1 Hukum Perdagangan Internasional Prinsip-Prinsip Dan Konsepsi Dasar
1 Hukum Perdagangan Internasional Prinsip-Prinsip Dan Konsepsi Dasar
" "
# " " $
% " " #
%
) * #
+
* #
, #
#
"
-$ .//0
" !!+
iii
Daftar Isi
A. Pengantar
B. Sumber Hukum Perdagangan Internasional
1. Perjanjian Internasional
2. Hukum Kebiasaan Internasional
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum
4. Putusan Badan Pengadilan dan Doktrin
5. Kontrak
6. Hukum Nasional
C. Penutup
A. Pengantar
B. Para Pihak dalam Sengketa
C. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
4. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
D. Forum Penyelesaian Sengketa
1. Negosiasi
2. Mediasi
3. Konsiliasi
4. Arbitrase
5. Pengadilan (Nasional dan Internasional)
E. Hukum Yang Berlaku
1. Pengantar
2. Kebebasan Para Pihak
F. Pelaksaan Putusan Sengketa Dagang
1. Pengantar
1. Pelaksanaan Putusan APS
2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing)
3. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
G. Penutup
BAB I
PENGANTAR HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar dan Definisi
Hukum perdagangan internasional adalah bidang hukum yang
berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas.
Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat
mencakup banyak jenisnya. Dari bentuknya yang sederhana, yaitu
dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk
pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau
transaksi dagang yang kompleks.
Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional
ini sedikit banyak disebabkan oleh adanya jasa teknologi
(khususnya teknologi informasi). Sehingga, transaksi-transaksi
dagang semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan
lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan pesatnya
teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui
atau mengenal siapa rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan
bumi lain. Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi
yang disebut dengan e-commerce.
Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subyek
hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang
internasional. Yang menjadi fakta adalah bahwa perdagangan
internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk
menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti
dalam sejarah perkembangan dunia.
Besar dan jayanya negara-negara di dunia tidak terlepas
dari keberhasilan dan aktivitas negara-negara tersebut di dalam
perdagangan internasional. Sebagai satu contoh, kejayaan Cina
masa lalu tidak terlepas dari kebijakan dagang yang terkenal
dengan nama ‘Silk Route’ atau jalan suteranya. Silk Route tidak
lain adalah rute-rute perjalanan yang ditempuh oleh saudagar-
saudagar Cina untuk berdagang dengan bangsa-bangsa lain di
1
dunia.
Setelah kejayaan Cina, menyusul negara-negara lain seperti
Spanyol dengan Spanish Conquistadors-nya, Inggris dengan The
British Empire-nya (beserta perusahaan multinasionalnya yang
pertama di dunia, yakni ‘the East-India Company’, Belanda dengan
VOC-nya, dll. Kejayaan negara-negara ini tidak terlepas dari
kebijakan pemerintahnya untuk melakukan transaksi dagang
internasional.
Kesadaran untuk melakukan transaksi dagang internasional
ini juga telah cukup lama disadari oleh para pelaku pedagang di
tanah air sejak. Adalah Amanna Gappa, seorang kepala suku Bugis
yang sadar akan pentingnya dagang (dan pelayaran) bagi
kesejahteraan sukunya. Keunggulan suku bugis dalam berlayar
dengan hanya menggunakan perahu-perahu bugis yang kecil telah
mengarungi lautan luas hingga ke Malaya (sekarang menjadi wilayah
Singapura dan Malaysia).2
Yang menjadi esensi untuk bertransaksi dagang ini adalah
dasar filosofinya. Telah dikemukakan bahwa berdagang ini adalah
1
Jonathan Reuvid, (ed.), The Strategic Guide to International Trade,
London: Kogan Page, 1997, para. xv.
2
PH.O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, Ujung
Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977, hlm. 154. Di
Singapura, misalnya, ada suatu daerah yang khusus untuk menghormati
suku Bugis ini karena keunggulan mereka sebagai pelaut dan pedagang.
Pemerintah Singapura memberi nama pada suatu daerah di tengah Singapura
dengan nama Bugis (di wilayah Bugis Junction). Di Bugis Junction ini
kita dapat melihat replika perahu kecil suku Bugis yang berlayar ke
Malaka (sekarang Singapura). Bahkan pernah ada data yang mengungkapkan
bahwa perahu Bugis telah juga mengunjungi wilayah utara benua
Australia. Prestasi ini telah membuat kagum banyak bangsa di dunia.
Bahkan banyak ahli hukum dari berbagai dunia, khususnya Inggris dan
Belanda, yang mempelajari hukum-hukum bangsa Bugis ini yang disalin
oleh Amanna Gappa. Mereka mempelajari hukum-hukum pelayaran dan hukum
dagang bangsa Bugis untuk kemungkinan diterapkan pada keadaan dewasa
ini. Menurut hemat penulis, sesungguhnya, apa yang diperbuat oleh ahli-
ahli hukum Belanda dan ahli hukum Inggris tersebut merupakan pukulan
telak pada ahli hukum di tanah air. Kenapa justru ahli hukum asing yang
mempelajari dan menggali hukum dagang (internasional) Bugis, bukannya
bangsa kita sendiri.
suatu “kebebasan fundamental” (fundamental freedom).3 Dengan
kebebasan ini siapa saja harus memiliki kebebasan untuk
berdagang. Kebebasan ini tidak boleh dibatasi oleh adanya
perbedaan agama, suku, kepercayaan, politik, sistem hukum, dll.
Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter of Economic
Rights and Duties of States) juga mengakui bahwa setiap negara
memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional. (“Every
State has the right to engage in international trade”) (Pasal 4).
3
Lihat buku penulis, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu
Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002, Bab I.
1. Definisi
a. Definisi Schmitthoff
Definisi pertama adalah definisi yang dikeluarkan oleh
4
Sekretaris Jenderal PBB dalam laporannya tahun 1966. Definisi
ini sebenarnya adalah definisi buatan seorang guru besar ternama
dalam hukum dagang internasional dari City of London College,
yaitu Professor Clive M. Schmitthoff. Sehingga dapat dikatakan
bahwa definisi yang tercakup dalam Laporan Sekretaris Jenderal
tersebut tidak lain adalah laporan Schmitthoff.
Schmitthoff mendefinisikan hukum perdagangan internasional
sebagai: “... the body of rules governing commercial relationship
of a private law nature involving different nations”.5
Dari definisi tersebut dapat tampak unsur-unsur berikut:
1) Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan
yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya
hukum perdata,
2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi
yang berbeda negara.
Definisi di atas menunjukkan dengan jelas bahwa aturan-
aturan tersebut bersifat komersial. Artinya, Schmitthoff dengan
tegas membedakan antara hukum perdata (“private law nature”) dan
hukum publik.
Dalam definisinya itu, Schmitthoff menegaskan bahwa ruang
lingkup bidang hukum ini tidak termasuk hubungan-hubungan
komersial internasional dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam
4
United Nations, Progressive Development of the Law of International
Trade: Report of the Secretary General of the United Nations 1966, New
York: United Nations, 1966, hlm. 1. (Selanjutnya disebut Secreatry
General Report).
5
Secretary General Report, op.cit., para. 10.
bidang hukum publik ini yakni aturan-aturan yang mengatur tingkah
laku atau perilaku negara-negara dalam mengatur perilaku
6
perdagangan yang mempengaruhi wilayahnya.
Dengan kata lain, Schmitthoff menegaskan wilayah hukum
perdagangan internasional tidak termasuk atau terlepas dari
aturan-aturan hukum internasional publik yang mengatur hubungan-
hubungan komersial. Misalnya, aturan-aturan hukum internasional
yang mengatur hubungan dagang dalam kerangka GATT atau aturan-
aturan yang mengatur blok-blok perdagangan regional, aturan-
aturan yang mengatur komoditi, dsb.7 Dalam salah satu tulisannya
Schmitthoff dengan jelas menegaskan sebagai berikut:
“First, the modern law of international trade is not a
branch of international law; it does not form part of the
jus gentium, but it is applied in every national
jurisdiction by tolerance of the national sovereign whose
public policy may override or qualify a particular rule of
that law.”8
6
Secretary General Report, op.cit., para. 11.
7
Secretary General Report, op.cit., para. 11.
8
Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”
(1968) JBL 109 (pendapat Schmitthoff ini juga adalah pendapat sarjana
terkemuka hukum perdagangan internasional Profesor Aleksander
Goldštajn). Menurut hemat penulis salah satu kelemahan dari definisi
ini adalah sulitnya diterima bahwa berlakunya hukum perdagangan
internasional ke dalam jurisdiksi nasional negara-negara di dunia
adalah berdasarkan apa yang beliau sebut “tolerance of the national
sovereign.” Dalam hukum, sulit diterima adanya toleransi ini. Yang ada
adalah penundukan diri baik secara diam-diam maupun tegas seperti dalam
ratifikasi atau aksesi suatu perjanjian internasional (dalam hal ini
hukum perdagangan internasional) oleh suatu negara. Seperti kita
ketahui, masalah ratifikasi atau aksesi terhadap suatu perjanjian
internasional (tidak terkecuali perjanjian di bidang hukum perdagangan
2) Surat-surat berharga
3) Hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai
perdagangan internasional
4) Asuransi
5) Pengangkutan melalui darat dan kereta api, laut, udara,
perairan pedalaman
6) Hak milik industri
7) Arbitrase komersial.9
12
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
13
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1. Selengkapanya Rafiqul Islam menulis
sebagai berikut: "international trade and finance law is a body of
rules, principles, norms and their associated payments systems, with a
controlling impact on the commercial behaviour of the trading
entities").
14
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
involved in the exchange of goods, services and technology
15
between nations.’
Definisi di atas sederhana. Ia tidak menyebut secara jelas
bidang hukum ini jatuh ke bidang hukum yang mana: hukum privat,
publik, atau hukum internasional. Sanson hanya menyebut bidang
hukum ini adalah the regulation of the conduct of parties. Para
pihaknya pun dibuat samar, hanya disebut parties. Sedangkan obyek
kajiannya, Sanson agak jelas: yaitu jual beli barang, jasa dan
teknologi.
Meskipun memberi definisi yang mengambang tersebut, Sanson
membagi hukum perdagangan internasional ini ke dalam dua bagian
utama, yaitu hukum perdagangan internasional publik (public
interntional trade law) dan hukum perdagangan internasional
privat (private international trade law).16
Yang pertama, public international trade law adalah hukum
yang mengatur perilaku dagang antar negara. Sedangkan yang kedua,
private international trade law adalah hukum yang mengatur
perilaku dagang secara orang perorangan (private traders) di
17
negara-negara yang berbeda.
Meskipun ada pembedaan ini, namun para sarjana mengakui
bahwa batas-batas kedua istilah ini pun sangat sulit untuk dibuat
garis batasnya. Sanson menyatakan bahwa ‘the modern development
is that the distinction between publik and privat international
trade law has less meaning.’18
15
M. Sanson, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish,
2002, hlm. 3.
16
M. Sanson, op.cit., hlm. 4. Lihat pula pendekatan Rafiqul Islam,
supra, dan Schmitthoff, supra..
17
M. Sanson, op.cit., hlm. 4.
18
M. Sanson, op.cit., hlm. 4. Sanson dengan benar memberi contoh
tentang hukum WTO. Perjanjian WTO adalah bidang hukum perdagangan
internasional publik. Tetapi aturan hukumnya terjewantahkan ke dalam
bidang-bidang privat, misalnya saja dalam hal tarif, dumping,
perpajakan. (Ibid).
Mirip dengan Sanson, Rafiqul Islam melihat hubungan atau
keterkaitan ini juga sulit untuk tidak bersentuhan dan saling
mempengaruhi. Beliau menulis:
‘The effect of public international law on private
transactons is indirect but can be very profound in certain
aspects. Some such aspects of private transactions will be
considered merely because public international law has
shaped, or is in the process of reshaping, their legal
order.’19
19
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
20
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm). Bandingkan dengan pendapat Reuvid, bahwa istilah
‘Perdagangan internasional’ mencakup bidang dan teknik dagang yang
sangat luas (‘internasional trade covers a bewildering mumber of
activities and procedures’ (Jonathan Reuvid, (ed.), hlm. xv).)
misalnya saja adalah aturan-aturan WTO, perjanjian
multilateral mengenai perdagnagan mengenai barang seperti
GATT, perjanjian mengenai perdagangan di bidang jasa
(GATS/WTO, dan perjanjia mengenai aspek-aspek yang terkait
dengan HAKI (TRIPS).21
Dalam lingkup definisi ini diakui bahwa negara bukanlah
semata-mata pelaku utama dalam bidang perdagangan
internasional. Negara lebih berperan sebagai regulator
(pengatur). Karena itu hukum perdagangan internasional juga
mencakup aturan-aturan internasional mengenai transaksi-
transaksi nyata yang bersifat internasional dari para
pedagang (international law merchants). Karenanya,
international law merchants ini adalah bagian dari hukum
22
perdagangan internasional.
(3) Hukum perdagangan internasional terdiri dari aturan-aturan
hukum nasional yang memiliki atau pengaruh langsung terhadap
perdagangan internasional secara umum. Karena sifat aturan-
aturan hukum nasional tersebut, maka atura-aturan tersebut
merupakan bagian dari hukum perdagangan internasional. contoh
dari aturan hukum nasional seperti itu adalah perundang-
undangan yang ekstrateritorial (the extraterritorial
23
legislation).
Dari 4 (empat) definisi di atas tampak semuanya ada
benarnya. Tetapi penulis lebih pro kepada definisi Rafiqul Islam.
Dari batasan Rafiqul Islam di atas, tampak adanya keterkaitan
erat antara hukum perdagangan internasional dengan hukum
internasional publik. Memang sekilas tampak bahwa dampak dan
pengaruh hukum internasional publik ini tidak langsung. Namun
demikian pengaruh ini dapat berdampak cukup luas terhadap
21
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).
22
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).
23
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).
beberapa aspek dari hukum perdagangan internasional. Hal ini
disebabkan karena hukum internasional publik dalam beberapa hal
telah membentuk dan sedang dalam proses pembentukan ketentuan-
ketentuan yang mengatur aspek-aspek perdata dari transaksi
24
perdagangan internasional.
24
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
2. Pendekatan Hukum Perdagangan Internasional
a. Hubungan antara Hukum Perdagangan Internasional dan Bidang
Hukum lainnya
Satu catatan lain yang juga penting adalah hubungan antara
hukum perdagangan internasional dan hukum lainnya yang terkait
dengan perdagangan internasional. Di bagian awal tulisan ini
tampak luasnya bidang cakupan hukum perdagangan internasional
ini. Luasnya bidang cakupan membuat cakupan yang dikajinya sulit
untuk tidak tumpang tindih dengan bidang-bidang lainnya. Misalnya
dengan hukum ekonomi internasional, hukum transaksi bisnis
25
internasional, hukum komersial internasional, dll.
Catatan di atas menunjukkan kedudukan penulis yang mengakui
adanya keterkaitan antara hukum perdagangan internasional dengan
hukum internasional. Di sisi lain, penulis berpendirian bahwa
hukum ekonomi internasional adalah juga bagian atau cabang dari
hukum internasional.26
Masalahnya adalah di mana letak atau garis batas di antara
hukum perdagangan dengan bidang-bidang hukum lain disebut di
atas, khususnya hukum ekonomi internasional. Ada bidang-bidang
yang sama-sama tunduk pada dua bidang hukum ini. Misalnya saja,
pembahasan mengenai subyek-subyek dan sumber-sumber dari kedua
bidang hukum sedikit banyak hampir sama.27
Sementara ini pendekatan yang ditempuh untuk membedakan
kedua bidang hukum ini adalah melihat subyek hukum yang tunduk
kepada kedua bidang hukum tersebut. Hukum ekonomi internasonal
lebih banyak mengatur subyek hukum yang bersifat publik (policy),
seperti misalnya hubungan-hubungan di bidang ekonomi yang
dilakukan oleh negara atau organisasi internasional. Sedangkan
25
Cf., M. Sanson, op.cit., hlm. 2.
26
Lihat buku penulis, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar,
Jakarta: Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I.
27
Lihat lebih lanjut mengenai hukum ekonomi internasional ini, buku
penulis, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta:
Rajagrafindo, cet. 3, 2003, Bab I dst.
hukum perdagangan internasional lebih menekankan kepada hubungan-
hubungan hukum yang dilakukan oleh badan-badan hukum privat.
Dalam kenyataannya pendirian tersebut tidak begitu valid.
Hukum ekonomi internasional dalam kenyataannya juga mengatur
kegiatan-kegiatan atau transaksi-transaksi badan hukum privat
atau yang terkait dengan kepentingan privat, misalnya mengenai
perlindungan dan nasionalisasi atau ekspropriasi perusahaan
asing. Selain itu, meskipun hukum ekonomi internasional mengatur
subyek-subyek hukum publik atau negara, namun aturan-aturan
tersebut bagaimana pun juga akan berdampak pada individu atau
subyek-subyek hukum lainnya di dalam wilayah suatu negara.
28
Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
29
Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing Economic Climate,
London: Sweet and Maxwell, 1981, hlm. 22. (Selanjutnya disebut
“Commercial Law”).
Prinsip kedua, pacta sunt servanda adalah prinsip yang
mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah
ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan
itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem
hukum di dunia menghormati prinsip ini.
3. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Prinsip ketiga, prinsip penggunaan arbitrase tampaknya
terdengar agak ganjil. Namun demikian pengakuan Goldštajn
menyebut prinsip ini bukan tanpa alasan yang kuat. Arbitrase
dalam perdagangan internasional adalah forum penyelesaian
sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah
semakin banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang.30 Oleh
karena itulah prinsip ketiga ini memang relevan.
Goldštajn menguraikan kelebihan dan alasan mengapa
penggunaan arbitrase ini beliau jadikan prinsip dasar dalam hukum
perdagangan internasional:
“Moreover, to the extent that the settlement of differences
is referred to arbitration, a uniform legal order is being
created. Arbitration tribunals often apply criteria other
than those applied in courts. Arbitrators appear more ready
to interpret rules freely, taking into account customs,
usage and business practice. Further, the fact that the
enforcement of foreign arbitral awards is generally more
easy than the enforcement of foreign court decisions is
conducive to a preference for arbitration.”31
30
Lihat secara khusus, Rene David, Arbitration in International Trade,
The Hague: Kluwer, 1985 (membahas panjang lebar tentang peran arbitrase
dalam perdagangan internasional).
