0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
16 tayangan150 halaman
Ringkasan:
1. Teori kepribadian Jung kompleks dan gambaran hakikat manusia yang dipaparkannya rumit.
2. Biografi singkat Jung menunjukkan pengaruh agama dalam hidup awalnya dan perbedaannya dengan Freud terkait hakikat libido.
3. Menurut Jung, libido adalah energi kehidupan yang dapat diarahkan ke berbagai aspek biologis maupun spiritual.
Ringkasan:
1. Teori kepribadian Jung kompleks dan gambaran hakikat manusia yang dipaparkannya rumit.
2. Biografi singkat Jung menunjukkan pengaruh agama dalam hidup awalnya dan perbedaannya dengan Freud terkait hakikat libido.
3. Menurut Jung, libido adalah energi kehidupan yang dapat diarahkan ke berbagai aspek biologis maupun spiritual.
Ringkasan:
1. Teori kepribadian Jung kompleks dan gambaran hakikat manusia yang dipaparkannya rumit.
2. Biografi singkat Jung menunjukkan pengaruh agama dalam hidup awalnya dan perbedaannya dengan Freud terkait hakikat libido.
3. Menurut Jung, libido adalah energi kehidupan yang dapat diarahkan ke berbagai aspek biologis maupun spiritual.
Faktanya, gambaran hakikat manusia yang dipotretnya mungkin paling rumit yang pernah dikembangkan oleh teorisi kepribadian mana pun. Seperti yang bisa diduga, Jung sendiri memang pribadi yang rumit. Detail-detail kehidupan seringkali kontradiktif. SKETSA BIOGRAFIS Carl Gustav Jung lahir 26 Juli 1875 di desa Kesswyl, Swiss, namun dibesarkan di kota tempat Universitas Basel berada. Agama merupakan tema kuat yang mendominasi usia-usia awal Jung. Ayahnya, Paul Jung, adalah pendeta di Gereja Reformasi Swiss, ibunya, Emilie Preiswerk Jung, putri seorang teolog. Ayah Jung melihat dirinya sebagai pribadi yang gagal, dan agama yang dilayaninya tidak memberi rasa nyaman. Saat masih anak, Jung sering melontarkan pertanyaan mendalam tentang agama dan hidup, namun tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Menjadi jelas bagi Jung kalau ayahnya menerima dogma gereja sepenuhnya karena iman, tidak pernah tersentuh secara pribadi oleh pengalaman keagamaan yang riil. Di kehidupan Jung selanjutnya, agama menjadi bagian vital teorinya, namun jelas agama yang diusungnya dapat menyentuh individu secara emosi, dan sedikit saja bersentuhan dengan dogma gereja atau agama tertentu. Jung melihat ibunya sebagai sosok dominan dalam keluarga, meski di matanya ia memperlihatkan ketidakkonsistenan yang sangat besar, sampai menyebabkannya meyakini ada 2 individu di satu tubuh ibunya. Salah satu pribadi itu baik hati dan sangat ramah dengam rasa humor yang tinggi; sedangkan yang lain aneh, kolot dan kejam. Jung mendeskripsikan bagaimana reaksinya saat kepribadian kedua ibunya muncul: “Biasanya saya merasa bingung dengan keberadaan diri ini sehingga saya pun termenung seribu bahasa.” Menarik sekali bahwa Jung muda berpikir jika dirinya, sama seperti ibunya, terdiri atas 2 pribadi yang berbeda. Salah satu pribadinya dia namai ‘nomor satu’ (anak sekolahan), yang lain nomor dua (orang yang sudah tua dan bijak). Selanjutnya, Jung menyadari bahwa pribadinya yang nomor satu mewakili egonya atau pikiran sadar, dan pribadinya yang nomor dua mewakili kekuatan yang lebih besar, yakni pikiran bawah-sadar. Jadi saat masih kanak-kanak, Jung mengalami apa yang kemudian dipahaminya sebagai esensi terdalam eksistensi manusia: interaksi pikiran sadar dan bawah-sadar. HUBUNGAN JUNG DENGAN FREUD Meski ketika pertama kali bertemu Freud dan Jung menjadi teman dekat, namun perbedaan teoritis mereka pada akhirnya memisahkan hubungan dekat itu. Satu ketidaksepahaman besar di antara keduanya terkait dengan hakikat libido. Freud melihatnya sebagai energi seksual, tetapi Jung melihatnya sebagai energi umum yang bisa diarahkan ke berbagai masalah ketika menerpa manusia, entah masalah itu bersifa biologis maupun spiritual. LIBIDO DAN PRINSIP-PRINSIP DINAMIKANNYA Libido Freud dan Jung tidak sepakat dengan hakikat libido. Saat berkolaborasi dengan Jung, Freud masih melihat libido utamanya sebagai energi seksual. Jung yakin perspektif seperti ini terlalu sempit jika dimaksudkan Freud adalah energi kehidupan biologis yang berkonsentrasi ke berbagai persoalan berbeda yang muncul. Bagi Jung, libido mestinya suatu daya hidup kreatif yang dapat diaplikasikan kepada pertumbuhan psikologis berkelanjutan dari manusia. Di tahun-tahun awal kehidupan, energi libido dihabiskan hanya untuk makan, pembuangan dan seks, namun semakin kebutuhan ini terpuaskan atau tidak lagi begitu penting, energi libido mulai diarahkan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang lebih filosofis dan spiritual. Libido menurut Jung, merupakan daya pendorong di belakang psikhe (istilah Jung untuk kepribadian), yang difokuskan ke berbagai kebutuhan entah sifatnya biologis maupun spiritual. Komponen- komponen kepribadian yang didalamnya energi libido diinvestasikan bernilai lebih tinggi ketimbang yang lain. Jadi menurut Jung, nilai sesuatu ditentukan oleh seberapa banyak energi libido diinvestasikan di di