Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)

Teori agensi adalah teori yang muncul ketika ada dua pihak yang
saling terikat, dimana kedua belah pihak sepakat untuk memakai jasa.
Hubungan keagenan adalah sebagai kontrak, dimana satu atau beberapa orang
(principal) mempekerjakan orang atau pihak lain (agen) untuk melaksanakan
sejumlah jasa dan mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan.
Dari sini dapat diketahui bahwa manajemen wajib mempertanggungjawabkan
semua keputusan terhadap pengguna laporan keuangan, termasuk
investor,stakeholders, pemegang saham, dan kreditor
Jensen dan Meckling (1976) dalam Yuniasih (2012) menjelakan
hubungan keagenan didalam teori agensi (agency theory) antara perusahaan
merupakan kumpulan kontrak (nexus of contract) antara pemilik sumber daya
ekonomis (principal) dan manajer (agen) yang mengurus penggunaan dan
pengendalian sumber daya tersebut. Beberapa faktor yang menyebabkan
munculnya masalah keagenan (Colgan, 2001) dalam Yuniasih (2012) yaitu :

1. Moral Hazard.
Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang
tinggi). Dimana seorang manajer melakukan kegiatan yang tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Manajer dapat
melakukan tindakan diluar pegetahuan pemegang saham yang melanggar
kontrak dan secara etika atau norma tidak layak untuk dilakukan.

2. Penahanan Laba (Earnings Relations)


Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi
yang berlebihan oleh pihak manajemen (agen) melalui peningkatan dan
pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, presitse, atau
9
10

penghargaan dari dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan


pemegang saham.
3. Horison Waktu
Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dengan masa
prinsipal lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya
belum pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal
yang berkaitan dengan pekerjaan mereka.
4. Penghindaran Risiko Manajerial
Masalah ini muncul ketika ada batas diversifikasi portofolio yang
berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya,
sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari
keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih
senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari peminjaman
utang, karena mengalami kebangkuratan atau kegagalan.
Dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah keagenan sehingga
dapat menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang akan ditanggung oleh
pihak prinsipal atau agen itu sendiri. Jensen & Meckling (1976) dalam
Pramana (2014) membagi biaya keagenan menjadi monitoring cost, bonding
cost dan residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan
ditanggung oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen, yaitu untuk
mengukur, mengamati dan mengontrol perilaku agen. Bonding Cost adalah
biaya yang ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan mematuhi
mekanisme yang menjamin bahwa agen akan bertindak untuk kepentingan
prinsipal. Residual loss adalah pengorbanan yang berupa berkurangnya
kemakmuran prinsipal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agen dan
keputusan prinsipal.
11

2.1.2 Teori Akutansi Positif

Watss dan Zimmerman (1986) dalam Pramana (2014) mengenai


positive accounting theory menyebutkan teori akuntansi positif dapat
menjelaskan mengapa kebijakan akuntansi menjadi suatu masalah bagi
perusahaan dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan,
dan untuk memprediksi kebijakan akuntansi yang hendak dipilih oleh
perusahaan dalam kondisi tertentu. Teori akuntansi positif mengusulkan tiga
hipotesis menajemen laba yaitu : Hipotesis program bonus (the bonus plan
hypothesis), hipotesis perjanjian hutang (the debt covenant hypothesis), dan
hipotesis biaya politik (the political cost hyphotesis). Hipotesis-hipotesis
tersebut dapat dijelasakan sebagai berikut :

