Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM

HIGIENE INDUSTRI
PENERAPAN KONSEP HIGIENE INDUSTRI PADA INDUSTRI KERAMIK
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Higiene Industri

Dosen Pengampu :
Moch. Sahri, S.KM., M.KKK

Disusun Oleh :
Alviatuz Zahro Subiyakto 2440019002

PROGRAM STUDI D-IV KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

1 Judul praktikum : Penerapan Konsep Higiene Industri pada


. Industri Keramik
2 Mata kuliah : Higiene Industri
.
3 Nama praktikan
.
a. Nama : Alviatuz Zahro Subiyakto
b. NIM : 2440019002
4 Nama dosen
.
a. Nama : Moch. Sahri, S.KM., M.KKK
b. NPP : 19011230

Mengetahui, Surabaya, 19 Mei 2021


Dosen Mahasiswa

Moch. Sahri, S.KM., M.KKK Alviatuz Zahro Subiyakto


NPP. 19011230 NIM. 2440019002

ii
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah
dan Inayah-Nya sehingga saya dapat merampungkan penyusunan laporan kegiatan
praktikum mata kuliah Higiene Industri dengan judul “Penerapan Konsep Higiene
Industri pada Industri Keramik” tepat pada waktunya.
Penyusunan laporan praktikum semaksimal mungkin saya upayakan dan
didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya.
Untuk itu, tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam merampungkan laporan ini. Namun tidak lepas dari semua itu,
kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapar kekurangan baik dari segi
penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada saya
membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberikan saran
maupun kritik demi memperbaiki laporan ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari laporan praktikum
sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan dapat menginspirasi para
pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah maupun
laporan observasi selanjutnya.

Surabaya, 19 Mei 2021

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.....................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................ii
KATA PENGANTAR....................................................................................................iii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iv
DAFTAR TABEL............................................................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Tujuan..........................................................................................................................2
1.3 Manfaat........................................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................3
2.1 Higiene Industri...........................................................................................................3
2.2 Konsep Higiene Industri..............................................................................................3
2.3 Pengertian Keramik.....................................................................................................4
2.4 Proses Produksi Keramik.............................................................................................5
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN...........................................................................7
3.1 Antisipasi.....................................................................................................................7
3.2 Rekognisi.....................................................................................................................8
3.3 Evaluasi.....................................................................................................................12
3.4 Pengendalian..............................................................................................................14
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................16
4.1 Kesimpulan................................................................................................................16
4.2 Saran..........................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................17

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Identifikasi Faktor Bahaya dan Risiko pada Industri Keramik...........................8


Tabel 2. NAB Kebisingan menurut Peraturan Menteri dan Transmigrasi Nomor 13
Tahun 2011......................................................................................................................10
Tabel 3. NAB Iklim Kerja menurut Peraturan Menteri dan Transmigrasi Nomor 13
Tahun 2011......................................................................................................................11
Tabel 4. Nilai Tingkat Peluang/Kemungkinan (Probabilities).......................................12
Tabel 5. Nilai Tingkat Akibat/Konseukensi (Consequence)..........................................12
Tabel 6. Penilaian Bahaya Industri Keramik..................................................................13

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Industri keramik Indonesia merupakan salah satu sektor unggulan yang telah
berkembang baik selama lebih dari 30 tahun (Kemenperin RI, 2016). Nilai
penjualan keramik Indonesia tahun 2014 mampu mencapai Rp 34 triliun (ASAKI,
2015). Penjualan ini merupakan hasil kontribusi dari berbagai jenis industri
keramik, seperti industri keramik tile (ubin), tableware (perangkat rumah tangga),
earthenware, dan lain sebagainya. Nilai penjualan ini belum termasuk industri
advanced ceramic. Hal ini disebabkan oleh beberapa jenis sumber daya alam yang
dipergunakan sebagai bahan baku utama advanced ceramic, seperti alumina (yang
berasal dari bauksit) belum dikembangkan. Keberadaan industri advanced ceramic
di Indonesia hingga saat ini masih dalam tahap Penelitian dan Pengembangan
(Balai Besar Keramik, 2015). Indonesia memiliki potensi besar sumber daya alam
untuk bahan baku keramik yang telah dieksplorasi tetapi belum diolah (Dirjen
Industri Agro dan Kimia, 2009). Di kepulauan Riau, Bangka dan Belitung, serta
Provinsi Kalimantan Barat dan Tengah terdapat lebih dari 250 juta ton cadangan
bijih bauksit (Kementrian ESDM, 2012). Bauksit merupakan bijih mineral sumber
dari alumina. Bauksit ini dapat diperoleh dengan cara surface mining dikarenakan
letaknya yang dekat dengan permukaan tanah. Untuk memperoleh alumina, bauksit
yang telah digali dimurnikan dan kemudian diolah dengan proses Bayer.
Keramik sudah dikenal di Indonesia sejak jaman Neolithikum. Keramik
adalah salah satu dari peninggalan tersebut yang sampai saat ini masih banyak
digunakan oleh masyarakat pada umumnya. Dahulu keramik hanya dimanfaatkan
untuk bahan bangunan saja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keramik
adalah tanah liat yang dibakar, dicampur dengan mineral lain, barang tembikar
(porselen) (Mendikbud, 2007). Keramik pada proses pembuatannya memiliki
beberapa tahap proses agar berhasil.proses pembuatannya memerlukan waktu yang
cukup lama. Keramik adalah bahan isolator yang dan panas yang baik karena tidak
ada elektron yang terkonduksi. Material keramik memiliki titik leleh yang tinggi
dan kestabilan kimia terhadap lingkungan yang tinggi karena tingkat kestabilan.
Higiene Industri menyangkut secara luas faktor-faktor bahaya lingkungan kerja
yang dapat menyebabkan gangguan Kesehatan bagi tenaga kerja, oleh karena itu
sasaran dari Higiene Industri adalah lingkungan kerja. Pada lingkungan kerja
terdapat 5 faktor bahaya yaitu faktor fisik, faktor kimiawi, faktor biologi, faktor
fisiologi atau ergonomi, dan faktor psikologi. Ada bebarapa konsep dalam Higiene
Industri, yaitu Antisipasi, Rekognisi, Evaluasi, Kontrol.
Tuntutan masyarakat akan teknologi bersih semakin meningkat. Masyarakat
internasional tidak akan membeli pulp apabila dalam proses produksinya tidak
menggunakan teknologi bersih. Agar produksi keramik yang dihasilkan dapat
diterima pasar internasional, maka harus dilakukan usaha-usaha alternatif yang

