Anda di halaman 1dari 48

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Trombosit sangat penting untuk menjaga integritas endotel pembuluh darah dan
mengendalikan perdarahan yang berasal dari cedera pembuluh darah kecil melalui
pembentukan sumbatan trombosit (hemostasis primer). Cedera yang lebih luas dan
keterlibatan pembuluh darah yang lebih besar memerlukan, selain trombosit, partisipasi dari
system koagulasi untuk menciptakan sumbatan fibrin yang lebih kuat dan stabil (hemostasis
sekunder). Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang
dari 150 x 103/µL atau 150 x 109/L, dan merupakan penyebab utama dalam gangguan
hemostasis primer yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada anak-anak.

Trombositopenia harus dicurigai ketika seorang anak datang dengan riwayat mudah
memar dan berdarah, terutama pada mukosa atau kulit. Namun, yang paling umum terjadi
dalam pasien anak dengan trombositopenia adalah penemuan tak terduga trombosit rendah
pada hitung darah lengkap (complete blood count) tanpa alasan yang jelas.

Trombositopenia dapat disebabkan oleh satu dari dua mekanisme, yaitu penurunan
produksi trombosit atau peningkatan penghancuran trombosit di dalam sirkulasi. Manajemen
pada trombositopenia harus disertai dengan pemahaman terhadap penyebab dan perjalanan
klinisnya. Tujuan utama manajemen pasien dengan trombositopenia adalah untuk
mempertahankan jumlah trombosit berada pada level yang aman untuk mencegah perdarahan
yang signifikan. Hal-hal yang menentukan berapakah level aman trombosit pada pasien
tertentu bervariasi, tergantung dari penyebab trombositopenia itu sendiri dan pertimbangan
dari semua aspek lain dalam hemostasis, dan tentu pula tingkat aktivitas pasien itu sendiri.

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas mengenai trombositopenia pada anak.

1.3 Tujuan Penelitian

Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca pada umumnya dan penulis
pada khusunya mengenai penatalaksanaan perdarahan saluran cerna pada anak.
1.4 Metode Penulisan

Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai
literatur.

1.5 Manfaat Penulisan

Referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan
tentang penatalaksanaan perdarahan saluran cerna pada anak.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Tombosit

Trombosit adalah fragmen-fragmen sel tak berinti yang diproduksi dari megakariosit
oleh sumsum tulang. Ketika megakariosit tersebut matur, sejumlah besar trombosit
dilepaskan ke dalam sirkulasi. Setelah dilepaskan, usia trombosit itu sendiri berkisar antara 7
sampai dengan 10 hari, setelah itu mereka dihapus dari peredaran oleh sistem monosit dan
makrofag.

Gambar
Trombosit yang beredar melakukan banyak fungsi hemostasis penting. Ketika ada
pembuluh darah kecil terbelah, trombosit berakumulasi pada lokasi cedera dan membentuk
sumbatan hemostatik. Adhesi platelet diawali oleh kontak dengan komponen ekstravaskular
seperti kolagen, dan difasilitasi dengan adanya faktor Von Willebrand. Sekresi mediator-
mediator hemostasis seperti tromboksan, adenosine 5 difosfat, serotonin, dan histamine
menyebabkan terjadinya agregasi yang kuat melalui ikatan fibrinogen dan peningkatan
vasokonstriksi lokal. Trombosit juga berperan dalam penghancuran kembali bekuan darah.
Risiko perdarahan meningkat dengan rendahnya jumlah trombosit.

Rentang hitung jumlah trombosit normal berkisar antara 150 - 450 x 10 3/µL. Risiko
perdarahan tidak akan meningkat sampai penurunan jumlah trombosit yang signifikan hingga
dibawah 100 x 103/µL (Gambar 1). Jumlah trombosit lebih besar dari 50 x 10 3/µL cukup
untuk kelangsungan hemostasis dalam sebagian besar situasi, dan pasien dengan
trombositopenia ringan kemungkinan besar tidak akan diketahui kecuali jika hitung trombosit
dilakukan atas alasan yang lain. Pasien dengan trombositopenia sedang, dengan jumlah
trombosit antara 30 sampai 50 x 10 3/µL jarang mengalami gejala (seperti mudah lecet atau
berdarah), bahkan dengan trauma yang signifikan. Pasien yang secara persisten hitung
trombositnya antara 10 - 30 x 103/µL kadangkala juga tanpa gejala dengan aktivitas
keseharian yang normal namun memiliki risiko perdarahan berlebihan pada trauma yang
signifikan. Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali hitung trombositnya kurang dari 10
x 103/µL. Pasien seperti ini biasanya mengalami ptekie dan lecet, namun bahkan kadangkala
juga asimptomatik. Pada sebagian besar kasus, terlihat bahwa jumlah trombosit harus kurang
dari 5 x 103/µL untuk menyebabkan perdarahan kritis spontan (seperti perdarahan intracranial
tanpa disebabkan trauma).
Gambar 1. Hubungan antara perdarahan mayor dengan jumlah trombosit. Disadur dari
Slichter SJ. Relationship between platelet count and bleeding risk in thrombocytopenic
patients. Transfus Med Rev. 2004;18:153–167

Trombosit muda memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih aktif secara hemostasis.
Maka dari itu, pasien dengan trombositopenia destruktif dengan produksi normal tidak akan
mengalami perdarahan hebat karena banyaknya trombosit muda, jika dibandingkan dengan
pasien yang memiliki gangguan fungsi trombosit yang mengakibatkan trombosit tua lebih
banyak di sirkulasi.

2.3 Definisi

Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang dari
150 x 103/µL atau 150 x 109/L, dan merupakan penyebab utama dalam gangguan hemostasis
primer yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada anak-anak. Jika jumlah
trombosit berkurang manifestasi klinisnya ditandai dengan timbulnya ptekie, purpura,
perdarahan pada mukosa, biasanya sering pada mukosa hidung dan mulut.

2.4 Epidemiologi
ITP diperkirakan merupakan salah satu penyebab kelainan perdarahan didapat yang
banyak ditemukan, insiden penyakit simtomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000 anak
pertahun. 80-90% anak dengan ITP menderita episode perdarahan akut yang akan sembuh
dalam 6 bulan. Pada ITP akut tidak ada perbedaan insiden laki-laki maupun perempuan dan
akan mencapai puncak pada usia 2-5 tahun. ITP kronis terjadi pada anak usia > 7 tahun,
sering terjadi pada anak perempuan. ITP rekuren didefinisikan sebagai adanya episode
trombositopenia > 3 bulan dan terjadi pada 1-4 % dengan ITP.

2.5 Etiologi

Trombositopenia dapat disebabkan karena

1. Produksi trombosit yang berkurang


 Pansitopenia
Pansitopenia bisa disebabkan karena keganasan (leukemia) , infiltrasi pada
sumsum tulang (neuroblastoma), kegagalan pada sumsum tulang (anemia
aplastik), infeksi virus (HIV) , obat-obatan yang toksik, dan radiasi.

 Trombopoesis yang tidak efektif


- Dapat ditemukan pada kelainan kongenital yang jarang,yaitu
thrombocytopenia – absent radius (TAR) syndrom , Wiskott Aldrich
syndrom, trombosistopenia amegakariosit kongenital, penyakit platelet
raksasa (Bernand-soulier Syndrom)
- Infeksi virus, contonhya EBV, CMV, parvovirus

2. Peningkatan konsumsi trombosit


 Imun
- Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
- Penyakit autoimun dan kolagen-vaskuler (SLE)
- Disebabkan virus HIV
- Trombositpenia diinduksi obat,contohnya heparin
 Nonimun
- Disseminated intravascular coagulation (DIC)
- Hemolytic – Uremic syndrom (HUS)
- Sepsis
- Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)

3. Destruksi trombosit
Keadaan ini dapat ditemukan pada hipersplenisme, yaitu aktivitas lien yang
berlebihan dapat disebabkan karean infeksi, inflamasi, kongesti, kelainan sel darah
merah.

4.Dilusi dari trombosit

2.5 Patofisiologi

Penyebab Trombositopenia

Sistem yang digunakan untuk mengklasifikasikan trombositopenia didasarkan oleh


mekanisme penyebab trombositopenia, yaitu peningkatan destruksi trombosit dan
pengurangan produksi trombosit (Tabel 1).

A. Penurunan Produksi

Gangguan produksi trombosit mungkin karena kehilangan infiltrasi dari sumsum tulang,
penghancuran atau kegagalan elemen selular, atau kelainan dalam pembentukan megakariosit

dan diferensiasi sel. Dalam pengaturan ini, pemeriksaan sumsum tulang umumnya
menunjukkan penurunan jumlah megakariosit. Penyebab disfungsi sumsum tulang

meliputi:

● Penyakit jantung sianotik

● Kegagalan Sumsum tulang kegagalan atau infiltrasi sel

● Kekurangan gizi

 Gangguan Aktivasi trombosit sistemik dan penggunaan trombosit

A.1 Penyakit Jantung sianotik

Penyakit jantung bawaan sianotic berhubungan dengan trombositopenia. Penyebabnya


tidak jelas, tetapi mekanisme tampaknya melibatkan penurunan produksi megakaryoctes.
Sehingga mengakibatkan tejadinya trombositopenia.
A.2 Kegagalan Sumsum Tulang atau infiltrasi

Trombositopenia terkait dengan anemia dan leukopenia (yaitu, pansitopenia)


menunjukkan disfungsi sumsum tulang umum atau infiltrasi. Gangguan serius seperti
leukemia atau kanker lainnya, lymphohistiocytosis hemophagocytic, anemia aplastik yang
didapat, myelodysplasia, dan sindrom kegagalan sumsum tulang yang diturunkan seperti
Fanconi pansitopenia sindrom dan dyskeratosis congenita dapat hadir dengan pansitopenia.
Disfungsi sumsum tulang juga dapat disebabkan oleh paparan agen kemoterapi atau radiasi.

Lymphoblastic leukemia akut adalah leukimia yang paling umum. Anak yang terkena
biasanya memiliki temuan klinis dan laboratorium lain selain trombositopenia. Manifestasi
meliputi gejala sistemik seperti demam, nyeri tulang, dan penurunan berat badan serta
hepatosplenomegali, limfadenopati, leukositosis, dan anemia.

