Kelompok III
Anggota :
Ahmada Ken A. R. 1706048085 Muliani Wahab 1706048482
Aldo Serena Sandres 1706048942 Najla Sofyan 1706047593
Aulia Rizka Safara 1706977216 Nethania Vanida 1706048886
Bianka Renzanova K. 1706977241 Nurul Hasanah 1706977664
Christine Natalia E. 1706977260 Nyimas Mahdiyah F. 1706048091
Frederik Agnar W. 1706049094 Ramzy Sayuda P.H.P. 1706048532
Hasri Imroatul Izza 1706977405 Rangga Aulia R. 1706048015
Iga Mawarni Putri 1706977443 Raushan Aljufri 1706048734
Jocelyn Aprilia 1706048476 Rosa Auli Calend 1706977765
MariaKinara Mamora 1706977512 Thea Mutiara Khalifa 1706048721
Maulidina Amanda P. 1706977531 Wendy Aprilyanto 1706048103
M. Selaning Sejati 1706048910
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum Acara Pidana dapat didefinisikan sebagai peraturan hukum yang mengatur,
menyelenggarakan dan mempertahankan eksistensi ketentuan hukum pidana materiil guna
mencari, menemukan dan mendapatkan kebenaran materiil atau kebenaran yang
sesungguhnya.1 Adapun tujuan dari Hukum Acara Pidana menurut Pedoman Pelaksanaan
KUHAP adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil atau setidak-tidaknya
sesuatu yang mendekati kebenaran materiil dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku
yang dapat didakwakan atas suatu pelanggaran hukum, dan juga untuk memintakan
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu
tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 2 Di
dalam suatu proses peradilan pidana, sangat mungkin terjadi suatu upaya paksa yang
merampas hak-hak asasi dari Terdakwa. Oleh karena itu, diperlukan suatu aturan khusus
yang mengatur mengenai tata cara perlakuan terhadap upaya paksa tersebut dan juga hukum
yang mengatur mengenai proses peradilan tersebut agar hak-hak asasi dari Terdakwa tetap
dapat terlindungi oleh hukum.
Dalam rangka memenuhi persyaratan tugas mata kuliah Praktek Hukum Pidana,
kelompok kami sempat melakukan kunjungan ke pengadilan dan melakukan observasi
terhadap beberapa sidang mengenai penerapan Hukum Acara Pidana sebagaimana yang
diatur dalam KUHAP ataupun peraturan lainnya. Dalam hal ini, kelompok kami pada hari
Kamis, 12 Maret 2020 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kelompok kami sempat
melakukan observasi terhadap 7 dari 11 tahapan sidang dan telah mencatat beberapa poin-
poin penting yang akan kami bahas lebih lanjut di dalam laporan ini serta menguraikan
kaitannya dengan Hukum Acara Pidana yang seharusnya diberlakukan. Dari observasi
tersebut, kami mengamati bahwa beberapa persyaratan Hukum Acara Pidana sebagaimana
yang diatur di dalam KUHAP masih ada yang belum terpenuhi secara sempurna. Selain itu,
kami juga menemukan banyak kelemahan yang bersifat teknis seperti penundaan jam
persidangan secara berulang dan bahkan kurangnya jumlah Penasihat Hukum Negara
sehingga dalam beberapa persidangan, kami masih menemukan bahwa banyak Terdakwa
yang tidak didampingi oleh Penasihat Hukum karena Penasihat Hukum yang semula
1 Mr. S.M Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradjnya Paramita, 1971), hlm. 15.
2 Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58
Tahun 2010, PP 58/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
1
dialokasikan kepadanya ternyata sedang mendampingi Terdakwa yang lain. Selain itu, kami
juga menemukan bahwa terdapat beberapa Hakim yang kurang menyimak fakta-fakta yang
terjadi di dalam persidangan misalnya saat Terdakwa atau Penasihat Hukum membacakan
pledoi atau pembelaan terdakwa. Kami akan membahas lebih lanjut mengenai hasil
observasi terhadap Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beserta komentar serta saran dari
kelompok kami pada bagian selanjutnya dalam laporan hasil pengamatan ini.
2
sehingga tanpa secara emosional terlibat dalam kelompok yang kami amati. Selanjutnya,
diarahkan kepada pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen, baik dokumen
tertulis seperti buku dan jurnal, gambar, maupun elektronik yang dapat mendukung dalam
proses penulisan. Kami juga menggunakan metode analisis dengan menyelaraskan ilmu
dalam hukum acara perdata dengan praktik yang terjadi di lapangan.
BAB II
TEORI HUKUM ACARA PIDANA
3
dakwaan, Majelis Hakim biasanya juga akan menanyakan mengenai keadaan Terdakwa,
apakah cukup sehat untuk mengikuti persidangan atau tidak. Fungsi pembacaan surat
dakwaan sesuai dengan kedudukan jaksa sebagai penuntut umum dan langkah awal taraf
penuntutan tanpa mengurangi penuntutan yang sebenarnya pada waktu membacakan
rekuisitor. Selanjutnya, setelah pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, Majelis
Hakim akan menanyakan kepada Penasihat Hukum apakah akan melakukan eksepsi atau
tidak, tetapi kemudian, eksepsi ini sifatnya tidak wajib.
Terdapat beberapa jenis eksepsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP,
yaitu:4
4
maka menjadi kekuasaan absolut adalah pengadilan negeri dalam lingkungan
peradilan umum.
