Anda di halaman 1dari 17

Diskusi Topik - 3

Ulkus Peptikum

Penyusun:

Thomas Yohan Junardi 201806010081


Ranyssa Anggiaputri 201806010086
Irvin Priguna Poernama 201806010089

Pembimbing:
dr. Mario Steffanus, Sp.PD

Kepaniteraan Klinik - Ilmu Penyakit Dalam


2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …….……………………………………………....…….......1


DAFTAR ISI ……………….………………………………….………………......2
I. Pendahuluan……….….………………………………………….………………3
II. Epidemiologi…………………………………………………………………….3
III. Patofisiologi………...…………………………………………………………..3
IV. Definisi dan Klasifikasi………………………………………………………...7
VI. Kriteria Diagnosis……………………………………………………………....8
VII. Penatalaksanaan……………………........………………………………….....9
VIII. Pencegahan dan Edukasi…………………................................………….....14
IX. Ringkasan………….………..………………………………...........................15
DAFTAR PUSTAKA……..………………………………………………………17
I. Pendahuluan
Penyakit ulkus peptikum merupakan masalah kesehatan yang mempengaruhi
hampir semua populasi di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, penyakit tukak lambung
menyerang sekitar 4,6 juta orang setiap tahunnya. Ulkus peptikum yang biasa dikenal
dengan tukak lambung merupakan penyebab terbanyak pada perdarahan saluran cerna
bagian atas non-variseal. Dahulu hipersekresi asam bersama-sama dengan faktor makanan
atau stres dianggap menyebabkan sebagian besar penyakit ulkus peptikum, tetapi
penemuan infeksi Helicobacter pylori dan meluasnya penggunaan non-steroid anti-
inflammatory drug (NSAID) pada abad ke-20 mengubah persepsi ini. Insiden dan
prevalensi ulkus peptikum tanpa komplikasi telah menurun dalam beberapa tahun terakhir,
terutama karena ketersediaan pengobatan untuk mengeradikasi Helicobacter pylori.1-3

II. Epidemiologi
Insidensi ulkus peptikum meningkat dengan umur dengan puncak insidensi ulkus
gaster pada dekade ke-6 sedangkan ulkus duodenal dapat dijumpai pada pasien dengan usia
lebih muda. Selain itu insidensi berdasarkan jenis kelaminnya, ulkus gaster dan ulkus
duodenal lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Sementara
insidensi ulkus duodenal sendiri lebih tinggi daripada ulkus gaster. Penggunaan non-
steroid anti-inflammatory drug (NSAID) meningkatkan risiko terhadap ulkus gaster.
Kolonisasi H.pylori juga meningkatkan resiko terjadinya ulkus peptikum. Dimana
kolonisasi H.pylori dipengaruhi oleh tingkat sosio-ekonomi yang rendah dan edukasi yang
rendah.3
Diperkirakan sekitar 6-15% populasi di negara barat mengalami ulkus duodenal
dan sekitar 30% dari populasi memiliki kolonisasi H.pylori. Sedangkan di indonesia sendiri
sekitar 6,5% dari pasien dengan keluhan dispepsia mengalami ulkus gaster. Sedangkan
prevalensi infeksi H.pylori pada pasien ulkus peptikum di indonesia bervariasi dari 90-
100%. 3,4

