Anda di halaman 1dari 56

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS POPULASI RENTAN: PENYAKIT MENTAL

DAN KECACATAN
KEPERAWATAN KOMUNITAS II
Dosen Pengampu: Ns. Sang Ayu Made Adyani M.Kep.
Disusun oleh:

Indah Burdah Sari 1710711072

Aldin Aditya Fareza 1710711075

Nurul Fatihah Auliani 1710711076

Husna Maharani 1710711078

Riski Dwiana 1710711080

Ghina Regiana 1710711082

Triyono 1710711086

Anggia Nur 'Ardhia Safitri 1710711104

Nurhidayah Perwaningsih 1710711113

Christin Natalia 1710711126

Stephanie Ester Rosalia S 1710711133

Ayu Indah Puspitasari 1710711137

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2020

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-
Nya kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah Asuhan Keperawatan Komunitas
Populasi Rentan: Penyakit Mental dan Kecacatan ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas yang diberikan dosen mata kuliah Keperawatan
Komunitas II.
Pada kesempatan ini juga kami berterima kasih atas bimbingan dan masukan dari semua
pihak yang telah memberi kami bantuan wawasan untuk dapat menyelesaikan makalah ini baik
itu secara langsung maupun tidak langsung.
Kami menyadari isi makalah ini masih jauh dari kategori sempurna, baik dari segi
kalimat, isi, maupun dalam penyusunan. Oleh karen itu, kritik dan saran yang membangun dari
dosen mata kuliah yang bersangkutan dan rekan-rekan semuanya, sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dan makalah-makalah selanjutnya.

Depok, Maret 2020

Kelompok

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................................ii
BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
I.1. Latar Belakang..................................................................................................................1
I.2. Rumusan Masalah.............................................................................................................1
I.3. Tujuan...............................................................................................................................2
BAB II.............................................................................................................................................3
TINJAUAN TEORI.........................................................................................................................3
II.1.1. Pengertian Populasi Rentan...........................................................................................3
II.1.2. Pengertian Gangguan Mental........................................................................................4
II.1.3. Resiko Tinggi Populasi Rentan.....................................................................................5
II.1.4. Macam-Macam Gangguan Mental..............................................................................16
II.1.5. Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Mental...........................................................19
II.1.6. Peran Perawat Jiwa Komunitas...................................................................................21
II.1.7. Kebijakan Pemerintah Terkait.....................................................................................25
II.1.8. Askep Jiwa Komunitas................................................................................................31
II.2.1 Konsep Teori Difabel..................................................................................................33
II.2.2 Prevalensi Difabel di Indonesia...................................................................................35
II.2.3 Karakteristik Difabel...................................................................................................36
II.2.4 Status Kesehatan dan Penyebab Difabel.....................................................................37
II.2.5 Proses Terjadinya Difabel............................................................................................37
II.2.6 Ragam Penyandang Disabilitas...................................................................................38
II.2.7 Keluarga dan Respon Pelaku Rawat Terhadap Anak dengan Difabel.........................39
II.2.8 Hasil Penelitian Dikeluarga.........................................................................................40
II.2.9 Klien yang berwawasan luas dan perawat yang berwawasan luas..............................40
II.2.10 Strategi Perawat Kesehatan Komunitas dalam Merawat Penyandang Difabel...........41
BAB III..........................................................................................................................................50
PENUTUP.....................................................................................................................................50
III.1 Kesimpulan.....................................................................................................................50
III.2 Saran................................................................................................................................50
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum
dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan
antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan
lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial.
Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki
peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan.
Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah pelaksanaannya,
sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat. Disamping itu, terdapat
peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang
berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan
masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan
aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan
hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai
masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa
konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga
mempunyai dampak bagi masyarakat.

I.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian populasi rentan?
2. Apa pengertian gangguan mental?
3. Bagaimana resiko tinggi populasi rentan?
4. Apa saja macam-macam ganguan mental?
5. Apa faktor yang mempengaruhi gangguan mental?

1
6. Bagaimana peran perawat jiwa komunitas?
7. Bagaimana kebijakan pemerintah terkait?
8. Bagaimana askep jiwa komunitas?

I.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mengetahui tentang konsep asuhan keperawatan komunitas populasi rentan: penyakit
mental.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian populasi rentan.
2. Untuk mengetahui pengertian gangguan mental.
3. Untuk mengetahui resiko tinggi populasi rentan.
4. Untuk mengetahui macam-macam gangguan mental.
5. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi gangguan mental.
6. Untuk mengetahui peran perawat jiwa komunitas.
7. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah terkait.
8. Untuk mengetahui askep jiwa komunitas.
BAB II

TINJAUAN TEORI

II.1.1. Pengertian Populasi Rentan


Populasi berasal dari bahasa latin yaitu populous (rakyat, berarti penduduk). Didalam
pelajaran ekologi, populasi adalah sekelompok individu yang sejenis. Apabila kita
membicarakan populasi, haruslah disebut jenis individu yang dibicarakan dengan
menentukan batas - batas waktunya serta tempatnya. Jadi, populasi adalah kumpulan
individu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan waktu tertentu.
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum
dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan
antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan
lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial.
Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki
peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan.
Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan perundang
undangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat
beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya
tidak memberi manfaat bagi masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-
undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan
kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan
yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-
hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi
lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum
terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan
keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat.
Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan
perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39
Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat
yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kelompok masyarakat yang rentan antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir
miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference 3
disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah Refugees, Internally
Displaced Persons (IDPs), National Minorities, Migrant Workers, Indigenous Peoples,
Children dan Women.
Keberadaan kelompok rentan yang antara lain mencakup anak, kelompok perempuan
rentan, penyandang cacat, dan kelompok minoritas mempunyai arti penting dalam,
masyarakat yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Untuk memberikan gambaran
keempat kelompok masyarakat tersebut selama ini, maka penelaahan perlu diawali dengan
mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi di dalam masyarakat.
Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari kelompok
rentan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Upaya perlindungan guna
mencapai pemenuhan hak kelompok rentan telah banyak dilakukan Pemerintah bersama
masyarakat, namun masih dihadapkan pada beberapa kendala yang antara lain berupa:
kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan
baik, dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat.

II.1.2. Pengertian Gangguan Mental


Gangguan kesehatan mental bukanlah sebuah keluhan yang hanya diperoleh dari garis
keturunan. Tuntutan hidup yang berdampak pada stress berlebih akan berdampak pada
gangguan kesehatan mental yang lebih buruk.
Di berbagai pelosok Indonesia masih ditemui cara penanganan yang tidak tepat bagi
para penderita gangguan kesehatan mental. Penderita dianggap sebagai makhluk aneh yang
dapat mengancam keselamatan seseorang untuk itu penderita layak diasingkan oleh
masyarakat. Hal ini sangat mengecawakan karena dapat mengurangi kemungkinan untuk
seorang penderita pulih. Untuk itu pemberian informasi, mengedukasi masyarakat sangatlah
penting terkait kesehatan mental agar stigma yang ada di masyarakat dapat dihilangkan dan
penderita mendapatkan penanganan yang tepat. Menurut WHO, kesehatan mental
merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat
kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara
produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya.
Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan
semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan
merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu
secara optimal, dan yang selaras dengan perkembangan orang lain. Seseorang yang sehat
jiwa atau mental mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Merasa senang terhadap dirinya serta
a. Mampu menghadapi situasi
b. Mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup
c. Puas dengan kehidupannya sehari-hari
d. Mempunyai harga diri yang wajar
e. Menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan dan tidak pula merendahkan
2. Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta
a. Mampu mencintai orang lain
b. Mempunyai hubungan pribadi yang tetap
c. Dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda
d. Merasa bagian dari suatu kelompok
e. Tidak "mengakali" orang lain dan juga tidak membiarkan orang lain "mengakali"
dirinya
3. Mampu memenuhi tuntutan hidup serta
a. Menetapkan tujuan hidup yang realistis
b. Mampu mengambil keputusan
c. Mampu menerima tanggung jawab
d. Mampu merancang masa depan
e. Dapat menerima ide dan pengalaman baru

II.1.3. Resiko Tinggi Populasi Rentan


WHO menyebutkan bahwa faktor yang memengaruhi kesehatan jiwa dan gangguan
jiwa tidak hanya karena atribut individu melainkan juga karena faktor sosial, ekonomi, dan
lingkungan. Memburuknya kondisi ekonomi atau kemiskinan merupakan contoh kejadian
yang memiliki konsekuensi ke meningkatnya masalah kesehatan jiwa, yang terlihat dari
meningkatnya kecanduan alkohol atau angka bunuh diri (WHO, 2012). Penelitian tim
penyusun Rancangan UndangUndang tentang Kesehatan Jiwa menemukan penyebab
gangguan jiwa di 4 provinsi seperti pada Tabel 2 berikut:

Berdasarkan hasil temuan di atas, penulis mengidentifikasikan kelompok masyarakat


berisiko gangguan jiwa atas beberapa klasifikasi, antara lain: kelompok masyarakat
berisiko gangguan jiwa berdasarkan usia, berdasarkan kondisi psikososial, berdasarkan
kondisi ancaman dan berdasarkan kondisi fisik.

1. Kelompok Masyarakat Berisiko Gangguan Jiwa Berdasarkan Usia


a. Anak
Di kota Medan, Sumatera Utara, ditemukan bahwa masalah hubungan antara
anak dengan orang tua terutama ibu merupakan salah satu penyebab timbulnya
gangguan jiwa. Selain anak yang tinggal dengan orang tua, permasalahan sosial
anak jalanan juga menjadi perhatian pemerintah daerah karena jumlahnya terus
meningkat dan berpotensi menimbulkan masalah-masalah psikososial baru.
Sedangkan di Gorontalo, 13 kasus psikosis anak ditangani oleh psikiater di Rumah
Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloe Saboe dalam tahun 2011. Anak bergantung
pada orang dewasa dalam menjalani kehidupannya, oleh karena itu anak sering
berada pada posisi dimana mereka tidak dapat memilih perlakuan yang didapatnya.
Pada tahun 2012 saja Komisi Nasional Pelindungan Anak menerima 2.386
pengaduan kasus pelanggaran hak anak, yang diterima baik secara langsung,
maupun melalui telepon, surat menyurat dan surat elektronik. Hal ini berarti setiap
bulannya Komnas PA menerima pengaduan masyarakat kurang lebih 200 (dua
ratus) pengaduan pelanggaran terhadap hak anak. Angka ini meningkat 98% jika
dibanding dengan pengaduan masyarakat yang diterima Komnas PA pada tahun
2011 yakni berjumlah 1.234 pengaduan.
Menurut data pelanggaran hak anak yang dikumpulkan Komnas PA yang ada
di Indonesia dan layanan pengaduan lembaga tersebut, pada tahun 2011 jumlah
kasus pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 13.447.921 kasus dan pada
2012 jumlahnya meningkat 40.398.625 kasus. Disamping itu Komnas PA juga
melaporkan bahwa selama periode Januari-Juni 2012 sebanyak 12.726 anak
menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat mereka seperti orang tua
kandung/tiri/ angkat, guru, paman, kakek dan tetangga (Mulyadi, 2012:10).
Meningkatnya tindakan kekerasan terhadap anak ini menunjukkan rendahnya upaya
pelindungan anak, baik secara fisik dan psikis. Setiap penganiayaan terhadap anak
selalu berakhir dengan perubahan psikis yang dapat mengganggu proses tumbuh
kembangnya. Setiap anak harus diperlakukan sesuai dengan kebutuhannya yang
berdasarkan tahapan perkembangan jiwanya untuk memastikan tumbuh kembang
yang sempurna. Hal ini berarti bahwa anak berhak atas pola asuh yang baik,
pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya, dan lingkungan yang kondusif bagi
tumbuh kembangnya.