dalamnya. Prinsip Ekuivalensi Seperti Freud, Jung mengambil sejumlah prinsip fisika di zamannya untuk mengembangkan teori kepribadiannya. Penggunaannya terhadap prinsip-prinsip termodinamika seperti ekuivalensi, entropi dan kebalikan memperlihatkan orientasi ini. Prinsip ekuivalen adalah hukum pertama termodinamika yang menyatakan bahwa jumlah energi di sebuah sistem pada hakekatnya tetap (sehingga disebut sebagai hukum kekekalan energi), dan jika sejumlah energi dihilangkan dari suatu bagian sistem, dia akan muncul di tempat lain. Jika diterapkan kepada psikhe, maka ini berarti setiap manusia memiliki energi psikis (libido) dalam jumlah tertentu yang akan selalu tetap kapan pun dan di kondisi apa pun. Jika salah satu komponen psikhe terlalu tinggi dinilai (overvalued) – artinya energi libido diinvestasikan lebih banyak – maka komponen psikhe yang lain akan turun nilainya – artinya energi libido yang diinvestasikan lebih sedikit. Contohnya, jika energi psikis dikonsentrasikan ke aktivitas-aktivitas kesadaran, maka aktivitas –aktivitas bawah-sadar akan berkurang, dan sebaliknya. Prinsip Entropi Prinsip entropi adalah hukum kedua termodinamika yang menyatakan bahwa sebuah kecenderungan selalu hadir demi menyetarakan jumlah energi di sebuah sistem. Jika, contohnya, satu benda panas akan kehilangan energi panasnya dan benda dingin akan akan memperoleh energi panas itu sedemikian rupa, sampai suhu keduanya sama. Begitu pula, menurut Jung, sebuah kecenderungan hadir untuk semua komponen psikhe dalam rangka memiliki jumlah energi yang sama. Contohnya, aspek sadar dan bawah-sadar psikhe akan memiliki energi yang sama besarnya sehingga menimbulkan kesetimbangan bagi kepribadian manusia. Namun, kesetimbangan energi psikis ini sulit diraih, dan meski bisa diraih, sulit bertahan lama, sehingga manusia harus aktif mencari kesetimbangan- kesetimbangan yang baru. Jika kesetimbangan tidak dicari apalagi diupayakan, energi psikis manusia bakal tidak setimbang, dan perkembangan kepribadian akan terhambat, bahkan memunculkan gangguan-gangguan di beberapa komponen. Di titik ini bisa dikatakan kalau beberapa aspek kepribadian tertentu ‘dinilai terlalu tinggi’ ketimbang aspek-aspek yang lain. Prinsip Kebalikan Prinsip kebalikan ditemukan hampir di semua tulisan Jung. Prinsip ini mirip keyakinan Newton bahwa “untuk setiap tindakan akan muncul reaksi yang setara besaran kekuatannya dan merupakan kebalikannya”, atau pernyataan Hegel bahwa “segala sesuatu membawa dalam dirinya negasinya sendiri”. Setiap konsep di teori Jung memiliki kutub kebalikannya. Bawah-sadar dikontraskan dengan kesadaran, rasional dengan irasional, feminin dengan maskulin, hewani dengan spiritual, kausalitas dengan teleologi, progresif dengan regresi, introversi dengan ektraversi, berpikir dan merasa, mengindra dengan mengintuisi. Ketika satu aspek kepribadian berkembang, biasanya ia mengorbankan kutub kebalikannya; contohnya, ketika seseorang menjadi lebih maskulin, mau tak mau ia harus mereduksi aspek feminin dirinya. Bagi Jung, tujuan hidup – sesuai prinsip entropi – adalah mencari kesetimbangan di antara kutub-kutub yang berlawanan ini agar dapat mengekspresikan semua aspek yang berkebalikan di dalam kepribadian. Ini mudah dikatakan tetapi sulit dilakukan, dan sistesis yang seperti ini terus diupayakan namun jarang sekali bisa tercapai. KOMPONEN-KOMPONEN KEPRIBADIAN Ego Menurut Jung, ego adalah di mana kita dalam keadaan sadar, atau hidup di alam kesadaran. Kesadaran berpusat pada berpikir, merasa, mengingat dan mencerap. Ego bertanggungjawab untuk memastikan semua fungsi kita dalam hidup sehari-hari terlaksana. Ego juga bertanggungjawab bagi rasa identitas dan rasa keberlanjutan kita tepat pada waktunya. Namun, penting untuk dicamkan, ego tidak sama dengan psikhe. Pengalaman sadar ego merepresentasikan hanya seporsi kecil kepribadian; psikhe, sebaliknya, mengacu ke semua aspek kepribadian entah yang sadar maupun bawah-sadar, aspek yang lebih substansial bagi kepribadian. Bawah-Sadar Pribadi Bawah-sadar pribadi terdiri atas bahan-bahan yang awalnya disadari, namun kemudian direpresi atau dilupakan, atau sejak awal memang tidak begitu jelas untuk bisa dicerap kesadaran. Bawah-sadar pribadi mengandung kluster-kluster pikiran bermuatan emosi (dinilai tinggi), yang disebut Jung kompleks- kompleks. Lebih spesifiknya, kompleks adalah seperangkat ide saling berkaitan yang dinilai tinggi dan eksis di bawah-sadar pribadi. Sebuah kompleks memiliki pengaruh yang tidak proporsional bagi perilaku manusia. Contoh: seseorang dengan kompleks ibu akan menghabiskan banyak waktu untuk aktivitas-aktivitas yang entah secara langsung atau simbolis berkaitan dengan ide tentang ibu. Hal yang sama juga menimpa mereka yang mengalami kompleks ayah, seks, kuasa, uang atau jenis kompleks yang lain. Bawah-Sadar Kolektif Konsep ini menjadi jantung teori Jung yang paling berani, mistis dan kontroversial. Bawah sadar kolektif mencerminkan pengalaman-pengalaman kolektif yang dimiliki manusia di masa lalu