ASKEP POPULASI RENTAN PENYAKIT MENTAL DAN KECACATAN1.doc-dikonversi
ASKEP POPULASI RENTAN PENYAKIT MENTAL DAN KECACATAN1.doc-dikonversi
DAN KECACATAN
KEPERAWATAN KOMUNITAS II
Dosen Pengampu: Ns. Sang Ayu Made Adyani M.Kep.
Disusun oleh:
Triyono 1710711086
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-
Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah Asuhan Keperawatan Komunitas
Populasi Rentan: Penyakit Mental dan Kecacatan ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas yang diberikan dosen mata kuliah Keperawatan
Komunitas II.
Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan masukan dari semua
pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk dapat menyelesaikan makalah ini baik
itu secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari isi makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, baik dari segi
kalimat, isi, maupun dalam penyusunan. Oleh karen itu, kritik dan saran yang membangun dari
dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan semuanya, sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya.
Kelompok
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
I.1. Latar Belakang..................................................................................................................1
I.2. Rumusan Masalah.............................................................................................................1
I.3. Tujuan...............................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
TINJAUAN TEORI.........................................................................................................................3
II.1.1. Pengertian Populasi Rentan...........................................................................................3
II.1.2. Pengertian Gangguan Mental........................................................................................4
II.1.3. Resiko Tinggi Populasi Rentan.....................................................................................5
II.1.4. Macam-Macam Gangguan Mental..............................................................................16
II.1.5. Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Mental...........................................................19
II.1.6. Peran Perawat Jiwa Komunitas...................................................................................21
II.1.7. Kebijakan Pemerintah Terkait.....................................................................................25
II.1.8. Askep Jiwa Komunitas................................................................................................31
II.2.1 Konsep Teori Difabel..................................................................................................33
II.2.2 Prevalensi Difabel di Indonesia...................................................................................35
II.2.3 Karakteristik Difabel...................................................................................................36
II.2.4 Status Kesehatan dan Penyebab Difabel.....................................................................37
II.2.5 Proses Terjadinya Difabel............................................................................................37
II.2.6 Ragam Penyandang Disabilitas...................................................................................38
II.2.7 Keluarga dan Respon Pelaku Rawat Terhadap Anak dengan Difabel.........................39
II.2.8 Hasil Penelitian Dikeluarga.........................................................................................40
II.2.9 Klien yang berwawasan luas dan perawat yang berwawasan luas..............................40
II.2.10 Strategi Perawat Kesehatan Komunitas dalam Merawat Penyandang Difabel...........41
BAB III..........................................................................................................................................50
PENUTUP.....................................................................................................................................50
III.1 Kesimpulan.....................................................................................................................50
III.2 Saran................................................................................................................................50
BAB I
PENDAHULUAN
1
6. Bagaimana peran perawat jiwa komunitas?
7. Bagaimana kebijakan pemerintah terkait?
8. Bagaimana askep jiwa komunitas?
I.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mengetahui tentang konsep asuhan keperawatan komunitas populasi rentan: penyakit
mental.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian populasi rentan.
2. Untuk mengetahui pengertian gangguan mental.
3. Untuk mengetahui resiko tinggi populasi rentan.
4. Untuk mengetahui macam-macam gangguan mental.
5. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi gangguan mental.
6. Untuk mengetahui peran perawat jiwa komunitas.
7. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah terkait.
8. Untuk mengetahui askep jiwa komunitas.
BAB II
TINJAUAN TEORI
b. Remaja
Riskesdas 2007 menemukan bahwa 8,7% penduduk usia 15-24 tahun menderita
gangguan mental emosional dan prevalensi nasional gangguan mental emosional
pada penduduk yang berumur ≥ 15 tahun adalah 11,6%. Prevalensi ini bervariasi
antarprovinsi dengan kisaran antara 5,1% sampai dengan 20,0% Prevalensi tertinggi
di Provinsi Jawa Barat (20,0%) dan yang terendah terdapat di Provinsi Kep. Riau
(5,1%). Hasil SKRT yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Depkes tahun 1995, menunjukkan 140 dari 1000 Anggota Rumah
Tangga yang berusia ≥ 15 tahun mengalami gangguan mental emosional (Riskesdas
2007, 2008:119) Permasalahan remaja sering terjadi pada proses pencarian jati diri.
