Anda di halaman 1dari 43

HUBUNGAN TAHAPAN PERUBAHAN PERILAKU PENCEGAHAN PENULARAN

DENGAN PENGGUNAN MASKER PADA PASIEN TB DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS KLAMPOKAN KABUPATEN SITUBONDO

SKRIPSI

DI SUSUN OLEH :

FURQON ROMADHON ALIWAFA

16010114

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER

YAYASAN JEMBER INTERNASIONAL SCHOOL

2020
BAB I

PERDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat hingga kini.

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M.

africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa

menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other

Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan

TBC [ CITATION Kee16 \l 1057 ]. Penyakit TB Paru merupakan penyakit menahun/kronis

(berlangsung lama) dan menular. Penyakit ini dapat diderita oleh setiap orang, tetapi paling

sering menyerang orang-orang yang berusia antara 15 – 35 tahun, terutama mereka yang

bertubuh lemah, kurang gizi atau yang tinggal satu rumah dan berdesak-desakan bersama

penderita TBC. Lingkungan yang lembap, gelap dan tidak memiliki ventilasi memberikan

andil besar bagi seseorang terjangkit TBC [ CITATION Sit161 \l 1057 ].

Seperti yang dikatakan dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TBC bahwa

TBC adalah merupakan suatu penyakit menular yang membutuhkan terapi jangka panjang

berkisar antara 6-12 bulan. Melihat kenyataan di atas, perlunya penanganan serius bagi

penderita TBC yang melibatkan berbagai tenaga kesehatan. Asuhan keperawatan

komprehensif sangatlah penting dalam upaya pencegahan. Komplikasi lebih lanjut seperti:

TBC perikarditis, peritonitis yang dapat menimbulkan kematian akibat penyakit ini, oleh

karena itu besarlah peran perawat dalam mengatasi masalah ini yakni melalui: kegiatan

promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi [ CITATION Sit162 \l 1057 ].


Menurut WHO [ CITATION WHO17 \l 1057 ] . kasus TBC di Indonesia terbesar akibat

merokok, kurang gizi, diabetes, dan mengonsumsi alkohol. Kejadian TBC menunjukkan

kasus TB di Indonesia mencapai 842 ribu. Sebanyak 442 ribu pengidap TBC melapor dan

sekitar 400 ribu lainnya tidak melapor atau tidak terdiagnosa. Penderita TBC tersebut terdiri

atas 492 ribu laki-laki, 349 ribu perempuan, dan 49 ribu anak-anak. Jumlah kasus TBC

Indonesia berada di urutan ketiga terbesar dunia setelah India yang mencapai 2,4 juta kasus

dan Tiongkok 889 ribu kasus [ CITATION Wor17 \l 1057 ]. Bedasarkan data kementrian

kesehatan republik indonesia kasus tuberkulosis di jawa timur sendiri pada tahun 2017

sebesar 48.323 orang, yang terdiri dari laki – laki sebesar 56,30% dengan penderita 27.205

orang dan perempuan sebesar 43,70% dengan 21.118 orang [ CITATION Kem17 \l 1057 ].

Berbagai program kesehatan telah dilakukan dalam upaya pencegahan penulan TB.

Tetapi kenyataannya TB masih juga jadi masalah. Program penanggulangan TB yang utama

kini adalah dengan pendekatan directly observed treatment short course (DOTS). DOTS

mengandung lima komponen. Pertama, adanya jaminan komitmen politik untuk

menanggulangi TB di suatu negara. Secara umum komitmen pemerintah dibangun atas

kesadaran tentang besarnya masalah TB dan pengetahuan tentang program penang- gulangan

TB yang telah terbukti ampuh [ CITATION tja05 \l 1057 ]. Selain pendekatan directly observed

treatment short course DOTS dalam upaya pencegahan TB tingkat pengetahuan dan tahapan

perubahan perilaku menjadi persoalan utama dalam keberhasilan pencegahan penularan

tuberkulosis. Penggununan masker pada penderita TB merupakan salah satu upaya penting

dalam penularan penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis. Hal ini terkadang bisa

disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang perilaku pemakaian alat pelindung diri

(masker) pada penderita sehingga upaya tahapan pencegahan penularan kurang maksimal.
Dari beberapa uraian atau penjelasan yang dipaparkan diatas, peneliti memiliki keinginan

untuk meneliti tentang hubungan tahapan perubahan perilaku pencegahan penularan dengan

penggunan masker pada pasien TB di wilayah puskesmas klampokan kabupaten situbondo.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diaatas maka dirumuskan masalah bagaimana hubungan

tahapan perubahan perilaku pencegahan penularan dengan penggunan masker pada pasien TB

di wilayah kerja puskesmas klampokan kabupaten situbondo

1.3 Tujuan Penelitan

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisa hubungan tahapan perubahan perilaku pencegahan penularan dengan

penggunan masker pada pasien TB di wilayah puskesmas klampokan kabupaten

situbondo

1.3.2 Tujuan Khusus

a. TB di wilayah puskesmas klampokan kabupaten situbondo Mengidentifikasi

hubungan tahapan perubahan perilaku pencegahan penularan masker pada pasien

TB

b. Mengidentifikasi penggunan masker pada pasien TB

c. Menganalisa hubungan tahapan perubahan perilaku pencegahan penularan

dengan penggunan masker pada pasien

1.4 Manfaat Penelitian

1,4.1 Manfaat bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan terkait hubungan

