Trombositopenia
Trombositopenia
PENDAHULUAN
Trombosit sangat penting untuk menjaga integritas endotel pembuluh darah dan
mengendalikan perdarahan yang berasal dari cedera pembuluh darah kecil melalui
pembentukan sumbatan trombosit (hemostasis primer). Cedera yang lebih luas dan
keterlibatan pembuluh darah yang lebih besar memerlukan, selain trombosit, partisipasi dari
system koagulasi untuk menciptakan sumbatan fibrin yang lebih kuat dan stabil (hemostasis
sekunder). Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang
dari 150 x 103/µL atau 150 x 109/L, dan merupakan penyebab utama dalam gangguan
hemostasis primer yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada anak-anak.
Trombositopenia harus dicurigai ketika seorang anak datang dengan riwayat mudah
memar dan berdarah, terutama pada mukosa atau kulit. Namun, yang paling umum terjadi
dalam pasien anak dengan trombositopenia adalah penemuan tak terduga trombosit rendah
pada hitung darah lengkap (complete blood count) tanpa alasan yang jelas.
Trombositopenia dapat disebabkan oleh satu dari dua mekanisme, yaitu penurunan
produksi trombosit atau peningkatan penghancuran trombosit di dalam sirkulasi. Manajemen
pada trombositopenia harus disertai dengan pemahaman terhadap penyebab dan perjalanan
klinisnya. Tujuan utama manajemen pasien dengan trombositopenia adalah untuk
mempertahankan jumlah trombosit berada pada level yang aman untuk mencegah perdarahan
yang signifikan. Hal-hal yang menentukan berapakah level aman trombosit pada pasien
tertentu bervariasi, tergantung dari penyebab trombositopenia itu sendiri dan pertimbangan
dari semua aspek lain dalam hemostasis, dan tentu pula tingkat aktivitas pasien itu sendiri.
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca pada umumnya dan penulis
pada khusunya mengenai penatalaksanaan perdarahan saluran cerna pada anak.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai
literatur.
Referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan
tentang penatalaksanaan perdarahan saluran cerna pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Trombosit adalah fragmen-fragmen sel tak berinti yang diproduksi dari megakariosit
oleh sumsum tulang. Ketika megakariosit tersebut matur, sejumlah besar trombosit
dilepaskan ke dalam sirkulasi. Setelah dilepaskan, usia trombosit itu sendiri berkisar antara 7
sampai dengan 10 hari, setelah itu mereka dihapus dari peredaran oleh sistem monosit dan
makrofag.
Gambar
Trombosit yang beredar melakukan banyak fungsi hemostasis penting. Ketika ada
pembuluh darah kecil terbelah, trombosit berakumulasi pada lokasi cedera dan membentuk
sumbatan hemostatik. Adhesi platelet diawali oleh kontak dengan komponen ekstravaskular
seperti kolagen, dan difasilitasi dengan adanya faktor Von Willebrand. Sekresi mediator-
mediator hemostasis seperti tromboksan, adenosine 5 difosfat, serotonin, dan histamine
menyebabkan terjadinya agregasi yang kuat melalui ikatan fibrinogen dan peningkatan
vasokonstriksi lokal. Trombosit juga berperan dalam penghancuran kembali bekuan darah.
Risiko perdarahan meningkat dengan rendahnya jumlah trombosit.
Rentang hitung jumlah trombosit normal berkisar antara 150 - 450 x 10 3/µL. Risiko
perdarahan tidak akan meningkat sampai penurunan jumlah trombosit yang signifikan hingga
dibawah 100 x 103/µL (Gambar 1). Jumlah trombosit lebih besar dari 50 x 10 3/µL cukup
untuk kelangsungan hemostasis dalam sebagian besar situasi, dan pasien dengan
trombositopenia ringan kemungkinan besar tidak akan diketahui kecuali jika hitung trombosit
dilakukan atas alasan yang lain. Pasien dengan trombositopenia sedang, dengan jumlah
trombosit antara 30 sampai 50 x 10 3/µL jarang mengalami gejala (seperti mudah lecet atau
berdarah), bahkan dengan trauma yang signifikan. Pasien yang secara persisten hitung
trombositnya antara 10 - 30 x 103/µL kadangkala juga tanpa gejala dengan aktivitas
keseharian yang normal namun memiliki risiko perdarahan berlebihan pada trauma yang
signifikan. Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali hitung trombositnya kurang dari 10
x 103/µL. Pasien seperti ini biasanya mengalami ptekie dan lecet, namun bahkan kadangkala
juga asimptomatik. Pada sebagian besar kasus, terlihat bahwa jumlah trombosit harus kurang
dari 5 x 103/µL untuk menyebabkan perdarahan kritis spontan (seperti perdarahan intracranial
tanpa disebabkan trauma).
Gambar 1. Hubungan antara perdarahan mayor dengan jumlah trombosit. Disadur dari
Slichter SJ. Relationship between platelet count and bleeding risk in thrombocytopenic
patients. Transfus Med Rev. 2004;18:153–167
Trombosit muda memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih aktif secara hemostasis.
Maka dari itu, pasien dengan trombositopenia destruktif dengan produksi normal tidak akan
mengalami perdarahan hebat karena banyaknya trombosit muda, jika dibandingkan dengan
pasien yang memiliki gangguan fungsi trombosit yang mengakibatkan trombosit tua lebih
banyak di sirkulasi.
2.3 Definisi
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang dari
150 x 103/µL atau 150 x 109/L, dan merupakan penyebab utama dalam gangguan hemostasis
primer yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada anak-anak. Jika jumlah
trombosit berkurang manifestasi klinisnya ditandai dengan timbulnya ptekie, purpura,
perdarahan pada mukosa, biasanya sering pada mukosa hidung dan mulut.
