Anda di halaman 1dari 22

PERBANDINGAN CARA MENGAJAR GURU TAHUN 80–AN,

90–AN DAN 5 TAHUN TERAKHIR

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Profesi Kependidikan
yang diampu oleh Dr. Chairil Faif Pasani, M.Si., Juhairiah, S.Pd., M.Pd., dan Rahmita
Noorbaiti, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:
KELOMPOK 11
Baiti Nor Azizah (NIM 2010118120007)
Dhea Aulia Maldini (NIM 2010118320016)
Diah Nuryanti (NIM 2010118120011)
Hilma Sara (NIM 2010118220005)
Maya Tri Rizki Utami (NIM 2010118320011)
Salma Diawati Sa'diah (NIM 2010118320002)
Surya Wudda (NIM 2010118210015)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2021

i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan hidayah-NYA serta keluasan ilmu-NYA sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik.
Makalah yang berjudul “Perbandingan Cara mengajar Guru Tahun 80an, 90an dan 5
Tahun Terakhir” disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Profesi Kependidikan yang
diampu oleh Dr. Chairil Faif Pasani, M.Si., Juhairiah, S.Pd., M.Pd., dan Rahmita Noorbaiti,
S.Pd., M.Pd. Makalah ini telah kami susun dengan baik dan disertai dengan landasan teori dari
seluruh referensi yang terkumpul sehingga dari beberapa refrensi tersebut kami pilih untuk
dijadikan referensi utama.
Kami sebagai penyusun menyadari akan adanya beberapa kekurangan dalam susunan
makalah kami, sehingga saran dan masukan dari pembaca kami harapkan untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan dalam susunan makalah ini di penyusunan makalah berikutnya. Besar
harapan kami bahwa makalah ini bisa bermanfaat bagi siapapun yang membacanya, serta
dapat menjadi sumber kontribusi penambahan pengetahuan bagi para pembaca.

Banjarmasin, 20 April 2021

Penyusun

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL/COVER MAKALAH............................................................................................ i

KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

A. Cara Mengajar Guru Tahun 80–an................................................................................1


B. Cara Mengajar Guru Tahun 90–an................................................................................4
C. Cara Mengajar Guru 5 Tahun Terakhir........................................................................14

DAFTAR RUJUKAN.............................................................................................................19

iii
A. Cara Mengajar Guru Tahun 80-an
1. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 banyak dipengaruhi oleh aliran Humanistik, yang
memandang anak didik sebagai individu yang dapat dan mau aktif mencari sendiri,
menjelajah, dan meneliti lingkungannya. Pada kurikulum ini posisi siswa ditempatkan
sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan,
hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student
Active Learning (SAL). Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah
Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980–
1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta (Universitas Negeri Jakarta). Konsep CBSA
yang elok secara teoretis dan bagus, hasilnya di sekolah–sekolah yang diujicobakan
mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional.
Pendekatan CBSA menitikberatkan pada keaktifan siswa yang merupakan inti
dari kegiatan belajar yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan seperti
mendengarkan, berdiskusi, dan sebagainya. Pengemasan bahan ajar berdasarkan
kedalaman dan keluasan materi pelajaran sesuai dengan tingkat dan jenjang
pendidikan. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan.
Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa melalui
pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan
pendekatan induktif. Kurikulum 1984 menggunakan pendekatan proses, di samping
tetap menggunakan orientasi pada tujuan. Kurikulum 1984 mengusung process skill
approach.
Metode pembelajaran menggunakan konsep CBSA atau dengan kata lain
siswa menjadi subjek dalam pembelajaran karena siswa diberikan kesempatan untuk
aktif secara fisik, mental, intelektual, dan emosional.

2. Hakikat CBSA
Keaktifan dalam rangka CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, meskipun
untuk mencapai maksud ini dalam hal dipersyaratkan keterlibatan langsung dalam
bentuk keaktifan fisik. Salah satu cara untuk meninjau derajat ke CSBSA–an di dalam
peristiwa belajar mengajar adalah dengan menkonsepsikan rentangan antara dua
kutub gaya mengajar. McKeachie mengemukakan tujuh dimensi di dalam proses
belajar mengajar, yang didalamnya dapat terjadi variasi kadar ke CBSA–an. Adapun
dimensi–dimensi yang dimaksud adalah :

