Anda di halaman 1dari 16

YANG HARUS DIBAHAS

1. Apa pengertian ekonomi Islam?

2. Apa tujuan dan fungsi dari ekonomi Islam?


3. Apa saja lembaga-lemabaga yang dinaungi oleh system ekonomi Islam?
4. Apa perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis dan komunis?
5. Bagaimana kondisi perekonomia umat khususnya di Indonesia?

1. Sistem ekonomi Islam merupakan system ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan
lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan).
Karena kerjasama meupakan tema umum dalam organisasi sosial Islam. Jadi Islam
mengajarkan kepada para pemeluknyaagar memperhatikan bahwa perbuatan baik (amal
sâlih) bagi masyarakat merupakan ibadah kepada Allah dan menghimbau mereka untuk berbuat
sebaik- baiknya demi kebaikan orang lain. Ajaran ini bisa ditemukan di semua bagian Al-Quran
dan ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri.

2.1 LANDASAN Al-QURAN


Q.S. al-A’raf (7): 128
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah;
sesunggunhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-
orang yang bertakwa”
Pada ayat ini, Allah mengamanatkan bumi serta isinya bagi manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya. Dan hendaknya manusia meningkatkan ilmu pengetahuan guna
menyimak berbagai fenomena yang ada di bumi.
Q.S. al-Nisa (4): 32 Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebahagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui segala sesuatu”
Ayat ini, mengisyaratkan bahwa Allah memberi rizki kepada manusia dengan ukuran yang
berbeda-beda tergantung usahanya.
Q.S. An-Nisa (4): 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di
antara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah maha penyayang
kepadamu” (Q.S. al-Nisa (4): 29
Melalui ayat ini Allah mengharuskan adanya kejujuran dalam melakukan perdagangan
sehingga terciptanya kemaslahatan yang menjadi harapan setiap individu. Masih berkaitan
dengan hal diatas, Allah  SWT. berfirman dalam al-Qur’an  Q.S. al-Muthaffifin  (83): 1-3
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
Q.S. al-Baqarah (2): 278
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”[20].
Kedua ayat tersebut menghendaki adanya kemaslahatan dalam perlakuan perekonomian,
tidak dibolehkan menciptakan sistem saling  memaksa kepada pelaku ekonomi lain untuk
melakukan sistem tersebut, walaupun ia tahu dirinya akan menjadi korban dari para pelaku
riba.
Q.S. al-Baqarah (2): 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh
orang yang berpiutang. Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”[21].
Ayat ini mengisyaratkan bahwa, pinjaman dibolehkan asal digunakan untuk hal-hal yang
bermanfaat bagi hidup manusia, dan demi terselenggaranya optimalisasi produksi. Karena
utang sangata rentan terhadap masalah.
Dan masih banyak lagi ayat Al-Quran yang berkenaan dengan system ekonomi Islam.

PENGERTIAN SINGKAT MENGENAI EKONOMI ISLAM

Berikut pengertian ekonomi Islam menurut beberapa ahli:

1. Yusuf Qardhawi:
“Ekonomi Islam adalah ekonomi yang didasarkan pada ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak
dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari
syari’at Allah.”

2. M. Syauqi Al-Faujani:
“Ekonomi Islam merupakan segala aktivitas perekonomian beserta aturan-aturannya yang
didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam tentang ekonomi.”

3. S.M. Hasanuzzaman:
“Ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi ajaran-ajaran dan aturan-aturan syariah
yang mencegah ketidakadilan dalam pencarian dan pengeluaran sumber-sumber daya, guna
memberikan kepuasan bagi manusia dan memungkinkan mereka melaksanakan kewajiban-
kewajiban mereka terhadap Allah dan masyarakat.”

Adapun secara umum ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku
ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari
dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya,
sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105:
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang
beriman akan melihat pekerjaan itu.”
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah
Muhammad saw:
”Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia
mendapat ampunan.”
(HR.Thabrani dan Baihaqi)

2.3 FUNGSI, PERAN EKONOMI ISLAM


2.3.1 Fungsi dan Peran Ekonomi Islam

Fungsi ekonomi Islam dan perannya terhadap perkembangan zaman snagatlah besar,
melalui system ekonomi Islam pertumbuhan ekonomi dna kesejahteraan Negara bisa
meningkat. Hal ini tercatat dalam sejarah saat kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz,
bahwa pada saat itu kota Baghdad yang berada dalam kepemimpinannya mengalami sesuatu
yang sangat menakjubkan yaitu kesulitan para muzakki (pemberi zakat) mencari penerima
zakat. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa telah terjadi sebuah kecemerlangan system
ekonomi dalam mengatur Negara. dan ekonomi Islamlah satu-satunya yang dapat
membuatnya menjadi kenyataan. Adapun pada masa kini, pertumbuhan ekonomi Negara
yang mengambil system ekonomi Islam misalnya Saudi Arabia tidak mengalami kerugian
yang berarti saat terjadi krisis moneter pada tahun 90an. Hal ini membuktikan betapa
harusnya negara terutama negara Islam seperti Indonesia untuk menjadikan Ekonomi
Syariah sebagai tonggak dasar pertumbuhan ekonomi Negara.

Pada saar ini Peran ekonomi Islam di Indonesiapun mulai mengalami pertumbuhan
yang cepat, hal ini ditunjukkan dengan menjamurnya berbagai macam Lembaga Ekonomi
Syariah. Respon masyarakatpun menyambut baik hal ini, karena dalam ekonomi syariah
kedua belah pihak, baik pihak pembeli maupun penjual mendapatkan keuntungan yang
lebih dibandingkan menggunakan ekonomi kapitalisme yang menyuburkan lahan riba.

2.3.2  Manfaat Ekonomi Islam

Mengamalkan ekonomi Islam jelas mendatangkan manfaat yang besar bagi ummat itu
sendiri, dengan menggunakan system ekonomi Islam seorang muslim dapat mewujudkan
integritasnya sebagai muslim yang kaffah, sehingga Islam tidak lagi parsial. Bila ummat
Islam masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti keislamannya belum kaffah
sebab ajaran ekonomi Islamnya diabaikan. Selain itu dengan mengamalkan system ekonomi
Islam dapat meningkatkan kesejahteraan oranglain karena sesuai dengan prinsip ekonomi
Islam yang mengutamakan bagi hasil dan kepedulian terhadap sesama manusia.

BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 SISTEM EKONOMI ISLAM


3.1.1 Definisi dan Sejarah Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Islam jika diterjemahkan ke bahasa arab akan menjadi an nizhôm al
iqtishâd al islâmy. Secara harfiah al iqtishâd (ekonomi) berarti qashada: bertujuan dalam
suatu perkara, tidak berlebihan, berhemat dalam membelanjakan uang atau tidak boros
sebagaimana tertera di buku Lisanul Arab milik Ibnu Manzur. Adapun secara terminologi
berarti ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang diturunkan oleh syariat Islam
sehubungan dengan al iqtishâd dalam 3 permasalahannya: aqidah, fiqh dan akhlaq.
Dengan bahasa lain bahwasanya istilah ekonomi Islam berarti analisa tentang hal-hal
seputar ekonomi yang berasaskan hukum-hukum syariah. Sebagaimana ketika istilah
ekonomi ini disandingkan dengan fiqh akan mengandung analisa perkara perkonomian
ditinjau dari segi-segi fiqhnya.
Adapun istilah ekonomi Islam sendiri belum muncul pada zaman Rasul, melainkan
baru ada pada akhir dari abad ke-14 hijriah.Tetapi meskipun begitu substansi dari istilah
tersebut sudah muncul bersamaan dengan tumbuhnya hukum-hukum Islam. Jadi sistem
perkonomian pada zaman ini walau tidak mengenal istilahnya secara terminologi, tetapi pada
prakteknya fokus mereka sudah tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi,
pertumbuhan dan kebebasan. Fokus-fokus tadi merupakan gambaran spirit dan objek utama
dari pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
Perkembangan selanjutnya dari ekonomi Islam ini kemudian tidak jauh dari sejarah
perkembangan fiqh itu sendiri. Hal itu tidak lain karena asas dari ekonomi Islam adalah
mu’amalah yang disyariahkan dalam Qur’an dan Sunnah. Tetapi yang perlu dicatat adalah
beberapa buku yang memuat tentang perkonomian sebelum Islam masuk ke periode stagnansi
sudah banyak dikarang oleh para ulama.

3.1.2 Karakteristik Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Islam yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak jenis
mu’amalah islami tentunya sejalan dan berbanding lurus dengan kaidah-kaidah Islam. Dari
sini bias dipastikan bahwa sistem ekonomi Islam mempunyai ruh-ruh dan karakteristik
tersindiri. Dr. Dawabah menyebutkan setidaknya ada 5 jenis karakteristik ekonomi Islam,
yaitu :
1)      Spirit ketuhanan (Robbaniyah)
Sebagaimana diketahui bahwa Islam adalah sebuah agama yang merujuk semua
perkaranya kepada Allah dengan konsep ketuhanan. Tidak hanya merujuk, bahkan segala
kegiatan tujuannya adalah perkara yang bersifat ketuhanan. Tentunya ini sangat berbeda
dengan sistem-sistem ekonomi konvensional yang tujuannya hanya member kepuasan pada
diri tanpa merujuk atau bertujuan selain dari itu.
Maka sebagaimana Islam selalu menanamkan akhlaq dan adab dalam segala aspek
kehidupan diterapkan pula dalam hal interaksi perkonomian. Islam telah mengajarkan bahwa
manusia merupakan pemimpin di muka bumi sebagaimana firmanNya “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Kemudian dilanjutkan dengan ayat “Dia
Telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” Ditambah
lagi dengan firmanNya “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah
menjadikan kamu menguasainya.”
Jelas penuturan ayat-ayat di atas jelas sudah rujukan serta tujuan dari sistem ekonomi
islam, yaitu sebuah asas ketuhanan. Sehingga nantinya dapat menciptakan masyarakat yang
tentram serta seimbang perkonomiannya.

2)      Keseluruhan (syumûliah)


Sistem ekonomi Islam tidak lain merupakan sebuah cakupan dari ketetapan-ketetapan
yang berlaku dalam Islam. Karena Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur segala
aspek kehidupan yang masuk di dalamnya aspek perekonomian. Dengan masuknya ekonomi
sebagai salah satu aspek kehidupan dalam Islam, maka tidak mungkin ada produsen yang
memproduksi barang di dasarkan atas kemauannya saja. Tetapi dia juga pasti
mempertimbangkan akan halal dan haramnya. Para produsen tidak juga memproduksi sesuatu
yang mengandung hal-hal membahayakan konsumen atau lingkungannya. Dan berbagai
perbuatan lainnya akan disesuaikan dengan aspek dan ketentuan yang ada dalam Islam.

3)      Fleksibilitas (murûnah)