2.4 Epidemiologi
ITP diperkirakan merupakan salah satu penyebab kelainan perdarahan didapat yang
banyak ditemukan, insiden penyakit simtomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000 anak
pertahun. 80-90% anak dengan ITP menderita episode perdarahan akut yang akan sembuh
dalam 6 bulan. Pada ITP akut tidak ada perbedaan insiden laki-laki maupun perempuan dan
akan mencapai puncak pada usia 2-5 tahun. ITP kronis terjadi pada anak usia > 7 tahun,
sering terjadi pada anak perempuan. ITP rekuren didefinisikan sebagai adanya episode
trombositopenia > 3 bulan dan terjadi pada 1-4 % dengan ITP.
2.5 Etiologi
3. Destruksi trombosit
Keadaan ini dapat ditemukan pada hipersplenisme, yaitu aktivitas lien yang
berlebihan dapat disebabkan karean infeksi, inflamasi, kongesti, kelainan sel darah
merah.
2.5 Patofisiologi
Penyebab Trombositopenia
A. Penurunan Produksi
Gangguan produksi trombosit mungkin karena kehilangan infiltrasi dari sumsum tulang,
penghancuran atau kegagalan elemen selular, atau kelainan dalam pembentukan megakariosit
dan diferensiasi sel. Dalam pengaturan ini, pemeriksaan sumsum tulang umumnya
menunjukkan penurunan jumlah megakariosit. Penyebab disfungsi sumsum tulang
meliputi:
● Kekurangan gizi
Lymphoblastic leukemia akut adalah leukimia yang paling umum. Anak yang terkena
biasanya memiliki temuan klinis dan laboratorium lain selain trombositopenia. Manifestasi
meliputi gejala sistemik seperti demam, nyeri tulang, dan penurunan berat badan serta
hepatosplenomegali, limfadenopati, leukositosis, dan anemia.
Anemia aplastik didapat adalah kelainan langka yang disebabkan oleh kegagalan
sumsum tulang. Gejala spesifik yang terkait dengan anemia aplastik didapat bisa bervariasi,
seperti demam, kelelahan, pusing, lemah, sakit kepala, dan episode perdarahan yang
berlebihan. Pansitopenia merupakan gejala yang sering muncul. Berdasarkan respon, sekitar
50% dari pasien yang diberikan obat imunosupresif, termasuk globulin antithymocyte,
siklosporin, kortikosteroid dosis tinggi, dan cyclophosphamide, kebanyakan kasus sekarang
diyakini disebabkan oleh kerusakan kekebalan yang dimediasi dengan sel-sel induk
hematopoietik.
Sejumlah besar penyakit langka yang diturunkan sering dengan keadaan jumlah
trombosit yang berkurang, dan terganggunya fungsi trombosit. Kondisi ini timbul dari cacat
genetik megakariosit yang menghasilkan gangguan thrombopoiesis. Pertimbangan
trombositopenia bawaan lebih besar dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat
trombositopenia berkepanjangan tanpa gejala dengan jumlah trombosit normal atau riwayat
keluarga trombositopenia. Beberapa pasien dengan trombositopenia bawaan dan diagnosis
dugaan ITP hingga ditemukan anggota keluarga lain yang memiliki jumlah trombosit yang
rendah. Tabel 1 menguraikan penyebab genetik thrombopoiesis gangguan.
ITP adalah penyebab paling banyak trombositopenia imun pada anak-anak, dengan
tingkat insidens kasus simptomatik antara 3 sampai 8 per 100.000 anak tiap tahun. Pasien
pediatrik yang mengalami ITP biasanya berumur 2 sampai 10 tahun, dengan insidens
tertinggi antara usia 2 sampai 5 tahun. Tidak terdapat bias gender yang signifikan terhadap
insidens ITP pada anak-anak. Merupakan penyebab tersering trombositopenia tanpa anemia
atau neutropenia.
Kasus tipikal ITP simptomatik pada anak-anak ditandai oleh munculnya lecet atau
perdarahan mukokutan tiba-tiba pada anak yang kelihatannya sehat, seringkali diawali oleh
penyakit infeksi virus. Peningkatan risiko ITP juga dihubungkan oleh imunisasi measles,
mumps, dan rubella (MMR) yang berkontribusi sekitar 50% kejadian ITP pada tahun kedua
setelah lahir. Bentuk ITP ini biasanya sementara dan jarang menyebabkan perdarahan yang
parah.
ITP sekarang diklasifikasikan oleh durasi, mulai dari baru didiagnosis, persisten
(durasi 3-12 bulan) dan kronik (lebih dari 12 bulan).Sedangkan ITP pada dewasa biasanya
memiliki onset yang tiba-tiba dan diikuti oleh fase kronik. ITP pada anak biasanya
berlangsung singkat dan sekitar dua pertiga pasien mengalami sembuh total dalam 6 bulan,
dengan atau tanpa pengobatan.
- ITP Kronis
Anak yang mengalami ITP persisten ataupun kronik yang mengalami gejala atipikal
sebaiknya dirujuk atau dikonsulkan kepada hematologis yang berpengalaman dalam
menangani dan merawat pasien dengan ITP.