III. Patofisiologi
Ulkus peptikum berkembang sebagai hasil dari ketidakseimbangan antara faktor
agresif dan faktor protektif / perbaikan pada mukosa. H. pylori dan penggunaan NSAID
merupakan faktor risiko utama terjadinya ketidakseimbangan faktor agresif dan protektif /
perbaikan, selain itu terdapat pula faktor patogenetik yang juga berkontribusi dalam
ketidakseimbangan faktor-faktor tersebut yang kemudian akan menjadi ulkus peptikum.3
Hasil akhir infeksi H. pylori pada ulkus gaster ditentukan oleh faktor bakterial dan
faktor host. Faktor bakterial: H. pylori dapat menempati lingkungan gaster dan
mencetuskan luka pada mukosa dan menghindari mekanisme pertahanan host. H. pylori
dapat memproduksi beberapa faktor virulensi seperti γ-glutamyl transpeptidase (GGT),
cytotoxin-associated gene A (cagA), vacuolating toxin (vacA) yang dapat menyebabkan
kerusakan mukosa. VacA menargetkan sel T CD4 dan menghambat proliferasinya
sehingga terjadi gangguan fungsi normal sel B, sel T CD8, makrofag, dan sel mast. CagA
berperan dalam inflamasi dan mengganggu tight junction intraseluler. Urease memfasilitasi
bakteri untuk bertahan dalam lingkungan asam gaster dan untuk menghasilkan amonia
yang dapat merusak sel epitel. H. pylori memproduksi protease dan fosfolipase yang dapat
memecah gel mukus sehingga menurunkan pertahanan lini pertama mukosa, selain itu juga
memproduksi adhesin untuk memfasilitasi bakteri dalam pelekatan pada epitel gaster.1,3
Faktor host: respon inflamasi yang terjadi akibat H. pylori mencakupi perekrutan
neutrofil, limfosit (B dan T), makrofag, dan sel plasma, sehingga neutrofil yang teraktivasi
akan memproduksi reactive oxygen dan nitrogen species serta meningkatkan turnover sel
epitel dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan epitel. CagA pada H. pylori akan
mengaktivasi produksi sitokin sehingga terjadi peningkatan sitokin seperti interleukin (IL)
1α/β, IL-2, IL-6, IL-8, tumor necrosis factor (TNF) α, dan interferon (IFN) γ yang
kemudian akan memperlanjut kerusakan sel hingga terjadi apoptosis. Urease pada bakteri
dapat menstimulasi sintesis NO pada makrofag dan sel epitel gaster sehingga menciptakan
efek sitotoksik pada sekeliling sel.3
Untuk mekanisme H. pylori menyebabkan ulkus duodenum sampai saat ini masih
belum jelas, namun ada beberapa studi yang mengemukakan bahwa H. pylori pada ulkus
duodenum memiliki tingkat virulensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ulkus gaster,
faktor spesifik bakteri tersebut adalah Duodenal Ulcer-promoting gene A (dupA). Studi
lain mengemukakan bahwa pasien dengan ulkus duodenum mengalami metaplasia pada
duodenum akibat tingginya paparan asam sehingga bakteri dapat berikatan dan
menghasilkan kerusakan lokal. Hipotesis lain mengatakan bahwa infeksi H. pylori pada
bagian antrum dapat meningkatkan produksi asam (juga pada duodenum) dan kerusakan
mukosa. Pada individu yang terinfeksi juga mengalami peningkatan pelepasan gastrin dan
penurunan sekresi somatostatin oleh sel D, serta penurunan produksi bikarbonat
duodenum.3
Gangguan pada sintesis prostaglandin dapat mengganggu pertahanan dan perbaikan
mukosa. Aspirin dan beberapa NSAID merupakan asam lemak dan tetap dalam bentuk
lipofilik non ionisasi. Ketika berada pada lingkungan asam, NSAID dapat bermigrasi
melewati membran lipid epitel dan bila terperangkap pada kondisi ionisasi maka akan
menimbulkan kerusakan sel. NSAID juga dapat mengubah permukaan lapisan mukus
sehingga terjadi difusi kembali ion hidrogen dan pepsin sehingga memperparah kerusakan
sel.3,5
Faktor patogenetik yang dapat mencetuskan terjadinya ulkus peptikum meliputi
kebiasaan merokok, predisposisi genetik, stres psikologis, makanan, usia lanjut, pengguna
alkohol, obesitas, dan penyakit kronik sistemik (penyakit paru kronik, gagal ginjal kronik,
sirosis hati, nefrolitiasis, defisiensi α1-antitripsin, dan mastositosis sistemik). Penggunaan
rokok dapat mengganggu penyembuhan, mengganggu respon terhadap terapi, dan
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi. Selain itu rokok dapat mengubah pengosongan
lambung, menurunkan produksi bikarbonat pada duodenum proksimal, meningkatkan
risiko infeksi H. pylori, dan menciptakan radikal bebas. Faktor genetik yang berperan
meliputi gen yang mengkode enzim yang memetabolisme NSAID seperti sitokrom P450
2C9 dan 2C8.3
Faktor agresif meliputi mekanisme sekresi asam lambung. HCl dan pepsinogen
merupakan produk hasil sekresi gaster yang dapat mencetuskan rusaknya mukosa. Asam