Kaidah-Kaidah dalam Islam bersifat shôlihun likulli zamân wa makân. Dengan bahasa
yang mudah dipahami adalah bisa diaplikasikan dalam berbagai dimensi waktu dan tempat.
Tentunya hal itu berkaitan erat dengan tsawabit (sesuatu yang sudah tetap) serta
mutaghayyirat (hal yang masih berubah-ubah) yang berasaskan hal-hal ushul (pokok) dalam
agama dan furu’nya (cabang). Dengan model yang disebutkan tadi berbagai macam kejadian
bisa disesuaikan dengan hukum-hukum fiqh yang ada
Tapi fleksibilitas yang dimaksud di sini harus lebih ditinjau lagi. Dr. Rif’at Audhy di
salah satu bab dalam buku Mausu’atul Hadhoroh al Islamiyah menerangkannya dengan
cukup jelas. Fleksibilitas dalam Islam mempunyai sisi yang tidak bisa diterima dan ada yang
bisa. Adapun sisi yang tidak diterima yaitu ketika suatu permasalahan bisa dihukumi dengan
dua hukum yang berbeda sesuai perbedaan kondisi alias kondisional. Karena yang seperti itu
sama saja mengatakan bahwa yang hukum-hukum Islamlah yang menyesuaikan keadaan, dan
bukannya keadaan yang merujuk pada hukum Islam. Sedangkan sisi yang bisa diterima
adalah ketika syariah yang sholih likulli zaman wa makân ini mampu menghukumi
perkembangan zaman.
Dr. Rif’at Audhy menambahkan tentang fleksibilitas dalam Islam dengan bahasan
ahkam taklifiyah yang 5. Kemudian beliau menyebutkan bahwa salah satu jenis hukumnya
yaitu ibahah adalah sesuatu yang semakna dengan al ‘afwu dalam hadis Rasul
‫وما ُس ّكت عنه فهو عفو‬
Ibnu Taimiyah menyatakan perbuatan seorang hamba itu ada dua jenis: ibadah yang
dengannya orang memperbaiki agama mereka dan adat kebiasaan yang dibutuhkan di dunia.
Ibadah adalah sesuatu hal. Dengan adanya pokok-pokok syariah, maka kita mengetahui
bahwa ibadah yang ditetapkan olehNya tidak akan sah kecuali dengan ketentuan yang
ditetapkan syariah. Adapun adat adalah hal yang biasa dilakukan oleh manusia di dunia,
maka unsur pokoknya adalah tidak adanya larangan (al ashlu fîhi ‘adamul hazhr) kecuali
yang telah dilarang olehNya.
Dengan kaidah yang disebutkan maka kebanyakan perkara yang ada di ekonomi Islam
berasaskan ibâhah atau al ‘afwu. Maka dari penjelasan singkat Dr. Rif’at tadi semakin
memperluas ranah perkonomian Islam dengan menganggapnya ada pada asas ibâhah.
4)      Keseimbangan (tawâzun)
Islam dan berbagai aspek hidupnya selalu berdasarkan keseimbangan antara dua
sisinya. Sebagaimana keseimbangan antara dunia dan akhiratdan juga keseimbangan antara
iman dan perekonomian serta keseimbangan antara boros dan kikir. Islam juga memberi
keselarasan antara kebutuhan rohani dan kebutuhan materi dengan memberi porsi yang sesuai
antara keduanya.

Hal penting lain dari konsep keseimbangan ini adalah sebuah sikap yang tidak
condong pada kapitalis ataupun sosialis. Islam punya kedudukannya sendiri dalam hal ini,
yaitu berada di antara keduanya dengan tidak menafikan kepemilikan individual ataupun
kepemilikan sosial sebagaimana yang akan dibahas lebih dalam di bab lain dari makalah ini.
Islam memiliki batasan-batasannya sendiri antara kepentingan negara dan individual dalam
ekonomi sehingga dapat menyeimbangkan antara keduanya.
Asas dari kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan individual karena hal itu
dianggap sesuatu yang fitrah dalam Islam. Karena kepemilikan individual ini merupakan
pemeran utama dalam kinerja produksi. Sedangkan kepemilikan umum baru dianggap pada
saat-saat tertentu sehingga memaksa negara untuk turun tangan dalam menyelesaikannya. Hal
ini tentunya sangat berbeda dengan konsep kapitalisme yang benar-benar meniadakan peran
negara dalam mekanisme ekonomi. ataupun konsep sosialisme membangun asas
perkonomian mereka atas kepemilikan umum yang malah mengurangi gairah untuk
berproduksi.
Rumusan kapitalis dan sosialis memang sangat berbeda denga Islam yang mengatur
hubungan antara individual dan negara dalam ranah perkonomian. Islam menyatakan bahwa
keduanya itu saling melengkapi, dimana setiap dari keduanya mempunyai denah aplikasi
masing-masing hingga tidak bertentangan. Selain itu keduanya merupakan kutub yang saling
berhubungan dan tidak berdiri sendiri. Maka dari itu, pertumbuhan ekonomi dalam Islam
menjadi kewajiban negara dan individual secara bersamaan.
Dengan begini setidaknya batasan antara kebebasan dan intervensi pemerintah dalam
mekanisme ekonomi Islam. Dalam ekonomi Islam, negara bukanlah suatu unsur yang
bertentangan ataupun pengganti dari unsur lain, melainkan unsur pelengkap. Seperti
melakukan hal-hal yang sepertinya agak sulit dilakukan secara individu layaknya perbaikan
jalan, jembatan, dll. Bahkan posisi negara terkadang menjadi sangat penting layaknya saat
kekurangan lembaga pendidikan atau lembaga kesehatan di suatu daerah.
Jelas sudah bahwa intervensi negara dalam ekonomi Islam tidaklah sesuatu yang
bertentangan dengan kebebasan individual. Bahkan ia menjadi unsur pelengkap untuk
menciptakan maslahat umum. Hal itu bisa disaksikan lagi dengan adanya kewajiban zakat
yang dikeluarkan oleh individual untuk selanjutnya dikelola oleh negara. Di sini didapati
bukan saja keseimbangan antara negara dan individu, tapi juga keseimbangan dan kemerataan
putaran harta. Sehingga pada akhirnya tidak tercipta jurang pemisah yang terlalu lebar antara
si kaya dan si miskin.

5)      Keuniversalan (‘âlamiyyah)


Konsep keuniversalan ini sudah ada sejak diutusnya Rasul ke atas bumi, karena tidak
lain diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Keuniversalan ekonomi Islam
semakin terasa jelas setelah datangnya krisis global yang melanda AS dan belahan negara
lain pada tahun 2008. Karena sejak saat itu beberapa negara barat mulai menerapkan ekonomi
Islam. Bahkan salah satu yang pertama kali menerapkannya adalah vatikan sendiri
sebagaimana yang ditegaskan dalam salah satu surat kabar resmi milik mereka yang bernama
L’osservatore Romano edisi 6 Maret 2009.
Selain itu Vincent Beaufils pimpinan redaksi Challenge, sebuah majalah Prancis
menuliskan sebuah artikel yang mempertanyakan moral dalam sistem ekonomi kapitalis. Hal
itu tak jauh beda dengan yang diucapkan Roland Laskine, pemimpin redaksi majalah Le
Journal des Finance. Dia menuliskan sebuah artikel berjudul “apakah Wall Street siap untuk
menerima prinsip-prinsip hukum Islam?” Tulisan ini bermula dari pendapat dia tentang
pentingnya penerapan hukum Islam di ranah perkonomian untuk meredam krisis yang terjadi
di penjuru dunia.