Identitas diri merupakan isu paling penting dalam dunia remaja. Proses
pembentukan identitas diri remaja ini berlangsung dalam konteks keluarga dan
teman sebaya (Faturochman,2012:113). Hal ini terkait dengan bagaimana ia
menampilkan diri, dengan siapa ia harus bergaul, dan bagaimana ia ingin diterima
oleh lingkungannya. Dengan membentuk identitas diri yang positif, remaja
diharapkan menjadi pribadi yang positif pula, tidak terjerumus pada perilaku
menyimpang, seperti tawuran, seks bebas, penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif,
dan tindak kriminal lain. Di Kota Gorontalo ditemukan peningkatan jumlah tawuran
pelajar yang sebelumnya tidak terjadi di daerah ini. Fakta tersebut juga merupakan
indikasi tingkat gangguan emosi. Saat ini juga kesenjangan sosial semakin tinggi
dan banyaknya terjadi masalah-masalah sosial.
c. Lansia
Kelompok masyarakat lansia sering mengalami kecemasan karena penurunan
fungsi fisik dan mentalnya. Oleh karena itu lansia rentan terhadap permasalahan
kejiwaan. Jumlah lansia sendiri cukup besar di Indonesia. WHO memprediksikan
bahwa pada tahun 2020 jumlah lansia Indonesia akan menjadi yang terbesar di
dunia dengan angka 11,34% (Febriani,2012). Batasan usia lansia di Indonesia
adalah 60 tahun ke atas. Secara biologis, lansia akan mengalami penurunan dalam
kekuatan otot, fungsi sensor, dan fungsi tubuh. Selain itu, lansia juga mempunyai
kemungkinan besar terserang berbagai penyakit karena menurunnya daya tahan
fisik, antara lain arthrisis, osteoporosis, reumatik, sinus kronis, diabetes, masalah
tulang punggung, penyakit paru-paru dan penyakit jantung (Rejeski & Focht, 2002;
Santrock, 2002). Perubahan kondisi fisik ini akan berdampak pada perubahan
fungsi kognitif lansia karena adanya penurunan volume otak dan perubahan sel
syaraf (Salat, dkk.,2000). Mereka akhirnya mengalami hambatan dalam beraktivitas
fisik secara optimal sehingga lebih pesimis dalam memandang hidup, memiliki
persepsi negatif terhadap kesehatan, dan memiliki kualitas hidup yang kurang baik.
Kondisi di atas menunjukkan tendensi depresi pada lansia.
Depresi sendiri merupakan penyebab utama tindakan bunuh diri. Prevalensi
depresi pada lansia di dunia berkisar sekitar 8 – 15% dan hasil meta analisis dari
laporanlaporan negara di dunia adalah 13,5% dengan perbandingan wanita dan pria
14,1:8,6. Prevalensi depresi pada lansia yang menjalani perawatan di RS dan Panti
Perawatan yaitu sebesar 30-45%. Perempuan lebih banyak menderita depresi
(Chaplin & Prabova Royanti, 1998). Kaplan & Sadock (1997) mengemukakan
bahwa gejala depresi ditemukan pada 25% dari semua penduduk komunitas lansia
dan pasien rumah perawatan, jadi depresi tidak hanya disebabkan faktor usia tetapi
juga karena faktor lain seperti kehilangan keluarga dan penyakit kronik yang
diderita. Depresi pada lansia bukan merupakan proses penuaan yang normal.
Riskesdas 2007 menunjukkan kecenderungan semakin tua usia responden maka
semakin terganggu mental emosionalnya yaitu 33,7% masyarakat usia 65-74
menderita gangguan mental emosional. Pada lansia gejala-gejala depresi sering sulit
untuk diamati karena terselubung oleh kondisi medis lain sehingga sulit untuk
didiagnosa. Akibatnya, lansia yang menderita depresi tidak akan diterapi dengan
cepat dan tepat sehingga depresi akan bertambah parah dan dapat menimbulkan
ketidakmampuan (disability), memperburuk kondisi medis, dan meningkatkan
risiko bunuh diri (AAGP, 2007 cit Richy, 2007).
b. Pengangguran
Terlepas dari masalah pendapatan, pekerjaan memiliki banyak keuntungan
non-finansial, misalnya waktu yang terstruktur, status sosial dan identitas, kontak
sosial, tujuan kolektif, juga aktivitas (Jahoda, 1979, dalam Marcus, 2012). Tidak
bekerja menyebabkan kehilangan uang dan keuntungan nonfinansial lain, dan
kehilangan ini juga memengaruhi anggota rumah tangga. Pasangan dari
pengangguran harus menghadapi penurunan pemasukan rumah tangga, pasangan
yang depresi, kehadiran pasangan di rumah yang membuat tidak nyaman, juga
menurunkan status sosial. Bagi pasangan, konsekuensi kehilangan pekerjaan ini
dapat menyebabkan gejala depresi dan isu kesehatan jiwa lainnya (Marcus, 2012:1).
