Anda di halaman 1dari 110

TAHUN 2020/2021

TUGAS DESAIN
J
A
L
A
N
R
A DOSEN PENGAMPU :
HUSNI MUBARAK, ST.M.Sc
Y MAHASISWA :

A - DZAKY KURNIA PUTRA


- MUHAMMAD DEFRI WAHYUDI
(1922201012)
(1922201026)
- NATHASYA ANNISA (2022201031J)
- SAPBIKIS (1922201041)
- TEDDY JULIO GUNAWAN (1922201043)
2 - ZAMRI (1922201053)

UNIVERSITAS ABDURRAB
JL. Riau Ujung No. 073
LEMBAR ASISTENSI

Nama Mahasiswa : TEDDY JULIO GUNAWAN


NIM : 1922201043
Nilai :

KEGIATAN ASISTENSI :

No. Tanggal Kegiatan Asistensi Paraf Dosen

Pekanbaru, April 2021


Dosen pengampu

Husni Mubarak,ST.M.Sc
NIDN. 1003028501
LEMBAR ASISTENSI

Nama Mahasiswa : DZAKY KURNIA PUTRA


NIM : 1922201012
Nilai :

KEGIATAN ASISTENSI :

No. Tanggal Kegiatan Asistensi Paraf Dosen

Pekanbaru, April 2021


Dosen pengampu

Husni Mubarak,ST.M.Sc
NIDN. 1003028501
LEMBAR ASISTENSI

Nama Mahasiswa : MUHAMMAD DEFRI WAHYUDI


NIM : 1922201026
Nilai :

KEGIATAN ASISTENSI :

No. Tanggal Kegiatan Asistensi Paraf Dosen

Pekanbaru, April 2021


Dosen pengampu

Husni Mubarak,ST.M.Sc
NIDN. 1003028501
LEMBAR ASISTENSI

Nama Mahasiswa : NATHASYA ANNISA


NIM : 2022201031J
Nilai :

KEGIATAN ASISTENSI :

No. Tanggal Kegiatan Asistensi Paraf Dosen

Pekanbaru, April 2021


Dosen pengampu

Husni Mubarak,ST.M.Sc
NIDN. 1003028501
LEMBAR ASISTENSI

Nama Mahasiswa : SAPBIKIS


NIM : 1922201041
Nilai :

KEGIATAN ASISTENSI :

No. Tanggal Kegiatan Asistensi Paraf Dosen

Pekanbaru, April 2021


Dosen pengampu

Husni Mubarak,ST.M.Sc
NIDN. 1003028501
LEMBAR ASISTENSI

Nama Mahasiswa : ZAMRI


NIM : 1922201053
Nilai :

KEGIATAN ASISTENSI :

No. Tanggal Kegiatan Asistensi Paraf Dosen

Pekanbaru, April 2021


Dosen pengampu

Husni Mubarak,ST.M.Sc
NIDN. 1003028501
REKAYASA JALAN RAYA II

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya serta hidayah-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga laporan ini bisa selesai pada waktunya.

Sholawat dan salam tidak lupa kita sanjungkan kepada Nabi Muhammad
SAW, semoga kita bersama mendapat safaatnya. Amin Ya Robbal Alamin.

Laporan ini kami buat dengan tujuan untuk belajar dan memperoleh ilmu
mengenai perkerasan jalan terkait Teknik Sipil, yang mana nantinya ini dipakai
dalam pekerjaan perencanaan perkerasann jalan.

Dalam kesempatan kali ini, penulis menyadari bahwa laporan ini tidak lepas
dari bimbingan dan dorongan dari beberapa pihak,oleh karena itu penulis
mengucapkan banyak Terima Kasih Kepada:
1. Husni Mubarak, ST, M.Sc selaku dosen pengampu mata kuliah
Rekayasa Jalan Raya II.
2. Dan semua teman-teman Teknik Sipil Universitas Abdurrab.
Kami berharap semoga laporan ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa laporan ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya laporan selanjutnya yang lebih baik lagi.

Pekanbaru, April 2021

Kelompok 4

KELOMPOK 4 1
REKAYASA JALAN RAYA II

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ 1
DAFTAR ISI.................................................................................................................... 2
BAB I - PENDAHULUAN ................................................................................................ 3
1.1. LATAR BELAKANG............................................................................................. 3
1.2. TUJUAN DAN MANFAAT .................................................................................. 5
BAB II - TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 6
2.1. PENGERTIAN PERKERASAN JALAN ................................................................... 6
2.2. JENIS DAN FUNGSI LAPISAN PERKERASAN LENTUR ....................................... 12
2.3. MATERIAL KONSTRUKSI PERKERASAN ...........................................................22
2.4. PARAMETER PERENCANAAN TEBAL LAPISAN KONSTRUKSI PERKERASAN .... 71
2.5. LANGKAH-LANGKAH PERENCANAAN TEBAL LAPISAN PERKERASAN LENTUR101
BAB III – PEMBAHASAN ............................................................................................102
3.1. DATA PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA .................................................... 102
3.2. LANGKAH-LANGKAH PERHITUNGAN ........................................................... 102
3.3. PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR METODE ANALISA KOMPONEN102
BAB IV – PENUTUP ................................................................................................... 103
4.1. KESIMPULAN ................................................................................................ 103
4.2. SARAN .......................................................................................................... 103
BAB V DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 103

KELOMPOK 4 2
REKAYASA JALAN RAYA II

BAB I - PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sejarah perkembangan jalan dimulai dengan sejarah manusia itu sendiri


yang selalu berhasrat untuk mencari kebutuhan hidup dan berkomunikasi
dengan sesame.Dengan demikian perkembangan jalan saling berkaitan dengan
teknik jalan, seiring dengan perkembangan teknologi yang ditemukan
manusia.
Pada awalnya jalan hanya berupa jejak manusia yang mencari
kebutuhan hidup. Setelah manusia mulai hidup berkelompok jejak-jejak
berubah menjadi jalan setapak yang masih belum terbentuk jalan yang rata.
Dengan digunakan alat transportasi seperti hewan ,kereta, atau yang lainnya,
mulai dibuat jalan yang rata.
Sejarah perkembangan jalan diindonesia yang tercatat sejarah bangsa
Indonesia adalah pembangunan jalan Daendles pada Zaman Belanda, yang
dibangun dari Anyer di Banten Sampai Penarukan di Bayuwangi Jawa Timur.
Yang diperkirakan 1000 km. Pembangunan tersebut dilakukan dengan kerja
paksa pada akhirnya abad 18. Tujuan pembangunanpada saat itu terutama
untuk kepentingan strategi dan dimasa tanam paksa Untuk memudahkan
pengangkutan hasil bumi.
Jalan Deandels tersebut belum direncanakan secara teknis baik geometrik
maupun perkerasannya. Konstruksi perkerasan jalan berkembang pesat pada
zaman keemasan Romawi. Pada saat itu telat mulai di bangun jalan – jalan
yang terdiri dari beberapa lapis perkerasan. Perkembangan konstruksi
perkerasan jalan seakan terhenti dengan runtuhnya kekuasaan Romawi sampai
abad 18.
Pada abad 18 para ahli dari Perancis, Skotlandia menemukan bentuk
perkerasan yang sebagian sampai saat ini umum digunakan di Indonesia dan
merupakan awal dari perkembangan konstruksi perkerasan di Indonesia yang
antara lain : konstruksi perkerasan batu belah ( Telford), konstruksi perkerasan
macadam.

KELOMPOK 4 3
REKAYASA JALAN RAYA II

Konstruksi Telford diciptakan oleh Thomas Teldofd (1757-1834) dari


Skotlandia, sedang Macadam oleh Jhon Lounder MacAdam (1756-1836) dari
Skotlandia.
Perkerasan jalan yang menggunakan aspan sebagai bahan pengiriman
ditemukan pertama kali di Babylon pada tahun 625 SM, tetapi perkerasan
jenis ini tidak berkembang sampai ditemukan kendaraan bermotor oleh
Gofflieb Diamler dan Karl Benz pada tahun 1880 Mulai tahun 1920 sampai
sekarang teknologi konstruksi perkerasan dengan menggunakan aspal sebagai
bahan pengikat maju pesat. Di Indonesia perkembangan perkerasan aspal
dimulai pada tahap awal berupa koknstruksi Telford dan Macadam yang
kemudian diberi lapisdan aus yang menggunakan aspal sebagai bahan
pengikay dan ditaburi pasir kasar yang kemudian berkembang menjadi lapisan
penetrasi (Lapisan, Brutu, Bruda, Buras). Tahun 1980 diperkenalkan
perkerasan jalan dengan aspal emulsi dan butas,tetapi dalam pelaksanaan atau
pemakaian aspal butas terdapat permasalahan dalam hal variasi kadar aspalnya
yang kemudian disempurnakan pada tahun 1990 dengan teknologi beton
mastic, perkembangan konstruksi perkerasan jalan menggunakan aspal panas
(hot mix) mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1975, kemudian disusul
dengan jenis yang lain seperti aspal beton (AC) dan lain-laian
Konstruksi perkerasan menggunakan semen sebagai bahan pengikat telah
ditemukan pada tahun 1828 di London tetapi konstruksi perkerasan ini mulai
berkembang awal tahun 1990. Konstruksi Perkerasan dengan menggunakan
semen atau ‘concrete pavemen’ mualai pergunakan di Indonesia secara besar
bersaran pada awak tahun 1970 yaitu pada pembangunan jalan tol Prof.
Sediyanmo.
Secara umum perkembangan konstruksi perkerasan di Indonesia mulai
berkembang pesat sejak tahun 19870 dimana mulai diperkenalkannya
pembangunan perkerasan jalan sesuai dengan fungsinya
Sedangkan perkerasan geometrik jalan seperti sekarang ini baru dikenal
sekitar pertengahan tahun 1960 kemudian mengalami perkembangan yang
cukup pesat sejak tahun 1980.

KELOMPOK 4 4
REKAYASA JALAN RAYA II

1.2.TUJUAN DAN MANFAAT

1.2.1. Tujuan
Tujuan dari penyusunan laporan perkerasan jalan raya ini adalah
sebagai pedoman bacaan untuk pembuatan dalam pekerjaan perkerasan
jalan raya.

1.2.2. Manfaat
Manfaat dari penyusunan laporan perkerasan jalan raya ini adalah
sebagai berikut:
1) Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan perkerasan jalan.
2) Dapat mengetahui jenis dan fungsi lapisan perkerasan lentur.
3) Dapat mengetahui material konstruksi perkerasan.
4) Dapat mengetahui parameter perencanaan tebal lapisan
konstruksi perkerasan.
5) Mengetahui langkah-langkah perencanaan tebal lapisan
perkerasan lentur.
6) Dapat mengetahui cara merencanakan tebal perkerasan lentur
metode analisa komponen.

KELOMPOK 4 5
REKAYASA JALAN RAYA II

BAB II - TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PENGERTIAN PERKERASAN JALAN

Jalan adalah sarana yang bisa dilalui oleh makhluk hidup dan kendaraan
atau barang. Sedangkan secara teknis pengertian jalan adalah sarana yang
digunakan kendaraan untuk menghubungkan dari satu daerah ke daerah yang
lainnya.
Perkerasan Jalan Adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang
digunakan untuk melayani beban lalu lintas.
Menurut Sukirman (2003), perkerasan jalan adalah lapisan perkerasan
yang terletak di antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi
memberikan pelayanan kepada transportasi, dan selama masa pelayanannya
diharapkan tidak terjadi kerusakan yang berarti.
Agregat yang dipakai :
 Batu pecah
 Betu belah
 Batu kali
 Hasil samping Peleburan baja

Bahan Ikat yang dipakai:


 Aspal
 Semen
 Tanah liat

Fungsi perkerasan jalan, adalah:


1) Untuk memberikan permukaan rata / halus bagi pengendara.
2) Untuk mendistribusikan beban kendaraan di atas formasi tanah secara
memadai, sehingga melindungi tanah dari tekanan yang berlebihan.
3) Untuk melindungi formasi tanah dari pengaruh buruk perubahan cuaca.
4) Menerima dan menahan beban (perkerasan kaku: kayu gelondongan, pelat
baja, beton).

KELOMPOK 4 6
REKAYASA JALAN RAYA II

a) Perkerasan kayu banyak digunakan di pedalaman Kalimantan


(daerah berrawa atau gambut), perilaku seperti rakit atau jembatan
kayu di atas rawa.
b) Perkerasan menggunakan pelat baja populer pada Perang Dunia II
sebagai jalan rintisan dan landasan udara darurat, dapat dipasang di
daerah tanah datar dan cukup padat.
c) Perkerasan beton, perkerasan lebih stabil, tidak korosif dan dapat
menahan seluruh beban lalu lintas, digunakan pada tanah dasar
yang kurang baik atau tidak stabil.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi pelayanan:


1. Fungsi jalan.
2. Kinerja perkerasan.
3. Umur rencana.
4. Lalu lintas yang merupakan beban dari perkerasan jalan.
5. Sifat tanah dasar.
6. Kondisi lingkungan.

1. Fungsi Jalan

Sesuai undang –undang tentang jalan, No. 13 tahun 1980 dan peraturan
pemerintah No. 26 tahun 1985, sistem jaringan jalan indonesia dapat
dibedakan atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan
sekunder.
a. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan perana
pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah ditingkat
nasional dengan semua simpul jasa distribusi yang kemuadian berwujud
kota.
b. Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan
peranan pelayasan jasa distribusi untuk masyarakat dalam kota, ini
berarti sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan

KELOMPOK 4 7
REKAYASA JALAN RAYA II

pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang


mempunyai fungsi primer , fungsi primer kesatu. Fungsi sekunder kedua,
fungsi ketiga dan seterusnya sampai keperumahan.

Berdasarkan fungsi jalan, jalan dapat dibedakan atas :


- Jalan arteri
Jalan yang melayani angkutan umum dengan ciri perjalanan jarak jauh,
kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara
efisien
- Jalan kolektor
Jalan yang melayani angkutan pengumpulan/ pembagian dengan ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan
masuk dibatasi.
- Jalan local
Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak
dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.
- Jalan arteri primer
Jalan yang menghubugkan kota jenjang kesatu kota yang terletak
berdampingan.
- Jalan arteri sekunder
Jalan yang menghubugkan kawasan primer dengan kawasan sekunder
kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan
kesatu atau menhubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan
sekunder kedua.
- Jalan Kolektor Primer
Jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang
kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang
ketiga.
- Jalan kolektor sekunder

KELOMPOK 4 8
REKAYASA JALAN RAYA II

Jalan yang menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan


sekunder kedua atau menghubungka kawasan sekunder kedua dengan
kawasan sekunder ketiga

2. Kinerja Perkerasan Jalan

Kinerja Perkerasan Jalan meliputi 3 hal:


1) Keamanan, yang ditentukan oleh besarnya gesekan akibat adanya kontak
antara ban dan permukaan jalan. Besarnya gaya gesek yang terjadi
dipengaruhi oleh bentuk dan kondisi ban, tekstur permukaan jalan, kondisi
cuaca dll.
2) Wujud perkerasan, sehubungan dengan kondisi fisik dari jalan tersebut
seperti adanya retak-retak, amblas, alur, gelombang dan lain sebagainya.
3) Fungsi pelayanan, sehungan dengan bagaimana perkerasan tersebut
memberikan pelayanan kepada pemakai jalan. Wujud perkerasan dan
fungsi pelayanan umumnya merupakan satu kesatuan yabg dapat
digambarkan dengan “kenyamanan mengemudi”.

3. Umur Rencana

Umur rencana perkerasan jalan ialah jumlah tahun dari saat jalan tersebut
dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang
bersifat struktural. Selama umur rencana tersebut pemeliharaan perkerasan
jalan tetap harus dilakukan, seperti pelapisan nonstruktural yang berfungsi
sebagai lapis aus. Umur rencana untuk perkerasan lentur jalan baru umumnya
diambil 20 tahun dan untuk peningkatan jalan 10 tahu. Umur rencana yang
lebih besar dari 20 tahun tidak lagi ekonomiskarena pengembangan lalu lintas
yang terlalu besar dan sukar mendapatkan ketelitian yang memadai.

4. Sifat Tanah Dasar

Pengertian tanah bila merujuk dari pendapat M. Isa Darmawijaya (1990),


merupakan suatu akumulasi tubuh alam bebas yang menduduki sebagian besar
permukaan planet bumi ini. Di tanah inilah, dapat tumbuh tanaman. Tanah

KELOMPOK 4 9
REKAYASA JALAN RAYA II

juga memiliki beragam sifat khusus sebagai akibat dari pengaruh iklim dan
jasad hidup yang membentuknya.
1) Tanah Granular
Jenis tanah yang termasuk kedalam tanah granular yaitu pasir,
kerikil, batuan dan campurannya. Tanah granular merupakan material
yang baik untuk mendukung bangunan dan badan jalan karena tanah ini
mempunyai kapasitas dukung yang tinggi dan penurunan kapasitas dukung
kecil asalkan tanahnya relatif padat. Penurunanan kapasitas dukung terjadi
segera karena permukaan tanah diterapkan beban. Penurunan yang besar
juga dapat terjadi pada tanah yang tidak padat jika terdapat getaran dengan
frekuensi tinggi.
Tanah granular merupakan tanah yang baik untuk tanah urug pada
dinding penahan tanah karena menghasilkan tekanan lateral yang kecil.
Tanah granular ini mudah dipadatkan dan merupakan material untuk
drainase yang baik karena lolos air. Tanah yang baik untuk timbunan
karena mempunyai kuat geser yang tinggi. Tanah ini jika dicampur dengan
tanah kohesif tidak dapat digunakan sebagai bahan tanggul, bendungan,
kolam dan lain-lain permeabilitasnya besar.

2) Tanah Kohesif
Jenis tanah yang termasuk tanah kohesif yaitu lempung, lempung
berlanau, lempung berpasir atau berkerikil yang sebagian besar butiran
tanahnya terdiri dari butiran halus. Dalam menentukan kuat geser tanah ini
dapat ditentukan dengan melihat nilai kohesinya.

3) Tanah Lanau dan Loess


Secara umum tanah lanau mempunyai sifat yang kurang baik yaitu
mempunyai kuat geser rendah setelah dikenai beban, kapilaritas tinggi,
permeabilitas rendah dan kerapatan relatif rendah dan sulit dipadatkan.
Loess adalah material lanau yang diendapkan oleh angin dengan
diameter butiran kira-kira 0,06 mm. Sifat tanah ini jika mengandung
material pengikat (lempung atau kapur) dalam kondisi kering tanah ini

KELOMPOK 4 10
REKAYASA JALAN RAYA II

mempunyai kapasitas dukung sedang sampai tinggi. Akibat penjenuhan,


loess kehilangan sifat rekatnya dan dapat mengalami penurunan yang
Tinggi.

4) Tanah Organik
Tanah organik adalah tanah yang tersusun dari bahan organik dan
mempengaruhi sifat-sifat teknis tanah. Bahan-bahan organik tersebut
terdiri dari sisa tumbuh-tumbuhan dan binatang. Jumlah bahan organic
dalam tanah organik dinyatakan dengan kadar organik. Kadar organik
adalah nilai banding antara berat bahan organik terhadap contoh tanah
yang kering oven. Berat bahan organik dapat ditentukan dengan
memanaskan contoh tanah untuk membakar bahan organiknya

KELOMPOK 4 11
REKAYASA JALAN RAYA II

2.2. JENIS DAN FUNGSI LAPISAN PERKERASAN LENTUR

Berdasarkan bahan ikat, lapisan perkerasan jalan dibagi atas dua kategori:
1) Lapisan perkerasan lentur ( flexible pavement )
2) Lapisan perkerasan kaku ( rigit pavement )

1. Perkerasan lentur ( flexible Pavement )

Perkerasan lentur adalah perkerasan yang menggunakan aspal sebagai


bahan pengikat. Lapisan – lapisan perkerasannya bersifat memikul dan
menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar yang telah di padatkan. Lapisan
– lapisan tersebut adalah:
a. Lapisan permukaan ( survece coarse )
b. Lapisan pondasi atas ( base coarse )
c. Lapisan pondasi bawah ( sub-base coarse)
d. Lapisan tanah dasar ( subgrade )

Gambar 2.1 Lapis Perkerasan Lentur

a. Lapisan Permukaan (Surface Course)

Lapisan permukaan adalah lapisan yang bersentuhan langsung dengan


beban roda kendaraan. Lapisan permukaan ini berfungsi sebagai :

 Lapisan perkerasan penahan beban roda kendaraan, yang mempunyai


stabilitas tinggi untuk menahan roda selama pelayanan.
 Lapisan Kedap Air. Lapisan yang mencegah air hujan yang jatuh di
atasnya tidak meresap ke lapisan bawahnya dan melemahkan lapisan
tersebut.