1. Hipotesis Rencana Bonus (the bonus plan hyphotesis)

Hipotesis ini menjelaskan bahwa para manajer perusahaan dengan


rencana bonus cenderung untuk memilih prosedur akuntansi dengan
perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa
kini. Para manajer menginginkan imbalan yang tinggi dalam setiap periode.
Jika imbalan mereka bergantung pada pendapatan bersih, maka kemungkinan
mereka bisa meningkatkan bonus pada periode tersebut dengan melaporkan
pendapatan bersih setinggi mungkin. Salah satu cara untuk melakukan hal
tersebut adalah dengan memilih kebijakan akuntansi yang meningkatkan laba
yang dilaporkan pada periode tersebut. Sesuai dengan karakter dari proses
akrual, hal ini akan cenderung menyebabkan penurunan pada laba dan bonus-
bonus yang dilaporkan pada masa yang akan datang, dengan faktor-faktor
lain tetap sama. Namun nilai masa kini (present value) dari kegunaan manajer
dari lini bonus masa depan yang dimiliknya akan meningkat dengan
memberikan perubahan menuju masa kini.
12

2. Hipotesis Kontrak Hutang (the debt covenant hyphotesis)

Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin dekat
suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada
kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar
kemungkinan manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan
perubahan laba yang dilaporkan periode masa depan ke periode masa kini.
Jika laba yang dilaporkan meningkat maka akan menurunkan kelalaian
teknis. Sebagian besar dari perjanjian hutang berisi kesepakatan bahwa
pemberi pinjaman harus bertemu selama masa perjanjian. Sebagai contoh,
perusahaan yang mendapat pinjaman boleh sepakat memelihara level tertentu
dari hutang terhadap harta, laporan bunga, modal kerja dan harta pemilik
saham. Jika kesepakatan semacam itu tidak terpenuhi, perjanjian hutang
tersebut bisa memberikan/ mengeluarkan pinalti, seperti pembatasan dividen
atau tambahan pinjaman.

Kontrak hutang merupakan salah satu penyebab kegiatan operasional


perusahaan menjadi terbatasi. Untuk mencegah atau menunda pelanggaran
semacam itu, perusahaan cenderung untuk memilih kebijakan akuntansi
tertentu yang bisa meningkatakan laba masa kini. Berdasarkan hipotesis
kesepakatan hutang, ketika perusahaan mendekati kelalaian, atau memang
sudah berada dalam lalai/cacat, lebih cenderung untuk melakukan kegiatan
yang melanggar dari ketentuan.

3. Hipotesis biaya politik (the political cost hyphotesis)


Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin besar
biaya politik yang mesti ditanggung oleh perusahaan, manajer cenderung
lebih memilih prosedur akuntansi yang menyerah pada laba yang dilaporkan
dari masa sekarang menuju masa depan. Hipotesis biaya politik
memperkenalkan suatu dimensi politik pada pemilihan kebijakan akuntansi.
Perusahaan-perusahaan yang ukurannya sangat besar mungkin dikenakan
standar kinerja yang lebih tinggi, dengan penghargaan terhadap tanggung
jawab lingkungan, hanya karena mereka merasa bahwa mereka besar dan
berkuasa. Jika perusahaan besar juga memiliki kemampuan meraih profit
yang tinggi, maka biaya politik bisa diperbesar. Perusahaan-perusahaan juga
13

mungkin akan menghadapi biaya politik pada poin-poin waktu tertentu.


Persaingan luar negeri mungkin mengarah pada menurunnya profitabilitas
kecuali perusahaan yang terkena dampaknya ini bisa mempengaruhi proses
politik untuk bisa melindungi impor secara keseluruhan. Salah satu cara
untuk melakukan ini adalah dengan mengadopsi kebijakan akuntansi income-
decreasing (pendapatan menurun) dalam rangka menyakinkan pemerintah
bahwa profit sedang turun.