evolusinya. Bukan hanya fragmen-fragmen semua sejarah manusia dapat ditemukan di bawah-sadar kolektif ini, tetapi juga jejak-jejak moyang manusia atau hewani bisa ditemukan di dalamnya. Karena bawah- sadar kolektif dihasilkan oleh pengalaman umum semua manusia, atau yang pernah dimiliki, isi bawah-sadar kolektif pada esensinya sama untuk semua orang. Bagi Jung istilah bawah- sadar kolektif dan bawah- sadar transpersonal sinonim. Pengalaman-pengalaman moyang yang terdaftar di dalam psikhe ini disebut Jung memori-memori rasial, gambaran-gambaran primordial, atau yang lebih umum dia gunakan, arketipe. Arketipe bisa didefinisikan sebagai sifat bawaan untuk merespon secara emosional aspek-aspek tertentu dunia. Sebuah arketipe hadir untuk setiap pengalaman yang universal, yakni yang mesti dialami setiap anggota masing-masing generasi. Setiap arketipe bisa dilihat sebagai kecenderungan yang diwariskan untuk merespon secara emosional dan mitologis terhadap jenis-jenis pengalaman tertentu – contohnya, ketika bertemu dengan seorang anak, ibu, kekasih, mimpi buruk, kematian, kelahiran, gempa bumi atau orang asing. Bawah-sadar kolektif adalah bagian yang paling penting dan berpengaruh dari psikhe, dan kecenderungannya yang diwariskan selalu mencari manifestasi keluar. Ketika isi dari bawah-sadar kolektif tidak diakui di dalam kesadaran, mereka bermanifestasi dalam mimpi, fantasi, gambaran-mental dan simbol. Menurut Jung, bawah-sadar kolektif mengetahui lebih banyak dari yang diketahui seorang manusia, atau satu generasi manusia. Jung mengumpulkan informasi tentang arketipe-arketipe dari beragam sumber termasuk mimpi- mimpinya sendiri dan fantasi, suku primitif, seni, agama, sastra, bahasa dan halusinasi pasien-pasien psikotik. ARKETIPE Persona Persona berasal dari kata Latin yang artinya topeng, dan Jung menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan diri publik manusia. Meski semua orang memiliki bawah-sadar yang sama, setiap individu tentunya hidup di masa dan tempat tertentu. Arketipe memanifestasikan diri di dalam situasi-situasi sosial dan budaya ini. Artinya, ekspresi yang diberikan kepada arketipe dipengaruhi oleh konvensi sosial dan situasi unik hidup pribadi individu. Kalau demikian, persona merupakan manisfestasi psikhe keluar yang diizinkan oleh situasi-situasi unik individu. Persona adalah bagian dari psikhe di mana mereka dikenal orang lain. Anima Anima adalah komponen feminin psikhe pria yang dihasilkan oleh pengalaman-pengalaman yang dimiliki pria terhadap wanita lewat eon-eon. Arketipe ini melayani dua tujuan. 1.Anima menyebabkan pria memiliki sifat feminin. Sifat-sifat feminin ini meliputi intuisi, kahalusan budi, sentimentalitas dan dorongan berkelompok. 2.Anima menyediakan kerangka pemahaman bagi pria untuk menghadapi wanita. Karena pengalaman kolektif pria dengan wanita melibatkan interaksi dengan mereka sebagai ibu, anak perempuan, saudara perempuan, kekasih, dan mungkin dewi di langit, semua ini tercermin di dalam anima dan bersama-sama membentuk gambaran wanita yang kompleks dan ideal. Gambaran ini memotret wanita sebagai sosok yang lemah, setia, menggoda, membayakan dan menantang, membuat wanita dilihat sebagai sumber baik dan jahat, penuh harapan dan rasa putus asa, dan kesuksesan serta kegagalan. Di dalam kerangka ideal inilah pria membentuk interaksi mereka dengan wanita di sepanjang hidup mereka. Selain itu, menurut Jung, gambaran kompleks tentang wanita ini telah menginspirasikan pelukisan wanita oleh para seniman, pujangga dan novelis selama berabad-abad. Animus Animus adalah komponen maskulin psikhe wanita. Ia melimpahi wanita dengan sifat-sifat maskulin seperti kemandirian, agresi, kompetisi dan petualangan, dan juga kerangka untuk memandu cara menjalin hubungan dengan pria. Seperti anima memberi pria gambaran ideal tentang wanita, animus memberi wanita gambaran ideal tentang pria. Ideal ini berasal dari pengalaman wanita terhadap pria lewat eon-eon seperti ayah, anak lelaki, saudara laki- laki, kekasih, pejuang dan para dewa di langit. Sama seperti anima, kompleks animus dengan banyak gambarannya yang berkonflik diproyeksikan ke pria aktual di sepanjang usia wanita. Anima menyediakan bagi pria sifat-sifat wanita, dan basis untuk memahami wanita. Sebaliknya, animus menyediakan bagi wanita sifat-sifat pria, dan basis untuk memahami pria. Akan lebih baik, menurut Jung, jika kedua gender ini mengenali dan memberikan ruang bagi sifat-sifat yang berbeda jenis kelaminnya itu mengekspresikan diri. Pria yang sedikit saja atau tidak sama sekali memberikan ruang pengekspresian karakter feminimnya akan kehilangan kepekaan, perasaan, intuisi dan kreativitas. Wanita yang sedikit saja atau tidak sama sekali memberikan ruang pengekspresian karakter maskulinnya akan menjadi terlalu pasif. Selain itu, jika komponen-komponen psikhe ini tidak diberikan ruang yang adekuat bagi pengekspresian sadar, mereka akan mendesak keluar di bawah-sadar, membuat pangaruhnya tak terkontrol dan irasional. Karena