Anda di halaman 1dari 23

HUBUNGAN ANTARA SAINS DAN AGAMA

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Falsafah Kesatuan Ilmu
Dosen Pengampu: Lis Setiyo Ningrum, M.Pd.

Disusun oleh:

Siti Mustika Asih (1808076055)


Puji Lastari (1808036023)
Bayu Widaswara (1908036028)

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat dan
karunia -Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hubungan Antara Sains dan
Agama Dalam Ilmu Filsafat” dengan tepat waktu. Dalam makalah ini kami membahas
mengenai hal – hal yang berkaitan dengan ilmu sains dengan agama. Pembahasan ini sangat
penting untuk dipelajari, karena kita sebagai kaum yang paham sedikit banyaknya ilmu sains
harus diimbangi dengan ilmu agama agar mampu menelaah ilmu dengan berlandaskan
agama.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu dan rekan tim
kelompok yang dapat bekerja sama dengan baik. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kata sempurna.Oleh karena itu, kami mengharapakan kritik dan saran dari pembaca yang
bersifat membangun sebagai perbaikan dalam pembuatan makalah kami selanjutnya.

Semarang, 4 Maret 2020

Tim penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan


demikian cepat. Sementara itu, pemahaman yang terkait dengan pengembangan
teknologi yang mendasarkan pada keimanan berjalan lebih lambat. Para ilmuwan
berargumentasi bahwa semua penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat
dipertanggungjawabkan, sebaliknya para agamawan lebih sibuk membicarakan
persoalan akhirat dan pesan-pesan moral, tidak heran jika selalu terjadi benturan
antara ilmu pengetahuan dan agama.

Sains dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, namun keduanya sama-
sama memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan manusia. Sains dan islam
merupakan bidang ilmu pengetahuan yang memiliki cara pandang yang berbeda
dalam menyikapi kehidupan masa kini. Namun disamping perbedaan teresebut masih
ada hubungan timbal-balik yang sangat dahsyat apabila diantara sains dan islam
diintegrasikan dengan pola yang baik. Dengan lahirnya agama, menjadikan umat
manusia memiliki iman yang menjadikan hidupnya lebih terarah, berkat agama pula
telah menjadikan manusia lebih beretika, bermoral dan beradab. Sementara sains yang
memberikan banyak pengetahuan kepada manusia, dengan semakin berkembangnya
sains akan memajukan dunia dengan berbagai penemuan yang gemilang serta
memberikan kemudahan fasilitas yang sangat menunjang keberlangsungan hidup
manusia.

Agama dan ilmu sangatlah saling terkait karena orang yang banyak ilmunya
apabila tanpa di topang oleh agama semua ilmu tidak akan membawa kemaslahatan
umat, sebagai contoh negara- negara maju yang sangat gigih mendalami ilmu dan
teknologi, tetapi sering menjadi sumber pemicu terjadinya peperangan, begitupun
juga orang yang sangat sibuk dengan belajar agama ,tetapi tidak mau menggali ilmu
dan pengetahuan alam disekitar kita , maka akan mengalami kemunduran , sedangkan
untuk mencapai kebahgiaaan akhirat haruslah banyak berbut/beribadah dalam hal
untuk kemajuaan umat, apa jadinya apabila semua umat berkutik di ritualitas saja, ini
adalah suatu pertanyaan gambaran yang menyedihkan.
Seperti halnya dengan ilmu dan filsafat, agama tidak hanya untuk agama,
melainkan untuk diterapkan dalam kehidupan dengan segala aspeknya. Pengetahuan
dan kebenaran agama yang berisikan kepercayaan dan nilai- nilai dalam kehidupan,
dapat dijadikan sumber dalam menentukan tujuan dan pandangan hidup manusia, dan
sampai kepada perilaku manusia itu sendiri.

Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan


keterlibatan pribadi, walaupun kita dapat sepakat tidak ada definisi agama yang dapat
diterima secara universal. Kemajuan spritual manusia dapat diukur dengan tinggi nilai
yang tak terbatas yang ia berikan kepada objek yang ia sembah. Seorang yang religius
merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai
sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.

Wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu, akal saja tidak
sanggup mengadili agama. Para ulama sekalipun, meski mereka meyakini kebenaran
yang dianut tetapi tetap tidak berani mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh
karena itu mereka selalu menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu
bissawab, bahwa hanya allahlah yang lebih tahu mana yang benar. Agama
berhubungan dengan tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan
hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima dengan
logika.

