Anda di halaman 1dari 675

C B T O P T I M A B AT C H F E B R U A R I 2 0 2 0

I L M U K E S E H ATA N A N A K
| DR. SEPRIANI | DR. YOLINA | DR. CEMARA |
| DR. AARON | DR. CLARISSA | DR. OKTRIAN | DR. REZA |
Jakarta
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Tlp 021-22475872
WA. 081380385694/081314412212

Medan
Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung
Sari, Kec. Medan Selayang 20132 WA/Line 082122727364

w w w. o p t i m a p r e p . c o . i d
TO 1
SOAL NO 1
• Seorang anak laki laki berusia 10 tahun dibawa
oleh orangtuanya ke RS karena demam sejak 4
hari sebelum masuk RS. Hari ini pasien mimisan
di rumah. Anak juga mengeluhkan nyeri kepala
dan pegal pegal badan sebelumnya. Pada
pemeriksaan fisik pasien tampak keadaan umum
lemah, TD 70/palpasi, nadi tidak teraba, akral
teraba dingin, CRT 4 detik. Pemeriksaan
laboratorium Hb 18, hematokrit 58%, leukosit
3800, trombosit 38.000. Apa diagnose yang
sesuai pada kasus diatas?
A.Demam dengue
B.DHF derajat I
C.DHF derajat II
D.DHF derajat III
E.DHF derajat IV

• Jawaban: E. DHF derajat IV


• Adanya demam akut disertai keluhan nyeri
kepala, pegal, dan mimisan (manifestasi
perdarahan), disertai trombositopenia < 100,000,
dan hemokonsentrasi > 20% nilai basal dapat
menunjukkan adanya kondisi demam berdarah
dengue atau DHF pada anak. Kondisi adanya syok
yang jelas (kegagalan sirkulasi) yang ditandai
dengan adanya hipotensi, nadi tidak teraba, serta
akral dingin dan pemanjangan CRT mengarahkan
pada diagnosis klinis DBD derajat IV yang
termasuk ke dalam DSS.
1. DENGUE FEVER (DF) & DENGUE
HEMORRHAGIC FEVER (DHF)
• Disebabkan oleh virus flavivirus dengan 4 serotipe DE-1,
DEN-2, DEN-3, DEN-4 melalui nyamuk aedes aegypti atau
aedes albopictus
• DEN-2 merupakan serotipe yang paling tinggi risiko
infeksi DHF
• Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau lebih gejala berikut:
– Nyeri kepala
– Nyeri retroorbita
– Myalgia/arthralgia
– Ruam
– Manifestasi perdarahan
– Leukopenia
Shock
Bleeding
Pemeriksaan Penunjang
Serologi Dengue
• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak
hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.

• Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder


digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue.
– Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan, IgG
muncul mulai hari ke-12.
– Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau bersamaan
dengan IgM
– IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga
diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika titer
awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi sekunder.

WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.


Primary infection: Secondary infection:
• IgM: detectable by days 3–5 after the onset of • IgG: detectable at high levels in the initial
illness,  by about 2 weeks & undetectable phase, persist from several months to a
after 2–3 months. lifelong period.
• IgG: detectable at low level by the end of the • IgM: significantly lower in secondary infection
first week & remain for a longer period (for cases.
many years).
SOAL NO 2
• Pasien anak laki laki berusia 2 tahun datang
dibawa ke IGD RS karena batuk menggonggong
dialami sejak 1 hari yang lalu. Keluhan juga
disertai demam sejak 2 hari terakhir. Dikatakan
anak nafsu makan berkurang dan mulai tampak
malas bermain. Pada pemeriksaan fisik anak
tampak compos mentis, terdengar adanya stridor
bahkan saat kondisi anak tenang. Pasien tampak
sesak, retraksi dinding dada (+), RR 45x/menit,
Suhu 380C, tidak ditemukan adanya rhonki
maupun wheezing. Apa diagnosis yang sesuai
pada kondisi pasien diatas?
A.Bronkhitis
B.Bronkiolitis
C.Laringomalasia
D.Croup
E. Pneumonia

• Jawaban: D. Croup
• Pasien dengan kondisi demam disertai batuk
menggonggong, didukung dengan adanya stridor
(obstruksi saluran napas atas), serta retraksi
dinding dada dan klinis sesak sesuai dengan
perjalanan penyakit laringotrakeobronkitis atau
sering disebut croup. Pada pasien, karena
terdengar stridor bahkan pada kondisi anak
tenang (stridor saat istirahat), dan adanya
takipnea serta retraksi, dapat digolongkan pada
croup berat. Pemeriksaan penunjang croup
adalah foto polos leher AP untuk melihat adanya
Steeple sign.
2. Croup

• Croup (laringotrakeobronkitis
viral) adalah infeksi virus di
saluran nafas atas yang
menyebabkan penyumbatan
• Merupakan penyebab stridor
tersering pada anak
• Gejala: batuk menggonggong
(barking cough), stridor,
demam, suara serak, nafas
cepat disertai tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam Steeple sign
Pemeriksaan
• Croup is primarily a clinical diagnosis
• Laboratory test results rarely contribute to confirming this
diagnosis. The complete blood cell (CBC) count may suggest a viral
cause with lymphocytosis
• Radiography : verify a presumptive diagnosis or exclude other
disorders causing stridor.
– The anteroposterior (AP) radiograph of the soft tissues of the neck
classically reveals a steeple sign (also known as a pencil-point sign
or wine bottle sign), which signifies subglottic narrowing
– Lateral neck view may reveal a distended hypopharynx (ballooning)
during inspiration
• Laryngoscopy is indicated only in unusual circumstances (eg, the
course of illness is not typical, the child has symptoms that
suggest an underlying anatomic or congenital disorder)
Klasifikasi dan Penatalaksanaan
Ringan Berat
• Gejala: • Gejala:
– Demam – Stridor saat istirahat
– Takipnea
– Suara serak
– Retraksi dinding dada bagian
– Batuk menggonggong bawah
– Stridor bila anak gelisah • Terapi:
• Terapi: – Steroid (dexamethasone) dosis
tunggal (0,6 mg/kg IM/PO)
– Rawat jalan dapat diulang dalam 6-24 jam
– Pemberian cairan oral, – Epinefrin 1:1000 2 mL dalam 2-
ASI/makanan yang sesuai 3 mL NS, nebulisasi selama 20
– Simtomatik menit

WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. WHO; 2008.
SOAL NO 3
• Seorang bayi perempuan berusia 8 bulan
datang dibawa orangtuanya ke IGD RS dengan
keluhan kejang-kejang. Sebelum kejang
pasien terlihat sesak dan tampak biru setelah
menangis. Anak sebelumnya telah didiagnosis
sebagai Tetralogy of Fallot. Pasien disarankan
operasi namun tidak punya biaya. Selama di
IGD anak telah diberikan oksigen, cairan, dan
diposisikan. Posisi apa yang tepat dilakukan
pada pasien dengan kasus di atas?
A.Tilt position
B.Frog position
C.Knee chest position
D.Tredelenburg position
E. Horizontal position

• Jawaban: C. Knee chest position


• Pasien anak diatas dengan kejang setelah tampak sesak dan biru setelah menangis dapat
mengarahkan pada kondisi Tet spell atau hypercyanotic spell yang dapat dialami pada anak dengan
penyakit jantung kongenital berupa Tetralogy of Fallot. Tet spell/hypercyanotic spell dapat terjadi
ketika menangis, batuk, BAB, demam, dan lainnya. Tampilan anak dengan kondisi ini akan sesak,
sianosis, kesadaran menurun, serta dapat disertai dengan kejang. Hal ini terjadi akibat
meningkatnya shunt dari kanan ke kiri secara tiba-tiba, menyebabkan penurunan aliran darah ke
paru-paru sehingga timbul hipoksemia (pO2 menurun, pCO2 meningkat dan asidosis). Posisi tubuh
knee chest position diharapkan dapat meningkatkan aliran darah ke paru-paru karena afterload
aorta dan resistensi vascular yang meningkat akibat tertekuknya arteri femoralis. Pada opsi posisi
pasien lainnya:
• Tilt position, yakni ketika posisi pasien supinasi dan dimiringkan sekitar 30 derajat ke kiri atau
kanan, biasanya untuk cegah pembentukan ulkus dekubitus
• Frog position, atau forg leg position, yakni posisi supinasi dengan telapak kaki atau kaki
bersentuhan sementara lutut terpisah, memperlihatkan bagian perineum, biasanya pada bayi dapat
ditemukan (tidak untuk atasi Tet spell)
• Tredelenburg position, yakni ketika posisi tubuh supinasi serta posisi kepala lebih rendah dari
tungkai (ekstremitas bawah) sekitar 15-30 derajat, biasanya sering digunakan pada kondisi syok
• Horizontal position, bisa diartikan sebagai posisi supinasi atau ketika pasien berbaring diatas tempat
tidur
3. Penyakit Jantung Bawaan Tekanan di dalam Jantung

Sianotik dan ToF

PJB

Asianotik Cyanotic

↓ aliran darah ↑ aliran darah


↑ volume: pulmonal: pulmonal:
↑ pressure:
- ASD - ToF - Transposition
- Valve stenosis
- VSD - Atresia of the great
- Coarctation of pulmonal vessels
- PDA aorta
- Atresia - Truncus
- Valve
tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Klasifikasi PJB
• Asianotik • Cyanosis
– Normal pulmonary blood • Normal pulmonary
flow blood flow
• Pulmonary Stenosis (PS) • TGA without PS
• Increased pulmonary
• Aortic Stenosis (AS) blood flow
• Coarctatio Aorta (CoA) • TGA with VSD
– Increased pulmonary blood • Truncus arteriosus
flow • Total anomaly
• Patent Ductus Arteriosus pulmonary vein
(PDA) drainage
• Decreased pulmonary
• Atrial Septal Defect (ASD) blood flow
• Ventricular Septal Defect • ToF
(VSD) • Pulmonary atresia
• Ticuspid atresia
Penyakit jantung kongenital
• Asianotik: L-R shunt
– ASD: fixed splitting S2,
murmur ejeksi sistolik
– VSD: murmur pansistolik
– PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt
– TOF: PS, VSD, overriding
aorta, RVH. Boot like heart
pada radiografi
– TGA
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
PJB:
murmur
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both:
an obstruction to pulmonary blood flow & a shunt from R to L

Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis

The degree of cyanosis depends on:


the degree of obstruction to pulmonary blood flow

If the obstruction is mild:


Cyanosis may be absent at rest
These patient may have hypercyanotic spells during condition of stress

If the obstruction is severe:


Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus.
When the ductus closes  hypoxemia & shock
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↑ pulmonary blood flow is not associated
with obstruction to pulmonary blood flow

Cyanosis is caused by:


Total mixing of systemic venous &
Abnormal ventricular-arterial pulmonary venous within the heart:
connections: - Common atrium or ventricle
- Total anomolous pulmonary venous
- TGA return
- Truncus arteriosus

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Penyakit Jantung Kongenital: ToF
Sianotik: R-L shunt
TOF (Tetralogy of Fallot):
• Stenosis Katup Pulmonal, VSD, overriding aorta, RVH.
• Boot like heart pada foto radiografi.
• Gejala klinis Sesak + Sianotik, gangguan pertumbuhan,
dengan TET Spell (Berjongkok bila sesak untuk
meningkatkan aliran darah ke paru)
• Murmur bersifat Systolic ejection murmur di area
kanan atas border sternal karena Stenosis katup
pulmonal

Nelson’s textbook of pediatrics. 19th ed


Tetralogy of Fallot

https://wikem.org
Tipe ToF
• ToF dengan komponen pulmonary stenosis
• ToF dengan absent pulmonary valve
• ToF dengan absent pulmonary valve
• ToF dengan AVSD
• ToD sebagai bagian dari DORV
• ToF dengan pulmonary atresia dengan atau tanpa
pseudotruncus
Tet Spell/ Hypercyanotic Spell
• Serangan biru yang terjadi secara mendadak
• Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah,
kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang.
• Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi secara
spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir dengan
koma, bahkan kematian
• Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4
bulan
• ToF yang tipikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel
kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan tingkat sianosis
dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular
resistance dan derajat keparahan komponen stenosis
pulmonal.

PPM IDAI Jilid I


Pelepasan menangis, BAB, demam, VICIOUS
CYCLE
katekolamine aktivitas yg meningkat

takikardia aliran balik vena sistemik meningkat shg resistensi


vaskular pulmonal meningkat (afterload pulmonal
meningkat) + resistensi vaskular sistemik rendah

increased
myocardial
contractility + KEMATIAN
infundibular
stenosis.
Right-to-left shunt meningkat

aliran darah ke
sianosis progresif
paru berkurang
secara tiba-tiba penurunan PO2 dan
peningkatan PCO2 arteri 
penurunan pH darah

TET SPELL
Stimulasi pusat pernapasan di
HYPERCYANOTIC SPELL reseptor karotis + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
• Knee chest position/ squatting
– Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan afterload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
• Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.

PPM IDAI Jilid I


ToF
Penyakit Jantung Kongenital
TGA (Transposition of Great Arteries)
• Kelainan dimana Ventrikel Kanan berhubungan dengan aorta dan
ventrikel kiri dengan arteri pulmonal
• Gejala sesak + Biru akan langsung muncul hari awal kelahiran
• Murmur sama seperti PDA (Continous murmur) karena biasa
terdapat PDA pada TGA
• Perlu penanganan operasi langsung

Trunkus Arteriosus
• VSD + Aorta dan Arteri Pulmonal Menyatu.
• Gejala sesak + biru, bunyi Murmur bervariasi/tidak khas, biasa
terdengar mid diastolic mitral flow murmur karena aliran darah
dari pulmonal yang meningkat
• X-Ray akan terlihat kardiomegali dan peningkatan corak vascular
pulmoner

Nelson’s textbook of pediatrics. 19th ed


SOAL NO 4
• Pasien anak perempuan berusia 4 bulan datang
dibawa ke dokter Puskesmas karena anak sulit
dan tidak mau menetek sejak 2 minggu terakhir.
Anak juga alami penurunan berat badan.
Demam, batuk lama, ataupun kontak TB dirumah
disangkal. Ibu pasien juga bilang anaknya
terkadang tampak sesak. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya bunyi murmur pansistolik
pada sela iga ke 3 dan 4 linea parasternal kiri.
Tidak ditemukan adanya sianosis. Apa diagnosis
yang paling mungkin dari kondisi diatas?
A.TOF
B.ASD
C.VSD
D.Stenosis pulmonal
E. Stenosis aorta

• Jawaban: C. VSD
• Adanya gejala gagal tumbuh, sesak, sulit menetek, ada murmur
tetapi tidak biru menguatkan dugaan ke penyakit jantung bawaan
asianotik. Murmur pansistolik pada sela iga 3-4 linea parasternal kiri
menandakan kelainan jantung kongenitalnya adalah VSD. Tampilan
murmur pada opsi lainnya:
• Tetralogy of Fallot  murmur ejeksi sistolik (crescendo-
decrescendo), dimana murmur karena stenosis pulmonal
• Atrial Septal Defect  murmur ejeksi sistolik, ada fixed splitting S2,
di left upper sternal border pada sela iga 2-3
• Stenosis pulmonal  murmur ejeksi sistolik, di left sternal border
pada sela iga 2-3
• Stenosis aorta  murmur ejeksi sistolik, pada right sternal border
sela iga 2
4. Penyakit Jantung Bawaan Asianotik dan
VSD
With ↑ volume load Clinical Findings
The most common: left to right e.g. ASD, VSD, PDA
shunting

Blood back into the lungs ↓ compliance & ↑ work of breathing

Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output -> ↑Oxygen consumption -> sweating,
↑sympathetic nervous system irritability, FTT
Remodelling: dilatation & hypertrophy

If left untreated, ↑ volume load will Eventually leads to Eisenmenger


increase pulmonary vascular resistance Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Cont. Penyakit jantung bawaan asianotik
General Pathophysiology

With ↑ pressure load Clinical Findings

Obstruction to normal blood Murmur PS & PS: systolic


flow: pulmonic stenosis, aortic
stenosis, coarctation of aorta. murmur;

Hypertrophy & dilatation of


Dilatation happened in the later
ventricular wall
stage

Severe pulmonic stenosis in newborn


Defect location determine  right-sided HF (hepatomegaly,
the symptoms peripheral edema)

Severe aortic stenosis  left-sided


(pumonary edema, poor perfusion)
& right-sided HF
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
Ventricular Septal Defect
VSD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Pansystolic murmur & thrill
Flow across VSD
over left lower sternum.

If defect is large  3rd heart sound


Over flow across mitral valve
& mid diastolic rumble at the apex.

ECG: Left ventricular hypertrophy or


biventricular hypertrophy,
LA, LV, RV volume overload peaked/notched P wave
Ro: gross cardiomegaly

Dyspnea, feeding difficulties, poor


High systolic pressure & high growth, profuse perspiration,
pneumonia, heart failure.
flow to the lungs 
pulmonary hypertension Duskiness during crying or infection
Ph/: increased of 2nd heart sound

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


VSD

• Pada VSD akan


terlihat kardiomegali
terutama
pembesaran kedua
ventrikel, atrium kiri
dan artery pulmoner
• Juga peningkatan
corak bronkovaskular

Nelson’s textbook of pediatrics. 19th ed


VSD
Atrial Septal Defect
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings
The degree of L-to-R shunting is dependent on:
- the size of the defect,
- the relative compliance of the R and L ventricles, &
- the relative vascular resistance in the pulmonary & systemic circulations

Infant has thick & less compliant RV  minimal symptoms


As children grow older: subtle failure to thrive, fatigue, dyspneu on effort,
recurrent respiratory tract infection

Enlargement of the RA & RV


Overflow in the right side of Dilatation of the pulmonary artery
heart The LA may be enlarged

Pulmonary vascular resistance may begin to increase in adulthood 


reversal of the shunt & cyanosis
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
Tatalaksana ASD Klinis, EKG, Ro,
Ekokardiografi

Aliran Pirau kecil Aliran Pirau Besar

Observasi Klinis Bayi Anak / Dewasa

Evaluasi pada GJK (+) GJK (-) HP (-) HP (+)


usia 5-8 thn

Tanda Tanda
Sadap Medikamentosa PVD (-) PVD (+)
jantung

Sadap
FR < 1.5 FR > 1.5 Gagal Berhasil jantung

Segera Elektif Reaktif Non reaktif

Konser Operasi Tutup Konser


vatif ASD vatif
ASD:
Pathophysiology & Clinical Findings

•  size of the main


pulmonary artery
•  size of the right atrium
•  size of the right ventricle
(seen best on the lateral
view as soft tissue filling in
the lower & middle
retrosternal space).
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
2. Essentials of Radiology. 2nd ed.
ASD
Patent Ductus Arteriosus
Duktus Arteriosus Persisten
• Kelainan berupa duktus (pembuluh yang menghubungkan
arteri pulmonalis kiri dan aorta desenden) yang tetap
terbuka setelah bayi lahir
• Pada bayi cukup bulan  duktus menutup secara
fungsional dalam 12 jam setelah lahir dan lengkap dalam 2-
3 minggu
• Dijumpai 5-10% dari seluruh PJB, perempuan : laki-laki (3:1)
• Etiologi :
– Kegagalan penutupan pada bayi cukup bulan akibat kelainan
struktur otot polos duktus
– Pada prematur  menurunnya responsivitas duktus terhadap
O2 dan peran relaksasi aktif dari PGE2 dan prostasiklin (PGI1)
Pemeriksaan Penunjang
Tatalaksana

Parasetamol IV 15 mg/kgBB/kali, 4x/hari selama 3 hari  menutup DAP pada bayi yg


belum mendapat asupan peroral
PDA

The heart is slightly enlarged, the main


pulmonary artery convex, and the aortic arch
prominent above the MPA. There are
increased pulmonary vascular markings
SOAL NO 5
• Seorang anak berusia 5 tahun datang ke dokter
karena habis disengat lebah di halaman
rumahnya sekitar 15 menit SMRS. Anak tampak
muncul bentol dan bengkak seluruh tubuh serta
kemerahan pada kulit. Kemudian selama
pemantauan 15 menit di IGD RS anak mulai
kesadaran menurun, tampak somnolen. Pada
pemeriksaan tanda vital TD 70/40 mmHg, HR 130
x/menit, RR 21x/menit, Akral dingin, CRT 4 detik.
Apa penanganan yang paling tepat diberikan
pada anak dengan kondisi diatas?
A.Epinefrin 1:100 IM 0.2
B.Epinefrin 1:1.000 IM 0.2 mg
C.Epinefrin 1:1.000 IM 0.5 mg
D.Epinefrin 1:1.000 IM 1 mg
E. Epinefrin 1:10.000 IM 0.5 mg

• Jawaban: B. Epinefrin 1:1.000 IM 0.2 mg


• Pada anak dengan kondisi hipotensi, takikardi, dan
akral dingin serta CRT memanjang setelah kejadian
sengatan lebah, disertai adanya eritema dan urtikaria,
maka bisa mengarahkan pada kondisi syok anafilaktik.
Pada anak usia 5 tahun, maka perhitungan berat badan
ideal sekitar 18 kg (rumus 2N+8). Pada pemberian
adrenaline atau epinefrin IM, maka digunakan
konsentrasi 1:1000 dengan dosis 0.01 mg/kgBB. Maka
pada pasien ini dapat diberikan sekitar 0.18 mg atau
dibulatkan menjadi 0.2 mg (maksimal dosis 0.5 mg).
Pemberian konsentrasi epinefrin 1:10.000 hanya pada
pemberian intravena kontinu.
5. Syok Anafilaktik pada Anak
• ‘‘Anaphylaxis is a serious allergic reaction that is rapid in onset and may
cause death.’’
• Anafilaksis melibatkan reaksi hipersensitivitas cepat dimediasi IgE
menyebabkan pelepasan mediator kimia poten dari sel mast dan
basophil  Hipersensitivitas tipe 1
• Kebanyakan efek melibatkan kulit, saluran napas, kardiovaskular, dan
gastrointestinal
• Resiko anafilaksis lebih tinggi pada anak dengan atopi (asma, eczema,
rhinitis alergi)
• Derajat beratnya reaksi anafilaktik sebelumnya tidak berarti prediksi
derajat reaksi setelahnya, namun individu dengan reaksi anafilaktik
sebelumnya memiliki resiko rekurensi lebih tinggi

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
• Diagnosis didasarkan atas temuan klinis
• Hati-hati karena 69% anak yg menderita anafilaksis tidak
memiliki riwayat alergi terhadap agen kausatifnya.
• Gejala bisa timbul dalam hitungan detik hingga beberapa jam
(pada anak rata-rata muncul 5-30 menit postexsposure)
• 80% – 90% mengalami gejala kutaneus, termasuk flushing,
pruritus, urtikaria, diaphoresis, sensasi panas, dan
angioedema.
• Gejala pernapasan muncul hingga 94% kasus
• Gejala tersering: rasa tercekik, pruritus, serak, stridor, dada
terasa berat, wheezing, dan hipoksemia.

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Syok Anafilaksis
Diutamakan penggunaan
antihistamine terlebih
dahulu setelah resusitasi
cairan
Pharmacological management of anaphylaxis
DRUG AND ROUTE OF FREQUENCY OF PA E D I AT R I C D O S I N G
A D M I N I S T R AT I O N A D M I N I S T R AT I O N (MAXIMUM DOSE)
Immediately, then every 5–15 min as
Epinephrine (1:1000) IM 0.01 mg/kg (0.5 mg)
required
6 months to <2 years: 2.5 mg OD
Cetirizine PO Single daily dose 2–5 years: 2.5–5 mg OD
>5 years: 5–10 mg OD
Every 4–6 h as required for cutaneous
Diphenhydramine IM/IV 1 mg/kg/dose (50 mg)
manifestations
Every 8 h as required for cutaneous
Ranitidine PO/IV 1 mg/kg/dose (50 mg)
manifestations
Corticosteroids: prednisone PO
Every 6 h as required 1 mg/kg PO (75 mg) or 1 mg/kg IV (125 mg)
or methylprednisolone IV
Every 20 min or continuous for
5–10 puffs using MDI or 2.5–5 mg by
Salbutamol respiratory symptoms (wheezing or
nebulization
shortness of breath)
Every 20 min to 1 h for symptoms of
Nebulized epinephrine (1:1000) 2.5–5 mL by nebulization
upper airway obstruction (stridor)
Continuous infusion for hypotension –
Epinephrine IV (infusion) 0.1–1 μg/kg/min (maximum 10 μg/min)
titrate to effect
Bolus followed by continuous infusion – 20–30 μg/kg bolus (maximum 1 mg), then
Glucagon IV
titrate to effect infusion at 5–15 μg/min
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
Children doses for anaphylactic drug

• Continuous infusion of epinephrine (1:10,000) starting at 0.1 mcg/kg per


minute up to 1 mcg/kg per minute.
• Because of the risk of potentially lethal dysrhythmias, IV/IO epinephrine
(1:10,000) should be reserved for the patient with uncompensated shock.
• Other vasopressors to consider: dopamine, vasopressin, and norepinephrine.
• Glucagon should be given to the hypotensive patient who is taking b-blockers
(The intravenous dose for children weighing 20 kg or less is 0.02 to 0.03 mg/kg
up to 0.5 mg/dose; for children weighing greater than 20 kg give 1 mg/dose)
• Diphenhydramine is the intravenous H1 antihistamine of choice.
• Ranitidine (0.5 – 1 mg/kg up to 50 mg per dose) is an H2 antihistamine that
can be given intravenously with established pediatric use.
• Methylprednisolone succinate is the preferred intravenous corticosteroid and
can be given as 1 to 2 mg/kg, up to a maximum of 125 mg.
SOAL NO 6
• Seorang ibu berusia 27 tahun melahirkan bayi
laki laki pada usia gestasi 28 minggu secara
spontan di RS. Setelah lahir, bayi tidak langsung
menangis. Bayi tampak merintih, bernafas cepat
dan pada pemeriksaan terlihat retraksi dalam di
suprasternal dan interkostal. Tidak ada riwayat
infeksi pada ibu dan bayi. Ketuban jernih. Pada
bayi dilakukan resusitasi dan perawatan lanjut di
NICU. Apa penyebab paling mungkin dari sesak
yang dialami bayi setelah lahir?
A.Pneumonia neonatal
B.Hyalin Membran Disease
C.Pneumothoraks
D.Kelainan jantung kongenital
E. Meconium Aspiration Syndome
• Jawaban: B. Hyaline Membran Disease
• Pada bayi yang lahir kurang bulan dengan asfiksia maka dapat dicurigai sindrom distress napas
disebabkan oleh kondisi Hyalin Membrane Disease. Penyakit ini disebabkan karena alveolus tidak
mengembang akibat kurangnya surfaktan dihasilkan oleh paru pada bayi premature. Padahal
surfaktan berguna untuk menurunkan tegangan permukaan alveolus sehingga memungkinkan
alveolus untuk terbuka sehingga memungkinkan terjadinya pertukaran udara. Pada opsi lainnya:
• Meconium Aspiration Syndrome terjadi ketika ada meconium yang terhirup masuk kedalam saluran
napas bayi, serta disingkirkan karena tidak ditemukan adanya meconium staining pada kasus
• Pneumonia neonatal, merupakan infeksi paru pada bayi, bisa terjadi early-onset dalam 48 jam
hingga 6 hari setelah lahir, ataupun late onset, terjadi ketika ada aspirasi cairan amnion terinfeksi
intrauterine hingga cairan dan mikroorganisme vagina saat lahir serta, transmisi transpasental
• Pneumotoraks, dimana merupakan kondisi mengancam, lebih sering pada neonates yang
memperoleh ventilasi tekanan positif (>40% kasus)
• Kelainan jantung kongenital, atau penyakit jantung bawaan (banyak tipe mulai dari ASD, VSD, ToF,
dan lainnya), bisa saja sebabkan sesak napas pada anak, namun akan didukung juga dengan temuan
lain misalnya suara murmur pada auskultasi jantung, yang tidak dijelaskan pada kasus diatas
6. Asfiksia neonatal dan HMD
• Deprivation of oxygen to a newborn infant that
lasts long enough during the birth process to
cause physical harm, usually to the brain
• Etiology:
– Intrauterine hypoxia
– Infant respiratory distress syndrome
– Transient tachypnea of the newborn
– Meconium aspiration syndrome
– Pleural disease (Pneumothorax,
Pneumomediastinum)
– Bronchopulmonary dysplasia
Asfiksia Neonatal

Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
HMD
• gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan
defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia
gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan
subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi
dalam beberapa jam pertama kehidupan.
– Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan,
adanya PMH dapat disingkirkan.
• Lung immaturity  salah satu penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
• Penyakit membran hialin RESPIRATORY DISTRESS
(PMH) merupakan gangguan SYNDROME (Hyaline
pernapasan yang disebabkan membrane disease)
imaturitas paru dan defisiensi
surfaktan, terutama terjadi
pada neonatus usia gestasi <34
minggu atau berat lahir <1500
gram
• Etiology:
– Defisiensi surfaktan (produksi
dan sekresi menurun)
• Surfactant
– Berperan untuk pengembangan
alveolus
– Komposis utama surfaktan :
• dipalmitoyl phosphatidylcholine
(lecithin)
• Phosphatidylglycerol
• apoproteins (surfactant proteins
SP-A, -B, -C, -D)
• Cholesterol

Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/010/102


Pediatrics 91-0550x0475.jpg
KLASIFIKASI HMD

Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram

Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Tatalaksana HMD
• Endotracheal (ET) tube
• Continuous positive airway pressure (CPAP)
• Surfactant replacement
• Broad spectrum antibiotic (Ampicillin) stop if there is no proof of
infection
• Corticosteroid
– Early Postnatal Corticosteroids (<96 hours)  not suggested because risk>
benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI bleeding)
– Moderately Early Postnatal Corticosteroids (7-14 days)  not suggested
because risk> benefit
– Delayed Postnatal Corticosteroids (> 3 weeks)  can be used for ventilator
dependant infants in whom it is felt that steroids are essential to facilitate
extubation.
SOAL NO 7
• Seorang bayi perempuan lahir di Puskesmas
secara spontan dari ibu G5P3A1 usia gestasi
38 minggu dengan presentasi belakang
kepala. Setelah bayi lahir, bayi tampak tidak
bernapas, tonus otot lunglai, dan, tidak ada
detak jantung. Setelah dilakukan ventilasi
tekanan positif, kompresi dada, pemberian
cairan, dan obat-obatan selama 20 menit
tetap tidak ada respon. Apakah tindakan
selanjutnya yang paling tepat?
A.Menghentikan resusitasi
B.Mengulangi resusitasi dari awal
C.Memperbaiki langkah resusitasi
D.Melanjutkan resusitasi hingga 15 menit
E. Merujuk setelah meresusitasi

• Jawaban: A. Menghentikan resusitasi


• Pada bayi baru lahir yang telah dilakukan
langkah resusitasi lengkap hingga pemberian
obat-obatan dan intubasi TANPA adanya
respon berupa denyut jantung/tidak bernapas
selama minimal 10 menit, maka dokter dapat
menghentikan resusitasi jika detak jantung
tetap tidak terdeteksi (kelas IIb).
7. Resusitasi
Neonatus
Pemberian Oksigen
• Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai
resusitasi dengan udara atau oksigen campuran
(blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi
oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target.
• Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi
dimulai dengan udara kamar.
• Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah
90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
Teknik Ventilasi dan Kompresi
• Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
– Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit
setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
• Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
– Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi
napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan
mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari
100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat
ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Teknik Ventilasi dan Kompresi
Kompresi dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masing-
masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara
periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3
dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi
berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh
meninggalkan posisi di dada.
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Indicator of Successful Resuscitation

• A prompt increase in heart rate remains the most sensitive


indicator of resuscitation efficacy (LOE 55).
• Of the clinical assessments, auscultation of the heart is the most
accurate, with palpation of the umbilical cord less so.
• There is clear evidence that an increase in oxygenation and
improvement in color may take many minutes to achieve, even in
uncompromised babies.
• Furthermore, there is increasing evidence that exposure of the
newly born to hyperoxia is detrimental to many organs at a cellular
and functional level.
• For this reason color has been removed as an indicator of
oxygenation or resuscitation efficacy.
• Respirations, heart rate, and oxygenation should be reassessed
periodically, and coordinated chest compressions and ventilations
should continue until the spontaneous heart rate is 􏰖60 per minute
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Kapan menghentikan resusitasi?

• Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut


jantung, dianggap layak untuk menghentikan
resusitasi jika detak jantung tetap tidak
terdeteksi setelah dilakukan resusitasi selama 10
menit (kelas IIb, LOE C).
• Keputusan untuk tetap meneruskan usaha
resusitasi bisa dipertimbangkan setelah
memperhatikan beberapa faktor seperti etiologi
dari henti hantung pasien, usia gestasi, adanya
komplikasi, dan pertimbangan dari orangtua
mengenai risiko morbiditas.

Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
SOAL NO 8
• Seorang bayi perempuan baru lahir secara
spontan per vaginam dari ibu G1P0A0,
dengan ketuban hijau kental disertai
meconium staining pada bayi. Saat lahir anak
tampak menyeringai lemah, badan dan
ekstremitas tampak kebiruan, denyut jantung
120 bpm, napas tampak lambat dan ireguler,
serta tonus otot lemah, kaki dan tangan
hanya fleksi sedikit. Berapakah APGAR score
pasien diatas?
A.4
B.5
C.6
D.7
E.9

• Jawaban: B. 5
Skor APGAR dievaluasi menit ke-1 dan menit ke-5
Tanda 0 1 2
A Activity (tonus Tidak ada tangan dan kaki aktif
otot) fleksi sedikit
P Pulse Tidak ada < 100x/menit > 100 x/menit
G Grimace (reflex Tidak ada Menyeringai Reaksi melawan,
irritability) respon lemah, gerakan batuk, bersin
sedikit
A Appearance Sianosis Kebiruan pada Kemerahan di
(warna kulit) seluruh tubuh ekstremitas seluruh tubuh

R Respiration Tidak ada Lambat dan Baik, menangis


(napas) ireguler kuat
SOAL NO 9
• Bayi laki laki berusia 12 jam di rujuk ke Rumah Sakit
oleh bidan karena tampak merintih sejak 4 jam SMRS.
Bayi lahir spontan pervaginam, ditolong bidan, dari
ibu G2P1A0 usia gestasi 40 minggu. Saat lahir ketuban
kehijauan (mekoneum pada ketuban), tubuh bayi
terdapat meconium staining. Dari pemeriksaan fisik
tampak bayi terdapat sianosis pada mulut dan jari
tangan serta kaki, terdapat warna kehijauan pada tali
pusat. Bayi tampak sesak, terdapat pernafasan cuping
hidung dan retraksi interkosta, RR 81x/menit, HR 180
bpm. Apakah diagnosis yang mungkin dari kondisi
pasien diatas?
A.Pneumonia
B.Respiratory distress syndrome
C.Sindroma aspirasi mekonium
D.Asfiksia neonatorum
E. Transient takipnea of the newborn

• Jawaban: C. Sindroma aspirasi mekonium


• Adanya asfiksia neonatal pada bayi diatas
(dengan ditemukannya bayi merintih, terdapat
takipnea, retraksi, sianosis, takikardi), dan dengan
temuan fisik pewarnaan kehijauan pada tali pusat
(meconium staining pada bayi), dapat mengarah
pada diagnosis sindrom aspirasi meconium.
Sindrom aspirasi meconium biasanya terjadi pada
bayi cukup bulan, dan bila dilakukan rontgen akan
tampak gambaran hiperinflasi dengan banyak
white areas pada paru bahkan bisa ditemukan
atelectasis.
9. Asfiksia neonatal dan Sindrom
Aspirasi Mekonium
Sindroma Aspirasi Mekonium

• Distres intrauterin dapat menyebabkan keluarnya


mekonium ke cairan amnion.
• Faktor yang memicu: placental insufficiency, maternal
hypertension, preeclampsia, oligohydramnios, and
maternal drug abuse, especially of tobacco and cocaine.
• Matur/prematur, pertumbuhan janin terhambat (PJT),
mekonium staining pada kulit dan cairan amnion
• Saat dilakukan suction dari mulut dan jalan napas atas
terdapat mekonium, hiperinflasi dada
• Rontgen: hiperinflasi dengan banyak white areas dari paru
yang kolaps
MECONIUM ASPIRATION SYNDROME

Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua lapangan paru. Selain itu pada MAS
juga bisa ditemukan
• Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
• Efusi pleura minimal (20%).
• pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
• atelektasis paru emfisema obstruktif.
ATELEKTASIS
SOAL NO 10
• Bayi laki laki berusia 3 hari datang dibawa ke
Puskesmas oleh ibunya karena ada benjolan di
bagian belakang kepala. Bayi lahir spontan
pervaginam ditolong bidan, berat lahir bayi 3200
gram. Saat persalinan dikatakan berlangsung
lama karena ibu kelelahan saat mengedan. Saat
lahir bayi aktif, menangis kuat, mneyusu dengan
baik serta berhasil IMD. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya benjolan berukuran 2x3 cm
yang teraba lunak serta melewati garis sutura.
Apa diagnosis yang paling mungkin dari kondisi
bayi diatas?
A.Spina bifida
B.Meningocele
C.Subdural hematom
D.Cephal Hematom
E.Caput Suksedaneum

• Jawaban: E. Caput Suksedaneum


• Adanya benjolan teraba lunak pada kepala
neonatus yang melewati garis sutura dan
riwayat persalinan yang lama mengarahkan
pada diagnosis adanya kaput suksedaneum.
Pada subdural hematom tidak terlihat
benjolan (perdarahan intracranial). Sementara
pada sefal hematom benjolan umunya padat
dan tidak melewati garis sutura.
10. Trauma Lahir Ekstrakranial

Kaput Suksedaneum Perdarahan Subgaleal


• Paling sering ditemui • Darah di bawah galea
• Tekanan serviks pada kulit aponeurosis
kepala • Pembengkakan kulit kepala,
• Akumulasi darah/serum ekimoses
subkutan, ekstraperiosteal • Mungkin meluas ke daerah
• TIDAK diperlukan terapi, periorbital dan leher
menghilang dalam • Seringkali berkaitan dengan
beberapa hari. trauma kepala (40%).
SOAL NO 11
• Anak perempuan berusia 18 bulan dibawa
oleh ibunya ke Puskesmas karena keluhan
demam tinggi sejak 1 hari sebelumnya.
Pasien ada batuk dan pilek sejak 1 minggu
terakhir. Saat pemeriksaan suhu anak 40
derajat Celcius. Ketika akan diperiksa lanjut,
anak tiba tiba kejang seluruh tubuh. Apakah
tindakan awal yang paling tepat dilakukan
untuk pasien tersebut?
A.Memasang infus
B. Memberikan anti kejang
C. Memberikan cairan pada anak
D.Membuka jalan napas (pastikan jalan napas
paten)
E. Kompres kedua tangan dan kaki dengan air
hangat

• Jawaban: D. Membuka jalan napas (pastikan


jalan napas paten)
• Pada pasien anak diatas dengan kejang saat
pemeriksaan, maka penanganan awal paling
tepat tetap perhatikan manajemen airway,
breathing, circulation seperti pada umumnya.
Pertahankan patensi jalan napas pada anak.
Setelahnya manajemen ABC, bisa lakukan
terminasi kejang dan pencegahan kembalinya
kejang. Penghentian aktivitas kejang bisa
dilakukan dengan pemberian diazepam pada
anak. Pada diazepam per rektal dapat diberika 5
mg (untuk anak BB<12 kg) atau 10 mg (untuk
anak BB>12 kg) pada situasi prehospital
11. Kejang dan Status Epileptikus pada
Anak
• Seizure — A seizure represents the clinical expression of
abnormal, excessive, synchronous discharges of neurons residing
primarily in the cerebral cortex.
• Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi
status epileptikus (SE) karena International League Againts
Epilepsy (ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah kejang yang
berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau
berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang.
• Kekurangan defnisi menurut ILAE tersebut adalah batasan lama
kejang tersebut berlangsung.
• Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan
batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.
Tatalaksana kejang akut
• Pertahankan fungsi vital (airway, breathing,
circulation)
• Identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor
presipitasi
• Menghentikan aktivitas kejang
• Evaluasi tanda vital serta penilaian airway,
breathing, circulation (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan.
• Pemilihan jenis obat serta dosis anti-konvulsan
pada tata laksana SE sangat bervariasi antar
institusi.
Tatalaksana Kejang Akut Pada Anak
Keterangan
• Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
• Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan
yang sama
• Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis
yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan
teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan
kelompok usia;
– 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
– 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
– 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
– 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
• Tapering midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian
midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan
kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
• Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit
• Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.
SOAL NO 12
• Pasien anak perempuan berusia 12 bulan
dibawa orangtuanya ke IGD RS karena kejang di
rumah. Kejang berlangsung selama 10 menit
sekitar 1 jam sebelum masuk RS. Setelah kejang
anak tampak lemas dan mengantuk. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran
somnolen, Nadi: 88x/menit, Respirasi: 40x/menit,
Suhu: 40.50C. Pemeriksaan menunjukkan
ekstremitas spastis, kaku kuduk (+), klonus (+).
Pemeriksaan apa yang paling tepat dilakukan
untuk pasien dengan kasus diatas?
A.Pungsi Lumbal
B.Elektroensefalografi
C.Foto Kepala
D.USG kepala
E. Darah perifer lengkap

• Jawaban: A. Pungsi lumbal


• Adanya keluhan demam disertai kejang dan
kesadaran menurun pada anak, didukung
pemeriksaan fisik menunjukkan tanda
rangsang meningeal dan spastisitas (kelainan
UMN), mengarahkan pada kondisi
meningoensefalitis yang dialami anak. Untuk
menunjang diagnosis bisa dilakukan
pemeriksaan punksi lumbal pada anak usia ini
untuk bantu menegakkan diagnosis dan
tentukan etiologi dari meningoensefalitis
12. Meningitis & ensefalitis
• Meningitis
– Meningitis bakterial: E. coli, Streptococcus grup B (bulan pertama
kehidupan); Streptococcus pneumoniae, H. influenzae, N.
meningitidis (anak lebih besar)
– Meningitis viral: paling sering pada anak usia < 1 tahun. Penyebab
tersering: enterovirus
– Meningitis fungal: pada imunokompromais
– Gejala klasik: demam, sakit kepala hebat, tanda rangsang
meningeal (+).
– Gejala tambahan: iritabel, letargi, muntah, fotofobia, gejala
neurologis fokal, kejang
• Ensefalitis: inflamasi pada parenkim otak
– Penyebab tersering: ensefalitis viral
– Gejala: demam, sakit kepala, penurunan kesadaran, dan defisit
neurologis lainnya (gejala fokal, kejang)

Hom J. Pediatric meningitis and encephalitis.


http://emedicine.medscape.com/article/802760-overview
Peningkatan TIK pada anak
• Bayi  sutura belum menyatu dapat akomodasi
peningkatan TIK tanpa ganggu status neurologis  anak
tampak makrosefali, fontanel antertio membonjol, anak
bisa rewel, sulit menyusu, hingga letargi
• Manifestasi klinis peningkatan TIK
– Nyeri kepala (pada anak yang sudah bisa komunikasi)
– Muntah
– Penurunan kesadaran
– Papilledema
– Hipertensi dengan bradikardia atau takikardia
– Kejang
– Herniasi transtentorial : nyeri kepala, penurunan kesadaran,
pupil anisokor, pola napas Cheyne Stokes

https://www.uptodate.com/contents/elevated-intracranial-pressure-icp-in-children-clinical-manifestations-and-diagnosis#H3324530731
Pemeriksaan Penunjang
• Darah perifer lengkap dan kultur darah
• Gula darah dan elektrolit jika terdapat indikasi
• Pungsi lumbal untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan etiologi
– Kontraindikasi mutlak : Terdapat gejala peningkatan
tekanan intrakranial
– Diindikasikan pada suspek meningitis, SAH, dan
penyakit SSP yang lain (eg. GBS)
• CT Scan dengan kontras atau MRI pada kasus
berat, atau dicurigai adanya abses otal,
hidrosefalus, atau empiema subdural
• EEG jika ditemukan perlambatan umum
Diagnosis diferensial infeksi SSP
Klinis/Lab. Ensefalitis Meningitis Mening.TBC Mening.viru Ensefalopati
bakterial s
Onset Akut Akut Kronik Akut Akut/kronik

Demam < 7 hari < 7 hari > 7 hari < 7 hari </> 7 hari/(-)

Kejang Umum/fo Umum Umum Umum Umum


kal
Penurunan Somnolen Apatis Variasi, apatis CM - Apatis Apatis -
kesadaran - sopor - sopor Somnolen
Paresis +/- +/- ++/- - -

Perbaikan Lambat Cepat Lambat Cepat Cepat/Lambat


kesadaran
Etiologi Tidak dpt ++/- TBC/riw. - Ekstra SSP
diidentifik kontak
asi
Terapi Simpt/ant Antibiotik Tuberkulostatik Simpt. Atasi penyakit
iviral primer
Cairan serebrospinal pada infeksi SSP

Bact.men Viral men TBC men Encephali Encephal


tis opathy
Tekanan  Normal/   

Makros. Keruh Jernih Xantokrom Jernih Jernih

Lekosit > 1000 10-1000 500-1000 10-500 < 10

PMN (%) +++ + + + +

MN (%) + +++ +++ ++ -

Protein  Normal/  Normal Normal

Glukosa  Normal  Normal Normal

Gram Positif Negatif Negatif Negatif Negatif


/Rapid T.
Viral Meningitis Diagnosis
• Viral meningitis may be suspected on the basis of
epidemiologic data, clinical features, and initial
cerebrospinal (CSF) studies, but clinical features
cannot reliably differentiate viral from bacterial
meningitis; the CSF profiles of bacterial and viral
meningitis overlap considerably.
• The diagnosis of viral meningitis requires negative
CSF culture for routine bacterial pathogens and
positive identification of a viral pathogen in the
CSF or other patient samples.

