Anda di halaman 1dari 19

PENDEKATAN PEMBELAJARAN KIMIA ABAD 21

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Pembelajaran Kimia

Disusun Oleh:

Dina Rahmita 190101090302

PROGRAM STUDI TADRIS KIMIA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN

MARET 2021

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saya panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-
Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Strategi Pembelajaran Kimia
tentang Pendekatan Pembelajaran Kimia Abad 21

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik
dari segi-segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya
meminta segala saran dan kritik kepada pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah Strategi Pembelajaran Kimia dapat memberikan
manfaat dan pembelajaran terhadap pembaca.

Banjarmasin, 15 Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................................... ii


Daftar Isi .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................... 1
1.3 Tujuan .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Technological-Pedagogical and Content Knowledges (TPACK)
Approach-based Learning ...................................................... 3
2.2 Student-centered Learning ...................................................... 4
2.3 Activities-based Learning ....................................................... 6
2.4 Science-Technology-Engineering-Mathematics(STEM)-based 8
2.5 Lesson Study-based Learning ................................................. 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................. 11
3.2 Saran ...................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Para guru abad 21 tidak cukup hanya memiliki pengetahuan tentang materi yang diajarkan
dan cara mengajarkannya. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni terkini dalam
bidang pendidikan, menuntut guru untuk juga memiliki pengetahuan tentang teknologi dan
penggunaannya dalam belajar dan pembelajaran. Guru abad 21 harus memiliki pengetahuan
sekaligus keterampilan dalam menggunakan berbagai perangkat teknologi baik yang
tradisional maupun modern untuk memfasilitasi belajar dan meningkatkan hasil pembelajaran.
Mengajar merupakan aktivitas kompleks yang melibatkan berbagai jenis pengetahuan.
Aktivitas mengajar didasari dengan pengetahuan tentang materi yang akan diajarkan (content
knowledge), cara mengajarkan suatu materi (pedagogical knowledge), dan pengetahuan
tentang penggunaan berbagai teknologi (technological knowledge) yang ketiganya memiliki
persinggungan untuk dapat mendukung satu di antara lainnya (Mishra & Koehler, 2006).
Pembelajaran pada abad 21 mengintegrasikan berbagai perangkat teknologi dalam
melakukan selutuh rangkaian proses interaksi antara siswa dan guru dengan sumber belajar
dalam suatu lingkungan belajar. Teknologi berperan aktif sebagai alat, proses, dan sekaligus
sumber untuk belajar dan melaksanakan pembelajaran. Maka, siswa dan guru pada abad 21
harus memiliki literasi teknologi yang memada (Drew, 2012; Kereluik, Mishra, Fahnoe, &
Terry, 2013; Trust, 2018). Terlebih, para calon guru masa depan harus dipastikan memiliki
pengetahuan, keterampilan dan kompetensi teknologi yang baik, supaya dapat
mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran dengan efektif dan efisien (Koehler &
Mishra, 2005: 94; Guzman & Nussbaum, 2009; Koehler dkk., 2011: 149).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pembelajaran Technological-Pedagogical and Content Knowledges
(TPACK) Approach-based Learning ?
2. Bagaimana pembelajarn Student-centered Learning ?
3. Bagaimana pembelajaran Activities-based Learning ?

1
4. Bagaimana pembelajaran Science-Technology-Engineering-Mathematics(STEM)-
based ?
5. Bagaimana pembelajaran Lesson Study-based Learning ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pembelajaran Technological-Pedagogical and Content Knowledges
(TPACK) Approach-based Learning ?
2. Untuk mengetahui Bagaimana pembelajarn Student-centered Learning ?
3. Untuk mengetahui Bagaimana pembelajaran Activities-based Learning ?
4. Untuk mengetahui Bagaimana pembelajaran Science-Technology-Engineering-
Mathematics(STEM)-based ?
5. Untuk mengetahui Bagaimana pembelajaran Lesson Study-based Learning ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Technological-Pedagogical and Content Knowledges (TPACK) Approach-based