2.2 Transfer Pricing


2.2.1 Pengertian Transfer Pricing
Definisi transfer pricing menurut para ahli :
Menurut Gunadi Transfer pricing merupakan harga atas transfer
barang atau jasa dengan nama dan dalam bentuk apapun antar perusahaan
yang memiliki hubungan istimewa (assosiates) baik dalam negeri maupun
luar negeri.
Darussalam dan Danny Septriadi mendefinisikan Transfer pricing
merupakan bagian dari suatu kegiatan usaha dan perpajakan yang bertujuan
untuk memastikan apakah harga yang diterapkan dalam transaksi antara
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa telah didasarkan atas
prinsip harga pasar yang wajar (arm’s lengh price principle).
Menurut Zain dalam bukunya manajemen perpajakan mendefinisikan
bahwa transfer pricing atau harga transfer merupakan harga yang
diperhitungkan untuk pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa
antar pusat pertanggung jawaban laba atau biaya, termasuk determinasi harga
untuk barang, imbalan atas jasa, tingkat bunga pinjaman, beban atas
persewaan dan metode pembayaran serta pengiriman uang.
Menuurt Robert Feinschreiber dalam bukunya yang berjudul Transfer
Pricing Methods mendefinisikan bahwa Transfer pricing, for tax purposes, is
the pricing of intercompany transactions that take place between affiliated
businesses. The transfer pricing process determines the amount of income
that each party earns from that transaction. These performance measures are
most often reflected by personnel policies, incentives, bonuses, and the like.
Memiliki arti adalah harga transfer untuk tujuan perpajakan, adalah harga
transaksi antar perusahaan yang dilakukan antara perusahaan afiliasi. Proses
14

penetapan harga transfer menentukan jumlah pendapatan yang diperoleh


masing-masing pihak dari transaksi tersebut. Transaksi dalam konteks ini
ditentukan secara luas dan mencakup penjualan, perizinan, leasing, layanan,
dan bunga.
Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara
(intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang
dipasok oleh divisi penjual kepada divisi pembeli. Pasal 1 ayat (8) Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ./2010 yang diubah terakhir
dengan PER32/PJ./2011, mendefinisikan penentuan transfer pricing sebagai
penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa (Desriana, 2012).
Menurut pengertian yang dikemukan para ahli di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa transfer pricing terdiri dari tiga point utama yaitu harga,
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, dan transaksi penjualan
antar cabang dan induk perusahaan. Transfer pricing adalah harga yang
timbul karena transaksi jual beli yang terjadi diantara perusahaan yang
memiliki hubungan istimewa.

2.2.2 Tujuan Transfer Pricing

Dengan globalisasi bisnis, aspek internasional dari harga transfer


menjadi suatu perhatian yang lebih kritis, terutama dengan adanya isu-isu
pajak. Tujuan internasional yang lain mencakup meminimalkan beban-beban
pajak, pengendalian devisa, dan berkenaan dengan risiko pengambil alihan
oleh pemerintah asing. Fenomena perusahaan multinasional dalam
ekspansinya enderung mengoperasikan usahanya secara desentralisasi dan
melaksanakan konsep cost revenue profit atau corporate profit centre concept
yang dapat mengukur dan menilai kinerja dan motivasi setiap divisi/unit yang
bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Untuk mencapai
tujuan tersebut antara lain digunakan system harga transfer
(Suandy,2016:78).
Harga transfer multinasional berhubungan dengan transaksi antar
divisi dalam suatu unit hukum (entitas atau antar entitas dalam satu kesatuan
15

ekonomi yang meliputi berbagai wilayah kedaulatan negara. Tujuan yang


ingin dicapai dalam harga transfer adalah: (Suandy, 2016: 79)
1. Memaksimalkan penghasilan global.
2. Mengamankan posisi kompetitif anak/ cabang perusahaan dan
penetrasi pasar.
3. Mengevaluasi kinerja anak/ cabang perusahaan mancanegara.
4. Menghindarkan pengendalian devisa.
5. Mengontrol kredibilitas asosiasi.
6. Mengurangi risiko moneter.
7. Mengatur arus kas anak/cabang perusahaan yang memadai.
8. Membina hubungan baik dengan administrasi setempat.
9. Mengurangi beban pengenaan pajak dan bea masuk.
10. Mengurangi risiko pengambil alihan oleh pemerintah.

