Anda di halaman 1dari 82

Nama : Nur Afni Hidayat

NIM / Kelas : 202110102057 / A

Mata Kuliah : Epidemiologi Gizi

PETA SEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE BERDASARKAN


KARAKTERISTIK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIMALINGKAR TAHUN
2019
Analisa data dari epidemiologi deskripstif pada kejadian demam berdarah dengue di wilayah
kerja puskesmas simalingkar memiliki 3 variabel, yaitu man (orang), place (tempat), dan waktu
(time). Ketiga variable tersebut dapat memengaruhi terjadinya suatu penyakit, tetapi juga dapat
menjadikan perubahan dari frekuensi suatu penyakit. Analisa data epidemiologi dalam kasus
demam berdarah dengue di wilayah kerja puskesmas simalingkar dapat di kelompokan sebagai
berikut :
1. Man (orang)
• Umur
Sesuai data yang ditulis dalam penulisan penelitian ini, dapat diketahui bahwa
kejadian DBD tidak di temui pada kelompok umur 0-1 tahun. Kejadian DBD paling
banyak terjadi pada kelompok umur 11-19 tahun dan 20-59 tahun dengan jumlah
kejadian yang sama yaitu 11 kasus (34,4%). Jumlah kejadian DBD pada kelompok
umur 2-10 tahun sebanyak 9 kasus (28,1%). dan pada kelompok umur ≥60 tahun hanya
ditemui 1 kasus DBD (3,1%).
• Jenis Kelamin
Berdasarkan data, dapat diketahui bahwa jumlah kejadian DBD menurut jenis
kelamin adalah sama yaitu untuk laki-laki sebanyak 16 kasus (50,0%) dan perempuan
sebanyak 16 kasus (50,0%).
2. Place (tempat)
• Kepadatan penduduk
Berdasarkan data, DBD paling tinggi terjadi di kelurahan Mangga (0,584 per 1000
penduduk) dengan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu 12104,18 Jiwa/Km2 .
Kelurahan Simpang Selayang dengan kepadatan penduduk 6820 memiliki IR DBD
0,533 per 1000 penduduk dan IR DBD yang paling rendah yaitu Kelurahan
Simalingkar B 0,346 per 1000 penduduk dengan kepaatan penduduk yang juga
rendah yaitu 2749,52.
3. Time (waktu)
Penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar tahun 2019 paling
banyak terjadi di Kelurahan Mangga sebanyak 22 kasus dan kejadian DBD yang paling
rendah berada di Kelurahan Simalingkar B sebanyak 2 kasus.
DAFTAR PUSTAKA

Raesa, S. (2020). Peta Sebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue Berdasarkan


Karakteristik di Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar Tahun 2019.
PETA SEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
BERDASARKAN KARAKTERISTIK DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS SIMALINGKAR TAHUN 2019

SKRIPSI

Oleh

SITTI RAESA
NIM. 161000146

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020

Universitas Sumatera Utara


PETA SEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
BERDASARKAN KARAKTERISTIK DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS SIMALINGKAR TAHUN 2019

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat


untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

SITTI RAESA
NIM. 161000146

PROGRAM STUDI SI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020

Universitas Sumatera Utara


Judul Skripsi :Peta Sebaran Penyakit Demam Berdarah
Dengue Berdasarkan Karakteristik di
Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar
Tahun 2019
Nama Mahasiswa : Sitti Raesa
Nomor Induk Mahasiswa : 161000146
Departemen : Epidemiologi

Mengetahui
Pembimbing :

(dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D)


NIP. 19650425199702201

Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si)


NIP. 196803201993082001

Tanggal Lulus : 11 September 2020

i
Universitas Sumatera Utara
Telah diuji dan dipertahankan

Pada tanggal : 11 September 2020

TIM PENGUJI SKRIPSI

Ketua : dr. Rahayu Lubis, M.Kes., Ph.D


Anggota : 1. Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes.
2. Sri Novita Lubis, S.K.M., M.Kes.

ii
Universitas Sumatera Utara
Pernyataan Keaslian Skripsi

Saya menyatakan dengan ini bahwa Skripsi saya yang berjudul “Peta

Sebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Karakteristik di

Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar Tahun 2019” beserta seluruh isinya

adalah benar karya saya sendiri dan tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan

dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam

masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko

atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya

pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak

lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Mei 2020

Sitti Raesa

iii
Universitas Sumatera Utara
Abstrak

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah


kesehatan masyarakat di dunia. Data dari Pan American Health Organization,
menunjukkan bahwa beberapa negara melaporkan lebih dari 2,7 juta kasus dan
1206 yang meninggal dari bulan Januari sampai Oktober 2019 (CFR = 0,04%).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2018) jumlah kasus DBD sebanyak
65.602 kasus (Insidence Rate (IR) 24,73 per 100.000). Kota Medan merupakan
wilayah endemis DBD. Tahun 2018, jumlah kasus DBD di Kota Medan mencapai
1.490 kasus dan 13 orang meninggal dunia (CFR = 0,87%), dan untuk awal tahun
2019, jumlah kasus yaitu sebanyak 229 kasus. Berdasarkan survei pendahuluan
yang dilakukan di Puskesmas Simalingkar, pada tahun 2019 jumlah penderita
DBD ada 43 kasus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peta sebaran
penyakit Demam Berdarah Dengue berdasarkan karakteristik (jenis kelamin,
umur, kepadatan penduduk dan fogging focus) di wilayah kerja Puskesmas
Simalingkar tahun 2019. Jenis penelitian adalah penelitian epidemiologi
deskriptif. Teknik pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode
purposive random sampling, dengan kriteria alamat jelas dan memang bertempat
tinggal di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar. Hasil penelitian menunjukkan
sebaran penyakit DBD paling tinggi berada di kelurahan Mangga dan memiliki IR
DBD (IR 0,584 per 1000 penduduk) yang tinggi juga dibandingkan dengan dua
kelurahan lainnya namun tidak ditemukan kasus kematian akibat DBD (CFR 0).
Jumlah kejadian DBD berdasarkan jenis kelamin adalah sama. Jumlah kejadian
DBD berdasarkan umur paling tinggi yaitu kelompok umur 11-19 tahun dan 20-
59 tahun dengan jumlah kejadian yang sama yaitu 11 kasus (34,4%). Kegiatan
fogging focus akan dilakukan jika ditemukan satu kasus DBD di wilayah tersebut.

Kata kunci : DBD, peta, dengue

iv
Universitas Sumatera Utara
Abstract

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a public health problem in the world. Data
from the Pan American Health Organization, shows that several countries
reported more than 2.7 million cases and 1206 deaths from January to October
2019 (CFR = 0.04%). Based on the Indonesian Health Profile (2018), the number
of DHF cases was 65,602 cases (Insidence Rate (IR) 24.73 per 100,000). Medan
City is a dengue endemic area. In 2018, the number of DHF cases in Medan City
reached 1,490 cases and 13 people died (CFR = 0.87%), and for the beginning of
2019, the number of cases was 229 cases. Based on a preliminary survey
conducted at the Simalingkar Health Center, in 2019 the number of dengue
sufferers was 43 cases. The purpose of this study was to determine the map of the
distribution of Dengue Hemorrhagic Fever based on characteristics (gender, age,
population density and fogging focus) in the working area of the Simalingkar
Community Health Center in 2019. This type of research is descriptive
epidemiological research. The sampling technique was carried out using
purposive random sampling method, with clear address criteria and indeed
residing in the working area of the Simalingkar Community Health Center. The
results showed that the highest distribution of dengue fever was in Mangga village
and had a high IR DHF (IR 0.584 per 1000 population) compared to the other
two urban villages but there were no cases of DHF deaths (CFR 0). The number
of DHF incidence based on gender is the same. The highest number of DHF
incidence based on age was 11-19 years old and 20-59 years old with the same
number of cases, 11 cases (34.4%). The fogging focus will be carried out if one
DHF case is found in the area.

Keywords : DHF, maps, dengue

v
Universitas Sumatera Utara
Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas seluruh rahmat dan

karunia-Nya yang sudah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peta Sebaran Penyakit Demam

Berdarah Dengue Berdasarkan Karakteristik di Wilayah Kerja Puskesmas

Simalingkar Tahun 2019”. Tidak lupa pula kita panjatkan shalawat serta salam

kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan

yang baik yang membawa kita dari jaman kegelapan hingga jaman terang

benderang ini. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Banyak sekali hambatan dan rintangan yang saya hadapi dalam proses

penyusunan skripsi ini, namun pada akhirnya dapat dilalui berkat adanya

bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual.

Untuk itu pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Rahayu Lubis, M.Kes., Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingannya

selama penyusunan skripsi ini.

vi
Universitas Sumatera Utara
4. Sri Rahayu Sanusi, S.K.M., M.Kes. Ph.D selaku dosen wali yang telah

memberikan dukungan pengarahan selama masa perkuliahan.

5. Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes. selaku dosen penguji I yang telah

memberikan dukungan serta kritik dan saran sehingga skripsi ini dapat

berjalan dengan baik.

6. Sri Novita Lubis, S.K.M., M.Kes. selaku dosen penguji II yang telah

memberikan dukungan serta kritik dan saran sehingga skripsi ini dapat

berjalan dengan baik.

7. Seluruh jajaran dosen dan staff Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

8. Pihak Puskesmas Simalingkar yang telah membantu dan meluangkan

waktunya demi kelancaran penelitian ini.

9. Kedua orang tua penulis (Papa, Mama), Kakak, Adam atas doa, ketulusan,

pengorbanan, dorongan, semangat dan bantuannya sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan.

10. Kepada Rizmy Putra Perdana yang telah membantu dan memberikan

semangat setiap harinya dalam penyelesaian skripsi ini.

11. Teman-teman seperjuangan penulis yaitu Rifka, Aini, Yunita, Avi, Rima,

Tessa, dan Vani yang selalu menemani dari awal perkuliahan sampai

sekarang.

12. Teman penulis terkhusus Aini dan Yunita yang selalu memberikan

dorongan semangat dan kebersamaan selama ini.

vii
Universitas Sumatera Utara
13. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu

memberikan dukungan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna

dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang

membangun dari berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca dan semua pihak khususnya dalam bidang Kesehatan Masyarakat.

Medan, Agustus 2020

Sitti Raesa

viii
Universitas Sumatera Utara
Daftar Isi

Halaman

Halaman Persetujuan i
Halaman Penetapan Tim Penguji ii
Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi iii
Abstrak iv
Abstract v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi ix
Daftar Tabel xii
Daftar Gambar xiii
Daftar Lampiran xiv
Daftar Istilah xv
Riwayat Hidup xvi

Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 6
Tujuan umum 6
Tujuan khusus 6
Manfaat Penelitian 6

Tinjauan Pustaka 7
Definisi Demam Berdarah Dengue 7
Sejarah Demam Berdarah Dengue 7
Etiologi Demam Berdarah Dengue 9
Patogenesis Demam Berdarah Dengue 10
Dengue epidemik 11
Dengue hiperendemik 12
Patofisiologis Demam Berdarah Dengue 12
Riwayat Alamiah Penyakit Demam Berdarah Dengue 13
Fase suseptibel (Rentan) 13
Fase subklinis 13
Fase klinis 14
Fase akhir 15
Epidemiologi Demam Berdarah Dengue 16
Menurut orang 16
Menurut waktu 16
Menurut tempat 17

ix
Universitas Sumatera Utara
Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue 17
Penatalaksanaan dengue shock syndrom 18
Penatalaksanaan DBD pada kelainan ginjal 18
Penatalaksanaan DBD pada sirosis hepatis 19
Penatalaksanaan ensefalopati dengue 19
Penyelidikan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue 20
Definisi penyelidikan epidemiologi 20
Langkah-langkah pe demam berdarah dengue 20
Kriteria fokus 22
Angka Bebas Jentik 22
Definisi angka bebas jentik 22
Klasifikasi Umur Menurut WHO 23
Sistem Informasi Geografis 23
Definisi sistem informasi geografis 23
Ciri utama dari sistem informasi geografis 24
Tujuan sistem informasi geografis 24
Komponen-komponen sistem informasi geografis 25
Manfaat sistem informasi geografis 25
Landasan Teori 25
Kerangka Konsep 26