b. Remaja
Riskesdas 2007 menemukan bahwa 8,7% penduduk usia 15-24 tahun menderita
gangguan mental emosional dan prevalensi nasional gangguan mental emosional
pada penduduk yang berumur ≥ 15 tahun adalah 11,6%. Prevalensi ini bervariasi
antarprovinsi dengan kisaran antara 5,1% sampai dengan 20,0% Prevalensi tertinggi
di Provinsi Jawa Barat (20,0%) dan yang terendah terdapat di Provinsi Kep. Riau
(5,1%). Hasil SKRT yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Depkes tahun 1995, menunjukkan 140 dari 1000 Anggota Rumah
Tangga yang berusia ≥ 15 tahun mengalami gangguan mental emosional (Riskesdas
2007, 2008:119) Permasalahan remaja sering terjadi pada proses pencarian jati diri.
Identitas diri merupakan isu paling penting dalam dunia remaja. Proses
pembentukan identitas diri remaja ini berlangsung dalam konteks keluarga dan
teman sebaya (Faturochman,2012:113). Hal ini terkait dengan bagaimana ia
menampilkan diri, dengan siapa ia harus bergaul, dan bagaimana ia ingin diterima
oleh lingkungannya. Dengan membentuk identitas diri yang positif, remaja
diharapkan menjadi pribadi yang positif pula, tidak terjerumus pada perilaku
menyimpang, seperti tawuran, seks bebas, penyalahgunaan narkoba dan zat adiktif,
dan tindak kriminal lain. Di Kota Gorontalo ditemukan peningkatan jumlah tawuran
pelajar yang sebelumnya tidak terjadi di daerah ini. Fakta tersebut juga merupakan
indikasi tingkat gangguan emosi. Saat ini juga kesenjangan sosial semakin tinggi
dan banyaknya terjadi masalah-masalah sosial.

c. Lansia
Kelompok masyarakat lansia sering mengalami kecemasan karena penurunan
fungsi fisik dan mentalnya. Oleh karena itu lansia rentan terhadap permasalahan
kejiwaan. Jumlah lansia sendiri cukup besar di Indonesia. WHO memprediksikan
bahwa pada tahun 2020 jumlah lansia Indonesia akan menjadi yang terbesar di
dunia dengan angka 11,34% (Febriani,2012). Batasan usia lansia di Indonesia
adalah 60 tahun ke atas. Secara biologis, lansia akan mengalami penurunan dalam
kekuatan otot, fungsi sensor, dan fungsi tubuh. Selain itu, lansia juga mempunyai
kemungkinan besar terserang berbagai penyakit karena menurunnya daya tahan
fisik, antara lain arthrisis, osteoporosis, reumatik, sinus kronis, diabetes, masalah
tulang punggung, penyakit paru-paru dan penyakit jantung (Rejeski & Focht, 2002;
Santrock, 2002). Perubahan kondisi fisik ini akan berdampak pada perubahan
fungsi kognitif lansia karena adanya penurunan volume otak dan perubahan sel
syaraf (Salat, dkk.,2000). Mereka akhirnya mengalami hambatan dalam beraktivitas
fisik secara optimal sehingga lebih pesimis dalam memandang hidup, memiliki
persepsi negatif terhadap kesehatan, dan memiliki kualitas hidup yang kurang baik.
Kondisi di atas menunjukkan tendensi depresi pada lansia.
Depresi sendiri merupakan penyebab utama tindakan bunuh diri. Prevalensi
depresi pada lansia di dunia berkisar sekitar 8 – 15% dan hasil meta analisis dari
laporanlaporan negara di dunia adalah 13,5% dengan perbandingan wanita dan pria
14,1:8,6. Prevalensi depresi pada lansia yang menjalani perawatan di RS dan Panti
Perawatan yaitu sebesar 30-45%. Perempuan lebih banyak menderita depresi
(Chaplin & Prabova Royanti, 1998). Kaplan & Sadock (1997) mengemukakan
bahwa gejala depresi ditemukan pada 25% dari semua penduduk komunitas lansia
dan pasien rumah perawatan, jadi depresi tidak hanya disebabkan faktor usia tetapi
juga karena faktor lain seperti kehilangan keluarga dan penyakit kronik yang
diderita. Depresi pada lansia bukan merupakan proses penuaan yang normal.
Riskesdas 2007 menunjukkan kecenderungan semakin tua usia responden maka
semakin terganggu mental emosionalnya yaitu 33,7% masyarakat usia 65-74
menderita gangguan mental emosional. Pada lansia gejala-gejala depresi sering sulit
untuk diamati karena terselubung oleh kondisi medis lain sehingga sulit untuk
didiagnosa. Akibatnya, lansia yang menderita depresi tidak akan diterapi dengan
cepat dan tepat sehingga depresi akan bertambah parah dan dapat menimbulkan
ketidakmampuan (disability), memperburuk kondisi medis, dan meningkatkan
risiko bunuh diri (AAGP, 2007 cit Richy, 2007).

2. Kelompok Masyarakat Berisiko Gangguan Jiwa Berdasarkan Kondisi Psikososial


a. Masyarakat Miskin
Memburuknya kondisi ekonomi atau kemiskinan merupakan contoh kejadian
yang memiliki konsekuensi ke meningkatnya masalah kesehatan jiwa yang terlihat
dari meningkatnya kecanduan alkohol atau angka bunuh diri. Farley (1987) dalam
WHO (2012) mengemukakan akibat kemiskinan terhadap kondisi mental. Dengan
merujuk pada beberapa hasil penelitian, terbukti bahwa orangorang yang
berpenghasilan rendah atau orang miskin merasa kurang bahagia (less happiness)
dan bahkan mengalami gangguan mental yang serius, seperti depresi, skizofrenia,
dan gangguan kepribadian (Dohrenwend, 1971; Warheit, Holzer, & Schwab, 1973,
dalam Farley, 1987).

b. Pengangguran
Terlepas dari masalah pendapatan, pekerjaan memiliki banyak keuntungan
non-finansial, misalnya waktu yang terstruktur, status sosial dan identitas, kontak
sosial, tujuan kolektif, juga aktivitas (Jahoda, 1979, dalam Marcus, 2012). Tidak
bekerja menyebabkan kehilangan uang dan keuntungan nonfinansial lain, dan
kehilangan ini juga memengaruhi anggota rumah tangga. Pasangan dari
pengangguran harus menghadapi penurunan pemasukan rumah tangga, pasangan
yang depresi, kehadiran pasangan di rumah yang membuat tidak nyaman, juga
menurunkan status sosial. Bagi pasangan, konsekuensi kehilangan pekerjaan ini
dapat menyebabkan gejala depresi dan isu kesehatan jiwa lainnya (Marcus, 2012:1).
Berdasarkan data di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, sebanyak
70% penderita sakit jiwa berasal dari kalangan pengangguran.4 Tingginya angka
penderita sakit jiwa akibat pengangguran merupakan sebuah bentuk stres
sosial.5 Laporan “Equality and Inequalities in Health and Social Care: A Statistical
Overview” juga menemukan bahwa pengangguran lebih berisiko mendapat
penyakit psikologis (30%) daripada mereka yang secara ekonomi tidak aktif (25%)
atau yang bekerja (16%).6 Hal ini sesuai dengan data Riskesdas 2007 yang
menyebutkan bahwa orang yang tidak bekerja memiliki prosentase potensi
gangguan emosi paling tinggi dengan 19,6%, sedangkan yang paling rendah
gangguannya adalah pegawai dengan 6,3%. Penelitian menunjukkan bahwa
pengangguran dan mereka yang tidak aktif secara ekonomi terkait dengan
peningkatan risiko masalah kesehatan jiwa. Pengangguran, terutama dalam jangka
panjang, diasosiasikan dengan faktor-faktor seperti eksklusi sosial, kemiskinan,
kondisi perumahan yang buruk, pendidikan yang rendah dan perilaku nekad
(misalnya: penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan). Pengangguran dapat menjadi
penyebab sekaligus konsekuensi dari permasalahan kesehatan jiwa. National
Alliance on Mental Illness menguatkan data di atas dengan menyatakan bahwa
tingkat pengangguran orang dewasa dengan penyakit kejiwaan adalah 3 sampai 5
kali lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki penyakit jiwa.

c. Anggota keluarga kurang harmonis


Penelitian Sujoko (2012) menemukan bahwa korelasi positif yang sangat
signifikan antara keluarga broken home, pola asuh orang tua dan interaksi teman
sebaya terhadap kenakalan remaja dan variabel-variabel ini memberikan
sumbangan efektif sebesar 18,4 % terhadap variabel kenakalan remaja. Pada kasus
perpecahan rumah tangga, anak selalu menjadi korban. Anak yang akhirnya harus
tumbuh jauh dari orang tua, misalnya di panti asuhan, tumbuh menjadi anak yang
rapuh (OCD Development, 2012).
Cherlin, Chase-Lansdale, & McRae (1997:30) menemukan bahwa dampak
perceraian memengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Lebih jauh lagi, perceraian
orang tua sewaktu kecil atau remaja terus memengaruhi seseorang hingga ia
mencapai usia dua puluhan dan tiga puluhan. Penelitian mencatat bahwa perceraian
orang tua berhubungan dengan berbagai masalah remaja yang berlanjut pada usia
dewasa, termasuk menginternalisasi dan mengeksternalisasi masalah, kesulitan
interpersonal, memburuknya kesehatan fisik dan penggunaan zat-zat (Amato, 2001;
ChaseLansdale, Cherlin, & Kiernan, 1995, dalam Sigal, dkk,2012:150).
Beberapa penelitian menemukan bahwa perceraian di masa kecil berkaitan
dengan hasil edukasi dan okupasi negatif sepanjang rentang kehidupan individu,
seperti penurunan kemungkinan lulus SMU, penguasaan pemasukan, pencapaian
didikan orangtua, etnisitas dan variabel demografis lainnya (Sandefur, McLanahan,
& Wojtkiewitz, 1992; Sun & Li, 2008; Zill, Morrison, & Coiro, 1993, dalam Sigal,
dkk 2012:150). Mereka yang mengalami perceraian orang tua sewaktu kecil
memperoleh pendidikan yang lebih rendah dan pekerjaan yang kurang bergengsi
daripada mereka yang orang tuanya utuh (Biblarz & Gottainer, 2000; Caspi,
Wright, Moffitt, & Silva, 1998; Hetherington, 1999, dalam Sigal, dkk, 2012:150).
Lebih jauh lagi, Biblarz and Raftery (1999 dalam Sigal, dkk, 2012:150)
menemukan bahwa perceraian orang tua menyebabkan penurunan status ekonomis
secara bertahap.
Namun, perceraian tidak hanya memengaruhi anak, tetapi juga orang tua.
Perceraian juga memengaruhi status mental pasangan yang bercerai.