-ITP akut
Sering terjadi pada anak-anak. Sekitar 75% pasien, episode tersebut terjadi setelah
vaksinasi atau infeksi seperti cacar air atau mononukleosis infeksiosa. Kelainan yang
swasirna ini paling sering terlihat pada anak-anak sesudah terinfeksi virus (misalnya infeksi
virus rubela, sitomegalovirus, virus hepatitis, monontikleosis infeksiosa). Penghancuran
trombosit disebabkan oleh auto antibodi anti trombosit yang transien. Sebagian besar kasus
terjadi akibat perlekatan kompleks imun non spesifik. Remisi spontan lazim terjadi tetapi 5-
10% kasus penyakit tersebut menjadi kronis (berlangsung > 6 bulan).
a. Infeksi
Trombositopenia akibat infeksi tidak terkait dengan DIC biasanya disebabkan oleh
supresi sumsum tulang. Dalam beberapa kasus, peningkatan kerusakan akibat proses infeksi
yang disebabkan sistem imun atau splenomegali dan hiperaktif retikuloendotelial dapat
menambah masalah pada supresi sumsum tulang. Agen menular yang paling umum yang
terkait dengan trombositopenia karena penekanan sumsum tulang adalah Epstein-Barr virus,
cytomegalovirus, parvovirus, virus varicella, dan rickettsiae.Pada kebanyakan kasus,
trombositopenia bersifat sementara, dengan pemulihan dalam waktu hitungan minggu.
Trombositopenia paling sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi human
immunodeficiency virus (HIV) yang penghancuran platelet dan gangguan produksi
sepertinya memainkan peran dalam menurunkan jumlah trombosit.
Tingkatan Bukti
Kuinin
Kuinin merupakan obat yang digunakan untuk mengobati penyakit malaria dan kram
otot. Sedangkan kuinidin digunakan sebagai pengobatan terhadap cardiac arrhythmia. DIT
akibat kuinin terjadi bukan pada pemberian pertama, tetapi setelah pemakaian berulang-
ulang. Epitop dari sel target dari antibodi sering di glikoprotein The IIb/IIIa or Ib/V/IX
complexes,the major platelet receptors for fibrinogen and von Willebrand factor.
Antagonis Glikoprotein (GP) IIb/IIIa
Obat dianggap sebagai hapten di mana hapten tersebut akan membentuk ikatan
kovalen dengan trombosit sehingga terbentuk kompleks antigen yang terdiri dari obat-
trombosit. Selanjutnya kompleks ini akan merangsang pembentukan antibodi yang dapat
mengenali dan mengikat tombosit dan akan didestruksi oleh RES sehingga terjadi
trombositopenia.
Teori ini merupakan teori bantahan dari hipotesis hapten Ackroyd setelah
Miescher dan Schulman melakukan penelitian padaquinine-induced
thrombocytopenia. Menurut Schulman ikatan antara obat dengan trombosit bersifat lemah
dan mudah terlepas dengan permbersihan darah. Selain obat tersebut yang bebas yang
berlebih tidak dapat menghambat pengikatan antibody dengan trombosit. Oleh karena itu,
Schulman mengusulkan teori innocent bystander. Teori ini mengungkapkan bahwa obat
berikatan erat dengan protein plasma dan merangsang pembentukan antibodi. Kompleks
imun yang antara antibody-antigen (obat-protein plasma) akan diabsorbsi oleh trombosit
secara non spesifik melalui reseptor Fc dan kemudian trombosit ini dihancurkan oleh
RES.
Namun akhir-akhir ini terdapat bukti yang menentang teori ini karena antibody
mampu mengenali glikoprotein pada membran trombosit serta mengikat trombosit
melalui Fab dan bukan melalui Fc. Kecuali mungkin pada trombositopenia akibat
penicillin dosis tinggi, karena obat golongan tersebut mampu membentuk ikatan kovalen
dengan membran trombosit sehingga trombositopenia terjadi menurut mekanisme hapten.
Meskipun kondisi ini lebih sering terlihat pada dewasa, heparin-induced sering terjadi
pada anak-anak. Obat lain yang biasa digunakan dalam pediatri yang dapat menyebabkan
trombositopenia termasuk carbamazepine,fenitoin, asam valproat, trimethoprim
/sulfamethoxazole, dan vankomisin. Diagnosis pendukung untuk penegakan diagnosis
trombositopenia adalah trombositopenia yang diinduksi obat. Dengan penggunaan
trombositopenia dalam waktu kurang 1 minggu penarikan obat.
Tentang sepertiga dari massa trombosit biasanya dibersihkan dalam limpa pada waktu
tertentu. Sebuah proporsi yang lebih besar dari trombosit yang dibersihkan pada pasien yang
mengalami hipersplenisme sehingga mengurangi jumlah trombosit beredar dan menyebabkan
trombositopenia. Kelangsungan hidup trombosit pada orang yang memiliki hipersplenisme
normal atau hampir normal penyatuan dan tidak tersedianya trombosit yang "Terjebak" di
limpa merupakan masalah. Leukopenia atau anemia juga mengikuti jumlah trombosit yang
rendah disebabkan oleh hipersplenisme. Kondisi dalam kategori ini meliputi:
Penyakit hati kronis dengan hipertensi portal dan kongestif splenomegali. Kadang-
kadang trombositopenia,terdeteksi mungkin manifestasi awal bahwa ini merupakan
penyakit jenis penyakit hati kronis. Jumlah trombosit biasanya dalam kisaran 50
sampai 100 103 /g L (50 sampai 100 103 /? L) dan biasanya tidak mewakili klinis
Masalah penting.
Pada pasien yang mengalami koagulasi intravaskular diseminata (DIC) dan gangguan
mikroangiopati hemolitik-uremik sindrom (HUS) dan trombotik thrombocytopenic purpura
(TTP), trombositopenia terjadi karena aktivasi trombosit sistemik, agregasi,dan konsumsi.