KELOMPOK 4 12
REKAYASA JALAN RAYA II

 Lapisan Aus. Lapisan yang langsung menahan gesekan akibat rem


kendaraan.
 Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat
dipikul oleh lapisan di bawahnya.Lapis permukaan berdasarkan
fungsinya:
1) Lapis non struktural, sebagai lapis aus dan kedap air.
2) Lapis struktural, sebagai lapis yang menahan dan menyebarkan
beban roda.

Apabila dperlukan, dapat juga dipasang suatu lapis penutup / lapis aus
(wearing course) di atas lapis permukaan tersebut. Fungsi lapis aus ini
adalah sebagai lapisan pelindung bagi lapis permukaan untuk mencegah
masuknya air dan untuk memberikankekesatan (skid resistance)
permukaan jalan. Apis aus tidak diperhitungkan ikut memikul beban lalu
lintas.

Bahan-bahannya terdiri dari batu pecah, kerikil, dan stabilisasi tanah


dengan semen atau kapur.

Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap


air dan memberikan tegangan tarik yang berarti mempertinggi daya
dukung lapisan terhdap beban roda lalulintas.

Pemilihan bahan lapis permukaan perlu dipertimbangkan kegunaan,


umur rencana, serta pentahapan konstruksi agar dicapai manfaat yang
sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.

b. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)

Lapisan pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang terletak di antara


lapis pondasi bawah dan lapis permukaan. Lapisan pondasi atas ini
berfungsi sebagai :

KELOMPOK 4 13
REKAYASA JALAN RAYA II

 Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya.
 Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
 Bantalan terhadap lapisan permukaan.

Bahan-bahan untuk lapis pondasi atas ini harus cukup kuat dan awet
sehingga dapat menahan beban-beban roda.

Dalam penentuan bahan lapis pondasi ini perlu dipertimbangkan


beberapa hal antara lain, kecukupan bahan setempat, harga, volume
pekerjaan dan jarak angkut bahan ke lapangan.

Bermacam-macam bahan alam/bahan setempat (CBR > 50%, Pl <


4%) dapat digunakan sebagai bahan lapisan pondasi atas, antara lain batu
merah, kerikil dan stabilisasi tanah dengan semen atau kapur.

c. Lapisan Pondasi Bawah ( Sub Base Course )

Lapis pondasi bawah adalah lapisan perkerasan yang terletak di atas


lapisan tanah dasar dan di bawah lapis pondasi atas. Lapis pondasi bawah
ini berfungsi sebagai :

 Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke


tanah dasar.
 Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
 Lapisan untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke
lapis pondasi atas.
 Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari beban roda-roda alat berat
(akibat lemahnya daya dukung tanah dasar) pada awal-awal
pelaksanaan pekerjaan.
 Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari pengaruh cuaca terutama
hujan.

KELOMPOK 4 14
REKAYASA JALAN RAYA II

Bahannya dari bermacam-macam bahan alam/bahan setempat (CBR >


20%, Pl < 10%) yang relative jauh lebih baik dengan tanah dasar dapat
digunakan sebagai bahan pondasi bawah.

Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau semen


Portland dalam beberapa hala sangat dianjurkan agar dapat bantuan yang
efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.

d. Lapisan Tanah Dasar ( Subgrade )

Lapisan tanah dasar adalah lapisan tanah yang berfungsi sebagai


tempat perletakan lapis perkerasan dan mendukung konstruksi perkerasan
jalan diatasnya. Menurut Spesifikasi, tanah dasar adalah lapisan paling atas
dari timbunan badan jalan setebal 30 cm, yang mempunyai persyaratan
tertentu sesuai fungsinya, yaitu yang berkenaan dengan kepadatan dan
daya dukungnya (CBR).

Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika
tanah aslinya baik, atau tanah urugan yang didatangkan dari tempat lain
atau tanah yang distabilisasi dan lain lain.
Ditinjau dari muka tanah asli, maka lapisan tanah dasar dibedakan atas :

 Lapisan tanah dasar, tanah galian

Gambar 2.2 Tanah dasar berupa galian

KELOMPOK 4 15
REKAYASA JALAN RAYA II

 Lapisan tanah dasar, tanah urugan.

Gambar 2.3 Tanah dasar berupa timbunan

 Lapisan tanah dasar, tanah asli.

Gambar 2.4 Tanah dasar berupa tanah asli

Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung


dari sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Umumnya persoalan yang
menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :

 Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) akibat beban lalu lintas.


 Sifat mengembang dan menyusutnya tanah akibat perubahan kadar air.
 Daya dukung tanah yang tidak merata akibat adanya perbedaan sifat-
sifat tanah pada lokasi yang berdekatan atau akibat kesalahan
pelaksanaan misalnya kepadatan yang kurang baik.

KELOMPOK 4 16
REKAYASA JALAN RAYA II

Konstruksi Pondasi

 Konstruksi Macadam

Gambar 2.5 Pondasi Macadam

 Konstruksi Telford

Konstruksi ini terdiri dari batu pecah berukuran 15/20 sampai 25/30
yang disusun tegak. Batu batu kecil di atasnya untuk menutup pori – pori
yang ada dan memberikan permukaan yang rata . konstruksi telford di
pakai sebagai lapisan pondasi.

Gambar 2.6 Pondasi Telford

 Japat
Japat atau jalan agregat padat tahan cuaca adalah jenis jalan yang
dimaksudkan untuk mengutamakan berfungsinya dengan segera agar
selalu mampu melayani lalu lintas umum, menembus daerah baru atau
menghidupkan jalan mati. Digunakan sebagai sasaran antara atau sasaran
akhir, dan untuk mencapai pengadaan jaringan jalan yang seluas-luasnya
pada tingkat kemampuan Dana yang terbatas.

KELOMPOK 4 17
REKAYASA JALAN RAYA II

 Soil Cement
Soil cement adalah campuran antara tanah dengan kadar semen dan air
dengan perbandingan 6% yang kemudian memadat sampai mencapai
kepadatan yang tinggi 15-20cm. Dalam arti yang lebih luas,soil cement
bisa diartikan sebagai material yang didapatkan melalui kegiatan
pencampuran dan pemadatan dari tanah, semen, air, dan penambahan zat
lainnya untuk membentuk suatu material dengan karakteristik tertentu.
Pada soil cement, semen digunakan sebagai agen pengikat butir ± butir
partikel tanah. Tetapi tidak sama dengan beton, meskipun setelah
mengeras terlihat seperti beton (American Concrete Institute1997 State-of-
the-Art Report on Soil Cement).

 Burtu (Taburan Aspal Satu Lapis)


Laburan Batu Satu Lapis (BURTU) adalah merupakan lapis penutup
yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat
bergradasi seragam. Tebal maksimum 20 mm.

 Burda (Taburan Aspal Dua Lapis)


Laburan Batu Dua Lapis (BURDA) adalah merupakan lapis penutup
yang terdiri dari lapisan aspal ditaburi agregat yang dikerjakan dua kali
secara berurutan. Tebal maksimum 35 mm.

 Latasir (Lapis Tipis Aspal Pasir )


Lapis Tipis Aspal Pasir (LATASIR) adalah merupakan lapis penutup
yang terdiri dari campuran pasir dan aspal keras yang dicampur, dihampar
dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu tertentu.

 Buras ( Taburan Aspal )


Laburan Aspal (BURAS) adalah merupakan lapis penutup terdiri
dengan ukuran butir maksimum dari lapisan aspal taburan pasir 9,6 mm
atau 3/8 inch.

KELOMPOK 4 18
REKAYASA JALAN RAYA II

 Lapen ( lapis Penetrasi Macadam)


Lapen adalah sebuah singkatan dari Lapis Penetrasi. Ini merupakan
lapisan perkerasan yang terdiri dari agregat pokok dan agregat pengunci
dengan gradasi terbuka dan diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan
diatas lapisan tersebut dan dipadatkan lapis demi lapis. Diatas lapen ini
biasanya diberikan laburan aspal dengan agregat penutup. Tebal lapisan
bervariasi dari 4 - 10 cm.

 Lasbutag ( Lapisan Asbuton Agregat )


Lapis Asbuton Campuran Dingin (LASBUTAG) adalah campuran
yang terdiri dari agregat kasar, agregat halus, asbuton, bahan peremaja dan
filler (bila diperlukan) yang dicampur, dihampar dan dipadatkan secara
dingin.

 Latasbun ( Lapisan Tipis Asbuton Murni)


Lapis penutup yang terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak
dengan perbandingan tertentu yang dicampur secara dingin. Tebal padat
maksimum 1 cm. lapisan ini dipakai sebagai lapisan non structural ( Lapis
permukaan ).

 Lataston ( Lapis Tipis Aspal Beton “Hot Rolled Sheet” HRS )


Lataston atau Hot Rolled Sheets (HRS) yang bergradasi senjang ini
adalah campuran aspal dengan kadar aspal yang relatif tinggi daripada
jenis Laston. Maksud dari penggunaan kadar aspal yang tinggi adalah agar
perkerasan mempunyai fleksibilitas tinggi, awet dan tahan terhadap
kelelahan.

 Laston (lapis aspal beton )


Lapis Aspal Beton (LASTON) adalah merupakan suatu lapisan pada
konstruksi jalan yang terdiri dari agregat kasar, agregat halus, filler dan
aspal keras, yang dicampur, dihampar dan dipadatkan dalam keadaan
panas pada suhu tertentu.

KELOMPOK 4 19
REKAYASA JALAN RAYA II

 Concrete Blok ( Conblok )


Blok – blok beton misalnya berbentuk segi enam disusun di atas
lapisan pasir yang diratakan dengan maksud supaya air tidak tergenang di
atas blok beton.

KELOMPOK 4 20
REKAYASA JALAN RAYA II

2. Perkerasan kaku (Rigit Pavement)

Perkerasan yang menggunakan bahan ikat semen Portland, pelat beton


dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa
pondasi bawah. beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh plat beton.

Gambar 2.7 Lapisan Perkerasan Kaku

Lapisan pondasi atas dan lapis pondasi bawah memberikan sumbangan


yang besar terhadap daya dukung perkerasan terutama di dapat dari pelat
beton. Hal tersebut disebabkan oleh sifat pelat beton yang cukup kaku
sehingga dapat menyebarkan beban pada bidang yang luas dan menghasilkan
tegangan yang rendah pada lapisan – lapisan di bawahnya. Jenis – jenis
perkerasan kaku antara lain :
1) Perkerasan beton semen
Yaitu perkerasan kaku dengan beton semen sebagai lapis aus. Terdapat
empat jenis perkerasan beton semen :
a) Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulang
b) Perkerasan beton semen bersambung dengan tulang
c) Perkerasan beton semen bersambung menerus dengan tulang
d) Perkerasan beton semen pra tekan

2) Perkerasan komposit
Yaitu perkerasan kaku denga pelat beton semen sebagai lapis pondasi dan
aspal beton sebagai lapis permukaan. Perkerasan kaku ini sering
digunakan sebagai runway lapangan terbang.

KELOMPOK 4 21
REKAYASA JALAN RAYA II

2.3. MATERIAL KONSTRUKSI PERKERASAN


Bahan campuran perkerasan jalan terdiri dari agregat kasar, agregat halus,
bahan pengisi (filler), dan aspal. Bahan-bahan tersebut sebelum digunakan
harus diuji terlebih dahulu untuk mengetahui sifat-sifat dari bahan tersebut.
Semua jenis pengujian bahan harus mengacu pada spesifikasi yang
diisyaratkan oleh Bina Marga.

1. TANAH DASAR

Perkerasan jalan diletakkan diatas tanah dasar, dengan demikian secara


keseluruhan mutu dan daya tahan konstruksi perkerasan tak terlepas dari sifat
tanah dasar. Tanah dasar yang baik untuk kosntruksi perkerassan jalan adalah
tanah dasar yang berasal dari lokasi itu sendiri atau didekatnya yang telah
dipadatkan sampai tingkat kepadatan tertentu sehingga mempunyai daya
dukung yang baik serta berkemampuan mempertahankan perubahan volume
selama masa pelayanan walaupun terdapat perbedaan kondisi lingkungan dan
jenis tanah setempat. Sifat masing-masing jenis tanah tergantung dari tekstur,
kepadatan, kadar air, kondisi lingkungan, dan sebagainya. Untuk
mempermudah mempelajari dan membaca sifat-sifat tanah yang akan
dipergunakan sebagai bahan tanah dasar jalan, tanah itu dikelompokkan
berdasarkan sifat plastisitas dan uuran butirnya. Daya dukung tanah dasar
dapat diperkirakan dengan mempergunakan hasil klasifikasi ataupun dari
pemeriksaan CBR, pembebanan pelat uji dan sebagainya.

1.1.Klasifikasi Tanah
Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa
jenis tanah yang berbeda-beda tetapi mempunyai sifat yang serupa
kedalam kelompok-kelompok dan subkelompok berdasarkan
pemakaiannya. Sistem klasifikasi memberikan suatu bahasa yang mudah
untuk menjelaskan secara singkat sifat-sifat umum dari tanah yang
bervariasi tanpa penjelasan yang terinci. Sebagian besar sistem klasifikasi

KELOMPOK 4 22
REKAYASA JALAN RAYA II

telah dikembangkan untuk tujuan rekayasa didasarkan pada sifat sifat


indeks tanah yang sederhana seperti distribusi butiran dan plastisitas.
Pada saat sekarang ini ada dua sistem klasifikasi tanah yang umum
dan selalu dipakai oleh para ahli teknik sipil. Kedua sistem tersebut
memperhitungkan distribusi ukuran butir dan batas batas Atterberg,
adapun sistem-sistem tersebut adalah: Sistem klasifikasi AASHTO dan
Sistem klasifikasi Unified. Sistem klasifikasi AASHTO pada umumnya
dipakai untuk keperluan teknik khususnya untuk perencanaan jalan raya.
Sedangkan sistem unified pada umumnya lebih disukai oleh para ahli
geoteknik untuk keperluankeperluan teknik-teknik yang lainnya.

a. Sistem Klasifikasi AAHSTO


Sistem klasifikasi ini dikembangkan pada dalam 1929 sebagai Public
Road Administration Classification System. Sistem ini sudah mengalami
perbaikan, versi yang sekarang ini berlaku adalah yang diajukan oleh
Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular Type
Road of the Highway Research Board dalam tahun 1945 (ASTM Standard
no D-3282, AASHTO metode M145).
Pada sistem ini tanah diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok
besar, yaitu A-l sampai dengan A-7. Tanah yang diklasifikasikan kedalam
A-l, A-2, A-3 adalah tanah berbutir dimana 35% atau kurang dari jumlah
butiran tanah tersebut lolos ayakan No. 200 (tanah berbutir kasar). Tanah
dimana lebih dari 35% butirannya lolos ayakan No. 200 diklasifikasikan
kedalam kelompok A-4, A-5, A-6, A-7 (tanah lempung lanauan). Sistem
klasifikasi ini didasarkan pada kriteria dibawah ini:
1) Ukuran butiran
Kerikil : bagian tanah yang lolos ayakan dengan diameter 6.35 mm (3
in) dan yang tertahan pada ayakan No. 20 (0.84mm).
Pasir: bagian tanah yang lolos ayakan No.10 (2mm) dan yang tertahan
pada ayakan No. 200 (0.074).
Lanau dan lempung: bagian tanah yang lolos ayakan No. 200.
2) Plastisitas

KELOMPOK 4 23
REKAYASA JALAN RAYA II

Nama berlanau dipakai apabila bagian-bagian yang halus dari tanah


mempunyai indeks plastisitas (PI) sebesar 10 atau kurang. Nama
berlempung dipakai bila bagianbagian yang halus dari tanah
mempunyai indeks plastis sebesar 11 atau lebih, c. Apabila batuan
(ukuran lebih besar dari 75 mm) ditemukan didalam contoh tanah
yang akan ditentukan klasifikasi tanahnya, maka batuan-batuan
tersebut harus dikeluarkan terlebih dahulu.
Tabel 2.1 Klasifikasi Tanah Sistem AAHSTO

∗ PI ≤ LL – 30
ℵPI > LL – 30

KELOMPOK 4 24
REKAYASA JALAN RAYA II

b. Sistem Unified
Sistem ini pada mulanya diperkenalkan oleh Casagrande pada tahun
1942 untuk dipergunakan pada pekerjaan lapangan terbang yang
dilaksanakan oleh The Army Corps of Engineers selama perang dunia ke
II. Dalam rangka kerja sama dengan United States Bureau of Reclamation
tahun 1952, sistem ini disempurnakan. Pada masa kini, sistem klasifikasi
tersebut digunakan secara luas oleh para ahli teknik. Sistem klasifikasi
Unfied ini mengelompokan tanah kedalam beberapa kelompok besar,
yaitu:
1) Tanah berbutir kasar (coarse-grainedsoil), yaitu: tanah kerikil dan
pasir dimana kurang dari 50% berat total lolos ayakan Nc. 200.
Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal G atau S. G
adalah untuk kerikil (gravel) atau tanah kerikil, dan S adalah untuk
pasir (sand) atau tanah berpasir.
2) Tanah berbutir halus (fine-grainedsoil), yaitu tanah dimana lebih dari
50% berat total contoh tanah lolos ayakan No. 200. Simbol dari
kelompok ini dimulai dengan huruf awal M untuk lanau (silt)
anorganik, C untuk lempung (clay) anorganik, dan O untuk lanau-
organik dan lempung-organik. Simbol PT digunakan untuk tanah
gambut (peat), rnuck, dan tanah-tanah lain dengan kadar organik yang
tinggi.

Simbol-simbol lain yang digunakan untuk klasifikasi USCS adalah:


W = well graded (tanah dengan gradasi baik)
P = poorly graded (tanah dengan gradasi buruk)
L = lowplastisity (plastisitas rendah) jika LL< 50
H = high plasticity (plastisitas tinggi) jika LL > 50

Tanah berbutir kasar ditandai dengan simbol kelompok seperti: GW,


GP, GM, GC, SW, SP, SM, dan SC. Untuk klasifikasi yang benar,
faktorfaktor berikut ini perlu diperhatikan:

KELOMPOK 4 25
REKAYASA JALAN RAYA II

1) Persentase butiran yang lolos ayakan No. 200 (ini adalah fraksi halus).
2) Persentase fraksi kasar yang lolos ayakan No. 40.
3) Koefisien keseragaman (Uniformity Coefisien, CU) dan koefisien
gradasi (Gradition Coefisien, Cc) dan indeks plastisitas (PI) bagian
tanah yang Iclcs ayakan No. 40. (untuk tanah dimana 5% atau lebih
lolos ayakan No. 200).

Bilamana persentase butiran yang lolos ayakan No. 200 adalah


antara 5 - 12%, simbol ganda seperti GW-GM, GP GM, GW GC, GP GC,
SW SM, SW SC, SP SM, dan SP-SC diperlukan. Klasifikasi tanah berbutir
halus dengan simbol ML, CL, OL, MH, CH dan OH di dapat dengan cara
menggambar batas cair dan indeks plastisitas tanah yang bersangkutan
pada bagan plastisitas (casagrande, 1948) yang diberikan dalam table.
Tabel 2.2 Klasifikasi Tanah Sistem Unified

1.2.Kepadatan dan Daya Dukung Tanah


Beban kendaraan yang dilimpahkan ke lapisan perkerasan melalui
roda-roda kendaraan selanjutnya disebarkan ke lapisan-lapisan
dibawahnya dan akhirnya diterima oleh tanag dasar. Dengan demikian
tingkat kerusakan konstruksi perkerasan selama masa pelayanan tidak saja
ditentukan oleh kekuatan dari lapisan perkerasan tetapi juga oleh tanah
dasar. Daya dukung tanah dasar dipengaruhi oleh jenis tanah, tingkat
kepdatan, kadar air, kondisi drainase dan lain-lain. Tanah dengan tingkat
kepadatan tinggi mengalami perubahan volume yang kecil jika terjadi

KELOMPOK 4 26
REKAYASA JALAN RAYA II

perubahan kadar air dan mempunyai daya dukung yang lebih besar jika
dibandingkan dengan tanah yang sejenis dengan tingkat kepadatan lebih
rendah. Tingkat kepadatan dinyatakan dalam persentase berat volume
kering (pk) tanah terhadap berat volume kering maksimum (pk maks).
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan kepadatan
standar (standard proctor) sesaui AASHTO T99-74 atau PB-0111, atau
dengan menggunakan pemeriksaan kepadatan berat (modified proctor)
sesaui AASHTO T180-74 atau PB-0112-76.
Daya dukung tanah dasar (subgrade) pada perencanaan perkerasan
lentur dinyatakan dengan nilai CBR (California Bearing Ratio). CBR
pertama kali diperkenalkan oleh California Division of Highways pada
tahun 1928. Orang yang banyak mempopulerkan metode ini adalah
O.J.Porter. CBR adalah perbandingan antara beban yang dibutuhkan untuk
penetrasi contoh tanah sebesar 0,1”/0,2” dengan beban yang ditahan batu
pecah standar pada penetrasi 0,1”/0,2”. Harganya dinyatakan dalam
persen. Jadi harga CBR adalah nilai yang menyatakan kwalitas tanah dasar
dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai
CBR sebesar 100% dalam memikul beban lalu lintas.