1
1) Partisipasi siswa di dalam menetapkan tujuan kegiatan belajar mengajar.
2) Tekanan pada aspek afektif dalam pengajaran.
3) Partispasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.
4) Penerimaan (acceptance) guru terhadap perbuatan atau kontribusi siswa yang
kurang relevan atau bahkan sama sekali salah.
5) Kekohesifan kelas sebagai kelompok.
6) Kebebasan atau lebih tepatnya kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk
mengambil keputusan–keputusan penting dalam kehidupan sekolah.
7) Jumlah waktu yang dipergunakan untuk menanggulangi masalah pribadi siswa
baik atau tidak maupun yang berhubungan dengan pelajaran.
Ciri-ciri umum dari Kurikulum CBSA :
1) Berorientasi pada tujuan instruksional.
2) Pendekatan pembelajaran adalah berpusat pada anak didik; Pendekatan Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA).
3) Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
4) Materi pelajaran menggunakan pendekatan spiral, semakin tinggi tingkat kelas
semakin banyak materi pelajaran yang dibebankan pada peserta didik.
5) Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep–
konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian
diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian, alat peraga
sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang
dipelajarinya.
Kebijakan dalam penyusunan Kurikulum 1984 adalah sebagai berikut :
1) Kurikulum 1984 terdapat 16 mata pelajaran inti. Mata pelajaran yang termasuk
kelompok inti tersebut adalah : Agama, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa, Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia, Geografi
Indonesia, Geografi Dunia, Ekonomi, Kimia, Fisika, Biologi, Matematika, Bahasa
Inggris, Kesenian, Keterampilan, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, Sejarah
Dunia dan Nasional.
2) Penambahan mata pelajaran pilihan yang sesuai dengan jurusan masing–masing.
3) Perubahan program jurusan. Kurikulum 1984 jurusan dinyatakan dalam program
A dan B. Program A terdiri dari :
a. A1, penekanan pada mata pelajaran Fisika.
b. A2, penekanan pada mata pelajaran Biologi.

2
c. A3, penekanan pada mata pelajaran Ekonomi.
d. A4, penekanan pada mata pelajaran Bahasa dan Budaya.
Sedangkan program B adalah program yang mengarah kepada keterampilan
kejuruan yang akan dapat menerjunkan siswa langsung berkecimpung di
masyarakat. Tetapi mengingat program B memerlukan 93 sarana sekolah yang
cukup, maka program ini untuk sementara ditiadakan.

3. Implikasi CBSA Bagi Sistem Penyampaian


Pokok–pokok pikiran yang dikemukakan dalam bagian–bagian terdahulu
menyarankan implikasi perubahan perencanaan dan pelaksanaan penyajian kegiatan
belajar mengajar yang cukup mendasar. Pengalaman belajar yang diberikan kepada
calon guru atau instruktur hendaknya jangan memisahkan komponen akademik
dengan komponen profesional, jangan diceraikan teori dan praktek. Di samping itu
faktor guru sendiri (filosofinya, keterampilannya, serta faktor–faktor kepribadian
lainnya) serta faktor–faktor eksternal seperti tersedianya fasilitas dan besarnya kelas,
ikut pula menentukan pilihan cara penyampaian. Salah satu kemungkinan strategi
pengkajian ke CBSA–an suatu kegiatan belajar mengajar sudah barang tentu
sekaligus implisit termasuk pengkajian keserasian dengan tujuan yang mau dicapai
melalui kegiatan yang dimaksud, dilukiskan dalam diagram. Akhirnya filosofi guru
agaknya patut memperoleh sorotan khusus, CBSA bertolak dari anggapan bahwa
siswa memiliki potensi tersebut hanya dapat diwujudkan apabila mereka diberi
banyak kesempatan untuk berpikir sendiri. Oleh karena itu, maka cara memandang
dan menyikapi tugas guru harus berorientasikan bukan lagi sebagai sang maha tahu
yang siap untuk memberi kebijaksanaan (Hasibuan, 1995:10).
a. Teknik Evaluasi Hasil Belajar
Evaluasi yang serempak dilaksanakan per semester, di mana masih lebih
menekankan pada evaluasi terhadap tingkat penguasaan pengetahuan, prinsip, dan
konsep–konsep. Penilaian terhadap penguasaan keterampilan masih bersifat
sebagai unsur penunjang. Penilaian terhadap praktek biasanya dilakukan pada
semester ke–5 atau semester 1 di tingkat 3.
b. Kelebihan Kurikulum 1984
a) Kurikulum ini memuat materi dan metode yang disebut secara rinci, sehingga
guru dan siswa mudah untuk melaksanakannya.

3
b) Prakarsa siswa dapat lebih dalam kegiatan belajar yang ditunjukkan melalui
keberanian memberikan pendapat.
c) Keterlibatan siswa di dalam kegiatan–kegiatan belajar yang telah berlangsung
yang ditunjukkan dengan peningkatan diri dalam melaksanakan tugas.
d) Anak dapat belajar dari pengalaman langsung.
e) Kualitas interaksi antara siswa sangat tinggi, baik intelektual maupun sosial.
f) Memasyarakatkan keterampilan berdiskusi yang diperlukan dengan
berpartisipasi secara aktif.
c. Kelemahan Kurikulum 1984
a) Banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah
suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana–sini ada
tempelan gambar, dan yang mencolok.
b) Adanya ketergantungan pada guru dan siswa pada materi dalam suatu buku
teks dan metode yang disebut secara rinci, sehingga membentuk guru dan
siswa tidak kreatif untuk menentukan metode yang tepat dan memiliki sumber
belajar sangat terbatas.
c) Dapat didominasi oleh seorang atau sejumlah siswa sehingga dia menolak
pendapat peserta lain.
d) Siswa yang pandai akan bertambah pandai sedangkan yang bodoh akan
ketinggalan.
e) Peranan guru yang lebih banyak sebagai fasilitator, sehingga prakarsa serta
tanggung jawab siswa atau mahasiswa dalam kegiatan belajar sangat kurang.
f) Diperlukan waktu yang banyak dalam pembelajaran menyebabkan materi
pelajaran tidak dapat tuntas dikuasai siswa.
g) Guru kurang berperan aktif.