tahapan perubahan perilaku pencegahan penularan dengan penggunan masker pada pasien TB
1.4.2 Manfaat bagi institusi keperawatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu refrensi bagi institusi

keperawatan maupun mahasiswa untuk menambah literasi serta mengembangkan dan

memberikan solusi hasil penelitian tentang hubungan tahapan perubahan perilaku pencegahan

penularan dengan penggunan masker pada pasien TB

1.4.3 Manfaat bagi masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap masyarakat

tentang hubungan tahapan perubahan perilaku pencegahan penularan dengan penggunan

masker pada pasien TB

1.5 Keaslian Penelitian

No Peneliti, Metode Hasil

Judul Penelitian,

Tahun
1. Nama Peneliti: Penelitian ini menggunakan Hasil penelitan disimpulkan

Astin Thamar desain deskriptif dengn data didapatkan menunjukkan

Genakama pendekatan cross-sectional. hubungan yang sigfinikan

Total populasi sebanyak 150 antara perilaku sebelum sakit

Judul Penelitian : orang penderita TB paru dan (r=0,239), pengetahuan tentang

Analisis Faktor didaparkan sampel sebesar 108 TB (r=0,261), persepsi tentang

Yang responden dengan simple size mnfat tindakan (r=0,371),

Berhubungan calculator. Variabel dukungan keluarga (r=0,284),

Dengan Perilaku independen dalam penelitian dengan perilaku pencegahan

Pencegahan ini adalah perilaku sebelum penularan TB paru. Tidak ada

Penularan TB sakit, pengetahuan tentang TB, hubungan antara persepsi

Paru Dengan persepsi tentang manfaat tentang hambtan tindakan


Pendekatan tindakan, persepsi tentang (r=-,113), self efficacy

Health Promotion hambatan tidakan, self (r=-,160), sikap yang

Model efficacy, sifat yang berhubungan dengan aktifitas

berhubungan dengan aktifitas pencegahan penularan

Tahun Penelitian : pencegahan penularan, (r=-,097), pengaruh lingkungan

2019 dukungan keluarga dan (r=0,034). Kesimpulan

pengaruh lingkungan. Variabel pengetahuan yang baik tentang

dependen ini adalah perilaku TB dan dukungan keluarga

. pencegahan penularan TB yang baik dapat meningktkan

paru. Data didapatkan dengan perilaku pencegahan penularan

kuisioner dan dianalisis TB di masyarakat kota kupang.

menggunakan spearman’s Rho

dengan signifikan <0,05.


2. Nama Peneliti: Desain yang digunakan yaitu Hasil dapat disimpulkan

Fransisca Yenny korelasi. Variable independen sebagian besar responden

P,dkk atau variabel bebas dalam memiliki pengetahuan yang

penelitian ini adalah: tingkat baik sebanyak 19 orang (95%).

Judul Penelitian : pengetahuan keluarga pasien Kepatuhan menggunakan alat

Hubungan Tuberculosis sedangkan pelindung diri di ruang rawat

Tingkat variabel dependen atau inap Rumah Sakit Panti

Pengetahuan variabel terikat adalah: Waluya Sawahan Malang

Keluarga Pasien kepatuhan menggunakan alat seluruhnya (100%) tidak patuh.

Tentang pelindung untuk variabel Ada Hubungan tingkat

Tuberculosis independen (tingkat pengetahuan keluarga pasien

Dengan pengetahuan keluarga) dalam tentang tuberculosis dengan

Kepatuhan penelitian ini adalah closed kepatuhan menggunakan alat


Menggunakan ended question dalam bentuk pelindung diri di ruang rawat

Alat Pelindung multiple choice sebanyak 10 inap Rumah Sakit Panti

Diri Di Ruang pertanyaan dengan score bila Waluya Malang. Hubungan

Rawat Inap benar nilai 1 dan bila salah tingkat sedang antara tingkat

Rumah Sakit nilai 0. pengetahuan keluarga pasien

Panti Waluya tentang tuberkulosis dengan

Malang kepatuhan menggunakan alat

pelindung diri di ruang rawat

Tahun Penelitian : inap Rumah Sakit Panti

2016 Waluya Sawahan Malang,

dengan nilai p (0,024 < 0,05)

dan r = 0,501 dengan arah

korelasi yang positif

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Tuberkulosis

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga

mengenai organ tubuh lainnya [ CITATION DEP06 \l 1057 ] . Kuman Tuberkulosis menular

melalui udara. Dalam dahak penderita TB terdapat banyak sekali kuman TB. Ketikan seorang

penderita TB batuk dan bersin, ia akan menyebarkan 3.000 kuman ke udara. Kuman tersebut

ada dalam percikan dahak, yang disebut doplet nuclei atau percik renik [ CITATION Tim17 \l

1057 ]
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat hingga kini. Paling

sedikit satu orang akan terinfeksi TB setiap detik. Setiap hari 20.000 orang jatuh sakit TB,

artinya setiap 5 detik satu orang jatuh sakit TB di dunia. Setiap hari 5.000 orang meninggal

akibat TB, jadi di dunia ini setiap 20 detik satu orang meninggal akibat TB. TB membunuh

hampir satu juta perempuan setahunnya. Angka tersebut lebih tinggi dari kematian

perempuan akibat proses kehamilan dan persalinan. TB membunuh 100.000 anak setiap

tahunnya. Sekitar 40% beban TB di dunia terjadi di negara Asia Tenggara yang tergabung

dalam koordinasi WHO South East Asia Regional Office (SEARO). Di kawasan ini setiap

tahun terdapat sekitar 3 juta kasus baru dan 750.000 kematian akibat TB [ CITATION Tja051 \l

1057 ]. Tuberculosis (TBC) merupakan salah satu penyakit yang mematikan di Indonesia.