Metode Penelitian 27
Jenis Penelitian 27
Lokasi dan Waktu Penelitian 27
Populasi dan Sampel Penelitian 27
Metode Pengumpulan Data 28
Metode Analisis Data 28
Definisi Operasional 28

Hasil Penelitian 32
Gambaran Lokasi Penelitian 32
Kependuduk 33
Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar 34
Pola Sebaran Kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar 36
Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Jenis Kelamin 37
Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kelompok Umur 39
Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk 41
Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Fogging Focus 42

Pembahasan 44
Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar 44
Pola Sebaran Kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar 45

x
Universitas Sumatera Utara
Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Jenis Kelamin 46
Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kelompok Umur 47
Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk 48
Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Fogging Focus 49
Keterbatasan Penelitian 51

Kesimpulan dan Saran 52


Daftar Pustaka 54
Lampiran 59

xi
Universitas Sumatera Utara
Daftar Tabel

No. Judul Halaman

1. Jumlah Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas 33


Simalingkar Tahun 2019

2. Morbiditas dan Mortalitas Kejadian DBD di Wilayah Kerja 34


Puskesmas Simalingkar Tahun 2019

3. Distribusi Frekuensi Kejadian DBD di Wilayah Kerja 37


Puskesmas Simalingkar Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun
2019

4. Distribusi Frekuensi Kejadian DBD di Wilayah Kerja 39


Puskesmas Simalingkar Berdasarkan Umur Tahun 2019

5. Distribusi Frekuensi Insidence Rate (IR) di Wilayah Kerja 41


Puskesmas Simalingkar Berdasarkan Kepadatan Penduduk
Tahun 2019

6. Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Fogging Focus di 43


Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar Tahun 2019

xii
Universitas Sumatera Utara
Daftar Gambar

No. Judul Halaman

1. Struktur dengue 9

2. Kerangka konsep 26

3. Peta wilayah kerja Puskesmas Simalingkar 33

4. Peta distribusi kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas 35


Simalingkar tahun 2019

5. Peta buffer Puskesmas Simalingkar terhadap titik kejadian 36


DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar

6. Peta distribusi kejadian DBD berdasarkan jenis kelamin di 38


wilayah kerja Puskesmas Simalingkar Tahun 2019

7. Peta distribusi kejadian DBD berdasarkan umur di wilayah 40


kerja Puskesmas Simalingkar tahun 2019

8. Peta IR DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar tahun 42


2019

xiii
Universitas Sumatera Utara
Daftar Lampiran

No. Judul Halaman

1. Surat Permohonan Survei Pendahuluan 58

2. Surat Izin Survei Pendahuluan 59

3. Surat Izin Survei Pendahuluan di Puskesmas Simalingkar 60

4 Surat Telah Selesai Penelitian 61

5. Peta dengan Format shp 62

xiv
Universitas Sumatera Utara
Daftar Istilah

ABJ Angka Bebas Jentik


CFR Case Fatality Rate
DBD Demam Berdarah Dengue
DHS Dengue Hemorrhagic Syndrom
DSS Dengue Shock Syndrom
GIS Geographic Information System
IR Incidence Rate
KLB Kejadian Luar Biasa
Kemenkes RI Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
NNI Nearest Neighbour Index
PE Penyelidikan Epidemiologi
PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk
SIG Sistem Informasi Geografis
WHO World Health Organization
WOPHES World Health Organization Pesticide Evolution Scheme

xv
Universitas Sumatera Utara
Riwayat Hidup

Penulis bernama Sitti Raesa berumur 22 tahun, dilahirkan di Bukittinggi

pada tanggal 07 Oktober 1997. Penulis beragama Islam, anak kedua dari tiga

bersaudara dari pasangan Bapak Youn Natra dan Ibu Yunelty Edward.

Pendidikan formal dimulai dari TK Jeruk Manis tahun 2003. Pendidikan

sekolah dasar di SD 08 Gadut tahun 2004-2010, sekolah menengah pertama di

SMP Negeri 3 Bukittinggi tahun 2010-2013, sekolah menengah atas di SMA

Negeri 1 Unggul Bukitinggi tahun 2013-2016, selanjutnya penulis melanjutkan

pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Medan, Mei 2020

Sitti Raesa

xvi
Universitas Sumatera Utara
Pendahuluan

Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit ini sudah menyebar dan menjadi

endemik di 100 negara di dunia. Wilayah Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik

Barat merupakan negara yang paling parah terkena dampaknya.

Insidends dengue di dunia telah meningkat. Banyak negara di bagian

wilayah Amerika mengalami peningkatan kasus DBD tertinggi dalam sejarah.

Berdasarkan data dari Pan American Health Organization yang juga berfungsi

sebagai kantor regional World Health Organization (WHO) untuk Amerika,

menunjukkan bahwa beberapa negara melaporkan lebih dari 2,7 juta kasus dan

1206 yang meninggal dari bulan Januari sampai Oktober 2019 (CFR = 0,04%),

dimana lebih dari 1,2 juta telah dikonfirmasi di laboratorium dan lebih dari 22.000

dikategorikan sebagai demam berdarah. Brazil sendiri melaporkan lebih dari 2

juta kasus DBD diikuti Mexico dengan jumlah kasus sebanyak 181.625 dan

Nicaragua sebanyak 142.740 kasus. Ekspansi global dan distribusi nyamuk Aedes

telah menyebabkan demam berdarah di daerah tropis dan subtropis di seluruh

dunia. Endemi dan epidemi terjadi, menyebabkan kenaikan angka kematian dan

angka kesakitan secara signifikan (WHO, 2019a).

Beberapa negara di wilayah Asia Tenggara, termasuk Bangladesh,

Indonesia, Sri Lanka, Thailand dan wilayah Pasifik Barat seperti Malaysia,

Filipina dan Viet Nam, telah melaporkan lebih dari 50.000 kasus. Kejadian Luar

1
Universitas Sumatera Utara
2

Biasa (KLB) berlanjut dibeberapa wilayah Timur Mediterania yaitu Pakistan,

Sudan, Yemen, dan wilayah Afrika yang juga ikut terpengaruh (WHO, 2019b).

DBD di Asia Tenggara mewakili 70 persen beban penyakit global, dan

sekitar 128 negara berada pada resiko terinfeksi DBD pertahun dengan perkiraan

terakhir menunjukkan ada 390 juta jiwa yang beresiko. Pada tahun 2016,

dilaporkan peningkatan jumlah kasus DBD dari 0,5 juta (2010) menjadi 3,34 juta.

Indonesia menempati posisi kedua dengan kasus DBD terbesar diantara 30 negara

wilayah endemis (Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2018) jumlah kasus DBD

sebanyak 65.602 kasus (Insidence Rate (IR) 24,73 per 100.000). Angka ini

menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan tahun 2017 dengan jumlah

kasus sebanyak 59.047 (IR 22,5 per 100.000). Sedangkan jumlah kasus meninggal

pada tahun 2018 sebanyak 462 (Case Fatality Rate (CFR) 0,70%). Kasus tertinggi

terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 8.732 kasus dan terendah terjadi di

Provinsi Maluku Utara dengan jumlah 110 kasus (Kemenkes RI, 2019b). DBD

merupakan jenis penyakit menular yang sering menimbulkan KLB di Indonesia.

Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu wilayah yang pada setiap tahunnya

mengalami peningkatan penyebaran penyakit DBD yang cukup pesat.

Pada tahun 2018, Provinsi Sumatera Utara menempati posisi ketiga

dengan kasus DBD tertinggi di Indonesia, jumlah kasus DBD sebanyak 5.623

kasus (IR 39,01 per 100.000). Jumlah kasus meninggal sebanyak 26 orang (CFR

0,46%). Kabupaten yang terjangkit DBD pada tahun 2018 sebanyak 32 kabupaten

dari 33 kabupaten di Provinsi Sumatera Utara (Kemenkes RI, 2018). Menurut

Universitas Sumatera Utara


3

Profil Kesehatan Indonesia 2019, Provinsi Sumatera Utara memiliki jumlah kasus

sebanyak 7.731 kasus (IR 53,1 per 100.000 penduduk). Jumlah kasus yang

meninggal sebanyak 38 orang (CFR 0,5%).

Kota Medan merupakan wilayah endemis DBD. Pada tahun 2016 jumlah

penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 1.784 kasus dengan jumlah kematian

sebanyak 11 orang (IR/Angka Kesakitan = 80.0 per 100.000 penduduk),

sedangkan pada tahun 2015 jumlah kasus 1.362 dengan jumlah kematian

sebanyak 9 orang (IR = 61,6 per 100.000 dan CFR = 0,66%). Bila dibandingkan

dengan tahun 2014 dengan kasus sebanyak 1.699 orang dengan jumlah kematian

sebanyak 15 orang (IR= 77,5 per 100.000 dan CFR=0,88%) dan pada tahun 2013

jumlah kasus 1.270 orang dan jumlah kematian sebanyak 9 orang (IR=59,8 per

100.000 dan CFR=0,71%), terjadi peningkatan bila dibandingkan dengan tahun

sebelumnya (Dinkes Kota Medan, 2016).

Pada tahun 2017, kasus DBD sebanyak 1.214 kasus dengan kasus

kematian sebanyak 11 orang dan CFR 0,91% (Dinkes Provinsi Sumatera Utara,

2017). Menurut Kepala Bidang Pemberantasan dan Pengendalian Penyakit (P2P)

Dinas Kesehatan Kota Medan, tahun 2018 jumlah kasus DBD di Kota Medan

mencapai 1.490 kasus dan 13 orang meninggal dunia (CFR = 0,87%), dan untuk

awal tahun 2019, jumlah kasus yaitu sebanyak 229 kasus.

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas

Simalingkar, pada tahun 2019 jumlah penderita DBD ada 43 kasus. Penyakit

DBD di Kota Medan terus menjadi masalah kesehatan karena dapat menyebabkan

kematian dalam waktu yang singkat diakibatkan dari perjalanan penyakit yang

Universitas Sumatera Utara


4

cepat dan hal ini juga dapat menimbulkan KLB atau wabah. Jumlah penderita

penyakit DBD cenderung meningkat dan penyebaran penyakit ini semakin luas

yang sejalan dengan tingginya kepadatan penduduk serta meningkatnya mobilitas

penduduk.

Menurut penelitian yang dilakukan Wahyuningsih (2014), kejadian DBD

di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan semakin meningkat tiap tahun. Pola

kejadian DBD dapat diketahui dengan menghitung nilai Nearest Neighbour

Indeks (NNI) dan convex hull melalui aplikasi Quantum GIS seperti yang

dilakukan Wahyuningsih dalam penelitiannya hingga akhirnya mendapatkan pola

penyebaran kejadian DBD berpola mengelompok (clustered).

Widya dan Dhamayanti (2013), dari hasil penelitian didapatkan pola

penyebaran penyakit DBD diwilayah kota Palembang dengan menggunakan

metode Nearest Neigborhod menunjukan kemampuan yang signifikan untuk

memberikan rincian tentang wilayah yang terjangkit penyakit DBD dan wilayah

terdekat yang kemungkinan besar akan segera terjangkit berdasarkan pola

kedekatan wilayah.

Penyakit DBD harus dikendalikan agar tidak terjadi peningkatan jumlah

kasus. Quantum GIS dapat dimanfaatkan sebagai teknologi penyampaian

informasi berbasis peta dan diharapkan bisa membantu pihak terkait dalam

mencegah kejadian luar biasa (KLB) dan penyebaran wabah penyakit DBD

khususnya di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar.

Pemanfaatan Quantum GIS dalam menyelesaikan permasalahan DBD

dapat melalui peta penyebaran penyakit DBD berdasarkan karakteristik (jenis

Universitas Sumatera Utara


5

kelamin, umur, kepadatan penduduk, dan fogging focus) khususnya di wilayah

kerja Puskesmas Simalingkar, dan diharapkan dapat mempermudah petugas

kesehatan dalam melakukan pencegahan dan penyelesaian masalah kesehatan

yaitu penyakit DBD.

Perumusan Masalah

Kejadian DBD di Kota Medan masih menjadi masalah kesehatan yang

meresahkan masyarakat. Kekhawatiran selalu muncul karena perjalanan

penyakitnya cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang singkat

serta dapat menimbulkan KLB atau wabah. Pemetaan menggunakan Quantum

GIS belum pernah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar, sehingga

perlu dilakukan pemetaan guna mengetahui bagaimana penyebaran penyakit DBD

di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar berdasarkan karakteristik yaitu jenis

kelamin, umur, kepadatan penduduk dan fogging focus.

