Anda di halaman 1dari 11

RETORIKA PUISI SASTRA GO’ET MASYARAKAT MANGGARAI:

SEBUAH KAJIAN RETORIKA DAN PUITIKA LISAN

RHETORICAL POETRY GO’ET LITERATURE


IN MANGGARAI SOCIETY:
A STUDY RHETORICAL AND ORAL POETIC

Ferdinandus Moses
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan
Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun, Jakarta Timur
Pos-el: mosestempo@gmail.com

Abstrak: Manggarai, Nusa Tenggara Timur, kaya akan tradisi—yang di dalamnya ada tradisi
Mbaru Niang, Ceur Cumpe, Roko Molas Poco, Go’et, dan tradisi lisan lainnya. Di Manggarai,
setiap urusan yang berhubungan dengan adat, identik dengan ritual, seperti pelepasan kepergian
anak ke tanah rantau, diritualkan dengan goét. Go’et tersebut bernama Wuat Wa’i. Penelitian
berfokus pada wuat wa’i yang berada di Kampung Ruteng Pu’u, Manggarai, Nusa Tenggara
Timur. Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan go’et dalam wuat wai. Bagaimanakah retorika
go’et dalam wuat wai? Bagaimanakah makna go’et dalam wuat wai? Serta bagaimanakah nilai
puitis go’et dalam wuat wai? Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif
dengan teknik pengambilan data melalui pengamatan di lapangan, wawancara, dan studi pustaka.
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi (1) dokumentasi sastra lisan dengan performanya, (2)
dapat memberikan temuan baru dalam tradisi lisan yang secara tidak langsung memaksimalkan
kekuatan teks.

Kata kunci: Retorika, Puitis, Go’et, Manggarai

Abstract: Manggarai, East Nusa Tenggara, is a language rich in oral tradtions, including those of
Mbaru Niang, Ceur Cumpe, Roko Molas Poco, Go’et, and others. In Manggarai, every type of
business is linked with tradition and rituals: for instance, children are set off to foreign lands for
study or work with the rituals of Go’et. In this case, the Go’et ritual at hand is that named Wuat
Wa’i. The present research focuses on the practices of Wuat Wa’i in the village of Ruteng Pu’u,
Manggarai, in East Nusa Tenggara. The goal at hand is to describe the practice of Go’et in Wuat
Wa’i. How is Go’et rhetoric used within the Wuat Wa’i ritual? Moreover, what is its meaning?
Lastly, what is the poetic structure of the Go’et employed within Wuat Wa’i rituals? Research
methods include qualitative research using data collection from observations, interviews, and
literature reviews. The results of this research are hoped to be (1) documentation of oral traditions
and their performance, (2) novel findings about oral traditions which indirectly maximalize the
strength of the text.

Keywords: Rhetoric, Poetic, Go’et, Manggarai

1. PENDAHULUAN sekaligus menanamkan pengertian dengan


Dalam tradisi lisan, setiap mantra sebaik-baiknya (to inform). Meyakinkan
atau pun petitih dengan konteks foklor, dan menginsafkan (to convise),
menimbulkan inspirasi tersendiri atas menggembirakan, menghibur, menye-
teknik serta penyampaiannya yang baik nangkan, dan memuaskan (to entertain),
dan bijaksana (to inspire), memberikan kemudian menggerakkan sekaligus
pengertian atau penerangan kepada massa mengarahkan dan melaksanakan ide yang
yang berguna memberikan penerangan sudah dikomunikasikan oleh orator di