Lebih lokal platelet activation and consumption berkontribusi pada seperti di Kasabach-
Merritt syndrome (KMS), necrotizing enterocolitis (NEC), dan trombosis pada bayi dan
neonatus. Pada bayi yang memiliki KMS, trombositopenia hasil dari masa hidup platelet yang
singkat yang disebabkan oleh penyerapan trombosit dan aktivasi koagulasi malformasi
pembuluh darah trunkus, ekstremitas, atau lapisan visera abdominal. lesi Cutaneous
pembuluh darah pada saat lahir pada sekitar 50% dari pasien. Deteksi lesi viseral
membutuhkan pencitraan. Semua pasien mengalami trombositopenia berat,
hypofibrinogenemia,meningkatkan degradasi fibrin produk, dan fragmentasi sel darah merah
di PBS.
NEC adalah sindrom nekrosis pencernaan yang terjadi pada 2% sampai 10% dari bayi
yang berat lahir yang kurang dari 1.500 g. Trombositopenia merupakan temuan yang sering
dan dapat mengakibatkan pendarahan yang signifikan. Pada awal tahap NEC, jumlah
trombosit menurun berkorelasi dengan kehadiran nekrotik usus dan penyakit memburuk.
Mekanisme utama trombositopenia muncul menjadi penghancuran platelet, meskipun
kerusakan tidak disebabkan oleh laboratorium-terdeteksi DIC dalam kebanyakan kasus.
Trombosis pada bayi dan neonatus sering disertai oleh trombositopenia. Sebuah
gangguan tromboemboli harus dipertimbangkan jika trombositopenia tidak dapat dijelaskan
oleh kondisi lain.
2. Depresi Prokoagulan
DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah,
itulah penyebab utamanya. Karena banyak sekali kemungkinan
g a n g g u a n p r o d u k s i faktor pembekuan darah, banyak pula penyakit yang akhirnya dapat
menyebabkank e l a i n a n ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah
t e r s e d i a n y a p r o t r o m b i n (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-
faktor pembekuan darah,sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda
telah terjadi pembekuandarah.
Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam
setelahterjadinya bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-
antibodi.F a k t o r k o a g u l a s i y a n g r e l a t i f m a y o r u n t u k d i k e n a l i a l a h s i s t e m
V I I ( a ) y a n g memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama jalur
ekstrinsik.Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu
sendiri,terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang
peranan penting dalam pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri
berasald a r i s e l - s e l m o n o n u k l e a r d a n s e l - s e l e n d o t e l i a l . S e b a g i a n
penelitian j u g a mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga dari sel-sel
polimorfonuklear.
Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasifaktor-
faktor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dani k u t a n d i l
dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin
III,terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini
disebabkankombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin,
d e g r a d a s i o l e h e n z i m elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil
yang teraktivasi sertas i n t e s i s yang abnormal. Besarnya kadar
a n t i t r o m b i n I I I p a d a p a s i e n D I C berhubungan dengan peningkatan mortalitas
pasien tersebut. Antitrombin III yangr e n d a h j u g a d i d u g a b e r p e r a n s e b a g a i
b i a n g k e l a d i t e r j a d i n y a D I C h i n g g a mencapai gagal organ.
Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula
t e r j a d i depresi sistem protein C sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur
protein Cini disebabkan down regulation trombomodulin akibat sitokin proinflamatori
darisel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan
interleukin1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen pembentuk protein C
akanmenyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan darah akanterus
menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa
protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC.
Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah
yangmemang berfungsi menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan
darah.Senyawa ini dinamakan tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa
inimemblok pembentukan faktor pembekuan (bukan memblok jalur pembekuan itusendiri),
sehingga kadar senyawa ini dalam plasma sangatlah kecil, namanya pun jarang sekali kita
kenal dalam buku teks. Pada penelitian dengan menambahkan T F P I r e k o m b i n a n
k e d a l a m p l a s m a , s e h i n g g a k a d a r T F P I d a l a m t u b u h j a d i meningkat dari
angka normal, ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksidan inflamasi sistemik.
Tidak banyak pengaruh senyawa ini pada DIC, namun s e b a g a i s e n y a w a y a n g
mempengaruhi faktor pembekuan darah, TFPI d a p a t dijadikan bahan
pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di masa depan.
3 Defek Fibrinolisis
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti,
karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. N a m u n
pada keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel
a k a n menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus
DICyang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C,dan
aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan t e r u s
menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang
jarang,misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau
beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi
hiperfibrinolisis, meskipuntrombosis masih ditemukan di mana-mana serta
perdarahan tetap berlangsung.Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan
koagulasi berlebih pada pembuluhdarah, trombosit akan menurun drastis dan
terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi
hingga kegagalan organ, bahkan kematian. Perdarahan sistemik tidak ada metode khusus
untuk mendiagnosis DIC selain menilai gejala klinis berupa perdarahan terus-
menerus dengan gejala sianosis perifer serta melihat hasil lab dengan trombositopenia, masa
perdarahan global yang memanjang signifikan(PT dan aPTT), serta Fibrin Degradation
Produc (FDP), atau spesifiknya D-dimer akan meningkat (walaupun keduanya juga
meningkat pada trauma berat).