Learning
Technological pedagogical content knowledge (TPACK) merupakan salah suatu jenis
pengetahuan baru yang harus dikuasi guru untuk dapat mengintegrasikan teknologi dengan
baik dalam pembelajaran (Mishra & Koehler, 2006). Pada perkembangannya, TPACK telah
menjadi kerangka kerja atau framework yang dapat digunakan untuk menganalisis
pengetahuan guru terkait dengan integrasi teknologi dalam pembelajaran (Koehler & Mishra,
2009: 62; Cox & Graham, 2009; Koehler, Mishra, & Cain, 2013: 14). Berikut ini gambaran
TPACK framework.
TPACK terbentuk atas perpaduan 3 jenis pengetahuan dasar, yaitu Technological
Knowledge (TK), Pedagogical Knowledge (PK), Content Knowledge (CK). Hasil perpaduan
3 pengetahuan dasar tersebut, menghasilkan 4 pengetahuan baru, meliputi Pedagogical Content
Knowledge (PCK), Technological Content Knowledge (TCK), Technological Pedagogical
Knowledge (TPK), dan Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK).
Technological knowledge (TK) atau pengetahuan teknologi merupakan pengetahuan tentang
berbagai jenis teknologi sebagai alat, proses, maupun sumber. Pedagogical knowledge (PK)
atau pengetahuan pedagogik yaitu pengetahuan tentang teori dan praktik dalam perencanaan,
proses, dan evaluasi pembelajaran. Content knowledge (CK) atau pengetahuan konten adalah
pengetahuan tentang konten atau materi pelajaran yang harus dipelajari oleh guru dan diajarkan
kepada siswa.
Pedagogical content knowledge (PCK) atau pengetahuan pedagogik konten merupakan
pengetahuan pedagogik yang berhubungan dengan konten khusus (Shulman, 1986).
Technological content knowledge (TCK) atau pengetahuan teknologi konten adalah
pengetahuan tentang timbal balik antara teknologi dengan konten. Technological pedagogical
knowledge (TPK) atau pengetahuan teknologi pedagogik adalah pengetahuan tentang berbagai
teknologi dapat digunakan untuk memfasilitasi belajar dan pembelajaran.

3
Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) atau pengetahuan teknologi
pedagogik dan konten adalah pengetahuan tentang penggunaan teknologi yang tepat pada
pedagogik yang sesuai untuk mengajarkan suatu konten dengan baik. Ketujuh pengetahuan
tersebut perlu dikuasai oleh calon guru masa depan yang akan mengajar dalam lingkungan
belajar yang dipenuhi dengan berbagai instrumen teknologi. Supaya guru dapat menggunakan
teknologi yang tepat pada pedagogik yang sesuai untuk konten yang spesifik dengan baik.
Dalam pembelajaran kimia khususnya pada materi koloid memiliki kajian keilmuan yang
bersifat abstrak dan menekankan penguasaan konsep hingga ke tingkat mikroskopik
(molekuler) simbolik. Sehingga pelaksanaan pembelajarannya perlu dilakukan
penyempurnaan. Selama ini proses pembelajaran kimia masih dominan bersifat konvensional
yang lebih berpusat pada guru, sehingga siswa cenderung pasif dan kurang berminat dalam
belajar. Karena itu perlu dikembangkan pembelajaran inovatif untuk meningkatkan aktivitas
pembelajaran siswa pada materi tersebut, yaitu dengan mengintegrasikan Technology,
Pedagogy, and Content Knowledge (TPACK). Melalui integrasi TPACK, materi yang abstrak
dapat menjadi konkrit dengan penggunaan simulasi, serta pembelajaran yang dilakukan
berpusat pada siswa melalui model pembelajaran Inquiry Based Learning (IBL), sehingga
siswa lebih aktif dalam pembelajaran dan Higher Order Thinking Skills (HOTS) siswa akan
tercapai.

2.2 Student-centered Learning


Pendekatan Student Centered Learning mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam
membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Paradigma baru ini muncul sebagai jawaban atas
paradigma lama yang cenderung berpihak kepada Teacher Centered Learning. Guru menjadi
aktor utama (sage on the stage) dari sebagian besar kegiatan belajar mengajar dalam
pembelajaran Teacher Centered Learning. Akibatnya, pelajar yang berada dalam lingkungan
seperti ini umumnya akan sulit untuk melibatkan dirinya ke dalam kegiatan belajar mengajar
yang sedang diambilnya. Siswa justru menjadi pasif, tidak antusias (apathetic) dan merasa
bosan atas pembelajaran yang sedang dijalaninya (O’Neill & McMahon, 2005).
Pembelajaran yang berpusat pada siswa menggunakan sistem belajar yang fleksibel sesuai
dengan kehidupan dan gaya belajar siswa sehingga guru tidak berperan sebagai sentral dalam
kegiatan belajar mengajar tetapi hanya sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar mengajar