31
Aleksander Goldštajn, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana
elektronik. Kebebasan ini sangat esensial bagi terlaksananya
perdagangan internasional. Aturan-aturan hukum (internasional)
memfasilitasi kebebasan ini.32
Dalam berkomunikasi untuk maksud berdagang ini kebebasan
para pihak tidak boleh dibatasi oleh sistem ekonomi, sistem
politik, atau sistem hukum. Bandingkan dengan pendapat profesor
Goldštajn di bawah ini ketika beliau membahas hubungan antara
sistem ekonomi dan politik dalam kaitannya dengan hukum
perdagangan internasional:
“The law governing trade transactions is neither capitalist
nor socialist; it is a means to an end, and therefore, the
fact that the beneficiaries of such transactions are
different in this or that country is no obstacle to the
development of international trade. The law of
international trade is based on the general principles
accepted in the entire world.”33 (Huruf miring oleh
penulis).
32
Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu
Pengantar, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3, 2003, hlm. 29.
33
Schmitthoff, op.cit., (Commercial Law), hlm. 19.
34
Schmitthoff, ‘The Unification of the Law of Internatioal Trade,’
(1968) JBL 109 (mengutip Tammer, The Sources of the Law International
Trade, 1964, hlm. 42).
C. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional
Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara
sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak
adanya negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentuk-
bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara
ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol)
terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini
untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan
negara-negara lainnya. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah
satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka.35
Seperti telah dikemukakan di awal tulisan ini, sejak dulu
dan bahkan dewasa ini semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan
menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan. Pendirian ini semakin
mendorong negara untuk memperluas aktivitas perdagangannya.36
Cara pandang ini sedikit banyak dilatarbelakangi dan
dipengaruhi oleh beberapa aliran atau teori ekonomi. Pada awal
perkembangannya, terutama abad ke 15 dan 16, teori atau aliran
yang mula lahir adalah teori merkantilisme. Para merkantilis
berpendirian perdagangan internasional sebagai instrumen
kebijakan nasional. Mereka menekankan pentingnya ekspor sebesar-
besarnya dan menekan impor serendah-rendahnya. Keuntungan dari
selisih ekspor - impor merupakan keuntungan bagi negara (yang
waktu itu diwujudkan dalam bentuk emas).
Reaksi dari aliran itu adalah teori keunggulan komparatif
yang diperkenalkan oleh David Ricardo (1772-1823). Ricardo
menekankan spesialisasi dari hasil suatu produk. Smith menganggap
perdagangan internasional sebagai salah satu bagian dari
keunggulan komparatif (principle of comparative advantage). Teori
beliau menyatakan bahwa untuk menjadi pemain utama dalam
35
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 1.
36
Lihat antara lain: Ademuni-Odeke, The Law of International Trade,
London: Blackstone, 1999, hlm. 3-4.
perdagangan, faktor yang penting bukanlah ukuran, tetapi
37
bagaimana memaksimalkan potensi.
Contoh klasik adalah Jepang. Dari segi geografis, kekayaan
alam dan luas wilayah, Jepang relatif kurang beruntung. Tetapi
dengan kekuatan manajemen dalam perdagangan internasionalnya,
negeri ini berhasil menjadikannya sebuah negara yang paling
penting di dunia dewasa ini.
Semakin luasnya aktivitas perdagangan ini yang dewasa ini
dikenal dengan "liberalisasi perdagangan", sistem keuangan atau
pasar internasional yang stabil untuk memberikan modal untuk
melaksanakan perdagangan internasional tersebut. Karena itu,
keterkaitan antara perdagangan internasional dan sistem keuangan
atau moneter internasional menjadi semakin penting.38
Tidak terlalu mengherankan apabila masyarakat internasional
kemudian menyelenggarakan konperensi Bretton Woods guna
mendirikan Bank Dunia - IMF untuk maksud ini. Berdirinya ke-2
lembaga keuangan ini semata-mata untuk menjaga agar sistem
moneter internasional dapat terpelihara (stabil) dan juga memberi
pinjaman jangka pendek guna menanggulangi kesulitan neraca
pembayaran yang disebabkan oleh adanya defisit perdagangan
39
ekspor-impor negara-negara. Krisis keuangan internasional pada
tahun 1970-an juga telah mempertegas pentingnya hubungan erat
ini.
Dalam upaya negara-negara ini meningkatkan pertumbuhan
ekonomi mereka, dewasa ini mereka cenderung membentuk blok-blok
perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Dalam
kecenderungan ini pun peran perjanjian internasional menjadi
semakin penting.40
37
Lihat misalnya, Ademuni-Odeke, Ibid., hlm. 3-4, M. Sanson, op.cit.,
hlm. 3; Jonathan Reuvid, op.cit., para. xv.
38
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
39
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
40
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
Semakin pentingnya peran perjanjian-perjanjian di bidang
ekonomi atau perdagangan ini pun telah melahirkan aturan-aturan
yang mengatur perdagangan internasional di bidang barang, jasa
dan penamaman modal di antara negara-negara.41
Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak
berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tariffs and
Trade, 1947) yang termuat dalam Preambule-nya. Tujuan tersebut
adalah:
(a) untuk mencapai perdagangan internasional yang stabil dan
menghindari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek
perdagangan nasional yang merugikan negara lainnya.
(b) untuk meningkatkan volume perdaganan dunia dengan menciptakan
perdagangan yang menarik dan menguntungkan bagi pembangunan
ekonomi semua negara;
(c) meningkatkan standar hidup umat manusia; dan
(d) meningkatkan lapangan tenaga kerja.
Tujuan lainnya yang juga relevan adalah:
(e) untuk mengembangkan sistem perdagangan multilateral, bukan
sepihak suatu negara tertentu, yang akan mengimplementasikan
kebijakan perdagangan terbuka dan adil yang bermanfaat bagi
semua negara;42 dan
(f) meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dunia dan
meningkatkan produk dan transaksi jual beli barang.43
Ada pula yang menyatakan bahwa aturan-aturan perdagangan
internasional juga pada analisis akhirnya akan menciptakan
perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini antara lain
dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri AS, Hull. Tesis ini tampaknya
41
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2.
42
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2. Lihat pula tujuan menurut Aleksander
Goldštajn yang menyatakan: “only deliberate regulation on the
international level will make it possible to do justice, on the basis
of equality, to the interests and general welfare of all members of the
international community.” (Aleksander Goldštajn, “The New Law of
Merchant,” (1961) JBL 12.
benar. Manakala dua atau lebih negara berhubungan dan
bertransaksi dagang dan mereka memperoleh keuntungan dari
perdagangan tersebut, otomatis keadaan dunia menjadi sedikit
banyak lebih baik. Artinya, situasi dan kondisi dunia akan
semakin kondusif.
Sebenarnya tesis Hull tersebut sudah lama dikumandangkan
oleh Immanuel Kant, yang selama ini dikenal juga sebagi bapak
hukum internasional. Dalam tulisannya berjudul ‘On Eternal
Peace,’ Kant menyatakan bahwa ‘spirit of trade could not co-exist
with war.’44
Yang juga cukup menarik adalah tesis Hull di atas juga
telah cukup lama disadari di tanah air. Salah seorang kepala suku
Bugis ternama, yaitu Amanna Gappa, juga menyadari bahwa tujuan
(unifikasi) hukum dagang adalah untuk mencegah persaingan di
antara suku bangsanya dan juga memajukan kerjasama di antara
45
mereka guna kesejahteraan di antara mereka. Terjemahan saduran
hasil penelitian terhadap suku terkenal Bugis ini yang terkenal
dengan hukum pelayaran dan dagangnya tergambarkan sebagai
berikut:
“One of thse chiefs was Amanna Gappa (=father of Gappa) who
headed his countrymen at Makassar. Most probably he was a
very intelligent and energetic man and he may have been the
first to realize the great importance of navigation and
trade for his people as the only fields of endeavour in
which they could earn a living. We may assume that this was
the bacground of his taking initiative in inviting his
colleagues from other parts of Indonesia in order to
collect the different rules which were in force in their
respective regions and to compile a uniform navigation and
trade law. By doing so he tried to prevent heavy
competition among his countrymen and to stimulate co-
operation for their own welfare.”46 (Huruf miring oleh
kami).
43
Cf., Preamble GATT dan Preamble Perjanjian WTO (Marrakesh Agreement
Establishing The World Trade Organization).
44
Lihat, Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath:
Euromoney, 1983, hlm. Xxi.
45
Lihat lebih lanjut, PH. O.L. Tobing, op.cit., hlm. 154.
46
Lihat lebih lanjut, PH. O.L. Tobing, op.cit., hlm. 154.
Meskipun adanya tujuan bagus tersebut di atas, hukum
perdagangan internasional masih memiliki cukup banyak kelemahan.
Kelemahan tersebut tampaknya juga dapat ditemui dalam bidang-
bidang hukum lainnya, yakni terdapatnya pengecualian-pengecualian
atau klausul-klausul 'penyelamat' yang bersifat memperlonggar
kewajiban-kewajiban hukum. Kelemahan spesifik tersebut yaitu:
(a) hukum perdagangan internasional sebagian besar bersifat
pragmatis dan permisif. Hal ini mengakibatkan aturan-aturan
hukum perdagangan internasional kurang obyektif di dalam
'memaksakan' negara-negara untuk tunduk pada hukum. Dalam
kenyataannya, negara-negara yang memiliki kekuatan politis dan
ekonomi memanfaatkan perdagangan sebagai sarana kebijakan
politisnya.
(b) Aturan-aturan hukum perdagangan internasional bersifat
mendamaikan dan persuasif (tidak memaksa). Kelemahan ini
sekaligus juga kekuatan bagi perkembangan hukum perdagangan
internasional yang menyebabkan atau memungkinkan perkembangan
hukum ini di tengah krisis.47
47
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 2-3.
D. Perkembangan Hukum Perdagangan Internasional
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagangan
internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern.
Sejak saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat sesuai dengan perkembangan
hubungan-hubungan perdagangan.
Dilihat dari perkembangan sumber hukumnya (dalam arti
materil), maka perkembangan hukum perdagangan internasional dapat
dikelompokkan ke dalam 3 tahap, yakni:
(1) Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.
Hukum perdagangan internasional lahir pada awalnya dari
praktek para pedagang. Hukum yang diciptakan oleh para pedagang
ini lazim disebut pula sebagai lex mercatoria (law of merchant).48
Pada awal perkembangannya ini Lex Mercatoria tumbuh dari
adanya 4 faktor berikut:
(a) lahirnya aturan-aturan yang timbul dari kebiasaan dalam
berbagai pekan raya (the law of the fairs);
(b) lahirnya kebiasaan-kebiasaan dalam hukum laut;
(c) lahirnya kebiasaan-kebiasaan yang timbul dari praktek
penyelesaian sengketa-sengketa di bidang perdagangan; dan
(d) berperannya notaris (public notary) dalam memberi pelayanan
jasa-jasa hukum(dagang).49
48
United Nations, Progressive Development of the Law of Internatoinal
Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, 1966,
para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on
International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus Nijhoff &
Graham & Trotman, 1988, hlm. 21.
49
Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”
(1968) JBL 106.
undang-undang hukum (perdagangan internasional) mereka. Aturan-
aturan tersebut sedikit banyak adalah aturan-aturan yang mereka
adopsi dari lex mercatoria. Misalnya saja Perancis membuat Kitab
Undang-undang Hukum Dagang-nya (code de commerce) tahun 1807,
Jerman menerbitkan Allgemeine Handelsgezetbuch tahun 1861, dll.50
(3) Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan
Munculnya Lembaga-lembaga Internasional yang mengurusi
Perdagangan Internasional.
Dalam perkembangan ketiga ini, aturan-aturan hukum
perdagangan internasional lahir sebagian besar karena dipengaruhi
oleh semakin banyaknya berbagai perjanjian internasional yang
ditandatangani baik secara bilateral, regional, maupun
51
multilateral.
Secara khusus tahap ketiga ini muncul secara signifikan
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Salah satu perjanjian
multilateral yang ditandangani pada masa ini adalah disepakati
lahirnya GATT tahun 1947. Tahap ketiga ini disebut juga dengan
tahap “internationalism”. Schmitthoff menyatakan sebagai berikut:
“We are beginning to rediscover the international character
of commercial law and the circle now contemplates itself:
the general trend of commercial law everywhere is to move
away from the restrictions of national law to a universal,
international conception of the law of international
trade.”52
50
United Nations, op.cit., para. 20; Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit.,
hlm. 48.
51
United Nations, op.cit., para. 20.
52
Schmitthoff, “The Unification of the Law of International Trade,”
(1968) JBL 108.
yang tercakup di dalam WTO sekarang ini adalah kompleks. Ia tidak
semata-mata lagi mengatur tarif dan barang, tetapi juga mengatur
jasa, hak kekayaan intelektual, penanaman modal, lingkungan,
dll.53
Ciri kedua dalam perkembangan tahap ketiga ini yakni
munculnya organisasi internasional. Salah satu badan yang
menonjol adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebetulnya
peran PBB di bidang perdagangan internasional tidaklah langsung.
Peran PBB di bidang ekonomi dan perdagangan ini termuat dalam
pasal 1:3 Piagam PBB, yakni aturan tentang tujuan PBB yakni
mencapai kerjasama internasional di dalam antara lain
menyelesaikan masalah-masalah ekonomi internasional.
Tujuan-tujuan PBB di atas diupayakan pemenuhannya melalui
berbagai langkah berikut:
i. Negara-negara anggota PBB mendirikan the United Nations
Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1964.
Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih
besar kepada negara sedang berkembang untuk ikut serta dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan perdagangan, dengan memperhatikan
kepentingan-kepentingan khusus negara-negara sedang berkembang
54
ini.
ii. negara-negara anggota PBB mengesahkan the Charter of Economic
Rights and Duties of States pada tahun 1974 (serta disahkannya
the Declaration and Programme of Action on the Establishment of
the New International Economic Order). Pembentukan Piagam ini
diawali dengan langkah Majelis Umum PBB mengesahkan the
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
pada tahun 1966.
53
Uraian tentang perkembangan dari GATT ke WTO, lihat antara lain: Ray
August, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New
Jersey: Prentice Hall, 3rd.ed., 2000, hlm. 355-360.
54
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6.
Dokumen-dokumen penting ini pada pokoknya mengakui dan
memberi perlakuan khusus kepada negara-negara sedang berkembang
di bidang perdagangan, keuangan dan penanaman modal.55
Ciri ketiga yang juga menonjol adalah disepakatinya
pendirian badan-badan ekonomi regional di suatu kawasan region
tertentu. Blok perdagangan regional yang mula-mula membawa
pengaaruh cukup luas adalah the European Single Market (1992) dan
segera diikuti oleh blok perdagangan Amerika Utara (The North
American Free Trade Agreeement atau NAFTA) (1994).
Di kawasan Asia Tenggara, negara-negara ASEAN mengikuti
langkah serupa dengan membentuk Asean Free Trade Area (AFTA).
AFTA berlaku efektif sejak 1 Januari 2003.56
Kecenderungan pembentukan kelompok-kelompok regional ini di
satu sisi positif. Namun di sisi lain organisasi-organisasi
regional tersebut menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat
internasional karena terdapatnya blok-blok perdagangan tersebut
melahirkan peraturan-peraturan regional eksklusif yang ternyata
menyimpangi ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam
GATT/WTO.
55
Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 6.
56
Uraian lebih lanjut mengenai AFTA ini lihat: Huala Adolf, Hukum
Ekonomi Internasional ..., op.cit., hlm. 110-124.
E. Unifikasi dan Harmonisasi Hukum Perdagangan Internasional
1. Perlunya Unifikasi dan Harmonisasi Hukum
Di atas dikemukakan bahwa negara-negara mencantumkan
atuaran-aturan hukum perdagangan internasional dalam hukum
nasionalnya. Aturan-aturan hukum nasional di bidang perdagangan
internasional ini karenanya menjadi sumber hukum yang cukup
penting dalam hukum perdagangan internasional.
Tetapi adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit
banyak kemungkinan dapat berbeda antara satu sama lainnya.
Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi
kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri.
Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama disadari oleh
bangsa-bangsa di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam
resolusi Majelis Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa:
"Conflicts and divergencies arising from the laws of different
states in matters relating to international trade constitute an
obstacle to the development of world trade."57
Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang
dapat dilakukan. Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak
menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya mereka menerapkan hukum
perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan hukum
perdagangan mereka.
Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak
ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, maka hukum
nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara penentuan
hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui
penerapan prinsip choice of laws. Choice of Laws adalah klausul
pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan
dalam kontrak (internasional) yang mereka buat.58
57
United Nations, op.cit., para. 14.
58
Klausul choice of law tidak wajib sifatnya untuk harus ada dalam
kontrak-kontrak internasional. Tetapi keberadaan klausul ini akan
sedikit banyak membantu para pihak dalam penyelesaian sengketanya
(apabila sengketa memang timbul) di kemudian hari (Lihat Sudargo
Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1977, hlm. 26.
Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan
unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan substantif hukum
perdagangan internasional.59 Teknik ketiga ini dipandang cukup
efisien. Cara ini memungkinkan terhindarnya konflik di antara
sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara.
Kedua kata ini hampir sama maksudnya, namun ada nuansa atau
perbedaan yang perlu untuk dicatat. Kedua kata sama-sama berarti
upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan sistem-
sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup
pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda.
Perbedaan kedua kata tersebut terletak pada derajat
penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman
mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan
sistem hukum yang baru.60 Contohnya adalah pemberlakuan Perjanjian
TRIPS/WTO.
Dengan diperkenalkannya substansi bidang-bidang perjanjian
TRIPS/WTO yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek
dagang, indikasi geografis, disain industri, paten, dll.,
meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturan-
aturan HAKI nasionalnya yang sesuai dengan substansi perjanjian
TRIPS/WTO.
61
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109.
62
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 109.
63
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 110. Cf., Katerina Pistor
mengemukakan pula (1) perjanjian bilateral sebagai instrumen untuk
unifikasi hukum (bandingkan dengan perjanjian internasional dari konsep
Schmitthoff); dan (2) aturan-aturan yang bersifat rekomendatif
(bandingkan dengan uniform laws and uniform rules-nya Schmitthoff).
(Katerina Pistor, "The Standardization of Law and Its Effect on
Developing Countries," 50 Am.J.Comp.L. 97 (2002). Pistor mengungkapkan
pula, dengan adanya upaya ini maka biaya utnuk transaksi dagang dapat
menjadi berkurang. Selain itu, yang juga penting, unifikasi hukum dapat
mencapai unifikasi hukum. Cara ini dipandang tepat untuk
memperkenalkan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa ke
dalam sistem hukum nasional.64 Pemberlakuan perjanjian TRIPS/WTO
di atas merupakan salah satu contoh.
