Hedging Syariah
Hedging Syariah
PEMERIKSAAN AKUNTANSI II
HEDGING SYARIAH
OLEH:
ALIFIA DESY NURAINI (221308288)
NOVIA PUSPITA RANI (221308408)
IKE SUSANTI (221308431)
KELAS B
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui komponen yang membuat hedging syariah sangat
dibutuhkan
2. Untuk mengetahui alternatif instrument hedging syariah yang bebas dari unsur
maisir, gharar, dan riba
3. Untuk mengetahui 3 akad fatwa hedging syariah nilai tukar
4. Untuk mengetahui ketentuan mekanisme hedging syariah atas nilai tukar
5. Untuk mengetahui ketentuan dan batasan hedging syariah
BAB II
ISI
2.2 Alternatif Instrument Hedging Syariah yang Bebas Dari Unsur Maisir,
Gharar, dan Riba
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan selama ini, terdapat beberapa
alternatif hedging yang bebas dari unsur maisir, gharar, dan riba. Alternatif
instrument hedging tersebut adalah :
1. Dinar emas. Berdasarkan press released dari World Gold Council pada tanggal
22 September 2004 mengumumkan bahwa dari tiga penelitian yang dilakukan
terhadap kemungkinan emas dijadikan sebagai hedge instrument menunjukkan
bahwa emas dalam jangka panjang memberikan proteksi yang konsisten dalam
menghadapi fluktuasi dollar AS dan mata uang dunia kuat lainnya.
2. Forward Exchange Contract (FEC). Penggunaan forward exchange contract
(FEC) sebagai instrument lindung nilai, merupakan pengembangan dari
forward agreement yang dibolehkan berdasarkan fatwa DSN‐MUI tentang jual
beli valuta asing (as‐sharf). Unsur bunga dalam perhitungan delivery rate
instrumen lindung nilai FEC yang ada selama ini diganti dengan nilai risiko
kurs valuta asing (VaR GPD). Penggunaan VaR GPD ini dikarenakan nilai
risiko kurs bagi debitur adalah estimasi kenaikan kurs tertinggi dalam suatu
jangka waktu tertentu (lihat Putranto, 2007).
3. Futures contract dengan akad salam. Futures contract konvensional
merupakan transaksi jual beli valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang
(deal date) dan realisasi dari transaksi/penyerahan dana (value date) di waktu
yang akan dating (future) dan lebih dari dua hari kerja. Transaksi ini
diharamkan karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan
(muwa’adah) dan pembayarannya di waktu yang akan datang dimana harganya
belum tentu sama dengan nilai yang disepakati. Oleh karena itu, digunakan
akad salam. Menurut Antonio (2001, hal 108) ba’i as‐salam, pembelian barang
yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan di
muka. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullaah SAW berikut:
“Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan
dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu
yang diketahui. “ (Hadits riwayat Ibnu Abbas).
Dari hadits di atas jelaslah bahwa Rasulullaah membolehkan transaksi salam
dengan ketentuan takaran atau timbangan yang jelas untuk jangka waktu yang
telah disepakati dan masing‐masing pihak tidak ada yang melanggar
kesepakatan. Mekanisme penggunaan akad salam dengan menetapkan harga
jual yang lebih rendah dari harga spot dan pembayaran dilakukan tunai pada
saat transaksi, misal 2 bulan kemudian.
Contohnya A, orang Indonesia mengekspor kelapa sawit ke B, orang Amerika
dengan nilai transaksi pada tanggal 13 Februari 2008 USD 1.000 dengan kurs 1
USD = Rp10.000,00. Kontrak saat transaksi kurs menjadi USD 1 = Rp
9.900,00 untuk delivery 2 bulan. Pembayaran diterima A tunai pada tanggal 13
Februari 2008 adalah sebesar Rp99.000.000,00 (penempatan pada a/c
Murabahah) dengan ketentuan pada tanggal 13 April 2008 A mengirim barang
ke B sesuai dengan kesepakatan pada saat transaksi. Jika pada tanggal 13 April
2008 kurs USD 1 = Rp9.500,00 maka A mendapatkan untung Rp400,00. Harga
yang rendah merupakan kompensasi yang diberikan penjual kepada pembeli
atas pembayaran penuh. Jual beli seperti ini dapat dibenarkan oleh syariah jika
wujud barang (komoditas) yang diperjualbelikan pasti ada menurut adat
kebiasaan (‘urf) yang berlaku.Dengan kata lain jual beli yang barangnya tidak
ada saat berlangsungnya akad tapi diyakini akan ada di masa yang akan datang
sesuai kebiasaannya, boleh dilakukan dan tetap sah, yang dilarang adalah bila
dalam jual beli tersebut mengandung unsur tipuan.