lambung dan pepsinogen berperan dalam digesti protein, penyerapan besi, kalsium,
magnesium, vitamin B12, serta dapat membunuh bakteri yang teringesti. Produksi asam
basal dipengaruhi oleh irama sirkadian, dimana pada saat malam hari produksi asam
lambung akan meningkat, sedangkan saat pagi hari produksi asam berada pada tingkat
terendah. Sekresi asam lambung distimulasi oleh 3 fase, yaitu fase sefalik: ketika individu
melihat, menghidu, serta merasakan makanan nervus vagus akan mengirim signal untuk
mensekresi asam lambung. Berikutnya fase gastrik: teraktivasi ketika makanan masuk
kedalam gaster. Sekresi asam dipicu oleh nutrien yang menstimulasi sel G untuk
melepaskan gastrin. Gastrin kemudian akan mengaktivasi sel parietal selain itu juga
distensi dinding gaster akan melepaskan gastrin dan produksi asam akan terjadi. Fase yang
terakhir yaitu fase intestinal: pada saat makanan masuk ke dalam usus asam lambung tetap
akan disekresi, di sisi lain terjadi distensi dinding luminal dan asimilasi nutrien yang
kemudian akan menginhibisi produksi asam lambung. Somatostatin disekresikan oleh sel
endotel pada sel D sebagai respon terhadap HCl yang berperan juga dalam inhibisi produksi
asam. Somatostatin menginhibisi produksi asam melalui cara direk (sel parietal) dan
indirek (penurunan pelepasan histamin oleh enterochromaffin-like cell, pelepasan ghrelin
dari sel Gr, dan pelepasan gastrin dari sel G). Sel parietal mengekspresi reseptor untuk
mentimulasi sekresi asam, yaitu histamin, gastrin, dan asetilkolin. Histamin menstimulasi
sekresi asam lambung secara indirek dengan mengaktivasi sel D yang akan menginhibisi
pelepasan somatostatin.1,3,5
Faktor protektif / perbaikan pada mukosa gaster meliputi mekanisme fisiologis
pertahanan yang terdapat pada bagian pre-epitel, epitel, dan subepitel. Mekanisme
pertahanan pertama yaitu lapisan mukus-bikarbonat-fosfolipid yang menjadi pertahanan
terhadap trauma fisikokimia. Sel epitel gaster akan mensekresikan mukus yang terdiri dari
95% air dan campuran fosfolipid dan glikoprotein (musin). Permukaan sel epitel juga akan
mensekresikan bikarbonat kedalam gel mukus sehingga terbentuk gradien pH pada
permukaan luminal gaster sebesar 1-2 dan pada permukaan sel epitel sebesar 6-7.
Pertahanan yang diberikan oleh permukaan sel epitel melalui produksi mukus, transpor ion
yang akan menjaga pH intraseluler dan produksi bikarbonat, dan tight junction intraseluler.
Permukaan sel epitel juga menghasilkan protein heat shock yang dapat mencegah
denaturasi protein dan menjaga sel bila terjadi peningkatan suhu, adanya agen sitotoksik,
atau stres oksidatif. Peptida trefoil dan cathelicidin dari sel epitel juga berperan penting
dalam proteksi dan regenerasi.3
Beberapa growth factor seperti epidermal growth factor (EGF), transforming
growth factor (TGF) α, dan fibroblast growth factor (FGF) dapat memodulasi proses
restitusi sel epitel yang rusak. Regenerasi epitel diregulasi oleh prostaglandin, EGF, dan
TGF-α. Secara bersamaan bila terjadi regenerasi sel epitel, akan terjadi juga angiogenesis
pada pembuluh darah yang rusak. FGF dan vascular endothelial growth factor (VEGF)
berperan penting dalam regulasi angiogenesis. Sistem mikrovaskular pada submukosa
gaster merupakan komponen yang juga penting dalam sistem pertahanan / perbaikan
subepitel karena dapat menyediakan ion bikarbonat yang dapat menetralisir asam yang
dihasilkan sel parietal, selain itu mikrovaskular juga dapat menyediakan mikronutrien dan
oksigen, serta eliminasi produk toksik metabolik. Pertahanan vaskular dijaga melalui
vasodilatasi yang disebabkan oleh nitrogen monoksida (NO), hidrogen sulfat, dan
prostasiklin. NO berperan untuk memperbaiki integritas mukosa gaster dengan
menstimulasi produksi mukus, peningkatan aliran darah mukosa, dan menjaga fungsi
pertahanan sel.1,5
Prostaglandin berperan penting dalam pertahanan dan perbaikan sel epitel melalui
regulasi pelepasan bikarbonat dan mukus, menginhibisi sekresi sel parietal, dan menjaga
aliran darah dan perbaikan sel. Cyclooxygenase (COX) merupakan enzim utama pada
sintesis prostaglandin. COX memiliki dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1
berekspresi pada gaster, platelet, ginjal, dan sel endotel dengan peran untuk menjaga
integritas fungsi ginjal, agregasi platelet, dan integritas mukosa gaster. Berbeda dengan
COX-2 yang dapat terinduksi oleh stimulus inflamasi dan berekspresi pada makrofag,
leukosit, fibroblas, dan sel sinovial.3