itulah, jika seorang wanita menolak pengekspresian maskulinnya, atau pria menolak pengekspresian feminimnya, sifat-sifat itu akan memanifestasikan diri dengan cara-cara tidak langsung lewat mimpi dan fantasi. Menurut Jung, pria yang terlalu banyak mengekspresikan sisi feminin, atau wanita terlalu banyak mengekspresikan sisi maskulinnya, bukanlah hal yang baik. Seperti yang bisa ditemukan di setiap bagian teori Jung, sebuah keseimbangan harus dicari, yang di kasus ini, keseimbangan antara karakteristik pria dan wanita. Shadow Shadow adalah bagian terdalam dan tergelap. Ia merupakan bagian dari bawah- sadar kolektif yang kita warisi dari moyang pra-manusia kita dan mengandung semua insting hewani. Karena shadow, kita jadi punya kecenderungan kuat untuk menjadi tidak bermoral, agresif dan penuh hasrat. Seperti semua arkitipe pada umumnya, shadow juga mencari pemanifestasian keluar dan diproyeksikan ke dunia secara simbolis sebagai iblis, moster atau roh jahat. Tujuan psikoterapi menurut Jung adalah memperkenalkan kepada pasiennya berbagai komponen psikhenya, dan ketika komponen- komponennya diketahui, mensistesiskan mereka ke sebuah konfigurasi saling-berkaitan yang menghasilkan individu yang lebih dalam dan kreatif. Tidak seperti Freud, yang menganggap pikiran irasional bawah-sadar harus dibuat sadar dan rasional jika manusia ingin beradap sesungguhnya, Jung lebih percaya jika arketipe, shadow contohnya, diakui lalu digunakan daripada ditaklukkan. Hakikat hewani shadow justru sumber spontanitas dan kreativitas manusia. Individu yang tidak menggunakan shadownya, cenderung bodoh dan membosankan. Diri Diri adalah komponen psikhe yang berusaha mengharmoniskan semua komponen lain. Ia merepresentasikan perjuangan manusia menuju kesatuan, keseluruhan dan pengintegrasian kepribadian secara total. Ketika integrasi ini sudah tercapai, individu bisa dikatakan meraih realisasi-diri. TIPE-TIPE PSIKOLOGIS Sikap-Sikap Jung melihat ada dua orientasi umum yang dapat diambil psikhe. Yang pertama ke dalam, menuju dunia subjektif individu, dan yang kedua keluar, menuju lingkungan eksternal. Jung menyebut orientasi-orientasi psikhe ini sikap, yang pertama disebutnya introversi dan yang kedua ekstraversi. Pribadi introver cenderung tenang, imajinatif dan lebih tertarik pada ide ketimbang manusia. Pribadi ekstraver cenderung suka bersosialisasi, berjalan- jalan keluar dan tertarik pada manusia dan kejadian di lingkungan. Sikap introversi dan sikap ektraversi pertama-tama dipresentasikan di Kongres Psikoanalitik Internasional di Munich tahun 1913. Ide ini kemudian dielaborasikan dalam bukunya, Psychological Types (1971). Dari banyak cara Jung mengaplikasikan konsep ini adalah menjelaskan mengapa teorisi yang berbeda menciptakan jenis teori kepribadian yang berbeda. Contohnya, Freud seorang ekstraver karena itu mengembangkan teori yang menekankan pentingnya kejadian-kejadian eksternal, contohnya objek seks. Teori Adler menekankan pentingnya perasaan dalam diri subjek karena Adler seorang introver, Jung sendiri menilai teorinya diproduksi oleh teorisi yang introver. Fungsi-Fungsi Pemikiran Sebagai tambahan bagi sikap, atau orientasi umum psikis, ada 4 fungsi Pemikiran yakni cara psikhe mencerap dunia dan menghadapi informasi dan pengalamannya. Mengindra. Mendeteksi kehadiran objek. Mengindra mengindikasikan ada sesuatu namun tidak mengindikasikan apakah itu. Berpikir. Mengatakan apakah suatu objek itu. Berpikir memberikan nama dan kategori objek yang diindra. Merasa. Menentukan apakah objek bernilai. Berkaitan dengan rasa suka dan tidak suka terhadap objek tersebut. Mengintuisi. Menyediakan firasat tentang sesuatu ketika informasi faktualnya tidak tersedia. Contoh-contoh untuk fungsi psikhe ini adalah: ketika mendeteksi kehadiran sebuah objek di lingkungan (mengindra), seseorang menemukan objek itu orang asing dari jenis kelamin berbeda (berpikir), mengalami ketertarikan pada individu tersebut (merasa), dan memercayai adanya kemungkinan bagi hubungan jangka panjang dengan individu tersebut (mengintuisi). Berpikir dan merasa disebut fungsi rasional karena membuat penilaian dan evaluasi tentang pengalaman. Selain itu, berpikir dan merasa dianggap sebagai kutub yang berlawanan. Begitu pula dengan mengindra dan mengintuisi, fungsi irasional psikhe, merupakan dua kutub yang berlawanan Mengindra dan mengintuisi dianggap rasional karena keduanya muncul terlepas dari proses-proses berpikir logis. Mengindra muncul otomastis karena melibatkan mekanisme indra tubuh, sedangkan mengintuisi melibatkan prediksi yang dibuat tanpa hadirnya informasi aktual. Idealnya, sikap dan fungsi akan berkembang searah dan beroperasi secara harmonis; namun ini jarang terjadi. Biasanya, satu sikap dan satu fungsi saja yang dominan, sedangkan sikap yang lain dan 3 fungsi sisanya tetap tidak berkembang dan berada di bawah-sadar. Terkait fungsi, yang beroposisi langsung dengan fungsi dominan tidak berkembang baik, namun 2 fungsi sisanya tetap berkembang namun tidak sebanyak yang dominan. Contohnya, pada individu yang fungsi berpikirnya sangat berkembang, maka perasaan fungsi lawannya tidak begitu berkembang di tingkat bawah-sadar, dan mengekspresikan diri dalam mimpi, fantasi atau dengan cara-cara yang aneh dan mengganggu. Delapan Tipe Kepribadian Dengan mengombinasikan dua sikap dan empat fungsi di atas, Jung menjelaskan 8 tipe kepribadian yang berbeda. Namun, harus dicamkan jika 8 tipe ini tidak pernah hadir dalam bentuknya yang murni karena setiap manusia sebenarnya memiliki 2 sikap dan 4 fungsi tersebut, sekaligus perkembangan kepribadian yang sadar maupun bawah-sadar. 