2. AGREGAT

Agregat atau batuan didefinisikan secara umum sebagai formasi kulit bumi
yang keras dan solid. Agregat merupakan komponen utama dari lapisan
perkerasan jalan yaitu mengandung 90% - 95% agregat berdasarkan
persentase berat atau 75% - 85% agregat berdasarkan persentase volume
(Sukirman, 1999). Dengan demikian kualitas perkerasan jalan ditentukan juga
dari sifat agregat dan hasil campuran agregat dengan material lain.
Pemilihan jenis agregat yang sesuai untuk digunakan pada konstruksi
perkerasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu gradasi, kekuatan, bentuk
butir, tekstur permukaan, kelekatan terhadap aspal serta kebersihan dan sifat
kimia. Jenis dan campuran agregat sangat mempengaruhi daya tahan atau
stabilitas suatu perkerasan jalan (Kerbs and Walker, 1971).

KELOMPOK 4 27
REKAYASA JALAN RAYA II

Menurut Depkimpraswil dalam Manual Pekerjaan Campuran Beraspal


Panas (2004), agregat diklasifikasikan berdasarkan proses terjadinya, proses
pengolahannya dan berdasarkan ukuran butirnya.

2.1.Klasifikasi Agregat
A. Klasifikasi Agregat Berdasarkan Proses Terjadinya
Klasifikasi agregat berdasarkan asal kejadiannya dapat dibedakan
atas batuan beku (igneous rock), batuan sedimen, dan batuan metamorf
(batuan malihan).
1) Batuan Beku
Batuan beku terbentuk dari membekunya magma cair yang terdesak
ke permukaan pada saat gunung berapi meletus. Batuan beku ini
dibedakan menjadi dua, yaitu:
a) Batuan beku luar (extrusive igneous rock), berasal dari material yang
keluar dari bumi saat gunung meletus kemudian akibat dari pengaruh
cuaca mengalami pendinginan dan membeku. Pada umumnya batuan
beku jenis ini berbutir halus, contohnya adalah rhyolite, andesit, dan
basalt.
b) Batuan beku dalam (intrusive igneous rock), berasal dari magma
yang tidak dapat keluar dari bumi kemudian mengalami pendinginan
dan membeku secara perlahan. Pada umumnya batuan beku jenis ini
bertekstur kasar dan dapat ditemui di permukaan bumi karena proses
erosi dan gerakan bumi, contoh batuan jenis ini adalah granit,
gabbro, dan diorit.
2) Batuan Sedimen
Batuan sedimen berasal dari campuran mineral, sisa-sisa hewan, dan
tanaman. Batuan jenis ini terdapat pada lapisan kulit bumi, hasil endapan
di danau, laut, dan sebagainya. Berdasarkan cara pembentukannya batuan
sedimen dapat dibedakan atas:
a) Batuan sedimen yang dibentuk secara mekanik, seperti breksi,
konglomerat, batu pasir, dan batu lempung. Batuan jenis ini banyak
mengandung silika.

KELOMPOK 4 28
REKAYASA JALAN RAYA II

b) Batuan sedimen yang dibentuk secara organis, seperti batu bara, dan
opal. Batuan sedimen yang dibentuk secara kimiawi, seperti batu
gamping, garam, gift, dan flint.
3) Batuan Metamorf
Batuan ini umumnya berasal dari batuan sedimen ataupun batuan
beku yang mengalami proses perubahan bentuk akibat adanya perubahan
tekanan dan temperatur kulit bumi, contoh batuan jenis ini adalah marmer,
kwarsit, dan batuan metamorf yang berlapis, seperti batu sabak, filit, dan
sekis.

B. Klasifikasi Agregat Berdasarkan Proses Pengolahannya


Menurut Silvia Sukirman (1999), berdasarkan proses
pengolahannya, agregat dapat dibedakan menjadi agregat alam, agregat
yang mengalami proses pengolahan, dan agregat buatan.
1) Agregat Alam
Agregat alam merupakan agregat yang diambil dari alam dengan
sedikit proses pengolahan. Agregat alam terbentuk melalui proses erosi
dan degradasi sehingga bentuk partikelnya ditentukan oleh proses
pembentukannya. Agregat yang mengalami proses erosi yang diakibatkan
oleh air biasanya terjadi di sungai mempunyai bentuk partikel yang bulat-
bulat dengan permukaan yang licin. Agregat yang mengalami proses
degradasi biasanya terjadi dibukit-bukit mempunyai bentuk partikel yang
bersudut dengan permukaan yang kasar. Agregat alam yang sering
dipergunakan yaitu pasir dan kerikil. kerikil adalah agregat dengan ukuran
partikel > 1/4 inch (6,35 mm) sedangkan pasir adalah agregat dengan
ukuran partikel < 1/4 inch tetapi lebih besar dari 0,075 mm.
2) Agregat yang melalui proses pengolahan
Agregat yang melalui proses pengolahan merupakan agregat biasa
berasal dari bukit-bukit maupun sungai yang karena bentuknya yang besar-
besar melebihi ukuran yang diinginkan harus melalui proses pemecahan
terlebih dahulu dengan menggunakan mesin pemecah batu (stone crusher)
atau secara manual agar diperoleh:

KELOMPOK 4 29
REKAYASA JALAN RAYA II

a) Bentuk partikel yang bersudut, diusahakan berbentuk kubus.


b) Permukaan partikel kasar sehingga mempunyai gesekan yang baik.
c) Gradasi sesuai yang diinginkan.
Hasil dari proses pemecahan ini biasanya disebut dengan split dan
mempunyai ukuran mulai dari 5 mm sampai 40 mm.
3) Agregat Buatan
Agregat buatan adalah agregat yang diperoleh dengan memecah
batuan yang masih berbentuk bongkahan-bongkahan besar. Bongkahan
batuan ini dapat diperoleh di bukit-bukit (gunung-gunung) maupun di
sungai. Sebelum batuan ini digunakan sebagai agregat maka batuan ini
dipecah terlebih dahulu menjadi material yang lebih kecil sesuai dengan
ukuran yang diinginkan dengan menggunakan Stone Crusher. Agregat
buatan mempunyai ukuran partikel < 0,075 mm (saringan no. 200).

C. Klasifikasi Agregat Berdasarkan Ukuran Butirnya


Ditinjau dari ukuran butirnya agregat dapat dibedakan atas agregat
kasar, agregat halus, dan bahan pengisi (filler).
Menurut American Society for Testing and Material (ASTM):
1) Agregat kasar, mempunyai ukuran > 4,75 mm (saringan No.4).
2) Agregat halus, mempunyai ukuran < 4,75 mm (saringan No.4).
3) Abu batu/mineral filler merupakan agregat halus yang lolos saringan
No. 200.
Menurut AASHTO:
1) Agregat kasar, mempunyai ukuran > 2 mm.
2) Agregat halus, mempunyai ukuran < 2 mm dan > 0,075.
3) Abu batu/mineral filler merupakan agregat halus yang lolos saringan
No. 200.
Menurut Spesifikasi Campuran Beraspal Panas DPU (2010) Rev.2, agregat
juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Agregat kasar, agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan
No.4 (4,75 mm)

KELOMPOK 4 30
REKAYASA JALAN RAYA II

2) Agregat halus, agregat dengan ukuran butir lebih halus dari saringan
No.4 (4,75 mm)
3) Bahan pengisi (filler), bagian dari agregat halus yang minimum 85 %
lolos saringan No.200 (0,075 mm), non-plastis, tidak mengandung
bahan organik, tidak menggumpal, kadar air maksimum 1%.
2.2.Klasifikasi Agregat
Sifat dan kwalitas agregat menentukan kemampuannya dalam
memikul beban lalu lintas. Agregat dengan kwalitas dan sifat yang baik
dibutuhkan untuk lapisan permukaan yang langsung menerima beban lalu
lintas dan menyebarkannya ke lapisan dibawahnya. Sifat agregat yang
menentukan kwalitasnya sebagai bahan konstruksi perkerasan jalan dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:
1) Kemampuan dan keawetan (strength and durability) lapisan perkerasan
dipengaruhi oleh gradasi, ukuran maksimum, kadar lempung, kekerasan
dan ketahanan (toughness and durability) bentuk butir serta tekstur
permukaan.
2) Kemampuan dilapisi aspal dengan baik, yang dipengaruhi oleh
porositas, kemungkinan basah dan jenis agregat yang digunakan.
3) Kemudahan dalam pelaksanaan dan menghasilkan lapisan yang nyaman
dan aman, yang dipengaruhi oleh tahanan geser (skid resistance) serta
campuran yang memberikan kemudahan dalam pelaksanaan
(bituminous mix durability).
A. Gradasi
Gradasi/distribusi partikel-partikel ukuran agregat merupakan hal
yang penting dalam menentukan stabilitas perkerasan. Gradasi agregat
mempengaruhi besarnya rongga antara butir yang akan menentukan
stabilitas dan kemudahan dalam proses pelaksanaan. Gradasi agregat
diperoleh dari hasil analisis ayakan. Gradasi agregat dapat dibedakan atas:
1) Gradasi Seragam (Uniform Graded) atau Gradasi Terbuka
Adalah gradasi agregat dengan ukuran yang hampir sama, mengandung
agregat halus sedikit sehingga tidak dapat mengisi rongga antar agregat.
Agregat dengan gradasi seragam menghasilkan lapisan perkerasan

KELOMPOK 4 31
REKAYASA JALAN RAYA II

dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang, dan berat volume


kecil.
2) Gradasi Rapat (Dense Graded) atau Gradasi Baik (Well Graded)
Merupakan campuran agregat kasar dan halus dalam porsi yang
berimbang. Agregat dengan gradasi rapat akan menghasilkan lapis
perkerasan dengan stabilitas tinggi, kedap air, dan berat volume besar.
3) Gradasi Buruk (Poorly Graded) atau Gradasi Senjang
Adalah campuran agregat dengan satu fraksi hilang atau dalam jumlah
yang sedikit. Agregat begradasi buruk yang umum digunakan yaitu
gradasi celah (gap graded).

Gambar 2.8 Contoh tipikal macam-macam gradasi agregat

B. Ukuran maksimum agregat


Ukuran agregat maksimum disesuaikan dengan tebal padat
perkerasan. Untuk lapis pondasi biasanya ukuran agregatnya lebih besar
dari pada untuk lapis permukaan. Hal ini sudah ditentukan pada spesifikasi
gradasi agregat. Campuran dengan ukuran diameter agregat > 14 mm
termasuk berdiameter besar. Umumnya ukuran agregat terbesar sekitar 2/3

KELOMPOK 4 32
REKAYASA JALAN RAYA II

tebal padat perkerasan jalan. Aspek positif penggunaan agregat bergradasi


besar antara lain:
- Usaha pemecahan lebih kecil
- Karena luas permukaan lebih kecil, penggunaan aspal lebih efisien
- Kekuatan lebih besar karena sifat interlock antar agregat yang
berdiameter besar lebih stabil Aspek negatif penggunaan agregat
bergradasi besar antara lain:
- Workability (kemudahan pencampuran dan pelaksanaan) berkurang
- Bisa terjadi segregasi (pemisahan agregat sesuai ukuran butir).

C. Kadar Lempung
Yang dipergunakan adalah agregat yang lolos ayakan ukuran 4,75
mm (No.4) dan tertahan ayakan ukuran 0,30 mm (No.50). Kadar lempung
pada agregat dibatasi, maksimal 0,25%. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
- Lempung yang melapisi agregat dapat mengurangi ikatan antara
agregat dan aspal sehingga dapat menyebabkan pengelupasan.
- Luas permukaan agregat menjadi lebih besar sehingga tebal lapisan
aspal menipis dan mudah mengalami oksidasi yang berakibat
mempercepat pengerasan aspal, sehingga aspal menjadi lebih getas.
- Lempung menyerap air, di mana air dapat melunakkan aspal, sehingga
campuran menjadi lebih lemah dan cepat rusak.
- Pengujian kadar lempung untuk agregat kasar, dilaksanakan dengan
mencari selisih berat dari agregat kering sebelum dicuci dengan
agregat kering setelah dicuci. Selisih berat ini dibagi dengan agregat
kering sebelum dicuci (%). Dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

Keterangan :
P = gumpalan lempung dan butir-butir mudah pecah dalam agregat
w = berat benda uji (gram)

KELOMPOK 4 33
REKAYASA JALAN RAYA II

R = berat benda uji kering oven yang tertahan pada masing-masing


ukuran ayakan setelah dilakukan penyaringan basah (gram)
- Pengujian kadar lempung untuk material yang lolos ayakan No. 4
(4,75mm), dilaksanakan dengan Sand Equivalent Test. Syarat nilai SE
> 60%. Dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

Keterangan:
A = Skala pembacaan permukaan lumpur
B = Skala pembacaan pasir

D. Daya tahan agregat


Daya tahan agregat merupakan ketahanan agregat terhadap adanya
penurunan mutu akibat proses mekanis dan kimiawi. Agregat dapat
mengalami degradasi, yaitu perubahan gradasi akibat pecahnya butir-butir
agregat. Kehancuran agregat dapat disebabkan oleh proses mekanis,
seperti gaya-gaya yang terjadi selama proses pelaksanaan jalan, pelayanan
terhadap beban lalu lintas, dan proses kimiawi, seperti pengaruh
kelembaban, kepanasan, dan perubahan suhu sepanjang hari. Nilai
keausan/degradasi > 40%: agregat kurang kuat, < 30%: untuk lapis
penutup, < 40%: untuk lapis permukaan dan lapis pondasi atas (LPA), <
50%: untuk lapis pondasi bawah (LPB). Ketahanan agregat terhadap
degradasi diperiksa dengan pengujian abrasi menggunakan alat abrasi Los
Angeles, sesuai dengan SNI 2417-2008. Dengan rumus perhitungan
sebagai berikut:

Keterangan:
a = berat benda uji semula, dinyatakan dalam gram,
b = berat benda uji tertahan ayakan no. 12 (1,70 mm) dinyatakan
dalam gram.

KELOMPOK 4 34
REKAYASA JALAN RAYA II

Metode Soundness Test dengan rumus perhitungan sesuai SNI


3407:2008 sebagai berikut:

Keterangan:
X = persentase bahan yang lolos saringan setelah pengujian (%)
Y = persentase bahan yang lolos saringan setelah pengujian (%)
A = persentase gradasi benda uji masing-masing fraksi (%)
B = berat benda uji awal (gram)
C = berat benda uji tertahan saringan setelah pengujian (gram)

E. Bentuk dan tekstur agregat


Berdasarkan bentuknya, partikel atau butir agregat dikelompokkan
menjadi berbentuk bulat, lonjong, pipih, kubus, tak beraturan atau
mempunyai bidang pecahan.
- Agregat berbentuk bulat (rounded)
Biasanya ditemui di sungai yang telah mengalami erosi. Bidang kontak
agregat berbentuk bulat sangat sempit, hanya berupa titik singgung,
sehingga menghasilkan penguncian antar agregat yang tidak baik dan
menghasilkan kondisi kepadatan lapisan perkerasan yang kurang baik.

Gambar 2.9 Susunan butir-buitr agregat berbentuk bulat


- Agregat berbentuk kubus (cubical)
Agregat ini umumnya merupakan pecahan dari hasil pemecahan mesin
pemecah batu atau hasil pemecahan batu masif. Bidang kontak agregat

KELOMPOK 4 35
REKAYASA JALAN RAYA II

ini luas, sehingga mempunyai gaya mengunci yang luas. Kestabilan


yang diperoleh lebih baik dan lebih tahan terhadap deformasi. Agregat
ini merupakan agregat terbaik untuk dipergunakan sebagai material
perkerasan jalan dibandingkan dengan agregat dengan bentuk lainnya.

Gambar 2.10 Susunan butir-buitr agregat berbentuk kubus


- Agregat berbentuk lonjong (elongated)
Agregat berbentuk lonjong dapat ditemui di sungai atau bekas endapan
sungai. Dikatakan lonjong bila ukuran terpanjangnya lebih besar dari
1,8 kali diameter rata-rata. Sifat campuran agregat berbentuk lonjong
ini hampir sama dengan agregat berbentuk bulat.
- Agregat berbentuk pipih (flaky)
Agregat berbentuk pipih merupakan hasil produksi mesin pemecah
batu. Agregat pipih yaitu agregat yang ketebalannya lebih tipis dari 0,6
kali diameter rata-rata.
- Agregat berbentuk tak beraturan (irregular)
Agregat berbentuk tak beraturan adalah agregat yang bentuknya tidak
mengikuti salah satu bentuk diatas.
Tekstur permukaan agregat dapat dibedakan atas licin, kasar atau
berpori. Agregat yang bulat umumnya mempunyai permukaan yang licin
dan menghasilkan daya penguncian antar agregat yang rendah dan tingkat
kestabilan yang rendah. Permukaan agregat yang kasar akan memberikan
kekuatan pada campuran beraspal karena kekasaran permukaan agregat
dapat menahan agregat tersebut dari pergeseran atau perpindahan.
Kekasaran permukaan agregat juga akan memberikan ketahanan gesek
yang kuat pada roda kendaraan, sehingga akan meningkatkan keamanan

KELOMPOK 4 36
REKAYASA JALAN RAYA II

kendaraan terhadap slip. Rumus perhitungan angularitas agregat kasar


menurut SNI 03-1737-1989 adalah sebagai berikut:
Angularitas Agregat Kasar = (A / B) x 100
A = adalah berat agregat yang mempunyai bidang pecah, dinyatakan
dalam gram,
B = adalah berat total benda uji tertahan ayakan no. 4, dinyatakan
dalam gram
Sedangkan untuk agregat halus harus memiliki minimal 45%
angularitas pada uji kadar rongga, adapun rumus perhitungannya menurut
SNI 03-6877-2002 sebagai berikut:

Keterangan:
V = volume agregat halus dalam silinder
W = berat agregat halus
Gsb = berat jenis kering oven agregat halus

F. Daya lekat terhadap aspal


Faktor yang mempengaruhi lekatan aspal dan agregat dapat
dibedakan atas dua bagian, yaitu:
1) Sifat mekanis yang tergantung dari:
- Pori-pori dan absorpsi
- Bentuk dan tekstur permukaan
- Ukuran butir agregat
2) Sifat kimiawi dari agregat.

G. Berat Jenis Agregat


Dalam kaitan perencanaan campuran aspal, berat jenis adalah suatu
rasio tanpa dimensi, yaitu rasio antara berat suatu benda terhadap berat air
yang volumenya sama dengan benda tersebut. Sebagai standar
dipergunakan air pada suhu 4ºC karena pada suhu tersebut air memiliki

KELOMPOK 4 37
REKAYASA JALAN RAYA II

kepadatan yang stabil. Berat jenis agregat dapat digambarkan seperti


gambar dibawah ini (Krebs and walker, 1971).

Gambar 2.11 Pertimbangan volume pori agregat untuk penentuan SG


Keterangan :
Vs = volume solid
Vi = volume yang impermeable terhadap air dan aspal
Vp = total volume permeable
Vc = volume yang permeable terhadap air tapi impermeable terhadap
aspal
Vp-Vc = volume yang permeable terhadap air dan aspal
Secara umum volume agregat yang diperhitungkan adalah volume
yang tidak diresapi oleh aspal.
Ada beberapa jenis berat jenis agregat, yaitu:
1) Berat jenis bulk (bulk specific gravity)
Bila aspal diasumsikan hanya menyelimuti agregat di bagian
permukaan saja, tidak meresap ke bagian agregat yang permeable,
volume yang diperhitungkan adalah:

KELOMPOK 4 38
REKAYASA JALAN RAYA II

Keterangan : γw = berat volume air = 1 gr/cc = 1 t/m3 . Sehingga Bulk


SG adalah rasio antara berat agregat dan berat air yang volumenya
= Vs + Vi + Vp.
2) Berat jenis semu (apparent specific gravity)
SG ini didasarkan atas asumsi bahwa aspal meresap ke dalam
agregatdengan tingkat resapan yang sama dengan air, yaitu sampai Vc
atau kedalam seluruh Vp. Karenanya volume yang dipertimbangkan
adalah : Vs + Vi

Keterangan:
Vp = volume pori yang dapat diresapi air
V = volume total dari agregat
Vi = volume pori yang tidak dapat diresapi air
Vs = volume partikel agregat
Ws = berat kering partikel agregat
γw = berat volume air

Perhitungan berat jenis dan penyerapan agregat kasar dijelaskan


dalam SNI 1969:2008 sebagai berikut:

KELOMPOK 4 39
REKAYASA JALAN RAYA II

Sedangkan untuk agregat halus dan filler perhitungan menurut SNI


1970:2008 adalah sebagai berikut:

Keterangan :
DL = Dilatomeric Liquid (cairan yang tidak bereaksi dengan filler)
dDL= kepadatan dari DL
A = Tabung/gelas dengan penutup tanpa air
B = Tabung/gelas dengan penutup berisi air
C = Tabung/gelas dengan penutup berisi Dilatomeric Liquid
D = Tabung/gelas dengan penutup berisi air + filler
E = Tabung/gelas dengan penutup berisi Dilatomeric Liquid +
filler
Bk = berat benda uji kering oven (gram)
B = berat piknometer berisi air (gram)
Bt = berat piknometer berisi benda uji dan air (gram)

H. Pencampuran Agregat (Blending)


Suatu jenis agregat mungkin saja tersedia dalam beberapa gundukan
(stock pile). Masing-masing gundukan agregat bisa terdiri dari komposisi
ukuran partikel (gradasi) tertentu. Kegiatan mencampur agregat diperlukan
dalam upaya untuk memperoleh gradasi agregat yang diinginkan sesuai

KELOMPOK 4 40
REKAYASA JALAN RAYA II

dengan spesifikasi campuran untuk suatu jenis perkerasan jalan.


