Anda di halaman 1dari 11

TUGAS INDIVIDU

KEK & KVA

MATA KULIAH EPIDEMIOLOGI GIZI

Dosen : Yunita Satya Pratiwi S.P., M.Kes.

Oleh :

Nama : Devika Nurmalasari

NIM : 202110102007

Program Studi : S1 Gizi

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS JEMBER
2021
1. Jelaskan konsep dasar terjadinya penyakit pada kasus KEK dan KVA yang merujuk
terjadinya suatu penyakit atau masalah kesehatan sebagai hasil akhir, interaksi antara :
Host, Agent dan Environment
Jawab :
a) Kekurangan Energi Kronis (KEK)
 Distribusi Masalah KEK pada Ibu Hamil
Ibu Hamil sangat rentan terkena penyakit Kekurangan Energi Kronis.
Kurang Energi Kronis merupakan keadaan dimana ibu menderita kekurangan
makanan yang berlangsung kronis yang mengakibatkan timbulnya gangguan
kesehatan pada ibu sehingga kebutuhan ibu hamil akan zat gizi yang semakin
meningkat tidak terpenuhi. Adapun beberapa distribusi masalah yang
mempengaruhi kebutuhan ibu akan zat gizi tidak terpenuhi yaitu disebabkan
karena asupan makanan yang kurang dan penyakit infeksi, ibu hamil yang
asupan makanannya cukup tetapi menderita sakit maka akan mengalami gizi
kurang dan ibu hamil yang asupan makanannya kurang maka daya tahan tubuh
akan melemah dan akan mudah terserang penyakit, tingkat pendidikan yang
rendah, pengetahuan ibu tentang gizi kurang, pendapatan keluarga yang tidak
memadahi, usia ibu yang kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
sehingga berpengaruh pada kebutuhan gizinya, paritas ibu yang tinggi atau
terlalu sering hamil dapat menguras cadangan zat gizi tubuh, jarak kelahiran
yang terlalu dekat menyebabkan ibu tidak memperoleh kesempatan untuk
memperbaiki tubuh setelah melahirkan, ibu hamil yang bekerja membutuhkan
lebih banyak energi karena cadangan energinya dibagi untuk dirinya sendiri,
janin dan energi untuk beraktivitas (bekerja).

 Determinan epidemiologi KEK pada Ibu Hamil


 Host : Determinan host pada KEK adalah Ibu hamil dengan LiLa <23,5
cm, pendidikan dan pengetahuan ibu, usia, jarak kehamilan.
 Agent : Determinan agent pada KEK adalah Pola Konsumsi, kurang gizi,
penyakit infeksi
 Environment : Determinan environment pada KEK adalah Pendapatan
keluarga, aktivitas ibu hamil, iklim, sosial dan budaya
 Hubungan antara Masalah KEK dan Determinan epidemiologi KEK
pada Ibu Hamil
Determinan epidemiologi KEK sangat berhubungan dengan adanya
masalah KEK pada Ibu Hamil karena dapat dikatakan bahwa timbul atau
tidaknya penyakit dipengaruhi oleh tiga determinan yaitu host, agent dan
environment. Jika ketiga determinan tersebut tidak seimbang maka akan
berpengaruh terhadap terjadinya masalah KEK pada ibu hamil.

 Determinan yang paling berpengaruh


Determinan yang meliputi host, agent dan environment berpengaruh
terhadap timbulnya penyakit KEK pada ibu hamil. Tetapi determinan yang
paling berpengaruh adalah determinan agent yang meliputi pola konsumsi,
kurang gizi dan penyakit infeksi. Karena pada determinan agent ini merupakan
determinan langsung dari penyebab KEK yang dimana determinan langsung ii
akan mempengaruhi determinan tidak langsung. Seperti yang kita ketahui
bahwa pola konsumsi dan kurang gizi sangat berpengaruh pada timbulnya
penyakit KEK pada ibu hamil, karena sebagian besar ibu hamil mengalami
KEK disebabkan akibat kekurangan asupan nutrisi yang mengandung gizi
seimbang.