3.1.3 Dasar-Dasar Sistem Ekonomi Islam

Maksud penciptaan manusia memang tidak lain untuk beribadah kepada Sang
Pencipta, sebagai mana juga dieperintahkan untuk memakmurkan bumiNya dengan adil.
Maka dari itu Allah telah menyiapkan bumi ini agar bisa dimanfaatkan dan menjadikan
manusia sebagai pemimpin di atas bumi itu agar dapat memanfaatkan segala yang ada. Dari
prinsip penciptaan dan konsep kepemimpinan manusia di atas bumi setidaknya bisa ditarik
benang merah untuk membangun prinsip ekonomi dalam Islam, yaitu: kepemilikan ganda
(kepemilikan individual dan kepemilikan umum), kebebasan berkonomi, serta mengayomi
kepentingan umum.. Tetapi di sini penulis berusaha fokus pada masalah kepemilikan ganda
(kepemilikan individual dan kepemilikan umum) yang bertentangan dengan sosialis maupun
kapitalis.
1.      Kepemilikan Individual
Manusia diciptakan dengan fitrah yang sudah ditetapkan oleh Allah dan tidak akan
keluar dari fitrah tersebut. Hal itu sesuai dengan dengan firmanNya surat ar Rum ayat 30
“30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Kemudian
ada sebuah hadits yang juga berbicara tentang hal yang sama “Tidaklah seseorang itu
dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya
Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
Ketika fitrah yang dimaksudkan adalah hal yang mencakup segala aspek kehidupan,
maka apa sebenarnya fitrah manusia dalam hal keuangan dan perkonomian? Allah berfirman
dalam surat al ‘Adiyat ayat 8 “Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada
harta.” Meskipun para ahli tafsir mempunyai perbedaan pendapat tentang hakekat dari
‘berlebihan’ dalam hal kecintaan mereka ini, tapi perbedaan itu tidak begitu jauh, yang
intinya manusia itu menyukai harta. Dalam Shohih Muslim disebutkan “Andai kata seorang
anak Adam mempunyai 2 lembah yang berisi harta, niscaya mereka akan mencari yang
ketiga.”
Berlandaskan dari nash yang disebutkan di atas, maka syariah memberi jawaban
untuk fitrah dari model ekonomi Islam, yaitu kepemilikan individual. Tetapi kepemilikan
individual di sini tidak sama sebagai mana yang ada pada kapitalisme yang malah
menjerumuskan manusia pada kecintaan materi. Maka kepemilikan individual dalam Islam
memiliki batas-batas, ketentuannya, serta kewajibannya sendiri yang nantinya akan saling
melengkapi dengan kepemilikan umum sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelum
ini.
Al Qur’an juga menerangkan dalam beberapa ayat yang menisbahkan harta kepada
individual, diantaranya adalah “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” Atau ayat lain “Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu.”. Jika dihitung, maka setidaknya kita
akan mendapatkan 54 ayat yang menisbahkan harta kepada individual, dan itu belum
termasuk bentuk kalimat yang tidak langsung.
Kepemilikan individual yang sudah dijelaskan di atas sama sekali tidak bertentangan
dengan prinsip kepemilikan mutlak yang dinisbahkan kepada Sang Pencipta Alam. Atau
dengan kata lain bahwa pemilik haqiqi sebenarnya Allah. Disebutkan dalam firmanNya
“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah?”
Maka Dialah Sang Pemilik yang mempunyai segalanya tanpa batasan dan ketentuan. Adapun
posisi dan fungsi manusia tidak lain hanyalah sebagai khalifah di atas bumi.
Tidak adanya pertentangan antara kepemilikan haqiqiNya dengan kepemilikan
individual manusia sebagai khalifah di atas bumi ini tidak jauh beda dengan kepemilikan
ilmu yang dinisbahkan kepadaNya juga. Allah mempunyai sifat al milku (kepemilikan) dan
juga sifat al ‘ilmu, ar rahmân dan berbagai macam sifat lainnya. Sebagaimana manusia
memiliki al ‘ilmu dan ar rahmân dengan karakteristiknya sebagai ‘yang diciptakan’ dan
bukan Yang Menciptakan. Maka dari itu tidak mungkin kita sifati manusia dengan al ‘ilmu
yang dimiliki Sang Pencipta. Kita menyandarkan suatu sifat kepada manusia tidak lain
berdasarkan pada sesuatu parsial, dan bukan keuniversalan dari sifat tadi karena sifat-sifat
tersebut tidak lain adalah milikNya semata.
2.      Kepemilikan Umum
Dr. Robi’ Mahmud Ruby menerangkan yang dimaksud dengan kepemilikan umum
dalam Islam yaitu segala sesuatu yang bukan merupakan kepemilikan individual. Di sini Dr.
Robi’ membagi kepemilikan individual menjadi:
a.       Kepemilikan negara
Dr. Robi’ menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan negara di sini bisa
diartikan layaknya kepemilikan individual milik negara. Maka yang termasuk dalam
golongan ini adalah berbagai firma serta perusahaan atau lembaga-lembaga lain yang mana
seorang pemimpin negara atau pejabat pemerintahan mempunyai hak dalam mengelolanya.
Tentunya hak ini berasaskan maslahat dari rakyat sang pemimpin tersebut. Sedangkan Dr.
Dawabah menambahkan bahwa yang termasuk dalam golongan ini nantinya bisa menjadi
sumber pemasukan untuk baitul mal yang kemudian pemerintah menggunakannya untuk hal-
hal yang mengandung maslahat umum.
b.      Kepemilikan majemuk dari masyarakat
Sudah maklum bahwa masyarakat merupakan kumpulan dari beberapa orang atau
individu. Maka yang dimaksudkan dengan kepemilikan majemuk ini adalah segala jenis
sumber daya yang bisa dipergunakan oleh majemuk dari masyarakat dimana tidak ada satu
individu yang boleh memilikinya secara pribadi. Diantaranya adalah jalan, air, api, rumput
lapang, jembatan dan sumber daya lain yang sejenisnya. Maka dalam bahasa lain bisa
diartikan bahwa kepemilikan majemuk di sini adalah sumber daya yang dihasilkan tanpa
adanya ikut campur satu orang pun di dalamnya. Selain itu sumber-sumber tersebut bisa
didapatkan dengan mudah, ditambah lagi bahwa wujudnya adalah sesuatu yang primer bagi
kalangan majemuk.
Ada sebuah atsar yang sangat pas untuk menggambarkan posisi pemimpin dari pada
kepemilikan umum ini. Umar bin Khattab berkata “barang siapa yang ingin meminta harta
(umum) maka hendaklah ia datang padaku. Karena sesungguhnya Allah SWT telah
menjadikan aku penjaga (khâzin) baginya.” Dari ungkapan yang singkat ini setidaknya dapat
diambil dua hal. Yang pertama adalah tugas seorang khalifah, yaitu menjaga serta
mendistribusikan harta tadi dengan adil. Yang kedua bahwasanya pemerintahan tidak
berkepentingan untuk ikut andil dalam masalah produksi. Tugas pemerintah tidak lain
memberi pengarahan dan peninjauan.
Inilah sistem Islam yang memadukan antara kepemilikan individual dan kepemilikan
umum serta membuat batasan dan aturan antara keduanya. Diantara kelebihannya adalah
seputar penetapan zakat, kharraj, jizyah, usyur, dan lain sebagainya. Dan era kegemilangan
Islam pada zaman abbasiyah, khususnya di bawah kepemimpinan Harun ar Rasyid tidak
lepas dari peletakan dasar ekonomi Islam yang matang dan rapi serta pelaksanaannya yang
penuh amanat. Bahkan diantara syarat untuk menjadi pegawai pajak adalah baik agamanya,
amanat, menguasai ilmu fikih dan lain-lain sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al
Kharraj milik Abu Yusuf.
Tidak heran dengan ketetapan-ketetapan finansial yang berasaskan agama dalam buku
al Kharraj menjadikan umat Islam pada masa Abasiyah merasakan kemakmuran yang
dahsyat. Tercatat bahwa dari pajak kharraj saja pada masa Harun ar Rasyid mencapai 7 juta
dirham dan kemudian meningkat pesat pada masa al Mu’tashim menjadi 30 miliar dirham. Itu
baru dihitung dari segi kharraj tanpa memasukkan sumber pendapatan lain dari berbagai
macam jenis keuangan publik seperti zakat dan lain sebagainya.