Anemia aplastik didapat adalah kelainan langka yang disebabkan oleh kegagalan
sumsum tulang. Gejala spesifik yang terkait dengan anemia aplastik didapat bisa bervariasi,
seperti demam, kelelahan, pusing, lemah, sakit kepala, dan episode perdarahan yang
berlebihan. Pansitopenia merupakan gejala yang sering muncul. Berdasarkan respon, sekitar
50% dari pasien yang diberikan obat imunosupresif, termasuk globulin antithymocyte,
siklosporin, kortikosteroid dosis tinggi, dan cyclophosphamide, kebanyakan kasus sekarang
diyakini disebabkan oleh kerusakan kekebalan yang dimediasi dengan sel-sel induk
hematopoietik.

Sindrom Fanconi pansitopenia merupakan gangguan resesif autosomal yang jarang


terjadi. Usia rata-rata saat diagnosis pansitopenia adalah sekitar 6 sampai 9 tahun, namun
gejala dapat ditemui lebih awal berupa cacat bawaan yang hadir dalam 60% sampai 70% dari
pasien yang terkena. Yang paling umum adalah malformasi makula hipopigmentasi, café-au-
lait makula, kelainan jempol, microcephaly, dan kelainan urogenital. Perawakan pendek pada
prenatal juga dapat dilihat.

A.3 Defisiensi Nutrisi

Kekurangan Folat, vitamin B12, dan besi dikaitkan dengan trombositopenia.


kekurangan Folat dan vitamin B12 dapat mengganggu produksi sumsum tulang untuk
menghasilkan trombosit sehingga bisa terjadi trombositopenia yang akhirnya menjadi
pansitopenia. Sedangkan kekurangan zat besi dapat menyebabkan trombositosis atau
trombositopenia dikarenakan mengganggu tahap akhir dari pembentukan trombosit.

A.4 Penyebab Genetik Gangguan pembentukan trombosit

Sejumlah besar penyakit langka yang diturunkan sering dengan keadaan jumlah
trombosit yang berkurang, dan terganggunya fungsi trombosit. Kondisi ini timbul dari cacat
genetik megakariosit yang menghasilkan gangguan thrombopoiesis. Pertimbangan
trombositopenia bawaan lebih besar dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat
trombositopenia berkepanjangan tanpa gejala dengan jumlah trombosit normal atau riwayat
keluarga trombositopenia. Beberapa pasien dengan trombositopenia bawaan dan diagnosis
dugaan ITP hingga ditemukan anggota keluarga lain yang memiliki jumlah trombosit yang
rendah. Tabel 1 menguraikan penyebab genetik thrombopoiesis gangguan.

Penyebab ganguan trombopoiesis

Diagnosis Cara Penyebab manifestasi gambaran prognosis tatalak


penurunan klinis laboratoriu sana
genetik m
trombosit variable  penyebab  trombositope  Tidak ada Angka kematian Transf
poenia inheritan genetik ni yang atau banyak terjadi pada usi
dengan ce yang belum parah. menurunn infant akibat platelet
kehilanga jelas  Kehilangan ya jumlah perdarahan
n radii kemungkin radii megakario intrakranial.
syndrome an defek bilateral sit yang jika pasien
kematanga  Ibu jari nyata. bertahan,trombositope
n normal  Pematanga nia sering terjadi pada
megakarios  Kelainan n Eritroid beberapa tahun
it. skeletal, dan berikutnya.
 tidak genitourinar mieloid
melibatkan y, dan yang
trombopoie jantung . normal
tin dan
reseptor
trombopoie
tin
amegakar autosoma mutasi pada severe but  Tidak ada sering berkembang  Plate
iosit l resesif gen reseptor isolated atau menjadi pansitopenia let
trombosit trombopoieti trombositopenia menurunn dan transformasi tran
penia n, ya jumlah leukemic. sfusi
kongenita mengakibatk megakario  Tran
l an hilangnya sit yang spla
atau tidak nyata. ntasi
berfungsinya  Pematanga sums
reseptor n Eritroid um
trombopoieti dan tula
n mieloid ng
yang
normal
Sindrom kelainan gen  Dermatitis  small (3-5 angka bertahan hidup splenek
Wiskott- x-linked abnorman atopik fl) jarang pada remaja. tomi
Aldrich resesif pada lengan  Trombositope defective infeksi dan perdarahan dapat
proksimal ni purpura platelet merupakan penyebab mening
kromosom X  Peningkatan  gambaran utama kematian katkan
yang kerentanan normal 12% kejadian jumlah
mengode terhadap megakario merupakan kasus platelet
pengaturan infeksi sit keganasan namun
protein sering
limfosit dan mangki
fungsi batkan
platelet kompli
kasi
sepsis
dan
kemati
an
penyakit autosoma disfungsi mudah memar makrotromb kecenderungan untuk
platelet l resesif atau atau perdarahan ositopeni, perdarahan sepanjang bernar
raksasa kehilangan hebat karena disfungsi hayat d-
 Be reseptor trauma/tindakan platelet soulier,
rn platelet bedah berat MYH9
an untuk faktor rd
d- Von desmop
so willebrand resin
uli (GP-Ib-IX-V) asetat
er dapat
Sy mempe
nd rpende
ro k
m waktu
perdar
ahan,tr
ansfusi
platelet
untuk
kepenti
ngan
bedah/
perdar
ahan
hebat.
Pasien
dengan
Bernar
d-
Soulier
dapat
membe
ntuk
antibod
i
antipla
telet
karena
adanya
GP-Ib-
IX-v
pada
platelet
yang
ditranf
usikan.
MYH9- aotosomi Mutasi pada perdarahan, makrotromb
Related nal nonmuscle nefritis, tuli, ositopenia, tuli sensori neural
Disease dominan myosin heavy katarak,Epstein inklusi dengan progresifitas
(MYH9 chain gene fechtner,sebastia leukosit,hem yang tinggi,
RD) (MYH9) n sindrom atau aturia,protei glomeronefritis dan
May-Hegglin nuria, katarak bisa timbul
anomali kapan saja saat bayi
didiagnosi sampai dewasa
berdasarkan
pada manifestasi
klinis yang
spesifik

B. Peningkatan Destruksi Trombosit

Gangguan yang menyebabkan peningkatan destruksi atau hilangnya trombosit dari


sirkulasi biasanya menghasilkan gambaran pembesaran trombosit dalam sediaan apus darah
tepi, hal ini menandakan bahwa sumsum tulang memproduksi trombosit baru sebagai
kompensasi atas hancurnya trombosit. Dalam keadaan ini, pemeriksaan sumsum tulang
biasanya menunjukkan megakariosit yang normal atau meningkat. Mekanisme destruksi yang
menyebabkan trombositopenia antara lain :

- Destruksi melalui respons imun


- Aktivasi dan konsumsi trombosit
- Destruksi trombosit secara mekanik
- Mengumpul dan terjebaknya trombosit.

Destruksi melalui respons imun

Adalah penyebab utama trombositopenia akibat peningkatan hancurnya trombosit


pada bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh mekanisme imunitas. Autoantibodi, antibodi
drug-dependent, atau alloantibodi dapat menyebabkan destruksi trombosit melalui interaksi
dengan antigen membrane pada trombosit, yang meningkatkan klirens trombosit dari
sirkulasi.

ITP (Immune Thrombocytopenic Purpura) primer adalah penyakit autoimun yang


ditandai oleh trombositopenia terisolasi tanpa adanya penyebab yang jelas. Sebelumnya ITP
berarti Idiopathic Thrombocytopenic Purpura. Terminologi baru mencerminkan pengetahuan
baru akan sifat autoimun pada penyakit ini dan tidak adanya tanda-tanda perdarahan pada
sebagian besar kasus. Jumlah trombosit yang menggambarkan ITP pada saat ini adalah
kurang dari 100 x 103/µL. Terminologi ITP sekunder merujuk pada trombositopenia immune-
mediated akibat penyakit tertentu atau obat-obatan . perbedaan pada ITP primer dan sekunder
sangat mempengaruhi prognosis dan terapi.

ITP adalah penyebab paling banyak trombositopenia imun pada anak-anak, dengan
tingkat insidens kasus simptomatik antara 3 sampai 8 per 100.000 anak tiap tahun. Pasien
pediatrik yang mengalami ITP biasanya berumur 2 sampai 10 tahun, dengan insidens
tertinggi antara usia 2 sampai 5 tahun. Tidak terdapat bias gender yang signifikan terhadap
insidens ITP pada anak-anak. Merupakan penyebab tersering trombositopenia tanpa anemia
atau neutropenia.

Kasus tipikal ITP simptomatik pada anak-anak ditandai oleh munculnya lecet atau
perdarahan mukokutan tiba-tiba pada anak yang kelihatannya sehat, seringkali diawali oleh
penyakit infeksi virus. Peningkatan risiko ITP juga dihubungkan oleh imunisasi measles,
mumps, dan rubella (MMR) yang berkontribusi sekitar 50% kejadian ITP pada tahun kedua
setelah lahir. Bentuk ITP ini biasanya sementara dan jarang menyebabkan perdarahan yang
parah.

ITP sekarang diklasifikasikan oleh durasi, mulai dari baru didiagnosis, persisten
(durasi 3-12 bulan) dan kronik (lebih dari 12 bulan).Sedangkan ITP pada dewasa biasanya
memiliki onset yang tiba-tiba dan diikuti oleh fase kronik. ITP pada anak biasanya
berlangsung singkat dan sekitar dua pertiga pasien mengalami sembuh total dalam 6 bulan,
dengan atau tanpa pengobatan.

- ITP Kronis
Anak yang mengalami ITP persisten ataupun kronik yang mengalami gejala atipikal
sebaiknya dirujuk atau dikonsulkan kepada hematologis yang berpengalaman dalam
menangani dan merawat pasien dengan ITP.

Patogenesis ITP Kronis adalah :


Sindrom ITP disebabkan oleh trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi trombosit
spesifik (IgG) yang kemudian akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati
setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Faktor
yang memicu produksi autoantibodi belum diketahui, namun kebanyakan pasien mempunyai
antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit. Autoantibodi terbentuk karena
adanya antigen yang berupa kompleks glikoprotein IIb/IIIa.
Sel penyaji antigen (makrofag) akan merusak glikoprotein IIb/IIIa dan memproduksi
epitop kriptik dari glikoprotein dari trombosit lain. Sel penyaji antigen yang teraktifasi
mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan bantuan konstimulasi dan sitokin
yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif antiglikoprotein Ib/IX antibodi
dan meningkatkan produksi antiglikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B-cell clone Sensitisasi
trombosit oleh autoantibodi (biasanya IgG) menyebabkan disingkirkannya trombosit tersebut
secara prematur dari sirkulasi oleh makrofag sistem retikuloendotelial, khususnya limpa.
Biasanya pada tempat-tempat khusus yaitu di Iib-IIIa atau kompleks Ib. Masa hidup
trombosit pun akan menurun menjadi beberapa jam yang seharusnya 7 hari. Massa
megakariosit total dan perputaran trombosit meningkat secara sejajar menjadi sekitar lima
kali normal.