56
hadapan massa (to ectuate), menurut paralel intrinsik antara kenyataan dan
Tasmara (1997: 156) dalam lima tujuan bayangan diungkapkan secara ekspilisit
retorikanya. dalam hubungan konstan antara kata dan
Mantra juga memiliki atau ber- tindakan dalam ritus pemujaan. Kaitan
potensi disebut menciptakan retorikanya antara kata dan tindakan di dalam ritus
tersendiri. Mengacu pada Keraf (1994: 3), pemujaan dengan narasi-narasi primitif
retorika merupakan telaah mengenai seni senantiasa menarik perhatian para ahli
dalam orasi maupun berpidato. Sebuah sastra, yang termasuk dalam bidang kajian
kemampuan atau kemahiran berbahasa poetika. Hal itu dapat ditelusuri melalui
yang diabdikan sebagai penyampaian proses penciptaan. Proses penciptaan
pikiran serta gagasan pikiran melalui sastra lisan menjadi sebuah bidang kajian
pidato-pidato kepada kelompok massa yang amat kaya, ditengarai dapat
dengan tujuan yang tertentu pula. mengungkap poetika dan retorika yang
Atas retorika tersebut, simpulan digunakan oleh penutur sastra lisan.
sementara berawal dari revitalisasi sastra Istilah poetika memiliki makna
berbasis komunitas yang dilakukan Badan yang sempit dan luas. Dalam makna
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di sempit, poetika adalah penelitian
Manggarai, Nusa Tenggara Timur, mengenai puisi dari sudut pandang
merupakan kumpulan adagium atau linguistik (KBBI, 2008: 1086). Dengan
semacam petuah yang memberikan kata lain, puitika berarti menggunakan
sebuah kata-kata yang bersemai bagi metode linguistik untuk mengupas karya
kehidupan, hal itu disebut go’et. Go’et sastra, terutama puisi (Crystal dalam
ada dalam setiap lintas tradisi di Kadarisman, 2010). Dalam arti luas,
Manggarai, seperti ritus pembangunan poetika adalah kajian terhadap fungsi
rumah atau mbaru niang, kelahiran bayi puitis, yakni menonjolkan bentuk bahasa
atau ceur cumpe, dan pelepasan sebuah demi dampak estetis. Fungsi puitis dalam
kepergian atau wu’at wai—dan masih konteks ini sejajar dengan sifat-sifat
terdapat lagi tradisi-tradisi lainnya. kesastraan.
Atas dasar itu, go’et berpotensi Bentuk kajian yang selanjutnya
dikaji untuk didalami lebih lanjut. Go’et dihubungkan secara langsung bagi
yang cenderung diorasikan dalam upacara pengembangan penelitian juga diharapkan
tradisi di Manggarai, merupakan corak semakin berkembang bagi masyarakat
atau khas tersendiri dari bagian ritus-ritus dengan segala muatan pembelajaran di
di Manggarai yang selalu diharapkan dalamnya. Penelitian pada go’et
tidak akan berkesudahan. Manggarai ini, diharapkan memberi
Berpijak atas kehidupan manusia masukan tersendiri bagi situasi peradaban
yang tidak dapat dipisahkan dari alam, yang terus bertumbuh. Secara tidak
Manggarai seperti Flores pada umumnya, langsung menunjukkan bahwa kerja seni,
masih mengkhususkan siklus kehidupan ritual tradisi sekalipun, adalah cipta-karya
antara sesama manusia, leluhur, dan Sang terpenting bagi kemajuan berpikir sebuah
Pencipta. Hal itu ada sejak dulu, bahkan masyarakat.
ketika Portugis masuk sekitar abad ke-15 Sebelum kajian go’et berupa
pun, dinamika kepercayaan dinamisme penelitian dilakukan, diinformasikan, ada
dan animisme masih melekat dalam tahap yang dilakukan selama revitalisasi
situasi keagamaan. tersebut, pertama melakukan koordinasi
Gaster (dalam Taum, 2011), pernah (sebelum ke daerah pengamatan juga
mengungkapkan bahwa dalam kisah-kisah dilakukan studi pustaka). Sebelum tahap
mitologis pada era primitif, hubungan kedua, setelah pengoordinasian, cakupan-

57
nya diharapkan pelatihan atas tradisi go’et pemakaian gagasan sebagai seni, baik
berjalan dan membentuk wadah untuk berbicara maupun untuk menulis
komunitasnya tersendiri. Juga bagi (Keraf, 1985: 1-3, dalam Taum, 2011).
masyarakat (berbagai kalangan) sekitar. Masih dalam Taum, dengan demikian
Masih tahap kedua (sekembalinya peneliti studi retorika sastra lisan berkaitan dengan
ke lapangan, yakni melibatkan penelitian mengenai sarana bahasa yang
masyarakat melakukan pementasan— dimanfaatkan oleh tukang cerita untuk
tahap puncak revitalisasi sastra berjalan, mencapai efek maksimal terhadap
kelak komunitas dapat terus bergerak pendengar yang hendak diyakinkannya.
(tetap konsisten mengusung pemikiran) Sarana-sarana bahasa sastra itu diharapkan
terhadap go’et bersama masyarakat yang dapat dikaji setepat, selengkap, dan
tergabung di dalamnya. Sasaran secermat mungkin, khususnya yang
masyarakat yang terdapat di wilayah menimbulkan tanggapan tertentu dari
Ruteng Pu’u—selain kampung Cumbi, pihak pendengarnya.
Karot, dan Reok secara tidak langsung. Tanggapan tertentu dari pendengar
Maka dari itu, Komunitas tersebut, dalam penelitian mengacu pada
diharapkan terus “berjejak” dalam fungsi puitis, fungsi puitis berfokus pada
perhatiannya bagi suatu tradisi (go’et). bahasa itu sendiri, atau menonjolkan
Berjejak bersama pemangku kepentingan bentuk bahasa demi dampak estetis,
di sekitar, seperti kelurahan dan tetua adat menurut Roman Jacobson dalam Taum
kampung setempat, maupun para (2011:195).
cendekia/seniman tradisi dalam Selain itu, penguatan teori berangkat
pendekatannya bagi masyarakat. Sebuah dari landasan atas hasil konkret atas
pendekatan yang diharapkan (meski bahasa puitis, yakni bahasa yang
sudah) menjadi media pembelajaran bentuknya ditonjolkan demi dampak
dalam muatan lokal sehingga nilai-nilai estetis. Warisan terpenting dari teori
moral menyatu bersama pelajar juga poetika Roman Jakobson yang berupa (a)
pendidik. prinsip keseimbangan dan kekuatan
Di Manggarai, setiap urusan yang analisis struktural, dan (b) upaya
berhubungan dengan adat, identik dengan menyibak misteri makna puitis
ritual, seperti pelepasan kepergian anak ke (Kadarisman, 2010).
tanah rantau, diritualkan dengan go’et.
Go’et tersebut bernama Wuat Wa’i. 3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini berfokus pada wuat wa’i Metode yang digunakan dalam
yang berada di Kampung Ruteng Pu’u, penelitian ini ialah metode kualitatif
Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Tujuan dengan teknik pengambilan data melalui
penelitian ini adalah mendeskripsikan pengamatan di lapangan, wawancara, dan
go’et dalam wuat wai. Bagaimanakah studi pustaka. Hasil penelitian ini
retorika go’et dalam wuat wai? diharapkan menjadi (1) dokumentasi
Bagaimanakah makna go’et dalam wuat sastra lisan dengan performanya, (2) dapat
wai? Serta bagaimanakah nilai puitis memberikan temuan baru dalam tradisi
go’et dalam wuat wai? lisan yang secara tidak langsung
memaksimalkan kekuatan teks.
2. KAJIAN TEORI
Retorika merupakan kepandaian
menuangkan gagasan atau teknik