Gambaran lainnya adalah CISG 1980 atau Konvensi mengenai
Kontrak Jual Beli Barang Internasional. Konvensi ini dapat
dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual beli
barang internasional. Para perancang konvensi ini telah berupaya
mengkawinkan prinsip-prinsip kontrak yang dikenal dalam sistem
hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law.
Salah satu pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari
sesuatu negara untuk mengikatkan diri atau meratifikasi
perjanjian atau konvensi internasional tersebut. Dalam
kenyataannya, untuk mencapai kehendak tersebut banyak bergantung
pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll.
65
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111.
66
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 111.
67
Lihat Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta:
Rajagrafindo, cet. 3, 2003.
principles), bukan atau tidak aturan-aturan hukumnya (legal
68
rules).
Upaya unifikasi dan harmonisasi hukum ini telah cukup
serius dilakukan khususnya oleh the World Trade Organization
(WTO), the International Institute for the Unification of Private
Law (UNIDROIT), The Hague Conference of Private International Law
dan PBB khususnya the United Nations Commission on International
Trade Law (UNCITRAL) dan the United Nations Conference on
International Trade and Law (UNCTAD).
Di samping itu terdapat pula lembaga-lembaga internasional
non-pemerintah yang juga berkepentingan dengan upaya unifikasi
dan harmonisasi hukum perdagangan internasional, yakni, antara
lain, International Chamber of Commerce (ICC atau Kamar Dagang
Internasional), dan International Law Association (ILA atau
Asosiasi Hukum Internasional).69
2. Lembaga-lembaga yang Bergerak dalam Unfikasi dan Harmoniasi
Hukum
Berikut adalah uraian secara ringkas beserta upaya badan-
badan atau organisasi-organisasi internasional tersebut di bidang
unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. Tidak
semua upaya badan atau organisasi internasional akan diuraikan.
Pembahasan dibatasi pada WTO, UNCITRAL, UNIDROIT dan ICC.
68
Katarina Pistor, op.cit., hlm 97.
69
Schmitthoff, op.cit., “Commercial Law,” hlm. 24 (beliau mengemukakan
formulating agencies dalam mengupayakan unifikasi hukum perdagangan
internasional, yaitu: (1) UNCITRAL; (2) The International Institute for
the Unification of Private Law (UNIDROIT, Rome); (3) The Hague
Conference on Private International Law (The Hague); dan (4) The
Council for Mutual Economic Assistance (CMEA, Moscow). Sedangkan
organisasi internasional swasta (non pemerintah) yaitu: (5) ICC; (6)
The International Maritime Committee (IMC, Antwerp); dan (7) The
International Law Association (ILA, London).
a. World Trade Organization (WTO)
1. Pengantar
World Trade Organization atau WTO dihasilkan dari Putaran
Uruguay GATT (1986-1993). Organisasi ini memiliki kedudukan yang
unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan
PBB.
Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita-cita lama
negara-negara pada waktu merundingkan GATT pertama kali (1948).
Yakni hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional
(yang dulu namanya adalah International Trade Organization atau
ITO).
Struktur WTO akan dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang
disebut Konperensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference). Badan
ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini
terdiri dari para perwakilan dari semua anggota WTO. Semua
keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan
multilateral dilakukan melalui badan ini.
Untuk pelaksanaan pekerjaannya sehari-hari, badan tertinggi
ini dibantu oleh badan-badan kelengkapan utama, yaitu Dewan Umum
(General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini
bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan-kegiatannya kepada
the Ministerial Conference.
General Council memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai
suatu Badan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body).
Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan negara-
negara anggota GATT (Trade Policy Review Body).
Selain itu, badan ini juga bertugas mengamati masalah-masalah
perdagangan yang akan dicakup oleh WTO. Ia akan menetapkan tiga
badan subsider yakni The Council for Trade in Goods, Council for
Trade in Services, dan Council for TRIPs.
The Council for Trade in Goods mengawasi pelaksanaan dan
berfungsinya semua perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex
1A Perjanjian WTO) meskipun sebetulnya untuk perjanjian-pejanjian
tertentu umumnya mereka memiliki badan pengawasnya sendiri. Dua
dewan lainnya memiliki tanggung jawabnya masing-masing berkaitan
dengan perjanjian WTO dan badan-badan tersebut dapat mendirikan
badan-badan subsider lainnya manakala dipandang perlu.
Tiga badan lainnya didirikan oleh the Ministerial Conference
dan mereka melaporkan pekerjaannya kepada the General Council.
Ketiga badan tersebut adalah the Committee on Trade and
Development, yakni badan yang bertanggung jawab untuk masalah-
masalah yang terdapat di negara-negara sedang berkembang. Kedua,
the Committee on Balance of Payments bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan konsultasi di antara negara-negara anggota WTO
dan negara-negara yang melaksanakan tindakan-tindakan restriktif
perdagangan (Pasal XII dan XVII GATT), yakni tindakan- tindakan
untuk menghadapi kesulitan-kesulitan neraca pembayarannya.
Ketiga, the Committee on Budget, Finance and Administration
bergerak dalam mengatur masalah-masalah keuangan dan anggaran
WTO.70
Di samping badan-badan tersebut, WTO membentuk pula badan-
badan khusus yang mengawasi pelaksanaan perjanjian-perjanjian
plurilateral (yang sifatnya sukarela), yakni badan untuk
perdagangan pesawat udara sipil, badan untuk pengadaan barang
pemerintah (government procurement), badan untuk produk susu dan
daging (dairy products and bovine meat). Badan-badan khusus ini
melaporkan tugas-tugasnya kepada the General Council.
Sekretariat WTO berkedudukan di Jenewa, Swiss. Sampai tulisan
ini dibuat, Sekretariat WTO memiliki sekitar 450 staf dan diketuai
oleh seorang Direktur Jenderal (Diretor General) dan 4 orang
pembantu Direktur Jenderal.
Dalam membuat putusan, WTO melanjutkan praktek yang telah
lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui konsensus. Namun dalam
hal konsensus ini gagal, maka putusan akan diambil melalui
pemungutan suara atau voting.
70
WTO, Trading into the Future,.Geneva, 1995, hlm. 13.
Di samping itu, ada 4 hal atau situasi dalam perjanjian WTO
yang memungkinkan dilakukannya voting. Pertama, mayoritas 2/3 dari
anggota WTO diperlukan untuk mengesahkan suatu penafsiran
perjanjian perdagangan multilateral.
Kedua, mayoritas 2/3 dari anggota WTO diperlukan bagi the
Ministerial Conference untuk memutuskan penanggalan suatu
kewajiban yang dikenakan terhadap suatu negara oleh suatu
perjanjian multilateral.
Ketiga, keputusan untuk merubah ketentuan perjanjian
multilateral dapat disahkan melalui kesepakatan seluruh anggotanya
atau melalui mayoritas 2/3 dari anggota WTO. Perubahan-perubahan
demikian hanyalah berlaku bagi negara-negara yang menerimanya
saja.
Keempat, suatu mayoritas 2/3 dari negara anggota WTO
diperlukan untuk menerima masuknya suatu negara menjadi anggota
WTO.71
71
WTO, Trading into the Future, Geneva, 1995, hlm. 14.
3. Perjanjian-perjanjian di Bawah Piagam WTO
Perjanjian-perjanjian yang termuat dalam lampiran (Annex)
WTO adalah perjanjian dalam TRIPS (telah diuraikan secara singkat
di atas). Perjanjian-perjanjian lainnya adalah:
GATT 1994; Agreement on Agriculture; Sanitary and Phytosanitary
Measures; Textiles and Clothing; Technical Barriers to Trade;
Trade-Related Investment Measures (TRIMs); Anti-dumping (Article
VI of GATT 1994); Customs valuation (Article VII of GATT 1994);
Preshipment Inspection; Rules of Origin; Import Licensing;
Subsidies and Countervailing Measures; Safeguards; General
Agreement on Trade in Services (GATS); Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPS); Dispute Settlement
Understanding.
Sebenarnya di samping unifikasi hukum, WTO juga berupaya
mendorong harmonisasi hukum, termasuk harmonisasi standar-standar
teknis-nya. Upaya harmonisasi ini telah lama diupayakan GATT
(pendahulu WTO). Pada tahun 1979, GATT berhasil mengeluarkan The
GATT Code on Technical Standards (Standard Code).
Aturan Standard Code ini mendorong negara-negara anggotanya
untuk mengharmonisasikan standar-standar produk domestiknya.
Upaya ini ditempuh agar kebijakan negara-negara mengenai standar
produk tidak malah menjadi penghalang bagi perdagangan dunia.72
Perjanjian lainnya yang dapat digolongkan ke dalam
harmonisasi hukum adalah perjanjian-perjanjian yang berada di
bawah 'Plurilateral Agreement'(Annex 4 Perjanjian WTO).
Perjanjian-perjanjian ini adalah: Agreement on Trade in Civil
Aircraft (Annex 4 (a)); Agreement on Government Procurement
(Annex 4 (b)); International Dairy Agreement (Annex 4 (c));
International Bovine Meat Agreement (Annex 4 (d)).
72
Michael Trebilcock and Robert Howse, The Regulation of International
Trade, London: Routledge, 1995, hlm. 29.
b. The International Institute for the Unification of Private Law
(UNIDROIT).
1. Pengantar
The International Institute for the Unification of Private
Law (UNIDROIT) adalah sebuah organisasi antar pemerintah yang
sifatnya independen. UNCITRAL dibentuk pada tahun 1926 sebagai
suatu badan pelengkap Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sewaktu LBB
bubar, UNIDROIT dibentuk kembali pada tahun 1940 berdasarkan
suatu perjanjian multilateral yakni Statuta UNIDROIT (the
UNIDROIT Statute). UNIDROIT berkedudukan di kota Roma.
Tujuan utama pembentukannya adalah melakukan kajian untuk
memodernisasi, mengharmonisasi dan mengkoordinasikan hukum
privat, khususnya hukum komersial (dagang) di antara negara atau
di antara sekelompok negara.
Keanggotaan UNIDROIT terbatas hanya untuk negara-negara
yang menundukkan dirinya kepada Statuta UNIDROIT. Negara-negara
ini berasal dari 5 benua dan mewakili berbagai sistem hukum,
ekonomi, politik dan budaya yang berbeda.
Dewasa ini UNIDROIT memiliki 59 negara anggota, yakni:
Argentina, Australia, Austria, Belanda, Belgium, Bolivia, Brazil,
Bulgaria, Canada, Chile, China, Colombia, Croatia, Cuba, Cyprus,
Republik Czech, Denmark, Mesir, Estonia, Federasi Rusia
Finlandia, Perancis, Jerman, Holy See (Tahta Suci), Hungaria,
India, Iran, Iraq, Ireland, Israel, Italy, Japan, Luxembourg,
Malta, Mexico, Nikaragua, Nigeria, Norwegia, Pakistan, Paraguay,
Poland, Portugal, Republik Korea, Romania, San Marino, Slovakia,
Slovenia, Africa Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Tunisia, Turki,
Inggris, Amerika Serikat, Uruguay, Venezuela, Yugoslavia (Federal
Republic of), Yunani.
2. Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNIDROIT
Tujuan utama UNIDROIT sebenarnya adalah mempersiapkan
harmonisasi aturan-aturan hukum privat. Upaya ini dipandang
penting mengingat perkembangan teknologi baru, praktek-praktek
pedagangan, dll memerlukan aturan hukum yang baru. Biasanya
aturan-aturan baru tersebut juga dibuat oleh negara-negara.
Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara
satu aturan hukum dengan aturan hukum lainnya. Karen itu aturan
tersebut perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi guna
memperlancar perdagangan internasional.
Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi hukum tersebut
banyak bergantung kepada keinginan dan kerelaan negara-negara
untuk mau menerimanya.
Meskipun menyadari adanya kesulitan upaya tersebut,
UNIDROIT memiliki kedudukannya yang menguntungkan sebagai
organsiasi antar pemerintah. Dalam kaitan ini, UNDIROIT
menerapkan pemberlakuan konvensi atau perjanjian internasional
yang mensyaratkan penerimaan dari negara-negara anggotanya.
Tujuannya adalah menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut ke
dalam sistem hukum negara-negara anggota yang menundukkan dirinya
kepada konvensi tersebut.
Penerimaan suatu aturan konvensi oleh negara akan jauh
lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut ke
dalam wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara
atau subyek-subyek hukum di wilayah negara tersebut).
73
http://www.uncitral.org/en-index.htm. Lihat pula: Gerold Hermann,
“United Nations Commission on International Trade Law,” dalam: R.
Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public International Law: Instalment
5, 1983, hlm. 298-301; Schmitthoff, op.cit., Commercial Law, hlm. 24-
25.
Karena itu upaya badan ini tidak lain adalah berupaya
membuat produk atau instrumen hukum yang modern yang dapat
memberi kebutuhan hukum untuk memperlancar perdagangan
internasional dan perkembangan ekonomi dunia.74
UNCITRAL merancang dan mengesahkan setiap instrumen hukum.
Dalam upaya ini, tidak semua negara anggota UNCITRAL turut serta.
Hanya negara-negara tertentu saja yang merupakan wakil dari
75
region-regiona di dunia.
Pihak lain yang juga dapat turut serta dalam proses
perancangan tersebut adalah LSM internasional atau organisasi-
organisasi antar pemerintah yang berminat. Keputusan untuk
mengesahkan instrumen hukum dilakukan secara konsensus.
Instrumen hukum yang dirancang UNCITRAL bisa berupa
legislative texts umumnya berupa Konvensi.76 Legislative texts
74
Cf., mirip mandatnya dengan UNIDROIT., supra.
75
Terdapat lima kelompok regional yang terwakili dalam UNCITRAL. Mereka
adalah: (1) Negara-negara Afrika, yakni: Benin, Burkina Faso,
Cameroon, Kenya, Morocco, Rwanda, Sierra Leone, Sudan and Uganda; (2)
Negara-negara Asia:- China, Fiji, India, Iran (Islamic Rep. of), Japan,
Singapore, and Thailand; (3) Negara-negara Eropa Timur: Hungary,
Lithuania, Romania, Russian Federation, The former Yugoslav Republic of
Macedonia; (4) Amerika Latin dan Karibia: Argentina, Brazil, Colombia,
Honduras, Mexico, Paraguay and Uruguay; (5) Eropa Barat dan Lainnya:-
Austria, Canada, France, Germany, Italy, Spain, Sweden, United States
of America and United Kingdom.
76
Konvensi tersebut adalah: Convention on the Limitation Period in the
International Sale of Goods (New York, 1974); United Nations Convention
on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna, 1980); United
Nations Convention on the Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg
Rules); United Nations Convention on the Liability of Operators of
Transport Terminals in International Trade (1991); United Nations
Convention on International Bills of Exchange and International
Promissory Notes (New York, 1988); United Nations Convention on
Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit New York, 1995);
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
(New York 1958) (the "New York" Convention); United Nations Convention
on Contracts for the International Sale of Goods (Vienna 1980) ("CISG");
Convention on the Limitation Period in the International Sale of Goods
(New York 1974); United Nations Convention on International Bills of
Exchange and International Promissory Notes (New York, 1988); United
Nations Convention on Independent Guarantees and Stand-by Letters of
Credit (New York, 1995); United Nations Convention on the Assignment of
Receivables in International Trade (2001); United Nations Convention on
the Carriage of Goods by Sea (1978) (the "Hamburg Rules"); United
misalnya saja: United Nations Convention on Contracts for the
International Sale of Goods; Convention on the Limitation Period
in the International Sale of Goods; United Nations Convention on
Independent Guarantees and Stand-by Letters of Credit; United
Nations Convention on International Bills of Exchange and
International Promissory Notes; United Nations Convention on the
Carriage of Goods by Sea, 1978 (Hamburg); United Nations
Convention on the Liability of Operators of Transport Terminals
in International Trade; and the United Nations Convention on the
Assignment of Receivables in International Trade.
Sedangkan instrumen hukum lainnya berupa legislative guides
dan non-legislative guides. Legislative guides misalnya adalah
instrumen-instrumen hukum berupa model law dan rules. Instrumen
ini merupakan instrumen yang tidak mengikat negara anggota.
Negara anggota bebas untuk mengikui atau tidak mengikuti
legislative guides tersebut.
Non-legislative texts adalah instrumen hukum lainnya yang
sifatnya juga tidak mengikat. Contoh instrumen hukum seperti ini
misalnya saja: UNCITRAL Arbitration Rules; UNCITRAL Conciliation
Rules; UNCITRAL Notes on Organizing Arbitral Proceedings;
UNCITRAL Legal Guide on Drawing Up International Contracts for
the Construction of Industrial Works; and UNCITRAL Legal Guide on
International Countertrade Transactions.
77
http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp; Schmitthoff,
op.cit., Commercial Law, hlm. 24-25.
78
ICC memiliki badan arbitrase serta aturan (rules) arbitrasenya. The
ICC International Court of Arbitration terbentuk pada tahun 1923 atas
jasa Presiden ICC pertama, yaitu Etienne Clémentel, mantan menteri
perdagangan Perancis. Badan arbitrase ICC telah terkenal menjadi badan
penyelesaian sengketa bisnis ternama. Pada tahun 2002 saja badan
arbitrase ICC menerima 590 kasus atau kira-kira 50 kasus per bulan.
(http://www.iccwbo.org/home/menu_what_is_icc.asp).
(2) sebagai forum untuk menyebarluaskan informasi dan kebijakan
serta aturan-aturan hukum dagang internasional di antara
pengusaha-pengusaha di dunia; dan
(3) memberikan pelatihan-pelatihan dan teknik-teknik dalam
merancang kontrak serta keahlian-keahlian praktis lainnya
dalam perdagangan internasional.
79
<http://www.iccwbo.org/home/statements_rules/menu_rules.asp>
(16) ICC International Code of Advertising Practice (April 1997);
(17) ICC International Customs Guidelines (10 Juli 1997);
(18) The Business Charter for Sustainable Development (1996);
(19) Rules for Pre-arbitral referee, (1 Januari 1990);
(20) The Uniform Customs and Practice for Documentary Credits
(UCP) 1933 dan 1994.
(21) The International Commercial Terms (Incoterms) (1936, 2000).