3. Kelompok Masyarakat Berisiko Gangguan Jiwa Berdasarkan Kondisi Ancaman


a. Masyarakat yang berada di daerah konflik
Masyarakat yang berada di daerah konflik berhak mendapatkan pelindungan
fisik dan pelayanan kesehatan jiwa untuk menjaga kualitas mentalnya. Masyarakat
di daerah konflik rentan terhadap kecemasan akan keselamatan dirinya. Hal ini
paling jelas terlihat pada kondisi kejiwaan masyarakat Maluku yang sejak beberapa
dekade belakangan mengalami konflik antar agama. Sejarah kekerasan yang
menjadi bagian dari ingatan mereka menjadi ingatan yang tidak dapat dilupakan,
bahkan berpotensi menjadi stres pasca trauma (Post-traumatic stress disorder).

b. Masyarakat yang berada di daerah bencana


Posisi Indonesia yang berada di pertemuan tiga lempeng tektonik dunia
menjadikannya sebagai salah satu negara yang rawan bencana. Secara geografis
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat
lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat
sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera - Jawa - Nusa
Tenggara/Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran
rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat
berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi,
tsunami, banjir dan tanah longsor.
Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat
kegempaan di Amerika Serikat.8 Interaksi lempeng tektonik di bawah Indonesia
berpotensi menimbulkan gelombang pasang, yang akhirnya dapat menimbulkan
tsunami. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPT) menemukan bahwa
tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa-gempa
tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya.9 Selama
kurun waktu 1.600-2.000 terdapat 105 kejadian tsunami yang 90% di antaranya
disebabkan oleh gempa tektonik, 9% oleh letusan gunung berapi dan 1% oleh tanah
longsor.10 Wilayah pantai di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi
bencana tsunami antara lain: pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa,
pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai
utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi. Laut Maluku adalah daerah
yang paling sering mengalami tsunami.
Dalam kurun waktu tahun 1.600-2.000, di daerah ini telah terjadi 32 tsunami
yang 28 di antaranya diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 oleh meletusnya gunung
berapi di bawah laut. Mengalami bencana akan menghadapkan sesorang pada
situasi sulit. Bencana merupakan suatu kejadian yang mengganggu kehidupan
normal dan melampaui kapasitas seseorang atau masyarakat untuk mengatasinya.
Bencana bisa berdampak pada terganggunya keseimbangan kondisi psikologis
seseorang; kehilangan harta benda, kehilangan orang terdekat, maupun kehilangan
penghasilan.
Ketidakseimbangan kondisi psikologis dapat dirasakan dalam bentuk
terganggunya fungsi psikologis seseorang seperti fungsi pikiran, perasaan, dan
tingkah laku. Beberapa gejala yang umumnya muncul adalah terkejut, menyesal,
menyalahkan diri, berduka, cemas, kehilangan orientasi, sering teringatingat pada
peristiwa yang dialami meskipun tidak ingin mengingatnya, dan mimpi buruk.
Selain itu, ditemukan juga gejala berupa menutup diri, menarik diri dari hubungan
sosial, menghindari peristiwa yang dialami dan merasa tak berdaya.
Oleh karena itu penyintas bencana berhak mendapatkan upaya rehabilitasi
kesehatan jiwa sesuai dengan kadar gangguan kejiwaan yang dialaminya.

c. Masyarakat yang berada dalam kondisi lingkungan yang tidak kondusif


Lingkungan fisik yang tidak kondusif di antaranya:
1) Lingkungan Kerja yang Berisiko
Setiap orang berhak untuk dilindungi dalam pekerjaannya dari perlakuan
yang buruk, yaitu yang bersifat fisik juga psikis. Perlakuan fisik di antaranya
sistem kerja yang tidak memperhatikan kesehatan, peralatan kerja yang tidak
ergonomis, dan peraturan yang tidak manusiawi. Perlakuan psikis terkait dengan
hubungan antar manusia, misalnya kepemimpinan, hubungan dengan rekan
kerja lain. Salah satu contoh lingkungan kerja yang menekan adalah kondisi
pekerjaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengalami perlakuan buruk dari
majikannya. Meskipun Kementerian Kesehatan belum memiliki data yang jelas
mengenai jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang mengalami gangguan jiwa,
beberapa pemberitaan media cukup dapat menggambarkan kondisi mereka.
Pada bulan Juli 2012, dilaporkan sebanyak 38 Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
mengalami gangguan kejiwaan di Kalimantan, setelah dideportasi dari negara
bagian Sabah dan Sarawak, Federasi Malaysia.
2) Lingkungan dan Sistem Sekolah yang Tidak Memperhatian Tumbuh Kembang
Peserta Didik
Sistem pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan
peserta didik untuk menghindarkan peserta didik dari gangguan kejiwaan.
Permasalahan pendidikan yang menyebabkan perilaku menyimpang semakin
banyak ditemui. Meningkatnya angka bunuh diri siswa sekolah karena tidak
bisa membayar uang sekolah atau tidak lulus Ujian Nasional merupakan gejala
gangguan jiwa yang tidak bisa diabaikan

d. Gangguan Perubahan Iklim


Berbagai penelitian telah membutktikan bahwa perubahan iklim memberikan
kontribusi terhadap perubahan perilaku dan psikis. Bencana alam, seperti banjir,
siklon dan kekeringan, diprediksikan sebagai konsekuensi perubahan iklim (IFRC,
2009). Hal ini terjadi karena kejadian meteorologis beberapa tahun belakangan.
Penelitian mengungkap dampak psikis perubahan iklim pada kondisi mental, seperti
post traumatic stress disorder (Galea, et.all, 2005 dalam Page & Howard, 2009:1-2),
depresi berat (Marshall, et.all, 2007, dalam Page & Howard, 2009:2) dan gangguan
somatoform (Van Der Berg, 2005, dalam Page & Howard, 2009:2).
4. Kelompok Masyarakat Berisiko Gangguan Jiwa Berdasarkan Kondisi Fisik
a. Perempuan
Menurut Puskris UI, dalam beberapa konteks masyarakat, perempuan juga
cenderung mengalami perlakuan yang tidak adil, mengalami kekerasan dalam
rumah tangga dimana hal ini juga berpotensi berlanjut menjadi gangguan
kecemasan atau depresi. Riskesdas 2007 menemukan bahwa perempuan lebih
banyak menderita gangguan jiwa daripada laki-laki yakni dua kali lebih banyak12.
Ditegaskan pula dalam laporan tersebut bahwa kelompok yang rentan mengalami
gangguan mental emosional adalah kelompok dengan jenis kelamin perempuan
(14,0%) (Riskesdas 2008, 2008:119).
Diskriminasi terhadap perempuan terlihat pada tingginya Angka Kematian Ibu
(AKI), yaitu sebesar 228/100.000 kelahiran hidup, meningkatnya penyebaran
HIV/AIDS, kasus reproduksi, dan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu,
permasalahan kemiskinan, persamaan upah, trafficking, dan berbagai bentuk
diskriminasi terhadap perempuan merupakan bentuk perlakuan yang membebani
perempuan. Akar permasalahan tersebut salah satunya bersumber dari keberadaan
peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan bias gender.

b. Orang yang Mengalami Gangguan Kesehatan Kronis


Pada prakteknya, ODGJ seringkali diidentifikasi ketika memeriksakan diri
atas penyakit fisik yang dideritanya. Di Gorontalo, dokter umum menemukan gejala
neurosa ketika melakukan diagnosis atas penyakit lain. Hal serupa dilakukan di
Rumah Sakit Sumatera Utara yang melaksanakan pemeriksaan fisik dan mental
sekaligus. Pasien dengan penyakit kronis rentan mengalami depresi, bahkan hingga
muncul keinginan bunuh diri. Oleh karena itu perlu diberikan upaya kesehatan jiwa
berupa konseling dalam pendampingan proses pengobatannya.
Diagnosis penyakit kronis dapat menghasilkan ketakutan ekstrem atau
depresi, saat pasien menyadari bahwa aktivitasnya akan terganggu selamanya oleh
penyakit (Holahan, Moos, Holahan, & Brennan, 1995; Taylor & Aspinwall, 1990,
dalam Taylor, Peplau & Sears., 2009:564). Selain itu, banyak pasien butuh belajar
berbagai aktivitas perawatan sendiri untuk membantu mengelola gangguan itu
(misalnya, Glasgow, Toobert, Hampson, & Wilson, 1995, dalam Taylor, Peplau &
Sears., 2009:564). Perubahan psikis tidak hanya memengaruhi diri pasien, tetapi
juga keluarga atau orang dekat yang harus menyesuaikan diri dengan perubahannya.

c. Cacat
WHO menggunakan istilah “disabilitas” untuk mendefinisikan kondisi yang
meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan
adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan
kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas
atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami
oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah
sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh
seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.
Penyandang cacat yang mendapatkannya dari lahir maupun setelah dewasa,
rentan terhadap gangguan kejiwaan karena perasaan kurang lengkapnya dirinya.
Cacat fisik sering dikaitkan dengan kehilangan kepercayaan diri jika penderitanya
tidak mampu mengalahkan perasaan inferioritas. Orang cacat berisiko mengalami
stres sebesar 52% jika dibandingkan dengan orang yang tidak cacat (34%). Lebih
jauh lagi, wanita cacat berisiko mengalami stres dalam 12 bulan sebesar 44%
dibandingkan dengan pria yang hanya memiliki tingkat risiko 34% (DHSSPS,
2004:126).

II.1.4. Macam-Macam Gangguan Mental


Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental (mental disorder), penulis
merujuk pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim, tth:10), yang digolongkan sebagai berikut:
1) Gangguan mental organik dan simtomatik;
Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang berkaitan dengan penyakit atau
gangguan sistematik atau otak yang dapat di diagnosis secara tersendiri. Sedangkan
gangguan simtomatik adalah gangguan yang diakibatkan oleh pengaruh otak akibat
sekunder dari penyakit atau gangguan sistematik di luar otak (extracerebral). (Maslim,
tth:22).
2) Gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif.
Gangguan yang disebabkan karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan
atau tidak menggunakan resep dokter). (Maslim, tth:36).
3) Gangguan skizofrenia dan gangguan waham.
Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang pada umumnya ditandai oleh penyimpangan
yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak
wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted).” (Maslim, tth:46). Sedangkan gangguan
waham adalah gejala ganguan jiwa di mana jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu
tidak mau di koreksi bahwa hal itu tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan.
(Sudarsono, 1993:272).
4) Gangguan suasana perasaan (mood/afektif).
Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah perubahan suasana perasaan (mood)
atau afek, biasanya kearah depresi (dengan atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau
kearah elasi (suasana perasaan yang meningkat). (Maslim, tth:60).
5) Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stres.
Gangguan neurotik, somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari
gangguan jiwa yang disebabkan oleh faktor psikologis. (Maslim, tth:72).
6) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.
Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan segaja,
dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).
7) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
Suatu kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan
merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan
dengan diri-sendiri maupun orang lain (Maslim, tth:102).
8) Retardasi mental
Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan
sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).
9) Gangguan perkembangan psikologis.
Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan fungsi-fungsi yang berhubungan
erat dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus
menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang dimaksud yang khas
ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun
defisit yang lebih ringan sering menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).
10) Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak-kanak.
Gangguan yang dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan.
Berkurangnya perhatian ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu kegiatan
sebelum tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan
yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang
(Maslim, tth:136).

Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja (2004:15-16),


mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental disorder) memiliki rentang yang lebar,
dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi kepribadian yang
tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal. Istilah ini lebih sering
digunakan untuk perilaku maladaptive pada anak-anak.
b) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain dari perilaku
abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.
c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental,
namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan
patologi otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.
d) Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama gangguan-
gangguan yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan.
Nama inipun sering digunakan sebagai istilah yang umum untuk setiap gangguan dan
kelainan.
e) Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk gangguan yang
berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan
ataupun gagal dalam mempelajari pola penanggulangan masalah yang maladaptif.
f) Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa individu
secara mental tidak mampu untuk mengelolah masalah-masalahnya atau melihat
konsekuensi-konsekuensi dari tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan
mental yang serius terutama penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas
tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di hukum atau tidak.

II.1.5. Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Mental


Faktor yang memengaruhi gangguan mental adalah faktor dominan yang dapat
mempengaruhi kepribadian seseorang. Kartono (1982:81) yang membagi faktor dominan
yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental ke dalam tiga faktor, yaitu:

1) Faktor organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.
2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis
pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan
hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu
mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya. Maka
struktur kepribadian dan pemasukan dari pengalaman-pengalaman dengan cara yang
keliru bisa membuat orang terganggu psikisnya. Terutama apabila beban psikis ternyata
jauh lebih berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.
3) Faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan dan
modernisasi, arus urbanisasi dan industrialisasi menyebabkan problem yang dihadapi
masyarakat modern menjadi sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian diri terhadap
perubahan-perubahan sosial dan arus modernisasi menjadi sangat sulit. Banyak orang
mengalami frustasi, konflik batin dan konflik terbuka dengan orang lain, serta menderita
macam-macam gangguan psikis.

Meskipun pengobatan gangguan jiwa telah mengalami peningkatan secara drastic,


penyebab sebagian besar gangguan jiwa masih belum dapat dipahami dengan baik.
Penelitian telah mengidentifikasi sejumlah faktor biologis dan sosiologis yang berkontribusi
terhadap kesehatan jiwa dan gangguan jiwa. Beberapa faktor tersebut diantaranya:

1) Faktor biologi
Selama berabad-abad lamanya, gangguan jiwa dianggap sebagai suatu penyakit yang
harus dirawat di rumah sakit atau panti rehabilitasi mental. Penelitian neurosains telah
memberikan pemahaman yang lebih baik tentang biologi gangguan jiwa; namun banyak
pertanyaan yang masih belum terjawab. Faktor biologis yang terkait dengan gangguan
jiwa termasuk faktor genetic, neurotransmisi, dan kelainan struktur otak dan fungsi

2) Faktor genetic
Ekspresi genetic, dikombinasikan dengan perubahan neurokimia dan metabolisme
serta stressor lingkungan yang dapat mengakibatkan munculnya gangguan jiwa. Uji
genetika dan konseling berusaha memahami kompleksitas terkait variasi gen, struktur
otak, dan respon fisiologis terhadap pengolahan informasi (Baune & Thome, 2011).
Ada faktor herditer terjadinya gangguan jiwa, yang menyatakan orang yang memiliki
anggota keluarga dengan gangguan jiwa cenderung untuk mengalami gangguan jiwa
juga. Para ahli percaya bahwa banyak gangguan jiwa berkaitan dengan kelainan di
banyak gen, bukan hanya satu. Seseorang mungkin mewarisi kerentanan terhadap
gangguan jiwa namun tidak selalu menderita gangguan jiwa juga. Gangguan jiwa lebih
mungkin terkait akibat interaksi faktor multiple genetic dan beberapa faktor lain, seperti
stress, penyalahgunaan (obat/alcohol), namun peristiwa traumatis. Faktor-faktor ini dapat
mempengaruhi, memicu, atau memperburuk penyakit pada orang yang memiliki
kerentanan yang diwariskan tersebut.

3) Kelainan struktur dan fungsi otak


Fakta menunjukan bahwa kelainan struktur otak memiliki hubungan dengan
beberapa gangguan jiwa, seperti skizofrenia, depresi, dan penyakit Alzheimer. Seiring
berkembangnya ilmu neuroimaging, gambaran yang lebih jelas tentang peran struktur dan
fungsi otak semakin terungkap.
Sebagai contoh, studi neuroimaging mulai mampu menjelaskan peran sebagai
struktur sistem saraf pusat dalam mengatur aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang
mengontrol respons terhadap stress (Pruessner et al, 2010). Para ilmuan juga mulai
mengenali bagaimana sistem tubuh lainnya dapat mempengaruhi fungsi otak. Misalnya,
dalam satu studi, peneliti menemukan bahwa amigdala 60% lebih aktif pada subyek yang
kurang tidur (Pruessner et al, 2010)
Meskipun sejumlah teori tentang penyebab gangguan jiwa telah berkembang,
informasi tersebut masih belum cukup untuk menemukan penyebab pasti gangguan jiwa
dri aspek biologis. Para ahli telah menyimpulkan bahwa penyebab gangguan jiwa adalah
multifaktorial, fenomena yang kompleks. Hal penting yang harus dipahami perawat
kesehatan masyarakat adalah gangguan jiwa memiliki dasar penyebab biologis yang
sangat kuat, sama seperti penyakit kronis lainnya seperti diabetes dan penyakit jantung,
tetapi faktor-faktor yang lain juga sangat berpengaruh.

4) Faktor sosial
Beberapa kejadian dan fenomena masyarakat, seperti penembakan di sekolah,
pengeboman, intmidasi, kekerasan dalam rumah tangga, dan peristiwa tragis lainnya,
telah mengidentifikasi kesenjangan kritis di masyarakat yang membutuhkan penyuluhan
masyarakat, advokasi, dan penatalaksanaan gangguan jiwa (Bazelon Pusat, 2013).
Sepanjang sejarah, gejala gangguan jiwa telah dianggap sebagai sesuatu yang
permanen, berbahaya, menakutkan, dan memalukan. Orang dengan gangguan jiwa
digambarkan sebagai pemalas, pengangguran, lemah, tidak bermoral, tidak rasional, dan
seringkali dianggap sebagai criminal. Berdasarkan hal dan asumsi tersebut, banyak orang
dengan gangguan jiwa (ODGJ) telah mengalami penolakan sosial yang luas yang dapat
menyebabkan isolasi dan stigma sosial yang lebih parah (Kondrat & Early, 2011).
Masalah sosial lainnya adalah kecenderungan masyarakat untuk memanfaatkan
penjara daripada rumah sakit jiwa sebagai solusi untuk masalah “kesehatan jiwa”.
Mereka (narapidana) cenderung memiliki masalah kesehatan jiwa dan kecanduan
dibandingkan masyarakat pada umumnya. Kebanyakan individu tersebut tidak memiliki
akses terhadap pengobatan untuk masalah ini di luar penjara.
Sekitar separuh dari semua penghuni penjara memiliki masalah kesehatan jiwa, dan
sekitar 65% memenuhi kriteria medis untuk penyalahgunaan alcohol dan narkoba dan
kecanduan. Sayangnya penjara sangat tidak siap untuk memberikan perawatan yang
memadai untuk orang yang mengalami gangguan jiwa.

II.1.6. Peran Perawat Jiwa Komunitas


Saat ini banyak peluang bagi perawat untuk berkontribusi dalam memberikan pelayanan
kesehatan jiwa pada masyarakat. Terdapat beberapa model praktik berbasis bukti yang
dilakukan perawat yang memberikan hasil menjanjikan di masyarakat. Aplikasi proses
keperawatan pasti dan selalu dapat di fasilitasi untuk membantu populasi yang mengalami
gangguan jiwa di masyarakat. Tentu saja ada tantangan untuk penyediaan layanan kesehatan
jiwa yang efektif di masyarakat, seperti akseibilitas, kesenjangan, dan biaya. Ketika perawat
memberikan perawatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat ada harapan
untuk perubahan, kemajuan dan perbaikan promosi kesehatan untuk semua orang.

Meskipun terdapat sejumlah tantangan, peran perawat kesehatan komunitas sangat


bermanfaat (Sheerin,2011). Kontribusi perawat kesehatan komunitas dilakukan dengan
memberikan pelayanan yang profesional, didasari ilmu dan pengetahuan, dan bertanggung
jawab dengan membangun kemitraan dengan masyarakat itu sendiri (Happell et al,
2011,2012).

Peran perawat kesehatan masyarakat bersifat multidimensional sebagai berikut:

1. Pemberi asuhan keperawatan


Perawat memberi asuhan keperawatan kepada masyarakat dalam menangani masalah
kesehatan jiwa, perawat melakukan kegiatan:
a. Pengkajian masalah kesehatan jiwa pada individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat
b. Deteksi dini masalah kesehatan jiwa pada individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat deteksi dini merupakan upaya penemuan masalah kesehatan jiwa di
masyarakat.
c. Menetapkan masalah keperawatan kesehatan jiwa di masyarakat
d. Menyusun rencana tindakan keperawatan kesehatan jiwa di masyarakat
e. Melaksanakan tindakan keperawatan kesehatan meliputi: penyuluhan, konseling,
pengelola kasus, kunjungan rumah, melakukan pemberdayaan masyarakat, menjalin
kemitraan dalam perawatan kesehatan jiwa masyarakat, melakukan penatalaksanaan
keperawatan komplementer dan alternatif dan melakukan rujukan kasus.
f. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan.
2. Pendidik
Perawat memberikan pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok,
komunitas. Pendidikan kesehatan di masyarakat dilakukan untuk menghapus mitos,
memberikan informasi yang akurat tentang gangguan jiwa, dan mempengaruhi kebijakan
dan perundang-undangan yang mendukung orang dengan gangguan jiwa. Pendidikan
kesehatan dilakukan melalui pemberian penyuluhan tentang kesehatan jiwa dan cara
merawat orang dengan gangguan jiwa.
3. Manajer kasus
Perawat diharapkan dapat mengelola berbagai kegiatan pelayanan kesehatan dan
masyarakat sesuai dengan beban tugas dan tanggung jawab yang di beankan kepadanya.
4. Administrator (pengelola)
Perawat merencanakan, melaksanakan, dan mengatur berbagai alternatif tindakan dan
terapi yang harus diterima oleh ODGJ.
5. Konselor
Perawat memberikan konseling untuk membantu ODGJ dan keluarga dalam memilih
keputusan yang akan diambil dalam penanganan masalah kesehatan jiwa.
6. Advokat
Perawat memberikan pembelaan kepada individu, keluarga, kelompok, komunitas.
Pembelaan dapat berupa memberikan pelayanan yang terbaik, memastikan kebutuhan
ODGJ terpenuhi dan hak hak ODGJ terlindungi.
7. Kolaborator
Perawat bersama klien, keluarga, tim kesehatan lain berupaya mengidentifikasi
pelayanan kesehatan yang diperlukan termasuk tukar pendapat terhadap pelayanan yang
di perlukan klien, pemberian dukungan, paduan keahlian dan keterampilan dari berbagai
profesional pemberi pelayanan kesehatan.
8. Praktisi dan koordinator
Peran perawat sebagai praktisi dan koordinator adalah:
a. Melakukan intervensi untuk membantu pasien dalam mengendalikan atau mengurangi
gejala gangguan jiwa
b. Membantu pasien dalam “menavigasi/mengarahkan” jaringan lembaga yang terpisah-
pisah dan penyedia layanan lainnya.
c. Mengantisipasi dan mengevaluasi tindakan penyedia layanan yang lain dan
berkomunikasi dengan konsumen keluarga, layanan rehabilitasi dan lembaga
pemerintah atau sosial.
d. Mengantisipasi dan mencegah terjadinya krisis pada individu, keluarga dan
masyarakat. Misalnya mengatur pengguna obat psikotropika untuk berbagi
pengalaman tentang berinteraksi dengan psikiater, mengelola efek samping obat-
obatan, dan meningkatkan strategi koping mereka. Sikap proaktif tersebut dapat
membantu mencegah masalah yang menyebabkan klien menghentikan pengobatan
dan konsekuensi dari tindakan tersebut.
e. Menyesuaikan konsumen dan keluarga dengan penyedia layanan yang sesuai dengan
budaya dan sensitif untuk mencapai keselarasan.
9. Role Model
Perawat yang berperan sebagai role model haruslah menjadi panutan bagi pasiennya.
Perawat berkewajiban untuk menampilkan model perilaku yang adaptif, karena apabila
perawat memiliki masalah kehodupan pribadi akan berdampak terhadap pelayana yang
diberikannya. Untuk itu, perawat kesehatan masyarakat harus mampu memisahkan
antara maslah kehidupan pribadi dengan kehidupan profesinalnya.
10. Konsultan
Perawat kesehatan masyarakat sebagai konsultan berperan:
a. Sebagai sumber pengetahuan khusus dan keahlian praktik yang terbaik dan
memfasilitasi penerapannya dalam tatanan layanan kesehatan jiwa
b. Memberikan konsultasi dan pendidikan untuk klien, perawat, profesional kesehatan
lainnya, organisasi perawatan kesehatan jiwa dan pembuat kebijakan.
c. Menjaga pemberian praktik sebaik mungkin
d. Mengembangkan, menerapkan dan mengevaluasi model praktik keperawatan terbaik.
11. Peneliti
Peran perawat kesehatan masyarakat sebagai peneliti adalah:
a. Mengidentifikasi dan menggunakan penelitian dalam pengambilan keputusan dan
membantu pasien membuat pilihan yang terbaik.
b. Berpartisipasi dalam proyek penelitian di semua tingkatan untuk menghasilkan
penelitian kualitatif dan atau kuantitatif yang berkaitan dengan praktik keperawatan,
administrasi dan pendidikan.
c. Mengembangkan program penelitian kesehatan jiwa masyarakat.
II.1.7. Kebijakan Pemerintah Terkait
Upaya Kesehatan Jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan
jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh,
terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Upaya Kesehatan Jiwa berasaskan:


 Keadilan
 Perikemanusiaan
 Manfaat
 Transparansi
 Akuntabilitas
 Komprehensif
 Pelindungan
 Non diskriminasi.
Upaya Kesehatan Jiwa bertujuan:
a. Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati
kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan
lain yang dapat mengganggu Kesehatan Jiwa
b. Menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan
c. Memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa bagi
ODMK dan ODGJ berdasarkan hak asasi manusia
d. Memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan
berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
bagi ODMK dan ODGJ
e. Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya dalam Upaya
Kesehatan Jiwa
f. Meningkatkan mutu Upaya Kesehatan Jiwa sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
g. Memberikan kesempatan kepada ODMK dan ODGJ untuk dapat memperoleh
haknya sebagai Warga Negara Indonesia.
Upaya Kesehatan Jiwa dilakukan melalui kegiatan:
a. Promotif
Upaya promotif sebagaimana dimaksud merupakan suatu kegiatan
dan/atau rangkaian kegiatan penyelenggaraan pelayanan Kesehatan Jiwa yang
bersifat promosi Kesehatan Jiwa.
Upaya promotif Kesehatan Jiwa ditujukan untuk:
1) Mempertahankan dan meningkatkan derajat Kesehatan Jiwa masyarakat
secara optimal
2) Menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ sebagai
bagian dari masyarakat
3) Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap Kesehatan
Jiwa
4) Meningkatkan penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap Kesehatan
Jiwa.

Upaya promotive dilakukan secara terintegrasi, komprehensif, dan


berkesinambungan dengan upaya promotif kesehatan lain.
Upaya promotif dilaksanakan di lingkungan:
1) Keluarga
2) Lembaga pendidikan
3) Tempat kerja
4) Masyarakat
5) Fasilitas pelayanan kesehatan
6) Media massa
7) Lembaga keagamaan dan tempat ibadah; dan h. lembaga pemasyarakatan
dan rumah tahanan.
Upaya promotif di lingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk pola
asuh dan pola komunikasi dalam keluarga yang mendukung pertumbuhan dan
perkembangan jiwa yang sehat.
Upaya promotif di lingkungan lembaga pendidikan dilaksanakan dalam
bentuk:
1) Menciptakan suasana belajar-mengajar yang kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan jiwa
2) Keterampilan hidup terkait Kesehatan Jiwa bagi peserta didik sesuai dengan
tahap perkembangannya.
Upaya promotif di lingkungan tempat kerja dilaksanakan dalam bentuk
komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan Jiwa, serta
menciptakan tempat kerja yang kondusif untuk perkembangan jiwa yang sehat
agar tercapai kinerja yang optimal.
Upaya promotif di lingkungan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk
komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan Jiwa, serta
menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif untuk pertumbuhan dan
perkembangan jiwa yang sehat.
Upaya promotif di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan dilaksanakan
dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan Jiwa
dengan sasaran kelompok pasien, kelompok keluarga, atau masyarakat di sekitar
fasilitas pelayanan kesehatan.
Upaya promotif di media massa dilaksanakan dalam bentuk:
1) Penyebarluasan informasi bagi masyarakat mengenai Kesehatan Jiwa,
pencegahan, dan penanganan gangguan jiwa di masyarakat dan fasilitas
pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa
2) Pemahaman yang positif mengenai gangguan jiwa dan ODGJ dengan tidak
membuat program pemberitaan, penyiaran, artikel, dan/atau materi yang
mengarah pada stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODGJ
3) Pemberitaan, penyiaran, program, artikel, dan/atau materi yang kondusif
bagi pertumbuhan dan perkembangan Kesehatan Jiwa

Upaya promotif di lingkungan lembaga keagamaan dan tempat ibadah


dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai
Kesehatan Jiwa yang diintegrasikan dalam kegiatan keagamaan.
Upaya promotif di lingkungan lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan
dilaksanakan dalam bentuk:
1) Peningkatan pengetahuan dan pemahaman warga binaan pemasyarakatan
tentang Kesehatan Jiwa
2) Pelatihan kemampuan adaptasi dalam masyarakat
3) Menciptakan suasana kehidupan yang kondusif untuk Kesehatan Jiwa
warga binaan pemasyarakatan

b. Preventif
Upaya preventif merupakan suatu kegiatan untuk mencegah terjadinya
masalah kejiwaan dan gangguan jiwa.
Upaya preventif Kesehatan Jiwa ditujukan untuk:
1) Mencegah terjadinya masalah kejiwaan
2) Mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa
3) Mengurangi faktor risiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara
umum atau perorangan; dan/atau
4) Mencegah timbulnya dampak masalah psikososial.

Upaya preventif Kesehatan Jiwa dilaksanakan di lingkungan:


1) Keluarga
Upaya preventif di lingkungan keluarga dilaksanakan dalam bentuk:
a) Pengembangan pola asuh yang mendukung pertumbuhan dan
perkembangan jiwa;
b) Komunikasi, informasi, dan edukasi dalam keluarga; dan
c) Kegiatan lain sesuai dengan perkembangan masyarakat

2) Lembaga
Upaya preventif di lingkungan lembaga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf b dilaksanakan dalam bentuk: a. menciptakan lingkungan
lembaga yang kondusif bagi perkembangan Kesehatan Jiwa; b.
memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan
gangguan jiwa; dan c. menyediakan dukungan psikososial dan Kesehatan
Jiwa di lingkungan lembaga
3) Masyarakat.
Upaya preventif di lingkungan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk:
a) Menciptakan lingkungan masyarakat yang kondusif;
b) Memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai
pencegahan gangguan jiwa; dan
c) Menyediakan konseling bagi masyarakat yang membutuhkan.

c. Kuratif
Upaya kuratif merupakan kegiatan pemberian pelayanan kesehatan
terhadap ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang
tepat sehingga ODGJ dapat berfungsi kembali secara wajar di lingkungan
keluarga, lembaga, dan masyarakat.
Upaya kuratif Kesehatan Jiwa ditujukan untuk:
1) Penyembuhan atau pemulihan;
2) Pengurangan penderitaan;
3) Pengendalian disabilitas; dan
4) Pengendalian gejala penyakit.
Proses penegakan diagnosis terhadap orang yang diduga ODGJ dilakukan
untuk menentukan:
1) Kondisi kejiwaan; dan
2) Tindak lanjut penatalaksanaan.
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan kriteria diagnostik oleh:
1) Dokter umum
2) Psikolog; atau
3) Dokter spesialis kedokteran jiwa.