58
4. PEMBAHASAN semakin luas juga pelayanan
pemerintahan yang semakin bertumbuh
4.1. Sekilas tentang Kabupaten
maka dibentuklah kabupaten Manggarai
Manggarai, Nusa Tenggara Timur
Barat. Pada 2007 pemekaran kembali
“Maka dikisahkanlah bahwa sesungguh-
diadakannya Manggarai Timur. Persoalan
nya orang Manggarai adalah para
pembagian tersebut hanyalah situasi
perantau yang datang dari negeri lain”.
administratif saja karena secara kultural
Manggarai berada di wilayah bagian barat
seluruh wilayah Manggarai adalah
pulau Flores. Tidak terlalu luas dan tidak
kesatuan yang disebut dengan Manggarai
terlalu besar bagi sebuah pulau, seperti
Raya.
halnya wilayah lain di Indonesia, tetapi
boleh dianggap suatu wilayah yang
4.2. Sekilas Tentang Sastra Lisan Go’et
mempunyai sejarah yang unik; bayangan
Istillah go’et dalam bahasa
akan masa lalu Manggarai yang berasal
Manggarai diartikan sebagai peribahasa.
dari seorang perantau dari Minangkabau.
Turun temurun sejak zaman nenek
Entah bagaimana motif asal usul
moyang, saat berkumpul untuk
Manggarai menjadi ada, biar bagaimana
menyelenggarakan ritus-ritus, go’et di
pun Manggarai adalah kemutlakan bahwa
dalamnya.
dari beragam keunikan yang dimiliki
Go’et adalah ungkapan-ungkapan,
Manggarai, juga bagian dari denyut irama
pepatah, amsal, dalam bahasa Manggarai
maritim tanah air kita.
yang kaya arti dan nilai yang berfungsi
Manggarai, dari segi geografis pada
sebagai tuntunan dalam mengarahkan
wilayah sebelah timur berbatasan dengan
manusia untuk mencapai kehidupan yang
Wae Mokel, Wae Mapar, dan gunung
sesuai dengan norma yang lebih baik.
serta batas alam lainnya hingga laut
Ungkapan-ungkapan ini memberikan
Flores. Sebelah barat berbatasan dengan
model, arahan, dan petunjuk bagi manusia
Selat Sape, utara dengan Laut Flores dan
Manggarai dalam menjalankan hidupnya
sebelah selatan dengan Laut Sawu.
(Deki, 2011).
Administrasi pemerintahan daerah
Go’et senantiasa menyatu dalam
Manggarai berbatasan dengan Provinsi
ritus-ritus adat di Manggarai. Dapat
NTB di sebelah barat, dengan provinsi
dikatakan, sastra lisan go’et merupakan
Sulawesi Selatan di utara dengan
“garam” bagi suatu tradisi karena belum
kabupaten Ngada di sebelah timur,
ditemukan setiap ritual tanpa go’et di
dengan kabupaten Sumba Barat dan
dalamnya. Kemudian go’et juga dapat
Sumba Timur di sebelah selatan.
didendangkan dengan nyanyian khas—
Situasi dan kondisi geografis
secara langsung semacam pewartaan bagi
Manggarai, dalam Sejarah Daerah
khalayak umum.
Manggarai (Doroteus Hemo, 1987/1988)
Dalam pemaknaannya, seturut
terdiri dari bukit, gunung-gunung, dan
dikatakan Inosensius Sutam, go’et sebagai
dataran tinggi berselang-seling dataran
peribahasa atau ungkapan-ungkapan
rendah. Perbukitan dan gunung-gunung
memang sama dengan torok. Tetapi, torok
ini sebagian besar telah diketahui
yang berisi ungkapan-ungkapan, oleh
tingginya dari permukaan laut.
masyarakat Manggarai, lebih disebut
Daerah yang merupakan kabupaten
dengan doa atau semacam ucapan wujud
paling barat dari provinsi NTT ini, secara
syukur. Kata lainnya, torok boleh dibilang
administratif pada mulanya adalah satu
sama dengan go’et, tapi go’et belum tentu
kabupaten dari 14 kabupaten di NTT.
disebut torok.
Pada 2002, atas berbagai pertimbangan,
disebabkan pertumbuhan masyarakat