2.2.3 Penentuan Transfer Pricing


Menurut Matz dan Usry (Suandy, 2016:79), terdapat empat dasar
untuk penentuan harga transfer, yaitu penentuan harga transfer berdasarkan
biaya, penentuan harga transfer berdasarkan harga pasar, penentuan harga
transfer berdasarkan negosiasi, dan penentuan harga transfer berdasarkan
arbitrase. Keempat harga transfer tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut
(Suandy, 2016:79):
1. Penentuan harga transfer berdasarkan biaya (cost basis transfer pricing).
Transfer pricing yang didasarkan pada biaya, dikenakan berdasarkan
biaya produksi (standard cost). Cost basis biasanya dilakukan antar divisi
pada tingkat yang sama pada aktivitas produksi dan distribusi (transfer
horizontal). Basis ini digunakan apabila harga pasar tidak tersedia atau
kurang tepat
2. Penentuan harga transfer berdasarkan harga pasar (market based transfer
pricing)
Variasi dari basis ini dapat berkisar antara harga pasar yang berlaku
(current market price) dan harga pasar dikurangi diskon (market price
minus discount). Basis ini dipakai bila pasar perantara cukup bersaing dan
saling ketergantungan antar unit.
16

3. Penentuan harga transfer berdasarkan negosiasi (the negotiated price)


Pendekatan ini mengasumsikan bahwa kedua divisi mempunyai posisi
tawar menawar (bargaining position) yang sama. Penentuan harga
didasarkan pada pemberian otoritas salah satu pihak untuk menentukan
harga transfer, berdasarkan persetujuan kedua divisi. Namun hal ini akan
memakan waktu negosiasi, mengulang pemeriksaan serta revisi harga
transfer.
4. Penentuan harga transfer berdasarkan arbitrase (arbitration transfer
pricing)
Harga yang digunakan berdasarkan interaksi kedua divisi pada tingkat
yang dianggap baik bagi kepentingan perusahaan, tanpa adanya paksaan
dari salah satu divisi mengenai keputusan akhir penentuan harga.
Negara-nega seperti Jerman, Inggirs, Kanda dan Amerika Serikat
mempunyai metode untuk menguji apakah harga transfer dari perusahaan
multinasional sama dengan harga pasar wajar (arm’s-length price). Menurut
arm’s length standard, harga-harga pasar transfer seharusnya ditetapkan
suapaya dapat mencerminkan harga yang akan disusun oleh pihak-pihak yang
tidak terkait yang bertindak secara bebas. Arms’ length standard diterapkan
dalam banyak cara, tetapi metode yang paling banyak digunakan adalah
sebagai berikut (Suandy, 2016: 81):
1. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price/CUP).
Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price) atau disingkat metode CUP adalah metode penentuan
harga transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-
pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi atau
keadaan yang sebanding.
2. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM).
Metode harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat
metode RPM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan
dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang
dilakukan antara pihak - pihak yang mempunyai hubungan istimewa
17

dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor
wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali
produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi
wajar.
3. Metode biayaplus (cost plus method/CPM).
Metode biaya plus (cost plus method) atau metode CPM adalah metode
penentuan harga transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat
laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi
dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba
kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding
dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada harga
pokok penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha.
4. Other Method
Dalam keadaan tertentu, kombinasi ketiga metode diatas perlu diterapkan,
atau mungkin metode lain, misalnya alokasi laba yang diperoleh grup
perusahaan dalam transaksi tertentu, kalkulasi tingkat keuntungan yang
pantas pada investasi wajib pajak.