Eksepsi atas alasan dakwaan tidak dapat diterima adalah berupa eksepsi yang berisi
bahwa dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum terhadap terdakwa tidak tepat,
sehingga tidak dapat diterima.
Menurut Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, surat dakwaan harus memenuhi kriteria-
kriteria sebagai berikut:
5
“Penuntut umum dalam membuat surat dakwaan haruslah diuraikan secara cermat,
jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan
waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. “
Apabila surat dakwaan tidak memenuhi persyaratan yang telah dicantumkan dalam Pasal
143 ayat (2), maka dapat diajukan eksepsi bahwa surat dakwaan harus dibatalkan.
Umumnya, eksepsi yang meminta surat dakwaan untuk dibatalkan akibat ketidakjelasan
waktu dan tempat tindak pidana atau unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan disebut
dengan eksepsi obscuur libel atau dakwaan kabur.
Lebih spesifik lagi mengenai prosedur pengajuan dan pemeriksaan eksepsi, dapat merujuk
pada Pasal 156 ayat (1) dan (2) KUHAP. Disebutkan dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP
bahwa setelah eksepsi diajukan oleh Terdakwa atau Penasihat Hukum, maka Penuntut
Umum dapat menanggapi eksepsi tersebut. Setelah itu, barulah hakim mempertimbangkan
eksepsi yang diajukan untuk diputuskan. Dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP disebutkan
bahwa apabila eksepsi diterima, maka perkara tidak akan memasuki pokok perkara karena
tidak akan diperiksa lebih lanjut. Namun, apabila eksepsi tersebut tidak diterima atau hakim
menyatakan bahwa eksepsi baru dapat diputuskan setelah pemeriksaan, maka persidangan
akan berlanjut.
Dalam hal ada keberatan dengan keputusan atas diterimanya eksepsi tersebut, maka penuntut
umum dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi. Apabila perlawanan
diterima oleh pengadilan tinggi, maka dalam jangka waktu 14 hari, pengadilan tinggi dapat
mengeluarkan surat penetapan yang membatalkan putusan pengadilan negeri yang
berwenang untuk memeriksa perkara. Mekanisme ini dijelaskan pada Pasal 156 ayat (3) dan
Pasal 156 ayat (4) KUHAP.
6
2.4 Sidang IV: Tanggapan Atas Tanggapan Jaksa Penuntut Umum
Setelah Jaksa Penuntut Umum memberikan tanggapan terhadap eksepsi yang diajukan oleh
Terdakwa atau Penasihat Hukum dalam suatu perkara, Hakim dapat memberikan satu
kesempatan lagi untuk Terdakwa atau Penasihat Hukum memberi Tanggapan atas
Tanggapan Jaksa Penuntut Umum. Namun, pada prakteknya, ini bersifat opsional, oleh
karenanya hal ini jarang ditemukan. Pada umumnya, setelah Tanggapan dari Penuntut
Umum terhadap Eksepsi, agenda sidang selanjutnya ialah adalah pembacaan Putusan Sela.
Isi daripada Tanggapan kini adalah biasanya menguatkan eksepsi yang telah diajukan dari
Terdakwa atau Penasehat Hukum, dan berusaha untuk melemahkan isi Tanggapan Jaksa
Penuntut Umum dengan menyebutkan kelemahan dari dasar hukum yang diajukan Penuntut
Umum yang berkaitan dengan perkara tersebut.5
7
PDM- 57/II/Bkasi/03/2020, tanggal 9 Maret 2020 dapat diterima; Memerintahkan
sidang pemeriksaan dalam perkara pidana atas nama Terdakwa CHARLES
SIBARANI dilanjutkan; Menangguhkan biaya perkara sampai putusan akhir.7
Dari amar putusan sela tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa keberatan penasihat hukum
ditolak sehingga perkara dilanjutkan pada tahap pembuktian. Pada pembacaan putusan sela
yang menolak keberatan dari terdakwa atau penasihat hukumnya, hakim selanjutnya
menanyakan kepada Penuntut Umum terkait waktu yang dibutuhkan untuk tahap
pembuktian.
Terkait dengan putusan sela yang menerima keberatan dari terdakwa atau penasihat
hukumya, dapat ditemukan sebagai contoh dalam Putusan No.
354/Pid.Sus/2016/PN.JKT.SEL, atas nama terdakwa Dr. Yulianus Paonganan, yang pada
amar putusan hakim menyatakan:
1. Menerima keberatan Penasihat Hukum terdakwa;
2. Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum;
3. Memerintahkan agar persidangan dalam perkara pidana Nomor: 354/
Pid.Sus/2016/PN. JKT. SEL, atas nama terdakwa Dr. Yulianus Paonganan,
S.Si, M.Si alias @ YPAONGANAN alias Yulian Paonganan dihentikan;
4. Membebaskan Terdakwa dari tahanan.8
Dari putusan sela tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuai dengan pasal 156 (2)
KUHAP terhadap keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh Hakim, maka
perkara tersebut tidak dapat diperiksa lebih lanjut / dihentikan.
Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh
dipergunakan. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi
manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan
terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai
keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan
untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas
dengan kebenaran formal. Sistem pembuktian dalam perkara pidana di Indonesia adalah
sistem pembuktian berdasarkan undang- undang secara negatif dimana pembuktian harus
8
didasarkan pada undang-undang (Pasal 183 KUHAP) yakni dengan sekurang- kurangnya
dua alat bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Hukum acara pidana bertujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap- lengkapnya dari
suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan
tepat untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran
hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah yang didakwa itu
dapat dipersalahkan. Pasal 183 KUHAP menentukan, Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.9
A. Penyidikan
B. Penuntutan
C. Pemeriksaan di persidangan
D. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan
9 Anonim, KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 271.
9
Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase atau prosedur dalam
pelaksanaan hukum acara pidana secara keseluruhan. Yang sebagaimana diatur didalam
KUHAP.10 Adapun alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam pasal 184 ayat (1)
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni sebagai berikut:
A. Keterangan saksi
B. Keterangan ahli
C. Surat
D. Petunjuk
E. Keterangan terdakwa
Kelima alat bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama dalam persidangan
acara pidana. tidak ada pembedaan antar masing-masing alat bukti satu sama lain. Urutan
sebagaimana yang diatur didalam pasal tersebut hanyalah urutan sebagaimana dalam
pemeriksaan persidangan. Berikut kami akan menguraikan pembuktian saksi dan
pembuktian ahli.
Pengertian keterangan saksi sebagaimana yang diatur di dalam pasal 1 ayat (27)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. bahwa keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuan itu. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas
bahwa dikatakan sebagai seorang saksi memiliki tiga kriteria yakni:
1. ia dengar sendiri
2. ia lihat sendiri
3. ia alami sendiri
Pasal 1 angka 26 KUHAP dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), (4), Pasal 184 ayat
(1a) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak
10 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (Jakarta: Ghalia, 1983), 12.
10
dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka
penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Artinya, juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak
pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang
berhadapan dengan tersangka/terdakwa. Saksi demikian disebut sebagai testimonium de
auditu, yakni kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain.11
Keterangan seorang saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan yang disampaikan
orang lain kepadanya adalah:12
A. Berada di luar kategori keterangan saksi yang dibenarkan Pasal 171 HIR dan Pasal
1907 KUH Perdata;
B. Keterangan saksi yang demikian, hanya berkualitas sebagai testimonium de auditu;
C. Disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami,
melihat, atau mendengar sendiri peristiwa pokok perkara yang disengketakan.
Bentuk keterangan tersebut dalam sistem hukum Common Law disebut dengan hearsay
evidence.13
Sebagai alat bukti, tidak semua keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti
dalam suatu persidangan, terdapat syarat-syarat tertentu agar keterangan saksi dapat dinilai
sebagai alat bukti didalam persidangan untuk membuat ketarangan dalam suatu perkara.
Adapun syarat-syarat tersebut yakni sebagai berikut:14
11 Yahya Harahap. 2016. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 661
12 Ibid.
13 Ibid.
14 Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di Indonesia),
hal 175.
11
4) Dalam hal keterangan saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan
dapat dinilai sebagai alat bukti apabila keterangan para saksi tersebut saling terkait
dan berhubungan satu dengan lainnya
5) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi lainnya.
6) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lainnya.
7) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi atau tidaknya keterangan itu dipercaya patut dipertimbangkan oleh
hakim dalam menilai keterangan saksi
Saksi menurut sifatnya dalam sidang pembuktian dapat dibagi menjadi dua golongan , yaitu
sebagai berikut:15
15 Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Yogyakarta: Rangkang Education, 2013), hal
254-255.
16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Ps. 1 Angka 28.
12
Apabila kita kembali merujuk pada Pasal 184 KUHAP, maka kita dapat lihat kembali bahwa
yang tercakup sebagai alat bukti ialah:17
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Berbeda dari alat-alat bukti lainnya yang dirinci lebih tegas dalam pasal-pasal berikutnya,
keterangan ahli ini hanya memiliki uraian singkat dalam satu pasal dengan satu kalimat,
yaitu dalam Pasal 186 KUHAP yaitu:18
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Lebih lanjut, penjelasan Pasal 186 KUHAP ini menjelaskan sebagai berikut:
“Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik
atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada
pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan, dicatat dalam berita
acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau
janji di hadapan hakim.”
Akan tetapi, penjelasan pun tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan keahlian itu
sendiri. Dalam Pasal 343 Ned. SV. misalnya diberikan definisi apa yang dimaksud dengan
keterangan ahli sebagai berikut: “Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang diminati
pertimbangannya.”19
Jadi, dari keterangan tersebut diketahui bahwa yang dimaksud dengan keahlian adalah ilmu
pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan
(wetenschap) diperluas pengertiannya oleh HR yang meliputi kriminalistik, sehingga van
Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, pengetahuan tentang sidik jari, dan
sebagainya termasuk pengertian ilmu pengetahuan (wetenschap) menurut pengertian Pasal
13
343 Ned. Sv. tersebut. Oleh karena itu, sebagai Ahli seseorang dapat didengar
keterangannya mengenai persoalan tertentu yang menurut pertimbangan hakim orang itu
mengetahui bidang tersebut secara khusus.20
Kemudian, apakah ada batasan mengenai seseorang sehingga dapat disebut sebagai ahli atau
tidak? Hal ini kembali pada pertimbangan hakim dalam menentukan. Seorang ahli umumnya
mempunyai keahlian khusus di bidangnya baik formal maupun informal karena itu tidak
perlu ditentukan adanya pendidikan formal, sepanjang sudah diakui tentang keahliannya.
Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan
hukumnya. Keterangan ahli mempunyai visi apabila apa yang diterangkan haruslah
mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya yang diterangkan
mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang
diperiksa.21
20 Ibid.
21 Tri Jata Ayu Pramesti. Syarat dan Dasar Hukum Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52770db2b956d/syarat-dan-dasar-hukum-keterangan-ahli-
dalam-perkara-pidana/, diakses 3 Mei 2020.
14
Tuntutan tersebut dalam persidangan dan menyerahkan dokumen aslinya kepada ketua
sidang setelah selesai dibacakan. Turunannya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan.
Surat Tuntutan tersebut merupakan bagian penting dalam proses peradilan hukum
acara pidana. Dalam pembuatannya, Surat Tuntutan ini harus sesuai dengan Surat Dakwaan
yang telah lebih dulu dibuat karena Surat Dakwaan merupakan dasar bagi pembuatan
tuntutan. Selain itu, Surat tuntutan (requisitoir) juga harus mencantumkan tuntutan jaksa
penuntut umum terhadap terdakwa, baik berupa penghukuman atau pembebasan dan disusun
berdasarkan pemeriksaan saksi dan saksi ahli, alat bukti, dan keterangan terdakwa.
15
replik. Dan atas replik ini terdakwa atau penasihat hukum berhak untuk mendapat
kesempatan untuk mengajukan duplik atau jawaban kedua kali (rejoinder).23
2.9 Sidang IX: Pembacaan Replik (Tanggapan Dari Jaksa Penuntut Umum Atas
Pledooi Penasihat Hukum)
Tahap replik merupakan tahapan dimana Jaksa Penuntut Umum
menanggapi/menjawab nota pembelaan (pledoi) yang dibacakan oleh Penasihat Hukum
Terdakwa. Setelah nota pembelaan terhadap surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum dibacakan
oleh Penasihat Hukum Terdakwa, Majelis Hakim akan bertanya kepada Jaksa Penuntut
Umum apakah akan memberikan jawaban terhadap pledoi yang dibacakan oleh Penasihat
Hukum Terdakwa tersebut.
Replik/jawaban terhadap pledoi berisi bantahan terhadap dalil-dalil yang dianggap
melemahkan tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum. Dalil-dalil tersebut dijawab dalam
replik sesuai dengan alat bukti yang telah diperoleh di persidangan dan dikuatkan dengan
pendapat para ahli, yurisprudensi, teori-teori hukum, doktrin, dan lain-lain.24
Berdasarkan Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP replik sebagai jawaban atas
pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan diserahkan kepada hakim ketua
sidang dan turunnannya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan seperti Penasihat
Hukum. Selanjutnya pihak Penasihat Hukum kembali melakukan tanggapan terhadap replik
Jaksa Penuntut Umum yang dikenal sebagai duplik.
2.10 Sidang X: Pembacaan Duplik (Tanggapan Dari Penasihat Hukum Atas Replik
Dari Jaksa Penuntut Umum)
Tahap duplik merupakan tahap setelah penasihat hukum membacakan surat tuntutan
dan terdakwa membacakan pledoinya. KUHAP sendiri tidak mengenal istilah Replik dan
Duplik, namun KUHAP mengenal proses yang menyerupai Replik dan Duplik, sebagaimana
yang dijelaskan dalam Pasal 182 ayat (1) huruf b dan c, yang dikatakan sebagai proses
jawaban atas Pembelaan Terdakwa, serta Jawaban atas Jawaban Pembelaan Terdakwa.25
Dengan disampaikannya replik penuntut umum, hakim harus memberikan
kesempatan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya untuk memberi jawaban terhadap
23 Ibid
24Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan RI, “Modul Penuntutan”
http://badiklat.kejaksaan.go.id/e-akademik/uploads/modul/bfec43987fb688576294d322957c17ac.pdf diakses
pada 3 Mei 2020.
25 Suria Nataadmadja & Associates, “Process and Procedure of Criminal Court Litigation”,
https://www.surialaw.com/news/proses-dan-tahapan-persidangan-perkara-pidana, diakses pada 3 Mei 2020.
16
replik tersebut. Oleh karena itu, Duplik adalah jawaban atas tanggapan Replik dari Jaksa
Penuntut Umum. Duplik berisi keberatan-keberatan serta penjelasan-penjelasan yang dapat
menguatkan keberatan penasihat hukum atau Terdakwa. Pada akhir Duplik biasanya
penasihat hukum juga senantiasa menyatakan bahwa ia tetap pada pembelaan seperti
semula.26
Berdasarkan Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP dinyatakan bahwa Terdakwa
dan/atau penasihat hukum mengajukan pembelaan yang dijawab oleh penuntut umum,
dengan ketentuan terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir. Hal ini
ditujukan agar penasihat hukum dan terdakwa mengetahui dan dapat menanggapi secara
keseluruhan dasar-dasar dan alasan yang dikemukakan penuntut umum dalam tuntutannya.
