Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN HASIL ANALISIS

Tentang
Penculikan Aktivis 1997/1998
Semester Tahun Pelajaran 2020/2021

Disusun oleh:
Nama : Amer Munba’its Syi’bul Huda
Kelas : XI MIPA 4

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA BARAT


DINAS PENDIDIKAN
CABANG DINAS PENDIDIKAN WILAYAH XII
SMA NEGERI 1 SINGAPARNA

Jln. Pahlawan KH.Z Musthafa, Telp. (0265) 545203 Fax. (0265) 541499
Website: http://www.sman1spa.sch.id Email: smanspang@yahoo.co.id
Singaparna, Kab. Tasikmalaya 46416

Penculikan Aktivis 1997/1998

Penculikan aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan


orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi
yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun
1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun
1998.
Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap:
Menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang
MPR bulan Maret, sembilan di antara mereka yang diculik selama
periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di
antara mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka.
Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan
ketiga muncul.
Selama periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah
dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan
meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13
lainnya masih hilang hingga hari ini. dan penculikan itu terjadi saat masa
kepemimpinan Jenderal tertinggi ABRI, Wiranto.
Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah:
1. Desmond Junaidi Mahesa, diculik di Lembaga Bantuan
Hukum Nusantara, Jakarta, 4 Februari 1998
2. Haryanto Taslam,
3. Pius Lustrilanang, diculik di panpan RSCM, 2 Februari
1998 [3][4]
4. Faisol Reza, diculik di RSCM setelah konferensi pers
KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998
5. Rahardjo Walujo Djati, diculik di RSCM setelah konferensi
pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998
6. Nezar Patria, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret
1998
7. Aan Rusdianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret
1998
8. Mugianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998
9. Andi Arief, diculik di Lampung, 28 Maret 1998

Ke-13 aktivis yang masih hilang dan belum kembali berasal dari
berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega,
Mega Bintang, dan mahasiswa. Berikut nama-namanya :
1. Petrus Bima Anugrah (mahasiswa Universitas Airlangga
dan STF Driyakara, aktivis SMID. Hilang di Jakarta pada
30 Maret 1998)
2. Herman Hendrawan (mahasiswa Universitas Airlangga,
hilang setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12
Maret 1998) [15]
3. Suyat (aktivis SMID. Dia hilang di Solo pada 12 Februari
1998)
4. Wiji Thukul (penyair, aktivis JAKER. Dia hilang diJakarta
pada 10 Januari 1998) [16]
5. Yani Afri (sopir, pendukung PDI Megawati, ikut koalisi
Mega Bintang dalam Pemilu 1997, sempat ditahan di
Makodim Jakarta Utara. Dia hilang di Jakarta pada 26 april
1997)
6. Sonny (sopir, teman Yani Afri, pendukung PDI Megawati.
Hilang diJakarta pada 26 April 1997)
7. Dedi Hamdun (pengusaha, aktif di PPP dan dalam
kampanye 1997 Mega-Bintang. Hilang di Jakarta pada 29
Mei 1997)
8. Noval Al Katiri (pengusaha, teman Deddy Hamdun, aktivis
PPP. Dia hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997)
9. Ismail (sopir Deddy Hamdun. Hilang di Jakarta pada 29
Mei 1997)
10.Ucok Mundandar Siahaan (mahasiswa Perbanas, diculik
saat kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta)
11.Hendra Hambali (siswa SMU, raib saat kerusuhan di
Glodok, Jakarta, 15 Mei 1998)
12.Yadin Muhidin (alumnus Sekolah Pelayaran, sempat
ditahan Polres Jakarta Utara. Dia hilang di Jakarta pada 14
Mei 1998)
13.Abdun Nasser (kontraktor, hilang saat kerusuhan 14 Mei
1998, Jakarta)