4. Transaksi swap dengan akad qardh. Transaksi swap konvensional dilarang
diantaranya karena terdapat unsur spekulasi dan keharusan pembayaran premi
swap dalam bentuk bunga. Motif swap untuk spekulasi (speculativ motive)
diharamkan, dimana rupiah ditukar dengan dollar AS untuk mendapatkan
rupiah yang lebih banyak di akhir periode transaksi swap yaitu ketika rupiah
diyakini akan semakin melemah terhadap dollar di masa akan datang. Ini
contoh dari transaksi swap yang bukan berorientasi pada sector riil
(bisnis/usaha) dan memberikan dampak buruk pada perekonomian. Sementara,
premi swap mempresentasikan selisih tingkat bunga investasi antara kedua
mata uang yang harus dibayarkan (Agustianto, 2008). Oleh karena itu, untuk
menghilangkan unsur riba pada transaksi swap konvensional selama
ini,digunakan akaq qardh. Menurut Antonio (2001, hal 131) al‐qardh adalah
pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali
atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
Eksportir (A) yang berkedudukan di Indonesia pada tanggal 1 Juli 2008
mengekspor kerajinan tangan ke Amerika senilai USD 1000 atau dengan kurs
USD 1 = Rp 10.000,00 setara dengan Rp10.000.000,00. Sementara itu,
eksportir B yang berkedudukan di Amerika juga mengekspor elektronik ke
Indonesia pada hari yang sama senilai USD 2000 setara Rp20.000.000,00. A
yang mendapatkan hasil ekspor USD 1000 khawatir akan fluktuasi (perubahan)
nilai tukar dollar terhadap rupiah 6 bulan ke depan (khawatir rupiah menguat).
Demikian pula si B mendapatkan hasil ekspor senilai Rp20.000.000,00
(khawatir dollar menguat). Oleh karena itu, pada tanggal 1 Juli 2008 mereka
sepakat melakukan Islamic currency swap agar nilai mata uang yang mereka
pegang saat ini tetap berada pada kurs USD 1 = Rp10.000,00 pada tanggal 1
Desember 2008 nanti dan terhindar dari risiko perubahan kurs rupiah terhadap
dollar. Caranya yaitu A memberikan USD 1000 kepada B dan B memberikan
Rp10.000.000,00 kepada A saat ini (1 Juli 2008). Pada 1 Desember 2008 nanti
A berjanji akan memberikan kembali Rp10.000.000,00 kepada B demikian
pula B akan memberikan USD 1000 milik A tanpa adanya kewajiban
membayar premi berupa selisih suku bunga simpanan IDR dan USD kepada
kedua belah pihak.
Mekanisme 2:
a. Bursa Komoditi Syariah memfasilitasi pelaku transaksi lindung nilai
syariah atas nilai tukar untuk melakukan transaksi atas sil'ah di Bursa
Komoditi Syariah;
b. Para pihak melakukan dua transaksi sil'ah secara berurutan:
Transaksi Pertama:
1. Konsumen Komoditi yang memiliki kewajiban mata uang asing
melakukan pemesanan sil’ah dan berjanji (wa’d) untuk membeli sil’ah
tersebut secara tunai, bertahap, atau tangguh kepada Peserta Komersial
dalam mata uang yang diserahkan;
2. Berdasarkan pemesanan sebagaimana dimaksud pada angka 1) di atas,
Peserta Komersial membeli sil’ah secara tunai dari sejumlah Peserta
Pedagang Komoditi dalam mata uang yang diserahkan;
3. Peserta Komersial menerima dokumen kepemilikan yang berupa Surat
Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT) yang diterbitkan Bursa
Komoditi Syariah sebagai bukti pembelian komoditi;
4. Konsumen Komoditi membeli sil’ah dari Peserta Komersial dengan akad
jual-beli murabahah dalam mata uang yang diserahkan, yang
pembayarannya dilakukan secara tunai, bertahap, atau tangguh sesuai
kesepakatan, dan diikuti dengan serah terima dokumen kepemilikan;
5. Konsumen Komoditi menjual sil’ah secara tunai kepada Peserta
Pedagang Komoditi dalam mata uang yang diserahkan;
Transaksi Kedua:
1. Konsumen Komoditi (LKS atau Nasabah) memberikan kuasa (akad
wakalah) kepada Peserta Komersial untuk membeli sil’ah secara tunai
dalam mata uang yang diterima;
2. Berdasarkan akad wakalah di atas, Peserta Komersial mewakili
Konsumen Komoditi membeli sil’ah secara tunai dari sejumlah Peserta
Pedagang Komoditi dalam mata uang yang diterima;
3. Konsumen Komoditi menerima dokumen kepemilikan yang berupa Surat
Penguasaan Atas Komoditi Tersetujui (SPAKT) yang diterbitkan Bursa
Komoditi Syariah sebagai bukti pembelian komoditi;
4. Peserta Komersial membeli sil’ah dari Konsumen Komoditi dengan akad
jual-beli murabahah dalam mata uang yang diterima, yang
pembayarannya dilakukan secara tunai, bertahap, atau tangguh sesuai
kesepakatan, dan diikuti dengan serah terima dokumen kepemilikan;
5. Peserta Komersial menjual sil’ah secara tunai kepada Peserta Pedagang
Komoditi dalam mata uang yang diterima;
6. Konsumen Komoditi menerima mata uang yang diterima dari Peserta
Komersial dalam rangka menunaikan kewajibannya kepada pihak lain
dan menyerahkan mata uang yang diserahkan kepada Peserta Komersial.