3.2 LEMBAGA-LEMBAGA DALAM EKONOMI ISLAM

Sistem perekonomian ummat manusia tersebut perlu diatur sedemikian rupa sebab hal
ini adalah merupakan kebutuhan utama yang tidak dapat ditawar-tawar keberadaannya.
Seluruh ummat manusia di mana dan kapan saja dia berada, pastilah akan mengalami dan
berinteraksi dengan orang lain dalam rangka system perekonomian ini. Sebab hal ini adalah
merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup umat manusia.
Sistem perekonomian tersebut banyak macam ragamnya baik yang diatur secara langsung
oleh Allah swt, maupun yang telah ada sebelumnya, namun keberadaannya dilegitimasi oleh
ajaran agama. Sistem-sitem perekonomian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Badan Amil Zakat
Badan Amil Zakat adalah merupakan sebuah lembaga keagaamaan yang beregerak
dalam bidang perekonomian yang salah satu tugas pokoknya adalah mengentaskan
masyarakat khususnya ummat Islam dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Pembentukan lembaga ini adalah didasarkan atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat. Badan Amil Zakat diharuskan dibentuk secara berjenjang mulai
dari tingkat Pusat sampai dengan tingkat kecamatan. Hal ini dimaksudkan agar potensi
ummat Islam dalam bentuk zakat, infaq dan shodaqah dapat diberdayakan secara maksimal
sehingga berdaya guna dan berhasil guna. Hal ini dirasa sangat penting sebab zakat, infaq dan
shodaqah adalah merupkan potensi ummat Islam yang dapat komplementer dengan
pembangunan nasional, sebab potensi zakat, infaq dan shodaqah apabila dapat diberdayakan
secara maksimal, maka akan mendatangkan dana yang cukup besar yang dapat dipergunakan
untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa dan Negara.
2. Badan Perwakafan Nasional
Wakaf merupakan salah satu lembaga ekonomi Islam yang cukup dikenal di Indonesia,
namun satu hal yang sangat disayangkan lembaga ini belum memberikan kontribusi yang
signifikan bagi keberlangsungan bangsa dan Negara. Hal ini disebabkan karena wakaf
sebagai aset berharga ummat Islam dan sangat potensial, belum dimanfaatkan secara
maksimal dan belum menghasilkan secara optimal. Potensi wakaf yang sangat besar tersebut
kalaupun telah dikelola sebahagiannya, namun pengelolaan tersebut belum bersifat produktif,
sehingga dengan demikian maka jadilah harta-harta wakaf itu dalam bentuk lahan tidur yang
tidak dapat menghasilkan secara ekonomis.
3. Baitul Maal Wat Tamwil
Baitul Maal wat Tamwil adalah merupakan sebuah lembaga Negara yang bergerak
dalam bidang penampungan harta ummat Islam dan Negara. Semua dana yang terkumpul
apakah itu dari pajak maupun dari yang lainnya, kesemuanya dikumpul pada lembaga yang
disebut dengan Baitul Maal Wat Tamwil. Baitul Maal Wat Tamwil ini adalah semacam Kas
Negara ataupun Departemen Keuangan pada zaman modern yang bertugas menyimpan dan
mengelola keuangan Negara sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada public secara
transfaran dan akuntable.
Baitul Maal Wat Tamwil adalah pertama sekali diprakarsai oleh Rasulullah saw
sebagai sebuah lembaga keuangan Negara pada abad ketujuh masehi yang mempunyai tugas
yakni semua hasil pengumpulan Negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian
dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan Negara. Status harta pengumpulan itu adalah milik
Negara dan bukan milik individu. Meskipun demikian dalam batasan-batasan tertentu,
pemimpin negara dan pejabat lainnya menggunakan harta tersebut untuk mencukupi
kebutuhan peribadinya. Hal ini tentu berada di luar jalur dan ketentuan yang berlaku.
Pada masa pemerintahan Rasulullah saw, Baitul Maal bertempat di Masjid Nabawi
yang ketika itu dipergunakan sebagai kantor pusat Negara yang sekaligus berfungsi sebagai
tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan perbendaharaan Negara tidak
disimpan di Baitul Maal sesuai dengan alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan di
lapangan terbuka. Namun harta Negara seperti uang dan lain sebagainya yang dapat
disimpan, ditempatkan di Baitul Maal yang adalah merupakan perbendaharaan dan Kas
Negara.
4. Bank Syariah
Perbankan syariah adalah merupakan sebuah lembaga keuangan yang berdasarkan
hukum Islam yang adalah merupakan sebuah lembaga baru yang amat penting danm strategis
peranannya dalam mengatur perekonomian dan mensejahterakan umat Islam. Kehadiran
lembaga perbankan bukan hanya dapat mengatur perekonomian masyarakat, akan tetapi
kehadirannya dapat juga menghancurkan perekonomian sebuah Negara sebagaimana yang
dialami bangsa Indonesia decade delapan puluhan dan sembilan puluhan.
Oleh karena itulah maka diperlukan perbankan yang berorientasi syariah sehingga
dapat melindungi uang si penanam modal dan juga memberikan keuntungan bagi si
pemiunjam modal. Pada keduanya terjalin hubungan yang sinergis dan saling
menguntungkan, serta kesepakatan bersama apabila terjadi kerugian yang tidak diinginkan
bersama. Apabila terjadi keuntungan, maka sesungguhnya hal itu mudah diatur, akan tetapi
apabila terjadi kerugian ataupun jatuh pailit, maka timbullah percekcokan. Dalam kaitan
dengan ini, hukum Islam telah memberikan aturan main yang saling menguntungkan dan
tidak saling merugikan.
Bank Islam ataupun Bank Syariah sebagaimana disebutkan oleh Fuad Mohammad