Dua produk hukum ICC yang disebut terakhir, yaitu UCP dan
Incoterms perlu mendapat sedikit catatan. UCP mengalami beberapa
kali revisi. Revisi terakhir adalah UCP 500, yang mulai berlaku
Januari 1994. UCP telah digunakan oleh bank di seluruh dunia.
Suatu tambahan terhadap UCP 500, yaitu the eUCP, ditambahkan pada
tahun 2002. eUCP mengatur penampilan semua atau sebagian doumen
elektronik.
Incoterms dibentuk untuk memberikan definisi baku secara
universal mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam transaksi
perdagangan internasional, seperti misalnya Ex quay, CIF dan FOB.
Seperti halnya UCP, Incoterms telah mengalami beberapa revisi.
Revisi terakhir dilakukan pada tahun 2000 (Incoterms 2000), yang
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2000.
Schmitthoff memuji peran badan ini dalam upayanya
merumuskan unifikasi hukum perdagangan internasional dengan
menyatakan bahwa “(ICC) contribution to the unification of
international trade law has been singular successful.”80
Sebagai catatan akhir dari bagian ini, penting pula
mengutip nasihat Schmitthoff. Beliau melihat keberadaan lembaga-
lembaga internaisonal yang berupaya mengunifikasi aturan-aturan
perdagangan internasional ini adalah positif. Namun beliau
mengingatkan agar lembaga-lembaga ini harus saling kerjasama agar
upaya unifikasi efektif.81
80
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 213.
81
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 214.
F. Penutup
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagangan
internasional adalah bidang hukum yang sangat luas ruang
lingkupnya. Hal ini sudah barang tentu merupakan tantangan bagi
para mahasiswa dan sarjana hukum untuk mendalami bidang ini.
Dari perkembangannya, tersirat pula pertumbuhan bidang
hukum ini yang sudah ada sejak manusia mulai merasakan
kekurangannya dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Untuk itu
manusia mulai berdagang. Metode transaksi awalnya sangatlah
sederhana: barter atau tukar menukar. Dalam perkembangannya,
orang sudah transaksi dengan menerapkan teknologi canggih:
perdagangan dengan sarana telekomunikasi.
Canggihnya transaksi perdagangan merupakan tantangan bagi
hukum perdagangan internasional. Bidang hukum ini ditantang untuk
mengakomodasi perkembangan cepat ini melalui aturan-aturan
hukumnya. Adanya aturan-aturan ini sangat dibutuhkan bagi pelaku
perdagangan untuk adanya kepastian hukum, sekaligus mendapatkan
perlindungan hukumnya.
Upaya hukum nasional sudah barang tentu sangat terbatas
kewenangan hukumnya untuk mengatur transaksi-tansaksi lintas
batas atau internasional. Peran hukum nasional hanya mencakup
aturan-aturan yang mengikat bagi kegiatan dan transaksi dagang
dalam wilayahnya.
Karena itu, upaya-upaya pengaturan perdagangan
internasional sedikit banyak bergantung pada peran organisasi
internasional baik yang sifatnya antar negara, misalnya WTO,
maupun yang sifatnya privat, misalnya Kamar Dagang Internasional
(International Chamber of Commerce).
Upaya organisasi internasional pun hingga dewasa ini lebih
banyak pada upaya harmonisasi hukum daripada upaya unifikasi
hukum. Upaya ini tampaknya wajar dilakukan mengingat perkembangan
hukum perdagangan internasional yang cukup progresif. Upaya
mengkristalisasi aturan hukum perdagangan internasional dalam
suatu dokumen perjanjian internasional yang sifatnya stabil dan
berlaku lama tampaknya sangat sulit.
Tujuan akhir dari hukum perdagangan internasional
sebenarnya adalah tujuan dari eksistensi hukum perdagangan
internasional itu sendiri. Di bagian awal Bab ini (yaitu bagian
B. Eksistensi dan Tujuan Hukum Perdagangan Internasional),
terungkap beberapa tujuan bidang hukum perdagangan internasional
ini yang terdengar sangat positif, yaitu antara lain,
mensejahterakan negara-negara (dan warga negaranya).
Satu hal yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa
untuk mencapai tujuan positif tersebut mau tidak mau harus
dibarengi dengan pemahaman terhadap hukum perdagangan itu
sendiri. Artinya, masyarakat atau negara yang tidak mengetahui
aturan-aturan hukum perdagangan internasional janganlah berharap
dapat mengambil manfaat dari hukum perdagangan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ademuni-Odeke, The Law of International Trade, London: Blackstone,
1999.
August, Ray, Internatoinal Business Law: Text, Cases and Readings, New
Jersey: Prentice Hall, 3rd.ed., 2000.
Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essay on
International Trade Law, Doredrecht/Boston/London: Martinus
Nijhoff & Graham & Trotman, 1988.
David, Rene, Arbitration in International Trade, The Hague: Kluwer,
1985.
Goldštajn, Aleksander, “The New Law of Merchant,” (1961) JBL 12.
Hermann, Gerold, “United Nations Commission on International Trade
Law,” dalam: R. Bernhardt (ed.), Encyclopedia of Public
International Law: Instalment 5, 1983.
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajagrafindo,
cet. 3, 2003.
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar, Jakarta:
Rajawali Pers, cet. 3, 2002.
Interlegal's Definitions (http://home.yebro.co.za/~interlegal/
definitions.htm).
Islam, Rafiqul M., International Trade Law, NSW: LBC, 1999.
Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath:
Euromoney, 1983.
PH.O.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa, Ujung
Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1977.
Reuvid, Jonathan (ed.), The Strategic Guide to International Trade,
London: Kogan Page, 1997.
Sanson, Michelle, Essential International Trade Law, Sydney: Cavendish,
2002.
Schmitthoff, Clive M., ‘The Unification of the Law of Internatioal
Trade,’ (1968) JBL 106.
Schmitthoff, Clive M., Commercial Law in a Changing Economic Climate,
London: Sweet and Maxwell, 1981.
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1977.
Pistor, Katerina, "The Standardization of Law and Its Effect on
Developing Countries," 50 Am.J.Comp.L. 97 (2002).
Trebilcock, Michael and Robert Howse, The Regulation of International
Trade, London: Routledge, 1995.
United Nations, Progressive Development of the Law of International
Trade: Report of the Secretary-General of the United Nations, New
York: United Nations, 1966.
Vilanueva, Pablo, "Patterns and Trends in World Trade," dalam: Jonathan
Reuvid (ed.), The Strategic Guide to International Trade, Kogan
page (tt),.
WTO, Trading into the Future,.Geneva, 1995.
1
BAB II
SUBYEK HUKUM DALAM HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
B. Negara
1. Peran Negara
1
Hercules Boosen, International Trade Law on Goods and Services,
Pretoria: Interlegal, 1999, hlm. 2.
2
2
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2.
3
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 2.
4
Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and
Maxwell, 1995, hlm. 31.
5
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 31.
3
6
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 4-5.
7
Hercules Booysen, Op.cit., hlm. 4.
4
2. Imunitas Negara
8
Andrew W. Sheldrick, “Capacity, sovereign immunity and acts of state,”
dalam: Lew and Stanbrook, Interational Trade: Law and Practice, Bath:
Euromoney, 1983, hlm. 164.
9
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 33.
5
10
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 33 dan 33n.
6
11
Scheldrick, op.cit., hlm. 163 dan 164.
12
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33.
13
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 33. Dengan adanya pembatasan-
pembatasan terhadap imunitas ini kemudian lahir teori yang disebut
dengan teori pembatasan imunitas negara (“restrictive theory
doctrine”). (Scheldrick, op.cit., hlm. 163). Teori ini juga menyatakan
bahwa negara dengan melakukan tindakan-tindakan yang bersifat non-
pemerintah (publik) atau ‘non-governmental activities’, negara tersebut
secara implisit telah menanggalkan hak-haknya untuk mengklaim imunitas.
(Scheldrick, op.cit., hlm. 163).
7
14
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34.
15
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34.
16
Hans van Houtte, op.cit., hlm. 34. (Pendapat ini juga mengutip
berbgai sarjana antara lain C. Schreur).
8
17
Kajian ekstensif tentang organisasi internasional publik, lihat
antara lain: M.A.G. Meerhaeghe, International Economic Institutions,
The Netherlands: Kluwer, 1998, 7th.ed., 1998.
18
Michael P. Ryan, W.C. Lenhardt and K. Tamai, “International
Governmental Organization: Knowledge Management for Multilateral Trade
Law Making,” 15 Am. U.J.Int’l.L. Rev 1360 (2000) (Ryan et.al., menyebut
pembuatan peraturan ini sebagai fungsi ke-lima dari organisasi
internasional publik. Fungsi lainnya adalah: fungsi administratif,
fungsi penyebarluasan informasi, fungsi penelitian, fungsi dukungan
hukum [legal support]).
19
Michael P. Ryan et.al., ibid.; Booysen, op.cit., hlm. 26.
9
20
Selama ini PBB lebih dikenal sebagai organisasi internasional yang
bersifat politis. Bab IX Piagam PBB sebenarnya memuat aturan-aturan
khusus untuk pengembangan dan majuan ekonomi dan sosial yang bertujuan,
10
21
Lihat lebih lanjut: George Curmi, “The Role of the Internatonal
Chamber of Commerce,” dalam J. Reuvid (ed.), op.cit., hlm. 79 et.seq.,;
Houtte, op.cit., hlm. 48-49 (memberi contoh NGO lainnya yang cukup
penting. Misalnya saja, FIDIC (Fèdèration Internationale des ingènieurs
des conseils), kumpulan para insinyur dari berbagai negara yang telah
merumuskan berbagai kontrak standar untuk pembangunan konstruksi atau
proyek pembangunan.; atau IATA (International Association of Transport
12
D. Individu
Individu atau perusahaan adalah pelaku utama dalam
perdagangan internasional. Adalah individu yang pada akhirnya
akan terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan internasional.
Selain itu, aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh negara
memiliki tujuan untuk memfasilitasi perdagangan internasional
yang dilakukan individu.22
1 Perusahaan Multinasional
25
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 14.
26
The Economist, “The World’s View of Multinationals,” 29 January 2000,
hlm. 19.
15
2. Bank
(b) Bank menjembatani antara penjual dan pembeli yang satu sama
lain mungkin saja tidak mengenal karena mereka berada di
negara yang berbeda. Perannya di sini adalah peran bank dalam
memfasilitasi pembayaran antara penjual dan pembeli.
27
The Economist, Ibid.
28
Rafiqul Islam, International Trade Law, NSW: LBC, 1999, hlm. 273.
29
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 14.
16
E. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
BAB III
1
Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Cf., Perlu dikemukakan
di sini bahwa dalam literatur hukum perdagangan internasional, apa yang
menjadi sumber hukum perdagangan internasional belum ada kesepakatan.
Sarjana terkemuka hukum perdagangan internasional Profesor Clive
Schmitthoff hanya mengakui 2 (dua) sumber hukum saja, yaitu (1)
perjanjian internasional (istilah beliau: international legislation);
dan (2) hukum kebiasaan internasional (istilah beliau: international
commercial custom). (Clive M. Schmitthoff, Commercial Law in a Changing
Economic Climate, London: Sweet and Maxwell, 1981, hlm. 22 et.seq.).
2
1. Perjanjian Internasional
2
Lihat lebih lanjut dalam uraian di bawah ini.
3
Pengaturan mengenai perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi
Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969 (the Vienna Convention on the
Law of Treaties of 1969). Pengertian perjanjian termuat dalam Pasal 2
(1) (1) Konvensi: “treaty” means an international agreement concluded
between States in written form and governed by international law,
whether embodied in a single instrument or in two or more related
instrumetns and whatever its particular designation; ….
3
4
Hans Van Houtte, , The Law of International Trade, London: Sweet and
Maxwell, 1995, hlm. 3.
5
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 3. Untuk kumpulan perjanjian-perjanjian
internasional (Konvensi, Protokol, dll., dalam hukum perdagangan
internasional), lihat: Indira Carr and Richard Kidner, Statutes and
Convention on International Trade Law, London: Cavendish, 1993, hlm.
263-446).
4
b. Isi Perjanjian
1) liberalisasi perdagangan
2) Integrasi ekonomi
3) Harmonisasi Hukum
4) Unifikasi Hukum
6
Lihat Bab I di atas.
7
Lihat Bab I di atas.
6
disepakati atau diatur. Karena itu mereka membuat Model Hukum ini
yang sifatnya tidak mengikat. Pembuat atau perancang Model Hukum
berharap, meski namanya model hukum atau legal guide, negara-
negara dapat mengacu muatan aturan-aturan model hukum atau legal
guide ini ke dalam hukum nasionalnya.
c. Standar Internasional
8
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6.
9
RI meratifikasi Konvensi Bern melalui UU Nomor 18 tahun 1997 (Lembaran
Negara No 35 tahun 1977). Mengenai Konvensi Bern ini, lihat lebih
lanjut: Anthony D’Amato dan Doris Estelle Long, International
Intellectual Property Law, The Hague: Kluwer, 1997, hlm. 241).
10
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 6.
8
11
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 7.
12
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
13
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
9
14
Han Van Houtte, op.cit., hlm. 8.
10
15
Lihat lebih lanjut, Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional: Suatu
Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2003.
11
16
Tetapi, bandingkan dengan pendapat sarjana yang menyatakan bahwa
hukum kebiasaan internasional hanya memiliki peran yang terbatas
(misalnya Zamora atau Heutte, dalam Hans van Houtte, op.cit., hlm. 10).
Houtte berpendapat bahwa “… international customary law has a role
(albeit a limited one) to play in international and finance law”.
Penulis sependapat dengan Booysen yang berpendapat bahwa: “Because of
the frequency of contact between states in international trade,
customary law is and should be very relevant.” (Hercules Booysen,
op.cit., hlm. 58).
17
Michelle Sanson, Essential International Trade Law, Sydney:
Cavendish, 2002, hlm. 6.
12
18
Hal ini logis saja karena ICC adalah lembaga yang anggotanya adalah
swasta, bukan negara. Lihat pula: Clive Schmitthoff, op.cit., hlm. 27.
19
Di negara-negara sedang berkembang yang pengadilannya masih kental
menganut aliran positif hukum, kerap kali memandang bahwa setiap aturan
yang tidak dibuat sesuai dengan konstitusi, misalnya melalui proses
pengundangan suatu ketentuan secara formal, misalnya melalui pengumuman
di lembaran negara, bukanlah hukum dan karenanya tidak mengikat. Uraian
lebih lanjut mengenai lex mercatoria lihat: Huala Adolf, Arbitrase
Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3., 2003.
14
20
Hercules Booysen, International Trade Law on Goods and Services,
Pretoria: Interlegal, 1999, hlm 58.
21
Sanson, op.cit., hlm. 6.
22
Sanson, op.cit., hlm. 6.
15
23
Japan - Taxes on Alocholic Beverages, [WT/DS8, 10,11/AB/R, 4 October
1996, hlm. 15; terkutip dalam Booysen, op.cit., hlm. 61.
24
Hercules Booysen, op.cit., hlm. 62.
16
tidak jelas atau tidak mengatur sama sekali mengenai suatu hal di
bidang perdagangan internasional.25
25
Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7.
17
5. Kontrak
26
Cf., Alinea pasal 1 Pasal 1338 KUH Perdata: “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.”
27
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1976
(Gautama menyatakan bahwa kontrak dengan orang asing adalah kontrak
yang terdapat unsur asing atau foreign element).
18
28
Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7.
29
Michelle Sanson, op.cit., hlm. 7; lihat pula Hans van Houtte,
op.cit., hlm. 12 (Houtte menekankan bukan kontrak yang dibuat oleh para
pedagang, tetapi kontrak-kontrak negara (state contracts).
19
6. Hukum Nasional
C. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
BAB IV
A. Pengantar
1
Olivier Long, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade
System, Martinus Nijhoff Publishers, 1987, hlm. 101.
2
2
Gunther Jaenicke, “General Agreement om Tariffs and Trade (1946),
dalam Bernhard (ed)., Encyclopedia of Public International Law,
Instalment 5 (1983), hlm. 21.
3
3
WTO, The Roots of the WTO, No. Publ., 1996, hlm. 1.
4
B. Sejarah GATT
4
Lihat Olivier Long,, Op.cit., hlm. 1.
7
5
Lihat, M.A.G. Van Meerghaeghe, International Economic institutions,
The Netherlands: Kluwer, 1987, hlm. 101.
6
M.A.G. Van Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 101.
7
M.A.G. Van Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 101.
8
M.A.G. Van Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 101.
9
John H. Jackson, et.al., The Legal Problems of International Economic
Relations,.St Paul Minn.: West, 1995, hlm. 32.
8
10
M.A.G. Van Meerghaeghe, Loc.cit.
11
Sampai dengan tahuan 1950-an, hanya dua negara saja yang
meratifikasi Piagam ini, yakni Liberia dan Australian (M.A.G. Van
Meerghaeghe, Op.cit., hlm. 102).
9
12
M.A.G. Van Meerhaeghe, Op.cit., hlm. 103.
13
Putaran Tokyo menghasilkan 6 kesepakatan yang tertuang dalam dokumen
berjudul the Tokyo Round Codes. Keenam kesepakatan tersebut yaitu 1)
the Agreement on technical Barrier to Trade (Standards Code); yaitu
kesepakatan bahwa pemerintah maupun badan-badan lainnya dalam membuat
dan menerapkan peraturan dan standar teknis, tidak menimbulkan hambatan
terhadap perdagangan; 2) the Agreement on Government Procurement, yaitu
kesepakatan mengenai jaminan terlaksananya kesempatan secara
internasional yang lebih luas dalam tender untuk mendapatkan kontrak-
kontrak pemerintah; 3) the Agreement on Interpretation and Application
of Article VI, XVI and XXIII (Subsidies Codes), yaitu kesepakatan untuk
menjamin bahwa setiap pelaksanaan kebijakan subsidi tidak menimbulkan
akibat negatif terhadap perdagangan negara lain; 4) the Agreement on
Implementation of Article VII (Customs Valuation Code), yaitu
kesepakatan mengenai sistem penilaian barang yang netral, seragam dan
adil untuk kepentingan bea dan cukai; 5) the Agreement on Import
Licensing Procedures, yaitu kesepakatan mengenai jaminan bahwa
pemberian lisensi tidak menimbulkan hambatan terhadap impor; dan
terakhir, 6) the Agreement on Implementation of Article VI (Anti
Dumping Code), yakni kesepakatan mengenai perubahan Anti Dumping Code
10
D. Prinsip-prinsip GATT.
1. Prinsip most-favoured-nation.
16
Gunther Jaenicke, Op.cit., hlm. 23.