Penyakit Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik) dapat ditemukan berkaitan


dengan penyakit autoimun seperti Systemic Lupus Eritematosus (SLE), infeksi Virus
imunodefisiensi manusia (HIV), leukemia limfositik kronis (CLL), penyakit Hodgkin atau
nemia hemolitik autoimun. Sindrom Evans ditandai oleh uji Coombs yang positif pada
anemia hemolitik yang dihubungkan dengan trombositopenia imun. Immune-mediated
Trombositopenia juga terjadi pada sindrom antibody antiphospolipid dan sindrom autoimun
lymphoproliferatif. Penyakit autoimun lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua dan
memiliki onset tiba-tiba dan trombositopenia persisten dalam 6 bulan setelah pasien datang.

-ITP akut

Sering terjadi pada anak-anak. Sekitar 75% pasien, episode tersebut terjadi setelah
vaksinasi atau infeksi seperti cacar air atau mononukleosis infeksiosa. Kelainan yang
swasirna ini paling sering terlihat pada anak-anak sesudah terinfeksi virus (misalnya infeksi
virus rubela, sitomegalovirus, virus hepatitis, monontikleosis infeksiosa). Penghancuran
trombosit disebabkan oleh auto antibodi anti trombosit yang transien. Sebagian besar kasus
terjadi akibat perlekatan kompleks imun non spesifik. Remisi spontan lazim terjadi tetapi 5-
10% kasus penyakit tersebut menjadi kronis (berlangsung > 6 bulan).
a. Infeksi
Trombositopenia akibat infeksi tidak terkait dengan DIC biasanya disebabkan oleh
supresi sumsum tulang. Dalam beberapa kasus, peningkatan kerusakan akibat proses infeksi
yang disebabkan sistem imun atau splenomegali dan hiperaktif retikuloendotelial dapat
menambah masalah pada supresi sumsum tulang. Agen menular yang paling umum yang
terkait dengan trombositopenia karena penekanan sumsum tulang adalah Epstein-Barr virus,
cytomegalovirus, parvovirus, virus varicella, dan rickettsiae.Pada kebanyakan kasus,
trombositopenia bersifat sementara, dengan pemulihan dalam waktu hitungan minggu.
Trombositopenia paling sering ditemukan pada pasien yang terinfeksi human
immunodeficiency virus (HIV) yang penghancuran platelet dan gangguan produksi
sepertinya memainkan peran dalam menurunkan jumlah trombosit.

Trombositopenia akibat infeksi pada beberapa keadaan mempunyai hubungan dengan


produksi berkurang dan meningkatnya penghancuran trombosit. Peningkatan penghancuran
trombosit pada penyakit infeksi, secara keseluruhan tergantung penyebabnya dan diketahui
akibat pengaruh imun dengan mekanisme yang belum jelas.

b. Drug induced trombositopenia

Mekanisme Penyebab Drug Induced Trombocytopenia

 Klasifikasi Mekanisme Kejadian Contoh obat

Hapten- Hapten menyambungSangat cepat Penisilin, Kemungkinan


dependent secara kovalen pada beberapa antibiotic
antibody membrane protein dan sefalosporin
menginduksi obat dengan
respon imun spesifik

Kuinin Obat menginduksi antibodi26 dari satu jutaKuinin, sulfonamide,


yang mengikat kepengguna kuinin peranti-inflamasi
membrane protein dalamminggu, mungkin lebihnonsteroid (AINS)
keadaan obat terlarut sedikit kasusnya pada
obat lainnya

Obat tipe Fiban Obat bereaksi dengan GP0,2-0,5 % Tirofiban, eftifibatide


IIb/IIIa untuk menginduksi
adanya perubahan bentuk
(neoepitop) obat

Obat-antibodi Antibody mengenali0,5-1,0 % setelahAbciximab


spesifik komponen murin daripaparan, 10-14%
fragmen Fab untuksetelah paparan kedua
membrane trombosit GP
IIIa

Autoantibodi Obat menginduksi antibody1,0% dengan emas,Garam emas,


yang bereaksi dengansangat cepatprokainamida
trombosit autologi dalamprokainamida dan obat
kehilangan obat lainnya.

Kompleks imun Obat mengikat pada platelet3-6 % diantara pasienHeparin


factor 4 (PF4),diterapi dengan heparin
memproduksi kompleksselama 7 hari, cepat
imun untuk antibody yangdengan heparin berat
spesifik, kompleks imunmolekul rendah
mengaktifkan trombosit
melalui reseptor Fc

 Kriteria Diagnosis Drug Induced Trombocytopenia:

 1.      Terapi dengan obat kandidat mendahului terjadinya trombositopenia dan setelah


terapi dihentikan, jumlah trombosit menjadi normal dan hal ini menetap.
2.      Obat kadidat adalah satu-satunya obat yang diberikan sebelum onset
trombositopenia, atau jika obat lain terus diberikan setelah penghentian obat kandidat
jumlah trombosit tetap normal.

3.      Penyebab trombositopenia lain sudah disingkirkan.

4.      Trombositopenia akan kembali terjadi jika obat kandidat diberikan lagi.

 Tingkatan Bukti

 I (Definite) Pasti          = jika kriteria 1,2,3,4 terpenuhi

II (Probable)               = jika kriteria 1,2,3 terpenuhi

III (Possible)               = jika hanya kriteria 1 terpenuhi

IV (Unlikely)               = jika kriteria 1 pun tidak terpenuhi.

(George, et al. 1998, 2007; Rahajuningsih D Setiabudy, 2007).

Kuinin

            Kuinin merupakan obat yang digunakan untuk mengobati penyakit malaria dan kram
otot. Sedangkan kuinidin digunakan sebagai pengobatan terhadap cardiac arrhythmia. DIT
akibat kuinin terjadi bukan pada pemberian pertama, tetapi setelah pemakaian berulang-
ulang. Epitop dari sel target dari antibodi sering di glikoprotein The IIb/IIIa or Ib/V/IX
complexes,the major platelet receptors for fibrinogen and von Willebrand factor.
 Antagonis Glikoprotein (GP) IIb/IIIa

            GP II b/IIIa  merupakan reseptor fibrinogen dalam proses agregasi trombosit maka


obat ini antagonis terhadap reseptor tersebut sehingga menghambat proses agregasi
trombosit sehingga dapat mencegah terjadinya thrombosis. Obat ini bekerja secara
kompetitif dalam menghambat ikatan antara fibrinogen ke GP IIb/IIIa. Ada tiga macam
obat jenis ini yang sedang dikembangkan di Amerika Serikat, yaitu abciximab, tirofiban,
dan eptifibatide. Obat tirofiban dan eptifibatide diduga mengakibatkan perubahan pada
glikoprotein begitu berikatan dengan GP IIb/IIIa. Perubahan yang terjadi menyebabkan
ekspresi dan antigen baru yang dinamakan ligand-induced binding sites (LIBS) yang
kemudian merangsang pembentukan antibodi.

 Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT)


            Heparin mempunyai efek antikoagulan karena meningkatkan aktivitas antitrombin
untuk menetralkan thrombin dan protease serin lainnya. Pada HIT terjadi kompleks antara
antibodi dengan heparin-platelet factor 4 (PF4) akan mengikat trombosit melalui reseptor
Fc sehingga mirip dengan hipotesis innocent bystander.

 Hipotesis Hapten- Ackroyd

            Obat dianggap sebagai hapten di mana hapten tersebut akan membentuk ikatan
kovalen dengan trombosit sehingga terbentuk kompleks antigen yang terdiri dari obat-
trombosit. Selanjutnya kompleks ini akan merangsang pembentukan antibodi yang dapat
mengenali dan mengikat tombosit dan akan didestruksi oleh RES sehingga terjadi
trombositopenia.

 Teori Innocent Bystander oleh Miescher dan Schulman

            Teori ini merupakan teori bantahan dari hipotesis hapten Ackroyd setelah
Miescher dan Schulman melakukan penelitian padaquinine-induced
thrombocytopenia. Menurut Schulman ikatan antara obat dengan trombosit bersifat lemah
dan mudah terlepas dengan permbersihan darah. Selain obat tersebut yang bebas yang
berlebih tidak dapat menghambat pengikatan antibody dengan trombosit. Oleh karena itu,
Schulman mengusulkan teori innocent bystander. Teori ini mengungkapkan bahwa obat
berikatan erat dengan protein plasma dan merangsang pembentukan antibodi. Kompleks
imun yang antara antibody-antigen (obat-protein plasma) akan diabsorbsi oleh trombosit
secara non spesifik melalui reseptor Fc dan kemudian trombosit ini dihancurkan oleh
RES.

            Namun akhir-akhir ini terdapat bukti yang menentang teori ini karena antibody
mampu mengenali glikoprotein pada membran trombosit serta mengikat  trombosit
melalui Fab dan bukan melalui Fc. Kecuali mungkin pada trombositopenia akibat
penicillin dosis tinggi, karena obat golongan tersebut mampu membentuk ikatan kovalen
dengan membran trombosit sehingga trombositopenia terjadi menurut mekanisme hapten.

Obat yang menginduksi terjadinya Autoantibodi

Obat yang menginduksi terjadinya autoantibodi yang akan menginduksi


penghancuran trombosit. Biasanya oleh obat-obatan artritis rheumathoid, procainamid,
antibiotik sulfonamid dan beta alfa interferon.
Drug-induced trombositopenia adalah penyebab jarang trombositopenia pada anak.
Pengobatan dimulai dalam bulan sebelumnya dan lebih mungkin terjadi trombositopenia pada
pengobatan dalam jangka waktu lama. Drug induced thrombocytopenia biasanya disebabkan
oleh antibody-tergantung-obat yang terbentuk terhadap antigen pada permukaan trombosit.
Trombositopenia akibat heparin, yang dapat dihubungkan dengan thrombosis parah,
disebabkan oleh pembentukan antibody terhadap kompleks heparin-platelet factor 4. Jumlah
trombosit akibat heparin biasanya sedikit berkurang.

