Anda di halaman 1dari 75

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) ialah penyakit yang ditularkan

oleh nyamuk Aedes aegypti yang memiliki gejala pendarahan pada bagian

hidung, gusi, mulut, sakit pada ulu hati terus-menerus dan memar dikulit.

Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang memiliki perkembangan

begitu cepat dan menjadikan 390 juta orang yang terinfeksi setiap

tahunnya. Di Indonesia DBD salah satu masalah kesehatan masyarakat

karena penderitanya tiap tahun semakin meningkat serta penyebarannya

yang begitu cepat. Penyakit DBD dapat ditularkan pada anak-anak yang

berusia kurang dari 15 tahun hingga pada orang dewasa (Kemenkes

RI,2017) .

DBD merupakan penyakit akibat virus yang ditularkan melalui

nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus, DBD dapat menyebabkan

kejadian luar biasa (KLB) penularan DBD tidak terjadi secara langsung

yaitu dengan kontak antar manusia, tetapi penularan terjadi melalui vector

nyamuk betina yang mengigit tubuh manusia sehingga virus masuk ke

dalam tubuh ( Ratnasari dkk, 2018)

Pada umumnya penderita DBD akan mengalami fase demam

selama 2-7 hari, fase pertama: 1-3 hari ini penderita akan merasakan

demam yang cukup tinggi 400C, kemudian pada fase ke-dua penderita

mengalami fase kritis pada hari ke 4-5, pada fase ini penderita akan
2

mengalami turunnya demam hingga 370C dan penderita akan merasa dapat

melakukan aktivitas kembali (merasa sembuh kembali) pada fase ini jika

tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat dapat terjadi keadaan fatal,

akan terjadi penurunan trombosit secara drastis akibat pemecahan

pembuluh darah (pendarahan). Di fase yang ketiga ini akan terjadi pada

hari ke 6-7 ini, penderita akan merasakan demam kembali, fase ini

dinamakan fase pemulihan, di fase inilah trombosit akan perlahan naik

kembali normal kembali (Kemenkes RI, 2017).

Menurut World Health Organization (WHO), sebelum tahun 1970

hanya 9 negara yang mengalami epidemic dengue parah. Penyakit ini

sekarang endemic di lebih dari 100 negara di wilayah WHO di Afrika,

Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat (WHO,

2018). Berdasarkan data WHO terjadi peningkatan penyakit DBD sebesar

75% di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia dibandingkan kawasan

lain.

Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2018 Angka

kesakitan DBD menurut provinsi tahun 2018 yaitu Pada tahun 2017

terdapat 30 provinsi dengan angka kesakitan kurang dari 49 per 100.000

penduduk. Sedangkan tahun 2018 provinsi dengan angka kesakitan kurang

dari 49 per 100.000 penduduk menurun menjadi 26 provinsi. Provinsi

dengan angka kesakitan DBD tertinggi yaitu Kalimantan Timur sebesar

87,81 per 100.000 penduduk, Kalimantan Tengah sebesar 84,39 per

100.000 penduduk, dan Bengkulu sebesar 72,28 per 100.000 penduduk.

Provinsi Kalimantan Timur kembali menjadi provinsi dengan angka


3

kesakitan DBD tertinggi sejak tahun 2017. Angka kesakitan Provinsi

Kalimantan Tengah meningkat 2,5 kali lipat dibandingkan tahun 2017

sebesar 33,74 per 100.000 penduduk menjadi 84,39 per 100.000 penduduk

tahun 2018. Angka kesakitan di Provinsi Bengkulu juga mengalami

kenaikan 2 kali lipat dibandingkan tahun 2017 yaitu 31,95 penduduk 72,28

per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2019)

Situasi angka kesakitan DBD di Provinsi Lampung selama 5 tahun

terakhir cenderung mengalami penurunan walaupun relatif masih tinggi di

ketahui bahwa untuk tahun 2016 IR= 55.04 per 100.000 penduduk, tahun

2017 IR= 35.08 per 100.000 penduduk, dan tahun 2018 IR= 34.31 per

100.000 penduduk. IR tertinggi ada di Pringsewu (140.73), Bandar

Lampung(107.66), Pesawaran (52.70), Metro (35.11), Lampung timur

(19.78), Lampung utara (18.24), Pesisir barat (16,25) (Seksi P2 Dinkes

Provinsi Lampung Tahun 2018).

Menurut sumber data kesehatan Dinkes Kabupaten Pesisir Barat

tahun 2019, terdapat tiga Puskesmas dengan kasus Demam Berdarah

Dengue (DBD) tertinggi terjadi di Puskesmas krui selatan dengan jumlah

35 kasus, Puskesmas pesisir tengah 26 kasus, dan Puskesmas way krui

dengan jumlah kasus sebanyak 32 kasus. (Dinkes Pesisir Barat).

Tahun 2016 kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di

Puskesmas Krui Selatan yaitu sebesar 49 kasus, tahun 2017 terdapat 53

kasus, tahun 2018 terdapat 42 kasus dan pada tahun 2019 35 kasus yang

artinya kasus DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Krui Selatan mengalami

fluktuatif, jumlah kasus tertinggi di Wilayah Kerja Puskesmas Krui


4

Selatan terdapat di Desa Way Napal sebanyak 21 kasus pada tahun 2019

(Profil Puskesmas Krui Selatan, 2019).

Jika dilihat dari dari lokasi penderita DBD di wilayah kerja

Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan, Kabupaten Pesisir

Barat. Lokasi sekitar rumah yang dekat dengan kebun, Keadaan rumah

warga di wilayah kerja Puskesmas Krui Selatan khususnya desa Way

Napal terlihat kumuh karena rumah yang padat, kurang bersih, dinding

rumah terbuat dari papan, tempat penyimpanan barang bekas (rongsok)

dekat dengan tempat tinggal dengan jarak sekitar 2 meter dari rumah

warga, tidak ada nya tempat pembuangan sampah sementara (TPS)

sehingga warga membuang sampah di pekarangan rumah masyarakat dan

terdapat banyak rumput yang tinggi sehingga dapat menjadi tempat sarang

nyamuk DBD.

B. Rumusan Masalah

Menurut sumber data kesehatan Dinkes Kabupaten Pesisir Barat

tahun 2019, terdapat tiga Puskesmas dengan kasus Demam Berdarah

Dengue (DBD) tertinggi terjadi di Puskesmas krui selatan dengan jumlah

35 kasus, Puskesmas pesisir tengah 26 kasus, dan Puskesmas way krui

dengan jumlah kasus sebanyak 32 kasus. (Dinkes Pesisir Barat).

Berdasarkan uraian data yang diperoleh dari dinas kesehatan

kabupaten Pesisir Barat tahun 2019 di atas, maka penulis rumusan masalah

dalam penelitian ini yaitu “faktor risiko yang berhubungan dengan


5

kejadian DBD di Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan

Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian DBD

di wilayah kerja Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan

Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan umur terhadap kejadian DBD di wilayah

kerja Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten

Pesisir Barat Tahun 2020.

b. Mengetahui hubungan Tingkat Pendidikan terhadap kejadian

DBD di wilayah kerja Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui

Selatan Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.

c. Mengetahui hubungan Pengetahuan terhadap kejadian DBD di

wilayah kerja Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan

Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.

d. Mengetahui hubungan tindakan terhadap kejadian DBD di

wilayah kerja Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan

Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.

e. Mengetahui hubungan frekuensi pengurasan tempat

penampungan air terhadap kejadian DBD di wilayah kerja

Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten

Pesisir Barat Tahun 2020.


6

f. Mengetahui hubungan antara kebersihan halaman rumah dengan

kejadian DBD di wilayah kerja Puskemas Krui Selatan

Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Bagi peneliti

Menambah wawasan serta pengetahuan untuk mengaplikasikan ilmu

yang didapat sewaktu kuliah khususnya mengenai penyakit Demam

Berdarah Dengue.

2. Bagi Intitusi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan

Tanjung Karang Jurusan Kesehatan Lingkungan

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi ataupun

referensi dalam proses pembelajaran dan penelitian mengenai faktor

risiko apa saja yang berhubungan dengan kejadian DBD dan bermanfaat

dalam pengembangan ilmu dan juga untuk menambah kepustakaan.

3. Bagi peneliti lain

Penelitian ini mungkin dapat berguna bagi peneliti lain sebagai referensi

pustaka penelitian.

4. Bagi ilmu pengetahuan

Diharapkan dapat menambah informasi kajian khususnya dalam bidang

DBD dapat ditemukan solusi yang baik guna pencegahan.

5. Bagi pemerintah
7

Sebagai referensi dan pengkajian terhadap pembuatan kebijakan

kesehatan terkait DBD di masa yang akan datang.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah umur, tingkat pendidikan,

pengetahuan, Tindakan, frekuensi pengurasan TPA, kebersihan halaman

rumah dan obyeknya adalah masyarakat. Jenis penelitian ini adalah penelitian

observasional, dengan menggunakan desain Case Control (Kasus Kontrol)

serta dengan pendekatan retrospective, populasi dalam penelitian ini adalah

masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Kabupaten

Pesisir Barat yang berjumlah 70 responden (35 kasus dan 35 kontrol).

Penelitian ini akan dilakukan Di Wilayah Kerja Puskesmas Krui Selatan

Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir Barat dan akan dilaksanakan pada

Tahun 2020. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi

dan wawancara dan dianalisis dengan analisis univariat dan analisis bivariat.
8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Berdarah Dengue

1. Definisi Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah jenis penyakit demam akut

yang disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus lagi dengan

genus Flavivirus yang dikenal dengan Virus Dengue yang ditandai dengan

demam berdarah 2 sampai 7 hari tanpa sebab yang jelas lemas, lesu,

gelisah, nyeri ulu hati disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik

pendarahan (Ariani 2016:16).

Penyakit Demam DBD yang ditularkan melalui gigitan nyamuk dari

genus Aedes terutama Aedes Agypti atau Aedes Albopictus dapat muncul

sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit

ini berkaitan dengan kondisi lingkungan, iklim, mobilitas yang tinggi,

kepadatan penduduk perluasan perumahan dan perilaku masyarakat.

(Kemenkes RI, 2018).

2. Etiologi Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah atau dikenal dengan istilah Demam Berdarah

Dengue (DBD) merupakan sebuah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

infeksi virus Dengue yang memiliki 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den-

3, Den-4 (Ariani 2016:16).

Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh gigitan nyamuk

Aedes Aegypti yang mengandung virus Dengue. Pada saat nyamuk


9

Aedes Aegypti makan virus Dengue akan masuk ke dalam tubuh, setelah

masa inkubasi sekitar 3-15 hari penderita bisa mengalami demam tinggi 3

hari berturut-turut. Banyak penderita mengalami kondisi fatal karena

menganggap ringan gejala tersebut (Ariani 2016:16).

3. Penularan Demam Berdarah Dengue

a. Fase Suseptipel (rentan)

Fase susenpentil adalah tahap awal penjalanan penyakit dimulai

dari terpaparnya individu yang rentan (suseptibel). Fase suseptibel dari

demam berdarah dengue adalah pada saat nyamuk Aedes agypti yang

tidak infektif kemudian infektif setelah menggigit manusia yang sakit

atau dalam keadaan viremia (masa virus bereplikasi cepat dalam tubuh

manusia). Nyamuk Aedes agypti yang telah menghisap virus dengue

menjadi penular sepanjang hidupnya. Ketika menggigit manusia nyamuk

mensekresikan kelenjar saliva melalui proboscis terlebih dahulu agar

darah yang akan dihisap tidak membeku. Bersama sekresi saliva inilah

virus dengue dipindahkan dari nyamuk antar manusia (Purnama, 2016:

52).

b. Fase Subklinis (Asismtomatis)

Fase subklinis adalah waktu yang diperlukan dari mulai paparan

agen kausal hingga timbulnya manifestasi klinis (penyakit infeksi) atau

masa laten (penyakit kronis). Pada fase ini penyakit belum menampakkan

tanda dan gejala klinis atau disebut dengan fase subklinis (asismtomatis).

Masa inkubasi ini dapat berlangsung dalam hitungan detik pada reaksi
10

toksik atau hipersensitivitas (Purnama, 2016: 52).

