggalkan kesan
estetis sebagai bentuk penciri dari sastra. Sang pengarang,
dalam hal ini Eiji Yoshikawa, menggunakan bahasa yang
memang enak didengar, dibaca, dan dirasakan. Karena
itu, bahasanya menjadi mengalir. Tampaknya, dia bukan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 275


seorang pengarang yang suka menggunakan bahasa yang
penuh dengan simbolisme.
Kedua, narasi di dalam novel tersebut dibuat sederhana,
tetapi pembaca seolah diajak tersedot ke dalamnya
sehingga pembaca sulit berhenti. Jika dikaitkan dengan
istilah sekarang, pembaca seolah tersihir untuk selalu
membaca dan membaca buku tersebut. Saya pun demikian,
novel yang tebalnya 1247 halaman tersebut akhirnya habis
terbaca dalam jangka waktu dua minggu. Ketika narasi
menggunakan bahasa yang sederhana, kalangan remaja,
dewasa, ataupun tua akan mudah dan senang mengikuti
jalan cerita novel tersebut mulai dari awal sampai akhir.
Ketiga, sang penerjemah yang bernama Koesalah S.
Toer tampaknya lihai dalam menerjemahkan sehingga
bahasa yang digunakan masih nyaman. Terkadang, karya
yang besar ketika diterjemahkan oleh seseorang yang kurang
ahli dalam menafsirkan teks kategori kesastraan, esensi
dari sastra tersebut akan hilang sebab sang penerjemah
kurang mampu menangkap makna bahasa sastra tersebut
secara tepat. Memang, dalam seni translasi, yang menjadi
kendala adalah pemahaman bahasa seorang penerjemah.
Untuk itu, seorang penerjemah bidang kesastraan, harus
mampu memahami bidang kesastraan agar tidak terjadi
salah interpretasi dan salah dalam penerjemahan, terutama
untuk makna-makna yang kurang akrab didengar.

276 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Kelima, tema yang digarap oleh sang pengarang berkait
dengan seni pedang, tetapi di dalamnya dibalut dengan
kisah cinta dan perjalanan filsafat zen. Perpaduan tentang
pedang, cinta, dan filsafat ini ternyata diramu dengan
bagus oleh sang pengarang sehingga novel yang tebal
tersebut tidak membosankan di mata pembaca. Tentunya,
tidak membosankan dalam pikiran dan imaji pembaca yang
seolah diajak menyelami kehidupan dalam novel tersebut.
Sebagai novel yang bersekuel panjang, novel Musashi
memunculkan archetype orang tua yang muncul sebagai
berikut. Orang tua yang berkarakter kuat dan tangguh.
Karakter ini muncul pada sosok yang bernama Osugi, ia
merupakan seorang ibu yang berusia sekitar hampir 60-
an tahun. Sebagai seorang ibu, dia digambarkan sebagai
sosok yang kuat dan tangguh dalam memimpin kehidupan
keluarga. Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut.
Di musim tanam ia mencangkul ladang, dan sesudah
panen. la menebah butir-butirnya dengan menginjak-injaknya.
Kalau senja memaksanya berhenti bekerja, ada saja yang dapat
ditemukannya untuk disandangkan ke punggungnya yang
bungkuk dan diangkutnya pulang ke rumah (Yoshikawa, 2001).

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa tokoh Osugi


sebagai seorang ibu benar-benar merupakan sosok yang
tangguh dalam kehidupan keseharian, ia kuat untuk //

Psikologi Jungian, Film, Sastra 277


mencangkul ladang dan memanen// sehingga hal tersebut
merupakan representasi dari seorang perempuan yang
luar biasa. Tidak hanya itu, jika pagi dia ke ladang, ketika
malam “ia dapat ditemui sedang mengurus ulat sutranya”
(Yoshikawa, 2001). Osugi sebagai sosok ibu bukanlah ibu
yang biasa-biasa saja, melainkan ibu yang luar biasa dalam
cara kerja dan cara bertindak. Ia sulit untuk berhenti bekerja
sebab hal tersebut sudah mejadi kebiasaanya dalam hidup.
Bekerja, bekerja, dan bekerja. Ia bekerja mulai dari pagi
sampai dengan malam dan dia juga tidak mengenal rasa
lelah sedikitpun. Di sisi lain, sebagai seorang ibu, ia adalah
sosok yang sangat sayang kepada anaknya, Matahachi.
Ketika selesai perang, ia mencari temannya Matahachi,
Takezo namanya. Osugi berpikir bahwa ketika Takezo
pulang dari perang di Sekigahara dalam kondisi selamat,
tentunya juga Matahachi juga akan pulang dengan kondisi
selamat pula sebab keduanya merupakan teman akrab
sehingga tidak mungkin Takezo akan meninggalkan
Matahachi di medan laga sendirian. Bahkan lebih parah lagi,
membiarkan Matahachi terbunuh di medan laga. Ketika
bertemu dengan Takezo, ia pun menanyakan di manakah
posisi Matahachi saat itu. Takezo pun menjelaskan bahwa
Matahachi melarikan diri dalam perang. Karena itu, dia tidak
bisa bertemu dengan Matahachi. Ketika mengetahui bahwa
Mathachi tidak ada dalam perang dan Matahachi melarikan

278 Psikologi Jungian, Film, Sastra


diri, Osugi merasa bahwa Takezolah yang meninggalkan
Matahachi sendirian di medan perang. Ia sangat kasihan
kepada Matahachi. Perasaan yang demikian merupakan
perasaan sayang yang dimunculkan oleh seorang ibu
kepada anaknya.
Dalam pandangan Fromm (1998), cinta seorang
ibu merupakan cinta tanpa syarat. Cinta tanpa syarat
adalah cinta yang tidak meminta apa-apa. Cinta yang
tidak meminta imbalan kepada anaknya. Cinta yang tidak
menginginkan balas budi dari orang yang paling dia cinta.
Cinta kategori ini merupakan cinta yang berat sebab cinta
tersebut membutuhkan kekuatan dan pengorbanan yang
besar dan energi yang besar pula.
Cinta tanpa syarat adalah sebuah cinta yang memang
sangat besar pengorbanannya untuk orang lain sebab
yang cinta tanpa syarakat adalh cinta yang tidak memiliki
syarat apa-apa dalam mencinta. Tidak semua ibu mampu
memunculkan cinta tanpa syarat, tetapi kebanyakan
seorang ibu memang memiliki cinta tanpa syarat. Bahkan,
seorang perempuan (meskipun bukan ibu) memang memiliki
cinta tanpa syarat. Karena itu, dalam pepatah Inggris ada
ungkapan perempuan itu “give and forgive” dan laki-laki
itu “get and forget”. Pepatah Inggris tersebut menunjukkan
secara eksplisit bahwa perempuan memang benar-benar

Psikologi Jungian, Film, Sastra 279


merupakan sosok yang memiliki kekuatan dalam masalah
cinta yang sejati. Cinta yang tidak mengharapkan imbalan
ataupun balas budi dari orang yang dicintainya. Sungguh
hal tersebut merupakan sebuah cinta yang sulit dilakukan
sebab membutuhkan kekuatan dan kesabaran yang luar
biasa.
Di balik sisi kekuatan dan cinta, tokoh Osugi merupakan
sosok yang pemarah. Ia sangat marah dengan Takezo dan
Osugi ingin membunuhnya. Padahal, jika ditinjau dari segi
fisik, Osugi sudah tua sedangkan Takezo masih muda dan
hebat dalam bermain pedang. Namun, terkadang kekuatan
kemarahan akan mengalahkan segalanya. Seseorang yang
sedang marah memiliki energi yang sangat besar sehingga
dia bisa meledak-ledak dan lupa segalanya, termasuk kondisi
tentang kekuatan dirinya. Manusia terkadang lupa dengan
kemampuan dirinya sehingga hal tersebut membuat dirinya
seolah-olah kuat padahal yang sebenarnya mereka lemah
dari sisi fisik. Ketika rencana membunuh Takezo dengan
model face to face gagal. Ia pun meminta bantuan orang
lain. Osugi meminta bantuan orang-orang yang tidak
suka dengan Takezo agar Takezo ditangkap dan dibunuh.
Cara yang dilakukannya merupakan cara yang licik sebab
dia menjebak Takezo untuk datang ke rumahnya dan ajak
makan-makan. Kemudian, Takezo diminta untuk mandi

280 Psikologi Jungian, Film, Sastra


agar tubuhnya bersih. Dalam kondisi itu, pasukan yang siap
menyerang Takezo sudah mengepung kamar mandi.
“Lekas sana ke kamar mandi,” desak Osugi dengan nada
seorang nenek. “Bahaya sekali berdiri di sini orang bisa melihatmu.
Akan kuambilkan kimono dan pakaian dalam Matahachi
untukmu. Sekarang tenang-tenang saja dan mandilah yang baik.”
(Yoshikawa, 2001)

Berdasarkan kutipan tersebut Takezo memang benar-


benar diperlakukan secara baik oleh Osugi. Namun, sikap
baik yang dilakukan oleh Osugi tersebut bukanlah sikap
yang baik sesungguhnya. Karena itu, Takezo pun tidak
merasa dijebak sebab dia menafsirkan bahwa sang nenek
tersebut perpikiran dan bersikap benar-benar baik. Dalam
konteks filsafat kritis seorang harus mampu menggunakan
konsep “saya percaya jika saya tidak percaya dan saya
percaya dalam ketidakpercayaan saya”. Itu adalah konsep
orang yang berpikir kritis sehingga mereka tidak mudah
ditipu orang dan tidak mudah percaya dengan omongan
orang lain. Pandangan tersebut akan membuat orang tidak
akan tersesat dan mudah dijebak oleh orang lain.
Si ibu yang bernama Osugi tersebut dalam konteks
psikologi Jungian merupakan archetype perempuan.
Archetype tersebut muncul dalam representasi kuat,
sayang, dan pemarah. Dalam pandangan Jung (1953),

Psikologi Jungian, Film, Sastra 281


archetype seorang ibu muncul dalam berbagai segmentasi
sehingga karakter yang dimunculkan juga memiliki keber-
bedaan. Namun, secara genealogis, karakterisasi itu
bersifat archetype sehingga akan muncul dan mengalami
perulangan pada masa yang mendatang.
Sifat yang berulang diistilahkan dengan ouroboros.
Dalam konteks kefilsafatan, istilah ouroboros dikaitkan
dengan filosofi bahwa dalam semua kehidupan, segala
sesuatu akan mengalami perulangan. Munculnya dan
adanya perulangan tersebut disimbolkan dengan ular yang
menggigit ekornya sendiri dalam kondisi melingkar. Hal itu
memang merupakan filosofi hidup bahwa hidup merupakan
sebuah perputaran pemikiran. Seseorang yang perpikiran
tentang bagaimana cara terbang yang muncul pada 10 ribu
tahun yang lalu akan muncul lagi sekarang, tetapi dengan
cara dan karakter yang berbeda sebab zaman dan pemikiran
manusia sudah mengalami perkembangan. Jika pada zaman
dahulu, manusia terbang dengan menggunakan payung
terbang yang bertenagakan angin, sedangkan manusia
sekarang menggunakan balon terbang yang menggunakan
tenaga gas. Kekuatan alam berpikir yang demikian memang
sama seperti masa lalu sebab pikiran merupakan sesuatu
yang archetype dan akan selalu mengalami perulangan
dalam berbagai masa bahkan sampai akhir zaman.

282 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Tokoh Osugi dalam Musashi merepresentasikan
archetype yang dualtipe sehingga dia tidak berdiri pada satu
titik elemen. Osugi sebagai representasi dari perempuan
menunjukkan elemen yang positif dan elemen yang negatif.
Elemen dalam diri perempuan yang bernama Osugi memang
tidak menunjukkan kekuatan satu elemen saja, tetapi
menunjukkan lebih dari satu elemen. Munculnya elemen
yang positif dan negatif dalam diri perempuan merupakan
archetype sebab elemen tersebut akan muncul dan
tenggelam seiring dengan perubahan waktu. Pemunculan
dan penenggelaman elemen tersebut bergantung pada
archetype tersebut muncul dan disimbolkan.
Perempuan itu bilang, tidak cukup membunuhnya seketika,
kita harus menyiksanya dulu (Yoshikawa, 2001)

Osugi sebagai seorang ibu ternyata memang benar-


benar memunculkan naluri kejahatannya. Ia sebagai seorang
ibu sangat tidak terima ketika Matahachi yang ditinggalkan
oleh Takezo di medan perang dan mengakibatkan
Matahachi terbunuh di medan perang tersebut sedangkan
Takezo sampai sekarang masih hidup dan masih kuat seperti
sediakala. Bahkan, sekarang Takezo semakin brutal dalam
membunuh orang-orang yang dianggap sebagai lawan
tandingnya. Ketika Takezo tertangkap oleh Takuan, banyak

Psikologi Jungian, Film, Sastra 283


orang yang berdatangan untuk menyaksikan hal tersebut
dan salah satunya adalah Osugi. Waktu itu, Osugi sangat
ingin agar Takezo dibunuh saja sebab gara-gara Takezolah
anaka kesayangannya yang bernama Matahachi meninggal
dunia di medan perang. Gambaran tersebut tampak pada
kutipan berikut.
Perempuan itu bilang, tidak cukup membunuhnya seketika,
kita harus menyiksanya dulu (Yoshikawa, 2001)

Gambaran tersebut menunjukkan betapa jahatnya


seorang ibu terhadap orang lain. Hal itu memang menun-
jukkan karakter archetype ibu sebagai sebuah elemen
yang negatif sebab dia ingin membunuh orang lain. Dalam
konteks ini, dia ingin membunuh bukan karena kebaikan,
melainkan karena dia ingin membalas dendam. Situasi ini
menunjukkan bahwa elemen negatif seorang ibu tersebut
sangat kuat disebabkan rasa cinta dan rasa sayang yang
terlalu tinggi kepada anaknya. Energi itulah yang muncul
dalam dirinya sehingga dalam konteks psikologi Jungian
dianggap sebagai dualtipe yang sebenarnya bersumber
pada monotipe.
Selain archetype ibu yang direpresentasikan melalui
tokoh Osugi, dalam Musashi juga memunculkan archetype
orang tua bijak. Archetype orang tua bijak banyak muncul

284 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dan berulang dalam mitologi sebab karakterisasi ini
memang secara fakta banyak mitologi yang memunculkan
orang tua. Dalam mitologi, orang tua bijaksana muncul
dalam bentuk segmentasi sebagai berikut.
Pertama, orang tua yang bijaksana dalam mitologi
yang muncul dalam bentuk orang tua yang membantu
tokoh utama ketika dalam masalah. Orang tua bijaksana
ini biasanya memberikan pertolongan kepada tokoh utama
yang pada awalnya dia sangat membutuhkan bantuan
tersebut. Bantuan yang dimunculkan oleh orang tua yang
bijak bisa berupa pemberian ilmu kepada tokoh utama. Ilmu
tersebut diberikan dengan cara pelatihan-pelatihan yang
diberikan kepada sang tokoh utama. Dalam Harry Potter,
dikisahkan bahwa sosok Dombledore adalah sosok orang
tua yang bijak. Beliau merupakan sosok yang bijak sebab
tidak mau menunjukkan keberpihakan ketika Harry Potter
–sebagai tokoh utama—mendapatkan serangan dari musuh-
musuhnya. Namun, di balik itu, Dombledore memang tetap
mendukung dan membantu Harry Potter. Dombledore lah
yang mengusahakan agar Harry Potter bisa menjadi seorang
penyihir yang sukses dan hebat. Dombledore sebagai seorang
yang bijak sangat paham bahwa Harry Potter dalam bahaya
sebab dia tidak lepas dari bayang-bayang Lord Voldermort.
Sang musuh, Lord Voldemort ini hanya bisa dibunuh oleh