Meskipun kondisi ini lebih sering terlihat pada dewasa, heparin-induced sering terjadi
pada anak-anak. Obat lain yang biasa digunakan dalam pediatri yang dapat menyebabkan
trombositopenia termasuk carbamazepine,fenitoin, asam valproat, trimethoprim
/sulfamethoxazole, dan vankomisin. Diagnosis pendukung untuk penegakan diagnosis
trombositopenia adalah trombositopenia yang diinduksi obat. Dengan penggunaan
trombositopenia dalam waktu kurang 1 minggu penarikan obat.

Mekanisme Penghancuran Trombosit

Penggunaan extracorporeal terapi, seperti membran extracorporeal oksigenasi bypass,


cardiopulmonary, hemodialisis, dan apheresis, dikaitkan dengan kerusakan mekanis
trombosit, yang dapat mengakibatkan trombositopenia. Transfusi tukar juga dapat
mengurangi jumlah trombosit oleh karena kerugian dalam pertukaran cairan. Perdarahan
berkelanjutan yang memburuk membutuhkan transfusi darah yang cepat dan berulang-ulang
sehingga sel darah merah dapat menyebabkan trombositopenia karena fenomena “cuci
bersih”.

Penyerapan dan Pembersihan Trombosit

Tentang sepertiga dari massa trombosit biasanya dibersihkan dalam limpa pada waktu
tertentu. Sebuah proporsi yang lebih besar dari trombosit yang dibersihkan pada pasien yang
mengalami hipersplenisme sehingga mengurangi jumlah trombosit beredar dan menyebabkan
trombositopenia. Kelangsungan hidup trombosit pada orang yang memiliki hipersplenisme
normal atau hampir normal penyatuan dan tidak tersedianya trombosit yang "Terjebak" di
limpa merupakan masalah. Leukopenia atau anemia juga mengikuti jumlah trombosit yang
rendah disebabkan oleh hipersplenisme. Kondisi dalam kategori ini meliputi:

 Penyakit hati kronis dengan hipertensi portal dan kongestif splenomegali. Kadang-
kadang trombositopenia,terdeteksi mungkin manifestasi awal bahwa ini merupakan
penyakit jenis penyakit hati kronis. Jumlah trombosit biasanya dalam kisaran 50
sampai 100 103 /g L (50 sampai 100 103 /? L) dan biasanya tidak mewakili klinis
Masalah penting.

● Tipe 2B dan platelet-tipe von Willebrand penyakit.

Trombositopenia dalam gangguan ini disebabkan oleh meningkatnya penghapusan


trombosit dari peredaran. Peningkatan pengikatan antara lebih besar faktor von
Willebrand multimers dan platelet menyebabkan pembentukan kecil platelet agregat
yang dibersihkan dari sirkulasi,menghasilkan jumlah trombosit rendah.

TROMBOSIT DAN AKTIVASI KONSUMSI

Pada pasien yang mengalami koagulasi intravaskular diseminata (DIC) dan gangguan
mikroangiopati hemolitik-uremik sindrom (HUS) dan trombotik thrombocytopenic purpura
(TTP), trombositopenia terjadi karena aktivasi trombosit sistemik, agregasi,dan konsumsi.
Lebih lokal platelet activation and consumption berkontribusi pada seperti di Kasabach-
Merritt syndrome (KMS), necrotizing enterocolitis (NEC), dan trombosis pada bayi dan
neonatus. Pada bayi yang memiliki KMS, trombositopenia hasil dari masa hidup platelet yang
singkat yang disebabkan oleh penyerapan trombosit dan aktivasi koagulasi malformasi
pembuluh darah trunkus, ekstremitas, atau lapisan visera abdominal. lesi Cutaneous
pembuluh darah pada saat lahir pada sekitar 50% dari pasien. Deteksi lesi viseral
membutuhkan pencitraan. Semua pasien mengalami trombositopenia berat,
hypofibrinogenemia,meningkatkan degradasi fibrin produk, dan fragmentasi sel darah merah
di PBS.

NEC adalah sindrom nekrosis pencernaan yang terjadi pada 2% sampai 10% dari bayi
yang berat lahir yang kurang dari 1.500 g. Trombositopenia merupakan temuan yang sering
dan dapat mengakibatkan pendarahan yang signifikan. Pada awal tahap NEC, jumlah
trombosit menurun berkorelasi dengan kehadiran nekrotik usus dan penyakit memburuk.
Mekanisme utama trombositopenia muncul menjadi penghancuran platelet, meskipun
kerusakan tidak disebabkan oleh laboratorium-terdeteksi DIC dalam kebanyakan kasus.

Trombosis pada bayi dan neonatus sering disertai oleh trombositopenia. Sebuah
gangguan tromboemboli harus dipertimbangkan jika trombositopenia tidak dapat dijelaskan
oleh kondisi lain.

C. Disseminata Intravascular Coagulation (DIC

1. Aktivasi system koagulasi (consumptive coagulopathy)


Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat
aktivasi s i s t e m  pembekuan darah secara sistemik. Trombosit yang
m e n u r u n t e r u s - m e n e r u s , komponen fibrin bebas yang terus berkurang, disertai
tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah
k e c u r i g a a n k e D I C . K a r e n a d i p i c u  penyakit/trauma berat, akan terjadi
aktivasi pembekuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi dalam
pembuluh darah, sehingga menyebabkan
t r o m b u s mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada
kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet
t e r s e b u t , a k a n t e r j a d i komplikasi perdarahan.
 Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi s i s t e m
fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular.
D a l a m sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin)
juga  j u s t r u d a p a t m e n y e b a b k a n p e r d a r a h a n . K a r e n a n y a , p a s i e n d e n g a n
D I C d a p a t terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan, keadaan
ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana.
  Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang
c u k u p kompleks. Jalur utamanya terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan trombin
dengan perantara faktor pembekuan darah. Kedua, terdapat disfungsi
fisiologisa n t i k o a g u l a n , m i s a l n y a p a d a s i s t e m a n t i t r o m b i n d a n s i s t e m
p r o t e i n C , y a n g membuat pembentukan trombin secara terus-menerus. Sebenarnya ada
juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga menyebabkan
gangguanfibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah. Sistem-sistem
yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar  inhibitor
fibrinolitik PAI-1. Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus D I C d a p a t
terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik yang
m e n y e b a b k a n  perdarahan.

2. Depresi Prokoagulan
DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah,
itulah penyebab utamanya. Karena banyak sekali kemungkinan
g a n g g u a n p r o d u k s i faktor pembekuan darah, banyak pula penyakit yang akhirnya dapat
menyebabkank e l a i n a n ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah
t e r s e d i a n y a p r o t r o m b i n (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-
faktor pembekuan darah,sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda
telah terjadi pembekuandarah.
Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam
setelahterjadinya bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-
antibodi.F a k t o r k o a g u l a s i y a n g r e l a t i f m a y o r u n t u k d i k e n a l i a l a h s i s t e m
V I I ( a ) y a n g memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama jalur
ekstrinsik.Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu
sendiri,terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang
peranan penting dalam pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri
berasald a r i s e l - s e l m o n o n u k l e a r d a n s e l - s e l e n d o t e l i a l . S e b a g i a n
penelitian j u g a mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga dari sel-sel
polimorfonuklear.
 Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasifaktor-
faktor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dani k u t a n d i l
dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin
III,terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini
disebabkankombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin,
d e g r a d a s i o l e h e n z i m elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil
yang teraktivasi sertas i n t e s i s yang abnormal. Besarnya kadar
a n t i t r o m b i n I I I p a d a p a s i e n D I C  berhubungan dengan peningkatan mortalitas
pasien tersebut. Antitrombin III yangr e n d a h j u g a d i d u g a b e r p e r a n s e b a g a i
b i a n g k e l a d i t e r j a d i n y a D I C h i n g g a mencapai gagal organ.
Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula
t e r j a d i depresi sistem protein C sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur
protein Cini disebabkan down regulation trombomodulin akibat sitokin proinflamatori
darisel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan
interleukin1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen pembentuk protein C
akanmenyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan darah akanterus
menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan  bahwa
protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC.
  Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah
yangmemang berfungsi menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan
darah.Senyawa ini dinamakan tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa
inimemblok pembentukan faktor pembekuan (bukan memblok jalur pembekuan itusendiri),
sehingga kadar senyawa ini dalam plasma sangatlah kecil, namanya pun jarang sekali kita
kenal dalam buku teks. Pada penelitian dengan menambahkan T F P I r e k o m b i n a n
k e d a l a m p l a s m a , s e h i n g g a k a d a r T F P I d a l a m t u b u h j a d i meningkat dari
angka normal, ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksidan inflamasi sistemik.
Tidak banyak pengaruh senyawa ini pada DIC, namun s e b a g a i s e n y a w a y a n g
mempengaruhi faktor pembekuan darah, TFPI d a p a t dijadikan bahan
pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di masa depan.
3 Defek Fibrinolisis
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti,
karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah.   N a m u n
pada keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel
a k a n menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus
DICyang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C,dan
aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan t e r u s
menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang
jarang,misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau
beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi
hiperfibrinolisis, meskipuntrombosis masih ditemukan di mana-mana serta
perdarahan tetap berlangsung.Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan
koagulasi berlebih pada pembuluhdarah, trombosit akan menurun drastis dan
terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi
hingga kegagalan organ, bahkan kematian.  Perdarahan sistemik tidak ada metode khusus
untuk mendiagnosis DIC selain menilai gejala klinis  berupa perdarahan terus-
menerus dengan gejala sianosis perifer serta melihat hasil lab dengan trombositopenia, masa
perdarahan global yang memanjang signifikan(PT dan aPTT), serta Fibrin Degradation
Produc (FDP), atau spesifiknya D-dimer akan meningkat (walaupun keduanya juga
meningkat pada trauma berat).