Fase subklinis dari demam berdarah dengue adalah setelah virus

dengue masuk bersama air liur nyamuk kedalam tubuh, virus tersebut

kemudian memperbanyak diri dan menginfeksi sel-sel darah putih seta

kelenjar getah bening untuk kemudian masuk kedalam system sirkulasi

darah. Virus ini berada didalam darah hanya selama 3 hari sejak

ditularkan oleh nyamuk. Pada fase subklinis ini, jumlah trombosit masih

normal selama 3 hari pertama. (Purnama, 2016: 52).

Sebagai perlawanan, tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya

akan membentuk kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi

sebagai antigennya. Kompleks antigen-antibodi ini akan melepaskan zat-

zat yang merusak sel sel pembuluh darah, yang disebut dengan proses

autoimun. Proses tersebut menyebabkan permeabilistas kapiler

meningkat yang salah satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori

pembuluh darah kapiler. Hal tersebut akan mengakibatkan bocornya sel-

sel darah, antara lain: trombosit dan eritrosit. Jika hal ini terjadi maka

penyakit DBD akan memasuki fase klinis dimana sudah mulai ditemukan

gejala dan tanda secara klinis adanya suatu penyakit. (Purnama, 2016:

53).

c. Fase klinis (proses ekspresis)

Tahap selanjutnya adalah fase klinis yang merupakan tahap

ekspresi dari nyakit tersebut. Pada saat ini mulai timbul tanda (sign) dan

gejala (symptom) penyakit secara klinis dan penjamu yang mengalami

manifestasi klinis (Purnama, 2016: 53).


11

Fase dari demam berdarah dengue ditandai dengan badan yang

mengalami gejala demam dengan suhu tinggi antara 39-40°C. akibat

pertempuran antara antibody dan virus dengue terjadi penurunan kadar

trombosit dan bocornya pembuluh darah sehingga membuat plasma darah

mengalir ke luar. Penurunan trombosit ini mulai bisa dideteksi pada hati

ketiga. Masa kritis penderita DBD berlangsung sesudahnya, yakni pada

hari keempat dan kelima. Pada Fase ini suhu badan turun dan biasanya

diikuti oleh sindrom shock dengue karena perubahan yang tiba-tiba.

Muka penderia pun menjadi memerah atau facial flush. Biasanya

penderita juga mengalami sakit kepala, tubuh bagian belakang, otot,

tulang dan perut (antara pusar dan ulu hati). Tidak jarang diikuti dengan

muntah yang berkelanjut dan suhu dingin dan lembab pada ujung jari

serta kaki. (Purnama, 2016: 53).

Tersangka DBD akan mengalami demam tinggi yang mendadak

terus menerus selama kurang dari seminggu, tidak disertai infeksi saluran

pernapasan bagian atas, dan badan lemah dan lesu. Jika ada kedaruratan

makan akan muncul tanda-tamda syok, muntah terus-menuerus, kejangm

muntah darah, dan batuk darah sehingga penderita harus segera menjalani

rawat inap. Sedanglan jika tidak terjadi kedaruratan, maka perlu uji

torniket positif dan torniket negative yang berguna untuk melihat

permeabilitas pembuluh darah sebagai cara untuk menentukan langkah

penanganan selanjutnya (Purnama, 2016: 53). Manifestasi klinis DBD

sangat bervariasi, (WHO, 2019) membagi menjadi 4 derajat, yaitu:

1. Derajat I : Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dab


12

manifestasi pendarahan spontan satu-satunya adalah uji tourniquet

positif

2. Derajat II : Gejala-gejala derajat l, disertai gejala-gejala pendarahan

kulit spontan atau manifestasi pendarah yang lebih berat.

3. Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan

lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmHg), hipotensi, sianosis

disekitar mulut, kulit dingin dan lebab, gelisah.

4. Derajat IV :Syok berat ( profound shock), nadi tidak dapat diraba dan

tekanan darah tidak teratur.

d. Fase penyembuhan, kecacatan, atau kematian

Setelah teinfeksi virus dengue maka penderita akan kebal

menyeluruh (seumur hidup) terhadap virus dengue yang menyerangnya

saat itu (misalnya serotype 1). Namun hanya mempunyai kekebalan

sebagai (selama 6 bulan) terhadap virus dengue lain (serotype 2,3 dan 4).

Demikian seterusnya sampai akhirnya penderita akan mengalami

kekebalan terhadap seluruh serotype tersebut. (Purnama, 2016: 54).

Tahap pemulihan bergantung pada penderita dalam melewati fase

kritisnya. Tahap pemulihan dapat dilakukan dengan pemberian infus atau

transfer trombosit. Bila penderita dapat melewati masa kritisnya maka

pada hari keenam dan ketujuh penderita akan berangsur membaik dan

kembali normal pada hari ketujuh dan kedelapan, namun apabila

penderita tidak dapar melewati masa kritisnya maka akan menimbulkan

kematian (Purnama, 2016: 54).


13

4. Gejala Demam Berdarah Dengue

Infeksi virus dengue dapat bermanifestasi pada beberapa luaran,

meliputi demam biasa, demam berdarah (klasik), demam berdarah dengue

(hemoragik), dan sindrom syok dengue.

1. Demam berdarah (klasik)

Demam berdarah menunjukkan gejala yang umumnya berbeda-beda

tergantung usia pasien. Gejala yang umum terjadi pada bayi dan anak-anak

adalah demam dan munculnya ruam. Sedangkan pada pasien usia remaja

dan dewasa, gejala yang tampak adalah demam tinggi, sakit kepala parah,

nyeri di belakang mata, nyeri pada sendi dan tulang, mual dan muntah,

serta munculnya ruam pada kulit. Penurunan jumlah sel darah putih

(leukopenia) dan penurunan keping darah atau trombosit

(trombositopenia) juga seringkali dapat diobservasi pada pasien demam

berdarah. Pada beberapa epidemi, pasien juga menunjukkan pendarahan

yang meliputi mimisan, gusi berdarah, pendarahan saluran cerna, kencing

berdarah (haematuria), dan pendarahan berat saat menstruasi

(menorrhagia) (Purnama, 2016: 54).

2. Demam berdarah dengue (hemoragik)

Pasien yang menderita demam berdarah dengue (DBD) biasanya

menunjukkan gejala seperti penderita demam berdarah klasik ditambah

dengan empat gejala utama, yaitu demam tinggi, fenomena hemoragik atau

pendarahan hebat, yang seringkali diikuti oleh pembesaran hati dan

kegagalan sistem sirkulasi darah. Adanya kerusakan pembuluh darah,


14

pembuluh limfa, pendarahan di bawah kulit yang membuat munculnya

memar kebiruan, trombositopenia dan peningkatan jumlah sel darah merah

juga sering ditemukan pada pasien DBD. Salah satu karakteristik untuk

membedakan tingkat keparahan DBD sekaligus membedakannya dari

demam berdarah klasik adalah adanya kebocoran plasma darah. Fase kritis

DBD adalah seteah 2-7 hari demam tinggi, pasien mengalami penurunan

suhu tubuh yang drastis. Pasien akan terus berkeringat, sulit tidur, dan

mengalami penurunan tekanan darah. Bila terapi dengan elektrolit

dilakukan dengan cepat dan tepat, pasien dapat sembuh dengan cepat

setelah mengalami masa kritis. Namun bila tidak, DBD dapat

mengakibatkan kematian (Purnama, 2016: 55).

3. Sindrom Syok Dengue

Sindrom syok adalah tingkat infeksi virus dengue yang terparah, di

mana pasien akan mengalami sebagian besar atau seluruh gejala yang

terjadi pada penderita demam berdarah klasik dan demam berdarah dengue

disertai dengan kebocoran cairan di luar pembuluh darah, pendarahan

parah, dan syok (mengakibatkan tekanan darah sangat rendah), biasanya

setelah 2-7 hari demam. Tubuh yang dingin, sulit tidur, dan sakit di bagian

perut adalah tanda-tanda awal yang umum sebelum terjadinya syok.

Sindrom syok terjadi biasanya pada anak-anak (kadangkala terjadi pada

orang dewasa) yang mengalami infeksi dengue untuk kedua kalinya. Hal

ini umumnya sangat fatal dan dapat berakibat pada kematian, terutama

pada anak-anak, bila tidak ditangani dengan tepat dan cepat. Durasi syok

itu sendiri sangat cepat. Pasien dapat meninggal pada kurun waktu 12-24
15

jam setelah syok terjadi atau dapat sembuh dengan cepat bila usaha terapi

untuk mengembalikan cairan tubuh dilakukan dengan tepat. Dalam waktu

2-3 hari, pasien yang telah berhasil melewati masa syok akan sembuh,

ditandai dengan tingkat pengeluaran urin yang sesuai dan kembalinya

nafsu makan. Masa tunas / inkubasi selama 3 - 15 hari sejak seseorang

terserang virus dengue, dan Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah

penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain

(masa inkubasi eksentrik). Virus akan tetap berada di dalam tubuh nyamuk

sepanjang hidupnya (Purnama, 2016: 55).

5. Cara penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD)

Cara penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) yaitu melalui

nyamuk yang mengigit seseorang yang sudah terinfeksi virus demam

berdarah. Virus ini akan terbawa dalam kelenjar ludah nyamuk. Virus

dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum

demam. Bila penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) digigit nyamuk

penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam

lambung nyamuk. Selanjutnya, virus akan memperbanyak diri dan

tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar

liurnya. Virus ini akan berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya.

Oleh karena itu, nyamuk Aedes Aegypti yang telah menghisap virus

Dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena

setiap kali nyamuk menusuk (menggigit), sebelum menghisap darah akan

mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya agar darah yang dihisap tidak

membeku. Bersamaan air liur tersebut virus Dengue dipindahkan dari


16

nyamuk ke orang lain. Kemudian nyamuk ini menggigit orang sehat.

Bersamaan dengan terhisapnya darah dari orang yang sehat, virus demam

berdarah juga berpindah ke orang tersebut dan menyebabkan orang sehat

terinfeksi virus demam berdarah (Ariani, 2016:27).

6. Penyebab terjadinya DBD

a. Agent Penyakit

Penyebab DBD adalah virus dengue. Hingga kini dikenal dengan 4

serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Virus ini termasuk ke

dalam group B Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Ke empat serotipe ini

ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia

menunjukkan bahwa DEN-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat

dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh DEN-2,

DEN-1 dan DEN-4 (Ariani, 2016:33).

b. Host

1) Umur

2) Jenis Kelamin

3) Nutrisi

4) Populasi

5) Mobilitas penduduk

c. Lingkungan (Enviroment)

Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit dengue atau

dikenal dengan kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi

kehidupan dan perkembangan suatu organisasi.


17

1) Letak geografis

Penyakit akibat infeksi virus dengue ditemukan tersebar luas di

berbagai Negara tropic dan subtropik yang terletak antara 30°

Lintang Utara dan 40° Lintang Selatan seperti Asia Tenggara,

Pasifik Barat dan Caribbean dengan tingkat kejadian sebesar 50-100

juta setiap tahunnya(Ariani, 2016:35).

2) Musim

Periode epidemic yang terutama berlangsung selama musim hujan

dan erat kaitannya dengan kelembaban pada musim hujan. Hal

tersebut menyebabkan peningkatan aktivitas vector dalam menggigit

karena dukungan oleh lingkungan yang baik untuk masa inkubasi.

(Ariani, 2016:35).

7. Upaya pencegahan

Tahapan pencegahan yang dapat diterapkan untuk menghindari

terjadinya fase suseptibel dan fase subklinis atau yang sering disebut

dengan fase prepatogenesis ada dua, yaitu:

a. Health Promotion

1) Pendidikan dan Penyuluhan tentang kesehatan pada masyarakat.

2) Memberdayakan kearifan lokal yang ada (gotong royong).

3) Perbaikan suplai dan penyimpanan air.

4) Menekan angka pertumbuhan penduduk.

5) Perbaikan sanitasi lingkungan, tata ruang kota dan kebijakan

pemerintah.
18

b. Specific protection

1) Abatisasi

Program ini secara massal memberikan bubuk abate secara cuma-

cuma kepada seluruh rumah, terutama di wilayah yang endemis DBD

semasa musim penghujan. Tujuannya agar kalau sampai menetas, jentik

nyamuknya mati dan tidak sampai terlanjur menjadi nyamuk dewasa yang

akan menambah besar populasinya (Ariani, 2016:36).

2) Fogging focus (FF).

Fogging focus adalah kegiatan menyemprot dengan insektisida

(malation, losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW

per 400 rumah per 1 dukuh (Ariani, 2016:37).

3) Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)

Pemeriksaan Jentik Berkala adalah kegiatan reguler tiga bulan

sekali, dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan.

Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan cara random atau atau metode

zig-zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan jentik atau

House Index (HI).

4) Penggerakan PSN

Kegiatan PSN dengan menguras dan menyikat TPA seperti bak

mandi atau WC, drum seminggu sekali, menutup rapat-rapat TPA seperti

gentong air atau tempayan, mengubur atau menyingkirkan barang-barang

bekas yang dapat menampung air hujan serta mengganti air vas bunga,

tempat minum burung seminggu sekali merupakan upaya untuk melakukan

PSN DBD.
19

5) Pencegahan gigitan nyamuk

Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan pemakaian

kawat kasa, menggunakan kelambu, menggunakan obat nyamuk (bakar,

oles), dan tidak melakukan kebiasaan beresiko seperti tidur siang, dan

menggantung baju. Pencegahan yang dilakukan pada fase klinis dan fase

penyembuhan atau yang sering disebut dengan tahap patogenesis ada tiga,

yaitu:

a). Early Diagnosis dan Prompt Treatment

Konsep ini mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus (antigen)

secara dini dengan metode antigen capture (NS1 atau non-structural protein

1) untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Deteksi virus bisa

dilakukan sehari sebelum penderita menderita demam, hingga virus hilang

pada hari ke sembilan. Setelah diketahui adanya virus, penderita diberi

antiviral yang efektif membunuh virus DBD (Pusat Data dan Surveilans

Epidemiologi, Kemenkes RI, 2019).

Beberapa metode lain untuk melakukan pencegahan pada tahap

Early Diagnosis dan Prompt Treatment antara lain sebagai berikut:

1) Pelacakan penderita. Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis)

yaitu kegiatan mendatangi rumah-rumah dari kasus yang dilaporkan

(indeks kasus) untuk mencari penderita lain dan memeriksa angka

jentik dalam radius ±100 m dari rumah indeks (Ariani, 2016:40).

2) Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita

lain. Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan
20

penanganan kasus termasuk merujuk ke Unit Pelayanan Kesehatan

(UPK) terdekat (Ariani, 2016:45)

3) Pemeriksaan laboratorium

a) Pemeriksaan darah tepi untuk mengetahui jumlah leukosit.

Pemeriksaan ini digunakan untuk mengantisipasi terjadinya leukopenia.

b) Pemeriksaan limfosit atipikal (sel darah putih yang muncul pada

infeksi virus). Jika terjadi peningatan, mengindikasikan dalam waktu

kurang lebih 24 jam penderita akan bebas demam dan memasuki fase

kritis.

c) Pemeriksaan trombositopenia dan trombosit. Jika terjadi penurunan

jumlah keduanya, mengindikasikan penderita DBD memasuki fase kritis

dan memerlukan perawatan ketat di rumah sakit (Satari, 2017).

b. Disability Limitation

Pembatasan kecacatan yang dilakukan adalah untuk menghilangkan

gangguan kemampuan bekerja yang diakibatkan suatu penyakit. Dampak

dari penyakit DBD yang tidak segera diatasi, antara lain:

1) Paru-paru basah. Hal ini bisa terjadi karena cairan plasma merembes

keluar dari pembuluh, ruang-ruang tubuh, seperti di antara selaput paru

(pleura) juga terjadi penumpukan. Pada anak-anak sering terjadi

bendungan cairan pada selubung paru parunya (pleural effusion).

2) Komplikasi pada mata, otak, dan buah zakar. Pada mata dapat terjadi

kelumpuhan saraf bola mata, sehingga mungkin nantinya akan terjadi

kejulingan atau bisa juga terjadi peradangan pada tirai mata (iris) kalau
21

bukan pada kornea yang berakhir dengan gangguan penglihatan.

Peradangan pada otak bisa menyisakan kelumpuhan atau gangguan saraf

lainnya (Nadesul, 2017). Pembatasan kecacatan dapat dilakukan dengan

pengobatan dan perawatan. Obat obatan yang diberikan kepada pasien

DBD hanya bersifat meringankan keluhan dan gejalanya semata. Obat

demam, obat mual, dan vitamin tak begitu besar peranannya untuk

meredakan penyakitnya. Jauh lebih penting upaya pemberian cairan atau

tranfusi darah, tranfusi sel trombosit, atau pemberian cairan plasma.

c. Rehabilitation

Setelah sembuh dari penyakit demam berdarah dengue, kadang-

kadang orang menjadi cacat, untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-

kadang diperlukan latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan

kesadaran orang tersebut, ia tidak akan segan melakukan latihan-latihan

yang dianjurkan. Disamping itu orang yang cacat setelah sembuh dari

penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke masyarakat. Sering

terjadi pula masyarakat tidak mau menerima mereka sebagai anggoota

masyarakat yang normal. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan diperlukan

bukan saja untuk orang yang cacat tersebut, tetapi juga perlu pendidikan

kesehatan pada masyarakat. Rehabilitasi pada penderita DBD yang

mengalami kelumpuhan saraf mata yang menyebabkan kejulingan terdiri

atas:

1 Rehabilitasi fisik, yaitu agar bekas penderita memperoleh perbaikan fisik

semaksimal-maksimalnya. Misalnya dengan donor mata agar saraf mata


22

dapat berfungsi dengan normal kembali.

2 Rehabilitasi mental, yaitu agar bekas penderita dapat menyesuaikan diri

dalam hubungan perorangan dan sosial secara memuaskan. Seringkali

bersamaan dengan terjadinya cacat badaniah muncul pula kelainan-

kelainan atau gangguan mental. Untuk hal ini bekas penderita perlu

mendapatkan bimbingan kejiwaan sebelumkembali ke dalam masyarakat.

3 Rehabilitasi sosial vokasional, yaitu agar bekas penderita menempati

suatu pekerjaan atau jabatan dalam masyarakat dengan kapasitas kerja

yang semaksimal maksimalnya sesuai dengan kemampuan dan ketidak

mampuannya.

4 Rehabilitasi aesthesis, perlu dilakukan untuk mengembalikan rasa

keindahan, walaupun kadang-kadang fungsi dari alat tubuhnya itu sendiri

tidak dapat dikembalikan misalnya dengan menggunakan mata palsu.

(Ariani, 2016:61).

B. Faktor Risiko

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya Demam Berdarah

Dengue antara lain factor host, lingkungan dan faktor virusnya sendiri

faktor. karakteristik lingkungan (Curah hujan, Suhu, Kelembaban,

Kondisi tempat penampungn air (TPA), ketersediaan tutup pada TPA,

frekuensi pengurasan TPA, keberadaan jentik pada TPA ) faktor

kependudukan (umur, jenis kelamin, status imunitas, pendidikan,

pengetahuan, perilaku, kepadatan penduduk) serta pelayanan kesehatan

baik dari segi fasilitas maupun tenaga kesehatannya (Purnama, 2016).


23

1. Faktor Risiko Kondisi Lingkungan Rumah

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host

(pejamu) baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti

suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk

host yang lain. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam

penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat.

Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan

pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya (Purnama, 2016),

Adapun syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara

fisiologis yang berpengaruh terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue

antara lain :

a. Curah hujan

Curah hujan berpengaruh secara langsung dengan keberadaan tempat

perindukan nyamuk Ae. Aegypti. Banyak tidaknya populasi nyamuk aedes

tergantung pada tempat perindukannya. Tempat-tempat perindukan

nyamuk saat musim kemarau yang tidak terisi air, ketika tiba musim hujan

tempat-tempattersebut mulai terisi air . telur-telur yang bekum sempat

menetas akan menetas dalam waktu yang singkat. Oleh karena iru,

populasi nyamuk aedes aegypti akan semakin meningkat disaat musim

hujan peningkatan penularan virus dengue penyebab penyakit DBD

(Christine,2018).

b. Suhu
24

Suhu merupakan keadaan udara pada waktu dan tempat tertentu.

Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi metabolisme

menurun atau bahkan terhenti bila suhunya turun sampai di bawah 10 0C.

Pada suhu yang lebih tinggi dari 350C, nyamuk juga akan mengalami

perubahan, dalam arti lebih lambatnya proses- proses fisiologis. Rata-rata

suhu ideal untuk pertumbuhan nyamuk adalah 250C-270C. Pertumbuhan

nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10 0C atau lebih

dari 400C. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam

Ruang Rumah yaitu suhu yang baik untuk pertumbuhan nyamuk berkisar

antara 180C-300C.

c. Kelembaban Udara

Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam

udara yang dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban udara yang terlalu

tinggi di dalam rumah mengakibatkan rumah dalam keadaan basah dan

lembab yang memungkinkan berkembangbiaknya bakteri atau kuman

penyebab penyakit. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan nyamuk

berkisar antara 60%-80% sedangkan menurut Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia No. 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang

Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah yaitu kelembaban

yang baik untuk pertumbuhan nyamuk berkisar 40%-70%.

Dalam kehidupan nyamuk kelembaban udara mempengaruhi

kebiasaan meletakkan telurnya. Hal ini berkaitan dengan nyamuk atau

serangga pada umumnya bahwa kehidupannya ditentukan oleh faktor


25

kelembaban. Sistem pernafasan nyamuk Aedes Aegypti dengan

menggunakan pipa-pipa udara yang disebut trachea, dengan lubang pada

dinding tubuh nyamuk yang disebut spiracle. Adanya spirakel yang

terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturannya, maka pada

kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan air di dalam tubuh

nyamuk. Pada kelembaban di bawah 60% nyamuk tidak dapat bertahan

hidup, akibatnya umur nyamuk menjadi lebih pendek, sehingga nyamuk

tersebut tidak dapat menjadi vektor karena tidak cukup waktu untuk

perpindahan virus dari lambung ke kelenjar ludahnya.

d. Kondisi tempat penampungn air (TPA)

Keberadaan tempat penampungan air/container sangat berperan dalam

dalam kepadatan vector nyamuk Ae. Aegypti, karena semakin banyak

container akan semakin baanyak tempat perindukan dan aka semakin

padat nyamuk Ae. Aegypti. Semakin padat padat populasi nyamuk

Ae.aegypti, maka semakin tinggi pula resiko terinfeksi virus DBD dengan

waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kasus penyakit cepat

meningkat dan akhirnya mengakibatkan KLB penyakit DBD (fathi.et all

2017).

Factor terpenting yang menyebabkan masih banyaknya jentik/nyamuk

Ae.agypti adalah karena kurangnya perhatian dari sebagian masyarakat

terhadap pemeliharaan kebersihan tempat penampungan air bersih (TPA)

dan kebersihan lingkungan pada umumnya. Jika jentik nyamuk dibiarkan

hidup, maka akan menambah nyak populasi nyamuk pembawa penyakit

DBD. Itu berate lebih memperbesar kemungkinan masyarakat terjangkit


26

DBD. (Nadesul, 2017)

Tempat penampungan air merupakan media yang cukup disukai

oleh Ae.agypti untuk berkembangbiak. Untuk mencegah penularannya,

maka perlu dijaga kualitasnya dengan cara menutup TPA sehingga

nyamuk tidak dapat masuk untuk melatakkan telurnya. Cara lain yang

dapat dilakukan dalam mencegah DBD adalah dengan menguras TPA

minimal seminggu sekali, sehingga telur nyamuk belum sempat berubah

menjadi pupa yang berkembang menjadi nyamuk dan siap menjadi

penular bagi DBD.

e. Ketersediaan tutup pada TPA

Ketersediaan tutup pada TPA sangat mutlak diperlukan untuk

menekan jumlah nyamuk yang hinggap pada container, dimana container

tersebut menjadi media berkembangbiak nyamuk Ae.agypti. Apabila

semua masyarakat telah menyadari penting menutup container

diharapkan keberadaan nyamuk dapat diberantas, namun kondisi ini

tampaknya belum dilaksanakan secara maksimal (Ariani, 2016:81).

f. Frekunsi pengurasan TPA

Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan secara

teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat

berkembangbiaknya ditempat itu.bila PSN DBD dilaksanakan oleh

seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk Ae.agypti dapat ditekan

serenda-rendahnya, sehingga penularan Demam Berdarah Dengue (DBD)

tidak terjadi lagi. Kemauan dan tingkat kedisiplinan untuk menguras

container pada masyarakat memang perlu ditingkatkan, mengingat


27

bahwa kebersihan air selain untuk kesehatan manusia juga untuk

menciptakan kondisi lingkungan yang bersih.