Psikologi Jungian, Film, Sastra 285


Harry Potter. Dalam film Teenage Ninja Turtle, muncul sosok
orang tua yang muncul dalam bentuk tikus tua. Sebagai
seekor tikus tua, dia memberikan wejangan-wejangan dan
petuah kepada para kura-kura ninja. Melalui petuah tersebut
para kura-kura ninja bisa berjalan dengan baik sebab mereka
mendapatkan nasihat dari orang tua yang bijak dalam hal ini
dipresentasikan oleh seekor tikus tua.
Kedua, archetype orang tua bijak yang memberikan
alat dan/atau senjata. Dalam mitologi banyak dimunculkan
orang tua bijak yang memberikan senjata kepada tokoh
utama. Orang tua bijak tersebut memberikan senjata agar
sang tokoh utama bisa mengalahkan musuhnya. Orang
tua bijak tersebut memberikan senjata tersebut dengan
persyararatan tertentu dan ada juga yang memberikan
senjata tanpa peralatan tertentu. Pemberian senjata
tersebut bisa diberikan langsung kepada tokoh utama
ataupun melalui perantara.
Ketiga, pemberian kendaraan/tunggangan. Dalam
konteks mitologi, archetype orang tua bija tidak hanya
memberikan senjata, tetapi ada yang memberikan sarana
transportasi. Tentu saja, pada masa kemitologian, sarana
transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan
sangat dibutuhkan dalam melakukan perjalanan terutama
perjalana jauh. Karena itu, orang tua bijak biasanya
memberikan kendaraan/tunggangan yang memudahkan

286 Psikologi Jungian, Film, Sastra


tokoh utama dalam melakukan perjalanan. Kendaraan/
tunggangan biasanya kuda, burung raksasa, dan naga.
Dalam mitologi Yunani kuno, Unicorn merupakan salah
satu tunggangan yang digunakan oleh tokoh utama dalam
melaksanakan tugas untuk membasmi kejahatan.
Archetype orang tua bijak tersebut bernama Takuan.
Dalam novel tersebut sosok tokoh yang bernama Takuan,
seorang kakek yang bijaksana. Kebijaksanaan seorang
kakek tersebut tampak dari pemikiran dan perilakunya yang
muncul dalam kehidupan keseharian. Ia tidaklah menjadi
orang tua yang sombong dan congkak. Takuan sebagai
orang tua yang bijaksana terepresentasikan dalam bentuk
sosok welas asih, tidak sombong, dan baik hati. Sosok
ketidaksombongan tersebut ditampakkan ketika dia bisa
menangkap Takezo, seorang ronin yang kuat dan ugal-
ugalan dalam bertanding melawan musuhnya. Ia memang
sudah bisa menangkap Takezo, tetapi dia mengungkapkan
bahwa dirinya bukanlah yang menangkap Takezo, melainkan
alam yang menangkapnya. Gambaran tersebut tampak pada
kutipan berikut.
“Bukan aku yang berjasa atas penangkapan Takezo. Bukan
aku yang melaksanakannya, tapi hukum alam. Orang yang
melanggar hukum alam akhirnya akan kalah. Hukum itulah yang
harus kalian hormati.” (Yoshikawa, 2001)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 287


Gambaran tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa
orang tua yang bernama Takuan tersebut bukanlah orang tua
yang sombong ketika dia dapat melakukan sesuatu dengan
baik. Dia sebagai orang tua menunjukkan karakter yang
rendah hati. Masyarakat sangat ketakutan dengan adanya
Takezo yang berkeliaran dan dianggap akan membunuh
orang yang tidak disukainya. Padahal, Takezo hanya akan
membunuh orang-orang yang memang bertanding dengan
dirinya dan mati secara terhormat di medan laga. Tentunya,
hal tersebut sangat berbeda dengan pembunuh berdarah
dingin yang membunuh siapa yang berada didekatnya.
Takuan sebagai orang tua yang bijak memahami hal
tersebut. Takuan bukanlah karakter yang seperti orang-
orang pikirkan. Ketika dapat melakukan sesuatu yang besar,
dia tidak menjadi besar kepala dan lupa diri. Sebelum Takuan
memang mengungkapkan bahwa dirinya akan menangkap
Takezo, seorang diri. Dia akan menangkap Takezo dengan
tangan kosong dan tidak meminta bantuan orang lain. Waktu
itu, orang-orang desa banyak yang menertawakannya
sebab siapa yang akan percaya dengan kemampuan Takuan
yang sudah tua untuk menangkap Takezo yang masih
muda, liar, dan brutal. Memang, diakui atau tidak, siapa
yang akan percaya dengan omongan Takuan sebab secara
logika pastilah tidak logis untuk melakukan hal itu. Ketika

288 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Takuan ternyata mampu menangkap Takezo seorang diri,
Takuan tidak menyombongkan diri bahwa dirinya ternyata
mampu membuktikan apa yang dia omongkan.
Perilaku Takuan tidak hanya muncul dalam konteks
tidak sombong saja, tetapi ia juga sosok yang welas asih dan
sangat sabar dalam menghadapi permasalahan. Gambaran
tersebut tampak pada saat dia mampu menangkap Takezo
dengan tangan kosong. Ketika banyak orang yang ingin
menyaksikan agar Takezo disiksa dan selanjutnya dibunuh,
dia sama sekali tidak sepakat dengan hal tersebut. Hal itu
menunjukkan kadar kewelasasihannya terhadap orang lain,
meskipun orang lain tersebut dianggap membahayakan
nyawa orang banyak sebab pada waktu itu Takezo dianggap
sebagai orang yang brutal dalam membunuh siapa saja yang
dianggap musuh tandingnya. Takuan tidak membunuh
ataupun mengajak orang-orang desa untuk membunuh
Takezo yang konon katanya brutal. Ia hanya menghukum
Takezo yang diikat di pohon Kriptomeria yang sangat besar.
Itulah hukuman yang diberikan Takuan kepada Takezo.
Tidak ada penyiksaan, pemukulan, ataupun hal lain yang
menyakiti Takezo ketika dia diikat di Kriptomeria yang
sudah tua itu.
Takuan sebagai seorang Budhisme adalah sosok
yang penyabar. Ketika Takezo dihukum di Kriptomeria tua

Psikologi Jungian, Film, Sastra 289


tersebut sebenarnya niatnya adalah untuk menurunkan
hasrat kebinatangan yang ada dalam diri Takezo. Ia adalah
sosok yang mengandalkan pikiran, kekuatan, dan tenaga.
Padahal, dalam kehidupan di dunia ini ada satu hal yang
lebih kuat, yaitu alam. Takuan ingin menunjukkan bahwa
kekuatan Takezo yang sangat besar akan hilang ketika dia
diikat di Kriptomeria tua dan si Takezo akan diterjang badai
siang-malam, tentunya tidak seberapa lama tenaganya akan
habis. Itulah kekuatan alam yang mengalahkan kekuatan
manusia. Sosok manusia hanya merupakan sebagian kecil
saja dari alam yang sangat besar. Dalam konteks filosofis,
inilah yang disebut dengan mikrokosmos dan makrokosmos.
Keberaturan dalam konteks yang kecil ataupun kehidupan
dalam konteks besar yang dianggap sebagai kesemestaan.
Manusia memang tidak boleh lupa bahwa ada kekuatan
lain yang sangat besar dibandingkan dengan manusia,
yaitu alam. Sebagai sebuah energi yang sangat besar,
manusia tidak akan pernah mampu mengalahkan alam,
sampai kapanpun. Hal tersebut disebabkan manusia adalah
bagian kecil dari alam dan bukan sebaliknya alam adalah
bagian kecil dari manusia. Manusia memang tidak diajari
untuk untuk saja kepada alam, tetapi bagaimana cara
mengendalikan alam. Jika mengendalikan alam, manusia
tentu masih bisa sebab alam memiliki jalan sendiri untuk
hidup. Karena itu, manusia bisa menggunakannya untuk
membantu prosesi kehidupannya di dunia.

290 Psikologi Jungian, Film, Sastra


“Kau memang betul-betul kuat, Takezo! Seluruh pohon
bergoyang. Tapi maaf saja, tidak kulihat tanah bergetar. Susahnya,
kenyataannya kamu itu lemah. Kemarahanmu itu tidak lebih dari
kedengkian pribadi. Kemarahan lelaki sejati adalah ungkapan
kemarahan moral. Kemarahan karena tetek-bengek emosional
yang tak ada artinya adalah untuk perempuan, bukan lelaki.”
(Yoshikawa, 2001)

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Takezo


sebagai seorang laki-laki yang perkasa tidak akan mampu
melawan dan mengalahkan alam. Semakin dia meronta dan
membabi buta untuk mengalahkan alam, dia akan semakin
dikalahkan oleh alam. Itulah kekuatan alam yang sebenarnya
kekuatan yang luar biasa besarnya sehingga kekuatannya
manusia tidak dapat mengalahkan alam. Takuan sebagai
seorang biksu Budha hanya menunjukkan kewelasasihan
bahwa manusia tidaklah boleh melawan alam sebab hal
tersebut merupakan hal yang sangat percuma dan tentu
hanya akan menghabiskan tenaga sebab tenaga manusia
hanyalah ujung jari jika dikaitkan dengan kekuatan alam
yang mahadahsyat.
Yang dapat kulakukan hanyalah memberikan nasihat
padamu. Hadapilah maut dengan berani dan tenang. Ucapkan
doa dan berharaplah ada orang yang mau mendengarkan. Dan
demi nenek moyangmu, Takezo, matilah dengan layak, dengan
wajah damai!” (Yoshikawa, 2001)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 291


Takuan sebagai seorang laki-laki tua bijak memberikan
petuahnya kepada Takezo. Dalam situasi ini, Takezo
semakin lama semakin melemah sebab kekuatannya
semakin lama semakin berkurang seiring dengan tubuhnya
yang diikat di Kriptomeria tua. Takuan menjelaskan dengan
welas asih bahwa janganlah pernah takut dengan sesuatu
apapun, terutama dengan kematian. Hadapilah semuanya
dengan ketenangan jiwa walaupun pada saat itu kita akan
meninggal dunia. Hal tersebut berkait dengan filosofi
kehidupan orang-orang yang mengikuti filsafat Budhisme
bahwa segala sesuatu itu memiliki jalannya sendiri. Karena
itu, sebagai manusia harus siap dengan segala sesuatu
tersebut. Begitu juga ketika seseorang mendekati kematian
atau yang disebut juga dengna istilah sudah dibayang-
bayangi oleh kematian, manusia tersebut sudah harus siap
sedia dengan penuh kedamaian untuk menghadapinya.
Manusia tidak bisa melawan kematian sebab kematian
pasti akan datang, pasti akan menjemput manusia karena
kematian adalah suatu hal yang pasti dalam ketidakpastian.
Manusia tidak bisa mengejar kematian sebab kematian
itu sudah memiliki jalannya sendiri. Kematian dalam
pandangan filsafat dianggap sebagai sesuatu yang di luar
konstruksi pikiran manusia sehingga manusia tidak mampu
mengonstruksinya dan memikirnya sebab itu di luar
batas pemikiran manusia. Jika sudah tiba jalan kematian

292 Psikologi Jungian, Film, Sastra


tersebut datang, tidak ada satupun manusia yang bisa
mengelaknya. Itulah jalan kematian. Takezo dalam situasi
ini memang takut mati. Padahal, pada mulanya dia lebih
memilih mati daripada dia harus hidup dan diikat di bawah
pohon Kriptomeria tua dan disaksikan oleh banyak orang.
Tentunya, hal tersebut membuat dirinya malu. Namun,
sebagai seorang ronin yang brutal dan ganas, dia lebih
memilih mati daripada dipermalukan oleh orang-orang
desa yang memiliki dendam kepadanya.
Petikan-petikan ajaran Takuan pun melintas dalam
kepalanya, “Belajarlah takut pada apa yang menakutkan....
Kekuatan yang kasar dalam permainan anak-anak, kekuatan
binatang yang tak berakal.... Punyailah kekuatan prajurit sejati...
keberanian yang nyata.... Hidup itu berharga.” (Yoshikawa, 2001)

Petuah yang dimunculkan oleh Takuan kepada


Takezo merupakan ilmu kesejatian. Dalam konteks ini,
sama seperti seorang guru yang memberikan ilmu kepada
muridnya.. Hanya saja, dalam kisah ini, Takuan tidak
seperti guru formal yang memberikan ilmu secara formal
kepada Takezo. Takuan hanya memberikan petuah-petuah
yang filosofis terhadap Takezo. Petuah tersebut berkait
dengan kehidupan kesejatian. Dengan demikian, ilmu
yang diberikan kepada Takezo bukan ilmu perkuliahan
yang diberikan dengan konsep yang tertata dan sistematis

Psikologi Jungian, Film, Sastra 293


sehingga memudahkan mahasiswanya untuk belajar ilmu
pengetahuan dan selanjutnya menerapkan menjadi ilmu
yang lebih baik dan berguna untuk masyarakat.
Takezo sebagai orang yang memiliki pemikiran yang
baik ternyata mampu menangkap petuah yang baik
dari Takuan. Sebagai seorang murid yang tidak dilantik
secara formal, dia masih ingat ungkapan Takuan tersebut.
Memang, menjadi manusia harus memiliki keberanian,
kesejatian, dan kedamaian dalam diri. Menjadi manusia
tidak hanya cukup dengan menjadi sosok yang kuat dan
perkasa saja, tetapi harus mampu menghadapi segala
masalah yang ada di depannyannya. Tidak hanya itu,
manusia juga harus mampu berdamai dengan dirinya sebab
jika manusia tidak mampu berdamai dengan dirinya, dia
akan menjadi manusia yang tidak akan merasa bahagia
sebab tidak mampu menaklukkan dirinya sendiri. Ketika
Takezo melarikan diri dari Kriptomeria tua –atas bantuan
dari Otsu, perempuan yang merasa bersalah pada Takezo
sebab ikut menangkap Takezo waktu pertama—namun
dalam pelariannya Takezo tetap tertangkap lagi. Namun,
kali ini Takezo tidak lagi ditaruh di pohon Kriptomeria tua.
Ia di penjara. Namun,dalam pemenjaraan tersebut Takezo
belajar memahami kehidupan. Ia membaca buku-buku
tentang Zen dan berusaha memaknai kehidupan yang saat

294 Psikologi Jungian, Film, Sastra


ini sedang dia lalui. Karena itu, dia banyak mendapatkan
pelajaran dari hidupnya tersebut, meskipun dia di penjara.
Penjara memang suatu tempat yang menakutkan
dan menyakitkan bagi seorang pesakitan. Artinya, penjara
adalah ruangan yang mengkungkung manusia sebab dia
telah melakukan kesalahan sehingga dia harus di penjara
sebagai ganti dari kesalahannya tersebut. Namun, di sisi
lain, penjara merupakan tempat agar manusia tersebut
mau sadar dan mau memperbaiki dirinya atas segala
kesalahannya yang dilakukan pada masa lalu. Manusia yang
bijak akan belajar dari kesalahan-kesalahannya di masa lalu
dan berusaha menjadi orang yang baik. Dengan demikian,
penjara adalah sebuah tempat yang katalis bagi manusia,
tempat melakukan transformasi pikiran dari pikiran-
pikiran yang brutal dan liar sehingga menjadi manusia yang
baik dan bijak. Namun, fakta di lapangan yang diketahui
bersama, banyak orang yang keluar masuk penjara tetapi
tidak tercerahkan alam berpikirnya sehingga dia tetap saja
menjadi penjahat meskipun sudah keluar-masuk penjara.
Archetype kesabaran yang muncul dalam diri orang
tua yang bernama Takuan memang membawa dalam
yang positif bagi manusia yang lain. kepositifan tersebut
tampak pada segmentasi ketika Takuan bisa menangkap
Takezo dengan tangan kosong. Hal itu tentulah bukanlah