Uptodate. 2019
Antibiotik Empiris Meningitis Bakterialis
Predisposing
Common bacterial pathogens Antimicrobial therapy
factor
AGE
Streptococcus agalactiae, Escherichia coli, Listeria Ampicillin plus cefotaxime; OR ampicillin plus
<1 month
monocytogenes an aminoglycoside
Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, S. Vancomycin plus a third-generation
1 to 23 months
agalactiae, Haemophilus influenzae, E. coli cephalosporin (Ceftriaxone or cefotaxime)
Vancomycin plus a third-generation
2 to 50 years N. meningitidis, S. pneumoniae
cephalosporin
S. pneumoniae, N. meningitidis, L. monocytogenes, Vancomycin plus ampicillin plus a third-
>50 years
aerobic gram-negative bacilli generation cephalosporin
HEAD TRAUMA
Basilar skull S. pneumoniae, H. influenzae, group A beta-hemolytic Vancomycin plus a third-generation
fracture streptococci cephalosporin (Ceftriaxone or cefotaxime)
Staphylococcus aureus, coagulase-negative staphylococci Vancomycin plus cefepime; OR vancomycin
Penetrating
(especially Staphylococcus epidermidis), aerobic gram- plus ceftazidime; OR vancomycin plus
trauma
negative bacilli (including Pseudomonas aeruginosa) meropenem
Aerobic gram-negative bacilli (including P. aeruginosa), S. Vancomycin plus cefepime; OR vancomycin
Postneurosurgery aureus, coagulase-negative staphylococci (especially S. plus ceftazidime; OR vancomycin plus
epidermidis) meropenem

Immunocompro S. pneumoniae, N. meningitidis, L. monocytogenes, Vancomycin plus ampicillin plus cefepime; OR


mised state aerobic gram-negative bacilli (including P. aeruginosa) vancomycin plus ampicillin plus meropenem
Ensefalitis
• Tatalaksana:
– Suportif
• Hiperpireksia  antipiretik
• Keseimbangan cairan dan elektrolit  IVFd
• Peningkatan tekanan intrakranial  manitol 0,5-1 g/kg/kali
atau furosemide 1 mg/kg/kali.
• Tatalaksana kejang  fenitoin atau fenobarbital untuk
mencegah kejang berulang
• Apabila terdapat neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi,
atau acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) 
kortikosteroid selama 2 minggu: metilprednisolon dosis
tinggi 15 mg/kg/hari tiap 6 jam selama 3-5 hari dan
dilanjutkan prednison oral 1-2 mg/kg/hari selama 7-10 hari.
PPM IDAI 2010.
SOAL NO 13
• Bayi perempuan berusia 10 hari datang
dibawa ke IGD karena kejang sekitar 5 menit
di rumah. Kejadian 1 jam sebelum masuk RS,
anak kejang kaku seluruh tubuh lalu
kelojotan. Setelah kejang bayi menangis. Bayi
lahir di bantu paraji desa, tidak ada demam.
Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal.
Saat di IGD, bayi kembali alami kejang. Apa
penanganan yang paling tepat diberikan
untuk terminasi kejang pada bayi?
A.Lorazepam
B.Fenitoin
C.Diazepam
D.Fenobarbital
E.Magnesium Sulfat

• Jawaban: D. Fenobarbital
• Obat pilihan untuk menangani kejang pada
neonatus adalah fenobarbital dan fenitoin.
Fenobarbital lebih dipilih dibandingkan
fenitoin karena dosis terapetik fenitoin sempit,
memiliki efek samping serius berupa
kardiovaskular, sedangkan fenobarbital lebih
mudah didapat dan lebih terjangkau harganya.
13. Kejang pada Neonatus
• Kejang pada neonatus adalah • Kejang pada neonatus
perubahan paroksimal dari – Kejang yang terjadi pada 28
fungsi neurologik misalnya hari pertama kehidupan (bayi
perilaku, sensorik, motorik dan cukup bulan)
fungsi autonom sistem saraf. – Atau 44 minggu masa konsepsi
(usia kronologis + usia gestasi
• Angka kejadian kejang di pada saat lahir) pada bayi
negara maju berkisar antara prematur
0,8-1,2 setiap 1000 neonatus • Angka kematian berkisar 21-
per tahun. 58%, sebanyak 30% yang
• Kejang merupakan keadaan berhasil hidup menderita
kegawatan, karena dapat kelainan neurologis.
mengakibatkan hipoksia otak • Penyebab
yang berbahaya bagi
kelangsungan hidup bayi atau – Hipoksik-iskemik-ensefalopati
(38-48%),
dapat mengakibatkan gejala
– Hipoglikemia (3-7.5%)
sisa di kemudian hari.
– Hipokalsemia 2.3-9%
– Infeksi SSP 5.5-10.3%
WHO neonatal seizure 2011
Setyo Handryastuti: Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tatalaksana
Cause of Neonatal seizure
WHO Recommendations for Neonatal Seizure

• Recommendation
– Phenobarbital should be used as the first-line agent
for treatment of neonatal seizures
• Commonly used first-line AEDs for treatment of NS are
phenobarbital and phenytoin.
• Phenobarbital is also cheaper and more easily available than
phenytoin.
• Only about 55% of newborns respond to either of the two
medications.
• Phenobarbital is easier to administer with a one daily dose being
sufficient following attainment of therapeutic levels.
• Phenytoin has more severe adverse effects than phenobarbital
including cardiac side effects and extravasation (although these
have been mitigated by the introduction of fosphenytoin).
• The therapeutic range of phenytoin is very narrow
Terapi kejang neonatus

Setyo Handryastuti: Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tatalaksana
SOAL NO 14
• Bayi laki laki berusia 2 bulan datang dibawa
ibunya ke Puskesmas untuk memperoleh
imunisasi. Bayi lahir normal di bidan dan cukup
bulan pada usia gestasi 39 minggu. Anak akan
diberikan imunisasi BCG oleh dokter. Saat ini
anak tidak ada demam dan tampak aktif ceria.
Tidak terdapat ruam atau lesi kulit di area
penyuntikan. Tidak ada riwayat alergi pada anak
sebelumnya. Bagaimanakah cara pemberian
imunisasi BCG pada anak kasus diatas?
A.Intramuscular
B.Subcutan
C.Intracutan
D.Intravena
E. Oral

• Jawaban: C. INtrakutan
• Vaksin BCG diberikan optimal pada usia 0-2
bulan secara intradermal yakni dengan dosis
0,05 ml untuk bayi baru lahir serta 0.1 ml
untuk anak.
14. Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)

• Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang


dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak
berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan
basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai
imunogenitas.
• Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis
tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat
seperti meningitis TB dan tuberkulosis milier.
• Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari,
harus disimpan pada suhu 2-8° C, tidak boleh beku.
• Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan
dalam waktu 8 jam.
Vaksin BCG
• Vaksin BCG diberikan pada umur <3 bulan (paling optimal pada usia
2 bulan), sebaiknya pada anak dengan uji Mantoux (tuberkulin)
negatif.
• Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah penyuntikan.
• Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk anak, 0,05
ml untuk bayi baru lahir.
• VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas
pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat
lain (bokong, paha).
• Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif pada umur lebih
dari 3 bulan.
• Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan
asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila
pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.
Kontraindikasi BCG
• Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
• Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
• imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem
limfe,
• Menderita gizi buruk,
• Menderita demam tinggi,
• Menderita infeksi kulit yang luas,
• Pernah sakit tuberkulosis,
• Kehamilan.
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
SOAL NO 15
• Pasien anak perempuan berusia 2 tahun datang
dibawa ke dokter karena demam sejak 3 hari
sebelum masuk RS. Anak diketahui juga alami
mual dan muntah. Saat ini berat badan anak 12
kg, suhu 39 derajat Celcius, tidak ditemukan
adanya hepatomegaly, serta kemerahan pada
kulit. Dari pemeriksaan laboratrium ditemukan
leukosit 5.000, trombosit 110.000, Hb: 12, Ht
38%. Apakah obat yang diberikan untuk
menurunkan panas pada kasus ini anak diatas?
A.Paracetamol 120-180 mg po/kali
B.Ibuprofen 120-180 mg po/kali
C.Asam mefenamat 120-180 mg po/kali
D.Paracetamol 120-180 mg po dosis terbagi
E. Ibuprofen 120-180 mg po dosis terbagi

• Jawaban: A. Paracetamol 120-180 mg p.o/kali


• Pada anak dengan kasus demam 3 hari disertai
trombositopenia dapat arahkan pada kondisi Dengue Fever
(bukan Dengue Hemorrhagic Fever mengingat tidak ada
kondisi hemokonsentrasi ataupun bukti klinis adanya
plasma leakage seperti efusi pleura atau asites). Obat
antipiretik pada anak yang biasanya diberikan adalah
paracetamol dan ibuprofen. Paracetamol memiliki dosis 10-
15 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali dalam sehari, sedangkan
ibuprofen memiliki dosis 5-10 mg/kgBB/kali diberikan
hingga 3 kali dalam sehari. Melihat berat badan anak 12 kg,
maka jawaban yang memungkinkan adalah paracetamol
120-180 mg/kali secara oral. Asam mefenamat tidak
diberikan sebagai antipiretik.
15. Antipiretik Pada Anak
• Indikasi utama pemberian obat penurun panas adalah membuat anak
merasa nyaman dan mengurangi kecemasan orangtua, bukan
menurunkan suhu tubuh.
• Pemberian obat penurun panas diindikasikan untuk anak demam
dengan suhu 38oC (pengukuran dari lipat ketiak).
• Dengan menurunkan suhu tubuh maka aktivitas dan kesiagaan anak
membaik, dan perbaikan suasana hati (mood) dan nafsu makan juga
semakin membaik
• Penurunan suhu tubuh dapat dibantu dengan penggunaan obat
penurun panas (antipiretik), terapi fisik (nonfarmakologi) seperti
kompres hangat, dan banyak minum.
• Kompres dingin dan alkohol tidak dianjurkan sebagai tatalaksana
deman
Antipiretik Pada Anak
• Parasetamol merupakan pilihan lini pertama untuk
menurunkan demam dan menghilangkan nyeri.
• Dengan menurunkan suhu tubuh maka aktivitas dan
kesiagaan anak membaik, dan perbaikan mood dan
nafsu makan juga semakin membaik.
• Kombinasi dua antipiretik parasetamol dan ibuprofen
secara selang seling setiap 4 jam tidak terbukti secara
ilmiah memiliki efek antipiretik/analgetik yang lebih
kuat dibanding penggunaan satu macam antipiretik.
Antipiretik pada Anak
• Indikasi: suhu >38oC (aksila).
• Parasetamol merupakan pilihan lini pertama
• Parasetamol 10-15 mg/kg diberikan 4 kali/hari; Ibuproven 5-10 mg/kg 3-4 kali
sehari
• Acetaminophen is approved for use in children as young as 2 months old, but
should never be given to a child under 3 months without first speaking to a
doctor.
• Ibuprofen is approved for use in children as young as 6 months.
• Aspirin should never be given to children under 18 years of age, unless
specifically recommended by a doctor, because of the risk of a rare but possibly
fatal illness called Reye’s Syndrome.

Mulya Rahma Karyanti (Divisi Infeksi dan Pediatri Tropis RSCM)


Terapi Non-Farmakologis Demam
Kompres air hangat (tepid sponging):
• Penggunaan kompres air hangat di lipat ketiak dan lipat
selangkangan (inguinal) selama 10-15 menit akan
membantu menurunkan panas dengan cara panas keluar
lewat pori-pori kulit melalui proses penguapan.
• Kompres bisa dilakukan jika suhu tubuh tetap tinggi walau
sudah diberikan obat demam.
• Misalkan suhu meningkat lebih dari 40 derajat Celsius,
berikan obat penurun panas terlebih dahulu untuk
menurunkan pusat pengatur suhu di hipotalamus,
kemudian dilanjutkan kompres air hangat.
Tirah baring
• Aktifitas fisik yang tinggi dapat meningkatkan suhu
tubuh anak dengan demam dan tanpa demam.
• Walaupun demikian, pergerakan anak yang demam
selama aktivitas normal tidak cukup menyebabkan
demam.
• Memaksakan anak demam untuk tirah baring tidak
efektif, tidak disenangi dan mengganggu secara
psikologis.
TO 2
SOAL NO 16
• Seorang bayi perempuan berusia 4 bulan datang
dibawa orangtuanya ke IGD karena BAB cair 6 kali
sehari sejak 2 hari yang lalu. BAB air > ampas, tanpa
disertai lendir dan darah. ibu pasien mengatakan baru
mencoba memberikan susu formula untuk anaknya
beberapa hari ini. Sebelumnya anak hanya minum ASI
saja. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan demam
atau tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan feses
ditemukan feses berwarna seperti susu dan berbau
asam. Bagaimana kemungkinan mekanisme terjadinya
diare pada anak kasus diatas?
A. Kuman mengeluarkan eksotoksin untuk merangsang
motilitas usus
B. Kuman mengeluarkan endotoksin untuk merangsang
sekresi usus
C. Bakteri menginvasi mukosa usus
D. Rotavirus menyerang mukosa usus
E. Hiperosmolaritas dalam lumen usus menarik cairan
ke lumen usus

• Jawaban: E. Hiperosmolaritas dalam lumen usus


menarik cairan ke lumen usus
• Adanya diare pada anak dengan tinja yang nampak seperti susu
serta berbau asam, menandakan bahwa susu formula yang
diminum oleh bayi tidak dicerna. Hal ini terjad pada kondisi adanya
intoleransi laktosa, dimana terdapat defisiensi laktase, sehingga
laktosa dalam susu tidak dapat dicerna. Hasilnya laktosa akan
dipecah oleh bakteri di usus besar sehingga bersifat asam. Diare
pada kondisi ini bersifat osmotik dimana terjadi peningkatan
osmolaritas di dalam lumen usus (pada susu yang tidak tercerna)
yang menarik air kedalam lumen usus. Opsi B biasanya pada kondisi
diare sekretorik, misalnya toksin kolera atau toksin E.coli, namun
yang sebabkan adalah eksotoksin dan bukan endotoksin. Opsi C
pada infeksi bakteri merupakan jenis diare inflamatorik/eksudatif.
Sementara pada opsi D infeksi rotavirus melibatkan mekanisme
hilangnya enzim di brush border seperto lactase, maltase dan
sukrase (diare osmotic), efek langsung enterotoksin rotavirus (diare
sekretorik), dan aktivasi sistem saraf enteric.
16. Diare pada Anak
• Diare akut: berlangsung < 1 minggu, • Disentri: diare mengandung
BAB >3 kali dalam 24 jam, lendir dan darah
Konsistensi cair, umumnya karena • Diare primer: infeksi memang
infeksi terjadi pada saluran cerna
(misal: infeksi Salmonella)
– Diare akut cair
• Diare sekunder: diare sebagai
– Diare akut berdarah gejala ikutan dari berbagai
• Diare berlanjut: diare infeksi yang penyakit sistemik seperti pada
berlanjut > 1 minggu bronkopnemonia, ensefalitis
dan lain-lain
• Diare Persisten: Bila diare melanjut
• Diare Berdasarkan
tidak sembuh dan melewati 14 hari Patofisiologi
atau lebih – Osmotic diarrhea
• Diare kronik: diare karena sebab – Secretoric diarrhea
apapun yang berlangsung 14 hari – Inflammatoy/ exudative
atau lebih diarrhea
– Altered motility diarrhea
Jenis diare: 1. Diare Osmotik
IN THE SMALL INTESTINE
Ingestion of non-absorbable solutes

Fluid entry into the small bowel

Intraluminal solutions become iso-osmotic with the plasma

Intraluminal Na+ concentration drop below 80 ml osmol

Steep lumen to plasma gradient


Diare Osmotik
IN THE COLON

Carbohydrate Non metabolizable substrates


Metabolized by Bacteria
Na+ and H2O
Short Chain fatty acids may be absorbed by colon
(Organic anions)

A linear relation between


Quadrupling the Osmolality ingested osmotic load &
stool water output
Diare Osmotik
Short-Chain Fatty Acids
(Organic Anions)

Promote more fluid in the colon

Obligate retention of inorganic cations

Further increasing the osmotic load

More fluid in the colon


Penyebab Diare Osmotik
Exogenous Endogenous
• Osmotic Laxatives • Congenital
– Specific Malabsorptive
• Antacids containing MgO or Disorders e.g Disaccharidase
Mg(OH)2 deficiencies
• Dietetic foods, candies and – Generalized Malabsorptive
Diseases e.g
elixirs Abetalipoproteinemia
• Drugs e.g.: – Pancreatic insufficiency e.g
– Colchicine cystic fibrosis
– Cholestyramine • Acquired
– Specific Malabsorptive
Diseases
– Generalized Malabsorptive
Diseases
– Pancreatic insufficiency
– Celiac disease
– Infections
Jenis Diare: 2. Diare Sekretorik
• Sekresi air & elektrolit ke usus halus akibat
gangguan absorpsi Na+ oleh vilus saluran
cerna, sedangkan sekresi Cl- tetap
berlangsung/ meningkat  air & elektrolit
keluar dari tubuh sebagai tinja cair
• Penyebab: toksin E.coli atau V.cholera
Diare sekretorik
Electrolyte transport diarrhea
• The intestine is able to
– Secret Fluids & electrolytes
– Absorb
• Secretion originates in the crypts
• Absorption is mainly a villous function

Intracellular cyclic-AMP & -GMP


are a corner stone in initiating Intestinal secretion
Mechanism of Secretory Diarrhea
Neurotransmitters
Hormones
Bacterial Enterotoxins
Cathartics

Stimulate receptors on the enterochromaffin cells

stimulate

Cyclic AMP – Cyclic GMP


Ca ions

stimulate

Cl-, H2O and CHO3


Secretion by the enterocytes
Jenis Diare: 3. Diare
Inflamatorik/Eksudatif
• Diseases associated with large quantities of
inflammatory exudate  blood, pus, and proteinaceous
material, can produce diarrhea.
• These inflammatory products in themselves cause
increased stool volume and frequency, but altered
absorption of fluid and electrolytes also plays an
important role.
• Mucosal inflammation can occur with diverticulitis,
inflammatory bowel disease, or invasive enteric
infections such as shigella, salmonella, or campylobacter.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK414/
Diare inflamatorik/eksudatif

LUMINAL OR INVADING IMMUNOLOGICAL MECHANISMS


Viruses Complement
Bacteria T-lymphocytes
Protozoa Proteases
Helminths Oxidants

Minimal or severe inflammation

Enterocyte damage or death

Malabsorption and secretion


Diare
Inflamatorik/Eksudatif
Of Any Mechanism
Damage to absorbing epithelium →→
• Repopulation of damaged absorptive surface:
– By immature cells with poor absorptive capacity
→ Malabsorption of ions and nutrients
• Release of inflammatory mediators from cells in the
lamina propria
→ Stimulate secretion from the
– Remaining crypts
– Immature villous surface cells
Jenis Diare: 4. Altered Motility Diarrhea
Adequate absorption requires adequate and long enough
exposure to intestinal epithelium
• Accelerated Transit time
– Decreased absorption
– Large fluid load to the colon
– Colonic irritability
→ Diarrhea Disordered motility is
• Diminished peristalsis The cause of diarrhea
OR
– Bacterial overgrowth An effect of diarrhea
→ Secretory diarrhea
Some Causes of Diarrhea Associated with
Deranged Mobility
• IBS-D
• Functional Diarrhea
• Diabetic neuropathy
• Scleroderma
• Thyrotoxicosis
Diare akibat Intoleransi Laktosa
• Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang
bervariasi diantara mamalia.
• Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI
mengandung 7% laktosa.
• Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa
dan galaktosa.
• Manusia normal tidak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu
laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-komponennya.
• Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di
brush border sel epitel usus halus.
• Tidak terdapatnya atau berkurangnya aktivitas laktase akan
menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.
Pemeriksaan Penunjang
• Analisis tinja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi
dalam tinja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode:
– Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary
interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and
pentose)
– Kromatografi tinja
– pH tinja  tinja bersifat asam
• Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuantitatif; memeriksa kadar
gula darah setelah konsumsi laktosa
• Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal
• Ekskresi galaktos pada urin
• Uji hidrogen napas  metode pilihan pada intoleransi laktosa
karena bersifat noninvasif, memiliki sensitivitas dan efektivitas yang
tinggi
• Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Tatalaksana
• Sebagian besar self limited, cukup menjaga status
hidrasi agar tidak dehidrasi dan menjaga asupan nutrisi
• Pemberian cairan rehidrasi oral (CRO) hipotonik
• Rehidrasi cepat (3-4 jam)
• ASI harus tetap diberikan
• Realimentasi segera dengan makanan sehari-hari
• Susu formula yang diencerkan tidak dianjurkan
• Susu formula khusus diberikan sesuai indikasi
• Antibiotik hanya berdasarkan indikasi kuat.
• Pertimbangan penggantian susu formula selama diare akut
(diare kurang dari 7 hari), sebagai berikut :
• Diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan-sedang : susu
formula normal dilanjutkan
• Diare tanpa dehidrasi atau dehidrasi ringan-sedang dengan
gejala klinis intoleransi laktosa yang berat (selain diare)
dapat diberikan susu formula bebas laktosa.
• Diare dengan dehidrasi berat diberikan susu formula bebas
laktosa
• Pemberian susu formula untuk alergi pada anak dengan
diare akut tanpa jelas petanda alerginya adalah tidak
rasional.
SOAL NO 17
• Anak usia 15 tahun datang dibawa ke IGD karena
BAB cair >10x/hari disertai darah sejak 1 hari
yang lalu, tinja tidak dirasakan berbau. Anak
juga mengeluhkan perut terasa nyeri dan demam
tinggi. Anak juga mual serta muntah.
Pemeriksaan fisik anak masih mau minum, turgor
melambat, mata cekung. Pada pemeriksaan
analisis feses ditemukan bakteri gram negative
kecil non motil, tidak ditemukan trofozoit
parasite. Obat apa yang tepat diberikan pada
pasien kasus diatas?
A.Ampicilin
B.Cefixime
C.Metronidazol
D.Gentamisin
E.Kotrimoksazol

• Jawaban: E. Kotrimoksazol
• Keluhan diare cair berdarah sejak 1 hari yang lalu, beserta adanya
demam, nyeri perut, dan mual muntah, serta tanda – tanda
dehidrasi pada anak ini mengarahkan diagnosis pada disentri.
Mengingat ditemukan adanya bakteri gram negative non motil,
besar kemungkinan penyebab disentri basiler atau shigellosis.
Untuk tatalaksana awal pada pasien ini adalah tetap melakukan
rehidrasi. Obat apa yang tepat diberikan selanjutnya untuk kelainan
ini berupa pemberian antibiotik oral. Jika pasien terkena disentri
shigelosis, maka antibiotik yang tepat adalah kotrimoksazol
(berdasarkan panduan buku WHO + Depkes Pelayanan Kesehatan
Anak di Rumah Sakit), jika disentri amuba, maka metronidazole
menjadi antibiotik pilihan. Meski saat ini banyak rekomendasi
nyatakan bahwa ditemuakn banyak resistensi terhadap
cotrimoxazole. Ampisilin dan Cefixime merupakan obat alternative.
17. Disentri
• Disentri adalah diare yang disertai darah. Sebagian
besar kasus disebabkan oleh Shigella dan hampir
semuanya membutuhkan pengobatan antibiotik
• Pemeriksaan penunjang: Feses rutin untuk
mengidentifikasi trofozoit amuba dan giardia.
Peningkatan jumlah leukosit lebih dari 10 per
lapang pandang mendukung etiologi bakteri invasif
• Pikirkan diagnosa invaginasi jika terdapat tanda
dan gejala: Feses dominan lendir dan darah,
kesakitan dan gelisah, muntah, massa intra-
abdomen (+)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Disentri Sindrom
• Definisi  diare yang • Indikasi rawat inap
disertai darah – Usia < 2 bulan
• Tanda dan gejala: – Keracunan makanan
– BAB cair disertai dengan – Letargis
darah – Nyeri abdomen dominan
– Nyeri perut – Kejang
– Demam – Risiko tinggi terjadi sepsis
– Kejang • Etiologi
– Letargis – Amobiasis  E. histolitica
– Prolaps rektum – Basiller  E.coli, shigela
http://www.searo.who.int/indonesia/documents/9789791947701-buku-saku-kesehatan-anak-indonesia.pdf?ua=1
Disentri
• Bakteri
– Shigella (disentri basiler), penyebab disentri yang
terpenting dan tersering (± 60% kasus disentri yang
dirujuk serta hampir semua kasus disentri yang berat
dan mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella.
– Escherichia coli enteroinvasif (EIEC)
– Salmonella
– Campylobacter jejuni, terutama pada bayi
• Amoeba (Disentri amoeba),
disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering
pada anak usia > 5 tahun
Gejala berdasarkan etiologi

Buku ajar Gastroenterologi IDAI - 2011


Gejala klinis
Disentri basiler Disentri amoeba
• Frekuensi BAB setidaknya 6-8x/hari (bisa
hingga 100x/hari) • Diare disertai darah dan
• Diare mendadak yang disertai darah dan lendir dalam tinja.
lendir dalam tinja. Pada disentri shigellosis,
pada permulaan sakit, bisa terdapat diare • Frekuensi BAB umumnya
encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, lebih sedikit daripada
dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan disentri basiler (≤10x/hari)
sakit, didapatkan darah dan lendir dalam tinja.
• Panas tinggi (39,5 - 40,0 C), kelihatan toksik. • Sakit perut hebat (kolik)
• Muntah-muntah. • Gejala konstitusional
• Anoreksia. biasanya tidak ada (panas
• Sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB. hanya ditemukan pada 1/3
• Kadang-kadang disertai dengan gejala
menyerupai ensefalitis dan sepsis (kejang, kasus).
sakit kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi).
CHARACTER AMOEBIC DYSENTERY BACILLARY DYSENTERY
MACROSCOPIC
Number 6-8 motions a day Over 10 motions a day
Amount (Volume) Relatively copious Small amount
Appearance and
Blood mucus, semi formed Blood mucus, mainly watery
Amount
Odour Offensive (fishy odour) Odourless
Colour Dark red (altered blood) Bright red (fresh blood)
Reaction Acidic Alkaline Charcot-Leyden crystals
Consistency Not adherent to the container Adherent to the container
MICROSCOPIC *Charcot-Leyden crystals are
Discrete, sometimes in clumps due to are hexagonal bipyramidal
RBCs In clumps
rouleaux formation structures, formed from the
Pus Cells Few Numerous breakdown of eosinophils and
Numerous, many of them contain RBCs may be seen in the stool or
Macrophages Few hence may be mistaken for E. sputum of patients with
histolytica parasitic diseases.
Eosinophils Present Scarce **Pyknotic bodies are the
Charcot-Leyden (C- nuclear remains of tissue cells
Present Absent and leukocytes, they pay
L) crystals*
Pyknotic bodies** Present Absent present in the stools of person
suffering from amoebiasis.
Ghost Cells*** Absent Present
***Ghost cell is a
Parasites Seen Trophozoites of E. histolytica Absent swollen/enlarged epithelial cell
Scanty, nonmotile (Shigella is non with only cytoplasmic outline,
Bacteria Seen Many motile bacteria
motile bacteria) but without a nucleus.
CULTURE: Growth Various intestinal flora may Pure growth of Shigella spp. may be
on MacConkey Agar grow seen
Clinical Syndromes (Shigellosis)
• Ranges from asymptomatic infection to
severe bacillary dysentery Clinical Features
• Two-stage disease: watery diarrhea changing
to dysentery with frequent small stools with • Fever
blood and mucus, tenesmus, cramps, fever • Bloody diarrhoea
• Early stage: • Abdominal cramps
– Watery diarrhea attributed to the enterotoxic • Tenesmus
activity of Shiga toxin
• Mucus , pus
– Fever attributed to neurotoxic activity of
toxin • Convulsions
• Second stage: • Mild infection :watery stool
– Adherence to and tissue invasion of large • Bacteremia - rare
intestine • Reiter’s syndrome
– Typical symptoms of dysentery: loose stools • Hemolytic – uremic
with mucus and blood
syndrome
– Cytotoxic activity of Shiga toxin increases
severity
PENGOBATAN

• Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis.


• Pilihan utama untuk Shigelosis (menurut anjuran WHO) : Kotrimoksazol
(trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari)
dibagi dalam 2 dosis, selama 5 hari.
• Alternatif yang dapat diberikan : Ampisilin 100mg/kgBB/hari/4 dosis,
Cefixime 8mg/kgBB/hari/2 dosis, Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, Asam
nalidiksat 55mg/kgBB/hari/4 dosis.
• Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun, sakit
dan darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll.
– Pada anak < 2 bulan, evaluasi penyebab lain (Cth. Invaginasi)
– Penanganan lain sama dengan penanganan diare akut (cairan, zinc)
– Jangan pernah memberi obat untuk menghilangkan gejala
simptomatis seperti nyeri atau untuk mengurangi frekuensi BAB

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008


PENGOBATAN
• Terapi antiamebik diberikan dengan indikasi :
– Ditemukan trofozoit Entamoeba hystolistica tinja.
– Tinja berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika berturut-turut
(masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang biasanya efektif untuk disentri
basiler.
• Terapi antiamebik intestinal pada anak adalah Metronidazol 30-
50mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 5 hari. Bila disentri
memang disebabkan oleh E. hystolistica, keadaan akan membaik
dalam 2-3 hari terapi.
– Jika negatif amuba, berikan antibiotik oral lain (lini ke-2) yang sensitif
shigella : sefiksim dan asam nalidiksat.
– Pada anak < 2 bulan, evaluasi penyebab lain (Cth. Invaginasi)
– Penanganan lain sama dengan penanganan diare akut (cairan, zinc)
– Jangan pernah memberi obat untuk menghilangkan gejala simptomatis
seperti nyeri atau untuk mengurangi frekuensi BAB
SOAL NO 18
• Pasien anak perempuan berusia 10 bulan datang
dibawa kedua orangtuanya ke RS dengan keluhan BAB
cair sering dengan frekuensi sekitar 10-15 kali sehari
sejak 4 hari yll. Tinja tidak disertai darah maupun
lendir. Anak juga alami muntah dengan frekuensi
sekitar 3-4 kali sehari. Saat ini anak mengonsumsi
susu formula karena dikatakan ibu ASI sedikit sejak
usia 3 bulan. Pada pemeriksaan langsung anak tampak
letargi, HR 130 kali, ubun-ubun besar teraba cekung,
terdapat mata cekung, air mata tidak keluar, turgor
lambat, mulut kering. Terapi apakah berdasarkan
WHO yang sesuai direncanakan untuk pasien pada
kasus diatas?
A.Rencana terapi A
B.Rencana terapi B
C.Rencana terapi C
D.Pemberian kaolin pektin
E.Pemberian antibiotik

• Jawaban: C. Terapi C
• Pada kasus diatas tampak anak dengan diare akut datang dengan
kondisi dehidrasi berat yang ditandai dengan adanya kondisi letargi
atau penurunan kesadaran, dengan mata cekung, serta turgor kulit
melambat. Pada diare akut dehidrasi berat maka akan dilakukan
rencana terapi C menurut WHO, yakni pemberian cairan intravena
cepat yakni 30 cc/kgBB selama 1 jam pertama dilanjutkan 70 cc/kg
selama 5 jam, sembari terus evaluasi status hidrasi anak serta
pemberian oralit bila anak mau minum (5 cc/kg/jam), dan
pemberian tablet Zinc. Rencana terapi A biasanya pada kondisi diare
akut tanpa dehidrasi sementara terapi B untuk diare akut dehidrasi
ringan sedang. Pemberian kaolin pektin tidak dianjurkan dalam pilar
tatalaksana diare dari WHO serta antibiotic hanya bila diperlukan
saja (tidak rutin).
18. Diare pada anak dan penanganannya
SOAL NO 19
• Pasien seorang anak perempuan berusia 7 tahun
dibawa ibunya ke unit gawat darurat RS karena BAB
cair sangat sering dan banyak sejak kemarin. Diare
seperti seperti air cucian beras dan berbau amis,
frekuensi sekitar lebih dari 15 kali sehari. Tidak
terdapat muntah serta tinja berdarah. Pada lingkungan
sekitar yakni tetangga pasien ada yang alami keluhan
serupa. Pada pemeriksaan fisik tampak adanya tanda
dehidrasi berat. Pada pemeriksaan tinja ditemukan
bakteri batang Gram negative berbentuk seperti koma.
Apa penanganan yang sesuai untuk pasien kasus
diatas?
A.Doksisiklin 4-6 mg/kgBB single dose
B.Tetrasiklin 50 mg/kg/hari terbagi 4 dosis
C.Azitromisin 20 mg/kgBB single dose
D.Ciprofloxacin 20 mg/kgBB single dose
E. Amoxicillin 50 mg /kgBB terbagi dalam 3 dosis

• Jawaban: C. Azitromisin 20 mg/kgBB single


dose
• Kondisi adanya diare profuse seperti air cucian beras dan berbau amis,
serta temuan adanya bakteri Gram negatif berbentuk seperti koma
menandakan adanya kondisi kolera. Pada kolera maka akan timbul diare
sekretorik akibat produksi toksin (enterotoksin), yakni eksotoksin yang
dihasilkan Vibrio cholerae yang akan berikatan dengan reseptor pada
enterosit dan kemudian meningkatkan aktivasi cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Peningkatan cAMP akan mengganggu transport
ion natrium dan klorida melalui kanal ion sehingga terjadi influks NaCl
kedalam lumen intestinal yang menarik air sehingga sebabkan diare yang
rawan alami dehidrasi berat. Pada kondisi dehidrasi berat pada anak diatas
usia 2 tahun maka diindikasikan pemberian antibiotik, pilihan yakni
azitromisin 20 mg/kgBB single dose. Tetrasiklin dan doksisiklin tidak
direkomendasikan pemberiannya pada anak <8 tahun. Sementara
fluoroquinolon seperti ciprofloxacin dihindari kecuali tidak ada pilihan lain
pada anak. Amoxiciliin bukan pengobatan rutin pada kondisi kolera.
19. Kolera
• Infeksi usus oleh Vibrio cholerae
– Bakteri anaerobik fakultatif,
– batang gram negatif yang melengkung
berbentuk koma,
– tidak membentuk spora
– Memiliki single, sheathed, polar flagellum
• Gejala klinis (sangat cepat (24-48 jam)):
– Diare sekretorik profuse, tidak berbau,
bersifat tidak nyeri, seperti warna air
cucian beras
– Muntah  tidak selalu ada
– Dehidrasi  berlangsung sangat cepat,
dengan komplikasi gagal ginjal akut, syok,
dan kematian
– Abdominal cramps

Thaker VV. Cholera. http://emedicine.medscape.com/article/962643-overview


PATHOPHYSIOLOGY OF CHOLERA

V. cholerae
activation of ion
accumulates in increase cAMP
channels
stomach

NaCl influx into


G- protein stuck in
Produces exotoxins intestinal lumen to
"on" position drag water into lumen

Toxins will bind to G-


protein coupled lead to watery
Inactivation of GTPase
receptor (ganglioside diarrhea
receptor)
Ta t a l a k s a n a
– Tatalaksana utama: REHIDRASI
– Pemberian zinc
– Tatalaksana adjunctive: antibiotik (antibiotik diberikan untuk
memperpendek masa sakit)
– Antibiotik, diindikasikan pada pasien dengan dehidrasi berat di
atas 2 tahun
• Catatan: Doksisiklin dan Tetrasiklin tidak direkomedasikan <8 thn
• Fluoroquinolon pada anak sebaiknya dihindari kecuali tidak ada pilihan
lain
Class Antibiotic Typical pediatric dose* Adult dose
Doxycycline 4-6 mg/kg (single dose) 300 mg (single dose)
Tetracyclines 50 mg/kg/day in four equally divided doses, for 500 mg four times per day for
Tetracycline
three days three days

Azithromycin 20 mg/kg (single dose) 1 g (single dose)


Macrolides 40 mg/kg/day in four equally divided doses, for 500 mg four times per day for
Erythromycin
three days three days

Fluoroquinolones Ciprofloxacin 20 mg/kg (single dose) 1 g (single dose)


Prinsip terapi cairan
• Rehidrasi merupakan prioritas pertama pada
cholera
• Pemberian cairan terbagi menjadi 2 fase yaitu
rehidrasi dan maintenance
• Fase rehidrasi:
– mencapai status hidrasi normal dalam waktu ≤ 4 jam.
– Lebih diutamakan untuk menggunakan ringer
lactate, jika tidak ada bisa menggunakan NaCl 0.9%
• Fase maintenance:
– menjaga status hidrasi normal terutama melalui oral
dengan menggunakan oralit
SOAL NO 20
• Ibu membawa anaknya berusia 5 bulan datang
ke dokter karena anak munculnya bercak bercak
putih pada mukosa pipi dan bibir bayi yang sulit
dibersihkan. Bayi saat ini mengonsumsi ASI saja.
Sekitar 1 minggu yang lalu pasien alami batuk
pilek dan diberikan bidan antibiotic yang harus
dihabiskan. Makan dan minum anak saat ini baik.
Pada pemeriksaan fisik tampak adanya plak putih
pada lidah dan palatum dengan dasar
eritematosa, tidak terdapat erosi. Apakah
tatalaksana tepat pada pasien tersebut?
A.Nystatin
B.Cloramphenicol
C.Amoxycillin
D.Cotrimoxazole
E. Cefadroxil

• Jawaban: A. Nystatin
• Ditemukannya bercak-bercak berupa plak
putih dasar eritematosa di mukosa mulut
serta lidah mengarahkan diagnosis pada oral
thrush atau kandidiosis. Terapi yang dapat
diberikan untuk mengatasi oral thrush pada
bayi usia ini adalah nystatin dengan dosis
4x200.000 IU.
20. Kandidosis oral/ Oral thrush

• Infeksi candida pada rongga mulut


• Spesies tersering: Candida albicans
• Terjadi akibat terganggunya flora normal atau pada
kondisi immunodefisiensi
• Terdapat beberapa jenis, yaitu
- Kandidiosis pseudomembran akut
- Kandidiasis atrofik akut (kandidiasis eritematosa)
- Kandidiosis hiperplasia kronik (leukoplakia)
- Kandidiasis atrofik kronik (denture stomatitis):
- Kelitis angularis (Keilosis Kandidal)

Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. Emedicine | PPK Perdoski. 2017
Jenis Gambaran klinis

Kandidiosis Plak putih pada lidah, palatum,


pseudomembranosa gusidapat diangkatsetelah
akut diangkat tampak dasar eritema

Kandidiosis Papilla lidah menipis tertutup oleh


eritematosa/ atrofik pseudomembran tipis pada
akut permukaan dorsal lidah dan dapat
disertai rasa panas atau nyeri.