Dengan lingkungan yang bersih diharapkan dapat menekan terjadinya

berbagai penyakit yang timbul dari lingkungan yang tidak bersih.

Kurangnya frekuensi pengurasan dapat mengakibatkan tumbuhnya jentik

nyamuk untuk hidup dan memicu terjadinya kasus demam berdarah

dengue. Oleh karena itu frekuensi pengurasan yang sebaiknya dilakukan

< 1 kali dalam 1 minggu (Ariani, 2016: 80).

g. Keberadaan jentik pada TPA

Keberadaan jentik pada TPA dapat dilihat dari letak, macam, bahan,

warna, bentuk volume dan penutup container serta asal air yang

tersimpan dalam container sangat mempengaruhi nymuk aedes aegypti

betina untuk menuntukan pilihan tempat bertelur. Keberadaan container

sangat berperan dalam kepadatan vector nyamuk Ae.aegypti, karena

semakin banyak tempat perindukan dan akan semakin padat populasi

nyamuk Ae.aegypti. Semakin padat populasi nyamuk aedes aegypti, maka

semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus Demam Bedarah Dengue

(DBD) dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jemlah kasus

penyakit Demam Bedarah Dengue (DBD) cepat meningkat pada akhirnya

mengakibatkan terjadinya KLB.

Dengan demikian program pemerintah berupa penyuluhan kesehatan

masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah

dengue (PSN DBD) dan perlu dekungan luas dari masyarakat dalam

pelaksanaannya (Ariani, 2016: 83).


28

2. Faktor Risiko Penduduk

a. Umur

Semakin dewasa seseorang akan memiliki vatalitas optimum.

Perkembangan intelektual yang matang pada taraf operasional dan

penalaran yang tinggi, sehingga akan memberikan cerak perilaku

individu. Dapat diasumsikan bahwa semakin tua seseorang, maka akan

memiliki kematangan intelektual sehingga mereka dapat berperilaku

seperti diharapkan (Ariani, 2016: 87).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Duma, et al (2017)

diketahui bahwa sebagian besar penderita DBD berada pada kelompok

umur 5-14 tahun sebanyak 74 orang. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian sebelumnya usman tahun 2002 bahwa kelompok umur muda

(responden > 15 tahun) mempunyai risiko terkena DBD 18,5 kali

dibandingkan dengan kelompok umur dewasa (umur responden < 15

tahun. Begitu juga menurut Yukresna di Medan bahwa responden yang

termasuk dalam kategori umur muda mempunyai risiko terkena DBD

3,21 kali dibandingkan dengan kelompok umur dewasa. (Duma, et al

2017)

Hal ini dimungkinkan terjadi dikarenakan daya tahan tubuh anak

yang cendrung lebih rentan dibandingkan dengan orang dewasa.

Aktivitas anak-anak lebih banyak berada diluar rumah pada siang hari

dan sore hari baik untuk main maupun sekolah, dimana penulran DBD

ditempat-tempat umum dan salah satu tept yang berpotensial yaitu


29

disekolah. Nyamuk Aedes aegypti banyak terdapat di daerah pemukiman

dan sekolah karena pada kedua lokasi inilah sering terdapat media

hidupnya. (Sutomo 2015)

Namun kenyataan ini tidak mentup kemungkinan orang dewasa juga

terkena DBD. Semua orang dari berbagai kalangan usia dapat terkena

penyakit ini, namun sebagian besar terjadi pada anak-anak. Pada orang

dewasa gejala penyakit ini sering tidak ditanggapi dengan serius sehingga

suatu saat ada kemungkinan pergesaran kecenderungan ini

b. Status Imunitas

Setiap individu mempunyai kerentanan yang berbeda-beda dalam

menghadapi suatu penyakit. Ada individu yang dengan mudah terkena

penyakit da nada pula yang kebal terhadap penyakit. Jika kondisi badan

tetap bugar kemungkinannya kecil terkena penyakit DBD. Hal tersebut

dikarenakan tubuh memiliki daya tahan tubuh cukup kuat dari infeksi

baik yang disebabkan oleh bakteri, parasite atau virus seperti penyakit

DBD. Oleh karena itu sangat penting untuk meningkatkan daya tahan

tubuh pada musim hujan dan pancaroba. Pada musim itu terjadi

perubahan cuaca yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

virus dengue penyebab DBD. Hal ini menjadi kesempatan jentik nyamuk

berkembangbiak menjadi lebih banyak (Eka. W.W, 2018).

c. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti dalam pendidikan

itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau perubahan ke arah

yang lebih dewasa, lebih baik, dan lebih matang pada diri individu,
30

kelompok atau masyarakat.

Lamanya seseorang dalam menempuh pendidikan bukanlah jaminan

untuk berperilaku sebagaimana yang diharapkan. Walupun sebagian

masyarakat memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tetapi mampu

melakukan praktik PSN DBD dengan baik. Begitupun dengan masyarakat

yang memiliki tingkat pendidikan tinggi tetapi praktik PSN DBD yang

dilakukan kurang baik, hal ini mungkin kurangnya kesadaran masyarakat

tersebut untuk menerapkan pesan-pesan kesehatan dalam upaya mencegah

dan memberantas sarang nyamuk, meskipun mereka yang berpendidikan

tinggi tersebut mampu menyerap dan memahami informasi kesehatan

yang diterimanya (Ariani, 2016:85).

Penelitian Widyana diBantul tahun 1980 menyimpulkan bahwa

masyarakat yang berpendidikan rendah mempunyai risiko untuk terkena

DBD 1,90 kali dibandingkan dengan pendidikan tinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan penyuluhan kepada

masyarakat baik secara kuantitas maupun kualitas yang dikemas dalam

suatu wadah/media yang merakyat. Penuluhan kesehatan masyarakat

bertujuan menjadikan cara-cara hidup sehat sebagai kebiasaan hidup

sehari-hari , menggerakkan perseorangan, kelompok dan masyarakat

dalam memanfaatan fasilitas serta pelayanan kesehatan tersedia.

Hasil penelitian pambudi di boyolali tahun 2017 menunjukkan bahwa

ada hubungan antara pendidikan dengan partisipasi para kader dalam

pemberantasan DBD α=0,05 dengan p= 0,003. Responden yang

berpendidikan tinggi akan mengakibatkan tindakan partisipasi


31

pemberantasan DBD akan semakin baik. Hal ini dikarenakan informasi

dan perubahan sikap responden yang mempunyai tingkat pendidikan lebih

tinggi pengetahuannya dalam pemberantasan penyakit DBD (Pambudi

2017)

d. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,

telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu penginderaan

akan menghasilkan pengetahuan yang sangat dipengaruhi oleh intensitas

perhatian dan persepsi terhadap objek.

Pengetahuan yang baik akan menjadi dasar bagi seseorang untuk

bertingkah laku yang benar dan sesuai dengan apa yang didapatkannya.

Dari hasil studi yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO)

dan para ahli kesehatan terungkap bahwa pengetahuan masyarakat tentang

kesehatan sudah tinggi, tetapi praktek mereka masih rendah . hal ini berati

bahwa perubahan atau peningkatan pengetahuan masyarakat tentang

kesehatan tidak dimbangi dengan peningkatan masyaraka tatau

perilakunya. (Notoatmodjo. S 2005)

e. Perilaku

Menurut Notoatmodjo, perumabahan perilaku merupakan faktor

penting dala pencegahan dan penanggulangan DBD dan mempunyai

peranan besar terhadap kesehatan. Perilaku kesehatan pada dasarnya


32

adalah suatu respon seseorng (organisme) terhadap stimulasi yang

berkaitan dengan sakit dan penyakit, system pelayanan kesehatan,

makanan, serta lingkungan. Perilaku seseorang terhadap sakit dan

penyakit yaitu bagaimana manusia berespon, baik secara pasif

(mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit dan rasa sakit yang ada

pada dirinya dan diluar pada dirinya, maupun secara aktif (tindakan)

yang dilakukan sehubung dengan penyakit dan sakit tersebut.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Usman tahun 2002 ang

menunjukkan nilai OR=5, dimana masyarakat yang berperilaku tidak

baik mempunyai peluang untuk terkena DBD 5 kali dibandingkan

masyarakat yang berperilaku tidak baik.

Perilaku kesehatan (Health Behavior) adalah respon seseorang

terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat dan sakit,

penyakit dan semua faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit

(kesehatan), seperti lingkungan, makanan atau minuman dan pelayanan

kesehatan.

Dengan kata lain perilaku adalah semua aktifitas atau kegiatan

seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat

diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan

peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah

atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain,

meningkatkan kesehatan dan mencari penyembuhan apabila sakit atau

terkena masalah kesehatan lain (Eka. W.W, 2018).

Oleh karena itu perilaku kesehatan ini pada garis besarnya


33

dikelompokkan menjadi dua yaitu (Eka. W.W, 2018):

1) Perilaku orang yang sehat agar selalu sehat dan meningkat. Perilaku

ini disebut sehat karena mencakup perilaku-perilaku yang bisa

mencegah atau menghindari penyakit yang bisa menjadi masalah bagi

kesehatan dan perilaku yang dapat meningkatkan kesehatannya. Maka

dalam perilaku kesehatan yang berkaitan dengan DBD adalah

menghindari gigitan nyamuk baik dengan menggunakan lotion anti

nyamuk, menggunakan kelambu dan melakukan 3M (menguras,

megubur dan menutup) dengan benar.

2) Perilaku orang yang sakit atau yang telah terkena masalah kesehatan

agar terbebas dari penyakit yang ia derita. Pada penderita DBD, ia

akan berupaya untuk sembuh. Tempat pencarian kesembuhan bisa saja

ke fasilitas pelayanan kesehatan tradisional maupun modern atau

profesional.

f. Kepadatan penduduk

Kepadatan penduduk yang tinggi akan mempermudah

terjadinya infeksi virus Dengue, karena daerah yang berpenduduk

padat akan meningkatkan jumlah insiden kasus Demam Berdarah

Dengue (DBD) tersebut (Ariani, 2016: 84).

C. Faktor Pelayanan Kesehatan

a. Penyelidikan Epidemiologi (PE)

Penyelidikan Epidemiologi (PE) adalah sustu kegiatan yang

dilakuakan untuk mencari penderita DBD atau tersangka kasus DBD


34

lainnya serta kegiatan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di rumah

penderita atau tersangka dan rumah atau bangunan yang ada di sekitarnya

dalam radius sekurang-kurangnya 100 m (Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan, 2011 dalam Kusumawardani,Erna, 2015 ).

Tujuan dari kegiatan PE ini adalah mengetahui adanya potensi

penularan serta penyebaran DBD lebih kanjut, kemudian menentukan jenis

tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat

tinggal penderita. Tujuan dari PE ini dikhususkan untuk mengetahui

adanya penderita DBD atau tersangka kasus DBD lainnya, mengetahui

ada tidaknya jentik nyamuk penular DBD, dan menentukan

penanggulangan fokus yang akan dilakukan (Kusumawardani,Erna,2015 ).

b. Pemantauan Jentik Berkala

Pemantauan Jentik Berkala (PJB) merupakan kegiatan pemeriksaan

atau pengamatan serta pemberantasan vektor nyamuk penular DBD pada

tempa-tempat penampungan air yang menjadi tempat perkembangbiakan

nyamuk. Kegiatan PJB ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui

tingkat keberhasilan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui 3M.

Sasaran wilayah atau lokasi dari kegiatan PJB ini merupakan

rumah/bangunan, sekolah, dan fasilitas kesehatan yang ada di

desa/kelurahan endemis dan sporadis pada tempat-tempat

perkembangbiakan nyamuk Aedes di 100 sampel yang dipilih secara

random. Kegiatan ini dilaksanakan dalam empat siklus yaitu tiga bulan

sekali. PJB dapat dilakukan oleh petugas puskesmas, kader, atau


35

kelompok kerja (POKJA) DBD yang diasa disebut juru pemantau jentik

(Jumantik) yang mana kader jumantik memeriksa 30 rumah sampel di

setiap RW/Dusun /Lingkungan (Kusumawardani,Erna, 2015 ).

c. Fogging Fokus

Fogging fokus merupakan kegiatan yang dilakukan dengan tujuan

untuk mencegah terjadinya KLB dengan cara memutus rantai penularan,

khususnya terhadap nyamuk dewasa, di wilayah terjadinya kasus DBD.

