Anda di halaman 1dari 9

Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Manusia)

Ditulis oleh Redaksi


Kamis, 14 Januari 2010 15:33

I. Mukadimah (Pendahuluan)
Allah SWT menciptakan manusia ke dunia mempunyai maksud tertentu, yakni selain agar
beribadah kepadaNya diamanatkan sebagai Khalifah Fil Ardhi sehingga tercipta masyarakat
yang tentram serta sejahtera. Akan tetapi tugas yang diamanatkan kepada Al-Insan (manusia)
sering kali dimanipulasikan sesuai kehendak hawa nafsu syaitan,sehingga fungsi sebagai
khalifah tidak dapat dilaksanakan dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, jika setiap
manusia memahami akan maksud diciptakan Allah SWT ke dunia ini, maka segala gerak
langkahnya selalu disesuaikan dengan syariat dinullah. Tujuan diciptakan manusia secara
argumen yang ditegaskan Allah SWT seperti firmanNya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka menyembahKu." (QS.51:56). Dengan penjelasan firman
Allah SWT tersebut sudah jelas dan tegas apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia
dalam kehidupan sehar-hari, yaitu penghambaan secara totalitas kepada Al-Khaliq.
Harus diakui dalam realita kehidupan sehari-hari penyimpangan hampir tidak dapat
dihindarkan dari perbuatan manusia, karena dunia sekuler lebih dominan dibandingkan dengan
hakekat kebesaran Allah SWT,sebagai penguasa tunggal. Terjajahnya oleh bentuk kezaliman
pada dasarnya terdapat peluang yang dimiliki oleh manusia, yakni berupa da'fu iman (lemah
iman). Terdapatnya da'fu iman jika dibiarkan hidup pada diri seseorang akan memudahkan
operasinya kelompok syaitan dengan leluasa. Karena para syaitan mempunyai komitmen
untuk menghancurkan umat manusia dengan wasail (sarana) serta berbagai arah pengerti
penegasan Allah SWT: "Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari
belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur (taat)." (QS.7:17).
Perlu disadari secara cermat, bahwa aktivitas syaitan seperti ditegaskan oleh Allah SWT
melalui ayat di atas, sebuah gerakan yang akan dijalankan secara istimariyah sampai pada
suatu keberhasilan tertentu yaitu menciptakan manusia mungkar.

II. Sifatul Insan


Hilangnya penyadaran manusia terhadap asal serta tujuan diciptakan oleh Allah SWT adalah
konsekuensi tidak ma'rifah (mengenal) terhadap dirinya. Sehingga menjadikan hidupnya tanpa
memperhatikan norma-norma yang seharusnya dipatuhi. Dalam kaitan ini perlu direnungkan
pepatah yang menyebutkan: "man a'rafa nafsah faqad a'rafa rabbah, maknanya "Barang siapa
mengenal dirinya niscaya mengenal Rabbnya."
Maka sangat wajar jika di kalangan ummat kurang menyadari hakekat untuk apa diri ini
diciptakan dan harus bagaimana melakukan aktivitas di dunia, karena tidak mengenal akan
dirinya sendiri. Padahal manusia diciptakan lebih mulia dibandingkan dengan makhluk lainnya,
yakni diberikan akal. Hanya masalahnya, akal itu tidak difungsikan sebagaimana seharusnya
sesuai dengan petunjuk dari Sang Khaliq.
Gambaran manusia yang tidak memfungsikan akal seperti aturannya telah ditegaskan
Al-Quran: "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS.7:179).

1/9
Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Manusia)

Ditulis oleh Redaksi


Kamis, 14 Januari 2010 15:33

Akal dalam arti yang sebenarnya akan mampu mengarahkan maupun mengondisikan dirinya,
jika setiap insan telah ma'rifah secara jujur. Ma'rifah seperti yang disinggung di atas, sebuah
tugas yang sepenuhnya tanggung jawab setiap insan, lebih-lebih keterkaitannya dengan
Al-Khaliq (hablum minallah).
Ketika akal berfungsi, maka reaksi pemahaman tentangakan penciptaan alam pun dapat
dikenalnya kemudian mengerti jalan yang harus ditempuh. Dan Allah SWT, memberikan dua
jalan yang disodorkan kepada manusia untuk dipilihnya seperti firmanNya: "Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan." (QS.90:10). Kemudian dua jalan yang dimaksud secara
transparan disinggung pada firman lain yaitu: "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketaqwaannya (QS.91:8). Dua jalan yang tersedia ketentuan final adalah
diserahkan kepada setiap orang untuk memilihnya, dan tentunya akan membawa
konsekuensinya atas pilihannya itu.

III. Jalan Taqwa


Jika pilihan setiap manusia jatuh ke jalan ketaqwaan sudah dapat dibayangkan nilai akhir akan
sampai kepada sebuah kemenangan yang hakiki. Diraihnya suatu kemenangan melalui
aktivitas yang berat, tetapi atas dasar nilai-nilai ketaqwaan (ketaatan) itu, keberhasilan
menyertainya. Secara tegas Allah SWT menyatakan ketaqwaan seseorang akan sampai
kepada kemenangan: "Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan bertaqwa kepada Allah
dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya maka mereka adalah
orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS.24:52).
Untuk sampai ke arah kemenangan, sewajarnya setiap manusia mencari jalan dengan
maksimal yang disertai sesuai ketentuan syari'at Islam. Maka jawaban yang tepat
mencapainya, ustadz Dr. Abdullah Nasih Ulwan melalui sebuah kitab berjudul
"Ruhaniyatud-Da'iah" memberikan cara mencapai ketaqwaan. Bahwa terdapat beberapa
marhalah (langkah) yang perlu dilalui untuk menuju taqwa yaitu:

1. Mu'ahadah
Langkah awal yang harus dilakukan setiap orang merenungkan mu'ahadah (mengingat
perjanjian) terhadap Allah SWT, maupun terhadap dirinya sendiri. Aktivitas shalat yang
dijalankan sehari semalam jika dipahami dengan benar, adalah indikator janji kepada Allah
SWT, kemudian disebutnya al-ibadah ritual. Akan tetapi shalat yang dijalankan kurang
dipahami sebagai aspek perjanjian (bai'at) sehingga tidak mampu mengubah sikap dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan ini Dr.Abdullah Nasih Ulwan memberi metode cara
mu'ahadah yakni hendaklah seseorang mukmin berkhlwat (menyendiri) antara dia dan Allah
untuk mengintrospeksi diri seraya mengatakan pada dirinya: "Wahai jiwaku, sesungguhnya
kamu tidak berjanji kepada Rabbmu setiap hari di saat kamu berdiri membaca "iyyaka na'budu
wa iyyaka nasta'in."
Janji itulah yang selalu keluar dari lisan maupun qalbu seorang muslim setiap melakukan
shalat, dengan demikian, seharusnya ditepati sehingga terhindar dari stempel munafik.
Padahal Allah SWT menekankan agar setiap orang menepati janji yang telah dibuatnya: "Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji...." (QS.16:91). Kurang memperhatikan
dengan perjanjian yang keluar dari lisan seseorang, jika tidak ditepatinya dapat menggugurkan
jati diri kemuslimannya.

2. Muraqabah

2/9
Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Manusia)

Ditulis oleh Redaksi


Kamis, 14 Januari 2010 15:33

Makna muraqabah adalah terpatrinya perasaan keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap waktu
dan keadaan serta merasakan kebesaranNya di kala sepi ataupun ramai. Kuatnya
kebersamaan dengan Allah SWT dapat menumbuhkan sikap yang selalu berhati-hati dalam
berbuat, artinya akan senantiasa disesuaikan dengan aturan syariat. Jika keberadaan seperti
ini berjalan secara istimrariyah (berkesinambungan) sudah dapat dipastikan kelak akan lahir
pribadi-pribadi yang hanif.
Sikap muraqabah digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika menjelaskan kata ihsan:
"Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya, dan jika memang
kamu tidak melihatNya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu." Sikap seperti ini di jaman
modern sangat dibutuhkan sebagai pengendali udara materialistis yang dapat merusak
sendi-sendi keimanan seseorang. Pengendalian melalui muraqabah lebih jauh akan mampu
menciptakan tatanan masyarakat yang aman tentram (betul-betul terkendali).
Pelaksanaan muraqabah dimulai ketika akan dimulai saat akan melakukan suatu pekerjaan
dan di saat mengerjakannya, hendaknya setiap orang mengoreksinya, apakah telah sesuai
dengan aturannya atau sebaliknya. Sehingga ketika sampai pada suatu waktu tertentu akan
terlihat, lebih-lebih bertemu dengan kegagalan. Mengapa terjadinya suatu kegagalan, padahal
menurut perasaan melakukannya secara maksimal. Inti muraqabah tercermin melalui firman
Allah SWT: "Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan
gerak badanmu diantara orang-orang yang sujud." (QS.26:218-219).

3. Muhasabah
Jika merenungkan apa yang disampaikan Umar Al-Farq r.a., tentang makna muhasabah
(introspeksi diri) yaitu: "Hisablah (nilailah) diri kalian sebelum kalian dihisab (dinilai),
timbanglah diri kalian sebelum ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukan yang agung
(hari kiamat)." Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari
amal kalian barang satu pun. Kesalahan yang sering terjadi di kalangan manusia melarikan
diri dari sikap muhasabah, sehingga melemahkan untuk meningkatkan prestasi ibadah, karena
merasa sudah berhasil. Lebih jauh lagi hakikat muhasabah seharusnya seorang mukmin
memperhatikan modal, keuntungan, dan kerugian, agar ia dapat mengontrol apakah
dagangannya bertambah atau menyusut. Yang dimaksud modal di sini adalah Islam secara
keseluruhan, mencakup segala perintah, larangan, tuntutan, dan hukum-hukumnya.
Sedangkan pengertian laba adalah melaksanakan ketaatan dan menjauhi larangan. Kemudian
yang dimaksud kerugian adalah melakukan perbuatan pelanggaran (dosa). Allah SWT
memberikan acuan yang berkaitan dengan muhasabah seperti firmanNya: "Hai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS.59:18).

4. Mu'aqabah
Dalam setiap pekerjaan akan berhadapan dengan sebuah perbuatan kesalahan walaupun
mungkin ada yang bersifat sengaja atau karena alpa. Ketika berhadapan dengan perbuatan
kesalahan yang dilakukan secara sengaja perlu diambil sanksi (mu'aqabah). Namun ajaran
Islam yang agung telah memberikan uswah, walaupun perbuatan kesalahan karena alpa
sebagai pendidikan adanya tindakan mu'aqabah. Hal ini dapat dilihat dari riwayat, bahwa
Uman bin Khatab ra., pergi ke kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang sudah selesai
melaksanakan shalat Ashar. Maka beliau berkata: "Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku

3/9
Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Manusia)

Ditulis oleh Redaksi


Kamis, 14 Januari 2010 15:33

pulang orang-orang sudah shalat Ashar...kini kebunku aku jadikan shadaqah buat orang-orang
miskin."
Ibrah yang dapat diambil dari riwayat shahabat, Umar bin Khatab ra bahwa kesadaran untuk
mengakui kesalahan atas perbuatan dirinya kemudian diterapkan mu'aqabah secara
konsekuen akan membawa dampak positif. Dalam pengertian, dapat dijadikan panutan orang
lain, lebih-lebih jika dijadikan panutan oleh para elit kekuasaan. Sekaligus menerapkan aturan
hukum diterapkan kepada siapapun tanpa kecuali, bukan perilaku rejim yang menerapkan
norma kesewenangan. Pemberian sanksi diberikan atas dasar keadilan yang diberikan Allah
SWT setelah sebelumnya diberikan peringatan agar berjalan di wilayah Al-Haq: "....dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan....(QS.2:195). Demikian juga
di tempat terpisah Allah SWT mengingatkan manusia supaya waspada yaitu: "....dan janganlah
kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu."
(QS.4:29).

5. Mujahadah
Kerja keras secara maksimal merupakan tahapan yang harus diupayakan untuk mencapai
keberhasilan. Karena sesuatu yang mustahil kesuksesan didapat tanpa melalui perjuangan
dengan sungguh-sungguh dan itulah kemudian disebugt mujahadah (optimalisasi). Secara
terminologi makna mujahadah yakni apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan,
santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya
tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amalan-amalan sunnah lebih
banyak dari sebelumnya. Kemudian dalam kaitan ini, ia harus tegas, dan penuh semangat
sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi
sikap yang melekat pada dirinya.
Secara tersurat dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman: "Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS.29:69).
Bentuk mujahadah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW diperlihatkan ketika
menghadapi akhir ramadhan seperti sabdanya: "Apabila Rasulullah memasuki sepuluh hari
terakhir di bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam (dengan ibadah), membangunkan
keluarganya bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat pinggang." (HR.Bukhari Muslim).

IV. Taskiyatun Nafs


Jika marhalah dalam mencapai ketakwaan dilaksanakan secara maksimal, maka akan
melahirkan orang-orang yang senantiasa mengadakan tazkiyatun nafs (pembersihan diri)
setiap saat. Tazkiyatun nafs sebagai konsekuensi logis tercapainya situasi ketakwaan kepada
Allah SWT yang merupakan cita-cita setiap mukmin.
Karena itulah Allah SWT menegaskan dalam kitab suci Al-Quran: "Dialah yang mengutus
kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan
ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab
dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata." (QS.62:2). Syamarah (buah) dari tazkiyatun nafs akan tampak dalam
perilaku seseorang diantaranya yaitu:

1. Selalu Bersyukur
Mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada seseorang adalah perbuatan mulia, tetapi

4/9
Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Manusia)

Ditulis oleh Redaksi


Kamis, 14 Januari 2010 15:33

banyak diantara orang sulit melaksanakannya karena melupakan nilai nikmat yang sangat
besar telah diberikan oleh Allah SWT, kecuali orang-orang yang selalu mengadakan
tazkiyatun nafs terhadap dirinya sendiri. Sehingga menurut pandangan yang digariskan oleh
Allah sWT dengan bersyukur kepadaNya kenikmatan pun berlipat ganda seperti firmanNya:
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika
kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya adzabKu sangat pedih." (QS.14:7). Maka
pengaruh dari tazkiyatun nafs akan membekas pada seseorang dengan kegiatan selalu
melakukan syukur terhadap Allah SWT.

2. Bersabar
Sikap sabar pun hanya akan abadi dalam jiwa seseorang yang selalu dihidupi oleh tazkiyatun
nafs,sehingga melahirkan sikap di bawah monitor Al-Haq. Artinya sikap yang keluar ketika
menghadapi ujian maupun cobaan hidup akan dihadapi penuh kesabaran serta keimanan
kepadaNya. Di samping itu Allah SWT menyertai terhadap orang-orang yang mampu
mempergunakan pakaian kesabaran dalam menjalani kehidupan baik pada kondisi suka
maupun duka: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS.2:153).
Terutama dalam menghadapi zaman yang serba materialistis disertai oleh budaya
pembaratan, jika hilangnya pakaian kesabaran, maka hidup akan terasa "gerah". Dan telah
tampak bukti-bukti yang ada di hadapan mata, betapa kekerasan disertai kriminalitas salah
satu penyebabnya pengaruh sosial. Maka orang di sebelah seberang membuat analisis akibat
jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, sehingga menimbulkan krisis moral maupun
meningkatnya kriminalitas.
Apabila memperhatikan kondisi yang serba panas, terlihat dengan jelas bahwa nilai kesabaran
terlemparkan sejauh mungkin. Padahal, sabar sebuah ruh yang harus dijadikan pola hidup oleh
orang-orang beriman kepada Allah SWT, RasulNya maupun hari akhir.

3. Pemaaf
Konsekuensi tertanamnya tazkiyatun nafs, juga dapat melahirkan orang-orang yang mampu
menahan amarah dan membentuk perilaku pemaaf. Karena dalam udara penuh emosional
sulit orang mampu mewujudkan jiwa yang suka memaafkan terhadap kesalahan pihak lain.
Sesungguhnya menurut pandangan Islam nilai pemaaf merupakan hasil penataan dari
keimanan seseorang. Oleh karenanya Allah SWT mengabadikan dalam Al-Quran: "...dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS.3:134).
Begitu urgensinya seorang mukmin harus mampu menahan amarahnya disertai sikap suka
memaafkan kesalahan orang lain, sehingga Rasulullah SAW memberikan petunjuk dalam
sabdanya: "Jangan engkau mudah marah." Maka diulangi beberapa kali, sabdanya:
"Janganlah engkau mudah marah." (HR.Bukhari,Muslim). Jelas sekali Islam memandang
pentingnya untuk memasyarakatkan pemaaf disertai berupaya mampu menahan amarah, bila
sudah membudaya maka niscaya akan diikuti orang di sekitarnya.

4. Ar-Rahim
Bentuk Ar-Rahim (kasih sayang) Allah SWT diciptakan agar dijadikan landasan hidup setiap
orang, sehingga terwujudnya masyarakat yang penuh damai. Hilangnya perasaan kasih
sayang yang kemudian diganti oleh pertikaian menjadikan dunia ini penuh malapetaka. Kalau

5/9
Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Manusia)

Ditulis oleh Redaksi


Kamis, 14 Januari 2010 15:33

dunia diisi hanya oleh perbuatan biadab dan menafikan nilai Ar-Rahim, jika yang terjadi
demikian, kelak Allah SWT menurunkan peringatan: "Telah tampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(QS.30:41).
Sangat penting untuk menciptakan perasaan kasih sayang agar terhindar dari malapetaka
yang diturunkan oleh Allah SWT hanya karena ulah segelintir manusia. Karena pandangan
itulah, Allah SWT menegaskan perlu ditekankan kondisi kasih sayang seperti firmanNya:
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi kasih sayang mereka, kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaanNya." (QS.48:29).

5. Al-Amin
Salah satu akhlak yang menonjol dalam perilaku Rasulullah SAW adalah Al-Amin (terpercaya),
yang harus menjadi petunjuk oleh setiap umat Islam. Karena faktor kepercayaan akan mampu
menciptakan kondisi yang mendekatkan perilaku kebajikan dalam operasionalitas hidupnya.
Dalam menumbuhkan sikap Al-Amin sedikit banyak dipengaruhi oleh diyah (lingkungan) di
mana seseorang berada, karena itu perlu adanya orientasi keluar. Dalam pengertian,
bergaullah dengan lingkungan yang terhindar dari hilangnya wilayah Al-Amin, seperti Allah
SWT memberikan informasi: "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang beriman." (QS.9:119).
Maka peran pergaulanlah dapat mempengaruhi perilaku seseorang, untuk itulah
memperhatikan lingkungan dalam dimensi hubungan sosial yang dapat menciptakan situasi
aman tenteram sejauh mana adanya upaya ke arah ke sana. Demikian pula, jiwa Al-Amin pada
hakikatnya fitrah yang melekat dalam jiwa seseorang, tetapi sering terabaikan untuk
dimanfaatkan sesuai aturan syariah. Jalan taqwa yang menjadi pilihan seseorang merupakan
kesuksesan untuk meraih kondisi tazkiyatun nafsi, kemudian terbangunnya ketenangan lahir
batin.

6. Al-Falah
Puncak tazkiyatun nafsi yang sebelumnya telah melakukan aktivitas syukur hingga al-amin
sebagai syamarah (buahnya) adalah alfalah (kemenangan). Al-Falah yang diraihnya bukan
hadir tanpa melalui proses tadhiyah untuk meraihnya. Ketaatan/tsiqah kepada Allah SWT dan
Rasulullah SAW menyertainya: "Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan
takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya, maka mereka adalah orang-orang yang
mendapat kemenangan." (QS.24:52).
Kemenangan yang dijanjikan Allah SWT sekaligus sebagai cambuk untuk berada serta mampu
mempertahankan nilai ketaqwaan sampai akhir zaman. Ketika dimilikinya, tentu usaha untuk
mempertahankan al-falah dalam sikap yang sesuai dengan syari'atullah, jika melenceng akan
menjadi preseden kurang baik.

V. Al-Fujura
Sifatul insan yang bertentangan dengan sifat at-taqwa adalah al-Fujur (fasik), sehingga jalan
ini harus dihindarkan jangan sampai masuk ke ruang hati maupun pikiran seorang mukmin.
Dimiliki sifat fujur karena dominasi kecintaan kepada dunia secara berlebih-lebihan, sehingga
kewajiban kepada Allah SWT atau hukum-hukumNya diabaikan. Kelompok fasik ditegaskan

6/9
Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Manusia)

Ditulis oleh Redaksi


Kamis, 14 Januari 2010 15:33

Allah SWT: "Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum


keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai
daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusanNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik." (QS.9:24).
Kefasikan yang melanda jiwa seseorang selain orientasi keduniaan lebih dominan, juga banyak
melakukan kemaksiatan lewat kehidupan sehari-hari, dengan melupakan untuk bertaubat
(perbaikan) sehingga berbuat penyimpangan terbiasa. Dengan lain perkataan, selalu
memproduksi penyakit atau mengotorinya (at-tadbiniyyah) syariat Islam. Jika demikian
kenyataannya, maka dominasi kefasikan akan membawa kerugian ummat manusia dunia
maupun akhirat kelak.

1. At-Tadbiniyyah
Aktivitas orang-orang fasik pada hakekatnya at-tadbiniyyah (mengotori) ketentuan Allah SWT
yang seharusnya mampu mengaktualisasikannya semata-mata untuk beribadah kepadaNya
secara kaffah. Bentuk nyata dari usaha at-tadbiniyyah terhadap hukum Allah SWT, akan
tampak dari aktivitas seseorang yang terkena penyakit fasik yaitu:

2. 'Ajuulan
Akibat kefasikan yang melanda hati dan pikiran, seseorang akan tampak dalam berperilaku
'ajuulan (terburu-buru), sehingga hasilnya kurang memuaskan, kemungkinan lain dapat
merugikan semua pihak. Betapa berbahayanya, orang yang di luar terkena getahnya, padahal
tidak mengetahui permasalahannya. Di samping itu, manusia mempunyai sifat tergesa-gesaan
seperti ditegaskan oleh Allah SWT: "Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa." (QS.17:11).
Perbuatan yang dilakukan secara tergesa-gesa pada hakekatnya bentuk orang-orang yang
membelakangi sunnatullah dan ketidakmampuan menghadapi kesabaran. Sehingga ditempuh
jalan garis cepat, yang sebenarnya akan berhadapan dengan kerugian serta berbagai
benturan. Pada akhirnya tercipta kondisi yang tidak menentu dan kemudian lahirlah sikap
ragu-ragu terhadap langkah berikutnya.

3. Al-Maluu'a
Bentuk kefasikan yang lainnya dalam mengotori kebenaran al-Haq yaitu dimilikinya sifat
keluh-kesah dalam jiwa seseorang. Terjadinya al-maluu'a (keluh-kesah) dalam diri seseorang
merupakan sebuah rangkaian yang tidak terlepaskan dari hasil kefasikan, karenanya hidup
selalu merasa terasingkan. Jika hanya dipahami secara kasar orang mengatakan, bentuk
keluh-kesah (al-maluu'a) diciptakan oleh Allah jadi tidak perlu dipermasalahkan.
Sebenarnya bukan permasalahan yang jadi konteks di sini, namun menunjukkan bahwa
kekuasaan Allah SWT dalam menciptakan sesuatu. Termasuk pengertian al-maluu'a seperti
firmanNya: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir." (QS.70:19).
Sekaligus informasi, bahwa Allahlah yang memiliki kekuasaan dan penguasa, karena manusia
berhadapan dengan kondisi keluh-kesah sekalipun tidak mampu meninggalkannya. Oleh
karena mengapa bangga akan kesombongan diri sendiri, tidakkah kita seharusnya memikirkan
ayat-ayatNya.

4. Al-Qatuura

7/9
Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Manusia)

Ditulis oleh Redaksi


Kamis, 14 Januari 2010 15:33

Bentuk perilaku kotor dalam bentuk lain yang ada pada jiwa orang-orang fasik yakni Al-Qatuura
(kikir), seolah-olah segalanya adalah milik dirinya sendiri baik harta maupun tahta sekalipun.
Padahal menurut aturan Allah SWT semuanya merupakan amanah yang harus dipenuhi
ketentuannya, seperti diberikannya harta, di dalamnya ada hak orang lain: "Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bahagian." (QS.51:19).
Walaupun manusia memiliki sifat kikir seperti dalam firmanNya: "Katakanlah: "Kalau
seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya
perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu
sangat kikir." (QS.17:100). Akan tetapi tidak demikian, jika seseorang yang komitmen terhadap
keimanannya. Karena menyadari, bahwa rizki yang Allah SWT berikan sesungguhnya amanah
semata, yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali olehNya. Jika setiap umat menyadari
asal-usul rizki secara proposional, tentu akan melahirkan pribadi-pribadi yang abid (ahli
ibadah) seperti akhlak para salafus shalihin.

5. Al-Kafuuraa
Konsekuensi mengambil jalur kefasikan maka melahirkan penyakit al-kafuuraa (kafir) dengan
kata lain perkataan mengingkari terhadap kebenaran. Kelompok umat ini, pada hakekatnya
mengetahui adanya kebenaran, tetapi menutup hati untuk melakukannya (amal) karena
kekafiran yang terdapat di dalam dirinya. Sehingga Allah SWT memberikan informasi
keberadaan orang-orang kafir seperti diabadikan Al-Quran: "Sesungguhnya orang-orang kafir,
sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah
mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi
mereka siksa yang amat berat." (QS.2:67).
Makna al-kafuuraa secara lebih jauh dapat dipahami baik secara i'tiqadi (keluar dari Islam)
maupun kafir secara amali (pengamalan). Dalam konteks kehidupan sehari-hari yang lebih
dominan kafir secara amali (pengamalan), walau pun hatinya masih Islam. Sehingga yang
perlu pemikiran lebih dalam, adanya usaha untuk mengembalikan ummat ke jalan ketaqwaan
sekaligus meninggalkan sikap kekafiran baik kafir i'tiqadi maupun kafir secara amali. Kekafiran
yang terdapat dalam jiwa seseorang baik secara i'tiqadi maupun kafir amali, pada hakekatnya
akan menempatkan dirinya pada suatu kerugian, sehingga aktivitas amaliyahnya tidak
mendapat nilai menurut pandangan Allah SWT, dalam Al-Quran yang artinya: "Sesungguhnya
orang-orang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh orang-orang yang menyuruh
manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang
pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat,
dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong." (QS.3:21-22).

6. Al-Jahuula
Bentuk pengobatan lain sebagai konsekuensi jalan kefasikan seseorang, adalah terkena
al-jahuula (bodoh) terhadap kebenaran, kemudian merasakan pemilikan al-jahuula tidak
dianggap lagi sebagai penyakit yang dapat mengganggu hubungan dengan Allah sWT (hablum
minallah) maupun keterkaitannya dengan sesama manusia (hablum minannas). Efek itulah
yang selanjutnya dapat mengubah sikap kebaikan kepada kebatilan sebagai sarana jalan
syaitan laknatullah.
Sebagai diilustrasikan Allah SWT ketika menawarkan tanggung jawab untuk melaksanakan
amanat yang ditolak oleh gunung, langit maupun bumi tetapi manusia menerimanya, seperti

8/9
Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Manusia)

Ditulis oleh Redaksi


Kamis, 14 Januari 2010 15:33

firmanNya: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia, sesungguhnya manusia itu amat
zhalim dan amat bodoh." (QS.33:72).
Al-jahuula pada dewasa ini lebih tampak tercermin melalui kebijakan yang diambil seseorang
untuk memilih antara kebenaran dan kebatilan, tetapi pilihannya justru kepada kebatilan, yang
sesungguhnya mereka mengetahuinya akan mendapat murka (azab) dari Allah SWT
kenyataan seperti ini, bukanlah sesuatu yang mengherankan, tetapi dalam zaman yang serba
materialistis ini kemungkinan bisa terjadi seketika. Bahkan kebenaran pun bisa dibeli dengan
segepok uang! Itulah realita yang sungguh ironis terjadi di jaman sekarang ini. Karena
hilangnya kewaspadaan pada tiap-tiap diri seseorang, kemudian hidupnya diliputi oleh
ketergantungan yang bersifat materi semata.

VI. Khatimah (Penutup)


Setelah menelusuri dua sifat Al-Insan antara at-Taqwa dan al-Fujuur yang masing-masing
memiliki konsekuensinya. Tentunya bagi pilihan jalan taqwa akan mendapat berbagai
keberuntungan, dan sebaliknya jika jalan al-fujuur yang menjadi alternatifnya pintu
kesengsaraan akan diraihnya. Pada akhirnya Allah sWT memberikan pilihan kepada setiap
ummat untuk mengambil sikap antara iman atau kafir dan harus dipertanggungjawabkan atas
hasilnya kelak.
Konsep demokrasi yang ditawarkan oleh Allah SWT tercermin melalui firmanNya, yang artinya:
"Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir,
sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka." (QS.18:29).
Jalan taqwa adalah pilihan yang tepat bagi orang-orang beriman dalam menyelamatkan dirinya
untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. (QS.2:201).

9/9

Anda mungkin juga menyukai