Dan menurut Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP sebagaimana replik dilakukan,
jawaban atas replik pun dilakukan secara tertulis.27
17
surat edarannya No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan No. I/1962 tanggal 7 Maret 1962
menginstruksikan antara lain agar pada waktu putusan diucapkan, konsep putusan harus
sudah selesai. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah adanya perbedaan isi putusan yang
diucapkan dengan yang tertulis.29 Menurut Lilik Mulyadi, secara detail dapat disebutkan
bahwa salah satu pengertian putusan hakim adalah bahwa putusan yang diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum. Putusan harus diucapkan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum sehingga sah dan mempunyai kekuatan hukum dan semua putusan
pengadilan adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum, apabila diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.30
Dalam KUHAP putusan dibagi menjadi dua yaitu putusan bebas dan putusan lepas,
sebagaimana yang tertera dalam pasal 191 ayat (1) dan (2). Berikut penjelasan putusan bebas
dan lepas.
1. Putusan Bebas (vrijspraak)
Tindak pidana yang didakwakan jaksa/ penuntut umum dalam surat
dakwaan yang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan berdasarkan hukum.
Dengan demikian, tidak terpenuhinya asas minimum pembuktian dan disertai
keyakinan hakim.
2. Putusan Lepas (ontslag van rechtsvervolging)
Segala tuntutan hukum atas perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam
surat dakwaan jaksa atau penuntut umum telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum, akan tetapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana,
karena perbuatannya bukan merupakan tindak pidana melakukan tindak pidana.31
Dengan demikian apabila dikaitkan dengan putusan No. 1216/Pid.B/2019/PN
Jkt.Tim terhadap terdakwa RITA IMELDA GINTING maka putusan yang dibuat pada
Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang diketuai oleh hakim Khadwanto telah menggunakan
putusan lepas (onslag van rechtsvervolging). Dengan demikian tuntutan yang diberikan atas
nama RITA IMELDA GINTING telah meyakinkan menurut hukum namun pengadilan
pidana tidak memiliki wewenang untuk mengadili perkara tersebut.
29 Ibid.
30 M Rasyid, L., & Herinawati, H. (2015). Hukum Acara Perdata. Unimal Press., hlm. 98
31 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Bandung: PT Citra Adiya Bakti, 2007), hlm. 152-153
18
19
BAB III
METODOLOGI PENGAMBILAN DATA
Dalam menyusun laporan hasil pengamatan ini, kelompok kami mendapatkan data
melalui 2 cara yang antara lain adalah sebagai berikut :
1. Observasi Langsung terhadap Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Kelompok kami telah melakukan observasi langsung pada hari Kamis, 12 Maret
2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan telah mengamati lebih dari 20
persidangan, namun dari sekian banyak sidang yang kami amati, kami hanya
mendapatkan 7 dari 11 tahapan yang diminta yang meliputi : Pembacaan Dakwaan,
Tanggapan atas Tanggapan JPU, Pembuktian, Pembacaan Tuntutan, Pembacaan
Pembelaan, Pembacaan Duplik, Pembacaan Putusan Akhir. Kami mencatat beberapa
poin penting di dalam persidangan dalam bentuk form dan juga mencatat fakta-fakta
ataupun percakapan menarik yang terjadi selama persidangan yang selanjutnya akan
diuraikan pada BAB IV.
2. Riset melalui website resmi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Untuk melengkapi tahapan-tahapan yang belum sempat kami lakukan observasi
langsung di pengadilan, kami akan menggunakan data-data yang tersedia dalam
website resmi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, dalam mencatat poin-poin
penting pada saat melakukan observasi langsung, ada sebagian informasi yang tidak
dapat kami tangkap sepenuhnya, sehingga untuk melengkapi hasil observasi,
kelompok kami juga akan melengkapinya dengan data dan informasi yang
dipublikasikan melalui website resmi yang selanjutnya akan diuraikan pada BAB IV.
BAB IV
HASIL OBSERVASI
20
4.1 Sidang I: Pembacaan Surat Dakwaan
Terdakwa FAISAL S.
21
Apabila didampingi PH, Hakim menanyakan surat ✔
4.
kuasa dan surat izin beracara
22
MH : “Biasanya orang Mandar itu kuat-kuat, ga kayak kamu. Ya sudah. Sidang
ditunda”
Untuk tahapan ini belum sempat dilakukan observasi langsung ke Pengadilan Negeri, uraian
teori mengenai tahap Eksepsi terdapat di dalam BAB II.
4.3 Sidang III: Tanggapan Jaksa Penuntut Umum (Belum sempat dilakukan
pengamatan langsung)
Untuk tahapan ini belum sempat dilakukan observasi langsung ke Pengadilan Negeri, uraian
teori mengenai tahap Tanggapan Jaksa Penuntut Umum terdapat di dalam BAB II.
Pasal yang didakwakan Primair pasal 114 ayat (1) jo. pasal 132 ayat (1) UU RI
no.35/2009 subs. pasal 112 ayat (1) jo. pasal 132 ayat (1)
UU RI No.35/2009
23
3.AHMAD ZAIM W., SH.
4.SUDARNO, SH.
24
ponsel yang dimasukan di dalam BAP sehingga Terdakwa menanyakan kemana
handphone-nya yang lain.
Pasal yang didakwakan Primair Pasal 114 ayat (1) Jo. Pasal 132 ayat (1) UU RI
No. 35/2009
Subsidair Pasal 112 ayat (1) jo. Pasal 132 ayat (1) UU
RI No.35/2009
Ancaman Pidana Menurut Pasal 114 ayat (1) Jo. Pasal 132 ayat (1) UU
RI No. 35/2009
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
25
Panitera Pengganti Achmad Dindin Junaedi
Pemeriksaan Saksi
26
JPU mengajukan pertanyaan kepada saksi/saksi ahli ✔
10.