 Solusi

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekurangan energi


kronis dengan perubahan pola konsumsi makanan adalah:

 Pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil


 Ketersediaan pangan yang memadai di rumah tangga
 Penyuluhan mengenai pentingnya memenuhi kebutuhan nutrisi kehamilan
 Perubahan kebiasaan atau pola makan agar sesuai dengan kebutuhan tubuh
 Mengatasi gangguan kehamilan yang menyebabkan malnutrisi.

Apabila KEK pada ibu hamil telah menyebabkan kondisi kritis, maka ibu
hamil memerlukan perawatan intensif untuk mengatasinya.
b) Kekurangan Vitamin A (KVA)
 Distribusi Masalah KVA pada bayi
Kekurangan Vitamin A (KVA) terutama pada bayi adalah penyakit yang
disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin A. adapun beberapa distribusi
masalah yang mempengaruhi kebutuhan vitamin A pada bayi tidak tepenuhi
yaitu disebabkan oleh asupan konsumsi vitamin A yang kurang memadai, pola
asuh anak yang salah sehingga anak kurang mengonsumsi vitamin, pendidikan
dan pengetahuan ibu tentang pentingnya asupan vitamin A bagi bayi, adanya
penyakit infeksi pada anak, tidak tersedianya vitamin A yang cukup di suatu
wilayah, pendapatan keluarga yang kurang sehingga tidak dapat terpenuhi nya
vitamin A, serta kondisi bayi sendiri seperti bayi dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR), tingkat imunitas yang berkurang.

 Determinan epidemiologi KVA pada bayi


 Host : Determinan host pada KVA adalah Bayi, pendidikan dan
pengetahuan ibu, usia, Bayi BBLR, faktor imunitas bayi
 Agent : Determinan agent pada KVA adalah Pola konsumsi vitamin A,
penyakit infeksi, pola asuh anak
 Environment : Determinan environment pada KVA adalah Pendapatan
keluarga, sosial dan budaya, lingkungan fisik,

 Hubungan antara Masalah KVA dan Determinan KVA pada bayi


Determinan epidemiologi KVA sangat berhubungan dengan adanya
masalah KVA pada bayi karena dapat dikatakan bahwa timbul atau tidaknya
penyakit dipengaruhi oleh tiga determinan yaitu host, agent dan environment.
Jika ketiga determinan tersebut tidak seimbang maka akan berpengaruh
terhadap terjadinya masalah KVA pada bayi.

 Determinan yang paling berpengaruh


Determinan yang meliputi host, agent dan environment berpengaruh
terhadap timbulnya penyakit KVA pada bayi. Tetapi determinan yang paling
berpengaruh adalah determinan agent yang meliputi pola konsumsi vitamin A,
penyakit infeksi, dan pola asuh anak. Karena pada determinan agent ini
merupakan determinan langsung dari penyebab KVA yang dimana determinan
langsung ini akan mempengaruhi determinan tidak langsung. Seperti yang kita
ketahui bahwa pola konsumsi dan pola asuh anak sangat berpengaruh pada
timbulnya penyakit KVA pada bayi, karena sebagian besar bayi mengalami
KVA disebabkan akibat kekurangan asupan nutrisi dari vitamin A..

 Solusi
Prinsip dasar untuk mencegah dan menanggulangi masalah KVA adalah
menyediakan vitamin A yang cukup untuk tubuh. Selain itu perbaikan
kesehatan secara umum turut pula memegang peranan.
Dalam upaya menyediakan vitamin A yang cukup untuk tubuh, ditempuh
kebijaksanan sebagai berikut:
a. Meningkatkan konsumsi sumber vitamin A alami melalui penyuluhan
b. Menambahkan vitamin A pada bahan makanan yang dimakan oleh golongan
sasaran secara luas (fortifikasi)
c. Distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi secara berkala
Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui
proses komunikasi-informasi-edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling
aman dan langgeng. Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera
memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan fortifikasi dengan vitamin A
masih bersifat rintisan . Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih
bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.
Pemberian kapsul vitamin A terutama pada kasus gizi kurang pada balita
yang juga disertai gejala xerophtalmia. Xerophthalmia adalah kelainan mata
akibat kekurangan vitamin A, terutama pada balita dan sering ditemukan pada
penderita gizi buruk dan gizi kurang. Kelainan ini merupakan masalah
kesehatan dengan program KIE, fortifikasi dan distribusi kapsul vitamin A
dosis tinggi 