13
17
Olivier Long, Op.cit., hlm. 9.
18
Ibid.
14
19
Departement Perdagangan RI, Op.cit., hlm. 3.
20
Olivier Long, Op.cit., hlm. 10.
17
5. Prinsip Resiprositas.
21
Lihat lebih lanjut: Olivier Long, Op.cit., hlm. 10-11.
19
22
Lihat GATT, Op.cit., hlm. 19 et.seqq.
21
23
Dalam perkembangan mengenai pengaturan mengenai subsidi ini, Putaran
Uruguay berhasil merumuskan aturan mengenai isu ini yang termuat dalam
the Agreement on Subsidy.
25
F. Penutup
ternyata masih relevan bahkan masih terus relevan untuk masa yang
akan datang. Aturan dan prinsip yang diaturnya memuat aturan-
aturan yang dapat diterima oleh hampir banyak negara (meskipun
dari keanggotaannya masing-masing negara memiliki sistem hukum
yang berbeda). Khususnya prinsip non-diskriminasi merupakan
prinsip yang memang dapat diterima universal.
24
Ketidak-tegasan pengaturan untuk kepentingan negara sedang berkembang
sebenarnya juga adalah kelemahan dari aturan GATT itu sendiri.
28
Daftar Pustaka
1
Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and
Maxwell, 1995, 257; Amir M.S., Letter of Credit: Dalam Bisnis Ekspor
Impor, Jakarta: PPM, Edisi 2, Juli 2001, hlm. 2.
Di pihak lain, pembeli berkepentingan untuk tidak segera
membayar sejumlah uang yang dia janjikan sesuai kontrak selama ia
belum memeriksa barangnya apakah sesuai dengan spesifikasi yang
dicantumkan dalam kontrak, atau setidaknya ada bukti tertulis
bahwa barangnya telah dikapalkan.
Hal ini berarti menimbulkan kesulitan bagi penjual untuk
menentukan cara pembayaran yang akan digunakan oleh pembeli
asing. Demikian juga bagi pembeli mengalami kesulitan untuk
mempercayai reputasi dan integritas penjual asing.
Dalam hal demikian, Bank memainkan peran penting yang dapat
menjembatani kedua kepentingan yang berbeda antara penjual dan
pembeli. Dalam hal ini Bank memberi jaminan kelaikan kredit
sebagai jaminan untuk transaski jual beli barang tersebut.
Peran bank ini tampak pula pada upayanya dalam mengembangkan
sistem pembiayaan dan pembayaran selama bertahun-tahun lamanya
dengan semakin meningkatnya permintaan kredit bagi perdagangan
internasional.2
2
Hans Van Houtte, op.cit., hlm. 257.
B. Bentuk-bentuk Pembiayaan Perdagangan Internasional
Disebutkan di atas bahwa Bank telah mengembangkan berbagai
sistem pembiayaan dalam perdagangan internasional. Di antara
berbagai sistem yang cukup banyak tersebut, berikut adalah
sistem-sistem yang umum digunakan:
1. Kredit berdokumen (Documentary Credit);
2. Kredit komersial jangka pendek, menengah dan panjang
(Short, Medium and Long term commercial credit);
3. Bentuk-bentuk pembiayaan khusus (Particular financing
techniques), terutama: (i) factoring internasional
(Intenasional factoring); (ii) Forfaiting; dan (iii)
Leasing internasional (International leasing).
4. Jaminan Bank (Bank Guarantee atau Auotonomous Guarantee)
Dalam bab ini, pembahasan hanya akan mengkonsentrasikan pada
ad. 1 di atas, yaitu kredit berdokumen. Alasan utama dan alasan
praktis adalah kredit berdokumen ini lebih banyak digunakan
(penting) dan telah lama mengalami perkembangan pengaturannya.
Praktil menggunakan kredit berdokumen ini telah lama
3
dilakukan, khususnya sejak awal tahun 1700-an. Pengaturannya pun
telah berkembang lama. Ellinger menyatakan bahwa aturan mengenai
kredit berdokujmen ini telah sedikit banyak mencapai harmoniasi
dan keseragaman pengaturan.4
3
E.P. Ellinger, “Letters of Credit” dalam: Norbert Horn and Clive M.
Schmitthoff (eds.), The Transnational Law of International Commercial
Transactions, Deventer: Kluwer, 1982, hlm. 242.
4
E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 271.
1. Kredit Berdokumen (Documentary Credit)
a. Pendahuluan
Di atas dikemukakan tentang beda kepentingan antara pembeli
dan penjual. Pembeli (importir) tidak mau membayar sebelum ia
memiliki barangnya dan memeriksa barangnya apakah barang tersebut
sesuai dengan kontrak. Penjual (eksportir) juga tidak akan
mengirim barangnya selama ia belum mendapat kepastian bahwa harga
yang telah disepakati dalam kontrak dibayar.
Karena jarak kedua pihak, praktek perdagangan yang mungkin
berbeda dan mungkin saja satu sama lain tidak kenal, maka semua
perbedaan ini dapat menjadi hambatan bagi perdagangan
internasional.
Namun dengan lahirnya sistem kredit berdokumen (documentary
credits), yang juga dikenal dengan Letters of Credit (L/C),
perbedaan-perbedaan itu dapat dijembatani. Kredit berdokumen ini
terus berkembang. Sistem inilah yang paling banyak digunakan dan
berperan penting sangat penting untuk membayar barang-barang
dalam perdagangan internasional.5
5
Amir M.S., Letter of Credit: Dalam Bisnis Ekspor Impor, Jakarta: PPM,
Edisi 2, Juli 2001, hlm. 1 Ramlan Ginting, Letter of Credit: Tinjauan
Aspek Hukum dan Bisnis, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2000, hlm 1.
(Ramlan Ginting menyebutkan pula bahwa L/C ini adalah primadona dalam
pembayaran transaksi ekspor-impor. Dari sini tergambar bahwa L/C
mempunyai fungsi sebagai suatu sistem pembayaran).
6
Chia-Jui Cheng (ed.), Clive M. Schmitthoff's Select Essays on
International Trade Law, London: Martinus Nijhoff Publ., 1988, hlm. 574.
7
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 574.
(3) menjamin kelengkapan dokumen pengapalan.8
Karena itu tampak bahwa L/C merupakan jaminan atas pelunasan
barang yang akan dikirim oleh penjual (eksportir). Jadi untuk
kepentingan eksportir, L/C harus dibuka terlebih dahulu sebelum
barang dikirim.
Di pihak lain, pembukaan L/C merupakan jaminan pula bagi
importir untuk memperoleh pengapalan barang secara utuh sesuai
dengan kontrak. Sedangkan dana L/C tersebut tidak akan dicairkan
tanpa penyerahan dokumen pengapalan. Dengan demikian L/C tampak
sebagai suatu instrumen yang ditawarkan bank devisa untuk
memudahkan lalu lintas pembiayaan dalam transaksi dagang
9
internasional.
8
Amir M.S., Letter of Credit: Dalam Bisnis Ekspor Impor, Jakarta: PPM,
edisi 2, Juli 2001, hlm. 1; M. Rafiqul Islam, International Trade Law,
Sydney: LBC, 1999, hlm. 340-341.
9
Amir M.S., op.cit., hlm. 2.
10
Ramlan Ginting, Op.cit., hlm. 18
11
Ramlan Ginting, Op.cit., hlm. 18
b. Batasan
Hans van Houtte mendefinisikan kredit berdokumen ini sebagai
berikut:
"... an arrangement in which the bank, acting for and on
behalf of the buyer (customer), undertakes to pay the seller
(beneficiary) a sum of money or to accept a bill of exchange
drawn by the seller, or to authorize another bank to do so
on presentation by the seller of specified document and on
condition that all other credit terms are met."12
12
Hans Van Houtte, 258. Definisi ini disarikan beliau dari batasan yang
terdapat dalam Pasal 2 the Uniform Customs and Practice for Documentary
Credits (UCP) yang berbunyi sebagai berikut: "Any arrangement, however
named or described, whereby a bank (the Issuing Bank), acting at the
request and on the instructions of a customer (the Applicant) or on its
own behalf,
(i) is to make a payment to or to the order of a third party (the
Beneficiary), or is to accept and pay bills of exchange (draft(s)) drawn
by the Beneficiary; or
(ii) authorises another bank to effect such payment, or to accept and
pay such bills of exchange (draft(s)); or
(iii) authorises another bank to negotiate;
against stipulated document(s), provided that the terms and conditions
of the Credit are complied with."
13
Amir M.S., op.cit., 2001, hlm. 1.
14
Ramlan Ginting, Op.cit., hlm. 11 (Ramlan Ginting juga memberikan
aneka definisi yang diberikan oleh para sarjana, op.cit., hlm. 11 dst.
Teks inggris Pasal 2 UCP berbunyi: "For the purposes of these articles,
the expressions "Documentary /credit(s)" and "Standby Letter(s) of
Credit" (hereinafter referred to as "Credit(s)", means any arrangement,
however, named or described, whereby a bank (the "issuing bank") acting
Beberapa hal penting dari definisi di atas yaitu:
(a) Bank yang memberikan jaminan pembayaran tersebut adalah bank
yang menerbitkan Kredit Dokumenter L/C tersebut (bank penerbit
atau Issuing Bank).
(b) Dokumen-dokumen yang disyaratkan dapat berupa dokumen
perdagangan ataupun dokumen yang diterbitkan instansi-instansi
pemerintah, asuransi maupun pengangkutan.15
(c) Karena Kredit Dokumenter (L/C) merupakan Jaminan bersyarat,
maka pembayaran sudah tentu dilakukan atas nama Buyer
(pembeli), dan pembayaran itu dilaksanakan bila dokumen-
dokumen yang disyaratkan telah diserahkan.
(d) Karena dokumen-dokumen tersebut mewakili barang, maka
penyerahan dokumen itu berarti memberikan hak kepada buyer
(pembeli) atas pemilikan barang-barang yang dikapalkan
tersebut.
(e) Karena Kredit Dokumenter (L/C) merupakan jaminan bank, maka
segera setelah pengapalan barang, Seller akan meminta
pembayaran dari Bank, bukan mengandalkan kemampuan dan
kesediaan Buyer (pembeli) untuk membayar.
Namun sekalipun demikian, berhubung jaminan tersebut adalah
jaminan bersyarat, maka seller (penjual) hanya berhak meminta
pembayaran apabila dia sudah memenuhi semua syarat yang telah
ditetapkan dalam Kredit Dokumenter tersebut.
f. Untuk kelancaran pembayaran atas dasar Kredit Berdokumen (L/C)
diperlukan paling tidak dua buah bank, yaitu Bank pembeli
16
Hans Van Houtte, op.cit., 257.
17
Hans Van Houtte, op.cit., 258n.
18
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 15; Hans van Houtte, op.cit., hlm 259.
(Menurut van Houtte, dengan tidak adanya hubungan antara kontrak
penjualan atau jual beli dengan L/C, seorang nasabah (penjual) tidak
dapat meminta bank penerbit untuk tidak melakukan pembayaran dengan
alasan bahwa barang yang dikirim kepadanya tidak sesuai dengan kontrak).
L/C telah terpenuhi.19 Hal inilah yang disebut juga sebagai
prinsip otonomi dari L/C.20
Pasal 3 UCP 500 menegaskan sifat independen ini:
19
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 15.
20
E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 263 (menyebutkan ‘the principle of the
autonomy of the L/C’. Prinsip ini didasarkan pada fakta bahwa bank lebih
berkepentingan atau lebih peduli dengan dokumen-dokumen, bukan denga
barang-barang yang tercantum di dalamnya).
d. Hubungan Hukum antara Para Pihak dalam Transaksi L/C
21
Di samping 4 pihak tersebut di atas, pihak-phak lain yang dapat
terkait adalah:
(1) Negotiating Bank adalah Bank yang melakukan negosiasi atas draft
(wesel) dan dokumen pengapalan milik seller (biasanya advising bank juga
merupakan negotiating bank).
(2) Reimbursing Bank adalah Bank kepada siapa penagihan atas pengapalan
barang dilakukan (bisa opening bank atau bank lain yang berfungsi
sebagai imbursing bank). Penunjukan bank ini biasanya terjadi apabila
antara eksportir dan importir tidak ada hubungan rekening untuk
menyelesaikan pembayarannya.
(3)Confirming Bank (bank pengkonfirmasi) adalah Bank yang diminta oleh
bank untuk menambahkan konfirmasi pada L/C.
(4) Pihak lainnya yang tidak langsung terlibat dalam pelaksanaan L/C,
yakni: Perusahaan Pelayaran/Perkapalan; Bea dan Cukai/Pabean; Perusahaan
Asuransi; Badan-badan pemeriksa (perwakilan Sucofindo); Badan-badan
penelitian lainnya. (Amir M.S., op.cit. (note 1), hlm. 3,4).
konosemen). Bank, jika menurutnya diperlukan, menahan dokumen-
dokumen ini sampai klien telah membayar.22
(2) Bank Penerbit dan Penerima
Bank penerbit menandatangani L/C untuk kepentingan penjual.
L/C di dalamnya mengandung persyaratan dari Bank untuk membayar
atau menerima atau menegosiasikan suatu bill of exchange segera
setelah dokumen yang dipersyaratkan dalam kontrak dasar
diperlihatkan. L/C menetapkan tanggal jatuh tempo dan tempat
23
untuk mengajukan dokumen untuk pembayaran.
Dalam hal ini, hukum nasional negara-negara berbeda mengenai
hubungan hukum antara bank penerbit dan penerima ini. Misalnya,
menurut negara-negara Common Law (misalnya hukum Inggris dan
Amerika Serikat), hubungan hukum antara bank penerbit dan
24
penerima termuat dalam kontrak (kontraktual).
Sedangkan menurut negara dengan sistem hukum Civil, misalnya
hukum Belgia dan Belanda, hubungan hukum tersebut tampak pada
kehendak tegas dari para pihak. Perbedaan dalam sistem hukum ini
menjadi penting dalam praktek.25
Jika prestasi bank bersifat kontraktual, maka dalam hal
demikian itu prestasi tersebut harus diperlihatkan bahwa penerima
telah menerima usulan tersebut. Eksportir atau penjual dapat
mengajukan gugatan terhadap bank penerbit berasarkan L/C. Dalam
hal ini ia berhak atas pembayaran jika ia telah memenuhi syarat-
syarat dalam L/C.26
22
Hans Van Houtte, op.cit., 263; Chia-Jui Cheng, op.cit., hlm. 581.
23
Hans Van Houtte, op.cit., 263; Chia-Jui Cheng, op.cit., hlm. 581.
24
Hans Van Houtte, op.cit., 264.
25
Hans Van Houtte, op.cit., 264.
26
Hans Van Houtte, op.cit., 264; lihat pula Ramlan Ginting, op.cit.,
hlm. 88-89; Chia-Jui Cheng, op.cit., hlm. 582.
dengan mandatnya, atau telah menerima suatu bill of exchange
(wesel) yang ditarik oleh penerima, maka ia berhak atas
pembayaran dari bank penerbit.27
(4) Penerima dan Bank Penerus
Terhadap penerima, bank penerus seolah-olah bertindak
sebagai agen dari bank penerbit. Karenanya, penerima tidak berhak
untuk menggugat bank penerbit.28
(5) Bank Penerbit dan Bank Pengkonfirmasi
Jika bank lain menjadi Confirming Bank (Bank
Pengkonfirmasi), yakni bank yang turut menjamin pembayaran L/C,
maka ia bersama-sama dengan bank penerbit bertanggung jawab untuk
membayar suatu bill of exchange.29
27
Hans Van Houtte, op.cit., 264; lihat pula Ramlan Ginting, op.cit.,
hlm. 89.
28
Hans Van Houtte, op.cit., 264; lihat pula Ramlan Ginting, op.cit.,
hlm. 92.
29
Hans Van Houtte, op.cit., 264.
e. Pembukaan L/C
1). Aplikasi (Application)
Segera setelah penjual dan pembeli menandatangani kontrak
penjualan. Dalam kontrak tersebut memuat kesepakatan bahwa
transaksi akan diselesaikan dengan Letter of Credit (L/C), maka
pembeli akan meminta kepada banknya untuk membuka L/C.
Data-data yang harus tercantum dalam formulir aplikasi
terdiri dari:
(1) Nama dan alamat Beneficiary;
(2) Nama dan alamat pembeli/pemohon;
(3) Nilai L/C yang dibuka dengan shipping terms yang talah
disetujui (FOB/CIF/C&F);
(4) Jenis L/C (Revocable/Irrevocable);
(5) Syarat pembayaran (Sight/Usance);
(6) Uraian barang;
(7) Dokumen-dokumen yang diperlukan, baik jenis maupun jumlahnya;
(8) Masa berlakunya L/C (Validity of the Credit) dengan
menetapkan “expire date”;
(9) Tanggal pengapalan terakhir;
(10) Pelabuhan bongkar muat;
(11) Persyaratan barang yang harus dikirim oleh penjual;
(12) Ketentuan-ketentuan khusus yang diperlukan (misalnya: boleh
tidaknya penggantian kapal; atau boleh tidaknya pengapalan
sebagian);
(13) Cara penyampaian L/C lewat surat atau teleks, dan sebagainya.
3) Syarat-syarat L/C
L/C yang dibuka oleh suatu bank harus memenuhi syarat-syarat
umum yaitu:
(1) Menyebutkan nama dan alamat penerima dan pemohon dengan jelas;
(2) Menyebutkan masa berlakunya L/C;
(3) mencantumkan nama bank penerus (advising bank) yang dituju;
(4) Mencantumkan dengan tegas jenis L/C;
(5) Uraian barang harus jelas dan tegas;
(6) Ketentuan-ketentuan atau syarat-syarat dalam L/C harus jelas
tidak berbelit-belit dan tidak mensyaratkan hal-hal yang tidak
mungkin dipenuhi oleh penerima (beneficiary); dan
(7) Menyatakan bahwa L/C tunduk pada UCPDC dengan mencantumkan
klausul yang berbunyi: “This credit is subject to Uniform
Costums and Practice for Documentary Credit 1993 revision, ICC
Publication 500.”
f. Aturan Hukum Yang Berlaku (Applicable Rules)
Kredit berdokumen digunakan untuk membiayai transaksi
perdagangan internasional. Karena itu masalah hukum apa yang akan
mengaturnya merupakan salah satu persoalan yang penting.