1
lebih aman terhadap lingkungan. Industri keramik dapat menerapkan produksi
bersih, sehingga efisiensi dan efektivitas dalam proses produksinya dapat
dioptimalkan. Produksi bersih diperlukan sebagai suatu strategi untuk
mengharmonisasikan upaya perlindungan lingkungan dengan kegiatan
pembangunan atau pertumbuhan ekonomi, mencegah terjadinya pencemaran
lingkungan, memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang, mencegah atau memperlambat terjadinya proses degradasi lingkungan dan
pemanfaatan sumberdaya alam melalui penerapan daur ulang limbah serta
memperkuat daya saing produk di pasar internasional (Purwanto, 2005).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui penerapan higiene industri yang bisa dilakukan di industri keramik.
Sehingga dapat dilakukan tindakan pengendalian pada pekerja untuk mencegah
terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

1.2 TUJUAN
Tujuan dari laporan praktikum ini adalah untuk mengetahui penerapan
konsep higiene industri, analisis bahaya pekerjaan, dan pengendalian nya pada
industri keramik.

1.3 MANFAAT
1. Bagi Instansi
Sebagai bahan masukan dalam bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
dunia kerja serta menambah referensi ilmu mengenai Keselamatan dan
Kesehatan Kerja pada bidang Higiene Industri.
2. Bagi Mahasiswa
Menambah wawasan dalam mengaplikasikan ilmu Keselamatan dan Kesehatan
Kerja khususnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada bidang Higiene
Industri

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Higiene Industri


Higiene industri merupakan aspek perlindungan bagi kesehatan tenaga
kerja. Higiene industri menurut (Soeripto, 2008) adalah ilmu dan seni yang mampu
mengantisipasi, mengenal, mengevaluasi, dan mengendalikan faktor bahaya yang
timbul di lingkungan kerja dan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan dan
kesejahteraan atau ketidaknyamanan dan ketidakefisiensinan kepada masyarakat
yang berada di lingkungan kerja tersebut maupun kepada masyarakat yang berada
di lingkungan industri. Menurut OSHA, 1998, higiene industri sebagai ilmu
pengetahuan dan seni yang ditujukan untuk mengantisipasi, mengenali,
mengevaluasi, dan mengendalikan faktor lingkungan atau tekanan yang terjas di
atau dari tempat kerja ang dapat menyebabkan penyakit, gangguan kesehatan dan
kesejahteraan atau ketidaknyamanan yang signifikan di kalangan pekerja atau
masyarakat sekitar.
Tujuan higiene industri dalam kesehatan kerja adalah sebagai alat untuk
mencapai derajat kesehatan tenaga kerja seoptimal mungkin (dalam hal tertentu
mungkin setinggi-tingginya, seandainya kondisi yang diperlukan cukup memadai),
pada pekerja atau buruh petani, nelayan, pegawai negeri, pengusaha, manager atau
pekerja bebas di semua sektor kegiatan ekonomi dan non-ekonomi formal, informal
serta non-formal dengan demikian dimaksudkan untuk tujuan menyejahterakan
tenaga kerja dalammeningkatkan produktivitas, yang berdasarkan kepada perbaikan
daya kerja dan produktivitas faktor manusia dalam produksi (Suma’mur, 2009 :4).