Pencampuran agregat dapat dilakukan denga cara:
1) Cara mencoba-coba (Trial and Error)
Adalah cara pencampuran agregat dengan mencoba kemungkinan
berbagai proporsi agregat, kemudian mengadakan analisa saringan yang
dibandingkan dengan spesifikasi yang disyaratkan.
2) Cara Analitis
Pada cara ini didasarkan atas penggabungan agregat dengan
menggunakan rumus pendekatan. Dari rumus ini diperoleh prosentase
agregat kasar, agregat halus dan filler. Rumus yang digunakan menurut
cara Bambang Ismanto, 1993 adalah :

Keterangan:
X = % agregat halus
S = % titik tengah spec limit dari saringan yang dikehendaki
F = % agregat halus lewat saringan tertentu
C = % agregat kasar lewat saringan tertentu
3) Cara Grafis
a. Cara grafis untuk pencampuran 2 fraksi agregat
Cara ini adalah penggabungan agregat yang dilakukan dengan
menggambarkan grafik hubungan antara persentase butir-butir lolos
ayakan dari setiap agregat yang digunakan dengan persentase lolos
ayakan spesifikasi limit. Penentuan gradasi dari kedua fraksi agregat
yang akan dicampur melalui pemeriksaan analisis ayakan. Persen
lolos untuk fraksi agregat kasar digambarkan pada bagian sebelah
kanan dan untuk fraksi agregat halus di bagian kiri. Garis yang
menghubungkan titik tepi sebelah kanan dan kiri dari persen lolos
masing-masing fraksi untuk gradasi yang sama menunjukkan garis
ukuran ayakan dari persen lolos yang dimaksud. Penggabungan
agregat digambarkan dengan menggunakan gambar bujur sangkar
dengan ukuran (10 x 10) cm.

KELOMPOK 4 41
REKAYASA JALAN RAYA II

b. Cara grafis untuk pencampuran 3 fraksi agregat


Cara ini adalah penggabungan agregat dengan menggunakan gambar
empat persegi panjang dengan ukuran (10x20) cm pada kertas
milimeter. Sumbu datar digunakan untuk menunjukkan ukuran
ayakan. Garis diagonal dari empat persegi panjang menjadi garis
gradasi tengah untuk spesifikasi agregat campuran yang diinginkan.
Proporsi agregat kasar ditentukan dengan menarik garis vertical
sehingga jarak dari tepi bawah ke gradasi fraksi agregat kasar sama
dengan jarak dari tepi atas ke garis gradasi sedang. Proporsi agregat
halus ditentukan dengan menarik garis vertikal sehingga jarak dari
tepi bawah ke garis gradasi kasar ditambah dengan jarak dari tepi
bawah ke garis gradasi sedang.
4) Mencampur secara proporsional
Untuk memperoleh proporsi agregat campuran yang diinginkan, selain
dengan cara mencampur agregat dapat juga dengan cara
memproporsikan agregat sesuai dengan gradasi suatu spesifikasi.

3. LATEKS

Lateks kebun adalah cairan getah berwarna putih yang diperoleh dengan
cara penyadapan (membuka pembuluh lateks) pada kulit tanaman karet.
Lateks memiliki sifat-sifat unggul dan sifat-sifat yang lemah sbb :
1) Lateks bersifat keras dan elastis, tetapi akan melunak dan lengket bila
berada pada suhu yang tinggi dan mengeras dan padat pada suhu rendah.
2) Memiliki daya elastisitas tinggi.
3) Memiliki ketahanan terhadap daya gesek dan kekuatan tensil rendah.
4) Larut dalam larutan ether, carbon disulphide, carbon tetrachloride,
turpentine dan minyak tanah.
Besarnya efektifitas penambahan karet ke dalam aspal tergantung dari luas
partikel karet yang distribusi dalam aspal. Campuran sangat efektif jika semua
partikel karet terdistribusi dengan baik di dalam aspal. Faktor lain yang
mempengaruhi efektifitas campuran adalah jenis, jumlah dan ukuran partikel

KELOMPOK 4 42
REKAYASA JALAN RAYA II

karet, besarnya temperature dan lamanya pemanasan, interaksi antara karet


dan aspal secara kimiawi, serta jenis aspal. Karet dapat ditambahkan dalam
aspal dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk cair, lembaran karet maupun
dengan bubuk karet Selama pemanasan pada temperature tinggi, sifat karet
bisa menurun. Untuk memperkecil terjadinya penurunan sifat selama
percobaan suhu yang di syaratkan adalah150'C160'C (Jernando et.al.,1983).

1) lnteraksi antara aspal dan karet


Bila karet ditambahkan kedalam aspal, sebagian "fraksi ringan" aspal
diserap ke dalam karet. Jika terdapat kesesuaian antara karet dan aspal,
maka akan menghasilkan penambahan kekentalan dan elastisitas dari
aspal. Perubahan sifat bahan pengikat aspal di atas, akan membuat
perkerasan jalan beraspal lebih tahan terhadap deformasi dan retak. Karet
seperti itu juga aspal dapat teroksidasi terutama pada suhu tinggi.
Perubahan ini terjadi pada sifat kimia dan fisik. Walaupun aspal karet
lebih tahan terhadap oksidasi dibandingkan aspal atau karet saja, aspal
karet tetap harus dilindungi dari proses oksidasi. Dalam praktek ini
berarti aspal karet tidak boleh disimpan lama pada suhu diatas 130'C.
2) Ketahanan terhadap oksidasi
Semua aspal teroksidasi dan mengeras selama pencampuran,
penghamparan dan selama masa pelayanan dimana hal ini tidak
diinginkan. Bila penetrasinya turun tajam dibawah kira-kira 30, maka
perkerasan beraspal cenderung dapat menjadi retak. Tambahan karet ke
dalam aspal mengurangi pengaruh-pengaruh tersebut.
3) Ketahanan terhadap retak
Penambahan karet ke dalam aspal meningkatkan ketahanan terhadap
retak. Lapisan campuran beraspal karet lebih mampu menahan retak
refleksi dari pada campuran beraspal tanpa karet. Dengan semakin tua
dan mengeras, maka campuran beraspal karet dapat menahan pengaruh
oksidasi yang lebih baik dari pada campuran beraspal tanpa karet.
Dengan demikian ketahan retak campuran beraspal karet relative lebih
baik.

KELOMPOK 4 43
REKAYASA JALAN RAYA II

4) Kekakuan struktur
Karet dapat meningkatkan kekakuan aspal tanpa membuatnya rapuh.
Dengan demikian, campuran beraspal karet memiliki kemampuan
penyebaran yang lebih besar. Jika dua jalan dibangun dengan ketebalan
yang sama, perkerasan aspal karet akan melendut lebih kecil akibat lalu
lintas dan akan diperkirakan berumur lebih lama dari pada menggunakan
aspal tanpa karet.
Bahan kimia yang umum digunakan untuk pengawetan lateks kebun
adalah larutan amoniak karena harganya cukup murah dan cukup efektif.
Dosis pemberian amoniak dalam lateks kebun harus disesuaikan dengan
lamanya waktu yang dibutuhkan, proses pengolahan di pabrik dan jenis
mutu karet yang diperlukan.

4. ASPAL

Aspal merupakan material perekat berwarna hitam atau cokelat tua dengan
unsur utama bitumen, pada temperatur ruang berbentuk padat, sampai agak
padat dan bersifat termoplastis. Aspal yang umum digunakan saat ini berasal
dari salah satu hasil proses destilasi minyak bumi. Sebagai salah satu material
konstruksi perkerasan lentur, aspal merupakan salah satu komponen kecil
yang umumnya 4-10% berdasarkan berat atau 5-10% berdasarkan volume.
Aspal yang digunakan pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi sebagai
(Sukirman, 1999):
1) Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dan agregat
serta antara aspal itu sendiri.
2) Bahan pengisi, mengisi rongga antar butir-butir agregat dan pori-pori
yang ada dari agregat itu sendiri.

KELOMPOK 4 44
REKAYASA JALAN RAYA II

4.1.Jenis Aspal
A. Berdasarkan Cara Memperolehnya
Berdasarkan cara memperolehnya, aspal dibedakan atas aspal alam,
dan aspal buatan, dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Aspal alam
Aspal alam merupakan campuran antara bitumen dengan bahan
mineral lainnya dalam bentuk batuan. Aspal ini dapat dibedakan
menjadi:
a. Aspal gunung (rock asphalt), seperti aspal di Pulau Buton.
b. Aspal danau( lake asphalt), seperti di Trinidad.
2) Aspal buatan
a. Aspal minyak adalah aspal yang merupakan residu destilasi
minyak bumi. Minyak bumi dapat menghasilkan residu jenis
asphaltic base crude oil yang banyak mengandung aspal, parafin
base crude oil yang banyak mengandung parafin, atau mixed base
crude oil yang banyak mengandung campuran antara parafin dan
aspal. Untuk perkerasan jalan umumnya digunakan aspal minyak
jenis asphaltic base crude oil.
b. Tar adalah suatu cairan yang diperoleh dari proses karbonasi
(destilasi destruktif tanpa udara/oksigen) suatu material organik
misalnya kayu atau batu bara.

B. Berdasarkan Bentuknya Pada Temperatur Ruang


Berdasarkan bentuknya pada temperatur ruang, aspal dibedakan atas
aspal padat, aspal cair, dan aspal emulsi dengan penjelasan sebagai
berikut.
1) Aspal keras (hard asphalt)
Aspal keras adalah aspal yang berbentuk padat atau semi padat pada
suhu ruang dan menjadi cair jika dipanaskan. Aspal padat dikenal
dengan nama semen aspal (asphalt cement). Di Indonesia aspal semen
biasanya dibedakan atas penetrasinya. Pada daerah panas atau lalu
lintas dengan volume tinggi menggunakan aspal semen dengan

KELOMPOK 4 45
REKAYASA JALAN RAYA II

penetrasi rendah, sedangkan untuk daerah dingin atau lalu lintas


rendah menggunakan penetrasi tinggi.
2) Aspal cair (cutback asphalt)
Aspal cair yaitu aspal yang berbentuk cair pada suhu ruang. Aspal cair
merupakan semen aspal yang dicairkan dengan bahan pencair dari
hasil penyulingan minyak bumi seperti minyak tanah, bensin, atau
solar. Berdasarkan bahan pencair dan kemudahan menguap bahan
pelarutnya, aspal cair dapat dibedakan menjadi:
a. Rapid Curing Cut Back Asphalt (RC), merupakan aspal semen
yang dilarutkan dengan bensin/premium. Jenis ini paling cepat
menguap.
b. Medium Curing Cut Back Asphalt (MC), merupakan aspal semen
yang dilarutkan dengan bahan yang lebih kental seperti minyak
tanah.
c. Slow Curing Cut Back Asphalt (SC), merupakan aspal semen
yang dilarutkan dengan bahan yang lebih kental seperti solar.
3) Aspal emulsi
Aspal emulsi adalah suatu campuran aspal dengan air dan bahan
pengelmusi, yang dilakukan di pabrik pencampur. Berdasarkan
muatan listrik yang dikandungnya, aspal emulsi dapat dibedakan
menjadi:
a. Aspal kationik disebut juga aspal emulsi asam, merupakan aspal
emulsi yang butiran aspalnya bermuatan arus listrik positif.
b. Aspal anionik disebut juga aspal emulsi alkali, merupakan aspal
emulsi yang butiran aspalnya bermuatan negatif.
c. Aspal non-ionik merupakan aspal emulsi yang tidak mengalami
ionisasi, berarti tidak mengantarkan listrik.
Yang umumnya digunakan sebagai bahan perkerasan jalan adalah
aspal emulsi anionik dan kationik.
Berdasarkan kecepatan mengerasnya, aspal emulsi dapat dibedakan
menjadi:

KELOMPOK 4 46
REKAYASA JALAN RAYA II

a. Rapid Setting (RS), aspal yang mengandung sedikit bahan


pengelmulsi sehingga pengikatan yang terjadi cepat, dan aspal
cepat menjadi padat atau keras kembali.
b. Medium Setting (MS), aspal cair dengan bahan pencair minyak
tanah.
c. Slow Setting (SS), jenis aspal emulsi yang paling lambat
mengeras.

4.2.Sifat Aspal
Aspal mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Daya tahan (Durability)
Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat
asalnya akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan.
b. Adhesi dan kohesi
Adhesi yaitu ikatan antara aspal dan agregat pada campuran aspal
beton. Sifat ini dievaluasi dengan menguji sepesimen dengan test
stabilitas Marshall. Kohesi adalah ketahanan aspal untuk tetap
mempertahankan agregat tetap di tempatnya setelah terjadi
pengikatan.
c. Kepekaan terhadap temperature
Aspal adalah bahan yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau
lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak jika
temperature bertambah.
d. Kekerasan aspal
Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan
agregat sehingga dilapisi aspal atau disiramkan ke permukaan agregat
yang telah disiapkan pada proses pelaburan. Pada proses pelaksanaan,
terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas. Peristiwa
perapuhan terus berlangsung selama masa pelaksanaan. jadi, selama
masa pelayanan, aspal mengalami proses oksidasi yang besar yang
dipengaruhi oleh ketebalan aspal yang menyelimuti agregat. Semakin
tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang terjadi.

KELOMPOK 4 47
REKAYASA JALAN RAYA II

4.3.Pemeriksaan Aspal
Sifat-sifat aspal harus selalu diperiksa dan aspal yang memenuhi syarat
yang telah ditetapkan dapat dipergunakan sebagai bahan pengikat
perkerasan lentur.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk aspal keras adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Penetrasi Aspal
Pemeriksaan penetrasi aspal bertujuan untuk memeriksa tingkat
kekerasan aspal. Pengujian dilaksanakan pada suhu 25ºC dan
kedalaman penetrasi diukur setelah beban dilepaskan selama 5 detik.
b. Pemeriksaan Titik Lembek (Softening Point Test)
Pemeriksaan titik lembek bertujuan untuk mengetahui kepekaan aspal
terhadap temperatur. Suhu pada saat aspal mulai menjadi lunak
tidaklah sama pada setiap hasil produksi aspal walaupun mempunyai
nilaipenetrasi yang sama. Titik lembek adalah suhu rata-rata (dengan
beda suhu = 1º C) pada saat bola baja menembus aspal karena leleh
dan menyentuh plat dibawahnya (sejarak 1 inch = 25,4mm). Pengujian
dilaksanakan denga alat ‘Ring and Ball Apparatus’. Manfaat dari
pengujian titik lembek ini adalah digunakan untuk menentukan
temperatur kelelehan dari aspal.
c. Pemeriksaan Titik Nyala dan Titik Bakar
Pemeriksaan titik nyala dan titik bakar bertujuan untuk menentukan
suhu pada aspal terlihat nyala singkat di permukaan aspal (titik nyala)
dan suhu pada saat terlihat nyala sekurang-kurangnya 5 detik. Titik
nyala dan bakar perlu diketahui untuk memperkirakan temperatur
maksimum pemanasan aspal sehingga aspal tidak terbakar.
d. Pemeriksaan Kehilangan Berat Aspal
Pemeriksaan dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengurangan
berat akibat penguapan bahan-bahan yang mudah menguap dalam
aspal. Penurunan berat menunjukkan adanya komponen aspal yang
menguap yang dapat berakibat aspal mengalami pengerasan yang
eksesif/berlebihan sehingga menjadi getas (rapuh) bila pengurangan
berat melebihi syarat maksimalnya. Pengujian ini dilanjutkan dengan

KELOMPOK 4 48
REKAYASA JALAN RAYA II

pengujian nilai penetrasi aspal, untuk mengetahui peningkatan


kekerasannya (dalam % penetrasi semula). Rumus perhitungan
kehilangan berat aspal menurut SNI 06-2440-1991 adalah sebagai
berikut:
Penurunan Berat = (A-B)/A x100%
Keterangan:
A = berat benda uji semula
B = berat benda uji setelah pemanasan
e. Pemeriksaan Daktilitas Aspal
Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mengetahui sifat kohesi dalam
aspal itu sendiri yaitu dengan mengukur jarak terpanjang yang dapat
ditarik antara dua cetakan yang berisi aspal keras sebelum putus, pada
suhu 25ºC dan kecepatan tarik 5 cm/menit. Aspal dengan daktilitas
yang lebih besar mengikat butir-butir agregat yang lebih baik tetapi
lebih peka terhadap perubahan temperatur.
f. Pemeriksaan Berat Jenis Aspal
Berat jenis aspal adalah perbandingan antara berat aspal dan berat air
suling dengan isi yang sama pada suhu tertentu, 25oC. Data berat jenis
aspal dipergunakan untuk perhitungan dalam perencanaan dan
evaluasi sifat campuran aspal beton (perhitungan SGmix dan
porositas). Berat jenis aspal dihitung dengan rumus menurut SNI
2441:2011 sebagai berikut:

Keterangan :
δ = berat jenis aspal
A = berat piknometer (dengan penutup) (gram)
B = berat piknometer berisi air (gram)
C = berat piknometer berisi aspal (gram)
D = berat piknometer berisi aspal dan air (gram)

KELOMPOK 4 49
REKAYASA JALAN RAYA II

4.4.Karakteristik Aspal Keras


Aspal keras dibedakan atas tingkat penetrasinya (ukuran kekentalan
aspal keras), misalnya AC 60/70, AC 80/100, AC 200, AC 300. Dalam hal
ini disajikan beberapa persyaratan aspal keras, antara lain: aspal keras
penetrasi 60/70 seperti yang disyaratkan pada Tabel berikut.

Tabel 2.3 Persyaratan Aspal Keras Penetrasi 60/70

Catatan :
1. Hasil pengujian adalah untuk bahan pengikat (bitumen) yang diektraksi
dengan menggunakan metode SNI 2490:2008. Kecuali untuk pengujian
kelarutan dan gradasi mineral dilaksanakan pada seluruh bahan
pengikat termasuk kadar mineralnya.
2. Untuk pengujian residu aspal Tipe II dapat mengajukan metode
pengujian alternatif untuk viskositas bilamana sifat-sifat elastometrik
atau lainnya didapati berpengaruh terhadap akurasi pengujian penetrasi
atau standar lainnya.
3. Viscositas diuji juga pada temperatur 100oC dan 160oC untuk tipe I,
untuk tipe II pada temperatur 100oC dan 170oC.

KELOMPOK 4 50
REKAYASA JALAN RAYA II

4. Jika untuk pengujian viskositas tidak dilakukan sesuai dengan


AASHTO T201-03 maka hasil pengujian harus dikonversikan ke satuan
cSt.
5. Contoh bahan aspal harus diekstraksi dari benda uji sesuai dengan caa
SNI 03-3640-1994 (metode soklet) atau SNI 03-6894-2002 (metode
sentrifus) atau AASHTO T 164-06 (metode tungku pengapian). Jika
metode sentrifus digunakan, setelah konsentrasi larutan aspal yang
terekstraksi mencapai 200 mm, partikel mineral yang terkandung harus
dipindahkan ke dalam suatu alat sentrifugal. Pemindahan ini dianggap
memenuhi bilamana kadar abu dalam bahan aspal yang diperoleh
kembali tidak melebihi 1% (dengan pengapian). Jika bahan aspal
diperlukan untuk pengujian lebih lanjut maka bahan itu harus diperoleh
kembali dari larutan sesuai dengan prosedur SNI 03-6894-2002.
6. Aspal Tipe I dan Tipe II harus diuji pada setiap kedatangan dan
sebelum dituangkan ke tangki penyimpanan AMP untuk penetrasi pada
25oC (SNI 06-2456-1991) Tipe II juga harus diuji untuk stabilitas
penyimpanan sesuai dengan ASTM D5976 part 6.1 dan dapat
ditempatkan dalam tangki sementara sampai hasil pengujian tersebut
diketahui. Tidak ada aspal yang boleh digunakan sampai aspal tersebut
telah diuji dan disetujui.

5. Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-WC)

Asphalt Concrete (AC) disebut juga dengan nama Laston (Lapisan Aspal
Beton) adalah beton aspal yang terdiri dari campuran aspal keras dan agregat
bergradasi menerus, dicampur, dihampar, dan dipadatkan pada suhu tertentu
yang umumnya digunakan untuk jalan-jalan dengan beban lalu lintas berat.
Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-WC)/ Lapis Aus Aspal Beton dapat
berfungsi sebagai pendukung beban lalu lintas, sebagai lapis kedap air
sekaligus sebagai pelindung konstruksi dibawahnya, sebagai lapisan aus, dan
berfungsi menyediakan permukaan jalan yang rata dan tidak licin. Penggunaan
AC-WC yaitu untuk lapis permukaan (paling atas) dalam perkerasan dan

KELOMPOK 4 51
REKAYASA JALAN RAYA II

mempunyai tekstur yang paling halus dibandingkan dengan jenis laston


lainnya. Pada campuran laston yang bergradasi menerus tersebut mempunyai
sedikit rongga dalam struktur agregatnya dibandingkan dengan campuran
bergradasi senjang. Hal tersebut menyebabkan campuran AC-WC lebih peka
terhadap variasi dalam proporsi campuran.
5.1.Syarat Teknis Agregat Pada Campuran Laston (AC-WC)
Adapun persyaratan agregat yang diisyaratkan untuk campuran aspal
beton Laston adalah sebagai berikut:
1. Agregat kasar
Adalah agregat dengan ukuran butir lebih besar dari saringan No.4
(4,75 mm). Agregat yang digunakan harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
- Mempunyai angularitas sesuai syarat. Angularitas agregat kasar
didefinisikan sebagai persen terhadap berat, jumlah agregat yang
lebih besar dari 4,75 mm dengan muka bidang pecah satu atau lebih.
Tabel 2.4 Ketentuan Agregat Kasar

2. Agregat halus
Agregat halus adalah agregat yang lolos saringan No.4 (4,75mm) dan
tertahan pada saringan No.200 (0,075 mm). Agregat yang digunakan
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

KELOMPOK 4 52
REKAYASA JALAN RAYA II

- Agregat halus harus terdiri dari pasir alam atau pasir buatan atau
pasir terak atau gabungan dari bahan-bahan tersebut yang
keadaannya bersih, kering, kuat, bebas dari gumpalan-gumpalan
lempung dan bahan-bahan lain yang mengganggu.
- Mempunyai angularitas sesuai syarat. Angularitas agregat halus
didefinisikan sebagai persen rongga udara pada agregat lolos ayakan
No.4 (4,75mm) yang dipadatkan dengan berat sendiri.
- Pasir alam dapat digunakan dalam campuran AC sampai suatu batas
yang tidak melampaui 15% terhadap berat total campuran.
Tabel 2.5 Ketentuan Agregat Halus

3. Bahan pengisi (filler)


Bahan pengisi atau filler adalah bagian dari agregat halus yang
minimum 85 % lolos saringan No.200 (0.075 mm).
- Bahan pengisi yang ditambahkan (pada agregat hasil pemecahan
yang mengandung filler), bisa terdiri atas debu batu kapur (limestone
dust), kapur padam (hydrated lime), semen atau abu terbang yang
sumbernya disetujui.
- Bahan pengisi yang ditambahkan harus kering dan bebas dari
gumpalangumpalan dan bila diuji dengan pengayakan sesuai SNI 03-
1968-1990 harus mengandung bahan yang lolos ayakan No.200 (75
micron) tidak kurang dari 75 % terhadap beratnya.
- Bilamana kapur tidak terhidrasi atau terhidrasi sebagian, digunakan
sebagai bahan pengisi yang ditambahkan maka proporsi maksimum
yang diijinkan adalah 1,0% dari berat total campuran beraspal.
Kapur yang seluruhnya terhidrasi yang dihasilkan dari pabrik yang

KELOMPOK 4 53
REKAYASA JALAN RAYA II

disetujui, dapat digunakan maksimum 2% terhadap berat total


agregat.

5.2.Syarat Gradasi Agregat Dalam Campuran Laston (AC-WC)


Adapun persyaratan gradasi agregat dalam campuran aspal Laston
(AC) seperti pada Tabel berikut.
Tabel 2.6 Persyaratan Gradasi Agreat Campuran Laston (AC)

5.3.Persyaratan Campuran
Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, maka campuran harus
dirancang sampai memenuhi semua ketentuan yang diberikan dalam
spesifikasi.
Komposisi rencana campuran Laston berada dalam batas-batas rencana
yang diberikan pada Tabel berikut.

KELOMPOK 4 54
REKAYASA JALAN RAYA II

Tabel 2.7 Ketentuan Sifat-sifat Campuran Laston (AC)

6. Perencanaan Campuran Aspal Panas

Perencanaan suatu campuran aspal panas (Hot Mix) dilaksanakan dengan


mengacu kepada spesifikasi yang ditentukan. Secara umum dilaksanakan
dengan tahapan sebagai berikut.

6.1.Pengujian Material
Sebelum merencanakan campuran aspal, terlebih dahulu harus
melaksanakan pengujian material : agregat kasar, agregat halus, filler dan
aspal. Sifat-sifat material harus memenuhi spesifikasi yang ditentukan.

6.2.Penentuan Gradasi Agregat


Gradasi masing-masing jenis agregat (kasar, halus dan filler) mungkin
saja ditentukan dalam spesifikasi suatu jenis campuran aspal panas.
Demikian pula gradasi agregat gabungannya. Gradasi agregat gabungan
bisa diperoleh dengan mencampur (blending) agregat kasar, halus dan
filler. Teknik mencampur (blending) agregat dapat dilaksanakan secara
analitis maupun secara grafis.
Perencanaan gradasi agregat untuk campuran aspal di laboratorium,
bias dilaksanakan tanpa memblending agregat, yaitu berdasarkan gradasi

KELOMPOK 4 55
REKAYASA JALAN RAYA II

ideal (batas tengah) spesifikasi gradasi agregat gabungan yang ditentukan.


Masing-masing ukuran butir agregat diperoleh dengan mengayak agregat
sesuai ukuran saringan yang ditentukan. Kemudian proporsi agregat dicari
berdasarkan komulatif persentase lolos gradasi ideal.
Selain itu, gradasi dapat juga ditentukan dengan menggunakan rumus
modifikasi Kurva Fuller (Cooper et al, 1985):

Keterangan:
P = % material lolos ayakan d (mm)
D = diameter agregat maksimum (mm)
F = % filler
n = nilai eksponensial yang mempengaruhi kecekungan garis gradasi
Nilai n =0,45 banyak dipilih untuk memberikan agregat interlock
optimal (Thanaya and Zoorob, 2002)

6.3.Penentuan Proporsi Agregat


Pengelompokkan agregat dalam penelitian ini sebagai agregat kasar
(tertahan ayakan No. 4 = 4,75 mm) diperoleh dari hasil pengayakan. Untuk
agregat halus (lolos ayakan No. 4 = 4,75 mm dan tertahan ayakan No. 200
= 0,075 mm) dapat langsung menggunakan pasir halus. Sedangkan filler
adalah material non-plastis yang lolos ayakan No. 200 = 0,075 mm
minimal 85%. Filler dapat berupa debu batu atau semen portland.
Dalam hal ini metode memproporsikan agregat yang dipakai adalah
tanpa blending, tetapi diproporsikan berdasarkan titik tengah spesifikasi
agregat campuran.

6.4.Estimasi Kadar Aspal Awal


Setelah proporsi masing-masing agregat diketahui, maka dilakukan
perhitungan kadar aspal optimum perkiraan. Adapun perhitungannya
menurut (Depkimpraswil, 2004) sebagai berikut:

KELOMPOK 4 56
REKAYASA JALAN RAYA II

Pb = 0,035 (%CA) + 0,045 (%FA) + 0,18 (%FF) + konstanta


Keterangan:
Pb = % kadar aspal awal terhadap berat total campuran
%CA = % agregat kasar (coarse aggregate) terhadap berat total agregat
%FA = % agregat halus (fine aggregate) terhadap berat total agregat
%FF = % filler terhadap berat total agregat
K = Nilai konstanta kira-kira 0,5 sampai 1,0 untuk Laston dan 2,0
sampai 3,0 untuk Lataston. Untuk jenis campuran lain digunakan
nilai 1,0 sampai 2,5.

6.5.Penentuan Prosentase Material Terhadap Berat Total Campuran


Prosentase proporsi agregat dihitung berdasarkan berat total agregat.
Karena dalam campuran terdapat kandungan aspal, maka perlu dihitung
prosentase material terhadap berat total campuran. Untuk membuat sebuah
sampel umumnya diperlukan sekitar 1100 gram agregat yang proporsinya
sesuai dengan ukuran butir agregat. Prosentase terhadap berat total
campuran akan berubah sesuai dengan variasi prosentase kadar aspal.

6.6.Perhitungan Jumlah Material Yang Dibutuhkan


Proporsi agregat kasar disesuaikan dengan prosentase ukuran butirnya
yang sudah dipersiapkan (di ayak) terlebih dahulu. Untuk agregat halus
sudah bias langsung menggunakan pasir halus lolos 4,75 mm (ayakan No.
4) dan tertahan 0,075 mm (ayakan No. 200).

6.7.Pemanasan Material dan Mould


Agregat yang sudah diproporsikan, ditempatkan dalam wadah dari
metal (misalnya waskom aluminium). Demikian juga aspal ditempatkan
dalam kaleng dengan ukuran yang cukup. Kemudian dipanaskan
(sebaiknya) dalam oven.
Ketentuan temperatur aspal untuk pemanasan, pencampuran dan
pemadatan didasarkan atas rentang temperatur pada saat viskositas aspal
akan memberikan hasil yang optimal. Hal ini didasarkan atas hasil studi

KELOMPOK 4 57
REKAYASA JALAN RAYA II

dan data-data yang sudah ada. Sebagai pedoman umum, suhu pemanasan
untuk material campuran laston dilaksanakan sebagai berikut:
- Temperatur pemanasan agregat maksimum : 175 ºC
- Temperatur pemanasan aspal = temperatur pemanasan agregat dengan
perbedaan maksimal 15ºC, yang umumnya berkisar sebagai berikut:
Temperatur pemanasan aspal penetrasi 60/70 : 130 – 165 ºC
Temperatur pemanasan aspal penetrasi 80/100 : 124 – 162 ºC
- Temperatur pemadatan di lab : 110 – 135ºC
- Pada pelaksanaan di lapangan temperatur penghamparan: = 124ºC
- Temperatur pemadatan awal di lapangan minimum : 120ºC
- Temperatur pemadatan akhir di lapangan minimum : 60ºC (masih diatas
titik lembek aspal).
Atau dapat menggunakan pedoman lainnya dalam menentukan suhu
pemanasan untuk material campuran khususnya yang menggunakan aspal
penetrasi 60/70, seperti pada Tabel berikut.
Tabel 2.8 Suhu Pemanasan untuk Material Campuran

KELOMPOK 4 58
REKAYASA JALAN RAYA II

Mould (cetakan sampel) dengan diameter 4 inch (101,6 mm) dan tinggi
3 inch (75 mm) dilengkapi colar mould ( mould tambahan), dan alat
pencampur (mixer) atau sendok pengaduk metal, dan batang besi perojok/
penusuk juga perlu dipanaskan (dapat dipanaskan pada temperatur sama
dengan temperatur pemanasan aspal).

6.8.Jumlah Sampel dan Pemanasan


Untuk setiap variasi kadar aspal, idealnya dibuat minimal 3 sampel,
kemudian karakteristik campuran diambil dari nilai rata-rata. Bila
pencampuran dilaksanakan secara manual, agregat ditempatkan dalam
waskom metal dan diaduk rata sebelum dipanaskan. Setelah panas (2-3
jam dalam oven) kemudian dituangi aspal sejumlah yang diperlukan, lalu
diaduk dengan sendok metal serata mungkin.
Untuk mengurangi kehilangan temperatur, yang bisa berakibat agregat
tidak terselimuti aspal dengan merata maka material campuran dipanaskan
lagi beberapa saat (2-5 menit), kemudian diaduk kembali sampai rata.

6.9.Pemadatan Sampel
Sebaiknya semua peralatan dipanaskan untuk mempertahankan
temperatur dan kemudahan pelaksanaan (workability). Pemadatan
dilakukan sesuai dengan jumlah tumbukan sebagai berikut:
a) Untuk pemadatan sedang (Latasir): 2 x 50 tumbukan
b) Untuk pemadatan berat (Laston dan Lataston): 2 x 75 tumbukan
c) Berat alat tumbuk : 4,5 kg
d) Tinggi jatuh : 18” = 45,7 cm

6.10. Pengukuran Volumetrik Sampel


Campuran beraspal panas pada dasarnya terdiri dari aspal dan agregat.
Proporsi masing-masing bahan harus dirancang sedemikian rupa agar
dihasilkan aspal beton yang dapat melayani lalu lintas dan tahan terhadap
pengaruh lingkungan selama masa pelayanan. Ini berarti campuran
beraspal harus:

KELOMPOK 4 59
REKAYASA JALAN RAYA II

1. Mengandung cukup kadar aspal agar awet.


2. Mempunyai stabilitas yang memadai untuk menahan beban lalu lintas.
3. Mengandung cukup rongga udara (VIM) agar tersedia ruangan yang
cukup untuk menampung ekspansi aspal akibat pemadatan lanjutan
oleh lalu lintas dan kenaikan temperatur udara tanpa mengalami
bleeding atau deformasi plastis.
4. Rongga udara yang ada harus juga dibatasi untuk membatasi
permeabilitas campuran.
5. Mudah dilaksanakan sehingga campuran beraspal dapat dengan
mudah dihampar dan dipadatkan sesuai dengan rencana dan
memenuhi spesifikasi.
Dalam Pedoman Teknik No. 028/T/BM/1999, kinerja campuran
beraspal ditentukan oleh volumetrik campuran (padat) yang terdiri atas:
a) Berat Jenis Bulk Agregat
Karena agregat total terdiri atas fraksi-fraksi agregat kasar, agregat
halus dan bahan pengisi (filler) yang masing-masing mempunyai
berat Jenis yang berbeda maka berat jenis bulk (Gsb) agregat total
dapat dihitung sebagai berikut:

Keterangan:
Gsb = Berat jenis bulk total agregat
P1,P2,P3 = Presentase masing-masing fraksi agregat
G1, G2,G3 = Berat jenis bulk masing-masing fraksi agregat
Berat jenis bulk bahan pengisi sulit ditentukan dengan teliti. Namun
demikian, jika berat jenis nyata (apparent) bahan pengisi
dimasukkan, maka penyimpangan yang timbul dapat diabaikan.
b) Berat Jenis Efektif Agregat
Berat Jenis efektif campuran (Gse) rongga dalam partikel agregat
yang menyerap aspal, dapat ditentukan dengan rumus:

KELOMPOK 4 60
REKAYASA JALAN RAYA II

Keterangan:
Gse = Berat jenis efektif agregat
P1,P2,P3 = Presentase masing-masing fraksi agregat
Gse1, Gse2,Gse3 = Berat jenis efektif masing” fraksi agregat
c) Berat Jenis Maksimum Campuran
Berat jenis maksimum campuran, Gmm pada masing-masing kadar
aspal diperlukan untuk menghitung kadar rongga masing-masing
kadar aspal. Ketelitian hasil uji terbaik adalah bila kadar aspal
campuran mendekati kadar aspal optimum. Sebaiknya pengujian
berat Jenis maksimum dilakukan dengan benda uji sebanyak
minimum dua buah (duplikat) atau tiga buah (triplikat). Selanjutnya
Berat Jenis Maksimum (Gmm) campuran untuk masing-masing
kadar aspal dapat dihitung menggunakan berat jenis efektif (Gse)
rata-rata sebagai berikut:

Keterangan:
Gmm = Berat Jenis Maksimum Campuran, Rongga Udara nol
Pmm = Persen berat total campuran (= 100)
Ps = Kadar agregat, persen terhadap berat total campuran
Pb = Kadar aspal, persen terhadap berat total campuran
Gse = Berat jenis efektif agregat
Gb = Berat jenis aspal
d) Penyerapan Aspal
Penyerapan aspal dinyatakan dalam persen terhadap berat agregat
total, tidak terhadap berat campuran. Perhitungan penyerapan aspal
(Pba) adalah sebagai berikut:

KELOMPOK 4 61
REKAYASA JALAN RAYA II

Keterangan:
Pba = Penyerapan aspal, persen total agregat
Gsb = Berat jenis bulk agregat
Gse = Berat jenis efektif agregat
Gb = Berat jenis aspal
e) Kadar Aspal Efektif
Kadar aspal efektif (Pbe) Campuran beraspal adalah kadar aspal total
dikurangi jumlah aspal yang terserap oleh partikel agregat. Kadar
aspal efektif ini akan menyelimuti permukaan agregat bagian luar
yang pada akhirnya akan menentukan kinerja perkerasan beraspal.
Rumus kadar aspal efektif adalah:

Keterangan:
Pbe = Kadar aspal efektif, persen total campuran
Pb = Kadar aspal, persen total campuran.
Pba = Penyerapan aspal, persen total agregat
Ps = Kadar agregat, persen total campuran.
f) Rongga di antara Mineral Agregat (VMA)
VMA (Voids in Mineral aggregate) adalah ruang di antara partikel
agregat pada suatu perkerasan beraspal, termasuk rongga udara dan
volume aspal efektif (tidak termasuk volume aspal yang diserap
agregat). VMA dihitung berdasarkan Berat Jenis Bulk (Gsb) agregat
dan dinyatakan sebagai persen volume Bulk campuran yang
dipadatkan. VMA dapat dihitung pula terhadap berat campuran total
atau terhadap berat agregat total (Lihat Rumus 2.13).
Perhitungan VMA terhadap campuran total adalah dengan rumus
berikut:

KELOMPOK 4 62
REKAYASA JALAN RAYA II

1. Terhadap Berat Campuran Total

Keterangan:
VMA = Rongga di antara Mineral Agregat, persen volume bulk
Gsb = Berat jenis bulk agregat
Gmb = Berat jenis bulk campuran padat
Ps = Kadar agregat, persen total campuran

2. Terhadap Berat Agregat Total

Keterangan:
VMA = Rongga di antara Mineral Agregat, persen volume bulk
Gsb = Berat jenis bulk agregat
Gmb = Berat jenis bulk campuran padat
Pb = Kadar aspal, persen total campuran
g) Rongga di Dalam Campuran (VIM)
VIM (Voids In Mix) dalam campuran perkerasan beraspal terdiri
atas ruang udara di antara partikel agregat yang terselimuti aspal.
Volume rongga udara dalam persen dapat ditentukan dengan rumus
berikut:

Keterangan:
VIM = Ronga udara campuran, persen total campuran
Gmb = Berat jenis bulk campuran padat
Gmm = Berat Jenis Maksimum Campuran
h) Rongga Terisi Aspal (VFB)
VFB (Voids Filled with Bitumen) adalah persen rongga yang
terdapat di antara partikel agregat (VMA) yang terisi oleh aspal,

KELOMPOK 4 63
REKAYASA JALAN RAYA II

tidak termasuk aspal yang diserap oleh agregat. Rumus VFB adalah
sebagai berikut:

Keterangan:
VFB = Rongga Terisi Aspal, persen VMA
VMA = Rongga di antara Mineral Agregat, persen volume bulk.
VIM = Rongga di dalam campuran, persen total campuran
i) Gambaran Volumetrik Campuran Beraspal
Gambaran volumetrik campuran beraspal seperti yang ditunjukkan
pada Gambar berikut.

Gambar 2.12 Volumetrik Campuran Beraspal


Keterangan:
VFB = volume rongga terisi aspal
Vba = volume aspal yang diserap agregat
VMA = volume rongga diantara agregat
Vsb = volume agregat (bulk)
Vb = volume aspal
Vbe = volume aspal efektif = Vb-Vba
Vse = volume agregat (efektif)
VIM = volume rongga dalam campuran
Vmm = volume campuran tanpa rongga
Vmb = volume bulk campuran padat

KELOMPOK 4 64
REKAYASA JALAN RAYA II

6.11. Test Stabilitas Marshall dan Flow


Kinerja campuran aspal dapat diperiksa dengan menggunakan alat
pemeriksa Marshall. Pemeriksaan Marshall mengikuti prosedur RSNI M-
01-2003. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menentukan ketahanan
(stabilitas) yang optimum dikaitkan dengan kategori lalu lintas (lalu lintas
ringan, lalu lintas sedang, lalu lintas berat) terhadap kelelehan plastis
(flow) dari campuran aspal dan agregat. Kelelehan plastis adalah keadaan
perubahan bentuk suatu campuran yang terjadi akibat suatu beban sampai
batas runtuh yang dinyatakan dalam mm atau 0,01 inch.
Alat Marshall merupakan alat tekan yang berbentuk silinder
berdiameter 4 inci (10,2 cm) dan tinggi 2,5 inci (6,35 cm) serta dilengkapi
dengan proving ring (cincin penguji) yang berkapasitas 22,2 KN dan flow
meter. Proving ring dilengkapi dengan arloji pengukur yang berguna untuk
mengukur nilai stabilitas campuran. Pembacaan arloji tekan ini dikalikan
dengan hasil kalibrasi cincin penguji serta angka korelasi beban pada
Tabel dibawah. Disamping itu terdapat arloji kelelehan (flow meter) untuk
mengukur kelelehan plastis (flow). Selanjutnya dari perhitungan diperoleh
Rongga Diantara Agregat (VMA), Rongga Dalam Campuran Beraspal
(VIM), Rongga terisi aspal (VFB), dan Marshall Quetient (MQ).