Pada 2017, sebanyak 116 ribu jiwa meninggal akibat penyakit TBC di Indonesia, termasuk

9.400 jiwa pengidap HIV yang terjangkit TBC. Tidak kurang, 10 juta jiwa meninggal

akibat TBC di seluruh dunia [ CITATION WHO171 \l 1057 ]. Data WHO menunjukkan bahwa

Indonesia adalah penyumbang kasus terbesar ketiga di dunia. Setiap tahunnya jumlah

penderita baru TB menular adalah 262.000 orang dan jumlah seluruh penderita adalah

583.000 orang pertahunnya. Diperkirakan sekitar 140.000 orang Indonesia yang meninggal

setiap tahunnya akibat TB.

2.1.2 Etiologi

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan Mycobacterium

tuberculosis, suatu bakteri yang tahan-asam (acid fast bacillus). TB merupakan infeksi

melalui udara umumnya didapat dengan inhalasi partikel kecil (diameter 1 hingga 5 mm)

yang mencapai alveolus. Droplet tersebut keluar saat kalau berbicara, batuk, tertawa, bersin

atau menyanyi. Droplet nuklei terinfeksi kemudian terhirup oleh orang yang rentan (inang).
Sebelum terjadi infeksi paru, organisme terhirup harus melewati mekanisme pertahanan paru

dan menembus jaringan paru. Paparan singkat dengan TB biasanya tidak menyebabkan

infeksi. Orang yang paling umum terserang infeksi adalah orang yang sering melakukan

kontak dekat berulang dengan orang yang terinfeksi yang penyakitnya belum terdiagnosis.

[ CITATION JOY14 \l 1057 ].

Tubercolosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil Bakteri

Mycobacterium tuberculosa yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada

pewarnaan (Basil Tahan Asam) karena basil TB mempunyai sel lipoid. Basil TB sangat

rentan dengan sinar matahari sehingga dalam beberapa menit saja akan mati. Basil TB juga

akan terbunuh dalam beberapa menit jika terkena alcohol 70% dan lisol 50%. Basil TB

memerlukan waktu 12-24 jam dalam melakukan mitosis, hal ini memungkinkan pemberian

obat secara intermiten (2-3 hari sekali).

Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant selama beberapa tahun. Sifat dormant

ini berarti kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tubercolosis aktif kembali. Sifat lain

kuman adalah bersifat aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan

yang kaya oksigen, dalam hal ini tekanan bagian apical paru-paru lebih tinggi daripada

jaringan lainnya sehingga bagian tersebut merupakan tempat predileksi penyakit tuberkolosis.

Kuman dapat disebarkan dari penderita TB paru BTA positif kepada orang yang berada

disekitarnya, terutama yang kontak erat.

TB paru merupakan penyakit infeksi penting saluran pernafasan. Basil

mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet

infection) sampai alveoli, sehingga terjadi infeksi primer (ghon) yang dapat menyebar ke

kelenjar getah bening dan terbentuklah primer kompleks (ranke). Keduanya dinamakan
tubercolosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian besar akan mengalami

penyembuhan. Tubercolosis paru primer adalah terjadinya peradangan sebelum tubuh

mempunyai kekebalan spesifik terhadap basil mikrobakterium, sedangkan tubercolosis post

primer (reinfection) adalah peradangan bagian paru oleh karena terjadi penularan ulang pada

tubuh sehingga terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut[ CITATION Dev16 \l 1057 ]

2.1.3 Patalogi

Aspek tuberkulosis pada proses patologik yang terjadi adalah batuk. Batuk merupakan

salah satu gejala tuberkulosis paru, terjadi karena kelainan patologik pada saluran pernapasan

akibat kuman M.tuberculosis. Kuman tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah

tumbuh di dalam paru, terlebih di daerah apeks karena pO alveolus paling tinggi. Kelainan

jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi jaringan yang karakteristik

ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel makrofag. Respons awal pada jaringan

yang belum pernah terinfeksi ialah berupa sebukan sel radang, baik sel leukosit

polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit mononukleus. Kuman berproliferasi dalam sel,

dan akhirnya mematikan sel fagosit. Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan

membentuk agregat. Kuman berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi

kuman) mati, sel fagosit mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru

terlepas. Jadi terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan

berkesinambungan. Sel monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik,

sitoplasmanya bertambah banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut

berkelompok padat mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan

interseluler dan bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel. Sebagian sel epiteloid ini

membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini berbentuk sel datia Langhans

(inti terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa sel datia benda asing (inti tersebar dalam
sitoplasma). Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, kapiler

dan fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan jaringan di

sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma dapat mengalami

beberapa perkembangan, bila jumlah mikroba terus berkurang akan terbentuk simpai

jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi penimbunan garam

kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk konsentrik maka disebut cincin

Liesegang. Bilamikroba virulen atau resistensi jaringan rendah, granuloma membesar

sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit yang dapat berpadu sehingga granuloma

membesar. Sel epiteloid dan makrofag menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat

mencairkan bahan kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel

dan terjadi perluasan penyakit.

Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah terinfeksi dan

yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi sebelumnya reaksi jaringan

terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis jaringan. Akan tetapi pertumbuhan

kuman tretahan dan penyebaran infeksi terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi

hipersensitiviti dan sekaligus [ CITATION KEM11 \l 1057 ]

2.1.4 Patogenesis

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan

paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau

afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda

dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening

menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah

bening di hilus [ CITATION KEM111 \l 1057 ].


Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya

yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat

mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis

non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup

menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag

tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.

Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni

di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer

GOHN. Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe

regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.

Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di

kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau

tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika

focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks

primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar

(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).

TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa

inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu

waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa

inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-

12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 10 yaitu

jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. Selama berminggu-minggu

awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang
awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas.

Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.

Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu

timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih

negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah

terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu

system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil

kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman

TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat

disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat

membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfhilus atau paratrakea yang

mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang

berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal

dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan

dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB

endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada

bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut

sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke


kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran

hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit

sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran

hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar

secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman

TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju

adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru

sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan

bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan

membatasi pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya

olehimunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak

langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus

potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun tahun kemudian, bila daya

tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit

TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata

akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB

masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan

timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB

diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit

bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu

(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread

dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan

mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi

diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi

anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan

granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted

hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke

saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam

darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute

generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang. Pada anak, 5 tahun

pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi.

Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran

limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran

limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6

bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat

pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).

Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer.

TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami

resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan

dewasa muda. [ CITATION RET16 \l 1057 ]

2.1.5 Manifestasi Klinis


Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk

berdahak kronis, demam, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan

penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan

kematian. Pasien TB paru juga sering dijmpai konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena

anemia, badan kurus atau berat badan menurun.

2.1.6 Klasifikasi

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu definisi

kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:

1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;

2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau

BTA negatif;

3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.

4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:

1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai

2. Registrasi kasus secara benar

3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif

4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:

1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis

2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium

tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen

dahak SPS hasilnya BTA positif.


Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan

untuk:

1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah

timbulnya resistensi

2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan

pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)

3. Mengurangi efek samping

A. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena:

1) Tuberkulosis paru

Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk

pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2) Tuberkulosis ekstra paru

Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus,

ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu pada TB Paru:

1) Tuberkulosis paru BTA positif

a). Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b). 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan

gambaran tuberkulosis.

c). 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d). 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik

TB paru BTA negatif harus meliputi:

a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

C. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.

1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks

memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far

advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.

2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,

tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis

eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

D. Klasifikasi berdasarkan RIWAYAT pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa

tipe pasien, yaitu:


1) Kasus Baru

Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan

telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan

BTA positif (apusan atau kultur).

3) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)

Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan

BTA positif.

4) Kasus Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi

positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk

melanjutkan pengobatannya.

6) Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini

termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA

positif setelah selesai pengobatan ulangan.

TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,

default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara
patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik. [ CITATION

KEM112 \l 1057 ]

2.1.7 Pemeriksaan Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan

fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya

1). Pemeriksaan Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang

terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.

Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)

menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior

terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada

pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas

melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis

tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura.

Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak

terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran

kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor),

kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”

2). Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti

yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik

ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan

lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin,faeces dan jaringan

biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut- turut atau dengan cara:

1. Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

2. Dahak Pagi ( keesokan harinya )

3. Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam

pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah

pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada

gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat

dibuat sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi

dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak

yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan

dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang sesuai dengan

formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh

dari klinik/tempat pelayanan penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring

melalui jasa pos.

Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:

1. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empatagar terlihat bagian

tengahnya
2. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari

kertas saring sebanyak 1 ml

3. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung

yang tidak mengandung bahan dahak

4. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman,

misal di dalam dus

5. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik

kecil

6. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi

kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi

7. Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal pengambilan dahak

8. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasapos ke alamat

laboratorium.

3). Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor

cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces

dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara

a. Mikroskopik

b. biakan

4). Pemeriksaan biakan kuman:

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi

Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT).


Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya

pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan

cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul

5). Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan

lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,

tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran

radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif

6). Pemeriksaan Penunjang

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu

yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam

perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman

tuberkulosis secara lebih cepat.

1. Polymerase chain reaction (PCR):

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk

DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan

kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan

ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk

menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar

dan sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang

menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan

untuk diagnosis TB. Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen

pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat.
2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:

a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral

berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain

adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

c. Mycodot

Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini

menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang

berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan

bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang

memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir

yang dapat dideteksi dengan mudah Indonesia

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi

e. ICT

Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik

untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji

diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma

M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam

bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen

diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa

sebanyak 30 Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi
harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.

Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis

7). Pemeriksaan BACTEC

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik.

M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO yang akan

dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif

pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.

8). Pemeriksaan Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada

penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis

yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat,

serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah

9). Pemeriksaan histopatologi jaringan

Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans

bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi

pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan

biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan

untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru. Diagnosis

pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau jaringan

diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan

10). Pemeriksaan darah


Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk

tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini

sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik

penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita

serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar

limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan

supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal

tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

11).Uji tuberkulin

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan

prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi,

pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang

dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan

satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula.

Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi

HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.

Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran

reaksi tubuh yang analog dengan reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ

yang terkena infeksi atau status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent

dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis).