1. Berpikir – Ekstrover Realitas objektif mendominasi, begitu pula fungsi berpikirnya. Merasa, mengindra dan mengintuisi direpresi. Analisis intelektual terhadap pengalaman objektif dianggap yang paling penting. Kebenaran ada ‘di sana’ dan setiap orang dapat dan harus menemukannya. Aktivitas-aktivitas yang terlalu bergantung kepada perasaan seperti estetika, persahabatan, introspeksi religius dan pengalaman filosofis diminimkan. Individu yang seperti ini hidup berdasarkan aturan yang baku dan berharap setiap orang melakukan yang sama. Mereka bisa menjadi sangat dogmatis dan dingin. Urusan-urusan pribadi seperti kesehatan, posisi sosial, minat berkeluarga dan keuangan diabaikan. Jung yakin kebanyakan ilmuwan bertipe berpikir-ekstrover. 2. Merasa – Ektrover Realitas objektif mendominasi, begitu pula fungsi merasa. Berpikir, mengindra dan mengintuisi direpresi. Tipe ini merespons secara emosional realitas objektif. Karena perasaan- perasaan yang dialami ditentukan secara eksternal, mereka cenderung memosisikan diri tepat dengan situasi-situasi yang seperti hadir di teater, konser atau gereja. Individu yang seperti ini menghormati otoritas dan tradisi. Selalu ada upaya untuk menyesuaikan perasaan dengan tepat untuk situasi tertentu sehingga perasaan individu yang seperti ini sering dimanipulasi. Contohnya, memilih ‘kekasih’ lebih ditentukan oleh usia, posisi sosial, penghasilan dan status keluarga ketimbnag oleh perasaan subjektif tentang orang itu. Artinya, individu ini akan bersikap sesuai perasaan yang diharapkan orang lain pada dirinya di setiap situasi. 3. Mengindra – Ekstrover Realitas objektif mendominasi, begitu pula fungsi mengindra. Mengintuisi, berpikir dan merasa direpresi. Tipe ini pengkomsumsi semua hal yang bisa diperoleh lewat pengalaman indrawinya. Ia seorang realis, dan peduli hanya ke fakta-fakta objektif. Karena hidup tipe individu ini dikendalikan oleh apa yang terjadi, dia bisa menjadi teman yang menyenangkan. Terdapat kecenderungan untuk menganalisis situasi atau mendominasinya. Sekali saja suatu pengalaman diindra, selalu ada perhatian tambahan atasnya. Hanya hal yang konkret dan bisa dicerap yang bernilai. Ia menolak pemikiran atau perasaan subjektif sebagai panduan hidup bagi dirinya dan orang lain. 4. Mengintuisi – Ekstrover Realitas objektif mendominasi, begitu pula fungsi mengintuisi. Berpikir, merasa dan mengindra direpresi. Tipe kepribadiaan ini melihat ke luar realitas ribuan kemungkinan. Pengalaman baru dicari dengan antusias, dikejar terus hingga implikasinya dimengerti, lalu ditinggalkan. Sedikit saja perhatian kepada masalah kepercayaan dan moralitas terhadap orang lain sehingga tipe ini sering dilihat orang tak bermoral dan serampangan. Karier yang dicari adalah yang bisa memberinya kesempatan untuk mengeksploitasi kemungkinan seperti pembisnis, pedagang saham, atau politisi. Meski secara sosial berguna, tipe ini dapat menghabiskan terlalu banyak waktu untuk bergerak dari proyek ke lainnya. Seperti mengindra-ektrover, tipe ini irasional dan kurang begitu memedulikan logika. Komunikasi yang bermakna dengan individu yang dominan fungsi rasionalnya (berpikir dan merasa) sulit sekali diraih. 5. Berpikir – Introver Realitas subjektif mendominasi, begitu pula fungsi berpikir. Merasa, mengindra dan mengintuisi direpresi. Karena hidup tipe individu ini ditentukan oeh realitas subjektif daripada objektif, ia terlihat tidak fleksibel, dingin, arbiter bahkan kejam. Individu seperti ini akan mengikuti pikiran-pikirannya sendiri tak peduli tidak konvensional atau berbahayanya bagi orang lain. Dukungan dan pengertian dari orang lain kecil saja nilainya, kecuali teman yang bisa memahami betul kerangka pikirnya, dinilainya tinggi, namun sayang, jumlahnya sangat sedikit, untuk tipe ini, kebenaran subjektif satu-satunya kebenaran, dan kritik, tak peduli validitasnya, ditolak. Pikiran logis digunakan hanya untuk menganalisa pengalaman subjektifnya sendiri. Jung mendeskripsikan dirinya bertipe berpikir – intover ini. 6. Merasa – Introver Realitas subjektif mendominasi, begitu pula fungsi merasa. Berpikir, mengindra dan mengintuisi direpresi. Daripada mengarahkan proses intelektual kepada pengalaman subjektif, seperti yang dilakukan tipe berpikir – introver, individu tipe ini berfokus ke perasaan yang disediakan oleh pengalaman-pengalaman tersebut. Realitas objektif penting hanya sejauh ia memberinya gambaran- gambaran mental subjektif yang dialami dan dinilai secara pribadi. Komunikasi dengan orang lain agak sulit kecuali sama-sama memiliki realitas subjektif dan perasaan-perasaan yang terkait dengannya. Ia sering dilihat egois dan tidak simpatik. Motif dasar tipe ini sulit dipahami orang lain sehingga terkesan dingin dan menjarakkan diri. Untuk tipe ini, tidak ada kebutuhan mengesankan atau memengaruhi orang lain. Seperti semua introver yang lain, semua hal yang internal lebih penting ketimbang yang eksernal. 