Berdasarkan data di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, sebanyak
70% penderita sakit jiwa berasal dari kalangan pengangguran.4 Tingginya angka
penderita sakit jiwa akibat pengangguran merupakan sebuah bentuk stres
sosial.5 Laporan “Equality and Inequalities in Health and Social Care: A Statistical
Overview” juga menemukan bahwa pengangguran lebih berisiko mendapat
penyakit psikologis (30%) daripada mereka yang secara ekonomi tidak aktif (25%)
atau yang bekerja (16%).6 Hal ini sesuai dengan data Riskesdas 2007 yang
menyebutkan bahwa orang yang tidak bekerja memiliki prosentase potensi
gangguan emosi paling tinggi dengan 19,6%, sedangkan yang paling rendah
gangguannya adalah pegawai dengan 6,3%. Penelitian menunjukkan bahwa
pengangguran dan mereka yang tidak aktif secara ekonomi terkait dengan
peningkatan risiko masalah kesehatan jiwa. Pengangguran, terutama dalam jangka
panjang, diasosiasikan dengan faktor-faktor seperti eksklusi sosial, kemiskinan,
kondisi perumahan yang buruk, pendidikan yang rendah dan perilaku nekad
(misalnya: penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan). Pengangguran dapat menjadi
penyebab sekaligus konsekuensi dari permasalahan kesehatan jiwa. National
Alliance on Mental Illness menguatkan data di atas dengan menyatakan bahwa
tingkat pengangguran orang dewasa dengan penyakit kejiwaan adalah 3 sampai 5
kali lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki penyakit jiwa.
c. Cacat
WHO menggunakan istilah “disabilitas” untuk mendefinisikan kondisi yang
meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan
adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan
kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas
atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami
oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah
sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh
seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.
Penyandang cacat yang mendapatkannya dari lahir maupun setelah dewasa,
rentan terhadap gangguan kejiwaan karena perasaan kurang lengkapnya dirinya.
Cacat fisik sering dikaitkan dengan kehilangan kepercayaan diri jika penderitanya
tidak mampu mengalahkan perasaan inferioritas. Orang cacat berisiko mengalami
stres sebesar 52% jika dibandingkan dengan orang yang tidak cacat (34%). Lebih
jauh lagi, wanita cacat berisiko mengalami stres dalam 12 bulan sebesar 44%
dibandingkan dengan pria yang hanya memiliki tingkat risiko 34% (DHSSPS,
2004:126).
1) Faktor organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.
2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan
hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu
mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya. Maka
struktur kepribadian dan pemasukan dari pengalaman-pengalaman dengan cara yang
keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama apabila beban psikis ternyata
jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.
3) Faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan dan
modernisasi, arus urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan problem yang dihadapi
masyarakat modern menjadi sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan sosial dan arus modernisasi menjadi sangat sulit. Banyak orang
mengalami frustasi, konflik batin dan konflik terbuka dengan orang lain, serta menderita
macam-macam gangguan psikis.
1) Faktor biologi
Selama berabad-abad lamanya, gangguan jiwa dianggap sebagai suatu penyakit yang
harus dirawat di rumah sakit atau panti rehabilitasi mental. Penelitian neurosains telah
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang biologi gangguan jiwa; namun banyak
pertanyaan yang masih belum terjawab. Faktor biologis yang terkait dengan gangguan
jiwa termasuk faktor genetic, neurotransmisi, dan kelainan struktur otak dan fungsi
2) Faktor genetic
Ekspresi genetic, dikombinasikan dengan perubahan neurokimia dan metabolisme
serta stressor lingkungan yang dapat mengakibatkan munculnya gangguan jiwa. Uji
genetika dan konseling berusaha memahami kompleksitas terkait variasi gen, struktur
otak, dan respon fisiologis terhadap pengolahan informasi (Baune & Thome, 2011).