B. Cara Mengajar Guru Tahun 90–an


1. Sejarah Lahirnya Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum–kurikulum
sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan
Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan. Perpaduan
tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa
dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal
disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing–masing, misalnya bahasa daerah

4
kesenian, keterampilan daerah, dan lain–lain. Berbagai kepentingan kelompok–
kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu–isu tertentu masuk dalam
kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat.
Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999.
Tapi perubahannya lebih pada menambah sejumlah materi. Kurikulum Nasional (dari
Kurikulum 1947–1994, KBK, sampai KTSP) Kurikulum apa saja yang pernah
dikembangkan dalam program pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Salah satu
konsep terpenting untuk maju adalah "melakukan perubahan", tentu yang kita
harapkan adalah perubahan untuk menuju keperbaikan dan sebuah perubahan selalu
disertai dengan konsekuensi–konsekuensi yang sudah selayaknya dipertimbangkan
agar tumbuh kebijakan bijaksana. Ini adalah perkembangan Kurikulum Pendidikan
kita : dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, Kurikulum Pendidikan Nasional
telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984,
1994, dan direncanakan pada tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi
logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK
dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat
rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan
perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang
berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaannya pada
penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan.
Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang
curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi–kisi pendidikan lebih bersifat politis :
dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan
ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah–sekolah
pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali
dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok : daftar mata pelajaran dan
jam pengajarannya, ditambah garis–garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947
mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran
bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari–
hari, perhatian terhadap kesenian, dan pendidikan jasmani. Kurikulum ini lebih
merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. "Silabus
mata pelajarannya jelas sekali seorang guru mengajar satu mata pelajaran," kata
Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991–1995. Ketika

5
itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau. Di
penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau
Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan
moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok
bidang studi : moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan
jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional praktis. Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis : mengganti Rencana
Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada
pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan
organisasi materi pelajaran : kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan
kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9. Djauzak menyebut Kurikulum 1968
sebagai kurikulum bulat. "Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja," katanya.
Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan
permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat
diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan. Kurikulum 1975 menekankan
pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. "Yang melatarbelakangi adalah
pengaruh konsep di bidang manajemen, yaitu MBO (management by objective) yang
terkenal saat itu," kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD
Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah "satuan
pelajaran", yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran
dirinci lagi : petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat
pelajaran, kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik.
Guru dibuat sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran. Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski
mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini
juga sering disebut "Kurikulum 1975 yang disempurnakan". Posisi siswa ditempatkan
sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan,
hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student
Active Leaming Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr.
Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980–1986 yang
juga Rektor IKIP Jakarta -- sekarang Universitas Negeri Jakarta -- periode 1984–
1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah–sekolah
yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara

6
nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang
terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana–sini
ada tempelan gambar, dan yang mencolok guru tak lagi mengajar model berceramah.
Penolakan CBSA bermunculan. KURIKULUM 1994 dan SUPLEMEN
KURIKULUM 1999, Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan
kurikulum–kurikulum sebelumnya. "Jiwanya ingin mengkombinasikan antara
Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses," kata Mudjito
menjelaskan perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran
beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi
muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing–masing, misalnya bahasa
daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain–lain. Berbagai kepentingan
kelompok–kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu–isu tertentu masuk
dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super
padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum
1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi. Bahasa kerennya
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi
apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan
dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional
masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai,
evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur
seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, toh di
sejumlah sekolah kota–kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah
menerapkan KBK. Hasilnya tidak memuaskan. Guru–guru pun tidak paham betul apa
sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber:
depdiknas.go.id) Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, dan relevansi serta efisiensi manajemen
pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib
belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas
manusia Indonesia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa dan olahraga
agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global.
Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan
yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia.
Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan
manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara

7
terencana, terarah, dan berkesinambungan. Implementasi Undang–Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah
peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya
disusun dan dilaksanakan 8 standar nasional pendidikan, yaitu standar isi, standar
proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan,
standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar
penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu,
maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah
telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam
bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang
disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan. Secara substansial,
pemberlakuan (baca : penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan
tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan
tercapainya paket–paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject
matter), yaitu menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara
individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan
keberagaman, penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan
metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber belajar
lainnya yang memenuhi unsur edukatif, dan penilaian menekankan pada proses dan
hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Terdapat
perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi
sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh
menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar–standar yang telah
ditetapkan, mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban
belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.
Ciri–ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, diantaranya
adalah pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
Pembelajaran di sekolah lebih menekan materi pelajaran yang cukup padat
(berorientasi kepada materi pelajaran atau isi). Dalam pelaksanaan kegiatan, guru

8
harus memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar,
baik secara mental, fisik, dan sosial. Untuk mengaktifkan siswa, guru dapat
memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen, dan
penyelidikan. Dan dalam pengajaran suatu mata pelajaran menyesuaikan dengan
kekhasan konsep atau pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga
diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan kepada
pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan
soal dan pemecahan masalah.
Selama dilaksanakan kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan,
terutama sebagai akibat kecenderungan kepada pendekatan, penguasaan materi
(konten–oriented), di antaranya beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya
mata pelajaran dan banyaknya materi atau substansi setiap mata pelajaran. Hal ini
mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut.
Salah satu upaya penyempurnaan adalah diberlakukannya suplemen kurikulum 1994.
Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran
terus menerus dilakukan seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan
proses pembelajaran. Dengan dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 Tahun 1999
tentang otonomi daerah, sehingga sebagai konsekuensi logis harus terjadi juga
perubahan struktural dalam penyelenggaraan pendidikan, maka bersamaan dengan hal
tersebut terjadilah perubahan lagi pada kurikulum pendidikan.