2.5 Ketentuan dan Batasan Hedging Syariah
Dalam Transaksi Lindung Nilai Syariah atas Nilai Tukar berlaku batasan dan
ketentuan sebagai berikut:
1. Transaksi Lindung Nilai Syariah atas Nilai Tukar tidak boleh dilakukan
untuk tujuan yang bersifat spekulatif (untung-untungan);
2. Transaksi Lindung Nilai Syariah atas Nilai Tukar hanya boleh dilakukan
apabila terdapat kebutuhan nyata untuk mengurangi risiko nilai tukar pada
masa yang akan datang terhadap mata uang asing yang tidak dapat
dihindarkan.
3. Hak pelaksanaan muwa'adah dalam mekanisme lindung nilai tidak boleh
diperjualbelikan;
4. Transaksi Lindung Nilai Syariah atas Nilai Tukar hanya dapat dilakukan
untuk mengurangi risiko atas:
a. Paparan (exposure) risiko yang dihadapi Lembaga Keuangan Syariah
karena posisi aset dan liabilitas dalam mata uang asing yang tidak
seimbang;
b. Kewajiban atau tagihan dalam mata uang asing yang timbul dari kegiatan
yang sesuai prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku berupa (i) Perdagangan barang dan jasa di dalam dan luar negeri;
dan (ii) investasi berupa direct investment, pinjaman, modal dan
investasi lainnya di dalam dan luar negeri.
5. Pelaku transaksi Lindung Nilai syariah atas Nilai Tukar adalah antara lain:
a. Lembaga Keuangan Syariah (LKS);
b. Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) hanya sebagai penerima
lindung nilai dari LKS;
c. Bank Indonesia;
d. Lembaga bisnis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah;
e. Pihak lainnya yang kegiatannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
6. Nilai tukar atau perhitungan nilai tukar harus disepakati pada saat saling
berjanji (muwa‘adah);
7. Penyelesaian transaksi lindung nilai, berupa serah terima mata uang pada
saat jatuh tempo dilakukan secara penuh (full commitment). Penyelesaian
transaksi dengan cara muqashshah (netting) hanya diperbolehkan dalam hal
terjadi perpanjangan transaksi (roll-over), percepatan transaksi (roll-back),
atau pembatalan transaksi yang disebabkan oleh perubahan obyek lindung
nilai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan adanya hedging syariah Lembaga Keuangan Syariah tidak perlu lagi
gelisah atau melakukan cara-cara perlindungan nilai diluar kontek syariah sehingga
tindakan spekulatif dan gharar bisa dijauhkan dari praktek transaksi LKS.
3.2 Saran
Pihak regulator OJK harus sensitif terhadap kebutuhan dari industri LKS jangan
sampai regulasi itu muncul karena adanya desakan atau kebutuhan saja. Jangan
sampai kalah dengan fatwa - fatwa yang dikeluarkan oleh DSN - MUI dimana
selama ini DSN MUI sangat cepat dalam merespon segala kebutuhan LKS.
Sehingga LKS di Indonesia bisa maju dan tetap menjaga nilai syariah dalam
berbisnis.
DAFTAR PUSTAKA
http://ranihaulya.blogspot.co.id/2015/04/hedgingsyariah.html
http://forumstudiislamindonesia.blogspot.co.id/2014/04/lindungnilaihedgingdalamislam
.html
http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/04/02/380328/dsnmuiluncurkanfatwatransa
ksilindungnilaisyariahatasnilaitukar
http://www.neraca.co.id/article/54112/hedging-syariah-jawab-keraguan-rupiah
http://www.dsnmui.or.id/index.php?
mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=115&cntnt01origid=15&cntnt01detailte
mplate=Fatwa&cntnt01returnid=59