2.2 Konsep Higiene Industri


Berbagai macam bahaya di lingkungan kerja dapat terjadi sebagai akibat proses
produksi yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja dan masyarakat sekitar
industri. Pencegahan bahaya yang dapat dilakukan pada proses produksi yaitu
dengan menerapkan higiene lingkungan industri. Ruang lingkup kegiatan tersebut
meliputi antisipasi, pengenalan, evaluasi, dan pengendalian potensial bahaya di
tempat kerja.
1. Antisipasi
Antisipasi dilakukan untuk memprediksi potensi bahaya dan risiko di tempat
kerja yang berasal dari semua faktor lingkungan dan aktivitas kerja. Antisipasi
ini dilakukan pada tahap awal higiene industri di tempat kerja. Tujuan antisipasi
adalah untuk mengetahui potensi bahaya dan risiko, mempersiapkan tindakan
yang perlu dilakukan sebelum memasuki area kerja dan memulai proses
produksi, dan memperkecil kemungkinan risiko yang terjadi pada saat memasuki
area pekerjaan atau suatu proses dijalankan. Hasil antisipasi yaitu berupa daftar
potensi bahaya dan risiko yang dapat dikelompokkan berdasarkan jenis potensi

3
bahaya, lokasi atau unit, kelompok pekerja atau berdasarkan pada tahapan proses
produksi.
2. Pengenalan / Rekognisi
Beberapa aktifitas dilakukan untuk mengenali suatu bahaya agar lebih terperinci
dan komprehensif dengan menggunakan metode yang sistematis sehingga
dihasilkan suatu hasil yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan
pengenalan adalah untuk mengetahui karakteristik suatu bahaya secara
menyeluruh, mengetahui sumber bahaya dan area yang berisiko, mengetahui
proses kerja yang berisiko, dan mengetahui berapa pekerja yang terpapar risiko
bahaya. Proses dan operasi produksi berisi :
1) Bahan baku, bahan pembantu, hasil antara, sisa-sisa produksi, bahan
buangan, hasil samping, dan hasil produksi.
2) Kondisi operasi seperti suhu dan tekanan.
3) Jumlah tenaga kerja.
4) Teknologi pengendalian yang telah diterapkan dan alat pelindung diri yang
tersedia.
3. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu kegiatan sampling dan mengukur bahaya dengan metode
yang lebih spesifik. Evaluasi faktor bahaya lingkungan menilai secara kuantitatif
tingkat faktor bahaya lingkungan dengan cara pengukuran, pengambilan contoh
uji, pengujian dan analisis laboratorium yang dilakukan dengan peralatan,
metode dan prosedur standar yang hasilnya dapat mencerminkan tingkat
keterpaparan dan permasalahan teknis yang diuji. Tujuan evaluasi diantaranya
adalah untuk Engineering Surveilance, Legal Surveilance, Epidemiologi dan
penelitian medis
4. Control
Pengendalian dilakukan jika hasil evaluasi terdapat pengukuran yang melebihi
nilai ambang batas. Pengendalian dapat menggunakan metode hirarki
pengendalian yaitu :
1) Eliminasi.
2) Subtitusi.
3) Rekayasa teknik / Engineering Control
4) Administrasi.
5) APD (Alat Pelindung Diri).

2.3 Pengertian Keramik


Keramik pada awalnya berasal dari bahasa Yunani, keramikos, yang artinya
suatu bentuk dari tanah liat yang telah mengalami proses pembakaran. Kamus dan
ensiclopedia tahun 1950-an mendefinisikan keramik sebagai suatu hasil seni dan
teknologi untuk menghasilkan barang dari tanah liat yang dibakar seperti gerabah,
genteng, porselin, dan sebagainya. Tetapi saat ini tidak semua keramik berasal dari
tanah liat. Definisi pengertian keramik terbaru mencakup semua bahan bukan

4
logam dan anorganik yang berbentuk padat. (Yusuf, 1998;2). Sifat keramik sangat
ditentukan oleh struktur kristal, komposisi kimia dan mineral bawaannya. Oleh
karena itu sifat keramik juga tergantung pada lingkungan geologi di mana bahan
diperoleh. Sifat yang umum dan mudah dilihat secara fisik pada kebanyakan jenis
keramik adalah britle atau rapuh. Secara umum sifat keramik meliputi :
1. Keras, kuat, tetapi bersifat mudah pecah
2. Tahan terhadap korosi
3. Kapasitas panas yang baik dan konduktivitas panas yang rendah
4. Sifat listriknya dapat menjadi isolator, semi konduktor, dan konduktor
5. Dapat bersifat magnetic dan non magnetik