2. Telaah Kurikulum 1999


Kalau ada yang menyatakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang kerdil dan
tidak mau melihat kesalahan masa lalu untuk dapat menapaki masa depan dengan
sukses barangkali tidak sepenuhnya salah. Setidak–tidaknya hal ini berlaku dalam
menjalankan Sistem Pendidikan Nasional dalam kaitannya dengan penggantian
kurikulum sekolah, pembaruan, penyempurnaan, atau apapun namanya. Sejak tahun
1975 sampai tahun 1994 kita memiliki pengalaman "menambal sulam" kurikulum,
dan hasilnya selalu saja tidak mampu menghantarkan bangsa ini kepada kinerja
pendidikan yang kompetitif dan produktif. Banyak indikator yang dapat dipakai,
misalnya seperti dilaporkan oleh Bank Dunia kemampuan membaca siswa kita lebih
rendah dibanding siswa di negara–negara tetangga, prestasi pelajar kita di dalam
International Mathematic Olympic (IMO) selalu saja jeblok, kecakapan berbahasa

9
(Inggris) siswa dan guru kita begitu rendah dibanding negara–negara lain, dan
sebagainya. Meskipun demikian, pengalaman buruk tersebut diulang kembali dengan
"menambal sulam" Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum 1999, atau apapun namanya.
Durasi waktu yang digunakan untuk menggarap kurikulum baru pun nampak
sempit, sehingga meminjam terminologi Bahasa Jawa, prosesinya kelihatan sekali
grusa–grusu, yaitu tergesa–gesa dan kurang hati–hati. Pendekatannya jauh dari
profesional, sehingga hasilnya pun tentu kurang optimal. Memang ada kesan yang
tidak dapat ditutup–tutupi bahwa ada sesuatu yang dipaksakan dalam prosesi
pembaruan kurikulum kita kali ini. Sebagian masyarakat bahkan ada yang
menganggap bahwa penerapan Kurikulum 1999 kali ini merupakan upaya pemerintah
untuk mengalihkan perhatian supaya masyarakat tidak complainatas terjadinya
berbagai kegagalan dalam pelaksanaan pendidikan nasional.
Tiga kelemahan apakah Kurikulum 1999 yang baru ini memang lebih efektif
dan sempurna kalau dibandingkan dengan Kurikulum 1994? Sudah barang tentu hal
ini masih memerlukan waktu untuk membuktikannya. Apakah kurikulum yang baru
ini telah menyentuh kelemahan dasar yang dimiliki kurikulum lama, artinya
Kurikulum 1999 dapat mengatasi kelemahan Kurikulum 1994? Untuk menjawab
pertanyaan ini marilah kita mencoba membuat analisis yang objektif. Di samping
kelebihan yang ada, Kurikulum 1994 sebenarnya memiliki tiga kelemahan yang
cukup mendasar. Adapun kelemahan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1) Soal tunggalistik. Dalam realitasnya Kurikulum 1994 tidak bersifat pluralistik
dikarenakan kurang mengakomodasi perbedaan potensi dan kultur yang ada di
masyarakat. Kurikulum 1994 sarat dengan "muatan nasional" yang
berkonotasikan pada keseragaman beban. Memang benar bahwa setiap sekolah
diberi kesempatan untuk mengembangkan Muatan Lokal yang boleh berbeda
antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, namun demikian hal ini di dalam
realitasnya banyak yang mandek, tidak berjalan. Bahkan di banyak sekolah
Muatan Lokal dianggap sebagai sekedar aksesoris yang tidak harus dipasang.
Secara teknis juga sangat sulit melaksanakan Muatan Lokal dikarenakan adanya
tuntutan jam wajib yang terlalu padat, yaitu 42 jam masing–masing untuk siswa
kelas 1, 2, dan 3 SMU dan SLTP. Juga 42 jam untuk siswa kelas 5 dan 6 SD, dan
40 jam untuk kelas 4 SD. Jumlah ini pun belum termasuk mata pelajaran khas
bagi sekolah–sekolah swasta yang berkarakter.