IV. Definisi dan Klasifikasi


Ulkus peptikum merupakan gangguan integritas mukosa gaster dan / atau
duodenum yang akan menyebabkan defek lokal akibat inflamasi yang aktif. Ulkus sendiri
didefinisikan sebagai hilangnya permukaan mukosa dengan ukuran lebih dari 5 mm dan
dengan dalam mencapai submukosa. Ulkus peptikum mencakup ulkus gaster dan ulkus
duodenum yang dibedakan berdasarkan lokasinya. Ulkus gaster dapat diklasifikasikan lagi
berdasarkan lokasinya menjadi: tipe I yang berlokasi pada corpus gaster, tipe II yang
berlokasi pada antrum gaster, dan tipe III yang berlokasi dalam jarak 3 cm dari pilorus dan
sering disertai dengan ulkus duodenum. Ulkus duodenum berlokasi paling sering pada
bagian pertama duodenum (>95%) dengan sekitar 90% berlokasi dalam jarak 3 cm dari
pilorus.3 Klasifikasi ulkus peptikum berdasarkan modifikasi Johnson dibagi menjadi: tipe
I dengan ulkus pada sepanjang corpus gaster dan paling sering pada sepanjang kurvatura
minor pada incisura angularis, tipe II dengan ulkus pada corpus gaster dan pada duodenum,
tipe III dengan ulkus pada kanal pilorik, tipe IV dengan ulkus pada gastro-esofagus
proksimal, dan tipe V dengan ulkus yang dapat terjadi dimana saja pada seluruh bagian
epigastrik.5

V. Kriteria Diagnosis
A. Anamnesis
Nyeri perut pada ulkus peptikum memiliki nilai prediktif yang tidak baik. Nyeri
epigastrik dengan sensasi terbakar atau seperti “digerogoti” dapat dirasakan pada ulkus
gaster maupun ulkus duodenal. Namun rasa tidak enak tersebut sering salah diartikan oleh
pasien sebagai nyeri lapar. Pola nyeri tipikal pada ulkus duodenal adalah terjadi 90 menit
hingga 3 jam setelah makan ataupun sebelum makan dan membaik setelah meminum
antasida atau makan. Sedangkan pada pasien dengan ulkus gaster, nyeri sering timbul
setelah makan. Keadaan mual dan juga kehilangan berat badan lebih sering ditemukan pada
pasien ulkus gaster.3
Dapat terjadi manifestasi klinis lainnya seperti mual, muntah, dispepsia yang
konstan dan nyeri abdominal berat yang akut yang menandakan bahwa telah terjadi
komplikasi pada pasien tersebut. Seperti apabila pasien mengeluhkan nyeri yang
memburuk setelah makan disertai dengan mual dan muntah makanan yang baru saja
dimakan dapat menandakan adanya obstruksi outlet gaster. Sedangkan dari anamnesis
apabila didapatkan adanya buang air besar berwarna coklat dapat menandakan adanya
perdarahan pada saluran cerna.3