Di samping itu, ada juga negara-negara yang mengeluarkan
hukumnya sendiri guna mengatur Kredit Dokumenter. Dalam hal
demikian, dapat saja antara hukum nasional suatu negara akan
menjadi konflik dengan hukum nasional negara lainnya.30
Guna mencegah agar konflik tersebut tidak menjadi hambatan
bagi perdagangan internasional, suatu pemecahan atau jalan keluar
perlu ditempuh. Salah satu pemecahan yang acapkali ditempuh
adalah dengan mengacu kepada prinsip-prinsip hukum perdata
internasional yang relevan dalam mengatur L/C.
Ada juga keinginan agar hukum yang mengatur kredit
berdokumen itu tercipta adanya suatu keseragaman hukum. Salah
satu upaya ke arah unifikasi hukum tersebut adalah lahirnya UCP
oleh ICC.
Berdasarkan uraian di atas, aturan hukum yang mengatur
kredit berdokumen ini adalah: (1) Ketentuan-ketentuan Hukum
Perdata Internasional; dan (2) The Uniform Customs and Practice
(UCP).31
30
Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm. 574 (Schmitthoff menggambarkan
hukum nasional Inggris tentang L/C, yakni Section 72 dari the Bills of
Exchange Act 1882).
Bila tidak ada hukum yang dipilih, maka hubungan hukum antara
nasabah dan bank penerbit (the issuing bank) pada umumnya
diatur oleh hukum di negara di mana 'the most characteristic
performance' (pelaksanaan kontrak yang paling
berkarakteristik) adalah yang akan digunakan, atau di mana
pihak melaksanakan performance (prestasi) berdomisi, yaitu
biasanya negara di mana bank yang memberikan kredit berada;32
(b) dalam hal kaitannya antara bank penerbit (the issuing bank),
bank penerus (the adivising bank) dan penerima (the
beneficiary), maka hukum yang berlaku adalah hukum yang
33
dipilih mereka.
Bila tidak ada hukum yang dipilih, maka hukum yang berlaku
adallah hukum di negara di mana kredit tersebut dicairkan. Hal
ini adalah hukum di (negara) mana penerima (beneficiary) atau
penjual menerima dokumen dan menerima pembayaran, yaitu
biasanya negara dari bank penerus (the adivising bank) atau
bank pengkonfirmasi (confirming bank).34
(c) Jika tidak ada hukum yang dipilih oleh bank, maka hubungan
antara bank penerbit (the issuing bank) dan bank penerus (the
advising bank) diatur oleh hukum di mana bank penerbit
(advising bank) berada (didirikan). Hal ini biasanya berlaku
terhadap hubungan antara bank penerus (the advising bank) dan
penerima (the beneficiary). Sulit untuk diterima bila sistem
hukum yang berbeda diterapkan terhadap dua aspek dari satu
atau transaksi yang sama.35
31
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 25; Hans Van Houtte, op.cit., 265.
32
Hans Van Houtte, op.cit., 264. Di negara-negara Common Law, penerapan
hukum perdata internasional menunjukkan bahwa dalam hubungan hukum antar
para pemohon (nasabah) dengan bank penerbit prinsip hukum perdata
interansional yang akan diterapkan adalah the law of the closest
connection and most real connection (Chia-Jui Cheng (ed.), op.cit., hlm.
580.
33
M. Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 350 (mengaskan bahwa “... the parties
to the underlying transaction specify a choice of law and forum and
submit themselves to the law and jurisdictions of that country in the
case of a dispute”); Lihat pula Ramlan Ginting, op.cit., 25.
34
Hans Van Houtte, op.cit., 265.
(2) Uniform Customs and Practice36
International Chamber of Commerce (ICC) yaitu Kamar Dagang
International telah menerbitkan ketentuan mengenai kredit
berdokumen. Ketentuan tersebut yakni Uniform Customs and Practice
for Documentary Credit (UCPDC). Aturan-aturan yang termuat di
dalamnya merupakan kodifikasi dari praktek-praktek perdagangan
internasional dan praktek perbankan.37
ICC untuk pertama kali menerbitkan UCP pada tahun 1933. UCP
mengalami beberapa kali revisi. Revisi dilakukan pada tahun 1951,
1962, 1974, 1983 dan terakhir 1993 (UCP DC No 500 tahun 1993 yang
berlaku mulai tanggal 1 Januari 1994). Revisi ini dilakukan untuk
mengakomodasi perkembangan teknologi, perkembangan teknik dan
perkembangan di bidang pengangkutan.
Dalam pelaksanaan Kredit Dokumenter, bank-bank pada umumnya
di lebih dari 170 negara telah menundukkan diri kepada UCP. Dalam
dokumen L/C mereka mencantumkan klausul berbunyi: "This credit is
subject to Uniform Custems and practice for Documentary Credit,
ICC Publication No 500 1993 Revision."38
UCP 500 memuat ketentuan-ketentuan dan penjelasan -
penjelasan tentang Kredit Dokumenter (L/C). UCP terdiri dari 49
pasal, yang dikelompokkan ke dalam sub bagian berikut:
A. General provisions and definitions
B. Form and notification of credits
C. Liabilities and responsibilities
D. Documents
E. Miscellaneuous provisions
F. Transferable credits
G. Assignment of proceeds.
35
Han van Houte, op.cit., hlm. 265.
36
Lihat antara lain, E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 248 et.seq., George
Curmi, "Documentary Credits and Their Administration," dalam Jonathan
Reuvid (ed.), Strategic Guide to International Trade, Kogan Page, 1997,
hlm. 133 et.seqq.; M. Rafiqul Islam, op.cit., hlm. 350-351.
37
Ellinger mengungkapkan bahwa praktik awal penggunaan kredit
berdokumen in bermula pada praktik perbankan Amerika Serikat, yaitu
ketika dilangsungkannya the New American Commercial Credit Conference di
New York pada tahun 1920. (E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 248).
38
Sesuai dengan bunyi ketentuan pasal 1 UCP.
Aturan-turan UCP sifat atau kekuatan hukumnya semata-mata
mengatur. Kesepakatan para pihak masih tetap berlaku. Bahkan
kesepakatan para pihak dapat mengenyampingkan beberapa aturan
ketentuan dari UCP. Hal ini dapat terjadi manakala mereka
beranggapan bahwa aturan tertentu dari UCP tidak sesuai dengan
keinginan mereka.39
Meskipun UCP telah diimplementasikan di banyak negara, UCP
sendiri memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:
(1) UCP pada prinsipnya akan berlaku hanya atau sepanjang bank
penerbit mencantumkan atau memilih UCP secara tegas sebagai
aturan yang mengatur L/C.40 Dalam kaitan ini Ellinger
menyatakan bahwa:
“... it would appear advisable to regard the Code ... as being
applicable by reason of its incorporation in documentary
credit transaction. It would, thus, constitute a contractual
document and would not enjoy the status of a set of norms
consecreated by usage.”41
39
Ademuni-Odeke, The Law of International Trade, London: Blackstone,
1999, hlm. 271. (Beliau menegaskan bahwa "... the UCP is subject to the
express terms of the credit"); lihat pula E.P. Ellinger, op.cit., hlm.
251 et.seq. (mengungkapkan kekuatan mengikat UCP di berbagai negara yang
ternyata berbeda-beda).
40
Lihat pasal 1 UCP; Lihat pula Clive M. Schmitthoff, “The New Uniform
Customs for Letters of Credit,” dalam: Chia-Jui Chen (ed.), op.cit.,
hlm. 449.
41
E.P. Ellinger, op.cit., hlm. 252-253.
42
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 3.
g. Klasifikasi L/C
(1). Jenis-jenis L/C.
(1) Revocable L/C
46
Pasal 6 (c) UCP.
47
Ademuni-Odeke, op.cit., hlm. 277.
(3) Irrevocable Confirmed L/C
Jenis L/C adalah Irrevocable apabila L/C tersebut
mendapatkan konfirmasi sebuah bank pengkonfirmasi (Confirming
Bank). Dalam hal ini bank pengkonfirmasi turut menjamin kewajiban
bank penerbit dengan memberikan konfirmassi atau janjinya untuk
membayar L/C.
Tampak bahwa jenis L/C ini memberi kepastian jaminan kepada
penerima. Jika bank penerbit tidak melakukan pembayaran atas
barang yang dikapalkan, maka bank pengkonfirmasi akan membayar
barang yang telah dikapalkan.
Permintaan demikian demikian biasanya dituliskan dengan
kata-kata sebagai berikut dalam L/C: “Please advice beneficiary
with adding your confirmation”.
Yang dapat menjadi bank pengkonfirmasi bisa bank penerus
atau bank lain yang diminta oleh bank penerbit. Dengan adanya
permohonan korfirmasi tersebut, dan jika bank yang diminta
confirm L/C tersebut menyepakatinya, maka ia akan menambahkan
konfirmasinya dalam L/C, sebelum L/C diserahkan kepada penerima.
(4) Sight (Payment) L/C
Jenis Sight L/C (Payment L/C) adalah L/C yang pembayaranya
dilakukan secara tunai segera setelah dokumen-dokumen yang
disyaratkan diajukan atau diserahkan.
Setelah penerima mengapalkan barang, maka dia dapat langsung
minta pembayaran kepada negotiating bank dengan menyerahkan
dokoumen-dokumen pengapalan yang diperlukan disertai dengan
wesel/draf-nya.
Atas pembayaran yang dilakukan, maka bank penegosiasi
(negotiating bank) segera melakukan penagihan/reimbursement
kepada bank penerbit (opening/issuing bank). Bank penerbit akan
segera pula melakukan pembayaran pada saat menerima dokumen-
dokumen tersebut.
(5) Acceptance L/C
Jenis Acceptance L/C atau L/C berjangka adalah L/C yang
pembayarannya dilakukan pada suatu jangka waktu tertentu setelah
wesel diunjukan atau setelah barang dikapalkan.
Acceptance L/C merupakan pemberian kredit kepada pembeli
oleh penjual sebab pembeli di luar negeri akan menerima barang-
barang tanpa melakukan pembayaran pada saat yang sama melainkan
pada jangka waktu tertentu sesuai dengan yang ditetapkan dalam
L/C.
2. Bentuk Khusus Kredit Berdokumen
(1) Standby L/C
Jenis Standby L/C lebih dikenal sebagai alat atau sarana
penjamin. Jenis L/C ini acapkali disebut pula sebagai Guarantee
L/C. Jenis ini cenderung digunakan di wilayah suatu negara di
mana isu jaminan itu tidak dimungkinkan atau tidak dibolehkan.48
Jenis L/C ini dimaksudkan untuk melindungi penerima jika pihak
lainnya wanresptasi (berdasarkan kontrak).
Menurut Ginting, jenis L/C ini adalah “bahwa bank penerbit
bersiap-siap untuk melaksanakan kewajibannya dalam hal pemohon
wanprestasi.”49
Perlu pula dinyatakan di sini bahwa Standby L/C dalam hal
tertentu berbeda dengan bank guarantee (garansi bank). Perbedaan
tersebut Standby L/C merupakan kewajiban utama dari bank
penerbit.50 Yang membedakan jenis L/C ini dengan jaminan bank
adalah bahwa Standby L/C tunduk pada UCP.51 Sedangkan Bank garansi
tunduk pada hukum nasional. Di samping itu, dalam hal adanya
default (non-performance), pencairan dana langsung dilaksanakan
oleh Bank berdasarkan klaim yang diterima. Sedangkan pada bank
garansi, bank penerbit garansi bank baru mencairkan dana atau
membayar penerima (beneficiary) setelah berhasil dibuktikan
adanya default (non performance).52
48
George Curmi, op.cit., hlm. 134.
49
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 50. Cf., Ellinger menyatakan bahwa
standby credit ini “... is furnished at the instruction of the seller to
protect the buyer if the goods turn out to be faulty” (E.P. Ellinger,
op.cit., hlm. 247).
50
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 50.
51
George Curmi, op.cit., hlm. 134.
52
Masukan dari Sdr. Pitman, 23 Oktober 2004.
(2) Transferable L/C
Transferable L/C adalah jenis L/C yang dapat dialihkan dari
penerima I kepada satu atau lebih penerima lainnya. Kredit yang
dialihkan dapat seluruh atau sebagiannya.53 Dalam hal ini penerima
1 hanya dapat mengajukan permohonan. Ia tidak dapat memerintah
bank-nya untuk mengalihkan kredit. Keputusan untuk mengahlihkan
atau tidak tetap berada pada keputusan bank penerus (atau bank
pengkonfirmasi).54
Jenis L/C ini diatur dalam pasal 48 UCP. Pasal ini
menyatakan:
“A transferable Credit is a Credit under which the
Beneficiary (First Beneficiary) may request the bank
authorised to pay, incur a deferred payment undertaking,
accept or negotiate (the “Transferring Bank” or in the case
of a freely negotiable Credit, the bank specifically
authorised in the Credit as a Transferring Bank, to make the
Credit available in whole or in part to one or more other
Beneficiary(ies) (Second Beneficiary(ies)).”
53
George Curmi, op.cit., hlm. 133.
54
George Curmi, op.cit., hlm. 134.
(3) Back to Back L/C
Back to Back L/C adalah L/C yang dibuka oleh penerima I dari
sebuah L/C kepada penerima lainnya. Di dalam jenis ini, transaksi
L/C melibatkan dua L/C, L/C induk (Master L/C) dan L/C anak (Baby
L/C).
Dalam L/C back to Back penerima I semata-mata bertindak
sebagai pemohon. Ia bertanggung jawab penuh terhadap
pembayarannya kepada penerima II. Kewajiban penerima II adalah
memenuhi ketentuan-ketentuan sesuai dengan yang ditetapkan dalam
Back to Back L/C, tanpa melihat syarat dan ketentuan yang ada
pada L/C induknya (Master L/C).
55
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 47.
56
George Curmi, op.cit., hlm. 134.
(4) Revolving L/C
Revolving L/C adalah L/C yang secara otomatis berlaku secara
berulang-ulang oleh penerima dalam jumlah tertentu selama jangka
waktu tertentu, tanpa harus memasukkan permohonan penerbitan L/C
baru atau memohon perubahan terhadap L/C.57
Revolving L/C dapat bersifat Kummulatif atau Non-kummulatif.
Dalam hal Revolving L/C kumulatif, bila nilai L/C tidak
direalisasi seluruhnya, maka sisa nilai L/C tersebut akan
ditambahkan dengan nilai L/C semula untuk pengapalan periode
berikutnya. Dalam hal Non-kummulatif, sisa L/C yang tidak
direalisasi dihapus, dan untuk masa berlaku/ periode berikutnya
adalah sebesar nilai L/C semula.58
57
Lihat pula George Curmi, op.cit., hlm. 134.
58
Amir M.S., op.cit., hlm. [FIND PLS].
(5) Red Clause L/C
Red Clause L/C adalah jenis L/C yang dibayar di muka setelah
terpenuhinya syarat-syarat tertentu. Misalnya, dengan
diperlihatkannya tanda terima yang sederhana (yang ada), invoice
dan dokumen pengapalan. Nilai pembayaran di muka ini dinyatakan
dalam L/C. misalnya, 30 % atau 40 % dari nilai barang.59
Jenis L/C ini memuat klausul khusus yang memberi wewenang
kepada bank penerus (advising bank) untuk melakukan pembayaran
sejumlah uang muka kepada penerima sebelum dokumen-dokumen
diserahkan atau pun sebelum barang dikapalkan. Klausul Red Clause
yang dicantumkan dan dicetak dengan “warna merah” (red clause)
yang isinya memungkinkan penerima menarik pembayaran L/C di
60
muka.
59
George Curmi, op.cit., hlm. 134. Jenis yang sama dengan Red Clause
L/C adalah Green Clause L/C. Kedua jenis L/C ini pada prinsipnya adalah
sama. Hanya dalam Green Clause, biasanya bank mensyaratkan dokumen-
dokumen tambahan yang membuktikan lebih kuat adanya barang yang
diperjual-belikan. Misalnya saja, tanda terima gudang barang, dsb.
(George Curmi, op.cit., hlm. 134).
60
Ramlan Ginting, op.cit., hlm. 47.
C. Penutup
Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa catatan
berikut:
(1) Kredit berdokumen (L/C) merupakan salah satu instrumen
pembayaran yang lahir dari praktek kebiasaan yang sangat
dibutuhkan oleh para pihak (penjual dan pembeli).
(2) Kredit berdokumen merupakan salah satu instrumen yang lahir
karena peran perbankan dalam memfasilitasi transaksi
perdagangan internasional. Peran inilah yang menjadikan
indikasi mengapa dalam hukum perdagangan internasional bank
dipandang pula sebagai salah satu subyek hukum yang cukup
penting.61
(3) Sebagai sarana pembayaran, salah satu keunikan dari L/C ini
adalah sifatnya yang independen atau terlepas dari kontrak
penjualan. Dengan sifatnya ini, ketidakabsahan suatu kontrak
penjualan tidak mengakibatkan tidak sahnya pembayaran yang
dilakukan melalui L/C.
(4) Yang dapat menjadi masalah dalam L/C ini adalah kekuatan
hukumnya, khususnya aturan-aturan L/C yang tercantum dalam
UCPDC (UCP). UCP pun sebenarnya adalah instrumen hukum yang
lahir karena kebiasaan dagang. Kebiasaan dagang yang
dilakukan terus menerus dan kemudian adanya perasaan atau
anggapan bahwa kebiasaan tersebut mengikat, maka sebenarnya
kebiasaan tersebut adalah hukum. Namun khusus untuk UCP ini,
meskipun hukum, tetapi masih perlu adanya penegasan dari para
pihak untuk menundukkan dirinya secara tegas pada UCP.
(5) Yang mungkin dapat pula menjadi masalah adalah bagaimana
posisi badan peradilan terhadap penundukan diri para pihak
terhadap UCP. Sesuai dengan prinsip hukum perdagangan
internasional, khususnya prinsip kebebasan para pihak, maka
seyogyanyalah badan peradilan menghormati kehendak para pihak
tersebut terhadap aturan-aturan UCP yang mengikat mereka.
61
Lihat Bab 2 buku ini mengenai subyek hukum perdagangan
internasional,supra.
DAFTAR PUSTAKA
BAB VI
A. Pengantar
Perkembangan perdagangan internasional tidak akan pernah
1
terlepas dari perkembangan teknologi. Karenanya dalam upaya
bangsa-bangsa mencapai kemakmuran, teknologi tidak terlepas dari
upaya tersebut.