59
Go’et dalam perkembangannya pengampunya. Go’et mempunyai peranan
pun bermacam motif dan tujuannya, yang cukup sentral dan mendapat tempat
seperti go’et yang mengedepankan nilai- yang tinggi dalam sendi kehidupan
nilai religius, nilai kesehatan, tentang masyarakat Manggarai. Go’et adalah
persahabatan, kebijaksanaan, penguatan falsafah hidup, pedoman, dan pegangan
motivasi, menjaga nama baik, hubungan hidup.
dengan leluhur, pergantian keturunan, Pegiat go’et dalam hal ini pegiat
go’et dalam perkawinan, go’et yang budaya Manggarai berusaha agar nilai-
dalam hubungannya dengan tempat nilai luhur dalam go’et dan produk
tinggal, hingga tentang permusuhan. budaya lainnya tetap terpelihara dan
terjaga hingga kelak masih bisa diwarisi
4.3. Keberadaan Sastra Lisan Go’et di oleh generasi Manggarai selanjutnya. Hal
Kabupaten Manggarai itu bisa dilakukan dengan berbagai cara,
Sastra lisan go’et merupakan salah yakni dalam setiap ritual atau upacara
satu produk budaya masyarakat adat, Go’et menjadi sarana utama
Manggarai. Sebagai sebuah produk penyampai pesan yang berkaitan dengan
budaya, tradisi go’et ada dan hidup di tema ritual tersebut.
tengah-tengah kehidupan masyarakat Adapun kendala utama yang
Manggarai. Tumbuh kembang serta dihadapi masyarakat atau komunitas adat
eksistensi go’et bergantung pada sejauh adalah bagaimana mencari generasi muda
mana para pelaku budaya menggunakan yang bisa menjadi penutur go’et, karena
tradisi tersebut dalam segala sendi para penutur go’et yang masih eksis saat
kehidupan mereka. Dalam tatanan budaya ini rata-rata diisi oleh kaum tua yang
Manggarai, go’et menjadi satu kesatuan sudah lanjut usia. Go’et bukanlah ilmu
yang tidak terpisahkan dalam berbagai pengetahuan yang bisa diajarkan seperti
ritual yang dilaksanakan. Dalam konteks pelajaran di sekolah-sekolah. Bukan pula
tuturan, go’et menjadi sarana (yang seperti pelatihan-pelatihan informal
abstrak) utama sebagai pengantar pesan (teknis/kursus) yang bisa dilakukan secara
atau makna substansi dari ritual yang praktis dan instan. Mencari penutur go’et
diselenggarakan. seperti mencari guru kehidupan. Penutur
Berdasarkan hasil penelitian yang go’et harus bisa memberi teladan tidak
dilakukan lewat pengamatan, wawancara saja melalui sikap dan tingkah lakunya,
langsung, serta terjun langsung ke tetapi yang paling utama adalah melalui
masyarakat, Kanisius Teobaldus Deki tutur katanya. Karena apa yang ia
dalam bukunya, ‘Tradisi Lisan Orang tuturkan/sampaikan terutama dalam
Manggarai’ menggolongkan go’et konteks ritual, menjadi jembatan
menurut jenis dan fungsinya sebagai go’et penghubung antara kehidupan manusia
dalam hubungan dengan sesama dalam dengan Pencipta, leluhur, dan semesta.
keluarga, go’et dalam kebersamaan dalam Berhasil tidaknya sebuah pesan yang
kampung, go’et dalam relasi dengan disampaikan dalam ritual go’et tergantung
orang lain, go’et dalam relasi dengan kecakapan, wawasan, dan
penguasa/pemerintahan, go’et dalam kepribadian/tingkah laku sang penutur.
relasi dengan leluhur/nenek moyang, dan
go’et dalam relasi dengan Sang 4.4. Wuat Wa’I dalam Tradisi Lisan
Pencipta/Tuhan. Go’et
Dari penggolongan di atas, dapat Retorika, makna, dan nilai puitis
disimpulkan bahwa tradisi/tuturan go’et dalam tradisi go’et yang dilaksanakan
hidup dan menghidupi masyarakat diwujudnyatakan dalam ritual wuat wa’i.