Meski demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik menarik
dan berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya akur, bekerjasama atau
sama-sama kerja, terkadang saling menyerang dan menghakimi sebagai sesat, agama
memandang ilmu sebagai sesat, ataupun sebaliknya. Namun, hubungan agama dan
sains bukanlah polemik yang baru-baru saja menggulir dalam dunia keilmuwan.
Konflik ini telah ada sejak beberapa abad yang lalu. Sejak pertengahan abad ke-15
agama dan sains adalah dua esensi yang sangat berbeda dan bertentangan. Bagaimana
sekarang ini hubungan antara agama dan sains? Kemudian bagaimana dengan islam
dalam memandang sains? Dalam makalah ini akan dijelaskan secara lebih rinci
mengenai hubungan agama dengan sains, khususnya islam dalam memandang sains.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan agama dan sains ?
2. Bagaimana hubungan antara sains dengan agama?
3. Apa saja ciri – ciri dan manfaat agama ataupun sains?
4. Bagaimana tipologi antara agama dengan sains?
5. Bagaimana pandangan islam mengenai sains?
6. Siapa saja tokoh dibidang ilmu sains yang berpengaruh terhadap perkembangan
ilmu agama?

C. Tujuan
1. Memahami pengertian agama dan sains
2. Mengetahui hubungan antara ilmu sains dengan agama
3. Mengetahui ciri ciri dan manfaat agama ataupun sains
4. Mengetahui tipologi antara agama dengan sains
5. Mengetahui pandagan islam mengenai sains
6. Mengetahui tokoh atau ilmuan sains yang berpengaruh terhadap perkembangan
ilmu agama
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia agama merupakan Sistem atau
kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut juga dewa atau nama lainnya. Sebagian
orang apabila ditanya tentang agama maka  jawabannya adalah pegangan hidup yang
dianutnya yang memberikan kedamaian. Indonesia merupakan negara pluralitas dan
salah satunya dalam hal agama. Terdapat lebih dari 5 agama atau kepercayaan yang
dianut oleh masyarakat indonesia antara lain, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha,
Konghucu, serta kepercayaan masyarakak (Animisme dan Dinamisme).
Pengertian tentang agama sangatlah banyak, namun Harun Nasution
mendefinisikan agama sebagai berikut:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhiPengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
2. Mengikatkan diri pada suatu bentuka hidup yang mengandung pengakuan pada
suatu sumber  yang berada diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-
perbuatan manusia.
3. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
4. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
5. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada
kekuatan yang gaib.
6. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemahdan pesrasaan
takut terhadap kekuatan misteriusyang terdapat dalam alam sekitar manusia.
7. Ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.

Dapat disimpulkan, agama adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang
dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya.
Pokok pembahasan yang dibahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan, manusia,
serta hubungan antara manusia dengan Tuhan. Agama memang mengandung arti
ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai penagruh
besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu
kekuatan yang lebih tinngi dari manusia.

Aktivitas agama itu sendiri mencakup kepada: ketaatan dan kecintaan terhadap
Tuhan, penerimaan wahyu yang supranatural, kepercayaan kepada jiwa, kebaktian,
pemisahan antara yang sakral dengan profane pengorbanan, perasaan diosa dan
menyesal serta pencarian keselamatan. Agama tidak hanya sekedar agama, melainkan
untuk diterapkan daam kehidupan dan segala aspeknya.

Dalam agama, harus ada perealisasian dalam kehidupan manusia dengan


mematuhi ajaran agama yang telah dianut manusia tersebut sehingga manusia yang
memang benar-benar mematuhi jaran agam akan mendapatkan balasannya kelak nanti
di akhirat. Pengetahuan dan kebenaran agama dapat dijadikan sumber inspirasi untuk
menyusun teori-teori dalam kehidupan. Pengetahuan dan kebenaran agam a yang
berisikan kepercayaan dan nilai-nilai dalamkehidupan, dapat dijadikan sumber dalam
menentukan tujuan dan paradigma hidup manusia, dan sampai pada perilaku manusia
itu sendiri.