Gambar Patofisiologi DIC Menurut Porth

D. Demam Berdarah Dengue


Teori mediator sekarang ini dipikirkan oleh para ahli karena
melanjutkan teori antibody enhancing. Pasien DBD mempunyai kadar TNF-a, lL-6,
IL-i3, lL-18, dan faktor sitotoksik lebih tinggi dibandingkan pasien DD sedangkan
pada pasien SSD mempunyai kadar IL-4, IL-o, lL-8, dan IL-10 yang tinggi. Sitokin
tersebut sangat berperan meningkatkan permeabilitas vaskular dan syok selama
terinfeksi dengue.
Kompleks virus antibodi yang meliputi sel makrofag akan memproduksi sitokin TNF-a,
lFN-y, lL-Z, lL-6, PAF (piatelet activating factor), dan lain-lain yang selanjutnya
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, kerusakan endotel pembuluh darah
sehingga terjadi kebocoran cairan plasma ke dalam jaringan tubuh dan mengakibatkan
syok. Kompleks virus-antibodi juga akan merangsang komplemen yang bersifat vasoaktif
dan prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) Serta
perdarahan. Tingginya kadar pelepasan PAF oleh monosit dengan infeIGi sekunder dapat
pula menjelaskan perdarahan pada DBDISSD. Jadi perdarahan pada DBD dapat
disebabkan oleh tiga kelainan hemostasis utama yaitu vaskulopati, kelainan trombosit,
dan penurunan kadar faktor pembekuan. Pada fase awal demam, perdarahan disebabkan
oleh vaskulopati dan trombositopenia, sedangkan pada fase syok dan syok yang lama,
perdarahan disebabkan oleh trombositopeni diikuti oleh koagulopati terutama sebagai
akibat koagulasi intravaskular rnenyuluruh dan peningkatan fibrinalisis.Faktor sitotoksis
memproduksi sel CD4+T yang akan merangsang makrofag memproduksi TNF-ot dan IL-
18. Kadar faktor sitotoksik berhubungan dengan beratnya penyakit. Selama infeksi
dengue berat beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi supresi respons Th1 dan
didapatkan respons Th2 yang lebih dominan.

E. Hemolytic Uremic Syndrome


Kerusakan sel endotel vaskular merupakan patogenesis utama pada semuabentuk HUS,
dimana terjadi juga kerusakan pada sel tubular ginjal. Toksin Shigayang diproduksi Escherichia
coli dan Shigella dysentriae adalah penyebab umumdari colitis hemoragik dan merupakan salah
satu penyebab HUS.Dalam saluran cerna toksin bakteri menghancurkan sel usus dan
menyebabkan diare lendir darah. Toksin kemudian menyebar melalui pembuluh darah dan
menyerang endotel glomerulus ginjal sehingga terjadi penumpukanfibrin dan trombosit di
tempat kerusakan. Kerusakan sel endotel disebabkan olehproses inflamasi dan non inflamasi.
Proses inflamasi ditandai dengan leukositosisyang terjadi pada fase awal penyakit, temuan
infiltrasi leukosit yang bersifatsementara pada glomeruli, dan aktivasi neutrofil. Toksin shiga
menghasilkan lipopolisakarida yang mengaktivasi neutrofil yang melepaskan TNF ɑ, IL1,
elastase, dan radikal bebas. Adhesi leukosit distimulasi oleh Toksin Shiga1 (Stx1),  

9
 
dimana terjadi interaksi antara leukosit dan endotelium in vitro dan meningkatkanadhesi
leukosit melalui regulasi protein yang bersifat adhesif pada permukaan selendotel. TNF-
ɑ atau LPS menyebabkan apoptosis sel endotel yang terpapar toksin
Shiga.Proses non inflamasi terjadi karena peranan faktor-faktor koagulasi. PadaHUS,studi
koagulasi menunjukkan prothrombin dan waktu paruh tromboplastinyang normal, faktor V
dan VII dapat normal ataupun meningkat, turnoverfibrinogen normal, dan peningkatan
produk pecahan fibrin. Trombositopeniaterjadi karena peningkatan penggunaan dan destruksi
platelet. Usia plateletmemendek dan berakhir pada tingkat degranulasi. Aktivasi platelet
dapatmenurunkan fibrinolisis glomerular lokal melalui produksi PAI-1.Fragmentasi eritrosit
disebabkan oleh pelepasan radikal bebas olehneutrofil yang memediasi peroksidasi lipid pada
membran sel darah merah.Akibatnya, membran sel darah merah menjadi lebih kaku sehingga
saat melewatikapiler glomerulus yang sempit akan mengakibatkan sel darah merah menjadi
lisisdan rusak sehingga terjadi anemia hemolitik mikroangiopati dan penurunan lajufiltrasi
glomerulus serta insufisiensi ginjal.

Gambar 3. Kerusakan ginjal pasien dengan toksin Shiga dari kondisi normal (atas)menjadi
HUS(bawah)
 
10
 
RTE, renal tubular epithelium; RBC, red blood cell; TNF, tumor necrosis factor;IL-1,
interleukin-1; Gb3, globotriaosylceramide; GEC, glomerular endothelialcell; GepC,
glomerular epithelial cell; PMN, polymorphonuclear cell; mes cell,mesangial cell

 
10
 
RTE, renal tubular epithelium; RBC, red blood cell; TNF, tumor necrosis factor;IL-1,
interleukin-1; Gb3, globotriaosylceramide; GEC, glomerular endothelialcell; GepC,
glomerular epithelial cell; PMN, polymorphonuclear cell; mes cell,mesangial cell.
Gambar 4. Patofisologi HUS :
A.
 
Kapiler glomerulus normal yang dilapisi sel endotelB.
 
Gambaran sel endotel normal yang terdiri dari kutub negatif dan PGI2dalam jumlah normal
di endotel sehingga trombosit yang bersirkulasi dilumen kapiler tidak menempel ke
endotel.C.
 
Setelah kerusakan endotel terjadi, sel menjadi bengkak dan terjadikehilangan kutub negatif
serta PGI2, menyebabkan penempelan trombositdan fibrin ke dinding endotel serta terjadi
pemisahan sel endotel daridinding pembuluh darahD.
 
Akibat penyempitan kapiler glomerulus oleh penumpukan fibrin dantrombus, maka eritrosit
yang melewati kapiler menjadi lisis dan rusak danterjadi anemia hemolitik mikroangiopati,
penurunan laju filtrasiglomerulus, insufisiensi ginjal dan trombositopeni.
 
11
 
Beberapa serotype E. Coli yang berhubungan dengan HUS telah dapatdiidentifikasi. Karmali
et al menemukan toksin E. Coli pada 75% pasiendengan HUS. Toksin dari E.coli ini
menyebabkan kematian terhadap sel Veroyaitu sel epitel ginjal monyet hijau sehingga
kemudian dinamai sebagaiverotoksin. Salah satu dari verotoksin ini (VT-1) secara struktural
identik dengan toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella dysentriae dan jenis toksinlain VT-
2 mempunyai 55% - 60% asam amino yang mirip dengan toksinshiga. Verotoksin yang
dihasilkan oleh E.coli O157:H7 juga menyebabkandiare berdarah.Verotoksin terdiri dari sub
unit sentral (A) dan lima sub unit perifer (B).Sub unit perifer (B) membawa reseptor
glikoprotein permukaan sel. Ketikaverotoksin berikatan dengan permukaan sel, terbentuk
endositosis dan subunitsentral (A) dilepaskan ke dalam sitosol, yang kemudian larut dalam
bentuk fragmen (A1). Sub unit A1 berikatan dengan ribosom 60S, menghambattranskripsi
RNA sehingga menyebabkan kematian sel
 
12
 
Gambar 5. Verotoksin sub unit B melekat di permukaan sel dan verotoksinmasuk ke dalam
sel melalui endositosis . Sub unit A kemudian dilepaskanke dalam sel dan terpecah menjadi
fragmen A1. Sub unit A1 berikatandengan ribosom 28S menghambat transkripsi RNA dan
mengganggupembentukan sintesis protein menyebabkan kematian sel.
4
Berdasarkan patofisologi ini, hipotesis perkembangan HUS klasikdapat disusun sebagai
berikut :
1. Infeksi verotoksin dari E. Coli/S. dysentriae menghasilkan diareberdarah2. Penyebaran
toksin melalui pembuluh darah dan perlekatan verotoksinke endotel sel glomerulus
  
3. Pembentukan endositosis dan pelepasan fragmen sub unit sentral dariverotoksin
mengakibatkan gangguan sintesis protein sehinggamenyebabkan kematian dan kerusakan sel
endotel4. Penempelan fibrin dan mikrotrombus ke sel endotel yang rusak menghasilkan
koagulasi intravaskular lokal dan mikroangiopati5. Penyempitan kapiler glomerulus oleh
trombus dan fibrin menyebabkanlisis dan kerusakan sel darah merah yang melewati kapiler.
Sehinggamenyebabkan anemia hemolitik mikroangiopati, penurunan laju filtrasiglomerulus
dan insufisiensi renal.

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Anak-anak dengan trombositopenia dapat menimbulkan gejala atau tidak. Pada pasien
yang tidak menunjukkan gejala, trombositpeni sering dideteksi secara tidak sengaja pada
pemeriksan hitung jenis. Pada pasien yang menunjukkan gejala biasanya muncul dengan
keluhan perdarahan mukosa atau perdarahan kutaneus.
Perdarahan kutaneus muncul berupa ptekie atau perdarahan kutaneus biasanya
muncul sebagai petechie atau ekimosis superfisial. Pasien yang memiliki thrombositopenia
juga mungkin memiliki perdarahan persisten dari luka yang dangkal. Petechiae, lesi diskret
berukuran sebesar ujung jarum, merah, datar, disebabkan oleh ekstravasasi sel darah merah
dari kapiler kulit, dicirikan dengan menurunnya jumlah platelet atau fungsi platelet. Petechiae
tidak nyeri dan tidak hilang dengan penekanan. Petechie tidak memberikan gejala dan tidak
teraba dan harus dibedakan dari telangiektasis kecil dan vaskulitis purpura (teraba). Purpura
menggambarkan perubahan warna keunguan pada kulit akibat adanya petechiae konfluen.
Ekimosis adalah daerah perdarahan dalam kulit yang tidak nyeri yang biasanya kecil,
multipel, dan dangkal, dan dapat berkembang tanpa trauma yang terlihat. Ekimosis memiliki
berbagai warna tergantung kepada darah yang tereksavasasi (merah atau ungu) dan kerusakan
heme yang sedang berlangsung dalam darah yang tereksavasasi oleh makrofag kulit (hijau,
kuning, atau coklat)