Kandidiosis Plak putih atau translusen yang tidak


hiperplasia kronik dapat dilepaskan, biasanya di
mukosa bukal.
Denture related Mukosa palatum yang kontak dengan
stomatitis/ atrofik gigi tiruan tampak edematosa dan
kronik eritematosa, bersifat kronik, dan
dapat dijumpai keilitis angularis.

Kelitis Lesi berupa fissura dan eritema di


angularis/perlèche sudut mulut dan terasa perih

Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. Emedicine | PPK Perdoski. 2017
Candida albicans
Prinsip tatalaksana
Gejala klinis DOC Keterangan

Ringan • Nistatin drops 7-14 hari Catatan:


- Dewasa: 4x400.000-600.000 U • Mild thrush –
- 1-12 bulan: 4x200.000 U Involves <50
- 1-18 tahun: sama dengan dewasa percent of the oral
• Nystatin lozenge 200,000 units to 400,000 units mucosa and
(one to two lozenges) four times per day for 7 absence of deep,
to 14 days. erosive lesions
• Clotrimazole 10 mg (one lozenge) five or six • Moderate/severe
times per day for 7 to 14 days. thrush – Involves
- Nystatin and clotrimazole lozenges are a ≥50 percent of the
choking hazard and should not be used in oral mucosa or
children younger than four years. deep, erosive
lesions
Sedang-berat Fluconazole oral 1x100-200mg/hari selama 7-14
hari
SOAL NO 21
• Pasien anak perempuan berusia 7 tahun datang
diantar ibunya ke dokter karena mengeluh nyeri
menelan dan napas berbunyi terutama saat
tidur. Pasien juga alami demam. Dilingkungan
sekitar anak sedang banyak kejadian serupa.
Riwayat imunisasi tidak lengkap. Pada
pemeriksaan langsung ditemukan tonsil T3/T3
yang dilapisi oleh pseudomembran yang mudah
berdarah. Pemeriksaan apa yang diperlukan
untuk menegakkan diagnosis tersebut?
A.IgE
B.IgG
C.Kultur pada media cystine tellurite blood agar
D.Kultur pada media agar saboroud
E.Kultur pada eosin methylene blue agar

• Jawaban: C. Kultur pada media cystine


tellurite blood agar
• Keluhan nyeri menelan dan napas berbyunyi (stridor)
didukung dengan temuan pseudomembran
mengarahkan diagnosis pada difteri. Untuk membantu
menegakkan diagnosis, maka bisa diambil sediaan
berasal dari swab tenggorok, jika bisa diambil dibawah
selaput pseudomembran. Setelahnya dapat dilakukan
kultur bisa menggunakan medium cystine tellurite
blood agar (CTBA), medium hoyle dan medium
tinsdale, ataupun media perbenihan Loeffler dalam
tabung. Media agar saboroud biasanya untuk
jamur/ragi, sementara eosin methylene blue agar
untuk pemeriksaan bakteri Gram negative, misalnya
Pseudomonas aeruginosa dan lainnya.
21. Difteri
• Penyebab: Corynebacterium diphtheria (bakteri
aerob Gram positif yang memproduksi toksin), ada 3
tipe utama:
– tipe gravis (produksi eksotoksin invasive, gejala
berat)
– tipe intermedius
– tipe mitis
• Menyebabkan infeksi saluran napas atas (paling Pseudomembran difteri
sering), dengan adanya pseudo-membrane. Pada
kasus berat infeksi menyebar ke trakea hingga
sebabkan adenopati servikal yang mengancam jalan
napas.
• Inkubasi: rerata 2-5 hari (rentang 1-10 hari)
• Sering pada anak <10 tahun
• Penularan: droplet respiratorik, kontak langsung
dengan sekret respiratorik atau lesi kulit
Presentasi klinis • Gejala awal infeksi saluran
napas atas: malaise, nyeri
tenggorokan, pilek, sekret
hidung berdarah, suara serak,
batuk, nyeri menelan, demam,
cutaneous diphtheria, pada
anak anak bisa sulit menelan
liur (drooling)
• Pada kasus berat: suara napas
Cutaneous diphtheria stridor inspiratorik, sesak
napas
• Inspeksi tampak bull neck
(pembengkakan nodus limfatik
servikal), faring hiperemis
• Pseudomembran: membrane
keabuan asimetris, sulit
diangkat dan mudah berdarah
Bull-neck pada difteri
Tonsilitis difteri
• Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan, yaitu:
– Gejala umum : subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat, nyeri menelan
– Gejala lokal: tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor membentuk membran semu yang mudah
berdarah, kelenjar limfe leher membengkak
menyerupai leher sapi (bullneck/ Burgemeester’s hals)
– Gejala akibat eksotoksin:
• Pada jantung  miokarditis hingga dekom kordis
• Pada n.kranial  kelumpuhan otot palatum & otot
pernapasan
• Pada ginjal  albuminuria
Severity of Airway Obstruction
Jackson Criteria
I : Patient Calm III : Patient Dyspnea
Stridor --> Inspiratory Stridor --> Inspiratory,
Expiratory
Retraction --> Suprasternal Retraction --> Suprasternal,
Substernal, Intercostal
II : Patient Discomfort
IV : Patient Cyanosis/Apathy
Stridor --> Inspiratory
Retraction --> Suprasternal, Stridor --> Inspiratory,
Substernal Expiratory
Retraction --> Suprasternal,
Substernal, Intercostal
Prinsip diagnostik
• Pemeriksaan :
– Pemeriksaan Gram & Kultur; sediaan berasal dari swab
tenggorok, jika bisa diambil dibawah selaput
pseudomembran
– Kultur bisa menggunakan medium cystine tellurite blood
agar (CTBA), medium hoyle dan medium tinsdale 
medium selektif untuk kultur Corynebacterium diphtheriae
– Untuk megisolasi Corynebacterium digunakan agar darah
telurit (Mc Leod), sebagai media selektif, setelah inkubasi
selama 24 jam koloni bakteri terlihat berwarna abu-abu tua-
hitam.
– Selanjutnya untuk biakan murni Corynebacterium digunakan
media perbenihan Loeffler dalam tabung
Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html
Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
Tellurite Blood (Hoyle’s)
Agar
• A selective medium for
isolation of Corynebacterium
diphtheriae.
• Tellurite inhibits the growth of
most secondary bacteria
without an inhibitory effect on
diphtheria bacilli.
• It is also an indicator medium
as the diphtheria bacilli
produce black colonies.
• Tellurite metabolized to
tellbrism, which has black
colour.
Manajemen klinis awal untuk semua
kasus probable
1. Tempatkan segera di ruang isolasi dan lakukan pencegahan
standar (isolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan
hapus tenggorok negatif 2x berturut)
2. Berikan segera Diphtheria Antitoxin (DAT)
3. Berikan segera antibiotic (penisilin, eritromisin, atau
azitromisin)
4. Monitor ketat hemodinamik dan berikan terapi suportif
untuk komplikasi berat (airway management, cardiac,
neurologic, and renal failure)
5. Vaksinasi dengan vaksin difteri toksoid sesuai usia
http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Antitoksin (DAT/ADS)
• ADS atau anti difteria serum adalah equine serum yang jadi
standar baku pengobatan difteri, diberikan segera setelah
ditemukan kasus difteri berdasarkan klinis (tidak perlu tunggu
pemeriksaan laboratorium)
• Pemberian antitoksin hari pertama menurunkan angka
kematian <1%, penundaan lebih dari hari ke 6 menyebabkan
angka kematian meningkat sampai 30%
• Kontraindikasi: wanita hamil, reaksi alergi
• Dosis anak dan dewasa sama
• Uji kulit sebelum pemberian ADS karena bisa terjadi reaksi
anafilaktik, suntikkan 0.1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis
1:1000 intrakutan (positif bila indurasi >10 mm)
http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Dosis ADS

PPM RSCM Dept IKA 2015


Antibiotik
• Harus diberikan segera
pada kasus dicurigai
atau terkonfirmasi
untuk eradikasi kuman
difteri
– 1st: Penicillin
prokain
– 2nd Eritromisin (bila
hipersensitif
terhadap penisilin)
• Umumnya kondisi
tidak menular setelah
48 jam pemberian
antibiotic adekuat
http://www.who.int/immunization/policy/position_papers/wer_31_diphtheria_updated_position_paper.pdf?ua=1
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/68334/1/WHO_V-B_03.01_eng.pdf?ua=1
PPM RSCM Dept IKA 2015
Komplikasi
• Biasanya karena keterlambatan pemberian antitoksin
• Komplikasi:
– Miokarditis (muncul umumnya minggu ke-2, rerata 1-6 minggu),
takikardia, bunyi jantung 1 menjauh, murmur, aritmia
– Gangguan system saraf  neuropati perifer, paralisis palatum molle
– Otitis media
– Gawat napas akibat obstruksi jalan napas atas
• Ringan: batuk menggonggong hilang timbul, stridor (-), retraksi (-)/ringan
• Sedang: batuk menggonggong lebih sering, stridor istirahat, retraksi tanpa
distress napas/agitasi
• Berat: batuk menggonggong lebih sering, stridor inspirasi, retraksi jelas
dengan distress napas dan agitasi signifikan
• Gagal napas terjadi segera: stridor kadang sulit didengar, retraksi, letargi,
penurunan kesadaran, sianosis
Pencegahan
• Pada kondisi KLB, orang yang kontak erat di nilai status vaksinasi
nya. Anaka dapat imunisasi dasar: booster toksoid difteria
• Dapat diberikan vaksin serta antibiotik profilaksis

WHO
SOAL NO 22
• Seorang anak laki laki berusia 4 tahun datang
dibawa orangtuanya ke dokter dengan keluhan
keluar bintik-bintik kemerahan sejak 2 hari yang
lalu. Awalnya saat demam tinggi, ruam bintik
kemerahan muncul dari mulai leher lalu
menyebar ke seluruh badan. Sekitar 4 hari
sebelumnya pasien mengeluh demam, batuk dan
mata merah. Saat ini pasien juga mengalami BAB
cair 5x dalam sehari. Pada saat pemeriksaan
terdapat lesi maculopapular dasar eritematosa
tersebar diskret di seluruh tubuh. Apa diagnosis
yang mungkin pada pasien ini?
A.Varicella
B.Morbilli
C.Demam berdarah
D.Demam dengue
E. Eksantema subitum

• Jawaban: B. Morbili
• Adanya eksantema akut yang muncul saat demam
tinggi disertai gejala prodromal batuk (respiratory
symptoms) dan konjungtivitis (catarrhal symptoms)
sesuai dengan perjalanan penyakit morbili. Kondisi ini
juga menyerupai diagnosis banding rubella yang juga
merupakan eksantema akut, bisa disertai demam,
batuk dan mata merah, namun biasanya komplikasi
diare lebih sering pada morbili. Sementara pada
eksantema subitum biasanya muncul ruam saat
demam turun. Pada varicella maka akan muncul vesikel
dan papul ddasar eritematosa yang awalnya di batang
tubuh.
22. EKSANTEMA AKUT & MORBILI
Morbili/Rubeola/Campak
• Pre-eruptive Stage
– Demam
– Catarrhal Symptoms – coryza, conjunctivitis
– Respiratory Symptoms – cough
• Eruptive Stage/Stage of Skin Rashes
– Exanthem sign
• Maculopapular Rashes – Muncul 2-7
hari setelah onset
• Demam tinggi yang menetap
• Anoreksia dan iritabilitas
• Diare, pruritis, letargi dan
limfadenopati oksipital
• Stage of Convalescence
– Rash – menghilang sama dengan urutan
munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah)
→ membekas kecoklatan
– Demam akan perlahan menghilang saat
erupsi di tangan dan kaki memudar

• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Measles Virus Taxonomy

• Species : Measles morbillivirus


• Genus : Morbillivirus Electron Micrograph of
Measles virus
• Family : Paramyxoviridae
• Order : Mononegavirales
• Single-stranded, negative-sense,
enveloped (non-segmented)
RNA virus

3D graphical representation of a
https://www.cdc.gov/measles/about/photos.html spherical-shaped, measles virus
particle
Morbili
• Paramyxovirus • Prodromal
• Kel yg rentan: – Hari 7-11 setelah
– Anak usia prasekolah yg eksposure
blm divaksinasi – Demam, batuk,
– Anak usia sekolah yang konjungtivitis,sekret
gagal imunisasi hidung. (cough, coryza,
conjunctivitis  3C)
• Musin: akhir musim • Enanthem  ruam
dingin/ musim semi kemerahan
• Inkubasi: 8-12 hari • Koplik’s spots muncul 2
• Masa infeksius: 1-2 hari hari sebelum ruam dan
sblm prodromal s.d. 4 bertahan selama 2 hari.
hari setelah muncul ruam
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak)
• Diare (1 dari 10 penderita campak) – manifestasi klinis, tanda
• Bronchopneumonia (komplikasi patognomonik bercak Koplik
berat; 1 dari 20 anak penderita – isolasi virus dari darah, urin,
campak)
• Encephalitis (komplikasi berat; 1 atau sekret nasofaring
dari 1000 anak penderita campak) – pemeriksaan serologis: titer
• Pericarditis antibodi 2 minggu setelah
• Subacute sclerosing timbulnya penyakit
panencephalitis – late sequellae
due to persistent infection of the
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1:
100,000 orang)
Penatalaksanaan
• Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
SOAL NO 23
• Seorang bayi perempuan berusia 6 minggu
datang ke dokter dibawa ibunya karena akan
mendapatkan imunisasi. Bayi lahir cukup bulan
secara normal di Rumah Sakit. Sebelumnya saat
lahir anak sudah memperoleh vaksin hepatitis B
dan polio tetes. Pada saat pemeriksaan anak
tampak terus menangis dan rewel, serta
didapatkan bayi demam 39.5°C. Tidak terdapat
riwayat HIV dan TB di keluarga. Status gizi saat ini
baik. Apakah tindakan yang sesuai diberikan
untuk anak tersebut?
A.Menunda imunisasi, tunggu 1-2 minggu
B. Tetap imunisasi dengan dosis setengahnya
C. Tetap imunisasi sesuai usia bayi
D.Telpon dokter spesialis anak untuk menanyakan
langkah selanjutnya
E. Imunisasi dosis terbagi tiap 1 mgg

• Jawaban: A. Menunda Imunisasi, tunggu 1-2


minggu
• Bayi usia 6 minggu umumnya akan dapat
memperoleh vaksin BCG sesuai jadwal. Untuk
vaksin BCG mempunyai kontraindikasi berupa
demam yang tinggi. Pada soal, bayi demam
39.5 derajat Celcius (tinggi) serta tampak
rewel dan terus menangis, sehingga pada
kasus ini dapat dianjurkan tunda imunisasi 1-2
minggu. Pengurangan dosis atau membagi
dosis tidak dibenarkan.
23. KONTRAINDIKASI IMUNISASI
• Berlaku umum untuk semua vaksin
Indikasi Kontra BUKAN Indikasi Kontra
• Reaksi anafilaksis terhadap • Reaksi lokal ringan-sedang (sakit,
vaksin (indikasi kontra kemerahan, bengkak) sesudah suntikan
pemberian vaksin tersebut vaksin
berikutnya) • Demam ringan atau sedang pasca vaksinasi
• Reaksi anafilaksis terhadap sebelumnya
konstituen vaksin • Sakit akut ringan dengan atau tanpa demam
• Sakit sedang atau berat, dengan ringan
atau tanpa demam • Sedang mendapat terapi antibiotik
• Masa konvalesen suatu penyakit
• Prematuritas
• Terpajan terhadap suatu penyakit menular
• Riwayat alergi, atau alergi dalam keluarga
• Kehamilan Ibu
• Penghuni rumah lainnya tidak divaksinasi
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi – IDAI. 2008
Kontraindikasi BCG
• Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
• Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
• imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem
limfe,
• Menderita gizi buruk,
• Menderita demam tinggi,
• Menderita infeksi kulit yang luas,
• Pernah sakit tuberkulosis,
• Kehamilan.
Kontraindikasi Imunisasi Spesifik
Imunisasi Indikasi Kontra
DTP • Ensefalopati dalam 7 hari pasca DTP sebelumnya
Perhatian khusus :
• Demam >40.5⁰C dan episode hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam pasca
DTP sebelumnya
• Kejang dalam 3 hari pasca DTP sebelumnya
• Sindrom Guillain Barre dalam 6 minggu pasca vaksinasi
Polio Oral • Infeksi HIV atau kontak HIV serumah
• Imunodefisiensi pada pasen atau pada penghuni serumah
Polio Inactivated • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin, streptomisin, atau polimiksin-B
MMR • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin atau gelatin
• Kehamilan
• Imunodefisiensi dengan imunosupresi berat
Hepatitis B • Reaksi anafilaksis terhadap ragi
Varisela • Reaksi anafilaksis terhadap neomisin dan gelatin
• Kehamilan
• Infeksi HIV
• Imunodefisiensi
Pertimbangan Pemberian Imunisasi
• Kontra indikasi absolut imunisasi adalah defisiensi imun dan pernah
menderita syok anafilaksis pada imunisasi terdahulu. Sedangkan
demam tinggi atau sedang dirawat karena penyakit berat
merupakan kontra indikasi sementara, sehingga anak tetap harus
diimunisasi apabila telah sembuh.
• Anak dengan batuk-pilek ringan dengan atau tanpa demam boleh
diimunisasi, kecuali bila bayi sangat rewel, imunisasi dapat ditunda
1-2 minggu
• Pengurangan dosis imunisasi menjadi setengahnya, atau membagi
dosis sangat tidak dibenarkan.
• Anak yang sedang minum antibiotik tetap diperbolehkan imunisasi
• Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/hari,
dianjurkan menunda imunisasi 1 bulan setelah selesai pengobatan.
Idai.or.id
Pertimbangan Pemberian Imunisasi
• Pada bayi prematur, vaksin polio sebaiknya diberikan
sesudah bayi prematur berumur 2 bulan atau berat
badan sudah > 2000 gram, demikian pula DPT, hepatitis
B dan Hib.
• Apabila bayi / anak sudah pernah sakit campak, rubela
atau batuk rejan, imunisasi boleh dilakukan untuk
penyakit-penyakit tersebut.
• Vaksinasi bayi / anak dengan riwayat pernah sakit
campak akan meningkatkan kekebalan dan tidak
menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella
tanpa konfirmasi laboratorium sangat tidak dapat
dipercaya.
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
SOAL NO 24
• Pasien anak laki laki berusia 10 tahun datang ke
dokter dibawa ibunya karena bengkak pada
kedua kaki dan kantung zakar. Anak juga alami
bengkak pada kedua kelopak mata. BAK tampak
kemerahan. Keluhan dialami sejak 3 hari yang
lalu. Pasien terdapat riwayat radang tenggorokan
sekitar 2 minggu yang lalu. Pada pemeriksaan
langsung tampak adanya edema palpebra, serta
pitting edema pada pretibial. Pada pemeriksaan
urinalisa tampak adanya eritrosit banyak serta
proteinuria. Apakah tipe reaksi hipersensitivitas
yang terjadi pada pasien?
A.I
B.II
C.III
D.IV
E. V

• Jawaban: C. III
• Adanya keluhan edema palpebra, skrotum, dan pretibial,
disertai hematuria serta proteinuria pada urinalisa dapat
mengarahkan pada kondisi glomerulonephritis. Dapat
dicurigai adanya glomerulonephritis poststreptokokus
mengingat pasien ada kondisi infeksi saluran napas
mendahului gejala. Pada GNAPS, terjadi reaksi
hipersensitivitas tipe 3 yang merupakan hipersensitivitas
berkaitan dengan kompleks antigen antibody. Pada tipe 1
merupakan hipersensitivitas terkait IgE (tipe cepat misalnya
anafilaksis). Pada tipe 2 merupakan hipersensitivitas
dimediasi IgG (sitotoksik) misalnya saja pada reaksi
transfuse darah hingga eritroblastosis fetalis. Pada tipe 4
merupakan hipersensitivitas dimediasi sel, misalnya pada
dermatitis kontak.
24. Reaksi Hipersensitivitas
Type Prototype Disorder Immune Mechanisms Pathologic Lesions
Vascular dilation, edema,
Anaphylaxis; Production of IgE antibody ➙ immediate
smooth muscle
allergies; bronchial release of vasoactive amines and other
Tipe I Immediate contraction, mucus
asthma (atopic mediators from mast cells; recruitment of
production,
forms) inflammatory cells (late-phase reaction)
inflammation

Autoimmune Production of IgG, IgM ➙ binds to antigen


Antibody- hemolytic anemia; on target cell or tissue ➙ phagocytosis or
Tipe II Cell lysis; inflammation
mediated Goodpasture lysis of target cell by activated complement
syndrome or Fc receptors; recruitment of leukocytes

Systemic lupus
Deposition of antigen-antibody complexes
erythematosus;
Immune ➙ complement activation ➙ recruitment Necrotizing vasculitis
Tipe some forms of
complex of leukocytes by complement products and (fibrinoid necrosis);
III glomerulonephritis;
mediated Fc receptors ➙ release of enzymes and inflammation
serum sickness;
other toxic molecules
Arthus reaction
Contact dermatitis;
multiple sclerosis; Perivascular cellular
Cell- Activated T lymphocytes ➙ i) release of
Tipe type I, diabetes; infiltrates; edema; cell
mediated cytokines and macrophage activation; ii) T
IV transplant destruction; granuloma
(delayed) cell-mediated cytotoxicity
rejection; formation
tuberculosis
Sources: Robbins & Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th ed. 2005.
SOAL NO 25
• Bayi laki laki berusia 6 bulan datang ke Posyandu
untuk penimbangan berat badan rutin dan
pemantauan tumbuh kembang. Bayi selama ini
dapat ASI eksklusif, tidak ada riwayat konsumsi
susu formula. Anak saat ini sudah dapat duduk
dengan bantuan serta selalu tampak tertarik
melihat orang lain makan. Anak sudah sering
memasukkan benda kedalam mulut. Saat ini ibu
anak ingin memberikan makanan pendamping
ASI di usia 6 bulan. Apa makanan pendamping
ASI yang sesuai diberikan pada bayi?
A.Susu formula
B.Bubur susu
C.Nasi tim
D.Nasi dengan lauk cincang
E.Makanan keluarga

• Jawaban: B. Bubur susu


• Menurut petunjuk MPASI WHO, pada umur 6
bulan tekstur makanan MPASI yang diberikan
adalah makanan lumat/halus dan kental
(misalnya bubur saring, pure atau makanan
yang ditumbuk/dihaluskan). Tekstur makanan
MPASI tidak terlalu cair atau encer (jika
sendok dimiringkan bubur tidak tumpah).
Contoh dari makanan lumat adalah bubur
susu.
25. Infant Feeding Practice dan MPASI
Rekomendasi WHO dan UNICEF, 2002, dalam Global Strategy for
Infant and Young Child Feeding :
• Memberikan ASI segera setelah lahir-1jam pertama
• Memberikan hanya ASI saja atau ASI Eksklusif sejak lahir
sampai umur 6 bulan
• Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi
mulai umur 6 bulan
• Diberikan karena ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan zat gizi
• Pengaturan MP-ASI agar tidak diberikan terlalu
dini/terlambat/terlalu sedikit/kurang nilai gizi
• Tetap memberikan ASI sampai anak umur 2 tahun atau lebih
Panduan praktis mengenai kualitas, frekuensi, dan jumlah
makanan yang dianjurkan untuk bayi dan anak berusia 6-23
bulan yang diberi ASI on demand

Energi yang Jumlah rata-


Usia Tekstur Frekuensi
Dibutuhkan rata makanan
2-3 sendok
Mulai dengan bubur
makan,
6-8 kental/makanan yang 2-3 kali/hari Plus
200 kkal/hari tingkatkan
bulan dihaluskan. 1-2 kali snack
bertahap sampai
Buah dapat diberikan
125 ml
Makanan yang
dicincang halus dan
9-11 3-4 kali/hari Plus
300 kkal/hari makanan yang dapat 125 ml
bulan 1-2 kali snack
diambil sendiri oleh
bayi
Tiga perempat
12-23 3-4 kali/hari Plus
550 kkal/hari Makanan keluarga sampai satu
bulan 1-2 kali snack
cangkir 250 m
• Makanan lumat adalah jenis makanan yang
konsistensinya paling halus seperti bubur
susu dan nasi tim/bubur saring.
• Pada usia 9 bulan jenis buah yang boleh
diberikan: pisang, jeruk, alpukat, apel,
mangga harum manis, papaya, melon.
• Bubur Susu:
• Campurkan tepung beras 1-2 sdm dan
gula pasir 1-2 sdm menjadi satu ,
tambahkan susu/santan 5 sdm yang
sudah dicairkan dengan air 200 cc
sedikit-sedikit aduk sampai rata ,
kemudian masak di atas api kecil
sambil diaduk-aduk sampai matang.
Perkembangan Makanan Bayi
• Bayi umur 5 bulan baru belajar menggerakkan sendi
rahangnya dan makin kuat refleks hisapnya.
• Bayi umur 7 bulan bisa membersihkan sendok
menggunakan bibirnya, menggerakkan sendi rahang naik-
turun, baru punya gigi seri yang bertugas memotong bukan
menggilas makanan, sehingga proses mengunyah dan hasil
partikel kunyahan masih kasar.
• Mulai umur 8 bulan bayi telah mampu menggerakkan lidah
ke samping dan mendorong makanan ke gigi-geliginya,
makin stabil menjaga keseimbangan dan memegang
sehingga dia sudah bisa menerima makanan finger food.
Perkembangan Makanan Bayi
• Umur 10 bulan merupakan waktu kritis bayi diharapkan
sudah bisa memakan tekstur makanan MPASI semi-padat
(“lumpy” solid food) sehingga mulai kenalkan makanan
lembek tanpa saring di umur 9 bulan.
• Jika terlambat menaikkan tekstur makanan maka anak akan
semakin sulit memakan makanan yang lebih padat.
• Umur 12 bulan sendi rahang bayi telah stabil dan mampu
melakukan gerakan rotasi sehingga sudah bisa lebih
canggih dalam mengunyah tekstur makanan MPASI kasar.
– Pada saat ini bayi telah siap memakan makanan keluarga.
SOAL NO 26
• Pasien anak perempuan berusia 3 tahun
dibawa datang ke dokter klinik karena sering
menabrak meja atau perabotan rumah
lainnya ketika hari sudah senja, terutama
setelah anak main dari luar. Keluhan dialami
sejak 1 minggu terakhir. Pada pagi dan siang
hari anak dapat beraktivitas biasa tanpa
hambatan. Setelah pemeriksaan dokter ingin
memberi terapi vitamin A. Apa regimen
pemberian vitamin A yang dapat diberikan?
A.Kapsul merah, pada kali pertama kunjungan
B.Kapsul merah pada hari 1, 2 dan 15
C.Kapsul biru pada kali pertama kunjungan
D.Kapsul biru pada hari 1, 2 dan 15
E. Kapsul merah 3 x 15.000 UI

• Jawaban: B. Kapsul merah pada hari 1, 2 dan


15
• Anak pada kondisi diatas dapat dicurigai
mengalami xerophthalmia yakni night
blindness atau hemeralopia akibat defisiensi
vitamin A. Pada anak usia diatas 1 tahun,
maka terapi vitamin A pada kondisi
xeroftalmia adalah kapsul merah yang berisis
200.000 unit vitamin A pada hari pertama dan
kedua, serta minimal dua minggu kemudian.
26. Defisiensi vitamin A
• Vitamin A meliputi retinol, retinil ester, retinal dan asam retinoat. Provitamin A
adalah semua karotenoid yang memiliki aktivitas biologi β-karoten
• Sumber vitamin A: hati, minyak ikan, susu & produk derivat, kuning telur,
margarin, sayuran hijau, buah & sayuran kuning
• Fungsi: penglihatan, diferensiasi sel, keratinisasi, kornifikasi, metabolisme
tulang, perkembangan plasenta, pertumbuhan, spermatogenesis,
pembentukan mukus
• Konjungtiva normalnya memiliki sel goblet. Hilangnya/ berkurangnya sel
goblet secara drastis bisa ditemukan pada xerosis konjungtiva.
• Gejala defisiensi:
– Okular (xeroftalmia): rabun senja, xerosis konjungtiva & kornea, keratomalasia,
bercak Bitot, hiperkeratosis folikular, fotofobia
– Retardasi mental, gangguan pertumbuhan, anemia, hiperkeratosis folikular di
kulit

Kliegman RM. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011


Xerophthalmia (Xo)
Stadium :
XN : night blindness (hemeralopia)
X1A : xerosis conjunctiva
X1B : xerosis conjunctiva (with bitot’s spot)
X2 : xerosis cornea
X3A : Ulcus cornea < 1/3
X3B : Ulcus cornea > 1/3, keratomalacea
XS : Corneal scar
XF : Xeroftalmia fundus
Xeroftalmia

XN. NIGHT BLINDNESS


• Vitamin A deficiency can interfere with
rhodopsin production, impair rod function, and
result in night blindness.
• Night blindness is generally the earliest
manifestation of vitamin A deficiency.
• “chicken eyes” (chickens lack rods and are thus
night-blind)
• Night blindness responds rapidly, usually within
24—48 hours, to vitamin A therapy
Therapy and Prevention
• For treatment of xerophthalmia, vitamin A is given in three doses at
the age-specific doses:
– Infants < 6 months of age: 50,000 international units orally
– Infants 6 to 12 months of age: 100,000 international units orally
– Children >12 months: 200,000 international units orally
– Adolescent and adults is 200,000 international units orally

• The first dose is given immediately on diagnosis, the second on the


following day, and the third dose at least two weeks later.
• Women of reproductive age or who are pregnant and have night
blindness should be treated with frequent small doses of vitamin A,
rather than high doses used for other adults
Therapy & Prevention
• Vitamin A deficiency is common among populations
in resource-limited countries.
• For populations in which vitamin A deficiency is
endemic the World Health Organization (WHO)
recommends the following replacement approaches
• Universal periodic distribution — Periodic
supplementation is recommended for populations
endemic for vitamin A deficiency, at the following
doses (where 1 microgram retinol = 3.3 international
units)
– Infants 6 to 12 months of age: 100,000 international units
orally (30 mg retinol equivalent) – One dose
– Children 12 to 59 months of age: 200,000 international units
orally (60 mg retinol equivalent) – Dose repeated every four
to six months
SOAL NO 27
• Pasien anak laki laki berusia 6 tahun dibawa
ibunya datang ke poliklinik dengan keluhan
nyeri otot yang dirasakan sejak 1 minggu
yang lalu. Pasien juga tampak muncul ruam
merah di kulit serta rambut rontok. Sudah 1
bulan terakhir ibunya memberikan telur
setengah matang. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai kulit kering, rambut jarang dan
mudah rontok. Kekurangan vitamin apa yang
mungkin diderita anak tersebut?
A.Tiamin
B.Niasin
C.Piridoksin
D.Riboflavin
E.Biotin

• Jawaban: E. Biotin
• Pada kondisi anak muncul keluhan pada kulit dan rambut, yakni ruam
merah dan kulit kering serta rambut rontok dan jarang dapat
mengarahkan pada defisiensi vitamin B7 atau biotin. Biasanya gejala
defisiensi biotin akan muncul dalam 3-5 minggu berupa dermatitis
seboroik, rash, rambut mudah rontok dan mudah patah, kulit kering,
nausea, vomitus, dan anoreksia; disusul dejala neurologis: depresi ringan,
perubahan status mental, myalgia, hyperesthesia, dan paresthesia.
Defisiensi biotin sangat dicurigai mengingat anak ada faktor resiko
konsumsi telur setengah matang sehingga bisa alami egg-white injury
syndrome, yakni ketika putih telur mentah berisi glycoprotein avidin yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap biotin akan sebabkan avidin berikatan
secara ireversibel dengan biotin sehingga tidak bisa diserap usus.
Defisiensi vitamin B1 sebabkan beriberi. Defisiensi niasin sebabkan
pellagra (diare, dermatitis, demensia, death). Defisiensi piridoksin
sebabkan anemia mikrositik hipokrom, dermatitis seboroik, neuropati
perifer. Defisiensi riboflavin sebabkan lidah merah muda terang disertai
bibir pecah pecah, bengkak tenggorokan, mata merah.
27. Defisiensi Vitamin B
Beriberi - a disease whose symptoms include weight loss, body
Vitamin B1 (Thiamine) weakness and pain, brain damage, irregular heart rate, heart failure,
and death if left untreated
Causes distinctive bright pink tongues, although other symptoms are
Vitamin B2 (Riboflavin) cracked lips, throat swelling, bloodshot eyes, and low red blood cell
count
Pellagra - symptoms included diarrhea, dermatitis, dementia, and
Vitamin B3 (Niacin)
finally death (4D)
Vitamin B5 (Pantothenic
Acne and Chronic paresthesia
Acid)
Microcytic anemia, depression, dermatitis, high blood pressure
Vitamin B6 (Pyridoxine)
(hypertension), water retention, and elevated levels of homocysteine
Causes rashes, hair loss, anaemia, and mental conditions including
Vitamin B7 (Biotin)
hallucinations, drowsiness, and depression
Vitamin B9 (asam folat) Anemia megaloblastik
Causes gradual deterioration of the spinal cord and very gradual
Vitamin B12 (Cobalamin) brain deterioration, resulting in sensory or motor deficiencies,
megaloblastic anemia
Biotin Deficiency
Defisiensi Biotin (Vitamin B7)
• Defisiensi biotin (Vitamin B7) jarang terjadi karena :
– Kebutuhan harian yang sedikit (150-300 μg)
– biotin terdapat hampir di semua jenis makanan
– Flora normal usus mensintesis biotin
– Biotin mengalami proses recycle.
• Penyebab defisiensi Biotin :
– Konsumsi antikonvulsan tertentu (phenytoin, primidone,
carbamazepine)
– Penggunaan antibiotik spektrum luas
– Konsumsi putih-telur mentah dalam jumlah cukup banyak (Egg-white
injury syndrome). putih telur mentah berisi glycoprotein avidin yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap biotin  berikatan secara
ireversibel  tidak bisa diserap usus  defisiensi
– Defisiensi enzim biotinidase (defek genetik)
Scheinfeld, NS. Biotin Deficiency. http://emedicine.medscape.com/article/984803-overview
Manifestasi Klinik
Timbul 3-5 minggu setelah onset defisiensi biotin:
• Kulit Kering
• Dermatitis seboroik
• Infeksi jamur
• Rash
• Brittle hair (mudah patah), rambut rontok, alopecia
• Gejala traktus gastrointestinal (Mual, muntah, anoreksia)

Dalam 1-2 minggu kemudian, timbul gejala neurologis :


• Depresi ringan
• Perubahan status mental
• Generalized Myalgia
• Hyperesthesia, paresthesia
Penatalaksanaan
• Deteksi dini dan pengobatan dengan biotin
• Dosis biotin terdapat dua pendapat :
– Injeksi Biotin IM 150 μg per hari gejala mulai hilang
dlm 3-5 hari, sembuh total dalam 3-5 bulan
– Dosis lebih tinggi 5-20 mg per hari IM. Gejala lebih
cepat tertangani
• Makanan kaya biotin : swiss chard, kuning-telur
mentah, hati, saskatoon berries, sayuran hijau,
dan kacang-kacangan
• Hentikan konsumsi telur setengah matang
SOAL NO 28
• Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa oleh
ibunya ke poliklinik anak di RS dengan keluhan
kelainan pada cara berjalan. Anak sering jatuh saat
berjalan dan kesulitan menaiki tangga. Anak juga sulit
melompat dan tidak bisa berlari. Paman pasien
riwayat meninggal saat usia 19 tahun karena penyakit
distrofi otot. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
kelemahan pada otot-otot panggul dan bahu, Gower
sign (+), serta tampak pseudohipertrofi pada bagian
betis. Tidak terdapat fasikulasi ataupun peningkatan
tonus dan refleks pada anak. Uji laboratorium apakah
yang penting untuk menegakkan diagnosa kasus
tersebut ?
A.Kadar Alkali phospatase
B.Kadar Urokinase
C.Kadar Kreatine Kinase
D.Kadar Glukokinase
E. Kadar Katalase

• Jawaban: C. Kadar kreatinin kinase


• Pada pasien terdapat gangguan kemampuan motoric (kelainan cara berjalan, anak
sulit menaiki tangga dan berlari ataupun melompat), dan kelemahan otot panggul
serta bahu (proksimal) secara progresif. Ditambah dengan adanya riwayat riwayat
keluarga distrofi otot pada anggota keluarga laki-laki mengarahkan pada
kecuirgaan penyakit Duchenne muscular dystrophy yang diturunkan secara X-linked
recessive. Diagnosis selain dari usia, jenis kelamin laki laki, dapat juga didukung
dengan uji laboratorium yang akan menunjukkan peningkatan kreatinin kinase
pada Duchenne muscular dystrophy akibat pemecahan otot yang terjadi karena
defek pada distrofin. Enzim lainnya:
• Alkali phosphatase atau ALP merupakan enzim yang dapat ditemukan pada tubuh
terutama hati dan tulang
• Urokinase merupakan enzim mirip tripsin yang diproduksi endogen oleh sel
parenkim ginjal dan dapat ditemukan dalam urin
• Glukokinase adalah enzim yang mentrasnfer fosfat dari ATP ke glukosa untuk
membentu glukosa-6-fosfat, juga berfungsi sebagai sensor glukosa di sel beta
dengan mengontrol laju masuknya glukosa ke glycolytic pathway
• Katalase adalah enzim intraseluler yang mengkatalisasi konversi hidrogen
peroksida menjadi air dan molekul oksigen
28. Duchenne Muscular Dystrophy
• An inherited progressive myopathic disorder; rapidly
progressing muscle weakness and wasting,
• X-linked recessive form of muscular dystrophy
• Affects 1 in 3600 boys
• Caused by mutations in the dystrophin gene, and
hence is termed “dystrophinopathy”
• Duchenne muscular dystrophy (DMD) is associated
with the most severe clinical symptoms
• Becker muscular dystrophy (BMD) has a similar
presentation to DMD, but typically has a later onset
and a milder clinical course
Four phases of DMD
• Early phase (<6 yrs): clumsy, fall frequently, difficulty jumping
or running, enlarged muscles, contractures.
• Transitional Phase (ages 6-9): Trunk weakness (Gowers
manouvre), muscle weakness, heart problems, fatigue.
• Loss of ambulation (ages 10-14): by 12 yrs most boys use a
powered wheelchair. Scoliosis due to constant sitting and back
weakness, upper limb weakness make ADL’s difficult (retain
use of fingers).
• Late stage (15+): life threatening heart and respiratory
problems more prevalent, dyspnea, oedema of the LL’s.
Average age of death is 19 yrs in untreated DMD
Clinical Manifestations
• Proximal before distal limb muscles
• Lower before upper extremities
• Difficulty running, jumping, and walking up steps
• Waddling gait
• Lumbar lordosis
• Pseudohypertrophy of calf muscles, due to fat
infiltration
• Patients are usually wheelchair-bound by the age
of 12
Diagnosis
• Characteristic age and sex
• Presence of symptoms and signs suggestive of
a myopathic process
• Markedly increased serum creatine kinase
values
• Myopathic changes on electromyography and
muscle biopsy
• A positive family history suggesting X-linked
recessive inheritance
Serum Muscle Enzyme
• Markedly raised serum CK level, 10-20 times
the upper limit of normal
– Levels peak at 2-3 years of age and then decline
with increasing age, due to progressive loss of
dystrophic muscle fibres
• Elevated serum ALT, AST, aldolase and LDH
SOAL NO 29
• Seorang ibu membawa bayi laki – lakinya berusia 6
minggu ke RS karena tampak kuning. Anak kuning sejak 2
minggu yang lalu. Tinja warna dempul atau putih pucat
selama 2 minggu terakhir terus menerus. Bayi riwayat lahir
spontan usia gestasi 39 minggu sebelumnya dengan berat
lahir 3400 gram dan langsung menangis. Awal bayi masih
keluar BAB hijau dan berat badan terus naik. Sempat saat
usia 3 hari anak terlihat kuning, namun saat usia 7 hari
kuning mulai hilang sendiri tanpa penanganan khusus.
Baru saat usia 4 minggu anak tampak kuning lagi. Pada
laboratorium ditemukan hasil bilirubin total 11 gr%, direk
10,2, indirek 0,8. Apakah diagnosis yang sesuai pada kasus
diatas?
A.Hepatitis neonatus
B.Hepatitis neonatus idiopatik
C.Atresia bilier perinatal
D.Atresia bilier embrional
E. Hepatitis B

• Jawaban: C. Atresia bilier perinatal


• Pada pasien usia 6 minggu dengan ikterik gambaran bilirubin direk
yang lebih tinggi mengarahkan pada kondisi gangguan obstruktif
atau kolestasis yang bisa saja disebabkan oleh atresia bilier hingga
kondisi lain misalnya sindrom hepatitis neonatal. Ikterik dengan
bilirubin direk yang tinggi mengarahkan diagnosis pada kolestasis
yang bisa disebabkan oleh atresia bilier. Kuning dialami saat usia 3
hari dan hilang sendiri pada usia 7 hari bisa merupakan ikterik
fisiologis pada neonatus. Pada awalnya bayi masih BAB hijau dan
berat badan naik dapat arahkan pada kondisi atresia bilier perinatal
yang bermanifestasi pada usia 2-4 minggu. Atresia bilier
prenatal/embrional biasanya bermanifestasi pada 3 minggu
pertama. Kolestasis juga bisa disebabkan oleh sindrom hepatitis
neonatal, namun biasanya pada hepatitis pertumbuhan anak lebih
sering terganggu serta tinja dempul akan berfluktuasi, sementara
pada tresia bilier tinja dempul lebih persisten.
29. Ikterus dan Atresia bilier
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Kolestasis (Cholestatic Liver Disease)
• Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5
mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar
bil.total >5 mg/dl
• Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepatitis neonatal) vs Obstruktif
(Kolestasis ekstrahepatik)
• Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools,
nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and
bruising, seizures
Atresia Bilier
Definisi
Penyakit kolangiopati fibro-obliteratif yang
mengenai panjang tertentu duktus biliaris intra
dan ekstrahepatika
Secara umum mencapai end-stage pada usia 9-
18 bulan
Patofisiologi Atresia Bilier
• Proses inflamasi hati akan terus berlangsung.
• Pada kondisi lanjut, pasien akan mengalami sirosis
sebagai penyakit hati tahap akhir (end stage liver disease)
• Histologi: perubahan struktur lobular normal hati menjadi
regenerasi nodular difus dikelilingi septa fibrosa padat,
menyebabkan distorsi struktur parenkim dan vaskular
hepar  SIROSIS

Peningkatan Hipertensi porta


Distorsi struktur resistensi aliran dan disfungsi
darah vena porta hati

++ asites, pruritus, malnutrisi defisiensi vitamin, failure to thrive akibat


malabsorpsi lemak rantai panjang
Gejala Atresia Bilier
• Persistent, ikterik patologis 2 minggu
kehidupan  harus curiga obstruksi bilier
akibat atresia bilier atau kista koledokus atau
proses kolestatik akibat beberapa kelainan
• Ikterik progresif  bilirubin direk
• Feses berwarna pucat / acholic stool
• Tanda penyakit hati tahap akhir: teraba
hepatomegali, splenomegaly, gagal tumbuh
(failure to thrive), malnutrisi
Biliary Atresia Type

 Type I: atresia of the common bile


duct
 Type IIa: atresia of the common
hepatic duct
 Type IIb: atresia of common bile duct,
cystic duct, and common hepatic duct
 Type III: atresia of the common bile
duct, cystic duct, and hepatic ducts up
to the porta hepatis. This is the
subtype present in over 90% of
patients with biliary atresia
Diagnosis Atresia Bilier
• Ikterus persisten (ikterus lebih dari 14 hari pada
neonatus aterm dan lebih dari 21 hari pada neonatus
premature)
• Terdapat feses yang pucat atau berwarna dempul,
urin berwarna tua
• Terdapat peningkatan kadar bilirubin direk, kadar
glutamyltranspeptidase (Gamma GT) dan alkaline
phosphatase
• Tipikal pasien atresia biliaris lahir dengan berat
badan lahir normal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Biliary Atresia - Treatment
• Kasai’s portoenterostomy: Once biliary atresia is suspected, surgical
intervention in the form of intraoperative cholangiogram and Kasai
portoenterostomy is indicated.