2.4 Proses Produksi Keramik


Membuat keramik memerlukan teknik-teknik yang khusus dan unik. Hal ini
berkaitan dengan sifat tanah liat yang plastis dimana diperlukan keterampilan
tertentu dalam pengolahan maupun penanganannya. Membuat keramik berbeda
dengan membuat kerajinan kayu, logam, maupun yang lainnya. Proses membuat
keramik adalah rangkaian proses yang panjang yang didalamnya terdapat tahapan-
tahapan kritis. Kritis, karena tahapan ini paling beresiko terhadap kegagalan.
Tahapan proses dalam membuat keramik saling berkaitan antara satu dengan
lainnya. Ada beberapa proses dalam pembuatan keramik :
1. Pengolahan bahan
Tujuan pengolahan bahan ini adalah untuk mengolah bahan baku dari berbagai
material yang belum siap pakai menjadi badan keramik plastis yang telah siap
pakai. Pengolahan bahan dapat dilakukan dengan metode basah maupun kering,
dengan cara manual ataupun masinal. Didalam pengolahan bahan ini ada proses-
proses tertentu yang harus dilakukan antara lain pengurangan ukuran butir,
penyaringan, pencampuran, pengadukan (mixing), dan pengurangan kadar air.
Pengurangan ukuran butir dapat dilakukan dengan penumbukan atau
penggilingan dengan ballmill. Pencampuran dan pengadukan bertujuan untuk
mendapatkan campuran bahan yang homogen atau seragam. Pengadukan dapat
dilakukan dengan cara manual maupun masinal dengan blunger maupun mixer.
Proses ini dapat dilakukan dengan diangin-anginkan diatas meja gips atau
dilakukan dengan alat filterpress.
2. Pembentukan
Tahap pembentukan adalah tahap mengubah bongkahan badan tanah liat plastis
menjadi benda-benda yang dikehendaki. Ada tiga keteknikan utama dalam
membentuk benda keramik: pembentukan tangan langsung (handbuilding),
teknik putar (throwing), dan teknik cetak (casting).
 Pembetukan tangan langsung
Dalam membuat keramik dengan teknik pembentukan tangan langsung, ada
beberapa metode yang dikenal selama ini: teknik pijit (pinching), teknik
pilin (coiling), dan teknik lempeng (slabbing).

5
 Pembentukan dengan teknik putar
Pembentukan dengan teknik putar adalah keteknikan yang paling mendasar
dan merupakan kekhasan dalam kerajinan keramik. Karena kekhasannya
tersebut, sehingga keteknikan ini menjadi semacam icon dalam bidang
keramik. Secara singkat tahap-tahap pembentukan dalam teknik putar
adalah: centering (pemusatan), coning (pengerucutan), forming
(pembentukan), rising (membuat ketinggian benda), refining the contour
(merapikan).
 Pembentukan dengan Teknik cetak
Dalam keteknikan ini, produk keramik tidak dibentuk secara langsung
dengan tangan; tetapi menggunakan bantuan cetakan/mold yang dibuat dari
gipsum. Teknik cetak dapat dilakukan dengan 2 cara: cetak padat dan cetak
tuang (slip). Pada teknik cetak padat bahan baku yang digunakan adalah
badan tanah liat plastis sedangkan pada teknik cetak tuang bahan yang
digunakan berupa badan tanah liat slip/lumpur.
3. Pengeringan
Setelah benda keramik selesai dibentuk, maka tahap selanjutnya adalah
pengeringan. Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk menghilangkan air plastis
yang terikat pada badan keramik. Ketika badan keramik plastis dikeringkan akan
terjadi 3 proses penting:
1) Air pada lapisan antarpartikel lempung mendifusi ke permukaan, menguap,
sampai akhirnya partikel-partikel saling bersentuhan dan penyusutan
berhenti
2) Air dalam pori hilang tanpa terjadi susut.
3) Air yang terserap pada permukaan partikel hilang.
4. Pembakaran
Pembakaran merupakan inti dari pembuatan keramik dimana proses ini
mengubah massa yang rapuh menjadi massa yang padat, keras, dan kuat.
Pembakaran dilakukan dalam sebuah tungku atau furnace suhu tinggi. Ada
beberapa parameter yang mempengaruhi hasil pembakaran: suhu
sintering/matang, atmosfer tungku dan tentu saja mineral yang terlibat (Magetti,
1982). Selama pembakaran, badan keramik mengalami beberapa reaksi-reaksi
penting, hilang atau muncul fase-fase mineral, dan hilang berat (weight loss).
5. Pengglasiran
Pengglasiran merupakan tahap yang dilakukan sebelum dilakukan pembakaran
glasir. Benda keramik biskuit dilapisi glasir dengan cara dicelup, dituang,
disemprot, atau dikuas. Untuk benda-benda kecilsedang pelapisan glasir
dilakukan dengan cara dicelup dan dituang; untuk benda-benda yang besar
pelapisan dilakukan dengan penyemprotan. Fungsi glasir pada produk keramik
adalah untuk menambah keindahan, supaya lebih kedap air, dan menambahkan
efek-efek tertentu sesuai keinginan.
6. Pengemasan

6
Kemasan atau packaging adalah suatu wadah yang menempati suatu barang agar
aman, menarik, mempunyai daya pikat dari seorang yang ingin membeli suatu
produk.