Fakhruddin adalah bank dimana kebanyakan pendirinya adalah orang yang beragama Islam
dan seluruhnya atau sebahagian besar sahamnya kepunyaan orang Islam sehingga dengan
demikian maka kekuasaan dan wewenang baik mengenai administrasi maupun mengenai
yang lainnya terletak di tangan orang Islam.
Sedangkan menurut Karnaen A. Parwaatmadja, Bank Islam atau Bank Syariah adalah
bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata cara dan
operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah satu unsur yang harus dijauhi
dalam muamalah Islam adalah praktik-praktik yang mengandung unsur riba.
Dari definisi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bank Islam ataupun
Bank Syariah adalah bank yang mana seluruh atau sebahagian besar sahamnya milik orang
Islam dan beroferasi dengan menggunakan ketentuan-ketentuan syariah Islam (al-Quran dan
al-Sunnah) yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
5. Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank perkreditan rakyat yang
melakukan usaha berdasarkan prinsip syariah ataupun disebut juga bank perkreditan rakyat
yang pola operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip muamalah Islam. BPRS ini dapat
dibentuk dengan badan hukum berupa Perseroan terbatas (PT), Koperasi dan Perusahaan
Daerah.
6. Asuransi Syariah
Asuransi dalam Islam lebih dikenal dengan istilah takaful yang berarti saling
memikul resiko di antara sesama orang Islam, sehingga antara satu dengan yang lainnya
menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar
tolong menolong dalam kebaikan dimana masing-masing mengeluarkan
dana/sumbangan/derma (tabarruk) yang ditunjuk untuk menanggung resiko tersebut. Takaful
dalam pengertian tersebut sesuai dengan surat al-Maidah (5) : 2 “Dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.” Asuransi seperti ini disebut dengan Asuransi Syariah.
Asuransi Syariah sebagaimana tersebut di atas mempunyai prinsip-prinsip pokok
sebagai berikut :
1.Saling bekerjasama dan saling membantu.
2.Saling melindungi dari berbagai kesusahan.
3.Saling bertanggungjawab.
4.Menghindari unsur gharar, maysir, dan riba.
7. Obligasi Syariah
Obligasi Syariah adalah suatu kontrak perjanjian tertulis yang bersifat jangka panjang
untuk membayar kembali pada waktu tertentu seluruh kewajiban yang timbul akibat
pembiayaan untuk kegiatan tertentu menurut syarat dan ketentuan tertentu serta membayar
sejumlah manfaat secara priodik menurut akad.
Perbedaan mendasar antara Obligai Syariah dan Obligasi Konvensional adalah
terletak pada penetapan bunga yang besarnya sudah ditentukan di awal transaksi jual beli,
sedangkan pada obligasi syariah saat perjanjian jual beli tidak ditentukan besarnya bunga,
yang ditentukan adalah berapa proporsi pembagian hasil apabila mendapatkan keuntungan di
masa mendatang.

Obligai syraiah sebagaimana tersebut di atas dapat dibagi kepada jenis-jenis obligasi
syariah sebagai berikut :
1. Obligasi Mudharabah, yaitu obligasi yang menggunakan akad mudharabah (akad
kerjasama antara pemilik modal / sahohibul maal / investor yang menyediakan dana penuh
100 % dan tidak boleh aktif dalam pengelolaan usaha dan pengelola / mudhorib / emiten
mengelola harta secara penuh dan mandiri dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
2. Obligasi Ijarah, yaitu obligasi berdasarkan akad ijarah (suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian) artinya pemilik harta memberikan hak untuk
memanfaatkan obyek dengan manfaat tertentu dan membayar imbalan kepada pemilik obyek.
Dalam akad ijarah disertai adanya perpindahan manfaat tetapi tidak perpindahan
kepemilikan.
8. Pegadaian Syariah
Pegadaian syariah dalam hukum Islam dikenal dengan istilah rahn. Rahn secara
bahasa berarti at-tsubut (tetap), al-dawam (kekal), dan al-habas (jaminan). Secara istilah rahn
berarti menjadikan sesuatu barang yang berharga sebagai jaminan hutang dengan dasar bisa
diambil kembali oleh orang yang berhutang setelah dia mampu menebusnya.
Pegadaian Syariah sebagaimana tersebut telah berdiri dan beroperasi di Indonesia
pada 9 Kantor wilayah, 22 pegadaian unit syariah, dan 10 kantor gadai syariah. Jumlah
pegadaian tersebut masih jauh dari mencukupi dan memadai sebab jumlah itu baru 2,9 % dari
total 739 perum pegadaian cabang di seluruh Indonesia. Idealnya di mana ada perum
pegadaian, maka di situ pula ada perum pegadaian syariah, sehingga tersedia alternative
pilihan bagi masyarakat.
9. Reksadana Syariah
Salah satu produk investasi yang sudah menyesuaikan diri dengan aturan-aturan
syariah adalah reksadana. Produk investasi ini bisa menjadi alternativ yang baik untuk
menggantikan produk perbankan yang pada saat ini dirasakan memberikan hasil yang relativ
kecil.
Reksadana Syariah adalah reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip
syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta dengan manejer
investasi sebagai wakil shohibul maal, maupun antara manejer investasi sebagai wakil
shohibul maal dengan pengguna investasi. Reksadana syariah dan reksadana konvensional
sebenarnya hampir sama pengertian dan bentuknya, hanya saja berbeda dari sisi pengelolaan,
kebijaksanaan invesatasi, akad, pelaksanaan investasi dan pembagian keuntungan.