Sasaran wilayah atau lokasi dari kegiatan ini adalah rumah penderita

DBD dan lokasi di sekitarnya yang diperkirakan menjadi sumber

penularan DBD. Fogging dilakukan dalam radius 200m dan dilaksanakan

dua siklus interval ±1 minggu (Kusumawardani,Erna, 2015 ).

Kegiatan fogging dengan menggunakan insektisida ini dilakukan

oleh petugas puskesmas yang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota.petugas penyemprotan merupakan petugas puskesmas

atau petugas harian lepas yang telah mendapatkan pelatihan dari Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota. Di samping itu diperlukan partisipasi dari

ketua RT, tokoh masyarakat, dan kader kesehatan untuk mendampingi

petugas dalam kegiatan pengabutan ini dan melakukan penyuluhan.

Fogging fokus dilakukan jika hasil PE bernilai positif, yaitu

ditemukannya penderita atau tersangka DBD lainnya, atau ditemukannya

tiga atau lebih penderita panas tanpa sebab yang jelas dan ditemukan

jentik. Sasaran/target dari kegiatan fogging fokus dihitung berdasarkan

jumlah fokus yang akan ditanggulangi (1 fokus = 300 rumah atau 15 Ha)
36

dalam satu tahun (Kusumawardani,Erna, 2015 ).

d. Pemberantasan Sarang Nyamuk

Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) merupakan salah satu cara

pengendalian vektor DBD yang paling efektif dan efisien yaitu dengan

jalan memutus mata rantai penularan penyakit melalui pemberantasan atau

pengendalian jentik nyamuk. Tujuan dari program PSN DBD ini adalah

untuk mengendalikan populasi nyamuk yaitu khususnya nyamuk Aedes

Aegypti sebagai vektor utama DBD, sehingga penularan penyakit ini dapat

dicegah atau setidaknya dikurangi kejadian kasusnya. Indikator

keberhasilan program PSN DBD adalah Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu

dengan ABJ lebih dari 95%. ( Kusumawardani,Erna, 2015).


37

D. Kerangka Teori

Faktor Risiko:

1.Umur
2.Tingkat pendidikan
3.Pengetahuan
4.Kondisi tempat penampungan
air (TPA)
-Ketersediaan tutup pada TPA
-Frekuensi pengurasan TPA
-Keberaan jentik pada TPA
5. kebersihan halaman rumah

Demografi :
Curah hujan
Status imunitas
Pengetahuan
Perilaku Kejadian Demam
Kepadatan penduduk Berdarah Dengue (DBD)

Faktor Lingkungan :
Penyelidikan epidemiologi
Pemantauan jentik berkala
Abatisasi selektif
Fogging
Penyuluhan
Gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)

Sumber: (Kemenkes RI, 2018), (Ariani, Ayu Putri, 2016),


(Purnama, 2016), (WHO, 2019), (Satari, 2017), (Christine,2018),
(fathi.et all 2017), (Nadesul. H, 2017), (Eka. W.W, 2018),
(Kusumawardani,Erna, 2015 ).
38

E. Kerangka konsep

Tidak semua variable yang ada dalam kerangka teori diambil dan diikuti

sertakan sebagai variable dalam penelitian ini, disebabkan karena keterbatasan

yang ada baik dari segi biaya, tenaga dan waktu yang tersedia dalam penelitian.

Oleh karena itu, hanya beberapa variable saja yang diambil dalam penelitian ini,

disamping telah banyak variable yang telah diteliti orang lain. Adapun variable-

variabel dalam penelitian ini , yaitu variable independen meliputi karakteristik

responden seperti : umur, pendidikan, pengetahuan dan perilaku, tindakan serta

kondisi tempat penampungan air (TPA) yang meliputi frekuensi pengurasan

TPA, kebersihan halaman. Sedangkan variable dependen yaitu kejadian.

Variabel independen Variabel Dependen

Umur

Kejadian Demam Berdarah


Dengue (DBD)
Tindakan

Frekuensi pengurasan
TPA

Kebersihan halaman

Gambar 2.
Kerangka Konsep Penelitian.
39

F. Hipotesis
a. Ada hubungan umur dengan kejadian DBD di wilayah kerja

Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir

Barat Tahun 2020.

b. Ada hubungan Tingkat Pendidikan dengan kejadian DBD di

wilayah kerja Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan

Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.

c. Ada hubungan Pengetahuan dengan kejadian DBD di wilayah kerja

Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir

Barat Tahun 2020.

d. Ada hubungan tindakan dengan kejadian DBD di wilayah kerja

Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir

Barat Tahun 2020.

e. Ada hubungan frekuensi pengurasan tempat penampungan air

dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskemas Krui Selatan

Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.

f. Ada hubungan antara kebersihan halaman rumah dengan kejadian

DBD di wilayah kerja Puskemas Krui Selatan Kecamatan Krui

Selatan Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.


40

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Rancangan Penelitian

Jenis penellitian yang digunakan adalah case control (kasus control) yaitu

suatu penelitian survey yang menyangkut bagaimana faktor resiko dipelajari

dengan menggunakan pendekatan retrospective (Notoadmojo,2018). Pada

penelitian ini akan mencari faktor risiko apa saja yang berhubungan dengan

kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan

Kabupaten Pesisir Barat, dengan membandingkan kelompok kasus meliputi orang

yang menderita DBD dengan kelompok control meliputi orang yang tidak

menderita DBD.

B. Lokasi Penelitian dan waktu penelitian

Penelitian ini di lakukan di pada bulan April Tahun 2020 dengan lokasi

penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan

Kabupaten Pesisir Barat

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah seluruh rumah yang di dalamnya terdapat

rumah tangga atau warga yang pernah diperiksa yang dinyatakan menderita DBD

berdasarkan diagnosa dokter puskesmas Krui Selatan

1. Kriteria Inklusi Kasus

Inklusi kasus dalam penelitian ini adalah orang yang datang ke Puskesmas

Krui Selatan dan di nyatakan menderita DBD oleh Dokter atau petugas medis

puskesmas, dan bertempat tinggal di wilayah Puskesmas Krui Selatan Kecamatan

Krui Selatan Kabupaten Pesisir Barat.


41

2. Kriteria Ekslusi Kasus

Ekslusi kasus dalam penelitian ini adalah orang yang datang ke puskesmas

Krui Selatan dan di nyatakan menderita DBD oleh Dokter atau petugas medis

puskesmas, tetapi bukan bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Krui

Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir Barat.

3. Kriteria Inklusi Kontrol

Inklusi kontrol dalam penelitian ini adalah orang yang tidak di nyatakan

menderita DBD oleh Dokter atau petugas medis puskesmas, dan bertempat tinggal

di wilayah kerja Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten

Pesisir Barat.

4. Kriteria Ekslusi Kontrol

Ekslusi kontrol dalam penelitian ini adalah orang yang tidak di nyatakan

menderita DBD oleh Dokter atau petugas medis puskesmas, tetapi tidak bertempat

tinggal di wilayah kerja Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan

Kabupaten Pesisir Barat.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang ada di wilayah

kerja Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir

Barat.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan di anggap mewakili seluruh populasi.
42

a. Sampel Kasus

Sampel kasus adalah sampel yang dipilih dengan kriteria tertentu inklusi

dan ekslusi.

Untuk menentukan besar sampel, maka nilai Po dan OR menggunakan hasil

penelitian terdahulu.

Variabel Peneliti Po OR

Umur Syarip U. 0,375 2,78


Pengetahuan Bai K. 0,282 4,21

frekuensi Mustazahid
pengurasan A.W
tempat 0,332 2,4
penampungan air

Besarnya sampel pada penelitian kasus kontrol di peroleh dengan menggunakan

rumus Schlesselman, 1982 sebagai berikut :

PI = Po . R
¿¿

1
Ṕ = ( P 1+ Po) q = 1 - Ṕ
2

2. ṕ . q ( Z α + Z β )2
n =
( P 1−Po)2

Keterangan :

R = Perkiraan rasio odds

p0 = Proporsi kontrol yang terpajan

α = Kesalahan tipe I = 0,05 dengan Z1-1/2α = 1,96

β = Kesalahan tipe II = 0,10 dengan Zß = 0,84

C = Jumlah kontrol per kasus


43

n = Jumlah kasus yang dibutuhkan

d = Limit error =0,05

Berdasarkan penelitian terdahulu, untuk menghitung sampel digunakan

hasil penelitian Mustazahid A.W dengan OR : 2,4 variabel frekuensi pengurasan

tempat penampungan air dan Bai K dengan Po : 0,282 variabel pengetahuan .

Maka di dapatkan hitungan sebagai berikut :

OR =2,4

P0 = 0,282
P 0. R
P1 =
[1+ P 0 ( R−1 ) ]
0,282. 2,4
=
¿¿
0,68
=
1,40
= 0,49

1
Ṕ = (P1 + P0) q = 1 – Ṕ
2
1
= ( 0,49 + 0,282) = 1 – 0,386
2
= 0,386 = 0,614

2. Ṕ . q ( Za+ ZB )2
n =
( p 1−P 0 )
2. 0,386 . 0,614(7,6176)
=
(0,386−0,282) ²
3,61
=
0,104

= 34,71 = 35 Sampel
44

Berdasarkan perhitungan diatas didapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan

pada penelitian adalah sebanyak 35 sampel.

b. Sampel Kontrol

Jumlah sampel kontrol pada penelitian ini menggunakan perbandingan

kelompok kasus : kelompok kontrol yaitu 1 : 1. Jumlah sampel kontrol sama

dengan jumlah sampel kasus yaitu 35 responden kasus sama dengan 35 responden

kontrol.

3. Teknik Pengambilan

a. Sampel kasus

Sampel pada kelompok kasus pada penelitian ini adalah rumah tangga atau

warga yang anggota keluarganya pernah menderita DBD pada tahun 2020.

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan exhautive

sampling yaitu jumlah sampel sama dengan jumlah populasi. Jumlah populasi

pada kelompok kasus adalah 35 responden, sehingga didapatkan jumlah

sampel pada kelompok kasus pada penelitian ini yaitu 35 responden.

b. sampel kontrol

Sampel kontrol pada penelitian ini adalah rumah tangga atau warga yang

anggota keluarganya tidak pernah menderita DBD pada tahun 2020. Teknik

dalam pengambilan sampelpada penelitian ini menggunakan metode simple

random sampling yaitu metode mencuplik sampel secara acak dimana masing-

masing subjek atau unit dari populasi mempunyai peluang yang sama dan
45

independen untuk terpilih menjadi sampel (Notoatmodjo, 2018: 120). Sampel

kontrol dipilih 5 tetangga terdekat dari kelompok kasus kemudian dengan

teknik simple random sampling didapatkan 1 sampel untuk kelompok kontrol,

begitu seterusnya sampai didapatkan 35 sampel pada kelompok kontrol.

E. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel adalah :

a. Variabel Dependen yaitu kejadian DBD.

b. Variabel Independen yaitu variabel yang berhubungan dengan

kejadian DBD pada hal ini adalah ini yaitu umur, tingkat pendidikan,

pengetahuan, Tindakan, Frekuensi pengurasan TPA, kebersihan

halaman rumah.
46

F. Definisi Operasional

N Variabel Definisi Cara Alat Ukur Hasil Ukur Skala


o Operasional Ukur Ukur
1 2 3 4 5 6 7
1 Dependen Seluruh penderita yang dinyatakan Observasi Cheklist Jumlah kasus DBD yang Ordinal
. Kejadian positif DBD dan tercatat pasien rekam terjadi atau menimpa pada
penyakit Puskesmas Puskesmas Krui selatan medik responden.
DBD Kecamatan Krui selatan Kabupaten
Puskesmas 1. DBD
Pesisir barat.
Krui 2. Tidak DBD
Selatan
2 Independen Lama hidup responden sejak dilahirkan wawancar kuisioer 1. Remaja 12-25 tahun Ordinal
. Umur sampai dengan penelitian dilakukan a 2. Dewasa >25 tahun
yang dihitung dalam tahun.