● Diperjelas dengan dialog
Pemeriksaan Terdakwa
27
Sidang ditunda ✔
21.
28
S : “ ya benar”
PH : “saat melakukan penangkapan, apakah ada perlawanan dari Terdakwa?”
S : “tidak”
● Majelis Hakim mempersilahkan JPU menunjukkan barang bukti
● Saksi dipersilahkan meninggalkan persidangan
● Majelis Hakim mengajukan pertanyaan kepada Terdakwa dan terdakwa memberikan
jawaban:
MH : “Sudah berapa lama mengkonsumsi narkoba?”
T : “2 tahun”
MH : “Narkoba yang ditemukan menjadi BB untuk dijual/ dikonsumsi sendiri?”
T : “konsumsi sendiri”
MH : “Pekerjaan saudara memang apa?”
T : “Broker apartemen”
MH : “penghasilannya banyak dong berarti”
T : “Tergantung yang mulia, kalau lagi banyak ya banyak”
MH : “Harga beli narkoba berapa waktu itu?”
T : “1,2 juta (1 gram)”
MH : “ah yang benar, kemaren aja itu kesaksian 1 gramnya 3 sampai 5 juta”
T : “ya, yang mulia benar”
MH : “Terus kenapa narkoba harus dibagi menjadi 12 kantong plastik kecil-kecil
kalau untuk dikonsumsi sendiri?”
T : tidak bisa menjawab
MH : “Kenapa ada timbangan digital di TKP? punya saudara?”
T : “itu punya Melvy (teman Terdakwa yang sama-sama berada di TKP)”
● Hakim Ketua selalu menekankan bahwa Terdakwa jangan berbohong
● Hakim mempersilahkan JPU mengajukan pertanyaan kepada Terdakwa, dan
Terdakwa menjawab:
JPU : “Terdakwa sudah membaca BAP?”
T : “Ya membaca sendiri dan menandatanganinya”
JPU : “membacakan kembali BAP yang menyatakan keterangan Terdakwa “saya
akan jual kembali, 1 paket dengan harga Rp200.000,00”. Benar itu pernyataan
Terdakwa?”
T : “ya, benar”
29
● Hakim menegaskan bahwa sedari awal jangan berbohong, karena Hakim sudah
membaca BAP.
● Sidang ditunda sampai tanggal 19 Maret 2020.
30
3. JPU membacakan tuntutannya ✔
5. Sidang ditunda ✔
JPU : “Mohon maaf yang mulia. Panggilan penting tadi dari rekan saya mencari
ruang persidangan.”
31
● Setelah tuntutan dibacakan, Terdakwa yang tidak didampingi oleh Penasihat Hukum
ternyata sudah siap dengan nota pembelaan. Adapun berikut percakapan yang terjadi
selama persidangan berlangsung:
T : “Sudah siap.”
● Kelompok kami tidak mencatat seluruh isi dari Pembelaan Terdakwa namun
mendapatkan beberapa poin dari pembelaan tertulis tersebut yang isinya
menerangkan bahwa :
1. Terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan terdakwa mengatakan bahwa
ia bisa sampai melakukan perbuatan tersebut karena kepepet.
2. Terdakwa masih memiliki anak yang balita dan terdakwa berharap agar
anaknya sabar menunggu dirinya menjalani hukuman di penjara atas
perbuatan yang dilakukannya.
3. Terdakwa akan selalu mendoakan anaknya, “Doa ibu ke anak tidak akan
putus meskipun ada jarak diantara mereka.”
4. Terdakwa meminta keringanan hukuman kepada Majelis Hakim karena
masih ingin memiliki kesempatan untuk menjadi ibu yang baik yang mampu
memberikan contoh yang baik kepada anaknya yang masih balita.
● Majelis Hakim mengonfirmasi nama Terdakwa dalam Surat Tuntutan JPU, pada
tuntutannya JPU menuliskan nama Terdakwa “Eka Octaviani binti Bocor”. Bahwa
terhadap hal itu Terdakwa tidak membenarkannya dan Majelis Hakim
memerintahkan JPU mengoreksinya pada saat itu juga”
● Sidang ditunda sampai tanggal 18 Maret 2020 dan Terdakwa kembali ke tahanan.
32
Tempat Pemantauan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pasal yang didakwakan Primair : Pasal 114 ayat (1) UU RI No. 35/2009
Subsidair : Pasal 111 ayat (1) UU RI No. 35/2009
Ancaman Pidana Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
3. PH membacakan pembelaannya ✔
5. Sidang ditunda ✔
33
Uraikan jalannya persidangan dan catatan fakta persidangan/ fakta menarik
● Majelis Hakim mempersilahkan Terdakwa masuk dan duduk di hadapan
persidangan.
● Majelis Hakim mempersilahkan PH untuk membacakan Nota Pembelaan atas Nama
ADI MARTONO.
● Adapun beberapa poin penting dari pledoi PH yang kelompok kami tangkap pada
saat persidangan adalah sebagai berikut :
1. Terdakwa telah bersikap sopan selama persidangan.
2. Terdakwa sangat menyesali perbuatannya.
3. Terdakwa tidak terlibat dalam organisasi perdagangan narkotika
internasional, melainkan Terdakwa hanyalah orang yang kemudian
terjebak dalam pemakaian narkoba.
4. Terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya.
5. Terdakwa masih muda.
● Percakapan menarik antara Majelis Hakim dan Terdakwa selama setelah Pembacaan
Nota Pembelaan :
MH : “Kamu mendapat uang untuk membeli narkoba dari mana?”
T : “Saya menabung.”
MH : “Mengapa menabung tidak untuk beli barang-barang yang berguna
saja?”
T : “Buat beli barang lain juga.”
MH : “Apa barang yang lain itu?”
T : “Handphone.”
MH : “Nah. Mending. Kenapa beli narkoba?”
T : *diam*
MH : “Kamu menyesal tidak?”
T : “Menyesal yang mulia.”
MH : “Yasudah. Kamu suka makan gratis kan? Mau makan gratis?”
T : “Mau.”
MH : “Kamu di penjara saja yang lama, ya. Kan’ dikasih makan gratis.”
T : “Jangan.”
MH : “Yasudah. Banyak berdoa lah kamu semoga diberi kemudahan
nantinya.”
34
4.9 Sidang IX: Pembacaan Replik
Untuk tahapan ini belum sempat dilakukan observasi langsung ke Pengadilan Negeri, uraian
teori mengenai tahap Pembacaan Replik terdapat di dalam BAB II.
4.10 Sidang X: Pembacaan Duplik (Tanggapan dari Penasihat Hukum atas Replik dari
Jaksa Penuntut Umum)
Pasal yang didakwakan Pasal 374 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP
Jaksa Penuntut Umum Rakhmi Izharti, S.H. dan Yuli L., S.H.
35
Uraikan jalannya persidangan dan catatan fakta persidangan/ fakta menarik
Kasus ini adalah mengenai penggelapan yang dilakukan oleh seorang karyawan,
dimana Terdakwa didakwa telah melakukan penggelapan dalam jabatan yang telah
dilakukan lebih dari satu kali sebagaimana diatur dalam Pasal 374 jo. Pasal 65 ayat (1)
KUHP.
Hakim Ketua membuka persidangan dan menyatakan membuka persidangan terbuka
untuk umum setelah Terdakwa memasuki ruang persidangan. Kemudian Hakim Ketua
meminta Penasihat Hukum dari Terdakwa untuk membacakan duplik, dengan inti sebagai
berikut:
1. Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah dengan sengaja dan
melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan diancam karena penggelapan dalam jabatan yang telah
dilakukan lebih dari satu kali;
2. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum kabur, atau setidak-tidaknya tidak dapat
diterima;
3. Memohon untuk memulihkan nama baik Terdakwa.
Setelah itu, Majelis Hakim langsung membacakan putusan tanpa menunda persidangan.
Dengan demikian, dapat diduga bahwa duplik telah dikirim ke pihak Penuntut
Umum dan Hakim sebelumnya sehingga Majelis Hakim dapat sampai kepada keputusannya
sebelum pembacaan duplik, atau pembacaan duplik hanyalah suatu formalitas karena
Majelis Hakim telah sampai kepada putusan sebelum pembacaan duplik di persidangan.
36
Majelis Hakim/ Hakim Hakim Ketua: Wadji Pramono
Tunggal
Hakim Anggota: Taryan Setiawati dan Susanti Arsi
Wibawani
Jaksa Penuntut Umum Rakhmi Izharti, S.H. dan Yuli L., S.H.
5. Pembacaan Putusan ✔
37
tersebut. Jika tidak mengerti Hakim Ketua menerangkan
secara singkat
38
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan agar Terdakwa tetap ditahan;
5. Memerintahkan barang bukti berupa:
● Surat Kontrak Kerja antara Hiu Seng Jung bertindak untuk dan atas
nama PD. Sari Segar selaku President Direktur dengan Deasi Ariani
selaku Karyawan Kontrak tanggal 28 Maret 2019 yang menerangkan
Deasi Ariani mulai bekerja sejak sampai dengan 28 Maret 2020
sebagai admin online dengan gaji pokok Rp. 1.100.000, 00 (satu juta
seratus ribu rupiah) dan tunjangan jabatan Rp. 450.000, 00 (empat
ratus lima puluh ribu rupiah);
● 21 (dua puluh satu) lembar label pengiriman online;
● 2 (dua) lembar dropship;
● 2 (dua) invoice, no. 19040031 tanggal 01 April 2019 dan no.
19070466 tanggal 27 Juli 2019;
● 5 (lima) laporan pengeluaran barang, 2 (dua) lembar rekening koran
no. Rekening 0740090623 An. Deasi Ariani ;
● 1 (satu) bendel surat kontrak kerja Ariani Deasi dan 1 (satu) lembar
slip gaji karyawan;
● 1 (satu) lembar rekening tahapan no. Rekening 7400699997 An.
Tanti Suprianti, S.Ip.;
● 1 (satu) lembar sreenshot m-transfer : berhasil 27/07 21:31:38 ke
0740090623 Deasi Ariani Rp. 800.000, 00 (delapan ratus ribu
rupiah);
Setelah pembacaan putusan, Majelis Hakim tidak menanyakan apakah Terdakwa mengerti
putusan tersebut.
Pada akhir dari pembacaan putusan tersebut, Hakim menanyakan kepada para pihak
apakah akan mengajukan upaya hukum. Jaksa Penuntut Umum menyatakan akan
39
mengajukan banding. Setelah itu, Majelis Hakim sempat mengingatkan mengenai jangka
waktu pengajuan banding, kemudian menutup persidangan.