Penatalaksanaan kondisi kejiwaan pada ODGJ dilakukan di fasilitas


pelayanan di bidang Kesehatan Jiwa. Penatalaksanaan kondisi kejiwaan pada
ODGJ dilaksanakan melalui sistem rujukan.
Penatalaksanaan kondisi kejiwaan pada ODGJ dapat dilakukan dengan
cara rawat jalan atau rawat inap.

d. Rehabilitatif
Upaya rehabilitatif Kesehatan Jiwa merupakan kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan Kesehatan Jiwa yang ditujukan untuk:
1) Mencegah atau mengendalikan disabilitas;
2) Memulihkan fungsi sosial;
3) Memulihkan fungsi okupasional; dan
4) Mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di
masyarakat.
Upaya rehabilitatif ODGJ meliputi:
1) Rehabilitasi psikiatrik dan/atau psikososial; dan
2) Rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi psikiatrik dan/atau psikososial dan rehabilitasi sosial ODGJ
dapat merupakan upaya yang tidak terpisahkan satu sama lain dan
berkesinambungan.
Upaya rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif,
atau koersif, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun panti sosial. Upaya
rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk:
1) Motivasi dan diagnosis psikososial;
2) Perawatan dan pengasuhan;
3) Pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan;
4) Bimbingan mental spiritual;
5) Bimbingan fisik;
6) Bimbingan sosial dan konseling psikososial;
7) Pelayanan aksesibilitas;
8) Bantuan sosial dan asistensi sosial;
9) Bimbingan resosialisasi;
10) Bimbingan lanjut; dan/atau
11) Rujukan.
Rehabilitasi sosial dilaksanakan di panti sosial milik:
1) Pemerintah;
2) Pemerintah Daerah; atau
3) Swasta.
ODGJ yang mendapatkan rehabilitasi sosial tetap berhak mendapatkan
rehabilitasi psikiatrik dan/atau rehabilitasi psikososial serta mempunyai akses
terhadap pelayanan dan obat psikofarmaka sesuai kebutuhan. Fasilitas
pelayanan di luar sektor kesehatan yang tidak memberikan akses terhadap
pelayanan kesehatan dan obat psikofarmaka terhadap ODGJ dikenai sanksi
administratif berupa:
a) Teguran lisan;
b) Teguran tertulis;
c) Pembekuan kegiatan;
d) Pencabutan izin; atau
e) Penutupan.

Fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan yang tidak melaksanakan


rehabilitasi sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan Kesehatan Jiwa
dikenakan sanksi administratif berupa:

a) Teguran lisan;
b) Teguran tertulis;
c) Pembekuan kegiatan;
d) Pencabutan izin; atau
e) Penutupan

II.1.8. Askep Jiwa Komunitas


1. Pengkajian
 Pendekatan konsep keperawatan : Neuman, Roy dan Orem
 Pertimbangan sosial dan ekonomi
 Pemeriksaan fisik
 Aspek Biologis
 Aspek Psikologis
 Aspek Pola Hidup
 Aspek Lingkungan

2. Perencanaan
 Pelaksanaan peran perawat: Case Finder, Helath Educator, Counselor, Direct care,
Provider, Population health advocate, Community assessor and developer, monitor
and evaluator of case, case manager, advocate, health program planner,
participant in developing health policies.
 Client empowerment and health education
 Menerapkan tingkat-tingkat pencegahan
 Promosi perubahan pola hidup

3. Evaluasi
 Evaluasi berfokus pada pencapaian tujuan
 Evaluasi dilakukan untuk membuat intervensi menjadi lebih efektif
 Evaluasi dilakukan jika suatu kegiatan selesai dilakukan jika suatu kegiatan selesai
dilaksanakan

Contoh Asuhan Keperawatan pada Populasi dengan Masalah Kesehatan Mental

1. Pengkajian
a. Individu
 Penampilan Fisik
 Perilaku dan aktivitas fisik
 Sikap terhadap perawat
 Mood
 Afek (Respon Emosional)
 Cara Bicara
 Gangguan Persepsi
 Isi dan Alur Pikir
 Tingkat Kesadaran
 Orientasi
 Memory
b. Lingkungan
c. Untuk keseluruhan anggota keluarga dan komunitas
 Adakah alat pengkajian khusus untuk kesehatan mental yang digunakan?
 Area resiko yang harus diperhatikan perawat
 Obat-obatan yang digunakan oleh klien.
 Kekuatan individu dan keluarga, keterampilan penyelesaian masalah
 Pengaruh budaya yang perlu diperhatikan.

2. Diagnosis Keperawatan
 Untuk Individu
 Untuk Keluarga
3. Rencana Keperawatan
Meliputi pencegahan primer, sekunder dan tersier.
4. Implementasi dan Evaluasi
Sesuaikan dengan diagnosis keperawatan dan rencana.

II.2.1 Konsep Teori Difabel


Difabel adalah interaksi antara individu dengan kondisi dan factor personal dan
lingkungan (WHO,2012) The International Classificaion of Functioning Disability
(WHO,2013) mendefinisikan istilah kunci berikut. Difabel merupakan istilah umum,
yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan
adalah masalah dalam fungsi tubuh atau struktur; pembatasan kegiatan adalah kesulitan
yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan ; dan pembatasan
partisipasi adalah masalah yang dialami seseorang dalam keterlibatannya dalam situasi
kehidupan (WHO, 2013). Disabilitas/Difabel akibat adanya gangguan, melibatkan
pembatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan secara normal atau
dalam kisaran normal. kehilangan secara anatomi, mental, atau psikologis atau kelainan
lain nya adalah gangguan. kecacatan adalah kerugian yang dihasilkan dari gangguan atau
ketidakmampuan yang mencegah pemenuhan peran yang diharapkan. Gangguan
memengaruhi organ manusia pada tingkat mikro, difabel mempengaruhi organ manusia
pada tingkat indiividu, dan pada analisis tingkta makro, kecacatan melibatkan masyarakat
(Batavia, 1993). Tabel dibawah ini akan membandingkan berbagai definisi yang
berkaitan dengan difabel

Karakteristik Kerusakan Difabel Kecacatan


Definisi Penyimpanan fisik Dapat bersifat Tidak bersifat atau
dari struktur normal, objektif dan dapat dapat diukur;
fungsi,organisasi diukur pengalaman yang
fisik dan berhubungan dengan
pengembangan respn terhadap orang
lain
Pengukuran Bersifat objektif dan Dapat bersifat Tidak bersifat
dapat diukur objektif dan dapat objektif atau dapat
diukur diukur pengalan
berhubungan dengan
respon terhadap
orang lain
Gambaran Spina bifida, cidera Tidak bias berjalan Mencerminkan
tulang belakang, tanpa dibantu; karakteristik fisik
amputasi dan retina menggunakan kruk dari psikologis
lepas dan / atau kursi roda orang, budaya dan
manual atau keadaan tertentu
elektrik; kebutuhan
Tingkat analisis Tingkat mikro Tingkat individu Tingakt makro
(organ tubuh) (orang) (social)
II.2.2 Prevalensi Difabel di Indonesia
Susenas 2012 mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang difabel
sebesar 2,45%. Peningkatan dan penurunan persentase penyandang difabel yang terlihat
pagda mabar dibawah ini, di pengaruhi adanya perubahan konsep dan definisi Susenas
2003 an 2009 yang masih menggunakan konsep kecacatan, sedangkan sussnas 2006 dan
2012 telah memasukan konsep difabel. Walaupun demikian, jika kita bandingkan antara
susenas 2003 dengan 2009 dan susenas 2006 dengan 2012terjadi peningkatan prevelensi.
Sensus penduduk 2010 mengumpulkan data yang mengalami kesulitan melihat,
mendengar, berjalan atau naik tangga, mengingat atau berkonsentrasi atau berkomunikasi
dan kesulitan mengurus diri sendiri.

Yang dapat dilakukan dan tidak boleh dilakukan untuk berinteraksi dengan orang difabel

Tidak dapat dilakukan Dapat dilakukan


Asumsikan sesuatu atau menawarkan saran Perilakukan dia seperti oran atau teman
ali/bantuan berdasarkan apa yang anda lainnya. Pendekatan dan libatkan dia
pikirkan

Mengabaikan atau mengecualikan orang Memperlakukan individu dengan sopan dan


hormat

Takut bercanda atau menyinggung orang Hormati kursi roda sebagai ruang pribadi
seseorang
Takut mengajukan pertanyaan Menginformasikan orang yang hadir,
mengucapkan selamat tinggal ketika pergi.

Fokus pada perbedaan Biarkan orang mengambil lengan Anda


sehingga dia tidak kehilangan keseimbangan

Bersandar pada atau menggerakan kursi Mengakui bahwa seseorang memiliki


roda orang sesuatu yang penting untuk dikatakan atau
dilakukan.

Asumsikan bahwa orang yang buta Pertimbangkan hambatan lingkungan ang


mengetahui siapa yang berbicara atau yang mungkin
hadir
Menjadi tidak sabar dan menyelesaikan Mengakui bahwa autisme dan cacat
pembicaraan atau tindakan seseorang penglihatan hanya mempengaruhi perilaku

Ulangi dengan keras apa yang ingin anda Mengakui ahwa manusia sebagai makluk
katakan holistik

Asumsikan bahwa asuhan orang tua yang Menghadap orang, berbicara jelas dan
buruk menjadikan perilaku anak sedikit lebih lambat.
Asumsikan difabel dan kegagalan untuk
disembuhkan mencerminkan dosa yang
belum terselesaikan

II.2.3 Karakteristik Difabel


Apakah seseorang memiliki difabel tergantung pada kriteria yang digunakan.
Ditingkat nasional sudah ada undang-undang yang mengatur mengenai difabel, yaitu
Undang-Undang RI. Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang difabel. Penyandang
difabel adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental
dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan
dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif
dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Difabel fisik, difabel sensorik ( misalnya, tuli atau buta ), difabel intelektual
( yaitu, pilihan terminologi untuk keterbelakangan mental ), gangguan emosi yang serius,
ketidakmampuan belajar, sensitifitas bahan kimia dan lingkungan, dan masalah kesehatan
seperti Acquired Immuno Deficiency Syndrome ( AIDS ) dan asma adalah contoh dari
difabel yang secara substansial membatasi setidaknya satu kegiatan besar dalam hidup
seseorang. Aktifitas kehidupan utama termasuk kemampuan bernapas, berjalan, melihat,
mendengar, berbicara, bekerja, merawat diri sendiri, melakukan tugas-tugas manual, dan
belajar.

Biro Sensus AS (2006) mendefinisikan difabel sebagai syarat ketahanan fisik,


mental, atau emosional yang menciptakan batasan atau ketidakmampuan untuk berfungsi
sesuai dengan kriteria tertentu.

II.2.4 Status Kesehatan dan Penyebab Difabel


Masalah kesehatan kronis yang berhubungan dengan penuaan dan difabel
fungsional. Umumnya, kondisi pernapasan kronis, masalah pendengaran dan penglihatan,
stroke, dan patah tulang (keduanya patologis, yang disebabkan oleh osteoporosis, dan
disengaja, karena jatuh) meningkat dengan penuaan. Gangguan kognitif, seperti
demensia, berpotensi menjadi difabel. Amerika di semua kelompok umur dan budaya
yang menetap dan kelebihan berat badan atau obesitas lebih mungkin untuk mengalami
diabetes tipe 2. Keterlibatan perawat dalam promosi kesehatandan pencegahan penyakit
kritis. Terlepas dari penyebab difabel, hati-hati menilai persepsi orang yang terkena
dampak dari difabel. Pada akhirnya, sistem personal yaitu keyakinan individu dan
keluarga dan tradisi masyarakat mempengaruhi pengalaman individu hidup dengan
difabel dan partisipasinya dalam perawatan kesehatan.