2.2.4 Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha


Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha merupakan prinsip yang
mengatur mengenai kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding dengan
transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak memiliki hubungan
istimewa yang menjadi pembanding, untuk itu harga yang dikeluarkan harus
sama dan sebanding antara harga untuk pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan harga untuk pihak yang tidak mempunyai hubungan apapun.
Prinsip kewajaran (Arm’s length principle) adalah sebuah prinsip
yang mengatur bahwa dalam hal kondisi transaksi afiliasi (ada hubungan
istimewa) sama dengan kondisi transaksi independen yang menjadi
pembanding, maka harga dan keberadaan transaksi afiliasi tersebut harus
sama dengan harga dan keberadaan transaksi independen yang menjadi
pembanding (Suandy, 2016).
18

Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha diatur dalam pasal 18 ayat (3)
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu pasal anti
penghindaran pajak. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besaranya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung
besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengna kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan
menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen,
metode harga penjualan kembali, dan metode biaya cost plus atau metode
lainnya.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang
Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antar Wajib Pajak Dengan Pihak
Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
PER-43/PJ/2010 memberikan pengertian Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha (arm’s length principle/ALP) sebagai prinsip yang mengatur bahwa
apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding

2.2.5 Hubungan Istimewa


Hubungan istimewa terjadi antar induk perusahaan dengan anak
perusahaan atau dengan cabang-cabangnya atau perwakilannya yang berada
di dalam negeri maupun yang berada diluar negeri atau di Indonesia. Dalam
pasal 18 ayat 3, 3a, dan 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang
menyatakan sebagai berikut: (Suandy, 2016: 77)
19

1. Dirjen pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan


dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai
dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa.
2. Dirjen Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak
dan bekerja sama dengan otoritas pajak negara lain untuk menentukan
harga transaksi antar pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebagaimana dimaksud dalam ayat 4, yang berlaku selama suatu
periode tertentu dan mengawasi pelaksanaanya serta melakukan
regenerasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
3. Hubungan istimewa dianggap ada apablia :
1) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak
langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, atau hubungan
antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua
Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib
Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
2) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih
Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung
maupun tidak langsung; atau
3) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam
garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Hubungan istimewa tersebut dapat mengakibatkan kekurangwajaran


harga, biaya, atau imbalan lain yang direalisaikan dalam suatu transaksi
usaha. Harga transfer tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penggalian
penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan biaya dari satu Wajib Pajak ke
Wajib Pajak yang lain, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan
jumlah pajak terutang atas Wajib Pajak yang mempunyai tujuan istimewa
baik nasional maupun multinasional. (Suandy, 2016: 84). Kekurangwajaran
harga tersebut dapat terjadi pada:
1. Harga penjualan
2. Harga pembelian
20

3. Alokasi biaya administrasi dan umum


4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham
5. Pembayaran komisi, lisensi, waralaba, sewa, royalty, imbalan jasa
manajemen, imbalan jasa teknik, dan imbalan jasa yang lain.

2.3 Pajak
Para ahli dalam bidang perpajakan memberikan definisi yang
berbeda-beda mengenai pajak. Menurut Waluyo (2013:2) pajak adalah iuran
kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh wajib pajak
membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang berguna untuk membiayai
pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas Negara yang
diselenggarakan pemerintah.
Menurut Priantara (2011:2), pajak adalah iuran partisipasi seluruh
anggota masyarakat kepada negara berdasarkan kemampuan (daya pikulnya)
masing-masing yang dapat dipaksakan untuk membiayai kegiatan
pemerintahan dan pembangunan dan pembayar pajak tidak menerima
imbalan atau kontribusi yang dapat dihubungkan secara langsung dengan
pajak yang telah dibayarnya.

Definisi lain mengenai pajak juga dikemukakan oleh Soeparman


Soemahamidjaja dalam Syamsudin (2015) yang menyatakan bahwa pajak
adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-
barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Berdasarkan definisi-definisi pajak menurut para ahli diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran yang dibayarkan kepada negara
yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing wajib pajak yang
sifatnya bisa dipaksakan dan dipergunakan untuk keperluan negara. Pajak
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Waluyo, 2013:3) :
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya
yang sifatnya dapat dipaksakan
21