Ada faktor herditer terjadinya gangguan jiwa, yang menyatakan orang yang memiliki
anggota keluarga dengan gangguan jiwa cenderung untuk mengalami gangguan jiwa
juga. Para ahli percaya bahwa banyak gangguan jiwa berkaitan dengan kelainan di
banyak gen, bukan hanya satu. Seseorang mungkin mewarisi kerentanan terhadap
gangguan jiwa namun tidak selalu menderita gangguan jiwa juga. Gangguan jiwa lebih
mungkin terkait akibat interaksi faktor multiple genetic dan beberapa faktor lain, seperti
stress, penyalahgunaan (obat/alcohol), namun peristiwa traumatis. Faktor-faktor ini dapat
mempengaruhi, memicu, atau memperburuk penyakit pada orang yang memiliki
kerentanan yang diwariskan tersebut.
4) Faktor sosial
Beberapa kejadian dan fenomena masyarakat, seperti penembakan di sekolah,
pengeboman, intmidasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan peristiwa tragis lainnya,
telah mengidentifikasi kesenjangan kritis di masyarakat yang membutuhkan penyuluhan
masyarakat, advokasi, dan penatalaksanaan gangguan jiwa (Bazelon Pusat, 2013).
Sepanjang sejarah, gejala gangguan jiwa telah dianggap sebagai sesuatu yang
permanen, berbahaya, menakutkan, dan memalukan. Orang dengan gangguan jiwa
digambarkan sebagai pemalas, pengangguran, lemah, tidak bermoral, tidak rasional, dan
seringkali dianggap sebagai criminal. Berdasarkan hal dan asumsi tersebut, banyak orang
dengan gangguan jiwa (ODGJ) telah mengalami penolakan sosial yang luas yang dapat
menyebabkan isolasi dan stigma sosial yang lebih parah (Kondrat & Early, 2011).
Masalah sosial lainnya adalah kecenderungan masyarakat untuk memanfaatkan
penjara daripada rumah sakit jiwa sebagai solusi untuk masalah “kesehatan jiwa”.
Mereka (narapidana) cenderung memiliki masalah kesehatan jiwa dan kecanduan
dibandingkan masyarakat pada umumnya. Kebanyakan individu tersebut tidak memiliki
akses terhadap pengobatan untuk masalah ini di luar penjara.
Sekitar separuh dari semua penghuni penjara memiliki masalah kesehatan jiwa, dan
sekitar 65% memenuhi kriteria medis untuk penyalahgunaan alcohol dan narkoba dan
kecanduan. Sayangnya penjara sangat tidak siap untuk memberikan perawatan yang
memadai untuk orang yang mengalami gangguan jiwa.
b. Preventif
Upaya preventif merupakan suatu kegiatan untuk mencegah terjadinya
masalah kejiwaan dan gangguan jiwa.
Upaya preventif Kesehatan Jiwa ditujukan untuk:
1) Mencegah terjadinya masalah kejiwaan
2) Mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa
3) Mengurangi faktor risiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara
umum atau perorangan; dan/atau
4) Mencegah timbulnya dampak masalah psikososial.
2) Lembaga
Upaya preventif di lingkungan lembaga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf b dilaksanakan dalam bentuk: a. menciptakan lingkungan
lembaga yang kondusif bagi perkembangan Kesehatan Jiwa; b.
memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan
gangguan jiwa; dan c. menyediakan dukungan psikososial dan Kesehatan
Jiwa di lingkungan lembaga
3) Masyarakat.
Upaya preventif di lingkungan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk:
a) Menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif;
b) Memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai
pencegahan gangguan jiwa; dan
c) Menyediakan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan.
c. Kuratif
Upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayanan kesehatan
terhadap ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang
tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar di lingkungan
keluarga, lembaga, dan masyarakat.
Upaya kuratif Kesehatan Jiwa ditujukan untuk:
1) Penyembuhan atau pemulihan;
2) Pengurangan penderitaan;
3) Pengendalian disabilitas; dan
4) Pengendalian gejala penyakit.
Proses penegakan diagnosis terhadap orang yang diduga ODGJ dilakukan
untuk menentukan:
1) Kondisi kejiwaan; dan
2) Tindak lanjut penatalaksanaan.