B. Ciri – Ciri Agama


Ciri-ciri agama adalah sebagai berikut:
1. Agama merupakan suatu sistem keimanan atau keyakinan terhadap sesuatu yang
mutlak
2. Agama merupakan satu sistem ritual atau peribadatan atau penyembahan
3. Agama merupakan suatu sistem nilai (value system) atau sistem norma yang
menjadi pola hubungan manusiawi antara sesama manusia.
4. Agama memiliki kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib, Maha Agung, dan
pencipta alam semesta (Tuhan).
5. Manusia melakukan hubungan dengan Tuhan dengan melakukan berbagai cara,
seperti dengan mengadakan upacara-upacara ritual, pemujaan, pengabdian,
ataupun do’a.
6. Agama memiliki suatu ajaran yang harus di jalankan oleh setiap pemeluknya.
C. Manfaat Agama
Menurut Hocking, agama merupakan obat dari kesukaran, dan kekhawatiran
yang dihadapi manusia, sekurang-kurangnya meringankan kehawatiran dari kesukaran
yang dialami manusia tersebut. Agama merupakan pernyataan pengharapan manusia
dalam dunia yang besar (jagat raya), karena ada jalan hidup yang benar yang perlu
ditemukan. Tujuan akhir dari agama bagi manusia adalah mengembalikan manusia
kepada keadaan sebelum ia diciptakan, dan ini melibatkan upaya pencarian identitas
dan nasib terakhirnya, dengan melakukan perbuatan yang benar (amal shaleh).
Kemudian bagaimana dengan Islam? Dalam bahasa Arab, perkataan "Islam"
bermaksud "tunduk" atau "patuh". Jika seorang Muslim ditanya, "Apakah itu Islam?",
biasanya dia akan menjawab, "Agama yang tunduk kepada Allah, satu-satu Tuhan
yang benar." Tidak hanya bermakna demikian, Islam adalah agama yang diturunkan
Allah yang memberikan keselamatan serta sebagai rahmat bagi seluruh alam yang
diturunkan melalui Nabi Muhammad saw yang memiliki kitab suci Al-qur’an sebagai
pedoman hidup. Islam muncul dunia yang fana ini untuk memberikan solusi serta
menjawab permasalahan-permasalahan hidup dialami oleh manusia. Islam bukanlah
satu golongan, kepentingan kelompok tertentu ataupun kepentingan politik lainnya
dan juga Islam bukanlah semata-mata untuk umat Islam itu sendiri. Lebih dari itu,
Islam diturunkan oleh Allah dengan suatu visi dan misi, yaitu untuk menyebarkan
kebaikan dan keselamatan serta rahmat bagi seluruh alam.
١٠٧﴿ ‫﴾وما ارسلنك ٳال رحمۃ للعلمين‬
"Dan Kami tidak mengutus Engkau ( Muhammad) melainkan unutk (menjadi) rahmat
bagi seluruh alam”. (QS Al-Anbiya [21] : 07)
Islam tidak hanya mengatur urusan pribadi, juga bukan sekedar mengatur
urusan ibadah ukhrawi. Islam telah menjadi way of  life, pandangan sekaligus
pedoman hidup yang mengatur segala segi. Agama Islam menjadi alternatif yang
mampu mengatur segala permasalahan hidup manusia. Al-Qur’an sebagai sumber
sains dan pengetahuan spiritual. Al-Qur’an merupakan sumber intelektualitas dan
spiritualitas. Ia merupakan basis bukan hanya bagi agama tetapi bagi semua jenis ilmu
pengetahuan. Al-Qur’an bukan lah kitab sains tetapi ia memberikan pengetahuan
tentang prinsip-prinsip sains, yang selalu dikaitkan dengan pengetahuan metafisik dan
spiritual (Bakar, 1994 : 74).
D. Pengertian Sains
Kata sains berasal dari kata science, scienta, scine yang artinya mengetahui.
Dalam kata lain, sains adalah logos, sendi, atau ilmu. Sains dapat diartikan sebagai
ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencari kebanaran berdasarkan fakta atau
fenomena alam (Sudjana, 2008 : 3-4). Sains yang dipahami dalam arti sebagai
pengetahuan obyektif, tersusun, dan teratur tentang tatanan alam semesta. Sains pada
wilayah yang sempit atau spesifik dapat dipahami sebagai ilmu pengetahuan alam dan
pada tataran yang luas dipahami sebagai sagala macam disiplin ilmu pengetahuan.
Djojosoebagio, S (1995) sebagaimana dikutip oleh Sudjana (2008 : 4)
mengemukakan beberapa sifat-sifat sains antara lain ;
1. Kumulatif, artinya dinamis atau tidak statis karena selalu mencari tambahan ilmu
mengingat kebenaran bersifat sementara.
2. Ekonomis untuk penjelasan-penjelasan dan kaidah-kaidah yang kompleks,
formulasinya sederhana, susunannya ekonomis sehingga dipakai istilah pendek,
simbol dan formula.
3. Dapat dipercaya atau diandalkan untuk meramalkan sesuatu dan lebih baik
hasilnya daripada pekerjaan berdasarkan perkiraan saja.
4. Mempunyai daya cipta tentang sesuatu
5. Dapat diterapkan untuk menganalisis perilaku atau kejadian-kejadian alamiah.