4
(Hamalik, 2005). Gulo sebagaimana dikutip dalam Trianto (2007) menyatakan pembelajaran
inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh
kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematik, kritis, logis, dan analitis
sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) merupakan salah satu model pembelajaran inkuiri
dimana guru menyediakan materi atau bahan dan permasalahan untuk penyelidikan. Siswa
merencanakan prosedurnya sendiri untuk memecahkan masalah. Guru memfasilitasi
penyelidikan dan mendorong siswa mengungkapkan atau membuat pertanyaanpertanyaan
yang membimbing mereka untuk penyelidikan lebih lanjut. Pembelajaran Inkuiri Terbimbing
diterapkan agar siswa bebas mengembangkan konsep yang mereka pelajari bukan hanya
sebatas materi yang dicatat saja kemudian dihafal. Siswa diberi kesempatan untuk
memecahkan masalah yang mereka hadapi secara berkelompok, di dalam kelas mereka
diajarkan berinteraksi sosial dengan teman sebayanya untuk saling bertukar informasi antar
kelompok.
Dalam Penelitian (U Yulianingsih & S Hadisaputro,2013) menunjukkan pencapaian rata-
rata hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dari pada kelas kontrol sehingga dapat
dikatakan perlakuan dengan menerapkan pendekatan Student Centered Learning dengan
Inkuiri Terbimbing efektif meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dikarenakan siswa
memperoleh kesempatan dan fasilitasi untuk membangun sendiri pengetahuannya sehingga
mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam (deep learning) dan pada akhirnya
meningkatkan mutu kualitas siswa (Afiatin, 2005). Perlakuan ini yang membuat siswa mudah
memahami konsep materi yang diajarkan sehingga mudah dalam mengerjakan soal.
Pada pembelajaran yang menggunakan pendekatan Student Centered Learning dengan
Inkuiri Terbimbing, guru berperan sebagai fasilitator siswa dalam menemukan pengetahuan
mereka sendiri. Guru juga harus berperan sebagai motivator dalam memberikan dukungan dan
dorongan yang dapat meningkatkan kemampuan inkuiri dan intelektual siswa. Keaktifan siswa
dalam pembelajaran lebih ditekankan sehingga akan menumbuhkan motivasi belajar yang
tinggi pada siswa dan akhirnya akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Dalam pembelajaran kimia tidak hanya berlangsung di laboratorium saja. Bisa dilakukan
dengan cara melihat keadaan lingkungan sekitar. Lingkungan sebagai sumber belajar
dimanfaatkan untuk melihat kondisi fisik dengan segala permasalahannya, misal dari hal kecil

5
saja kenapa bisa terjadi hujan, tentang pencemaran atau tentang sampah. Selain itu, Murid-
murid belajar terkait dengan tanaman, mulai dari proses penanaman, pembuatan pupuk, sampai
perawatan tanaman. Guru memberi langkah- langkah pembuatan pupuk kandang, murid-murid
secara berkelompok mempraktekkan langkah-langkah tersebut. Harapan dari pembelajaran ini
murid-murid dapat mempraktekkannya di rumah serta mengurangi penggunaan pupuk kimia
yang berbahaya untuk lingkungan. Kegiatan pembelajaran siswa yang dialami secara langsung
ini dapat tercermin dalam kegiatan pengamatan (observasi), membuktikan sendiri, diskusi,
tanya jawab, dan wawancara.