Pola perdarahan ini berbeda dari pasien yang memiliki gangguan faktor koagulasi,
seperti hemofilia. Pasien dengan trombositopenia cenderung mengalami sedikit perdarahan
dalam otot atau sendi, banyak perdarahan setelah luka kecil, sedikit perdarahan tertunda, dan
sedikit perdarahan pascaoperasi. Selain itu, pasien yang mengalami gangguan faktor
koagulasi cenderung tidak memiliki petechiae. Meskipun jarang, perdarahan sistem saraf
pusat adalah penyebab kematian paling umum akibat trombositopenia. Ketika perdarahan
tersebut terjadi, sering didahului oleh riwayat trauma kepala. (jurnal induk)

Pasien dengan Purpura Trombositopenik Imun (PTI) biasanya merupakan anak sehat
yang tiba-tiba mengalami perdarahan baik pada kulit, purpura atau perdarahan pada mukosa
hidung (epistaksis). Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya
perdarahan trombosit (platet-type bleeding), yaitu ptekie, pupura, perdarahan konjungtiva,
atau perdarahn mukokutaneus lainya. Perlu dipikirkan penyakit lain, jika ditemukan adanya
pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10%
anak dengan PTI. (buku hematologi). Pada ITP akut, pada pemeriksaan fisik akan
didapatkan manifestasi perdarahan berupa ptekie dan memar yang terjadi secara tiba-tiba.
Limfadenopati ringan atau splenomegali mungkin disertai infeksi virus. Sedangkan pada ITP
kronik biasanya memiliki penyakit yang mendasari. Beberapa anak dengan ITP kronik
memiliki kelainan imunologik seperti Evans syndrom atau autoimmune lymphoroliferative
syndrom (ALPS). (pediatrics in reviw on november 27, 2012)
Pada Disseminated Intravaskuler Coagulati (DIC) gejala klinis yang bervariasi dapat
timbul, naman pada dasarnya terjadi proses perdarahan dan trombosisnpada waktu yang
bersamaan. Manifetasi perdarahan yang sering muncul adalah ptekie, ekimosis, hematom di
kulit, hematuria, melena, epistaksis dan perdarahan gusi, serta kesadaran menurun akibat
perdarahan otak. Sedangkan gejala trombisis yang terjadi dapat berupa gagal ginjal akut,
gagal nafas dan iskemia serta kesadaran menurun akibat trombosis pada otak. (jurnal
kelainan hematologi pada DHF

2.7 DIAGNOSIS

Diagnosa PTI

Biasanya pasien PTI merupakan anak yang sehat yang tiba-tiba mengalami
perdarahan baik pada kulit, petekie, purpura atau perdarahan pada mukosa hidung
(epistaksis).

Lama terjadinya perdarahan PTI dapat membantu membedakan antara PTI akut dan
kronis. Tidak didapatkannya gejala sistemik dapat membantu menyingkirkan kemungkinan
suatu bentuk sekunder dan diagnosis lainnya. Perlu juga dicari riwayat tentang penggunaan
obat atau bahan yang lain yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga
umumnya tidak didapatkan.

Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan tipe
trombosit (platelet type bleeding), yaitu petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, atau
perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain, jika
ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada
lebih kurang 10% anak dengan PTI.

Selain, trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan PTI
umumnya normal sesuai dengan umurnya. Pada lebih kurang 15% pasien didapatkan anemia
ringan karena perdarahan yang dialaminya. Pemeriksaan hapusan darah tepi diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pseudotrombositopenia, sindroma trombosit raksasa yang
diturunkan (inherited giant platelet syndrome) dan kelainan hematologi lainnya. Trombosit
yang imatur (megatrombosit) ditemukan pada sebagian besar pasien. Pada pemeriksaan
dengan flow cytometry terlihat trombosit pada PTI lebih aktif secara metabolic, yang
menjelaskan mengapa dengan jumlah trombosit yang sama, perdarahan lebih jarang
didapatkan pada PTI disbanding pada kegagalan sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium
sebaiknya dibatasi terutama pada saat terjadinya perdarahan dan jika secara klinis ditemukan
kelainan yang khas.

Perlu tidaknya pemeriksaan aspirasi sumsum tulang secara rutin dilakukan pada anak
dengan dugaan PTI masih menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ahli. Umumnya
pemeriksaan ini dilakukan pada kasus yang meragukan. Namun, tidak pada kasus-kasus
dengan manifestasi klinis yang khas. Beberapa ahli berpendapat bahwa leukemia tidak pernah
nampak dengan trombositopenia saja, tapi tidak semua rumah sakit berpengalaman dalam
pemeriksaan hapusan darah pada anak. Pemeriksaan sumsum tulang dianjurkan pada kasus-
kasus yang tidak khas, misalnya pada :
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum, misalnya panas, penurunan
berat badan, kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau limpa.
2. Kelainan eritrosit dan leukosit pada pemeriksaan darah tepi.
3. Kasus yang akan diterapi dengan steroid, baik sebagai pengobatan awal atau yang gagal
diterapi dengan immunoglobulin intravena.

Pada audit yang dilakukan di negara maju,disepakati bahwa pemeriksaan aspirasi


sumsum tulang sebaiknya dilakukan sebelum pengobatan steroid diberikan. Terdapat pula
kesepakatan yang didukung oleh hasil beberapa penelitian retrospektif, bahwa pemeriksaan
sumsum tulang tidak diperlukan pada pasien yang hanya diobservasi atau dengan terapi
immunoglobulin intravena.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada pasien PTI adalah mengukur antibody
yang berhubungan dengan trombosit (platelet-associated antibody) dengan menggunakan
direct assay. Namun pemeriksaan ini juga belum dapat membedakn PTI primer dengan
sekunder. Atau anak yang akan sembuh dengan sendirinya dengan yang akan mengalami
perjalanan menjadi kronis.

Diagnosis PTI ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab


trombositopenia yang lain. Bentuk sekunder kelainan ini didapatkan bersamaan dengan
Eritematosus Lupus Sistemik (ELS), sindroma antifosfolipid, leukemia atau limfoma,
defisiensi IgA, hipogamaglobulinemia, infeksi HIV atau hepatitis C dan pengobatan dengan
heparin atau quinidin.

Pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, kemungkinan suatu trombositopenia
congenital perlu disingkirkan. Pada sindrom Bernard-Soulier perdarahan sering lebih hebat
fari jumlah trombosit yang diduga (contohnya, perdarahan yang nyata pada jumlah trombosit
30.000/mm3). Pada sindrom Wiskott-Aldrich didapatkan trombosit yang lebih kecil dari
normal, sedangkan pada PTI biasanya lebih besar dari bentuk trombosit normal. Kelainan
congenital lain yang dapat menyebabkan perdarahan pada bayi dan terdiagnosa sebagai PTI
adalah penyakit von Willebrand’s tipe IIb, yang disebabkan faktor von Willebrand abnormal
agregasi trombosit dan trombositopenia.

Anak yang lebih tua dan mereka yang mengalami perjalanan menjadi kronis, perlu
dipikirkan adanya kelainan autoimun yang lebih luas, serta perlu dicari adanya tanda-tanda
dan atau gejala-gejala dari ELS atau sindrom antifosfolipid.

Pada anak yang menderita varisela yang disertai trombositopenia perlu dilakukan
pemeriksaan yang lebih teliti, sebab meskipun jarang namun dapat mengancam jiwa
berhubungan dengan kekurangan protein S yang didapat dan thrombosis mikrovaskuler.

Diagnosis trombositopenia yang dipicu obat-obatan

Trombositopenia yang dipicu obat-obatan harus dicurigai pada setiap pasien dengan
trombositopenia akut yang tidak diketahui penyebabnya. Dalam mempertimbangkan
diagnosis ini, dokter harus berpikiran bahwa dibutuhkan 5 sampai 7 hari setelah terpapar
untuk menghasilkan sensitisasi pada pasien yang diberikan obat untuk pertama kalinya.
Seperti dicatat sebelumnya, trombosit inhibitor pengecualian untuk aturan umum ini. Pada
orang dewasa, kehadiran trombositopenia berat (trombosit < 20.000/mm3) meningkat
kemungkinan bahwa pasien telah trombositopenia yang dipicu obat-obatan dan harus diduga
kuat pada pasien akut dan trombositopenia sementara karena pasien kadang-kadang tidak
melaporkan paparan obat yang nantinya akan menjadi penyebab trombositopenia yang dipicu
obat-obatan. Rincian anamnesa dari paparan obat sangat penting. Pasien harus ditanya secara
khusus tentang pemakaian kina, quinidine, sulfonamid, obat herbal, obat-obat tradisional,
obat bebas seperti acetaminophen dan vaksinasi baru-baru ini.48
Pada pasien dengan kepekaan terhadap kina, quinidine, sulfonamid, dan obat-obatan
lainnya, memungkinkan untuk mengidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan trombosit
yang normal pada obat itu.23 , 42,49. Namun, pengujiannya terbatas dan tidak tersedia secara
luas (kecuali untuk heparin) dan karena itu tidak berguna dalam perawatan langsung dari
pasien. Pengujian dapat dapat membantu dalam mendokumentasikan penyebab
trombositopenia yang dipicu oleh obat-obatan. Sayangnya, pada pasien dengan sejarah yang
khas dari obat-induced trombositopenia, tes antibodi mungkin negative.2, 36. Salah satu alasan
penting untuk ini adalah bahwa obat metabolik yang diproduksi secara in vivo dapat menjadi
agen sensitif.34, 50. Obat metabolik yang mampu merangsang trombositopenia yang dipicu
obat-obatan tidak didefinisikan dengan baik.34, 50

Jika ada kecurigaan kuat bahwa trombositopenia dipicu obat-obatan maka kepekaan
obat sangat penting untuk diagnosis atau manajemen, diagnostik selanjutnya dapat
dipertimbangkan. Hanya 1 atau 2 mg obat dapat menyebabkan secara substansial esensial
51
penurunan tingkat platelet, . Dosis dapat menyebabkan trombositopenia berat dan
perdarahan 52. Oleh karena itu, penting untuk memulai dengan beberapa miligram obat dan
untuk memonitor jumlah trombosit erat selama 24 jam. Antibodi kadang-kadang menjadi
tidak terdeteksi setelah beberapa bulan, awalnya obat mungkin tidak berpengaruh pada
jumlah platelet.

Diagnosis DBD
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium.
Klinis
Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan
lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis dan atau
melena
2. Pembesaran hati
3. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (≤ 20
mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤ 80 mmHg) sisertai kulit yang teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan
timbul sianosis di sekitar mulut

Laboratorium
Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari
peningkatan nilai hematokrit ≥ 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa
sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama
disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis
DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DBD dapat didiagnosis dengan tepat, yang
dibuktikan oleh pemeriksaan serologis dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.