Psikologi Jungian, Film, Sastra 295


hal yang mudah sebab butuh kekuatan kesabaran tingkat
dewa dalam menundukkan kekuatan yang besar dan brutal.
Ternyata, Takuan memang benar-benar bisa menangkap
Takezo dengan tangan kosong. Kedua, kesabaran yang
dimunculkan oleh Takuan tidak hanya membuat Takezo
sebagai seorang ronin yang brutal tertangkap, tetapi juga
membuat Takezo akhirnya menjadi seorang laki-laki yang
mampu memahami kesejatian. Ia menjadi manusia yang
mampu mengendalikan pikirannya dan mampu berdamai
dengan dirinya sendiri sehingga sebagai manusia dia tidak
takut dengan apapun sebab ketakutan yang harus dipahami,
dipelajari, dikendalikan adalah ketakutan yang terdapat
dalam diri manusia itu sendiri. Untuk itu, Takezo belajar
mengenali, memahami, menguasai, dan mengenalikan
hawa nafsu yang terdapat dalam dirinya. Hawa nafsu adalah
bagian hitam dari dalam diri yang merupakan lawan dari
kesabaran. Seseorang yang tidak mampu mengendalikan
hawa nafsu adalah orang yang tidak memiliki kesabaran
tingkat dewa dalam mengendalikan dirinya sehingga dia
menjadi orang yang ceroboh dan sembrono. Kita sering
melihat fakta yang berkait dengan kecerobohan tersebut
di dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang yang lebih
mengandalkan hawa nafsu memang kuat dalam segala
hal sebab dia didorong oleh energi instinktif yang terdapat

296 Psikologi Jungian, Film, Sastra


dalam dirinya. Energi tersebut sangat kuat sebab tidak ada
yang mampu membendung energi instinktif yang primitif
dalam diri. Namun, kelemahan utama dari energi yang
instinktif tersebut adalah ketidak mampuan mengendalikan
diri sehingga dia mudah terjerumus ke dalam kesalahan,
keteledoran, kesembronoan, dan ketidaktelitian. Karena
itu, banyak orang yang memang mengandalkan kekuatan
dari hawa nafsu akhirnya kalah oleh orang lain yang
mengandalkan kesabaran. Kesabaran dalam diri memang
biasanya diikuti oleh adanya unsur religiusitas dalam diri
manusia. Sosok manusia yang memiliki religiusitas tinggi
biasanya dibarengi dengan adanya kesabaran tingkat tinggi
pula. Itu memang sebuah keseimbangan bahwa kesabaran
akan berbanding lurus dengan kereligiusitasan seseorang.
Dalam Harry Potter dan Batu Bertuah (1997) archetype
orang tua bijak muncul pada sosok Albus Dombledore
–seorang kepala sekolah ilmu sihir yang digambarkan
berjanggut panjang, berpeci penyihir, menggunakan
tongkat, dan memiliki tubuh/perawakan yang tinggi. Ia
adalah sosok orang tua yang bijak sebab ketika menjadi
seorang penyihir dialah yang mengalahkan penyihir hitam
dan dia tidak mau bergabung dengan penyihir hitam –
yang menggunakan kekuatan untuk menyakiti orang lain.
Gambaran tersebut tampak pada kutipan berikut.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 297


‘Profesor Dumbledore khususnya terkenal karena berhasil
mengalahkan penyihir aliran hitam Grindelwald pada tahun
1945, penemuannya untuk dua belas kegunaan darah naga, dan
karyanya di bidang alkimia yang dikerjakannya bersama mitranya,
Nicolas Flamel!” (Rowling, 1997).

Sungguh luar biasa bahwa Dumbledore bisa me-


ngalahkan aliran hitam yang terdapat di tempatnya,
Grindelwald. Di tempatnya tersebut memang terdapat
dualisme kepemimpinan, yakni aliran putih dan aliran
hitam. Keduanya, sama-sama duduk di pemerintahan dan
keduanya juga sama-sama memiliki murid-murid yang
dianggap sebagai penganut alirannya masing-masing.
Dengan demikian, murid yang mengikuti aliran hitam akan
diajari oleh pemimpin yang beraliran hitam dan murid
yang beraliran putih akan ikut pemimpin yang beraliran
putih. Hal itu memang sesuai dengan pepatah “orang
yang beraliran putih akan bergabung dengan orang yang
beraliran putih lainnya, sedangkan orang yang beraliran
hitam akan bergabung dengan orang yang beraliran hitam
lainnya”. Hal tersebut sudah menjadi ketentuan alam dan
dalam konteks psikologi Taoisme berkait dengan yin dan
yang. Keduanya, akan saling bersaing dan berkompetisi
untuk saling mendapatkan kekuatan dalam menjaga
keseimbangan alam.

298 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Dombledore sebagai seorang penyihir digambarkan
sebagai sosok penyihir yang baik. Ia adalah sosok yang
memiliki archetype orang tua bijak. Dalam novel Harry
Potter dan Batu Bertuah tersebut, Dombledore melindungin
Harry Potter –seorang anak yatim piatu yang ikut di sekolah
ilmu penyihir. Dombledore melindungi Harry Potter dari
musuhnya yang paling kuat dan memiliki ilmu sihir hitam,
Voldemort. Dialah yang menginginkan Harry Potter sebab
hanya melalui dialah Voldemort bisa terbunuh. Namun,
ketika ada Dombledore di sisinya Harry Potter, Voldemort
tidak akan berani mendekat sebab kekuatan Dombledore
sangat kuat dalam hal ilmu sihir. Ketika Harry Potter
sangat ketakutan dengan adanya Voldemort yang akan
membunuhnya, Dombledore memberikan petuah agar dia
tidak takut dengan sesuatu apapun sebab hal tersebut akan
merugikan dirinya sendiri. Gambaran tersebut tampak pada
kutipan berikut.
“Panggil dia Voldemort, Harry. Selalu gunakan nama yang
benar untuk apa saja. Ketakutan akan nama memperbesar
ketakutan akan benda itu sendiri.” (Rowling, 1997).

Harry Potter sebagai seorang anak yang masih remaja


sangatlah takut dengan isu yang berkumandang bahwa
Voldemort adalah sosok yang disebut dengan Anda-

Psikologi Jungian, Film, Sastra 299


Tahu-Siapa. Sosok yang paling menakutkan dan memiliki
kekuatan aura yang sangat jahat di dalamnya. Namun,
Dombledore menegaskan bahwa untuk menjadi manusia
yang kuat tidak boleh takut dengan ketakutan sebab
ketakutan yang terdapat dalam diri sendiri akan membuat
manusia takut dengan yang lain. Dalam konteks ini, hanya
untuk menyebutkan namanya saja, Harry Potter sangat
ketakutan sebab dia merasa bahwa Voldemort sangat kuat
sedangkan dirinya adalah anak yang masih belia dan takkan
mampu menghadapi Voldemort yang begitu kuat.
Dombledore sebagai orang tua yang bijaksana tidak
hanya memberikan petuah bijak kepada Harry Potter yang
dalam kondisi labil terutama masalah orang tuanya. Dalam
penjelasan Voldemort, sang ibu konon mau membunuh
Harry Potter. Karena itu, Voldemort membunuh ibunya
Harry Potter dengan alasan ingin menyelamatkan Harry
Potter. Namun, Dombledore sebagai orang tua yang
bijaksana menunjukkan bahwa ibunya adalah sosok orang
yang sangat mencintai Harry Potter. Bukti bahwa dia sangat
cinta kepada Harry Potter adalah bekas luka yang terdapat di
tubuhnya –itu adalah berian dari sang ibu—untuk melindungi
dirinya dari bahaya dan kejahatan Voldemort. Berkat
penjelasan itulah, Harry Potter akhirnya bisa memahami
bayang-bayang yang selama ini membayangi dirinya dalam

300 Psikologi Jungian, Film, Sastra


kaitannya dengan siapa sang ibu dan Voldemort yang selalu
muncul dalam bayang-bayang dirinya.
Dombledore memberikan sebuah jubah gaib kepada
Harry Potter. Jubah gaib tersebut bisa digunakan untuk
menghilang dan menyelinap ketika seseorang terdesak
untuk keluar ataupun pergi ke suatu ruangan tertentu dengan
harapan tanpa terlihat oleh orang lain. Pemberian jubah
gaib tersebut merupakan archetype dari orang tua yang
bijak berkait dengan senjata ataupun alat tertentu yang bisa
membantu tokoh utama dalam melakukan suatu tindakan,
perlawanan, ataupun perjalanan. Dengan menggunakan
alat tersebut ternyata memang benar-benar membantu
Harry Potter untuk menyelinap dan keluar dari ruangan
tanpa di ketahui oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.
Dengan begitu, secara hukum yang terdapat di sekolah sihir,
Harry Potter tidak melanggar undang-undang ketika dia
menyelinap ketika jam tidur sebab dia tidak kelihatan oleh
kasat mata. Jubah yang diberikan Dumbledore kepada Harry
Potter merupakan peninggalan dari ayahnya Harry Potter.
Dulu, jubah tersebut digunakan untuk menyelinap ke dapur
oleh ayahnya, untuk mencari makan. Harry Potter sangat
senang dengan jubah yang dia miliki tersebut sebab dengan
jubah itu dia bisa keluar-masuk dengan mudah dan tanpa
diketahui oleh orang-orang yang berada di sekolah penyihir.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 301


Dalam Harry Potter and the Chamber of Secrets
(Rowling, 2000) archetype orang tua yang bijak dimunculkan
lagi dalam sosok yang dimanifestasikan oleh Albus
Dumbledore. Ia adalah sosok orang tua yang bijak, sabar,
dan mampu mengendalikan diri. Ia adalah sosok kepala
sekolah yang disegani dan ditakuti oleh anak buahnya
dan juga lawannnya yang terkuat, Voldemort. Keduanya,
Dumbledore dan Voldemort sebenarnya merupakan
archetype yang oposit sebab keduanya merupakan jalan
hukum yang saling berseberangan. Dumbledore adalah
orang yang sangat kuat dengan ilmu sihir putihnya dan
Voldemort adalah orang yang sangat kuat dengan ilmu
sihir hitamnya. Dengan demikian, keduanya memiliki
kekuatan masing-masing dan memiliki mazhab masing-
masing. Namun, keberbedaan di antara keduanya tersebut
bisa membuat kisah Harry Potter tersebut berjalan dengan
baik. Dalam logika makrokosmos, kebaikan dan kejahatan
akan saling berperang untuk menjalankan ekosistemnya
masing-masing. Keduanya, ibarat sebuah kutukan yang
tidak akan pernah hilang sampai akhir zaman. Jika tidak
ada hitam, kehidupan akan menjadi sesuatu yang hambar
dan tidak akan menjadi kehidupan sebab hanya satu warna
saja dalam kehidupan sehingga tidak ada motivasi ataupun
keinginan yang muncul dalam diri manusia dalam kaitannya

302 Psikologi Jungian, Film, Sastra


membangun sebab mereka merasa tidak ada musuh sama
sekali. Karena itu, muncul pepatah yang menyatakan bahwa
“dibutuhkan musuh untuk membutuhkan pertahanan
yang kuat”. Dalam kehidupan juga demikian, manusia
membutuhkan musuh dari luar agar mereka kuat untuk
bersaing secara kompetitif. Jika tidak ada musuh dari luar,
mereka akan lemah sebab tidak ada pikiran ataupun energi
untuk memperkuat diri mereka. Namun, jika lawan dari luar
terlalu besar juga berbahaya dan membuat mereka diserang
dengan mudah sebab musuhnya terlalu kuat.
Archetype dalam Harry Potter and the Chamber of
Secrets (Rowling, 2000) juga muncul dalam bentuk yang
lain, yakni archetype tentang phoenix. Dalam mitologi
Mesir, phoenix adalah binatang yang tidak pernah bisa mati
sebab setelah dia mati, dia akan dilahirkan kembali. Tulisan
Clark (1959:245) menunjukkan bahwa Phoenix merupakan
mitologi yang berasal dari Mesir. Phoenix merupakan
simbolisme dari infinitas, kelahiran, dan kematian. Dengan
demikian, phoenix sebagai binatang melambangkan
kehidupan yang akan selalu berjalan dan berputar dan juga
kematian yang akan selalu berjalan dan berputar. Itulah
sebuah fenomena dari archetype yang tidak akan pernah
berhenti dan selesai sebab dunia juga belum berhenti.
Gambaran tentang Phoenix yang terdapat dalam Harry
Potter tampak pada kutipan berikut.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 303


“Fawkes itu phoenix, Harry. Burung phoenix terbakar kalau
sudah waktunya mati dan dilahirkan kembali dari abunya. Lihat
dia...” (Rowling, 2000)

Mitologi tentang burung keabadian memang muncul


juga dalam mitologi yang lainnya, tetapi mitologi Phoenix
yang berasal dari Mesir dianggap sebagai archetype
dari munculnya archetype lainnya yang berkait dengan
burung keabadian yang muncul saat ini. Dalam mitologi
Mesir, Mckenzie (1907:50) menjelaskan bahwa Phoenix
digambarkan sebagai burung yang sangat indah dan estetis.
Karena itu, burung ini dianggap burung keabadian sehingga
dia juga memiliki keindahan yang abadi, sayap dan bulunya
berwarna emas sehingga burung ini tampil dengan karakter
estetis dan memesona. Burung jenis ini akan hidup-mati-
hidup lagi seiring dengan perputaran dirinya. Ketika dia
akan mati, bulunya akan rontok secara perlahan dan
lama kelamaan dia akan meninggal dunia ketika terpapar
matahari dan dia akan menjadi abu. Setelah menjadi abu,
dia akan dilahirkan kembali menjadi burung baru dengan
jenis yang sama.
Fenomena mitologi ini masuk juga dalam ajaran Budha
yang berkait dengan konteks reinkarnasi. Dalam reinkarnasi,
ada makhluk yang bisa bereinkarnasi menjadi lebih baik, ada

304 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yang bereinkarnasi menjadi lebih buruk, tetapi ada juga yang
tidak bisa bereinkarnasi. Dalam ajaran Budhisme, reinkarnasi
bisa terjadi dari manusia yang bereinkarnasi menjadi makhluk
lainnya, tetapi bisa juga mahkluk lainnya bereinkarnasi
menjadi manusia. Setiap reinkarnasi yang terjadi tentu tidak
lepas dari masa lalu yang dilakukan oleh makhluk tersebut.
Dalam film White Snake Legend, siluman ular bertapa
selama ribuan tahun dan berupaya untuk menjadi manusia.
Upaya tersebut dilakukan agar mereka bisa menebus
kejahatan mereka di masa lalu yang banyak mengganggu
kehidupan manusia. Sebagai siluman yang suka
mengganggu, tentunya mereka tidak akan bisa menjadi
manusia biasa. Namun, karena mereka adalah sosok
siluman yang insyaf dan berusahan menjadi makhluk yang
baik, mereka pun pada akhirnya bisa menjadi manusia,
tetapi dengan masa bertapa yang lama sampai ribuan tahun
demi bisa bereinkarnasi menjadi manusia. Ketika menjadi
manusia pun mereka tidak bisa menjadi manusia yang
seratus persen manusia sebab mereka akan bisa kembali
berubah menjadi siluman sebab pada dasarnya mereka
adalah siluman yang menjelma menjadi manusia karena
mereka mampu bertapa selama ribuan tahun.
Dalam sastra konteks cerita rakyat Indonesia, archetype
perempuan siluman (di barat lebih banyak dikenal dengan

Psikologi Jungian, Film, Sastra 305


istilah penyihir [witch]). Istilah siluman dan penyihir memang
bersinggungan dan sebagaimana yang dipaparkan oleh Jung
(1953) bahwa elemen dalam archetype bisa muncul dalam
bentuk elemen postif ataupun elemen negatif. Terkadang,
ada pula elemen yang bersifat gabungan dari keduanya
sebagai bentuk dari dualtipe. Namun, karakterisasi dualtipe
tersebut jarang muncul dalam kaitannya dengan archetype.
Di Indonesia, muncul cerita rakyat yang kemudian ada
yang diangkat ke televisi. Legenda tentang Nyi Roro kidul
merupakan legenda tentang seorang perempuan penunggu
yang berada di pantai selatan. Dalam pandangan masyarakat
pendukungnya, Nyi Roro Kidul adalah penunggu pantai
selatan. Nyi Roro Kidul digambarkan sebagai seorang yang
sangat cantik dengan menggunakan pakaian hijau laut –
yang menjadi mitos bahwa beberapa masyarakat daerah
pesisir laut Selatan agar tidak menggunakan warnah baju
hijau laut sebab warna tersebut merupakan kesukaan
Nyi Roro Kidul— pakaian warna tersebut konon sering
digunakan oleh Nyi Roro Kidul. Di sisi lain, nama Nyi Roro
Kidul dikaitkan juga dengan nama Nyi Blorong. Dalam cerita
rakyat Indonesia, kedua nama tersebut populer dan ada
yang beranggapan keduanya adalah satu bentuk. Dengan
demikian, Nyi Roro Kidul adalah nama lain dari Nyi Blorong.
Jika dikaitkan dengan archetype, mitologi Yunani kuno juga