7
BAB 3
HASIL

3.1 ANTISIPASI
Antisipasi adalah kegiatan memprediksi potensi bahaya dan risiko lebih dini
sebelum muncul menjadi bahaya dan risiko yang nyata di tempat kerja. Pada
industri kertas mendapatkan prediksi potensi bahaya meliputi paparan debu pada
beberapa tahapan produksinya, kebisingan yang berasal mesin-mesin produksinya,
faktor bahaya iklim kerja panas, hingga paparan cairan bahan kimia yang
digunakan untuk proses produksinya. Hasil dari tahap antisipasi merupakan daftar
potensi bahaya yang dapat dikelompokkan berdasarkan tahapan proses produksi.
Berikut adalah daftar potensi bahaya pada industri keramik :
1. Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam
tingkat dan waktu dan tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
manusia dan kenyamanan lingkungan (Kepmen LH No 48. tahun 1996). Suara
keras, berlebihan atau berkepanjangan dapat merusak jaringan saraf sensitif di
telinga, menyebabkan kehilangan pendengaran sementara atau permanen.
Batasan pajanan terhadap kebisingan ditetapkan nilai ambang batas sebesar 85
dB selama 8 jam sehari.
2. Pencahayaan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1405 tahun 2002,penerangan
adalah jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yangdiperlukan untuk
melaksanakan kegiatan secara efektif. Oleh sebab itusalah satu masalah
lingkungan ditempat kerja harus diperhatikan yaitupencahayaan. Nilai
Pencahayaan yang dipersyaratkan oleh Kep-Menkes RINo.
1405/Menkes/SK/XI/2002 yaitu minimal 100 lux. Penerangan atau cahaya
yang cukup merupakan pertimbangan yang penting dalam fasilitas fisik kantor.
Lebih-lebih dalam gedung yang luasdan kurang jendalanya, cahaya alam itu
tidak dapat menembus sepenuhnya, karena itu sering dipergunakan cahaya
lampu untukmengatur penerangan dalam kantor. Pencahayaan yang kurang
memadai merupakan beban tambahan bagi pekerja, sehingga dapat
menimbulkan gangguan performance kerja yang akhirnya dapat memberikan
pengaruh terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Hal ini sangat erat
kaitannya dan mutlak harus ada karena berhubungan denganfungsi indera
penglihatan, yangdapat mempengaruhi produktifitas bagi tenagakerja
3. Iklim kerja
Iklim kerja adalah kombinasi dari suhu udara, kelembapan udara, kecepatan
gerakan, dan suhu radiasi. Kombinasi dari keempat faktor ini dihubungkan
dengan produksi panas oleh tubuh yang disebut tekanan panas (Putra, 2011).
Menurut Permenakertrans No. PER 13/MEN/X/2011 iklim kerja adalah hasil
perpaduan antara suhu, kelembapan, kecepatan gerakan udara dan panas radiasi

8
dengan tingkat pengeluaran panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat
pekerjaannnya. Suhu udara yang dianggap nikmat bagi orang Indonesia ialah
berkisar 240C–260C dan selisih suhu didalam dan diluar tidak boleh lebih dari
50C.Batas kecepatan angin secara kasar yaitu 0,25 sampai 0,5 m/dtk (Putra
2011).
4. Debu
Semua pekerja di industri kertas ini berpotensi terpapar debu. Efek yang
ditimbulkan jika terlalu sering terpapar debu adalah infeksi saluran pernapasan,
gangguan fungsi paru-paru, dan yang paling sering adalah Asma akibat kerja
atau occupational asthma. Asma terjadi karena pekerja menghirup debu kayu
di tempat kerja. Debu kayu ini disebut sebagai “respiratory sensitisers” atau
asthmagens, yakni agen biologi dan kimia penyebab penyakit pernapasan pada
manusia. Kebanyakan pekerja memang tidak menyadari bahwa dirinya bisa
terkena asma akibat paparan debu kayu terus-menerus. Namun, setelah mereka
mengalami gejalanya, justru inilah yang berbahaya karena bisa memicu
serangan pada pernapasan.
5. Ergonomi
Bahaya yang bersumber karena tidak efisiennya hubungan alat kerja dengan
manusia, biasanya berhubungan interaksi antara manusia, peralatan dan
lingkungan, yang berkaitan dengan tata letak yang salah, desain pekerjaan yang
tidak sempurna, dan manual handling yang tidak sesuai sehingga menyebabkan
munculnya penyakit akibat kerja karena kesalahan dalam perilaku penggunaan
alat kerja. Ergonomi fisik meliputi: posisi dan postur kerja, penanganan
material secara manual atau manual material handling, gerakan berulang-ulang,
pekerjaan yang berhubungan dengan gangguan sistem muskuloskeletal, tata
letak tempat kerja, dan lain-lain

3.2 PENGENALAN (REKOGNISI)


Pada tahap rekognisi, dilakukan pengenalan lingkungan kerja melalui survey
pendahuluan untuk mengetahui potensi bahaya dan risiko secara komperehensif.
Berikut adalah identifikasi faktor bahaya pada industri keramik :

Tabel 1. Identifikasi Faktor Bahaya dan Risiko pada Industri Keramik


No Proses Kerja Faktor Sumber Bahaya Bahaya Kesehatan
. Bahaya
1. Pengolahan Fisik Kebisingan Gangguan
Bahan pendengaran / Noise
Induced Hearing
Loss (NIHL),
Temporary Treshold
Shift (TTS),
Permanent Treshold

