Anda di halaman 1dari 3

Cara Bertaubat dari Harta Haram

Oleh: Khairullah Zain *)

Bagaimana cara bertaubat dari harta haram, penting diketahui dan dikaji oleh setiap muslim dan
muslimah, terutama kita yang hidup di akhir zaman ini. Sebab, hidup di akhir zaman sangat
jarang manusia bisa selamat dari tersentuh harta yang haram alias tidak halal untuk digunakan.

Maksud harta haram di sini adalah harta yang didapatkan dari transaksi yang tidak dibenarkan
oleh Syari'at Islam. Sehingga, harta yang didapatkan tersebut haram untuk digunakan.

Status keharaman harta tipe ini bukan 'dzati' alias haram secara dzat atau materi hartanya, tapi
'aridhi' alias mendatang, akibat dari cara mendapatkannya yang tidak dibenarkan oleh syari'at.
Misal harta haram tipe ini adalah harta hasil curian, rampasan, tipu menipu, korupsi, dan
semacamnya.

Nah, bagaimana cara bertaubat dari harta haram ini? As Sayyid Abdurrahman Ba 'Alawi dalam
kitab Bughyah Al Mustarsyidin menjelaskan, mengutip fatwa Al Imam Al Habib Abdullah bin
Husein bin Abdullah Bal Faqih dan Al Allamah As Syeikh Muhammad bin Abi Bakr Al Asykhar
Al Yamani:

‫ فإن لم يعرف مالكه ولم ييأس‬، ‫ فطريقه أن يرد جميع ذلك على أربابه على الفور‬، ‫وقعت في يده أموال حرام ومظالم وأراد التوبة منها‬
‫ ولم يأثم بإمساكه إذا لم يجد‬، ‫ ويقصد رده عليه مهما[ وجده أو وارثه‬، ً ‫ ويعرفه ندبا‬، ‫من معرفته وجب عليه أن يتعرفه ويجتهد في ذلك‬
.‫قاضيا ً أمينا ً كما هو الغالب في هذه األزمنة اهـ‬

Ada harta haram atau hasil kezaliman pada diri seseorang dan ia ingin bertaubat darinya, maka
jalannya adalah dengan mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya dengan segera. Bila
ia tidak kenal siapa pemiliknya, dan ia masih berharap bisa mengenalinya, maka wajib untuk
berusaha mengenal siapa pemiliknya dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Dan
mengenalkan padanya hukumnya sunnah. Dan ia tidak berdosa menahan harta tersebut bila
.tidak menemukan seorang hakim yang terpercaya sebagaimana umumnya terjadi di zaman ini

‫ وتركة‬، ‫ كوديعة ومغصوب أيس من معرفة أربابهما‬، ‫وإن أيس من معرفة مالكه بأن يبعد عادة وجوده صار من جملة أموال بيت المال‬
‫ فإن كان من هو تحت‬، ‫ كبناء مسجد حيث لم يكن أعم منه‬، ‫ وحينئذ يصرف الكل لمصالح المسلمين األهم فاألهم‬، ‫من ال يعرف له وارث‬
‫يده فقيراً أخذ قدر حاجته لنفسه وعياله الفقراء كما في التحفة وغيرها‬

Dan bila tidak bisa diharapkan mengenal pemiliknya, dengan -misalnya- keberadaan pemiliknya
jauh (dan tidak bisa ditemukan), maka jadilah harta tersebut termasuk harta Baitul Mal (kas
kaum Muslimin). Sebagaimana harta titipan dan harta rampasan yang tidak bisa diharapkan lagi
mengenali siapa pemiliknya, dan harta peninggalan orang yang tidak dikenal siapa pewarisnya.
Dalam kondisi seperti itu, maka harta digunakan untuk kepentingan kemaslahatan kaum
Muslimin sesuai prioritasnya, mana yang lebih penting, seperti untuk membina masjid sekira
tidak ada keperluan yang lebih umum dari itu. Bila orang, yang harta tersebut di bawah
tanggungjawabnya, dalam kondisi fakir, maka ia boleh mengambil sekedar keperluannya, dan
keperluan tanggungannya yang juga fakir. Ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab At Tuhfah
dan lainnya.

Bagaimana bila harta haram tersebut sudah terlanjur digunakan dan tidak ada kemampuan
untuk menggantinya?

Al Imam Al Ghazali dalam Minhaj Al 'Abidin memberikan solusi berikut:

‫أن الذنوب التى بين العباد إما فى المال ويجب رده عند المكنة فإن عجز لفقر استحله فإن عجز عن استحالله لغيبته أو موته وأمكن‬
.‫التصدق عنه فعله وإال فليكثر من الحسنات ويرجع إلى هللا ويتضرع إليه فى أن يرضيه عنه يوم القيامة‬

Bahwa dosa yang terjadi antar sesama hamba Allah terkadang pada masalah harta. Maka wajib
mengembalikan harta tersebut ketika mungkin. Bila tidak mungkin, misal karena kondisi fakir,
maka wajib meminta halal. Bila tidak bisa meminta halal karena ketiadaan pemiliknya atau ia
telah wafat, dan memungkinkan baginya untuk bersedekah (dengan atas nama pemilik harta
tersebut), maka hendaklah ia melakukannya. Bila tidak mampu juga, maka hendaklah ia
memperbanyak berbuat kebaikan dan menyerahkan urusannya kepada Allah dan merendahkan
diri kepadaNya berharap Allah membuat pemiliknya merelakannya di hari kiamat kelak.

Dari penjelasan beberapa ulama diatas kita simpulkan bahwa bila seseorang ingin bertaubat
dari harta yang didapatkan secara haram hendaklah ia berusaha mengembalikannya dengan
berusaha mencari pemiliknya. Bila sudah pemiliknya wafat maka serahkan kepada ahli
warisnya. Ini bila hartanya masih ada. Bila tidak ada alias sudah terlanjur habis digunakan,
maka yang dikembalikan adalah nilainya atau bila tidak mampu mengakui dan meminta maaf
atasnya.

Tidak boleh langsung disedekahkan selama pemiliknya masih mungkin untuk ditemukan. Hal ini
sebagai jawaban Syekh Ibn Hajar dalam Al Fayawa Al Kubra:

‫وسئل عن مغصوب تحقق جهل مالكه هل هو حرام محض أو شبهة وهل يحل التصرف فيه كاللقطة أو كغيرها؟ فأجاب[ بقوله ال يحل‬
‫التصرف فيه ما دام مالكه مرجو الوجود‬

Dan Syekh Ibn Hajar ditanya tentang harta rampasan yang jelas tidak tidak diketahuisiapa
pemiliknya, apakah haram ataukah syubhat? Apakah menggunakannya, sebagaimana harta
temuan, ataukah seperti selain harta temuan? Maka beliau -rahimahullah- menjawab dengan
katanya: Tidak halal menggunakannya selama pemiliknya masih diharapkan adanya.

Namun, bila sudah tidak mungkin lagi menemukan pemiliknya atau tidak ada ahli warisnya,
hendaklah harta tersebut atau nilainya diserahkan ke Baitul Mal atau disedekahkan kepada fakir
miskin atas nama pemilik harta. Dan bila hartanya sudah tidak ada dan tidak punya harta untuk
mengganti nilainya, maka hendaklah memperbanyak berbuat kebaikan, seraya memasrahkan
urusannya kepada Allah Ta'ala.
Wallahu A'lam.

*) Tulisan telah dimuat di www.banua.co

Anda mungkin juga menyukai