WHO (1975) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat


1. Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet positif
2. Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain
3. Derajat III : Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi menurun (≤ 20mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan
pasien menjadi gelisah
4. Derajat IV : Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur

Diagnosis DIC
Menurut Bick untuk membuat diagnosis DIC diperlukan criteria klinik dan
laboratorik. Kriteria klinik adalah adanya perdarahan atai thrombosis atau keduanya yang
menyertai suatu penyakit dasar. Secara laboratorik ditemukan bukti adanya aktivasi
koagulasi, aktivasi fibrinolisis, konsumsi inhibitor dan bukti kegagalan fungsi organ. Bukti
adanya aktivasi sistem fibrinolisis adalah peningkatan D dimer, FDP dan plasmin-antiplasmin
(PAP) complex. Bukti konsumsi inhibitor adalah penurunan antitrombin, protein C, protein S,
antiplasmin dan peningkatan TAT dan PAP. Bukti adanaya kegagalan fungsi organ adalah
LDH, kreatinin, penurunan pH dan tekanan parsial O2.

International Society on Thrombosis and Hemostasis telah membuat algoritma untuk


membuat diagnosis DIC sebagai berikut.
1. Buat penilaian risiko. Apakah terdapat kelainan dasar yang sering dihubungkan
dengan DIC.
2. Lakukan tes laboratorium : hitung trombosit, PT, fibrinogen dan D-dimer.
3. Lakukan scoring terhadap hasil tes laboratorium :
 Hitung trombosit : > 100.000 = 0, < 100.000 = 1, < 50.000 = 2
 D-dimer : tak meningkat = 0, meningkat sedang = 2, meningkat tinggi = 3
 Pemanjangan PT : < 3 detik = 0, 3-6 detik = 1, > 6 detik = 2
 Kadar fibrinogen : > 100 mg/dl = 0, < 100 mg/dl = 1
4. Hitung skor.
5. Jika ≥ 5 : sesuai dengan overt DIC, ulangi scoring tiap hari.
Jika ≤ 5 : suggestive untuk non-overt DIC, ulangi 1-2 hari kemudian.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Temuan Laboratorium

Darah

Kelainan trombosit dari segi ukuran dan morfologi pada umumnya sering ditemukan.

Biasanya didapatkan platelet abnormal dari segi ukuran ( diameter 3-4 mikron). Trombosit kecil yang

abnormal dan fragmen – fragmen trombosit ("mikropartikel") juga ditemukan dan temuan tersebut

setara dengan microspherocytes dan schistocytes . meskipun fragmen megakariosit mungkin terlihat

pada apusan darah rutin, studi kuantitatif mengungkapkan jumlah abnormal fragmen ini .

Perkiraan volume trombosit rata-rata (Mean Platelet Volume- MPV) dan tingkat heterogenitas

ukuran trombosit (distribusi trombosit) dengan cara penghitungan partikel secara otomatis mungkin,

jika ada, memberikan informasi yang berguna dalam mengevaluasi pasien dengan ITP . Adanya

sejumlah megathrombocyte menghasilkan nilai MVP yang tinggi dan menyebabkan distribusi

trombosit juga meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan abnormal anisositosis trombosit. Teori yang

tepat yang mendasari megathrombocytosis sebenarnya masih belum pasti, tapi hal ini mungkin karena

produktifitas yang meningkat sebagai respon terhadap penghancuran trombosit.


Kondisi anemia sebanding dengan tingkat kehilangan darah dan biasanya normositiik. Jika

perdarahan yang terjadi berat dan lama,anemia zat besi bisa terjadi. Perdarahan hebat yang baru

terjadi bisa menyebabkan retikulositosis dan makrositosis relative. Antibody antiplatelet pada pasien

dengan ITP biasanya tidak bereaksi silang dengan eritrosit meskipun hanya berupa fragmen eritrosit.

Pada pasien juga bisa ditemukan uji Coomb positif dan anemia hemolitik autoimun. Kombinasi

keduanya dikenal sebagai sindrom Evans.

jumlah total leukosit dan hitung jenis biasanya normal, kecuali untuk perubahan-perubahan

akibat perdarahan akut seperti neutrofilia ringan sampai sedang dengan peningkatan bentuk imatur.

Eusinophilia juga bisa ditemukan terutama pada anak-anak, tetapi temuan ini tidak terlalu berarti.

uji hemostasis dan pembekuan darah menunjukkan perubahan pada keadaan trombositopenia,

contohnya pemanjangan bleeding time. hasil uji pembekuan darah, termasuk protrombin time, parsial

tromboplastin time, biasanya normal pada pasien dengan trombositopenia ringan. Sedikit peningkatan

dari FDP (fibrinogen degradation product) dapat ditemukan dalam plasma beberapa pasien dengan

ITP . konsentrasi thrombopoietin tidak meningkat secara signifikan pada pasien ITP, berbeda dengan

pasien dengan trombositopenia akibat penurunan produksi.

sumsum tulang

perubahan dalam sumsum tulang biasanya terbatas pada megakariosit meskipun hiperplasia

normoblastic dapat berkembang sebagai akibat dari kehilangan darah. leukosit biasanya normal

namun kadang- kadang dapat ditemukan eosinophilia. Megakariocyte, ukrannya biasanya meningkat,

tapi jumlahnya bisa normal atau meningkat. Abnormalitas morfologi sel ini muncul pada sebagian

pasien ITP. pemeriksaan sumsum tulang kadang- kadang membantu terutama dalam membedakan

ITP dengan kondisi lainnya yang meragukan. Perubahan – perubahan diatas bisa ditemukan pada

hampir semua kasus trombositopenia yang disebabkan oleh penghancuran platelet besar-besaran

sehingga perubahan tersebut tidak khas dalam menegakkan diagnosis ITP. Perbedaan antara
megakariocyte yang ditemukan pada ITP akut dan kronis tidak jelas dan pemeriksaan sumsum tulang

tidak sangat membantu dalam menentukan prognosis.

antiplatelet antibodi

trombositopenia autoimun adalah diagnosis eksklusi dan bergantung pada gambaran klinis.

Beberapa jenis tes antibodi antiplatelet telah dikembangkan dan dilaporkan selama bertahun-tahun.

Pemeriksaan ini mengukur berbagai jenis Ig termasuk antibodi antiplatelet serum, Ig permukaan

terkait-platelet atau Ig trombosit total dan sekarang tidak bisa dijadikan patokan. Pada penelitian

terbaru pada uji antibodi antiplatelet, antibodi monoklonal untuk glicoprotein membran spesifik

platelet yang terlibat dalam ITP digunakan dalam uji penangkapa antigen (juga disebut glycoprotein

immobilization assays). studi terbaru telah melaporkan bahwa spesifisitasnya 78 sampai 93%. Namun

sensitivitas nya (49 sampai 66%) sehingga tidak cukup untuk menyingkirkan ITP jika tes ini

negative. Pada masa yang akan dating mungkin akan digunakan pemeriksaan flow cytometry dalam

diagnosis dan tindak lanjut dari trombositopenia autoimun.

2.9 TATALAKSANA

1. Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP)

Terdapat perbedaan signifikan pada manajemen ITP pada anak yang


dipublikasi pada guideline dari Negara-negara maju. Berdasarkan American Society

of Hematology, tatalaksana terbaik adalah observasi, kecuali jika jumlah platelet

20.000/mm3 dengan perdarahan mukosa signidikan atau 10.000/mm3 dengan

purpura minor. Tatalaksana yang digunakan pada ITP akut diantaranya adalah
Intravenous Immunoglobulin (IVIg), kortikosteroid, dan anti-D immunoglobulin
(anti-D Ig). Peranan obat-obatan tersebut masih kontroversi. Obat-obatan diatas hanya
meningkatkan jumlah platelet namun tidak mempengaruhi perjalanan klinis penyakit
[1]

Manajemen awal ITP


1. Menentukan status penyakit pasien
- Tentukan jenis perdarahan yang dialami pasien
o Tentukan waktu perdarahan, lokasi, dan tingkat keparahan dari
perdarahan
o Tentukan apakah pasien memiliki faktor-faktor resiko
perdarahan seperti penggunaan antithrombotic agents atau
pekerjaan dengan risiko tinggi
- Apakah pasien akan menjalani prosedur bedah?
- Apakah pasien ini akan lebih merespon terapi yang direkomendasikan?
- Apakah perdarahan yang dialami pasien mengganggu aktivitas sehari-
hari atau menimbulkan ansietas.
2. Pertimbangan umum dalam terapi awal
- Mayoritas pasien tanpa perdarahan atau perdarahan ringan (ditentukan
sebagai perdarahan dengan manifestasi pada kulit saja, seperti ptekie
dan memar) dapat diobservasi saja berapapun jumlah trombositnya
- Terapi lini pertama berupa observasi, kortikosteroid, IVIg, atau anti-D
immunoglobulin
- Anti-D harus digunakan secara hati-hati berdasarkan peringatan dari
FDA baru-baru ini akan hemolisis. Maka dari itu tidak dianjurkan
diberikan pada pasien dengan perdarahan yang menyebabkan
penurunan hemoglobin, atau pasien dengan hemolysis autoimun.
3. Pertimbangan khusus terapi pada anak
- Single-dose IVIg (0.8-1.0 g/kg) atau kortikosteroid short course
digunakan sebagai terapi lini pertama
- IVIg sebaiknya digunakan dibandingkan dengan kortikosteroid jika
dibutuhkan peningkatan jumlah platelet
- Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan kortikosteroid jangka
panjang dibandingkan dengan jangka pendek.
- Anti-D dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada anak
dengan Rh+ yang belum displenectomy dengan mempertimbangkan
risiko-risiko di atas.[3]

Terapi Khusus
1. Splenectomy: Direkomendasi pada anak-anak dengan perdarahan
signifikan dan persisten dan respons yang kurang terhadap terapi
kortikosteroid, IVIf, dan anti-D dan/atau membutuhkan peningkatan
kualitas hidup.
2. Rituximab: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak dengan ITP yang
memiliki perdarahan signifikan dan/atau membutuhkan peningkatan
kualitas hidup. Juga dipertimbangkan sebagai alternatif splenectomy
pada anak-anak dengan ITP kronik atau yang gagal splenectomy.
3. Agonis Reseptor Trombopoietin: Masih dipelajari pada berbagai studi
namun belum ada petunjuk penggunaan pada anak yang telah
dipublikasi
4. Deksametason dosis tinggi: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak
atau remaja dengan ITP dengan perdarahan massif dan/atau
membutuhkan peningkatan kualitas hidup. Dapat dipertimbangkan
sebagai alternative splenectomy pada anak dengan ITP kronik atau
pada pasien yang gagal splenectomy
5. Immunosupresi: Beberapa agen telah dilaporkan, namun data tentang
agen yang spesifik masih kurang untuk rekomendasi.[3]