10
2) Soal fleksibilitas. Kurikulum 1994 terkesan kaku dan benar–benar tidak fleksibel.
Beratnya beban yang ada pada kurikulum tersebut menyebabkan sivitas sekolah
tidak bisa kreatif untuk mengembangkan ide dan pemikirannya. Baik sisi material
(subject matter) maupun dari sisi cara pengajaran (methodology) kurikulum kita
benar–benar kurang sensitif terhadap pengembangan kreativitas. Kelemahan ini
tentu saja sangat mendasar sifatnya. Guru–guru di sekolah kita di dalam mengajar
anak didik tidak lagi mengaplikasi pendekatan kreativitas dan kasih sayang, tetapi
lebih cenderung pada bagaimana dapat mengejar target kurikulum. Bagaimana
seluruh bahan ajar dapat disampaikan kepada siswa agar supaya tidak ada keluhan
di Ebtanasnya, mengakibatkan sang guru terkesan terburu–buru dalam mengajar
tanpa memedulikan kemampuan siswa yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Apabila ada sebagian siswa yang tertinggal dalam mengikuti pelajaran tertentu,
itu menjadi persoalan yang kesekian setelah persoalan pencapaian target
kurikulum itu terselesaikan. Akibatnya banyak, atau bahkan kebanyakan, siswa
kita menjadi benar–benar tertinggal pada akhirnya. Ketiga, soal wawasan
keeksaktaan. Kalau dicermati ternyata materi eksakta dalam Kurikulum 1994
relatif sangat rendah, sehingga tidak mampu menciptakan secara lebih konkrit.
Kita dapat mengambil contoh di satuan SD misalnya. Dari 8 mata pelajaran di SD
ternyata hanya 2 saja (25%) yang merupakan mata pelajaran eksakta, sedangkan
yang selebihnya bersifat non eksakta. Atau, dari total 195 jam pelajaran beban
kurikulum SD ternyata hanya 75 jam (38%) yang merupakan jam eksakta. Di
SLTP dari 302 total jam pelajaran ternyata hanya 111 jam (37%) yang merupakan
jam eksakta. Untuk SMU pada dasarnya sama saja. Rendahnya wawasan
keeksaktaan anak didik sudah barang tentu berpengaruh pada banyak hal, antara
lain kemampuan dalam mengembangkan teknologi. Kalau perkembangan
teknologi di negara kita selama ini terkesan lamban dibanding negara lain, hal itu
tidak terlepas dari kasus rendahnya wawasan keeksaktaan tersebut. Apakah
Kurikulum 1999 bisa mengatasi kelemahan–kelemahan yang terdapat dalam
Kurikulum 1994. Jangankan mengatasi, secara esensial menyentuh ketiga
kelemahan yang mendasar pun tidak. Ini berarti dengan atau tanpa menggunakan
Kurikulum 1999 di sekolah maka tiga kelemahan tersebut tetap saja tidak dapat
teratasi untuk waktu–waktu yang akan datang. Kalau perbaikan kurikulum tidak
mampu menyentuh permasalahan atau kelemahan yang dimiliki oleh kurikulum
yang sebelumnya sebenarnya kurikulum yang baru itu tidak perlu dilaksanakan. Ia

11
harus dikaji kembali, disempurnakan lagi, dan divalidasi untuk bisa dijalankan di
lapangan. Itupun masih ada persyaratan lainnya yang perlu dipenuhi, yaitu
dilakukan sosialisasi pada orang–orang yang akan terlibat dalam pelaksanaan
kurikulum baru termasuk pengelola sekolah. Adalah Curtis R. Finch dan John R.
Crunkilton. Dua orang ahli kurikulum dari Virginia Polytechnic Institute and
State University ini dalam karyanya “Curriculum Development in Vocational and
Technical Education : Planning, Content and Implementation” (1979) menyatakan
bahwa untuk menyusun dan mengimplementasi kurikulum (baru) setidak–
tidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan, masing–masing menyangkut
bagaimana metode mengembangkan materi serta bagaimana membangun sistem
desiminasinya. Untuk mengembangkan materi kurikulum dan membangun sistem
desiminasinya kita dapat mengacu Teori "Three in One", yaitu memperhatikan
tiga aspek baik dalam pengembangan materi maupun tiga aspek di dalam
pembangunan sistem desiminasi. Adapun ketiga aspek dalam pengembangan
materi adalah menyangkut ketersediaan waktu (time), ketersediaan pakar
(expertise), serta ketersediaan dana (dollars). Sedangkan untuk
mendesiminasikannya ada tiga aspek pula yang harus dipertimbangkan, yaitu
menyangkut sejauh mana kesiapan pemakai dan pelaksana (audience), kondisi
geografis (geographical consideration) dan biaya penyebaran (cost).
3) Kurikulum 1999 terasa pendek, bahkan amat pendek. Indikasinya, antara lain
sekitar sebulan lalu salah seorang pejabat Departemen Pendidikan menyatakan
belum tahu bentuk dan struktur kurikulum baru karena memang belum siap, tetapi
beberapa hari yang lalu pimpinan sekolah sudah mendapat instruksi untuk
melaksanakannya. Bukan main, mungkinkah kurikulum yang bagus dapat
dihasilkan hanya dalam waktu sependek itu? Australia yang sudah lebih mapan
pendidikannya saja konon memerlukan waktu 2 sampai 3 tahun hanya untuk
menentukan bidang–bidang apa saja yang cocok dikembangkan dalam kurikulum
sekolah untuk mengantisipasi datangnya milenium ketiga nanti. Hal ini terungkap
di dalam pertemuan menteri–menteri pendidikan di negara–negara bagian
Australia tanggal 22–23 April 1999 di Adelaide yang menghasilkan “The
Adelaide Decralation on National Goals for Schooling in the Twenty–First
Century”.
Dalam hal ini nampaknya pemerintah kurang melibatkan pakar pendidikan
"kelas satu", jadi wajarlah kalau hasil yang dicapai jauh dari memuaskan. Mengenai