10. Badan Arbitrase Syariah Nasional


Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah suatu badan yang dibentuk oleh Majelis
Ulama Indonesia yang bertugas untuk menyelesaaikan perkara perbankan di luar pengadilan
umum.
Badan Arbitrase Syariah Nasional sebagaimana tersebut di atas memiliki tujuan
sebagai berikut :
1.Menyelesaikan perselisihan-perselisihan / sengketa-sengketa keperdataan dengan prinsip
mengutamakan usaha-usaha perdamaian / islah sebagaimana yang dimaksud dalam Surat al-
Nisa ayat 128 dan al-Hujurat ayat 9.
2.Meneyelasaikan sengketa bisnis yang operasionalnya mempergunakan hukum Islam.
3.Menyelesaikan kemungkinan adanya sengketa di antara bank-bank syariah.
4.Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa muamalah/perdata yang
timbul dalam bidang perdagangan, jasa, industri dan lain sebagainya.

3.3 PERBEDAAN EKONOMI ISLAM DENGAN EKONOMI KAPITALIS 

Perbedaan sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalis tidak haya pada hal-
hal yang bersifat aplikatif. Namun mulai dari fasafahnya sudah berbeda. Di atas falsafah yang
berbeda ini dibangun tujuan, norma dan prinsip-prinsip yang berbeda. Hal ini karena
keyakinan seseorang mempengaruhi cara pandang dalam membentuk kepribadian, perilaku,
gaya hidup, dan selera manusia. Dalam konteks yang lebih luas, keyakinan juga
mempengaruhi sikap terhadap orang lain, sumber daya, dan lingkungan.
Dalam sistem kapitalis, Tuhan dipensiunkan (retired God). Hal ini direfleksikan
dalam konsep “laissez faire” dan “invisible hand”. Dari falsafah ini kita bisa melihat tujuan
ekonomi kapitalis hanya sekadar pertumbuhan ekonomi. Asumsinya dengan pertumbuhan
ekonomi setiap individu dapat melakukan kegiatan ekonomi demi tercapainya kepuasan
individu.
Begitu pula dengan norma-norma ekonomi. Karena peran Tuhan sudah ditiadakan,
semua hal diserahkan kepada individu. Akibatnya dalam sistem kapitalis kepemilikian
individu menjadi absolut. Norma-norma yang dibangun berdasarkan pada individualisme dan
utilitarianisme. Setiap barang dianggap baik selama bernilai jual. Tidak ada batasan ataupun
norma yang jelas, baik dan buruk diserahkan kepada individu masing-masing. Dari sinilah
kerusakan berawal. Terjadi kedzaliman terhadap sesama manusia, ketimpangan ekonomi dan
sosial, perusakan alam, dan sebagainya. Semuanya terjadi demi meraih kepuasan individu
tanpa dibatasi oleh norma-norma agama.
Falsafah ekonimi Islam secara umum dapat dilihat dari surat al-Muthaffifin ayat 1
sampai 6. Allah berfirman: 1) Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. 2)
(Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi.
3) Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. 4)
Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. 5)
Pada suatu hari yang besar. 6) (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan
semesta alam.
Dengan falsafah tersebut, dalam konsep kepemilikan misalnya, sistem ekonomi Islam
berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme. Abdul Sami’ al-Mishri dalam Pilar-Pilar
Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) merinci konsep kepemilikan. Pertama,
kepemilikan hanya ada dalam area yang tidak menimbulkan kedzaliman bagi orang lain.
Kedua, tidak semua barang bisa dimiliki individu. Barang-barang yang menyangkut
kebutuhan orang banyak tidak bisa dimiliki, seperti padang rumput, sumber air dan sumber
energi. Ketiga, terdapat hak milik orang lain atas barang yang dimiliki oleh seorang muslim,
dan harus ditunaikan sesuai dengan ketentuan Allah (zakat, infak, shadaqah, dan sebagainya).
Keempat, kepemilikan harus didapatkan dengan jalan halal.

3.4 REALITAS EKONOMI UMAT ISLAM DI INDONESIA

Dalam kehidupan ekonomi, sistem bunga atau riba mendominasi persendian ekonomi
dunia dimana dunia Islam secara terpaksa atau sukarela harus mengikutinya. Riba’ yang
sangat zhalim dan merusak telah begitu kuat mewarnai ekonomi dunia, termasuk dunia Islam.
Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, WTO dll. mendikte semua laju
perekonomian di dunia Islam. Akibatnya krisis ekonomi dan keuangan disebabkan hutang
dan korupsi menimpa sebagian besar dunia Islam.
Namun disisi lain perkembangan sistem ekonomi syariah dalam satu dekade terakhir
ini di Indonesia terlihat semakin pesat. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang sangat
menarik. Apalagi kondisi ini terjadi di saat bangsa Indonesia ditimpa oleh krisis
multidimensi, yang diawali oleh krisis moneter pada tahun 1997, yang hingga saat ini masih
berkepanjangan.
Sektor perbankan syariah misalnya, sebelum tahun 1998 di Indonesia hanya terdapat
satu bank umum yang beroperasi berdasarkan sistem syariah. Maka pasca 1998, bank-bank
umum yang beroperasi berdasarkan sistem syariah tumbuh dan berkembang, sehingga di
Indonesia kini terdapat kurang lebih sekitar sepuluh bank umum syariah. Belum lagi
ditambah dengan puluhan bank perkreditan syariah yang beroperasi di tingkat kecamatan di
berbagai wilayah negara Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya sektor perbankan syariah
merupakan bukti semakin tumbuhnya kesadaran sebagian masyarakat Indonesia untuk
menerapkan syariat Islam dalam bidang ekonomi. Apalagi fakta membuktikan bahwa bank
syariahlah yang relatif mampu bertahan di tengah serbuan badai krisis ekonomi, meskipun
kalau dilihat dari persentase volume usaha perbankan syariah, maka nilainya masih relatif
kecil yaitu sekitar 0, 23 persen.