KELOMPOK 4 65
REKAYASA JALAN RAYA II

Tabel 2.9 Konversi pembacaan dial gauge stabilitas ke kN untuk alat uji tekan
Marshall model H-4454.100
KN DEFL KN DEFL KN DEFL KN DEFL KN DEFL
0 1.5 4.445 263.5 15.557 926.5 26.669 1600.5 37.781 2285.7
0.089 6.7 4.667 276.7 15.779 939.8 26.892 1614.1 38.004 2299.5
0.178 11.9 4.889 289.8 16.002 953.2 27.114 1627.7 38.226 2313.3
0.267 17.2 5.112 303 16.224 966.6 27.336 1641.3 38.448 2327.1
0.356 22.4 5.334 316.2 16.446 980 27.558 1654.9 38.67 2341
0.444 27.6 5.556 329.3 16.668 993.4 27.781 1668.5 38.893 2354.8
0.533 32.8 5.778 342.5 16.891 1006.8 28.003 1682.1 39.115 2368.6
0.622 38.1 6.001 355.7 17.113 1020.2 28.225 1695.8 39.337 2382.5
0.711 43.3 6.223 368.9 17.335 1033.6 28.447 1709.4 39.559 2396.3
0.8 48.5 6.445 382.1 17.557 1047 28.669 1723 39.782 2410.2
0.889 53.8 6.667 395.2 17.78 1060.4 28.892 1736.7 40.004 2424
0.978 59 6.89 408.4 18.002 1073.8 29.114 1750.3 40.226 2437.9
1.067 64.2 7.112 421.6 18.224 1087.2 29.336 1763.9 40.448 2451.8
1.156 69.5 7.334 434.8 18.446 1100.7 29.558 1777.6 40.671 2465.6
1.245 74.7 7.556 448 18.669 1114.1 29.781 1791.2 40.893 2479.5
1.333 79.9 7.779 461.3 18.891 1127.5 30.003 1804.9 41.115 2493.4
1.422 85.2 8.001 474.5 19.113 1141 30.225 1818.6 41.337 2507.3
1.511 90.4 8.223 487.7 19.335 1154.4 30.447 1832.2 41.56 2521.2
1.6 95.6 8.445 500.9 19.557 1167.8 30.67 1845.9 41.782 2535.1
1.689 100.9 8.668 514.1 19.78 1181.3 30.892 1859.6 42.004 2548.9
1.778 106.1 8.89 527.4 20.002 1194.8 31.114 1873.2 42.226 2562.9
1.867 111.3 9.112 540.6 20.224 1208.2 31.336 1886.9 42.449 2576.8
1.956 116.6 9.334 553.9 20.446 1221.7 31.559 1900.6 42.671 2590.7
2.045 121.8 9.556 567.1 20.669 1235.2 31.781 1914.3 42.893 2604.6
2.134 127.1 9.779 580.4 20.891 1248.6 32.003 1928 43.115 2618.5
2.222 132.2 10.001 593.6 21.113 1262.1 32.225 1941.7 43.338 2632.4
2.311 137.5 10.223 606.9 21.335 1275.6 32.448 1955.4 43.56 2646.4
2.4 142.8 10.445 620.1 21.558 1289.1 32.67 1969.1 43.782 2660.3
2.489 148 10.668 633.4 21.78 1302.6 32.892 1982.8 44.004 2674.2
2.578 153.3 10.89 646.7 22.002 1316.1 33.114 1996.6 44.227 2688.2
2.667 158.5 11.112 660 22.224 1329.6 33.337 2010.3 44.449 2702.1
2.756 163.8 11.334 673.2 22.447 1343.1 33.559 2024 44.671 2716.1
2.845 169 11.557 686.5 22.669 1356.6 33.781 2037.7 44.893 2730
2.934 174.2 11.779 699.8 22.891 1370.1 34.003 1051.5 45.116 2744
3.023 179.5 12.001 713.1 23.113 1383.6 34.226 1065.2 45.338 2757.9
3.111 184.7 12.223 726.4 23.336 1397.1 34.448 2079 45.56 2771.9
3.2 190 12.446 739.7 23.558 1410.7 34.67 2092.7 45.782 2785.9
3.289 195.2 12.668 753 23.78 1424.2 34.892 2106.5 46.005 2799.8
3.378 200.5 12.89 766.4 24.002 1437.7 35.115 2120.2 46.227 2813.8
3.467 205.7 13.112 779.7 24.225 1451.3 35.337 2134 46.449 2827.8
3.556 211 13.335 793 24.447 1464.8 35.559 2147.8 46.671 2841.8
3.645 216.2 13.557 806.3 24.669 1478.4 35.781 2161.5 46.894 2855.8
3.734 221.5 13.779 819.7 24.891 1491.9 36.004 2175.3 47.116 2869.8
3.823 226.7 14.001 833 25.114 1505.5 36.226 2189.1 47.338 2883.8
3.911 232 14.224 846.3 25.336 1519 36.448 2202.9 47.56 2897.8
4 237.3 14.446 859.7 25.558 1532.6 36.67 2216.7 47.782 2911.8
4.089 242.5 14.668 873 25.78 1546.2 36.893 2230.5 48.005 2925.8
4.178 247.8 14.89 886.4 26.003 1559.8 37.115 2244.3 48.227 2939.9
4.267 253 15.113 899.7 26.225 1573.3 37.337 2258.1 48.449 2953.9
4.356 258.3 15.335 913.1 26.447 1586.9 37.559 2271.9 48.671 2967.9

KELOMPOK 4 66
REKAYASA JALAN RAYA II

Tabel 2.10 Rasio Kolerasi Stabilitas Marshall

Isi benda uji Tebal Benda Uji


Angka Koreksi
(cm²) (mm)
200–213 25,4 5,56
214-225 27,0 5,00
226-237 28,6 4,55
238-250 30,2 4,17
251-264 31,8 3,85
265-276 33,3 3,57
277-289 34,9 3,33
290-301 35,5 3,03
302-316 38,1 2,78
317-328 39,7 2,50
329-340 41,3 2,27
341-353 42,9 2,08
354-367 44,4 1,92
368-379 46,0 1,79
380-392 47,6 1,67
393-405 49,2 1,56
406-420 50,8 1,47
421-431 52,4 1,39
432-443 54,0 1,32
444–456 55,6 1,25
457–470 57,2 1,19
471–482 58,7 1,14
483–495 60,3 1,09
496–508 61,9 1,04
509–522 63,5 1,00
523–535 65,1 0,96
536–546 66,7 0,93
547–559 68,3 0,89
560–573 69,9 0,86
574–585 71,4 0,83
586–598 73,0 0,81
599–610 74,6 0,78
611–625 76,2 0,76

KELOMPOK 4 67
REKAYASA JALAN RAYA II

6.12. Campuran AC-WC Dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak


Derajat Kepadatan Mutlak (Percentage Refusal Density, PRD) adalah
rasio antara kepadatan benda uji lapangan terhadap kepadatan refusal
dalam satuan persen. Perencanaan campuran beraspal dengan PRD
dilakukan sebagai pendekatan atau simulasi adanya pemadatan lanjutan
oleh lalu-lintas.
Dalam pembuatan benda uji PRD, kadar aspal yang dipergunakan
adalah kadar aspal yang memberikan nilai VIM Marshall 6% dan 0,5% di
atas dan di bawah dari kadar aspal tersebut. Untuk masing-masing kadar
aspal dibuatkan 3 benda uji. Benda uji ini kemudian dipadatkan dalam
cetakan (mold) dengan pemadatan getar atau dengan pengembangan
pemadatan Marshall.
Metode PRD dengan pemadatan getar menggunakan cetakan (mold)
berdiameter 152-153 mm (6 inchi). Sebelum digunakan cetakan, pelat
dasar cetakan dan telapak pemadat yang berukuran 102 dan 146 mm harus
dipanaskan dalam oven pada temperatur yang sama dengan temperatur
pemadatan. Campuran beraspal dimasukkan ke dalam cetakan lapis demi
lapis sebanyak lima lapis. Tiap lapis dipadatkan dengan pemadat getar
dengan palu pemadat harus diatur pada posisi tegak. Palu pemadat yang
sudah dipanaskan digetarkan pada frekuensi antara 20 dan 50 Hz. Telapak
pemadatan yang lebih lebar digunakan pada pemadatan terakhir dengan
tujuan untuk meratakan permukaan benda uji. Pada satu titik pemadatan
harus berlangsung selama antara 2 dan 10 detik tiap posisi sehingga total
waktu pemadatan kira-kira selama 2 menit + 5 detik.
Sedangkan untuk PRD dengan pengembangan pemadatan Marshal
dilakukan dengan menggunakan alat Marshall. Nilai kepadatan refusal
dengan alat Marshall ini akan mendekati nilai kepadatan refusal dengan
alat pemadat getar apabila tumbukan yang dilakukan pada setiap sisi benda
uji adalah 400 tumbukan. Dengan demikian pemadatan Marshall dengan
400 tumbukan pada setiap sisi benda uji dapat digunakan sebagai
alternative pengganti pemadat getar. Tetapi hal-hal yang mungkin menjadi
kendala dalam prosedur ini adalah dengan pemadatan 2 x 400 tumbukan

KELOMPOK 4 68
REKAYASA JALAN RAYA II

dapat memungkinkan terjadinya pemecahan partikel agregat. Bila hal ini


terjadi maka hasil perencanaan tidak akan baik. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan bahwa bila perencanaan campuran beraspal dengan
pendekatan kepadatan mutlak dilakukan dengan menggunakan alat
Marshall, maka perlu dipertimbangkan bahwa mutu agregat (nilai abrasi
agregat dengan mesin Los Angeles maximum 40%) dan suhu pemadatan
(+ 1400C untuk penetrasi aspal 60/100 atau + 1450C untuk penetrasi aspal
60/70) dapat terpenuhi. Jumlah tumbukan untuk pemadatan PRD ini
dilakukan sebanyak 2x400 tumbukan untuk cetakan dengan diameter 4
inci dan sebanyak 2x600 tumbukan untuk cetakan dengan diameter 6 inci.
Hasil pengujian VIM-PRD kemudian disatukan ke dalam grafik
hubungan antara VIM-Marshall dengan kadar aspal, seperti Gambar
dibawah. Perbedaan nilai VIM benda uji yang dipadatkan dengan Marshall
standar dengan yang dipadatkan sampai dengan mencapai kepadatan
mutlaknya tidak boleh lebih besar dari 3% (lebih direkomendasi sekitar
2%).

Gambar 2.13 Hubungan VIM-Marshall, VIM-PRD dengan Kadar Aspal

6.13. Penentuan Kadar Aspal Optimum


Penentuan Kadar aspal optimum ditentukan dengan merata-ratakan
kadar aspal yang memberikan stabilitas maksimum, kepadatan maksimum,
dan VIM-PRD yang diisyaratkan, serta persyaratan campuran lainnya
seperti VMA, VFB dan kelelehan campuran. Kadar aspal optimum dapat

KELOMPOK 4 69
REKAYASA JALAN RAYA II

ditentukan dengan menggunakan Metode Bar-chart seperti pada Gambar


dibawah Nilai kadar aspal optimum ditentukan sebagai nilai tengah dari
rentang kadar aspal maksimum dan minimum yang memenuhi spesifikasi.

Gambar 2.14 Contoh Penentuan Kadar Aspal Optimum


6.14. Pengujian Stabilitas Marshall Sisa
Pada Spesifikasi Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
untuk mengevaluasi keawetan campuran adalah pengujian Marshall
perendaman di dalam air pada suhu 60oC selama 24 jam. Perbandingan
stabilitas yang direndam dengan stabilitas standar, dinyatakan sebagai
persen, dan disebut Indeks Stabilitas Sisa (IRS), dan dihitung sebagai
berikut :
IRS = MSI / MSS x 100
Keterangan:
IRS = Indeks of Retained Strength
MSI = Stabilitas Marshall kondisi setelah direndam selama 24
jam dengan suhu 60ºC
MSS = Stabilitas Marshall kondisi standar (direndam selama 30-
40 menit pada suhu 60ºC)

KELOMPOK 4 70
REKAYASA JALAN RAYA II

2.4. PARAMETER PERENCANAAN TEBAL LAPISAN KONSTRUKSI


PERKERASAN
Lapisan perkerasan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban
lalu lintas tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi jalan itu
sendiri. Dengan demikian memberiikan kenyamanan kepada pengemudi
selama masa pelayanan jalan tersebut. Untuk itu dalam perencanaan perlu
dipertimbagkan seluruh factor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi
pelayanan perkerasan jalan seperti: fungsi jalan, kinerja perkerasan, umur
rencana, lalu lintas yang merupakan beban dari perkerasan jalan, sifat tanah
dasar, kondisi lingkungan, sifat dan jumlah material tersedia dilokasi yang
akan dipergunakan sebagai bahan lapis perkerasan, serta bentuk geometric
lapisan perkerasan.

1. FUNGSI JALAN

Sesuai Undang-undang tentang Jalan No. 13 tahun 1980 dan Peraturan


Pemerintah No. 26 tahun 1985, system jaringan jalan di Indonesia dapat
dibedakan atas:
 System Jaringan Jalan Primer, adalah system jaringan jalan dengan
peranan pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah di
tingkat nasional dengan semua simpul jasa distribusi yang kemudian
berwujud kota. Ini berarti system jaringan jalan primer menghubungkan
simpul-simpul jasa distribusi sebagai berikut:
- Dalam satu satuan wilayah pengembangan menghubungkan secara
terus menerus kota jenjang pertama (ibukota propinsi), kota jenjang
kedua (ibukota kabupaten, kotamadya), kota jenjang ketiga
(kecamatan) dan kota jenjang dibawahnya sampai ke persil.
- Menghubungkan kota antar jenjang pertama antar satuan wilayah
pengembangan.
 System Jaringan Jalan Sekunder, adalah system jaringan jalan dengan
peranan pelyanan jasa distribusi untuk masyarakat dalam kota, ini berarti
system jaringan jalan sekunder disususn mengikuti ketentuan pengaturan

KELOMPOK 4 71
REKAYASA JALAN RAYA II

tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai


fungsi primer, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan
seterusnya sampai ke perumahan.

Berdasarkan fungsinya, jalan dapat dibagi atas:


 Jalan arteri, adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan cirri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk
dibatasi secara efisien.
 Jalan kolektor, adalah jalan yang melayani angkutan
pengumpulan/pembagian dengan cirri-ciri perjalanan jarak sedang,
kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
 Jalan local, adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan cirri-
ciri perjalanan jarak dekan, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.

Dengan demikian system jaringan jalan primer terdiri dari:

 Jalan Arteri Primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang


pertama yang terletak berdampingan, atau menghubungkan kota jenjang
pertama dengan kota jenjang kedua. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh
jalan arteri primer ini adalah:
- Kecepatan rencana > 60 km/jam.
- Lebar badan jalan > 8, m.
- Kapsitas jalan lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.
- Jalan msuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana dan
kapasitas jalan tercapai.
- Tidak boleh terganggu oleh kegiatan local, lalu lintas local, dan lalu
lintas ulang alik.
- Jalan arteri primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
- Tingkat kenyamanan dan keamanan yang dinyatakan dengan Indeks
Permukaan tidak kurang dari 2.

KELOMPOK 4 72
REKAYASA JALAN RAYA II

 Jalan Kolektor Primer, adalh jalan yang menghubungkan kota jenjang


kedua dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang
keedua dengan kota jenjang ketiga. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh
jalan kolektor primer adalah:
- Kecepatan rencana > 40 km/jam.
- Lebar jalan > 7 m.
- Kapsitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas rata-
rata.
- Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki daerah kota.
- Jalan masuk dibatasi sehingga kecepatan rencana dan kapasitas jalan
tidak terganggu.
- Indeks Permukaan tidak kurang dari 2.
 Jalan Lokal Primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang
pertama dengan persil atau menghububngkan kota jenjang ketiga dengan
kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya,
kota jenjang ketiga dengan persil, atau kota dibawah jenjang ketiga sampai
persil. Persyaratan jlan loka primer adalah:
- Kecepatan rencana > 20 km/jam.
- Lebar badan jalan > 6.0 m.
- Jalan local primer tidak terputus walauapun memasuki desa.
- Indeks Permukaan tidak kurang dari 2.

Sedangkan system jaringan jalan sekunder terdiri atas:

 Jalan Aerteri Sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan


primer dengan kawasan sekunder pertama atau menghubungkan kawasan
sekunder pertama dengan kawasan sekunder kawasan sekunder pertama
atau menghubungkan kawasan sekunder pertama dengan kawasan
sekunder kedua. Persyaratan dari jalan arteri sekunder adalah:
- Kecepatan rencana > 30 km/jam.
- Lebar badan jalan > 8,0 m.
- Kapasitas jalan sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata.

KELOMPOK 4 73
REKAYASA JALAN RAYA II

- Tidak boleh diganggu oleh lalu lintas lambat.


- Indek Permukaan minimal 1,5.
 Jalan Kolektor Sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan
kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Persyaratan
yang harus dipenuhi oleh kolektor sekunder adalah:
- Kecepatan rencana > 20 km/jam.
- Lebar badan jalan > 7 m.
- Indeks Permukaan minimal 1,5.
 Jalan Lokal Sekunder, adalah jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder pertama dengan perumahan, menguhungkan kawasan sekunder
kedua dengan perumahan, kawasan sekunder ketiga dengan seterusnya
sampai keperumahan. Persyaratan jalan local sekunder adalah:
- Kecepatan rencana > 10 km/jam.
- Lebar badan jalan > 5 m.
- Indeks Permukaan Tidak kurang dari 1,0.

2. KINERJA PERKERASAN JALAN (PAVEMENT PERFORMANCE)

Kinerja perkerasan jalan (pavement performane) meliputi 3 (tiga) hal


yaitu:
1) Keamanan, yaitu ditentukan oleh besarnya gesekan akibat adanya kontak
antara ban dan permukaan halan. Besarnya gaya gesek yang terjadi
dipengaruhi oleh bentuk dan kondisi ban, tekstur permukaan jalan,
kondisi cuaca dan sebagainya.
2) Wujud perkerasan (struktur perkerasan), sehubungan dengan kondisi
fisik dari jalan tersebut seperti adanya retak-retak, amblas, aurm
gelombang dan sebagainya.
3) Fungsi pelayanan, sehubungan dengan bagaimana perkerasan tersebut
memberikan pelayanan kepada pemakai jalan. Wujud perkerasan dan
fungsi pelayanan umumnya merupakan kesatuan yang dapat
digambarkan dengan “kenyamanan mengemudi (riding quality)

KELOMPOK 4 74
REKAYASA JALAN RAYA II

Tingkat kenyamanan ditentukan berdasarkan anggapan-anggapan sebagai


berikut:
1) Kenyamanan pada dasarnya merupakan faktor subyektif, tergantung
penilaian masing-masing pengemudi, tetapi dapat dinyatakan dari nilai
rata-rata yang diberikan oleh pengemudi.
2) Jalan disediakan untuk memberikan kemanan dan kenyamanan pada
pemakai jalan.
3) Pelayanan yang diberikan oleh jalan dapat dinyatakan sebagai nilai rata-
rata yang diberikan oleh sipemakai jalan.
4) Kenyaman berkaitan dengan bentuk fisik dari perkerasan yang dapat
diukur secara obyektif serta mempunyai nilai korelasi dengan penilaian
subyektif masing-masing pengemudi.