9
Shift (PTS),
Presbicusis, Titinus
Pencahayaan Mata cepat Lelah
ruangan yang kurang dan akan
mengurangi
performa
penglihatan
Iklim Kerja Eritema kulit (heat
rash), Milaria, cairan
elektrolit tidak stabil
(Heat Cramps),
lemas atau kelelahan
pada suhu panas
(Heat exhaustion),
regulasi suhu tubuh
gagal (Heat Stroke)
4. Pembentukan Fisik Kebisingan Gangguan
pendengaran / Noise
Induced Hearing
Loss (NIHL),
Temporary Treshold
Shift (TTS),
Permanent Treshold
Shift (PTS),
Presbicusis, Titinus
Ergonomi Postur Kerja Janggal Nyeri pada tulang
dengan Posisi punggung dan leher
Jongkok, karena sering
Membungkukan membungkuk
Badan dan Leher
6. Pengeringan Kimia Debu Asma, sesak nafas
7. Pembakaran Fisik Iklim Kerja Panas Lelah, dehidrasi,
heat rash,
heat Cramps,
heat exhaustion,
heat Stroke
8. Pengglasiran Fisik Kebisingan Gangguan
pendengaran / Noise
Induced Hearing
Loss (NIHL),
Temporary Treshold
Shift (TTS),
Permanent Treshold

10
Shift (PTS),
Presbicusis, Titinus
Kimia Debu Asma, sesak nafas
10. Packaging Ergonomi Postur Kerja Janggal Musculoskeletal
dengan Posisi Disorders
Jongkok,
Membungkukan
Badan dan Leher :
Pekerja seringkali
membungkukan
badan dan
membungkukan
leher pada saat
menghitung jumlah
produk yang akan
dikemas dan saat
proses memasukkan
produk ke dalam
plastik

1. Faktor Fisik
a. Kebisingan, berasal dari mesin-mesin yang dipakai saat produksi.
Hal ini dapat menyebabkan Gangguan pendengaran / Noise Induced
Hearing Loss (NIHL), Temporary Treshold Shift (TTS), Permanent
Treshold Shift (PTS), Presbicusis, Titinus. Berikut adalah Nilai
Ambang Batas Kebisingan menurut Peraturan Menteri dan
Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 :

Tabel 2. Nilai Ambang Batas Kebisingan menurut Peraturan Menteri dan


Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2011
Waktu Pemaparan per Hari Intensitas Kebisingan dalam dBA
Jam 8 85
4 88
2 91
1 94
Menit 30 97
15 100
7,5 103
3,75 106
1,88 109
0,94 112
Detik 28,12 115
14,06 118

11
7,03 121
3,52 124
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139

b. Iklim Kerja Panas yang dapat menyebabkan lelah, dehidrasi, heat


rush, heat camps dan heat stroke jika para pekerja berlama-lama di
dekat mesin tersebut. Berikut adalah Nilai Ambang Batas Iklim
Kerja menurut Peraturan Menteri dan Transmigrasi Nomor
PER.13/MEN/X/2011 :

Tabel 3. Nilai Ambang Batas Iklim Kerja menurut Peraturan Menteri dan
Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2011
Pengaturan Waktu Kerja Setiap Jam ISBB (°C)
Beban Kerja
75% - 100 % 31,0 28,0 -
50% - 75% 31,0 29,0 27,5
25% - 50% 32,0 30,0 29,0
0% - 25% 32,2 31,1 30,5

c. Pada proses produksi industri keramik terdapat beberapa tahapan


yang memiliki faktor bahaya fisik pencahayaan, yang dapat
mengakibatka Mata cepat Lelah dan akan mengurangi performa
penglihatan.

2. Faktor Kimia
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.13/Men/X/2011 Tahun 2011 tentang nilai ambang batas faktor fisik dan
faktor kimia di tempat kerja, faktor kimia adalah faktor di dalam tempat kerja
yang bersifat kimia yang meliputi bentuk padatan (partikel), cair, gas, kabut,
aerosol, dan uap yang bersifat bahan-bahan kimia. Faktor kimia mencakup
wujud yang bersifat partikel adalah debu, awan, kabut, uap logam, dan asap,
serta wujud yang tidak bersifat partikel adalah gas dan uap.
3. Faktor Ergonomi
Maksimum berat beban ergonomi yang dapat diangkat oleh manusia
tergantung dari faktor seperti jenis kelamin dan umur. Menentukan secara pasti
angka beban maksimum yang dapat diangkat akan menjadi sulit karena tiap
individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Pertimbangan yang
digunakan untuk menentukan beban maksimum individu lebih pada faktor-
faktor risiko yang ada, misalnya: ukuran dan bentuk beban, jarak, tinggi

12
pengangkatan beban, dll. Batas maksimum untuk mengangkat, menurunkan
atau membawa beban menurut NOHSC:2005 tahun 1990 adalah sebagai
berikut:
1) Pada posisi duduk, tidak disarankan mengangkat lebih dari 4,5 kg.
2) Beban antara 16 sampai 55 kg, maka risiko cidera akan semakin
meningkat. Gunakan alat angkat dan atau mengangkat secara tim.
3) Beban lebih dari 55 kg tidak diperkenankan mengangkat sendiri. Gunakan
alat bantu dan atau mengangkat secara tim.
Sedangkan batas maksimum ukuran benda yang diangkat adalah panjang benda
30 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 75 cm.