60
Wuat artinya bekal, dan wai artinya kaki. melambangkan kemurnian, kepolosan,
Dari dua kata tersebut dapat dipahami dan ketulusan. Pada akhirnya ayam
bahwa wuat wa’i merupakan ritual kemudian disembelih dan darahnya
memberi bekal kepada seseorang (anak) disimpan pada sebuah wadah (piring).
yang akan pergi merantau atau Berikut retorika, makna, sekaligus nilai-
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang nilai kehidupan tersebut.
lebih tinggi. Tahapan dan instrumen yang
harus dilaksanakan dalam ritual wuat wa’i Turak Manuk
adalah pertama meminta restu leluhur Denge le meu empo, one meu keta
(dilaksanakan di pekuburan), kemudian di di ata letang gerak retang redak
dalam rumah, yakni rahi pa’ang olo mori agu ngaran bate jari agu
ngaung musi (menyapa tamu undangan
dedek ata pande dise ame kudut
yang datang dengan lantunan go’et),
torok/manuk turak (puncak ritual/penutur laleng lakon empo dite hi priska ho.
go’et akan bertutur kurang lebih sepuluh Neka manga candang one
menit dengan bahasa-bahasa yang sarat ngampang, neka manga sandong
makna dengan instrumen seekor ayam one ngalor, neka manga manjak one
jantan), toto urat (penutur memeriksa urat salang neko do’ong one golo. Meu
ayam untuk melihat pertanda/nasib apa keta ata nipu riwu, ongko do, latang
yang akan menaungi si anak).
Setelah pelaksanaan wuat wa’i, para te heis loleng lakon one salang hia.
sesepuh, tamu undangan, dan masyakarat Kawe nggos bilang golo kawe
pun saling berdiskusi. Para sesepuh nggalas bilang tana hia, par keta
bersaksi bahwa tidak mudah mewariskan neho ntala paka, gerak neho ntala
go’et ke anak muda. Memerlukan gewang, neho leso penong, lalong
pendekatan yang berbeda, konsisten dan bakok do lakon lalong rombeng koe
kontinu. Karena go’et bukanlah seperti
du kolen. Ho de lami lalong bakok e
mata pelajaran yang bisa diajarkan di
kelas. Menurut mereka, ke depan go’et te teti hang kolang pujut mu’u
perlu diajarkan di sekolah, namun kamping meu ende agu ema tua eta
dikemas dengan warna yang berbeda lando ngaso wan turung cucu. Te
tanpa meninggalkan keasliannya. Dalam can kole wancang garang eta ulu
sebuah diskusi dengan para akademisi, panga ce’e newes reweng, lo’o
mereka menyimpulkan bahwa go’et harus tombo emad yola agu ended yola,
didokumentasikan atau dibukukan. Kelak,
woko cangkir cemol kaut ngasang
generasi muda masih mengenal warisan
leluhurnya. SMP wuat tukan anak bara hia
Tahap ini merupakan tahap inti dari priska. Toe ma cakal liha ngasang
ritual wuat wa’i. Sang juru bicara sambil kawe ngalas, toe ma dopon liha
memegang seekor ayam putih, akan ngasang kawe molor. Tegi kamping
menuturkan syair-syair go’et yang pada ata riang agu ise paka nai ca anggit
intinya memohon berkat dari sang pemilik tuka ca leleng. Porong one lakon
kehidupan dan juga para leluhur. Selain
itu juga meminta restu dari seluruh kole, bolo kid ite latang pande
keluarga besar, seluruh warga kampung, weang gerak wancing nggaring,
serta semua entitas yang pernah pu’ung ce mai Manggarai na keta
bersinggungan atau berkaitan dengan larantuka le. One salang neka
anak/orang yang diritualkan. Ayam putih manga caka le watang neka manga