• This procedure is not usually curative, but ideally does buy time until the child
can achieve growth and undergo liver transplantation

• A considerable number of these patients, even if Kasai portoenterostomy has


been successful, eventually undergo liver transplantation

• Post operative medication:


– Methylprednisolone should be given for it’s anti-inflammatory

– Ursodeoxycholic acid has also been shown to enhance bile flow.

– Antibiotic prophylaxis in order to prevent cholangitis postoperatively


SOAL NO 30
• Seorang anak laki-laki berumur 8 tahun dengan
tunamental. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
fenotip seorang laki-laki dengan tanda-tanda
wanita yaitu suara tinggi, pertumbuhan
payudara, testis kecil, alat genitalia luar tampak
normal. Pemeriksaan analisa semen tidak
ditemukan spermatozoa. Pemeriksaan kariotip
ditemukan tambahan seks kromosom X sehingga
nomenklatur kromosom adalah 47, XXY dan
formula kromosomnya 2n + 1 (Trisomi seks
kromosom). Diagnosis manakah yang paling
tepat untuk kasus di atas?
A. Turner Syndrome
B. Klinefelter Syndrome
C. Patau Syndrome
D. Edward Syndrome
E. Down Syndrome

• Jawaban: B. Klinefelter syndrome


• Sindrom klinefelter merupakan kelainan genetik yang dicirikan
dengan genotip 47XXY, dan biasanya pada anak akan ditemukan
tubuh pendek, tonus otot kurang baik, ginekomastia, testis kecil
atau infertilitas, badan tinggi, dan karakteristik seksual sekunder
tidak ada. Pada kelainan genetik ini pasien berjenis kelamin laki –
laki, dan akan ditemukan kromosom 47XXY. Sementara pada
sindrom turner ada kromosom 45 + XO, biasanya pendek,
hipofungsi ovarium, mempengaruhi perempuan. Pada sindrom
Down umumnya akan ditemukan trisomy 21. Sindrom patau akan
terjadi trisomy 13 yang sebabkan mortalitas tinggi, berhubungan
dengan cleft lip, polidaktili, defek jantung, saraf pusat, dan akan ada
kriptorkidismus, low set ear, palmar crease, clenched hands. Pada
sindrom Edward ada trisomy 18 yang 3 kali lebih sering di wanita
30. GENETIC DISORDER
Patau Mental retardation, heart defects, CNS abnormalities, microphthalmia, polydachtyly, a
Syndrome cleft lip with or without a cleft palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands
Trisomi 13 (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single
noninherited palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia

Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.

Sindrom cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or incomplete


Klinefelter puberty, gynecomastia, reduced facial and body hair, and an inability to have biological
47,XXY children (infertility).
noninherited Older children and adults tend to be taller. Increased risk of developing breast cancer
and SLE.
May have learning disabilities and delayed speech; tend to be quiet, sensitive, and
unassertive.
Sindrom Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a
Edward rounded bottom (rocker-bottom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental
Trisomi 18 delay, microcephaly, Undescended testicle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal
Noninherited hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe
kidney, Hydronephrosis, Polycystic kidney), severe intellectual disability

It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die
before birth or within their first month.
mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck, Flattened nose,
Separated sutures, Single palm crease, Small ears, small mouth, Upward
slanting eyes, Wide, short hands with short fingers, White spots on the
Sindrom Down
colored part of the eye (Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD)
Trisomi 21
noninherited
Physical development is often slower than normal (Most never reach their
average adult height), delayed mental and social development (Impulsive
behavior, Poor judgment, Short attention span, Slow learning)

The most common feature is short stature, which becomes evident by about
age 5. Ovarian hypofunction. Many affected girls do not undergo puberty and
infertile.
Sindrom
About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck,
turner
limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities, or kidney problem, 1/3 have
45 + XO
heart defect, such as coarctation of the aorta.
noninherited
Most of them have normal intelligence. Developmental delays, nonverbal
learning disabilities, and behavioral problems are possible
No unusual physical features, increased risk of learning
disabilities and delayed development of speech and
Jacob Syndrome language skills. Delayed development of motor skills,
47, XYY weak muscle tone (hypotonia), hand tremors or other
involuntary movements (motor tics), and behavioral and
emotional difficulties
Kallmann syndrome Genetic disorder consists of hypogonadotropic
hypogonadism + anosmia

Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh).
3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and
bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum,
Teeth that are too crowded, Flat feet.

Fragile X syndrome Fragile X syndrome is a genetic condition that causes a


Diturunkan secara range of developmental problems including learning
X-linked dominan disabilities and cognitive impairment.
Usually, males are more severely affected by this disorder
than females.
Kelainan genetik yang menngakibatkan tidak adanya
enzim billirubin-UGT yang berfungsi untuk eliminasi
Crigler-Najjar
bilirubin. Akibatnya, muncul gejala klinis akibat
Syndrome
hiperbilirubinemia (ikterus yang segera muncul setelah
lahir) hingga dapat menjadi kernickterus

Pierre-Robin Diturunkan autosomal resesif terkait kromosom X. Tanda


Syndrome berupa micrognathia, glossoptosis, macroglossia,
ankyloglossia. Micrognathia+glossoptosisgangguan
pernapasan berat dan sulit makan. Selain itu terdapat
juga cleft palate di soft maupun hard palate dengan
bentuk U atau V.
SOAL NO 31
• Bayi laki-laki berusia 36 jam dibawa ke dokter karena
kuning. Bayi lahir dibidan secara spontan dan langsung
menangis. Bayi pulang 8 jam setelah dilahirkan atas
permintaan keluarga. Ibu tidak mengetahui kapan bayi
mulai kuning. Bayi menyusu sering dan kencing lebih dari 6
kali sehari. Tinja berwarna kehijauan. Anak saat ini tampak
letargis, lemah, tidak mau menetek. Pada pemeriksaan
tampak bayi kuning dari kepala hingga telapak
kaki/tangan (kramer 5). Pada pemeriksaan laboratorium
kadar bilirubin total 18,5 mg/dl, bilirubin indirek 17,9
mg/dl. Golongan darah ibu O+, dan golongan darah anak
A+. Bagaimana hasil laboratorium yang diharapkan sesuai
dengan diagnosa kasus di atas?
A.Penurunan kadar Hb
B.Jumlah retikulosit normal
C.Jumlah retikulosit menurun
D.Uji coombs tes direk dan indirek positif
E. Bentuk eritrosit abnormal pada ADT

• Jawaban: D. Uji coombs direk dan indirek
positif
• Adanya keluhan ikterik Kramer 5, disertai dengan peningkatan kadar
bilirubin indirek yang tinggi serta perbedaan golongan darah ibu dapat
disebabkan oleh anemia hemolitik karena inkompatibilitas golongan darah
Ibu dan anak. Dari golongan darah tenyata ditemukan pada ibu dan anak
sama sama memiliki rhesus positif, yang berarti tidak mungkin mengalami
inkompatibilitas Rh. Namun kondisi ibu memiliki golongan darah O
sedangkan anak bergolongan darah A, dapat sebabkan terjadinya
inkompatibilitas ABO karena IgG dari ibu yang dibuat akibat pajanan
aglutinogen A dari anak masuk melewati sawar darah plasenta ke dalam
sirkulasi darah anak dan menyebabkan hemolisis sel darah anak. Biasanya
ikterus pada kondisi ini berkembang cepat pada hari pertama. Pada
inkompatibilitas, pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah direct dan
indirect Coombs test menunjukkan hasil positif. Pada inkompatibilias ABO,
manifestasi anemia tidak begitu menonjol serta apusan darah tepi
memberikan gambaran banyak sferosit serta sedikit eritroblas. Namun
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis hemolytic disease of newborn
seperti pada kasus yang paling penting adalah Coomb test.
31. Ikterus Neonatorum serta
Inkompatibilitas Rh dan ABO
• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-
1
– Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh,
penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab
lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia
48 jam
– Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD.
Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh,
sferositosis.
Anemia Hemolisis Neonatus ec. Inkompatibilitas

P E N YA K I T KETERANGAN

Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap


Inkompatibilitas aglutinogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O, memproduksi
ABO antibodi IgG Anti-A/B terhadap gol. darah anak (golongan darah A
atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama

Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh– berarti tidak


memiliki antigen D. Hemolisis terjadi karena adanya antibodi ibu
dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap antigen Rh anak
Inkompatibilitas (berati anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn antibodi ibu
Rh terhadap antigen D anak yg berhasil melewati plasenta belum
banyak.
Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + antibodi
yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis
I N K O M PAT I B I L I TA S A B O I N K O M PAT I B I L I TA S R H
Tidak memerlukan proses sensitisasi Butuh proses sensitisasi oleh kehamilan RH +
oleh kehamilan pertama karena sdh pertama karena ibu blm punya antibodi.
terbentuk IgG. Dapat terjadi pada Terjadi pada anak ke dua atau lebih
anak 1
Inkompatibilitas ABO jarang sekali
Gejala biasanya lebih parah jika
menimbulkan hidrops fetalis dan
dibandingkan dengan inkompatibilotas ABO,
biasanya tidak separah
bahkan hingga hidrops fetalis
inkompatibilitas Rh
Risiko dan derajat keparahan meningkat
seiring dengan kehamilan janin Rh (+)
Risiko dan derajat keparahan tidak berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan
meningkat di anak selanjutnya bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa
meninggal in utero

apusan darah tepi memberikan pada inkompatibilitas Rh banyak ditemukan


gambaran banyak spherocyte dan eritoblas dan sedikit spherocyte
sedikit erythroblasts
Inkompatibilitas ABO
• Terjadi pada ibu dengan • Gejala yang timbul adalah
golongan darah O terhadap ikterik, anemia ringan, dan
janin dengan golongan peningkatan bilirubin
darah A atau B serum.
• Tidak terjadi pada ibu gol A • Lebih sering terjadi pada
dan B karena antibodi yg bayi dengan gol darah A
terbentuk adalah IgM yg tdk dibanding B, tetapi
melewati plasenta, hemolisis pada gol darah
sedangkan 1% ibu gol darah tipe B biasanya lebih berat.
O yang memiliki titer • Inkompatibilitas ABO jarang
antibody IgG terhadap sekali menimbulkan hidrops
antigen A dan B, bisa fetalis dan biasanya tidak
melewati plasenta separah inkompatibilitas Rh
Inkompatibilitas Rhesus

• Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan


eritrosit
• Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita
dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+),
sehingga membentuk antibodi Rh
– Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+),
terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian
aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran
normal
– Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah
Rh (+)
 

• Setelah eksposure pertama, ibu akan membentuk IgG maternal


terhadap antigen Rh yang bisa dengan bebas melewati plasenta
hingga membentuk kompleks antigen-antibodi dengan eritrosit
fetus dan akhirnya melisiskan eritrosit tersebut  fetal
alloimmune-induced hemolytic anemia.
• Ketika wanita gol darah Rh (-) tersensitisasi diperlukan waktu
kira-kira sebulan untuk membentuk antibodi Rh yg bisa
menandingi sirkulasi fetal.
• 90% kasus sensitisasi terjadi selama proses kelahiran  o.k itu
anak pertama Rh (+) tidak terpengaruhi karena waktu pajanan
eritrosit bayi ke ibu hanya sebentar, tidak bisa memproduksi
antibodi scr signifikan
Kenapa Inkompatibilitas ABO tidak separah
Inkompatibilitas Rh?

• Biasanya antibodi Anti-A dan Anti-B adalah IgM yang tidak


bisa melewati sawar darah plasenta
• Karena antigen A dan B diekspresikan secara luas pada
berbagai jaringan fetus, tidak hanya pada eritrosit, hanya
sebagian kecil antibodi ibu yang berikatan dengan eritrosit.
• Eritrosit fetus tampaknya lebih sedikit mengekspresikan
antigen permukaan A dan B dibanding orang dewasa,
sehingga reaksi imun antara antibody-antigen juga lebih
sedikit  hemolisis yang parah jarang ditemukan.
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas

• Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah direct


Coombs test.
• Pada inkompatibilitas ABO manifestasi yg lebih
dominan adalah hiperbilirubinemia, dibandingkan
anemia, dan apusan darah tepi memberikan
gambaran banyak spherocyte dan sedikit
erythroblasts, sedangkan pada inkompatibilitas Rh
banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
• Tatalaksana: fototerapi, transfusi tukar
Tatalaksana Umum Hemolytic Disease
of Neonates
• In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum
bilirubin levels, oral hydration, and phototherapy are the mainstays of
management.
• For infants who do not respond to these conventional measures, intravenous fluid
supplementation and/or exchange transfusion may be necessary to treat
hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in
reducing the need for exchange transfusion.
• Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervention to treat
and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effective and safe intervention. The
AAP has developed guidelines for the initiation and discontinuation of
phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age
of the patient, gestational age, and the presence or absence of risk factors for
hyperbilirubinemia including alloimmune HDN
• Hydration — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the
fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addition,
by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydration is
inadequate, intravenous hydration may be necessary.
• Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as
previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion
removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of antibody-
coated neonatal RBCs and unbound maternal antibody.
Tatalaksana Inkompatibilitas Rh
• Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensitisasi,
berikan human anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau
RhoGAM)
• Jika sang ibu sudah tersensitisasi, pemberian Rh IgG
tidak berguna
• Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompatibilitas,
transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar
bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya
reticulocyte count

http://emedicine.medscape.com/article/797150
SOAL NO 32
• Seorang bayi laki laki berumur 1 jam tampak
merintih dan letargi serta sulit menyusu. Bayi
lahir secara sectio cesaria dari ibu G2P1A0 usia
gestasi 40 munggu dengan berat lahir 5000 gr. Ibu
sebelumnya terdiagnosis diabetes mellitus sejak 4
bulan sebelum kehamilan. Pada saat lahir bayi
langsung menangis kuat dan tonus otot baik.
Pada pemeriksaan saat ini diketahui kadar gula
darah 20 mg/dl. Penatalaksanaan apa yang tepat
diberikan pada bayi?
A.Memberikan ASI
B.Memberikan air susu 50 ml
C.Memberikan D10% 10ml
D.Memberikan air gula 50 ml
E. Memberikan infus dengan GIR 6-8 mg/kgBB

• Jawaban: C. Memberikan D10% 10 ml
• Pada hipoglikemia neonatus dengan GDS <25mg/dL
atau dengan gejala seperti merintih, letargi serta sulit
menyusu, maka tatalaksana yang pertama kali
dilakukan adalah pemberian Dekstrosa 10% 2cc/kgBB.
Berat badan bayi tersebut adalah 5 kg, sehingga
diberikan D10% sebanyak 10 ml. Pemberian ASI tidak
dimungkinkan mengingat bayi sulit menyusu dan sudah
letargi serta biasanya diberikan pada bayi dengan GD
25-47 mg/dL. Pemberian infus D10% dengan GIR 6-8
mg/kgBB/menit dapat dilakukan untuk capai gula
darah maksimal, umumnya setelah bolus IV dilakukan
32. Hipoglikemia pada Neonatus
• Hipoglikemia adalah kondisi bayi • Insulin dalam aliran darah fetus
dengan kadar glukosa darah <45 tidak bergantung dari insulin ibu,
mg/dl (2.6 mmol/L), baik bergejala tetapi dihasilkan sendiri oleh
atau tidak
pankreas bayi
• Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat
menyebabkan palsi serebral,
• Pada Ibu DM terjadi hiperglikemia
retardasi mental, dan lain-lain dalam peredaran darah
• Etiologi uteroplasental bayi
– Peningkatan pemakaian glukosa mengatasinya melalui hiperplasia
(hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM, sel B langerhans yang
Besar masa kehamilan, eritroblastosis
fetalis
menghasilkan insulin  insulin
– Penurunan produksi/simpanan glukosa: tinggi
Prematur, IUGR, asupan tidak adekuat
• Begitu lahir, aliran glukosa yang
– Peningkatan pemakaian glukosa: stres
perinatal (sepsis, syok, asfiksia, menyebabkan hiperglikemia tidak
hipotermia), defek metabolisme ada, sedangkan insulin bayi tetap
karbohidrat, defisiensi endokrin, dsb
tinggi  hipoglikemia
Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
GESTATIONAL DIABETES PATHOPHYSIOLOGY

Fetoplacental
Normal Insulin hormones
pregnancy resistance (GH, HCG, HPL, Cortisol,
progesterone, prolactin)

Compensatory mechanism Increased fat deposit


Beta cell function  hyperinsulinemia Increased insulin resistance

Compensated Not compensated


Normal GDM
pregnancy
Hipoglikemia Neonatus
Diagnosis:
– Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apatis, sulit menyusui,
apneu, sianosis, menangis lemah/melengking
– PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir
– Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi
urin, elektrolit darah

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Tatalaksana

Terapi Darurat:

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Tatalaksana
SOAL NO 33
• Bayi perempuan berusia 2 minggu dibawa ke
dokter karena tampak lemas, lidah putih, malas
menyusu, serta mulut susah membuka. Ibu
mengatakan badan anak tampak seperti kaku
mirip kejang bila dipicu sentuhan serta anak
tampak menangis kesakitan. Pada tali pusat
tampak cairan busuk dan tampak kemerahan.
Bayi sebelumnya riwayat lahir di rumah dibantu
dukun. Ibu tidak rutin ANC sebelumnya. Apakah
kemungkinan diagnosis utama pasien pada
kondisi diatas?
A.Candidiasis oris
B.Tetanus neonatorum
C.Opistotonus
D.Rhisus sardonicus
E.Trismus

• Jawaban: B. Tetanus neonatorum


• Pada bayi yang tampak lemas, malas menyusu, mulut sulit terbuka
(trismus), serta badan kaku (spasme) dapat meningkatkan
kecurigaan pada kondisi tetanus neonatorum. Hal ini didukng
dengan adanya faktor resiko persalinan di dukun dan riwayat ANC
tidak rutin (resiko tidak peroleh vaksin TT serta proses persalinan
higienitas dipertanyakan). Adanya tali pusat yang terinfeksi
mendukung penjelasan diatas bahwa kasus pasien ini adalah
tetanus neonatorum. Opistotonus adalam kondisi yang bisa
ditemukan pada tetanus neonatorum dimana aka nada sela antara
punggung bayi dengan alas saat bayi ditidurkan). Rhisus sardonicus
juga bisa ditemukan pada tetanus, dimana terdapat spasme pada
otot wajah. Lidah putih bisa saja arahkan pada kondisi kandidiasis
oral, namun bukan diagnosis utama keluhan yang membawa pasien
ke dokter.
33. Tetanus neonatorum

• Salah satu infeksi yang sering terjadi pada


neonatus : tetanus neonatorum (sebabkan
4.2% kematian neonatus dini, 9.5%
kematian neonatus lambat)
• Berhubungan dengan faktor resiko:
– Persalinan yang tidak bersih dan aman
(persalinan kurang higienis atau ditolong tenaga
nonmedis tidak terlatih)
– Perawatan tali pusat tidak higienus atau
penambahan zat tertentu pada tali pusat
(ramuan tradisional dan lainnya)
Manifestasi klinis

• Bayi bisa malas minum dan ada riwayat faktor resiko dari anamnesis serta bisa
pula ditemukan tali pusat kotor dan berbau dari pemeriksaan
• Spasme pada tetanus neonatorum hampir menyerupai kejang, namun
gambaran klinis bisa dibedakan dimana pada tetanus neonatorum:
- Kontraksi otot tidak terkendali paling lama beberapa detik sampai menit
- Spasme sering meski sadar, terutama bila dipicu sentuhan, suara, atau cahaya
- Bayi tetap sadar meski menangis kesakitan selama ada spasme otot berulang
- Trismus (kaku rahang, mulut tidak bisa dibuka)
- Bibir mencucu seperti mulut ikan (carper mouth)
- Perut teraba keras
- Opistotonus (ada sela antara punggung bayi dengan alas saat bayi ditidurkan)
- Gerakan tangan seperti meninju dan mengepal (spastik anggota gerak  boxing
position)
PPM IDAI 2009
Pemeriksaan penunjang
• Umumnya penegakkan diagnois bisa hanya dari
klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) yang
cukup khas
• Bila meragukan bisa dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk membedakan dengan diagnosis
banding sepsis neonatal atau meningitis:
– Pungsi lumbal
– Pemeriksaan darah rutin
– Kultur darah dan sensitivitas antibiotik

PPM IDAI 2009


Penanganan tetanus neonatorum (1)
• Pasang jalur IV dan beri cairan dosis rumatan
• Diazepam 10 mg/kgBB/hari dengan drip selama 24 jam atau bolus IV tiap
3-6 jam (dosis 0.1-0.2 mg/kgBB per kali beri), maksimal 40 mg/kgBB/hari
– Hati hati depresi napas! Kalau RR<30x/menit  stop diazepam meski bayi
spasme (terutama bila tidak ada ventilator)
– Bila pasien henti napas selama spasme atau sianosis sentral setelah spasme
 O2 kecepatan aliran sedang  belum napas  resusitasi dan rujuk ke
fasilitas NICU
– Kondisi khusus bisa gunakan muscle relaxant (vecuronium) dengan
tunjangan ventilasi mekanik untuk kontrol spasme
– Bila tidak ada akses IV  pasang OGT dan beri diazepam melalui OGT (dosis
sama dengan IV, bila perlu tambahan dosis 10 mg/kgBB tiap 6 jam)
– Setelah 5-7 hari dosis diazepam dikurangi bertahap 5-10 mg/hari dan
diberikan melalui orogastric tube

PPM IDAI 2009


http://www.ichrc.org/3123-tetanus
Penanganan tetanus neonatorum (2)
• Human tetanus immunoglobulin 500 U IM bila tersedia atau tetanus
antitoksin (equine serum) 5000 U IM
• Tetanus toksoid 0.5 ml IM pada tempat berbeda dengan pemberian
antitoksin
• Antibiotik
– 1st line: Metronidazole 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam
selama 7-10 hari
– 2nd line: Penisilin prokain 100.000 U/kgBB IV dosis tunggal selama 7-10
hari
• Bila ada kemerahan atau bengkak kulit sekitar tali pusat atau keluar
nanah dari tali pusat atau bau busuk  beri penanganan infeksi
lokal tali pusat
• Beri ibu imunisasi TT 0.5 ml untuk lindungi ibu dan bayi pada
kehamilan mendatang
Tatalaksana tetanus neonatorum (3)
• Ruang isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan
serangan kejang.
• Berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat
• bersihkan jalan nafas secara teratur
• Cairan infus dan diet per sonde
• Monitoring kesadaran, TTV, trismus, asupan / keluaran,
elektrolit
• Konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
• Langkah promotif/preventif:
– Pelaksanaan Pelayanan Neonatal Esensial, lakukan pemotongan tali
pusat secara steril
– Tidak mengoles atau menabur sesuatu yang tidak higienis pada tali
pusat
– Bila sudah terjadi infeksi tali pusat, berikan pengobatan yang tepat
dengan antibiotik lokal dan sistemik jika diperlukan
Pencegahan: TT Saat ANC
• Didahului dengan skrining untuk mengetahui jumlah dosis dan status) imunisasi TT
yang telah diperoleh selama hidupnya

• Pemberian tidak ada interval maks, hanya terdapat interval min antar dosis TT

• Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, berikan
dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


SOAL NO 34
• Bayi laki laki berusia 7 hari datang dibawa bidan ke RS
karena kejang di rumah. Bayi lahir spontan di dukun
beranak pada usia gestasi 32 minggu, dan sudah
diperbolehkan pulang 1 hari yang lalu. Riwayat
benturan sebelumnya disangkal. Pasien sudah
diberikan suntik vitamin K oleh bidan ketika
melakukan kunjungan sehari setelah bayi dilahirkan.
Muntah pada bayi disangkal. Saat lahir berat badan
sekitar 1.500 gram. Ibu pasien mengaku ASI tidak
keluar banyak, hanya sedikit-sedikit. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan anak lemah, ubun-ubun cekung,
napas 60 x/menit. BB saat ditimbang tanpa popok
adalah 1.250 gram. Penyebab bayi kejang adalah…
A.Hiponatremia
B.Hipokalemia
C.Hipernatremia
D.Hiperkalsemia
E. Hipoglikemia

• Jawaban: C. Hipernatremia
• Bayi baru lahir dengan berat rendah memiliki resiko untuk
mengalami gangguan elektrolit. Pada bayi dengan berat
1.000 - 1.500 gr, jumlah cairan yang dibutuhkan meningkat
akibat peningkatan insensible water loss dan berkurangnya
berat badan. Pada kasus ini anak memiliki berat badan
kurang dan minum ASI dalam jumlah yang tidak
mencukupi, sehingga terjadilah dehidrasi dan akibatnya
terjadi hipernatremia. Hal ini juga didukung dengan adanya
penurunan BB> 10% dari BB lahir. Gejala yang muncul pada
hipernatremia bervariasi mulai dari iritabilitas, kejang,
hingga letargi. Pada kasus ini hipoglikemia sudah dapat
disingkirkan karena anak tidak memiliki resiko hipoglikemia
yaitu berat badan yang besar dan lahir dari ibu yang
diabetes.
34. Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB)

Stadium Characteristic
Early-onset VKDB usually occurs during first 24 hours after birth. Baby born of
mother who has been on certain drugs: anticonvulsant,
antituberculous drug, antibiotics, VK antagonist anticoagulant.
Classic VKDB Occurs during 2 to 7 day of life when the prothrombin complex
is low. It was found in babies who do not received VKP or
VK supplemented.
Bleeding commonly occurs in the umbilicus, gastrointestinal
(GI) tract (ie, melena), skin, nose, surgical sites (ie, circumcision)
and, uncommonly, in the brain.
Late-onset VKDB / Late-onset vitamin K deficiency bleeding usually occurs
APCD (acquired between age 2-12 weeks; however, it can be seen as long as 6
prothrombin months after birth. This disease is most common in breastfed
complex disorder) infants who did not receive vitamin K prophylaxis at birth.
More than half of these infants present with acute intracranial
hemorrhages
Acquired Prothrombine Complex Deficiency
(APCD) dengan Perdarahan Intrakranial
• Acquired Prothrombine Complex Deficiency (APCD)
dengan Perdarahan Intrakranial merupakan
kelanjutan dari VKDB (late onset VKDB)
• Etiologinya adalah defisiensi vitamin K yang dialami
oleh bayi karena : (1) Rendahnya kadar vitamin K dalam
plasma dan cadangan di hati, (2) Rendahnya kadar
vitamin K dalam ASI, (3) Tidak mendapat injeksi vitamin
K1 pada saat baru lahir
• Mulai terjadi 8 hari-6 bulan, insidensi tertinggi 3-8
minggu
• 80-90% bermanifestasi menjadi perdarahan
intrakranial

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


APCD
• Diagnosis • Tatalaksana APCD
– Anamnesis : Bayi kecil yang – Pada bayi dengan kejang fokal, pucat,
sebelumnya sehat, tiba-tiba dan UUB membonjol, berikan
tampak pucat, malas minum, tatalaksana APCD sampai terbukti
bukan
lemah. Tidak mendapat vitamin K
saat lahir, konsumsi ASI, kejang – Vitamin K1 1 mg IM selama 3 hari
berturut-turut
fokal
– Transfusi FFP 10-15 ml/kgBB selama 3
– PF : Pucat tanpa perdarahan yang hari berturut-turut
nyata. Tanda peningkatan tekanan – Transfusi PRC sesuai Hb
intrakranial (UUB membonjol, – Tatalaksana kejang dan peningkatan
penurunan kesadaran, papil tekanan intrakranial (Manitol 0,5-1
edema), defisit neurologis fokal g/kgBB/kali atau furosemid 1
– Pemeriksaan Penunjang : Anemia mg/kgBB/kali)
dengan trombosit normal, PT – Konsultasi bedah syaraf
memanjang, APTT • Pencegahan : Injeksi Vitamin KI 1 mg
normal/memanjang. USG/CT Scan IM pada semua bayi baru lahir
kepala : perdarahan intrakranial
– Pada bayi dengan kejang fokal,
pucat, disertai UUB membonjol
harus difikirkan APCD sampai
terbukti bukan
Buku PPM Anak IDAI
SOAL NO 35
• Bayi perempuan berusia 8 bulan dibawa oleh ibunya
ke IGD karena sesak napas sejak 3 hari yang lalu,
stridor saat inspirasi dan retraksi terutama bila posisi
berbaring. Sesak berkurang bila anak tidur miring atau
memakai bantal. Tidak ada demam dialami serta tidak
ada gangguan makan/minum maupun tidak ada
riwayat tersedak sebelumnya. Tidak teraba massa di
sekitar leher. Pemeriksaan radiologis soft tissue leher
memperlihatkan penyempitan di daerah laring.
Keluhan seperti ini dirasakan sejak 2 bulan yang lalu,
tetapi sembuh sendiri. Pemeriksaan penunjang
selanjutnya untuk memastikan diagnosis adalah?
A.Naso-endoskopi
B.Rhinoskopi posterior
C.Rontgen thorax AP dan Lateral
D.Laringoskopi
E. Esofagoskopi

• Jawaban: D. Laringoskopi
• Keluhan sesak napas dan stridor kronik (karena
sudah timbul dari 2 bulan lalu) yang berkurang
bila anak tidur miring atau memakai bantal yang
timbul saat berbaring dan berkurang jika posisi
miring merupakan gejala laringomalasia yang
terjadi akibat kelemahan pada anatomi saluran
napas atas. Pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan adalah laringoskopi untuk melihat
bentuk epiglottis. Pada laringomalasia epiglottis
berbentuk seperti omega.
35. Laringomalasia
• Laringomalasia adalah kelainan kongenital dimana
epiglotis lemah
• Akibat epiglotis yang jatuh, akan menimbulkan stridor
kronik, yang diperparah dengan gravitasi (berbaring).
• Pada pemeriksaan dapat terlihat laring berbentuk
omega
• Laringomalasia biasanya terjadi pada anak dibawah 2
tahun, dimulai dari usia 4-6 minggu, memuncak pada
usia 6 bulan dan menghilang di usia 2 tahun.
• Sebagian besar kasus tidak memerlukan tatalaksana.
Laringoskopi
• Indirect laryngoscopy uses mirrors, glass prisms, fiberoptic
glass rods, or microchip cameras to view the larynx and
hypopharynx with the patient’s head and neck in a neutral
position. The image obtained from indirect laryngoscopy is
viewed after it has been reflected and/ or transmitted by
one of the previously mentioned systems.
• Direct laryngoscopy, on the other hand, is performed with
the neck flexed forward while the head is extended on the
atlanto-occipital joint. The tongue is displaced either
laterally or anteriorly. This position affords a direct line-of-
sight for visualization through an open mouth to the larynx.
SOAL NO 36
• Pasien laki-laki berusia 5 tahun memiliki
benjolan di rahang disadari sejak 1 minggu
terakhir. Pada pemeriksaan teraba adanya
massa pada regio mandibula, submandibula,
dan maxilla. Dokter memutuskan untuk
melakukan FNAB. Kemudian sediaan diperiksa
di bawah mikroskop dan diperoleh gambaran
pola starry sky, limfosit ukuran sedang
dengan mitosis cukup. Apakah diagnosis yang
tepat pada kasus ini?
A. Ameloblastoma
B. Neuroblastoma
C. Burkitt’s lymphoma
D. Hodgkin’s lymphoma
E. Limfadenitis tb

• Jawaban: C. Burkitt’s Lymphoma


• Adanya pembesaran massa di bagian mandibula, submandibula,
dan maksila menandakan adanya limfadenopati. Pada gambaran
FNAB didapatkan limfosit yang bermitosis dan gambaran starry sky.
Hal ini sesuai dengan gambaran limfoma burkitt. Limfoma burkit
merupakan salah satu jenis limfoma non-hodgkin yang berasal dari
sel B matur yang bersifat highly agressive. Limfoma burkit endemik
lebih banyak berlokasi di sekitar maksila dan mandibula
dibandingkan dengan limfoma burkit sporadik. Limfoma hodgkin
memiliki gambaran histologis patognomonik berupa sel Reed-
Stenberg. Pada ameloblastoma maka aka nada benjolan keras tanpa
nyeri di area mendibula yang sebenarnya merupakan tumor jinak
odontogenic dari lamina dental, umumnya pada area molar 3. Pada
neuroblastoma maka akan ada massa noduler dari sel saraf imatur
diberbagai bagian tubuh, paling sering muncul di area abdomen.
36. Burkitt lymphoma
• Bulky, fleshy tumors, ± necrotic areas
• Peripheral lymphadenopathy is rare; Bone
marrow involvement late, leukemia rare
• Responsive to chemotherapy (especially African),
50% relapse
• Strong association with EBV.
• Another important feature of BL is that nearly
100% of nuclei of the neoplastic cells are Ki-67-
positive. Cytoplasmic immunoglobulin may be
present.
• Differential diagnosis: Diffuse large B cell
lymphoma, B cell lymphoma unclassified. 347
348
Burkitt lymphoma is a high-grade malignant lymphoma composed of germinal
center B cells which can present in three clinical settings:

1. Endemic. This occurs in the equatorial strip of Africa and is the most
common form of childhood malignancy in this area. The patients
characteristically present with jaw and orbital lesions. Involvement of
the gastrointestinal tract, ovaries, kidney, and breast are also common.

2. Sporadic. This is seen throughout the world. It affects mainly children


and adolescents, and has a greater tendency for involvement of the
abdominal cavity than the endemic form.

3. Immunodeficiency-associated. This is seen primarily in association with


HIV infection and often occurs as the initial manifestation of the disease.