Perkembangan aturan-aturan perdagangan juga tidak terlepas
dari pengaruh perkembangan teknologi. Pengaruh tersebut dewasa
ini semakin nyata dengan lahirnya e-commerce (electronic
commerce). Perkembangan ini cukup signifikan antara lain tampak
dari kuantitas transaksi melalui sarana ini. John Nielson, salah
seorang pimpinan perusahaan Microsoft, menyatakan bahwa dalam
kurun waktu 30 tahun, 30 % dari transaksi penjualan kepada
konsumen akan dilakukan melalui e-commerce.2
Batasan e-commerce adalah transaksi-transaksi dalam
perdagangan internasional yang dilakukan melalui pertukaran data
elektronik dan cara-cara komunikasi lainnya.3 Pertukaran data
elektronik tersebut dilakukan melalui berbagai teknologi. Salah
satunya adalah melalui electronic data interchange (EDI).4
Perkembangan e-commerce mulai berkembang secara signifikan
ketika internet mulai diperkenalkan. Perkembangan internet ini
1
Cf., Assafa Endeshaw, Internet and E-commerce Law, Singapore: Prentice
Hall, 2001, hlm. 3 (mengutip Nathan Rosenberg, 1982, bahwa “the history
of mankind is also a history of the development of artefacts, the
history of technology”).
2
Abu Bakar Munir, Cyber Law: Policies and Challenges, Malaysia,
Singapore, Hong Kong: Butterworths Asia, 1999, hlm. 205.
3
Definisi UNCITRAL, dalam Resolusi Majelis Umum-PBB, 51/162
(“transactions in international trade which are carried out by means of
electonic data interchange and other means of communications”).
4
EDI mulai digunakan di Amerika Serikat pada akhir tahun 1960-an.
Sistem ini menghemat biaya, waktu dan kertas. Namun penggunaan EDI
kurang begitu populer. Hanya 5 % dari perusahaan-perusahaan di dunia
yang menggunakan EDI. (Abu Bakar Munir, op.cit., hlm. 205); Assafa
Endeshaw, op.cit., hlm. 243, et.seq.
2
5
Abu Bakar Munir, op.cit., hlm. 205.
6
Abu Bakar Munir, op.cit., hlm. 205; Sanson, op.cit., hlm. 144 (Sanson
mengungkapkan pula 4 masalah dalam bertransaksi secara e-commerce, ini:
(1) kerahasiaan; (2) keaslian data (authentication); (3) integritas
data; dan (4) masalah non-repudiation, yaitu masalah pengakuan pengirim
data bahwa memang ia telah mengirim data tersebut).
7
Rafiqul Islam, International Trade Law, London: LBC, 1999, hlm. 426.
3
8
Sanson, op.cit., hlm. 143.
9
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 426.
4
10
Negara yang mula-mula berinisiatif menyusun aturan-aturan hukum di
bidang e-commerce ini adalah Amerika Serikat yang kemudian diikuti
negara-negara Eropa Barat.
5
11
Lihat Bab I di atas mengenai upaya UNCITRAL dalam mengupayakan
harmonisasi (dan unifikasi) hukum perdagangan internasional.
12
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to Enactment,
1996, with additional article 5 bis as adopted in 1998. (Selanjutnya
disebut “Guide to Enactment”).
6
13
Lihat lebih lanjut: E. Saefullah dan Danrivanto Budhijanto,
’Perspektif Hukum Internasional tentang Cyber Law,’ dalam: Mieke Komar
Kantaatmadja, et.al. (eds.), op.cit., hlm. 93-94; Sanson, op.cit., hlm.
145.
14
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 426.
15
Abdul Bakar Munir, Op.cit., hlm. 213.
7
16
Dari struktur atau komposisi Bab yang diaturnya tampak sekilas bahwa
bab-bab UNCITRAL Model Law tidak lengkap. Khususnya bab terakhir yaitu
bidang-bidang khusus (specific areas), ternyata hanya memuat 1 bab saja
yaitu bab mengenai pengangkutan barang. Hal ini memang oleh perancang
Model Law sengaja dibuat demikian. Perancang Model Law sebenarnya
berharap bahwa di kemudian hari ada perkembangan pengaturan yang khusus
mengenai bidang-bidang lainnya. Sehingga Model Law memuat ketentuan
demikian. Lihat pula para. 11 dan 12 Guide to Enactment. Sebagai contoh
pada tahun 1998, UNCITRAL memasukkan pasal tambahan baru untuk pasal 5
yaitu pasal 5 bis.
17
Pasal 1 Model Law.
8
18
Cf., lihat Bab III di atas mengenai sumber-sumber hukum perdagangan
internasional. Dalam hal mengenai penafsiran, hukum internasional telah
memberi aturan mengenai penafsiran dalam Konvensi Wina 1969 tentang
Hukum Perjanjian (the Vienna Convention on the Law of Treaties of
1969).
19
Pasal 3 UNCITRAL Model Law tidak secara tegas menjelaskan apa yang
dimaksud dengan kebutuhan-kebutuhan khusus ini. Tetapi dalam Guide to
Enactment kita dapat pahami bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan-
kebutuhan khusus tersebut tidak lain adalah Model Law itu sendiri. Para.
5 Guide to Enactment berbunyi sebagai berikut: “... Furthermore, at an
international level, the Model Law may be useful in certain cases as a
tool for interpreting existing international conventions and other
international instruments that create legal obstacles to the use of
electronic commerce, for example by prescribing that certain documents
or contractual clauses be made in written form. As between those States
parties to such international instruments, the adoption of the Model Law
as a rule of interpretation might provide the means to recognize the use
of electronic commerce and obviate the need to negotiate a protocol to
the international instrument involved.” (Huruf tebal oleh penulis).
20
Para. 16 Guide to Enactment; Sanson, Op.cit., hlm. 145.
21
Sanson, Op.cit., hlm. 145.
9
22
Mieke Komar Kantaatmadja, “Pengaturan Kontrak Untuk Perdagangan
Elektronik (E-Contracts),” dalam: Mieke Komar Kantaatmadja, et.al.
(eds.), Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: ELIPS, 2002, hlm. 3-4
(mengacu kepada Gerald R. Ferrera, et.al., Cyber Law, Ohio: South-
Western College, 2001, hlm. 363.
10
a. Syarat Tertulis
Persyaratan hukum tertulis terpenuhi oleh adanya pesan data
ini apabila informasi yang terkandung di dalamnya dapat diakses
("accessible") setiap saat. Selain itu pula, pesan data tersebut
selanjutnya atau dapat digunakan dan dirujuk sebagai referensi
(bahan acuan) selanjutnya.25
23
Pasal 5 UNCITRAL Model Law.
24
Para. 47 Guide to Enactment.
11
c. Syarat Keaslian
Persyaratan hukum dari presentasi (penampilan) atau
penyimpanan suatu informasi dalam bentuk aslinya terpenuhi pada
suatu pesan data, apabila:
(1) Terdapat jaminan mengenai integritas informasi pada waktu
pertama kali dituangkan dalam bentuk akhir sebagai suatu pesan
data; dan
(2) informasi dapat ditampilkan kepada suatu pihak yang
disyaratkan untuk ditampilkan terhadapnya.
Integritas suatu informasi ditentukan berdasarkan pada
sifat pesan data tersebut yaitu, bahwa informasi tersebut tetap
atau tidak berubah. Jadi di sini yang ditekankan adalah status
atau kestabilan muatan dari pesan data tersebut. Model Law di
sini mensyaratkan bahwa pesan data atau data elektronik tersebut
harus tidak dapat diubah.
Model Law melihat ke-3 syarat ini cukup sulit sebab syarat
keaslian suatu ‘dokumen’ dari suatu pesan data sudah barang tentu
sangat berbeda denga dokumen-dokumen asli yang pada umumnya
disyaratkan untuk transaksi-transaksi tertentu, misalnya akte
tanah, polis asuransi, dll. Dokumen-dokumen tertulis terakhir ini
relatif agak sulit untuk dipalsukan atau diubah oleh salah satu
pihak. Hal ini berbeda dengan pesan data atau data elektronik.
Oleh karena itu, pendekatan yang ditempuh oleh Model Law
adalah mengenakan persyaratan minim (‘minimum requirement’),
seperti tampak dalam pasal 8 tersebut di atas. Pendekatan ini
dianggap juga sama sebagai ‘functional equivalent” dari suatu
sifat atau tujuan dari keaslian dokumen.27
25
Pasal 6 UNCITRAL Model Law.
26
Pasal 7 UNCITRAL Model Law.
27
Para. 63 dan 64 Guide To Enactment.
12
28
Di Indonesia misalnya, tidaklah gampang untuk menyatakan bahwa data
elektronik dapat dijadikan bukti sebagaimana dinyatakan dalam UNCITRAL
Model Law tersebut. Cf., lihat Danrivanto Budhijanto, Op.cit., hlm. 67
(mengungkapkan kemungkinan timbulnya masalah dalam pembuktian pesan
data elektronik sebagai alat bukti, yaitu: (1) pesan data tidak banyak
berbeda dari salinan pesan itu sendiri; (2) pesan data tidak terdapat
tanda tangan; (3) pesan data itu tidak termuat dalam secarik kertas
(paperless); dan (4) masih dimungkinkannya penipuan pesan data); Cf.,
masalah-masalah dalam e-commerce, supra, khususnya Sanson, op.cit.,
hlm. 144.
29
Pasal 9 UNCITRAL Model Law.
30
Pasal 10 UNCITRAL Model Law.
13
(2) pesan data disimpan dalam format yang sama dengan semula,
dikirim atau diterima, atau dalam bentuk yang dapat
ditampilkan sehingga informasi yang akurat sejak awal, dikirim
atau diterima; dan
(3) informasi tersebut disimpan guna memungkinkan atau
mengidentifikasi asal mula dan tujuan dari suatu pesan data,
dan tanggal dan waktu data tersebut dikirim atau diterima.
31
Para. 76 Guide to Enactment.
14
32
Dilihat dari syarat-syarat yang ditetapkannya, tampak bahwa Model Law
lebih cenderung mengacu kepada syarat-syarat sahnya suatu kontrak
berdasarkan sistem Common Law. Berdasarkan Common Law, syarat sahnya
suatu kontrak adalah: (1) kesepakatan para pihak untuk mengikatkan
diri. Syarat ini mencakup: “(a) adanya suatu penawaran (offer) dari
pihak offeror sebagai pihak pertama; (b) adanya penyampaian penawaran
tersebut kepada offeree sebagai pihak kedua; (c) adanya penerimaan
penawaran oleh pihak kedua yang menyatakan kehendaknya untuk terikat
pada persyaratan dalam penawaran tersebut; dan (d) adanya penyampaian
penerimaan (acceptance) oleh pihak kedua kepada pihak pertama; (2)
Consideration (‘something of value’) yang dipertukarkan antara para
pihak; (3) kecakapan untuk membuat perjanjian; dan (4) suatu obyek yang
halal.” (Mieke Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 4-5; mengutip Henry R.
Cheeseman, Business Law, Prentice Hall, hlm 180-181).
33
Pasal 11 UNCITRAL Model Law.
34
Pasal 12 UNCITRAL Model Law. Pasal ini disusun pada tahap akhir
perumusan Model Law. Pasal ini dibuat untuk menegaskan prinsip dari
akibat dari suatu kontrak yang sah. (Para. 81 Guide to Enactment).
15
35
Bunyi pasal ini sebenarnya mengacu kepada pasal 5 dari Model Law
UNCITRAL mengenai transfer kredit internasional (UNCITRAL Model Law on
International Credit Transfer). Pasal ini meletakkan kewajiban-
kewajiban dari pengirim dalam melakukan tansfer kredit. (Para. 83 Guide
to Enactment).
36
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 429. Maksud utama pasal ini bukan untuk
menentukan siapa yang akan bertanggung jawab tetapi untuk memberi
kriteria mengenai pengiriman pesan-pesan data denga menetapkan suatu
praduga kapan suatu pesan data berasal dari pengirim asli (originator).
[CEK APA BENAR INI PENJELASANNYA, BUKANNYA MASUK KE FN No 35].
16
37
Pasal 13 UNCITRAL Model Law.
17
8. Pengakuan Penerimaan
Ketentuan mengenai pengakuan penerimaan suatu pesan data
semata-mata merupakan masalah persyaratan mengenai adanya bukti
bahwa offer telah diterima. Masalah ini bukan mengenai akibat
hukum dari adanya penerimaan suatu pesan data (dalam hal ini
adalah offer).38
Pihak originator dapat meminta pada saat atau sebelum
mengirim suatu data atau telah setuju dengan pihak penerima
(addressee), bahwa penerimaan pesan data diakuinya dan bahwa
mereka masing-masing sepakat mengenai bentuk khusus atau metode
tertentu untuk maksud itu.
Dalam hal tidak adanya bentuk atau metode, suatu pengakuan
dapat diberikan oleh setiap alat komunikasi tertentu itu, yang
cukup untuk menunjukkan kepada originator bahwa pesan data telah
diterima. Jika pesan data dibuat dengan persyaratan mengenai
penerima pengakuan, maka pesan data dianggap tidak pernah
dikirimkan sampai pengakuan telah diterima.
Dalam hal tidak adanya persyaratan atau kesepakatan yang
ditentukan/disepakati, orginator yang belum menerima suatu
pengakuan dapat memberikan pemberitahuan dalam jangka waktu yang
layak kepada pihak penerima bahwa ia akan mengirim pemberitahuan
kepada pihak penerima. Dan dengan memberikan jangka waktu yang
layak, ia mengharapkan penerimaan pengakuan dari penerima.
Kelalaian untuk memenuhi jangka waktu ini akan dianggap
bahwa pesan data dianggap belum pernah dikirim oleh pihak
39
originator.
Dalam hal suatu pengakuan diterima oleh pihak originator,
asumsinya adalah bahwa pesan data diterima oleh pihak penerima.
Apabila pengakuan menunjukkan bahwa pesan data diterima telah
38
Para. 93 Guide to Enactment. Lihat pula Rafiqul Islam, Op.cit., hlm.
430; lihat pula Assafa Endeshaw, op.cit., hlm. 254 (beliau menyatakan
bahwa Model Law tidak mengatur ... ”which party will have the rights
and which party bears the liabiities in the specific contractual
arrangement”).
39
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 429.
18
40
Para. 100 Guide to Enactment.
19
41
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 430.
42
Perlu untuk dikemukakan di sini bahwa suatu pesan data tidak boleh
dipertimbangkan isinya apabila pesan data tersebut sekedar sampai pada
sistem informasi si penerima, tetapi gagal untuk masuk ke dalamnya.
Dalam hal ini Model Law tidak secara tegas mengatur masalah kemungkinan
tidak berfungsinya (rusaknya) sistem informasi sebagai dasar untuk
lahirnya tanggung jawab, khususnya manakala sistem informasi penerima
tidak berfungsi sama sekali atau berfungsi tetapi ada kerusakan atau
meskipun dapat berfungsi dengan baik namun tidak dapat dimasuki oleh
adanya pesan data. Karena itu pengiriman berdasarkan Model Law tidak
terjadi. (Para. 104 Guide to Enactment).
20
43
Model Law menyatakan: “... Part two of the Model Law does not in any
way limit or restrict the field of application of the general
provisions of the Model Law.” (Para. 109 Guide to Enactment).
21
(10) hal-hal lain yang terkait dengan hak atas barang, hak dan
kewajiban berdasarkan kontrak.44
44
Daftar-daftar di atas tidak bersifat sebagai ilustrasi semata. Daftar
tersebut juga tidak hanya untuk sektor pengangkutan laut (maritim),
tetapi juga moda-moda angkutan lainnya (Para. 122 Guide to Enactment).
45
Para. 110 Guide to Enactment.
22
46
Danrivanto Budhijanto, Op.cit., hlm. 67.
47
Danrivanto Budhijanto, Op.cit., hlm. 67.
48
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431; Danrivanto Budhijanto, op.cit.,
hlm. 68 dan 72; Sanson, op.cit., hlm. 144.
23
b. Certification Authority
Certification Authority (CA) adalah konsep yang baru
berkembang, yakni suatu provider jasa pihak ke-3 yang netral dan
independen. CA mengeluarkan serifikat 'untuk menghubungkan suatu
kunci dengan si penandantangan. CA juga bertugas mendaftarkan
suatu public key bersama-sama dengan nama dari pelanggan
(pengguna) sertifikat sebagai 'subyek' sertifikat.
Dengan dimulainya diskusi secara umum mengenai isu yang
dibahas, Working Group mempersiapkan teks-teks mengenai aturan-
aturan seragam pada akhir 1997. Aturan-aturan hukum seragam ini
disahkan oleh Working Group pada sidangnya yang ke-32 di Wina
pada tangggal 19-30 Januari 1998. UNCITRAL mengesahkannya pada
sidangnya yang ke 31 di New York, pada tanggal 1 - 12 Juni 1998.
Aturan-aturan hukum seragam ini antara lain mengatur ruang
lingkup berlakunya aturan (Bab I), tanda tangan elektronik (Bab
2), pejabat sertifikasi dan isu-isu terkait (Bab 3), dan
pengakuan tanda tangan elektronik asing (Bab 4).49
49
Digital Signatures, Certification Authorities and Related Legal
Issues, Doc. Nos. A/CV.9/WG.IV/WP/73 dan A/CN.9/457); Rafiqul Islam,
Op.cit., hlm. 431.
24
D. Penutup
UNCITRAL telah menempuh suatu pendekatan fungsional dalam
Model Law. UNCITRAL tidak menempuh upaya menyusun kembali aturan-
aturan yang ada untuk mengakomodasi e-commerce. Namun yang
dilakukan UNCITRAL adalah menemukan pemecahan secara teknis untuk
memenuhi persyaratan-persyaratan hukum yang ada (dengan sedikit
penyesuaian). Misalnya, masalah integritas dan keaslian
(authenticity) dari suatu pesan data dari tanda tangan elektronis
telah diselesaikan dengan penggunaan metode cryptography.50
Di samping penggunaan cryptography, sebenarnya apa yang
Model Law sumbangkan secara signifikan adalah pengakuan hukum
terhadap pesan data.51 Endeshaw mentakan bahwa Model Law ini
semata-mata menetapkan “legal recognition of data message
transmitted via electronic or other form.”
Oleh karena itulah mengapa beberapa negara telah membuat
rancangan UU-nya mengenai perdagangan secara e-commerce ini
dengan didasarkan kepada seluruh atau sebagian ketentuan dari
Model Law ini. Termasuk antara lain Amerika Serikat dalam
'Uniform Commercial Code'-nya, the Illinois Electronic Commerce
Security Act, dan the Danish Bill for an Act on Digital
Signature. Malaysia telah mengundangkan perundang-undangannya
mengenai electronic commerce dan tanda tangan digital. Negara-
negara lainnya telah pula mempertimbangkan UU nasionalnya untuk
bidang electronic commerce dan tanda tangan digital ini. Sejak
bulan Oktober 1997, Inggris telah memperkenalkan perdagangan
elektronik-nya di pasar modalnya (Stock Exchange). Di Jerman
telah pula mengundangkan the Digital Signature Ordinance pada
tahun 1997 (mulai berlaku pada tanggal 1 November 1997).52
50
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431.