12
sistem periodisasi proses belajar mengajar di SMK dapat diambil contoh. Dalam
Kurikulum 1984 proses belajar mengajar dilaksanakan dengan sistem semesteran,
kemudian dalam Kurikulum 1994 berubah menjadi sistem catur wulan. Kini, dalam
Kurikulum 1999 kembali lagi kepada sistem semesteran. Terasa sekali bahwa
perubahan sistem seperti ini tidak dilandasi pada konsepsi edukasional yang kokoh
sebagai kontribusi dari para pakar pendidikan, akan tetapi lebih cenderung pada selera
birokrasi sebagai keinginan dari penguasa pendidikan. Kesertaan masyarakat praktisi
pendidikan yang berpengalaman nampaknya juga (sengaja) tidak dilibatkan secara
maksimal dalam penggarapan Kurikulum 1999. Para pakar dan praktisi dari lembaga
swasta yang kualitas outputnya diakui sampai ke Australia, Mesir, Arab, Jepang dan
negara–negara manca lainnya, yang di negerinya sendiri terkadang malah tidak
diakui, nampaknya juga tidak diikutsertakan secara intensif. Para pakar dan praktisi
dari lembaga pendidikan yang telah mendharmabaktikan pengabdiannya di dunia
pendidikan sejak zaman pra kemerdekaan dan eksistensinya langsung didirikan oleh
Bapak Pendidikan Nasional juga tidak disertakan.
Apakah Kurikulum 1999 hanya dibuat oleh kaki tangan birokrasi? Semoga
saja tidak, sebab di dalam sejarah tidak pernah ada kurikulum buatan kaki tangan
birokrasi yang hasilnya bagus. Bagaimana soal dana? Kiranya kita pun cukup
maklum bahwa Departemen Pendidikan bukanlah lembaga yang berlebih dalam soal
uang. Kalau Departemen Pendidikan kaya dengan uang, maka tidak mungkin terjadi
jutaan anak yang tidak melanjutkan, ratusan ribu siswa yang putus sekolah (drop out)
serta puluhan ribu mahasiswa yang mengajukan cuti kuliah. Kalau pun departemen
ini berlebih uang maka pengembangan kurikulum bukanlah prioritas untuk saat ini
karena soal anak pantas diprioritaskan. Belum lagi soal–soal lain yang lebih
elementer seperti siswa yang kurang gizi, dan sejenisnya. Tidak strategis, di samping
mutu dari materi (subject matter) kurikulum yang masih perlu divalidasi maka
momentum pelaksanaannya juga kurang strategis. Apabila kita sebarkan angket
kepada guru dan pengelola sekolah mengenai ketersetujuan mereka atas pelaksanaan
Kurikulum 1999, mungkin saja akan didapatkan temuan 90 dari setiap seratus guru
dan pengelola pendidikan tidak setuju. Mengapa? Bagaimana mungkin mereka dapat
melaksanakan kurikulum dengan baik kalau pengetahuan dan informasi mengenai
kurikulumnya itu sendiri belum diperoleh secara lengkap. Kurang strategisnya
momentum pelaksanaan Kurikulum 1999 juga berkait dengan rencana dijalankannya
desentralisasi pendidikan di daerah. Sekarang ini kita sudah memiliki Undang–

13
Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Menurut kedua UU ini Daerah Kabupaten (yang sekarang disebut Kabupaten) dan
Daerah Kota (yang sekarang disebut Kota Madya) memiliki otonomi di berbagai
bidang sekaligus, yaitu meliputi bidang pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal,
lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Jadi, jelaslah bahwa
pendidikan (dan kebudayaan) termasuk bidang yang diotonomikan kepada Daerah,
pada hal otonomi ini harus dilaksanakan selambat–lambatnya 2 tahun terhitung kedua
UU tersebut diundangkan. Perlu diketahui bahwa UU Nomor 22 itu diundangkan
sejak tanggal 7 Mei 1999 dan UU Nomor 25 sejak tanggal 19 Mei 1999. Artinya
selambat–lambatnya bulan Mei 2001 setiap daerah akan menjalankan otonomi di
berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Kalau setiap daerah nantinya
menjalankan otonomi di bidang pendidikan, maka terjadilah apa yang disebut dengan
desentralisasi pendidikan, artinya pemerintah daerah berhak mengatur pelaksanaan
pendidikan di daerahnya masing–masing, dari soal guru (man), keuangan (money),
sarana (material) sampai kurikulum (method). Itu berarti paling lambat bulan Mei
tahun 2001 nanti, kalau otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan tersebut
berjalan sesuai dengan rencana, maka sekolah–sekolah di daerah berhak untuk
"menolak" kurikulum dari pusat yang notabene sakarang ini adalah Kurikulum 1999.
Atau, setidak–tidaknya "menolak" sebagian materi kurikulum dari pusat untuk dapat
mengembangkan kurikulum yang dianggap cocok dengan potensi dan kebutuhan
daerah. Jadi, ada kemungkinan Kurikulum 1999 itu tahun depan atau tahun depannya
menjalankan otonominya secara penuh sebagaimana diatur oleh UU. Kalau
dipaksakan, pelaksanaan Kurikulum 1999 dapat mengubah "irama" belajar disekolah
yang baru saja akan teratur. Kalau dipaksakan, pelaksanaan Kurikulum 1999 hasilnya
bisa kontra produktif. Kalau dipaksakan, pelaksanaan Kurikulum 1999 dapat
membingungkan para pelaksana pendidikan di lapangan. Kalau dipaksakan,
pelaksanaan Kurikulum 1999 itu hanya membuang energi.