349
Burkitt’s Lymphoma
• The tumor cells are monotonous small (10-25μm) round cells. The nuclei
are round or oval and have several prominent basophilic nucleoli. The
chromatin is coarse and the nuclear membrane is rather thick.
• The cytoplasm is easily identifiable; Mitoses are numerous, and a
prominent starry sky pattern is the rule, although by no means
pathognomonic.
• In well-fixed material, the cytoplasm of individual cells ‘squares off’,
forming acute angles in which the membranes of adjacent cells abut on
each other.
• Occasionally, the tumor is accompanied by a florid granulomatous
reaction.
• Numerous fat vacuoles in cytoplasm (Oil Red O positive)

350
Limfoma Hodgkin
Anamnesis Pemeriksaan Fisik
• Pembengkakan yang tidak nyeri • Limfadenopati, dapat sebagian
dari 1 atau lebih kelenjar getah ataupun generalisata dengan
bening superfisial. Pada 60-80% predileksi terutama daerah
kasus mengenai kelenjar getah servikal, yang tidak terasa nyeri,
bening servikal, pada 60% kasus diskret, elastik, dan biasanya
berhubungan dengan keterlibatan kenyal
mediastinum • Splenomegali
• demam hilang timbul (intermiten) • Gejala-gejala penyakit paru (bila
• Berkeringat malam yang terkena kelenjar getah
• Anoreksia, penurunan berat bening mediastinum dan hilus)
badan • Gejala-gejala penyakit susunan
• Rasa lelah saraf (biasanya muncul lambat).
DD: Ameloblastoma
• Tumor jinak odontogenic yang
berasal dari lamina dental
pada daerah mandibula
• Gejala klinis khas: benjolan
keras tanpa nyeri di daerah
mandibula
• Predileksi terutama pada area
molar 3
• Pada beberapa kasus dapat
juga berada di maxilla
Neuroblastoma
• Neuroblastoma adalah tumor • Gejala dan tanda tergantung pada lokasi tumor
yang berasal dari jaringan neural primer dan penyebarannya.
crest dan dapat mengenai
– Pembesaran perut. Tumor di daerah abdomen,
susunan saraf simpatis sepanjang
pelvis atau mediastinum, dan biasanya
aksis kraniospinal.
Neuroblastoma melewati garis tengah.
• Neuroblastoma merupakan – Pada penyebaran limfogenik akan ditemukan
kanker ekstrakranial yang paling pembesaran kelenjar getah bening
sering ditemukan pada anak,
mencakup 8-10% dari seluruh – Cari penyebaran hematogenik ke sumsum
kanker pada anak. tulang, tulang, dan hati akan ditemukan pucat,
perdarahan, nyeri tulang, hepatomegali, dan
• Angka kejadian sekitar 1,1 per
splenomegali.
10.000 anak di bawah usia 15
tahun – Tumor yang berasal dari ganglia simpatis
paraspinal dapat menimbulkan kompresi spinal
• Etiologi belum diketahui, diduga
berhubungan dengan faktor – Bila tumor menyebar ke daerah leher akan
lingkungan, ras dan genetik terjadi sindrom Horner (miosis, ptosis, dan
anhidrosis unilateral).
– Bila infiltrasi retrobulbar dan orbital maka akan
ditemukan ekimosis periorbital dan proptosis.
SOAL NO 37
• Pasien anak laki – laki berusia 4 tahun datang
dibawa ibunya ke RS dengan keluhan timbul
bercak-bercak merah pada kulitnya. Awalnya
pasien demam dan batuk pilek sekitar 10 hari
yang lalu. Pemeriksaan Fisik anak tampak CM, TD
100/70, nadi 94x/menit, nafas 20x/menit, suhu
afebris, petekie dan purpura pada keempat
ekstremitas. Pada pemeriksaan laboratorium
rutin didapatkan Hb 11,4 g/dl, leukosit
6300/mm3, trombosit 10.000/mm3. Bagaimana
pathogenesis terjadinya kasus diatas?
A. Penurunan secara X linked resesif sebabkan kurangnya
faktor VIII
B. Aktivasi sistem koagulasi darah berlebih sebabkan
gangguan organ
C. Berkurangnya jaringan hemopoietik
D. Terdapat autoantibodi terhadap GP IIB/IIIA
E. Pewarisan secara autosomal dominan sebabkan
penurunan produksi VWF

• Jawaban: D. Terdapat autoantibodi terhadap GP


IIB/IIIA
• Adanya temuan petekie dan purpura disertai trombositopenia dengan
suhu tubuh yang normal dapat dicurigai sebagai gejala ITP. ITP akut pada
anak dapat didahului dengan infeksi virus sebelumnya. ITP umumnya
merupakan diagnosis eksklusi. Pada opsi lainnya:
• Opsi A mengarahkan pada Hemofilia, biasanya akan ada memar tanpa
sebab jelas karena gangguan faktor pemberkuan darah (hemofilia A
karena faktor ViII kurang serta hemofilia B karena faktor IX kurang),
trombosit bisa normal, namun ada pemanjangan aPTT
• Opsi B yakni DIC atau disseminated intravascular coagulation maka
terdapat aktivasi sistemik koagulasi darah sehingga terbentuk thrombus
pada berbagai organ hingga disfungsi organ, bisa juga disertai sedikitnya
trombosit dan faktor pembekuan darah (karena consumption meningkat)
• Opsi D merupakan Anemia aplastic umumnya akan ada penurunan sel
darah merah, leukosit, serta trombosit akibat berkurangnya jaringan
hemopoietik
• Opsi E merupakan Von Willebrand Disease dimana merupakan defisiensi
protein vWF, yang tidak menggangu jumlah trombosit
37. Immune thrombocytopenic purpura
• Immune thrombocytopenic purpura (ITP, yang
disebut juga autoimmune thrombocytopenic
purpura, morbus Wirlhof, atau purpura
hemorrhagica, merupakan kelainan perdarahan
akibat destruksi prematur trombosit yang meningkat
akibat autoantibodi yang mengikat antigen
trombosit.
• Umumnya terjadi pada anak usia 2-4 tahun, dengan
insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun.
• Patofisiologi: Peningkatan destruksi platelet di
perifer, biasanya pasien memiliki antibodi yang
spesifik terhadap glikoprotein membran platelet (IgG
autoantibodi pada permukaan platelet)
Dr. David Gómez Almaguer
Jefe Servicio de Hematologìa Hospital Universitario UANL
ITP: Cardinal Features
• Trombositopenia <100,000/mm3
• Purpura dan perdarahan membran mukosa
• Diagnosis of exclusion
• 2 jenis gambaran klinis
– ITP akut
• Biasanya didahului oleh infeksi virus dan menghilang dalam 3 bulan.
– ITP kronik
• Gejala biasanya mudah memar atau perdarahan ringan yang
berlangsung selama 6 bulan
• >90% kasus anak merupakan bentuk akut
• Komplikasi yang paling serius: perdarahan. Perdarahan
intrakranial penyebab kematian akibat ITP yg paling sering
(1-2% dr kasus ITP)
Anamnesis
• Umumnya trombositopenia terjadi 1-3 minggu setelah infeksi virus,
atau bakteri (infeksi saluran napas atas, saluran cerna), bisa juga
terjadi setelah vaksinasi rubella, rubeola, varisela, atau setelah
vaksinasi dengan virus hidup.
• Perdarahan yang terjadi tergantung jumlah trombosit didalam
darah. Diawali dengan perdarahan kulit berupa petekie hingga
lebam.
• Obat-obatan, misalnya heparin, sulfonamid, kuinidin/kuinin, aspirin
dapat memicu terjadinya kekambuhan.
• Obat yang mengandung salisilat dapat meningkatkan risiko
timbulnya perdarahan.
• Pemeriksaan fisis
– Pada umumnya bentuk perdarahannya ialah purpura pada kulit
dan mukosa (hidung, gusi, saluran cerna dan traktus urogenital).
– Pembesaran limpa terjadi pada 10-20 % kasus.
• Pemeriksaan penunjang
• Darah tepi :
– Morfologi eritrosit, leukosit, dan retikulosit biasanya normal.
– Hemoglobin, indeks eritrosit dan jumlah leukosit normal.
– Anemia bisa terjadi bila ada perdarahan spontan yang banyak
– Trombositopenia. Besar trombosit umumnya normal, hanya
kadang ditemui bentuk trombosit yang lebih besar (giant
plalets),
– Masa perdarahan memanjang (Bleeding Time)
• Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang:
– Tidak perlu bila gambaran klinis dan laboratoris klasik.
– Dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang bila gagal terapi
selama 3-6 bulan, atau pada pemeriksaan fisik ditemukan
adanya pembesaran hepar/ lien/kelenjar getah bening dan pada
laboratorium ditemukan bisitopenia.
Punksi sumsum tulang
• Pada punksi sumsum tulang/Bone Marrow
Puncture (BMP) akan ditemukan jumlah
megakariosit yang normal atau bahkan
cenderung menurun
• Karena meningkatnya destruksi
trombositmegakariosit dapat tambak besar
dan imatur
Tatalaksana
• Indikasi rawat inap
– Pada penderita yang sudah tegak diagnosisnya, perlu dilakukan
rawat inap bila:
• Jumlah hitung trombosit <20.000/μL
• Perdarahan berat
• Kecurigaan/pasti perdarahan intrakranial
• Umur <3 tahun
• Bila tidak dirawat inap, penderita diwajibkan untuk
tidak/menghindari obat anti agregasi (seperti salisilat dan
lain sebagainya) dan olah raga yang traumatis (kepala).
• ITP bersifat akut dan 90 % sembuh spontan, hanya 5-10%
menjadi kronis karena itu keputusan apakah perlu diberi
pengobatan masih diperdebatkan.
Medikamentosa
• Pengobatan dengan kortikosteroid diberikan bila:
– Perdarahan mukosa dengan jumlah trombosit <20.000/ μL
– Perdarahan ringan dengan jumlah trombosit <10.000/ μL
– Steroid yang biasa digunakan ialah prednison, dosis 1-2 mg/kgBB/hari,
dievaluasi
– setelah pengobatan 1-2 minggu. Bila responsif, dosis diturunkan pelahan-
lahan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan sekitar 30.000 -
50.000/μL.
– Prednison dapat juga diberikan dengan dosis tinggi yaitu 4 mg/kgBB/hari
selama 4 hari.
– Bila tidak respons, pengobatan yang diberikan hanya suportif.
– Pengembalian kadar trombosit akan terjadi perlahan-lahan dalam waktu 2-4
minggu dan paling lama 6 bulan.
– Pada ITP dengan kadar trombosit >30.000/μL dan tidak memiliki keluhan
umumnya tidak akan diberikan terapi, hanya diobservasi saja.
• Pemberian suspensi trombosit dilakukan bila :
– Jumlah trombosit <20.000/ μL dengan perdarahan
mukosa berulang (epistaksis)
– Perdarahan retina
– Perdarahan berat (epistaksis yang memerlukan
tampon, hematuria, perdarahan organ dalam)
– Jumlah trombosit < 50.000/ul dengan
kecurigaan/pasti perdarahan intra kranial
– Menjalani operasi, dengan jumlah trombosit
<150.000/ μL.
SOAL NO 38
• Pasien anak usia 1 tahun datang ke dokter dibawa
kedua orangtuanya karena keluhan tampak pucat dan
lemas sejak 1 minggu terakhir. Tidak ada demam,
namun perut diperhatikan tampak membesar. Anak
juga dirasakan tampak kuning. Pada pemeriksaan fisik
tampak konjungtiva anemis, sklera ikterik, dan
terdapat splenomegali. Pemeriksaan lab Hb 7,
Leukosit 6900, Trombosit 184000. MCV : 70, MCH : 24,
MCHC : 18. Serum iron dan TIBC normal. Coomb tes (–
). Apakah temuan pada pemeriksaan Hb
elektroforesis yang mungkin ditemukan pada kasus
diatas?
A.HbA2 menurun, HbF terdeteksi
B.HbF normal, HbA2 meningkat
C.HbF meningkat, HbA2 meningkat
D.Penurunan HbA2
E. HbF menurun, HbA2 menurun

• Jawaban: C. HbF meningkat, HbA2 meningkat


• Keluhan pucat, lemas, perut membesar disertai adanya
splenomegaly dapat meningkatkan pada kecurigaan adanya anemia.
Adanya anemia mikrositik hipokrom dengan serum iron dan TIBC
normal menegakkan diagnosis thalassemia pada anak. Pada anemia
defisiensi besi umumnya akan ada penurunan serum iron dan
peningkatan TIBC. Coombs test negative menyingkirkan kondisi
anemia hemolitik autoimun. Pada anemia aplastic akan ditemukan
adanya trombositopenia dan leukopenia menyertai anemia. Pada
anemia megaloblastic maka MCV akan meningkat. Sehingga dapat
mulai dicurigai adanya kondisi thalassemia pada pasien. Pada
thalassemia maka dapat ditemukan HbF meningkat dan HbA2
meningkat, yang mengarah pada thalassemia beta. Sementara
anemia defisiensi besi yang tadi disingkirkan, andaikan Hb
elektroforesis akan keluar hasil normal atau penurunan HbA2. Pada
kondisi HbS terdeteksi dan HbA lebih banyak dari HbS mengarah
pada sickle cell trait atau sickle alpha thalassemia.
38. THALASSEMIA
• Penyakit genetik dengan supresi produksi hemoglobin karena defek pada
sintesis rantai globin (pada orang dewasa rantai globin terdiri dari
komponen alfa dan beta)
• Diturunkan secara autosomal resesif
• Secara fenotip: mayor (transfusion dependent), intermedia (gejala klinis
ringan, jarang butuh transfusi), minor/trait (asimtomatik)
• Secara genotip:
– Thalassemia beta (kromosom 11, kelainan berupa mutasi)  yang mayoritas
ditemukan di Indonesia
• Tergantung tipe mutasi, bervariasi antara ringan (++, +) ke berat (0)
– Thalassemia alfa (Kromosom 16, kelainan berupa delesi)
• -thal 2 /silent carrier state: delesi 1 gen
• -thal 1 / -thal carrier: delesi 2 gen: anemia ringan
• Penyakit HbH: delesi 3 gen: anemia hemolitik sedang, splenomegali
• Hydrops foetalis / Hb Barts: delesi 4 gen, mati dalam kandungan
Wahidiyat PA. Thalassemia and hemoglobinopathy.
Klasifikasi
α-Thalassemia syndromes
Number of α-Globin Syndrome Hematocrit MCV
Genes Transcribed
4 Normal Normal Normal
3 Silent carrier Normal Normal
2 Thalassemia minor (or Trait) 28–40% 60–75 fL
1 Hemoglobin H disease 22–32% 60–70 fL
0 Hydrops fetalis

Β-Thalassemia syndromes
α-Globin Genes Hb A Hb A2 Hb F Transfusions
Transcribed
Normal Homozygous β 97–99% 1–3% <1%

Thalassemia minor Heterozygous β0 80–95% 4–8% 1–5% None

Heterozygous β++ 80–95% 4–8% 1–5% None

Thalassemia Homozygous β++ 0–30% 0–10% 6–100% Occassional


intermedia (mild)

Thalassemia major Homozygous β0 0% 4–10% 90–96% Dependent

Thalassemia major Homozygous β++ 0–10% 4–10% 90–96% Dependent

Papadakis MA, McPhee SJ. Current Medical Diangnosis and Treatment.2014. New York : McGraw-Hill Companies
http://elcaminogmi.dnadirect.com/grc
/patient-site/alpha-thalassemia-

Pewarisan Genetik Thalassemia-β


carrier-screening/genetics-of-alpha-
thalassemia.html?6AC396EC1151986D
584C6C02B56BBCC0

Penurunan genetik
thalassemia beta jika kedua
orang tua merupakan
thalassemia trait

NB: need
two genes
(one from
each parent)
to make
enough beta
globin
protein
chains.
ANAMNESIS + TEMUAN KLINIS

• Pucat kronik
• Hepatosplenomegali
• Ikterik
• Perubahan penulangan
• Perubahan bentuk wajah
 facies cooley
• Hiperpigmentasi kulit
akibat penimbunan besi
• Riwayat keluarga +
• Riwayat transfusi
• Ruang traube terisi
• Osteoporosis
• “Hair on end” pd foto
kepala
Diagnosis thalassemia
(cont’d)
• Pemeriksaan darah
– CBC: Hb , MCV , MCH , MCHC , Rt ,
RDW  
– Apusan darah: mikrositik, hipokrom,
anisositosis, poikilositosis, sel target,
fragmented cell, normoblas +, nucleated
RBC, howell-Jelly body, basophilic
stippling
– Hiperbilirubinemia
– Tes Fungsi hati abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Tes fungsi tiroid abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Hiperglikemia (late findings krn overload
Fe)

• Analisis Hb peripheral blood smear of patient with homozygous beta

– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA, thalassemia with target cells, hypochromia, Howell-Jolly
bodies, thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from
Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb Stanley Schrier@ 2001 in ASH Image Bank 2001;
doi:10.1182/ashimagebank-2001-100208)
kualitatif
Tata laksana thalassemia
• Transfusi darah, indikasi pertama • Splenektomi  jika memenuhi
kali jika: kriteria
– Hb<7 g/dL yg diperiksa 2x • Splenomegali masif
berurutan dengan jarak 2 minggu • Kebutuhan transfusi PRC > 200-220
– Hb>7 disertai gejala klinis spt facies ml/kg/tahun
cooley, gangguan tumbuh kembang
• Transplantasi (sumsum tulang, darah
• Medikamentosa
umbilikal)
– Asam folat (penting dalam
pembentukan sel) 2x 1mg/hari • Fetal hemoglobin inducer
– Kelasi besi  menurunkan kadar (meningkatkan Hgb F yg membawa
Fe bebas dan me<<< deposit O2 lebih baik dari Hgb A2)
hemosiderin). Dilakukan Jika
Ferritin level > 1000 ng/ul, atau 10- • Terapi gen
20xtransfusi, atau menerima 5 L
darah.
– Vitamin E (antioksidan karena
banyak pemecahan eritrosit 
stress oksidatif >>)
– Vitamin C (dosis rendah, pada
terapi dengan deferoxamin)
• Nutrisi: kurangi asupan besi
• Support psikososial
Indikasi transfusi darah pada
Thalasemia
KOMPLIKASI THALASSEMIA
• Infection
• chronic anemia  iron overload  deposisi iron pada miokardium 
Kardiomiopati  bermanifestasi sebagai CHF
• Endokrinopati
– Impaired carbohydrate metabolism
– Pertumbuhan : short stature, slow growth rates
– Delayed puberty & hypogonadism  infertility
– Hypothyroidism & hypoparathyroidism
– osteoporosis
• Liver:
– cirrhosis due to infection and iron load
– Bleeding: disturbances of coagulation factors
SOAL NO 39
• Seorang anak laki-laki usia 13 tahun datang ke RS
dengan keluhan lemas dan pucat sejak 1 minggu
yang lalu. Terdapat perdarahan di bawah kulit.
Anak tampak anemis, terdapat ekimosis. Pada
pemeriksaan fisik hepar dan lien teraba
membesar. Pemeriksaan lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium Hb 7 gr/dL,
trombosit 40.000, leukosit 120.000. Pada
pemeriksaan hapusan darah tepi terdapat
limfoblast homogen dengan nucleus regular,
serta kromatin homogen. Apa diagnosis yang
mungkin?
A.AML
B.ALL L1
C.ALL L2
D.ALL L3
E. Hemofilia

• Jawaban: B. ALL L1
• Pada kasus di atas ditemukan keluhan anak pucat dan lemas disertai temuan
perdarahan bawah kulit serta pembesaran hepar dan lien. Leukositosis 120 ribu,
serta anemia dan trombositopenia dapat arahkan pada kondisi leukemia. Apusan
darah tepi yang menunjukkan adanya limfoblast menunjukkan kondisi ALL, dimana
sel blast homogen dengan nucleus rehuler serta kromatin homogen mengarahkan
pada klasifikasi L1 berdasarkan FAB (Frech-American-British). Pada AML biasanya
ditemukan auer rods yang khas.
• Klasifikasi ALL berdasarkan FAB:
• ALL-L1: Small cells with homogeneous nuclear chromatin, a regular nuclear shape,
small or no nucleoli, scanty cytoplasm, and mild to moderate basophilia
• ALL-L2: Large, heterogeneous cells with variable nuclear chromatin, an irregular
nuclear shape, 1 or more nucleoli, a variable amount of cytoplasm, and variable
basophilia
• ALL-L3: Large, homogeneous cells with fine, stippled chromatin; regular nuclei;
prominent nucleoli; and abundant, deeply basophilic cytoplasm. The most
distinguishing feature is prominent cytoplasmic vacuolation
39. Leukemia
CLL CML ALL AML
The bone marrow makes abnormal leukocyte  dont die when they
should  crowd out normal leukocytes, erythrocytes, & platelets. This
makes it hard for normal blood cells to do their work.
Prevalence Over 55 y.o. Mainly adults Common in Adults &
children children
Symptoms & Grows slowly  may Grows quickly  feel sick & go to
Signs asymptomatic, the disease is found their doctor.
during a routine test.
Fever, swollen lymph nodes, frequent infection, weak,
bleeding/bruising easily, hepatomegaly/splenomegaly, weight loss,
bone pain.
Lab Mature Mature granulocyte, Lymphoblas Myeloblast
lymphocyte, dominant myelocyte t >20% >20%, aeur rod
smudge cells & segment may (+)
Therapy Can be delayed if asymptomatic Treated right away
CDC.gov
AML VS ALL
AML ALL

Epidemiologi Lebih banyak pada dewasa Lebih banyak pada anak-anak

Sel mieloblas imatur, terdapat


Morfologi Limfoblas
auer rod
• Mieloperoksidase (+)
• Mieloperoksidase (-)
• Terminal deoxynucleotidyl
• Terminal deoxynucleotidyl
transferase (TdT) (-)
Sitokimia transferase (TdT) (+)
• LDH & serum uric acid
• LDH & serum uric acid elevated 
elevated  tumor lysis
tumor lysis syndrome
syndrome

• B-precursor ALL (70% ALL subtype in


Immuno Children)  CD10, CD19, CD20,
phenotyping, CD13, CD14, CD15, and CD33 CD22, CD24
Cytogenetics & (>90% of leukemic cells) • T-cell ALL (16% ALL Subtype in
Molecular testing children)  CD2, CD3, CD4, CD5,
CD7, CD8
CML VS CLL
CML CLL
Lansia (>65 tahun), tapi bisa juga
Epidemiologi Dewasa (50-60 tahun)
ditemukan pada usia lbh muda
• Sel mieloid • Limfosit B matur
• Basofilia, eosinofilia • Smudge cell/basket cell
Morfologi
• Anemia, • Neutropenia, anemia, and
Trombositosis/normal thrombocytopenia
• Mature granulocytes have
decreased apoptosis
Sitokimia accumulation of long-lived
cells with low or absent
alkaline phosphatase (ALP).
• Circulating clonal B-lymphocytes
expressing CD19, CD20, and CD23
Immuno
Philadelphia chromosome, the and expression of the T cell
phenotyping,
BCR-ABL1 fusion gene, or the associated antigen CD5
Cytogenetics &
BCR-ABL1 fusion mRNA • Cytogenetics: trisomy 12 (16%), and
Molecular testing
deletions of chromosomal regions
13q (55%), 11q (18%), and 17p (7%)
Sel blas dengan Auer rod pada leukemia Leukemia mielositik kronik
mieloblastik akut

Limfosit matur & smudge cell


Sel blas pada leukemia limfoblastik akut pada leukemia limfositik kronik
AML & ALL
• Jenis leukemia yang paling sering terjadi pada
anak-anak adalah Acute Lymphoblastic
Leukemia (ALL) dan Acute Myelogenous
Leukemia (AML)
• ALL merupakan keganasan yg paling sering
ditemui pada anak-anak (1/4 total kasus
keganasan pediatrik)
• Puncak insidens ALL usia 2-5 tahun
AML & ALL Clinical Manifestation
• More common in AML
– Leukostasis (when blas count >50.000/uL): occluded
microcirculationheadache, blurred vision, TIA, CVA, dyspnea,
hypoxia
– DIC (promyelocitic subtype)
– Leukemic infiltration of skin, gingiva (monocytic subtype)
– Chloroma: extramedullary tumor, virtually any location.
• More common in ALL
– Bone pain, lymphadenopathy, hepatosplenomegaly (also seen in
monocytic AML)
– CNS involvement: cranial neuropathies, nausea, vomiting, headache,
anterior mediastinal mass (T-cell ALL)
– Tumor lysis syndrome
ALL Classification
• In the WHO classification system for hematologic malignancies,
the lymphoblastic neoplasms (which may present as leukemia
and/or lymphoma) are divided into:
– Precursor B cell lymphoblastic leukemia/lymphoma, also called
precursor B cell acute lymphoblastic leukemia (precursor B cell ALL)
– Precursor T cell lymphoblastic leukemia/lymphoma (precursor T-LBL),
also called precursor T cell acute lymphoblastic leukemia (T cell ALL)
• These two entities are morphologically indistinguishable.
• FAB subtype is not currently used in either diagnosis or treatment
decisions
• ALL is the preferred term in the US when the bone marrow
contains more than 25% lymphoblasts, whereas lymphoma is the
preferred term when the process is confined to a mass lesion with
minimal or no blood and bone marrow involvement.
SOAL NO 40
• Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun datang
diantar ibunya ke RS dengan keluhan nyeri pada
lutut kiri. Lutut kirinya tidak mau disentuh dan
tidak mau disuruh berjalan. Tidak ada riwayat
trauma, jatuh sebelumnya atau demam. Anak
tampak rewel, tidak pucat, dan pemeriksaan
normal. Tampak lutut kaki kiri lebih membesar
dibandingkan kaki kanan, teraba lebih hangat
daripada kulit sekitarnya dan tidak dapat
digerakkan. Kejadian ini telah berulang sering
sejak anak berusia 10 bulan saat sering
merangkak. Apakah kelainan yang terjadi?
A.F.VIII < 20%
B.F.VIII <50%
C.F.VIII <65%
D.F.IX <1%
E. F.IX < 36-40%

• Jawaban: D. F. IX <1%
• Pada kondisi diatas kondisi hamartrosis spontan tanpa riwayat trauma dan
berulang sejak anak aktif merangkak dapat mengarahkan pada kondisi
hemophilia. Kondisi terdapat perdarahan sendi spontan berulang yang
mengarahkan pada kondisi hemophilia berat, dimana faktor VIII
(hemophilia A) atau faktor IX (hemophilia B) kadarnya kurang dari 1%.
Klasifikasi hemophilia berdasarkan level plasma prokoagulan adalah
sebagai berikut:
• Hemophilia berat (F VIII atau F IX < 1%): gejala biasanya mulai muncul
pada usia di bawah 1 tahun, dengan frekuensi perdarahan 2-4x/ bulan,
dan bersifat spontan
• Hemophilia sedang (F VIII atau F IX 1-5%): gejala biasanya mulai muncul
pada usia 1-2 tahun dengan frekuensi perdarahan 4-6 x/tahun, berkaitan
dengan trauma minor
• Hemofilia ringan (F VIII atau F IX sebanyak 5-40%): gejala biasanya lambat
di sadari, muncul pada usia di atas 2 tahun, bahkan baru diketahui saat
remaja; perdarahan biasanya disebabkan karena trauma mayor dan jarang
berkaitan dengan sendi.
40. Hemofilia
• Hemophilia merupakan kelainan hematologi yang
bersifat diturunkan yang paling banyak dijumpai.
• Terdapat 3 tipe:
– Hemophilia A : defisiensi faktor VIII (tersering)
– Hemophilia B : defisiensi factor IX (christmas disease)
– Hemophilia C : defisiensi faktor XI
• Penyakit ini diturunkan dengan sifat X linked resesif
(gen faktor VIII/IX berada di distal lengan panjang (q)
dari kromosom X
• Gejala mulai muncul saat pasien sudah bisa
merangkak
• Perempuan hanya sebagai karier/pembawa gen
Epidemiologi
• Insidensi:
- hemophilia A (± 85%)  1 : 5,000 – 10,000 laki-laki
(atau 1 : 10,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
- hemophilia B (± 15%)  1 : 23,000 – 30,000 laki-laki
(atau 1 : 50,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
• Sekitar 70% penderita hemofilia memiliki riwayat
keluarga yang memiliki penyakit kelainan pada
pembuluh darah
• Manifestasi klinisnya terbagi dalam 3 derajat: mild,
moderate, severe

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


Clinical manifestation
• Bleeding:
• usually deep (hematoma, hemarthrosis)
• spontaneous or following mild trauma
• Type:
 Hemarthrosis
 Hematoma
 Intracranial hemorrhage
 Hematuria
 Epistaxis
 Bleeding of the frenulum (baby)
Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
Diagnosis
 history of abnormal bleeding in a boy
 normal platelet count
 bleeding time usually normal
 clotting time: prolonged
 prothrombin time usually normal
 partial thromboplastin time prolonged
 decreased antihemophilic factor
Antenatal diagnosis
 antihemophilic factor level
 F-VIII/F-IX gene identification (DNA analysis)
Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
Classification of Hemophilia A & B

5-40% (emedicine)
Blood component replacement therapy

factor-VIII factor-IX
(unit/ml) (ml)
fresh-frozen plasma ~ 0,5 ~ 0,6 200
cryoprecipitate ~ 4,0 - 20
factor-VIII concentrate 25 - 100 - 10
factor-IX concentrate - 25 - 35 20

source of F-VIII: - monoclonal antibody purified;


- intermediate- and high-purity;
- recombinant

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


Tatalaksana Hemofilia
SOAL NO 41
• Seorang anak perempuan usia 5 tahun datang dengan
keluhan memar di paha dan lengan tangan. Anak
tersebut juga mengeluh lemah dan cepat capek.
Keluhan ini juga sering disertai mimisan dan badan
demam. Pasien memiliki riwayat penyakit thypoid
yang kambuh–kambuhan dan sering minum obat
antibiotik. pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan
umum tampak pucat, suhu 37,8 C. Hasil pemeriksaan
laboratorium Hb 6.8, neutrofil 300/ml, trombosit
18.000/ml. Hasil pemeriksaan sumsum tulang hanya
ditemukan lemak. Apakah yang menyebabkan kasus
ini?
A.Ciproflokasisn
B.Amoxycilin
C.Salisilat
D.Kloramfenikol
E. Asetaminofen

• Jawaban: D. Kloramfenikol
• Konjungtiva pucat menunjukkan anemia, keluhan
memar akibat trombositopenia, ditambah
dengan temuan laboratorium berupa neutrofilia
(menandakan penekanan terhadap pembentukan
leukosit) dan trombositopenia menunjukkan
adanya supresi sumsum tulang belakang. Hasli
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang
menunjukkan sel lemak yang menegakkan
diagnosis berupa anemia aplastik. Antibiotika
kloramfenikol merupakan salah satu obat yang
bisa menyebabkan anemia aplastik.
41. Anemia Aplastik

Manifestasi klinis disebabkan


oleh sitopenia

Anemia Trombositopenia Leukopenia

Ptekiae, epistaksis,
Pucat, lemah,
perdarahan gusi, Demam, infeksi
dispnea
menoragia

Tidak ada limfadenopati atau splenomegali

Lichtman MA, Segel GB. Aplastic anemia: acquired and inherited. In: Lichtman et al, editors. William’s hematology. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2010. p.463-79
APLASTIC ANEMIA:
• Failure of two or more cell lines
• Anaemia, leukopenia, thrombocytopenia
(pancytopenia) + hypoplasia or aplasia of the marrow
• Pathology: Reduction in the amount of haemopoietic
tissue  inability to produce mature cells for
discharge into the bloodstream
• no hepatomegaly; no splenomegaly; no
lymphadenopathy;
• Hallmark: peripheral pancytopenia with
hypoplastic/ aplastic bone marrow
CLASSIFICATION:
• Idiopathic
• Secondary:
– idiosyncratic drug reaction
– chemical exposure
– infectious hepatitis
– paroxysmal nocturnal haemoglobinuria
• Constitutional (inherited/congenital)
– Diamond-Blackfan syndrome
– Shwachmann-Diamond syndrome
– Fanconi anemia
– Dyskeratosis Congenita
– TAR (thrombocytopenia with absent radii)
– Amegakaryocytic thrombocytopenia
ACQUIRED APLASTIC ANEMIA - CAUSES
• Radiation • Immune diseases:
• Drugs and chemicals – eosinophilic fascitis
– chemotherapy – thymoma
– Benzene • Pregnancy
– Chloramphenicol: • PNH
idiosyncratic; sudden onset
after several months; 1 of • Marrow replacement:
every 20,000, irreversible – leukemia
– organophosphate – Myelofibrosis
• Viruses: – myelodysplasia
– CMV
– EBV
– Hep B, C,D
– HIV
CLINICAL FEATURES

RBC (anemia)
• Progressive and persistent pallor
• Anemia related symptoms
WBC (Leucopenia/neutropenia)
• Prone to infections - Pyodermas, OM, pneumonia, UTI, GI
infections, sepsis
Platelets (Thrombocytopenia)
• Petechiae, purpura, ecchymoses
• Hematemesis, hematuria, epistaxis, gingival bleed
• Intracranial bleed-headache, irritability, drowsiness, coma
Blood picture:
• Anemia-normocytic, normochromic
• Leukopenia (neutropenia)
• Relative lymphocytosis
• Thrombocytopenia
• Absolute reticulocyte count low
• Mild to moderate anisopoikilocytosis
Gold Standard

• Bone Marrow Puncture : dry aspirate,


hypocellular with fat (>70% yellow marrow)
Management:
• Identification and Definitive therapy
elimination of • Bone marrow transplantation
underlying cause – Treatment of choice
– HLA matched donor. Usually
• Supportive therapy: siblings
– Red cell transfusion for – Long term survival rates: 60-70%
anemia • Immunosuppression
– Prevention and – Antithymocyte globulin (ATG)
treatment of – Antilymphocyte glubulin (ALG)
haemorrhage – Cyclosporin
– Prevention and – Intensive immunosupression :
treatment of infection cyclophosphamide
– Corticosteroids
TO 3
SOAL NO 42
• Seorang anak laki laki berusia 8 tahun datang
dibawa ke dokter karena keluhan berat badan
tidak naik. Anak makan sudah dijadwalkan dan
cukup lahap. Keluhan tidak disertai dengan
demam. Sesak napas maupun nyeri dada
disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
perbedaan tekanan darah 130/80 di lengan
kanan, dan 110/60 di lengan kiri. Dokter juga
merasakan pulsasi arteri femoralis muncul
terlambat dibandingkan pulsasi arteri brakialis.
Apakah diagnosis yang sesuai pada kasus di atas?
A.PDA
B.VSD
C.ASD
D.Koartasio aorta
E.Tetralogy of Fallot

• Jawaban: D. Koartasio aorta


• Pada kasus ini ditemukan adanya kondisi klinis berat badan tidak
naik serta adanya temuan klasik berupa hipertensi sistolik pada
ekstremitas atas disertai perbedaan tekanan darah pada eksteimitas
kanan dan kiri serta adanya delay pulsasi femoral dibandingkan
brakial mengarahkan pada gejala penyakit jantung bawaan yakni
koartasio aorta. Kondisi ini sering ditemukan asimptomatik, serta
merupakan PJB asianotik. Pada koartasio aorta terdapat
penyempitan aorta yang akan sebabkan peningkatan afterload dan
wall stress, serta bisa sebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan gagal
jantung kongestif. Umumnya pada koartasio aorta berat bisa
disertai dengan PDA ataupun kolateral. Temuan klasik adanya
perbedaan tekanan darah di kedua ekstremitas serta pulsasi
femoral delay dibanding brakialis umumnya tidak ditemukan pada
kelainan jantung pada opsi lainnya
Tekanan di dalam Jantung

42. PJB dan Coarctatio


Aorta

PJB

Asianotik Cyanotic

↓ aliran darah ↑ aliran darah


↑ volume: pulmonal: pulmonal:
↑ pressure:
- ASD - ToF - Transposition
- Valve stenosis
- VSD - Atresia of the great
- Coarctation of pulmonal vessels
- PDA aorta
- Atresia - Truncus
- Valve
tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Coarctatio Aorta

4 Aboulhosn JA, Child JS. Congenital heart disease in adults. In: Fuster V, Walsh RA, Harrington RA. Hurst’s the heart. 13thed.
New York, McGraw-Hill, 2011. p.1884-909
Manifestasi Klinis
• Neonatus  asimtomatik bila terdapat PDA
atau koarktasio tidak berat
• Balita dan Anak  diagnosis sulit bila pasien
asimtomatik dan koarktasio ringan
• Dapat timbul nyeri dada, ekstremitas dingin,
dan klaudikasio saat aktivitas fisik.
• Gagal jantung jarang terjadi setelah periode
neonatus
Manifestasi Klinis (2)
Pemeriksaan fisik:
• Temuan klasik:
– hipertensi sistolik pada ekstremitas atas atau tekanan
darah sistolik pada ekstremitas bawah lebih rendah
dibandingkan brakial atau dapat pula terjadi
– Pulsasi femoral tidak ada atau melemah atau
terlambat munculnya (delay) dibandingkan dengan
pulsasi brakial
• Sianosis diferensial akibat koarktasio berat atau
pirau kanan ke kiri pada PDA menuju aorta
torakalis desenden
• Dapat terjadi gagal jantung
• Pucat, rewel, diaforesis, sesak
• Hepatomegali
Management Strategies
• Medical therapy:
- Hypertension controlled by β-blocker, ACEI, or
ARB (first line)
- The choice of β-blocker or vasodilators
influenced by aortic root size, presence of AR
or both.
• Surgical therapy

3 Deanfield J, Thaulow E, Warnes C, Webb G, Kolbel F, Hoffman A. Management of grown up congenital heart disease: the
task force on the management of grown up congenital heart disease of the european society of cardiology. Eur Heart J 2003;
24: 1035-84
Indications for operation
1. Reduction of luminal diameter greater
than 50% at any age
2. Upper body hypertension over 150mmHg
in young infant (not in heart failure)
3. CoA with congestive heart failure
at any age
SOAL NO 43
• Pasien anak perempuan berusia 2 tahun datang ke IGD
RS dibawa orangtuanya karena tampak sesak napas
memberat sejak 3 hari terakhir. Anak sebelumnya juga
alami demam, disertai batuk dan pilek. Pada
pemeriksaan fisik anak tampak kompos mentis, RR
60x/menit, terdapat nafas cuping hidung, retraksi iga
(+), penggunaan otot bantu napas substernal (+). Suhu
39 derajat. Pada pemeriksaan darah tampak adanya
leukositosis dan hitung jenis kesan shift to the left.
Pemeriksaan radiologis tampak adanya bercak
infiltrate di kedua lapang paru. Apakah diagnosis
kasus tersebut yang sesuai?
A.Bronkopneumonia
B.Tuberculosis paru
C.Asma Bronkial
D.Bronkitis Akut
E. Bronkiolitis

• Jawaban: A. Bronkopneumonia
• Pada kasus anak dengan demam, batuk, dan pilek disertai sesak napas sejak 3 hari
mengarahkan kecurigaan adanya infeksi pada saluran pernapasan. Pemeriksaan
fisik yang menunjukkan penggunaan otot bantu napas serta napas cuping hidung
serta RR 60x/menit menandakan bahwa sesak yang terjadi cukup berat.
Pemeriksaan lab yang menunjukkan kesan shift to the left menunjukkan bahwa
etiologi kasus ini adalah suatu infeksi bakteri sehingga ditambah adanya temuan
bercak infiltrate pada paru lebih mungkin merupakan suatu bronkopneumonia.
Bronkiolitis tidak menjadi pilihan karena selain tidak ditemukan adanya wheezing,
pada bronkiolitis disebabkan oleh infeksi virus sehingga seharusnya tidak terjadi
fenomena shift to the left. Asam bronkial juga tidak menjadi pilihan mengingat
biasanya akan ditemukan wheezing dan serangan asma akut dapat terjadi tiba tiba,
serta ada gambaran hiperinflasi pada pemeriksaan radiologi. Sementara pada
bronchitis akut, biasanya pada anak anak paling sering berhubungan dengan
infeksi virus saluran napas bawah, serta akan ada keluhan batuk produktif bahkan
bisa disertai posttusive emesis, serta pada pemeriksaan radiologi bisa ditemukan
adanya penebalan peribronkial. Diagnosis bronkitis merupakan diagnosis
pereksklusionam, artinya diagnosis lain harus disingkirkan terlebih dahulu.
43. Pneumonia dan Bronkopneumonia
• Peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
• Bronchopneumoia merupakan inflamasi yang tidak hanya melibatkan alveolus
dan bronkiolus, melainkan juga bronkus dan melibatkan >1 lobus yang terjadi
terutama pada anak usia ≤ 2 tahun.
Etiologic Agents Grouped By Age Of The Patient
Age group Frequent Pathogens (In order of Frequency)
Neonates (<3 wk) Group B streptococcus, Escherichia coli, other gram negative bacilli, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae (type b)
3 wk-3 mo Viral: Respiratory syncytial virus, other respiratory viruses (parainfluenza viruses, influenza
viruses, adenovirus),
Bacterial: S. pneumoniae, H. influenzae (type b); if patient is afebrile, consider Chlamydia
trachomatis
4 mo- 4 yr Viral: Respiratory syncytial virus, other respiratory viruses (parainfluenza viruses, influenza
viruses, adenovirus),
Bacterial: S. pneumoniae, H. influenzae (type b), Mycoplasma pneumoniae, group A
streptococcus
≥5 yr M. pneumoniae, S. pneumoniae, Chlamydophila pneumoniae, H. influenzae (type b), influenza
viruses, adenovirus, other respiratory viruses, Legionella pneumophila
Sumber : Kllegman RM, Staton BF, Schor N,et all. Nelson Texbook of Pediatrics. 19th edition. New York : Saunders; 2011.
Pneumonia
• Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing
• Signs and symptoms :
– Non respiratory: fever, headache, fatigue, anorexia, lethargy, vomiting and
diarrhea, abdominal pain
– Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunting, nasal flaring,
subcostal retraction (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)

Fast breathing (tachypnea)


Respiratory thresholds
Age Breaths/minute
< 2 months 60
2 - 12 months 50
1 - 5 years 40
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY

Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The


Pneumonia opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly
lobaris there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a
consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.

Pneumonia associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent


lobularis/ patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in response
bronko to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or
pneumonia reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.

pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most


characteristic)  Associated with thicker Bronchial wall, inflammation
Flattening of diaphragm (with chronic inflammation or Associated with
Asthma
accessory muscle use)
Hyperinflation (variably present)
Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis
Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent,
bronkiolitis Peribronchial thickening
Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris

Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Pneumonia
• Hubungan antara diagnosis klinis dan
Klasifikasi-Pneumonia (MTBS)

Diagnosis (Klinis) Klasifikasi (MTBS)


Pneumonia berat (rawat inap)
• Tanpa gejala hipoksemia
Penyakit sangat berat
• Dengan gejala hipoksemia
(Pneumonia berat)
• Dengan komplikasi

Pneumonia ringan (rawat jalan)


Pneumonia

Infeksi respiratori akut atas Batuk: bukan pneumonia

Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di
Kabupaten/Kota.
Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap
Kriteria rawat inap
Pneumonia Ringan
• Dx  disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.
• Napas cepat:
• pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit
• pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit
• Tx  rawat jalan, beri antibiotik : Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.