Ciri-ciri sains menurut Melsen (1994) yang dikutip oleh Sudjana (2008 : 4-5)  dalam
buku yang sama antara lain ;
1. Secara metode, harus mencapai suatu keseluruhan logika dan teori yang berlaku
2. Harus tanpa pamrih
3. Universalisme
4. Objektifitas
5. Intersubjektifitas
6. Progresif
E. Manfaat Sains
Dalam kehidupan manusia sians diidentikan dengan penelitian-penelitian yang
memberikan manfaat yang sangat besar dalam kehidupan manusia itu sendiri. Karena
dengan adanya sains membuat peradaban manusia menjadi lebih maju. Dengan
munculnya teknologi membuat manusia ingin lebih mengembangkan adanya
teknologi tersebut dengan mengadakan penelitian-penelitian demi kelangsungan
hidup manusia yang lebih baik.
F. Sains dan Agama
Sains dan agama, merupakan dua entitas yang sama-sama telah mewarnai
sejarah kehidupan umat manusia. Sebab, keduanya telah berperan penting dalam
membangun peradaban. Dengan lahirnya agama,tidak saja telah menjadikan umat
manusia memiliki iman,tapi hal lain yang tidak bisa dipandang sebelah mata adalah
terbangunnya manusia yang beretika, bermoral dan beradab yang menjadi pandangan
hidup bagi manusia dalam menjalani hidup di dunia.
Sementara sains dengan puncak perkembangan yang telah dicapai, juga telah
menjadikan kemajuan dunia dengan berbagai penemuanyanggemilang.Tetapi,
sepanjang sejarah ke hidupan umat manusia itu pula, hubungan sains dan agama tak
bisa dikata selalu harmonis. Dalam hal ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
persamaan dan perbedaan sain dan agama.
1. Persamaan Agama dan Sains
Antara sains dan agama tentunya terdapat persamaan-persamaan diantaranya
keduanya merupakan sumber atau wadah kebenaran (obyektifitas) atau bentuk
pengetahuan. Sains bertujuan mencari kebenaran tentang mikrokosmos (manusia),
makrokosmos (alam), dan eksistensi Tuhan atau Allah. Dan agama bertujuan
untuk kebahagiaan ummat manusia di dunia akhirat dengan menunjukkan
kebenaran asasi dan mutlak itu. Baik itu mengenai manusia alam maupun Tuhan
atau Allah itu sendiri.
2. Perbedaan karakteristik agama dan sains