3 Tingkat Pendidikan formal terakhir yang wawancar kuisioer 1. Tidak sekolah, SD Ordinal
. pendidikan pernah diterima oleh responden saat a 2. SMP,SMA,PT
penelitian dilakukan.
4 Pengetahuan Kemampuan responden menjawab wawancara 1. Pengetahuan tidak baik (jika
. tentang pengetahuan DBD. Kuisoner nilai rata-rata kurang dari Ordinal
median) 2.
Pengetahuan baik (jika nilai
rata-rata ≥ median)

5 Tindakan Segala sesuatu yang telah dilakukan wawancara Kuisioner 1. Tindakan tidak baik (jika Ordinal
47

. responden sehubungan dengan nilai rata-rata kurang dari


pengetahuan dan sikap tentang 3M median) 2.
(menguras, menutup, mengubur) Tindakan baik (jika nilai rata-
rata ≥ median)
6 Frekuensi Angka yang menunjukkan berapa kali wawancara Kuisioner 1. TMS< 1 kali dalam 1 Ordinal
. pengurasan responden membersihkan/menguras minggu
TPA container dalam ukuran waktu 1 2. MS> 1 kali dalam 1 minggu
minggu.
7 Kebersihan Bersih atau tidaknya di halaman Observasi Kuisioner 1. Ada sampah Ordinal
. halaman rumah responden. 2. Tidak ada sampah
rumah
48

G. Teknik Pengumpulan Data

a. Sumber Data

1. Data primer

Data primer diperoleh dari hasil pengamatan (observasi) dan

wawancara (interview) pada masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Krui

selatan Kecamatan Krui selatan Kabupaten Pesisir barat.

2. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Krui selatan Kecamatan Krui

selatan Kabupaten Pesisir barat.

H. Metode Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara adalah suatu metode yang di gunakan untuk

mengumpulkan data , peniliti mendapatkan keterangan atau informasi

secara lisan dari seseorang sasaran penelitian (responden) atau bercakap-

cakap berhadapan muka dengan orang tersebut (face to face). Metode

wawancara ini dapat di lakukan dengan menggunakan data berupa

questioner . Quesioner adalah daftar pertanyaan yang di lakukan untuk

mendapatkan informasi tambahan masyarakat mengenai penyakit DBD.

(Notoadmojo,2018:139)

b. Pengamatan

Pengamatan adalah suatu hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh

perhatian untuk menyadari adanya rangsangan. (Notoadmojo,2018:131).

Metode observasi ini dapat di lakukan dengan menggunakan alat


49

pengumpul data berupa checklist .checklist adalah suatu daftar pengecek

yang berisi variabel kejadian DBD dengan factor risiko.

I. Pengolahan Data dan Analisis Data

1. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan dengan cara :

a. Editing yaitu merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan

dan perbaikan isi formulir atau instrument.

b. Coding yaitu merupakan kegiatan mengubah data berbentuk

kalimat atau huruf menjadi data angka/bilangan. Kegunaan dari

coding adalah untuk mempermudah pada analisis data dan juga

mempercepat pada saat entry data.

c. Processing datayaitu jawaban dari masing-masing responden yang

dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukan kedalam progam

computer.

d. Cleaning yaitu pengecekan data kembali untuk melihat

kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan kode,

ketidaklengkapan, dan sebagianya. Kemudian di lakukan

pembetulan atau koreksi.(Notoadmojo,2018:176).

2. Analsisi data

Data –data yang diperoleh kemudian dianalisa secara univariat dan

bivarat untuk mengetahui apakah ada hubungan antara faktor

lingkungan dengan kejadian DBD dengan menggunakan uji Chi-

Square.
50

a. Analisi Univariat

Analisis univariat digunakan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karateristik masing-masing variable yang diteliti.

Bentuk dari analisis univariat tergantung dengan jenis data, untuk

melihat distribusi frekuensi dari variable yang diteliti.

b. Analisi Bivariat

Analisis bivariat di gunakan untuk menjelaskan hubungan antara

dua variabel yaitu variabel independent dengan variabel dependent.

Karena jenis datanya adalah kategorik maka uji statistic yang

digunakan adalah Chi-Square. Presepsi nilai menggunakan uji Chi-

Square, dengan menggunakan program computer SPSS yaitu nilai p,

kemudian dibandingkan dengan nilai α = 0,05 , apabila nilai p <

α=o,05 maka ada hubungan atau perbedaan antara dua variabel

tersebut.

J. Instrumen Penelitian

Alat pengumpul data yang digunakan adalah checklist dan quesnioner

untuk melakukan wawancara terhadap responden yang berhubungan

dengan factor risiko dengan kejadian DBD. Data-data yang berhubungan

dengan kondisi medis responden dikumpulkan melalui catatan medis

Puskesmas Krui selatan (Terlampir) .


51
47

BAB IV

PEMBAHASAN DAN HASIL

A. Gambaran Umum Puskesmas Krui Selatan

1. Keadaan Geografi

Puskesmas Krui Selatan merupakan salah satu Puskesmas induk di

wilayah Kecamatan Krui Selatan. Luas wilayah kerja Puskesmas Krui

Selatan 32,26 km2 dengan batas wilayah :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pesisir Tengah

b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Way Krui

c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pesisir Selatan

d. Sebelah barat berbatasan dengan Pantai Lepas Samudra Hindia

Puskesmas Krui Selatan secara administratif berada dibawah

naungan Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Barat dan mempunyai 9

pekon sebagai wilayah kerjanya yaitu, Pekon Mandiri , Pekon Balai

kencana, Pekon Way Suluh, Pekon Way Napal, Pekon Pemerihan,

Pekon Lintik, Pekon Padang haluan, Pekon Walur, Pekon Padang

Raya . Letak geografis wilayah Puskesmas Krui Selatan terletak pada

posisi 104042’0’-10508’0 Lintang Selatan.

Puskesmas Krui Selatan terletak di Pekon Way Suluh,

Kecamatan Krui Selatan. Jarak dari Kecamatan Krui Selatan ke

Kabupaten Pesisir Barat 8 km dengan jarak tempuh 15 menit dengan

menggunakan kendaraan bermotor. Tidak terdapat pekon terpencil,

seluruh pekon di wilayah kerja Puskesmas dapat dijangkau dengan


52

mudah menggunakan kendaraan bermotor dengan rata-rata jarak

tempuh10-20 menit.

B. Hasil Penelitian

1. Analisis Univariat

a. Umur

Berdasarkan hasil penelitian tentang umur sebanyak 18,5% pada

umur muda <15 tahun dan sebanyak 81,5% pada umur dewasa >15

tahun.

Tabel 4.1
Distribusi responden berdasarkan tingkat umur di wilayah kerja
Puskesmas Krui Selatan tahun 2020
Umur Kasus Kontrol
N % N %
1. Muda <15 tahun 5 7,1 8 11,4
2. Dewasa >15 tahun 30 42,9 27 38,6

b. Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian tentang pengetahuan sebanyak

42,9% responden yang pendidikan rendah bila < SLTA, dan sebanyak

57,1% responden yang pendidikan tinggi bila pendidikan terakhirnya >

SLTA.

Tabel 4.2
Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan di wilayah kerja
Puskesmas Krui Selatan tahun 2020
Pendidikan terakhir Kasus Kontrol
N % N %
1. Rendah, bila < SLTA 13 18,6 17 24,3
2. Tinggi, bila > SLTA 22 31,4 18 25,7
53

c. Pengetahuan

Berdasarkan hasil penelitian tentang pengetahuan sebanyak 40%

pengetahuan reponden yang kurang baik dan sebanyak 60%

pengetahuan responden yang baik.

Tabel 4.3
Distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan di wilayah kerja
Puskesmas Krui Selatan tahun 2020
Pengetahuan Kasus Kontrol
N % N %
1. Kurang Baik 26 37,1 16 22,9
2. Baik 9 12,9 19 27.1

d. Tindakan

Berdasarkan hasil penelitian tentang tindakan sebanyak 80%

responden yang tindakan nya tidak baik dan sebanyak 20% responden

yang tindakan nya baik.

Tabel 4.4
Distribusi responden berdasarkan tingkat tindakan di wilayah kerja
Puskesmas Krui selatan tahun 2020
Tindakan Kasus Kontrol
N % N %
1. Tidak baik 27 38,6 29 42,4
2. Baik 8 11,4 6 8,6

e. Frekuensi pengurasan TPA

Berdasarkan hasil penelitian tentang frekuensi pengurasan TPA

sebanyak 20% TMS dan sebanyak 80% MS.


54

Tabel 4.5
Distribusi rumah berdasarkan tingkat pengurasan TPA di wilayah kerja
Puskesmas Krui Selatan tahun 2020
Frekuensi pengurasan pada kontainer Kasus Kontrol
N % n %
1. TMS (< 1 kali dalam 1minggu) 9 12,9 5 7,1
2. MS (>1 kali dalam 1minggu) 26 37,1 30 42,9

f. Kebersihan halaman rumah

Berdasarkan hasil penelitian tentang kebersihan halaman rumah

sebanyak 54,3% halaman rumah responden yang ada sampah dan

45,7% halaman rumah responden yang tidak ada sampah.

Tabel 4.6
Distribusi rumah berdasarkan tingkat kebersihan halaman rumah di
wilayah kerja Puskesmas Krui selatan tahun 2020
Kebersihan halaman rumah Kasus Kontrol
N % N %
1. Ada sampah 23 32,9 15 21,4
2. Tidak ada sampah 12 17,1 20 28,6

2. Analisis Bivariat
a. Hubungan umur dengan kejadian DBD
Berdasarkan hasil gambaran mengenai umur, pada penelitian ini

didapatkan umur pada kelompok kasus DBD dan kontrol DBD

terbanyak kategori dewasa >15 tahun, yaitu pada kelompok kasus DBD

sebanyak 42,9% dewasa >15 tahun dan kelompok kontrol 38,6%


55

dewasa >15 tahun dan pada kelompok kasus usia muda <15 tahun

sebanyak 7,1 % dan kelompol kontrol usia muda <15 tahun 11,4%.

Bila dilihat perbandingannya dari segi kelompok kasus DBD

dengan kontrol DBD, umur yang muda <15 tahun paling tinggi pada

kelompok kontrol DBD dan yang paling tinggi umur dewasa >15 tahun

pada kelompok kasus DBD. Hasil penelitian tentang ada tidaknya

hubungan antara umur dengan kejadian DBD di wilayah kerja

Puskesmas Krui Selatan tahun 2020 dapat dilihat pada tabel 4.7,

dibawah ini :

Tabel 4.7
Distribusi responden berdasarkan umur dan kejadian DBD di wilayah
kerja Puskesmas Krui Selatan Tahun 2020
Umur Kasus Kontrol  Total p– OR (CI
valu 95%)
e
N % N % n %
1. Remaja 12-25 tahun 5 7,1 8 11,4 13 18,6 0,539 0,563
2. Dewasa >25 tahun 30 42,9 27 38,6 57 81,4 (0,164-
1,929)
Jumlah 35 50 35 50 70 100

Dari hasil uji statistik menggunakan Chi-square, diperoleh P-

value 0,539 karena P-value > 0,05 maka Ho gagal ditolak, artinya tidak

ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian DBD.

Sehingga pada penelitian ini umur bukan menjadi faktor risiko

terjadinya kejadian DBD.

b. Hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian DBD


56

Berdasarkan pada hasil analisis frekuensi mengenai tingkat

pendidikan, pada penelitian ini didapatkan pendidikan terakhir pada

kelompok kasus DBD yaitu sebanyak 31,4% yang pendidikan

terakhirnya > SLTA dan sebanyak 18,6% <SLTA. Pada kelompok

kontrol DBD pendidikan terakhir >SLTA sebanyak 25,7% dan yang <

SLTA sebanyak 24,3%.

Bila dilihat perbandingannya dari segi kelompok yang kasus

DBD dengan kontrol DBD, pendidikan terakhir yang (tidak

sekolah,SD) paling tinggi pada kelompok responden kontrol DBD dan

paling tinggi (>SLTA) pada kelompok kasus DBD. Hasil penelitian

tentang ada tidaknya hubungan antara pendidikan terakhir dengan

kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Krui Selatan tahun 2020

dapat dilihat pada tabel 4.8, dibawah ini :

Tabel 4.8

Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan terakhir


dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Krui Selatan tahun
2020

Pendidikan terakhir Kasus Kontrol  Total p– OR (CI


valu 95%)
e
n % n % n %
1. Rendah < SLTA 13 18,6 17 24,3 30 42, 0,46 0,626
9 9 (0,241-
2. Tinggi > SLTA 22 31,4 18 25,7 40 57, 1,624)
1
Jumlah 35 50 35 50 70 100
57

Dari hasil uji statistik menggunakan Chi-square, diperoleh P-value

0,469 karena P-value >0,05 maka Ho gagal ditolak, artinya tidak ada

hubungan yang bermakna antara pendidikan terakhir dengan kejadian

DBD. Sehingga pada penelitian ini pendidikan terakhir bukan menjadi

faktor risiko terjadinya kejadian DBD.

c. Hubungan pengetahuan dengan kejadian DBD

Berdasarkan pada hasil gambaran mengenai pengetahuan, pada

penelitian ini didapatkan pengetahuan tidak baik yaitu kelompok yang

kasus DBD lebih tinggi yaitu sebanyak 37,1% dibandingkan kelompok

yang kontrol DBD 22,9%. Sedangkan yang memiliki pengetahuan baik

yaitu lebih tinggi kelompok kontrol DBD yaitu sebanyak 27,1%

dibandingkan kelompok yang kasus DBD 12,9%.