II.2.5 Proses Terjadinya Difabel


Model NAPD menjelaskan kerangka kerja alternatif untuk melihat empat tahap
yang berkaitan dan berbeda dalam proses terjadinya difabel. Patologi di tinggat seluler
dan jaringan dapat menurunkan struktur atau fungsi pada tingkat organ. Seorang individu
dengan gangguan mungkin mengalami keterbatasan fungsional, yang membatasi
kemampuannya untuk melakukan tindakan dalam kisaran normal. Keterbatasan
fungsional dapat mengakibatkan difabel saat peran tidak dapat dilakukan.
Meskipun model yang muncul menunjukkan perkembangan yang searah dari
patologi ke arah kerusakan, kerterbatasan fungsional, difabel, bertahap atau kemajuan
yang linear mungkin tidak terjadi. Upaya pencegaha difabel dapat mengatasi salah satu
faktor risiko atau tahapan dalam proses terjadinya difabel. Upaya prmosi kesehatan
meliputi pencegahan primer difabel, pencegahan sekunder difabel yaitu pemulihan fungsi
dan pencegahan ersier untuk mencegah komplikasi.
Pencegahan difabel mencakup semua tindakan yang diambil untuk mengurangi
terjadinya penurunan nilai dan mencegah berkembang menjadi keterbatasan fungsional
(sekunder) serta untuk mencegah transisi keterbatasan fungsional untuk mejadi difabel.

II.2.6 Ragam Penyandang Disabilitas


Ragam penyandang disabilitas menurut UU No 8 tahun 2016 meliputi:
1. Penyandang disabilitas fisik (tunadaksa, amputasi, lumpuh layuh/kaku, paraplegi,
cerebral palsy, akibat stroke, akibat kusta, orang kecil)

2. Penyandang disabilitas intelektual


A. Berdasarkan Tingkat Intelegensi / IQ
1. Karakteristik Borderline dan Mild (Ringan)
2. Karakteristik Moderate (sedang)
3. Karakteristik Severe and Profound (berat)
B. Berdasarkan Fungsi perilaku adaptif / SQ
1. Penyandang disabilitas intelektual (PDI) ringan (mild)
2. Penyandang disabilitas intelektual (PDI) sedang (moderate)
3. Penyandang disabilitas intelektual (PDI) berat (Severe dan Profound)

C. Tipologi atau Sudut Pandang Medis


1. Down Syndrome
2. Cretinisme/stanted
3. Microcephali
4. Macrocephali
5. Schapochepali
6. Penyandang disabilitas intelektual lain
7. Penyandang disabilitas mental (ODMK atau ODGJ)
8. Penyandang disabilitas sensorik (tunarungu, tunawicara, tunanetra)

II.2.7 Keluarga dan Respon Pelaku Rawat Terhadap Anak dengan Difabel
Tanggapan saudara ke kakak/adik yang menderita difabel dapat dipengaruhi oleh
faktor faktor seperti usia saudara kandung, sumber strategi koping, kekuatan hubungan
dengan teman sebaya, persepsi beban orang tua dalam merawat anak difabel, keinginan
saudara untuk melindungi orang tua dari keprihatinan mereka tentang difabel, dan
dampak dari anak yang difabel mempengaruhi rencana keluarga dan kegiatan sosial.
Ulric dan Bauer (2003) mengusulkan bahwa penyesuaian pengalaman difabel
terjadi pada empat tingkat dengan orang tua secara bertahap menjadi sadar akan dampak
difabel anak mereka. Tingkat ini fase burung unta, ketika orang tua tidak menyangkal
difabel tetapi juga tidak sepenuhnya menyadari dampaknya; peruntukan khusus, ketika
orang tua mulai menyadari anak mereka memiliki kebutuhan khusus dan mencari
bantuan; normalisasi , ketika orang tua mencoba untuk membuat perbedaaan antara anak
dan anak-anak mereka tanpa difabel kurang jelas dan benar-benar dapat meminta
pengurangan layanan dan aktualisasi diri; ketika orang tua melihat menjadi berbeda tidak
lebih baik atau lebih buruk, hanya berbeda, dan hanya mendukung anak mereka untuk
belajar tentang difabel, bersama dengan bagaimana menjadi diri advokat, tingkat
penyesuaian menggambarkan, peluang kunci bagi perawat untuk mendukung orang tua
dengan pendidikan dan arahan kepada masyarakat dan sumber daya online. Perawat juga
dapat mendorong orang tua dari anak dengan difabel untuk terhubung dengan keluarga.,
anggota yang membuat perbedaan besar jika mereka memberikan dukungan yang tepat.

II.2.8 Hasil Penelitian Dikeluarga


Orang tua dari anak dengan difabel berduka kehilangan anak yang diidealkan atau
diharapkan dari waktu ke waktu. Apakah orang tua diantisipasi adanya difabel pada anak,
kelahuran setiap anak dengan difabel adalah kejutan, dan penolakan bisa terjadi. Orang
tua cendenrung sedih dan akhirnya dapat merangkul anak meskipun dalam beberapa
kasus, anak akan ditolak (lebih umum dialami oleh salah satu orang tua). orang tua
mungkin mengalami ketegangan peran pelaku perawat. Ketegangan peran mempengaruhi
pernikahan dan hubungan dengan anak anak lain juga. Sebagai contoh, ada sebuah tingkat
perceraian 85 %diantara orang tua dari anak-anak autis
Perawat dapat membantu orang tua dan keluarga menyesuaikan diri dengan
difabel pada anak dengan membangun hubungan yang mendukung. Mendidik mereka
tentang kondisi anak berdasarkan kesiapan mereka untuk belajar, dan merujuk mereka ke
menejer kasus atau kelompok dukungan serta untuk perawatan spiritual. Memberdayakan
dan memungkinkan orang tua untuk pengambilan keputusan atas nama anak dengan
difabel dan membqngun kemitraan antara orang tua dan tim kesehatan juga penting.

II.2.9 Klien yang berwawasan luas dan perawat yang berwawasan luas
Seseorang yang hidup dengan difabel terbiasa menjadi seseorang yang ahli untuk
mengetahui apa yang terbaik bagi tubuhnya. Kasus ini berbeda secara signifikan dari
orang dengan cidera yang menghasilkan difabel baruatau orang tua daru seorang anak
dengan difabel yang baru terdiagnosis yang membutuhkan informasi dan waktu untuk
beradaptasi dengan kecacatan. Model intersystem (Artinian Bart dan Conger, 2011)
mengacu pada orang pertama digambarkan sebagai klien yang berwawasan luas. Dalam
hal ini klien telah hidup dengan kondisi difabel untuk waktu yang panjang dan telah
menjadi peka terhadap kebutuhan atau tubuhnya.
Perawat harus meminta klien apa yang terbaik untuk dia dan tujuan apa yang ingin
klien sedang capai. Klien ingin perawat untuk mendengarkan keprihatinannya dan dapat
mengambil manfaat dari rujukan ke sumber daya yang berhubungan dengan kesehatan.
Namun jika perawat mencoba untuk memberitahu klien ini apa yang harus
dilakukan, klien dapat marah dan mencar bantuan ditempat lain.
Klien dalam situasi kedua membutuhkan layanan dari perawat berpengetahuan
klien yang baru didiagnosisi bisa mendapatkan keuntungan dari informasii perawat
tentang difabel dan masyarakat yang tersedia dan sumber daya pemerinntah. Jika perawat
tidak dapat mengelola difabel dan menerima dirinya sediri sebagai orang difabel, perawat
dapat berkompromi beradaptasi dengan klien dan berinteraksi antara klien/perawat di
masa depan.
Kolaborasi aktif dari klien dan perawat diperlukan untuk mengembangkan
rencana keperawatan baik dan akan diterima. Kadang-kadang perawat harus lebih
fleksibel dalam harapannya. Dalam analisis akhir, klien akan mencapai hanya apa yang
dia setuju untuk menyelesaikan sebagai salah satu yang diamati oleh perawat.
Sensitivitas adalah mampu mendengarkan, mampu mendengar keluarga, mampu
menanggapi dimana mereka berada. Tidak agenda anda sendiri, dan itu sangat keras
untuk perawat. Apa yang anda pikirkan perlu anda lakukan untuk perawatan kesehatan
dan anda benar-benar kehilangan jejak dimana keluarga adalah mereka mungkin tidak
melakukannya dengan cara yang kita inginkan. Tapi mereka ahli dalam perawatan anak
mereka sendiri (Treloar, 1999)

II.2.10 Strategi Perawat Kesehatan Komunitas dalam Merawat Penyandang Difabel


Perawat yang bermitra dengan penyandang difabel dan keluarganya dapat memberikan
asuhan keperwatan menggunakan sejumlah strategi dalam berbagai kelompok
komunitas. Individu, keluarga, dan masyarakat dapat menjadi klien utama. Orang yang
terkena dampak difabel memiliki kebutuhan perawatan kesehatan dan sumber daya umum
dibandingkan orang-orang tanpa difabel. Lawthers dan rekan (2003)
mengidentifikasi lima kualitas utama isu perawatan untuk penyandang difabel :

a. Kurangnya pemanfaatan perawatan kesehatan preventif sesuai usia


b. Kurangnya penanganan terhadap kondisi kesehatan
c. Kurangnya pengetahuan penyedia perawatan kesehatan tentang perawatan yang tepat
dan efektif
d. Hambatan terhadap efektifitas komunikasi antara klien, keluarga, dan penyedia
layanan
e. Faktor resiko cidera

Peran perawat harus mencerminkan kebutuhan dan sumber daya klien dan
keluarganya. Data dari wawancara yang dilakukan dengan perawat yang memberikan
perawatan kepada difabel menggambarkan prinsip-prinsip berikut (Treolar,1999) :