9
dimana terjadi interaksi antara leukosit dan endotelium in vitro dan meningkatkanadhesi
leukosit melalui regulasi protein yang bersifat adhesif pada permukaan selendotel. TNF-
ɑ atau LPS menyebabkan apoptosis sel endotel yang terpapar toksin
Shiga.Proses non inflamasi terjadi karena peranan faktor-faktor koagulasi. PadaHUS,studi
koagulasi menunjukkan prothrombin dan waktu paruh tromboplastinyang normal, faktor V
dan VII dapat normal ataupun meningkat, turnoverfibrinogen normal, dan peningkatan
produk pecahan fibrin. Trombositopeniaterjadi karena peningkatan penggunaan dan destruksi
platelet. Usia plateletmemendek dan berakhir pada tingkat degranulasi. Aktivasi platelet
dapatmenurunkan fibrinolisis glomerular lokal melalui produksi PAI-1.Fragmentasi eritrosit
disebabkan oleh pelepasan radikal bebas olehneutrofil yang memediasi peroksidasi lipid pada
membran sel darah merah.Akibatnya, membran sel darah merah menjadi lebih kaku sehingga
saat melewatikapiler glomerulus yang sempit akan mengakibatkan sel darah merah menjadi
lisisdan rusak sehingga terjadi anemia hemolitik mikroangiopati dan penurunan lajufiltrasi
glomerulus serta insufisiensi ginjal.
Gambar 3. Kerusakan ginjal pasien dengan toksin Shiga dari kondisi normal (atas)menjadi
HUS(bawah)
10
RTE, renal tubular epithelium; RBC, red blood cell; TNF, tumor necrosis factor;IL-1,
interleukin-1; Gb3, globotriaosylceramide; GEC, glomerular endothelialcell; GepC,
glomerular epithelial cell; PMN, polymorphonuclear cell; mes cell,mesangial cell
10
RTE, renal tubular epithelium; RBC, red blood cell; TNF, tumor necrosis factor;IL-1,
interleukin-1; Gb3, globotriaosylceramide; GEC, glomerular endothelialcell; GepC,
glomerular epithelial cell; PMN, polymorphonuclear cell; mes cell,mesangial cell.
Gambar 4. Patofisologi HUS :
A.
Kapiler glomerulus normal yang dilapisi sel endotelB.
Gambaran sel endotel normal yang terdiri dari kutub negatif dan PGI2dalam jumlah normal
di endotel sehingga trombosit yang bersirkulasi dilumen kapiler tidak menempel ke
endotel.C.
Setelah kerusakan endotel terjadi, sel menjadi bengkak dan terjadikehilangan kutub negatif
serta PGI2, menyebabkan penempelan trombositdan fibrin ke dinding endotel serta terjadi
pemisahan sel endotel daridinding pembuluh darahD.
Akibat penyempitan kapiler glomerulus oleh penumpukan fibrin dantrombus, maka eritrosit
yang melewati kapiler menjadi lisis dan rusak danterjadi anemia hemolitik mikroangiopati,
penurunan laju filtrasiglomerulus, insufisiensi ginjal dan trombositopeni.
11
Beberapa serotype E. Coli yang berhubungan dengan HUS telah dapatdiidentifikasi. Karmali
et al menemukan toksin E. Coli pada 75% pasiendengan HUS. Toksin dari E.coli ini
menyebabkan kematian terhadap sel Veroyaitu sel epitel ginjal monyet hijau sehingga
kemudian dinamai sebagaiverotoksin. Salah satu dari verotoksin ini (VT-1) secara struktural
identik dengan toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella dysentriae dan jenis toksinlain VT-
2 mempunyai 55% - 60% asam amino yang mirip dengan toksinshiga. Verotoksin yang
dihasilkan oleh E.coli O157:H7 juga menyebabkandiare berdarah.Verotoksin terdiri dari sub
unit sentral (A) dan lima sub unit perifer (B).Sub unit perifer (B) membawa reseptor
glikoprotein permukaan sel. Ketikaverotoksin berikatan dengan permukaan sel, terbentuk
endositosis dan subunitsentral (A) dilepaskan ke dalam sitosol, yang kemudian larut dalam
bentuk fragmen (A1). Sub unit A1 berikatan dengan ribosom 60S, menghambattranskripsi
RNA sehingga menyebabkan kematian sel
12
Gambar 5. Verotoksin sub unit B melekat di permukaan sel dan verotoksinmasuk ke dalam
sel melalui endositosis . Sub unit A kemudian dilepaskanke dalam sel dan terpecah menjadi
fragmen A1. Sub unit A1 berikatandengan ribosom 28S menghambat transkripsi RNA dan
mengganggupembentukan sintesis protein menyebabkan kematian sel.
4
Berdasarkan patofisologi ini, hipotesis perkembangan HUS klasikdapat disusun sebagai
berikut :
1. Infeksi verotoksin dari E. Coli/S. dysentriae menghasilkan diareberdarah2. Penyebaran
toksin melalui pembuluh darah dan perlekatan verotoksinke endotel sel glomerulus
3. Pembentukan endositosis dan pelepasan fragmen sub unit sentral dariverotoksin
mengakibatkan gangguan sintesis protein sehinggamenyebabkan kematian dan kerusakan sel
endotel4. Penempelan fibrin dan mikrotrombus ke sel endotel yang rusak menghasilkan
koagulasi intravaskular lokal dan mikroangiopati5. Penyempitan kapiler glomerulus oleh
trombus dan fibrin menyebabkanlisis dan kerusakan sel darah merah yang melewati kapiler.
Sehinggamenyebabkan anemia hemolitik mikroangiopati, penurunan laju filtrasiglomerulus
dan insufisiensi renal.