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan kriteria diagnostik oleh:
1) Dokter umum
2) Psikolog; atau
3) Dokter spesialis kedokteran jiwa.
d. Rehabilitatif
Upaya rehabilitatif Kesehatan Jiwa merupakan kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan Kesehatan Jiwa yang ditujukan untuk:
1) Mencegah atau mengendalikan disabilitas;
2) Memulihkan fungsi sosial;
3) Memulihkan fungsi okupasional; dan
4) Mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di
masyarakat.
Upaya rehabilitatif ODGJ meliputi:
1) Rehabilitasi psikiatrik dan/atau psikososial; dan
2) Rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi psikiatrik dan/atau psikososial dan rehabilitasi sosial ODGJ
dapat merupakan upaya yang tidak terpisahkan satu sama lain dan
berkesinambungan.
Upaya rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif,
atau koersif, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun panti sosial. Upaya
rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk:
1) Motivasi dan diagnosis psikososial;
2) Perawatan dan pengasuhan;
3) Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
4) Bimbingan mental spiritual;
5) Bimbingan fisik;
6) Bimbingan sosial dan konseling psikososial;
7) Pelayanan aksesibilitas;
8) Bantuan sosial dan asistensi sosial;
9) Bimbingan resosialisasi;
10) Bimbingan lanjut; dan/atau
11) Rujukan.
Rehabilitasi sosial dilaksanakan di panti sosial milik:
1) Pemerintah;
2) Pemerintah Daerah; atau
3) Swasta.
ODGJ yang mendapatkan rehabilitasi sosial tetap berhak mendapatkan
rehabilitasi psikiatrik dan/atau rehabilitasi psikososial serta mempunyai akses
terhadap pelayanan dan obat psikofarmaka sesuai kebutuhan. Fasilitas
pelayanan di luar sektor kesehatan yang tidak memberikan akses terhadap
pelayanan kesehatan dan obat psikofarmaka terhadap ODGJ dikenai sanksi
administratif berupa:
a) Teguran lisan;
b) Teguran tertulis;
c) Pembekuan kegiatan;
d) Pencabutan izin; atau
e) Penutupan.
a) Teguran lisan;
b) Teguran tertulis;
c) Pembekuan kegiatan;
d) Pencabutan izin; atau
e) Penutupan
2. Perencanaan
Pelaksanaan peran perawat: Case Finder, Helath Educator, Counselor, Direct care,
Provider, Population health advocate, Community assessor and developer, monitor
and evaluator of case, case manager, advocate, health program planner,
participant in developing health policies.
Client empowerment and health education
Menerapkan tingkat-tingkat pencegahan
Promosi perubahan pola hidup
3. Evaluasi
Evaluasi berfokus pada pencapaian tujuan
Evaluasi dilakukan untuk membuat intervensi menjadi lebih efektif
Evaluasi dilakukan jika suatu kegiatan selesai dilakukan jika suatu kegiatan selesai
dilaksanakan
1. Pengkajian
a. Individu
Penampilan Fisik
Perilaku dan aktivitas fisik
Sikap terhadap perawat
Mood
Afek (Respon Emosional)
Cara Bicara
Gangguan Persepsi
Isi dan Alur Pikir
Tingkat Kesadaran
Orientasi
Memory
b. Lingkungan
c. Untuk keseluruhan anggota keluarga dan komunitas
Adakah alat pengkajian khusus untuk kesehatan mental yang digunakan?
Area resiko yang harus diperhatikan perawat
Obat-obatan yang digunakan oleh klien.
Kekuatan individu dan keluarga, keterampilan penyelesaian masalah
Pengaruh budaya yang perlu diperhatikan.
2. Diagnosis Keperawatan
Untuk Individu
Untuk Keluarga
3. Rencana Keperawatan
Meliputi pencegahan primer, sekunder dan tersier.
4. Implementasi dan Evaluasi
Sesuaikan dengan diagnosis keperawatan dan rencana.
Yang dapat dilakukan dan tidak boleh dilakukan untuk berinteraksi dengan orang difabel
Takut bercanda atau menyinggung orang Hormati kursi roda sebagai ruang pribadi
seseorang
Takut mengajukan pertanyaan Menginformasikan orang yang hadir,
mengucapkan selamat tinggal ketika pergi.
Ulangi dengan keras apa yang ingin anda Mengakui ahwa manusia sebagai makluk
katakan holistik
Asumsikan bahwa asuhan orang tua yang Menghadap orang, berbicara jelas dan
buruk menjadikan perilaku anak sedikit lebih lambat.