61
dong le pongkor. Ho de lalong semoga seperti ayam jantan yang
bakok latang wuat lakon. Lalong gagah saat engkau kembali pulang.
pondong du ngon lalong rombeng
koe du kolen. Makna Pencarian adalah harapan
yang disematkan kepada seorang, dalam
Terjemahannya: hal ini anak, yang hendak pergi ke suatu
tempat. Harapan yang tidak sekadar
Dengarlah ungkapan biasa dari permohonan, tetapi
kalian para leluhur doa dengan segala pencapaian akan
karena pada kalianlah penghubung ditempuh. Doa dengan harapan sebelum
cahaya berangkat serta sepulangnya suatu hari
jembatan (tangga) kepada Tuhan sang nanti dalam keadaan yang baik juga.
pemilik dan pencipta menciptakan
leluhur kami Persembahan
supaya kita sama-sama membantu Inilah ayam jantan putih dari kami
perjalanan sebagai makanan yang hangat untuk
dari cucu kita ini. kalian santap
Jangan ada penghalang di tebing wahai para leluhur dari yang sulung
jangan sampai tersandung di sungai sampai yang bungsu.
jangan ada penghambat di jalan Satu lagi tempat duduk yang terhormat
jangan sampai tertahan di bukit melembutkan suara dari bapaknya
Kalianlah yang mengayom karena telah berakhir pendidikan
menyatukan semua tingkat SMP-nya
membuka jejak jalan dalam sebagai bekal untuk kehidupan
perjalanannya. selanjutnya
Dia tidak mengingkari mencari ilmu
Makna Dengarlah adalah nenek dia tidak berhenti mencari hidup yang
moyang sangat dipercaya oleh masyarakat lurus
Manggarai sebagai media penghubung Mohon penyertaan dalam hidup
dalam doa kepada pencipta/Tuhan Maha semoga mereka bersatu hati dan tujuan
Kuasa. Nenek moyang atau leluhur, Semoga dalam perjalanannya
khususnya dimaknakan pendoa bagi kalianlah tetap yang di depan untuk
keluarga atau garis-garis keturunannya. membersihkan segala hambatan
sejak dari Mangarai, sampai di tanah
Pencarian Larantuka.
Dia mencari ilmu dan kelancaran di Makna Persembahan tersebut
mana saja sebagai tanda ketulusan pemberian rezeki
semoga terbit seperti bintang penuh kepada para leluhur. Persembahan yanng
terang seperti bintang dini hari berupa peranggapan bahwa leluhur atau
penuh seperti matahari segenap para mori/mori kraeng dianggap
ayam jantan putih waktu engkau terlibat aktif dalam restu dari segala niat
berangkat yang sudah diharapkan melalui per-

62
mohonan dalam ucapan (go’et). ngasang koa agu anak wai kali mad
Masyarakat Manggarai yang memuliakan yola agu ended yola, one meu itu kali
hubungan kosmos antara manusia, leluhur luju mu’u emas lema leleng ngger le
dan Tuhan Raja Semesta Alam, mori dedek ba one mori ngaran, lalong
menganggap perlu untuk memberikan bakok latang teing hang kolang pujud
persembahan supaya segala harapan dapat mu’u saka cangkeng wuat ngasang
terjadi dengan baik. wain, kudut hi enu priska kali haeng
taung liha pate kawe dumpu taung liha
Harapan bate nuk, latang kudut jari tau agu dia
Di jalan tidak ada badai dan musibah diang. Ise ended agu ise emad kole
yang menghadang musi mai etad ata ngaso wad ata cucu
Inilah ayam jantan putih sebagai raes keta neho nakeng ca wae rinduk
bekalmu keta neho ipung ca tiwu kawe molor
Ayam jantan yang putih waktu pergi bilang golo kawe nggalas bilang tana
semoga ayam yang gagah saat engkau antil anak wai hi enu Priska. Neka keta
kembali pulang. manga pongo le mbolot agu pedeng le
weleng cai one pate sekolan olo le
Makna Harapan disatukan ke larantuka. Porong le mai ngasang
dalam simbol ayam putih. Penyatuan pepek reweng kali pepil tegi de
tersebut menandakan sesuatu hal yang ngasang anak wai agu koa laing meu
bersih. Selain itu, juga putih yang taung ata tiba agu cakad eme manga
dimaknakan sebagai tanda ruang yang toso agu tondek, neka mai cai one sai
dapat diwarnakan dengan apa saja. Kelak neka manga tu’a one ranga, ho keta
bersih dan putihnya nanti dapat diberikan lalong bakok teing hang kolang pujud
warna sampai kepulangannya kelak dari mu’u saka cangkeng wuat ngasang
tanah perantauan. wain, lalong bakok du lakon lalong
pondong du ngon lalong rombeng tai
Ca leng candang koe latang meu ende du kolen.
agu ema wura agu ceki ine ame laing
larantuka, ne nggitu kole ine ame capo Terjemahannya:
mese etad ata ngaso wad ata cucu ata
tadu le wata tatap le tana, one meu Penyatuan
keta de ngasang ata luju mu’u le emas Semoga kalian bersatu hati juga wahai
lema letang agu wali, one mai letang leluhur di Larantuka tungku besar
kenda lu’ut ngasang ruku pake sulung sampai bungsu dibungkusi oleh
ngasang pande dise ame duur ise empo tanah
ho de lalong bakok kudut teing hang kalian semualah mulut halus
kolang pujut mu’u saka cangkem, lidah yang beremas serta segala
porong lalong pondong du ngon wuat sesuatunya yang baik ada padamu
lakon lalong rombeng koe du koleyn. inilah ayam jantan putih untuk
One mai ngasang delek reweng makanan yang hangat
mongkod tombo kempil tegi de