2.1.7 Faktor Resiko Tuberkolosis

Terdapat beberapa faktor yang memicu berkembangnya penyakit TB pada kelompok

masyarakat. Media penularan melalui udara dapat mempercepat proses penularan penyakit
ini. Biasanya seorang penderita dapat menularkan pada saat terjadi ekspirasi paksa seperti

batuk, bersin, ketawa keras dan sebagainya. Tidak semua orang yang sudah terkontaminasi

atau terpapar dengan bakteri penyebab TB akan menjadi sakit. Faktor-faktor yang erat

hubungannya dengan terjadinya infeksi basil TB adalah sumber penularan, jumlah basil,

virulensi basil dan daya tahan tubuh seseorang, dalam hal ini ketahanan tubuh sangat

dipengaruhi oleh faktor genetik, faali, jenis kelamin, usia dan faktor lingkungan (nutrisi,

perumahan dan pekerjaan). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian TB pada

kelompok masyarakat diantaranya : faktor predisposisi (status gizi, imunisasi, HIV, diabetes

melitus dan pendidikan), faktor pendukung (lingkungan rumah, sosial ekonomi, fasilitas dan

sarana kesehatan), faktor pendorong (gaya hidup dan prilaku masyarakat) serta lainnya (umur

dan jenis klamin). Antara lain :

a. Umur

Umur merupakan faktor resiko terhadap kejadian TB. Sekitar 75% pasien TB adalah

kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis yaitu pada umur 15 – 50 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian pada semua penderita TB yang menjalani pengobatan di

Puskesmas Sedati didapatkan bahwa penderita TB terbanyak pada usia 20 – 54 tahun (81,4%)

yang merupakan usia produktif, kemudian pada usia lebih dari 54 tahun (11,6%) dan kurang

dari 20 tahun (7%). Pada usia produktif mayoritas orang banyak menghabiskan waktu dan

tenaga untuk bekerja, dimana tenaga banyak terkuras serta waktu istirahat kurang sehingga

daya tahan tubuh menurun ditambah lagi dengan lingkungan kerja yang padat dan

berhubungan dengan banyak orang yang kemungkinan sedang menderita TB. Kondisi kerja

seperti ini memudahkan seseorang pada usia produktif lebih berpeluang terinfeksi TB.

b. Jenis kelamin
Pada umumnya penderita TB lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan pada

perempuan. Berdasarkan hasil survei yang di lakukan pada seluruh penderita TB di

Kabupaten Karo didapatkan bahwa penderita TB pada laki-laki lebih banyak dibandingkan

dengan perempuan yaitu 60,4% pada laki-laki dan 22% pada perempuan. Hal ini disebabkan

karena pada umumnya seorang laki-laki dituntut bekerja lebih keras untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari terutama yang berusia produktif, bahkan terkadang masih ada

yang bekerja meskipun sudah tua. Dibandingkan dengan seorang perempuan yang pada

umumnya terinfeksi TB setelah persalinan akibat proses persalinan yang kurang bersih atau

terinfeksi HIV yang mengakibatkan kekebalan tubuh menurun. Angka kejadian TB pada laki-

laki cukup tinggi pada semua usia, tetapi pada perempuan angka kejadian TB cenderung

menurun setelah melampaui usia subur. Selain itu, laki-laki sebagian besar mempunyai

kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB. Kebiasaan merokok

meningkatkan resiko untuk terinfeksi TB paru sebanyak 2,2 kali.

c. Diabetes melitus dan HIV

Diabetes melitus dapat mengganggu respons immun yang penting untuk mengatasi

proliferasi TB sehingga diabetes melitus merupakan suatu faktor resiko untuk TB. Diabetes

melitus juga sebagai suatu faktor resiko independen untuk infeksi saluran pernafasan bawah.

Frekuensi terjadinya TB pada diabetes melitus lebih tinggi dibanding dengan bakteri-bakteri

lainnya. Prevalensi TB paru pada diabetes melitus meningkat 20 kali dibanding non diabetes

melitus dan aktivitas bakteri penyebab TB meningkat 3 kali pada diabetes melitus berat

dibanding diabetes melitus ringan. Selain itu, pasien dengan diabetes melitus dan TB

membutuhkan masa yang lebih lama untuk respons terhadap terapi anti-TB. Pasien dengan

diabetes melitus dan TB aktif juga lebih cenderung terjadinya multi-drug resistant TB.
Infeksi HIV merupakan faktor resiko yang paling penting dalam peningkatan kejadian TB.

Penderita TB menular (dengan sputum BTA positif) yang juga mengidap HIV merupakan

penularan TB tertinggi. Infeksi HIV menyebabkan terjadinya imunosupresi sehingga

memungkinkan terjadinya replikasi M. tuberculosis yang lebih luas pada paru-paru dan

berlanjut pada kondisi yang lebih buruk.

d. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan sebagai faktor predisposisi terhadap kejadian TB di kelompok

masyarakat. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi prilaku. Semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang, maka semakin mudah menerima informasi atau pengetahuan tentang

TB. Seseorang dengan tingkat pengetahuan yang memadai mempunyai dasar pengembangan

daya nalar dan merupakan jalan untuk memudahkan orang tersebut menerima motivasi.

e. Sosial ekonomi

Kejadian TB biasanya berkaitan dengan faktor sosial ekonomi. Menurut WHO

(2011), 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi rendah atau miskin.

Kemiskinan (sosial ekonomi rendah) merupakan keadaan yang mengarah pada kondisi kerja

yang buruk, perumahan yang terlalu padat, lingkungan yang buruk serta malnutrisi (gizi

buruk) karena kurangnya kemapuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keadaan ini dapat

menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh sehingga memudahkan terjadinya infeksi TB.

Tingkat sosial ekonomi ditentukan oleh unsur-unsur seperti : pendidikan, pekerjaan dan

penghasilan. Hal ini dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk pemeliharaan

kesehatan. Tingkat sosial ekonomi terutama penghasilan sangat berpengaruh pada

pemenuhan kebutuhan hidup seseorang dan keluarga. Sebuah keluarga dengan kondisi

perekonomian baik tentunya dapat memenuhi segala kebutuhan termasuk kebutuhan akan

kesehatan, sedangkan keluarga dengan ekonomi rendah harus selektif dalam pengeluaran
karena pada umumnya mereka lebih mementingkan kebutuhan hidup sehari-hari sehingga

hal-hal yang turut mendukung kesehatan sering kali diabaikan. Hal ini yang memicu

munculnya penyakit di masyarakat termasuk TB.

f. Kepadatan (crowding)

Kepadatan penghuni rumah sangat mempengaruhi terjadinya penularan penyakit

terutama penyakit yang menular melalui udara seperti TB. Semakin padat penghuni di dalam

rumah maka perpindahan penyakit akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota

keluarga yang menderita TB dengan BTA positif. Daerah perkotaan (urban) yang lebih padat

penduduknya lebih besar peluang terjadinya kontak dengan penderita TB dibandingkan di

daerah pedesaan (rural). Selain itu, perumahan yang padat juga berkaitan dengan peningkatan

kejadian TB. Berdasarkan penelitian Atmosukarto dan Soewasti (2000), didapatkan bahwa :

1). Keluarga penderita TB mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai

resiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang tidur terpisah;

2). Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana

seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2 – 3 orang di dalam

rumahnya;

3). Besar resiko terjadinya penularan untuk keluarga dengan penderita lebih dari 1

orang adalah 4 kali dibanding dengan keluarga yang hanya 1 orang penderita TB.

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m²

per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan

fasilitas yang tersedia. Kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari

hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥10 m²/orang.

g. Keadaan jendela dan ventilasi


Ruangan dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa

pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam

rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak

memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan

bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping

itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena

terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang

tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri

patogen seperti M. tuberculosis. Fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara

ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen seperti M. tuberculosis, karena di situ

selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu

mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan

mengakibatkan terhalangngya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk

ke dalam rumah, akibatnya basil TB yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut

terhisap bersama udara pernafasan.

h. Kelembaban

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan

membawa pengaruh bagi penghuninya. Kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan

dalam rumah adalah 40 – 60%. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi

pertumbuhan mikroorganisme antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.

Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu, kelembaban

yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang

efektif dalam menghadang mikroorganisme. M. tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan

tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih
dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan

kelangsungan hidup sel bakteri.

i. Suhu dan pencahayaan

Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penguninya. Suhu rumah yang

tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan

berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan

panas tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena

infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang menular. M. tuberculosis memiliki

rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat

mereka tumbuh pesat. M. tuberculosa merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh baik pada

suhu 25 – 40 ºC, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31 – 37 ºC.

Cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri terutama bakteri M. tuberculosis.

Bakteri ini dapat mati oleh sinar matahari langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar

pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian TB. Kuman tuberkulosis

dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai

bertahun-tahun dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api.

Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali

dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.

j. Kebiasaan merokok

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian tidak disebutkan bahwa kebiasaan

merokok bukan merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian TB, akan tetapi pola hidup

seseorang dengan kebiasaan merokok dapat memicu kemungkinan tertular TB. Sebanyak 71

responden yang mempunyai kebiasaan merokok terdapat 64 orang (70,3%) yang menderita
TB. Hal ini dapat disebabkan karena orang-orang dengan kebiasaan merokok beresiko lebih

tinggi terhadap penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dibandingkan dengan yang

tidak merokok. [ CITATION Dep15 \l 1057 ]

2.1.8 Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3bulan) dan fase

lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan

tambahan.

1). OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

Obat yang dipakai:

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

a. Rifampisin

b. INH

c. Pirazinamid

d. Streptomisin

e. Etambutol

2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari

a. Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid

75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan

b. Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75

mg dan pirazinamid.400 mg

3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

a. Kanamisin
b. Kuinolon

c. Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat

d, Derivat rifampisin dan INH

2). Dosis OAT

a). Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau

BB > 60 kg : 600 mg

BB 40-60 kg : 450 mg

BB < 40 kg : 300 mg

b). Dosis intermiten 600 mg / kali

c). INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X

semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali

d). Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50 mg /kg BB

2 X semingggu atau :

BB > 60 kg : 1500 mg

BB 40-60 kg : 1 000 mg

BB < 40 kg : 750 mg

e). Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X

seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :

BB >60kg : 1500 mg

BB 40 -60 kg : 1000 mg

BB < 40 kg : 750 mg

f). Streptomisin:15mg/kgBB atau

BB >60kg : 1000mg

BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB

g). Kombinasi dosis tetap

Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat

3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi

dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman

pengobatan. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami

efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya.

3). Efek Samping OAT :

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.

Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan

kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek

samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi

dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)

eqdEfek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,

kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan

pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B

kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah

menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra) Efek samping berat dapat

berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi

hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan

pedoman TB pada keadaan khusus


3. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan

simtomatik ialah :

a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-

kadang diare

c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :

a. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop

dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

b. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu

dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan

lagi walaupun gejalanya telah menghilang

c. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas.

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata,

air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak

berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar dimengerti dan tidak

perlu khawatir.

3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai

pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)

dan kadang- kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini

kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.

Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya

ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian

keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi

bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali

seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu

setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena

risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan

dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan

meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita.

Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi

ginjal. Gejala efek samping yang

terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.

Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi

0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin

parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti


kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah

dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti

kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah

suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr

Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan

pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin. [ CITATION Dep11

\l 1057 ]

2.2 Pencegahan

2.2.1 Konsep Pencegahatan Penyakit

Gambaran kondisi umum, potensi dan permasalahan pencegahan dan pengendalian

penyakit dipaparkan berdasarkan hasil pencapaian program, kondisi lingkungan strategis,

kependudukan, sumber daya, dan perkembangan baru lainnya. Potensi dan permasalahan

pencegahan dan pengendalian penyakit menjadi input dalam menentukan arah kebijakan dan

strategi dalam upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit.

a). Penyakit Tidak Menular

Kecenderungan penyakit menular terus meningkat dan telah mengancam sejak usia

muda. Selama dua dekade terakhir ini, telah terjadi transisi epidemiologis yang signifikan,

penyakit tidak menular telah menjadi beban utama, meskipun beban penyakit menular masih

berat juga. Penyakit tidak menular utama meliputi jantung, stroke, hipertensi, diabetes

melitus, kanker dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)..


Penyakit tidak menular adalah penyakit kronis dengan durasi yang panjang dengan

proses penyembuhan atau pengendalian kondisi klinisnya yang umumnya lambat. Pengaruh

industrialisasi mengakibatkan makin derasnya arus urbanisasi penduduk ke kota besar, yang

berdampak pada tumbuhnya gaya hidup yang tidak sehat seperti diet yang tidak sehat,

kurangnya aktifitas fisik, dan merokok. Hal ini berakibat pada meningkatnya prevalensi

tekanan darah tinggi, glukosa darah tinggi, lemak darah tinggi, kelebihan berat badan dan

obesitas yang pada gilirannya meningkatkan prevalensi penyakit jantung dan pembuluh

darah, penyakit paru obstruktif kronik, berbagai jenis kanker yang menjadi penyebab terbesar

kematian [ CITATION WHO13 \l 1057 ] . Hal ini didasari pada fakta yang terjadi di banyak

negara bahwa meningkatnya usia harapan hidup dan perubahan gaya hidup juga diiringi

dengan meningkatnya prevalensi obesitas, kanker, penyakit jantung, diabetes dan penyakit

kronis lainnya. Penanganan PTM memerlukan waktu yang lama dan teknologi yang mahal,

dengan demikian PTM memerlukan biaya yang tinggi dalam pencegahan dan

penanggulangannya. Sebagaimana dikemukakan diatas, PTM merupakan sekelompok

penyakit yang bersifat kronis, tidak menular, dimana diagnosis dan terapinya pada umumnya

lama dan mahal. PTM sendiri dapat terkena pada semua organ, sehingga jenis penyakitnya

juga banyak sekali. Berkaitan dengan itu, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

kesehatan masyarakat (public health). Untuk itu perhatian difokuskan kepada PTM yang

mempunyai dampak besar baik dari segi morbiditas mapun mortalitasnya sehingga menjadi

isu kesehatan masyarakat (public health issue) . Dikenali bahwa PTM tersebut yang

kemudian dinamakan PTM Utama, mempunyai faktor risiko perilaku yang sama yaitu

merokok, kurang berolah raga, diet tidak sehat dan mengkonsumsi alkohol. Bila prevalensi

faktor risiko menurun, maka diharapkan prevalensi PTM utama juga akan menurun.

Sedangkan dalam pendekatan klinis, setiap penyakit ini akan mempunyai pendekatan yang

berbeda-beda. Namun demikian, tidak semua PTM dengan prevalensi tinggi memunyai faktor
risiko yang sama misalnya kanker hati dan kanker serviks dimana peran infeksi virus sangat

besar. Untuk kondisi ini diperlukan intervensi spesifik. hal tersebut menjadi masalah

kesehatan masyarakat dan juga masalah sosial. Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang

menyebabkan penurunan tajam penglihatan (visus), yang banyak di derita oleh kelompok usia

diatas 50 tahun. Jika tidak dilakukan upaya pencegahan, maka jumlah penderita katarak akan

meningkat seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup masyarakat Indonesia; 80%

katarak dapat dihindari, baik dengan cara pencegahan, penyembuhan maupun rehabilitasi.

[ CITATION Kem18 \l 1057 ]

Meningkatnya Penyakit Tidak Menular (PTM) tidak saja berdampak pada

meningkatnya morbiditas, mortalitas, dan disabilitas di kalangan masyarakat, melainkan juga

berdampak pada meningkatnya beban ekonomi baik di tingkat individu maupun di tingkat

negara pada skala nasional. Literatur terkini mengungkapkan kompleksitas penyebab masalah

PTM ada dua kelompok besar faktor risiko penyakit tidak menular. Pertama, adalah faktor

risiko yang tidak dapat dikendalikan, yaitu faktor usia, Kedua, penyakit metabolik lain pada

usia dewasa. Anak-anak yang dilahirkan dengan gangguan pertumbuhan mempunyai risiko

lebih besar untuk mengalami gangguan metabolik, terutama gangguan metabolik lemak,

protein dan karbohidrat yang akan meningkatkan risiko PTM di usia dewasa.  Anak yang

dilahirkan normal dan tumbuh baik pada masa kanak-kanak, akibat  faktor gaya hidup yang

tidak sehat, seperti makan tidak seimbang dan aktivitas rendah akan meningkat faktor

risikonya  terhadap PTM. Prinsip-prinsip pencegahan  PTM, sebagai berikut :

1. Mengutamakan preventif, promotif melalui berbagai kegiatan edukasi dan promotif-

preventif,dengan tidak mengesampingkan aspek kuratif-rehabilitatif melalui

peningkatan jangkauan dan kualitas pelaya nan gizi dan kesehatan.

2. Melaksanakan pencegahan pada seluruh siklus hidup manusia, sejak dalam kandungan,

hingga bayi, balita, anak sekolah, remaja,  dewasa, diikuti  perbaikan budaya hidup
bersih dan sehat. Yang dimaksud seluruh siklus hidup adalah sejak hamil, lahir, anak

sekolah, remaja, dewasa, usia lanjut sesuai dengan masalah pada kelompok usia

tersebut. Pada kelompok usia 1000 hari pertama, fokus pencegahan diarahkan pada

pemenuhan kebutuhan dasar gizi dan kesehatan agar tidak terjadi gangguan

pertumbuhan.

3. Menerapkan Pedoman Gizi Seimbang, yang difokuskan pada peningkatan konsumsi

sayur dan buah, pangan hewani, dengan mengurangi lemak serta minyak dan

membatasi gula dan garam.

4. Menggerakkan masyarakat untuk melakukan aktivitas fisik dan menimbang berat

badan secara teratur.

5. Melibatkan semua sektor, baik Pemerintah maupun masyarakat, untuk secara nyata

melakukan sinergi dalam  melakukan PTM [ CITATION Kem26 \l 1057 ]

b). Penyakit Menular

Penyakit menular merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme,

seperti virus, bakteri, parasit, atau jamur, dan dapat berpindah ke orang lain yang sehat.

Beberapa penyakit menular yang umum di Indonesia dapat dicegah melalui pemberian

vaksinasi serta pola hidup bersih dan sehat.

Penyakit menular dapat ditularkan secara langsung maupun tidak langsung. Penularan

secara langsung terjadi ketika kuman pada orang yang sakit berpindah melalui kontak fisik,

misalnya lewat sentuhan dan ciuman, melalui udara saat bersin dan batuk, atau melalui

kontak dengan cairan tubuh seperti urine dan darah. Orang yang menularkannya bisa saja

tidak memperlihatkan gejala dan tidak tampak seperti orang sakit, apabila dia hanya sebagai

pembawa (carrier) penyakit. Selain metode penyebaran tersebut, penyakit menular juga dapat

menyebar melalui gigitan hewan, atau kontak fisik dengan cairan tubuh hewan, serta melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi mikroorganisme penyebab penyakit

[ CITATION drK18 \l 1057 ].

Prioritas pencegahan dan pengendalian penyakit menular tertuju pada pencegahan dan

pengendalian penyakit HIV/AIDS, tuberculosis, pneumoni, hepatitis, malaria, demam

berdarah, influenza, flu burung dan penyakit neglected diseases antara lain kusta,frambusia,

filariasis, dan chsitosomiasis. Selain penyakit tersebut, penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi (PD3I) seperti polio, campak, difteri, pertusis, hepatitis B, dan tetanus baik pada

maternal maupun neonatal juga tetap menjadi perhatian walaupun pada tahun 2014 Indonesia

telah dinyatakan bebas polio dan tahun 2016 sudah mencapai eliminasi tetanus neonatorum.

Termasuk prioritas dalam pengendalian penyakit menular adalah pelaksanaan Sistim

Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa, Kekarantinaan Kesehatan untuk mencegah

terjadinya Kejadian Kesehatan yang Meresahkan (KKM) dan pengendalian panyakit infeksi

emerging.[ CITATION Kem181 \l 1057 ]

2.2.2 Konsep Pencegahatan Penularan Penyakit TB

Salah satu penyebab rendahnya cakupan penemuan penderita TB Paru tersebut adalah
masih rendahnya kesadaran penderita dalam menjalani proses pengobatan dan penyembuhan.
Penularan penyakit TB Paru juga tidak terlepas dari faktor sosial budaya, terutama berkaitan
dengan pengetahuan, sikap dan perilaku dari masyarakat setempat. Di Indonesia telah
dilakukan berbagai upaya. Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat
menciptakan pola hidup sehat (Paradigma Sehat) sulit dicapai karena tidak ditunjang oleh
faktor sosial, ekonomi, tingkat pendidikan dan budaya masyarakat
2.2.2 Konsep Penggunaan Masker dalam Pencegahan TB

2.2.3 Macam Macam Masker Dalam Pencegahan Penularan

2.3 Perilaku

2.3.1 Definisi Perilaku

2.3.2 Ciri Ciri Perilaku manusia

2.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku


2.3.4 Perikaku Sehat Sakit

2.3.5 Teori Tentang Tahapan Perubahan Perilaku

2.3.6 Pengukuran Perilaku

2.4 Tahapan Perubahan Perilaku

2.4.1 Definisi

Anda mungkin juga menyukai