Berdasarkan hal di atas perlu dilakukan pemetaan penyebaran penyakit

Demam Berdarah Dengue untuk melihat bagaimana penyebaran penyakit DBD

berdasarkan karakteristik (jenis kelamin, umur), kepadatan penduduk, dan fogging

focus khususnya di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum. Untuk mengetahui peta sebaran penyakit Demam

Berdarah Dengue berdasarkan karakteristik (jenis kelamin, umur), kepadatan

penduduk dan fogging focus di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar.

Tujuan khusus. Penelitian ini bertujuan untuk :

Universitas Sumatera Utara


6

1. Untuk mengetahui peta dan pola sebaran kejadian DBD di wilayah kerja

Puskesmas Simalingkar.

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan jenis

kelamin di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar.

3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan

kelompok umur di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar.

4. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan

kepadatan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar.

5. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian DBD berdasarkan fogging

focus di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar.

Manfaat Penelitian

Aspek teoritis. Penelitian ini diharapkan bisa memberikan alternatif

pemecahan masalah dan memberikan kontribusi pemikiran terhadap Ilmu

Kesehatan Masyarakat yang mengarah pada pengendalian penyebaran penyakit

Demam Berdarah Dengue.

Aspek praktis. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu sumber

informasi bagi instansi yang terkait dan dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam membuat kebijakan mengenai pencegahan penyakit Demam

Berdarah Dengue.

Universitas Sumatera Utara


Tinjauan Pustaka

Demam Berdarah Dengue

Definisi demam berdarah dengue. Demam berdarah merupakan

manifestasi klinis yang berat dari penyakit arthropod-borne viruses. Virus dengue

menyebabkan sebuah penyakit infeksi yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD)

yang ditularkan melalui nyamuk Aedes spp.

Demam Dengue merupakan penyakit febris-virus akut, dengan gejala sakit

kepala, nyeri tulang, sendi dan otot, ruam, serta leukopenia. DBD memiliki 4

manifestasi klinis utama yaitu demam tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan

hepatomegaly dan pada kasus berat ditandai dengan kegagalan sirkulasi (WHO

1998).

DBD memiliki gejala berupa demam tinggi, berlangsung antara 2-7 hari,

mendadak, kontinua dan kadang bifasik. Gejala lain juga ditemukan seperti muka

kemerahan, malgia, atralgia, nyeri epigastrik, anoreksia, mual muntah pada daerah

sub-kostal kanan dan nyeri abdomen difus dan kadang disertai sakit tenggorokan.

Kejang demam akan dijumpai jika demam sudah mencapai suhu 40°C

(Hadinegoro, 2014).

Sejarah demam berdarah dengue. Banyak istilah yang ditemukan

tentang penyakit yang dikenal sebagai dengue dan masih berkembang pula

beberapa pendapat mengenai asal usul kata dengue. Data yang dikumpulkan oleh

Nothnagel (1905) tentang beberapa pendapat mengenai asal kata dengue yaitu

sebagai berikut : Istilah ini berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘asteni’, dan

sebagian menggangap berasal dari bahasa Afrika Barat dinga atau dari bahasa

7
Universitas Sumatera Utara
8

Indian dengue; yang keduanya berarti ‘tipuan’. Dan mungkin juga berasal dari

bahasa Spanyol dengue yang berarti ‘sopan santun’ (Sumarno, 2009). Menurut

Soedarto 2012, kata dengue berasal dari Bahasa Swahili di Afrika ‘ka-dinga-

pepo’.

DBD mulai menimbulkan masalah sejak perang dunia kedua dan sudah

umum terjadi dilebih dari 110 negara. Tahun 1779, deskripsi pertama tentang

dengue ditulis. Para ilmuan mulai mengetahui bahwa penyakit tersebut

disebabkan oleh virus dengue dan dibawa oleh nyamuk. Sepanjang abad ke-19

dan awal abad ke-20, epidemi dengue dilaporkan di Asia, Australia, Amerika,

Eropa Selatan, Afrika Utara, Karibia dan beberapa pulau di Pasifik Selatan,

Pasifik Tengah dan Samudra Hindia (WHO, 2014).

Tahun 1954, penyakit DBD pertama kali dilaporkan di Filipina yang

kemudian menyebar ke negara sekitarnya. Sebelum tahun 1970, wabah DBD

terjadi di 9 negara dan sekarang DBD sudah menjadi penyakit endemi di lebih

100 negara. Pada tahun 2008, jumlah kasus telah melewati 1,2 juta kasus di

wilayah Amerika, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat, dan terus meningkat hingga

tahun 2010 mencapai 2,3 juta kasus. Jumlah kasus DBD yang dilaporkan di

wilayah Amerika pada tahun 2013 yaitu sebanyak 2,35 juta kasus, dimana 37.687

merupakan kasus DBD yang berat (WHO, 2014).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan adanya peningkatan

kasus dari 980 kasus pada tahun 1954-1959 di hampir 100 negara menjadi

1.016.612 kasus pada tahun 2000-2009 di hampir 60 negara. Pada tahun 1968, di

Indonesia penyakit ini pertama kali dilaporkan khususnya di Surabaya dengan

Universitas Sumatera Utara


9

jumlah kasus 58 orang dan kematian 24 orang (CFR = 41,3%), namun konfirmasi

virologis baru didapat pada tahun 1972.

Etiologi demam berdarah dengue. Virus Dengue (DEN) merupakan

penyebab dari demam dengue, termasuk dalam genus flavivirus dan tergolong ss

RNA positive-strand virus dari keluarga flaviviridae. Pada tahun 1944, Albert

Sabin melakukan spesifikasi terhadap virus dengue dan menunjukkan bahwa

antara masing-masing serotipe virus dengue memiliki genotip yang berbeda.

Adapun 4 serotipe virus DEN yaitu virus dengue-1 (DEN1), virus dengue-2

(DEN2), virus dengue-3 (DEN3), virus dengue-4 (DEN4) (Soedarto, 2012).

Diameter envelope yang dimiliki virus dengue yaitu 40-60 nm dengan

ukuran genom 10,7 kb. Virus dengue mengandung RNA untai tunggal (seRNA),

positif sense. Empat serotipe virus dengue dapat dibedakan melalui pemeriksaan

serologi, misalnya uji netralisasi dan uji fiksasi komplemen. Seseorang dapat

terinfeksi oleh tiga sampai empat serotipe jika ia tinggal di daerah endemis

dengue (Irianto, 2014).

Gambar 1. Struktur dengue

Universitas Sumatera Utara


10

Serotipe virus yang banyak diisolasi adalah DEN-3 (48,6%), diikuti

dengan DEN-2 (28,6%), DEN-1 (20%) dan DEN-4 (2,9%). Virus dengue

memiliki ukuran yang kecil, bulat, berjenis RNA tunggal dan memiliki envelope

(Irianto, 2014).

Iklim tropis dan subtropis merupakan tempat hidup yang subur bagi

nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini merupakan spesies diskordan (discordant

species) yang bersifat sangat domestik, pemangsa lebih dari satu korban (nervous

feeder) dan antropofilik kuat. Asia, Afrika, Amerika merupakan tempat hidup

yang baik bagi nyamuk ini, namun nyamuk ini tidak akan bertahan hidup di

wilayah dengan ketinggian di atas 1000 meter di atas permukaan laut (Irianto,

2014). Bionomik nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus berbeda. Aedes

aegypti senang beraktivitas di dalam rumah (indoor) sedangkan Aedes albopictus

senang beraktivitas di luar rumah (outdoor) (Nasronudin dkk., 2007).

Patogenesis demam berdarah dengue. Penularan DBD diawali dengan

nyamuk yang belum terinfeksi virus menggigit orang yang sudah terinfeksi virus,

sehingga terjadi perpindahan virus dengue ke nyamuk tersebut. Virus akan mulai

menyebar ke kelenjar saliva dengan waktu sekitar 10-12 hari, dan virus akan tetap

menginfeksi nyamuk sepanjang hidupnya. Penularan transovarian akan terjadi jika

nyamuk yang terinfeksi merupakan nyamuk betina namun hal ini sangat jarang

terjadi.

Penjamu utama adalah manusia. Pada saat seseorang yang terinfeksi mulai

mengalami demam maka virus akan bersirkulasi dalam darah (viraemia), dan jika

digigit nyamuk maka virus akan berpindah ke nyamuk tersebut. Waktu yang

Universitas Sumatera Utara


11

diperlukan untuk virus mulai berkembang dalam tubuh nyamuk yaitu sekitar 8-10

hari namun lama waktu yang dibutuhkan untuk inkubasi ekstrinsik tergantung

pada kondisi lingkungan serta suhu sekitarnya (WHO, 2004).

Lalu nyamuk akan menginfeksi orang lain dengan menggigitnya, maka hal

ini dianggap sebagai arbovius (virus yang ditularkan melalui artropoda). Masa

inkubasi akan terjadi sekitar 45 hari. Terdapat dua pola umum dalam penularan

virus dengue yaitu dengue epidemik dan dengue hiperendemik.

Dengue epidemik

1. Jika di suatu daerah isolasi terdapat virus dengue, walau hanya

melibatkan satu serotipe virus dengue.

2. Ledakan penularan dapat terjadi dengan insiden mencapai 20-25%,

jika jumlah hospes yang peka mencukupi dan populasi vektor

berjumlah besar.

3. Pemberantasan vektor dan faktor iklim serta imunitas penduduk dapat

mempengaruhi pengendalian epidemi dengue.

4. Daerah urban merupakan daerah dimulainya penularan virus yang

kemudian menyebar ke daerah-daerah lainnya.

Dengue Hiperendemik

1. Merupakan pemicu utama terjadinya DBD.

2. Tidak dipengaruhi oleh musim, maka hospes dan vektor penularnya

mudah untuk dijumpai.

3. Pola penularan merupakan pola utama dalam penyebaran global

infeksi dengue.

Universitas Sumatera Utara


12

4. Prevalensi antibodi meningkat sesuai dengan pertambahan umur

(Soedarto, 2012).

Besarnya dan durasi viremia pada hospes manusia dapat menentukan

bagaimana penularan virus dengue dari manusia ke nyamuk penggigit, misalkan

seseorang dengan viremia tinggi memberikan dosis virus infeksius yang lebih

tinggi ke nyamuk penggigit yang dapat menyebabkan persentase nyamuk

terinfeksi menjadi lebih besar, meskipun kadar virus rendah masih infeksis bagi

beberapa nyamuk vektor (WHO, 2014).

Patofisiologi demam berdarah dengue. Patofisiologi primer DBD dan

Dengue Shock Syndrom (DSS) dapat menimbulkan hemokonsentrasi dan

penurunan tekanan darah yang disebabkan adanya peningkatan akut permeabilitas

vaskuler yang mengarah pada kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler.

Perubahan patofisiologi utama yang terjadi pada DHF/DSS ada dua yaitu

pertama terjadinya peningkatan vaskuler yang meningkatkan kehilangan plasma

dari kompartemen vaskuler sehingga menyebabkan hemokonsentrasi, tekanan

nadi rendah dan tanda syok lainnya. Hal yang paling fatal jika kehilangan plasma.

Kedua yaitu gangguan pada hemostasis yang meliputi perubahan vaskuler,

koagulopati dan trombositopenia (WHO, 2014).

Riwayat alamiah penyakit demam berdarah dengue. Penderita DBD

dengan renjatan yang berat dapat disembuhkan walaupun dengan pengobatan

yang sederhana, sehingga cukup sulit untuk meramalkan perjalanan penyakit

DBD. Salah satu faktor yang berpengaruh pada meningkatnya jumlah kasus DBD

Universitas Sumatera Utara


13

yaitu banyaknya kasus yang tidak dilaporkan serta kurangnya pengetahuan

tentang gejala awal dari penyakit DBD.

Fase suseptibel (rentan). Terpaparnya individu yang rentan (suseptibel)

merupakan tahap awal dari perjalanan penyakit DBD. Individu yang dalam

keadaan viremia digigit oleh nyamuk Aedes Aegypti yang awalnya tidak

terinfeksi, kemudian nyamuk tersebut menjadi terinfeksi dan akan tetap terinfeksi

serta dapat menyebarkan penyakit seumur hidupnya.