Bila dilihat perbandingannya dari segi kelompok yang kasus DBD

dengan kontrol DBD, pengetahuan yang baik paling tinggi pada

kelompok responden kontrol DBD dan yang paling rendah

pengetahuannya pada kelompok kasus DBD.

Hasil penelitian tentang ada tidaknya hubungan antara pengetahuan

dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Krui Selatan tahun

2020 dapat dilihat pada tabel 4.9, dibawah ini :

Tabel 4.9
Distribusi responden berdasarkan pengetahuan dan kejadian DBD di
wilayah kerja Puskesmas Krui Selatan tahun 2020
Pengetahuan Kasus Kontrol  Total p– OR (CI
n % n % N % valu 95%)
e
1. Tidak baik 26 37,1 16 22,9 42 60 0,028 3,431
2. Baik 9 12,9 19 27,1 28 40 (1,251-
58

Jumlah 35 50 35 50 70 100 9,404)


Berdasarkan tabel 4.17 diatas, hasil uji statistik menggunakan Chi-

square, diperoleh P-value 0,028 karena P-value < 0,05 maka Ho

ditolak, artinya ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan

dengan kejadian DBD. Nilai Odd Ratio (OR) = 3,431 (95% CI = 1,251-

9,404), menunjukkan bahwa responden yang pengetahuan nya tidak

baik mempunyai risiko 3,431 kali lebih besar menderita DBD daripada

yang berpengetahuan baik.

d. Hubungan tindakan terhadap kejadian DBD

Berdasarkan pada hasil gambaran mengenai tindakan, pada

penelitian ini didapatkan tindakan pada kelompok kasus DBD dan

konrol DBD. Pada kelompok kasus DBD sebanyak 11,4% yang

tindakannya baik dan sebanyak 38,6% tindakannya tidak baik. Pada

kelompok kontrol DBD sebanyak 8,6% yang tindakannya baik dan

sebanyak 41,4% tindakannya tidak baik.

Bila dilihat perbandingannya dari segi kelompok yang kasus

DBD dengan kontrol DBD, tindakan yang baik paling tinggi pada

kelompok responden kasus DBD dan yang paling rendah tindakannya

pada kelompok kontrol DBD. Hasil penelitian tentang ada tidaknya

hubungan antara tindakan dengan kejadian DBD di wilayah kerja

Puskesmas Krui selatan tahun 2020 dapat dilihat pada tabel 4.10,

dibawah ini:

Tabel 4.10
59

Distribusi responden berdasarkan tindakan dan kejadian DBD di wilayah


kerja Puskesmas Krui selatan tahun 2020

Tindakan Kasus Kontrol  Total p– OR (CI


n % N % n % valu 95%)
e
1. Tidak baik 27 38,6 29 41,4 56 80 0,765 0,698
2. Baik 8 11,4 6 8,6 14 20 (0,214-
Jumlah 35 50 35 50 70 100 2,275)

Dari hasil uji statistik menggunakan Chi-square, diperoleh P-value

0,765 karena P-value > 0,05 maka Ho gagal ditolak, artinya tidak ada

hubungan yang bermakna antara tindakan dengan kejadian DBD.

Dengan tidak adanya hubungan yang bermakna maka tidak terdapat

pula resiko antara tindakan terhadap kejadian DBD.

e. Hubungan frekuensi pengurasan TPA terhadap kejadian DBD

Berdasarkan hasil gambaran mengenai frekuensi pengurasan pada

TPA kelompok kasus dengan kondisi >1 kali dalam 1minggu sebanyak

37,1%, pada kondisi <1 kali dalam seminggu sebanyak 12,9% dan

kelompok kontrol >1 kali dalam 1minggu 42,9%, pada kondisi <1 kali

dalam seminggu sebanyak 7,1%.

Bila dilihat perbandingannya dari segi kelompok yang kasus DBD

dengan kontrol DBD, frekuensi pada TPA yang memenuhi syarat >1

kali dalam seminggu tertinggi pada kelompok responden kontrol DBD

dan yang tidak memenuhi syarat <1 kali dalam seminggu paling tinggi

pada kelompok kasus DBD.


60

Hasil penelitian tentang ada tidaknya hubungan antara frekuensi

pengurasan pada kontainer dengan kejadian DBD di wilayah kerja

Puskesmas Krui Selatan tahun 2020 dapat dilihat pada tabel 4.11,

dibawah ini :

Tabel 4.11
Distribusi rumah berdasarkan frekuensi pengurasan pada kontainer
dan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Krui Selatan tahun 2020
Frekuensi Pengurasan Kasus Kontrol  Total p OR (CI
pada TPA n % N % n % -valu 95%)
e
1. <1 kali dalam 9 12,9 5 7,1 14 20 0,37 2,077
seminggu 0 (0,618-
2. >1 kali dalam 26 37,1 30 42,9 56 80 6,985)
seminggu
Jumlah 35 50 35 50 70 100

Dari hasil uji statistik menggunakan Chi-square, diperoleh P-value

0,370 karena P-value > 0,05 maka Ho gagal ditolak, artinya tidak ada

hubungan yang bermakna antara frekuensi pengurasan pada kontainer

dengan kejadian DBD. Sehingga pada penelitian ini frekuensi

pengurasan pada kontainer bukan menjadi faktor risiko terjadinya

kejadian DBD.

f. Hubungan kebersihan halaman rumah dengan kejadian DBD

Berdasarkan pada hasil gambaran mengenai kebersihan halaman

rumah, pada penelitian ini didapatkan kebersihan halaman rumah pada


61

kelompok kasus terbanyak yaitu ada sampah sebanyak 32,9% dan

kondisi halaman rumah tidak ada sampah 17,1%. Sedangkan pada

kelompok kontrol kondisi halaman rumah tidak ada sampah lebih tinggi

sebanyak 28,6% dan ada sampah 21,4%.

Bila dilihat perbandingannya dari segi kelompok kasus DBD

dengan kontrol DBD, kebersihan halaman rumah yang ada sampah

tertinggi yaitu pada kelompok responden kasus DBD dan kebersihan

halaman rumah yang tidak ada sampah tertinggi pada kelompok kontrol

DBD.

Hasil penelitian tentang ada tidaknya hubungan antara kebersihan

halaman dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Krui

Selatan tahun 2020 dapat dilihat pada tabel 4.12, dibawah ini :

Tabel 4.12

Distribusi rumah berdasarkan kebersihan halaman rumah dan kejadian


DBD di wilayah kerja Puskesmas Krui Selatan tahun 2020

Kebersihan Kasus Kontrol  Total p– OR (CI


halaman rumah valu 95%)
e
n % n % n %
1. Ada sampah 12 17,1 20 28,6 32 45,7 0,09 2,556
2. Tidak ada 23 32,9 15 21,4 38 54,3 3 (0,972-
sampah 6,722)
Jumlah 35 50 35 50 70 100

Dari hasil uji statistik menggunakan Chi-square, diperoleh P-value

0,093 karena P-value >0,05 maka Ho gagal ditolak, artinya tidak ada

hubungan yang bermakna antara kebersihan halaman rumah dengan


62

kejadian DBD. Sehingga pada penelitian ini kebersihan halaman rumah

bukan menjadi faktor risiko terjadinya kejadian DBD.

C. PEMBAHASAN

a. Umur

Umur anak-anak rentan terhadap penyakit karena daya tahan tubuh

yang belum stabil (Potter dan Perry, 2007).

Umur merupakan variabel yang penting dari seseorang karena angka

kesakitan dan kematian hampir sama keadaannya menunjukkan hubungan

dengan usia (Muliani dan Maryani, 2007).

Berdasarkan Riskesdas 2010, DBD menduduki urutan ke 5 pada

proporsi penyebab kematian pada usia balita (1-4 tahun) yaitu 6,8%

sedangkan pada umur 5-14 tahun DBD merupakan penyebab kematian

terbesar di daerah perkotaan dengan angka proporsi 30,4%, namun tidak

pada daerah pedesaan (Balitbangkes RI, 2011).

Diketahui hasil penelitian tertinggi tentang umur responden di 70

responden, sebanyak 18,5% pada umur remaja 12-25 tahun dan sebanyak

81,5% pada umur dewasa >25 tahun.

Dari hasil uji statistik menggunakan Chi-square, diperoleh P-value

0,539 karena P-value > 0,05 maka Ho gagal ditolak, artinya tidak ada

hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian DBD.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Nur Purwono Widodo dalam tesis nya yang berjudul faktor-faktor

yang berhubungan dengan kejadian DBD di Kota Mataram Provinsi

Nusa Tenggara Barat Tahun 2012, penduduk kota Mataram yang


63

berumur ≤ 35 tahun beresiko 1,79 kali lebih tinggi dibandingkan dengan

penduduk kota Mataram yang berumur > 35 tahun.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Amrul Hasan (2007) di Bandar Lampung (OR=16,09;

95% CI= 3,38-76,56), Erliyanti (2008) di Kota Metro, Bandar Lampung

(OR=20,01; 95% CI=7,896-50,695) dan Herra Superiyatna (2011) di

Cirebon (OR=3,10; 95% CI=1,57-6,12) yang menyebutkan adanya

hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian DBD.

b. Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu proses yang kontinyu. Merupakan

pengulangan yang perlahan tetapi pasti dan terus-menerus sehingga

sampai pada bentuk yang diinginkan. Dari pernyataan diatas, dapat

ditarik kesimpulan bahwa pendidikan adalah usaha sadar terencana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau

pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi

dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat (Wikipedia, 2017).

Diketahui hasil penelitian tentang pendidikan terakhir di 70

responden, sebanyak 42,9% responden yang pendidikan terakhir nya

tidak sekolah, SD dan sebanyak 57,1% responden yang pendidikan

terakhirnya SMP, SMA, PT.

Berdasarkan dari hasil uji statistik menggunakan Chi-square,

diperoleh P-value 0,334 karena P-value > 0,05 maka Ho gagal ditolak ,
64

artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan terakhir

dengan kejadian DBD.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh

Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan respon seseorang terhadap

stimulus atau rangsangan yang masih bersifat terselubung, sedangkan

tindakan nyata seseorang yang belum otomatis terwujud sebagai respons

terhadap stimulus merupakan overt behaviour. Pengetahuan itu sendiri

dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, dimana pengetahuan kesehatan akan

berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate

impact) dari pendidikan kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan

berpengaruh pada meningkatnya indikator kesehatan masyarakat sebagai

keluaran dari pendidikan. Faktor pendidikan sangat berpengaruh terhadap

pengetahuan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka

wawasan yang dimilikinya akan semakin luas sehingga pengetahuan pun

juga akan meningkat, sebaliknya rendahnya pendidikan seorang ibu akan

mempersempit wawasannya sehingga akan menurunkan tingkat

pengetahuan terhadap masalah kesehatan. Reponden yang berpendidikan

tinggi akan cenderung memiliki wawasan yang luas serta mudah dalam

menerima informasi dari luar, seperti dari televisi, Koran.

c. Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan respon

seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih bersifat

terselubung, sedangkan tindakan nyata seseorang yang belum otomatis

terwujud sebagai respons terhadap stimulus merupakan overt


65

behaviour. Pengetahuan itu sendiri dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,

dimana pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku

sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan

kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh pada

meningkatnya indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran dari

pendidikan.

Pada penelitian ini peneliti melakukan pengukuran pengetahuan

dengan cara wawancara langsung terhadap responden dengan

mengajukan 19 pertanyaan yang sudah disiapkan oleh peneliti berupa

kuesioner.