2.3 Activies-based Learning


Activity Based Learning (ABL) dapat dipandang sebagai suatu pendekatan dalam
pembelajaran yang menekankan kepada aktivitas siswa secara optimal untuk memperoleh hasil
belajar berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang.
Penerapan pembelajaran yang berbasis aktivitas tentu tidak terpisah dari konsep Activity Based
Learning (ABL). Jonassen (2000) mengatakan bahwa belajar adalah proses aktivitas sistem
yang amat komplek. Oleh karena itu proses pembelajaran tidak bisa dilakukan hanya dengan
satu pendekatan. Berpijak pada permasalahan belajar yang demikian kompleks maka
dikembangkan pendekatan ABL. ABL merupakan proses pembelajaran yang mendorong dan
mengembangkan keaktifan siswa dalam pemahaman konsep maupun teori melalui berbagai
aktivitas pengalaman pada berbagai lingkungan belajar, yaitu lingkungan di dalam sekolah dan
di luar sekolah.
Dari konsep tersebut ada dua hal yang harus dipahami. Pertama, di pandang dari sisi proses
pembelajaran, ABL menekankan kepada pengembangan aktivitas dan kreativitas siswa secara
optimal. Dalam hal ini ABL menghendaki keseimbangan antara aktivitas fisik, mental,
termasuk emosional dan aktivitas intelektual. Oleh karena itu, kadar ABL tidak hanya bisa
dilihat dari aktivitas psikomotorik saja, akan tetapi juga aktivitas kognitif maupun afektif
siswa.
Kedua, dipandang dari sisi hasil belajar, ABL menghendaki hasil belajar yang seimbang
dan terpadu antara kemampuan kognitif (intelektual), afektif (sikap), dan psikomotor
(keterampilan). Artinya, dalam ABL pembentukan siswa secara utuh merupakan tujuan utama
dalam proses pembelajaran. ABL tidak menghendaki pembentukan siswa secara intelektual

6
cerdas tanpa diimbangi oleh sikap dan keterampilan. Akan tetapi, ABL bertujuan membentuk
siswa yang cerdas sekaligus siswa yang bersikap positif dan secara motorik adalah siswa yang
terampil. Aspek– aspek semacam ini yang diharapkan dapat dihasilkan melalui pendekatan
ABL.
Pendekatan ABL berbeda dengan proses pembelajaran yang selama ini banyak
berlangsung. Selama ini proses pembelajaran banyak diarahkan kepada proses penghafalan
informasi yang disajikan pengajar. Ukuran keberhasilan pembelajaran adalah sejauh mana
siswa dapat menguasai materi pembelajaran. Terpenting siswa dapat mengungkapkan kembali
apa yang telah di pelajarinya. Oleh sebab itu, tidak heran bahwa proses pembelajaran yang
selama ini tidak memperhatikan hakekat matapelajaran yang disajikan.
ABL membantu siswa untuk terlibat aktif dalam memahami konsep-konsep ilmiah, dengan
melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, dan memberi kesempatan untuk
menerapkan/mengaplikasikannya dalam aktifitas kehidupan sehari-hari (Shah, and Rahat,
2014). Menurut Awasthi. (2014) ABL dapat meningktakan kualitas pembelajaran secara
signifikan, namun memiliki beberapa kelemahan yaitu perlu seorang pengajar khusus yang
terlatih tentang konsep dan implementasi ABL. Disamping itu penerapan ABL memerlukan
cukup waktu dan biaya yang tidak sedikit. Pada sisi lain Harfield, Davies, Hede, Panko Kenley
(2007) menekankan ABL pada pengembangan kemampaun siswa untuk terlibat aktif dalam
pengalaman belajar nyata (real life experience) sehingga siswa mampu mencapai higher-order'
performance” seperti kemampuan pemecahan masalah tingkat tinggi.
Penerapan ABL dalam proses pembelajaran tentu membutuhkan model/metode
pembelajaran tertentu. Sesuai dengan hakekat pendekatan ABL, salah satu model
pembelajaran yang sesuai adalah Experiential Learning. Model pembelajaran Experiential
mendefinisikan pembelajaran sebagai sebuah proses yang didapatkan melalui kombinasi
antara memperoleh pengalaman (grasping experience) dengan mentransformasi pengalaman
(transformation of experiece) (Jayaraman, 2014).
Penerapan dalam pembelajaran kimia yaitu berbasis lingkungan dengan model ABL pada
materi minyak bumi. Pembelajaran ini lebih banyak mengarahkan aktivitas siswa belajar dari
pada mengacu arahan pada perencanaan untuk memecahkan masalah yang terdapat
dilingkungan dan meningkatakan proses berpikir tingkat tinggi dalam menyelesaikan
persoaalan lingkungan tersebut. Selain itu pembelajaran kimia berbasis lingkungan tersebut

7
lebih cenderung sistematis, karena siswa lebih banyak berperan dalam pembelajaran.
Sementara guru berperan sebagai fasilitator, yang mengarahkan langkah-langkah
pembelajaran yang disesuaikan dengan kemauan siswa dalam belajar.