No Karakteristik Sains Agama

1 Sumber Akal Wahyu (Alqur’an dan Hadist)

2 Obyek Fisik, sebab-akibat Makna (meaning), nilai (values),

3 Pertanyaan how (bagaimana) why (mengapa)

4 Sifat tertutup,
terbuka, mengungkapkan,
menginformasikan,
mereformasi
menjelaskan

5 Karakter terukur dg ‘angka’ non-metrical

6 Isi logika, teoretik, kaidah,


iman, wahyu
predicable à futuristic

7 Operasi  Pengalaman, data empiris sami’na wa atho’na

G. Tipologi Hubungan Antara Sains dan Agama


Sains dan agama merupakan dua hal penting dalam sejarah kehidupan umat
manusia. Keduanya memiliki sejarah hubungan yang panjang. Apabila Sains
dipahami dalam arti yang umum, yakni sebagai pengetahuan objektif, tersusun, dan
teratur tentang tatanan alam semesta, bukan dalam pengertian terbatas sebagai produk
pemikiran modern semata, maka sesungguhnya pengetahuan seperti itu telah tumbuh
secara ekstensif dalam peradaban pra-modern seperti China, India, dan Islam.
Perbedaan paling menonjol antara sains yang berkembang pada masa pra-modern dan
sains modern terletak pada posisinya dalam hubungannya dengan agama. Dalam
peradaban-peradaban pra-modern, sains berhubungan erat dengan agama (Osman
Bakar,1991).
Berbeda dengan sains pra-modern yang berhubungan erat dengan agama, Sains
modern melepaskan diri dari agama. Sains modern adalah model pengkajian terhadap
alam semesta yang dikembangkan oleh para filosof dan ilmuwan barat sejak abad -17,
termasuk seluruh aplikasi praktisnya dalam wilayah teknologi (Osman Bakar,1991)
Sains modern lahir dari gerakan renaisans. yakni suatu gerakan yang muncul
pada abad ke lima belas dan ke enam belas. Secara harfiah, “renaissance” berarti
kelahiran kembali.yang dimaksudkan dengan kelahiran kembali di sini adalah usaha
untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik. Pada saat itu orang mencari jalan
baru sebagai alternatif bagi kebudayaan abad pertengahan yang sangat didominasi
oleh suasana Kristiani. Perhatian mereka mengarah kepada satu-satunya kebudayaan
lain yang masih mereka kenal, yaitu kebudayaan Yunani. Kebudayaan klasik itu
mereka apresiasi sedemikian rupa dan mereka ambil sebagai contoh ideal untuk
semua bidang kultural (Bertens,1991)
Beberapa perintis yang membuka jalan baru bagi perkembangan sains modern
ini di antaranya adalah Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-
1630), dan Galileo Galilei (1564-1643). Sementara tokoh yang dinilai telah
meletakkan dasar-dasar filosofis bagi perkembangan sains modern itu adalah Francis
Bacon (1561-1623). Karyanya, Novum Organon, yang bersifat induktif dimaksudkan
untuk menggantikan Organon-nya Aristoteles yang deduktif (Bertens,1991).
Kurang lebih bersamaan dengan munculnya gerakan renaisans, muncul pula
gerakan yang dikenal dengan humanisme. Gerakan renaisans dan humanisme ini
saling tumpang tindih satu sama lain. Dapat dinyatakan, bahwa humanisme adalah
aspek dasar dari renaisans. Humanisme ini mengajarkan kebebasan (freedom),
terutama bebas dari institusi-institusi dominatif dunia abad pertengahan, yakni
kerajaan, gereja, dan feodalisme. Dengan kebebasan dari dominasi berbagai institusi
abad pertengahan itu, terutama dominasi gereja, manusia modern menjadi bebas untuk
merancang kehidupannya di dunia secara otonom. Dengan demikian, sekularisme,
yang merupakan salah satu unsur fundamental sistem dunia modern (the modern
world system), adalah implikasi langsung dari humanisme. Karena itulah, dalam
perspektif historis, pemisahan antara sains dan agama terjadi pada abad modern.
Berdasarkan dari uraian diatas merupakan contoh dua episode sejarah tentang
hubungan sains dan agama. Pada episode sejarah tertentu sains memiliki hubungan
yang erat dengan agama, namun dalam episode lain sains terpisah dari agama. Tentu
saja hubungan antara sains dan agama dalam sepanjang sejarahnya tidak sesederhana
itu, melainkan terdapat hubungan dalam bentuk-bentuk yang lain yang variatif.
Agama dan Sains tidak selamanya berada dalam pertentangan dan
ketidaksesuaian. Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antara keduanya.
Sekelompok orang berpendapat agama tidak mengarahkan pada jalan yang
dikehendakinya dan agama juga tidak memaksakan sains untuk tunduk pada
kehendaknya. Kelompok lain berpandapat bahwa sains dan agama tidak akan pernah
dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda dan berdiri sendiri, memiliki
wilayah yang terpisah baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria
kebenaran, serta peran yang dimainkan.
Dalam mencermati konsep sains, Bruno Guiderdoni (2004:41) mengemukakan
pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia membedakan
istilah sains dan agama dalam banyak definisi.
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab
pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau
makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian
akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia
yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk
membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk
menghadap Tuhan.

Oleh karena itu, Ian G. Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan


sains dan agama dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya.
Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia berusaha
menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan
sains dan agama. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu:
1. Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan tokoh-
tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen
Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang
saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang
berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-
masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang
bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya.
Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.

Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan


oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran dan
kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja yang
mengingkarinya dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman. Di lain pihak,
para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang hasilnya
bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja (kaum
agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil
penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja. (M. Quraish
Sihab,1994:53).

Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang diberikan
oleh gereja Katolik terhadap Galileo Galilei atas aspek pemikirannya yang
dianggap menentang gereja. Demikian pula penolakan gereja Katolik terhadap
teori evolusi Darwin pada abad ke-19.

Armahedi Mahzar (2004:212) berpendapat tentang hal ini, bahwa


penolakan fundamentalisme religius secara dogmatis ini mempunyai perlawanan
yang sama dogmatisnya di beberapa kalangan ilmuwan yang menganut kebenaran
mutlak obyektivisme sains.

Identifikasinya adalah bahwa yang riil yaitu dapat diukur dan dirumuskan
dengan hubungan matematis. Mereka juga berasumsi bahwa metode ilmiah
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya dan dipaham.
Pada akhirnya, penganut paham ini cenderung memaksakan otoritas sains ke
bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi kalangan saintis barat
dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan terhadap agama
juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat diuji dengan
percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains. Agama tidak lebih dari cerita-
cerita mitologi dan legenda sehingga ada kaitannya sama sekali dengan sains.

Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila
melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama.
Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna yang lebih luas dalam
kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang yang luas dari
pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan bagi
tranformasi hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh agama. (Ian G.
Barbour, 2005:224).

Jelaslah bahwa pertentangan yang terjadi di dunia barat sejak abad lalu
sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap hakikat sains
dan agama. Tugas manusia adalah untuk merubah argumentasi mereka, selama
ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan itu bertentangan
dengan agama. Sains dan agama mempengaruhi manusia dengan kemuliaan Sang
Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara langsung pada kemegahan
alam fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak belakang, karena
keduanya merupakan ungkapan kebenaran.

2. Independensi

Tidak semua saintis memilih sikap konflik dalam menghadapi sains dan
agama. Ada sebagian yang menganut independensi, dengan memisahkan sains dan
agama dalam dua wilayah yang berbeda. Masing-masing mengakui keabsahan
eksisitensi atas yang lain antara sains dan agama. Baik agama maupun sains
dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain,
sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai (Armahedi Mahzar, 2004:212).
Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain yang
dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains
berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang
terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-
masing.
Analisis bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah berfungsi untuk
melalukan prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi masalah terbatas
pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan
bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan
hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan praktek ritual dan
tradisi keagamaan. Bagi kaum agamawan yang menganut pandangan
independensi ini, menganggap bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber-sumber
nilai, baik alam nyata maupun gaib. Hanya agama yang dapat mengetahuinya
melalui keimanan. Sedangkan sains hanya berhubungan dengan alam nyata saja.
Walaupun interpretasi ini sedikit berbeda dengan kaum ilmuwan, akan tetapi
pandangan independensi ini tetap menjamin kedamaian antara sains dan agama.

Contoh-contoh saintis yang menganut pandangan ini di antaranya adalah


seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath, dan Langdon Gilkey. Karl Bath
menyatakan beberapa hal tentang pandangan independensi ini, yang dikutip oleh
Ian G. Barbour (2002:66). Menurutnya, Tuhan adalah transendensi yang berbeda
dari yang lain dan tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri.
Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas
penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas
mereka tanpa keterlibatan unsur theologi., demikian pula sebaliknya, karena
metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan
dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi.

Barbour mencermati bahwa pandangan ini sama-sama mempertahankan


karakter unik dari sains dan agama. Namun demikian, manusia tidak boleh merasa
puas dengan pandangan bahwa sains dan agama sebagai dua domain yang tidak
koheren. Bila manusia menghayati kehidupan sebagai satu kesatuan yang utuh
dari berbagai aspeknya yang berbeda, dan meskipun dari aspek-aspek itu
terbentuk berbagai disiplin yang berbeda pula, tentunya manusia harus berusaha
menginterpretasikan ragam hal itu dalam pandangan yang lebih dialektis dan
komplementer.

3. Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan
interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi.
Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan,
bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam
membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi
metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan
metode sanins dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.

Ian G. Barbour (2005:32) memberikan contoh masalah yang didialogkan


ini dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi ketika
menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga bisa
dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang
mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan
yang dapat dimengerti? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra
dialog dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas
masing-masing.

Dalam menghubungkan agama dan sains, pandangan ini dapat diwakili


oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan bahwa “Religion without science
is blind : science without religion is lame“. Tanpa sains, agama menjadi buta, dan
tanpa agama, sains menjadi lumpuh. Demikian pula pendapat David Tracy,
seorang teolog Katolik yang menyatakan adanya dimensi religius dalam sains
bahwa intelijibilitas dunia memerlukan landasan rasional tertinggi yang bersumber
dalam teks-teks keagamaan klasik dan struktur pengalaman manusiawi (Ian G.
Barbour, 2002:76).

Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa sains dan agama


tidaklah sesubyektif yang dikira. Antara sains dan agama memiliki kesejajaran
karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan kemanfaatan. Begitu juga
kesejajaran metodologis yang banyak diangkat oleh beberapa penulis termasuk
penggunaan kriteria konsistensi dan kongruensi dengan pengalaman. Seperti
pendapat filosof Holmes Rolston yang menyatakan bahwa keyakinan dan
keagamaan menafsirkan dan menyatakan pengalaman, sebagaimana teori ilmiah
menafsirkan dan mengaitkan data percobaan (Ian G. Barbour, 2002:80). Beberapa
penulis juga melakukan eksplorasi terhadap kesejajaran konseptual antara sains
dan agama, disamping kesejajaran metodologis.

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual


maupun metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama
secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.