3.3 EVALUASI
Penilaian suatu faktor bahaya dimulai dari tahap identifikasi hingga timbulnya
risiko sesuai dengan tingkatnya dengan menerapakan pengendalian tertentu.
Identifikasi bahaya dan risiko kesehatan yang ditimbulkan pada setiap proses kerja
dilaksanakan menggunakan Job Safety Analysis (JSA). Setelah itu, data yang
didapatkan dari proses identifikasi bahaya kemudian dianalisis dengan metode Risk
Assesment Matrix yaitu perkalian antara nilai kemungkinan (P) dan konsekuensi
(C) lalu menghasilkan kategori risiko (R).

Tabel 4. Nilai Tingkat Peluang/Kemungkinan (Probabilities)


Tingkatan Deskripsi Rating
Almost certain Sangat sering terjadi (tiap minggu/bulan) 5
Likely Sering terjadi (beberapa kali/tahun) 4
Possible Mungkin (1-2 tahun/kali) 3
Unikely Jarang (>2-5 tahun/kali) 2
Rare Sangat jarang (>5ahun/kali) 1
(sumber: slideplayer.info)

Tabel 5. Nilai Tingkat Akibat/Konseukensi (Consequence)


Tingkatan Deskripsi Rating
Insignificant Tidak ada cidera, kurigian materi sangat kecil 1
Minor Memelurkan perawatan P3K, kerugian materi 2
sedang
Moderate Memerlukan perawatan medis dan 3
mengakibatkan hilangnya hari kerja /
hilangnya fungsi anggota tubuh untuk
sementara waktu, kerugian materi cukup
besar
Major Cidera yang mengakibatkan cacat / hilangnya 4
fungsi tubuh secara total, tidak berjalannya
proses produksi, kerugian materi besar

13
Catasthropic Cidera yang mengakibatkan kematian atau 5
kebakaran, kerugian sangat
(sumber: slideplayer.info)

Tabel 6. Penilaian Bahaya Industri Gula


No Faktor Bahaya Probabilities Consequence Risiko
.
1. Kebisingan 4 3 12
(High)
2. Iklim Kerja Panas 3 2 6
(Moderate)
3. Pencahayaan 4 2 8
(High)
4. Ergonomi 3 2 6
(Moderate)
5. Debu 2 2 4
(Low)

1. Kebisingan
Faktor bahaya kebisingan terjadi akibat mesin-mesin yang dipakai pada proses
produksi keramik. Peluang terjadinya kebisingan ini adalah sering terjadi
(likely) karena para pekerja terdapat disekeliling mesin-mesin tersebut,
sedangkan akibat yang ditimbulkan yaitu moderate atau memerlukan
perawatan medis dan hilangnya fungsi anggota tubuh untuk sementara waktu.
Jadi kebisingan termasuk dalam kategori risiko perlunya perencanaan
pengendalian (high).
2. Iklim Kerja Panas
Iklim kerja panas di proses produksi keramik ini memiliki peluang mungkin
terjadi (possible) karena membutuhkan suhu tinggi pada beberapa proses saja
sedangkan akibat yang ditimbulkan adalah memerlukan perawatan P3K
(minor). Jadi iklim kerja panas ini termasuk dalam kategori risiko perlu
tindakan langsung (moderate).
3. Pencahayaan
Pencahayaan di proses produksi kertas ini memiliki peluang sering terjadi
(likely) sedangkan akibat yang ditimbulkan yaitu minor atau memerlukan
perawatan medis dan hilangnya fungsi anggota tubuh untuk sementara waktu.
Jadi pencahayaan termasuk dalam kategori risiko perlunya perencanaan
pengendalian (high).
4. Ergonomi
Ergonomi di proses produksi keramik ini memiliki peluang mungkin terjadi
(possible) karena membutuhkan suhu tinggi pada beberapa proses saja
sedangkan akibat yang ditimbulkan adalah memerlukan perawatan P3K

14
(minor). Jadi ergonomi ini termasuk dalam kategori risiko perlu tindakan
langsung (moderate).
5. Debu
Debu pada proses ini memiliki peluang jarang terjadi (unlikely) sedangakan
akibat yang ditimbulkan adalah memerlukan memelurkan perawatan P3K,
kerugian materi sedang (minor) Jadi debu ini termasuk dalam kategori low.