Fase subklinis. Fase ini juga sering disebut dengan masa inkubasi DBD.

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan antara pajanan terhadap patogen

hingga gejala-gejala pertama kali muncul yang artinya pada fase ini belum

memiliki gejala (asimptomatis). Pada reaksi toksis atau hipersensitivitas, masa

inkubasi terjadi hanya dalam hitungan detik.

Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh bersama air liur kemudian virus

akan menginfeksi sel-sel darah putih serta kelenjar getah bening dan akhirnya

masuk ke sistem sirkulasi darah, dalam masa ini virus akan terus memperbanyak

diri. Sejak ditularkan virus akan berada dalam darah selama 3 hari (Lestari, 2007),

namun jumlah trombosit masih normal.

Antibodi akan mulai terbentuk yaitu kompleks virus-antibodi dengan virus

yang berfungsi sebagai antigennya, kemudian terjadi proses autoimun atau proses

dimana kompleks virus-antibodi melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel

pembuluh darah. Proses ini ditandai dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah

kapiler yang disebabkan oleh permeabilitias kapiler yang meningkat yang

Universitas Sumatera Utara


14

akhirnya mengakibatkan bocornya sel-sel darah (trombosit dan eritrosit)

(Widoyono, 2008).

Fase klinis. Fase ini ditandai dengan mulai timbulnya tanda dan gelaja

penyakit secara klinis. Durasi penyakit adalah periode waktu dari mulai terjadinya

penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir penyakit. Gejala prodomal disebut juga

dengan gejala awal. Masa inkubasi 3-14 hari, tapi pada umumnya 4-7 hari.

Beberapa gejala awal yang terjadi pada penderita DBD dimulai dengan

demam tinggi yang mendadak, nyeri kepala, nyeri punggung dan nyeri pada saat

menggerakkan bola mata. Untuk kasus yang lebih parah akan menyebabkan nyeri

ulu hati, pendarahan saluran cerna, syok hingga kematian (Kemenkes RI, 2015).

WHO (2014) mengklasifikasikan Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)

menjadi 4 tingkatan keparahan. Trombositopenia disertai hemokonsentrasi dapat

menjadi pembeda antara derajat I dan II DHF dari DF, sedangkan derajat III dan

IV dianggap DSS.

Derajat I : Demam disertai dengan gejala konstitusional non-spesifik; tes

tourniket positif dan/atau mudah memar merupakan satu satunya

manifestasi perdarahan.

Derajat II : Perdarahan kulit atau perdarahan lain yang merupakan

perdarahan spontan selain manfestasi pasien pada derajat I.

Derajat III : Nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab,

penderita merasa gelisah (gagal sirkulasi).

Derajat IV : Terjadi syok dengan nadi tidak terdeteksi.

Universitas Sumatera Utara


15

Fase akhir. Tahap terakhir dari perjalanan penyakit DBD yaitu tahap

pemulihan dan bisa juga berakhir pada kematian jika penanganan yang dilakukan

tidak tepat. Hal ini tergantung pada bagaimana si penderita melewati tahap

kritisnya. Jika penderita dapat melewati tahap kritisnya dan didukung dengan

penanganan yang diterima baik maka pada hari ke-6 ataupun hari ke-7 kondisi

penderita akan mulai membaik. Namun sebaliknya, jika penderita tidak mampu

melewati masa kritisnya dengan baik maka akan menimbulkan kematian.

Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

Menurut orang. Host alami penyakit DBD adalah manusia, dan agentnya

adalah virus dengue. Penyakit DBD umumnya menyerang anak-anak, namun kini

sudah banyak ditemui pada orang dewasa. Hal ini disebabkan beberapa faktor,

salah satunya yaitu ketidaktahuan tentang penyebab awal DBD ataupun

ketidakpedulian terhadap lingkungan.

Lonjakan kasus DBD terjadi diawal tahun 2018 hingga awal tahun 2019,

hal ini terjadi sangat dipengaruhi oleh pola hidup yang tidak sehat serta tidak

peduli lingkungan yang pada akhirnya menjadi tempat sarang nyamuk. Menurut

Sekretaris Jendral Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018, drg.

Oscar Primadi, MPH bahwa yang yang penting dalam menyikapi DBD yaitu

upaya dalam perubahan perilaku, karena beliau berpendapat perindukan nyamuk

yang meningkat tidak lain juga dipengaruhi oleh perilaku manusia (Kemenkes RI,

2019a).

Menurut waktu. Indonesia merupakan negara endemis DBD sehingga

penyakit ini terus ditemukan setiap tahunnya. Pada umumnya penyakit DBD akan

Universitas Sumatera Utara


16

meningkat pada musim penghujan karena di waktu itulah nyamuk Aedes aegypti

mulai berkembang. Namun penyakit DBD juga dapat menyerang di musim

kemarau terutama ditempat-tempat genangan air atau barang bekas.

Musim pancaroba khususnya Januari merupakan waktu dimana kasus

DBD mulai meningkat. Tercatat jumlah kasus DBD di 34 provinsi pada tahun

2014 sampai pertengahan bulan Desember yaitu sebanyak 71.668 orang, dan

kasus yang meninggal dunia akibat DBD sebanyak 641 orang (CFR = 0,89%).

Tahun 2013 jumlah kasus DBD sebanyak 112.511 orang dan kasus meninggal

dunia akibat DBD 871 orang (CFR = 0,77%) (Kemenkes RI, 2015).

Menurut tempat. Tidak hanya di genangan air kotor, nyamuk DBD lebih

senang berkembang biak di genangan air yang bersih baik itu di barang bekas

maupun tempat–tempat disekitar rumah yang memungkinkan untuk air tergenang.

Peningkatan kasus terus terjadi di beberapa daerah seperti Kabupaten Kuala

Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Manggarai Barat Provinsi NTT,

Sulawesi Utara, dan daerah lainnya di Indonesia.

Distribusi penyakit suspek DBD di awal tahun 2018 hingga awal tahun

2019, berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit, bahwa yang tertinggi itu terdapat di wilayah Jawa Timur

dengan suspek DBD sebanyak 700 orang, Jawa Tengah sebanyak 512 orang, dan

Jawa Barat sebanyak 401 orang (Kemenkes RI, 2018). Secara nasional

berdasarkan perkembangan informasi yang diterima olehnya hingga tanggal 3

Februari adalah sebanyak 16.692 kasus dengan 169 orang meninggal dunia

(CFR= 1,01%). Kasus terbanyak ada di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT,

Universitas Sumatera Utara


17

Kupang. Menurut Widyawati, peningkatan kasus DBD tergantung pada daerah,

karena dipengaruhi oleh cuaca yang terjadi (Kemenkes RI, 2019a).

Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue

Pendeteksian perembesan plasma secara dini merupakan pelayanan utama

dalam penatalaksanaan DBD, karena perembesan plasma merupakan bentuk

akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler yang berlangsung selama 24-48 jam.

Jika dibiarkan akan menyebabkan syok, anoksia, asidosis dan kematian.

Penatalaksanaan dengue shock syndrome. Dengue shock syndrome

merupakan salah satu kegawatan pada infeksi Dengue. Penatalaksanaan yang

tidak atau kurang adekuat dapat menyebabkan timbulnya hipoksia, asidosis,

koagulasi intravaskular diseminata bahkan fatal dan berakhir dengan kematian.

Tingginya angka kematian disebabkan oleh pengobatan yang terlambat

sehingga timbul syok yang irreversible, rujukan yang terlambat disertai

penggantian cairan yang tidak adekuat selama resusitasi penderita dapat

meninggal akibat perdarahan gagal nafas meskipun telah dibantu dengan ventilasi

mekanis dan usia lanjut.

Penatalaksanaan dasar dari dengue shock syndrome adalah penggantian

cairan, koreksi terhadap kelainan analisis gas darah, koreksi gangguan elektrolit,

pemberian oksigen dan transfusi darah bila diperlukan yang ke semuanya ini

memerlukan pemantauan yang ketat.

Penatalaksanaan DBD pada kelainan ginjal. Kelainan ginjal dapat

terjadi pada saat penderita DBD mengalami syok sehingga terjadi hipoperfusi ke

ginjal, timbul azotemia prerenal, tubular nekrosis akut, gagal ginjal akut yang

Universitas Sumatera Utara


18

pada umumnya terjadi pada fase terminal dari syok yang tidak teratasi dengan

baik. Keadaan ini masih reversible terutama bila syoknya dapat segera diatasi.

Apabila tanda-tanda gangguan ginjal mulai muncul, keseimbangan cairan harus

diperhatikan dengan baik, untuk itu perlu dipasang Central Venous Pressure

(CVP) untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.

Penatalaksanaan DBD pada sirosis hepatis. Dalam menghadapi kasus

demikian maka penggantian cairan perlu hati-hati terutama pada penderita sirosis

hati stadium lanjut, karena pemberian cairan yang berlebihan akan menambah

beratnya asites yang sudah ada atau bila kurang mungkin dapat mencetuskan

timbulnya sindrom hepatorenal. Pemberian cairan kristaloid akan lebih baik bila

memakai ringer asetat karena metabolismenya dilakukan di otot bukan di hepar

sehingga tidak memberatkan gangguan hepar yang sudah ada.

Penatalaksanaan ensefalopati dengue. Ensefalopati di enzim merupakan

salah satu komplikasi DBD yang perawatannya lebih rumit, beberapa hal yang

perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan ensefalopatia dengue adalah sebagai

berikut:

1. Penggantian cairan tidak diberikan dalam dosis penuh, tetapi cukup

diberikan 3/4 sampai 4/5 dosis untuk mencegah terjadinya atau

memberatnya edema otak selama fase pemulihan dari syok.

2. Untuk menghindari metabolisme laktat oleh hepar maka perlu memakai

cairan kristaloid ringer asetat.

Universitas Sumatera Utara


19

3. Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi edema otak tetapi merupakan

kontraindikasi pada SD dengan perdarahan yang masif (Nasronudin dkk,

2007).

Penyelidikan Epidemiologi Demam Berdarah Dengue

Definisi penyelidikan epidemiologi. Menurut Peraturan Menteri

Kesehatan No.45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan

pasal 1 ayat 6; Penyelidikan Epidemiologi adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan untuk mengenal penyebab, sifat-sifat penyebab, sumber dan cara

penularan/penyebaran serta faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit

atau masalah kesehatan yang dilakukan untuk memastikan adanya KLB atau

setelah terjadi KLB/Wabah.

Langkah-langkah penyelidikan epidemiologi DBD. Penyelidikan

Epidemiologi sangat penting untuk dilakukan yang merupakan bentuk upaya

kewaspadaan dini dan respon dari kejadian DBD. Berikut langkah-langkah

penyelidikan epidemiologi DBD di Puskesmas:

1. Menerima laporan adanya penderita DBD dan segera mencatat dalam

buku catatan khusus yang telah disediakan.

2. Mempersiapkan tensimeter, senter, formulir PE, dan surat tugas yang

merupakan peralatan survei.

3. Memberitahu pemerintah setempat (lurah/kades dan ketua RW/RT),

bahwa PE akan dilaksanakan.

4. Dilanjutkan dengan pelaksanaan PE, sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


20

a. Petugas Puskesmas menjelaskan maksud dan tujuan sambil

memperkenalkan diri serta melakukan wawancara dengan

keluarga, untuk mengetahui dalam waktu 1 minggu

sebelumnya apakah ada penderita demam atau pendertia infeksi

dengue lainnya.

b. Uji tourniquet dan pemeriksaan kulit (petekie) akan dilakukan

jika ada penderita demam namun tidak jelas sebabnya untuk

mencari suspek infeksi dengue.

c. Melakukan pemeriksaan jentik pada tampat yang dicurigai

sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes.

d. Pelaksanaan PE dilakukan dengan jaraak 100 meter dari tempat

tinggal penderita.

e. Jika penderita sering melakukan kegiatan diluar rumah seperti

pekerja atau anak sekolah, maka PE juga dilaksanakan di

tempat kerja/sekolah.

f. Hasil pemeriksaan dicatat dalam formulir PE.

g. Hasil PE dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota

Medan untuk ditindak lanjuti.

h. Jika hasil PE positif yaitu dengan ditemukan 1 atau lebih

penderita infeksi dengue lainnya dan/atau ≥3 penderita suspek

infeksi dengue dan ditemukan jentik (≥5%), maka dilakukan

penanggulangan fogging (fogging focus), penyuluhan PSN 3M

Plus dan larvasida selektif.