2.4 Science-Technology-Engineering-Mathemathics (STEM)-based Learning


STEM merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang terintegrasi dengan berbagai
disiplin ilmu. STEM memungkinkan siswa untuk mempelajari konsep akademik secara tepat
dengan menerapkan 4 disiplin ilmu (sains, teknologi, keahlian teknik dan matematika). STEM
memiliki beberapa karakteristik diantaranya berbasis teknologi, kinerja (performance-based),
berbasis inkuiri, dan berbasis pada masalah atau problem-based learning (ITEA, 2009; Chi, H.,
dan Jain, H., 2011). Pembelajaran berbasis STEM juga menuntut siswa untuk menjadi inovator
(pembaharu), pemecah masalah, dan penemu yang percaya diri, sadar teknologi, serta mampu
berpikir logis. Dalam proses pembelajaran berbasis STEM digunakan sistem penilaian formatif
dan sumatif berupa tes tulis untuk penilaian kompetensi pengetahuan dan tes kinerja untuk
penilaian kompetensi keterampilan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis STEM dengan
menggunakan media pembelajaran diterapkan dalam pendidikan formal. Barrett et. al. (2014)
menggunakan modul meteorologi dan keteknikan untuk mengedukasikan bahaya meteorologi
dan keteknikan dari angin tornado. Peningkatan skor rata-rata pertanyaan dalam instrumen
adalah 40,2% setelah penerapan modul pembelajaran. Hinze et.al. (2013) meneliti penerapan
pembelajaran berbasis STEM untuk pembelajaran pada mata kuliah Kimia Organik di
Universitas Texas. Pembelajaran STEM dilakukan dengan memvisualisasikan bentuk molekul
menggunakan ball-and-stick models dan program electrostatic potensial maps (EPMs).
Penelitian lain dilakukan oleh Nugent et. al. (2010) dengan menerapkan teknologi robotik dan
geospasial dalam pembelajaran.
Berkaitan dengan pembelajaran kimia terintegrasi berbasis STEM, diperlukan sarana
laboratorium yang praktis dan mudah pengoperasiannya. Sarana laboratorium yang dapat
dikembangkan sebagai penunjang pembelajaran berbasis STEM merupakan sarana
laboratorium yang terintegrasi dengan teknologi secara aktual. Terdapat berbagai macam
teknologi yang telah dikembangkan sebagai sarana edukasi, di antaranya penggunaan software
komputer sebagai media belajar, game edukasi (Klopfer et. al., 2009; Prasetyo et. al., 2014),

8
teknologi sensor (Srisawasdi, 2012) pembelajaran online, dan virtual laboratorium (Johnson,
et. al., 2013).

2.5 Lesson Study-based Learning


Lesson study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian
pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan pada prinsip-prinsip
kolegalitas oleh sekelompok guru (dosen) untuk membangun sebuah komunitas belajar
(learning community). Lesson Study bukan merupakan suatu strategi ataupun metode
pembelajaran, tetapi kegiatan lesson study dapat menerapkan berbagai strategi dan metode
pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta permasalahan yang
dihadapi guru (dosen) pada setiap proses pembelajaran.
Lesson study dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan dan tahap
refleksi. Tahap perencanaan bertujuan untuk merancang pembelajaran yang dapat
mengajarkan siswa (mahasiswa) bagaimana berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Tahap pelaksanaan merupakan tahap penerapan rancangan pembelajaran yang telah disusun
sebelumnya. Selama proses pembelajaran berlangsung pengamat menfokuskan perhatian
kepada aktivitas siswa (mahasiswa) yaitu interaksi sesama siswa (mahasiswa), siswa dengan
guru (mahasiswa dengan dosen), siswa (mahasiswa) dengan bahan ajar serta interaksi siswa
(mahasiswa) dengan lingkungan.
Setelah selesai proses pembelajaran, langsung dilakukan diskusi antara guru (dosen) model
dengan pengamat. Mula-mula guru (dosen) model menyampaikan kesan-kesan selama proses
pembelajaran berlangsung, lalu dilanjutkan oleh para pengamat. Pengamat harus
menyampaikan fakta temuannya di kelas secara jujur dan bijak demi perbaikan proses
pembelajaran. Guru (dosen) model harus dapat menerima masukan dari pengamat untuk
perbaikan pembelajaran pada tahap berikutnya. Pada prinsipnya, semua orang yang terlibat
dalam kegiatan lesson study harus memperoleh buah pembelajaran (lesson learn). Dengan
demikian kegiatan lesson study dapat digunakan untuk membangun komunitas belajar
(learning community).
Karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk
baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan
orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Secara