7. Mengindra – Introver Realitas subjektif mendominasi, begitu pula fungsi mengindra. Mengintuisi, berpikir dan merasa direpresi. Tipe ini banyak dimiliki seniman yang jelas mengandalkan kemampuan indrawi untuk memberi mereka makna subjektif. Karena tipe ini mengejar pengalaman indrawi dengan evaluasi yang sifatnya subjektif, interaksinya dengan realitas objektif sulit bisa diduga. Namun begitu, pengalaman inderawi ini penting hanya sejauh menghasilkan gambaran- gambaran mental subjektif. 8. Mengintuisi – Introver Realitas subjektif mendominsi, begitu pula fungsi mengintuisi. Berpikir, merasa dan mengindra direpresi. Di tipe ini, implikasi-implikasi dari gambaran-gambaran mental internal dieksplorasi besar-besaran. Biasanya mereka adalah kaum mistikus, pelihat, peramal dan lain-lain yang suka menghasilkan ide baru dan aneh. Dari semua tipe kepribadian, tipe ini yang paling menutup diri, menjaga jarak dan disalahpahami. Individu yang seperti ini seringkali terlihat sebagai eksentrik, dan konsep filosofis dan religius penting sering kali dihasilkan oleh tipe mengintuisi – introver ini. Di dalam tipologi Jung, kita dapat melihat prinsip-prisip ekuivalensi, kebalikan dan entropi beroperasi. Karena begitu banyak energi libido tersedia bagi seseorang, hanya sedikit saja tersisa untuk komponen-komponen lain (prinsip ekuivalensi) jika banyak porsi energi ini diinvestasikan ke satu komponan tertentu psikhe. Ketika sesuatu disadari, kebalikannya tidak disadari, dan sebaliknya (prinsip kebalikan). Satu kecenderungan konstan hadir bagi energi libido untuk menyetarakan diri di seluruh komponen dan tingkatan psikhe (prinsip entropi). TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN Tahap-tahap perkembangan di teori Jung tidak sepenting Freud, namun ia tetap membahasnya meski dalam kerangka yang sangat umum. Pentahapan Jung ini didasarkan pada konsepnya tentang energi lobido, dan sebelumnya kita lihat sudah menampakan ketidaksepakatan Jung dan Freud terkait hakikat libido. Freud yakin libido utamanya berhakikat seksual dan yang terinvestasikan di 5 tahun pertama hidup manusia, umumnya, menjadi kerangka dasar bagaimana kepribadian itu di masa dewasa nantinya. Jung, sebaliknya, melihat libido ini diarahkan hanya kepada apa yang penting untuk individu di masa itu, dan apa saja yang penting diubah sebagai fungsi Kanak-Kanak (Lahir sampai Remaja) Di porsi awal periode ini, energi libido diperluas kepada pembelajaran bagaimana berjalan, berbicara dan keahlian-kealian lain yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup. Setelah tahun kelima, semakin banyak energi libido diarahkan ke aktivitas-aktivias seksual, dan fokus energi libido ini meraih puncaknya di masa remaja. Dewasa Muda (Remaja sampai Usia 40) Di tahap ini, energi libido terarah kepada pembelajaran untuk berkarier, menikah, membesarkan anak dan mencari jalan untuk berhubungan dengan kehidupan komunitas. Selama tahap inilah individu cenderung pergi ke tempat-tempat lain, energetik, impulsif dan penuh semangat. Paruh Baya (Usia 40 sampai Usia Senja) Tahap perkembangan ini paling penting bagi Jung. Individu ditransformasikan dari individu yang bersemangat, ekstrover dan berorientasi biologis menjadi individu yang lebih menjunjung nilai budaya, filosofis dan spiritual. Sekarang ia lebih banyak menyoroti hikmat dan makna hidup. Kebutuhan– kebutuhan yang harus dipuaskan di tahap ini sama pentingnya dengan tahap-tahap sebelumnya, meski kebutuhan-kebutuhan ini agak berbeda. Karena selama paruh baya ini manusia mulai menentukan makna hidup, inilah waktunya ketika agama menjadi penting. Jung yakin setiap individu memiliki sebuah kebutuhan spiritual yang harus dipuaskan, sama seperti kebutuhan akan makanan mesti dipuaskan. Jung yakin jika kemerosotan umum kehidupan religius di kalangan masyarakat modern telah menyebabkan sebuah disorientasi dalam pandangan dunia. Yang lebih spesifik lagi, ia menemukan jika absennya makna atau ekuilibrium spiritual, yang awalnya disediakan oleh perspektif religius, telah menyebabkan keluhan-keluhan neurotik pasien-pasien paruh bayanya. TUJUAN HIDUP Menurut Jung, tujuan utama hidup adalah untuk mencapai realisasi-diri, atau sebuah campuran harmonis untuk banyak komponen dan kekuatan di dalam psikhe. Meski realisasi-diri tidak pernah tercapai lengkap, mendekatinya tetap melibatkan sebuah perjalanan panjang dan kompleks untuk penemuan-diri. Realisasi-diri dan individuasi jalan beriringan. Individuasi mengacu kepada proses