Sebenarnya alasan penculikan para aktivis tersebut masih menjadi


teka-teki. Yang diketahui dari peristiwa ini adalah para aktivis tersebut
merupakan aktivis yang pro-demokrasi. Dan para aktivis tersebut
“vokal” terhadap pemerintahan pada masa itu. Dan juga yang saya
ketahui peristiwa ini berawal dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia menggelar operasi Mantap Brata jelang Pemilu 1997 dan
Sidang Umum MPR 1998. Operasi ini “langkah preventif" ABRI untuk
menjaga “stabilitas nasional”.
ABRI memburu kelompok yang mereka sebut “radikal”, yakni
PRD bawah tanah. Informasi intelijen di kalangan ABRI: kelompok itu
berencana menggagalkan Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR. Hal
itulah yang membuat Dannjen Kopassus yang saat itu dijabat oleh
Prabowo Subianto menugaskan secara khusus melalui perintah lisan
kepada Mayor Bambang Kristiono, Komandan Batalyon 42 di bawah
grup 4/ Sandi Yudha Kopassus, untuk menjabat Komandan Satgas
Merpati. Tugas tim adalah mengumpulkan data dan informasi tentang
kegiatan kelompok radikal. Ada tiga tim yang dibentuk oleh Mayor
Bambang: Tim Mawar, Tim Garda Muda, dan Tim Pendukung.
Tanpa diketahui, terjadi peristiwa ledakan di Rusun Tanah Tinggi,
Jakarta Pusat, pada 18 Januari 1998, membuat Tim Mawar
mengintensifkan kerjanya. Mereka menyusun rencana penangkapan
sejumlah aktivis yang dicurigai terlibat bom yang tak sengaja meledak
tersebut.
Beberapa Mayor Bambang mendapatkan data intelijen yang berisi
sembilan nama diprioritaskan untuk ditangkap oleh Tim Mawar. Mereka
adalah 9 orang yang dilepaskan. Mereka ditangkap satu per satu. Sama
halnya dengan 14 orang lainnya. Mereka mulai ditangkap setelah 9 orang
yang dilepaskan tertangkap. Sebagian dari mereka disekap di sel bawah
tanah Cijantung.
Di dalam sel, mereka diinterogasi dengan disiksa. Mereka
ditelanjangi, dipukul, ditendang, disuruh tidur telentang di atas velbed,
tangan diborgol, kaki diikat dengan kabel listrik.
Paling tidak ada 14 orang yang pernah disekap di Markas
Kopassus Cijantung, tetapi hanya sembilan orang yang kembali dengan
selamat. Mereka dikembalikan oleh penculiknya. Tempat pengembalian
mereka bermacam-macam, ada yang ke bandara, Polda Metro Jaya,
Mabes Polri, stasiun kereta, dan juga ada yang langsung dikembalikan ke
kampung halamannya. Mereka yang dikembalikan sebagian diberi bekal
oleh penculiknya, yaitu sejumlah uang dan tiket pesawat (bila ke
bandara). Mereka diberikannya pakaian dari atas sampai bawah. Di
perjalanan mereka diancam tidak boleh ada yang tahu kalau mereka telah
disekap. Sebelum dilepaskan, mereka dicek dulu tensinya.
Mereka yang pulang dalam keadaan hidup, 22 tahun kemudian,
masih bertanya-tanya tentang nasib kawan-kawan mereka yang hilang.
Di mana Herman Hendrawan? Di mana Suyat, Petrus Bima Anugerah?
Di mana Wiji Thukul? Waluyo Jati menolak menyebut kawan-kawannya
yang hilang itu dengan sebutan “almarhum." Faktanya, tidak ada yang
tahu nasib mereka. Apakah masih hidup atau sudah mati? Jika masih
hidup, di mana mereka sekarang? Jika sudah mati, di mana kuburan
mereka?
Bertahun-tahun berlalu, akhirnya kasus ini diselidiki. Kasus ini
diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasar UU No
26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan hasilnya telah diserahkan ke
Jaksa Agung pada 2006. Tim penyelidik Komnas HAM untuk kasus
penghilangan orang secara paksa ini bekerja sejak 1 Oktober 2005
hingga 30 Oktober 2006.
Adapun jumlah korban atas penghilangan orang tersebut adalah 1
orang terbunuh, 11 orang disiksa, 12 orang dianiaya, 23 orang
dihilangkan secara paksa, dan 19 orang dirampas kemerdekaan fisiknya
secara sewenang-wenang.
Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan pelanggaran
HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama 1997-
1998. Pada 22 Desember 2006 Komnas HAM meminta DPR agar
mendesak Presiden mengerahkan dan memobilisasi semua aparat
penegak hukum untuk menuntaskan persoalan. Ketua DPR Agung
Laksono pada 7 Februari 2007 juga meminta Presiden Yudhoyono
memerintahkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh melakukan
penyelidikan dan penyidikan berdasarkan temuan Komnas HAM untuk
menuntaskan kasus penculikan 13 aktivis.
Proses hukum penyelesaian kasus Penghilangan Orang Secara
Paksa terhambat di Kejaksaan Agung RI. Sampai saat ini Kejaksaan
Agung belum menindaklanjuti berkas penyelidikan KOMNAS HAM
dengan melakukan penyidikan. Penolakan Kejaksaan Agung dengan
alasan harus menunggu terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc terlebih
dahulu.
Pada 1 Oktober 2005 dibentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelang-
garan HAM berat pada Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa
Periode 1997-1998 yang bertugas melakukan penyelidikan proyustisia
berdasarkan Undang- Undang No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Hasilnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)
menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa
Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998.
Pada Agustus 2015, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan
bahwa lembaganya sedang membahas penyelesaian kasus pelanggaran
hak asasi manusia berot pada 13 aktivis 1998 yang melibatkan Komando
Pasukan Khusus (Kopassus) lewat jalur rekonsiliasi atau non yudisial.
Namun hingga saat ini masih belum ada jawaban yang resmi dari
pihak manapun.

Anda mungkin juga menyukai