a. Jangan berasumsi apa-apa


Perawat harus mengumpulkan data dari perspektif orang dan keluarga
difabel. Seorang perawat manajer kasus untuk keluarga dengan anak-anak yang
mengalami difabel menjelaskan :
Lihatlah setiap orang, klien, keluarga, setiap situasi sebagai salah satu
yang benar-benar baru dan berbeda. ... Ada hal-hal budaya yang anda ingin
hormati. Tapi jangan menganggap apa-apa. ... Mendengarkan apa yang tidak
dikatakan. Saya melihat orang. .. Anda pergi kerumah dan anda dapat belajar
banyak sekali, bahkan tidak mengajukan pertanyaan apapun.
b. Mengadopsi perspektif klien
Jika perawat bertindak dari agenda mereka atau norma-norma budaya
pribadi dan bukan dari orang-orang disekitar klien, hasilnya akan kurang produktif
dan kurang memuaskan. Lebih penting lagi, perawat akan mengalami kegagalan
untuk membangun hubungan yang menghormati klien sebagai yang paling mengerti
status kesehatannya sendiri. Selanjutnya, apa yang tampaknya menjadi penghalang
atau pembatasan mungkin tidak mencerminkan situasi sebenarnya atau perspektif
klien (prioritas).
c. Mendengarkan dan belajar dari klien; mengumpulkan data dari perspektif klien dan
keluarga.
Jika klien memilki difabel mental yang berat dan tidak dapat memberikan
informasi yang dapat dipercaya, meminta keluarga atau pelaku rawat. Perawat harus
membangun hubungan yang responsif terhadap cara orang tersebut dan cara keluarga
untuk menangani difabel. Perawat berpengalaman menjelaskan :
Bahwa orang tua atau pelaku rawat adalah salah satu yang ada untuk anak
dengan difabel sepanjang waktu. Mereka tahu anak itu jauh lebih baik. Aku mungkin
tahu sesuatu hal medis yang mereka tidak tahu... itu adalah dimana anda turun
untuk berbagi hal dengan orang-orang seperti itu. Ajari aku. Saya selalu ada untuk
belajar.
d. Perawatan untuk klien dan keluarga, tidak difabel
Gaya dan maksud dari klien dan penyedia komunikasi mempengaruhi
penerimaan interaksi. Sebuah gaya “percakapan” yang membentuk kemitraan yang
sama dengan klien lebih ke arah “membuka buku pelajaran” pendekatan itu
memberitahu klien “di sini adalah apa yang perlu anda lakukan”. Perawat harus
membantu menanyakan apa kebutuhan klien, apa yang klien mampu lakukan , dan
bagaimana perawat dapat membantu. Seorang perawat kesehatan komunitas
menggambarkan menerapkan ide-ide ini dalam bekerja denga keluarga dari anak-
anak difabel.
Apakah mereka mampu mengembangkan rencana perawatan kesehatan
mereka sendiri untuk anak mereka? Ini sekali lagi, mungkin tidak menjadi milik kita
(rencana). Apakah mereka mampu menindaklanjuti bagian penting dari perawatan
kesehatan bagi anak mereka, atau setidaknya mengidentifikasi bahwa mereka tidak
memiliki sumber daya untuk melakukan itu? ... pada saat kita membuat keluarga
merasa bahwa jika mereka tidak mengikuti rencana kami, maka mereka orangtua
yang buruk
e. Mendapat informasi tentang sumber daya masyarakat
Orang sering merespons secara berbeda terhadap permintaan oleh seseorang
yang mereka kenal dan hormati, oleh karna itu mungkin bermanfaat bagi perawat
komunitas untuk menghubungi secara personil tentang klien dan keluarga yang
membutuhkan. Lawthers dan reka (2003) menggambarkan koordinasi perawatan
sebagai pelumas yang memfasilitasi jalan untuk semua bidang kualitas untuk difabel
dan memberikan kesempatan yang paling signifikan untuk perbaikan dalam
pemberian perawatan oleh penyedia layanan kesehatan multidisiplin.
f. Menjadi advokat yang kuat
Advokasi perawat komunitas untuk difabel melampaui menjadi koordinator
sumber daya dan rujukan atau berbicara atas nama pihak lain. Orang dengan difabel
ingin berbicara sendiri. Mereka ingin mengendalikan hidup mereka dan perawatan
kesehatan mereka. Salah satu orang difabel mengatakan :
Mereka {penyedia layanan kesehatan yang bertindak dalam peran
advokasi} memberikan informasi, tetapi mereka memberikan pilihan untuk orang
tersebut. Dan bahkan jika orang tersebut memilih hal yang berlawanan dengan apa
yang telah disarankan, mereka tetap memberikan dukungan yang sama.

Perspektif perawat kesehatan komunitas tentang difabel akan mempengaruhi


peran keperawatan dan tingkat perawatan yang ia sediakan untuk orang difabel dan
keluarga mereka. Berbagai sistem mulai dari pemerintah, masyarakat, lembaga, dan
keluarga untuk individu, mempengaruhi pengalaman hidup dengan difabel. Terlepas
dari apakah perawat memilih untuk bekerja dalam pengaturan yang mengkhususkan
diri dalam pelayanan kesehatan bagi orang difabel , difabel adalah pengalaman
umum bahwa semua perawat berlatih akan menghadapinya.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK CACAT GANDA


a) Pengkajian :
Pengkajian komunitas terdiri dari inti komunitas yang meliputi demografi,
populasi, nilai-nilai keyakinan, riwayat individu termasuk riwayat kesehatan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi adalah lingkungan fisik, pendidikan, keamanan dan
transportasi, politik dan pemerintah, pelayanan kesehatan dan sosial, komunikasi,
ekonomi dan rekreasi. Semua aspek ini dikaji melalui pengamatan langsung,
penggunaan data statistik, angket, wawancara dengan tokoh masyarakat, tokoh agama
dan aparat pemerintah.
 Pengkajian Fisik
 Anamnese, yang meliputi :

1. Riwayat Keluarga :
- Gangguan genetik yang berhubungan dengan kerusakan pendengaran atau
berbicara.
- Anggota keluarga, khususnya saudara ataupun orang tua dengan gangguan
pendengaran atau bicara.

2. Riwayat Prenatal :
- Keguguran/abortus
- Penyakita yang menyeratai kehamilan (rubella, sifilis, diabetes)
- Pengobatan yang diperoleh selama kehamilan
- Eklamsia

3. Riwayat Persalinan :
- Durasi persalinan, tipe persalinan
- Gawat janin
- Presentasi (terutama letak sungsang)
- Pengobatan yang digunakan
- Ketidakcocokan darah

4. Riwayat Kelahiran
- Berat badan lahir < 1500 g
- Hiperbilirubinemia yang berlebihan merupakan indikasi untuk exchange
transfusi
- Asfiksia berat
- Prematuritas
- Infeksi virus perinatal kongenital (sitomegalivirus, rubela, herpes, sifilis,
toksoplasmosis)
- Anomali kongenital yang mengenai kepala dan leher

5. Riwayat Kesehatan Masa lalu


- Immunisasi
- Penyakit sistem syarat seperti meningitis bakterial
- Kejang
- Demam tinggi yang tidak diketahui penyebabnya
- Obat ototoksik
- Pilek, infeksi telinga dan alergi
- Kesulitan penglihatan
- Terpapar bising yang berlebihan

6. Perkembangan Pendengaran
- Kekhawatiran orang tua mengenai kerusakan pendengan (apa petunjuknya
serta usia berapa)
- Respon terhadap suara, bising yang keras, bunyi dengan frekuensi yang
berbeda.
- Akibat pengujian audiometrik sebelumnya

7. Perkembangan Bicara
- Usia berguman, kata pertama yang bermakna dan frase
- Kejelasan bicara
- Perbendaharaan kata terakhir

8. Perkembangan Motorik
- Usia duduk, berdiri dan berjalan
- Tingkat kemandirian dalam perawatan diri, makan, toileting, dan berdandan

9. Perilaku Adaptif
- Aktivitas bermain
- Sosialisasi dengan anak lain
- Perilaku; tempertranum, menyerang, self-vexation, stimulus fibrasi
- Pencapaian pendidikan
- Perilaku terbaru/atau perubahan kepribadian

b) Analisis Data Dan Diagnosis Keperawatan


Dari hasil pengkajian diperoleh data-data yang kemudian dianalisis untuk
mengetahui stresor yang mengancam masyarakat dan seberapa berat reaksi yang
muncul dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya dirumuskan masalah dan diagnosiskan
keperawatan menurut Mueke (1987), yang terdiri dari: masalah sehat-sakit,
karakteristik populasi, dan karakteristik lingkungan.

c) Intervensi

Strategi intervensi dalam keperawatan komunitas mencakup partnership,


locality devepment, health education dan empowerment melaui pendidikan kesehatan,
kerjasama dan proses kelompok, serta mendorong peran serta masyarakat dalam
memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi. Tujuan akhir perencanaan komunitas
adalah menumbuhkan kemandirian masyarakat, maka diperlukan pengorganisasian
komunitas yang dirancang untuk membuat perubahan.

d) Implementasi

Pelaksanaan praktik keperawatan komunitas berfokus pada tiga tingkatan


pencegahan (Anderson & Mc. Farlane, 2000) yaitu : pencegahan primer, skunder, dan
tersier. Adapun tahap pencegahan pada kebutaan adalah sebagai berikut :

1) Pencegahan Primer

Pencegahan primer meliputi segala bentuk kegiatan yang dapat


menghentikan kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi.
Pencegahan primer juga diartikan sebagai bentuk pencegahan terhadap terjadinya
suatu penyakit pada seseorang dengan faktor risiko.

a. Spesific protection, antara lain yaitu :

o Menghindari sinar matahari langsung

o Tidak merokok dan menghindari asap rokok

o Mengurangi berat badan bagi yang mempunyai berat badan berlebih

o Menghindari pemakaian obat steroid


o Menghindari makanan yang sudah tengik dan sumber radikal bebas
lainnya

o Mengurangi asupan lemak hewan

o Menghindari makanan yang merupakan produk akhir

o Mengurangi minuman alkohol

o Mengkonsumsi buah dan sayur lebih dari 3,5 porsi sehari

o Makan makanan yang lebih banyak mengandung asam amino sulfur dan
menggunakan banyak bumbu, tumerik dan curcumin

o Mengkonsumsi vitamin dan mineral yang mengandung vitamin B1,


vitamin C, vitamin E, beta karoten, zinc, cooper, dan selanium dengan
dosis diberikan oleh pengawas kesehatan.

b. Pendidikan dan promosi kesehatan

2) Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder ini diberikan kepada mereka yang menderita atau


dianggap menderita. Adapun tujuan pada pencegahan sekunder yaitu diagnosis
dini dan pengobatan yang tepat. Adapun beberapa pengobatan terhadap kebutaan
dapat melalui obat dan operasi.

Pencegahan sekunder terdiri dari :

 Diagnosis dini dan pengobatan segera

 Pembatasan ketidakmampuan (disability)

3) Pencegahan Tersier

Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah cacat, kematian,


serta usaha rehabilitasi. Pencegahan tersier terhadap kebutaan dapat dengan
melakukan perawatan pasien hingga sembuh serta melakukan terapi-terapi untuk
meminimalisir kecacatan akibat kebutaan tersebut. Pencegahan tersier adalah
Rehabilitasi.

e) Evaluasi

Evaluasi merupakan respon komunitas terhadap program kesehatan yang


dilaksanakan meliputi masukan (input), pelaksanaan (process), hasil (output).
Sedangkan fokus evaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas adalah : a)
Relevansi antara kenyataan yang ada dengan pelaksanaan. b) Perkembangan atau
kemajuan proses : apakah sesuai dengan perencanaan, bagaimana dengan peran staf
atau pelaksanaan tindakan, fasilitas dan jumlah peserta. c) Efisiensi biaya : pencarian
sumber dana dan pengunaannya. d) Efektifitas kerja : tujuan tercapai dan apakah klien
atau masyarakat puas. e) Dampak : apakah status kesehatan meningkat setelah
dilakukan intervensi
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum
dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan
antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan
lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit,
bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial.
Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki
peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan.
Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan
semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan
merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, mental dan sosial individu
secara optimal, dan yang selaras dengan perkembangan orang lain.

III.2 Saran
Untuk mendapatkan manfaat yang sempurna dari makalah yang kelompok buat ini,
hendaknya pembaca memberikan kritik dan saran serta melakukan pengkajian ulang
(diskusi) terhadap penulisan sehingga kelompok terhindar dari kekeliruan.
DAFTAR PUSTAKA

Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-V.
Cetakan 2 Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya. Jakarta:
PT Nuh Jaya.
Nies, Mary A dan Melanie McEwen. 2015. Keperawatan Kesehatan Komunitas dan Keluarga,
edisi Indonesia pertama. Singapore: ELSEVIER

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

Anda mungkin juga menyukai