63
Semoga seperti ayam jantan putih yang rombeng tai du kolen cipa agu kando
polos waktu pergi dan pulang seperti nggitu kole agu toni one wae laun one
ayam jantan yang gagah leso salen sanggen koe kali ngasan na
Demikian pula permintaan dari orang ata nggalas na ata ngalis lite gerak
tua ngasang nuk cangkir cemol one mai
semoga mampu mendapatkan semua SMP hi enu Priska hoo. Kapu agu
ilmu yang dicari naka ndel lobo bekek kapu bolo pa’a
bekal untuk hidupnya kelak ndeol one toni. Kali hitu tae, kali hitu
dari belakang kakaknya yang sulung torok pekok kali ho toe lau patut toe
sampai yang bungsu akan selalu pinga sina tura one urat baro one
mendoakan manuk. Ngaor agu mbolot manuk ho
Semoga tidak ada yang mengikatnya tong toe kon tokon meka one wae weja
dan membuatnya berubah ketika ia di toe caro agu ata caun ngasang lalong
sekolah bakok du lakon lalong pondong du
Inilah ayam jantan putih yang kami ngon lalong rombeng tai du kolen.
persembahkan Comba keta hitu ende agu ama, anak
Semoga ia berangkat seperti kepolosan ata ngaso agu anak ata cucu. Nggitu
dan ketulusan kole meu ende tua agu ema tua meu
dari ayam ini dalam mencari ilmu hura agu ceki le bea peang compang.
pulang seperti ayam yang gagah. Nggitu kole meu ngasang ende ema
sapo mese likang langkas etas ata
Makna Penyatuan meng- ngaso wan ata cucu. One mai ngasang
isyaratkan kebersamaan terhadap nggerek reweng agu mongko tombo
leluhur/nenek moyang yang dituju, yakni leleng hitu diang ngger leng letang koe
tempat perantauan di Larantuka. Di nggari etan nipu wintuk tenggug sais
dalamnya termuat harapan dan doa meu latang one mai kekep keng aku
supaya leluhur yang ada di Manggarai dan tipa kinda kudut senget koe le mori
Larantuka kelak mendoakan selalu dedek du laing mori jari pati jari agu
mendoakan sehingga segala harapan widang di’a diha. Par koe neho ntala
terwujud dari apa yang paling dicita- paka kali, gerak koe neho ntala
citakan. Tentu saja, berangkat dan pulang gewang, bombor neho leso, lalong
dan bersih seperti putih ayam. bakok de wuat lakon lalong pondong
du ngon lalong rombeng tai du kolen.
Hitut ca salang tura agu tombo Kali hitu tae, kali hitu torok ata kop
kamping meu ende agu meu ema mede kali senget koe lite mori dedek laing
ine ame laing larantuka laing wotol koe lite mori jari tura one urat baro
nggitu kole ruku ce’e ata elor cama one manuk. Rencep paka cekel ndeng,
beo labar cama natas. Andor kali one bombom pesum, langkas majan.
mai ngasang cekil cemol sekolan
manga pirik nipi toe jiri ata toe pantil Terjemahannya:
toe jari, one lalong bakok wuat wai
lalong pondong do ngon lalong