Diketahui hasil penelitian tentang pengetahuan di 70 responden,

sebanyak 40% pengetahuan reponden yang baik dan sebanyak 60%

pengetahuan responden yang tidak baik.Berdasarkan dari hasil uji

statistik menggunakan Chi-square, diperoleh P-value 0,028 karena P-

value <0,05 maka Ho ditolak, artinya ada hubungan yang bermakna

antara pengetahuan dengan kejadian DBD. Nilai Odd Ratio (OR) =

3,431 (95% CI = 1,251-9,404), menunjukkan bahwa responden yang

pengetahuan nya tidak baik mempunyai risiko 3,431 kali lebih besar

menderita DBD daripada yang berpengetahuan baik.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah

orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yaitu indera

pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar


66

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan

dapat diperoleh dari melihat atau mendengar tentang kenyataan, selain

itu juga dapat diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar dalam

pendidikan, baik yang bersifat formal atau non formal.

(Notoatmodjo,2010).

Menurut Machfoedz dan Suryani (2007) yang menyatakan orang

yang pengetahuannya bertambah maka kecakapannya bertambah

sehingga muncul kesadaran dalam diri untuk bertindak dalam hidup

sehat secara baik. Menerapkan perilaku sehat yaitu pencegahan

penyakit DBD, merupakan langkah ampuh untuk menangkal penyakit,

namun dalam praktiknya, penerapan ini yang kesannya sederhana tidak

selalu mudah dilakukan terutama bagi responden yang tidak terbiasa,

kurangnya pengetahuan dan sedikitnya kesadaran berperilaku hidup

sehat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan peneltian yang dilakukan oleh

Duma, et al (2007) tentang analisis faktor yang berhubungan dengan

kejadian demam berdarah dengue di Kecamatan Baruga Kota Kendari.

Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan berupa faktor

pengetahuan berhubungan dengan kejadian demam berdarah dengue di

Kecamatan Baruga Kota Kendari.

Dikarenakan pada penelitian ini faktor pengetahuan ada hubungan

dengan kejadian DBD sebanyak 60% pengetahuan responden tidak

baik, maka saran yang dapat diberikan kepada responden adalah :


67

1) Menambah pengetahuan dengan membaca buku, koran, menonton

televisi atau apapun yang berhubungan tentang DBD

2) Mengikuti penyuluhan yang di selenggarakan oleh intansi

kesehatan.

d. Tindakan

Tindakan adalah seseorang yang mengetahui stimulus atau objek

kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa

yang diketahui, proses selanjutnya melaksanankan atau mempraktikkan

apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik) (Notoatmodjo, 2012).

Tindakan merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan sikap yang

dimanifestasikan sebagai suatu tindakan seseorang dari stimulus

tertentu, termasuk tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam

Berdarah Dengue. Untuk terwujudnya sikap menjadi tindakan nyata

diperlukan suatu faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan

diantaranya adalah pengetahuan yang baik dan sikap yang positif

sehingga kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah

Dengue yang dilakukan akan terlaksana dengan baik.

Diketahui hasil penelitian tentang tindakan di 70 responden,

sebanyak 80% responden yang tindakan nya tidak baik dan sebanyak

20% responden yang tindakan nya baik.Berdasarkan dari hasil uji

statistik menggunakan Chi-square, diperoleh P-value 0,765 karena P-

value >0,05 maka Ho gagal ditolak, artinya tidak ada hubungan yang

bermakna antara tindakan dengan kejadian DBD.


68

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Veronika tahun 2001 dan Sri

wahyuni tahun 1999 di Kelurahan Padang Bulan, yang menyatakan

bahwa sebagian besar responden yang memiliki tindakan tidak baik

berpotensi terkena DBD.

Hasil penelitian Mara Ipa,dkk dengan judul gambaran

pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat serta hubungannya dengan

kejadian demam berdarah dengue di Kecamatan Pangandaran

Kabupaten Ciamis, menunjukkan meskipun tingkat pengetahuan dan

sikap sudah baik namun tidak diikuti dengan tindakan dalam

pencegahan dan pengendalian DBD, tidak memberikan dampak yang

signifikan terhadap jumlah kasus.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni

dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan

beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu. Pengukuran juga dapat dilakukan

secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan

responden (Notoatmodjo, 2007).

e. Frekuensi pengurasan TPA

Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan

secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak

dapat berkembangbiak di tempat itu. Pada saat ini telah dikenal pula

istilah ”3M” plus, yaitu kegiatan 3M yang diperluas. Bila PSN DBD

dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi nyamuk Aedes


69

aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga penularan DBD

tidak terjadi lagi (Depkes RI, 2005).

Kemauan dan tingkat kedisiplinan untuk menguras kontainer

pada masyarakat memang perlu ditingkatkan, mengingat bahwa

kebersihan air selain untuk kesehatan manusia juga untuk menciptakan

kondisi bersih lingkungan. Dengan kebersihan lingkungan diharapkan

dapat menekan terjadinya berbagai penyakit yang timbul akibat dari

lingkungan yang tidak bersih.

Diketahui hasil penelitian ini tentang frekuensi pengurasan pada

kontainer di 70 rumah kasus dan kontrol, sebanyak 20% TMS dan

sebanyak 80% MS.

Berdasarkan dari hasil uji statistik menggunakan Chi-square,

diperoleh P-value 0,370 karena P-value > 0,05 maka Ho gagal ditolak,

artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi pengurasan

pada kontainer dengan kejadian DBD.

Menurut hasil penelitian Arsin dan Wahiduddin (2004) yang

dilakukan di Makasar tentang faktor- faktor yang berpengaruh terhadap

kejadian DBD, peneliti menyimpulkan bahwa kejadian DBD

dipengaruhi oleh:

a. Faktor keadaan lingkungan yang meliputi kondisi fasilitas TPA,

kemudahan memperoleh air bersih, pengetahuan masyarakat,

kualitas pemukiman dan pendapat keluarga.

b. Faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah

adanya kondisi fasilitas TPA yang baik yang disebabkan karena


70

pengurasannya yang lebih dari satu minggu sekali, tidak ditutup

rapat dan terdapatnya jentik pada fasilitas TPA.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Arsin dan Wahiduddin (2004) tentang faktor-faktor

yang berpengaruh terhadap kejadian demam berdarah dengue di Kota

Makasar. Hasil penelitiannya adalah faktor pengurasan kontainer

memiliki pengaruh terhadap kejadian demam berdarah dengue.

Hasil penelitian mengenai kejadian DBD dengan frekuensi

pengurasan kontainer menunjukkan bahwa frekuensi pengurasan

kontainer mempunyai hubungan terhadap kejadian DBD di Kelurahan

Ploso Kecamatan Pacitan Tahun 2009 dimana nilai p = 0,027. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Hal

ini bisa jadi disebabkan karena secara umum nyamuk meletakkan

telurnya pada dinding tempat penampungan air, oleh karena itu pada

waktu pengurasan atau pembersihan tempat penampungan air

dianjurkan menggosok atau menyikat dinding-dindingnya (Sutaryo,

2005).

Meskipun dalam penelitian ini tidak menunjukan adanya

hubungan antara frekuensi pengurasan pada kontainer dengan

kejadian DBD, namun untuk responden yang menguras <1 kali dalam

seminggu disarankan untuk:

1) Menguras >1 kali dalam seminggu dan menaburkan bubuk abate

3-4 bulan sekali pada bak mandi


71

2) Saat menguras bak mandi, gosok pada bagian sudut dan

permukaan pada bak mandi

f. Kebersihan halaman rumah

Kebersihan adalah keadaan bebas dari kotoran, termasuk di

antaranya, debu, sampah, dan bau. Di zaman modern, setelah Louis

Pasteur menemukan proses penularan penyakit atau infeksi disebabkan

oleh mikroba, kebersihan juga bererti bebas dari virus, bakteria

patogen, dan bahan kimia berbahaya (Wikipedia,2017).

Sampah adalah segala sesuatu yang tidak lagi dikehendaki.

Sampah ini ada yang mudah membusuk dan ada yang sulit membusuk.

Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi

efek yang langsung dan tidak langsung. Efek langsung adalah efek yang

disebabkan karena kontak langsung dengan sampah tersebut. Misalnya

sampah beracun, sampah yang korosif terhadap tubuh, dan

karsinogenik. Efek tidak langsung dapat dirasakan masyarakat akibat

proses pembusukan, dan pembuangan sampah. Efek tidak langsung lain

misalnya berupa vektor yang dapat berkembangbiak di dalam sampah

salah satunya adalah nyamuk Aedes aegypti sehingga penularan

penyakit DBD semakin luas (Soemirat Slamet, 2002).

Diketahui hasil penelitian ini tentang kebersihan halaman rumah

di 70 rumah kasus dan kontrol, sebanyak 54,3% halaman rumah

responden yang ada sampah dan 45,7% halaman rumah responden yang

tidak ada sampah.


72

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan Chi-square,

diperoleh P-value 0,093 karena P-value > 0,05 maka Ho gagal ditolak,

artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara kebersihan halaman

rumah dengan kejadian DBD.

Hasil penelitian ini sejalan dengan peneltian yang dilakukan

oleh Radita dewi pertiwi tentang faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian demam berdarah dengue. Hasil penelitiannya

menyatakan bahwa lingkungan sosial atau kebiasaan masyarakat dan

kurang memperhatikan kebersihan lingkungan seperti halaman rumah

maka akan menimbulkan risiko terjadinya transmisi penularan penyakit

DBD di dalam masyarakat.

Meskipun dalam penelitian ini tidak menunjukan adanya

hubungan antara kebersihan halaman rumah dengan kejadian DBD,

namun untuk responden yang halaman rumahnya ada sampah

disarankan untuk:

1) Membuang sampah pada tempatnya bukan dihalaman rumah

2) Menyediakan tempat sampah diluar rumah


73

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan pada bab

sebelumnya, peneliti mengambil simpulan sebagai berikut :

1. Tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian DBD di Puskesmas

Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir Barat Tahun

2020. Didapatkan p-value sebesar 0,539.

2. Tidak ada hubungan antara pendidikan terakhir dengan kejadian DBD

di Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten

Pesisir Barat Tahun 2020. Didapatkan p-value sebesar 0,46.

3. Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian DBD di

Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir

Barat Tahun 2020. Didapatkan p-value sebesar 0,028 dengan OR

3,431 (CI 95%; 1,251-9,404). Menunjukkan bahwa pengetahuan

responden yang tidak baik memiliki 3,431 kali beresiko terkena DBD

dibandingkan dengan yang berpengetahuan baik.


74

4. Tidak ada hubungan antara tindakan dengan kejadian DBD di

Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan Kabupaten Pesisir

Barat Tahun 2020. Didapatkan p-value sebesar 0,765.

5. Tidak ada hubungan antara frekuensi pengurasan pada TPA dengan

kejadian DBD di Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan

Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020. Didapatkan p-value sebesar

0,370.

6. Terdapat hubungan antara kebersihan halaman rumah dengan

kejadian DBD di Puskesmas Krui Selatan Kecamatan Krui Selatan

Kabupaten Pesisir Barat Tahun 2020.. Didapatkan p-value sebesar

0,093 dengan OR 2,556 (CI 95%; 0,972-6,722). Menunjukkan bahwa

kebersihan halaman responden yang ada sampah memiliki 0,391 kali

beresiko terkena DBD dibandingkan dengan yang halamannya tidak

ada sampah.

B. Saran
1. Bagi Intansi Kesehatan
Diharapkan bagi instansi kesehatan yang terkait dalam hal ini
khususnya adalah Puskesmas Krui Selatan untuk dapat
melaksanakan penyuluhan tentang pencegahan penyakit DBD dan
hal apa yang harus dilakukan oleh resonden dalam penyuluhan
tentang 3M.

2. Bagi responden atau masyarakat

Bagi masyarakat agar melakukan tindakan pencegahan

terjadinya penyakit DBD dengan cara :


75

a. Menjaga kebersihan lingkungan agar tetap bersih

b. Menguras kontainer ≥ 2 kali dalam seminggu

c. Menaburkan bubuk abate pada tempat penampungan air yang

sulit untuk dikuras 3-4 bulan sekali

d. Menambah pengetahuan responden tentang DBD

e. Menaruh ikan pemakan jentik pada bak mandi

f. Menggunakan lotion dan kelambu saat ingin tidur

g. Melakukan 3M secara berkala

h. Menutup tempat penampungan air bersih.

i. Membuang sampah pada tempatnya bukan dihalaman rumah.

j. Menyediakan tempat sampah diluar rumah.

Anda mungkin juga menyukai