306 Psikologi Jungian, Film, Sastra


memiliki Dewa penunggu laut yang bernama Poseidon.
Dewa ini merupakan dewa yang menjadi raja di lautan. ia
digambarkan dengan menggunakan trisula sebagai senjata
utamanya dalam berperang.
Di Jerman, archetype tentang penyihir muncul
dalam karya-karya yang dikumpulkan dan ditulis oleh
Grimm bersaudara tentang cerita rakyat Jerman (Grimm
& Grimm, 2003) yang saat ini sudah terkenal mendunia
dan banyak diadaptasi dalam layar lebar. Dalam “Cerita
Rapunzel” dalam cerita rakyat Jerman tersebut, dikisahkan
bahwa seorang penyihir yang mengambil seorang anak
perempuan dan dipeliharanya di sebuah menara yang
tinggi. Perempuan penyihir tersebut sengaja memisahkan
kehidupan sang keluarga dengan Rapunzel. Begitu juga
dengan “Cerita Hanzel and Gretel” yang mengisahkan dua
orang anak yang dibuang oleh ibu tirinya ke hutan. Mulanya,
keduanya bisa pulang sebab mereka menggunakan tanda
kerikil yang disebar selama mereka melakukan perjalanan
ke hutan. Namun, ketika mereka dibuang lagi oleh ibunya
ke hutan mereka tidak bisa melakukan apa-apa sebab jejak
yang mereka tinggalkan (menggunakan kue) ternayata
telah hilang sebab dimakan oleh binatang. Mereka pun
sedih bukan main sebab tidak bisa kembali ke rumah.
Namun, dalam kesedihan tersebut mereka senang sebab

Psikologi Jungian, Film, Sastra 307


di hutan mereka bertemu dengan seorang nenek yang
mau menolong mereka. Ternyata, sebuah kebaikan belum
tentulah kebaikan, nenek tersebut adalah sosok penyihir
yang ingin memakan mereka. Dalam cerita tersebut,
tampak bahwa archetype perempuan penyihir merupakan
elemen negatif sebab dia tidak memberikan bantuan
kepada anak kecil yang tersesat melainkan ingin memakan
anak tersebut.
Penyihir memang memiliki elemen negatif dan elemen
positif. Namun, dalam konteks sastra ada juga yang
mengalami transformasi. Pentransformasian tersebut
memang disebabkan karena adanya perubahan jiwa dalam
diri seseorang. Orang yang mulanya jahat bisa berubah
menjadi manusia yang buruk. Kesemuanya tersebut
berkait dengan manusia ataupun pribadi masing-masing.
Dalam kaitannya dengan archetype, seorang penyihir bisa
mengalami transformasi ketika mereka memang mengalami
pencerahan jiwa. Namun, selama ini sangat jarang dibahas
adanya perubahan jiwa penyihir dari yang jahat menuju
baik ataupun sebaliknya dari yang baik menuju ke jahat.
Hal tersebut tidak bisa dipungkiri dan memang akan terjadi
tetapi jarang terjadi.

308 Psikologi Jungian, Film, Sastra


9
PENUTUP: PSIKOLOGI JUNGIAN
MENATAP MASA DEPAN

P emikiran Jung dalam konstelasi psikologi memang


tidak bisa dipungkiri. Kekuatan psikologi Jungian
dengan teori utamanya yang dikenal dengan archetype,
anima/animus, dan mimpi (Codorow, 2015), merupakan
peninggalan keilmuan yang sampai hari ini masih kokoh.
Sebagaimana diketahui bersama, hari ini dan kelak di masa
yang akan datang peminat psikologi akan semakin menaik.
Psikologi akan bersaing dengan ilmu humaniora lainnya,
yakni sosiologi dan antropologi. Tentunya, kita juga mahfum
bahwa menaiknya studi psikologi memang tidak sepesat
studi antropologi dan sosiologi sebab mempelajari psikologi
bukanlah hal yang mudah. Namun, tetap apresiasi untuk

Psikologi Jungian, Film, Sastra 309


psikologi yang menaik dari tahun ke tahun menunjukkan
bahwa psikologi memang sudah menjadi ilmu yang akrab
di pikiran para peneliti dan masyarakat. Menaiknya minat
masyarakat terhadap psikologi di masa yang akan datang
disebabkan oleh hal berikut.
Pertama, studi tentang psikologi semakin lama semakin
diminati sebab saat ini manusia mulai banyak yang merasa
jauh dengan dirinya sendiri. Mereka kehilangan jati diri.
Dalam pandangan Fromm (1947) inilah yang disebut dengan
alienasi, kemenyendirian di tengah keramaian. Manusia
modern saat ini memang ramai dalam sepi dan sepi dalam
keramaian. Kesepian dalam keramaian tersebut tampak
konkret ketika mereka bertemu dengan teman-teman di
sebuah perjamuan makan, misal di café ataupun restoran.
Namun, ketika mereka benar-benar bertemu di tempat
tersebut mereka tampaknya kurang menghargai pertemuan
tersebut sehingga mereka berselfie dengan menggunakan
HP, mereka juga sibuk dengan HP masing-masing, dan
seolah-olah lupa bahwa yang ada di hadapannya adalah
teman yang diajak janian untuk bertemu dan berdiskusi.
Hal itu memang merupakan perilaku yang boleh dianggap
sepele, tetapi jika dibiarkan dalam jangka waktu yang
lama akhirnya bisa menjadi penyakit-alienatif. Karena itu,
mereka membutuhkan psikologi untuk memahami dirinya.

310 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Kedua, psikologi Jungian merupakan psikologi arus
utama yang mengandalkan konsep ketidaksadaran kolektif.
Jika pada masa jalan awal, psikologi ini kurang atau bahkan
tidak diminati sebab melawan psikologi arus utama yang
mengandalkan kesadaran. Kelak, psikologi kesadaran
dan psikologi ketidaksadaran akan terus bersaing dan
bertanding. Namun, percayalah bahwa ketidaksadaran
merupakan sebuah energi yang paling besar dalam diri
manusia. ketidaksadaran merupakan rizhomaid yang akan
selalu muncul di kala masa-masa rizhoma itu muncul.
Ketika, maraknya studi interdisipliner yang merambah
berbagai disiplin ilmu pengetahuan membuat psikologi
semakin kuat sebab dia (sebagai ilmu psikologi) akan
digandeng dan dikolaborasi dengan ilmu yang lain,
misalnya ekologi –yang melahirkan studi ecopsychology—
dan studi psikologi interdisipliner lainnya. Karena itu, kelak
sangat tidak mengherankan jika psikologi Jungian bisa
digunakan dalam berbagai studi yang selama ini mustahil
untuk dijangkau oleh psikologi Jungian. Misal saja, psikologi
Jungian tentu sudah akrab dalam konteks sastra dan film,
tetapi mungkin belum akrab di bidang matematik ataupun
sains. Untuk itu, dalam hitungan bulan, psikologi Jungian
bisa merambah ke berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Masa depan memang wilayah yang masuk dalam suatu
ketidakpastian. Ilmu pengetahuan pun juga demikian.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 311


Daya kompetitif ilmu pengetahuan di masa depan akan
selalu dipertandingkan. Ilmu pengetahuan yang kuat
akan tetap bertahan, sedangkan ilmu pengetahuan yang
lemah akan jatuh dan tenggelam. Tentunya, dalam hal ini,
psikologi Jungian akan mampu bertahan sebab psikologi
merupakan dunia yang tidak akan pernah habis untuk digali.
Psikologi Jungian akan mampu bertahan sampai kapanpun.
Kebertahanan tersebut muncul dalam dua jalan, yakni jalan
utama yang mampu menunjukkan bahwa psikologi Jungian
masih ada dan bertahan. Jalan kedua adalah jalan hibridatif.
Kelak, akan bermunculan juga psikologi Jungian yang jalur
hibridasi, psikologi Jungian akan masuk dalam psikologi-
psikologi yang lain dan memunculkan karakteristik psikologi
baru, tetapi roh utamanya masih tetap psikologi Jungian.
Jika hal tersebut terjadi, psikologi Jungian akan semakin
banyak pengikutnya sebab ada dua jalur, yakni (1) peneliti
psikologi arus utama dan (2) peneliti psikologi arus populer.
Saat ini memang banyak penikmat bidang keilmuan
yang muncul dari wilayah populer. Mereka memang memiliki
skil yang biasa saja jika dibandingkan dengan orang-orang
yang memang ahli di bidang psikologi.Tentunya, hal tersebut
merupakan hal yang wajar mengingat mereka adalah
seorang pecinta ilmu yang belajar dengan jalur otodidak
ataupun ikut acara pertemuan yang berkait dengan bidang
keilmuan tersebut. Jika diadu secara kompetensi, tentunya

312 Psikologi Jungian, Film, Sastra


kategori kedua tersebut akan kalah jauh dengan bidang
keahlian psikologi yang memang belajar di bidangnya.

Masa Depan yang tak Bermasa Depan: Sebuah Persepsi


Jika memandang dengan perspektif teleologis,
manusia yang sekarang bisa melihat bahwa dunia yang di
depan sebagai masa depan merupakan masa depan yang
tak bermasa depan. Manusia memang bisa melewati masa
lalu, menuju masa kini, dan selanjutnya menuju ke masa
depan. Namun, manusia tidak bisa lepas dari apa yang
disebut oleh filsafat zen sebagai “kesepertian”. Dalam
pandangan filsafat zen, kesepertian berkait dengan sesuatu
yang bersifat seperti. Jadi, pada hakikatnya sesuatu itu
bukanlah hal yang asali, melainkan hanya kesepertian saja.
Seperti halnya ketika seseorang melihat esok sebagai masa
depan. Namun, ketika orang tersebut beranjak menuju
esok sebagai hari ini, masa depan tersebut akan hilang
dengan sendirinya. Ketika hari ini dilalui, hari ini pun akan
hilang dan menjadi kemarin. Tentunya, hari ini berubah
menjadi kemarin sebagai sesuatu yang lampau. Dengan
begitu, kemarin, hari ini, dan masa depan hanyalah sebuah
persepsi. Sebuah persepi tentang pemikiran yang disebut
dengan kesepertian.
Dalam konteks psikologi Jungian, sebuah masa depan
memang masih jauh dan memunculkan hal-hal yang

Psikologi Jungian, Film, Sastra 313


penuh dengan modernisme. Namun, jangan salah bahwa
pemikiran manusia yang penuh dengan modernisme
tersebut tidak lepas dari pemikiran manusia masa lalu yang
kelak akan muncul di masa yang akan datang dan pemikiran
masa yang akan datang yang sebenarnya bersumber dari
masa lalu. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan oleh
archetype yang muncul dalam diri manusia. Archetype
yang akan selalu muncul dari zaman ke zaman dengan
karakterisasi yang berbeda dalam derajat yang berbeda
pula. Namun, tetap saja optimisme bahwa manusia akan
mengalami perubahan itu pasti dan harus sebab pepatah
mengatakan “dunia ini akan tetap dalam perubahan dan
perubahan akan tetap dalam ketetapan”.

Merindui Masa Lalu


Manusia yang berada di masa kini, tidak akan pernah
lepas dari kemerinduan masa lalu. Manusia masa kini akan
memiliki memori kolektif ataupun memori individual yang
tidak akan terlupakan dalam dirinya. Memori tersebut
hanya tenggelam saja dalam pikiran manusia yang memiliki
banyak kompleksitas. Namun, satu hal yang pasti bahwa
memori itu beberapa akan tertanam dengan kuat di dalam
ingatan dan tidak akan pernah bisa hilang sebab sudah
tertanam jauh dalam core pikiran manusia.

314 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Manusia memang bisa melupakan pikiran-pikiran yang
tidak disukainya ke dalam pikiran yang terdalam. Namun,
dalam konteks yang filosofis, manusia menenggelamkan
pikiran dan menghilangkan pikiran juga dengan pikiran
sehingga hal tersebut sulit untuk dilakukan. Untuk itu,
manusia memang tidka bisa melawan pikiran. Semakin kuat
pikiran untuk melupakan, akan semakin kuat pula pikiran
untuk mengingatnya sebab pikiran tersebut sama-sama
bekerja untuk membangun dan menenggelamkan dalam
satu waktu. Manusia sebagai sang pemilik sah pikiran hanya
mampu mengendalikan alam pikirannya. Dengan begitu,
dia sebagai manusia bisa mengarahkan pikirannnya untuk
diajak ke mana, tetapi untuk mengalahkan dan melawan
pikiran dengan pikiran, manusia tampaknya kesulitan.
Kehidupan manusia yang saat ini dalam kenikmatan,
kesenangan, dan kebahagiaan, akan sesekali muncul dan
tebersit keinginan untuk mengingat masa lalu yang penuh
dengan kesedihan, kesengsaraan, dan ketidakbahagiaan.
Itulah ciri dari pemikiran yang tidak bisa dibendung oleh
keinginan manusia. Ketika dia sedang dalam kondisi dan
masa kekinian, ia akan merindui masa lalu yang waktu
itu dia belum bahagia dan penuh kesengsaraan. Memori
individual memang tidak hanya berkait dengan konteks
kebahagiaan saja, melainkan juga berkait dengan konteks
ketidakbahagiaan. Hal itu menandakan bahwa manusia
tidak hanya merindui kebahagiaan, tetapi dia juga

Psikologi Jungian, Film, Sastra 315


merindui ketidakbahagiaan. Tentunya, dalam konteks ini
ketidakbahagiaan adalah sebuah kisah masa lalu dan masa
kesekarangan adalah kebahagiaan.
Banyak fakta yang kita ditemui di lapangan bahwa
orang-orang memang masih mengenang masa lalu. Itulah
kehidupan dalam pandangan ouroboros, sesuatu yang akan
berputar dan berputar lagi. Dari awal menuju akhir dan
dari akhir akan kembali menuju awal. Sebuah perputaran
yang tidak akan berhenti berputar. Kita kadang menemui
seseorang yang mengingat kepedihan masa lalu, misal saja
ada teman saja yang dulu semasa kuliah S-1 lulus di masa
ambang kritis. Ia sebagai seorang mahasiswa tampaknya
sudah berjuang mati-matian untuk bimbingan, menemui
sang dosen, termasuk diskusi dengan sang dosen tentang
esensi dari skripsinya. Menurutnya, dia sudah berdarah-
darah untuk bimbingan. Namun, mengapa dia tidak selesai-
selesai, rasanya dia ingin saja melarikan diri alisan dropout.
Namun, dia masih berusaha bertahan. Dia berjanji pada
dirinya tidak akan pulang sebelum dirinya selesai skripsi.
Sungguh luar biasa keinginannya itu, dia memang benar-
benar tidak pulang ke rumah ketika hari raya, meski orang
tuanya memohon pada dirinya agar dia pulang. Namun,
sekali lagi dia pantang pulang jika belum selesai skripsi.
Sungguh luar biasa, hasilnya, semester injury time, dia
bisa merampungkan skripsinya dan lulus. Kini, dia menjadi

316 Psikologi Jungian, Film, Sastra


seorang guru di sebuah sekolah bergengsi di Malang, tapi
dia masih terkenang dengan memori masa lalunya itu.
Dalam pandangan psikologi Jungian, memori individual
merupakan archetype yang akan bertahan sampai kapanpun
sebab memori tersebut akan memfosil dalam diri. Kelak,
dalam kaitannya dengan apa yang dikisahkan oleh si teman
saya tadi, akan terulang kembali dan muncul kembali dalam
derajat yang berbeda. Tentunya, di kampus yang berbeda
juga akan terjadi hal yang demikian sebab itulah archetype
yang konon akan selalu bersemayam dalam kehidupan
manusia, dalam sebuah bingkai besar yang namanya jiwa.