Pneumonia Berat
• Dx  Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini:
• Kepala terangguk-angguk
• Pernapasan cuping hidung
• Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
• Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi)
• Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
• Napas cepat
• Suara merintih (grunting) pada bayi muda
• Pada auskultasi terdengar : Crackles (ronki), suara pernapasan menurun, suara
pernapasan bronkial
• Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau
minum/makan, atau memuntahkan semuanya, Kejang, letargis atau tidak sadar,
sianosis, distres pernapasan berat.
Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
Tatalaksana
Pneumonia Berat

Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus


dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik
maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah
sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.

Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).

Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri
seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari.

Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.
Bronchitis akut
• Gejala yang terdapat pada bronchitis akut berupa demam dan malaise, yang
terjadi setelah atau tanpa didahului oleh infeksi saluran napas atas (ISPA).
• Jika diawali oleh ISPA, biasanya setelah 3-4 hari anak akan mulai mengalami
batuk kering yang semakin lama semakin sering dan mulai menjadi produktif
(berdahak). Batuk kemudian akan bertahan selama 1-3 minggu.
• Dahak yang dihasilkan awalnya berwarna keputihan dan lama kelamaan bisa
menjadi purulen. Karena anak cenderung menelan dahaknya, maka seringkali
bisa terjadi emesis.
• Batuk yang semakin sering pada anak juga meningkatkan kerja dari otot-otot
dada sehingga anak seringkali juga mengalami nyeri pada area dada selama 5-
10 hari, namun keluhan ini akan perlahan-lahan hilang apabila batuk juga sudah
berkurang.
• Seluruh episode ini biasanya akan hilang setelah 2 minggu, atau bisa bertahan
sampai lebih dari 3 minggu namun <3 bulan.

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
Bronchitis akut
• Pemeriksaan fisik pada beberapa hari pertama dapat tidak ditemukan
kelainan, namun saat sudah semakin berkembang (batuk menjadi
lebih sering dan produktif) dapat ditemukan rhonki maupun
wheezing.
• Pada pemeriksaan radiologi thorax juga tidak spesifik, hanya
menunjukkan peningkatan corakan bronkovaskular
• Hal yang perlu digarisbawahi untuk bronchitis adalah menyingkirkan
kemungkinan lain terlebih dahulu (pneumonia, asma, dll)
• Tatalaksana: tidak ada terapi spesifik, hanya konservatif. Dapat
diberikan antibiotik jika memang terbukti ada infeksi bakteri.
Penggunaan antitusif dapat digunakan namun pertimbangkan
kemungkinan pembentukan supurasi oleh karena pengeluaran
sputum ditekan

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
SOAL NO 44
• Anak laki laki berusia 12 tahun dibawa ke dokter
Puskesmas karena batuk selama 4 minggu tidak
kunjung membaik. Keluhan sesak disangkal. Anak
juga alami demam naik turun selama 2 minggu
terakhir. Anak tampak lebih kurus selama sakit,
tidak diketahui turun berapa kilogram. Diketahui
ibu pasien sedang jalani pengobatan paru TB
bulan kedua. Pada pemeriksaan fisik tampak
pembesaran KGB colli dan ronki dikedua lapang
paru. Dari grafik WHO BB/U anak < -2SD.
Pemeriksaan penunjang lanjutan apa yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis?
A.Tuberculin
B.Pewarnaan gram
C.Pewarnaan ZN
D.X-foto thoraks
E. LED

• Jawaban: C. Pewarnaan ZN
• Pada soal tersebut disebutkan anak usia 12 tahun dengan
kecurigaan TB mengingat anak ada klinis batuk >2 minggu, demam
> 2 minggu, kurus (BB/U < -2SD), serta ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening, dan resiko kontak dengan penderita TB.
Jawaban yang paling tepat untuk pemeriksaan penunjang
diutamakan untuk penegakkan diagnosis adalah pewarnaan ZN
(Ziehl Neelsen) karena sesuai di rekomendasi TB anak nasional
tahun 2016 dijelaskan bahwa pemeriksaan yang dikerjakan pada
anak dengan satu atau lebih gejala khas TB (Pada kasus ini batuk 4
minggu dan demam 2 minggu) disarankan pemeriksaan
mikroskopis/TCM TB atau konfirmasi bakteriologis. Jika tidak dapat
dikerjakan maka baru dilakukan sistem skoring, yang salah satu
poinnya adalah tes tuberkulin dan foto thoraks
44-46. Tuberkulosis pada anak
• Pada umumnya anak yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala yang khas
over/underdiagnosed
• Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB
pada anak
• Pertimbangkan tuberkulosis pada anak jika :
– BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut
tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh
– Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas
– Batuk kronik 3 ≥ minggu
– Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Tuberkulosis pada anak
Time after
primary infection Clinical Manifestation
2 – 3 months Fever of Onset

Erythema nodosum

Phlyctenular conjunctivitis
Tuberculin Test Positive

Primary pulmonary TB
TB Meningitis
3 – 12 months
Miliary TB
TB Pleural effusion

6 – 24 months Osteo-articular TB

> 5 years Renal TB

Figure 5. The Timetable of Tuberculosis

Donald PR et.al. In: Madkour MM, ed. Tuberculosis. Berlin; Springer;2003.p.243-64


12/20/2019 441
Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak
(Depkes 2016)
• Penegakan diagnosis TB anak didasarkan 4 hal :
– Konfirmasi bakteriologis TB  contoh pemeriksaan sputum
pewarnaan Ziehl Neelsen
– Gejala klinis yang khas TB
– Adanya bukti infeksi TB(tuberculin atau kontak TB)
– Foto thorax sugestif TB
• System skoring:
– Telah digunakan untuk diagnosis TB anak
– Bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan tuberculin dan foto
thoraks, maka skoring ini akan tidak dapat terpenuhi seluruh
komponennya
– Sehingga dibuat alur diagnostik berdasarkan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis
Sistem Skoring
Sistem Skoring

• Diagnosis oleh dokter


• Perhitungan BB dinilai saat pasien datang (moment opname)
• Demam dan batuk yang tidak respons terhadap terapi baku
• Cut-of f point: ≥ 6
• Anak dgn skor 6 yg diperoleh dari kontak dgn pasien BTA + dan hasil
uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan
observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak
tersebut
• Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
• Adanya skrofuloderma langsung didiagnosis TB
• Reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
• Total nilai 4 pada anak balita atau dengan kecurigaan besar dirujuk
ke rumah sakit
ALUR DIAGNOSIS
BILA DIDAPATKAN
GEJALA KLINIS
Prinsip Pengobatan TB Anak
Regimen OAT pada Anak

Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2016. Depkes.


Indikasi Kortikosteroid pada Anak
Uji Tuberkulin
• Menentukan adanya respon imunitas selular terhadap TB. Reaksi
berupa indurasi (vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan
akumulasi sel-sel inflamasi)
• Tuberkulin yang tersedia : PPD (purified protein derived) RT-23 2TU,
PPD S 5TU, PPD Biofarma
• Cara : Suntikkan 0,1 ml PPD intrakutan di bagian volar lengan bawah (5-
10 cm dari lipat siku). Pembacaan 48-72 jam setelah penyuntikan
• Pengukuran (pembacaan hasil)
– Dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan eritemanya
– Indurasi dipalpasi, tandai tepi dengan pulpen. Catat diameter transversal.
– Hasil dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul = 0 mm
• Hasil:
– Positif jika indurasi >= 10mm (jika imunokompromais positif >=5 mm)
– Ragu-ragu jika 5-9 mm
– Negatif < 5 mm
Pengobatan Profilaksis

• Pengobatan profilaksis hanya diberikan pada


pasien dengan kontak TB dan tidak bergejala,
yaitu:
– kelompok infeksi laten TB (tuberculin positif)
– Terpajan (tuberculin negative)
• Untuk menentukan kelompok pasien tersebut
dilakukan investigasi kontak
ALUR INVESTIGASI KONTAK

TB RO: kontakTB
tersangka resisten
Obat (RO) atau
terbukti resisten Obat
Profilaksis TB pada Anak

KETERANGAN
• ILTBInfeksi Laten TB
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari
selama 6 bulan.
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala
TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera
dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke
regimen terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
SOAL NO 45
• Pasien anak perempuan berusia 3 tahun datang
diantar ibunya ke puskesmas untuk kontrol ulang
setelah melakukan tes tuberculin 2 hari yang lalu.
Sebelumnya anak disarankan untuk melakukan tes
tuberculin oleh dokter karena pasien mengalami panas
selama 3 minggu disertai batuk, serta kakek pasien
yang tinggal serumah diketahui sedang menjalani
pengobatan TB selama 3 bulan. Pada pemeriksaan
didapatkan hasil indurasi sebesar 15 mm. Anak
sebelumnya sudah peroleh vaksin BCG saat usia 2
bulan. Maka interpretasi yang sesuai dengan hasil
tersebut adalah…
A.Reaksi indurasi karena imunosupresi
B.Reaksi vaksinnya
C.Infeksi mycobacterium tuberculosis
D.Bukan infeksi mycobacterium tuberculosis
E. Limfadenitis tuberculosis

• Jawaban: C. Infeksi mycobacterium


tuberculosis
• Uji tuberkulin atau mantoux test merupakan uji yang
dilakukan untuk menentukan ada tidaknya respon imunitas
seluler terhadap TB yang dibaca dengan melihat ada
tidaknya indurasi. Uji ini bisa dilakukan dalam membantu
skoring TB dalam rangka menegakkan diagnosis. Uji
tuberculin dilakukan dengan menyuntikan PPD dan
diperiksa 48-72 jam setelah penyuntikan dengan mengukur
diameter transversal. Uji tuberkulin dinyatakan positif bila
pada kelompok anak dengan imunokompeten termasuk
anak dengan riwayat imunisasi BCG diameter indurasinya >
10 mm. Pada pasien ini indurasi uji tuberkulin sebesar 15
mm sehingga dapat dinyatakan positifi terinfeksi
tuberkulosis.
SOAL NO 46
• Anak perempuan berusia 6 tahun, datang ke
Puskesmas dengan keluhan batuk berdahak
sejak 4 minggu terakhir. Saat ini keluhan disertai
dengan demam naik turun sejak 2 minggu yang
lalu, disertai nafsu makan menurun, serta BB
menurun drastis sejak anak sakit. Ayah pasien
yang tinggal serumah memiliki keluhan serupa
dan telah diobati selama 2 bulan dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif. Pada pasien
dilakukan uji tuberculin memberikan hasil
indurasi 10 mm. Apa langkah penanganan yang
tepat diberikan pada pasien?
A.Pemberian profilaksis
B.Pemberian antibiotic
C.2RHZE untuk fase intensif
D.2RHZ untuk fase intensif
E. 2RH untuk fase intensif

• Jawaban: D. 2 RHZ untuk fase intensif


• Pada pasien ini melalui gejala klinis adanya batuk 4 minggu (skor
1), demam 2 minggu (skor 1), penurunan berat badan, kontak
dengan pasien BTA positif (skor 3), serta pemeriksaan uji
tuberculin positif (skor 3) dapat ditegakkan TB anak klinis dari
sistem skoring (skor ≥6). Terapi yang tepat diberikan pada anak
dengan TB anak klinis adalah terapi OAT dengan regimen 2RHZ
untuk fase intensif dan 4RH untuk fase lanjutan
SOAL NO 47
• Seorang anak peempuan berusia 10 tahun datang ke IGD
RS karena mengeluh sesak napas memberat sejak 1 jam
sebelumnya. Anak sedang alami batuk dan pilek. Keluhan
tidak disertai demam. Anak masih dapat berbicara
menceritakan keluhannya dalam penggalan kata. Anak
pernah alami sesak hilang timbul berulang dan sempat
dikatakan ada asma, namun tidak kontrol rutin. Keluhan
serangan serupa sudah dialami pasien terakhir 2 bulan lalu.
Pada pemeriksaan fisik anak tampak gelisah, duduk
bertopang tangan, sianosis (-), HR 120x/menit, RR
44x/menit, retraksi suprasternal dan intercostal (+),
wheezing ekspirasi dan inspirasi. Pasien sudah mendapat
inhalasi β2 agonis 2x dan responsnya parsial. Apakah
diagnosis pasien pada kasus ini?
A.Asma persisten
B.Asma intermiten serangan sedang
C.Asma persisten sedang serangan sedang
D.Asma persisten ringan serangan berat
E.Asma intermitten serangan berat

• Jawaban: E. Asma intermiten serangan berat


• Pada kasus ini, adanya keluhan sesak tanpa
demam, diawali batuk pilek, dan bersifat episodic
(pernah alami keluhan serupa 2 bulan lalu)
menunjukkan bahwa kasus ini kemungkinan
besar adalah asma. Hal ini didukung adanya
wheezing dari pemeriksaan fisik. BIla ditinjau dari
kekerapannya, maka termasuk dalam asma
intermitten karena jarak antar gejala ≥ 6 minggu.
Sedangkan berdasarkan derajat beratnya
serangan tergolong berat karena sudah terdapat
otot bantu napas jelas, anak bicara dalam kata,
serta gelisah.
47. Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi


kronik yang mengakibatkan obstruksi dan
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi.
• Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk,
wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul
secara kronik dan atau berulang, reversibel,
cenderung memberat pada malam atau dini hari,
dan biasanya timbul jika ada pencetus
• Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang,
BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu
diagnosis asma
Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
KARAKTERISTIK:
 Gejala timbul secara episodik atau berulang.
 Timbul bila ada faktor pencetus.
 Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering,
makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.
 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
 Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.
 Terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar
dengan stetoskop.
 Biasanya berhubungan dengan kondisi atopi lain seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi,
dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographictongue.
Alur diagnosis asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan Berdasarkan kondisi saat ini Berdasarkan derajat kendali

• Intermitten • Tanpa gejala • Tidak terkendali


• Persisten Ringan • Ada gejala • Terkendali sebagian
• Persisten Sedang • Serangan ringan • Terkendali penuh dengan
• Persisten Berat • Serangan sedang controller
• Serangan berat • Terkendali penuh tanpa
• Ancaman gagal napas controller
Berdasarkan umur Berdasarkan fenotip Berdasarkan derajat
beratnya serangan
• Asma bayi – baduta • Asma tercetus infeksi
(bawah dua tahun) virus • Asma serangan ringan-
• Asma balita (bawah • Asma tercetus aktivitas sedang
lima tahun) (exercise induced • Asma serangan berat
• Asma usia sekolah asthma) • Serangan asma dengan
(5-11 tahun) • Asma tercetus alergen ancaman henti napas
• Asma remaja (12- • Asma terkait obesitas
17 tahun) • Asma dengan banyak
pencetus (multiple
triggered asthma)
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan

Berdasarkan derajat beratnya serangan


Korelasi Klasifikasi Lama dengan Baru

PNAA 2004 PNAA 2015 Keterangan

Episodik jarang Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak


antar gejala ≥6 minggu

Episodik sering Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan,


<1x/minggu
Persisten Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun
tidak setiap hari

Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap


hari

PNAA: Pedoman Nasional Asma Anak


Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan derajat kendali
Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Sediaan steroid untuk serangan asma


Nama generik Sediaan Dosis
Metilprednisolone Tablet 4mg, 8 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Prednison Tablet 5 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Metilprednisolone suksinat Vial 125 mg, 500 mg 30 mg dalam 30 menit tiap 6
injeksi jam
Hidrokortison suksinat injeksi Vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali tiap 6 jam
Deksametasine injeksi Ampul 0.5-1 mg/kgBB bolus
kemudian dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6-8 jam
Betametasone injeksi Ampul 0.05-0.1 mg/kgBB tiap 6 jam
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Agonis β2 kerja pendek
 Diberikan 2 kali dengan interval 20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera
dibawa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat
 Bila pemberian 2 kali sudah dilakukan di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi
dengan ipratropium bromida
 Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol
 Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI
dengan/tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien
 Harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil
• Ipratropium bromida
 memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran
napas
• Aminofilin intravena
 Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6
jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap
 Pemberian aminofilin intravena harus sangat berhati-hati dan dipantau secara ketat karena efek
sampingnya yang cukup berat (mual, muntah, takikarsi, agitasi, aritmia, hipotensi, dan kejang
 Dosis : inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan
secara drip 1 mg/kg/jam.
 Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL.
 Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL. Oleh karena itu kadar
aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loadingdose diberikan
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Adrenalin
o Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan
angioedema
o Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal
500 ug (0.5 ml)
• Magnesium sulfat -->tidak rutin dilakukan
• Steroid inhalasi
– Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide) dapat
digunakan untuk serangan asma (dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi
dosis rendah tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan asma)
– terbatas pada pasien-pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid
sistemik.
• Mukolitik
• Antibiotik hanya jika terbukti disebabkan infeksi bakteri
• Obat sedasi
• Antihistamin
SOAL NO 48
• Seorang anak perempuan berusia 10 tahun
dibawa ibunya ke dokter karena mengalami
keterlambatan mental. Anak juga tampak pendek
dibandingkan anak seusianya. TIdak ada keluarga
dengan keluhan serupa. Pada pemeriksaan lanjut,
diketahui anak ini memiliki konfigurasi
kromosom 45X (monosomi X), tubuh pendek,
memiliki kelainan jantung, dan memiliki alat
kelamin yang tidak sempurna dan tidak
berfungsi. Kelainan apa yang dialami anak ini?
A.Turner syndrome
B.Klinefelter syndrome
C.Down syndrome
D.Marfan syndrome
E. Fragile X syndrome

• Jawaban: A
• Adanya nomenklatur kromosom 45 + XO merupakan kondisi yang ditemukan pada
sindrom turner. Pada sindrom turner umumnya hanya mempengaruhi perempua,
serta ada temuan klinis tumbuh pendek, kelainan jantung pada 1/3 kasus
(misalnya coarctatio aorta), dan hipofungsi ovarium sehingga biasanya pasien
dengan kondisi ini infertile. Pada opsi lainnya:
• SIndrom Klinefelter  47, XXY tidak diwariskan, pasien akan alami kriptorkidismus,
hipospadia, atau mikropenis, testis kecil, pubertas terlambat, ginekomastia,
infertilitas (pada laki-laki saja)
• Sindrom Down  trisomy 21 tidak diwariskan, pasien akan tampak mikrosedal,
hypotonus, flattened nose, single palm crease, upward slanting eyes, bisa ada
defek jantung (misalnya ASD atau VSD)
• SIndrom Marfan  3 dari 4 kasus diturunkan, aka nada mutase fibrilin sehingga
pasien akan tampak sangat fleksibel (jari jari dan sendi), kurus, ekstremitas
panjang, tinggi, scoliosis, pectus karinatum atau ekskavatum
• Sindrom Fragile X  diturunkan secara X linked dominan, biasanya sebabkan
gangguan belajar dan cognitive impairment, laki laki biasanya lebih berat
dibanding perempuan
48. Kelainan Kromosom & Sindrom
Turner
The most common feature is short stature, which becomes
evident by about age 5. Ovarian hypofunction. Many
affected girls do not undergo puberty and infertile.
Sindrom About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back
turner of the neck, limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities,
45 + XO or kidney problem, 1/3 have heart defect, such as
noninherit coarctation of the aorta.
ed
Most of them have normal intelligence. Developmental
delays, nonverbal learning disabilities, and behavioral
problems are possible
Sindrom Turner (45 + XO)
• The most common feature is short stature, which
becomes evident by about age 5.
• Ovarian hypofunction.
• Many affected girls do not undergo puberty and
infertile.
• About 30 % have webbed neck, a low hairline at the
back of the neck, limfedema ekstrimitas, skeletal
abnormalities, or kidney problem,
• 1/3 have heart defect, such as coarctation of the aorta.
• Most of them have normal intelligence.
• Developmental delays, nonverbal learning disabilities,
and behavioral problems are possible
• Possible symptoms in young infants include:
Swollen hands and feet
Wide and webbed neck and a low or indistinct
hairline
Clinical features
• Short stature (143-145cm tall)
• Loss of ovarian function
• Hormone imbalances( thyroid, diabetes)
• Stress and emotional deprivation
• Diseases affecting the kidneys, heart, lungs or intestines
• Bone diseases
• Learning problems( esp. in maths)
• A heart murmur, sometimes associated with narrowing of the aorta.
• A tendency to develop high blood pressure (so this should be checked regularly).
• Scoliosis occurs in 10 percent of adolescent girls
• The thyroid gland becomes under-active in about 10 percent of women who have
Turner syndrome.
• Older or over-weight women with Turner syndrome are slightly more at risk of
developing diabetes.
• Osteoporosis can develop because of a lack of estrogen.
Sindrom
Turner
Diagnosis
• About half of the cases are diagnosed within the first few
months of a girl's life by the characteristic physical symptoms
.(swelling of the hands and feet, or a heart defect).
• Other patients are diagnosed in adolescence because they fail
to grow normally or go through puberty.
• When the doctor suspects Turner syndrome, a blood sample
can be used to make a karyotype and the diagnosis can be
confirmed.
• Prenatal diagnosis:
– Turner syndrome may be diagnosed during pregnancy with a chorionic
villus sampling (CVS) or amniocentesis.
– Alternatively, an ultrasound can identify the disorder by its physical
symptoms before the baby is born (signs of underdevelopment).
SOAL NO 49
• Seorang anak perempuan berusia 7 bulan datang
dibawa ke dokter karena tampak sesak napas sejak 1
hari yang lalu. Anak sebelumnya juga alami batuk dan
pilek. Anak alami demam, namun tidak terlalu tinggi
sejak 2 hari yang lalu. Pada pemeriksaan fisik tampak
adanya RR 56x/menit, napas cuping hidung dan
retraksi dada. Pada auskultasi paru ditemukan adanya
wheezing di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan
radiologi tampak adanya paru hiperlusen dan
hiperekspansi ditandai dengan diafragma datar.
Apakah diagnose yang paling mungkin untuk kasus
diatas?
A.Bronkopneumonia
B.Bronkiolitis
C.Bronchitis kronis
D.Tuberkulosis paru
E. Asma

• Jawaban: B. Bronkiolitis
• Keluhan sesak disertai batuk dan demam tidak terlalu tinggi, serta retraksi dada, pernafasan cuping
hidung dan wheezing pada anak di bawah 2 tahun mengarahkan diagnosis pada bronkiolitis. Hal ini
didukung pula dengan temuan radiologi adanya hiperlusen dan hiperkespansi paru. Bronkiolitis
merupakan infeksi pada saluran nafas bagian bawah yang disebabkan oleh infeksi virus RSV (paling
sering), maupun virus lain seperti adenovirus hingga influenza.
• Pada opsi lainnya:
• Bronkopneumonia, maka gambaran radiologi akan ada bercak infiltrate di kedua paru pada satu
atau lebih dari satu lobus pada gambaran radiologis, sementara klinis anak akan lebih tampak sakit
/ “toxic”, bisa lebih ada demam yang tinggi disbanding bronkiolitis, serta jarang ada wheezing
• Bronkitis, maka keluhan anak lebih pada batuk produktif serta pada pemeriksaan radiologis akan
ada penebalan peribronkial
• Asma maka akan tampak hiperinflasi paru serta tampak dinding bronkus lebih tebal, serta dari
gejala biasanya ada periodisitas, dimana umumnya aka nada wheezing berulang pada anak usia > 2
tahun serta riwayat atopi pada anak atau keluarga
• Tuberkulosis paru pada anak umumnya bisa secara klinis dibantu menggunakan skoring TB, anak
bisa tidak naik berat badan atau berat badan sesuai usia kurang, demam lebih dari 2 minggu, serta
batuk.
49. Bronkiolitis

• Infeksi pada bronchioli akibat


infeksi virus yang menyerang
anak di bawah usia 2 tahun,
terutama usia 2-6 bulan.
• Etiologi:
– Respiratory syncytial virus
(RSV)  tersering
– Virus influenza
– Virus parainfluenza
– Adenovirus
• Difficult to differentiate with
pneumonia and asthma
Patofisiologi
Bronkiolitis
Bronkiolitis
Bronkiolitis
Bronchiolitis

Tampak hiperinflasi dengan diafragma yang mendatar dan opasifikasi pada paru kanan (lingkaran merah)
Tampat atelektasis (lingkaran biru). Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma. This
is one reason why children with acute asthma are often misdiagnosed as having pneumonia.
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris

Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Tatalaksana
Bronkiolitis
• Penyakit Ringan:
– Terapi simtomatis
• Penyakit sedang-berat:
– Tatalaksana life support  O2 dan IVFd
– Etiologi: Terapi antivirus jarang tersedia,
antibiotik bila ternyata etiologinya bakteri
– Terapi simtomatik:
• Bronkodilator  kontroversial namun masih bisa
diberikan dengan alasan terjadinya inflamasi serta
bronkospasme dan meningkatkan mukosiler
• Kortikosteroid  kontroversial (tidak efektif)
SOAL NO 50
• An. King Arthur Pendragon berusia 12 tahun dibawa orangtuanya
ke RS dengan keluhan demam sejak 6 hari yang lalu. Anak demam
meningkat terutama pada sore hingga malam hari. Saat ini demam
sangat tinggi, anak merasa lemas, dan nyeri kepala. Anak juga
mengatakan belum BAB sejak 5 hari yang lalu. Keadaan umum
anak tampak sakit sedang. Kesadara compos mentis, tanda vital
didapatkan TD 110/80 mmHg, Suhu aksila 39oC, Nadi 86x/menit,
napas 22x/menit. Pemeriksaan fisik terdapat coated tongue, tidak
ditemukan adanya organomegaly. Pada pemeriksaan laboratorium
Hb 12.6 g/dL; Ht 36%; Leukosit 4600; Trombosit: 200000. Tes
Widal: Titer typhi O: 1/640 Titer typhi H: 1/320, S. parathypi (-).
Bila akan dilakukan pemeriksaan kultur, media pembiakan apa yang
dianjurkan?
A.Empedu sapi
B.Kuning telur
C.Agar darah
D.Agar saboroud
E. Media tinsdale

• Jawaban: A. Empedu sapi


Demam sejak 6 hari yang meningkat terutama pada sore-malam hari, disertai keluhan lemas, belum
BAB, serta temuan pemeriksaan fisik adanya coated tongue dan peningkatan HR tidak menyertai
peingkatan suhu dapat mengarahkan kecurigaan pada kondisi demam tifoid. Pada anak juga tampak
adanya leukositopenia disertai tes widal titer O 1/640 mendukung diagnosis pada demam tifoid.
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di indonesia yang disebabkan oleh infeksi Salmonella typhii.
Untuk pemeriksaan kultur darah disarankan pada minggu pertama dan kedua perjalanan penyakit,
dengan media pembiakan direkomendasikan pada S typhi adalah media empedu (gall) sapi karena
meningkatkan positivitas karena hanya S typhi atau S. paratyphi yang bisa tumbuh di media tersebut.

Pada opsi lainnya:


• Media agar saboroud biasanya untuk biakan jamur atau ragi
• Media tinsdale biasanya digunakan pada isolasi dan identifikasi Corynebacterium diptheria
• Media agar darah digunakan untuk identifikasi bakteri misalnya saja Streptococcus sp (pada alpha
hemolysis terjadi partial lysis, hingga beta hemolysis yang sebabkan complete lysis), hingga
Clostridium perfringens (biasanya ada gambaran target hemolysis)
• Media kuning telur bisa digunakan pada isolasi dan identifikasi Clostridium serta bakteri anaerob
lainnya (deteksi lesitinase dan lipase serta enzim protease dari bakteri ini)
50. Demam Tifoid
• Etiologi : 96% disebabkan Salmonella typhi, sisanya ole S. paratyphi
• Prevalens 91% kasus terjadi pada usia 3-19 tahun
• Penularan : fekal-oral
• Masa inkubasi : 10-14 hari
• Gejala
– Demam naik secara bertahap (stepwise) setiap hari, suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama. Minggu kedua demam terus menerus tinggi
– Delirium (mengigau), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut,
diare, atau konstipasi, muntah, perut kembung,
– Pada kasus berat: penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus
• Pemeriksaan Fisik
– Kesadaran menurun, delirium, lidah tifoid (bagian tengah kotor, pinggir
hiperemis), meteorismus, hepatomegali, sphlenomegali (jarang). Kadang
terdengar ronki pada pemeriksaan paru

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Onset Manifestasi Klinis
• Minggu I: malaise, nyeri kepala, batuk dan nyeri tenggorok pada
fase prodromal. Demam dengan karakteristik step ladder fever
yang diikuti nyeri perut, konstipasi, atau diare.
• Minggu II: pada hari 7-10 dapat ditemukan hepatomegali ringan,
relative bradycardia, dan rose spot.
• Minggu III: “Typhoid state”apatis, delirium, disorientasi, diare,
hingga koma. Dapat terjadi juga perdarahan saluran cerna atau
perforasi pada usus.

Rose spot
Clinical features
• Step ladder fever in the first week, the persist
• Abdominal pain
• Diarrhea/constipation
• Headache
• Coated tongue (lidah tifoid: bagian tengah kotor, pinggir hiperemis)
• Hepatosplenomegaly
• Rose spot
– salmon-colored, blanching, truncal, maculopapules usually 1-4 cm wide and
fewer than 5 in number; these generally resolve within 2-5 days.
– These are bacterial emboli to the dermis and occasionally develop in persons
with shigellosis or nontyphoidal salmonellosis.
• Bradikardia relatif
• dicrotic pulse (double beat, the second beat weaker than the first)
• Crackles over the lung bases
• Typhoid state, which is characterized by apathy, confusion, and even
psychosis
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.
Pemeriksaan Penunjang
• Darah tepi perifer
– Anemia, terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus
– Leukopenia, Limfositosis reaktif, Trombositopenia (pada kasus berat)
• Pemeriksaan serologis
– Serologi widal : kenaikan titer S.typhi O 1:160 atau kenaikan 4x titer fase akut ke
konvalesens, banyak positif-negatif palsu. Bahkan kadar baku normal di berbagai tempat
endemis cenderung berbeda-beda dan perlu penyesuaian
– Kadar IgG-IgM (Typhi-dot)
– Tubex Test
• Pemeriksaan biakan Salmonella
– The criterion standard for diagnosis of typhoid fever has long been culture isolation of
the organism. Cultures are widely considered 100% specific
– Biakan darah pada 1-2 minggu perjalanan penyakit. Biakan sumsum tulang masih positif
hingga munggu ke-4
• Pemeriksaan radiologis
– Foto toraks (kecurigaan pneumonia)
– Foto polos abdomen (kecurigaan perforasi) Pedoman Pelayanan Medis IDAI
Kultur Typhoid
• Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum
tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses.
• Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi
• Media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
• Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
– Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari.
Tes Widal:

• Deteksi antibodi terhadap antigien somatik O & flagel H


dari salmonella.
• Diagnosis (+): peningkatan titer >4 x setelah 5-10 hari dari
hasil pertama.
• Antibody O meningkat setelah 6-8 hari, antibodi H
meningkat setelah 10-12 hari.
• Pada daerah endemik, tes widal tunggal tidak reliabel
karena antibodi terhadap H dan O dapat terdeteksi hingga
1/160 pada populasi normal. Karena itu, sebagian
memakai batas titer H dan/ O ≥ 1/320 sebagai nilai yang
signifikan.
• Sensitivitas 64% dan spesifisitas 76%
Typhidot
• Deteksi IgM dan IgG terhadap outer
membrane protein (OMP) 50 kDa dari
S. typhi.
• Positif setelah infeksi hari 2-3.
• Sensitivitas 79%, spesifisitas 89%

Tubex TF
• Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya
S. typhi).
• Positif setelah hari ke 3-4.
• Sensitivitas 78%, spesifisitas 89%
A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.
Sensitivity of Typhoid Cultures
Spesimen Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Darah Sensitivitas 70% Sensitivitas 40-


(GOLD 50% disarankan
STANDARD) kultur feses/urin

Bone marrow Sensitivitas 90%


(setelah 5 hari
antibiotik akan
turun) terlalu
invasif dan tidak
menjadi pilihan
utama
Feses Sensitivitas 20-60%

Urin Sensitivitas 25-30%


Tatalaksana Demam Tifoid
Tatalaksana Demam Tifoid
SOAL NO 51
• Seorang anak perempuan berusia 12 tahun dibawa oleh ibunya ke
dokter puskesmas dengan keluhan mata tampak kuning sejak 1
hari yang lalu. Satu minggu sebelumnya anak mengeluh badan
lesu, nafsu makan berkurang, mual dan kadang disertai muntah.
Anak juga alami badan panas, rasa tidak enak di bagian perut
kanan atas, sakit kepala, badan terasa pegal-pegal dan air kencing
berwarna seperti teh pekat. Di SMP tempat anak bersekolah, ada
sekitar 10 orang yang mengalami hal serupa. Riwayat transfusi
darah dan suntikan atau dicabut gigi dalam 4 bulan terakhir
disangkal. Pasien sering jajan di luar gerbang sekolahnya. Saat ini
tidak ada obat obatan rutin diminum dan sedang tidak konsumsi
obat-obat TBC. Pada pemeriksaan fisik diperoleh denyut nadi
108x/menit, frekuensi napas 20 x/menit, suhu 37,80C, sklera ikterik
+/+, hepar teraba 4 cm bawah arcus costae, kulit tampak ikterik.
Apa hasil pemeriksaan penunjang yang paling mungkin ditemuakan
pada kasus ini?
A.HBsAg +
B.Anti HBs +
C.HBeAg +
D.Anti HCV +
E.IgM HAV +

• Jawaban: E. IgM HAV +


• Adanya kondisi sklera ikterik, hepatomegaly, disertai gejala
klinis demam tidak tinggi, mual, muntah, BAK pekat seperti
air teh, mengarahkan diagnosis pada hepatitis akut.
Kemungkinan besar penyebab hepatitis akut pada soal ini
dipikirkan adalah virus hepatitis A atas dasar ditemukannya
teman sekolah yang menderita penyakit yang sama serta
kebiasaan jajan yang memungkinkan berlangsungnya
penularan fekal oral pada hepatitis A. Pada hepatitis A,
maka diminggu awal akan dapat di deteksi adanya IgM anti
HAV yang positif. Sementara opsi C lebih mengarahkan
pada kondisi infeksi hepatitis C. Hepatitis B sudah dapat
disingkirkan karena tidak adanya riwayat transfusi maupun
suntikan pada pasien, sehingga tidak tepat dipilih opsi A, B,
maupun C.
51. Hepatitis A pada anak
• Inflamasi hepar yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab.
• Penyebab hepatitis: autoimun, hepatitis imbas obat, virus, alkohol,
dan lain-lain.
• Virus hepatitis merupakan infeksi sistemik yang dominan
menyerang hepar. Hepatitis jenis ini paling sering disebabkan oleh
virus hepatotropik (virus Hepatitis A, B, C, D, E).
• Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4
weeks), for hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12
weeks), for hepatitis C from 15–160 days (mean, 7 weeks), and for
hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).
Hepatitis Viral Akut
• Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau kerusakan
dan nekrosis sel hepatosit akibat virus hepatotropik. Dapat
akut/kronik. Kronik → jika berlangsung lebih dari 6 bulan
• Perjalanan klasik hepatitis virus akut
– Fase inkubasi
– Stadium prodromal/ preikterik: flu like syndrome,
– Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal berkurang
disertai munculnya ikterus, urin kuning tua
– Stadium konvalesens/penyembuhan
• Anamnesis Hepatitis A :
– Manifestasi hepatitis A:
• Anak dicurigai menderita hepatitis A jika ada gejala sistemik yang
berhubungan dengan saluran cerna (malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa
tidak nyaman pada perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan
adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis
Hepatitis Jenis virus Antigen Antibodi Keterangan
HAV RNA HAV Anti-HAV Ditularkan
secara fekal-
oral
HBV DNA HBsAg Anti-HBs •Ditularkan
HBcAg Anti-HBc lewat darah
HBeAg Anti-HBe •Karier
HCV RNA HCV Anti-HCV Ditularkan
C100-3 lewat darah
C33c
C22-3
NS5
HDV RNA HBsAg Anti-HBs Membutuhkan
HDV antigen Anti-HDV perantara HBV
(hepadnavirus)
HEV RNA HEV antigen Anti-HEV Ditularkan
secara fekal-
oral
Serologi Hepatitis A, B, C
Penanda
Serologis
Hepatitis
Profilaksis Hepatitis A
• Imunoglobulin yang diberikan sebelum pajanan atau sewaktu masa inkubasi
awal efektif mencegah timbulnya gejala klinis hepatitis A.

• Untuk profilaksis pascaterpajan orang dekat dengan hepatitis A (tinggal


serumah, pasangan seks), imunoglobulin segera diberikan dengan dosis 0,02
mL/kg.

• Ig masih efektif bila diberikan paling lambat 2 minggu setelah terpajan.

• Imunoglobulin profilaksis tidak diberikan untuk:


– Orang yang sudah vaksin hepatitis A,
– Kontak kasual di tempat kerja, sekolah, rumah sakit,
– Lansia yang kemungkinan besar sudah imun,
– Orang yang sudah anti-HAV (+).

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.


Profilaksis Hepatitis A

• Vaksin diberikan dengan injeksi IM.


• Proteksi anti-HAV pascavaksin mulai timbul 4 minggu setelah pemberian pertama.
• Proteksi bertahan hingga 20 tahun.

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.