Gambar 2.15 Bentuk “Kekasaran Permukaan”

Gangguan kenyamanan mengemudi dapat disebabkan oleh gangguan


dalam arah memanjang (longitudinal distortion) dan gangguan dalam arah
melintang (transversal distortion). Pada gambar 2.15 diperlihatkan gangguan-
gangguan yang berpengaruh terhadap kenyamanan mengemudi berupa
getaran-getaran yang besarnya tergantung dari amplitudo dan frekuensi
getaran.
Kinerja perkerasan dapat dinyatakan dengan:
 Indeks permukaan (Serviceability Index), diperkenalkan oleh AASHTO
yang diperoleh dari pengamatan kondisi jalan meliputi kerusakan-
kerusakan seperti retak-retak, alur-alur, lubang-lubang, lendutan pada jalur

KELOMPOK 4 75
REKAYASA JALAN RAYA II

roda, kekasaran permukaan dan lain sebagainya yang terjadi selama umur
jalan tersebut. Indeks permukaan bervariasi dari angka 0-5, masing-masing
angka menunjukkan fungsi pelayanan sebagai berikut.
Tabel 2.11 Nilai Indeks Permukaan
Indeks Permukaan (IP) Fungsi Pelayanan
4-5 Sanga baik
3-4 Baik
2-3 Cukup
1-2 Kurang
0-1 Sangat kurang
Jalan dengan lapis aspal beton yang baru dibuka untuk umum merupakan
contoh jalan dengan nilai IP=4,2

 Indeks Kondisi Jalan (Road Condition Index =RCI) adalah skala dari
tingkat kenyamanan atau kinerja dari jalan, dapat diperoleh dengan hasil
dari pengukuran dengan alat roughometer atau secara visual. Skala angka
bervariasi dari 2-10, dengan pengertian sebagai berikut :
Tabel 2.12 Indeks Kondisi Jalan (RCI)
RCI Kondisi Permukaan Jalan Secara Visual
8-10 - Sangat rata dan teratur
7-8 - Sangat baik, umumnya rata
6-7 - Baik
5-6 - Cukup, sedikit/tidak ada lubang, permukaan jalan
4-5 tidak rata
3-4 - Jelek, kadang-kadang ada lubang, permukaan jalan
2-3 tidak rata
≤2 - Rusak, bergelombang, banyak lubang
- Rusak berat, banyak lubang dan seluruh daerah
perkerasan hancur
- Tidak dapat dilalui kecuali dengan 4WD jeep

KELOMPOK 4 76
REKAYASA JALAN RAYA II

Jika penilaian dilakukan dengan mempergunakan alat roughometer


sehingga diperoleh IRI, maka unuk daerah Indoensia dipergunakan
korelasi antara RCI dan IRI seperti gambar 4.2 (lihat lampiran)

3. UMUR RENCANA

Umur rencana perkerasan jalan adalah jumlah tahun dari saat jalan tersebut
dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperukan suatu perbaikan yang
bersifat strukturan (sampai diperlukan overlay lapisan perkerasan). Selama
umur rencana tersebut pemeliharaan perkerasan jalan tetap harus dilakukan,
seperti lapisan nonstruktural yang berfungsi sebagai lapisan aus. Umur
rencana untuk perkerasan lentur jalan yang baru umumnya diambil 20 tahun
dan untuk peningkatan jalan 10 tahun. Umur rencana yang lebih besar dari 20
tahun tidak lagi ekonomis karena perkembangan lalu lintas yang terlalu besar
dan sukar untuk mendapatkan ketelitian yang memadai (tambahan tebal
lapisan perkerasan menyebabkan biaya awal yang cukup tinggi).

4. LALU LINTAS

Tebal lapisan perkerasan jalan ditentukan dari beban yang akan dipikul,
hal ini berhubungan dengan arus lalu lintas yang hendak melewati jalan
tersebut. Besarnya arus lalu lintas dapat diperoleh dari :
1) Analisa lalu lintas saat ini, sehingga diperoleh data mengenai : jumlah
kendaraan yang akan memakai jalan, jenis kendaraan, konfigurasi sumbu
dari setiap jenis kendaraan, serta beban masing-masing sumbu kendaraan.
Pada perencanaan jalan baru perkiraan volume lalu lintas ditentukan
dengan menggunakan hasil surveri volume lalu lintas di deket jalan
tersebut dan analisa pola lalu lintas disekitar lokasi jalan.
2) Perkiraan faktor pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana, antara lain
berdasarkan atas analisa ekonomi dan sosial daerah tersebut.

KELOMPOK 4 77
REKAYASA JALAN RAYA II

Di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, analisa lalu lintas yang


dapat menunjang data perencanaan dengan ketelitian yang memadai sukar
dilakukan, karena:
- Kurangnya data yang dibutuhkan
- Sulit memprediksi perkembangan yang akan datang karena belum adanya
rancangan induk di sebagian besar wilayan Indonesia. Hal ini dapat diatasi
dengan melakukan konstruksi bertahap (stage construction) dimana lapis
perkerasan sampai dengan lapisan pondasi atas dilakukan sesuai kebutuhan
umur rencana yang lebih panjang, biasanya 20 tahun, tetapi lapisan
permukaannya dilaksanakan sesuai kebutuhan umur rencama tahap
pertama (5 atau 10 tahun).

Keuntungan menggunakan konstruksi bertahap antara lain:


- Koreksi terhadap perkiraan perkembangan lalu lintas dapat dilakukan pada
tahap kedua.
- Kerusakan setempat, karena pelaksanaan atau keadaan setempat dapat
diperbaiki dan direncanakan kembali.
- Keterbatasan biaya untuk pembuatan tebal perkerasan dapat diatasi
(lapisan permukaan merupakan lapisan dengan biaya besar).

4.1.Volume Lalu Lintas

Jumlah kendaraan yang akan memakai jalan dinyatakan dalam volume


lalu lintas yang didefinisikan sebagai jumlah kemdaraan yang melewati
satu titik pengamatan selama satu satuan waktu. Untuk perencanaan tebal
lapisan perkerasan, vokume lalu lintas dinyatakan dalam kendaraan/hari/2
arah untuk jalan 2 arah tidak terpisah dan kendaraan/hari/1 arah untuk
kendaraan satu arah atau 2 arah terpisah. Data volume lalu lintas dapat
diperoleh dari pos-pos rutin yang ada disekitar lokasi. Jika tidak terdapat
pos-pos rutih di dekat lokasi atau untuk pengecekan data, perhitungan
volume lalu lintas dapat dilakukan secara manual di tempat-tempat yang
dianggap perlu. Perhitungan dapat dilakukan selama 3 x 24 jam atau 3 x 16
jam terus-menerus. Dengan memperhatikan faktor hari, bulan, musim

KELOMPOK 4 78
REKAYASA JALAN RAYA II

dimana perhitungan dilakukan, dapat diperoleh data lalu lintas harian rata-
rata (LHR) yang representatif.
Saat ini Indonesia telah mempunyai pos-pos rutin perhitungan volume
lalu lintas yang merupakan pos yang dipilih sepanjang jaringan halan yang
ada yang dapat dibagi atas 3 (tiga) kelas yaitu :
1. Kelas A, adalah pos yang terletak pada ruas jalan dengan lalu lintas
padat, dimana perhitungannya dilakukan terus-menerus secara
otomatis selama setahun, disamping itu juga dilakukan perhitungan
secara manual selama 7 x 24 jam yang dilakukan setiap hari ke 52.
2. Kelas B, adalah pos yang terletak pada ruas jalan denganlalu lintas
sedang, dimana perhitungannya dilakukan secara manual selama 7 x
24 jam yang dilakukan setiap hari ke 52.
3. Kelas C, adalah pos yang terletak pada ruas jalan dengan lalu lintas
rendah, dimana perhitungannya dilakukan secara manual selama 1 x
24 jam yang dilakukan setiap hari ke 52.

Dari pos-pos tersebut untuk kebutuhan perencanaan tebal lapisan


perkerasan dapat diperoleh data-data sebagai berikut :
- LHR rata-rata.
- Komposisi arus lalu lintas terhadap berbagai kelompok jenis
kendaraan.
- Distribusi arah untuk jalan 2 jalur tanpa median.
Jika pada lokasi jalan yang hendak direncanakan tersebut belum
terdapat pos-pos rutin atau jika dibutuhkan tambahan data, maka pos
perhitungan volume lalu lintas hendaknya dipilih sedemikian rupa
sehingga :
- Arus lalu lintas pada lokasi perhitungan tersebut tidak terganggu oleh
lalu lintas lokal.
- Pos perhitungan terletak pada lokasi yang lurus, sehingga
memudahkan melihat kendaraan yang akan dicatat/dihitung.
- Pos perhitungan jangan terletak di dekat persimpangan.

KELOMPOK 4 79
REKAYASA JALAN RAYA II

4.2.Angka Ekivalen Beban Sumbu

Jenis kendaraan yang memakai jalan beraneka ragam, bervariasi baik


ukuran, berat total, konfigurasi dan beban sumbu, daya, dan sebagainya.
Oleh karena itu volume lalu lintas umumnya dikelompokkan atas beberapa
kelompok yang masing-masing kelompok diwakili oleh satu jenis
kendaraan. Pengelompokan jenis kendaraan untuk perencanaan tebal
perkerasan dapat dilakukan sebagai berikut :
- Mobil penumpang, termasuk didalamnya semua kendaraan dengan
berat total (2 ton).
- Bus
- Truk 2 sumbu
- Truk 3 sumbu
- Truk 5 sumbu
- Semi Trailer.

Konstruksi perkerasan jalan menerima beban lalu lintas yang


dilimpahkan melalui roda roda kendaraan. Besarnya beban yang
dilimpahkan tersebut tergantung dari berat total kendaraan, konfigurasi
sumbu, bidang kontak antara roda dan perkerasan, kecepatan kendaraan,
dan sebagainya. Dengan demikian efek dari masing-masing kendaraan
terhadap kerusakan yang ditimbulkan tidaklah sama. Oleh karena itu perlu
adanya beban standar sehingga semua beban lainnya dapat disetarakan
dengan beban standar tersebut yang merupakan beban sumbu tunggal
beroda ganda seberat 18.000 lbs (8,16 ton).

Gambar 2.16 Sumbu Standar 18.000 lbs(8,16 ton)

KELOMPOK 4 80
REKAYASA JALAN RAYA II

Semua beban kendaraan lain dengan dengan beban sumbu berbeda


diekivalenkan ke beban sumbu standar dengan menggunakan “angka
ekivalen beban sumbu (E)”. Angka ekivalen beban sumbu adalah angka
yang menunjukkan jumlah lintasan dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton
yang akan menyebabkan kerusakan yang sama atau penurunan indeks
permukaan yang sama apabila beban sumbu standar lewat satu kali.
Contoh: E truk =1,2,ini berarti 1 kali lintasan kendaraan truk
mengakibatkan penurunan indeks permukaan yang sama dengan 1,2 kali
lintasan sumbu standar. Secara empiris angka ekivalen ditulis sebagai
berikut :

𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒎𝒃𝒖,(𝒌𝒈) x
E= 𝟖𝟏𝟔𝟎

X merupakan konstanta yang besarnya dipengaruhi oleh :


- Bidang kontak antara ban dengan perkerasan jalan. Luas bidang
kontak ditentukan oleh tekanan ban
- Kelandaian, kendaraan yang berjalan di alan yang mendaki
mempunyai efek yang berbeda dibandingkan dengan kendaraan yang
bergerak di jalan datar.
- Fungsi jalan, kendaraan yang bergerak pada jalan yang
menghubungkan dua kota berkecepatan lebih tinggi dibandingkan
dengan kendaraan yang bergerak di dalam kota. Di dalam kota di
tempat-tempat yang banyak ditemukan persimpangan, kendaraan
bergerak dengan keccepatan rendah dan seringkali berhenti.
- Beban sumbu, kendaraan dengan beban sumbu yang lebih besar akan
mempunyai angka ekivalen lebih besar dari pada kendaraan dengan
beban sumbu yang lebih kecil.
- Kecepatan kendaraan, kendaraan sejenis akan menghasilkan
kerusakan yang berbeda jika kendaraan tersebut bergerak dengan

KELOMPOK 4 81
REKAYASA JALAN RAYA II

keccepatan yang berbeda pula. Kendaraan bergerak dengan kecepatan


rendah akan mempunyai efek lebih cepat merusak jalan.
- Ketebalan lapisan perkerasan, kerusakan yang ditimbulkan oleh
kendaraan pada lapisan perkerasan dengan nilai struktural lebih tinggi
akan lebih kecil dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi pada
lapisan perkerasan dengan nilai struktural lebih rendah.

Nilai X akan bertambah besar dengan semakin jelek/tidak ratanya


permukaan jalan. Indeks permukaan turun mengakibatkan nilai X
bertambah besar. Untuk perencanaan tebal perkerasan, angka
ekivalendapat diasumsikantetap selamaumur rencana dan dipergunakan
angka ekivalen pada kondisi akhir umur rencana (pada keadaan indeks
permukaan akhir umur rencana). Untuk menentukan angka ekivalen beban
sumbu, Bina Marga memberikan rumus sebagai berikut :

𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒎𝒃𝒖 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 (𝒌𝒈) 4


Esumbu tunggal = 𝟖𝟏𝟔𝟎

𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒎𝒃𝒖 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 (𝒌𝒈) 4


Esumbu ganda = 𝟖𝟏𝟔𝟎
x 0.086

Sebagai pembanding diberikan juga angka ekivalen yang digunakan


oleh NAASRA Australia sebagai berikut :

𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒎𝒃𝒖 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 (𝒌𝒈) 4


Esumbu tunggal, roda tunggal = 𝟓𝟒𝟎𝟎

𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒎𝒃𝒖 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 (𝒌𝒈) 4


Esumbu tunggal, roda ganda = 𝟖𝟐𝟎𝟎

𝒃𝒆𝒃𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒎𝒃𝒖 𝒕𝒖𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍 (𝒌𝒈) 4


Esumbu tunggal, roda ganda = 𝟏𝟑𝟔𝟎𝟎

KELOMPOK 4 82
REKAYASA JALAN RAYA II

4.3.Angka Ekivalen Kendaraan

Berat kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui roda


kendaraan yang terletak di ujung-ujung sumbu kendaraan. Setiap jenis
kendaraan mempunyai konfigurasi sumbu yang berbeda-beda. Sumbu
depan merupakan sumbu tunggal roda tunggal, sedangkan sumbu belakang
dapat berupa sumbu tunggal atau sumbu ganda. Dengan demikian setiap
jenis kendaraan akan mempunyai angka ekivalen yang merupakan jumlah
angka ekivalen dari sumbu depan dan sumbu belakang. Beban masing-
masing sumbu dipengaruhi oleh letak titik berat kendaraan, dan bervariasi
sesuai dengan muatan dari kendaraan tersebut. Sebagai contoh truk dengan
berat kosong 4,2 tonmempunyai konfigurasi sumbu depan adalah sumbu
tunggal roda tunggal dan sumbu belakang adalah sumbu tunggal roda
ganda. Berat maksimumtruk = 18,2 ton. Distribusi beban terhadap sumbu
depan 34 % dan belakang sebesar 66 %. Angka ekivalen kendaraan dapat
dihitung sebagai berikut :

Menurut Bina Marga :


Etruk kosong (Etruk) = Esumbu depan + Esumbu belakang
, ( ) 4 , ( ) 4
= +

= 0,0009 + 0,0133
=0,0142

, ( ) 4 , ( ) 4
Etruk maksimal = +

= 0,3307 + 4,6957
= 5,0264

KELOMPOK 4 83
REKAYASA JALAN RAYA II

Menurut NAASRA :

, ( ) 4 , ( ) 4
Etruk kosong = +

= 0,0049 + 0,00131
= 0,0180

, ( ) 4 , ( ) 4
Etruk maksimum = +

= 1,7244 + 4,6047
= 6,3291
Truk tersebut mempunyai angka ekivalen yang berbeda antara
kondisi kosong dan kondisi termuat penuh sehingga mencapai berat
maksimum. Pada perencanaan tebal perkerasan sebaiknya tidak selalu
menggunakan angka ekivalen berdasarkan berat maksimum dan tidak
mungkin pula menggunakan angka ekivalen berdasarkan berat kosong.
Angka ekivalen yang dipergunakan dalam perencanaan adalah angka
ekiyalen berdasarkan berat kendaraan yang diharapkan selama umur
rencana, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut :
- Fungsi jalan. Kendaraan berat yang memakai jalan arteri umumnya
membawa muatan yang lebih berat dari pada jalan lokal.
- Keadaan medan. Jalan yang mendaki mengakibatkan truk tidak
mungkin memuat beban yang lebih berat dibandingkan dengan jalan
pada medan datar.
- Kondisi jembatan. Jembatan-jembatan yang dibangun dengan
kemampuan memikul beban yang terbatas jelas tidak mungkin untuk
memikul beban truk yang melewati batas beban maksimum yang
dapat dipikulnya, walaupun truk tersebut dapat membawa beban yang
lebih besar.
- Aktifitas ekonomi di daerah yang bersangkutan. Jenis dan berat beban
yang diangkut oleh kendaraan berat sangat bergantung dari jenis
kegiatan yang ada di daerah tersebut. Truk didaerah industri

KELOMPOK 4 84
REKAYASA JALAN RAYA II

mengangkut beban yang berbeda jenis dan beratnya dengan di daerah


perkebunan.
- Perkembangan daerah. Beban yang diangkut oleh kendaraan dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan daerah di sekitar lokasi
jalan. Dengan demikian maka sebaiknya angka ekivalen yang
dipergunakan untuk perencanaan adalah angka ekivalen yang
berdasarkan atas data pos timbang atau dari hasil survei timbang yang
dilakukan di daerah lokasi, karena setiap daerah mempunyai angka
ekivalen yang berbeda-beda sehingga sebaiknya dilakukan survei
timbang terlebih dahulu sebelum perencanaan dilakukan.

Survei Timbang
Beban sumbu dipengaruhi oleh konfigurasi sumbu dan muatan
kendaraannya sehingga mungkin saja dua kendaraan yang sama akan
mempunyai beban sumbu yang berbeda akibat perbedaan muatan, dengan
demikian berbeda pula angka ekivalennya. Pada jalan 2 arah mungkin saja
arah yang satu mempunyai beban yang lebih besar dari arah yang lain,
terutama akibat pola penggunaan tanah. Hal ini sering terjadi di daerah
perkebunan, pabrik atau usaha usaha industri lainnya, misalnya truk dari
daerah pabrik baja akan membawa baja, kembalinya akan membawa
barang-barang pecah belah dan konsumsi sehari-hari yang jauh lebih
ringan. Oleh karena itu dalam perencanaan perlu dilakukan penelitian yang
saksama dari variasi beban sumbu, sehingga dapat ditentukan angka
ekivalen perencanaan yang baik yang mewakili angka ekivalen untuk
variasi beban sumbu selama umur rencana. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan survei timbang dan survei volume lalu lintas. Tingkat beban
sumbu kendaraan berat (berat kosong >1500 kg) tidak terlalu cepat
berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka ekivalen yang diperoleh dari
survei timbang dapat dianggap sama selama umur rencana jalan. Jika pada
kondisi tertentu dimana perbedaan tingkat beban sumbu cukup menyolok,
maka angka ekivalen harus dikoreksi selama umur rencana, sama halnya

KELOMPOK 4 85
REKAYASA JALAN RAYA II

dengan faktor pertumbuhan lalu lintas yang berubah-ubah selama masa


pelayanan jalan.
Alat timbang yang biasa digunakan adalah alat timbang portabel yang
mudah dipindah pindah, diletakkan sedemikian rupa sehingga memberikan
permukaan yang rata bagi kendaraan yang lewat di atasnya. Lokasi tempat
penimbangan dan banyaknya kendaraan yang ditimbang ditentukan oleh
volume kendaraan berat yang melewati jalan tersebut. Lokasi tempat
penimbangan dipilih pada tempat yang mudah dilihat oleh kendaraan dan
tidak mengganggu arus lalu lintas. Jenis lokasi survei timbang dan jumlah
sampel yang dibutuhkan sesuai saran yang diberikan oleh TRRL seperti
yang ditunjukkan dalam Tabel berikut.
Tabel 2.13 Jenis Lokasi Survei Timbang dan Jumlah Sampel
Volume Maks Tipe Lokasi Sampel Kendaraan
Kendaraan Berat/jam Penimbangan Berat yang Ditimbang

0-30 Pos timbang C atau D Semua

31-60 Pos timbang A atau B Semua

61-120 Pos timbang A atau B Alternatif

121-180 Pos timbang A atau B 1 dari 3

181-240 Pos timbang A atau B 1 dari 3

Penimbangan dilakukan sebaiknya 7 x 24jam sehingga diperoleh


fluktuasi dari beban sumbu rata-rata. Jika keadaan lokasi tak
memungkinkan lamanya survei dapat dikurangi berdasarkan pertimbangan
setempat tetapi sebaiknya tidak kurang dari 3 x 16 jam. Hasil yang
diperoleh dari survei timbang ini adalah berat roda pada ujung sumbu, dari
berat roda tersebut diperoleh beban sumbu dan dengan menggunakan salah
satu rumus pada pasal 4.2. dapat diperoleh angka ekivalen untuk sumbu
yang bersangkutan.

KELOMPOK 4 86
REKAYASA JALAN RAYA II

Sebagaimana disebutkan di atas bahwasanya lokasi tempat


penimbangan harus dipilih pada tempat yang mudah dilihat oleh
kendaraan, dan tidak mengganggu arus lalu lintas seperti yang ditunjukkan
pada gambar berikut:

Gambar 2.17 Denah Lokasi Pos Timbang A

Gambar 2.18 Denah Lokasi Pos Timbang B

Gambar 2.19 Denah Lokasi Pos Timbang C

KELOMPOK 4 87
REKAYASA JALAN RAYA II

Gambar 2.20 Denah Lokasi Pos Timbang D

Contoh Perhitungan: Dari survei timbang diperoleh beban roda


belakang dari sebuah kendaraan truk seberat 2100 kg. Truk tersebut adalah
truk 2 as dengan jenis sumbu tunggal. Distribusi beban sumbu depan dan
belakang masing-masing sebesar 34 % dan 66 %. Beban sumbu belakang
= 2 x 2100 kg = 4200 kg. Beban sumbu depan=34/66 x 4200 kg=2200 kg,
maka angka ekivalen kendaraan truk :

4 4
E = +

= 0,0005 + 0,0702
= 0,0752

4.4. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas

Jumlah kendaraan yang memakai jalan bertambah dari tahun ke tahun


ke tahun. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lalu lintas adalah
perkembangan daerah, bertambahnya kesejahteraan masyarakat, naiknya
kemampuan membeli kendaraan, dan lain sebagainya. Faktor pertumbuhan
lalu lintas ini dinyatakan dalam persen/tahun.