9
sederhana pendidikan karakter diartikan sebagai hal positif apa saja yang dilakukan guru
(dosen) dan berpengaruh kepada karakter siswa (mahasiswa) yang diajarnya. Pendidikan
karakter semata-mata merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian
yang fundamental dari pendidikan yang baik.
Penerapan lesson study dapat meningkatkan aktivitas belajar mahasiswa. Baik mahasiswa
yang tampil sebagai pemateri “bertindak sebagai guru kimia SMA” yang bertugas
menyampaikan materi maupun mahasiswa lain yang bertindak sebagai audiens sekaligus
pengamat, dapat melakukan aktivitas pembelajaran yang dengan cukup baik. Mahasiswa
berusaha mempersiapkan materi, media serta hal-hal lain yang akan mendukung
keberhasilannya saat tampil sebagai guru model nantinya. Mahasiswa lain yang kebetulan pada
pertemuan itu tidak tampil sebagai guru model akan bertindak sebagai audiens sekaligus
pengamat. Jadi masing-masing “guru model” diobservasi oleh tiga puluh satu orang pengamat
atau observer dari mahasiswa dan ditambah dengan dosen. Kondisi ini tentu saja membuat
mahasiswa merasa harus betul-betul mempersiapkan diri dengan baik.
Pada pembelajaran dengan menerapkan lesson study ini, dimana pada satu kesempatan
mahasiswa berkesempatan berperan sebagai guru model yang diobservasi sedang di
kesempatan lain mereka bertindak sebagai pengamat atau observer, sangat membantu dalam
membangun karakter atau nilai-nilai positif dalam diri mahasiswa. Dengan berperan sebagai
guru model dapat memupuk nilai-nilai bekerja keras, bersemangat, kreatif, percaya diri,
bertanggung jawab, sportif dan terbuka. Saat bertindak sebagai audiens serta pengamat,
mahasiswa juga dapat menumbuh kembangkan nilai-nilai seperti rasa ingin tahu, kerjasama
dan menghargai.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1. TPACK merupakan salah suatu jenis pengetahuan baru yang harus dikuasi guru untuk
dapat mengintegrasikan teknologi dengan baik dalam pembelajaran. Selain menjadi suatu
jenis pengetahuan baru, TPACK telah menjadi kerangka kerja atau framework yang dapat
digunakan untuk menganalisis pengetahuan guru terkait dengan integrasi teknologi dalam
pembelajaran. Pengukuran TPACK merupakan aktivitas penilaian tingkat penguasaan
TPACK yang dilakukan menggunakan TPACK framework. Pengembangan TPACK
merupakan kelanjutan dari proses pengukuran yang dilakukan untuk meningkatkan
penguasaan TPACK. TPACK dapat dijadikan sebagai kerangka kerja untuk mendesain
kurikulum pendidikan guru yang lebih sesuai dengan era dan tuntutan pembelajaran Abad
21.
Penerapan dalam pembelajaran kimia khususnya pada materi koloid memiliki kajian
keilmuan yang bersifat abstrak dan menekankan penguasaan konsep hingga ke tingkat
mikroskopik (molekuler) simbolik. Sehingga pelaksanaan pembelajarannya perlu
dilakukan penyempurnaan.
2. Pendekatan Student Centered Learning mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam
membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Pada pembelajaran yang menggunakan
pendekatan Student Centered Learning dengan Inkuiri Terbimbing, guru berperan sebagai
fasilitator siswa dalam menemukan pengetahuan mereka sendiri. Guru juga harus berperan
sebagai motivator dalam memberikan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan
kemampuan inkuiri dan intelektual siswa. Keaktifan siswa dalam pembelajaran lebih
ditekankan sehingga akan menumbuhkan motivasi belajar yang tinggi pada siswa dan
akhirnya akan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Penerapan dalam pembelajaran kimia tidak hanya berlangsung di laboratorium saja. Bisa
dilakukan dengan cara melihat keadaan lingkungan sekitar. Lingkungan sebagai sumber
belajar dimanfaatkan untuk melihat kondisi fisik dengan segala permasalahannya, misal
dari hal kecil saja kenapa bisa terjadi hujan, tentang pencemaran atau tentang sampah.