pendewasaan psikologis seumur hidup dimana komponen-komponen psikhe dikenali dan diberikan kesempatan untuk berekspresi. Jung yakin kalau individuasi, atau kecenderungan menuju realisasi-diri, inheren di semua makhluk hidup. Proses individuasi menggambarkan sebuah perjalanan pribadi menuju realisasi-diri, namun proses ini menyediakan satu hubungan penting di antara semua manusia. Ketika realisasi-diri didekati, diri menjadi pusat baru kepribadian dan dialami sebagai hal yang tertunda di antara daya- daya psikhe yang berlawanan. Jung yakin diri disimbolkan paling tepat oleh mandala, kata Sansekerta, yang artinya lingkaran. Diri dilihat sebagai pusat lingkaran, atau jalang tengah banyak polaritas yang membentuk psikhe. Jung menemukan banyak variasi mandala di budaya berbeda-beda di seluruh dunia, mengindikasikan universalitasnya. Sama seperti semua arkitipe yang lain, diri menciptakan sebuah kepekaan terhadap pengalaman tertentu, khususnya menyimbolkan keseimbangan, kesempurnaan dan harmoni seperti layaknya lingkaran. Diagram dasar Taois, ying-yang, terkenal sebagai contoh mandala ini. Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki realisasi-diri? Menurut Jung, mereka terjebak di berbagai jenis masalah. Tingkatan masalah bergantung kepada bagaimana perkembangan kita berlangsung. Jung yakin lebih banyak hal yang dibutuhkan untuk hidup daripada sekedar menjadi rasional. Bahkan faktanya, dia yakin, mengabaikan bagian psikhe yang irasional justru penyebab masalah-masalah kita dewasa ini. Selain penitikberatan modernitas pada rasionalitas dan sains, arketipe terus memanifestasikan diri. Bahkan, di konteks teknologi zaman modern, arketipe tetap muncul. Contohnya, fenomena piring terbang. KAUSALITAS, TELEOLOGIS & SINKRONITAS Kausalitas Melalui konsep kausalitas, Jung bermaksud menjelaskan kepribadian dewasa berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, mirip yang digagas Freud. Menurut Jung, bukan hanya upaya ini tidak pernah bisa lengkap, namun juga memberi manusia rasa putus asa dan tidak berdaya. Teori ini menyatakan kalau manusia akan menjadi suatu fungsi seperti yang pernah dilihatnya. Teleologi Meski Jung tidak mengabaikan kausalitas, namun ia menganggap teleologi juga perlu ditambahkan untuk memiliki gambaran lengkap tentang motivasi manusia. Teleologi berarti perilaku manusia memiliki sebuah tujuan, artinya, perilaku kita saat ini ditarik oleh masa depan selain didorong masa lalu. Dengan kata lain, untuk memahami manusia sepenuhnya, kita harus memahami tujuan dan aspirasi mereka terhadap pencapaian di masa depan di tingkat pribadi. Sinkronitas Jung menyebut sinkronitas sebagai kebetulan yang bermakna seperti ketika seseorang bermimpi tentang temannya semalam lalu temannya itu datang besok siangnya, atau ketika seseorang berfantasi tentang suatu kejadian dan kejadian itu sungguh terjadi tak lama kemudian. Menurut Jung, kejadian seperti yang digambarkan di atas sangat penting bagi hidup seseorang, dan hal-hal yang seperti ini harus bisa dipahami lebih jelas. Sinkronitas termasuk satu dari sekian konsep Jung yang kompleks. Agar sinkronitas dapat muncul, 2 kejadian harus muncul dan independen satu sama lain. Artinya, 2 kejadian itu punya kausalitasnya sendiri dan mereka tidak berhubungan secara kausal. Karena itu, di beberapa titik, seorang individu mengalami 2 kejadian itu, yang jika dikombinasikan dapat memberi makna kepadanya, sehingga jika keduanya dialami secara terpisah, mereka tidak bisa memberi makna. Munculnya 2 kejadian terpisah dengan suatu cara yang memberikan makna pada seseorang inilah yang disebut sinkronitas. Dengan cara yang lebih kompleks, konsep sinkronitas dapat diterapkan kepada hubungan antara bawah-sadar kolektif dan berbagai pengalaman kita. Seperti yang sudah kita lihat, setiap arketipe bisa dilihat sebagai kecenderungan untuk merespons secara emosional kelas tertentu kejadian-kejadian di lingkungan. Faktanya, sebuah arketipe bisa dianggap sebagai kebutuhan untuk memiliki jenis-jenis pengalaman tertentu. Di situasi inilah, saat kita memiliki suatu pengalaman yang memberikan ekspresi simbolis ke sebuah arketipe, pengalaman ini selama memuaskannya dengan menemukan makanan bagi seseorang yang lapar. Inilah yang menjelaskan kenapa manusia bereaksi emosional ke musik tertentu, bentuk seni tertentu, dan ketika pengalaman kita memberi mereka ruang untuk berekspresi, hasilnya adalah kepuasan emosi. Karena arketipe mempunyai satu warisan kausal, dan kejadian lingkungan yang memungkinkan mereka berekpresi memiliki yang lain, maka pertemuan keduanya akan membentuk sinkronitas. Analisa Mimpi Jung Seperti Freud, Jung melihat mimpi sebagai salah satu sumber informasi terpenting tentang pikiran bawah-sadar. Namun Jung menginterpretasikan mimpi dengan cara yang berbeda dari Freud. Jung tidak sepakat dengan penilaian Freud antara isi manifestasi dan isi laten mimpi. Bagi Jung, isi mimpi adalah yang seperti terlihat bagi pemimpinya. Namun, peryantaan Jung agak keliru karena isi mimpi dapat juga