Universitas Sumatera Utara


21

i. Jika hasil PE negatif maka dilakukan PSN 3M Plus, larvasida

selektif dan penyuluhan.

Kriteria fokus. Kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD

merupakan salah satu kegiatan penanggulangan fokus dengan jarak minimal 200

meter. Tindakan yang dilakukan meliputi Pemberantasan Sarang Nyamuk penular

DBD (PSN 3M Plus), larvasida selektif, penyuluhan dan/atau pengabutan panas

(pengasapan/fogging) dan/atau pengabutan dingin Ultra Low Volume (ULV)

menggunakan insektisida yang sesuai dengan rekomendasi World Health

Organization Pesticide Evolution Scheme (WHOPES) dan/atau Komisi Pestisida.

Tujuannya untuk memberantas sumber penularan DBD. Pelaksanaan Fogging

Focus harus memenuhi kriteria sebagai berkut:

1. Jika ditemukan 1 atau lebih penderita infeksi dengue lainnya dan/atau

ada ≥3 suspek infeksi dengue, dan

2. Ditemukan jentik ≥5% dari rumah/bangunan yang diperiksa.

Angka Bebas Jentik

Definisi angka bebas jentik. Angka Bebas Jentik (ABJ) adalah suatu

ukuran untuk mengetahui kepadatan jentik dengan cara menghitung jumlah rumah

di wilayah kerja Puskesmas yang tidak dijumpai jentik dibagi dengan jumlah

rumah yang diperiksa. Kepadatan jentik nyamuk tinggi apabila memiliki nilai

ABJ < 95%, sedangkan kepadatan jentik nyamuk dikatakan rendah jika memiliki

nilai ABJ > 95% (Kemenkes RI, 2011).

Universitas Sumatera Utara


22

Klasifikasi Umur Menurut WHO

Klasifikasi umur berbeda-beda disetiap negara disebabkan oleh beberapa

faktor seperti kesenjangan sosial, tuntutan pekerjaan hingga iklim politik dan

ekonomi yang terjadi di negara tersebut sehingga perlu ditentukannya standar

umur yang dapat digunakan oleh semua negara. WHO membuat klasifikasi umur

berdasarkan standarisasi umur baku atau penyesuasian umur tertentu. Klasifikasi

umur menurut WHO 2020 yaitu :

1. 0 – 1 tahun (Bayi/ infants)

2. 2 – 10 tahun (Anak-anak/ children)

3. 11 – 19 tahun (Remaja/ adolescents)

4. 20 – 59 tahun (Dewasa/ adult)

5. ≥ 60 tahun (Lanjut usia/ elderly)

Menurut Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes RI, dr.

Siti Nadia Tarmizi M. Epid., pada tahun 2019 proporsi kematian berdasarkan usia

kurang dari satu tahun sebanyak 0,01 persen, sedangkan pada tahun 2020

sebanyak 0,02 persen. Untuk persentase kematian pada usia 1-4 tahun pada tahun

2019 yaitu sebanyak 0,07 persen, dan pada tahun 2020 sebanyak 0,11 persen

(Halakkrispen, 2020).

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Definisi sistem informasi geografis. Sistem Informasi Geografis (SIG)

merupakan sistem komputer yang dapat menyimpan, membangun, mengelola, dan

menampilkan informasi bereferensi geografis atau dapat mengelola data yang

Universitas Sumatera Utara


23

memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan) (“GIS (Geographic

Information System)”, 2014).

Definisi lain dari SIG menurut para ahli yaitu salah satunya Gistut (1994),

SIG mampu mengintegrasikan deskipsi lokasi dengan karakteristik lokasi yang

ditemukan di lokasi tersebut dan dapat mendukung pengambilan keputusan yang

bersifat spasial. Menurut Murai (1999) SIG dapat mendukung pengambilan

keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan lahan, sumber daya alam,

lingkungan, fasilitas umum, dan pelayanaan umum lainnya. Sistem ini juga dapat

menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospatial.

Ciri utama dari sistem informasi geografis

1. Memiliki data atribut dalam bentuk tabular yang berhubungan dengan

basis data grafik yang berasaskan geografis.

2. Memiliki komponen software yang berguna dalam input data,

pemanggilan kembali data, dan memiliki kemampuan analisis data dan

manipulasi data.

3. Memiliki komponen hardware yang berguna untuk menyajikan data dalam

bentuk grafik, menyediakan kapasitas penyimpanan data serta mampu

memanage dan mendukung analisis data secara cepat.

Tujuan sistem informasi geografis. SIG memiliki tujuan pokok yaitu

untuk memudahkan dalam mendapatkan informasi yang telah diolah dan

tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau objek. Data yang terikat dengan lokasi

dan merupakan data dasar yang belum dispesifikasi adalah ciri utama dari data

yang dimanfaatkan dalam penggunaan SIG.

Universitas Sumatera Utara


24

Komponen-komponen sistem informasi geografis

1. Data geografi

2. Hardware dan Software

a. Hardware : Perangkat Komputer, Digitizer (meja), Scanner (on

screen), Global Positioning System (GPS), Plotter, Multimedia.

b. Software : Software GIS (ArcGIS, Mapinfo, Integrafe, Ilwis,

Quantum GIS), Software pendukung [database (accses/excel, SQL,

Oracle), VB. Auto CAD, Software Multimedia]

3. Pengguna

4. Personal/organisasi

5. Data attribute

Manfaat sistem informasi geografis

a. Manajemen data base : data dapat disimpan dalam jumlah besar, dan

disajikan secara cepat.

b. Pemetaan topografi dan tematik : menampilkan atau memplot suatu basis

data dengan tampilan peta geografi digital yang akurat.

c. Analisis perencanaan, pengelolaan dan evaluasi : percepatan

penggabungan dan pemisahan data yang tinggi.

d. Perangkat untuk presentasi : presentasi dan tampilan informasi data yang

atraktif dan cepat.

Landasan Teori

Aktivitas di luar rumah dan perilaku mobilisasi dapat menjadi penyebab

tingginya kasus kejadian DBD berdasarkan kelompok umur khususnya kelompok

Universitas Sumatera Utara


25

umur dewasa. Penularan setempat mungkin bisa terjadi pada usia balita

dikarenakan pada usia tersebut tidak melakukan kegiatan mobilisasi

(Wahyuningsih, 2014).

Suryani (2018), dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa terjadi

peningkatan nilai IR diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk yang artinya

kejadian DBD meningkat. Penelitian ini menunjukkan nilai cakupan Angka Bebas

Jentik (ABJ) mengalami penurunan tiap tahunnya, hal ini membuktikan bahwa

telah terjadi penurunan upaya pengendalian DBD.

Menurut penelitian yang dilakukan Mujida dan Ridwan (2009), pemetaan

terhadap kasus DBD menggunakan GIS sangat membantu untuk distribusi

penyakit DBD disetiap wilayah, dan dapat memprediksi secara cepat penyebaran

penyakit yang akan terjadi di wilayah tersebut.

Pola penyebaran penyakit DBD dapat menggambarkan darimana sumber

penularan DBD di suatu wilayah. Hasil penelitian menunjukkan pola

berkelompok sehingga pada satu wilayah tertentu dapat terjadi penularan DBD

(Wahyuningsih, 2014).

Universitas Sumatera Utara


26

Kerangka Konsep

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian

ini adalah:

Jenis Kelamin

Umur

Kejadian DBD

Kepadatan Penduduk

Fogging Fokus

Gambar 2. Kerangka konsep

Universitas Sumatera Utara


Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian epidemiologi

deskriptif. Penelitian Epidemiologi Deskriptif adalah studi yang ditujukan untuk

menentukan jumlah atau frekuensi dan distribusi penyakit di suatu daerah

berdasarkan variabel orang, tempat dan waktu. Tujuannya yaitu untuk

menggambarkan distribusi keadaan masalah kesehatan sehingga dapat diduga

kelompok mana di masyarakat yang paling banyak terserang.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas

Simalingkar yang terdiri dari tiga kelurahan yaitu Kelurahan Mangga, Kelurahan

Simpang Selayang dan Kelurahan Simalingkar B.

Waktu penelitian. Waktu penelitian dimulai sejak bulan Desember 2019

sampai dengan September 2020.

Populasi dan Sampel

Populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah data seluruh kejadian DBD

yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar yang berhasil tercatat di

Puskesmas Simalingkar tahun 2019 dengan jumlah kasus 43.

Sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah data seluruh kejadian DBD

yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar yang berhasil tercatat di

Puskesmas Simalingkar dengan kriteria alamat jelas dan memang bertempat

tinggal di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar tahun 2019 sebanyak 32 kasus.

27
Universitas Sumatera Utara
28

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian adalah menggunakan data

sekunder yang didapat dari lokasi penelitian serta pengumpulan data primer. Data

sekunder dalam penelitian ini berupa laporan tahunan maupun kartu status yang

tercatat di rekam medis Puskesmas Simalingkar pada tahun 2019.

Data primer didapat dengan cara observasi langsung ke tempat tinggal

penderita untuk mendapatkan titik koordinat menggunakan Global Positioning

System Essentials (GPS Essentials).

Metode Analisis Data

Analisis data menggunakan analisis univariat untuk mengetahui distribusi

frekuensi kejadian DBD berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin, kepadatan

penduduk, kepadatan jentik vektor, penyelidikan epidemiologi dan fogging fokus.

Mapping yang dilakukan untuk melihat penyebaran dari kejadian penyakit

DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar yaitu menggunakan software

Quantum GIS 3.12 Bucuresti, Easy GPS yang merupakan sebuah software yang

digunakan untuk mengeksport data dari GPS Essentials agar bisa dibaca di

Quantum GIS 3.12 Bucuresti.

Definisi Operasional

Kejadian DBD adalah data penderita DBD diwilayah kerja Puskesmas

Simalingkar yang tercatat oleh petugas Pukesmas Simalingkar pada buku register

Puskesmas dengan alamat yang jelas.

Cara ukur

1. Telaah dokumen dan dihitung dengan :

Universitas Sumatera Utara


29

(hasil ukur, angka insidens rate per 100.000 penduduk)

2. Observasi langsung terhadap titik lokasi koordinat geografis

menggunakan alat GPS Essentials dengan hasil ukur yang akan

dihasilkan yaitu peta titik kejadian DBD.

Langkah-langkah dalam pemetaan yang akan dilakukan yaitu :

a. Mengambil data penderita DBD tahun 2019 yang tercatat di rekam

medik Puskesmas Simalingkar

b. Memilah data penderita DBD tahun 2019 yang sesuai dengan

kriteria yang telah ditentukan peneliti yaitu memiliki alamat yang

jelas dan memang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas

Simalingkar

c. Melakukan pengambilan titik koordinat ke lapangan secara

langsung menggunakan aplikasi GPS Essentials (pengambilan titik

koordinat dilakukan dengan akurasi dibawah 6 meter)

 Catatan: sebelum melakukan pengambilan titik koordinat

diatur position datum yaitu World Geodetic System 84

(WGS84), kemudian position format Universal Transverse

Mercator (UTM) (untuk Kota Medan berada di zona UTM

47n)

d. Setelah mendapat titik koordinat yang diperlukan, maka data yang

sudah terkumpul dieksport terlebih dahulu dengan format GPX

kemudian dipindahkan ke komputer dengan software Easy GPS,

Universitas Sumatera Utara


30

yang selanjutnya akan diolah dengan software Quantum GIS 3.12

Bucuresti, sehingga didapatkan hasil akhir berupa peta penyebaran

kejadian DBD berdasarkan karakteristik.

Skala ukur. Skala ukur pada variabel ini adalah interval.

Umur adalah data lamanya tahun kehidupan yang dimiliki oleh pendertia

DBD (sampai ulang tahun terakhir) yang tertera dalam buku register Puskesmas

Simalingkar.

Cara ukur yaitu telaah dokumen.

Hasil ukur. Berdasarkan kategori umur menurut WHO (2020), yaitu:

1. 0 – 1 tahun

2. 2 – 10 tahun

3. 11 – 19 tahun

4. 20 – 59 tahun

5. ≥ 60 tahun

Skala ukur. Skala ukur pada variabel ini adalah ordinal.