Pola perdarahan ini berbeda dari pasien yang memiliki gangguan faktor koagulasi,
seperti hemofilia. Pasien dengan trombositopenia cenderung mengalami sedikit perdarahan
dalam otot atau sendi, banyak perdarahan setelah luka kecil, sedikit perdarahan tertunda, dan
sedikit perdarahan pascaoperasi. Selain itu, pasien yang mengalami gangguan faktor
koagulasi cenderung tidak memiliki petechiae. Meskipun jarang, perdarahan sistem saraf
pusat adalah penyebab kematian paling umum akibat trombositopenia. Ketika perdarahan
tersebut terjadi, sering didahului oleh riwayat trauma kepala. (jurnal induk)
Pasien dengan Purpura Trombositopenik Imun (PTI) biasanya merupakan anak sehat
yang tiba-tiba mengalami perdarahan baik pada kulit, purpura atau perdarahan pada mukosa
hidung (epistaksis). Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya
perdarahan trombosit (platet-type bleeding), yaitu ptekie, pupura, perdarahan konjungtiva,
atau perdarahn mukokutaneus lainya. Perlu dipikirkan penyakit lain, jika ditemukan adanya
pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10%
anak dengan PTI. (buku hematologi). Pada ITP akut, pada pemeriksaan fisik akan
didapatkan manifestasi perdarahan berupa ptekie dan memar yang terjadi secara tiba-tiba.
Limfadenopati ringan atau splenomegali mungkin disertai infeksi virus. Sedangkan pada ITP
kronik biasanya memiliki penyakit yang mendasari. Beberapa anak dengan ITP kronik
memiliki kelainan imunologik seperti Evans syndrom atau autoimmune lymphoroliferative
syndrom (ALPS). (pediatrics in reviw on november 27, 2012)
Pada Disseminated Intravaskuler Coagulati (DIC) gejala klinis yang bervariasi dapat
timbul, naman pada dasarnya terjadi proses perdarahan dan trombosisnpada waktu yang
bersamaan. Manifetasi perdarahan yang sering muncul adalah ptekie, ekimosis, hematom di
kulit, hematuria, melena, epistaksis dan perdarahan gusi, serta kesadaran menurun akibat
perdarahan otak. Sedangkan gejala trombisis yang terjadi dapat berupa gagal ginjal akut,
gagal nafas dan iskemia serta kesadaran menurun akibat trombosis pada otak. (jurnal
kelainan hematologi pada DHF
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosa PTI
Biasanya pasien PTI merupakan anak yang sehat yang tiba-tiba mengalami
perdarahan baik pada kulit, petekie, purpura atau perdarahan pada mukosa hidung
(epistaksis).
Lama terjadinya perdarahan PTI dapat membantu membedakan antara PTI akut dan
kronis. Tidak didapatkannya gejala sistemik dapat membantu menyingkirkan kemungkinan
suatu bentuk sekunder dan diagnosis lainnya. Perlu juga dicari riwayat tentang penggunaan
obat atau bahan yang lain yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga
umumnya tidak didapatkan.
Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan tipe
trombosit (platelet type bleeding), yaitu petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, atau
perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain, jika
ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada
lebih kurang 10% anak dengan PTI.
Selain, trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan PTI
umumnya normal sesuai dengan umurnya. Pada lebih kurang 15% pasien didapatkan anemia
ringan karena perdarahan yang dialaminya. Pemeriksaan hapusan darah tepi diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pseudotrombositopenia, sindroma trombosit raksasa yang
diturunkan (inherited giant platelet syndrome) dan kelainan hematologi lainnya. Trombosit
yang imatur (megatrombosit) ditemukan pada sebagian besar pasien. Pada pemeriksaan
dengan flow cytometry terlihat trombosit pada PTI lebih aktif secara metabolic, yang
menjelaskan mengapa dengan jumlah trombosit yang sama, perdarahan lebih jarang
didapatkan pada PTI disbanding pada kegagalan sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium
sebaiknya dibatasi terutama pada saat terjadinya perdarahan dan jika secara klinis ditemukan
kelainan yang khas.
Perlu tidaknya pemeriksaan aspirasi sumsum tulang secara rutin dilakukan pada anak
dengan dugaan PTI masih menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ahli. Umumnya
pemeriksaan ini dilakukan pada kasus yang meragukan. Namun, tidak pada kasus-kasus
dengan manifestasi klinis yang khas. Beberapa ahli berpendapat bahwa leukemia tidak pernah
nampak dengan trombositopenia saja, tapi tidak semua rumah sakit berpengalaman dalam
pemeriksaan hapusan darah pada anak. Pemeriksaan sumsum tulang dianjurkan pada kasus-
kasus yang tidak khas, misalnya pada :
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum, misalnya panas, penurunan
berat badan, kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau limpa.
2. Kelainan eritrosit dan leukosit pada pemeriksaan darah tepi.
3. Kasus yang akan diterapi dengan steroid, baik sebagai pengobatan awal atau yang gagal
diterapi dengan immunoglobulin intravena.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada pasien PTI adalah mengukur antibody
yang berhubungan dengan trombosit (platelet-associated antibody) dengan menggunakan
direct assay. Namun pemeriksaan ini juga belum dapat membedakn PTI primer dengan
sekunder. Atau anak yang akan sembuh dengan sendirinya dengan yang akan mengalami
perjalanan menjadi kronis.
Pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, kemungkinan suatu trombositopenia
congenital perlu disingkirkan. Pada sindrom Bernard-Soulier perdarahan sering lebih hebat
fari jumlah trombosit yang diduga (contohnya, perdarahan yang nyata pada jumlah trombosit
30.000/mm3). Pada sindrom Wiskott-Aldrich didapatkan trombosit yang lebih kecil dari
normal, sedangkan pada PTI biasanya lebih besar dari bentuk trombosit normal. Kelainan
congenital lain yang dapat menyebabkan perdarahan pada bayi dan terdiagnosa sebagai PTI
adalah penyakit von Willebrand’s tipe IIb, yang disebabkan faktor von Willebrand abnormal
agregasi trombosit dan trombositopenia.