11
Selain itu, Murid-murid belajar terkait dengan tanaman, mulai dari proses penanaman,
pembuatan pupuk, sampai perawatan tanaman.
3. Activity Based Learning (ABL) dapat dipandang sebagai suatu pendekatan dalam
pembelajaran yang menekankan kepada aktivitas siswa secara optimal untuk memperoleh
hasil belajar berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara
seimbang.
Penerapan dalam pembelajaran kimia yaitu berbasis lingkungan dengan model ABL pada
materi minyak bumi. Pembelajaran ini lebih banyak mengarahkan aktivitas siswa belajar
dari pada mengacu arahan pada perencanaan untuk memecahkan masalah yang terdapat
dilingkungan dan meningkatakan proses berpikir tingkat tinggi dalam menyelesaikan
persoaalan lingkungan tersebut.
4. STEM merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang terintegrasi dengan berbagai
disiplin ilmu. STEM memungkinkan siswa untuk mempelajari konsep akademik secara
tepat dengan menerapkan 4 disiplin ilmu (sains, teknologi, keahlian teknik dan
matematika).
Penerapan pembelajaran berbasis STEM untuk pembelajaran pada mata kuliah Kimia
Organik di Universitas Texas. Pembelajaran STEM dilakukan dengan memvisualisasikan
bentuk molekul menggunakan ball-and-stick models dan program electrostatic potensial
maps (EPMs). Penelitian lain dilakukan oleh Nugent et. al. (2010) dengan menerapkan
teknologi robotik dan geospasial dalam pembelajaran.
5. Lesson study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian
pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan pada prinsip-prinsip
kolegalitas oleh sekelompok guru (dosen) untuk membangun sebuah komunitas belajar
(learning community).
Pada pembelajaran dengan menerapkan lesson study ini, dimana pada satu kesempatan
mahasiswa berkesempatan berperan sebagai guru model yang diobservasi sedang di
kesempatan lain mereka bertindak sebagai pengamat atau observer, sangat membantu
dalam membangun karakter atau nilai-nilai positif dalam diri mahasiswa.

12
3.2 SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah di atas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mebgharapkan kritik dan
saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.

13
DAFTAR PUSTAKA

Afiatin, T. 2005. Pembelajaran berbasis student-centered learrning. Diunduh di


http://www.inparametric.com tanggal 15 Mei 2012.
Awasthi, D. 2014.Activity Based Learning Methodology Can Bring Improvement in Quality of
Education in India. GJRA - GLOBAL JOURNAL FOR RESEARCH ANALYSIS X 76
Volume 3, Issue-8, August-2014 • ISSN No 2277 – 8160.
Barrett, B.S., Moran, A.L., dan Woods, J.E. (2014), “Meteorology Meets Engineering: An
Interdisciplinary Stem Module For Middle and Early Secondary School Students”,
International Journal of STEM Education, hal. 1-6.
Chi, H., dan Jain, H. (2011), “Teaching Computing to STEM Students Via Visualization Tools”,
Procedia Computer Science, Vol.4, hal. 1937- 1943.
Cox, S., & Graham, C. R. (2009). Using an elaborated model of the TPACK framework to
analyze and depict teacher knowledge. TechTrends, 53(5), 60-69.
Drew, S. V. (2012). Open up the ceiling on the Common Core State Standards: Preparing
students for 21st‐century literacy—now. Journal of Adolescent & Adult Literacy, 56(4),
321– 330.
Guzman, A., & Nussbaum, M. (2009). Teaching competencies for technology integration in
the classroom: Technology integration in the classroom. Journal of Computer Assisted
Learning, 25(5), 453–469.
Hamalik, O. 2005. Proses belajar mengajar. Jakarta : Bumi Aksara.
Harfield, T., Davies, K., Hede, J., Panko, M.& Kenley, R.(2007. Activity-based teaching for
Unitec New Zealand construction students. Emirates Journal for Engineering Research, 12
(1), 57-63 (2007).
Hinze, S. R., Rapp, D. N., Williamson, V. M., Shultz, M. J., Deslongchamps, G., Williamson,
K. C. (2013), “Beyond ball-and-stick: Students’ Processing of Novel STEM
Visualizations”, Learning and Instruction, Vol. 26, hal.12-21.
ITEA. (2009), The Overlooked STEM Imperatives: Technology and Engineering K–12
Education, International Technology Education Association, United States.
Jayaraman, R. 2014. Experiential Learning Is The Future of Learning. LearnTech Asia 2014,
held in Singapore at the Marian Bay Sands 13-14 November 2014.