Jenis kelamin adalah data karakteristik identitas penderita DBD yang

tertera dalam buku register Puskesmas Simalingkar.

Cara ukur yaitu telaah dokumen.

Hasil ukur

1. Laki-laki

2. Perempuan

Universitas Sumatera Utara


31

Skala ukur. Skala ukur pada variabel ini adalah nominal.

Kepadatan penduduk adalah data jumlah penduduk yang berada di

wilayah kerja Puskesmas Simalingkar dibagi satuan luas wilayah tersebut.

Cara ukur adalah telaah dokumen dan dihitung dengan :

Skala ukur. Skala ukur pada variabel ini adalah rasio.

Fogging focus adalah kegiatan penanggulangan fokus dengan

penyemprotan memakai insektisida di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar yang

terdapat penderita DBD.

Cara ukur. Cara ukur yang digunakan dalam variabel ini adalah menelaah

dokumen yang berhubungan dengan Fogging Focus yang didapat dari petugas

Puskesmas Simalingkar.

Hasil ukur. Hasil yang didapat berupa jumlah berapa kali Fogging Focus

dilakukan.

Skala ukur. Skala ukur yaitu rasio.

Universitas Sumatera Utara


Hasil Penelitian

Gambaran Lokasi Penelitian

Puskesmas Simalingkar terletak di Kecamatan Medan Tuntungan.

Kecamatan Medan Tuntungan merupakan bagian dari pemerintahan Kota Medan

dengan luas wilayah 21,58 km2 dan terdiri dari 9 kelurahan yaitu Kelurahan

Mangga, Kelurahan Simpang Selayang, Kelurahan Simalingkar B, Kelurahan

Kemenangan Tani, Kelurahan Lau Cih, Kelurahan Namu Gajah, Kelurahan

Sidomulyo, Kelurahan Tanjung Selamat, Kelurahan Ladang Bambu.

Puskesmas Simalingkar memiliki wilayah kerja yang meliputi 3 kelurahan

yaitu Kelurahan Mangga dengan luas wilayah 3,11 km 2, Kelurahan Simpang

Selayang dengan luas wilayah 2,2 km2, dan Kelurahan Simalingkar B dengan luas

wilayah 2,1 km2. Secara geografis Puskesmas Simalingkar terletak di Kelurahan

Mangga. Berikut adalah peta wilayah kerja Puskesmas Simalingkar:

32
Universitas Sumatera Utara
33

Gambar 3. Peta wilayah kerja Puskesmas Simalingkar

Kependudukan

Puskesmas Simalingkar memiliki wilayah kerja yang luas dengan jumlah

penduduk yang banyak. Berikut adalah jumlah penduduk dan luas wilayah kerja

Puskesmas Simalingkar:

Tabel 1.

Jumlah Kepadatan Penduduk di Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar Tahun


2019

Kelurahan Jumlah Luas Wilayah Kepadatan


Penduduk (Jiwa) (Km2) Penduduk
(Jiwa/Km2)

Kel. Mangga 37.644 3,11 12104,18


Kel. Simpang Selayang 15.004 2,2 6820
Kel. Simalingkar B 5.774 2,1 2749,52
Total 58.422 7,51 21673,7

Universitas Sumatera Utara


34

Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa Kelurahan Mangga memiliki

kepadatan penduduk paling tinggi yaitu 12104,18 Jiwa/Km2 dan Kelurahan

Simalingkar B memiliki kepadatan penduduk yang paling rendah yaitu 2749,52

Jiwa/Km2.

Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar

Jumlah kasus DBD serta jumlah kematian akibat DBD dapat menunjukkan

angka morbiditas dan mortalitas dari kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas

Simalingkar. Berikut adalah jumlah kejadian DBD dan jumlah kematian akibat

DBD:

Tabel 2.

Morbiditas dan Mortalitas Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas


Simalingkar Tahun 2019

Kelurahan Jumlah Kasus IR DBD CFR


Kel. Mangga 22 0,584 0
Kel. Simpang Selayang 8 0,533 0
Kel. Simalingkar B 2 0,346 0
Total 32 1,463 0

Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa angka kematian terhadap

kasus DBD (CFR DBD) di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar yaitu 0, yang

artinya tidak ada kasus kematian akibat DBD yang terjadi.

Universitas Sumatera Utara


35

Gambar 4. Peta distribusi kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar


tahun 2019

Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa persebaran kejadian DBD

tidak merata disetiap kelurahan. Bila dilihat di kelurahan Simalingkar B, hanya

terdapat 2 kasus DBD, dan kelurahan Simpang Selayang memiliki kasus DBD

sebanyak 8 kasus yang menyebar namun tidak merata, sama halnya dengan

kejadian DBD di kelurahan Mangga sebanyak 22 kasus.

Universitas Sumatera Utara


36

Gambar 5. Peta buffer Puskesmas Simalingkar terhadap titik kejadian DBD di


wilayah kerja Puskesmas Simalingkar

Berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat hasil analisis buffer yang didapatkan

melalui aplikasi Quantum GIS menunjukkan bahwa cakupan pelayanan

Puskesmas Simalingkar mencakup seluruh titik kejadian DBD.

Pola Sebaran Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar


Tahun 2019

Pola penyebaran kejadian DBD dapat diketahui dengan menghitung nilai

Nearest Neighbour Index (NNI) atau indeks jarak tetangga terdekat yang dapat

dicari melalui aplikasi Quantum GIS. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan,

didapatkan nilai indeks jarak tetangga terdekat atau NNI sebesar 0,67 yang

menunjukkan pola sebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas

Universitas Sumatera Utara


37

Simalingkar tahun 2019 berpola mengelompok (clustered) dengan nilai z-score

sebesar -3,15.

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar

berdasarkan jenis kelamin adalah sebagai berikut:

Tabel 3.

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar


Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2019

Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)


Laki-laki 16 50,0
Perempuan 16 50,0
Total 32 100,0

Berdasarkan tabel, dapat diketahui bahwa jumlah kejadian DBD menurut

jenis kelamin adalah sama yaitu untuk laki-laki sebanyak 16 kasus (50,0%) dan

perempuan sebanyak 16 kasus (50,0%).

Universitas Sumatera Utara


38

Gambar 6. Peta distribusi kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar


berdasarkan jenis kelamin tahun 2019

Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat persebaran kejadian DBD

berdasarkan jenis kelamin. Jenis kelamin laki-laki ditandai dengan warna biru dan

jenis kelamin perempuan ditandai dengan warna merah muda. Jumlah kejadian

DBD di Kelurahan Simalingkar B yaitu 2 kasus, dapat dilihat di gambar bahwa

penderita terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Kelurahan Simpang Selayang memiliki jumlah kasus 8, yang terdiri dari 4

laki-laki dan 4 perempuan, sedangkan untuk jumlah kasus DBD tertinggi di

Kelurahan Mangga sebanyak 22 kasus, terdiri dari 11 laki-laki dan 11 perempuan.

Dapat disimpulkan bahwa persentase jenis kelamin untuk tiap-tiap kelurahan

adalah sama.

Universitas Sumatera Utara


39

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kelompok Umur

Jumlah kejadian DBD berdasarkan kelompok umur di wilayah kerja

Puskesmas Simalingkar tahun 2019 adalah sebagai berikut:

Tabel 4.

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar


Berdasarkan Umur Tahun 2019

Kelompok Umur Jumlah Persentase (%)


0 – 1 tahun 0 0
2 – 10 tahun 9 28,1
11 – 19 tahun 11 34,4
20 – 59 tahun 11 34,4
≥ 60 tahun 1 3,1
Total 32 100,0

Berdasarkan tabel 4, dapat diketahui bahwa kejadian DBD tidak di temui

pada kelompok umur 0-1 tahun. Kejadian DBD paling banyak terjadi pada

kelompok umur 11-19 tahun dan 20-59 tahun dengan jumlah kejadian yang sama

yaitu 11 kasus (34,4%). Jumlah kejadian DBD pada kelompok umur 2-10 tahun

sebanyak 9 kasus (28,1%). dan pada kelompok umur ≥60 tahun hanya ditemui 1

kasus DBD (3,1%).

Universitas Sumatera Utara


40

Gambar 7. Peta distribusi kejadian DBD berdasarkan umur di wilayah kerja


Puskesmas Simalingkar tahun 2019

Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa jumlah kejadian DBD di

kelurahan Mangga berdasarkan kelompok umur paling tinggi yaitu kelompok

umur 11-19 tahun dan 20-59 tahun yaitu masing-masing sebanyak 9 kasus.

Kelurahan Simalingkar B tidak ditemukan kejadian DBD pada kelompok umur

20-59 tahun yang ditandai dengan titik warna merah dan juga tidak ditemukan

kejadian DBD pada kelompok umur ≥60 tahun yang ditandai dengan titik warna

cokelat. Kelompok umur dominan untuk kasus DBD di kelurahan Simpang

Selayang jika dilihat dari peta adalah kelompok umur 2-10 tahun yang ditandai

dengan titik warna ungu dengan jumlah kasus sebanyak 4 kasus.

Universitas Sumatera Utara


41

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk

Jumlah kejadian DBD berdasarkan kepadatan penduduk di wilayah kerja

Puskesmas Simalingkar tahun 2019 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.

Distribusi Frekuensi Insidence Rate (IR) di Wilayah Kerja Puskesmas


Simalingkar Berdasarkan Kepadatan Penduduk Tahun 2019

Kelurahan Kepadatan Penduduk IR DBD


(Jiwa/Km2)
Kel. Mangga 12104,18 0,584
Kel. Simpang Selayang 6820 0,533
Kel. Simalingkar B 2749,52 0,346
Total 21673,7 1,463

Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa IR DBD paling tinggi terjadi di

kelurahan Mangga (0,584 per 1000 penduduk) dengan kepadatan penduduk yang

tinggi yaitu 12104,18 Jiwa/Km2. Kelurahan Simpang Selayang dengan kepadatan

penduduk 6820 memiliki IR DBD 0,533 per 1000 penduduk dan IR DBD yang

paling rendah yaitu Kelurahan Simalingkar B 0,346 per 1000 penduduk dengan

kepaatan penduduk yang juga rendah yaitu 2749,52.

Berikut adalah peta distribusi IR DBD di wilayah kerja Puskesmas

Simalingkar:

Universitas Sumatera Utara


42

Gambar 8. Peta distribusi IR DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar tahun


2019

Berdasarkan Gambar 8, diketahui bahwa angka IR DBD paling tinggi

terjadi di kelurahan Mangga yang ditandai dengan warna merah pada peta dan IR

DBD sedang terjadi di kelurahan Simpang Selayang yang ditandai dengan warna

kuning pada peta. Kelurahan Simalingkar B menempati posisi terakhir dengan IR

DBD paling rendah yang ditandai dengan warna hijau pada peta.

Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Fogging Focus

Fogging focus merupakan kegiatan penyemprotan insektisida di wilayah

terdapat penderita DBD. Jumlah fogging focus DBD di wilayah kerja Puskesmas

Simalingkar didapatkan dari pelaksanaan fogging focus terhadap kejadian DBD

yang dilaporkan baik dari warga sendiri maupun pihak berwenang setempat

Universitas Sumatera Utara


43

(kepala lingkungan). Berikut adalah jumlah kejadian DBD berdasarkan fogging

focus di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar:

Tabel 6.

Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Fogging Focus di Wilayah Kerja Puskesmas


Simalingkar Tahun 2019

Kelurahan Kejadian DBD FF(%)


Kel. Mangga 22 22 (68,8%)
Kel. Simpang Selayang 8 8 (25,0%)
Kel. Simalingkar B 2 2 (6.2%)
Total 32 32 (100%)

Berdasarkan tabel 6, dapat diketahui bahwa pelaksanaan kegiatan fogging

focus dilakukan beradasarkan jumlah kejadian DBD yang dilaporkan di setiap

kelurahan. Kejadian DBD paling tinggi terjadi di kelurahan Mangga sebanyak 22

kasus dengan kegiatan fogging focus yang dilakukan 22 (68,8%). Kelurahan

Simpang Selayang memiliki kejadian DBD sebanyak 8 kasus dan kegiatan

fogging focus dilakukan 8 (25,0%). Kelurahan Simalingkar B memiliki kejadian

DBD sebanyak 2 kasus dan kegiatan fogging focus dilakukan 2 (6,2%).