2. Bagaimana perkembangan distribusi frekuensi penderita KEK dan KVA di Indonesia,


Jatim hingga Jember, serta jelaskan kira-kira determinan yang berpengaruh pada
masalah KEK dan KVA
Jawab :
a) Kekurangan Energi Kronis (KEK)

Kasus Kekurangan Energi Kronis (KEK) banyak terjadi di Indonesia


terutama disebabkan oleh ketidakseimbangan asupan gizi sehingga dapat
mengakibatkan pertumbuhan tubuh baik fisik maupun mental yang tidak
sempurna. Menurut data Riskesdas tahun 2013 dan 2018 terjadi penurunan dalam
presentase terjadinya kasus KEK pada ibu hamil di Indonesia. Presentase kasus
KEK di Indonesia yang semula menginjak angka 24,2% dan terjadi penurunan
sebesar 6,9% pada tahun 2018 yang berkisar 17,3% kasus. Berikut tabel
perbedaan perkembangan distribusi frekuensi penederita KEK pada tahu 2013
dan 2018, yaitu sebagai berikut:

Dari penjabaran diagram diatas dapat dijelaskan bahwa proporsi distribusi


frekuensi penderita KEK terjadi di Provinsi Bali dengan angka frekuensi sebesar
10,1% dan dengan proporsi tertinggi dipegang oleh Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT) dengan angka frekuensi sebesar 45,5%.
Tabel diatas menjelaskan bahwa prevalensi distribusi kasus KEK menurut
provinsi di Indoensia secara keeseluruhan mengalami penurunan sebesar 6,9%
dari tahun 2013. Namun, terjadi peningkatan di beberapa provinsi yaitu di
Provinsi bali yang mengalami kenaikan sebesar 3,7%, Provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB) mengalami kenaikan sebesar 2,4%, Provinsi DI Yogyakarta
mengalami kenaikan sebesar 1,5%, Provinsi Sulawesi tenggara dengan kenaikan
4,5%, dan Provinsi Maluku Utara dengan frekuensi kenaikan sebesar 5,2%.
Kenaikan di beberapa daerah tersebut sebenarnya dapat dissebabkan
oleh determinan yang disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung.
Namun, menurut beberapa penelitian kasus KEK di Indonesia yang terjadi pada
ibu hamil, determinan yang paling berpengaruh ialah dari faktor pola makan dan
penyakit infeksi. Pola makan setiap individu tentu saja berbeda sesuai dengan
kondisi dari masing-masing individu, tetapi pola makan tersebut harus diatur
dengan skala yang baik dan benar. Pola makan sebenarnya dapat dikarenakan
oleh fakttor tidak langsung yaitu ekonomi (pendapatan keluarga), pendidikan
(pendidikan ibu, keluar-masuknya informasi), dan lingkungan (tradisi dan
kepercayaan). Di Indonesia sendiri masih banyak beredar mitos mengenai
larangan makan atau makanan tabu pada ibu hamil, yang sebenarnya hal tersebut
dapat memperburuk kondisi dari ibu hamil yang banyak membutuhkan asupan
nutrisi untuk menjaga stamina saat hamil, dan petumbuhn serta perkemabangan
dari bayi dalam kandungan. Hal tersebut tentu akan memengaruhi pola konsumsi
dari ibu hamil yang dapat menyebabkan terjadi kekurangan energi kronik (KEK)
yang akan berbahaya bagi ibu dan bayi.
Dari pengamatan data menurut Reskisdas tahun 2013 dan 2018,
didapatkan bahwa frekuensi penderita KEK di provinsi Jawa Timur mengalami
penurunan yang sangat berarti yakni sebesar 10,2%. Penurunan ini menandakan
keberhasilan dari salah satu pengendalian determinan yang paling berpengaruh
dalam kejadian kasus ini yakni pola makan. Pengendalian tersebut dilakukan
dengan pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil yang disalurkan
melalui instansi kesehatan, pemberian PMT dapat dijadikan sebagai penambahan
nutrisi dari ibu hamil selain yang didapat dari makanan. Pemberian tersebut juga
diutamakan pada ibu hamil dari keluarga kurang mampu, dan kondisi lemak baik
dari kandungan maupun kondisi ibu. Penyaluran informasi mengenai kesehatan
khsusunya di Provinsi Jawa Timur juga semakin tahun semakin membaik,
edukasi dari penyaluran tersebut juga dapat menambah pengetahuan ibu terkait
gizi pada masa kehamilan.
Penurunan prevalensi terjadinya kasus KEK juga terjadi di Kabupaten
Jember yang mengalami penurunan sebesar 1,3% dari 2016 ke 2017 yaitu dari
angka 10,69% ke 9,39%. Menurut hasil penelitian dari salah satu jurnal dijelaskan
bahwa penurunan tersebut terjadi akibat keberhasilan dari pengendalian
determinan yang paling berpengaruh dalam terjadinya kasus ini yaitu agent dari
segi pola konsumsi serta environment dari segi pengetahuan dan lingkungan.
Penyaluran informasi mengenai kesehatan sangat memberikan pengaruh baik
terhadap pola mikir masyarakat Jember tentang pentingnya gizi pada saat masa
kehamilan. Kesadaran ibu akan pentingnya pemeriksaan berkala juga sering
dilakukan, hal ini juga menjadi salah satu langkah baik untuk menekan
determinan terjadinya kasus KEK di kabupaten Jember.