B. Pemeriksaan Fisik
Nyeri tekan epigastrik merupakan penemuan pemeriksaan fisik yang paling sering
ditemukan pasien ulkus gastrik atau ulkus duodenal. Nyeri dapat ditemukan pada daerah
kanan titik tengah tubuh. Namun nilai prediktif pada nyeri epigastrik juga rendah.
Pemeriksaan fisik penting dilakukan untuk melihat apakah ada tanda-tanda komplikasi dari
pasien tersebut. Dapat ditemukan takikardi dan juga orthostasis pada pasien dengan
komplikasi berupa dehidrasi akibat muntah ataupun perdarahan aktif. Lalu dapat pula
ditemukan abdomen yang keras seperti papan dan juga nyeri pada pasien dengan
komplikasi perforasi.3
C. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan pemeriksaan berupa radiography (studi barium) dan juga
endoskopi. Pemeriksaan radiography berupa studi barium jarang dilakukan sebagai tes
utama untuk mendokumentasikan ulkus. Sensitivitas dari kontras tunggal adalah 80%
sedangkan pada kontras ganda adalah 90%. Namun sensitivitas turun pada ulkus yang
kecil, scarring dan juga pasien post-operatif. Dapat ditemukan lesi berbentuk kawah
berbatas tegas di gaster pada ulkus gaster dan lesi kawah dengan lipatan mukosa yang
beradiasi dari ulkus pada ulkus duodenal.3
Pemeriksaan endoskopi merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik
untuk mendeteksi ulkus. Pada pemeriksaan endoskopi, defek mukosa akan
didokumentasikan dan juga akan dilakukan biopsi jaringan untuk memeriksa apakah
terdapat malignansi ataupun infeksi H.pylori. Pemeriksaan endoskopi sangat membantu
untuk mengidentifikasi ulkus yang sangat kecil dan juga untuk melihat apakah ulkus
merupakan sumber perdarahan.3
Selain kedua pemeriksaan diatas dapat dilakukan pemeriksaan untuk melihat
keberadaan H.pylori melalui pemeriksaan yang invasif dan non-invasif. Pemeriksaan
invasif dilakukan dengan cara pemeriksaan pada hasil biopsi. Sedangkan pemeriksaan non-
invasif dapat dilakukan dengan cara urea breath test, pemeriksaan serologi dan
pemeriksaan antigen pada feses.3

VI. Tatalaksana
Tatalaksana pada ulkus peptikum berupa pengurangan asam lambung dan eradikasi dari
bakteri H. pylori yang merupakan penyebab tersering dari ulkus peptikum.3
Gambar 1. Algoritma Pasien dengan Dispepsia6
Supresi asam lambung
Antasida
Antasida sekarang jarang digunakan sebagai terapi utama tetapi sering digunakan oleh
pasien untuk menghilangkan gejala dispepsia. Yang paling umum digunakan adalah
campuran aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Contoh dari antasida adalah
Mylanta, Maalox,Tums, Gaviscon dengan dosis 100–140 meq/L yang diminum 1 dan 3
jam setelah makan dan sebelum tidur.
Antagonis reseptor H2
Antagonis reseptor H2 merupakan obat yang dulu digunakan sebelum penemuan H. pylori
dan pengembangan proton pump inhibitor (PPIs).
● Cimetidine 2x 400 mg
● Ranitidine 300 mg hs
● Famotidine 40 mg hs
● Nizatidine 300 mg hs
Proton Pump Inhibitors
PPI sebagian besar telah menggantikan antagonis reseptor H2 karena kesembuhan dan
efikasi yang superior.
● Omeprazole 20 mg/hari
● Lansoprazole 30 mg/hari
● Rabeprazole 20 mg/hari
● Pantoprazole 40 mg/hari
● Esomeprazole 20 mg/hari
● Dexlansoprazole 30 mg/hari

Agen sitoprotektif:
● Sukralfat adalah garam sukrosa kompleks dimana gugus hidroksil telah disubstitusi
oleh aluminium hidroksida dan sulfat. Dosis sukralfat adalah 4x1 g.
● Analog prostaglandin memiliki peran dalam menjaga integritas dan perbaikan
mukosa Contoh dari analog prostaglandin adalah misoprostol dengan dosis 4x200
μg.
● Bismuth memiliki efek terhadap H. pylori yang diketahui sebagai penyebab ulkus
peptikum. Dosis Bismuth subcitrate 4x 120–300 mg atau bismuth subsalicylate
(BSS) 4x300 mg.

Antibiotik
Antibiotik ditargetkan untuk mengeradikasi H. pylori karena pada pasien dengan
ulkus peptikum dapat menyebabkan berkurangnya perdarahan ulkus berulang. Diketahui
adanya penurunan pada kekambuhan ulkus menjadi <10-20% dibandingkan dengan 59%
pada pasien GU dan 67% pada pasien DU ketika organisme tidak dihilangkan.
Medikamentosa tunggal tidak ada yang efektif dalam memberantas H. pylori.
Terapi kombinasi selama 14 hari telah terbukti memberikan kesembuhan terbesar.
Regimen yang pertama kali efektif terhadap H. pylori ditemukan adalah kombinasi bismut,
metronidazole, dan tetrasiklin. Kombinasi dua antibiotik ditambah PPI, H2 blocker, atau
senyawa bismut memiliki tingkat keberhasilan yang sebanding.
Tabel 1. Terapi Lini Pertama untuk Helicobacter pylori3