14
Johnson, L., Adams Becker, S., Estrada, V., and Martín, S. (2013), Technology Outlook for
STEM+Education 2013-2018: An NMC Horizon Project Sector Analysis. The New Media
Consortium, Austin, Texas.
Jonassen, D. 2000. Learning: as Activity. The Meaning of Learning Project Learning
Development Institute Presidential Session at AECT Denver October 25-28, 2000.
Kereluik, K., Mishra, P., Fahnoe, C., & Terry, L. (2013). What knowledge is of most worth:
Teacher knowledge for 21st century learning. Journal of Digital Learning in Teacher
Education, 29(4), 127–140.
Klopfer, E., Osterwell, S., Groff, J., dan Haas, J. (2009), Using of Technology Today in the
Classroom: The instructional Power of Digital Games ocial Networking Simulations and
How Teachers Can Leverage Them, Massachusetts Institute of Technology.
Koehler, M. J., & Mishra, P. (2005). Teachers learning technology by design. Journal of
computing in teacher education, 21(3), 94–102.
Koehler, M. J., Mishra, P., & Cain, W. (2013). What is technological pedagogical content
knowledge (TPACK)?. Journal of Education, 193(3), 13-19.
Koehler, M. J., Mishra, P., Bouck, E. C., DeSchryver, M., Kereluik, K., Shin, T. S., & Wolf,
L. G. (2011). Deep-play: Developing TPACK for 21st century teachers. International
Journal of Learning Technology, 6(2), 146–163.
Koehler, M., & Mishra, P. (2009). What is technological pedagogical content knowledge
(TPACK)?. Contemporary issues in technology and teacher education, 9(1), 60-70.
Mishra, P., & Koehler, M. J. (2006). Technological pedagogical content knowledge: A
framework for teacher knowledge. Teachers college record, 108(6), 1017.
Nugent, G., Baker, B.S., Grandgenett, N., dan Adamchuk, V.I. (2010), “Impact of Robotics
and Geospatial T echnology Interventions on Youth STEM Learning and Attitudes”,
Journal of Research on Technology in Education, Vol.42, No.4, hal. 391-408.
O’Neill, G. & McMahon, T. 2005. Studentcentred learning: what does it mean for students
and lecturers?. Diunduh di http://www.aishe.org/readings/2005-1/oneillmcmahon-
Tues_19th_Oct_SCL.pdf tanggal 25 Mei 2012.
Prasetyo, Y. D., Ikhsan, J., dan Sari, L. P. (2014), The Development of AndroidBased Mobile
Learning Media As Chemistry Learning for Senior High School on Acid Base, Buffer
Solution, and Salt Hydrolysis, Proceeding of International Conference on Research,

15
Implementation and Education of Mathematics and Sciences, Malang: Universitas Negeri
Malang.
Shah, I and Rahat T, 2014. Effect of Activity Based Teaching Method in Science. International
Journal of Humanities and Management Sciences (IJHMS) Volume 2, Issue 1 (2014) ISSN
2320–4044 (Online).
Srisawasdi, N. (2012), “Students’ Teacher Perceptions of Computerized Laboratory Practise
for Science Teaching: A Comparative Analysis”, Procedia-Social and Behavioral Sciences,
Vol. 46, hal. 4031-4038.
Trianto. 2007. Model-model pembelajaran inovatif beorientasi konstruktivistik. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
U Yulianingsing & S Hadisaputro ( 2013). Keefektifan Pendekatan Student Centered Learning
dengan Inkuiri Terbimbing untuk Meningkatkan Hasil Belajar. Cie 2 (2), 150-151.

16

Anda mungkin juga menyukai