C. Cara Mengajar Guru 5 Tahun Terakhir


1. Kurikulum 2013 dan Aspek–aspeknya
Kurikulum 2013 merupakan suatu kurikulum yang dibentuk untuk
mempersiapkan lahirnya generasi emas bangsa Indonesia dengan sistem dimana

14
siswa lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Aspek–aspek yang ingin
dicapai dalam kurikulum 2013 adalah aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Aspek pengetahuan dalam kurikulum 2013 sama seperti kurikulum–
kurikulum sebelumnya, yaitu penekanan pada tingkat pemahaman siswa dalam
pelajaran. Nilai dari aspek pengetahuan bisa didapat dari Ulangan Harian, Ujian
Tengah/Akhir Semester, dan Ujian Kenaikan Kelas. Pada kurikulum 2013,
Pengetahuan bukan aspek utama seperti pada kurikulum–kurikulum sebelumnya.
Aspek keterampilan merupakan aspek baru dalam kurikulum di Indonesia.
Keterampilan merupakan penekanan pada skill atau kemampuan/keterampilan,
misalnya adalah kemampuan untuk mengemukakan pendapat,
berdiskusi/bermusyawarah, membuat laporan, serta berpresentasi. Aspek
keterampilan merupakan salah satu aspek penting karena dengan keterampilan siswa
dapat menyalurkan pengetahuannya, sehingga pengetahuan tidak hanya menjadi teori
semata.
Aspek sikap merupakan aspek yang agak sulit untuk dinilai. Sikap, meliputi
sopan santun, adab dalam belajar, absensi, sosial, dan agama. Diperlukan kerja sama
yang baik antara orang tua, guru mata pelajaran, wali kelas, dan guru BK agar
penilaian aspek ini lebih optimal. Agar penilaian sikap dapat diterapkan setiap tatap
muka, guru harus menyiapkan lembar pengamatan penilaian sikap.

2. Model dan Metode Pembelajaran


Istilah model pembelajaran amat dekat dengan pengertian strategi
pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas
daripada suatu strategi, metode, dan teknik. Sedangkan istilah “strategi” awal
mulanya dikenal dalam dunia militer terutama terkait dengan perang atau dunia
olahraga, namun demikian makna tersebut meluas tidak hanya ada pada dunia militer
atau olahraga saja akan tetapi bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Menurut Ruseffendi (1980), istilah strategi, metode, pendekatan, dan teknik
didefinisikan sebagai berikut :
1) Strategi pembelajaran adalah seperangkat kebijaksanaan yang terpilih, yang telah
dikaitkan dengan faktor yang menentukan warna atau strategi tersebut, yaitu :
a) Pemilihan materi pelajaran (guru atau siswa).
b) Penyaji materi pelajaran (perorangan atau kelompok, atau belajar mandiri).

15
c) Cara menyajikan materi pelajaran (induktif atau deduktif, analitis atau
sintesis, formal atau non formal).
d) Sasaran penerima materi pelajaran (kelompok, perorangan, heterogen, atau
homogen).
2) Pendekatan Pembelajaran adalah jalan atau arah yang ditempuh oleh guru atau
siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran dilihat bagaimana materi itu disajikan.
Misalnya memahami suatu prinsip dengan pendekatan induktif atau deduktif.
3) Metode Pembelajaran adalah cara mengajar secara umum yang dapat diterapkan
pada semua mata pelajaran, misalnya mengajar dengan ceramah, ekspositori,
tanya jawab, penemuan terbimbing, dan sebagainya.
4) Teknik mengajar adalah penerapan secara khusus suatu metode pembelajaran
yang telah disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan guru, ketersediaan
media pembelajaran serta kesiapan siswa.
5) Sedangkan Model Pembelajaran adalah sebagai suatu desain yang
menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang
memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan
pada diri siswa (Didang, 2005).
Mengajar belajar adalah kegiatan guru murid untuk mencapai tujuan tertentu,
makin jelas tujuan makin besar kemungkinan ditemukan model pembelajaran dan
metode penyampaian yang paling serasi. Namun tidak ada pegangan yang pasti
tentang cara mendapatkan model dan metode mengajar yang paling tepat. Tepat
tidaknya suatu model dan metode baru terbukti dari hasil belajar siswa. Model
pembelajaran dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para
guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar (Udin
Winataputra, 1994:34). Jadi model pembelajaran bersifat preskriptif
(menentukan/memberi petunjuk) yang relatif sulit dibedakan dengan strategi
pembelajaran. Model pembelajaran yang efektif adalah model pembelajaran yang
memiliki landasan teoritik yang humanistik, lentur, adaktif, berorientasi kekinian,
memiliki sintak pembelajaran (pola urutan) yang sederhana, mudah dilakukan serta
dapat mencapai dan hasil belajar yang ingin dicapai.
Setiap model pembelajaran diawali dengan upaya menarik perhatian siswa
dan memotivasi siswa agar terlibat dalam proses pembelajaran dan diakhiri dengan

16
tahap menutup pelajaran, di dalamnya meliputi kegiatan merangkum pokok–pokok
pelajaran yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru.
Metode mengajar adalah suatu pengetahuan tentang cara–cara mengajar yang
dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur. Pengertian lain ialah teknik
penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran
kepada siswa di dalam kelas, baik secara individual maupun kelompok, agar pelajaran
itu dapat diserap, dipahami, dan dimanfaatkan oleh siswa dengan baik. Makin baik
metode mengajar, makin efektif pula pencapaian tujuan (Ahmadi, 2005:52).