Gambar 27: Proses perkembangan kehidupan manusia


(Sumber: Karya Athaya Putri Annur, 2019)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 317


Manusia yang merindui masa lalu memang tidak salah
sebab kadang masa lalu adalah masa yang menyenangkan,
sedangkan masa kini adalah masa yang tidak menyenangkan.
Namun, manusia sebagai sosok yang menuju pada konsep
individuasi haruslah mampu menuju pada masa puncak diri
yang disebut sebagai individuasi. Ketika manusia menuju
pada tahapan tua, itu adalah sebuah kepastian sebab
mulanya manusia berasal dari tidak ada dan dimunculkan
ke muka bumi dalam bentuk bayi. Selanjutnya, mengalami
perkembangan: bayi, anak-anak, remaja, dewasa, paruh
baya, dan tua. Selanjutnya adalah kematian. Kesemuanya
itu, adalah tahapan yang normal untuk manusia sebab ada
juga yang tidak melalui tahapan itu, misal saja pada usia
masih kecil sudah meninggal karena suatu sebab tertentu
dan dalam konteks religiusitas kematian itu memang sudah
menjadi takdir Tuhan.

Kritisi Pemikiran Jung dalam Perspektif Kontemporer


Sebagai sebuah pemikiran dalam konteks psikologis,
tentunya sama dengan pemikiran yang lain, ada sisi yang
perlu dikritisi dan memang ada celahnya. Pandangan Jung
sebagai sebuah hasil pemikiran dari manusia, tentunya
tidak lepas drai kritik dan pujian. Disitulah letak kekuatan
keilmuan. Pada satu sisi diikuti, sedangkan pada satu sisi

318 Psikologi Jungian, Film, Sastra


yang lain ditentang dan dikritisi. Kritisi pemikiran Jung dalam
perspektif psikologi kontemporer adalah sebagai berikut.
Pertama, dalam konteks kesekarangan, pandangan
Jung yang teleologis, mistis dan occultis, tidak semua
orang mendukung pemikiran tersebut. Terutama, untuk
orang-orang yang mengandalkan ilmu pengetahuan yang
secara sistematis dan metodologis bisa diuji secara empiris
kebenarannya. Tentunya, semua mahfum bahwa dalam
menginterpretasikan mimpi-mimpi yang berkait dengan
simbolisme yang archaik ada beberapa hal yang tidak
mampu dipaparkan secara sistematis dan metodologis.
Ketika Jung bisa memaparkan secara sistematis dan
metodologis, pandangan yang berbeda menunjukkan
bahwa apa yang dilakukan Jung tersebut tidak jauh
berbeda dengan pandangan Levi-Strauss. Sebagai seorang
antropolog, Levi-Strauss lebih banyak meneliti data-data
tentang budaya masyarakat tertentu dan dikait dengan
konteks antropologi. Levi-Strauss juga menggunakan
data-data yang berasal dari mitologi dan dihubungkaitkan
dengan antropologi yang sedang dikembangkannya, yakni
struktural antropologi. Data yang digunakan oleh Jung
dan Levi-Strauss tampaknya merupakan data yang terpilih
sengaja terkesan data tersebut memang dipilih oleh sang
peneliti.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 319


Kedua, studi psikologi Jungian merupakan studi
psikologi yang membutuhkan kemampuan ekstra
dalam memahami teks-teks yang archetypis. Artinya,
seorang psikolog yang tidak mendalami dunia psikologi
Jungian secara mendalam akan mengalami kesulitan jika
menafsirkan teks ataupun mitologi yang berkait dengan
psikologi Jungian. Hal itu terjadi sebab analisis psikologi
Jungian hampir sama dengan apa yang dilakukan Levi-
Strauss, sebuah penelitian yang berada dalam rimba
belantara sebab memerlukan penggalian yang lebih dalam.
Jika tidak, yang ditemukan hanyalah permukaan.
Ketiga, psikologi Jungian memiliki perbedaan dengan
psikologi Freudian. Hal ini membuat kubu pemikiran
psikoanalisis sebagai psikologi arus utama yang berbicara
tentang ketidaksadaran individual ataupun tentang keti-
daksadaran kolektif terpecahbelah. Kedua kubu tersebut
tentunya memunculkan pro dan kontra secara akademis.
Meskipun demikian, adanya pro dan kontra dalam
konteks akademis merupakan hal yang bagus sebab untuk
memunculkan sebuah keilmuan yang semakin kokoh
haruslah melalui tahapan kritikan tajam, tetapi konstruktif.
Arus kontroversi dalam psikologi Jungian juga tidak
terelakkan. Psikologi Jungian yang tradisional dan psikologi
Jungian yang modern selalu menunjukkan kekuatan masing-

320 Psikologi Jungian, Film, Sastra


masing dan kelebihan masing-masing mazhab. Psikologi
Jungian mazhab tradisional lebih mengedepankan pakem,
sedangkan psikologi Jungian modern lebih mengedepankan
pengembangan pemikiran yang kolaboratif dan interdisip-
liner-multidisipliner-transdisipliner. Dalam perkembangan
psikologi yang kekinian, semua para penganut psikologi
dengan ideologinya masing-masing memiliki kekuatan
masing-masing sehingga mereka sama-sama memperkuat
diri agar psikologi yang dianut oleh mereka tetap bertahan
dan bila perlu semakin berjaya. Namun, apapun yang
terjadi, psikologi Jungian adalah buah pemikiran psikologi
abad modern yang tidak terlupakan.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 321


DAFTAR RUJUKAN

Ahmadi, Anas. 2011. Cerita Rakyat Pulau Raas dalam


Konteks Psikoanalisis Carl G. Jung. Manusia,
Kebudayaan, dan Politik, 24 (2): 109-116
Ahmadi, Anas. 2013. “Sastra dan Jiwa-jiwa yang Terbung-
kam: Memahami Cerpen dan Puisi Ayu Meita
Silviana”. Radar Bojonegoro.
Ahmadi, Anas. 2015. Psikologi Sastra. Surabaya: Unesa
Press.
Ahmadi, Anas. 2017. Cerita Rakyat Jerman Perspektif
Psikologi Jungian. Toto Buang, 4 (2) 147-149
Allain-Dupr´e, B. 2004. ‘Sabina Spielrein: a bibliography’.
Journal of Analytical Psychology, 49, 421–33, https://
doi.org/10.1111/j.1465-5922.2004.00469.x
Bell, Robert E. 1991. Women of Classical Mythology.
California: Santa Barbara.

322 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Bishop, Paul. 2008. Analytical Psychology and German
Classical Aesthetics: Goethe, Schiller, and JungVolume
1 The Development of the Personality. London:
Routledge.
Bishop, Paul. 2014. Carl Jung. London: Reaktion Books, Ltd.
Bolen, Shinoda. 2004. Goddesses in Every Women:
Powerful Archetypes in Women’s Lives. California:
Harpercollins.
Botterill, George & Carruthers, Peter. 1999. The Philosophy
of Psychology. Cambridge: Cambridge University.
Bletzer, Keith V. (2012) Castaneda›s Shaman Don
Juan: ‘Sorcerer’ Or Literary Vehicle?, Journal of
Psychedelic Drugs, 8:4, 327-329, DOI: 10.1080/
02791072.1976.10471858
Blum, Jason. 2010. Insidious. Canada: Blumhouse
Productions.
Blum, Jason. 2018. Insidious: The Last Key. California:
Universal Pictures.
Carter, Kenneth & Seifert, Colleen, M. 2013. Learn
Psychology. Burlington: Jones and Bartlett, LLC.
Codorow, Joan. 2015. Encountering Jung: On Active
Imagination. New Jersey: Princeton.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 323


Cooper, Carol. 2019. The Sexual “Other” in Children of
Paradise. Jung Journal, 13 (1):35-48, DOI: 10.1080/
19342039.2019.1560793
Casement, Ann. 2001. Carl Gustav Jung. London: Sage
Publications.
Casement, Ann. 2006. The Shadow. In Renos K. Papa-
dopoulos. (Ed), The Handbook of Jungian Psychology
Theory, Practice And Applications. Pp. 94-112. New
York: Routledge.
Cervone, Deniel & Pervin, Lawrence A. 2013. Personality:
Theory and Research. New York: Wiley.
Cohen, Betsy. 2015. Dr. Jung and His Patients, Jung
Journal, 9(2): 34-49, DOI: 10.1080/ 19342039. 2015.
1021231
Covington, Coline. 2003. Introduction. In Coline Covington
and Barbara Wharton (Eds). Sabina Spielrein Forgot-
ten Pioneer of Psychoanalysis, pp. 1-14. London:
Routledge.
Cremerius, Johannes. 2003. Foreword to Carotenuto’s
Tagebuch einer heimlichen Symmetrie. In Coline
Covington and Barbara Wharton (Eds). Sabina
Spielrein Forgotten Pioneer of Psychoanalysis, pp.
64-81. London: Routledge.

324 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Cronenberg, David. 2011. A Dangerous Method. Story by
Christopher Hampton, John Kerr. Hanway Films.
Clark, R.T.R. 1959. Myth and Symbol: In Ancient Egypt.
London: Thames & Hudson.
Douglas, Claire. 2010. Analytical Psychotherapy. In
Raymond J. Corsini & Danny Wedding (Eds), Current
Psychotherapies. Pp, 113-145. Belmont, CA: Brooks/
Cole.
Dourley, John P. 2015. Jung, a Mystical Aesthetic, and
Abstract art. International Journal of Jungian Studies, 7
(1):4-18, DOI: 10.1080/19409052.2014.924687
Dourley, John P. 1995 The Religious Significance of Jung›s
Psychology. The International Journal for the
Psychology of Religion, 5 (2): 73-89, DOI: 10.1207/
s15327582ijpr0502_1
Dunne, Claire. 2015. Carl Jung: Wounded Healer of the Soul
(An Illustrated Biography. London:Watkind Media
Ltd.
Ellis, Sian. 2018. Jung and intuition: On the Centrality and
Variety of Forms of Intuition in Jung and Post-
Jungians. Psychodynamic Practice, DOI: 10.1080/
14753634.2018.1536559

Psikologi Jungian, Film, Sastra 325


Faenza, Roberto. 2002. The Soul Keeper. Moscow: Medusa.
Fike, Matthew A. 2014. The One Mind: CG Jung and the
Literary Criticism. London: Routledge.
Gaist, Byron. 2014. The Darkening Spirit: Jung, Spirituality,
Religion. International Journal of Jungian Studies,6
(2): 168-170, DOI: 10.1080/19409052.2013.874099
Falzeder, Ernst. 2016. Types of Truth. Jung Journal, 10
(3): 14-30, DOI: 10.1080/19342039.2016.1191110
Feist, Jess & Feist Gregory J. 2009. Theory of Personality.
New York: Mc Grawhill: New York.
Fredericksen, Don. 1980. Two Aspects of A Jungian
Perspective Upon Film: Jung and Freud; The
Psychology of Types. Journal of The University Film
Association, 32 (1,2):49-57.
Freud, Sigmund. 1901. Psychopathology of Everyday Life.
New York: Nervous and Mental Disease Pub. Co.
Freud, Sigmund. 1910. The Origin and Development of
Psychoanalysis. New York: Nervous and Mental
Disease Pub. Co.
Freud, Sigmund. 1914. The History of the Psychoanalytic
Movement. New York: Nervous and Mental Disease
Pub. Co.

326 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Freud, Sigmund. 1920. Three Contributions to the Theory of
Sex. New York: Nervous and Mental Disease Pub. Co.
Freud, Sigmund. 1955. The Interpretation of Dreams. New
York: Basic Books.
Freud, Sigmund & Jones, Ernest. 1993. The Complete
Correspondence of Sigmund Freud and Ernest Jones.
London: Harvard University.
Fromm, Erich. 1947. Man for Him Self. London: Routledge.
Fromm, Erich. 1954. The Fear of Freedom.London: Routledge.
Fromm, Erich. 1955. The Sane Society. New York: Holt,
Rinehart, & Winston.
Fromm, Erich. 1964. The Heart of Man. New York: Harper &
Row.
Fromm, Erich. 1966. Marx’s Concept of Man. New York:
Continuum.
Fromm, Erich. 1968. Revolution of Hope:Toward of Humanized
Tecnology. New York: Harper & Row Publishers.
Fromm, Erich. 1973. The Anatomy of Destructiveness. New
York: Holt, Rinehart, & Winston.
Fromm, Erich. 1998. The Art of Loving. Korea: Choun
Publishing.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 327


Franz, Marie-Louise von. 1997. Archetypal Patterns in Fairy
Tales Studies in Jungian Psychology: By Jungian
Analysts. Canada: Inner City Books.
Franz, Marie-Louise von. 1980. The Psychological Meaning
of Redemption Motifs in Fairytales. Canada: Inner
City Books.
Franz, Marie-Louise von. 1999. Archetypal Dimensions of the
Psyche. Boston: Shambhala Publications, Inc.
Freeman, Jhon. 1964. Introduction. In Carl Gustav Jung (Ed),
Man and His Symbols, pp 9-17. New York: Anchor
Press Books.
Fromm, Erich. 1956. The Art of Loving. New York: Harper &
Row, Publisher Inc.
Graf-Nold, A. 2005. Jung’s Lectures at the Swiss Federal
Institute of Technology (ETH): Collating the Text of
the Course “Modern Psychology”. Jung History: A
Semi-Annual Publication of the Philemon Foundation,
1(1):12-14.
Gill, G. R. 2019. Archetypal Criticism: Jung and Frey. In D.
H. Richter (Ed.). A Companion to Literary Theory, pp.
397-407. John Wiley & Sons Ltd.
Grimm, Jacob & Grimm, Wilhelm. 2003. Grimm’s Fairly Tales.
New York: Barnes & Noble Classics.

328 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Hall, Calvin S. & Nordby,Vernon J. 1973. A Primer of Jungian
Psychology. New Yor: Mentor.
Hall, Calvin S. & Linzey, Gardner. 1993. Teori-teori
Psikodinamik Klinis. Terjemahan oleh Yustinus.
Yogyakarta: Kanisius.
Hauke, Cristopher & Alister, Ian (Ed). 2001. Jung and Film:
Post Jungian Takes on the Moving Images. London:
Routledge.
Hauke, Christopher and Hockley, Luke (Ed). 2011. Jung &
Film II: New Post Jungian and Reflections on Film.
London: Routledge.
Hollis, James. 2000. The Archetypal Imagination. Texas:
Texas University Press.
Hunter, Alan G. 2008. The Six Archetypes of Love: From
Orphan to Magician. Scotland: Findhorn Press.
Hyde, Maggie & McGuinness, Michael. 2004. Introducing
Jung: A Graphic Guide. London: Icon Books Ltd.
Iaccino, James. 1998. Jungian Reflections Within the Cinema: A
Psychological Analysis of Sci-Fi and Fantasy Archetypes.
London: Greenwood Publishing Group, Inc.
Idema, W. 2008. Two Precious Scroll Narrative of Guanyin
and her Acoltyes. Honolulu: Kuroda Institute Book.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 329


Jacoby, Mario. 2006. Longing For Paradise: Psychological
Perspectives On an Archetype. Canada: Innercity
Books.
Jaffeé, Aniella. 1961. Introduction. In Memories, Dreams,
Reflections, pp v-viii. New York:Vintage Books.
Jamalinesari, Ali. 2015. Anima/Animus and Wise Old Man
in Six Characters in Search of an Author. Advances
in Language and Literary Studies, 6 (3):34-36, http://
dx.doi.org/10.7575/aiac.alls.v.6n.3p.33.
Jauregui, Inmaculada. 2002. Psychology and Literature:
The Question of Reading Otherwise. The
International Journal of Psychoanalysis, 83 (5):1169-
1180, DOI: 10.1516/842E-00L2-PRJX-E26R.
Jones, Ernest. 1967. The Life and Work of Sigmund Freud.
London: Hogan Press.
Jung, Carl G. 1912. Jung Letters Volume 1. 1906-1950.
London: Routledge.
Jung, Carl G. 1959. Jung Letters Volume 2. 1951-1961.
London: Routledge.
Jung, Carl G. 1921. Psychological Types. In Collected Works
(Volume. 6, R. F. C. Hull, Trans.). Princeton, NJ:
Princeton University Press.