Anak yang lebih tua dan mereka yang mengalami perjalanan menjadi kronis, perlu
dipikirkan adanya kelainan autoimun yang lebih luas, serta perlu dicari adanya tanda-tanda
dan atau gejala-gejala dari ELS atau sindrom antifosfolipid.
Pada anak yang menderita varisela yang disertai trombositopenia perlu dilakukan
pemeriksaan yang lebih teliti, sebab meskipun jarang namun dapat mengancam jiwa
berhubungan dengan kekurangan protein S yang didapat dan thrombosis mikrovaskuler.
Trombositopenia yang dipicu obat-obatan harus dicurigai pada setiap pasien dengan
trombositopenia akut yang tidak diketahui penyebabnya. Dalam mempertimbangkan
diagnosis ini, dokter harus berpikiran bahwa dibutuhkan 5 sampai 7 hari setelah terpapar
untuk menghasilkan sensitisasi pada pasien yang diberikan obat untuk pertama kalinya.
Seperti dicatat sebelumnya, trombosit inhibitor pengecualian untuk aturan umum ini. Pada
orang dewasa, kehadiran trombositopenia berat (trombosit < 20.000/mm3) meningkat
kemungkinan bahwa pasien telah trombositopenia yang dipicu obat-obatan dan harus diduga
kuat pada pasien akut dan trombositopenia sementara karena pasien kadang-kadang tidak
melaporkan paparan obat yang nantinya akan menjadi penyebab trombositopenia yang dipicu
obat-obatan. Rincian anamnesa dari paparan obat sangat penting. Pasien harus ditanya secara
khusus tentang pemakaian kina, quinidine, sulfonamid, obat herbal, obat-obat tradisional,
obat bebas seperti acetaminophen dan vaksinasi baru-baru ini.48
Pada pasien dengan kepekaan terhadap kina, quinidine, sulfonamid, dan obat-obatan
lainnya, memungkinkan untuk mengidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan trombosit
yang normal pada obat itu.23 , 42,49. Namun, pengujiannya terbatas dan tidak tersedia secara
luas (kecuali untuk heparin) dan karena itu tidak berguna dalam perawatan langsung dari
pasien. Pengujian dapat dapat membantu dalam mendokumentasikan penyebab
trombositopenia yang dipicu oleh obat-obatan. Sayangnya, pada pasien dengan sejarah yang
khas dari obat-induced trombositopenia, tes antibodi mungkin negative.2, 36. Salah satu alasan
penting untuk ini adalah bahwa obat metabolik yang diproduksi secara in vivo dapat menjadi
agen sensitif.34, 50. Obat metabolik yang mampu merangsang trombositopenia yang dipicu
obat-obatan tidak didefinisikan dengan baik.34, 50
Jika ada kecurigaan kuat bahwa trombositopenia dipicu obat-obatan maka kepekaan
obat sangat penting untuk diagnosis atau manajemen, diagnostik selanjutnya dapat
dipertimbangkan. Hanya 1 atau 2 mg obat dapat menyebabkan secara substansial esensial
51
penurunan tingkat platelet, . Dosis dapat menyebabkan trombositopenia berat dan
perdarahan 52. Oleh karena itu, penting untuk memulai dengan beberapa miligram obat dan
untuk memonitor jumlah trombosit erat selama 24 jam. Antibodi kadang-kadang menjadi
tidak terdeteksi setelah beberapa bulan, awalnya obat mungkin tidak berpengaruh pada
jumlah platelet.
Diagnosis DBD
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium.
Klinis
Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan
lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis dan atau
melena
2. Pembesaran hati
3. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (≤ 20
mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤ 80 mmHg) sisertai kulit yang teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan
timbul sianosis di sekitar mulut
Laboratorium
Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari
peningkatan nilai hematokrit ≥ 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa
sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama
disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis
DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DBD dapat didiagnosis dengan tepat, yang
dibuktikan oleh pemeriksaan serologis dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.
Diagnosis DIC
Menurut Bick untuk membuat diagnosis DIC diperlukan criteria klinik dan
laboratorik. Kriteria klinik adalah adanya perdarahan atai thrombosis atau keduanya yang
menyertai suatu penyakit dasar. Secara laboratorik ditemukan bukti adanya aktivasi
koagulasi, aktivasi fibrinolisis, konsumsi inhibitor dan bukti kegagalan fungsi organ. Bukti
adanya aktivasi sistem fibrinolisis adalah peningkatan D dimer, FDP dan plasmin-antiplasmin
(PAP) complex. Bukti konsumsi inhibitor adalah penurunan antitrombin, protein C, protein S,
antiplasmin dan peningkatan TAT dan PAP. Bukti adanaya kegagalan fungsi organ adalah
LDH, kreatinin, penurunan pH dan tekanan parsial O2.
Temuan Laboratorium
Darah
Kelainan trombosit dari segi ukuran dan morfologi pada umumnya sering ditemukan.
Biasanya didapatkan platelet abnormal dari segi ukuran ( diameter 3-4 mikron). Trombosit kecil yang
abnormal dan fragmen – fragmen trombosit ("mikropartikel") juga ditemukan dan temuan tersebut
setara dengan microspherocytes dan schistocytes . meskipun fragmen megakariosit mungkin terlihat
pada apusan darah rutin, studi kuantitatif mengungkapkan jumlah abnormal fragmen ini .