SOAL NO 52
• Anak laki – laki berusia 10 tahun dibawa orangtuanya
ke dokter dengan keluhan demam sejak 8 hari yang
lalu. Demam naik turun disertai dengan timbulnya
bercak – bercak kemerahan di kulit dan nyeri sendi
yang berpindah pindah. Sekitar 4 minggu sebelumnya
pasien pernah berobat karena amandelnya kambuh.
Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan RR
28x/menit, denyut nadi 100x/menit dan temperatur
38,5C. Pada pemeriksaan fisik kulit ditemukan eritema
dan nodul subkutan pada daerah persendian.
Pmeriksaan EKG didapatkan PR interval yang
memanjang tetap pada setiap lead. Apakah diagnosis
yang paling mungkin pada pasien ini?
A.Rheumatic fever
B.Polyarthritis migran
C.Rheumatoid arthritis
D.Polimyalgia rheumatic
E. Systemic Lupus Erythematosus

• Jawaban: A. Rheumatic fever


• Adanya demam naik turun, bercak – bercak kemerahan di
kulit (eritema marginatum), nyeri sendi berpindah pindah
(migratory polyarthritis), ditemukan eritema dan nodul
subkutan (subcutaneous nodul), serta pemanjangan
interval PR mengarahkan diagnosis pada demam rematik.
Hal ini cukup memenuhi minimal 2 kriteria mayor atau 1
mayor +2 minor dalam memenuhi diagnosis demam
rematik. Demam rematik akut (DRA) merupakan penyakit
reaksi autoimun lambat terhadap Streptococcus grup A
(SGA), yang mungkin dialami pasien sebelumnya sekitar 4
minggu SMRS. Untuk selanjutnya nanti akan diperlukan
pemeriksaan ASTO. Penegakkan diagnosis dilakukan
berdasarkan kriteria Jones yaitu:
Dasar diagnosis:
1. Highly probable:
• 2 mayor atau 1 mayor + 2 minor
• disertai dengan bukti infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A: (ASTO meningkat atau
kultur positif)
2. Doubtful diagnosis:
• 2 mayor atau 1 mayor 2 minor

Pada pasien ini kriteria mayor berupa eritema marginatum, nodul subkutan dan migratory
poliartritis, sedangkan kriteria minor berupa demam serta pemanjangan interval PR pada EKG.
Pada opsi lainnya yakni polyarthritis migrans hanya jelaskan satu gejala pasien yakni nyeri sendi
berpindah pindah. Pada rheumatoid arthritis merupakan inflamasi sistemik kronik, mengenai
sendi sendi kecil, namun tidak disertai temuan kelainan lain seperti pada anak misalnya eritema
marginatum, hingga pemanjangan PR interval bersamaan. Sementara pada polymyalgia
rheumatica biasanya peradangan kronik dengan penyebab tidak diketahui yang umumnya dialami
individu usia lanjut, dengan ciri myalgia proksimal panggul dan bahu. Pada SLE terjadi inflamasi
kronik yang umumnya paling sering dialami wanita dan pada usia produktif, serta meskipun
dialami anak biasanya ada keluhan lain selain nyeri sendi misalnya saja malar rash (butterfy rash),
dan lainnya.
52. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat GABHS
(Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis GABHS
setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: Antikonvulsan/neuroleptik (asam
valproat/fenobarbital/haloperidol/klorpromazin)
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview Behrman
RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Penyakit Jantung Rematik
• Sekuele demam reumatik akut yang tidak di-tx
adekuat
• Manifestasi 10-30 th pasca DRA
• Penyakit jantung katup
– MS: fusi komisura  fish mouth
– AI + MS
– AS + AI + MS

Source: Valvular Heart Disease. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. 2007.
Sabatine MS. Pocket Medicine. 4th ed. 2011.
Rheumatic Fever - Treatment
• Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided)
• Supportive therapy - treatment of heart failure
• Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting)
1.2 million units once(IM injection) or oral penicillin V 2-
3x500 mg 10 days, if allergic to penicillin  erythromycin 10
days or azithromycin 500 mg orally on day 1 followed by 250
mg orally on days 2 through 5 days (antibiotic is given even if
throat culture is negative)
• Anti-inflammatory agents: Aspirin/prednison
• Anti-inflammatory agents:
fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Antiinflamasi pada Demam rematik
• Terapi antiinflamasi harus segera dimulai setelah diagnosis demam
reumatik ditegakkan.
• Hanya artritis
– aspirin 100 mg/kg/ hari sampai 2 minggu
– dosis diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari seiama 2-3 minggu
berikutnya.
• Karditis ringan sampai sedang
– aspirin 100 mg/kg/hari dibagi 4-6 dosis seiama 4-8 minggu, tergantung
pada respons klinis
– Bila ada perbaikan maka dosis diturunkan bertahap seiama 4-6 minggu
berikutnya.
• Karditis berat dengan gagal jantung, AV blok total, kardiomegali
– Prednison 2 mg/kg/hari diberikan seiama 2 minggu dilanjutkan
dengan aspirin 75 mg/kg/hari.
Rheumatic Fever - Prevention
Secondary prevention – prevention of recurrent attacks
• Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD every 4 week
• Penicillin V 250 mg twice daily orally
• Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice daily orally

AHA Scientific Statement


Rheumatic Fever - Prevention
Duration of secondary rheumatic fever prophylaxis
• Rheumatic fever + carditis + persistent valve disease - 10 years
since last episode or until 40 years of age (whichever is longer),
sometimes life long
• Rheumatic fever + carditis + no valvar disease – 10 years or well
into adulthood whichever is longer
• Rheumatic fever without carditis - 5 years or until 21 years
whichever is longer
(Continous prophylaxis is important since patient may have
asymptomatic GAS infection)

AHA Scientific Statement


SOAL NO 53
• Anak perempuan berusia 8 tahun dibawa ke poliklinik
dengan keluhan nyeri pada sendi kedua lutut sejak 2
bulan yang lalu. Kedua sendi lutut juga terasa kaku
terutama di pagi hari. Pasien jadi sulit aktivitas, dan
tidak bisa mengikuti pelajaran olahraga di sekolah
serta hanya bisa duduk. Tungkai menjadi bengkak bila
distirahatkan lama. Riwayat trauma dan demam
sebelumnya disangkal. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan gait: anak tidak mau berjalan karena
nyeri, gerak terbatas, nyeri tekan dan teraba hangat
pada genu dextra dan sinistra, eritema (-), efusi (+)
genu dextra. Pemeriksaan ANA (+). Apakah diagnosis
yang paling mungkin dialami anak pada kasus diatas?
A.Osteoarthritis
B.Juvenile rheumatoid arthritis
C.Rheumatoid arthritis
D.Osteocondritis
E. Kondromalasia patella

• Jawaban: B. Juvenile rheumatoid arthritis


• Pada kasus ini didapatkan anak perempuan usia 8 tahun dengan nyeri pada kedua
sendi lutut sejak 2 bulan. Kondisi ini diketahui menyebabkan pasien menjadi tidak
dapat olahraga dan hanya bisa duduk, serta jika diistirahatkan maka kaki akan
semakin bengkak. Terasa kaku di pagi hari. Tidak adanya riwayat trauma
menyingkirkan kemungkinan arthritis yang berkaitan dengan trauma, tidak adanya
demam juga menyingkirkan kemungkinan arthritis septik. Pemeriksaan fisik yang
menunjukkan nyeri tekan dan teraba hangat pada genu bilateral, efusi, serta ANA
positif menandakan bahwa pasien ini mengalami juvenile rheumatoid arthritis.
Pilihan lain:
• Osteoathritis: pada orang dewas amemiliki predileksi terutama pada sendi-sendi
yang menopang berat tubuh (lutut, lumbal, dan lainnya) dengan karakteristik kaku
di pagi hari <30 menit.
• Rheumatoid arthritis: pada orang dewasa, terjadi terutama pada sendi-sendi jari
kecil (PIP dan MIP) dan memiliki kaku yang berlangsung >30 menit.
• Osteocondritis: terjadi akibat terlepasnya fragmen kartilago atau subkondral pada
sendi, yang terjadi terutama akibat microtrauma repetitive.
• Chondromalacia patella: atau sick cartilage dimana ada gangguan pada kartilago
hyaline yang melapisi permukaan sendi sebabkan perlunakan, mudah robek, erosi
pada kartilago, paling sering pada sendi lutut (maka sering disebut runner’s knee).
53. Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA)
• Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) merupakan penyakit reumatik yang
paling sering ditemukan pada anak.
• Istilah ini sebenarnya sudah ditinggalkan, dan diganti dengan Juvenile
Idiopathic Arthritis (JIA)
• JRA ini didefinisikan dengan ditemukannya
1. Artritis pada sedikitnya satu sendi yang berlangsung lebih dari 6 minggu,
dengan kriteria artritis:
 Pembengkakan pada sendi, atau
 Ditemukannya dua atau lebih tanda berikut: keterbatasan gerak,
nyeri tekan, nyeri saat bergerak, atau sendi teraba hangat.
2. Anak usia kurang dari 16 tahun dan
3. Jenis artritis lain pada anak telah disingkirkan.

Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics
• Anamnesis
 Inflamasi sendi: gerakan sendi terbatas, nyeri bila digerakan dan
teraba panas.
 Gejala yang sering pada anak kecil adalah kekakuan sendi pada pagi
hari.
 Ekspresi nyeri pada anak lebih kecil bisa berupa perubahan postur
tubuh.
 Pada awitan sistemik ditemukan demam tinggi intermiten selama 2
minggu atau lebih.
 Gejala umum lain adalah tidak nafsu makan, berat badan menurun,
dan pada gejala yang berat bisa terjadi gangguan tidur di malam hari
karena nyeri.
• Pemeriksaan fisik
 Sendi teraba hangat, biasanya tidak terlihat eritem
 Pembengkakan atau efusi sendi
 Gerakan sendi terbatas
 Tipe awitan poliartritis: artritis lebih dari 4 sendi, biasanya
mengenai sendi–sendi jari dan simetris, dapat juga mengenai sendi
lutut, pergelangan kaki, dan siku.
Pemeriksaan penunjang
• Diagnosis ARJ dapat ditegakkan secara klinis, beberapa
pemeriksaan imunologik tertentu dapat menyokong
diagnosis. Perlu diingat bahwa tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang spesifik untuk ARJ.
• Pemeriksaan darah tepi: anemia ringan/sedang, Hb 7-10g/dl.
Leukositosis dengan predominasi netrofil. Trombositosis
pada tipe sistemik berat atau poliartritis sering dipakai
sebagai tanda reaktivasi ARJ.
• Petanda aktivitas penyakit antara lain adalah LED dan CRP
yang biasanya meningkat sesuai aktivitas penyakit.
• Pemeriksaan C3 dan komponen hemolitik meningkat pada
ARJ aktif.
Pemeriksaan penunjang (cont…)
• Faktor reumatoid jarang ditemukan pada ARJ, tetapi bila positif
biasanya dihubungkan dengan ARJ tipe poliartritis, anak lebih
besar, nodul subkutan, erosi tulang atau kondisi fungsional lebih
buruk.
• Pemeriksaan ANA positif terutama pada tipe oligoartritis
dengan komplikasi uveitis, lebih sering pada anak perempuan.
• Pencitraan dilakukan untuk memeriksa kerusakan sendi yang
terjadi.
– Kelainan radiologis pada sendi: pembengkakkan jaringan lunak sekitar
sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kadang-kadang dapat
ditemukan formasi tulang baru periosteal.
– Pada tingkat lebih lanjut (lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi
tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis
dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Kelainan
tulang juga dapat dideteksi dengan skintigrafi dan radio imaging.
Pilihan NSAID
• Asam asetil salisilat: dosis 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3-4
kali pemberian; diberikan 1-2 tahun sampai gejala klinis
menghilang
• Namun perlu diingat bahwa penggunaan asam asetil
salisilat bersifat toksik pada anak, oleh karena itu
penggunaannya harus hati-hati dan sebaiknya
dikonsultasikan ke spesialis anak
• Naproksen: dosis 10-15mg/kgBB dibagi dua; diberikan
untuk mengontrol nyeri, kekakuan dan inflamasi pada
anak yang tidak responsif terhadap asam asetilsalisilat
atau sebagai pengobatan inisial.
• Analgetik lain: asetaminofen dapat bermanfaat
mengontrol nyeri dan demam terutama pada penyakit
sistemik namun tidak boleh diberikan jangka panjang
karena menimbulkan kelainan ginjal.
• Obat antireumatik kerja lambat seperti hidroksiklorokuin, preparat emas (oral
atau suntikan), penisilamin dan sulfasalazihanya diberikan untuk poliartritis
progresif yang tidak menunjukkan perbaikan dengan AINS.
• Hidroksiklorokuin dapat bermanfaat sebagai obat tambahan pada anak besar,
dosis awal 6-7mg/kgBB/hari, setelah 8 minggu diturunkan menjadi 5
mg/kgBB/hari. Bila setelah 6 bulan pengobatan tidak diperoleh perbaikan
maka hidroksiklorokuin harus dihentikan.
• Kortikosteroid jika terdapat gejala penyakit sistemik, uveitis kronik, atau untuk
suntikan intra-artikular. Untuk sistemik berat yang tidak terkontrol diberikan
prednison 0,25-1mg/kgBB/hari dosis tunggal (maksimum 40 mg) atau dosis
terbagi pada keadaan yang lebih berat.
• Bila ada perbaikan klinistappering offstop.
• Kortikosteroid intra-artikular dapat diberikan pada :
 Oligoartritis yang tidak berespons dengan ains
 Terapi suportif untuk sendi yang sudah mengalami inflamasi dan kontraktur.
 Poliartritis bila satu atau beberapa sendi tidak berespons dengan AINS.
• Triamsinolon heksasetonid merupakan pilihan dengan dosis 20-40 mg untuk
sendi besar.
SOAL NO 54
• Bayi perempuan berusia 6 jam tampak merintih
dan sulit menyusu. Bayi lahir spontan di klinik
bidan pada usia gestasi 36 minggu dengan berat
badan 2300 gram, langsung menangis, Apgar
Score 8/10. Bayi langsung ditempatkan satu
kamar dengan ibunya namun tampak merintih,
serta ujung jari tangan dan kaki kebiruan. Pada
pemeriksaan langsung suhu aksila 35oC, glukosa
darah 60 mg/dl, leukosit 10.000/mm3, Hb 16
g/dL, Hct 42%. Apa diagnosis yang paling
mungkin sebabkan hal diatas pada anak?
A.Infeksi neonatus
B.Hipoglikemia
C.Hipotermia
D.Hiperbilirubinemia
E. Asfiksia neonatus

• Jawaban: C. Hipotermia
• Pada bayi diatas yang lahir premature maka biasanya akan lebih
rentan alami hipotermia mengingat luas area tubuh luas, serta
kurangnya lemak subkutan pada anak berat lahir rendah. Maka itu
untuk menghindari hipotermia, biasanya anak akan dihangatkan,
pakaikan topi dan baju, serta bisa dilakukan KMC (Kangaroo Mother
Care) untuk mencegah hipotermia. Kondisi anak di atas yang
tampak merintih dan sulit menyusu, serta akrosianosis, dapat
merupakan gejala dari hipotermia. Hipotermia pada neonatus
didefinisikan sebagai suhu inti tubuh di bawah 36,5-37,3oC. Pada
pasien ini suhu tubuh anak 35oC yang berarti anak sudah dalam
keadaan hipotermia. TIdak cukup data untuk meningkatkan
kecurigaan pada infeksi neonates misalnya sepsis neonates awitan
dini (SNAD) mengingat tidak adanya faktor resiko infeksi intrauteri
(misalnya apakah KPD > 18 jam) serta leukosit pada kasus pasien
pun normal (tidak ada leukopenia maupun leukositosis)
54. Hypotermia in Neonates
• Why neonates prone to
hypothermia
– Larger surface area per
unit body weight
– Decreased thermal
insulation due to lack of
subcutaneous fat (LBW
infant)
– Reduced amount of
brown fat (LBW infant)
Gejala hipotermia
• Vasokonstriksi perifer • Peningkatan metabolisme
– Akrosianosis – Hipoglikemia
– Ekstremitas dingin – Hipoksia
– Perfusi perifer ↓ – Asidosis metabolik
• Depresi SSP • Peningkatan tekanan arteri
– Letargi pulmonal
– Bradikardia – Respiratory distress
– Apnea – Takipnea
– Poor feeding • Tanda kronik
– Penurunan BB
– BB tidak bertambah
Diagnosis and Prevention
• Axillary temperature • Warm delivery room
recording for 3 minutes is (>250 C)
recommended for routine • Warm resuscitation
monitoring • Immediate drying
• Measurement of rectal • Skin-to-skin contact
temperature is
unnecessary in most • Breastfeeding
situations • Bathing postponed
• Appropriate clothing
• Mother & baby together
• Professional alert
• Warm transportation
SOAL NO 55
• Bayi laki laki berusia 4 bulan datang dibawa
orangtuanya ke dokter karena ada benjolan sebesar
jeruk pada bagian punggung dekat tulang belakangg
yang sudah ada sejak lahir dan tidak menutup. Anak
aktif, menyusu dengan baik, saat ini berat 6 kg,
panjang 53 cm. Anak lahir spontan pervaginam usia
gestasi 39 minggu di bidan dengan berat lahir 2700
gram. Selama hamil ibu tidak teratur ANC ke bidan atau
dokter. TIdak ada obat obatan tertentu rutin
dikonsumsi serta riwayat penggunaan obat epilepsy
disangkal. Riwayat DM pada ibu disangkal. Apakah
kemungkinan penyebab kondisi yang dialami pasien
diatas?
A.Defisiensi zat besi
B.Defisiensi asam folat
C.Infeksi toxoplama saat trimester 1
D.Konsumsi alkohol saat trimester 1
E. Defisiensi vitamin B6

• Jawaban: B. Defisiensi asam folat


• Adanya benjolan pada tulang belakang dan tidak
menutup sejak lahir mengarahkan diagnosis pada
kondisi spina bifida. Spina bifida merupakan
kelainan kongenital akibat kegagalan penutupan
neural tube. Terjadinya kelainan ini akibat
multifaktorial dimana salah satunya akibat
defisiensi asam folat selama hamil. BIsa juga
penyebab lain seperti DM tipe 2 (yang riwayatnya
disangkal oleh ibu pasien), paparan radiasi,
hingga obat antiepilepsi selama hamil seperti
penggunaan asam valproate yang teratogen.
55. Spina bifida
• Spina bifida merupakan malformasi spinal cord yang
disebabkan oleh defek dari neural tube
• Penutupan neural tube berlangsung
sejak usia gestasi 17 hari dan sudah
menutup sempurna sebelum 30 hari
• Etiologimultifaktorial
 Genetik
 Faktor lingkungan (radiasi, teratogen)
 Nutrisi: defisiensi asam folat
 DM tipe 2 dan DM gestasional
 Obesitasi maternal
 Hipertermia
 Obat antiepilepsi selama kehamilan (as
valproat dan carbamazepine)as. Valproat
lebih teratogen dibandingkan CBZ
Classification
• Spina bifida occulta • Meningocele
– This is the mildest form of – the meninges are forced into
spina bifida. the gaps between the
– In occulta, the outer part of vertebrae.
some of the vertebrae is not – With meningocele a sac of
completely closed. fluid comes through an
– The splits in the vertebrae are opening in the baby’s back.
so small that the spinal cord But, the spinal cord is not in
does not protrude. this sac.
– The skin at the site of the – There is usually little or no
lesion may be normal, or it nerve damage. This type of
may have some hair growing spina bifida can cause minor
from it; there may be a disabilities.
dimple in the skin
– asymptomatic in most cases
• Myelomeningocele • Myeloschisis
– the unfused portion of the – the involved area is
spinal column allows the represented by a flattened,
spinal cord to protrude plate-like mass of nervous
through an opening. tissue with no overlying
– The meningeal membranes membrane.
that cover the spinal cord – more prone to life-
form a sac enclosing the threatening infections such as
spinal elements. meningitis.
– The protruding portion of the
spinal cord and the nerves
that originate at that level of
the cord are damaged or not
properly developed  some
degree of paralysis and loss of
sensation below the level of
the spinal cord defect.
Anensefali
• Merupakan salah satu bentuk defek dari
neural tube
• Kondisi ini terjadi ketika neural tube tidak
dapat menutup pada bagian kranial ketika
usia gestasi 3-4minggu stillbirth
• Etiologi
o Defisiensi as.folat
o DM tipe I
o Kelainan genetic (autosomal dominan)
o Ruptur membrane amnion
Pencegahan selama kehamilan
• Kebutuhan Asam Folat
• 50-100 μg/hari pada wanita normal
• 300-400 μg/hari pada wanita hamil  hamil kembar
lebih besar lagi

• Dosis
– Pencegahan defek pada tube neural: Min. 400 mcg/hari
– Defisiensi asam folat: 250-1000 mcg/hari
– Riwayat kehamilan sebelumnya memiliki komplikasi
defek tube neural atau riwayat anensefali: 4mg/hari
pada sebulan pertama sebelum kehamilan dan diteruskan
hingga 3 bulan setelah konsepsi

Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO


SOAL NO 56
• Bayi laki laki berusia 4 hari datang dibawa ke
dokter IGD karena alami BAB darah disertai
demam. Perut terlihat distensi. Bayi lahir
premature secara spontan di bidan pada usia
gestasi 36 minggu dengan berat lahir 1800 gram.
Saat ini diberikan susu formula karena dikatakan
ibu produksi ASI kurang. Pada pemeriksaan
langsung bayi tampak letargi, toleransi minum
buruk, ada distensi abdomen dan eritema pada
dinding abdomen regio kanan bawah. Apakah
diagnosis yang sesuai dengan kondisi diatas?
A.Necrotizing enterocolitis
B.Invaginasi
C.Diare
D.Disentri
E. Ileus

• Jawaban: A. Necrotizing enterocolitis


• Adanya keluhan BAB berdarah disertai demam dan perut distensi
serta faktor resiko berupa berat badan lahir rendah mengarahkan
diagnosis pada enterokolitis nekrotikan. Enterokolitis nekrotikans
(EN) adalah sindrom nekrosis intestinal akut pada neonatus yang
ditandai oleh kerusakan intestinal berat akibat gabungan jejas
vaskular, mukosa, dan metabolik (serta faktor lain yang belum
diketahui) pada usus yang imatur. Pemberian susu formula secara
enteral juga bisa meningkatkan resiko karena pengaruh formula
hyperosmolar yang ubah permeabilitas mukosa dan akibatkan
kerusakan mukosa dibandingkan pemberian ASI yag justru
sebaliknya mengurangi resiko terjadinya enterocolitis nekrotikans.
Pada invaginasi juga bisa disertai BAB darah, namun dikatakn
biasanya disertai lendir dan currant jelly stools, serta anak bisa
sangat rewel karena kesakitan.
56. Enterokolitis Nekrotikans

• Sindrom nekrosis intestinal akut • Patogenesis EN masih belum


pada neonatus yang ditandai oleh sepenuhnya dimengerti dan
kerusakan intestinal berat akibat diduga multifaktorial.
gabungan jejas vaskular, mukosa, • Diperkirakan karena iskemia yang
dan metabolik (dan faktor lain berakibat pada kerusakan
yang belum diketahui) pada usus integritas usus.
yang imatur. • Pemberian minum secara enteral
• Enterokolitis nekrotikans hampir akan menjadi substrat untuk
selalu terjadi pada bayi prematur. proliferasi bakteri, diikuti oleh
• Insidens pada bayi dengan berat invasi mukosa usus yang telah
<1,5 kg sebesar 6-10%. rusak oleh bakteri yang
• Insidens meningkat dengan memproduksi gas  gas usus
semakin rendahnya usia gestasi. intramural yang dikenal sebagai
pneumatosis intestinalis 
mengalami progresivitas menjadi
nekrosis transmural atau gangren
usus  perforasi dan peritonitis.
Faktor risiko
• Prematuritas.
• Pemberian makan enteral. EN jarang ditemukan pada bayi
yang belum pernah diberi minum.
– Formula hyperosmolar dapat mengubah permeabilitas mukosa dan
mengakibatkan kerusakan mukosa.
– Pemberian ASI terbukti dapat menurunkan kejadian EN.
• Mikroorganisme patogen enteral. Patogen bakteri dan virus
yang diduga berperan adalah E. coli, Klebsiella, S. epidermidis,
Clostridium sp. , coronavirus dan rotavirus.
• Kejadian hipoksia/iskemia, misalnya asfiksia dan penyakit
jantung bawaan.
• Bayi dengan polisitemia, transfusi tukar, dan pertumbuhan
janin terhambat berisiko mengalami iskemia intestinal.
• Volume pemberian minum, waktu pemberian minum, dan
peningkatan minum enteral yang cepat.
Manifestasi klinis

Manifestasi sistemik Manifestasi pada abdomen


• Distres pernapasan • Distensi abdomen
• Eritema dinding abdomen atau
• Apnu dan atau bradikardia indurasi
• Letargi atau iritabilitas • Tinja berdarah, baik samar
maupun perdarahan saluran
• Instabilitas suhu cerna masif (hematokesia)
• Toleransi minum buruk • Residu lambung
• Hipotensi/syok, hipoperfusi • Muntah (bilier, darah, atau
keduanya)
• Asidosis • Ileus (berkurangnya atau
hilangnya bising usus)
• Oliguria
• Massa abdominal terlokalisir yang
• Manifestasi perdarahan persisten
• Asites
Pemeriksaan penunjang

• Darah perifer lengkap. Leukosit • Foto polos abdomen 2


bisa normal, meningkat (dengan posisi serial:
pergeseran ke kiri), atau menurun
dan dijumpai tombositopenia – Foto polos abdomen posisi
supine, dijumpai distribusi
• Kultur darah untuk bakteri aerob, usus abnormal, edema
anaerob, dan jamur dinding usus, posisi loop usus
• Tes darah samar persisten pada foto serial,
• Analisis gas darah, dapat dijumpai massa, pneumatosis
asidosis metabolik atau campuran intestinalis (tanda khas EN),
• Elektrolit darah, dapat dijumpai atau gas pada vena porta
ketidakseimbangan elektrolit, – Foto polos abdomen posisi
terutama hipo/ lateral dekubitus atau lateral
• hipernatremia dan hiperkalemia untuk mencari
pneumoperitoneum.
• Kultur tinja
Radiologi
• Generalized bowel
distention (earliest sign)
• Pneumatosis Intestinalis
• Pneumoperitoneum
• Large distended immobile
loop on repeated x-rays
(persistant loop sign) Pneumatosis Intestinalis

(may indicate a gangrenous


loop of bowel)
• Gasless abdomen
(perforation and
peritonitis)
• Portal venous air
Pneumatosis Intestinalis
Tata laksana umum untuk semua pasien EN:

• Puasa dan pemberian • Tes darah samar tiap 24 jam


nutrisi parenteral total. untuk memonitor
• Pasang sonde nasogastrik perdarahan gastrointestinal.
untuk dekompresi lambung. • Jaga keseimbangan cairan
• Pemantauan ketat: dan elektrolit. Pertahankan
– Tanda vital diuresis 1-3 mL/kg/hari.
– Lingkar perut (ukur setiap 12- • Periksa darah tepi lengkap
24 jam), diskolorasi abdomen dan elektrolit setiap 24 jam
• Lepas kateter umbilikal (bila sampai stabil.
ada). • Foto polos abdomen serial
• Antibiotik: ampisilin dan setiap 8-12 jam.
gentamisin ditambah • Konsultasi ke departemen
dengan metronidazole Bedah Anak.
Tata laksana khusus bergantung pada stadium

Enterokolitis nekrotikans Enterokolitis nekrotikans


stadium I stadium II dan III
• Tata laksana umum. • Tata laksana umum.
• Antibiotik selama 14 hari.
• Pemberian minum dapat • Puasa selama 2 minggu.
dimulai setelah 3 hari Pemberian minum dapat
dipuasakan dimulai 7-10 hari setelah
perbaikan radiologis
• Antibiotik dapat dihentikan pneumatosis.
setelah 3 hari pemberian • Ventilasi mekanik bila
dengan syarat kultur dibutuhkan.
negative dan terdapat • Jaga keseimbangan
hemodinamik. Pada EN
perbaikan klinis. stadium III sering dijumpai
hipotensi refrakter.
Tata laksana bedah

• Laparatomi eksplorasi dengan reseksi segmen


yang nekrosis dan enterostomi atau
anastomosis primer.
• Drainase peritoneal umumnya dilakukan pada
bayi dengan berat <1000 g dan kondisi tidak
stabil.
SOAL NO 57
• Bayi perempuan berusia 4 hari datang dibawa
ibunya ke dokter Puskesmas karena sejak usia 2
hari mulai tampak kuning. Bayi selama ini dapat
ASI namun anak lebih sering tidur. Ibu
mengatakan produksi ASI tidak begitu banyak.
Pada pemeriksaan fisik anak tonus otot baik,
tampak menangis kuat, tidak ada tanda tanda
dehidrasi, ditemukan Kramer III, lain – lain dalam
batas normal. Bilirubin total 16,25 g/dL, bilirubin
direk 0,75 g/dL, bilirubin indirek 15,5 g/dL.
Apakah diagnosis yang mungkin dialami pasien
pada kasus diatas?
A.Atresia bilier
B.Inkompatibilitas Rh
C.Breast milk jaundice
D.Breastfeeding jaundice
E. Defisiensi G6PD

• Jawaban: D. Breastfeeding jaundice


• Munculnya kuning pada tubuh bayi sejak hari kedua hingga kramer
III pada hari keempat sejak lahir disertai hanya minum ASI, produksi
ASI tidak banyak, dan bayi lebih sering tertidur mengarahkan
diagnosis pada breastfeeding jaundice. Breastfeeding jaundice
adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI.
Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI
belum banyak. Pada jaundice ini terjadi peningkatan kadar bilirubin
indirek seperti pada kasus diatas. Pada breastmilk jaundice biasanya
berlangsung meningkat pada hari ke 5-10 hari (lebih lambat
disbanding BFJ), dan kuning tidak tergantung dari volume ASI,
bahkan kadar bilirubin bisa sangat tinggi hingga >20 mg/dl. Meski
sama-sama ada peningkatan bilirubin indirek, tidak dipilih
inkompatibilitas ABO serta defisiensi G6PD dimana kuning pada
kasus ini umumnya akan muncul lebih cepat (dalam 24 jam
pertama)
57. Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir

Ikterus atau Hiperbilirubinemia :


menunjukkan pewarnaan pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat
penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.

Ikterus baru terlihat bila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL.
Ikterus pada neonatus merupakan sesuatu yang unik dan membutuhkan
perhatian khusus, karena:

Neonatus sedang mengalami Bilirubin indirek dapat Penyakit herediter mungkin


proses maturasi yang mungkin mencapai kadar toksik menunjukkan manifestasi
akan mempengaruhi perjalanan (kernikterus) sehingga klinisnya pada periode usia
penyakit harus didiagnosis dini ini
Ikterus Fisiologis
Pada neonatus – bedakan ikterus fisiologis atau patologis.5

Ikterus Mencapai
Onset
Puncak Menghilang
fisiologis Usia 30-72
Usia 4-5 Usia 7-10 hari
bayi aterm jam
hari

Nilai bilirubin tidak melebihi 12 mg/dL


Ikterus
fisiologis Onset Usia Mencapai
di atas 24 Puncak Menghilang
bayi jam lebih Usia 5-6 Usia 8-14 hari
preterm dini hari

Nilai bilirubin tidak melebihi 15 mg/dL


Ikterus Patologis

Kondisi yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut karena kecurigaan adanya


proses patologis, apabila kondisi ikterus pada bayi disertai dengan kondisi:
03
01 02
Kadar bilirubin serum
Ikterus pada 24 jam Ikterus pada bayi yang
meningkat dengan
pertama kehidupan terlihat sakit.
cepat

04 05 06
Prolonged Jaundice - Kadar bilirubin direk Feses berwarna
Ikterik menetap >2 >1 mg/dL (17mol/L)4 dempul dan urin
minggu (bayi aterm) berwarna gelap6
dan >3 minggu (bayi
prematur)6
Ikterus Neonatorum
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Ikterus Neonatorum
• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1
– Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh,
penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab
lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia
48 jam
– Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD.
Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh,
sferositosis.
Kramer’s Rule
Zona 1 2 3 4 5

Definisi Kepala Kulit Kulit tubuh Lengan Telapak


dan leher tubuh di di bawah dan tangan
atas pusar pusar dan tungkai dan kaki
paha

Kadar bilirubin 4-8 5 - 12 8 - 16 11 – 18 >1 5


serum (mg/dL)

Ikterus biasanya mulai terlihat di wajah lalu menyebar dengan arah


cephalocaudal ke tubuh dan akhirnya ekstrimitas.

Ikterus pada Neonatus perlu dievaluasi lebih lanjut bila:


1. Ikterus timbul saat lahir atau pada hari pertama kehidupan
2. Kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat (>5 mg/Dl/hari)
3. Kadar bilirubin serum > 12 mg/Dl pada bayi cukup bulan dan 10-14
mg/dL/24 jam pada bayi preterm
4. Ikterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih
5. Peningkatan bilirubin direk > 2 mg/ dL
Ikterus yang Berhubungan dengan ASI
(Fisiologis)
Breast Feeding Jaundice (BFJ) Breast Milk Jaundice (BMJ)
• Disebabkan oleh kurangnya asupan • Berhubungan dengan pemberian
ASI sehingga sirkulasi enterohepatik ASI dari ibu tertentu dan
meningkat (pada hari ke-2 atau 3 saat bergantung pada kemampuan
ASI belum banyak)
bayi mengkonjugasi bilirubin
indirek
• Timbul pada hari ke-2 atau ke-3 • Kadar bilirubin meningkat pada
• Penyebab: asupan ASI kurang  hari 4-7
cairan & kalori kurang  penurunan • Dapat berlangsung 3-12 minggu
frekuensi gerakan usus  ekskresi tanpa penyabab ikterus lainnya
bilirubin menurun • Penyebab: 3 hipotesis
– Inhibisi glukuronil transferase oleh
hasil metabolisme progesteron
yang ada dalam ASI
– Inhibisi glukuronil transferase oleh
asam lemak bebas
– Peningkatan sirkulasi enterohepatik
Indikator BFJ BMJ
Awitan Usia 2-5 hari Usia 5-10 hari
Lama 10 hari >30 hari
Volume ASI asupan ASI kurang  cairan & Tidak tergantung dari volume ASI
kalori kurang  penurunan
frekuensi gerakan usus 
ekskresi bilirubin menurun
BAB Tertunda atau jarang Normal
Kadar Bilirubin Tertinggi 15 mg/dl Bisa mencapai >20 mg/dl
Pengobatan Tidak ada, sangat jarang Fototerapi, Hentikan ASI jika kadar
fototerapi Teruskan ASI disertai bilirubin > 16 mg/dl selama lebih dari
monitor dan evaluasi 24 jam (untuk diagnostik)
pemberian ASI AAP merekomendasikan pemberian ASI
terus menerus dan tidak menghentikan
Gartner & Auerbach
merekomendasikan penghentian ASI
pada sebagian kasus
Tatalaksana Ikterus neonatorum
1. Pencegahan
– Inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian minum
sesegera mungkin
– Sering menyusui untuk menurunkan siklus
enterohepatik
– Menunjang kestabilan flora normal
– Merangsang aktivitas usus halus
2. Panduan foto terapi

AAP, 2004
3. Panduan transfusi tukar

AAP, 2004
SOAL NO 58
• Bayi laki laki berusia 6 hari dibawa ke IGD karena
kejang sejak 4 jam yang lalu sebelum masuk RS.
Kejang seluruh tubuh dengan durasi sekitar 2
menit. Setelah kejang anak tampak lemas. Anak
tampak kuning sejak usia 1 hari dan diperiksakan
ke bidan, disarankan untuk memberikan ASI.
Anak sebelumnya sempat tampak malas minum.
Pada pemeriksaan tampak kesadaran letargi,
hipertonus otot, suhu 37 derajat Celcius .
Bilirubin total 27 mg/dL, bilirubin direk
1,2mg/dL. Apakah diagnosis yang sesuai pada
kasus diatas?
A.Kernikterus
B.Meningitis
C.Meningoensefalitis
D.Ensefalitis
E. Kejang demam kompleks

• Jawaban: A. Kernikterus.
• Pada kasus ini diperoleh bayi dengan kejang umum dan
penurunan kesadaran, diawali riwayat kuning sebelumnya.
Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa bilirubin total 27
sehingga kasus ini mengarahkan pada kondisi kernicterus.
Bilirubin indirect bersifat lipofilik sehingga dapat
menembus sawar darah otak, sehingga dapat terdeposisi di
jaringan otak dan bersifat toksik. Tidak dipilih opsi
meningitis dan meningoensefalitis karena tidak dipaparkan
adnaya tanda rangsang meningeal yang positif. Pada
ensefalitis dapat ditemukan keluhan serupa namun
biasanya disebabkan oleh infeksi sehingga seharusnya
terdapat demam, dan tanpa diikuti kenaikan bilirubin.
Kejang demam kompleks tidak menjadi pilihan karena tidak
diawali oleh demam
58. Kernikterus

• Bilirubin indirek bersifat lipofilik


• Peningkatan bilirubin indirek  menembus sawar
darah otak  ensefalopati bilirubin (kernikterus)

Tahap 1: Letargi, hipotonia, refleks isap buruk


Tahap 2: Demam, hipertonia, opistotonus
Tahap 3: Kondisi terlihat membaik
Sekuele: Kehilangan pendengaran sensorineural
Serebral palsi koreoatetoid
Abnormalitas daya pandang
Kernikterus
Prinsip Tatalaksana Kernikterus
• Prinsip tatalaksana adalah mencegah
neurotoksisitas
• Pilihan utamanya adalah transfusi tukar
• Apabila transfusi tukar belum bisa dikerjakan,
maka dilakukan fototerapi dahulu hingga
transfusi tukar dapat dikerjakan
Panduan foto terapi

AAP, 2004
Panduan transfusi tukar

AAP, 2004
SOAL NO 59
• Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun datang dibawa
oleh orang tuanya ke IGD RS dengan keluhan tidak
sadarkan diri. Sebelumnya anak mual dan muntah
muntah dirumah serta mengeluhkan nyeri perut
bagian kanan atas. Ibu pasien mengatakan curiga anak
tersebut meminum obat dari lemari berupa
parasetamol >30 butir sekaligus. Anak diketahui sering
menyendiri dan merasa sedih karena dirundung di
Sekolah. Pada pemeriksaan fisik pasien terlihat sopor
dan hasil pemeriksaan darah terdapat peningkatan
enzim ALT dan AST, serta deteksi kadar paracetamol
150 mg/ml. Apakah antidotum intoksikasi pada kasus
ini?
A.Ethanol
B.Asetazolamid
C.N-acetyl cysteine
D.Naloxone
E. Methadone

• Jawaban: C. N-acetyl cysteine


• Adanya riwayat mengkonsumsi obat parasetamol dalam
jumlah banyak, disusul keluhan mual muntah serta nyeri
perut kanan atas dan penurunan kesadaran dapat
mengarahkan pada kondisi intoksikasi parasetamol. Hal ini
didukung dengan deteksi kadar paracetamol darah sebesar
150 mg/ml mengarahkan diagnosis pada intoksikasi
parasetamol atau asetaminofen, meski tidak diketahui
kapan menelan obat pastinya. Tatalaksana dari intoksikasi
ini adalah dengan memberikan antidotum yaitu N-acetyl
cysteine. Ethanol merupakan antidotum untuk intoksikasi
methanol. Naloxone merupakan antidotum untuk
intoksikasi opioid, sementara methadone biasa digunakan
dalam kondisi dependensi opioid (untuk atasi
ketergantungan).
59. Keracunan pada Anak
• Curigai keracunan pada anak sehat yang mendadak sakit
dan tidak dapat dijelaskan penyebabnya

• Prinsip penatalaksanaan terhadap racun yang tertelan


– Dekontaminasi lambung (menghilangkan racun dari lambung)
efektif bila dilakukan sebelum masa pengosongan lambung
terlewati (1-2 jam, termasuk penuh atau tidaknya lambung).
– Dekontaminasi lambung tidak menjamin semua bahan racun
yang masuk bisa dikeluarkan, oleh karena itu tindakan
dekontaminasi lambung tidak rutin dilakukan pada kasus
keracunan.
– Kontra indikasi untuk dekontaminasi lambung adalah:
• Keracunan bahan korosif atau senyawa hidrokarbon (minyak tanah, dll)
karena mempunyai risiko terjadi gejala keracunan yang lebih serius
• Penurunan kesadaran (bila jalan napas tidak terlindungi).
Keracunan pada Anak
– Periksa anak apakah ada tanda kegawatan dan periksa gula
darah (hipoglikemia)
– Identifikasi bahan racun dan keluarkan bahan tersebut
sesegera mungkin.
– Ini akan sangat efektif jika dilakukan sesegera mungkin
setelah terjadinya keracunan, idealnya dalam waktu 1 jam
pertama pajanan.
– Jika anak tertelan minyak tanah, premium atau bahan lain
yang mengandung premium/minyak tanah/solar (pestisida
pertanian berbahan pelarut minyak tanah) atau jika mulut
dan tenggorokan mengalami luka bakar (misalnya karena
bahan pemutih, pembersih toilet atau asam kuat dari
aki) jangan rangsang muntah tetapi beri minum air!!
• Jika anak tertelan racun lainnya
– Berikan arang aktif (activated charcoal) jika tersedia, jangan rangsang
muntah.
– Arang aktif diberikan peroral dengan atau tanpa pipa nasogastrik
dengan dosis yang sesuai
– Jika menggunakan pipa nasogastrik, pastikan dengan seksama pipa
nasogastrik berada di lambung.
• Jika arang aktif tidak tersedia, rangsang muntah (hanya pada anak
sadar)  merangsang dinding belakang tenggorokan dengan
menggunakan spatula atau gagang sendok.
59. Acetaminophen Toxicity
• Acute overdose is usually considered • Phase 1 – 0-24 hours
to be a single ingestion – Nausea, vomiting
• (therapeutic range in blood 10- • Phase 2 – 24-72 hours
30µg/ml)
– RUQ pain, elevated liver
• Generally, 7.5 gm in an adult or 150 enzymes, prolonged PT
mg/kg in a child are the lowest
• Phase 3 – 72-96 hours
threshold capable of toxicity
– Hepatic necrosis,
• NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone encephalopathy,
imine)-derived toxicity coagulopathy, ATN
– Liver – begins in zone 3 (centrilobular)
• Phase 4 – 4 days- 2 weeks
– Renal – Acute Tubular Necrosis
– If damage is not
• Multiorgan failure irreversible, complete
– Heart, kidney resolution of hepatic
dysfunction will occur
Lab Values
Measure Indicative of Toxicity
Serum Creatinine (SrCr) Elevated over 3.4 mg/dL
Creatinine Clearance (CrCl) Lowered
International Normalized Ratio (INR) Elevated
Prothrombin Time (PT) Elevated over 100 seconds
Aspartate Aminotransferase (AST) Elevated
Alanine Transaminase (ALT) Elevated
Billirubin Elevated over 18 mg/dL
Acetaminophen (APAP) An APAP level 4 hours post
ingestion >150 mcg/ml
(9993µmol/L
O'Malley, Gerald F. "Acetaminophen Poisoning: Poisoning: Merck Manual Professional." Merck & Co., Inc. Merck & Co. Web. 08 Oct. 2010.
http://www.merck.com/mmpe/sec21/ch326/ch326c.html>.
Schaefer, Jeffrey P. "Acetaminophen Intoxication." Dr. Jeffrey P Schaefer, 14 Oct. 2007. Web. 10 Oct. 2010.
Intoksikasi Paracetamol
• Paracetamol is the most common single agent involved
in poisonous ingestions in young children.
• While there is potential for serious liver damage if a
large dose is ingested, in practice, it is rare for a child to
achieve toxic blood levels by ingesting paracetamol
elixir (syrup).
• Resuscitation :
– Immediate threats to airway, breathing and circulation are
RARE in isolated paracetamol poisoning.
– Resuscitation should take priority over decontamination or
antidote administration.