330 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Jung, Carl G. 1948. Shadow. In Collected Works Volume 9
part 2 Princeton: Princeton University Press.
Jung, Carl G. 1953. Four Archetypes Mother, Rebirth, Spirit,
Trickster. London: Roudletge.
Jung, Carl G. 1961. Memories, Dreams, Reflections. New
York:Vintage Books.
Jung, Carl G. 1964. Man and His Symbols. New York: Anchor
Press Books.
Jung, Carl G. 1966. Spirit in Man, Art, and Literature: Collected
Works Vol. 15. Princeton: Princeton University Press.
Jung, Carl G. 1966. Pyschology and Occult. London:
Routledge.
Jung, Carl G. 1968. Psychology and Alchemy. Collected
Works Vol. 12. Princeton: Princeton University Press.
Jung, Carl G. 1934. Archetypes and the Collective Unconscious.
London: Roudletge.
Jung, Carl G. 1956. Symbols of Transformation: An Analysis
of the Prelude to A Case of Schizophrenia. Princeton:
Princeton University Press.
Jung, Carl G. 1958. Psychology and Religion: West and East.
New York: Pantheon Books.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 331


Jung, Carl G. 1960. Psychogenesis of Mental Diseases.
Princeton: Princeton University Press.
Jung, Carl G. 1961. Jung Contra Freud. The Collected Works
of C.G.Jung Volume 4, Part 2. Princeton: Princeton
University Press.
Jung, Carl G. 1963. Mysterium Coniunctionis: An Inquiry Into
The Separation And Synthesis of Psychic Opposites In
Alchemy. Princeton: Princeton University Press.
Jung, Carl G. 1969. Structure & Dynamics of the Psyche.
Princeton: Princeton University.
Jung, Carl G. 1977.CG Jung Speaking: Interviews and
Encounters. Princeton: Princeton University Press.
Jung, Carl G. 1989. Introduction to Jungian Psychology: Notes
of the Seminar on Analytical Psychology Given in
1925. Princeton: Princeton University.
Jung, Carl G. & Kerenyi, C. 1969. Essays on A Science of
Mythology: The Myth of the Divine Child and the
Mysteries of Eleusis. New York: Pantheon Books.
Jung, Carl G. 2006. On the Method of Dream Interpretation.
Jung History: A Semi-Annual Publication of the
Philemon Foundation, 2 (1):8-28.
Jung, Carl G. 1981. Experimental Researches. London:
Routledge.

332 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Jung, Carl G. 1999. Jung: On the Death and Immortality.
Princeton: Princeton University.
Jung, Emma. 1985. Animus E Anima. Saulo Paulo: Editoria
Cultrix, Ltda.
Leigh, David J. 2015. Carl Jung’s Archetypal Psychology,
Literature, and Ultimate Meaning. URAM, 34, 1-2.
Lowinsky, Naomi Ruth. 2012. The Rabbi, the Goddess,
and Jung. Jung Journal, 6 (1):85-103, DOI: 10.1525/
jung.2012.6.1.85
Karaban, Roslyn A. 1992. Jung’s Concept of the
Anima/Animus: Enlightening or Frightening.
Pastoral Psychology, 41 (1): 39-44.
Kant, Immanuel. 1900. Dreams of a Spirit-Seer. New York:
McMilan.
Kay, William, K. 1997. Jung and World Religions. Journal of
Beliefs and Values, 18 (1):109-112 .
Kast, Verena. 2006. Anima/Animus. In Renos K. Papado-
poulos (Ed), The Handbook of Jungian Psychology:
Theory, Practice and Applications, pp. 113-129.
London: Routledge.
Kerr, Jhon. 2011. A Dangerous Method: The Story of Freud,
Jung, and Sabina Spielrein. New York: Vintage Books.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 333


Kerlinger, Freed N. 1990. Asas-asas Penelitian Behavioral.
Diterjemahkan oleh Landung R. Simatupang.
Yogyakarta: UGM Press.
Krapp, Kristine. 2015. A Study Guide for Psychologists and
Their Theories for Students: Carl Jung. Farmington
Hills: Gale.
Lang, Andrew. 1897. The Book of Dreams and Ghosts.
London Longmann.
Launer, John. 2015. Carl Jung’s relationship with Sabina
Spielrein: a reassessment. International Journal
of Jungian Studies, 7 (3):179-193, DOI: 10.1080/
19409052.2015.1050597
Leeming, David A. 2014. Encyclopedia of Psychology and
Religion. Second Edition. London: Springer.
Levi-Strauss, Claude. 1963. Structural Anthropology. New
York: Basic Book.
Levine, S. 2013. Becoming Kuan Yin: The Evolution of
Compassion. San Fransico: Weisser Books.
Lothane, Zvi (1996) In Defense of Sabina Spielrein. Inter-
national Forum of Psychoanalysis, 5 (3): 203-
217, DOI: 10.1080/08037069608412741

334 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Lothane, Henry Zvi. 2016. Sabina Spielrein’s Siegfried
and Other Myths: Facts Versus Fictions.
International Forum of Psychoanalysis, 25 (1):40-
49, DOI: 10.1080/0803706X.2015.1111523
Li, Wai-Yee. 1999.Dreams of Interpretation in Early
Chinese Historical and Philosophical Writings.
David Shulman and Guy G. Stroumsa (Eds). Dream
Cultures: Explorations in the Comparative History of
Dreaming, pp. 17-42. New York: Oxford.
McLynn, Frank. 2014. Carl Gustav Jung. New York: St Martins
Press.
Merritt, Frazer, Merritt, Dennis & Lu, Kevin. 2018. A Jungian
Interpretation of The Hunger Games. Jung Journal, 12
(3): 26-44, DOI: 10.1080/19342039.2018.1478558
Minder, Bernard. 2003. A Document. Jung to Freud 1905: A
Report on Sabina Spielrein. In Coline Covington and
Barbara Wharton (Eds). Sabina Spielrein Forgotten
Pioneer of Psychoanalysis, pp. Pp. 137:142. London:
Routledge.
Miller, David. 2005. Mandala Symbolism in Psychotherapy: The
Potential Utility of the Lowenfeld Mosaic Technique
For Enhancing the Individuation Process. The Journal of
Transpersonal Psychology, 37 (2):164-177.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 335


Miller, Jeffrey C. 2004. The Transcendent Function : Jung’s
Model of Psychological Growth Through Dialogue
with the Unconscious. New York: State University Of
New York Press.
Mills, Jon. 2013. Jung›s metaphysics. International Journal
of Jungian Studies, 5 (1): 19-43, DOI: 10.1080/
19409052.2012.671182
Mills, Jon. 2014. Jung as Philosopher: Archetypes, the
Psychoid Factor, and the Question of the Super-
natural. International Journal of Jungian Studies, 6
(3):227-242, DOI: 10.1080/ 19409052. 2014.921226
Millon, Irving B. 2003. Evolution: A Generative Source For
Conceptualizing The Attributes of Personality. In
Theodore Millon & Melvin J. Lerner (Eds), Handbook
of Psycholog: Personality and Social Psychology, Pp.
3-30. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
McGuire, William. 1974. The Freud Jung/Letters. Princeton:
Princeton University Press.
Moura, Vicente. 2005. Some Critical Issues About Jungian
Analysis. Jung History, 1 (2):22-25.
Nelson-Jones, Richard. 2006. Theory and Practice of
Counselling and Therapy. California: Sage Publi-
cations, Inc.

336 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Mackenzie, Donald. 1907. With Historical Narrative, Notes
on Race Problems, Comparative Beliefs, etc. London:
Gresham Publishing.
Neumann, Erik.1963. The Great Mother. New York:
Princenton.
Nurudin, Habibullah. 2016. Mimpi dalam Islam: Perspektif
Psikologi Islam. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta:
UIN Kalijaga.
Odajnyk, V. Walter. 2012. Archetype and Character Power,
Eros, Spirit, and Matter Personality Types. London:
Palgrave McMillan.
Palmer, James. 2012. The King’s Speech. Jung Journal, 6
(2):68-85, DOI: 10.1525/jung.2012.6.2.68
Palmquist, Stephen. 2005. Fondasi Psikologi Perkembangan:
Menyelami Mimpi, Mencapai Kematangan Diri.
Diterjemahkan oleh Muhammad Sodiq. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rountree, Cathleen. 2007. Cinema Culture and Psyche. Jung
Journal, 1(3): 81-83, DOI: 10.1525/jung.2007.1.3.81
Rockefeller, Kirwan. 1994. Film and dream imagery in
personal mythology. The Humanistic Psychologist,22
(2): 182-202, DOI: 10.1080/08873267.1994.9976946

Psikologi Jungian, Film, Sastra 337


Robertson, Robin.2002) Stairway to Heaven: Jung and
Neoplatonism. Psychological Perspectives, 44 (1): 80-
95, DOI: 10.1080/00332920208402883
Rowland, Susan. 1999. C. G. Jung and Literary Theory:The
Challenge from Fiction. London: Palgrave Mcmillan.
Rowling, J.K. 1997. Harry Potter dan Batu Bertuah.
Terjemahan. Jakarta: Gramedia.
Rowling, J.K. 2000. Harry Potter and the Camber of Secrets.
Terjemahan. Jakarta: Gramedia.
Richter, Claudia. 2018. Self-Reflection and Projection
in Jungian ‘Spirituality’: Carl Gustav Jung’s
Encounter with India and His Critique of Indian Psy-
Sciences. South Asian History and Culture, 9 (3):323-
339, DOI: 10.1080/19472498.2018.1488363
Sartre, J.P. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme. Terje-
mahan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santos, Rosemary Conceição et al. 2018. Psicologia da
Literatura e Psicologia na Literatura. Trends in
Psychology/Temas em Psicologia, 26 (2): 767-780.
Segal,RobertA.2018.MerkuronJungonethics,mysticism,and
religion. International Journal of Jungian Studies, 10
(2): 147-154, DOI: 10.1080/19409052.2018.1446505

338 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Senn, Harry A. 1989 Jungian Shamanism. Journal of
Psychoactive Drugs, 21(1): 113-121, DOI: 10.1080/
02791072.1989.10472148
Skea, Brian R. 2006. Sabina Spielrein: out from the Shadow
of Jung and Freud.
Journal of Analytical Psychology, 51, 527–552, doi.
org/10.1111/j.1468-5922.2006.00496.x
Spielrein, Sabina. 2018. The Essential Writing of Sabina
Spielrein: Pioneer of Psychonalysis. London: Routledge.
Shamdasani, Sonu. 1961. Introduction: Jung, New York,
1912. In Jung Contra Freud: The 1912 New York
Lectures on the Theory of Psychoanalysis. pp. vii-xxi.
London: Routledge.
Shamdasani, Sonu. 2005a. Modern Psychology, Jung
History: A Semi-Annual Publication of the Philemon
Foundation, 1 (1):10-14.
Shamdasani, Sonu. 2005b. From the Uncollected Jung:
Jung In Oxford, 1938, Jung History: A Semi-Annual
Publication of the Philemon Foundation, 1 (1):5-7.
Shamdasani, Sonu. 2007. The incomplete works of Jung.
In Ann Casement (Ed), WHO OWNS JUNG? pp.173-
188. London:Karnac Books Ltd.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 339


Shamdasani, Sonu. 2018. Jung Stripped Bare: By His
Biographers, Even. London: Taylor & Francis.
Stevens, Anthony. 2006. The Archetypes. In Renos K.
Papadopoulos (Ed), The Handbook of Jungian Psy-
chology: Theory, Practice and Applications, pp. 74-93.
London: Routledge.
Stephens, Stephani (2016) Active imagination and the
dead, International Journal of Jungian Studies, 8:1, 46-
59, DOI: 10.1080/19409052.2015.1111842
Stephenson, Craig E. 2016. W. H. Auden’s Use of Jung’s
Typology. Jung
Journal, 10(3): 31-51, http://dx.doi.org/10.1080/19342039.20
16.1191910
Schultz, Duane P. & Schultz, Sydney E. 2011. History of
Modern Psychology. California: Wadsworth.
Sharp, Daryl. 1987. Personality types: Jung’s model of
typology. Toronto:Inner City Books.
Singh, Khenu. 2013. The Unstruck Sound: Archetypes of
Rhythm and Emotion in Indian Alchemy and Jungian
Analysis. Jung Journal, 7(2):35-61, DOI: 10.1080/
19342039.2013.787887
Spiegelman, J. Marvin. 2007. On the Mortificatio of Jungian
Psychology. Jung Journal: Culture & Psyche, 1(2): 65-
79, http://dx.doi.org/10.1525/jung.2007.1.2.65.

340 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Stein, Leslie. 2015. Jung and Divine Self-Revelation. Jung
Journal: Culture &
Psyche, 9:1, 18-30, http://dx.doi.org/10.1080/19342039.2015
.988061
Taylor, Eugene. 2007. Jung On Swedenborg, Redivivus. Jung
History, 2 (2):27-32.
Tacey, David. 2007. The challenge of teaching Jung in the
university. In In Ann Casement (Ed), Who Owns
Jung? pp.53-74. London:Karnac Books Ltd.
Tieger, Paul D., et al. 1992. Do What You Are. New York:
Little, Brown, and Company.
Von Franz, Marie-Louise. (1980). Analytical Psychology and
Literary Criticism. New Literary History, 12(1), 119-
126. doi:10.2307/468809.
Von Franz, Marie-Louise. 1997. Archetypal Patterns in Fairly
Tales. Canada: City Book.
Watts, S.L. 2007. Encyclopedia American Folklore.
USA:Infobase Publishing.
Whan, Michael. 2006. Figures of Time And Meaning In Jung’s
Interpretation Of Dreams, Jung History: A Semi-Annual
Publication of the Philemon Foundation, 2 (1):4-7.
Willeford, William (1992) Jung as Philosopher, The San
Francisco Jung Institute Library Journal, 11:1, 57-
67,DOI: 10.1525/jung.1.1992.11.1.57

Psikologi Jungian, Film, Sastra 341


Wilde, D. J. 2011. Jung’s Personality Theory Quantified.
London: Springer.
Yoshikawa, Eiji. 2001. Musashi. Terjemahan. Jakarta: Gramedia.
Zemmelman, Steve. (2012) C. G. Jung and the Jewish Soul.
Jung Journal:
Culture & Psyche, 6:1, 104-123, http://dx.doi.org/10.1525/
jung.2012.6.1.104.
Zimmerman, Shadow. 2016. The Anima In Theatre:
Animating A Jungian Concept For Devisers,
Directors, And Actors. Thesis Unpublished. Califor-
nia: University Of California.

Rujukan Website
https://mbtitraininginstitute.myersbriggs.org, diakses 20
Februari 2019
http://philemonfoundation.org, diakses 21 Februari 2019
https://speakingofjung.com/jung, diakses 22 Februari 2019
https://www.carl-jung.net/timeline.html. diakses 23
Februari 2019
http://oaks.nvg.org/jung-timeline.html#r, diakses 24
Februari 2019
https://www.freud-museum.at/de/veranstaltung/Russian_ ,
diakses 25 Februari 2019.

