Anatomi Dan Fisiologi
Anatomi Dan Fisiologi
3. Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam
5000 kelahiran ( Grosfeld J, 2006). Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada
laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak
ditemui pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan,
jenis atresia ani yang paling banyak ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular
dan fistula perineal (Oldham K, 2005).
4. Etiologi
Penyebab atresia ani belum diketahui secara pasti tetap ini merupakan penyakit anomaly
kongenital (Bets. Ed tahun 2002). Akan tetapi atresia juga dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan.
Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus,
rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu
keempat sampai keenam usia kehamilan.
Gangguan organogenesis dalam kandungan.
Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen
genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada
bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100
kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran.
Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien
dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa
mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani
atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai
Sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga
beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
5. Patofisiologi
6. Manifestasi Klinis
o Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
o Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
o Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
o Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
o Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
o Perut kembung.
.
7. Pembagian Atresia Ani
Laki – laki
Golongan I: Tindakan:
pada invertogram
pada invertogram
Perempuan
Golongan I: Tindakan:
pada invertogram
Pemeriksaan rutin tetap harus dilakukan untuk mencari kelainan yang lain 50 – 60 %
penderita ini mempunyai kelainan kongenital ditempat lain.
Golongan I
Kloaka
Pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia dan traktus digestivus tidak terjadi.
Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.
Fistel vagina
Mekonium tampak keluar dari vagina, evakuasi feses tidak lancar. Sebaiknya cepat
dilakukan kolostomi.
Fistel vestibulum
Muara fistel divulva bawah vagina. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita
hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan
padat. Kolonostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal.
Atresia rekti
Kelainan dimana anus tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok dubur jari tidak
dapat masuk lebih dari 1 – 2 cm, sehingga tidak ada evakuasi feses sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.
Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.
Golongan II
Fistel perineum
Terdapat lubang antara vulva dan tempat dimana lokasi anus normal. Dapat berbentuk
anus anterior, tulang anus tampak normal, tetapi marka anus yang rapat ada
diposteriornya. Umumnya menimbulkan obstipasi.
Stenosis ani
Lubang anus terletak dilokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar
sebaiknya cepat dilakukan operasi definitif.
Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi
Laki – laki
Golongan I
Fistel urine
Tampak mekonium keluar dari orificium urethra eksternum. Fistula dapat terjadi keuretra
maupun vesika urinaria. Cara praktis untuk membedakan lokasi fistel ialah dengan
memasang kateter urine. Bila kateter terpasang dan urine jernih, berarti fistel terletak
diuretra yang terhalang kateter. Bila kateter urine mengandung mekonium, berarti fistel
kevesika urinaria. Evakuasi feses tidak lancar dan penderita memerlukan kolostomi
segara.
Atresia rekti
Kelainan dimana anus tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok dubur jari tidak
dapat masuk lebih dari 1 – 2 cm, sehingga tidak ada evakuasi feses sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.
Perineum datar
Menunjukkan bahwa otot yang berfungsi untuk kontinensi tidak terbentuk sempurna.
Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.
Golongan II
Fistel perineum
Terdapat lubang antara vulva dan tempat dimana lokasi anus normal. Dapat berbentuk
anus anterior, tulang anus tampak normal, tetapi marka anus yang rapat ada
diposteriornya. Umumnya menimbulkan obstipasi.
Membran anal
Anus tertutup selaput tipis dan sering tampak bayangan jalan mekonium dibawah kulit.
Evakuasi feses tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan terapi definitif.
Stenosis ani
Lubang anus terletak dilokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar
sebaiknya cepat dilakukan operasi definitif.
Bucket handle
Daerah lokasi anus normal tertutup kulit yang berbentuk gagang ember. Evakuasi feses
tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan terapi definitif.
Tanpa fistel
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi.
Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling
banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh
tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum
(1%-2%).
Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti
hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan
spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma
intraspinal.
Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani.
Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak
tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%.
Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER
(Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb
abnormality) ( Oldham K, 2005).
8. Diagnosis
Anamnesis
1. Muntah.
2. Tidak bisa buang air besar.
3. Pada anamnesis dapat ditemukan bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah
lahir.
4. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula.
5. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan
kelainan adalah letak rendah (Faradilla, 2009).
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani biasanya
anus tampak merah, usus melebar, termometer yang dimasukkan melalui anus
tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengar hiperperistaltik, tanpa mekonium
dalam waktu 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urine dan vagina.
Pemeriksaan Penunjang
o Laboratorium
Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel
epitel mekonium.
o Radiologi
a. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat
menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu
pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
b. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
c. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan
jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar
pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek
tingkat tinggi.
d. Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan:
Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di
daerah tersebut.
Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru
lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia
reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara
berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
e. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan
kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak,
sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan
bayangan udara tertinggi dapat diukur.
9. Diagnosis Banding
10. Penatalaksanaan
Medika mentosa
Non- medika mentosa
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak
tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu
penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough,
tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa
usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 yang dikutip oleh
Faradillah. Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya
secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk
kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus
ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan
berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.
Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena
kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang
serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi
penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum
dan ada tidaknya fistula (Faradilla, 2009).
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif
(PSARP).
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot
sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena
dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
a. Pembuatan kolostomi
kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada
dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya
sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi,
dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir.
11. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
o Asidosis hiperkioremia.
o infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
o Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
o Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
o Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
o Prolaps mukosa anorektal.
o Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)
o Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
o Obstruksi intestinal
o Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
Komplikasi jangka panjang :
12. Pencegahan
13. Prognosis
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai pengendalian defekasi,
pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan kekuatan kontraksi otot sfingter
pada colok dubur (Hamami A.H, 2004). Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada
kekuatan sfingter atau sensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi
dan keadaan mental penderita (Hamami A.H, 2004). Hasil operasi atresia ani meningkat
dengan signifikan sejak ditemukannya metode PSARP (Levitt M, 2007). Dengan
menggunakan kalsifikasi diatas dapat dievaluasi fungsi klinis: Kontrol feses dan
kebiasaan buang air besar, Sensibilitas rektum, Kekuatan kontraksi otot sfingter pada
colok dubur, Evaluasi psikologis. Fungsi kontinensia tidak hanya tergantung pada
kekuatan sfingter atau sensasi saja, tetapi tergantung juga pada bantuan orang tua dan
kooperasi serta keadaan mental penderita.