4. Integrasi

Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada


pendekatan dialog dengan mencari titik temu diantara sains dan agama. Sains dan
doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber
koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang
diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan
bagi manusia yang beriman.

Armahedi Mahzar (2004 : 213) mencermati pandangan ini, bahwa dalam


hubungan integratif memberikan wawasan yang lebih besar mencakup sains dan
agama sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan sains dapat
meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas
wahyu atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya adalah Maurice Bucaille yang
melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern tentang alam dengan
deskripsi Al Qur’an tentang hal yang sama. Kesejajaran inilah yang dianggap
memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman subyektif keagamaan.
Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama ini atas dasar kesamaan
keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam.

Pemahaman yang diperoleh melalui sains sebagai salah satu sumber


pengetahuan, menyatakan keharmonisan koordinasi penciptaan sebagai desain
cerdas Ilahi. Seperti halnya ketika memperhatikan bagian-bagian tubuh manusia
dengan strukturnya yang tersusun secara kompleks dan terkoordinasi untuk tujuan
tertentu. Meskipun Darwin melawan pandangan itu dalam teori evolusi yang
mengangggap bahwa koordinasi dan detail-detail struktur organisme itu terbentuk
karena seleksi alam dan variasi acak dalam proses adaptasi, namun dia sendiri
mengakui argumen desain Ilahi, akan tetapi dalam anggapan sebagai penentu dari
hukum-hukum proses evolusi itu yang membuka kemungkinan variasi detail
organisme tersebut, bukan dalam anggapan Tuhan sebagai perancang sentral
desain organisme.

Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini.


Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti
konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran
akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-
doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata
lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai
dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan
dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama. Demikian Barbour
menjelaskan tentang hubungan integrasi ini ( Ian G. Barbour, 2002 : 42 )

Meskipun pengamatan ini terjadi di kalangan saintis Eropa yang dibatasi


pada teologi Kristen, tidak ada salahnya jika umat Islam menyimak proses yang
sama di kalangan Islam sebagaimana Bruno Guidedoni (2004 : 42)
mentransformasikan paham integritasnya dalam sains dan Islam. Dia memandang
pengetahuan itu dapat disatukan. Ajaran utama Islam menggariskan bahwa semua
jenis pendekatan terhadap realitas pada akhirnya dapat dipersatukan dan makna
finalnya diperoleh dalam perenungan terhadap wajah Tuhan di akhirat.

Para saintis tidak dapat mendefinisikan kebenaran pengetahuannya secara


pasti, walaupun dengan memberikan kriteria-kriteria tertentu untuk membantu
perkembangan pengetahuannya. Adalah sebuah kepastian bahwa sains tidak dapat
menjelajahi seluruh realitas karena sifatnya yang relatif, membuat pencarian
pengetahuan tak akan ada habisnya dan fenomena baru akan muncul terus-
menerus. Akhirnya mayoritas manusia akan lebih disibukkan dengan
pengetahuan-pengetahuan tentang dunia daripada kontemplasi tentang Pencipta.
H. Pandangan Islam Mengenai Sains
Islam adalah agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk mengerahkan
segala kemampuannya dalam menggunakan akalnya serta memikirkan segala apa
yang ada di alam semesta ini.  Hal ini sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Qur’an
surat Ar-Rahman ayat 33 yang artinya “Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu
sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak
dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. Dalam ayat tersebut Allah saw
memberikan kesempatan kepada manusia untuk melakukan pemikiran (menggunakan
aklnya) dan eksplorasi terhadap alam semesta. Upaya penaklukan ruang angkasa
harus dilihat sebagai suatu ibadah manusia yang ditujukan selain untuk memahami
rahasia alam, juga demi masa depan kehidupan manusia.
Menurut Muhammad Ismail sebagaimana dikutip oleh Sudjana (2008 : 12)
mengatakan bahwa pemahaman Islam tidak lain adalah pemikiran-pemikiran yang
memiliki penunjukan-penunjukan nyata, yang dapat ditangkap dengan logika selama
masih dalam batas jangkauan akalnya. Namun, bila hal-hal tersebut berada diluar
jangkauan akalnya, maka hal itu ditunjukan secara pasti oleh sesuatu yang dapat
diindera, tanpa rasa keraguan sedikitpun. Dengan demikian peranan akal bagi manusia
sangatlah penting dan mendasar karena dengan akalnya ia dapat menentukan yang
terbaik bagi dunia dan akhirantnya kelak.
Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa tidak ada agama (Islam) tanpa
adanya aktifitas akal. Artinya bagi seorang muslim, keyakinannya tentang Islam
haruslah dibangun berdasarkan akal sehat dan penalarannya. Bukan hanya sekedar
dogma yang dipaksakan atau informasi-informasi tanpa kenyataan. Akan tetapi, akal
harus difungsikan sebagaimana mestinya (Sudjana, 2008 : 13).
I. Tokoh Ilmuan Muslim di Bidang Sains Sebelum Zaman Modern
1. Ibnu Sina (980-1037)
Ibnu Sina merupakan seseorang yang ahli dalam bidang kedokteran
sehingga ia di juluki sebagai"Pangeran Para Dokter".Salah satu karyanya yaitu
"The Canon of Medicine".Dimana buku itu menjadi pedoman para mahasiswa di
Eropa hingga tahun 1600-n