342 Psikologi Jungian, Film, Sastra


GLOSARIUM

anima : jiwa laki-laki yang terdapat dalam diri


perempuan
animus : jiwa perempuan yang terdapat dalam diri
laki-laki
archetype : ciri primordial yang dasariah
agoraphobia : ketakutan pada kerumunan
acrophobia : ketakutan pada ketinggian
biophilia : hasrat yang membangun jiwa, positif,
realistis
necrophilia : hasrat yang merusak jiwa, negatif,
unrealistis
daimyo : keluarga terhormat/bangsawan di masa
ke-samurai-an jepang
borjuis : kalangan/kelompok majikan yang memiliki
otoritas menguasai perusahaan
ekstrovert : kepribadian yang bersifat terbuka
introvert : kepribadian yang bersifat tertutup
proletar : kalangan/kelompok buruh yang tidak
memiliki otoritas

Psikologi Jungian, Film, Sastra 343


sadistis : perilaku menyimpang yang ditandai
dengan rasa senang ketika menyakiti
secara fisik dan psikis lawan jenis (biasanya
dalam konteks seksual)
masochis : perilaku menyimpang yang ditandai
dengan rasa senang disakiti menyakiti
secara fisik dan psikis lawan jenis (biasanya
dalam konteks seksual)
mistisisme : hal yang berkait dengan konteks mitical,
gaib, supranatural
mesias : sosok yang dianggap sebagai juru selamat
sublimasi : salah satu bentuk mekanisme pertahanan
ego yang dimunculkan dalam bentuk
yang lain, misalnya seseorang yang sabar,
disublimasikan dalam sastra dalam bentuk
tokoh yang pemarah
neurosis : kecemasan yang berlebihan
nominous : sesuatu yang bersifat keilahian, kitab suci,
kesakralan
demonologi : seseorang yang dianggap dirasuki setan/
iblis; ilmu pengetahuan/studi tentang
setan/iblis
proyeksi : mekanisme pertahanan ego yang berkait
dengan pelimpahan pada objek yang lain

344 Psikologi Jungian, Film, Sastra


asosiasi kata : metode psikoterapi yang dikembangkan
Jung dengan menggunakan kata-kata
pnigophobia : ketakutan menulis
bizzar : aneh, janggal
parathimi : apa yang seharusnya membuat penderita
merasa senang dan gembira malah muncul
sebaliknya
paramimi : penderita merasa senang tetapi ia menangis
phallus : lambang yang diasosiasikan seperti kelamin
laki-laki
opresi : penindasan/penekanan terhadap seseorang
ekspulsif : hasrat yang tidak terkendali yang meng-
arah ke luar diri
ronin : samurai yang berkelana dan tidak memiliki
daimyo (Jepang)
impulsif : hasrat yang tidak terkendali yang meng-
arah ke dalam diri
grimas : mimik yang aneh dan berulang
katalepsi : mempertahankan tubuh yang kaku
oedipus
kompleks : hasrat seorang anak laki-laki yang mencintai
ibunya
elektra
compleks : hasrat seorang anak perempuan yang
mencintai ayahnya

Psikologi Jungian, Film, Sastra 345


jonah
kompleks : hasrat ketakutan untuk sukses
cassandra
kompleks : hasrat ketakutan akan bayangan masa depan
mumbo
jumbo : omong kosong yang tidak ada artinya
oculltisme : kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib,
mistis
mimpi : kinerja alam bawah sadar ketika orang
sedang dalam kondisi tidur
mimpi laten : mimpi yang berhubungan dengan konteks
yang real dan lebih mudah ditafsirkan
mimpi
manifest : mimpi yang berhubungan dengan konteks
yang unreal dan sulit ditafsirkan
masa pagi : masa kehidupan untuk anak-anak
masa siang : masa kehidupan untuk orang dewasa
masa senja : masa kehidupan untuk paruh baya dan tua
psikologi
Jungian klasik : penganut psikologi Jungian yang mengikuti
pakem Jung
psikologi
Jungan
modern : penganut psikologi Jungian yang mengem-
bangkan pemikiran Jung

346 Psikologi Jungian, Film, Sastra


INDEX

A 117, 118, 122, 123, 124,


Adler iii, 6, 14, 29, 49, 53, 125, 127, 128, 134, 137,
66, 94, 262 170, 175, 190, 191, 259,
agama iv, 9, 13, 19, 21, 22, 267, 270, 271, 272, 273,
29, 56, 59, 60, 61, 74, 274, 277, 281, 282, 283,
90, 101, 103, 122, 123, 284, 286, 297, 299,
131, 137, 138, 159, 160, 301, 302, 303, 304, 305,
161, 162, 169, 182, 223 306, 307, 308, 309, 314,
agresi 17, 82, 116 317, 343
Anima i, iii, 1, 50, 68, 84,
125, 126, 128, 129, 133, B
134, 139, 207, 330, 333, biografi 5, 35, 36, 37, 38, 39,
342 52, 67, 78, 193
Animus i, iii, 1, 50, 68, 330, budaya 4, 84, 96, 99, 106,
333 122, 124, 136, 137, 139,
Anna Freud iii, 14, 50, 53, 160, 164, 165, 175, 227,
262 319
archetype iv, 7, 8, 24, 32, 62,
83, 89, 90, 91, 92, 93, C
94, 95, 96, 97, 98, 99, Carl Gustav Jung 3, 35, 39,
100, 101, 102, 103, 104, 40, 97, 324, 328, 335,
105, 106, 113, 115, 116, 338

Psikologi Jungian, Film, Sastra 347


E 200, 202, 203, 205,
ekstrovert v, 58, 142, 144, 206, 207, 208, 209,
145, 146, 147, 148, 212, 217, 220, 228,
149, 343 229, 230, 249, 250,
Emma Rauscenbach ix, 50, 253, 254, 262, 326, 327,
51 330, 332, 333, 335, 336,
empiris 26, 60, 165, 188, 339
205, 229, 267, 268, Fromm iii, 6, 13, 16, 17, 50,
269, 319 53, 94, 106, 262, 279,
Erikson iii, 14, 29, 43, 53 310, 327, 328
Ernest Jones 5, 36, 327
Eugen Bleuleur 9, 10, 12 G
Goethe 13, 40, 260, 323
F
fabrikasi 27 I
falsifikasi 27 Imanuel Kant 9, 38, 83, 96
feminitas 4, 136 interdisipliner 23, 89, 124,
filsafat 6, 9, 13, 16, 21, 22, 311, 321
49, 55, 61, 73, 95, 123, introvert v, 40, 41, 42, 44,
141, 191, 192, 277, 281, 47, 58, 71, 142, 144,
292, 313 145, 146, 147, 148,
Freud iii, ix, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 149, 343
12, 13, 14, 15, 16, 24,
29, 34, 36, 37, 38, 46, J
49, 50, 52, 53, 55, 56, Jung iii, iv, v, viii, ix, x, 3, 4,
57, 58, 67, 69, 78, 79, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
80, 81, 82, 84, 85, 86, 13, 14, 17, 18, 19, 20,
87, 94, 96, 97, 162, 21, 22, 23, 24, 27, 28,
163, 165, 166, 167, 169, 29, 30, 31, 33, 34, 35,

348 Psikologi Jungian, Film, Sastra


36, 38, 39, 40, 41, 42, 274, 282, 306, 309, 318,
43, 44, 45, 46, 47, 48, 319, 322, 323, 324, 325,
49, 50, 51, 52, 53, 54, 326, 328, 329, 330, 331,
55, 56, 57, 58, 59, 60, 332, 333, 334, 335, 336,
61, 62, 63, 64, 65, 66, 337, 338, 339, 340, 341,
67, 68, 69, 70, 71, 73, 342, 345, 346
76, 77, 78, 79, 80, 81,
82, 83, 84, 85, 86, 87, K
88, 89, 90, 91, 92, 93, Karen Horney iii, 14, 50, 53
94, 95, 96, 97, 98, 99, Kematian 86, 88, 292
100, 101, 102, 103, 105, kompulsif 15, 17
107, 108, 109, 113, 115,
117, 118, 125, 126, 127, L
128, 129, 130, 132, 134, Lacan 53, 190
135, 136, 137, 139, 142,
143, 144, 146, 148, M
149, 150, 151, 155, 165, Mandala 33, 335
166, 167, 168, 169, 170, Marie-Louise von Franz 48
175, 176, 177, 188, 191, maskulinitas 4, 128, 136,
193, 194, 195, 196, 197, 175, 182
198, 199, 200, 201, masochism 17
202, 203, 204, 205, Mekanisme pertahanan ego
206, 207, 208, 209, 16
210, 211, 212, 214, 215, melankolis 40, 41
216, 217, 218, 219, 220, metodologi mimpi 16, 162
222, 223, 224, 226, 227, mimpi v, x, 16, 19, 24, 43,
228, 229, 230, 249, 44, 70, 76, 83, 85, 86,
254, 259, 260, 261, 90, 91, 93, 94, 96, 99,
262, 263, 270, 271, 272, 103, 108, 109, 113, 117,

Psikologi Jungian, Film, Sastra 349


133, 149, 155, 156, 157, O
158, 159, 160, 161, 162, occultisme 25, 76
163, 164, 165, 166, 167, oposisi 8, 58, 83, 84, 118,
168, 169, 170, 171, 172, 126, 127, 136, 137, 138,
173, 174, 175, 176, 231, 139
232, 233, 234, 235, 236,
237, 238, 239, 240, 241, P
242, 243, 244, 245, Pelihatan 62, 63, 64
246, 247, 248, 249, persona 8, 32, 88, 121, 175
250, 251, 252, 253, 254, pro-Jungian 28, 52, 79, 229
255, 256, 257, 258, 271, Psikiatri 87
309, 319, 346 Psikoanalisis 6, 13, 87, 88,
mistisisme 19, 25, 29, 48, 162, 322
56, 60, 76, 99, 158, psikologi arus utama 50,
208, 226, 344 311, 312, 320
mitologi 7, 9, 40, 56, 90, 93, psikologi Freudian 23, 24,
94, 98, 99, 100, 101, 182, 320
102, 103, 104, 108, 113, psikologi Jungian iii, iv, v, 8,
118, 119, 131, 163, 167, 17, 18, 19, 20, 21, 22,
168, 250, 271, 285, 286, 23, 24, 25, 26, 32, 45,
287, 303, 304, 306, 319, 49, 50, 51, 70, 76, 78,
320 83, 84, 92, 93, 97, 104,
multidipliner 23 107, 108, 109, 113, 121,
122, 124, 125, 143, 168,
N 171, 177, 189, 190, 200,
neurosis 42, 99, 163, 165, 209, 227, 260, 261,
167, 168, 172, 344 270, 271, 272, 273, 274,
Nietszche 9 281, 284, 309, 311, 312,
numinous 8, 125 313, 317, 320, 321, 346

350 Psikologi Jungian, Film, Sastra


psikologi ketidaksadaran 3, 53, 87, 200, 202, 205,
4, 5, 24, 25, 28, 29, 55, 217, 327, 330
56, 62, 128, 189, 311 Simbolisme 91, 102
sosial 4, 6, 16, 17, 106, 172,
S 175, 182, 191, 193, 227
Sabina Nikolayevna Spielrein Spielrein ix, x, 11, 12, 15, 50,
10, 11, 12, 52, 53 52, 53, 57, 67, 78, 79,
sadism 17 80, 81, 82, 87, 188, 197,
sains 21, 22, 25, 26, 48, 63, 200, 201, 202, 204,
311 207, 211, 212, 213, 214,
sastra iv, v, 19, 21, 22, 40, 215, 216, 218, 219,
48, 95, 103, 106, 113, 220, 222, 223, 224,
119, 122, 134, 135, 138, 226, 230, 322, 324, 333,
177, 259, 260, 261, 334, 335, 339
262, 263, 264, 265, spiritual 4, 9, 29, 49, 55, 63,
266, 267, 268, 269, 73, 101, 107, 134, 137,
270, 271, 273, 274, 275, 158, 159, 169, 177
276, 305, 308, 311, 344 subjektivitas 27
Scopenhauer 9
seksologi 4 T
semibiografi 36 teleologisme 25
Shadow 115, 116, 117, 324, teori mimpi v, 16, 85, 162,
331, 339, 342 165
Sigmund Freud 3, 9, 14, 36, terra incognito 28

Psikologi Jungian, Film, Sastra 351


BIOGRAFI PENULIS

Nama :
Anas Ahmadi, S.Pd.,M.Pd.
NIP/NIDN :
198005112008121001/0011058005
Pangkat/Golongan :
IIId/Penata Tk.1
Jabatan Fungsional :
Lektor
ORCID ID :
orcid.org/0000-0003-2583-2703
Scopus ID 57201349400
:
Sinta ID :
5991463
TTL :
Sidoarjo, 11 Mei 1980
NPWP :
25.514.077.4-617.000
Pekerjaan :
Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Negeri Surabaya
Alamat Rumah : Perum. Kota Baru Driyorejo, Granit
Kumala I/12, Gresik
Alamat Kantor : Jur. Bahasa dan Sastra Indonesia,
FBS, Univ. Negeri Surabaya
Telepon/e-mail : 081357827429/anasahmadi@unesa.
ac.id
Status : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : S-3 di Universitas Negeri Malang (UM)

352 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Pengalaman Pendidikan
2015—2018 S-3 Pendidikan Bahasa Indonesia,
Universitas Negeri Malang
2004—2006 S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra,
Universitas Negeri Surabaya
2000—2004 S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Negeri Surabaya
2013—2014 Short Course Bahasa Mandarin, Huaqiao
University, Cina
2007—2009 Short Course Pend. Bahasa Indonesia,
Universitas Pendidikan Indonesia

Pengalaman Penelitian
2018 Tipikal Manusia Biofilia dan Nekrofilia dalam
Novel Indonesia:PerspektifEcopsychologi (Hibah
Penelitian Disertasi Doktor)
2017 Pengembangan Creative Writing Berbasis Integrative
Writing Model (IWM) Berbantuan Myers-Briggs
Type Indicator (MBTI) untuk Menunjang Literacy
Competence dan Mendukung Millenium Development
Goals (MDGs). Penelitian Produl Terapan (DRPM).
2017 Pengembangan Keterampilan Menulis Berbasis
Psychowriting untuk Menunjang Literacy Competence
tahun ke-2. Hibah Kompetensi (DRPM).
2016 Pengembangan Keterampilan Menulis Berbasis
Psychowriting untuk Menunjang Literacy Compe-
tence. Hibah Kompetensi (DRPM).

Psikologi Jungian, Film, Sastra 353


2015 Pengembangan RPP Bahasa Indonesia yang Efektif
dan Efisien. Hibah Kompetensi (DP2M).
2015 Ecopsychology dalam Cerpen Indonesia. Swadana
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Swadana FBS
Unesa/
2014 Perkembangan Prosa Fiksi Jawa. Fundamental
(DP2M)
2013 Pengembangan Buku Cerita Rakyat Berbasis Budaya
Lokal Madura. Hibah Bersaing (DP2M).
2012 Konstruksi Perempuan dalam Cerita Rakyat.
Swadana Fakultas Bahasa dan Seni.
2011 Pengembangan Sastra Lisan Pulau Raas sebagai
Mediasi Kolektif. Hibah Bersaing (DP2M)
2011 Pengembangan Kurikulum Prototipe Prodi Pendidik-
an Bahasa dan Sastra. Stranas (DP2M)
2010 Representasi Nilai Budaya dan Fungsi dalam Cerita
Rakyat di Pulau Mandangin (tahap II). Fundamental
(DP2M)
2009 Representasi Nilai Budaya dan Fungsi dalam Cerita
Rakyat di Pulau Mandangin (tahap I). Fundamental
(DP2M)
2008 Pembelajaran Inovatif Bahasa Indonesia. Puslibang-
jaknov.
2004 Eksistensialisme tokoh Utama dalam Novel Olenka.
Penelitian Kreativitas Mahasiswa.

354 Psikologi Jungian, Film, Sastra


Pengalaman Menulis Artikel di Jurnal
2019 Ecopsychology and Psychology of Literature:
Concretization of Human Biophilia That Loves
the Environment in Two Indonesian Novels. The
International Journal of Literary Humanities Volume
17, Issue 1
2019 The Use Of Sinta (Science and Technology Index)
Database to Map the Development Of Literature
Study In Indonesia. International Journal of Mechani-
cal Engineering and Technology (IJMET), 10 (2):918-
923
2018 Indonesian Literature, Trans-species, Posthumanism
Aesthetic:Interpreting
Novel O,Animal Studies Perspective. Theory and Practise in
Language studies, v 2no 8:257-265.
2017 Film, Literature, and Education: Trace of Eco-
psychology Research in Indonesia. Advances in
Language and Literary Studies, 8(4):136-140
2017 Indonesian Short Story, Perspective Environnmental
Psychology. Asian of Jurnal Humanity, Art and
Literature, 42 (2):55—58
2017 Pertarungan Maskulinitas dan Feminitas dalam
Cerpen Indonesia Mutakhir.Bebasan 4 (1):38—47
2017 Prototipe Integrative Writing Model (IWM) Berbasis
Psychowriting MBTI dalam Pembelajaran Menulis.
Inovasi, 11 (1):11--21

Psikologi Jungian, Film, Sastra 355


2017 Maskulinitas dalam Sastra Tiongkok. Jurnal MKP
(akreditasi dikti)
2016 Archetype Dongeng Jerman: Kajian Psikoanalisis
Jungian. Jurnal Toto Buang (4/2).
2015 Perempuan dalam Sastra Lisan di Pulau Raas: Kajian
Gender. JurnalBahasa dan Seni (terakreditasi B
Dikti), 43 (1): 57—65.
2015 Perempuan Pembunuh Tuhan dalam Tuhan, Izinkan
Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin MD: Perspektif
Feminis Eksistensialis. Jurnal Lentera, 11 (2): 15—28.
2014 Perempuan Agresif dan Opresif dalam Antologi
Cerpen Kompas 2012: Tinjauan Psikologi Gender.
Jurnal Lentera, 10 (1): 65—74.
2014 Kuan Im di Kuil Budaya Tiongkok Selatan.Jurnal
Urna, 3 (1): 98—108.
2012 Selamat Datang Pentafonik Seni. Jurnal Urna, 1 (1):
205—207.
2011 Cerita Rakyat Pulau Raas dalam Konteks Psikoanalisis
Carl G. Jung.Jurnal Manusia, Kebudayaan, dan Politik
(terakreditasi B Dikti), 24 (2): 109—116.
2011 Representasi Ketimpangan Gender dalamCerita
Rakyat Indonesia.Jurnal Sastra dan Seni, 3 (1): 19—
26.
2010 Cerita Rakyat Pulau Mandangin: Kajian Struktural-
Antropologi C. Levis-Strauss. Jurnal Manusia, Kebuda-
yaan, dan Politik (terakreditasi B Dikti), 24 (4): 304—311.