Universitas Sumatera Utara


Pembahasan

Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar

Hasil penelitian menunjukkan kejadian DBD menyebar di wilayah kerja

Puskesmas Simalingkar khususnya Kelurahan Mangga yang memiliki jumlah

kasus terbanyak yaitu 22 kasus. Menurut pengamatan yang dilakukan pada saat

pengambilan titik koordinat, kondisi lingkungan geografis wilayah kerja

Puskesmas Simalingkar memiliki banyak komplek perumahan serta bangunan-

bangunan yang berdekatan dan daerah yang selalu ramai. Banyak tempat yang

berpotensi menjadi tempat sarang nyamuk seperti tempat penampungan air dan

kaleng-kaleng yang dibuang sembarangan sehingga memudahkan

perkembangbiakan nyamuk dan perserbaran penyakit DBD. Menurut penelitian

yang dilakukan oleh Susmaneli (2011) bahwa keberadaan jentik nyamuk pada

penampungan air mempengaruhi jumlah kejadian DBD, begitu juga dengan

kepadatan rumah yang menjadi faktor resiko paling dominan yang berhubungan

dengan tingginya angka kejadian DBD mengingat jarak terbang nyamuk Aedes

Aegypti pendek yaitu kurang lebih 100 meter. Hal ini memungkinkan menjadi

salah satu alasan penyebaran penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas

Simalingkar masih terjadi. Angka kematian akibat DBD tidak ada (CFR = 0),

artinya tidak ada kasus kematian yang terjadi akibat penyakit DBD.

Mobilitas penduduk dapat menjadi faktor yang mempengaruhi cepatnya

persebaran kejadian DBD disuatu wilayah. Pada pengamatan yang dilakukan di

wilayah kerja Puskesmas Simalingkar banyak ditemukan perumahan-perumahan

yang baru saja dibangun dan sudah mulai dihuni. Hal ini memungkinkan menjadi

44
Universitas Sumatera Utara
45

salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD di wilayah tersebut,

namun masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Handoyo, Hestiningsih, & Martini (2015) menyatakan bahwa

terdapat hubungan antara mobilitas penduduk dengan kejadian DBD, namun hasil

penelitian tersebut tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri

(2018) bahwa di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam, kejadian DBD

tidak dipengaruhi oleh mobilitas penduduk.

Pola Sebaran Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Simalingkar

Pemanfaatan Quantum GIS dalam dunia kesehatan berguna sebagai

teknologi penyampaian informasi kesehatan berbasis peta. Pemetaan penyakit

dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk melihat gambaran serta pola

penyebaran penyakit di suatu wilayah yang dapat menjadi acuan dalam

melakukan penanggulangan penyakit.

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap titik koordinat

kejadian DBD, didapatkan pola sebaran kejadian DBD di wilayah Kerja

Puskesmas Simalingkar tahun 2019 berpola mengelompok (clustered). Penelitian

lain yang serupa mendapatkan pola sebaran pada kasus leptospirosis berpola

mengelompok (clustered) dengan menggunakan metode average nearest neighbor

distance dan nilai z-score yang didapat sebesar -2,41 (Widayani & Kusuma,

2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2014), kejadian DBD di

wilayah kerja Puskesmas pengasinan meningkat setiap tahun dengan pola

penyebaran kejadian DBD berpola mengelompok, yang didapat dari menghitung

Universitas Sumatera Utara


46

nilai NNI melalui aplikasi Quantum GIS. Widya dan Dhamayanti (2013) juga

melakukan penelitian dengan menggunakan metode Nearest Neigborhod yang

hasilnya memberikan rincian tentang wilayah yang terjangkit DBD dan wilayah

terdekat yang kemungkinan besar akan segera terjangkit berdasarkan pola

kedekatan wilayah.

Analisis buffer merupakan salah satu analisis yang terdapat dalam sistem

informasi geografis yang biasa digunakan untuk memetakan wilayah atau

jangkauan jarak suatu objek sehingga dapat mengidentifikasi letak objek yang ada

di dalam atau di luar jangkauan buffer. Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan didapatkan hasil cakupan pelayanan Puskesmas Simalingkar mencakup

seluruh kejadian DBD dengan radius buffer dari titik puskesmas sebesar 3000

meter. Hal ini sesuai dengan kriteria yang dikeluarkan oleh Badan Standardisasi

Nasional (BSN) yaitu Standar Nasional Indonesia nomor 03-1733-2004 tentang

tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan tahun 2004 yang

menyatakan bahwa radius pencapaian pelayanan kesehatan sebesar 3000m 2.

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah kasus

DBD, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian

Pangemanan, Kundre, dan Lolong (2016) yang menyatakan bahwa resiko terkena

DBD untuk jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan adalah hampir

sama atau tidak tergantung pada jenis kelamin.

Penelitian lain yang serupa menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan

kerentanan terkena DBD antara laki-laki dan perempuan (Suryani, 2016).

Universitas Sumatera Utara


47

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas

Simalingkar dapat disimpulkan bahwa kejadian DBD antara laki-laki dan

perempuan memiliki resiko yang sama.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Djardito, Yuniarno, Wibowo,

Saprasetya, dan Dwiyanti (2018), mayoritas kejadian DBD banyak diderita oleh

jenis kelamin laki-laki, namun jenis kelamin tidak bisa dijadikan faktor yang

dapat mempengaruhi jumlah kejadian DBD karena kejadian DBD berdasarkan

jenis kelamin termasuk dalam faktor kebetulan (by chance). Penelitian lain juga

menyatakan bahwa mayoritas penderita DBD terjadi pada jenis kelamin laki-

laki.yang salah satu penyebabnya adalah faktor mobilitas.

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kelompok Umur

Penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2016) menunjukkan bahwa

mayoritas kasus DBD terjadi pada kelompok umur 5-14 tahun. Hal ini sejalan

dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan

kejadian DBD yaitu umur dengan kategori muda memiliki resiko terinfeksi DBD

lebih besar dari umur dengan kategori yang lebih tua (Umaya, Faisya, & Sunarsih

2013).

Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan, kejadian DBD terbanyak

terjadi pada kelompok umur 11-19 tahun dan 20-59 tahun dengan masing-masing

memiliki jumlah kejadian yang sama. Pada pengamatan yang telah dilakukan di

wilayah kerja Puskesmas Simalingkar menggambarkan bahwa warga sekitar

memiliki kegiatan yang mengharuskan mereka untuk keluar rumah pada pagi hari

dan pulang pada siang hari ataupun malam hari yang berkaitan dengan dengan

Universitas Sumatera Utara


48

pola waktu nyamuk Aedes aegypti dalam menggigit, mengingat kejadian DBD

banyak terjadi pada umur yang masih produktif.

Menurut Direktur Tular Vektor Zoonotik Kementerian Kesehatan, Siti

Nadia Tarmizi menyatakan bahwa pada tahun 2020 mayoritas kejadian DBD

terjadi pada rentang umur produktif dengan jumlah kejadian pada kelompok umur

15-44 tahun 33,36% dari total kasus. Kelompok umur 5-14 tahun memiliki kasus

sebesar 25,41% dan kelompok umur 1-4 tahun sebesar 24,96% (Sucipto, 2020).

Penelitian lain juga menyatakan bahwa mayoritas penderita DBD terjadi pada

rentang umur produktif yaitu ≥15 tahun.

Kelompok umur yang sudah tidak produktf lagi pun masih melakukan

kegiatan di luar rumah dan bahkan masih bekerja. Tren umumnya terjadi pada

umur dibawah 12 tahun, namun usia produktif sekarang lebih beresiko terinfeksi

DBD yang artinya penularan DBD juga terjadi di sekolah ataupun tempat kerja.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Djardito dkk. (2008), kejadian DBD

banyak diderita oleh kelompok umur ≥12 tahun dan umur termasuk dalam faktor

yang mendukung terjadinya DBD.

Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk

Menurut penelitian Suhermanto dan Suparmi (2017) bahwa kepadatan

penduduk tidak mempengaruhi jumlah kejadian DBD. Hal ini bertentangan

dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan namun memiliki korelasi searah yang sedang antara kepadatan

penduduk dengan jumlah kejadian DBD (Apriyandika, Yulianto, & Feriandi

2013).

Universitas Sumatera Utara


49

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa kepadatan

penduduk yang tinggi memiliki jumlah kejadian DBD yang tinggi, begitu

sebaliknya kepadatan penduduk yang rendah memiliki jumlah kejadian DBD yang

rendah. Pengamatan yang dilakukan pada saat pengambilan titik koordinat,

terlihat bahwa wilayah kerja Puskesmas Simalingkar padat dan ramai penduduk.

Aktivitas warga yang sibuk setiap hari dan lebih senang untuk berada di luar

rumah memungkinkan cepatnya penularan penyakit DBD dari manusia ke

manusia. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widyanto (2007)

yang menyatakan bahwa tingginya angka penularan DBD dapat dipengaruhi oleh

penduduk yang padat mengingat jarak terbang nyamuk 100 meter.

Jumlah Kejadian DBD Berdasarkan Fogging Focus

Salah satu bentuk kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD adalah

kegiatan Fogging Focus dengan radius minimal 200 meter. Tindakan ini

termasuk penting karena meliputi PSN 3M Plus. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa kegiatan fogging dilakukan per kejadian DBD. Menurut wawancara

terhadap pihak puskesmas, pelaksanaan kegiatan ini dilakukan berdasarkan

kejadian DBD yang dilaporkan. Bila di suatu wilayah tersebut terindikasi adanya

1 kasus DBD maka warga akan meminta pihak terkait untuk segera melakukan

fogging. Hal ini tidak sesuai dengan kriteria pelaksanaan fogging focus yaitu

fogging akan dilakukan jika ditemukan 1 atau lebih penderita infeksi dengue

dan/atau ≥3 suspek infeksi dengue, dan bila ditemukan jentik ≥5% dari

rumah/bangunan yang diperiksa.

Universitas Sumatera Utara


50

Pengetahun tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan DBD,

bagaimana cara penularannya serta pencegahan yang tepat masih menjadi hal

yang tabu dimasyarakat. Persepsi mengenai DBD, pengetahuan akan bahaya

DBD, dan bagaimana gejala awal yang harus dikenali juga termasuk faktor yang

mempengaruhi kejadian DBD (Respati dkk. 2017).

Permintaan fogging juga disebabkan oleh keinginan warga agar penyakit

DBD tidak menyebar luas di wilayahnya, karena menurut mereka dengan

dilaksanakannya fogging maka resiko terkena DBD akan berkurang bahkan tidak

ada. Persepsi yang dimiliki warga bahwa dengan fogging pemberantasan nyamuk

DBD lebih efektif, cepat dan nyamuk benar-benar mati. Penelitian yang dilakukan

oleh Yulianti (2011) menyatakan bahwa ada hubungan antara persepsi tentang

fogging focus dengan permintaan fogging focus.

Pelaksanaan Penyelidikan Epidemiologi juga tidak berjalan dengan baik,

ada beberapa kendala yang harus dilalui misalnya tidak ada partisipasi warga atau

warga tidak mau untuk di periksa rumahnya (dalam hal ini pemeriksaan jentik

nyamuk). Kegiatan PSN yaitu dalam bentuk pembagian Abate yang merupakan

obat pembasmi larva (larvasida).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ambarwati, Darnoto dan Astuti

(2006), fogging merupakan kegiatan yang sangat penting dalam upaya pemutusan

rantai penularan penyakit DBD dan akan mencapai hasil yang maksimal jika

dibarengi dengan kegiatan PSN dan abatisasi. Penelitian lain juga menyatakan

kejadian DBD dipengaruhi oleh perilaku PSN 3M Plus, orang yang tidak

melakukan PSN 3M Plus dengan baik beresiko terkena DBD lebih tinggi dari

Universitas Sumatera Utara


51

pada orang yang melakukan PSN 3M Plus dengan baik (Priesley, Reza, & Rusdji

2017).

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki kendala yaitu data yang tidak lengkap yang

menyebabkan tidak semua data dapat disajikan misalnya ada beberapa alamat

yang tidak jelas sehingga memungkinkan adanya kejadian DBD di wilayah kerja

Puskesmas Simalingkar yang tidak ikut tercatat. Penelitian ini juga terkendala

dengan tidak berjalannya kegiatan penyelidikan epidemiologi dengan baik

sehingga beberapa data yang dibutuhkan tidak tersedia.