Asumsikan difabel dan kegagalan untuk
disembuhkan mencerminkan dosa yang
belum terselesaikan
Difabel fisik, difabel sensorik ( misalnya, tuli atau buta ), difabel intelektual
( yaitu, pilihan terminologi untuk keterbelakangan mental ), gangguan emosi yang serius,
ketidakmampuan belajar, sensitifitas bahan kimia dan lingkungan, dan masalah kesehatan
seperti Acquired Immuno Deficiency Syndrome ( AIDS ) dan asma adalah contoh dari
difabel yang secara substansial membatasi setidaknya satu kegiatan besar dalam hidup
seseorang. Aktifitas kehidupan utama termasuk kemampuan bernapas, berjalan, melihat,
mendengar, berbicara, bekerja, merawat diri sendiri, melakukan tugas-tugas manual, dan
belajar.
II.2.7 Keluarga dan Respon Pelaku Rawat Terhadap Anak dengan Difabel
Tanggapan saudara ke kakak/adik yang menderita difabel dapat dipengaruhi oleh
faktor faktor seperti usia saudara kandung, sumber strategi koping, kekuatan hubungan
dengan teman sebaya, persepsi beban orang tua dalam merawat anak difabel, keinginan
saudara untuk melindungi orang tua dari keprihatinan mereka tentang difabel, dan
dampak dari anak yang difabel mempengaruhi rencana keluarga dan kegiatan sosial.
Ulric dan Bauer (2003) mengusulkan bahwa penyesuaian pengalaman difabel
terjadi pada empat tingkat dengan orang tua secara bertahap menjadi sadar akan dampak
difabel anak mereka. Tingkat ini fase burung unta, ketika orang tua tidak menyangkal
difabel tetapi juga tidak sepenuhnya menyadari dampaknya; peruntukan khusus, ketika
orang tua mulai menyadari anak mereka memiliki kebutuhan khusus dan mencari
bantuan; normalisasi , ketika orang tua mencoba untuk membuat perbedaaan antara anak
dan anak-anak mereka tanpa difabel kurang jelas dan benar-benar dapat meminta
pengurangan layanan dan aktualisasi diri; ketika orang tua melihat menjadi berbeda tidak
lebih baik atau lebih buruk, hanya berbeda, dan hanya mendukung anak mereka untuk
belajar tentang difabel, bersama dengan bagaimana menjadi diri advokat, tingkat
penyesuaian menggambarkan, peluang kunci bagi perawat untuk mendukung orang tua
dengan pendidikan dan arahan kepada masyarakat dan sumber daya online. Perawat juga
dapat mendorong orang tua dari anak dengan difabel untuk terhubung dengan keluarga.,
anggota yang membuat perbedaan besar jika mereka memberikan dukungan yang tepat.
II.2.9 Klien yang berwawasan luas dan perawat yang berwawasan luas
Seseorang yang hidup dengan difabel terbiasa menjadi seseorang yang ahli untuk
mengetahui apa yang terbaik bagi tubuhnya. Kasus ini berbeda secara signifikan dari
orang dengan cidera yang menghasilkan difabel baruatau orang tua daru seorang anak
dengan difabel yang baru terdiagnosis yang membutuhkan informasi dan waktu untuk
beradaptasi dengan kecacatan. Model intersystem (Artinian Bart dan Conger, 2011)
mengacu pada orang pertama digambarkan sebagai klien yang berwawasan luas. Dalam
hal ini klien telah hidup dengan kondisi difabel untuk waktu yang panjang dan telah
menjadi peka terhadap kebutuhan atau tubuhnya.
Perawat harus meminta klien apa yang terbaik untuk dia dan tujuan apa yang ingin
klien sedang capai. Klien ingin perawat untuk mendengarkan keprihatinannya dan dapat
mengambil manfaat dari rujukan ke sumber daya yang berhubungan dengan kesehatan.
Namun jika perawat mencoba untuk memberitahu klien ini apa yang harus
dilakukan, klien dapat marah dan mencar bantuan ditempat lain.
Klien dalam situasi kedua membutuhkan layanan dari perawat berpengetahuan
klien yang baru didiagnosisi bisa mendapatkan keuntungan dari informasii perawat
tentang difabel dan masyarakat yang tersedia dan sumber daya pemerinntah. Jika perawat
tidak dapat mengelola difabel dan menerima dirinya sediri sebagai orang difabel, perawat
dapat berkompromi beradaptasi dengan klien dan berinteraksi antara klien/perawat di
masa depan.