Terapi lini-2
Jika seorang pasien menerima pengobatan lini pertama yang mengandung
clarithromycin, maka terapi bismuth quadruple atau levofloxacin adalah pilihan
pengobatan. Jika pasien menerima terapi quadruple bismut sebagai lini pertama, rejimen
pengobatan lini kedua adalah yang mengandung klaritromisin atau levofloxacin.8
Gambar 2. Pilihan Terapi Lini Kedua untuk Persisten H. pylori7

Tabel 2. Terapi Lini Kedua untuk H.pylori3


Pembedahan diindikasikan jika pasien tidak responsif terhadap medikamentosa,
tidak patuh, atau berisiko tinggi mengalami komplikasi. Selain itu juga dapat dilakukan
pada ulkus peptikum yang refrakter (tidak sembuh setelah 8-12 minggu terapi).
Tujuan dari pembedahan adalah mengurangi sekresi asam lambung. Operasi yang
paling umum dilakukan meliputi (1) vagotomi dan drainase (dengan pyloroplasty,
gastroduodenostomy, atau gastrojejunostomy), (2) vagotomy yang sangat selektif (yang
tidak memerlukan drainase prosedur), dan (3) vagotomi dengan antrectomy.
Vagotomi bertujuan mengurangi sekresi asam melalui ablasi input kolinergik ke lambung.3

Gambar 3. Representasi Skematik dari Billroth I dan Billroth II3

VII. Pencegahan
Pendekatan untuk pencegahan primer termasuk menghindari penggunaan NSAID,
menggunakan dosis yang serendah mungkin untuk periode waktu sesingkat mungkin,
menggunakan NSAID yang secara teoritis tidak terlalu membahayakan, menggunakan
NSAID topikal, dan / atau menggunakan medikamentosa lain bersamaan NSAID untuk
mencegah ulkus peptikum.
Individu yang tidak berisiko untuk kejadian CV tidak menggunakan aspirin dan
tanpa risiko komplikasi GI dapat menggunakan NSAID non selektif tanpa gastroprotektor.
Bagi yang tidak memiliki faktor risiko KV tetapi memiliki risiko potensial tinggi
(perdarahan GI sebelumnya atau beberapa faktor risiko GI) yang diinduksi NSAID,
direkomendasikan untuk penggunaan inhibitor COX-2 selektif dan terapi bersama dengan
misoprostol atau PPI dosis tinggi. Individu dengan risiko GI sedang tanpa faktor risiko
jantung dapat diobati dengan inhibitor COX-2 saja atau dengan NSAID non selektif dengan
misoprostol atau PPI. Individu dengan faktor risiko KV, yang memerlukan aspirin dosis
rendah dan memiliki potensi rendah untuk toksisitas yang diinduksi NSAID, harus
dipertimbangkan untuk non-NSAID atau penggunaan NSAID tradisional seperti naproxen
dalam kombinasi dengan gastroprotektor. Pada individu dengan risiko KV dan GI yang
memerlukan aspirin harus dipertimbangkan untuk terapi non-NSAID, tetapi jika tidak
dapat, maka harus dipertimbangkan pemberian gastroprotektor dengan semua jenis
NSAID.
Edukasi yang dapat diberikan pasien adalah tidak merokok. Pada perokok
ditemukan ulkus lebih sering daripada yang bukan perokok. Selain itu merokok juga
menurunkan tingkat penyembuhan, mengganggu respons terhadap terapi, dan
meningkatkan komplikasi seperti perforasi. Meskipun tidak ada "diet antiulkus," pasien
sebaiknya menghindari makanan dan minuman yang pedas, berkafein, dan alkohol yang
menyebabkan dispepsia atau yang memperburuk ulkus. Selain itu pasien juga perlu
mengurangi stres.9