64
Perihal Permohonan Semoga
Semoga pergi seperti ayam jantan
Satu lagi permohonan untuk kalian putih yang polos
wahai para leluhur pulang seperti ayam yang gagah
dari keluarga Larantuka dan keluarga Sujud juga untuk orang tua
Wotol Anak sulung sampai yang bungsu.
begitu juga di sini yang sama-sama Sujud juga untuk para leluhur yang ada
mencari hidup di dunia seberang
kampung sebagai tempat bermain dan di tempat persembahan di luar
bersama juga keluarga besar bersatu seperti
Semoga dijauhkan dari segala mimpi tungku besar
buruk yang menghantui menghambat mendukung perjalanan anak mencari
segala rencana bekal
semuanya dileburkan dalam ayam hidup dan kehidupannya kelak.
jantan putih ini Semoga terbit seperti bintang yang
dibuang bersama air yang mengalir penuh
tenggelam bersama matahari yang terang seperti bintang dini hari
terbenam mekar seperti matahari
Semoga lancar seperti saat ia tamat semoga seperti ayam jantan putih yang
sekolah ini polos saat dia pergi ketika pulang
Kami memangku dan menyambutnya seperti ayam jantan yang gagah dan
dengan penuh kebahagiaan berisi. Biarlah dia memiliki
Seperti itu pula semua permohonan kebijaksanaan sebagai bekal hidup.
dan harapan Berilah tanda dan petunjuk pada usus
semoga ditunjukkan melalui urat ayam dan empedu ayam ini, sehingga kami
ini. bisa membaca maksud dan restu
Segala yang buruk dan jahat kalian.
dileburkan dalam ayam putih ini
Makna Semoga menyimpan
Makna Perihal Permohonan sekaligus menyiratkan banyak harapan;
menyiratkan komunikasi dua arah di mulai dari perantau, keluarga yang
antara leluhur pada keluarga yang ada di ditinggalkan dan lingkungan keluarga
Larantuka dan keluarga yang ada di terdekat sekaligus memiliki hubugan
Wotol. Harapan berupa doa dari kedua keluarga, dan terpenting adalah restu
keluarga semoga selalu menyertai leluhur yang kelak mendoakannya kepada
keberangkatan, proses belajar selama di Tuhan.
perantauan, dan kepulangannya kelak.
permohanan yang juga tidak ada lagi 5. SIMPULAN
keburukan serta kejahatan karena sudah
Dalam pemaknaannya, go’et
dileburkan pada simbol ayam putih putih
sebagai peribahasa atau ungkapan-
nan bersih. ungkapan memang sama dengan torok.
Tetapi, torok yang berisi ungkapan-

65
ungkapan, oleh masyarakat Manggarai, dalam hubungannya dengan tempat
lebih disebut dengan doa atau semacam tinggal, hingga tentang permusuhan.
ucapan ujud syukur. Kata lainnya, torok Go’et di Manggarai, Nusa Tenggara
boleh dibilang sama dengan go’et, tapi Timur, persisnya di Kampung Ruteng
go’et belum tentu disebut torok. Pu’u secara langsung, dapat dikatakan,
Go’et dalam perkembangannya pun bagian dari eksistensi sastra. Hal itu
bermacam motif dan tujuannya, seperti tampak ketika ditemukannya bentuk-
go’et yang mengedepankan nilai-nilai bentuk pilihan kata yang secara langsung
religius, nilai kesehatan, tentang menampilkan tipografi, irama, sekaligus
persahabatan, kebijaksanaan, penguatan bunyi-bunyian sarat makna. Sarat makna
motivasi, menjaga nama baik, hubungan tersebut mewujud pada retorika, makna,
dengan leluhur, pergantian keturunan, dan puitika dalam teks-teks go’et.
go’et dalam perkawinan, go’et yang

DAFTAR PUSTAKA
Deki, Kanisius Teobaldus. 2011. Tradisi Lisan Orang Manggarai. Jakarta: Parrhesia
Institute.
Katubi. (2011). “Bahasa Minoritas Dan Konstruksi Identitas Etnik Pada Komunitas
Bahasa Kui Di Alor, Nusa Tenggara Timur.” Jurnal Masyarakat Indonesia (MI),
XXXVII (2) , 119-219.
Sutam, Inosensius. 2016. Ca Leleng Do, Do Leleng Ca. STKIP St. Paulus Ruteng.
Hutomo. 2000. “Pemberdayaan Komunitas Sastra Indonesia di Daerah”. Dalam buku
Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Pemanfaatan Peran Bahasa sebagai
Sarana Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Havilan, William A. 1988. “Antropologi, terjemahan RG. Soekadijo. Jakarta: Erlangga.
Herlambang, Wijaya. 2014. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Yogyakarta: Marjin Kiri
Publisher
Keraf, Gorys. 1994. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa. Ende Flores:
Nusa Indah.
Kadarisman, 2010. Puitika Linguistik Pasca-Jacobson: Tantangan Menjaring Makna
Simbolik. Makalah. Tanpa tahun.
Pusat Bahasa, Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat). Jakarta:
Balai Pustaka.
Tasmara, Toto. 1997. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Taum, Yoseph Yapi. 2011. Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan.
Yogyakarta: Lamalera.
Toda, Dami N. 1999. Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi. Nusa Tenggara
Timur: Nusa Indah

Narasumber
1. Dr. Inosensius Sutam (Pater sekaligus dosen di STKIP St. Paulus, Ruteng, Manggarai)
2. Maksimus Antar (Tua adat di Kampung Ruteng Puú)
3. Tarsisius (Tua adat di Kampung Ruteng Puú)
4. Johanes Ehok (Tua adat di Kampung Karot, Ruteng)

66

Anda mungkin juga menyukai