Universitas Sumatera Utara


Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang DBD di wilayah kerja

Puskesmas Simalingkar dapat disimpulkan bahwa:

1. Tidak ada kasus kematian akibat DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar

tahun 2019 (CFR 0).

2. Penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar tahun 2019

paling banyak terjadi di Kelurahan Mangga sebanyak 22 kasus dan kejadian

DBD yang paling rendah berada di Kelurahan Simalingkar B sebanyak 2 kasus.

3. Pola penyebaran kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar

berpola mengelompok (clustered) dengan nilai z-score sebesar -3,15.

4. Jumlah kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar berdasarkan

jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan adalah sama yaitu masing-

masing sebanyak 16 kasus. Distribusi jumlah kejadian DBD per kelurahan

menurut jenis kelamin juga sama yaitu Kelurahan Mangga dengan jumlah

kasus 22 terdiri dari 11 laki-laki dan 11 perempuan, Kelurahan Simpang

Selayang dengan jumlah kasus 8 terdiri dari 4 laki-laki dan 4 perempuan,

Kelurahan Simalingkar B dengan jumlah kasus 2 terdiri dari 1 laki-laki dan 1

perempuan.

5. Jumlah kejadian DBD paling banyak terjadi pada kelompok umur 11-19 tahun

dan 20-59 tahun dengan jumlah kejadian yang sama yaitu 11 kasus (34,4%)..

52
Universitas Sumatera Utara
53

6. IR DBD paling tinggi terjadi pada wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi

yaitu Kelurahan Mangga dan IR DBD paling rendah terjadi pada wilayah

dengan kepadatan penduduk rendah yakni Kelurahan Simalinkar B.

7. Jumlah pelaksanaan kegiatan fogging focus dipengaruhi oleh jumlah kejadian

DBD yang dilaporkan, karena pelaksanaan fogging akan dilakukan jika ada

laporan mengenai orang yang terinfeksi DBD di wilayah tersebut.

Saran

1. Bagi instansi pemerintah khususnya Puskesmas Simalingkar lebih ditingkatkan

lagi program pelaksanaan Penyelidikan Epidemiologi DBD, serta melakukan

penyuluhan terkait pemberantasan DBD.

2. Diharapkan kepada warga agar mau untuk berpartisipasi dalam kegiatan

apapun yang berkaitan dengan upaya pemutusan rantai penularan penyakit

DBD.

3. Penelitian ini memiliki keterbatasan, diharapkan adanya penelitian lanjutan

mengenai DBD di wilayah kerja Puskesmas Simalingkar.

Universitas Sumatera Utara


Daftar Pustaka

Ambarwati, Darnoto, S., Astuti, D., (2006). Fogging sebagai upaya untuk
memberantas nyamuk penyebar demam berdarah di Dukuh Tuwak Desa
Gonilan, Kartasura, Sukoharjo. WARTA, 9(2), 130-138. Diakses 7
Agustus 2020 dari
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/1094/3.%20A
MBARWATI.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Apriandika, D., Yulianto, F. A., Feriandi, Y. (2015). Hubungan kepadatan


penduduk dengan kejadian demam berdarah dengue di Kota Bandung
tahun 2013. Prosiding Pendidikan Dokter Universitas Islam Bandung.
1(2). Diakses 7 Agustus 2020 dari
http://karyailmiah.unisba.ac.id/index.php/dokter/article/view/1474/pdf

Djardito, E., Yuniarno, S., Wibowo, C., Saprasetya, A, & Dwiyanti, H. (2008).
Beberapa faktor resiko yang berpengaruh terhadap kejadian demam
berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Banyumas. Media Litbang
Kesehatan, 18(9), 126-136. Diakses 28 Agustus 2020 dari
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/MPK/article/view/1080

Dinkes Provinsi Sumatera Utara. (2017). Profil Kesehatan Provinsi Sumatera


Utara Tahun 2017. Medan: Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara

Halakrispen, S. (2020, 12 Maret). Persentase kematian akibat DBD berdasarkan


usia. Medcom.id. Diakses 21 Juni 2020 dari
https://www.medcom.id/rona/kesehatan/ybDleevb-persentase-kematian-
akibat-DBD-berdasarkan-usia

Handoyo, W., Hestiningsih, R., Martini. (2015). Hubungan sosiodemografi dan


lingkungan fisik dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) pada
masyarakat pesisir Pantai Tarakan. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 3(3),
186-195. Diakses 29 Agustus 2020 dari
https://media.neliti.com/media/publications/18667-ID-hubungan-
sosiodemografi-dan-lingkungan-fisik-dengan-kejadian-demam-berdarah-
degu.pdf

Harismi, A. (2020, Mei). Risiko penyakit berdasarkan klasifikasi umur menurut


WHO. SehatQ Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Diakses 18
Juni 2020 dari https://www.sehatq.com/artikel/risiko-penyakit-
berdasarkan-klasifikasi-umur-menurut-who

Kementerian Kesehatan RI. (2011). Modul pengendalian dan pemberantasan


demam berdarah. Jakarta : Dirjen PP dan PL

54
Universitas Sumatera Utara
55

Kementerian Kesehatan RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia 2016. Diakses 20


Desember 2019 dari
http://www.depkes.go.id/resourcs/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2016.pdf

Kementerian Kesehatan RI. (2019a). Kasus DBD terus bertambah, Anung imbau
masyarakat maksimalkan PSN. Diakses 20 Desember 2019 dari
https://www.depkes.go.id/article/view/19020600004/kasus-DBD-terus-
bertambah-anung-imbau-masyarakat-maksimalkan-psn.html

Kementerian Kesehatan RI. (2019b). Profil Kesehatan Indonesia 2018. Diakses


20 Desember 2019 dari
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/PROFIL_KESEHATAN_2018_1.pdf

Nasronudin, dkk. (2007). Penyakit infeksi di Indonesia solusi kini dan mendatang
(1sted). Surabaya: Airlangga University Press

Munsyir, M. A., & Amiruddin, A. (2009). Pemetaan dan analisis kejadian demam
berdarah dengue di Kabupaten Bantaeng Propinsi Sulawesi Selatan
tahun 2009. Diakses 20 Desember 2019 dari
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/1233

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 Tentang


Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan

Priesley, F., Reza, M., Rusjdi, S. R., (2018). Hubungan perilaku pemberantasan
sarang nyamuk dengan menutup, menguras, dan mendaur ulang plus
(PSN M Plus) terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di
Kelurahan Andalas. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(1), 124-130. Diakses 7
Agustus 2020 dari
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/790/646

Putri, N. W. (2018). Kejadian demam berdarah dengue dengan kerentanan larva


nyamuk aedes spp di Kecamatan Lubuk Basung. Jurnal Endurance, 3(2),
349-357). Diakses 26 Agustus 2020 dari
https://www.researchgate.net/publication/326125950_KEJADIAN_DEM
AM_BERDARAH_DENGUE_DAN_KERENTANAN_LARVA_NYA
MUK_Aedes_spp_DI_KECAMATAN_LUBUK_BASUNG

Respati, T., Raksanegara, A., Djuhaeni, H., Sofyan, A., Agustian, D., Faridah, L.,
Sukandar, H. (2017). Berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian
demam berdarah dengue di Kota Bandung. ASPIRATOR, 9(2), 91-96.
Diakses 28 Agustus 2020 dari
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/aspirator/article/view/450
9

Universitas Sumatera Utara


56

Simarmata, C. (2018, 20 November). Cegah DBD meluas di Medan, Dinkes


lakukan psn hingga fogging. Tribun-Medan.com. Diakses 21 Desember
2019 dari https://medan.tribunnews.com/2018/11/20/cegah-DBD-
meluas-di-medan-dinkes-lakukan-psn-hingga-fogging

Soedarmo, S. S. P. (2009). Demam berdarah (dengue) pada anak. Jakarta :


Penerbit Universitas Indonesia.

Soedarto. (2012). Demam berdarah dengue : dengue haemoohagic fever. Jakarta :


CV Sagung Seto.

Soegijanto, S. (2004). Demam berdarah dengue. Surabaya : Airlangga University


Press.

Soegijanto, S. (2006). Demam berdarah dengue (Edisi ke-2). Surabaya : Pusat


Penerbitan dan Percetakan Unair.

Suhermanto & Suparmi. (2017). Demam berdarah dengue berdasarkan kepadatan


penduduk dan curah hujan. Jurnal Bahana Kesehatan Masyarakat, 1(1),
75-86. Diakses 7 Agustus 2020 dari
http://journal.poltekkesjambi.ac.id/index.php/JBKM/article/view/25/19

Suryani, E.T. (2018). Gambaran kasus demam berdarah dengue di Kota Blitar
tahun 2015-2017. Jurnal Berkala Epidemiologi, 6(3), 260-267.

Sucipto, T. I., (2020, 15 April). Mayoritas penderita DBD di rentang usia


produktif. medcom.id. Diakses 15 September 2020 dari
https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/ObzMMV7N-mayoritas-
penderita-DBD-di-rentang-usia-produktif

Susmaneli, H. (2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD di


RSUD Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal Kesehatan Komunitas, 1(3), 149-
154.

Umaya, R., Faisya, A. F., Sunarsih, E. (2013). Hubungan karakterisrik penjamu,


lingungan fisik dan pelayanan kesehatan dengan kejadian demam
berdarah dengue (DBD) di wilayah kerja Puskesmas Talang Ubi Pendopo
tahun 2013. Artikel Penelitian, Vol.4. Diakses 7 Agustus 2020 dari
http://www.jikm.unsri.ac.id/index.php/jikm/article/viewFile/295/pdf

Wahyuningsih, F. (2014). Analisis spasial kejadian demam berdarah dengue di


wilayah kerja Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi Tahun 2011-2013
(Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah). Diakses 15
Desember 2020 dari

Universitas Sumatera Utara


57

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25541/1/Fajriat
in-Wahyuningsih-fkik.pdf

Widayani, P., & Kusuma, D. (2014). Pemodelan spasial kerentanan wilayah


terhadap penyakit leptospirosis berbasis ekologi. Jurnal Geografi, 11(1),
71-83.

Widya, L., & Dhamayanti. (2013). Pola pemetaan penyebaran penyakit demam
berdarah pada wilayah Kota Palembang. Jurnal Informatika Global, 4(2),
8-13.

Widyanto, T. (2007). Kajian manajemen lingkungan terhadap kejadian demam


berdarah dengue (DBD) di Kota Purwokerto Jawa-Tengah.(Disertasi,
Universitas Diponegoro). Diakses 28 Agustus 2020 dari
http://eprints.undip.ac.id/17910/1/TEGUH_WIDIYANTO.pdf

World Health Organization. (2014). Demam berdarah dengue : diagnosis,


pengobatan, pencegahan, dan pengendalian (Edisi ke-2). Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran ECG.

World Health Organization. (2005). Fever. Dalam Hospital Care for Children
Guidelines for the management of common illnesses with limited
resources. Diakses 22 Desember 2019 dari http://www.ichrc.org/622-
demam-berdarah-dengue-diagnosis-dan-tatalaksana

World Health Organization. (2019a). WHO Region of the Americas records


highest number of dengue cases in history; cases spike in other regions.
Diakses 22 Februari 2020 dari https://www.who.int/news-room/detail/21-
11-2019-who-region-of-the-americas-records-highest-number-of-dengue-
cases-in-history-cases-spike-in-other-regions

World Health Organization. (2019b). Improving data for dengue. Diakses 22


Februari 2020 dari hppts://www.who.int/activities/improving-data-for-
dengue

Yulianti, Z. (2011). Analisis faktor yang berhubungan dengan permintaan fogging


focus di Keluarahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal
tahun 2010. (Skripsi, Universitas Negeri Semarang). Diakses 28 Agustus
2020 dari https://lib.unnes.ac.id/930/1/7378.pdf

Universitas Sumatera Utara


Lampiran

Lampiran 1. Surat Permohonan Survei Pendahuluan

58
Universitas Sumatera Utara
59

Lampiran 2. Surat Izin Survei Pendahuluan

Universitas Sumatera Utara


60

Lampiran 3. Surat Izin Survei Pendahuluan di Puskesmas Simalingkar

Universitas Sumatera Utara


61

Lampiran 4. Surat Tanda Selesai Penelitian

Universitas Sumatera Utara


62

Lampiran 5. Peta dengan Format shp

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai