DAN MAXILOFASIAL
UNIVERSITAS HASANUDDIN
Terjemahan Jurnal
Oleh:
Pendahuluan
Pada akhir Desember 2019, wabah pneumonia dengan penyebabnya yang
tidak diketahui terjadi di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Agen kausatif penyebab
pneumonia ini teridentifikasi sebagai coronavirus jenis baru yang diberi nama 2019-
nCoV, yang awalnya diberi nama severe acute respiratory syndrome coronavirus 2
(SARS-CoV-2) dan penyakit ini diberi nama coronavirus disease 2019 (COVID-19)
oleh World Health Organization. Kemudian, World Health Organization (WHO)
menamakan virus patogenik ini 2019-nCoV. Virus tersebut berasal dari sekelompok
besar virus yang sangat beragam yang disebut dengan human coronaviruses , virus ini
terdiri dari RNA strain tunggal positif, berkapsul, dan tidak bersegmen yang
menginfeksi saluran pernapasan. Pada 11 Maret 2020, WHO telah menyatakan
COVID-19 sebagai penyakit pandemi dan pada 26 Maret 2020, COVID-19 telah
menyebar ke hampir 199 negara dan wilayah di seluruh dunia dengan lebih dari
4.626.080 kasus dan sekitar 20834 kematian. Sejauh ini, 2019-nCoV adalah anggota
ketujuh dari keluarga virus corona yang menginfeksi manusia. Dalam dua dekade
terakhir, dua epidemi penyakit manusia yang parah telah muncul dan dikaitkan
dengan dua coronavirus baru, severe acute respiratory (SARS) yang disebakan oleh
SARS-coronavirus dan penyakit yang berasal dari Timur Tengah atau Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) yang disebakan oleh MERS-coronavirus. Masing-
masing virus telah menginfeksi lebih dari 8000 dan 857 kasus di seluruh dunia
dengan tingkat kematian sekitar 10% dan 35%.
Penularan penyakit
Laporan awal menunjukkan bahwa 2019-nCoV (SARS-CoV-2) kemungkinan
berasal dari kelelawar, sementara host perantara antara reservoir kelelawar dan
manusia masih belum jelas. Penularan COVID-19 dari manusia ke manusia terutama
melalui droplet dan atau kontak dekat antara orang yang terkena dengan orang yang
sehat. Meskipun virus telah teridentifikasi pada air mata dan kotoran dari orang yang
terinfeksi, penularan penyakit melalui rute oral, fecal, atau konjuctiva tidak diketahui
Penyakit ini sangat menular, bahkan terlalu dini untuk mengidentifikasi
jumlah reproduksi akurat (R0) (yaitu kemampuan pasien untuk menyebarkan
penyakit ini kepada orang-orang yang berkontak), beberapa penelitian
memperkirakan rerata R0 dalam kisaran 2,20-3,58. Ini berarti setiap pasien telah
menyebarkan infeksi kepada 2 atau 3 orang lainnya.
Gambaran klinis
Masa inkubasi untuk virus mencapai hingga 14 hari dengan rerata 5,2 hari,
dilaporkan satu carrier asimptomatik atau tanpa gejala dengan masa inkubasi 19 hari,
dan hampir semua pasien kemungkinan mengalami satu atau lebih gejala dalam 12,5
hari kontak.
Pasien dengan COVID-19 dapat berupa carrier asimptomatik (tanpa gejala)
atau mereka mungkin mengalami gejala mulai dari gejala ringan hingga kegagalan
respirasi atau multiorgan. Umumnya pasien datang dengan keluhan demam, batuk
kering, mialgia, kelelahan, dan dispnea. Gejala yang tidak begitu umum meliputi
diare, sakit perut (nyeri abdomen), pusing, batuk produktif, nyeri dada pleuritik dan
hemoptysis.
Berdasarkan Diagnosis and Treatment Protocol for Novel Coronavirus
Pneumonia (Trial Version 6) yang dikeluarkan oleh National Health Commission &
State Administration of Traditional Chinese Medicine, pasien dapat diklasifikasikan
ke dalam empat kategori (yaitu ringan, sedang, parah dan kritis). Pasien dalam
kelompok ringan memiliki gejala ringan tanpa adanya gambaran radiologis berupa
dengan adanya gambaran radiologi temuan pneumonia. Pasien yang sakit parah
mengalami dispnea, takipnea (yaitu laju pernapasan 30 / menit), hipoksemia (yaitu
saturasi oksigen darah 93% dan infiltrat paru >50% dalam waktu 24-48 jam. Pasien
yang sakit kritis mengalami syok septik, gagal pernapasan, atau disfungsi multiorgan.
editing artikel ini, gambaran yang dilaporkan menunjukkan tingkat mortalitas global
4,49%.
Diagnosis klinis
Pada awal perjalanan penyakit, jumlah WBC (White blood Count) mungkin
normal. Temuan laboratorium umum pada pasien dengan COVID-19 seperti
leukopenia, dan limfopenia. Beberapa pasien mengalami peningkatan lactate
dehydrogenase, creatinine kinase, alanine aminotransferase, dan aspartate
aminotransferase. Limfopenia dianggap ciri terpenting penyakit. Sekitar 30% pasien
mengalami peningkatan kadar D-Dimer. Bahkan kadar serum procalcitonin normal
pada kebanyakan pasien, C-reactive protein meningkat.
Gambaran Computed Tomography (CT) pada pasien dengan COVID-19
memiliki karakteristik manifestasi yang berhubungan dengan berbagai jenis klinis
penyakit (yaitu ringan, sedang, berat dan kritis). Berdasarkan temuan CT tidak
ditemukan gambaran abnormal pada kasus ringan. Pada kasus sedang
dimanifestasikan berupa bayangan plak padat atau halo sign (yaitu Ground glass
opacity yang mengelilingi parenkim paru); perubahan ini telah diidentifikasi pada
91% kasus. Kasus parah menunjukkan adanya bayangan garis-garis fibrousdengan
perubahan ground glass; banyak lesi yang didokumentasikan pada lebih dari 95%
kasus. Gabungan bayangan sebagai lesi utama merupakan temuan utama pada pasien
yang sakit kritis.
Deteksi RNA virus menggunakan real-time reverse transcriptase polymerase
chain reaction (rRT-PCR) digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis klinis. Untuk
kebanyakan deteksi sensitif 2019-nCoV, Pengumpulan dan pengujian sampel saluran
pernapasan atas dan bawah juga disarankan. Brochoalveolar lavage fluid specimen
memiliki tingkat positif tertinggi 93% ddikuti oleh sputum sebesar 72%. Tingkat
deteksi nasal swabs, fiber bronchoscope brush biopsy, dan pharyngeal swabs
masing-masing adalah 63%, 46%, dan 32%. Spesimen fecal dan darah memiliki
tingkat positif hanya 29% dan 1% pada pasien yang sakit. Terlepas dari tingkat
deteksi yang tinggi pada bronchoalveolar lavage fluid dan sputum, US CDC
merekomendasikan hanya pengumpulan upper respiratory nasopharyngeal (NP)
swab karena peningkatan risiko biosafety pada pekerja kesehatan melalui
pembentukan droplet aerosol.
tersedia, semua pasien harus dianggap sakit dan pendekatannya serupa dengan pasien
dipertimbangkan hingga diagnosis terkonfirmasi atau pasien telah keluar dari rumah
sakit.
Pertimbangan praoperatif
Semua staf medis harus melakukan tugas klinis mereka dengan mengenakan
sarung tangan, topi, dan masker bedah sekali pakai dengan benar. Kapanpun pasien
yang diduga atau pasien yang menderita COVID-19 ditemukan, perhatian ekstra
harus dilakukan untuk menjaga perlindungan pada tingkat tinggi. Jika terjadi, semua
penyedia layanan kesehatan harus menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti fit-
tested disposacle N95 respirator, goggles, face shield, gown untuk tindakan
pencegahan droplet/kontak yang maksimum. Staf medis harus menjaga kebersihan
tangan sebelum dan setelah berkontak dengan pasien dan setelah melepas sarung
tangan.
Staf medis memiliki kontak yang luas dengan pasien dan keluarga mereka
serta penyedia layanan kesehatan lainnya, oleh karena itu sangat mungkin terjadi
infeksi silang. Sehingga status kesehatan individual dan pencatatan suhu tubuh harus
dilakukan. Setiap staf medis dengan suhu tubuh yang meningkat harus diisolasi dan
diselidiki untuk kemungkinan tertular penyakit.
Ahli anestesi yang terlindungi dengan baik perlu mengoksidase pasien dengan
100% O2 selama 3-5 menit kemudian rapid sequence induction dan intubasi untuk
menghindari ventilasi manual dan mengurangi kemungkinan pembentukan aerosol
virus dari jalan napas. Setelah APD dilepas, cuci tangan dengan benar sebelum
menyentuh lingkungan sekitarnya. Disarankan untuk menggunakan HMEF (Heat and
Moisture Exchange Filter) berkualitas tinggi antara facemask dan breathing sirkuit.