51
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431.
52
Rafiqul Islam, Op.cit., hlm. 431; lihat pula: Mieke Komar
Kantaatmadja, op.cit., hlm. 3 dan 9 (mengungkapkan upaya Amerika
Serikat dan Uni Eropa dalam mempersiapkan aturan-aturan hukum di bidang
e-commercenya).
25
53
Cf., Mieke Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 1 (pengakuan ini perlu
untuk menciptakan kepastian hukum dalam bertransaksi melalui e-commerce
di Indonesia).
54
Pasal 1866 BW dan 154 HIR.
55
Sebenarnya UU kita secara tidak langsung mengakui dokumen perusahaan
sebagai alat bukti tertulis otentik. UU Nomor 8 tahun 1997 tentang
Dokumen Perusahaan telah mengakui adanya data elektronik ini. (Lihat
lebih lanjut: Isis Ikhwansyah, ‘Prinsip-prinsip Universal Bagi Kontrak
Melalui E-Commerce dan Sistem Hukum pembuktian Perdata dalam Teknologi
Informasi,’ dalam: Mieke Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 33).
26
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Munir, Cyber Law: Policies and Challenges, Malaysia,
Singapore, Hong kong: Butterworths Asia, 1999.
Danrivanto Budhijanto, ‘Aspek Hukum “Digital Signature” dan
“Certification Authority” dalam Transaksi E-Commerce,”
dalam: Mieke Komar Kantaatmadja, et.al. (eds.), Cyber Law:
Suatu Pengantar, Jakarta: Elips, 2002.
Endeshaw, Assafa, Internet and Ecommerce Law, Singapore: prentice
Hall, 2001.
Isis Ikhwansyah, ‘Prinsip-prinsip Universal Bagi Kontrak Melalui
E-Commerce dan Sistem Hukum pembuktian Perdata dalam
Teknologi Informasi,’ dalam: Mieke Komar Kantaatmadja,
et.al. (eds.), Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: Elips,
2002.
Islam, Rafiqul, International Trade Law, London: LBC, 1999.
Mieke Komar Kantaatmadja, “Pengaturan Kontrak Untuk Perdagangan
Elektronik (E-Contracts),” dalam: Mieke Komar Kantaatmadka,
et.al. (eds.), Cyber Law: Suatu Pengantar, Jakarta: Elips,
2002.
Mieke Komar Kantaatmadja, et.al. (eds.), Cyber Law: Suatu
Pengantar, Jakarta: Elips, 2002.
UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce with Guide to
Enactment, 1996, with additional Article 5 bis as adopted in
1998.
1
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
A. Pengantar
Transaksi-tansaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya.
Dari berupa hubungan jual beli barang, pengiriman dan penerimaan
barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dll.
Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.
Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap didahului oleh
penyelesaian oleh negosiasi. Manakala cara penyelesaian ini gagal
atau tidak berhasil, barulah ditempuh cara-cara lainnya seperti
penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.1
Penyerahan sengketa baik kepada pengadilan maupun ke
arbitrase kerap kali didasarkan pada suatu perjanjian di antara
para pihak. Langkah yang biasa ditempuh adalah dengan membuat
suatu perjanjian atau memasukkan suatu klausul penyelesaian
sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik
ke pengadilan atau ke badan arbitrase.2
Yang menjadi dasar hukum bagi forum atau badan penyelesaian
sengketa yang akan menangani sengketa adalah kesepakatan para
pihak. Kesepakatan inilah hukum. Kesepakatan tersebut diletakkan
baik pada waktu kontrak ditandatangani atau setelah sengketa
timbul.
Biasanya pula kelalaian para pihak untuk menentukan forum ini
akan berakibat pada kesulitan dalam penyelesaian sengketanya.
Karena, dengan adanya kekosongan pilihan forum tersebut akan
menjadi alasan yang kuat bagi setiap forum untuk menyatakan
dirinya berwewenang untuk memeriksa suatu sengketa.
1
Gerald Cooke, ‘Disputes Resolution in International Trading,’ in:
Jonathan Reuvid (ed)., The Strategic Guide to International Trade,
London: Kogan Page, 1997, p. 193.
2
Pada umumnya di samping menyepakati lembaga atau forum yang akan
menyelesaikan sengketa, para pihak perlu juga menyepakati hokum apa yang
akan diterapkan oleh badan peradilan yang baru disepakati para pihak.
(Gerald Cooke, op. cit., p. 193).
2
3
Bandingkan pula dengan prinsip hukum di Indonesia, bahwa badan peradilan
tidak boleh menolak setiap sengketa yang dibawa ke hadapannya.
4
Gerald Cooke, op. cit., p. 194.
5
Gerald Cooke, op. cit., p. 194.
6
Penulis berpandangan pada yang luas ini. Kata alternatif mencakup semua
alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan para pihak,
termasuk di dalamnya pengadilan.
3
7
Lihat selanjutnya, Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum
Internasional, Jakarta: Rajawali pers, cet. 3, 2002, hlm. 255 et.seq.
5
8
Cf., Pasal 1338 KUH Perdata Indonesia.
9
Pasal 7 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbtration:
‘“Arbitration Agreement” is an agreement by the parties to submit to
arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise
between them in respect of a defined legal relationship , whether
contractual or not. An arbitration agreement may be in the form of an
arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement.’
10
Pasal 38:2 Statuta Mahkamah Internasional: "This provision shall not
prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if
the parties agree hereon."
7
11
Dalam instrumen-instrumen hukum internasional, prinsip ini jarang
sekali ditemui. Hal ini mungkin disebabkan karena sulitnya patokan yang
dapat digunakan untuk mengukur sesuatu pihak telah atau tidak
melaksanakan sesuatu perbuatan dengan itikad baik. Dalam hukum naisonal,
prinsip ini antara lain tampak dalam pasal 1338 KUH Perdata dan UU Nomor
30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pasal 6 ayat (1) UU No 30 tahun 1999 menyatakan: “(1) Sengketa atau beda
pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.“
8
12
Terkutip dari D.J. Harris, Cases and Materials on International Law,
London: Sweet and Maxwell, 5th.ed., 1998, hlm. 617.
13
Lihat lebih lanjut uraian tentang exhaustion of local remedies ini
dalam tulisan kami: Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum
Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002, hlm. 276 et.seq.
9
1. Negosiasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar
dan yang paling tua digunakan.16 Penyelesaian melalui negosiasi
merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan
14
Cf., pasal 33 Piagam PBB: “The parties to any dispute, the continuance
of which is likely to endanger the maintenance of international peace and
security, shall, first of all, seek a solution be negotiation, enquiry,
mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to
regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own
choice.” (Huruf tebal oleh kami).
15
Gerald Cooke, op.cit., hlm. 200.
16
W. Poeggel and E. Oeser, "Methods of Diplomatic Settlement," dalam
Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law: Achievements and Prospects,
Paris: UNESCO and Martinus Nijhoff, 1991, hlm. 514.
10
17
F.V. Garcia-Amador, The Canging Law of International Claims, USA:
Oceana Publications, Inc., 1984, hlm. 518.
18
Peter Behrens, "Alternative Methods of Dispute Settlement in
International Economic Relations," dalam: Ernst-Ulrich Petersmann and
Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Dispute in
International and National Economic Law, Fribourg U.P., 1992.op.cit.,
hlm. 14.
19
Palitha TB. Kohona, , The Regulation of International Economic
Relations through Law, the Netherlands: Martinus Nijhoff Publ.,
1985op.cit., hlm. 161.
20
G. Malinverni, "The Settlement of Disputes within International
Organizations," dalam Mohammed Bedjaoui, op.cit., hlm. 550; Palitha TB
Kohona, op.cit., hlm. 159.
21
G. Malirveni, "The Settlement of Disputes within International
Organizations," dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law:
11
2. Mediasi
23
W. Poeggel and E. Oeser, op.cit., hlm. 515.
24
Peter Behrens, op. cit., hlm. 22.
25
ibid., hlm. 23.
26
Gerald Cooke, op. cit., p. 200. Lihat pula Michelle Sanson, Essential
International Trade Law, Sydney: Cavendish, 2002, hlm. 132. (Sanson
menyatakan bahwa mediasi lebih banyak dipraktekkan oleh negara-negara di
Asia khususnya Taiwan dan Vietnam), Hong Kong dan Filipina). Di Indonesia
cara mediasi juga cukup aktif diterapkan untuk sengketa-sengketa bisnis
khususnya oleh pengadilan dan badan arbitrase. Dalam pengadilan dan
13
3. Konsiliasi
27
Sanson, op. cit., hlm. 132.
28
Peter Behrens, op. cit., hlm. 22.
29
Peter Behrens, op. cit., hlm. 24.
30
Peter Behrens, op.cit., hlm. 23.
15
31
Cf. I. Seidl-Hohenveldern, "General Course on Public International
Law," 198 Recueil des Cours 198 (1986): Sanson, op.cit., hlm. 132-133.
32
ICSID Case No. CONC/83/1.
33
Huala Adolf, “The Settlement of Investment Disputes under the ICSID
Arbitration”, Thesis, Department of Law, Sheffield University, 1995, hlm.
1.
16
4. Arbitrase.34
a. Mengapa Arbitrase Dipilih?
34
Pembahasan mengenai hal ini lihat lebih lanjut antara lain: Huala
Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, cet.2.,
1994; Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta:
Rajawali pers, 1994.
17
b. Perjanjian Arbitrase
35
Namun dalam praktek, dewan arbitrase yang menangani kasus, peranan ahli
hukum tetap minimal ada dalam komposisi dewan. Misalnya, dalam kasus
terkenal dalam GATT, yaitu the DISC, Panel GATT yang mengadili kasus ini
terdiri dari 2 orang ahli ekonomi dan seorang ahli hukum. Peranan ahli
hukum bagaimana pun juga tetap signifikan dalam proses beracara,
penentuan hak dan kewajiban para pihak dan penentuan prinsip-prinsip
hukum dalam suatu sengketa.
36
Hans Bagner, op.cit., hlm. 173.
37
Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 dengan Keppres Nomor 34
tahun 1981.
18
c. Lembaga-lembaga Arbitrase
38
Gerald Cooke, op.cit., hlm. 194.
39
Lihat, misalnya, pasal 3 dan pasal 11 UU Nomor 30 tahun 1999; pasal 8
ayat (1) UNCITRAL Model Law mengenai Arbitrase Komersial Internaisonal
1985; dan pasal II ayat (3) Konvensi New York 1958. Pasal II ayat (3)
Konvensi 1958 ini dipandang penting mengingat ketentuan ini dibuat sudah
cukup relatif lama (sejak 1958). Pengakuan kewenangan arbitrase ini dalam
suatu klausul arbitrase ini berbunyi sebagai berikut: “3. The court of a
Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of
which the parties have made an agreement within the meaning of this
article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties
to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void,
inoperative or incapable of being performed.”
19
40
Gerald Cooke, op. cit., p. 196.
20
41
Cf. Prinsip exhaustion of local remedies, di atas.
42
Palith TB. Kohona, op.cit., hlm. 192; Verloren van Themaat, The
Changing Structure of International Economic Law, the Netherlands:
Martinus Nijhoff Publishers, 1981, hlm. 189.
21
43
F.A. Mann, "Foreign Investment in the International Court of Justice:
the ELSI Case," 86 AJIL 92 (1992).
44
1989 ICJ Rep. 15 (Judgment of July 20).
45
1970 ICJ Rep. 3, (Judgment of Feb. 5).
46
Lihat lebih lanjut, D.J. Harris, op.cit., (Cases and Materials on
International Law), hlm. 604, et.seq.
22
47
F.A. Mann, loc.cit.
48
Cf., I. Seidl-Hohenveldern, op.cit., hlm. 199.
49
Palitha TB Kohona, op.cit., hlm. 197.
50
Cf., Palitha TB Kohona, op.cit., hlm. 152. Cf., supra, mengenai
keengganan masyarakat internasional menyerahkan sengketanya kepada
Mahkamah Internasional.
23
51
Mauro Rubino-Sammartano, International Arbitration Law, Deventer,
Boston: Kluwer Law, 1990, hlm. 251.
52
Gerald Cooke, op.cit., hlm. 195.
53
Tetapi perlu dicatat di sini bahwa praktek negara (badan peradilannya)
berbeda mengenai pandangannya terhadap choice of law dan choice of forum
ini. Di Inggris dan Wales, pemilihan suatu hukum tertentu, dalam hal ini
hukum Inggris atau Wales, mensyaratkan jurisdiksi pengadilan tersebut
untuk mengadili suatu sengketa. Dasarnya dalah bahwa para pihak dianggap
secara diam-diam telah memilih jurisdiksi (keweangan badan peradilan
Inggris atau Wales) dengan memilih hukum Inggris atau hukum Wales untuk
mengatur kontraknya. (Gerald Cooke, op.cit., hlm. 195).
24
54
Lihat Mauro Rubino-Sammartano, International Arbitration Law, Deventer,
Boston: Kluwer Law and Taxation Publsihers, 1990, hlm. 251-255.
25
55
M. Hulieatt-James and N. Gould, International Commercial Arbitration,
London: LLP, 1996, hlm. 16.
56
Gerald Cooke, op. cit., p. 195.
26
57
Hans Van Houtte, The Law of International Trade, London: Sweet and
Maxwell, 1995, p. 369.
29
58
Lihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Karl Heinz Boockstiegel yang
menyimpulkan sebagai berikut: “if we now turn to the enforcement of
arbitration awards ... the information collected shows many variations
between national laws. (Karl Heinz Bockstiegel, Arbitration and State
Enterprises, KlUwer Law and Taxation Publishers, 1989, h1m. 50).
30
59
Lihat, pasal XII Konvensi.
60
Rene David berpendapat bahwa pasal ini memberi keuntungan kepada pihak
yang menang di dalam memohon eksekusi karena ia cukup menunjukkan dua
dokumen tersebut kepada Pengadilan (Rene David, Arbitration in
International Trade, Netherlands: Kluwer, 1985, h1m. 96).
61
Samir Saleh, "The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards in the States of the Arab Middle East", dalam Julian DM Lew,
(ed)., Contemporary Problems in International Arbitration, Netherlands:
Martinus Nijhoff Publ., 1986, h1m. 344.
31
62
Hans Van Houtte, op. cit., p. 356. (Biasanya perjanjian bilateral ini
memuat hal-hal yang tidak tercakup dalam Perjanjian Regional mengenai
32
G. Penutup
Dari uraian di atas tampak bahwa hukum perdagagan
internasional memberi kebebasan dan peluang yang cukup besar
kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Dalam kebebasan
memilih cara-cara penyelesaian sengketa termasuk pula kebebasan
untuk memilih hukum yang akan diterapkan untuk menyelesaikan
sengketa. Untuk kedua hal ini badan peradilan harus
menghormatinya.
Mengenai forum penyelesaian sengketa yang tersedia, tampak
masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahannya. Baik itu APS
atau pengadilan masing-masing memiliki cirinya. Hal inilah yang
perlu dipertimbangkan dengan seksama oleh para pihak yang hendak
menyelesaikan sengketanya.
Mengenai kebebasan para pihak untuk menentukan hukumnya,
faktor yang penting adalah kestabilan hukum tersebut. Di dalam
pengertian ini adalah pengetahuan para pihak terhadap hukum
tersebut. Selain itu pula perlu diperhatikan praktik dan
pendekatan yang diterapkan badan peradilan yang akan
menyelesaikannya. Seperti diuraikan di atas, para pihak perlu
menyadari adanya praktik yang berbeda-beda antara badan peradilan
di suatu negara dengan badan peradilan di negara lainnya.
Pertimbangan penting lainnya yang justru sangat esensial
adalah pertimbangan kemungkinan dapat atau tidak dapatnya
dilaksanakannya putusan (ekseskusi). Kegagalan atau kealpaan untuk
mempertimbangkan faktor ini akan membuat upaya-upaya penyelesaian
sengketa yang dipilih berdasarkan kebebasan para pihak menjadi
tidak berarti.
34
DAFTAR PUSTAKA
Bagner, Hans, “Dispute Settlement,” dalam: Julian D.M. Lew and
Clive Stanbrook (eds.), International Trade: Law and Practice,
London: Euromoney, 1983.
Beherens, Peter, "Alternative Methods of Dispute Settlement in
International Economic Relations," dalam: Ernst-Ulrich
Petersmann and Gunther Jaenicke, Adjudication of International
Trade Dispute in International and National Economic Law,
Fribourg U.P., 1992.
Cooke, Gerald, “Disputes Resolution in International Trading,”
dalam: Jonathan Reuvid (ed.), The Strategic Guide to
International Trade, London: Kogan Page, 1997.
David, Rene, Arbitration in International Trade, Netherlands:
Kluwer, 1985.
Garcia-Amador, F.V., The Canging Law of International Claims, USA:
Oceana Publications, Inc., 1984.
Harris, D.J., Cases and Materials on International Law, London:
Sweet and Maxwell, 5th.ed., 1998.
Houtte, Hans Van, The Law of International Trade, London: Sweet
and Maxwell, 1995.
Huala Adolf, “The Settlement of Investment Disputes under the
ICSID Arbitration”, Thesis, Department of Law, Sheffield
University, 1995.
Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, Jakarta: Rajawali
Pers, cet.2., 1994.
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional,
Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3, 2002.
Hulieatt-James M., and N. Gould, International Commercial
Arbitration, London: LLP, 1996.
Islam, M. Rafiqul, International Trade Law, Sydney: LBC, 1999.
Kohona, Palitha TB., , The Regulation of International Economic
Relations through Law, the Netherlands: Martinus Nijhoff
Publ., 1985.
Malirveni, G., "The Settlement of Disputes within International
Organizations," dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International
Law: Achievements and Prospects, Dordrecht: Martinus Nijhoff
Publishers and UNESCO, 1991.
Mann, F.A., "Foreign Investment in the International Court of
Justice: the ELSI Case," 86 AJIL 92 (1992).
Poeggel W., and E. Oeser, "Methods of Diplomatic Settlement,"
dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law: Achievements
and Prospects, Paris: UNESCO and Martinus Nijhoff, 1991.
35