3. Metode Inquiry
Berikut ini adalah contoh metode yang digunakan dalam Kurikulum 2013,
yaitu metode inquiri. Metode inquiri adalah metode pembelajaran di mana siswa
dituntut untuk lebih aktif dalam proses penemuan, penempatan siswa lebih banyak
belajar sendiri serta mengembangkan keaktifan dalam memecahkan masalah.
Proses inquiri adalah suatu proses khusus untuk meluaskan pengetahuan
melalui penelitian. Oleh karena itu, metode inquiri kadang–kadang disebut juga
metode ilmiahnya penelitian. Metode inquiri adalah metode belajar dengan inisiatif
sendiri, yang dapat dilaksanakan secara individu atau kelompok kecil.
Metode inquiri merupakan metode pengajaran yang berusaha meletakkan
dasar dan mengembangkan cara berpikir ilmiah. Dalam penerapan metode ini siswa
dituntut untuk lebih banyak belajar sendiri dan berusaha mengembangkan kreativitas
dalam pengembangan masalah yang dihadapinya sendiri. Metode mengajar inquiri
akan menciptakan kondisi belajar yang efektif dan kondusif, serta mempermudah dan
memperlancar kegiatan belajar mengajar (Sudjana, 2004:154).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa metode
inquiri dalam penelitian ini adalah suatu teknik instruksional dalam proses belajar
mengajar dan siswa dihadapkan pada suatu masalah, dan tujuan utama menggunakan
metode inquiri adalah membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan
penemuan ilmiah. Sedangkan asumsi–asumsi yang mendasari metode inquiri adalah
sebagai berikut :
a) Keterampilan berpikir kritis dan berpikir dedukatif sangat diperlukan pada waktu
mengumpulkan evidensi yang dihubungkan dengan hipotesis yang telah
dirumuskan oleh kelompok.

17
b) Keuntungan para siswa dari pengalaman–pengalaman kelompok di mana mereka
berkomunikasi, berbagi tanggung jawab, dan bersama–sama mencari
pengetahuan.
c) Kegiatan–kegiatan belajar yang disajikan dalam semangat berbagi, inquri
menambah motivasi dan memajukan partisipasi aktif (Hamalik, 2003:64).
Syarat–syarat penerapan Metode Inquiry adalah:
a) Perumuskan topik inquiri dengan jelas dan bermanfaat bagi siswa.
b) Membentuk kelompok yang seimbang, baik akademik maupun sosial.
c) Menjelaskan tugas dan menyediakan balikan kepada kelompok–kelompok dengan
cara yang responsif dan tepat waktunya.
d) Sekali–kali perlu intervensi oleh guru agar terjadi interaksi antar pribadi yang
sehat dan demi kemajuan tugas.
e) Melaksanakan penilaian terhadap kelompok, baik terhadap kemajuan kelompok
maupun terhadap hasil–hasil yang dicapai (Hamalik, 2004:65).
Penerapan metode inquiri dalam proses belajar mengajar menuntut keaktifan
siswa dalam belajar individu, maupun kelompok. Kelebihan dan Kelemahan Metode
Inquiri adalah :
a. Kelebihan Metode Inquiri
1) Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berfikir dan menggunakan
kemampuannya untuk hasil akhir.
2) Perkembangan cara berfikir ilmiah, seperti menggali pertanyaan, mencari
jawaban, dan menyimpulkan/memperoses keterangan dengan metode inquiri
dapat dikembangkan seluas–luasnya.
3) Dapat melatih anak untuk belajar sendiri dengan positif sehingga dapat
mengembangkan pendidikan demokrasi.
b. Kelemahan Metode Inquiri
1) Belajar mengajar dengan metode inquiri memerlukan kecerdasarn anak yang
tinggi. Bila anak kurang cerdas, hasilnya kurang efektif.
2) Metode inquri kurang cocok pada anak yang usianya terlalu muda, misalnya
anak SD.

18
DAFTAR RUJUKAN

Kurniawati, H. (2015, November 30). Kurikulum 1984 (CBSA). Diakses 21 April 2021, dari
Nia Gichi: http://haryatikurniawati96.blogspot.com/2015/11/kurikulum-1984-
cbsa.html

S.Pd., W. (2014, Oktober 31). Model dan Metode Pembelajaran Menurut Kurikulum 2013.
Diakses 21 April 2021, dari kompasiana:
https://www.kompasiana.com/parmuji.com/54f3fd967455139f2b6c84c0/model-dan-
metode-pembelajaran-menurut-kurikulum-2013

Sartika, A. (2013, April 27). TELAAH KURIKULUM 1999. Diakses 21 April 2021, dari
ayufisika: http://ayufisika.blogspot.com/2013/04/telaah-kurikulum-1999_27.html

19

Anda mungkin juga menyukai