Diperkirakan bahwa HMEF dapat menghilangkan 99,97% partikel airbone sama atau
lebih besar dari 0,3 mikron. Peralatan anestesi harus digunakan oleh satu orang saja
dan mesin anestesi didesinfeksi sesuai dengan persyaratan setelah digunakan.
Pertimbangan intraoperatif
Jika pasien memiliki penyakit COVID-19 atau bahkan sangat dicurigai,
pembedahan harus dilakukan dalam lingkungan bertekanan negatif yang ditentukan;
sangat penting untuk menjaga perbedaan tekanan antara ruang operasi di bawah - 4,7
Pa. Staf medis harus dikurangi sebanyak mungkin serta suhu mereka perlu diukur
sebelum memulai operasi. Dokter bedah dan staf medis tambahan harus menyadari
sekresi darah dan tubuh pada waktu pembedahan, semua peralatan harus dijaga bersih
dari sekresi ini. Pilihan antara laparoscopy dan laparotomy sebagai pendekatan bedah
perlu dilakukan dengan hati-hati. Karena penggunaan laparoscopy terbukti memiliki
keuntungan, pasien dengan fungsi kardiopulmoner serta kondisi yang baik dapat
dipertimbangkan unuk bedah laparoscopic. Perhatian seksama selama pembuatan
pneumoperitoneum dan penanganan aerosol yang ketat harus dilkukan selama
pembedahan. Sehubungan dengan artificial pneumoperioteum, akan terdapat reduksi
volum paru-paru, peningkatan tekanan saluran napas, peningatan retensi CO 2, dan
penurunan lung compliance. Oleh karena itu, risiko ingeksi perioperatif 2019-nCoV
dianggap tinggi.Untuk meminimalkan dampak pneumoperitoneum terhadap fungsi
paru-paru, tekanan pneumoperitoneum intraoperatif, dan ventilasi CO harus serendah
2
mungkin. Asap hasil pembedahan dan pneumoperitoneum harus dievakuasi hanya
menggunakan direct suction yang dihubungkan ke vacuum suction unit.
Pertimbangan Postoperatif
Pascaoperatif, spesimen harus diberi label sebagai 2019-nCoV dan ditangani
sebagai spesimen infeksius untuk perlakuan dengan departemen patologi. Pasien yang
bebas dari penyakit dapat dipindahkan ke bangsal bedah umum untuk penanganan
pascaoperatif mereka. Pemeriksaan harian suhu tubuh serta gejala pernapasan wajib
dilakukan. Pasien siapapun dengan permulaan baru mengalami demam atau batuk
harus diisolasi dan diperiksa menyeluruh untuk mengesampingkan infeksi 2019-
nCoV. Pasien yang dicurigai atau dikonfirmasi harus diisolasi pada ruangan tunggal
dengan tekanan negatif, suplai oksigen yang memadai dan nebulisasi serta
penanganan luka harus dilakukan dengan penggunaan APD untuk menghindari
kontak dengan sekresi. Pada kasus pasien yang dicurigai COVID-19, semua staf
medis harus diisolasi dan dikarantina untuk observasi hingga status pasien jelas. Jika
diagnosis COVID-19 dikonfirmasi atau teridentifikasi sebelumnya, staf medis yang
terlibat dalam pembedahan perlu diisolasi selama 14 hari setelah pembedahan.
Kesimpulan
Pada era pandemi COVID-19, semua penyedia layanan kesehatan harus
mengimplementasikan langkah-langkah perioperatif penting standar meliputi
penggunaan APD unuk mengontrol penularan penyakit, dan menghindari komplikasi
yang tidak diinginkan. Pada prosedur penyelamatan hidup, semua pasien perlu
ditangani sebagai pasien COVID-19 hingga hasil dikonfirmasi. Prosedur elektif
direkomendasikan untuk ditunda dan mempertimbangan hanya prosedur mendesak
yang menyelamatkan hidup serta bedah onkologi yang berhubungan dengan hasil
yang lebih buruk jika ditunda. Penggunaan laparoscopy masih dianggap pilihan valid
pada pertimbangan tindakan pencegahan ekstra selama pembuatan
pneumoperitoneum, fisiologi kardiopulmoner dan deflasi gas.
Pendanaan
Penelitian ini tidak menerima hibah khusus dari lembaga donor di sektor publik,
komersial, atau nirlaba.