mengandung fragmen-fragmen simbol dan mitos kuno, dan mungkin membutuhkan banyak pengetahuan tentang sejarah, agama dan antropologi untuk bisa memahaminya. Salah satu fungsi terpenting mimpi, menurut Jung, adalah mengkompensasikan bagian-bagian psikhe yang terabaikan. Contohnya, jika shadow tidak diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri secara sadar, ia akan memanifestasikan diri dalam isi mimpi membuat mimpi dipenuhi setan, iblis, monster dan impuls-impuls imoral yang penuh hasrat. Dengan kata lain, pemimpi akan mendapat mimpi buruk tak terhitung jumlahnya. Satu cara untuk mendeteksi bagian psikhe yang tidak berkembang, kalau demikian, adalah dengan menganalisa isi mimpi. PANDANGAN JUNG TENTANG HAKEKAT MANUSIA Pandangan Jung tentang hakikat manusia termasuk paling kompleks. Psikhe manusia di masa lalu, kini dan depan. Ia terdiri atas elemen-elemen sadar dan bawah-sadar, sifat-sifat maskulin dan feminin, impuls- impuls rasional, hasrat-hasrat spiritualistik dan hewani, dan kecenderungan untuk membawa semua komponen dan impuls yang kontradiktif ini untuk berharmoni atu sama lain. Realisasi-diri tercapai ketika harmoni tersebut terdekati, namun realisasi- diri harus dicari - ia tidak muncul otomatis – dan tetap dicari meski kesetimbangan teraih – jika memang bisa karena hal ini sangat sulit – demi meraih kesetimbangan baru. Bagi Jung, kebutuhan spiritual harus dipuaskan, yang biasanya terjadi pada usia paruh-baya, ketika banyak komponen psikhe ditemukan. Seperti yang sudah kita lihat, agama, dalam definisi luasnya, adalah kendaraan utama Jung di dalam perjalanan menuju realisasi-diri. Jika Freud pesimis tentang takdir manusia, Jung justru optimis. Namun, optimisme Jung berkaitan dengan kemampuan manusia merengkuh pikiran bawah-sadar mereka; jika hal ini tidak terjadi, proyeksi-proyeksi pikiran bawah-sadar ini, contohnya shadow, akan terus menyebabkan irasionalitas di hidup kita dan mungkin bakal menyebabkan perang dunia. EVALUASI Kritik Jung dituduh terlalu ramah dengan okultisme, spiritualisme dan agama, semua wilayah yang dilihat banyak orang irasional. Jung yakin jika dirinya banyak disalahpahami, dan menegaskan bahwa mempelajari hal-hal ini bukan berarti memercayainya. Sebaliknya, ia mempelajari hal-hal tersebut untuk mendapatkan informasi tentang bawah-sadar kolektif. Jung, seperti banyak teorisi kepribadian kontemporer, yakin jika metode ilmiah tidak dapat diaplikasikan ke studi yang topiknya sekompleks ini, sehingga metode ilmiah itulah yang bisa diabaikan, bukannya topik yang ditelitinya. Teori Jung juga dikritik karena sulit dipahami, tidak jelas, tidak konsisten, bahkan kontradiktif. Juga, konsepnya tentang realisasi-diri sudah dilabeli elit karena hanya yang pandai dan terdidik dengan waktu luang berlimpah yang bisa tiba di tingkat pemahaman-diri tertentu yang dibutuhkan bagi realisasi-diri. Batasan ini yang membuat teori Jung tertutup bagi banyak orang. Akhirnya, teori Jung, seperti Freud, telah dikritik tidak bisa difalsifikasi, dan karenanya tidak ilmiah. Kecuali untuk beberapa riset tentang tipe-tipe psikologis dan fungsi-fungsi berpikir, riset empiris kecil sudah dilakukan dalam rangka memvalidasi komponen-komponen utama teori Jung. Konsep-konsep Jungian seperti ekuivalensi, entropi dan kebalikan, selain juga ide tentang bawah-sadar kolektif dan realisasai-diri, masih belum dites. Karena teori Jung membuat sejumpah kecil prediksi berisiko, ia pun menghadapi risiko kecil untuk terbukti tidak benar. Namun Jung tidak begitu saja stes dengan observasi ini. Kecuali untuk risetnya bagi tes asosiasi-kata, Jung mencarivalidasi bagi teorinya tidak berada di dalam kondisi-kondisi laboratorium terkontrol, namun di area luas pengalaman manusia dan di dalam intuisi manusia. Kontribusi Jung dipuji karena banyak memberikan konsep orisinil bagi teori kepribadian. Dialah teorisi modern pertama yang mendiskusikan proses realisasai-diri ini, yang saat ini begitu populer di teori kepribadian. Dia juga teorisi pertama yang menekankan aspek masa depan bagi perilaku manusia. Yang juga berkaitan dengan idenya ini, adalah penekanan kepribadian untuk mencari tujuan dan makna manusia. Tema yang terakhir sekarang lebih dieksplorasi oleh teori-teori kepribadian eksistensial-humanistik. Teori Jung sangat optimis tentang takdir manusia, berbeda dari teori Freud yang pesimis. Teori Jung menekankan: meraih kedirian sebagai motif utama perilaku manusia, lebih daripada impuls-impuls seks dan pengalaman- pengalaman awal yang ditekankan Freud. Entah bagaimana, teori Jung menciptakan sebuah gambaran tentang psikhe yang diyakini sesuai zaman- zaman kita hidup. Ia menyisakan bagi kita sebuah gambaran psikhe yang didorong oleh masa lalu, ditarik oleh masa depan, dan upaya untuk memahami secara masuk akal masa kini. Singkatnya, teori Jung sudah dipuji karena memasukkan banyak atribut manusia, menekankan pentingnya masa depan bagi perilaku manusia, mendeskripsikan proses realisasi diri lebih optimis terhadap hakekat manusia.