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi


individual oleh pemerintah
3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah
4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran – pengeluaran pemerintah, yang bila
dan pemasukannya masih terdapat surplus, yang dipergunakan untuk
membiayai investasi publik.
Pajak memiliki unsur-unsur yaitu iuran dari rakyat kepada neagara,
berdasarkan pada undang-undang , tanpa adanya kontraprestasi secara
langsung dari Negara, dan dipergunakan untuk membiayai rumah tangga
Negara. Fungsi pajak menurut Siti Resmi (2014) :
1. Fungsi anggaran (budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend).
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

2.4 Debt Covenant

Debt covenant adalah kontrak yang ditunjukan pada peminjam oleh


kreditur untuk membatasi aktivitas yng mungkin merusak nilai pinjaman dan
recovery pinjaman (Cochran, 2001 dalam Pambudi 2014). Perusahaan yang
telah go public tentunya tidak akan lepas dari hutang yang digunakan untuk
memperluas usahaanya. Fatmariani (2013) mengindikasikan bahwa manajer
cenderung untuk menyatakan secara berlebihan laba dan aset untuk
mengurangi renegosiasi biaya kontrak hutang.
Kontrak utang (debt covenant) merupakan perjanjian untuk
melindungi pemberi pinjaman (lender atau kreditur) dari tindakan-tindakan
manajer terhadap kepentingan kreditur, seperti deviden yang berlebihan,
pinjaman tambahan, atau membiarkan modal kerja dan kekayaan pemilik
berada di bawah tingkat yang telah ditentukan, yang mana semuanya
menurunkan keamanan atau menaikkan resiko bagi kreditur yang telah ada.
22

Watss dan Zimmerman (1986) dalam Pambudi (2014) Debt covenat


hypothesis dalam possitive accounting theory memprediksikan bahwa
semakin tinggi jumlah hutang atau pinjaman yang ingin diperoleh perusahan
maka perusahaan berupaya menunjukan kinerja yang baik kepada
debtholders. Upaya tersebut dilakukan dengan menyejikan aset dan laba
setinggi mungkin, serta liabilitas dan beban serendah mungkin. (Fatmariani,
2013). Hal ini dikarenakan perusahaan ingin menunjukan kinerja yang baik
pada pihak eksternal, agar pihak eksternal yakin bahwa keamanan dananya
terjamin.
Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin dekat
suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada
kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar
kemungkinan manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan
perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa
kini. Alasannya adalah laba yang dilaporkan yang makin meningkat akan
menurunkan kelalaian teknis. Sebagian besar dari perjanjian hutang berisi
kesepakatan bahwa pemberi pinjaman harus bertemu selama masa perjanjian.
Sebagai contoh, perusahaan yang mendapat pinjaman boleh sepakat
memelihara level tertentu dari hutang terhadap harta, laporan bunga, modal
kerja, dan harta pemilik saham. Jika kesepakatan semacam itu dikhianati,
perjanjian hutang tersebut bisa memberikan/mengeluarkan penalti, seperti
pembatasan dividen atau tambahan pinjaman.
Dengan jelas, prospek dari pelanggaran kesepakatan membatasi
kegiatan perusahaan dalam operasional perusahaan itu sendiri. Untuk
mencegah, atau paling tidak menunda, pelanggaran semacam itu, perusahaan
bisa memilih kebijakan akuntansi tertentu yang bisa meningkatkan laba masa
kini. Berdasarkan hipotesis kesepakatan hutang, ketika perusahaan mendekati
kelalaian, atau memang sudah berada dalam lalai/cacat, lebih cenderung
untuk melakukan hal ini.
23