356 Psikologi Jungian, Film, Sastra


2010 Filsafat Zen dalam Musashi Karya Eiji Yoshikawa.
Jurnal Frase, 9 (1): 10—15.
2009 Legenda Kera Sakti dari Cina: Kajian Psikoanalisis
C.G. Jung. Jurnal Sastra dan Seni, 1 (1): 77—86.
2009 Melejitkan Pembelajaran Menulis melalui Strategi
Bersafari. Jurnal Pelangi, 3 (1): 30—40.
2006 Memahami Arketipe Anima-Animus Manusia Jepang
Melalui Novel Musashi Karya Eiji Yoshikawa.Jurnal
Prasasti, 17 (1):39—48.
2004 Perbandingan Eksistensialisme Tokoh Utama dalam
Olenka dan The Age of Reason. Jurnal Prasasti
(terakreditasi B Dikti, 54: 287—301.

Pengalaman Menulis Artikel di Media


2019 Politik, Megalomania, dan Demonologi. Jawa Pos
(25/01/2019)
2018 Mempromosikan Ecopsychology di Indonesia. Jawa
Pos (04/11/2018)
2018 Korupsifilia: Fiksi dan Fakta. Duta Masyarakat
(19/05/2018)
2018 Hate Speech dan Matinya Etika Bahasa. Jawa Pos
(10/10/2018)
2017 Penerbit Indie, Penerbit Bajakan, dan Sastra: Catatan
Super Pendek. Widyawara (No 10, Th. XXXIII)
2017 Sastra Hijau, Sastra Biru, “Blue Cultural Studies” dan
Psychoteraphy. Majalah Widyawara (8/XXXII, 18—20)

Psikologi Jungian, Film, Sastra 357


2017 Melawan Alienasi Lingkungan. Jawa Pos, 3 Februari.
2016 Mendamba Sosok Pendidik Humanis di Indonesia:
Perspektif Psikologi Maslow dan Roger. Unesa,
99/17, 30—32.
2016 Etika, Plagiarisme, dan Perguruan Tinggi di
Indonesia. Unesa,100, 17, hlm 22--25
2016 Tanding Tuturan Jokowi-Sby tentang Ahok.Jawa
Pos,19 November
2016 Menguji Superioritas Bahasa Indonesia?Radar
Bojonegoro, 14 Oktober.
2016 “Keterbukaan” dan Dinamisasi Bahasa Indonesia.
Jawa Pos, 7 Oktober.
2015 Film Anak, Ecopsychology, dan Kita. Harian Radar
Bojonegoro.
2015 Local Knowledge Sidoarjo. Jawa Pos.
2015 Perempuan, Sastra, dan Kebangkitan Masokisme.
Majalah Widayawara.
2014 Ludah Muncrat (cerpen). Radar Bojonegoro.
2014 Air Mata Kupu-kupu (cerpen). Radar Bojonegoro.
2014 Sejumput Budaya dari Tiongkok.Majalah Unesa.
2013 Mahasiswa dan Glamorista. Harian Radar Surabaya.
2012 Perempuan Buruh, Kebisuan Purba, dan Efek
Plasebo. Harian Duta Masyarakat.
2012 Indonesia, Guncangan Besar, dan Titik Balik Per-
adaban. Harian Duta Masyarakat.
2012 Problematika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Majalah
Unesa.

358 Psikologi Jungian, Film, Sastra


2011 Sastra dan Jiwa-jiwa yang Terbungkam. Harian
Radar Bojonegoro.
2011 Ramadan, Pasar, dan Psikologi Masyarakat. Harian
Radar Bojonegoro.
2008 Pembelajaran Humanisme. Harian Surya.

Pengalaman Menulis Artikel yang dibukukan (Antologi


Bersama)
2017 Wajah Laut dalam Sastra Indonesia, Perspektif Blue
Cultural Studies. Dalam Ali Mustofa (Ed). Menulis
dan Memprovokasi. Surabaya: Delima.
2017 Sastra, Auto-Etnografi, dan Etnografi. Dalam Endras-
wara (Ed). Sastra Etnografi. Yogyakarta: Morfolingua.
2013 Legenda Hantu Kampus di Surabaya: Kajian Folklor
Hantu Kontemporer. Dalam S. Endraswara (Ed.),
Folklor Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi (hlm.
229—241).Yogyakarta: Ombak.
2011 Pendidikan karakter, Personal Branding, dan
Entrepreneurship. Dalam Syirikit Syah dan Martadi
(Eds.), Bunga Rampai Pendidikan Karakter (hlm.
206—216). Surabaya: Unesapress.

Pengalaman Menulis Buku (Individual)


2018 Ekofiksi Indonesia dalam Perspektif Ecopsychology.
Gresik: Graniti.
2018 Ecopsychology dalam Studi Sastra. Gresik: Graniti.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 359


2017 Ecopsychology Studies in Indonesia. Baubassin,
Jerman: Lambert Publishing.
2017 Orang Kiri dalam Buku Tempo. Gresik: Graniti.
2015 Psikologi Menulis. Yogyakarta: Ombak.
2015 Psikologi Sastra. Surabaya: Unesapress.
2013 Psikologi Berbicara. Surabaya: Grafika.
2013 Kajian Budaya. Surabaya: Unesapress.
2012 Sastra dan Filsafat. Surabaya: Unesapress.
2012 Sastra Lisan dan Psikologi. Surabaya: Unesapress.
2011 Budaya Masyarakat Kepulauan. Surabaya: Unesapress.
2011 Menyusur Mandangin. Surabaya: Akedemos.
2010 Sastra Multiperspektif. Surabaya: FBS Press.

Pengalaman Menulis Buku (Kolektif)


2018 Plagiasi: Hakikat, Jenis,dan Cara Pencegahannya.
Gresik: Graniti.
2018 Cerita Anak Islami Berbasis Traditional Ecological
Knowledge. Gresik: Graniti.
2018 Menulis Kreatif: Teori dan Praktik. Gresik: Graniti.
2017 Pengembangan Creative Writing Berbasis MBTI.
Gresik: Graniti.
2017 Pengembangan Keterampilan Menulis Berbasis
Psychowriting. Gresik: Graniti.
2017 Pengembangan Cerita Anak Berbasis Ecological
Knowledge. Gresik: Graniti.
2016 Bahasa Indonesia Keilmuan. Surabaya: Madril
Publishing.

360 Psikologi Jungian, Film, Sastra


2016 Strategi Menulis Berbasis Psychowriting. Surabaya:
Unesapress.
2016 Pengembangan RPP yang Efektif dan Efisien bagi
Guru SMP. Surabaya: Revka.
2016 Menulis Ilmiah: Buku Ajar MPK Bahasa Indonesia
(revisi). Surabaya: Unesapress.
2012 Indahnya jadi Pemula. Surabaya: Freshmedia.
2008 Pembelajaran Inovatif Bahasa Indonesia. Surabaya:
Unesapress.

Pengalaman Menulis Artikel yang Dipresentasikan


2018 Effectiveness Learning of Critical Reading Using
Susiso Model. Seminar Internasional, Solok.
2018 Sikap Pengarang Terhadap Lingkungan dalam Novel
Indonesia.Seminar Nasional, Surabaya.
2018 Pendekatan Interdisipliner dalam Konteks Kepenu-
lisan. Seminar Nasional, Surabaya.
2018 Writing Development and Psychowriting. Seminar
Internasional, Malaysia.
2018 Integrative Writing Model (IWM), Psychowriting,
Myers-Briggs Type Indicators (MBTI), and Writing.
Seminar Internasional, Malang.
2018 Promoting the Environment to Children through
Animated Movie: An Alternative to Growing Love to
the Environment.Seminar Internasional, Surabaya.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 361


2017 Sastra Lisan Madura (Sebuah Tinjauan Psikologis
Terhadap Sastra Lisan Madura).Seminar Nasional,
Madura.
2017 Development of short Indonesian lesson plan to
improve teacher performance. Seminar Interna-
sional, Surabaya.
2016 Ecopsychology, Green Literature, Nature. Konfe-
rensi Internasional HISKI di Yogyakarta.
2016 Psikologi Menulis, Psikologi Kepribadian, dan
Strategi Menulis. Seminar Nasional Paramasastra,
30 Juli di Universitas Negeri Surabaya.
2016 Ecological Knowledge. Seminar Nasional Bahasa
Konteks Etika dan Logika, 11 Juni di Universitas
Negeri Malang.
2015 Literature Research in Indonesia, Ecopsychology
Perspective. International Conference on Educa-
tional Research and Development (ICERD) tanggal
5 Desember di Unesa, Surabaya.
2015 Literasi Ecopsychology: Film dan Sastra. Seminar
Nasional Literasi, 19 Oktober di Unesa.
2015 Cerita Rakyat Indonesia Perspektif Ecopsychology.
Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Industri
Kreatif, 13 Desember di Universitas Negeri Malang.
2015 Sastra Indonesia dan Kriminologi.Seminar Nasional
Sastra (Senasi I), 13 Mei di Unesa.
2014 Lanskap Ekofeminisme dalam Sastra Indonesia.
Seminar Nasional Paramasastra, 1 November di
Unesa.
2014 Literasi Hantu Sungai di Jawa Timur.Seminar
Nasional Literasi, 19 Oktober di Unesa.

362 Psikologi Jungian, Film, Sastra


2013 Urban Legends di Indonesia, Folklor Kontemporer,
dan Psikoanalisis. Konferensi Internasional Folklor
Asia, 11—13 Maret di Yogyakarta.
2013 Archetype Perempuan, Dongeng Jerman, dan
Psikoanalisis. Seminar Nasional Perempuan di Era
Globalisasi, 20 April di Unesa.
2012 Menyadap Kearifan Filsafat Cina melalui Sastranya.
Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Budaya
Mandarin, 15 Oktober di Unesa.
2012 Teacher, Personal Branding, and Networking. Seminar
Internasional Sang Guru, 20 November di Unesa.
2012 Also Sprach Appettitus: Menilik Lompatan Budaya
Korea di Indonesia. Seminar Internasional, 16 Juli di
Unesa.
2012 Representasi Demonologis Perempuan dalam Cerita
Rakyat Empat Negara: Kajian Psikologi Gender.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (Senabastra)
16 Juni di Unijoyo.
2012 Sastra Lisan Pulau Mandangin, Gairah Kematian,
dan Kesetiaan Perempuan. Seminar Internasional
Bahasa Ibu, 19—21 Juni di Balai Bahasa Bandung.
2011 Pembelajaran Sastra Lisan Jawa sebagai Alternatif
Pembentukan Karakter. Kongres Bahasa Jawa V,
27—29 November di JW Marriot, Surabaya.
2011 Maduresse Local Knowledge and Character Education.
International Colloqium, 18—19 Mei di UMM, Malang.
2011 Konstruksi Psikologis dan Demonologis Perempuan
Siluman: Menyingkap Cerita Rakyat Cina. Seminar
Nasional Bahasa Mandarin, 29 Oktober di Unesa.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 363


2011 Representasi Pendidikan Karakter dalam cerita
Rakyat.Seminar Internasional Bahasa dan Sastra,
18—19 Januari di STKIP PGRI Ngawi.
2011 Pembelajaran Folklor sebagai Alternatif Pendidikan
Karakter. Seminar Nasional Pendidikan Karakter, 19
Januari di UM Surabaya.
2010 Revitalisasi Sastra Lisan Madura di Pulau Raas.
Seminar Internasional Bahasa Ibu, 11—13 Februari
di Udayana, Bali.
2010 Problematika Bahasa, Sastra, dan Budaya Lokal
di Indonesia. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra
Indonesia, 25 November di Unesa.
2010 Anjangsana Filosofis ke Padang Filsafat Sastra.
Seminar Regional Filsafat dan Sastra, 20 Desember
di Unesa.
2010 Wajah Perempuan Skizofrenia dalam Cerpen
Indonesia.Seminar Nasional Bahasa dan Sastra
Indonesia, 10 Oktober di Unesa.
2009 Melejitkan Kemampuan Menulis. Seminar Jurnalis-
tik, 10 Desember di Univ Muhammadiyah, Sidoarjo.

Pengalaman Editor Buku


2017 Penggunaan Media Flash Point untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Laju Reaksi pada Peserta Didik Kelas XI
MIIA-2. Gresik: Graniti.
2015 Porodisa di Talaud. Surabaya: Unesapress.

364 Psikologi Jungian, Film, Sastra


2014 Mohon Maaf, masih Compang-Camping: Catatan
Rektor Unesa. Surabaya: Unesapress.
2014 Dialektika Konstruksi Langen Tayub dalam Perubahan
Sosial dan Budaya Masyarakat. Surabaya: Jaudarpress.
2012 Indahnya jadi Pemula. Surabaya: Freshmedia.
2011 Menulis Ilmiah. Surabaya: Unesapress.

Keanggotaan Profesi
2016 Himpunan Sarjana Kesusastraaan (HISKI).
2016 Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)

Pengabdian/Pelatihan pada Masyarakat


2019 Pelatihan Menulis untuk Mahasiswa PLS, Unesa
2018 Pelatihan Menulis bagi Siswa SMP 1 Gresik
2017 Pelatihan Menulis bagi Guru Bahasa Indonesia
MGMP Sidoarjo
2017 Pelatihan Menulis Proposal Penelitian Edisi XI di
Akfar Surabaya.
2016 Pelatihan Menulis Cerpen bagi Siswa SMK
Pariwisata, Surabaya.
2015 Pelatihan Menulis Cerpen bagi Siswa SMP se-
Surabaya Selatan.
2015 Pelatihan Menulis Perspektif Psikologis di MTsN 2
Surabaya.
2015 Pelatihan Menulis Karya Ilmiah bagi Guru TK Mutiara
Hati Kab.Gresik.

Psikologi Jungian, Film, Sastra 365


2014 Pelatihan Menulis Berbasis K-13 di SD Insan Mulia,
Gresik.
2014 Pelatihan Menulis Berbasis Saintifik bagi Guru SMP,
Gresik.
2012 Pelatihan Menulis Deskripsi bagi Guru SD di Pulau
Bawean, Gresik.
2011 Pelatihan Menulis Strategi Bersafari bagi Guru SD di
Pulau Bawean, Gresik.

Pengalaman Mengajar
2008—sekarang Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Negeri Surabaya
2014—sekarang Poltekkes Surabaya
2011—2012 Akademi Farmasi Surabaya
2010—2011 IAIN Surabaya
2006—2010 IKIP Widyadarma Surabaya
2006—2015 STKIP PGRI Sampang
2006—2015 Universitas Terbuka (UT)
2004—2008 Universitas Dr. Sutomo
2007—2009 Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
(Umsida)
2004—2005 SMP Muhammadiyah Sidoarjo
2004—2004 SD Al Azhar Surabaya
2004—2006 LBB IPIEMS Surabaya
2003—2004 LBB Prisma Sidoarjo

366 Psikologi Jungian, Film, Sastra

Anda mungkin juga menyukai