b) Kekurangan Vitamin A (KVA)

Defisiensi vitamin A diperkirakan mempengaruhi jutaan anak di seluruh


dunia. Sekitar 250.000-500.000 anak-anak di negara berkembang menjadi buta
setiap tahun karena kekurangan vitamin A, dengan prevalensi tertinggi di Asia
Tenggara dan Afrika. Tingginya prevalensi kekurangan vitamin A, WHO
menerapkan beberapa inisiatif untuk suplementasi vitamin A di negara-negara
berkembang. Beberapa strategi termasuk asupan vitamin A melalui kombinasi
pemberian ASI, asupan makanan, fortifikasi makanan dan suplemen. Melalui
upaya ini, diperkirakan 1,25 juta kematian sejak 1998 di 40 negara karena
kekurangan vitamin A telah dihindari (Pratiwi, 2013). Meskipun sejak tahun
1992 Indonesia dinyatakan bebas dari xeropthalmia, akan tetapi masih dijumpai
50% dari balita mempunyai serum retinol<20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi
balita dengan serum retinol <20 mcg/100 ml ini menyebabkan anak balita di
Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia dan menurunnya tingkat
kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi (Azwar, 2004).
Akibatnya anak balita di Indonesia menjadi sangat tergantung dengan kapsul
vitamin A dosis tinggi (Pratiwi, 2013).
Di Indonesia, angka prevalensi kejadian kurang vitamin A di beberapa
daerah menurut beberapa survey adalah sebagai berikut :
1. Survei nasional pada xeroftalmia I tahun 1978 menunjukkan angka- angka
xeroftalmia di Indonesia sebesar 1,34% atau sekitar tiga kali lipat lebih tinggi
dari ambang batas yang ditetapkan oleh WHO (X16 < 0,5%).
2. Pada tahun 1992 survei nasional pada xeroftalmia II dilaksanakan, prevalensi
KVA mampu diturunkan secara berarti dari 1,34% menjadi 0,33%. Namun
secara subklinis, prevalensi KVA terutama pada kadar serum retinol dalam
darah (< 20 mcg/100 ml) pada balita sebesar 50%, ini menyebabkan anak balita
di Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia dan menurunnya
tingkat kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit infeksi (Azwar,
2004). Akibatnya menjadi sangat tergantung dengan kapsul vitamin A dosis
tinggi.
3. Menurut hasil survey pemantauan status gizi dan kesehatan tahun 1998-2002,
yang menunjukkan bahwa sampai tahun 2002, sekitar 10 juta (50%) anak
Indonesia terancam kekurangan vitamin A, karena tidak mengkonsumsi
makanan mengandung vitamin A secara cukup.
4. Defisiensi vitamin A diperkira- kan mempengaruhi jutaan anak di seluruh
dunia. Sekitar 250.000-500.000 anak-anak di negara berkembang menjadi buta
setiap tahun karena kekurangan vitamin A, dengan prevalensi tertinggi di Asia
Tenggara dan Afrika. Dengan tingginya prevalensi kekurangan vitamin A,
WHO telah menerapkan beberapa inisiatif untuk suplementasi vitamin A di
negara-negara berkembang. Beberapa strategi termasuk asupan vitamin A