2. Al-Khawarizmi (780-850)
Al- Khawarij ialah seorang ilmuan muslim yang ahli di bidang
matematika,yang pertama kali menemukan penomoran 1-10 dan juga menemukan
konsep aljabar dan logaritma.

3. Jabir Ibn-Hayyan (712-815)


Jabir adala seorang ilmuan Iran yang ahli di bidang kimia ia orang yang
pertama kali mengidentifikasikan zat yang bisa melarutkan emas dan orang yang
pertama kali menemukan asam sulfat,klorida,dan Nitrat

4. Ibnu Al Nahis
Seorang ilmuan dari damakus yang berkontribusi besar dalam bidang
medis,ia ilmuan pertama kali yang mengungkapkan teori pembuluh darah kapiler.

5. Ummar Khayyam (1048-1131)


Seorang ilmuan Iran yang berhasil mengoreksi kalender Persia,ia juga
dapat menghitung panjang tahun matahari secara akurat.
BAB III
PENUTUP

Dari penjabaran materi mengenai hubungan antara sains dan agama, dapat
disimpulkan sebagai berikut :

1. Agama adalah suatu sistem kepercayaan yang datangnya dari Tuhan harus
diterima dengan keyakinan, kebenaran disini akan menjadi rujukan bagi
kebenaran-kebenaran yang lain.
2. Agama dan ilmu sangatlah saling terkait karena orang yang banyak ilmunya
apabila tanpa di topang oleh agama semua ilmu tidak akan membawa
kemaslahatan umat
3. Sains dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mencari
kebanaran berdasarkan fakta atau fenomena alam.
4. Sains dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, namun keduanya sama-
sama memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan manusia
5. Agama dan Sains tidak selamanya berada dalam pertentangan dan
ketidaksesuaian. Banyak ilmuwan yang berusaha mencari hubungan antara
keduanya.
6. Ian G. Barbour mencoba memetakan hubungan sains dan agama melalui Tipologi
Sains dan agama. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu:
Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi.
7. John Haught juga ikut memetakan hubungan sains dan agama. Tipologinya terdiri
dari empat macam pandangan yaitu : konflik, kontras, kontak dan konfirmasi.
8. Islam adalah agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk mengerahkan
segala kemampuannya dalam menggunakan akalnya serta memikirkan segala apa
yang ada di alam semesta ini.
9. Al-Qur’an bukanlah kitab sains, tetapi segala pengetahuan tentang sains
hendaknya dirujukkan kedalam Al-Qur’an. Al-Qur’an secara eksplisit telah
menerangkan tentang segala apa yang ada dan terjadi dibumi ini dan dengan sains
lah kita membuktikannya
10. Beberapa perintis yang membuka jalan baru bagi perkembangan sains modern ini
di antaranya adalah Nicolaus Copernicus, Johannes Kepler, dan Galileo Galilei
11. Beberapa tokoh atau ilmuan dibidang sains sebelum zaman modern antara lain
Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Jabir Ibn-Hayyan, Ibnu Al Nahis dan Ummar
Khayyam.
DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Osman. Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam terj.
Yuliani Liputo (Bandung: Pustaka Hidayah, 1991), 73.

Bagir,Zainal Abidin. “Bagaimana ‘Mengintegrasikan Ilmu dan Agama” dalam Zainal Abidin
Bagir, et.al., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
2005), 20.

Bertens,K.Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta:Kanisius, 1991), 44.

Barbour, Ian G. 2000. When Science Meets Religion. HarperSan-Francisco, New York:
HarperSan-Fracisco.

Mahzar, Armahedi, “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi”, dalam Zainal
Abidin Bagir, dkk (eds.), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Bandung: MMU,2

Nasr, Hossein Seyyed ,2014.Tiga Mahzab Utama Filsafat Islam.Cambride:Hardvard


University Press.

Anda mungkin juga menyukai