Kolaborasi aktif dari klien dan perawat diperlukan untuk mengembangkan
rencana keperawatan baik dan akan diterima. Kadang-kadang perawat harus lebih
fleksibel dalam harapannya. Dalam analisis akhir, klien akan mencapai hanya apa yang
dia setuju untuk menyelesaikan sebagai salah satu yang diamati oleh perawat.
Sensitivitas adalah mampu mendengarkan, mampu mendengar keluarga, mampu
menanggapi dimana mereka berada. Tidak agenda anda sendiri, dan itu sangat keras
untuk perawat. Apa yang anda pikirkan perlu anda lakukan untuk perawatan kesehatan
dan anda benar-benar kehilangan jejak dimana keluarga adalah mereka mungkin tidak
melakukannya dengan cara yang kita inginkan. Tapi mereka ahli dalam perawatan anak
mereka sendiri (Treloar, 1999)
Peran perawat harus mencerminkan kebutuhan dan sumber daya klien dan
keluarganya. Data dari wawancara yang dilakukan dengan perawat yang memberikan
perawatan kepada difabel menggambarkan prinsip-prinsip berikut (Treolar,1999) :
1. Riwayat Keluarga :
- Gangguan genetik yang berhubungan dengan kerusakan pendengaran atau
berbicara.
- Anggota keluarga, khususnya saudara ataupun orang tua dengan gangguan
pendengaran atau bicara.
2. Riwayat Prenatal :
- Keguguran/abortus
- Penyakita yang menyeratai kehamilan (rubella, sifilis, diabetes)
- Pengobatan yang diperoleh selama kehamilan
- Eklamsia
3. Riwayat Persalinan :
- Durasi persalinan, tipe persalinan
- Gawat janin
- Presentasi (terutama letak sungsang)
- Pengobatan yang digunakan
- Ketidakcocokan darah
4. Riwayat Kelahiran
- Berat badan lahir < 1500 g
- Hiperbilirubinemia yang berlebihan merupakan indikasi untuk exchange
transfusi
- Asfiksia berat
- Prematuritas
- Infeksi virus perinatal kongenital (sitomegalivirus, rubela, herpes, sifilis,
toksoplasmosis)
- Anomali kongenital yang mengenai kepala dan leher
6. Perkembangan Pendengaran
- Kekhawatiran orang tua mengenai kerusakan pendengan (apa petunjuknya
serta usia berapa)
- Respon terhadap suara, bising yang keras, bunyi dengan frekuensi yang
berbeda.
- Akibat pengujian audiometrik sebelumnya
7. Perkembangan Bicara
- Usia berguman, kata pertama yang bermakna dan frase
- Kejelasan bicara
- Perbendaharaan kata terakhir
8. Perkembangan Motorik
- Usia duduk, berdiri dan berjalan
- Tingkat kemandirian dalam perawatan diri, makan, toileting, dan berdandan
9. Perilaku Adaptif
- Aktivitas bermain
- Sosialisasi dengan anak lain
- Perilaku; tempertranum, menyerang, self-vexation, stimulus fibrasi
- Pencapaian pendidikan
- Perilaku terbaru/atau perubahan kepribadian
c) Intervensi
d) Implementasi
1) Pencegahan Primer
o Makan makanan yang lebih banyak mengandung asam amino sulfur dan
menggunakan banyak bumbu, tumerik dan curcumin
2) Pencegahan sekunder
3) Pencegahan Tersier
e) Evaluasi
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum
dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan
antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan
lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial.
Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki
peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan.
Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan
semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan
merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu
secara optimal, dan yang selaras dengan perkembangan orang lain.
III.2 Saran
Untuk mendapatkan manfaat yang sempurna dari makalah yang kelompok buat ini,
hendaknya pembaca memberikan kritik dan saran serta melakukan pengkajian ulang
(diskusi) terhadap penulisan sehingga kelompok terhindar dari kekeliruan.
DAFTAR PUSTAKA
Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-V.
Cetakan 2 Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya. Jakarta:
PT Nuh Jaya.
Nies, Mary A dan Melanie McEwen. 2015. Keperawatan Kesehatan Komunitas dan Keluarga,
edisi Indonesia pertama. Singapore: ELSEVIER