melalui kombinasi pemberian ASI, asupan makanan, fortifikasi makanan, dan
suplemen. Melalui upaya WHO dan mitra-mitranya, yang diperkirakan 1,25 juta
kematian sejak 1998 di 40 negara karena kekurangan vitamin A telah dihindari
(Anonim, 2011).
5. Sementara itu pada Mei 2003 berdasarkan data WHO ditemukan bahwa hingga
kini masih ditemukan 3 propinsi yang paling banyak kekurangan vitamin A
yaitu : Propinsi Sulawesi Selatan tingkat prevalensi hingga 2,9%, propinsi
Maluku 0,8% dan Sulawesi Utara sebesar 0,6%.
Kekurangan Vitamin A menyebabkan beberapa penyakit serius, bahkan
hingga kematia. Menurut penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa
pemberian suplementasi vitaminA dua kali setahun padaa balita merupakan
salah satu intervensi kesehatan yang berdaya ungkit tinggi bagi pencegahan
kekurang Vitamin A dan kebutaan serta penurunan kejaadian kesakitan dan
kematian pada balita.
Di Indonesia, pada tahun 2013 cakupan balita 6-59 bulan mendapatkan
vitamin A menurut hasil Riskesdas adalah sebesar 75,5% sedikit lebih rendah
dibandingkan pengumpulan data rutin yaitu 83,9%. Target cakupan yang
diharapkan adalah 83%pada tahun 2013 dan 85% pada tahun 2014. Dengan
demikian jika berdasarkaan data rutin, dapat dikatakan telah sesuai target.
Namun, jika melihat data Riskesdas, masih dibutuhkan usaha yang lebih besar
untuk mencapai target. Provinsi dengan cakupan cakupan terendah menurut data
rutin adalah Papua, Papua Barat, dan Maluku. Sedangkan, menurut Riskesdas
adalah Sumatera Utara, Papua, dan Sulawesi Barat, Provinsi Papua Barat dan
Maluku juga masih merupakan 10 provinsi dengan cakupan terendah menurut
Riskesdas.
Di Jawa Timur, dilakukan pemberian Vitamin A pada bayi dan balita
untuk mencegah terjadinya Kekurangan Vitamin A (KVA). Cakupan pemberian
kapsul vitamin A di Jawa Timur tahun 2011 pada bayi sebesar 98,43%, anak
balita sebesar 83,13% dan Ibu nifas sebesar 88,45%. Jika digabungkan antara
bayi dan anak balita, maka cakupannya sebesar 86,2%. Cakupan tersebut telah
memenuhi target tahun 2011 sebesar 85%, tetapi untuk mencapai target tahun
2014 sebesar 90%, pencapaiannya masih kurang sebesar 3,8%. Dibandingkan
dengan cakupan pada tahun 2010, ada peningkatan sebesar 1,7% pada bayi yaitu
dari 96,3% tahun 2010 menjadi 98 % pada tahun 2011. Sedangkan pada anak
balita ada kenaikan sebesar 1,3%, yaitu dari 81,7% tahun 2010 menjadi 83%
pada tahun 2011.
Di Jember, pemerintah juga memberikan suplemen Vitamin A untuk
mencegah terjadinya Kekurangan Vitamin A (KVA). Cakupan Vitamin A di
Jember pada tahun 2009 adalah 86,07%. Pada tahun 2010, cakupan Vitamin A
mengalami kenaikan dengan jumlah 94,51%. Akan tetapi, pada tahun 2011
cakupan mengalami penurunan hingga 75,39%.

Anda mungkin juga menyukai