40
BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari Hasil Observasi Pengadilan, kami menemukan bahwa masih terdapat berbagai
permasalahan dalam penerapan Hukum Acara Pidana dan juga berbagai kesalahan teknis di
berbagai persidangan yang telah kami amati. Permasalahan dalam penerapan Hukum Acara
Pidana dapat dilihat adanya langkah-langkah yang seharusnya diambil menurut ketentuan
Hukum Acara Pidana, namun langkah tersebut tidak diambil misalnya Hakim tidak
menanyakan apakah Terdakwa mengerti isi dari putusan pada saat sidang pembacaan
putusan. Selain itu, kami juga menemukan berbagai permasalahan teknis dan kami merasa
bahwa banyak sidang yang berjalan secara kurang efektif. Misalnya, banyak sidang yang
tidak tepat waktu, sehingga banyak pihak-pihak yang harus menunggu dan bahkan ditunda
lagi sidangnya, jumlah Penasihat Hukum Negara yang terlalu sedikit dan kurang berusaha
dalam membela hak-hak terdakwa dan bahkan ada Terdakwa yang sidangnya berjalan tanpa
didampingi oleh Penasihat Hukum karena Penasihat Hukum yang seharusnya
mendampinginya sedang ada di ruang sidang lain bersama terdakwa yang lain. Selain itu,
kami juga menemukan keadaan-keadaan dimana Jaksa Penuntut Umum mengangkat telepon
di tengah-tengah pembacaan surat tuntutan, hakim tampak tidak menyimak isi dari
pembelaan terdakwa, terdakwa memberikan keterangan yang berbelit-belit dan bahkan ada
yang pura-pura sakit agar sidang terus menerus ditunda.
Namun, ada juga hal-hal yang kami anggap sudah baik dan patut dipertahankan
seperti ruang sidang yang kondusif, administrasi pengunjung yang sudah berjalan dengan
baik, ada beberapa Hakim yang sangat teliti terhadap fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan (sebagaimana yang telah kami uraikan pada tabel observasi tahap pembuktian).
Selain itu, juga telah terdapat tempat fotocopy dan print yang dekat dengan Pengadilan (di
bawah gedung pengadilan) yang akan memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan.
4.2 Saran
Dari hasil observasi langsung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ada beberapa hal
yang mungkin ditingkatkan dan diperbaiki. Misalnya, jumlah Penasihat Hukum Negara yang
dialokasi kepada Terdakwa sebisa mungkin jangan dirangkap untuk sidang yang harinya
sama, karena dikhawatirkan bila terjadi tabrakan akan ada pihak yang dikorbankan dan
proses persidangan akan menjadi tidak efektif bilamana sidang harus ditunda lagi. Selain itu,
kami juga merasa bahwa perlu dilakukan program pelatihan dan pengawasan periodikal bagi
41
hakim maupun aparat penegak hukum lainnya agar dapat bersikap lebih disiplin dan tegas
dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, dalam rangka meresponi pihak-pihak yang sering
terlambat ke persidangan, kami merasa perlu adanya sanksi atau hukuman tertentu kepada
pihak-pihak tersebut karena ditundanya satu persidangan akan berimplikasi pada sidang-
sidang selanjutnya yang tentunya akan merugikan pihak-pihak yang berkepentingan.
Selebihnya, kami berharap apa yang sudah kami anggap baik seperti keberadaan majelis
hakim yang teliti, fasilitas pengadilan yang bersih dan lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Yogyakarta: Rangkang Education,
42
2013
Amin, S.M Amin. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita, 1971.
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti (Jakarta: Ghalia, 1983)
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi. Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2017.
Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007
Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2014.
Sianturi, S.R. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta: Alumni AHM PTHM,
2016.
Tolib Effendi, Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di
Indonesia), Malang: Setara Press, 2014
43
Jurnal
Anarksi, Ignas Ridho. “Dasar Hukum Pengajuan Eksepsi dengan Alasan Dakwaan Penuntut
Umum bersifat Prematur (Studi Putusan Pengadilan Negeri Padangsidimpuan
Nomor: 88/Pid. B/2015/PN. PSP)”, Jurnal Verstek Vol. 5 No. 2 Bagian Hukum
Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Hlm. 68.
Saputra, Beri. “Pertanggungjawaban Pidana Wisatawan yang Merusak Kelestarian
Lingkungan Wisata”, Jurnal Hukum Progresif 2, (Desember 2017). Hlm. 1955-1956.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Strafrecht].
Diterjemahkan oleh Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.
________. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
________. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Internet
Mulyadi, “Putusan Sela”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl2772/putusan-sela/, diakses
pada 3 Mei 2020.
Pramesti, Tri Jata Ayu. Syarat dan Dasar Hukum Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52770db2b956d/syarat-dan-
dasar-hukum-keterangan-ahli-dalam-perkara-pidana/, diakses 3 Mei 2020.
Nataadmadja, Suria & Associates, “Process and Procedure of Criminal Court Litigation”,
https://www.surialaw.com/news/proses-dan-tahapan-persidangan-perkara-pidana,
diakses pada 3 Mei 2020.
Yurisprudensi
Pengadilan Negeri Bekasi. Putusan No. 76/Pid.B/2020/PN.Bks.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Putusan No. 354/Pid.Sus/2016/PN.Jkt.Sel.
44
LAMPIRAN
45
46
47