Begitu pula dengan perkembangan sektor zakat, sebagai salah satu pilar ekonomi
Islam. Kesadaran sebagian umat Islam untuk menunaikan zakat semakin besar. Zakat kini
tidak dipandang sebagai suatu bentuk ibadah ritual semata, tetapi lebih dari itu, zakat juga
merupakan institusi yang akan menjamin terciptanya keadilan ekonomi bagi masyarakat
secara keseluruhan. Jadi dimensi zakat tidak hanya bersifat ibadah ritual saja, tetapi
mencakup juga dimensi sosial, ekonomi, keadilan dan kesejahteraan. Zakat juga merupakan
institusi yang menjamin adanya distribusi kekayaan dari golongan “the have” kepada
golongan “the have not”. Kekhawatiran dan ketakutan bahwa zakat akan mengecilkan dan
mereduksi capital formation masyarakat sangat tidak beralasan. Bahkan pengeluaran 2,5 %
zakat dari capital stock perekonomian setiap tahun, akan mampu menyimpan 27,5 % dari
setiap tambahan dalam capital stock untuk mempertahankan perekonomian pada level
sebelumnya (lihat Muhammad Akram Khan dalam Issues in Islamic Economics). Hal ini
mengindikasikan tingginya perhatian dalam pembentukan struktur permodalan dalam
masyarakat.
Institusi zakat harus pula didorong untuk dapat menciptakan lapangan usaha produktif
bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu, yang termasuk dalam kelompok yang berhak
menerima zakat. Seluruh komponen bangsa, termasuk pemerintah, harus memiliki komitmen
yang kuat akan hal ini, karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat,
sehingga dengan demikian tingkat pengangguran pun akan mampu diminimalisir. Apalagi
kita menyadari bahwa angka pengangguran yang terjadi di Indonesia masih sangat tinggi,
yaitu sekitar 40 juta orang atau 18 % dari keseluruhan total penduduk. Kita perlu banyak
belajar kepada negara Malaysia didalam mengelola masalah zakat. Malaysia adalah contoh
negara yang berhasil didalam menjadikan zakat sebagai institusi yang mampu mereduksi
tingkat kemiskinan, sehingga berdasarkan data Badan Zakat negara tersebut, jumlah orang
miskin Malaysia kini hanya tinggal 10 ribu orang saja. Tentu dengan kriteria kemiskinan
yang berbeda dengan Indonesia. Kita berharap dengan adanya UU No. 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, maka segala potensi zakat di Indonesia yang mencapai 6,3 triliun rupiah
per tahunnya (menurut perhitungan Dr KH Didin Hafidhuddin, ulama pakar zakat) akan
dapat dioptimalkan. Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) harus mampu
memerankan dirinya sebagai pengelola zakat yang tidak hanya bersifat amanah, tetapi juga
bertanggung jawab, transparan, dan profesional. Bagi pemerintah sendiri pun, pembiayaan
bagi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat melalui dana zakat akan lebih baik bila
dibandingkan dengan kebijakan deficit financing.
Sektor-sektor usaha lainnya, seperti asuransi syariah, koperasi syariah, BMT (Baytul
Maal wat Tamwiil), juga semakin berkembang, dan bahkan kini telah merambah sektor pasar
modal. Dibukanya Jakarta Islamic Index juga membuktikan bahwa ekonomi syariah memiliki
pangsa pasar tersendiri dan memiliki propek yang sangat strategis kedepannya.
BAB 4
PENUTUP
4.    SIMPULAN

Sistem ekomi Islam mempunya peluang yang sangat berpengaruh dalam usaha dalam
rangka mengurangi kemiskinan yang demikian menggurita, diperlukan sebuah gerakan nyata
dan implementatif. Salah satu upaya strategis untuk mengentaskan kemiskinan (jagoannya
orang miskin) tersebut adalah melalui ekonomi syariah, tepatnya lembaga keuangan syariah.
Selanjutnya, disarankan untuk menunjak keefektifan dalam rangka mengurangi kemiskinan
tersebut, maka pemerintah baik pusat dan daerah (provinsi/kabupaten/kota) dengan
bermacam-macam program yang diluncurkan bisa mensenergikan dengan lembaga keuangan
syariah yang ada di seluruh wilayah Indonesia, dengan pertimbangan lembaga keuangan
syariah memiliki jaringan yang baik ke pusat-pusat kemiskinan, profesional, dan amanah.

DAFTAR PUSTAKA

http://islampeace.clubdiscussion.net/t13-pengertian-tujuan-prinsip-prinsip-
ekonomi-islam.html

http://tugas2kampus.wordpress.com/2013/10/11/kontribusi-pemikiran-ekonomi-
abu-ala-al-maududi/.html

http://laillamardianti.wordpress.com/2012/04/02/ekonomi-syariah/.html

http://ekonomiduniaislam.blogspot.com/2013/01/sistem-ekonomi-islam.html

http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=344.html

http://www.eramuslim.com/peradaban/ekonomi-syariah/perbedaan-mendasar-
antara-sistem-ekonomi-islam-dan-sistem-ekonomi-kapitalis.html
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2013/12/04/ekonomi-syariah-
jagoannya-orang-miskin-615485.html

http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/ekonomi-islam-antara-wacana-dan-realita/.html

http://www.dakwatuna.com/2006/12/22/26/realita-umat-islam-hari-
ini/#axzz2urhzrHTe.html

Anda mungkin juga menyukai