Starship Children’s Health Clinical Guideline


GI Decontamination
• Very rapid GI • N-Acetylcysteine therapy
– Prevents toxicity by limiting
absorption NAPQI formation
• Activated Charcoal – Increases capacity to detoxify
formed NAPQI
(AC) – Treatment instituted within 6 to
– Very early 8 hours after an acute ingestion
presentation – Late NAC therapy
• Decreased hepatotoxicity when
– Don’t give AC to treatment begins 16-24 hours
unconscious patient post ingestion
– If IV NAC begun after onset of
– Effective if fulminant hepatic failure
administered in 1 hour decreased need for
vasopressors, and decreased
– Co-ingestants incidence of cerebral edema
– Adsorbs to NAC and death
Indications for NAC therapy in
children and adolescents
• Serum acetaminophen concentration above the "treatment" line of
the treatment nomogram for acetaminophen poisoning following
acute ingestion of an immediate-release preparation.
• A suspected single ingestion of greater than 150 mg/kg (7.5 g total
dose regardless of weight) in a patient for whom the serum
acetaminophen concentration will not be available until more than
eight hours from the time of the ingestion.
• Patients with an unknown time of ingestion beyond 24 hours and a
serum acetaminophen concentration >10 mg/L (66 micromol/L).
• Patients with delayed presentation (>24 hours after ingestion)
consisting of laboratory evidence of hepatotoxicity (from mildly
elevated aminotransferases to fulminant hepatic failure) and a
history of excessive acetaminophen ingestion.
Jenis Racun Antidotum
Asetaminofen N-Asetil-L-Sistein
Antikolinergik Physostigmine
Antikolinesterase (insektisida,
Atropin, Pralidoksim
Organofosfat, karbamat)
Benzodiazepin Flumazenil
Beta bloker Glukagon
Karbon monoksida Oksigen
Sianida Amyl nitrit, Sodium Nitrit, Sodium Tiosulfat
Antidepresan trisiklik Natrium Bikarbonat
Etilen glikol Ethanol
Metanol Ethanol, 4-MP (Fomepizole or 4-methylpyrazole)
Zat besi desferoksamin
Isoniazid Piridoksin
Timah (lead) Dimercaprol (British anti-Lewisite/BAL), Kalsium
Merkuri Dimercaptosuccinic acid (DMSA) or succimer
Methemoglobinemia Methylene Blue
Opioid Nalokson
SOAL NO 60
• Pasien seorang anak perempuan berusia 6 tahun
datang dibawa dengan keluhan penurunan
kesadaran. Pasien awalnya mengeluhkan mual,
muntah, dan kemudian tidak sadarkan diri. Empat
jam sebelumnya pasien makan singkong di
kebun. Pada pemeriksaan tampak koma
E1M1V1, nafas agonal, sehingga kemudian pasien
dilakukan tindakan intubasi serta diberikan
ventilasi tekanan positif). Apakah kemungkinan
penyebab kondisi diatas dialami pasien?
A.Intoksikasi Organofosfat
B.Intoksikasi Asam sianida
C.Intoksikasi Ibuprofen
D.Intoksikasi Hidrokarbon golongan alifatik
E. Intoksikasi Karbonmonoksida

• Jawaban: B. Intoksikasi Asam sianida


• Adanya penurunan kesadaran pada pasien yang didahului mual, muntah, setelah mengkonsumsi singkong
mengarahkan diagnosa pada keracunan asam sianida. Sianida bisa terkandung dalam umbi seperti
singkong, biasanya ada bercak warna biru pada singkong. Asam sianida merupakan zat toksik yang banyak
terkandung pada umbi gadung yang bila terjadi keracunan akan menunjukkan gejala seperti soal di atas.
Antidotum untuk keracunan zat ini adalah pemberian Na tiosulfat 25% IV. Pada opsi lainnya:
• Organofosfat  gejala intoksikasi muncul ketika kontak dengan organofosfat (misalnya insektisida) karena
molekul organofosfat terikat pada asetilkolinesterase menyebabkan enzim inaktif sehinga asetilkolin
berlebih. Gejala seperti hipersalivasi, epiphora, diare, mual, muntah, miosis pupil, keringat berlebih,
tremor otot, dan penurunan kesadaran. Antidotum dengan pemberian atropine.
• Ibuprofen  gejala toksisitas sangat jarang terjadi pada dosis dibawah 100 mg/kgBB pada anak,
sementara konsumsi > 400 mg/kgBB pada anak sering sebabkan toksisitas yang serius atau mengancam
nyawa. Gejala dapat berupa mual, muntah, gejala dyspepsia, nyeri perut, perdarahan GI tract, AKI
(peningkatan kreatinin serta hematuria mikroskopik tanpa proteinuria), asidosis metabolic.
Neurotoksisitas sangat jarang kecuali menelan ibuprofen secara massif hingga lebih dari 400 mg/kgBB
(30% pasien alami gejala ringan depresi sistem saraf pusat).
• HIdrokarbon golongan alifatik  yakni yang rantai karbonnya bercabang atau linear (bila rantai berbentuk
cincin dinamakan golongan aromatic), biasanya mudah terbakar seperti misalnya saja metana, asetilen,
dan lainnya. Gejala bervariasi tergantung jenis hidrokarbon penyebab, rute masuknya (oral, dermal, atau
inhalasi), dan banyaknya yang masuk. Secara umum bisa saja terjadi toksisitas pulmoner (sesak, batuk,
aspirasi), sistem saraf pusat (nyeri kepala, letargi, hingga penuruna kesadaran), kardiovaskular (sesak
hingga sinkop), gastrointestinal (mual, muntah, sensasi terbakar di kerongkongan)
• Karbonmonoksida  CO memiliki pengaruh besar dalam transport oksigen dan utilisasi oksigen perifer,
paling sering karena inhalasi asap mengandung CO. Gejala bervariasi mulai dari intoksikasi ringan-sedang
sebabkan nyeri kepala, malaise, mual, pusing, hingga gejala lebih berat seperti penurunan kesadaran,
kejang, koma.
60. Keracunan Sianida
• Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik 
garam sianida dosis kecil dapat menyebabkan kematian
dengan cepat
• Kematian akibat keracunan CN  umumnya pada
pembunuhan atau bunuh diri
• Adanya racun dalam umbi gadung sudah sejak lama
diketahui. Jenis racun yang ada antara lain:
– Dioscorin: Dioskorin dilaporkan memiliki sifat sebagai
antioksidan, antiinflamatori, anti serangga, antipatogen
serta memperlihatkan aktivitas inhibisi terhadap tripsin.
– HCN (sianida) dikenal sebagai racun yang mematikan. HCN
akan menyerang langsung dan menghambat sistem antar
ruang sel, yaitu menghambat sistem cytochroom oxidase
dalam sel-sel, hal ini menyebabkan zat pembakaran
(oksigen) tidak dapat beredar ketiap-tiap jaringan sel-sel
dalam tubuh
• Penatalaksanaan pasien keracunan sianida oleh
petugas medis adalah sbb :
– Stabilisasi pasien melalui penatalaksanaan jalan nafas,
fungsi pernafasan dan sirkulasi
– Rangsang muntah dan kumbah lambung dilakukan tidak
boleh dari 4 jam setelah mengkonsumsi singkong beracun.
– Pemberian arang aktif dengan dosis 1 g/kg atau 30-100
gram dan anak-anak 15 – 30 gram
– Antidotum : antidotum diberikan jika pasen mengalami
penurunan kesadaran atau koma
• Natrium siosulfat 25% melalui intravena
• Amyl nitrit
• Natrium nitrit 3%
• Larutan hydroxocobalamin 40%
• Dimethylaminophenol (4-DMAP) 5%
• Larutan Dicobalt edetat 1,5%
SOAL NO 61
• Seorang anak perempuan berusia 12 tahun
datang dibawa ke poliklinik RS dengan keluhan
terdapat benjolan di leher. Benjolan ikut bergerak
saat pasien menelan. Keluhan sesak dan demam
disangkal. Dari anamnesis didapatkan pasien
tinggal di daerah lereng pegunungan dan banyak
masyarakat yang mengalami hal serupa. Pada
pemeriksaan fisik terlihat goiter dalam posisi
normal tanpa menengadah. Apakah
kemungkinan penyebab kondisi yang dialami
pasien dengan kasus diatas?
A.Asupan yodium kurang
B.Kurang energi protein
C.Asupan kalsium kurang
D.Asupan zat goitrogenik berlebih
E. Gangguan autoimun

• Jawaban: A. asupan yodium kurang


• Benjolan di leher yang ikut bergerak saat
menelan besar kemungkinan merupakan
pembesaran kelenjar tiroid. Ditambah dengan
riwayat tinggal di pegunungan dan banyak
penduduk yang mengalami keluhan serupa
mengarahkan diagnosis ke struma endemis atau
goiter. Kelainan ini disebabkan oleh defisiensi
yodium yang dapat ditemukan pada orang yang
tinggal di daerah pegunungan. Zat goitrigenik
berlebih seperti tiosianat dan perchlorate juga
bisa sebabkan goiter, namun tidak mengarah jelas
pada kasus diatas.
61. Endemic Goiter dan Defisiensi Yodium
• A goiter is an enlargement of
the thyroid gland. Persons with
enlarged thyroids may have
– normal function of the gland
(euthyroidism),
– thyroid deficiency
(hypothyroidism),or
– overproduction of the
hormones
(hyperthyroidism).
• An endemic goiter is the most common preventable cause of mental
retardation
• Iodine and thyroid hormones are indispensable for somatic growth and
development of several organs and systems in the fetus and infant.
• Thyroid hormone primary is involved in myelination and neuronal-glial cell
differentiation, brain maturation, and is crucial in the development and
maintenance of normal physiological processes
• Etiologi :
– Insufficient dietary iodine intake is the most important etiological factor of
disorders caused by iodine deficiency,
– goitrogens (perchlorates, thiocyanates),
– physiological periods with high requirement of iodine (puberty, pregnancy,
lactating period),
– Increased urinary iodine excretion (nephrosis syndrome),
– high thyroxine binding globuline level (hyperestrogenism, oral contraceptives),
– lack of selenium,
– latent thyroid enzyme defects
– autoimmune thyroid processes may contribute as well
DEFISIENSI YODIUM

• Defisiensi yodium yang • Manifestasi klinis:


parah berpengaruh pada – Endemic goiter
sintesis hormon tiroid – Hipotiroid: fatigue, weight
dan/atau pembesaran gain, cold intolerance, dry
tiroid. skin, constipation, or
depression
• Spektrum Iodine deficiency – Kretinism
disorders (IDDs): endemic – Retardasi mental
goiter, hypothyroidism,
• Tx: yodium 150 mcg/day (pd
cretinism, decreased
ps. Yg tdk hamil),
fertility rate, increased
levotiroksin, radioactive
infant mortality, and mental
iodine, bedah (jika
retardation
kompresif)
DEFISIENSI YODIUM
• Recommended daily • defisiensi iodium postnatal
allowance (RDA) menurut pada bayi dan anak bisa
WHO: mengganggu perkembangan
– Adults and adolescents > 12 mental dan psikomotorik (
years - 150 mcg/day terutama kemampuan memori
– Pregnant women & Lactating dan bahasa)
women - 200 mcg/day • Retardasi mental yang
– Children aged 7-12 years - 120 disebabkan karena kekurangan
mcg/day iodium posnatal bisa bersifat
– Children aged 2-6 years – 90 reversible dengan terapi
mcg/day hormon tiroid.
– Infants – 50 mcg/day
• Retardasi mental karena
kekuraan iodium prenatal
bersifat ireversibel
Therapy
• Iodine deficiency is a global public health problem and, in combating it, emphasis
should be placed on diagnosis and correction at the level of the community rather
than the individual.
• Community:
– Iodization of salt is the preferred method of increasing iodine intake in a community
– The usual "dose" is between 10 and 50 mg of iodine/kg salt (sodium chloride) as potassium iodide
or iodate
– Other options: iodized oil (Lipiodol), iodized water, and iodine tablets or drops
• Individual:
– Correction of iodine deficiency at the level of the community rather than the individual is preferred.
– Methods of iodide administration for the individual include oral administration of potassium iodide
solution every two to four weeks and daily administration of tablets containing from 100 to 300
mcg potassium iodide.
– Lipiodol, developed as a radiographic contrast agent, contains 480 mg iodine/mL. A single oral dose
of 0.5 to 1 mL provides an adequate amount of iodine for six months to one year; intramuscular
administration of the same dose provides an adequate amount for two to three years
SOAL NO 62
• Seorang anak perempuan berusia 4 tahun datang dibawa
ibunya ke RS dengan keluhan perkembangan sang anak
tidak sesuai umur teman sebayanya. Pasien lahir cukup
bulan dengan BBL 2900 gram dan langung menangis. Sejak
lahir dikatakan ibu anak sudah ada benjolan pusar atau
bodong, sulit menyusu, lidah besar, dan bertambah berat
badan, jarang BAB, serta jarang menangis. Saat ini
ditemukan berat badan anak 8 Kg dengan panjang badan
tidak sesuai usia, lingkar kepala juga tidak sesuai usia (lebih
kecil). Pasien hanya bisa makan bubur halus dan susu
sedikit – sedikit. Pada hasil pemeriksaan lab ditemukan, Hb
9 g/dL, leukosit 7800, dan trombosit 320.000 serta TSH
meningkat, fT4 rendah. Apakah diagnosis yang sesuai
untuk pasien kasus diatas?
A.Cerebral palsy
B.Global development delay
C.Hipotiroid didapat
D.Hipotiroid kongenital
E. Retardasi mental

• Jawaban: D. Hipotiroid kongenital


• Keluhan perkembangan dan pertumbuhan anak yang lebih
kecil dibandingkan teman seusianya disertai dengan kadar
TSH meningkat dan T4 rendah mengarahkan diagnosis ke
hipotiroid kongenital. Hal ini juga ditunjang dengan adanya
gejala kea rah hipotiroidisme yang mula tampak sejak anak
lahir seperti bodong (hernia umbilical), macroglossia, sulit
menyusu dan berat badan sulit naik, jarang BAB, dan jarang
menangis. Hipotiroid kongenital merupakan suatu keadaan
produksi hormon tiroid inadekuat pada neonatus baik
akibat kelainan pada kelenjar tiroid, adanya defisiensi
iodium, ataupun inborn error metabolism. Gejala utama
kelainan ini antara lain berkurangnya aktifitas, nafsu makan
dan pertambahan berat badan yang kurang, pertumbuhan
yang terlambat, hipotonia, konstipasi serta ikterus.
62. Hipotiroid Kongenital
• Hipotiroid kongenital adalah kelainan fungsi dari
kelenjar tiroid yang didapat sejak bayi baru lahir.
• Kondisi ini dapat terjadi karena kelainan anatomi
atau gangguan metabolisme pembentukan hormon
tiroid atau defisiensi iodium.
• Thyroid Releasing Hormone (TRH), iodium dan
hormone tiroksin (T4) bisa melewati plasenta
• Namun, antibodi (TSH receptor antibody) dan obat
anti tiroid yang dimakan ibu, juga dapat melewati
plasenta. Akan tetapi TSH dari ibu, tidak bisa
melewati plasenta.

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Hipotiroid kongenital pada Anak

• Merupakan salah satu penyebab retardasi


mental yang dapat dicegah. Bila terdeteksi
setelah usia 3 bulan, akan terjadi penurunan
IQ bermakna.
• Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya
diagnosis etiologi ditegakkan sebelum usia 2
minggu dan normalisasi hormon tiroid
(levotiroksin) dengan levotiroksin harus
dilakukan secepatnya

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Hipotiroid Kongenital
Saat usia 10-11 minggu kehamilan, kelenjar tiroid fetal
sudah dapat menghasilkan hormone tiroid
Bila terjadi penghambatan maka akan menghasilkan
hipotiroid kongenital, contoh:
• Immunoglobulin G (IgG) autoantibodies, seperti pada
tiroiditis autoimmune seperti hashimoto, bisa
melewati plasenta dan menghambat fungsi tiroid
• Thioamides (PTU) yang bisa melewati plasenta juga
mencegah produksi hormone tiroid fetal
• Radioactive iodine pada ibu hamil bisa mengablasi
kelenjar tiroid fetus secara permanen
http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview#aw2aab6b2b2aa
Gambaran klinis
Quebec Clinical Scoring
for Congenital Hypothyroid
Skrining
• Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah ketika umur
bayi 48 sampai 72 jam.
• Namun, pada keadaan tertentu pengambilan darah masih bisa
ditolerir antara 24–48 jam (contoh: ibu pulang paksa).
• Akan tetapi, sebaiknya darah tidak diambil dalam 24 jam pertama
setelah lahir karena pada saat itu kadar TSH masih tinggi, sehingga
akan memberikan sejumlah hasil tinggi/positif palsu (false positive).
• Jika bayi sudah dipulangkan sebelum 24 jam, maka spesimen perlu
diambil pada saat kontrol, tepatnya saat bayi berusia 48 sampai 72
jam
• Sampel darah diteteskan di kertas saring dan diperiksa di
laboratorium
• Hasil sudah bisa diperoleh dalam 1 minggu

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Skrining Hipotiroid (Kemenkes)
• Kadar TSH < 20 μU/mL berarti normal
– Jika kadar TSH antara ≥ 20 μU/mL , perlu pengambilan spesimen ulang
(resample) atau pemeriksaan sampel sekali lagi (DUPLO)
• Bila pada hasil ulang didapatkan:
– Kadar TSH < 20 μU/mL, maka hasil tersebut dianggap normal.
– Kadar TSH ≥ 20 μU/mL, maka harus dilakukan pemeriksaan TSH dan
FT4 serum
• Jika kadar serum neonatus TSH tinggi disertai kadar T4 atau FT4
rendah, maka dapat ditegakkan diagnosis hipotiroid (kongenital)
primer.
• Pengobatan dengan L-T4 diberikan segera setelah hasil tes
konfirmasi di atas.
• Pemberian tiroksin dikonsultasikan dengan dokter spesialis anak
konsultan endokrin.

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Tatalaksana
• Pengobatan dengan L-T4 diberikan segera setelah hasil tes
konfirmasi.
• Bayi dengan hipotiroid berat diberi dosis tinggi, sedangkan bayi
dengan hipotiroid ringan atau sedang diberi dosis lebih rendah.
• Bayi yang menderita kelainan jantung, mulai pemberian 50% dari
dosis, kemudian dinaikkan setelah 2 minggu.
Dosis levotiroksin (L-T4)

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Target pengobatan

• Nilai T4 serum,130 – 206 nmol/L (10 – 16


μg/dl )
• FT4 18 – 30 pmol/L (1,4 - 2,3 μg/dl) kadar FT4
ini dipertahankan pada nilai di atas 1,7 μg/dl
(75% dari kisaran nilai normal). Kadar ini
merupakan kadar optimal.
• Kadar TSH serum, sebaiknya dipertahankan di
bawah 5 μU/mL

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


SOAL NO 63
• Bayi laki laki berusia 1 minggu tampak
mengeluarkan cairan berwarna putih dari
payudaranya. Bayi lahir cukup bulan secara
spontan dengan berat badan lahir 3000 gram
serta panjang badan 50 cm. Bayi saat ini hanya
mengonsumsi ASI. Keluhan demam saat ini
disangkal. Bayi tampak aktif, menyusu dengan
kuat serta tidak rewel. Ibu pasien merasa
khawatir dengan kondisi ini. Apakah tindakan
yang tepat dilakukan pada kasus di atas?
A.Lakukan insisi pada benjolan
B.Kompres dengan air hangat
C.Kompres dengan antiseptik
D.Diberi antibiotik
E.Dibiarkan saja

• Jawaban: E. Dibiarkan saja


• Keluarnya cairan putih dari payudara bayi tanpa disertai
gejala lainnya seperti pada soal di atas mengarahkan
diagnosis ke galaktorea neonatus atau disebut pula Witch`s
Milk. Kondisi ini muncul pada sekitar 5% neoatus (baik
perempuan maupun laki-laki) yang lahir cukup bulan dan
minum ASI. Galaktorea ini dapat terjadi akibat pengaruh
hormon ibu terhadap bayi selama kehamilan. Hormon ini
akan tetap bersirkulasi dalam tubuh bayi hingga beberapa
minggu setelah kelahiran. Pada 2% kasus, sekresi susu
terjadi hingga usia bayi 2 bulan. Kondisi ini akan hilang
dengan sendirinya dalam beberapa bulan sehingga tidak
perlu penatalaksanaan khusus atau manipulasi tertentu.
63. Galaktorea Neonatus

• Galaktorea neonatal (Witch`s Milk atau


neonatal milk) muncul pada 5% nenonatus
baik perempuan ataupun laki – laki
• Galaktorea terjadi akibat hormon ibu
mempengaruhi tubuh bayi saat sebelum lahir
• Hormon ibu akan bertahan dalam tubuh bayi
hingga beberapa bulan setelah dilahirkan
• Sekitar 2% anak mensekresikan susu hingga
berumur 2 bulan
• Bayi biasanya memiliki nodul pada payudara
• Kondisi ini akan menghilang dengan
sendirinya dalam beberapa bulan
• Tidak perlu dilakukan terapi atau manipulasi
SOAL NO 64
• Seorang bayi perempuan berusia 7 hari dibawa ibunya
ke Rumah Sakit karena keluhan tali pusat berbau. Bayi
lahir cukup bulan, lahir dirumah dibantu bidan.
Mengikuti saran mertuanya, ibu pasien melakukan
perawatan tali pusat tradisional dengan mengoleskan
ramuan herbal yang dikatakan bisa mengeringkan tali
pusat lebih cepat. Pada pemeriksaan anak tampak suhu
37,8oC, RR 42x/menit, HR 140x/menit. Status lokalis
abdomen supel, timpani, tampak keluar cairan
purulent dari tali pusat dan bau, kulit di sekitar
umbilicus merah > 1 cm. Apakah tindakan yang tepat
dilakuakan pada kasus ini?
A.Topical antiseptic
B.Topical antiseptic dan topical antibiotic
C.Intravenous antibiotic
D.Oral antibiotic
E. Topical antiseptic, topical antibiotic, dan oral
antibiotic

• Jawaban: C. Intravenous antibiotik


• Paien mengalami keluar cairan purulent berbau dari
umbilikus disertai adanya tanda peradangan seperti
kulit kemerahan menandakan telah terjadi infeksi pada
umbilikus yang disebut omphalitis. Diduga faktor resiko
bisa karena melahirkan pada kondisi tidak steril
(misalnya di rumah) atau praktek perawatan tali pusat
tidak higienis yang dilakukan ibu. Tatalaksana utama
omphalitis adalah dengan antibiotik parenteral,
sehingga dipilih opsi C yakni antibiotic intravena,
biasanya dipilih yang broad-spectrum (DOC penisilin
antistafilokokus dan aminoglikosida). Antibiotik topikal
dapat diberikan sebagai tambahan namun
efektivitasnya masih belum jelas dan belum terbukti.
64. Omphalitis
Definisi Risk Factor
 Selulitis superfisial yg melibatkan tali • BBLR.
pusar. • Lahir di rumah atau persalinan non
• Dpt berkembang menjadi fasciitis. steril.
• Pada era pre antibiotik  penyebab • Infeksi maternal, KPD.
mortalitas tertinggi pd neonatus • Laki-laki.
• Katerisasi umbilikus.
Epidemiologi • Defisiensi imun.
• Terjadi pd usia 5-9 hari pada NCB • Perawatan tali pusar yg tidak
dan 3-5 hari pd NKB. higienis.
• Bakteri yg terlibat memilki virulensi
tinggi.

Hoffam RJ.Fleisher & Ludwig’s 5-Minute Pediatric Emergency Medicine Consult. New York : Lippincot ; 2012.
Omphalitis
Pathophysiology Diagnosis
• Kolonisasi bakteri pd jaringan sisa umbilikus.
• Sisa jaringan umbilikus merupakan medium • Adanya inflamasi pada jaringan
pertumbuhan bakteri yg dapat menginfeksi jaringan sekitar umbilikus  merah, bengkak,
sekitar.
• Pembuluh darah umbilikus terdekat dpt
dan nyeri.
menyebabkan penyebaran infeksi ke dalam aliran • Cairan purulen dan berbau dari
darah.
• Omfalitis dapat hanya terbatas pada daerah sekitar umbillikus.
umbilikus atau menyebar hingga ke jaringan lunak • Dapat disertai dgn impetigo bulosa.
dalam.
Etiologi • Gejala sistemik  demam, letargis
• Gram positif: Staphylococcus aureus, dan penurunan intake.
Staphylococcus epidermidis, groups A and B
streptococcus
• Gram negatif: Escherichia coli,Klebsiella
pneumoniae,Proteus mirabilis, Pseudomonas
species
• Anaerobes: Clostridium tetani,Clostridium
perfringens, Clostridium difficile, Bacteroides fragilis

Hoffam RJ.Fleisher & Ludwig’s 5-Minute Pediatric Emergency Medicine Consult. New York : Lippincot ; 2012.
Management
Initial Stabilization Medication
Therapy • Parenteral broad-spectrum antibiotics are the mainstay of
• Address airway, breathing, treatment.
and circulation issues. • Antistaphylococcal penicillins and aminoglycoside agents have
• IV access should be promptly typically been the drugs of choice for the treatment and
obtained. prevention of complications in omphalitis:
• Sick neonates are often • Oxacillin, IV: 25 mg/kg t.i.d.–q.i.d.
hypothermic or hypoglycemic, • Gentamycin, IV: 2.5 mg/kg t.i.d.
so temperature and blood • IV cefotaxime (50 mg/kg t.i.d.) may be substituted for the
glucose should be rapidly aminoglycoside.
assessed and treated. • MRSA prevalence  IV vancomycin (10 mg/kg t.i.d.)
• In the toxic-appearing infant, • Consider adding anaerobic coverage such as IV metronidazole (15
completion of the sepsis mg/kg b.i.d.) or IV clindamycin (5 mg/kg t.i.d.) in cases of foul-
workup should not delay the smelling drainage, known maternal infection at the time of
immediate administration of delivery, or deep infection such as myonecrosis or necrotizing
broad-spectrum antibiotics. fasciitiscal
• Additional topical Therapy with triple dye, bacitracin, and other
antimicrobials has been suggested in addition to parenteral
antibiotic therapy, but such treatment is unproven.

Galagher PG. Omphalitis Treatment & Management. 2016. Available from http://emedicine.medscape.com/article/975422
SOAL NO 65
• Anak laki laki berusia 8 tahun, datang dengan
keluhan bengkak pada kelopak mata sejak 2 hari
yang lalu. Sebelumnya anak ini juga mengalami
bengkak pada seluruh tubuh sejak 1 minggu
yang lalu ketika waktu bangun tidur, lama
kelamaan membaik pada siang hari. Saat ini
bengkak hanya terbatas pada tangan, perut dan
kaki. Keluhan demam, kencing berdarah, serta
sesak napas disangkal. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan adanya proteinuria +3,
kreatinin 6, ureum 60. Diagnosa apakah yang
paling memungkinkan?
A.Sindroma nefrotik
B.Sindroma nefritik
C.Gagal ginjal akut
D.Gagal ginjal kronik
E. Kretinisme

• Jawaban: C. Gagal ginjal akut


• Riwayat bengkak di seluruh tubuh yang muncul pada pagi hari serta
membaik pada siang hari sejak 1 minggu yang lalu, bengkak saat ini
pada palpebra, serta tangan dan kaki serta perut, dan
ditemukannya peningkatan kadar kreatinin serum mengarahkan
diagnosis pada gagal ginjal akut. Gagal ginjal akut (GGA) ialah
penurunan fungsi ginjal mendadak yang mengakibatkan hilangnya
kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis tubuh,
ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif
0,5 mg/dL per hari dan peningkatan ureum sekitar 10-20 mg/dL per
hari. GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik. Pada kondisi ini
diketahui adanya gagal ginjal akut saja (intrarenal) karena ada
proteinuria, namun belum bisa diketahui etiologi pastinya apa
(sehingga dipilih opsi GGA). Tidak adanya hematuria menyingkirkan
kondisi sindrom nefritik. Serta tidak cukup data untuk membuktikan
kondisi sindrom nefrotik pada pasien (tidak disebutkan adanya
kondisi hipoalbuminemia hingga hiperlipidemia).
65. Gagal Ginjal Akut

• Gagal ginjal akut (GGA) ialah penurunan fungsi ginjal mendadak yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan
homeostasis
• Terdapat peningkatan kadar kreatinin darah secara progresif 0,5 mg/dL
per hari dan peningkatan ureum sekitar 10-20 mg/dL per hari.
• GGA dapat bersifat oligurik dan non-oligurik.
– Oliguria ialah produksi urin <1 ml/kgBB/ jam untuk neonatus dan <0,8
ml/kgBB/jam untuk bayi dan anak.
• Jenis GGA
– GGA prarenal: dehidrasi, syok, perdarahan, gagal jantung, sepsis
– GGA renal: pielonefritis, glomerulonefritis, nefrotoksisitas karena obat atau
kemoterapi, lupus nefritis, nekrosis tubular akut, SHU, HSP
– GGA pascarenal: keracunan jengkol, batu saluran kemih, obstruksi saluran
kemih, sindrom tumor lisis, buli-buli neurogenik
Klasifikasi
Tatalaksana Medikamentosa GGA
• Terapi sesuai penyakit primer • Pemberian diuretik pada GGA
• Bila terdapat infeksi, dosis renal dengan furosemid 1-2
antibiotik disesuaikan dengan mg/kgBB dua kali sehari dan
beratnya penurunan fungsi ginjal dapat dinaikkan secara
• Pemberian cairan disesuaikan bertahap sampai maksimum 10
dengan keadaan hidrasi mg/kgBB/kali. (pastikan
kecukupan sirkulasi dan bukan
• Koreksi gangguan merupakan GGA pascarenal).
ketidakseimbangan cairan
elektrolit • Bila gagal dengan
medikamentosa, maka
• Natrium bikarbonat untuk dilakukan dialisis peritoneal
mengatasi asidosis metabolik atau hemodialisis.
sebanyak 1-2 mEq/kgBB/ hari
sesuai dengan beratnya asidosis
SOAL NO 66
• Anak laki-laki berusia 8 tahun datang diantar
ibunya dengan keluhan bengkak pada kelopak
mata serta bengkak pada kedua kaki yang
dialami sejak 3 hari terakhir. Riwayat demam
atau kenicng berdarah disangkal.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan
albumin 1.7 g/dl, proteinuria +4, total
kolesterol 245, dan oval fat body cast. Apa
diagnosis pada pasien ini?
A.Minimal change glomerulopathy
B.Glomerulosklerotik fokal segmental
C.Nefropati membranosa
D.Glomerulonefritik proliferatif mesangial
E. Glomerulonefritis rapid progresif

• Jawaban: A. Minimal change glomerulopathy


• Pada kasus ini ditemukan keluhan berupa edema dengan hipoalbumin dan
proteinuria serta hiperkolesterolemia yang mengarahkan diagnosis ke sindroma
nefrotik (SN). Pada Sindroma Nefrotik Idiopatik anak, dibawah mikroskop
gambaran histopatologi yang paling sering tampak berupa minimal change
glomerulopati atau nil disease yang emncakup 90% kasus dibawah 10 tahun. Pada
opsi lainnya:
• Glomerulosklerosis fokal segmental, maka hanya sebagian glomerulus saja
terpengaruh dan alami sclerosis sehingga pasien dapat alami non-selective
proteinuria, hematuria, berlanjut ke gagal ginjal kronik
• Nefropati membranosa, maka akan ditemukan penebalan dari capillary loops,
namun selularitas tidak meningkat, biasanya penyebab paling sering sindrom
nefrotik di dewasa, bisa idiopatik, bisa juga terkait infeksi kronis misalnya hepatitis
B hingga SLE
• Glomerulonefritis rapid progresif (RPGN) umumnya ada bentuk crescent ekstensif
dan penurunan fungsi ginjal sangat cepat (>50% penurunan GFR dalam 3 bulan)
• Glomerulonefritis proliferative mesangial biasanya ditemukan pada kondisi
penyakit imun misalnya nefropati IgA atau lupus nephritis maupun kondisi non
imun misalnya diabetic glomerulosclerosis
66. Sindrom Nefrotik

• Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik


dengan gejala:
– Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik ≥ 2+)
– Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL
– Edema
– Dapat disertai hiperkolesterolemia
• Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik,
dan sekunder (mengikuti penyakit sistemik antara lain
lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein)

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Decreased plasma protein Increased capillary protein
osmotic pressure (severe permeability (due to release of
liver failure, nephrotic vasoactive substances) (e.g.
syndrome) burns, trauma, infection)

Increased capillary
parasitic infection of
pressure (failure of
lymph nodes
venous pumps, (filariasis)
heart failure)
EDEMA
Nefrotik vs Nefritik
Diagnosis

• Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut,


tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin.
Urin dapat keruh/kemerahan
• Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites,
edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi
• Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio
albumin kreatinin urin > 2, dapat disertai hematuria.
Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200
mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Definisi pada Sindrom Nefrotik

• Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4


mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2
LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6
bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4
kali per tahun pengamatan
• Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali
dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4
kali dalam periode 1 tahun
Definisi pada Sindrom Nefrotik

• Dependen steroid : relaps terjadi pada saat


dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari
setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut
• Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada
pengobatan prednison dosis penuh (full dose)
2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tatalaksana

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Tatalaksana Diet pada SN Anak
• Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan
kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus
untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus.
• Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi
protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan
anak.
• Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari.
• Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama
anak menderita edema.
Diuretik pada SN Anak
• Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat.
• Biasanya diberikan loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila
perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron,
diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
• Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
• Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat
diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam
untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan
pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb.
• Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk
memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.
Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan, dapat
dilakukan punksi asites berulang
Contoh Glomerulonefritis berdasarkan
Morfologi:
• Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)
• Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN)
• Focal segmental glomerulosclerosis (FSGS)
• Membranous GN
• Mesangial Proliferative GN
• Membranoproliferative glomerulonephritis
(MPGN)/ mesangiocapillary glomerulonephritis
(MCGN)
Minimal-Change Glomerulonephritis
• Nama lain Nil Lesions/Nil Disease (lipoid
nephrosis)
• Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)
merupakan penyebab tersering dari sindrom
nefrotik pada anak, mencakup 90% kasus di
bawah 10 tahun dan >50% pd anak yg lbh tua.

Nephrology (Carlton). 2007 Dec;12 Suppl 3:S11-4.


Pathophysiology of minimal change nephrotic syndrome and focal segmental glomerulosclerosis.
Cho MH, Hong EH, Lee TH, Ko CW.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17995521
Mesangial Proliferative GN
• Mesangioproliferative pattern of glomerular
injury is characterized by the expansion of
mesangial matrix and the mesangial
hypercellularity.
• Contoh: immune disease such as IgA
nephropathy or class II lupus nephritis or non-
immune diseases such as early diabetic
glomerulosclerosis
Membranoproliferative glomerulonephritis
(MPGN)/ mesangiocapillary glomerulonephritis
(MCGN)
• Membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN) is an
uncommon cause of chronic nephritis that occurs primarily in
children and young adults.
• This entity refers to a pattern of glomerular injury based on
characteristic histopathologic findings, including:
– (1) proliferation of mesangial and endothelial cells and expansion of
the mesangial matrix
– (2) thickening of the peripheral capillary walls by subendothelial
immune deposits and/or intramembranous dense deposits
– (3) mesangial interposition into the capillary wall, giving rise to a
double-contour or tram-track appearance on light microscopy
SOAL NO 67
• Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun, datang
ke dokter dibawa ibunya karena pasien
mengalami kencing berwarna coklat gelap
seperti air cucian daging. Anak sebelumnya ada
riwayat demam dan nyeri menelan sejak ± 7 hari
yang lalu. Sekitar 3 hari yang lalu pasien mulai
BAK kurang dari 1 gelas/hari, disertai keluhan
nyeri pinggang, serta bengkak pada kelopak
mata. Pada pemeriksaan laboratorium tampak
BUN meningkat, urin eritrosit (+), protein (+),
silinder (+). Apakah diagnosis yang sesuai pada
kondisi diatas?
A.Glomerulonefritis akut
B.Sindroma nefrotik
C.Tumor Wilms
D.Vesikulolithiasis
E. Sindrom hemolitik-uremik

• Jawaban: A. Glomerulonefritis akut


• Pada kasus ini didapatkan demam dan nyeri menelan sejak 7 hari, yang
menunjukkan bahwa kemungkinan terjadi faringitis (kecurigaan infeksi
streptokokkus). Adanya penurunan produksi urin, hematuria, dan protein
urin (+) menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan pada membrane
glomerulus. Kemungkinan diagnosis pada kasus ini adalah
glomerulonephritis akut, yang biasanya berawal dari infeksi streptokokus
dan kemudian menyebabkan hipersensitivitas tipe III sehingga terjadi
GNAPS. Pada opsi lainnya:
• Sindroma nefrotik: memiliki keluhan berupa proteinuria massif,
hypoalbuminemia, edema anasarca, dan hiperkolesterolemia
• Tumor Wilms: memiliki gejala berupa hematuria dengan terdapatnya
massa di abdomen.
• Sindrom hemolitik-uremik: sindroma klinis berupa kerusakan ginjal
progresif disertai anemia hemolitik non-autoimmune dan trombositopenia
67. Glomerulonefritis akut Pasca Streptokokus

• Glomerulonefritis akut ditandai dengan edema, hematuria, hipertensi dan


penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana terjadi inflamasi pada
glomerulus
• Acute poststreptococcal glomerulonephritis is the archetype of acute GN
• GNA pasca streptokokus terjadi setelah infeksi GABHS nefritogenik → deposit
kompleks imun di glomerulus
• Diagnosis
– Anamnesis: Riwayat ISPA atau infeksi kulit 1-2 minggu sebelumnya, hematuri
nyata, kejang atau penurunan kesadaran, oliguri/anuri
– PF: Edema di kedua kelopak mata dan tungkai, hipertensi, lesi bekas infeksi, gejala
hipervolemia seperti gagal jantung atau edema paru
– Penunjang: Fungsi ginjal, komplemen C3, urinalisis, ASTO
• Terapi: Antibiotik (penisilin, eritromisin), antihipertensi, diuretik

Geetha D. Poststreptococcal glomerulonephritis. http://emedicine.medscape.com/article/240337-overview


Causes of glomerulonephritis in children
PRIMARY GLOMERULONEPHRITIS
Membranous glomerulonephritis
Membranoproliferative glomerulonephritis type I
Membranoproliferative glomerulonephritis type II (dense deposit disease)
IgA nephropathy
Anti-glomerular basement membrane disease
Idiopathic crescentic glomerulonephritis
SECONDARY GLOMERULONEPHRITIS
Post-streptococcal glomerulonephritis
Other post-infectious glomerulonephritis
Henoch-Schönlein purpura nephritis
Systemic lupus erythematosus nephritis
Microscopic polyangiitis
Wegener granulomatosus
Mekanisme GNAPS
• Terdapat 4 mekanisme yang mungkin menimbulkan GNAPS:
1. Adanya kompleks imun dengan antigen streptokokal yang
bersirkulasi dan kemudian terdeposisi.
2. Deposisi dari antigen streptokokus pada membrane basal
glomerulus yang berikatan dengan antibody sehingga terbentuk
kompleks imun.
3. Adanya antibody terhadap antigen streptokokal yang bereaksi
terhadap komponen glomerulus yang menyerupai antigen
streptokokus (molecular mimicry)
4. Adanya proses autoimun
• Dari keempat mekanisme tersebut, mekanisme kedua adalah
mekanisme pathogenic yang paling banyak ditemukan.
Patogenesis dan Patofisiologi
Streptococcal infection

Aktivasi komplemen Komplemen serum turun

Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun

GFR turun Reabsorbsi natrium distal

oliguria
Retensi air dan natrium

Volume darah meningkat

Edema dan hipertensi


Pemeriksaan penunjang
• Urinalisis
• Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
• Peningkatan ureum dan kreatinin
• GNAPS:
• ASTO meningkat (ASTO: antibodi terhadap streptolysin
O, yang merupakan toxin yang diproduksi oleh kuman
grup A)
• Komplemen C3 menurun pada minggu pertama
• Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia,
dan hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut
Therapy in Pediatric GNAPS
• The major goal is to control edema and blood pressure
• Management of edema:
– Sodium and fluid restriction
• A sodium-restricted diet is tailored to provide the child with approximately 2 to 3 mEq of
sodium/kg per day (23-46 mg/kg), the amount of sodium required for a growing child.
• maximum sodium intake of 2000 mg/day
• Fluid restriction can be considered in patients with generalized edema in poststrep GN
– Diuretic therapy
• If significant edema or hypertension develops
• Loop diuretics (eg, (Furosemide 1-2 mg/kg/kali IV per 6-12 jam; Oral: 2 mg/kg once daily)
• Management of Hypertension
– For hypertension not controlled by diuretics, usually calcium channel blockers,
angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEIs), or angiotensin receptor blockers
(ARBs) are useful
• Specific therapy:
– Strep Inf. (+): Treat with oral penicillin V (250 mg qid for 7-10 d for children ≤27 kg) or with
erythromycin (250 mg qid for 7-10 d) for patients allergic to penicillin
– This helps prevent nephritis in carriers and helps prevent the spread of nephritogenic strains to
others
• Indications for dialysis include life-threatening hyperkalemia and clinical
manifestations of uremia
• Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari.

Anda mungkin juga menyukai