VIII. Ringkasan
Ulkus peptikum merupakan gangguan integritas mukosa gaster dan / atau
duodenum yang akan menyebabkan defek lokal akibat inflamasi yang aktif. Dahulu
hipersekresi asam bersama-sama dengan faktor makanan atau stres dianggap menyebabkan
sebagian besar penyakit ulkus peptikum, tetapi penemuan infeksi Helicobacter pylori dan
meluasnya penggunaan non-steroid anti-inflammatory drug (NSAID) pada abad ke-20
mengubah persepsi ini. Di indonesia sendiri sekitar 6,5% dari pasien dengan keluhan
dispepsia mengalami ulkus gaster. Sedangkan prevalensi infeksi H.pylori pada pasien
ulkus peptikum di Indonesia bervariasi dari 90-100%. Ulkus peptikum berkembang
sebagai hasil dari ketidakseimbangan antara faktor agresif dan faktor protektif / perbaikan
pada mukosa. H. pylori dan penggunaan NSAID merupakan faktor risiko utama terjadinya
ketidakseimbangan faktor agresif dan protektif / perbaikan, selain itu terdapat pula faktor
patogenetik yang juga berkontribusi dalam ketidakseimbangan faktor-faktor tersebut yang
kemudian akan menjadi ulkus peptikum. Klasifikasi ulkus peptikum berdasarkan
modifikasi Johnson dibagi menjadi 5 tipe. Temuan anamnesis pada pasien dengan ulkus
duodenal adalah pola nyeri yang terjadi 90 menit hingga 3 jam setelah makan ataupun
sebelum makan dan membaik setelah meminum antasida atau makan. Sedangkan pada
pasien dengan ulkus gaster, nyeri sering timbul setelah makan. Keadaan mual dan juga
kehilangan berat badan lebih sering ditemukan pada pasien ulkus gaster. Temuan
pemeriksaan fisik meliputi nyeri tekan epigastrik, bila ditemukan takikardi dan juga
orthostasis mengarah ke komplikasi dehidrasi akibat muntah ataupun perdarahan aktif.
Lalu dapat pula ditemukan abdomen yang keras seperti papan dan juga nyeri pada pasien
dengan komplikasi perforasi. Dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa radiography
(studi barium), endoskopi, pemeriksaan untuk melihat H. pylori. Tatalaksana ulkus
peptikum berupa pengurangan asam lambung dan eradikasi dari bakteri H. pylori.
Pendekatan untuk pencegahan primer termasuk menghindari penggunaan NSAID,
menggunakan dosis yang serendah mungkin untuk periode waktu sesingkat mungkin,
menggunakan NSAID yang secara teoritis tidak terlalu membahayakan, menggunakan
NSAID topikal, dan / atau menggunakan medikamentosa lain bersamaan NSAID untuk
mencegah ulkus peptikum. Edukasi yang dapat diberikan pada pasien yaitu berhenti
merokok dan menghindari makan yang bersifat iritatif serta mengurangi stres.9
DAFTAR PUSTAKA

1. Lanas A, Chan FKL. Peptic Ulcer Disease. Lancet, 2017. 390 : 613-24.
2. Nugraha DA. Diagnosis dan Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-
Variseal. Cermin Dunia Kedokteran. 2017 Mei 1;44(5):323–7.
3. Harrison T, Kasper D, Fauci A, Longo D, Hauser S, Jameson J et al. Harrison’s
principles of internal medicine. 20th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2018.
4. Simadibrata-et-al.-2014-Konsensus-nasional-penatalaksanaan-dispepsia-dan-infeksi-
Helicobacter-pylori.pdf. Available from: https://caiherang.com/wp-
content/uploads/2019/10/Simadibrata-et-al.-2014-Konsensus-nasional-penatalaksanaan-
dispepsia-dan-infeksi-Helicobacter-pylori.pdf
5. Kirsch JM, Hirsch-Reilly C. Peptic Ulcer Disease. InAcute Care General Surgery 2017
(pp. 159-164). Springer, Cham.
6. Ramakrishnan K, Salinas RC. Peptic Ulcer Disease. Am Fam Physician. 2007 Oct
1;76(7):1005–12.
7. Chey W, Leontiadis G, Howden C, Moss S. ACG Clinical Guideline: Treatment of
Helicobacter pylori Infection. American Journal of Gastroenterology. 2017;112(2):212-
239.
8. Malik TF, Gnanapandithan K, Singh K. Peptic Ulcer Disease. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 [cited 2020 Jun 10]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534792/
9. Kumar A, Ashwlayan V, Verma M. Diagnostic approach & pharmacological treatment
regimen of Peptic Ulcer Disease. Phar Pharm Res Open Acc J. (2019);1(1):1‒12.

Anda mungkin juga menyukai