4. Pertimbangan Khusus pada ITP Sekunder

1. ITP Sekunder (HIV-associated)


- Tatalaksana penyakit dasar HIV dengan antiviral therapy sebelum
tatalaksana lainnya pada pasien dengan perdarahan signifikan
- IVIg, kortikosteroid, atau anti-D dapat digunakan pada pasien yang
membutuhkan terapi lanjutan
- Splenectomi dapat dipertimbangkan pada pasien yang gagal diterapi
dengan obat-obatan awal
2. ITP Sekunder (HCV-associated)
- Terapi antiviral dapat dipertimbangkan jika tidak ada kontraindikasi,
namun jumlah platelet harus dimonitor secara ketat pada situasi yang
beresiko terjadi trombositopenia akibat interferon
- Jika dibutuhkan terapi, tatalaksana awal harus dengan IVIg
3. ITP Sekunder (H.pylori-associated)
- Test rutin terhadap Helicobacter Pylori tidak dianjurkan pada anak
dengan ITP yang tidak teratasi namun asimptomatik
- Terapi dilanjutkan dengan eradikasi H.Pylori jika ditemukan infeksi
4. MMR-Related ITP
- Anak-anak dengan riwayat ITP namun belum diimunisasi dapat
menerima vaksinasi MMR pertama
- Pada anak dengan ITP yang berhubungan/tidak dengan vaksinasi yang
telah menerima dosis pertama vaksinasi MMR, titer vaksin dapat
diterima. Jika anak menunjukkan imunitas lengkap, tidak perlu
diberikan vaksin MMR lanjutan. Jika anak tidak memiliki imunitas
yang adekuat, anak dapat diimunisasi ulang pada usia yang dianjurkan.
[3]

Beberapa perubahan tatalaksana farmakologik awal pada ITP


1. Kortikosteroid
Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Telah
dilakukan suatu randomized trial sejak guideline sebelumnya dikeluarkan yang
membandingkan observasi saja dengan pemberian prednisone 2 mg/kg/hari selama 2
minggu yang kemudian di tapering-off selama 21 hari pada pasien dengan jumlah
platelet antara 10 - 29 x 109/L tanpa tanda perdarahan mukosa. Dengan target jumlah
platelet 30 x 109/L. Tidak terdapat perbedaan statistik signifikan antara pemberian
prednisone dengan observasi dalam mencapai target (secara berurutan 2 hari vs 4
hari). Selain itu tidak terdapat perdarahan baru yang membutuhkan perawatan
tambahan pada kedua grup. Tidak ada bukti yang memadai untuk menentukan apakah
penggunaan kortikosteroid pada populasi dengan risiko perdarahan tinggi berguna
atau tidak. Walaupun demikian, anak dengan jumlah platelet kurang dari 10 x 109/L
atau dengan perdarahan mukosa masih dipertimbangkan untuk diberikan terapi
kortikosteroid rutin oleh dokter. Jika kortikosteroid dipilih sebagai tatalaksana awal,
tidak terdapat bukti ataupun support terhadap dosis atau pemilihan yang mana lebih
baik dibandingkan yang lain. Pemberian kortikosteroid jangka panjang pada anak
dengan ITP akut harus dihindari karena efek sampingnya. [2]
2. IVIg

Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Sebuah meta-


analisis yang membandingkan tatalaksana dengan IVIg (pada dosis 0.8 sampai 1.0
g/kg) dan kortikosteroid dilaporkan mengumpulkan data dari 6 trial. Hasil akhir yang
diharapkan adalah jumlah platelet > 20 x 10 9 dalam 48 jam. Hasilnya menunjukkan
bahwa anak yang menerima kortikosteroid 26% lebih kurang mendapatkan hasil. [2]

3. Anti-D Immunoglobulin

Terdapat perubahan signifikan dibandingkan guideline ASH 1996, dengan


data-data terbaru termasuk kemungkinan risiko hemolysis. Sejak 1996 telah
dilakukan 3 randomized trial yang membandingkan terapi antara anti-D dalam
berbagai dosis dengan IVIg. Dengan hasil yang menunjukkan bahwa terapi
anti-D lebih baik pada dosis 75 µg/kg dibandingkan dengan 50 µg/kg, namun
hasil perbandingan antara anti-D dengan IVIg pada 3 studi tersebut
kontradiktif, dengan salah satu hasil mengatakan pemberian IVIg lebih baik
dan studi lain mengatakan Anti-D dosis yang lebih tinggi lebih baik.

Data dari Tarantino et al menunjukkan bahwa Anti-D pada dosis 50 µg/kg


sama efektifnya dengan pemberian IVIg, dan Anti-D pada dosis 75 µg/kg
lebih efektif namun dengan efek samping yang lebih besar. Anti-D hanya
disarankan pada pasien dengan Rhesus positif, yang test antiglobulin direct-
nya negative, dan tidak menjalani splenectomy. Dan risiko intravascular
hemolysis harus diperhatikan dan dipertimbangkan dibandingkan dengan
manfaatnya.
Emergensi Terapi Awal
IV Metilprednisolon (1.0 g/hari x 1-3 hari)

IVIG (1.0 g/kg/hari selama 2-3 hari)

+IV-Anti-D (75 µg/kg)

+IV Vincristine (1-2 mg)

+Transfusi Platelet

+Faktor VII A

Jumlah platelet ≥ 20.000-30.000/µL

Tidak diterapi jika tidak terdapat gejala


khusus
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Meskipun masih kontroversial tetapi urutan pengobatan DIC yang banyak dianut
adalah:
i. Pengobatan penyakit dasar (underlying cause). Termasuk pengobatas suportif
seperti pemberian cairan dan elektrolit yang cukup, koreksi asidosis dan
hipoksia, perbaikan syok mungkin memperbaiki sindrom DIC
ii. Menghentikan proses pembekuan dengan heparin
iii. Pemberian komponen darah yang mengandung factor-faktor pembekuan atau
trombosit harus ditinjau kasus per kasus. [5]

Indikasi heparin pada DIC:

i. Bila penyakit dasar tidak diketahui


ii. Mekanisme pencetus dari penyakit dasarnya tidak dapat segera dihilangkan
iii. Situasi klinik atau hasil pemeriksaan laboratorium memburuk
iv. Pengobatan penyakit dasar DIC belum ada yang adekuat (seperti pada
keganasan), tetapi pengobatan langsung terhadap DIC dapat merubah kondisi
klinik menjadi lebih baik. [5]

Regimen heparin yang dianjurkan Rickard (1979):


a. Infus kontinu IV:
Dosis awal: 5000 unit
Infus: 30.000 unit/24 jam
Pengobatan berhasil dicapai pada 60% penderita
Dibutuhkan penyesuaian pada 40% penderita
Pemantauan APTT pada jam ke 6 dan jamke 24
b. Injeksi IV intermitten:
Dosis: 5000-10.000 unit tiap 4-5 jam. [5]
3. Drug-induced thrombocytopenia
Obat-obatan yang sering digunakan pada anak dan menyebabkan
trombositopenia antara lain obat-obat sitostatika (6-merkaptopurin, metrotreksat,
siklofosfamid) dan obat yang memiliki efek idiosinkrasi dengan obat diatas seperti
kloramfenikol. Obat diatas menyebabkan trombositopeni melalui depresi sumsum
tulang. Selain itu obat lainnya yang menyebabkan trombositopeni akibat imun antara
lain sodium valproate, fenitoin, karbamazepin, kotrimoksazol, rifampisin,
asetazolamid, simetidin, aspirin dan heparin. Trombositopenia akibat obat-obatan
dapat bersifat sementara dan jumlah trombosit kembali normal jika dihentikan
penggunaannya. Jika diagnosis trombositopenia akibat obat telah ditegakkan, pasien
dapat diobservasi saja selama tidak menimbulkan gejala klinis. Namun jika terdapat
manifestasi signifikan, penggunaan obat tersebut harus dihentikan atau diganti dengan
obat lainnya yang tidak menimbulkan efek samping sama. [6]
4. Hemolytic-uremic syndrome
Pada Hemolytic-Uremic Syndrome, manajemen mencakup control volume
plasma, abnormalitas elektrolit, hipertensi dan anemia. Investigasi awal mencakup
hitung darah lengkap, balance cairan, diuresis, glukosa darah, coagulation screen,
cross match, serologi E Coli, kultur feses, dan urinalisis. Selain itu jika fungsi ginjal
sudah sangat berkurang, dipertimbangkan prosedur Hemodialisis atau Peritoneal
Dialisis. [7]
5. Thrombocytopenia HIV
6. Trombositopenia post-transfusi
7. Trombositopenia akibat sepsis
8. Trombositopenia akibat defisiensi vitamin B12 dan asam folat
9. Trombositopenia pada leukemia

10. Trombositopenia akibat dengue

Daftar Pustaka

1. Rehman. A. Immune Thrombocytopenia in Children with Reference to Low-


Income Countries. Eastern Meditterranean Health Journal, Vol. 15, No. 3; 2009.
H. 729-737
2. Neunert. Cindy, Lim. Wendy et al. The American Society of Hematology 2011
Evidence Based-Practice Guideline for Immune Thrombocytopenia.
Bloodjournal.hematology.org; 2011. H. 4190-4207
3. 2011 Clinical Practice Guideline on the Evaluation and Management of Immune
Thrombocytopenia. American Society of Hematology; 2011. H.1-8
4. Greer. John P et al. Wintrobe’s Clinical Hematology, Vol. 2, Twelfth Edition.
Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
5. Setiabudy. Rahajuningsih D. Hemostasis dan Trombosis. Edisi Keempat. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
6. Permono. H. Bambang et al. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan
Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006
7. Beattie. Jim. Guidelines on the Management and Investigation of Hemolytic
Uremic Syndrome. Renal Unit Royal Hospital for Sick Children Yorkhill
Division; 2006

Anda mungkin juga menyukai