3.4 PENGENDALIAN
Pengendalian risiko (Risk Control) adalah cara untuk mengatasi potensi
bahaya yang terdapat dalam lingkungan kerja untuk menerapkan metode-metode
tertentu agar bahaya di lingkungan kerja berada sampai pada batas yang dapat
ditolerir oleh manusia dan lingkungannya. Potensi bahaya tersebut dapat
dikendalikan dengan menentukan suatu skala prioritas terlebih dahulu yang
kemudian dapat membantu dalam prioritas terlebih dahulu yang kemudian dapat
membantu dalam pemilihan pengendalian resiko yang disebut hirarki pengendalian
resiko. (Wijaya, Panjaitan, Palit, 2015). Pengendalian risiko dapat mengikuti
Pendekatan Hirarki Pengendalian (Hirarchy of Control).
Hirarki pengedalian resiko adalah suatu urutan-urutan dalam pencegahan
dan pengendalian resiko yang mungkin timbul yang terdiri dari beberapa tingkatan
secara berurutan (Tarwaka, 2008). Hirarki atau metode yang dilakukan untuk
mengendalikan risiko antara lain :
1. Eliminasi
Eliminasi dapat didefinisikan sebagai upaya menghilangkan bahaya. Eliminasi
merupakan langkah ideal yang dapat dilakukan dan harus menjadi pilihan
utama dalam melakukan pengendalian risiko bahaya. Hal ini berarti eliminasi
dilakukan dengan upaya mengentikan peralatan atau sumber yang dapat
menimbulkan bahaya.
2. Substitusi
Substitusi didefinisikan sebagai penggantian bahan yang berbahaya dengan
bahan yang lebih aman. Prinsip pengendalian ini adalah menggantikan sumber
risiko dengan sarana atau peralatan lain yang lebih aman atau lebih rendah
tingkat resikonya. Pada industri gula ini mungkin bahan-bahan kimia yang
berbahaya digunakan dapat diganti dengan bahan kimia tidak berbahaya.
3. Rekayasa Teknik (Engineering Control)
Rekayasa / Engineering merupakan upaya menurunkan tingkat risiko dengan
mengubah desain tempat kerja, mesin, peralatan atau proses kerja menjadi
lebih aman. Ciri khas dalam tahap ini adalah melinatkan pemikiran yang lebih
mendalam bagaimana membuat lokasi kerja yang memodifikasi peralatan,
melakukan kombinasi kegiatan, perubahan prosedur, dan mengurangi frekuansi
dalam melakukan kegiatan berbahaya. Pengendalian ini coock digunakan pada
industri kertas untuk mengurangi faktor bahaya kebisingan dengan membangun
control room.

15
4. Administrasi
Dalam upaya sacara administrasi difokuskan pada penggunaan prosedur seperti
SOP (Standard Operating Procedure) sebagai langkah mengurangi tingkat
risiko dan pemberian rambu-rambu pada area kerja yang berbahaya. Sebagai
contoh memberi rambu-rambu bahaya terpeleset pada stasiun pemurnian,
stasiun penguapan, dan stasiun masakan dengan tujuan memberi informasi
kepada para pekerja untuk menghindari adanya genangan air agar tidak
terpeleset.
5. Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri merupakan langkah terakhir yang dilakukan yang berfungsi
untuk mengurangi keparahan akibat dari bahaya yang ditimbulkan seperti
menyediakan penyediaan ear plug, ear muff, safety helmet, safety shoes, safety
belt dalam rangka melindungi tenaga kerja dari pengaruh bahaya dan
menyediakan baju tahan panas bagi tenaga kerja yang bekerja pada area
bertekanan tinggi.

16
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Keramik merupakan suatu bentuk dari tabah liat yang telah mengalami proses
pembakaran yang pada umumnya tersebut dari tanah liat, kwarsa, feldsfar, dan
serbuk kaca. Sifat keramik ditentukan oleh struktur kristal, komposisi kimia dan
mineral bawaanya yang secara umum memiliki sifat :
1. Keras, kuat, tetapi bersifat getas atau mudah pecah
2. Tahan terhadap korosi
3. Kapasitas panas yang baik konduktivitas panas yang rendah
4. Sifat listriknya dapat menjadi isolator, simikonduktor dan superkonduktor
5. Dapat bersifat magnetik dan non magnetik
Keramik biasanya digunakan untuk kebutuhan rumah tangga seperti mangkuk,
piring, cangkir, dll atau untuk bahan bangunan, seperti batu bata, kenting keramik,
pipa keramik untuk pembuangan.

5.2 Saran
Proses dalam pembuatan keramik akan menentukan produk yang dihasilkan.
Oleh karena itu kecermatan dalam melakukan tahapan demi tahapan sangat
diperluikan untuk menghasilkan produk yang memuaskan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Menteri dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 tahun 2011 tentang


Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja

Ramadahn, Fazri. 2017. Analisis Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Menggunakan
Metode Hazard Identification Risk Assessment And Risk Control (HIRARC).
Universitas Serang Raya.
http://ejurnal.lppmunsera.org/index.php/senasset/article/download/443/493
diakses pada tanggal 07 Mei 2021

Rohmat Sulistya. “Membuat keramik”. 2007. Retreived From


http://www.studiokeramik.org/2007 diakses pada tanggal 19 mei 2021

Suma’mur. 2009. Hiegiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Jakarta : CV Sagung


Seto.

Tanteri Ceramic. “Proses Pembuatan Keramik”. 2012. Retreived From


http://www.tantericeramicbali.com/production-bali diakses pada tanggal 19 mei
2021

18

Anda mungkin juga menyukai