Perkiraan volume trombosit rata-rata (Mean Platelet Volume- MPV) dan tingkat heterogenitas
ukuran trombosit (distribusi trombosit) dengan cara penghitungan partikel secara otomatis mungkin,
jika ada, memberikan informasi yang berguna dalam mengevaluasi pasien dengan ITP . Adanya
sejumlah megathrombocyte menghasilkan nilai MVP yang tinggi dan menyebabkan distribusi
trombosit juga meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan abnormal anisositosis trombosit. Teori yang
tepat yang mendasari megathrombocytosis sebenarnya masih belum pasti, tapi hal ini mungkin karena
perdarahan yang terjadi berat dan lama,anemia zat besi bisa terjadi. Perdarahan hebat yang baru
terjadi bisa menyebabkan retikulositosis dan makrositosis relative. Antibody antiplatelet pada pasien
dengan ITP biasanya tidak bereaksi silang dengan eritrosit meskipun hanya berupa fragmen eritrosit.
Pada pasien juga bisa ditemukan uji Coomb positif dan anemia hemolitik autoimun. Kombinasi
jumlah total leukosit dan hitung jenis biasanya normal, kecuali untuk perubahan-perubahan
akibat perdarahan akut seperti neutrofilia ringan sampai sedang dengan peningkatan bentuk imatur.
Eusinophilia juga bisa ditemukan terutama pada anak-anak, tetapi temuan ini tidak terlalu berarti.
uji hemostasis dan pembekuan darah menunjukkan perubahan pada keadaan trombositopenia,
contohnya pemanjangan bleeding time. hasil uji pembekuan darah, termasuk protrombin time, parsial
tromboplastin time, biasanya normal pada pasien dengan trombositopenia ringan. Sedikit peningkatan
dari FDP (fibrinogen degradation product) dapat ditemukan dalam plasma beberapa pasien dengan
ITP . konsentrasi thrombopoietin tidak meningkat secara signifikan pada pasien ITP, berbeda dengan
sumsum tulang
perubahan dalam sumsum tulang biasanya terbatas pada megakariosit meskipun hiperplasia
normoblastic dapat berkembang sebagai akibat dari kehilangan darah. leukosit biasanya normal
namun kadang- kadang dapat ditemukan eosinophilia. Megakariocyte, ukrannya biasanya meningkat,
tapi jumlahnya bisa normal atau meningkat. Abnormalitas morfologi sel ini muncul pada sebagian
pasien ITP. pemeriksaan sumsum tulang kadang- kadang membantu terutama dalam membedakan
ITP dengan kondisi lainnya yang meragukan. Perubahan – perubahan diatas bisa ditemukan pada
hampir semua kasus trombositopenia yang disebabkan oleh penghancuran platelet besar-besaran
sehingga perubahan tersebut tidak khas dalam menegakkan diagnosis ITP. Perbedaan antara
megakariocyte yang ditemukan pada ITP akut dan kronis tidak jelas dan pemeriksaan sumsum tulang
antiplatelet antibodi
trombositopenia autoimun adalah diagnosis eksklusi dan bergantung pada gambaran klinis.
Beberapa jenis tes antibodi antiplatelet telah dikembangkan dan dilaporkan selama bertahun-tahun.
Pemeriksaan ini mengukur berbagai jenis Ig termasuk antibodi antiplatelet serum, Ig permukaan
terkait-platelet atau Ig trombosit total dan sekarang tidak bisa dijadikan patokan. Pada penelitian
terbaru pada uji antibodi antiplatelet, antibodi monoklonal untuk glicoprotein membran spesifik
platelet yang terlibat dalam ITP digunakan dalam uji penangkapa antigen (juga disebut glycoprotein
immobilization assays). studi terbaru telah melaporkan bahwa spesifisitasnya 78 sampai 93%. Namun
sensitivitas nya (49 sampai 66%) sehingga tidak cukup untuk menyingkirkan ITP jika tes ini
negative. Pada masa yang akan dating mungkin akan digunakan pemeriksaan flow cytometry dalam
2.9 TATALAKSANA
purpura minor. Tatalaksana yang digunakan pada ITP akut diantaranya adalah
Intravenous Immunoglobulin (IVIg), kortikosteroid, dan anti-D immunoglobulin
(anti-D Ig). Peranan obat-obatan tersebut masih kontroversi. Obat-obatan diatas hanya
meningkatkan jumlah platelet namun tidak mempengaruhi perjalanan klinis penyakit
[1]
Terapi Khusus
1. Splenectomy: Direkomendasi pada anak-anak dengan perdarahan
signifikan dan persisten dan respons yang kurang terhadap terapi
kortikosteroid, IVIf, dan anti-D dan/atau membutuhkan peningkatan
kualitas hidup.
2. Rituximab: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak dengan ITP yang
memiliki perdarahan signifikan dan/atau membutuhkan peningkatan
kualitas hidup. Juga dipertimbangkan sebagai alternatif splenectomy
pada anak-anak dengan ITP kronik atau yang gagal splenectomy.
3. Agonis Reseptor Trombopoietin: Masih dipelajari pada berbagai studi
namun belum ada petunjuk penggunaan pada anak yang telah
dipublikasi
4. Deksametason dosis tinggi: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak
atau remaja dengan ITP dengan perdarahan massif dan/atau
membutuhkan peningkatan kualitas hidup. Dapat dipertimbangkan
sebagai alternative splenectomy pada anak dengan ITP kronik atau
pada pasien yang gagal splenectomy
5. Immunosupresi: Beberapa agen telah dilaporkan, namun data tentang
agen yang spesifik masih kurang untuk rekomendasi.[3]
3. Anti-D Immunoglobulin
+Transfusi Platelet
+Faktor VII A
Daftar Pustaka