KELOMPOK 4 88
REKAYASA JALAN RAYA II

4.5. Lintas Ekivalen

Kerusakan perkerasan jalan raya pada umumnya disebabkan oleh


terkumpulnya air di bagian perkerasan jalan, dan karena repetisi dari
lintasan kendaraan. Oleh karena itu perlu ditentukan berapa jumlah repetisi
beban yang akan menggunakan jalan tersebut. Repetisi beban dinyatakan
dalam lintasan sumbu standar yang dikenal sebagai lintas ekivalen yang
dapat dibedakan atas :

a. Lintas ekivalen pada saat jalan tersebut dibuka (Lintas Ekivalen awal
umum rencana = LEP)
b. Lintas ekivalen pada akhir umur rencana adalah bersarnya lintas
ekivalen papda saat jalan tersebut membutuhkan perbaikan seara
struktural (Lintas Ekivalen akhir umur rencana = LEA)
c. Lintas ekivalen selama umur rencana (AE18KSAL), jumlah lintas
ekivalen yang akan melintasi jalan bersangkutan selama masa
pelayanan, dari saat dibuka sampai akhir umur rencana.

Penentuan Besarnya Lintas Ekivalen


Kendaraan-kendaraan melintasi jalan seara berulang pada lajur
jalannya, maka lintas ekivalen yang merupakan beban bagi perkerasan
jalan diperhiungkan hanya untuk satu lajur, yaitu lajur yang tersibuk (lajur
dengan volume tertinggi). Lajur ini disebut lajur rencana. Pada jalan raya
dua lajur dua arah, lajur rencana adalah salah satu lajur dengan volume
kendaraan berat terbanyak, sedangkan pada jalan raya berlajur banyak,
lajur rencana biasanya adalah lajur sebelah tepi dengan lalu lintas yang
lebih lambat dan padat. Lintas ekivalen daptat diperoleh dengan langkah-
langkah berikut ini :
1. Tentukan jumlah kedaraan dalam 1 hari/2 arah/total lajur yang
dibedakan menurut jenis kendaraan. Pada perencanaan tebal
perkerasan, mobil penumpang atau kendaraan ringan (berat kosong <
1500 kg) tidak diperhitungkan. Hal ini sesuai dengan pengaruh beban
kendaraan tersebut yang sangat kecil terhadap perkerasan jalan.

KELOMPOK 4 89
REKAYASA JALAN RAYA II

Bandingkan angka ekivalen mobil penumpang (0,0003) dengan angka


ekivalen truk seberat 6 ton (0,2174).
2. Tentukan berat masing-masing sumbu berdasarkan survei timbang
dari setiap jenis kendaraan berat.
3. Tentukan angka ekivalen dari setiap jenis kendaraan yang merupakan
gabungan angka ekivalen sumbu depan dengan angka ekivalen sumbu
belakang.
4. Tentukan persentase kendaraan yang berada pada lajur rencana yaitu
lajur dengan volume kendaraan berat terbesar.

Menurut Bina Marga, jika ruas jalan kqhbersangkutan tidak memiliki


batas lajur maka jumlah lajur dapat ditentukan dengan berpedoman pada
Tabel 2.14. berikut ini :
Tabel 2.14 Pedoman Penentuan Jumlah Lajur Menurut Bina Marga
Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur
L<5,50m 1 lajur
5,50 m < L < 8,25 m 2 lajur
8,25 m < L < 11,25 m 3 lajur
11,25 m < L < 15,00 m 4 lajur
15,00 m < L < 18,75 m 5 lajur
18,75 m < L < 22,00 m 6 lajur

Persentase kendaraan pada jalur rencana dapat ditentukan dengan


menggunakan keoffisien distribusi kendaraan yang direkomendasikan oleh
Bina Marga seperti tercantum dalam Tabel 2.15.

KELOMPOK 4 90
REKAYASA JALAN RAYA II

Tabel 2.15 Koefisien Distribusi Ke Lajur Rencana (Bina Marga)


Jumlan Kendaraan Ringan* Kendaraan Berat**
Lajur 1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 arah 1,00 1,00 1,00 1,00
2 arah 0,60 0,50 0,70 0,50
1 arah 0,40 0,40 0,50 0,475
2 arah 0,30 0,45
1 lajur 0,25 0,425
2 lajur 0,20 0,40
3 lajur
4 lajur
5 lajur
6 lajur
*berat total < 5 ton, misalnya sedan, pick up
** berat total > 5 ton, misalnya bus, truk, trailer.

Persentase kendaraan pada lajur rencana dapat juga diperoleh dari


survei volume lalu lintas. Khusus untuk jalan tol dimana umumnya
sebagian besar dari kendaraan memakai lajur kiri sedangkan lajur kanan
dipergunakan hanya untuk menyiap/mendahului, maka persentase seperti
tercantum pada Tabel 3.5. tidak dapat dipergunakan. Sebaiknya
dipakai persentase yang diperoleh dari survei volume lalu lintas khusus
untuk jalan tol.
5. Faktor pertumbuhan lalu lintas yang diperoleh dari hasil analisa data
lalu lintas, perkembangan penduduk, pendapatan perkapita, rancangan
induk daerah, dan lain-lain.
6. Lintas Ekivalen pada saat jalan tersebut dibuka (LEP), diperoleh dari:

KELOMPOK 4 91
REKAYASA JALAN RAYA II

LEP = Ai x Ei x Ccix (1+a)n’

Dimana :
Ai : umlah kendaraan untuk 1 jenis kendaraan, dinyatakan dalam
kendaraan/hari/2 arah untuk jalan tanpa median dan
kendaraan/hari/1 arah untuk kendaraan yang dilengkapi dengan
median.
Ei : Angka ekivalen beban sumbu unuk satu jenis kendaraan.
Ci : koefisien distribusi kendaraan pada lajur rencana
a : Faktor pertumbuhan lalu lintas tahunan dari survei lalu lintas
dilakukan sampai saat jalan tersebut dibuka.
n’ : jumlah tahun dari saat diadakan pengamatan sampai jalan tersebut
dibuka.

7. Lintas Ekivalen pada akhir umur rencana (LEA), diperoleh dari :


LEA = LEP (1+r)n
Dimana :
LEP = lintas Ekivalen Permulaan, yaitu lintas ekivalen pada saat
jalan baru dibuka.
r = faktor pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana.
n = Umur rencana jalan.

8. Lintas Ekivalen selama umur rencana (AE18KSAL) = Accumulative


Ekivalen 18 Kips Single Acle Load) diperoleh dari :
AE18KSAL = 365 x LEP x N

Dimana :
AE18KSAL = Lintas Ekivalen selama umur rencana.
365 = jumlah hari dalam setahun
LEP = Lintas ekivalen awal umur renana untuk setiap
jenis kendaraan keuali kendaraan ringan

KELOMPOK 4 92
REKAYASA JALAN RAYA II

N = faktor umur rencana yang sudah disesuaikan dengan perkembangan lalu


lintas. Faktor ini merupakan faktor pengali yang diperoleh dari penjumlahan
harga rata-rata setiap tahun.

Besarnya nilai N dapat dilihat pada Tbel 2.16. berikut ini :


Tabel 2.16 Nilai N Untuk Perhitungan AE18KSAL
Umur Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas
Rencana 2% 4% 5% 6% 8% 10%
(tahun)
1 1,01 1,02 1,02 1,03 1,04 1,05
2 2,04 2,08 2,10 2,12 2,16 2,21
3 3,09 3,18 3,23 3,30 3,38 3,48
4 4,16 4,33 4,42 4,51 4,69 4,87
5 5,25 5,53 5,66 5,80 6,10 6,41
6 6,37 6,77 6,97 7,18 7,63 8,10
7 7,51 8,06 8,35 8,65 9,28 9,96
8 8,70 9,51 9,62 10,20 11,05 12,00
9 9,85 10,79 11,30 11,84 12,99 14,26
10 11,05 12,90 12,90 13,60 15,05 16,73
15 17,45 22,15 20,25 23,90 28,30 33,36
20 24,55 33,90 30,40 37,95 47,70 60,20

KELOMPOK 4 93
REKAYASA JALAN RAYA II

5. SIFAT TANAH DASAR

Subgrade atau lapisan tanah dasar merupakan lapisan tanah dimana di


atasnya diletakkan lapisan material yang lebih baik. Sifat tanah dasar ini
mempengaruhi ketahanan lapisan di atasnya dan mutu jalan secara
keseluruhan. Banyak metode yang dipakai untuk menentukan daya dukung
tanah dasar, khususnya di Indonesia daya dukung tanah dasar untuk kebutuhan
perencanaan tebal perkerasan ditentukan dengan menggunakan pemeriksaan
CBR (California Bearing Ratio) yang diperoleh dari hasil pemeriksaan contoh
tanah yang telah disiapkan di laboratorium atau langsung di lapangan.
Sebelum team lapangan mulai mengambil contoh tanah perlu diadakan
serangkaian penelitian oleh team ahli yang dapat memutuskan berapa
perkiraan ketinggian elevasi tanah dasar rencana, sebagai berikut :

- Jika badan jalan terletak di atas tanah timbunan dimana tinggi tanah
timbunan lebih besar dari 1 meter, maka contoh tanah untuk pemeriksaan
CBR cukup diambil dari rencana bahan timbunan. Tetapi jika tinggi tanah
timbunan lebih kecil dari 1 meter, maka contoh tanah harus diambil dari
contoh tanah bahan timbunan dan juga dari contoh tanah asli pada lokasi
rencana jalan.
- Jika badan jalan terletak di atas tanah galian, perlu diketahui terlebih
dahulu kedalaman galian dari muka tanah asli sehingga dapat dipastikan
apakah pembuatan sumur uji (test-pit) sampai kedalaman pengambilan
contoh tanah dapat dilakukan atau nilai daya dukung tanah cukup
diperoleh dari perkiraan secara empiris dengan menggunakan hasil analisa
saringan dan pemeriksaan batas-batas plastis dari contoh tanah yang
diperoleh dengan pemboran.
- Jika badan jalan terletak hampir sama dengan muka tanah asli,
pengambilan contoh tanah dilakukan di sepanjang trase rencana. Lokasi
pengambilan contoh dilakukan dari jenis tanah di sepanjang jalan. Interval
1 km dapat dipergunakan sebagai guidence jika terletak pada jenis tanah
yang sama. Pengambilan contoh tanah tambahan harus dilakukan pada

KELOMPOK 4 94
REKAYASA JALAN RAYA II

setiap pergantian jenis tanah atau kondisi lingkungan dan lokasi yang
diragukan keadaan tanahnya.

5.1. Nilai CBR pada Satu Titik Pengamatan

Seringkali jenis tanah dasar itu berbeda-beda sehubungan dengan


perubahan kedalaman pada satu titik pengamatan. Untuk itu perlu
ditentukan nilai CBR yang mewakili titik tersebut. Japan Road Association
merekomendasikan rumus sebagai berikut:

𝟑 𝟑
𝒉𝟏 √𝑪𝑩𝑹𝟏 𝒉𝒏 √𝑪𝑩𝑹𝟏 3
CBR titik pengamatan = [ 𝟏𝟎𝟎
]

5.2. CBR Segmen jalan

Jalan dalam arah membujur cukup panjang dibandingkan dengan jalan


dalam arah melintang yang mungkin saja melintasi jenis tanah, keadaan
medan yang bervariasi, kekuatan tanah dasar yang bervariasi antara niali
yang baik dan jelek.Dengan demikian tidaklah ekonomis jika perencanaan
tebal lapisan perkerasan jalan berdasarkan nilai yang terjelek atau nilai
terbesar saja. Sebaiknya panjang jalan tersebut dibagi atas segmen-segmen
jalan dimana setiap segmen mempunyai daya dukung yang hampir sama.
Jadi segmen jalan adalah bagian dari panjang jalan yang mempunyai daya
dukung tanah, sifat tanah, dan keadaan lingkungan yang relatif sama.
Setiap segmen mempunyai satu nilai CBR yang mewakili daya dukung
tanah dasar dan dipergunakan untuk perencanaan tebal lapisan perkerasan
dari segmen tersebut. Berikut ini adalah faktor-faktor yang harus
diperhatikan pada penggunaan CBR (CBR Rencana):
1. Pada perencanaan jalan baru dimana tanah dasarnya adalah tanh
galian, perencanaan tebal perkerasan menggunakan CBR yang
diperoleh secara empiris dari hasil contoh tanah yang diambil dengan
menggunakan bor tanah. Pengontrolan CBR yang diperoleh pada saat

KELOMPOK 4 95
REKAYASA JALAN RAYA II

pelaksanaan dan hubungannya dengan tebal perkerasan rencana di


atasnya harus diamati dengan teliti.
2. Pada perencanaan jalan baru dimana tanah dasarnya merupakan tanah
timbunan, perencanaan tebal perkerasan menggunakan CBR yang
diperoleh dari contoh tanah bakal tanah timbunan (borrow material).
Kontrol yang teliti dari hasil selama pelaksanaan dan perbandingan
dengan nilai rencana harus selalu dilakukan.
3. Pada lokasi rencana jalan yang mempunyai intensitas hujan yang
tinggi, perhatian terhadap drainase harus ditingkatkan.
4. Banyaknya data dan ketelitian data yang diperoleh untuk suatu lokasi
jalan mempengaruhi hasil perencanaan. Hasil perencanaan dapat
kurang memenuhi ketebalan lapisan perkerasan yang dibutuhkan
(under design) sehingga mengakibatkan biaya rehabilitasi dan
pemeliharaan besar, atau terlalu tebal (over design) yang
mengakibatkan initial cost besar,
5. Pada segmen dimana terdapat daerah yang lemah dengan nilai CBR
kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata CBR segmen, sebaiknya
ditentukan dengan terlebih dahulu diadakan evaluasi apakah nilai
CBR yang rendah tersebut akan diperhitungkan atau diasumsikan
sama dengan nilai terkecil kedua tetapi dengan peryimbangan kondisi
tanah di daerah tersebut akan diperbaiki.

6. KONDISI LINGKUNGAN

Kondisi lingkungan dimana lokasi jalan tersebut berada, mempengaruhi


lapisan perkerasan jalan dan tanah dasar antara lain :
- Sifat teknis konstruksi perkerasan dan sifat komponen material lapisan
perkerasan.
- Pelapukan bahan material.
- Penurunan tingkat kenyamanan dari perkerasan jalan.

KELOMPOK 4 96
REKAYASA JALAN RAYA II

Faktor utama yang mempengaruhi konstruksi perkerasan jalan adalah air


yang berasal dari hujan dan pengaruh perubahan temperatur akibat perubahan
cuaca.

6.1. Air dan Tanah Dasar (Subgrade)

Adanya aliran air di sekitarbadan jalan dapat mengakibatkan rembesan air


ke badan jalan, yang dapat menyebabkan :
- Ikatan antara butir-butir agregat dan aspal lepas, sehingga lapisan
perkerasan tidak lagi kedap air dan rusak.
- Perubahan kadar air mempengaruhi sifat daya dukung tanah dasar.

Aliran air di sekitar lapisan perkerasan dapat berasal dari :


- Seepage dari tempat yang lebih tinggi di sekitar konstruksi perkerasan.
Hal ini terjadi terutama pada badan jalan tanah galian.
- Fluktuasi ketinggian muka air tanah.
- Infiltrasi air melalui permukaan perkerasan atau bahu jalan.
- Rembesan air dari tempat yang lebih basah ke tempat yang lebih kering.

Besarnya intensitas aliran air ini tergantung dari :


- Presipitasi (hujan) dan intensitas hujan sehubungan dengan iklim
setempat. Air hujan akan jatuh ke badan jalan dan masuk ke lapisan tanah
dasar melalui bahu jalan. Aliran air secara horizontal ke lapisan
perkerasan terjadi jika kadar air tinggi di bahu jalan dan rendah di bawah
lapisan perkerasan jalan. Hal ini dapat diatasi dengan membuat bahu jalan
dari tanah berbutir kasar.
- Sifat kapilaritas dari tanah dasar. Jika tanah dasar mempunyai kadar air
rendah dan di bawahnya terdapat air tanah, maka air dapat merembes ke
atas akibat adanya gaya kapiler. Besarnya kemampuan ini ditentukan oleh
jenis tanah dasar itu sendiri.

KELOMPOK 4 97
REKAYASA JALAN RAYA II

Intensitas aliran air juga ditentukan oleh kondisi drainase di sekitar badan
jalan tersebut. Aliran air pada badan jalan kurang mempengaruhi kadar air
tanah dasar jika drainase jalan tersebut baik. Besar kecilnya bangunan drainase
yang dibuat tergantung dari :
- Intensitas hujan, semakin tinggi intensitas hujan di daerah tersebut
semakin banyak air yang harus dialirkan, maka semakin besar kebutuhan
akan drainase.
- Keadaan medan dan ketinggian muka air tanah dari elevasi tanah dasar.

Gambar 2.21 Pergerakan Air di Badan jalan

Tanah dasar pada tanah galian umumnya mempunyai muka air tanah yang
tinggi, sehingga harus dilengkapi dengan bangunan drainase bawah tanah
yang baik. Dengan demikian kondisi yang terbaikyaitu dapat memelihara
kadar airdalam keadaan seimbang. Hal ini dapat dilakukan dengan :
- Membuat drainase di tempat yang diperlukan
- Bahu jalan dipilih dari material yang cepat mengalirkan air, di tempat
tertentu dibuat dari lapisan kedap air.
- Tanah dasar dipadatkan pada keadaan kadar air optimum sehingga dicapai
kepadatan yang baik.

KELOMPOK 4 98
REKAYASA JALAN RAYA II

- Menggunakan tanah dasar yang distabilisasi.


- Menggunakan lapisan permukaan yang kedap air.
- Lapisan perkerasan dibuat lebih lebar dari lebar yang dibutuhkan.

6.2. Perubahan Temperatur

Perubahan temperatur di Indonesia dapat terjadi karena perubahan


musimdari musim penghujan ke musim kemarau (atau sebaliknya) atau karena
pergantian siang dan malam, tetapi perubahan yang terjadi tidak sebesar di
daerah dengan 4 musim.

7. SIFAT MATERIAL LAPISAN PERKERASAN

Perencanaan tebal lapisan perkerasan juga ditentukan dari jenis lapisan


perkerasan. Hal ini berkaitan dengan tersedianya material di lokasi dan mutu
material tersebut.

8. BENTUK GEOMETRIK LAPISAN PERKERASAN

Bentuk geometrik lapisan perkerasan jalan mempengaruhi cepat atau


lambatnya aliran air meniggalkan lapisan perkerasan jalan. Pada umumnya
bentuk geometrik perkerasan dapat dibedakan atas :

 Konstruksi Berbentuk Kotak (boxed construction)

Gambar 2.22 Lapisan Perkerasan berbentuk kotak

Lapisan perkerasan diletakkan di dalam lapisan tanah dasar. Kerugian dari


jenis perkerasan ini adalah air yang jatuh di atas permukaan perkerasan dan

KELOMPOK 4 99
REKAYASA JALAN RAYA II

masuk melalui lubang lubang pada perkerasan, lambat keluar karena tertahan
oleh material tanah dasar.

 Konstruksi Penuh Sebadan jalan (Full Width Construction)

Gambar 2.23 Lapisan Perkerasan Selebar Badan Jalan

Lapisan perkerasan diletakkan di atas tanah dasar pada seluruh badan


jalan. Keuntungannya air yang jatuh dapat segera dialirkan keluar lapisan
perkerasan.

KELOMPOK 4 100
REKAYASA JALAN RAYA II

2.5. LANGKAH-LANGKAH PERENCANAAN TEBAL LAPISAN


PERKERASAN LENTUR

KELOMPOK 4 101
REKAYASA JALAN RAYA II

BAB III – PEMBAHASAN

3.1. DATA PERKERASAN LENTUR JALAN RAYA

3.2. LANGKAH-LANGKAH PERHITUNGAN

3.3. PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR METODE


ANALISA KOMPONEN

KELOMPOK 4 102
REKAYASA JALAN RAYA II

BAB IV – PENUTUP

4.1. KESIMPULAN
.

4.2. SARAN
Beberapa saran yang dapat diambil yaitu :
 .

BAB V - DAFTAR PUSTAKA

KELOMPOK 4 103

Anda mungkin juga menyukai