2.5 Ukuran Perusahaan


Suatu perusahaan bisa saja dikatakan sebagai perusahaan besar jika
aset yang dimilikinya besar. Demikian pula sebaliknya, jika aset yang
dimiliki sedikit, maka perusahaan itu dikatakan sebagai perusahaan kecil.
Ukuran secara umum dapat diartikan sebagai suatu perbandingan besar
kecilnya suatu objek. Menurut sawir (2004) dalam Putri (2016) ukuran
perusahaan dinyatakan sebagai determinan dari struktur keuangan dalam
hampir setiap studi untuk alasan yang berbeda.
Ketentuan untuk ukuran perusahaan diatur dalam UU RI No. 20 tahun
2008 tetang usaha mikra, kecil dan menengah. Peraturan tersebut
menjelaskan empat jenis ukuran perusahaan yang dapat dinilai dari jumlah
penjualan dan aset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Empat jenis
ukuran perusahaan tersebut antara lain (Putri, 2016) :
1. Perusahaan dengan usaha ukuran mikro
Perusahaan yang memiliki kekayaan bersih < Rp. 50,000,000,- (tidak
termasuk tanah dan bangunan) dan memiliki jumlah penjualan <
Rp.300,000,000,-.
2. Perusahaan dengan usaha ukuran kecil
Perusahaan yang memiliki kekayaan bersih Rp.50,000,000,- sampai
Rp.500,000,000,- (tidak termasuk tanah dan bangunan) serta memiliki
jumlah penjualan Rp.300,000,000,- sampai dengan Rp. 2,500,000,000,-
3. Perusahaan dengan usaha ukuran menengah
Perusahaan dapat dikategorikan perusahaan menengah apabila memiliki
kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,- sampai dengan paling
banyak Rp 10.000.000.000,- tidak termasuk bangunan tempat usaha, atau
memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,- sampai
dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,-.
4. Perusahaan dengan usaha ukuran besar
Perusahaan dapat dikategorikan perusahaan besar apabila memiliki
kekayaan bersih lebih dari Rp 10.000.000.000,- tidak termasuk bangunan
tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp
50.000.000.000,-.
24

Besar kecilnya ukuran perusaahan juga dapat terlihat dari nilai total
aset perusahaan pada neraca akhir tahun (Sujoko dan Soebiantoro, 2007).
Perusahaan yang memiliki total aset besar menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas
perusahaan sudah bertambah dan dianggap memiliki prospek yang baik
dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa
perusahaan besar relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba
dibandingkan perusahaan dengan aset yang kecil (Sulistiono, 2010) dalam
Purwanigsih (2014).
Dalam penelitian ini akan digunakan total aset untuk mengukur
ukuran perusahaan karena nilai aset relatif lebih stabil dibandingkan
penjualan (Sudarmaji dan Sularto, 2007). Ukuran perusahaan yang
menunjukkan besar kecilnya perusahaan dapat dilihat dari besar kecilnya total
aset yang dimiliki. Total aset adalah segala sumber daya yang dikuasai oleh
perusahaan sebagai akibat dari transaksi masa lalu dan diharapkan akan
memberi manfaat ekonomi bagi perusahaan di masa yang akan datang
(Sulistiono, 2010) dalam Purwaningsih (2014).

2.6 Pengembangan Hipotesis


2.6.1 Pengaruh Pajak Terhadap Transfer Pricing
Pajak merupakan salah satu alasan perusahaan memutuskan untuk
melakukan transfer pricing. Beban pajak tinggi yang harus ditanggung
perusahaan menjadikan alasan perusahaan melakukan transaksi transfer
pricing agar dapat memperkecil beban pajak yang seharusnya dapat
dibayarkan. Dalam transfer pricing, perusahaan cenderung menggeser
kewajiban perpajakan dari negara-negara yang memiliki tarif pajak tinggi ke
negara yang memiliki tarif pajak rendah yang dilakukan dengan cara
memperkecil harga jual antar perusahaan dalam satu group.
Penelitian yang dilakukan oleh Noviastika (2014) menemukan bahwa
beban pajak berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing, hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Yuniasih (2012) dan penelitian yang
dilakukan oleh Kiswanto (2014) mendapatkan hasil bahwa pajak berpengaruh
terhadap transfer pricing.
25

Berdasarkan rumusan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini


adalah
H1 : Beban pajak berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing

2.6.2 Pengaruh Debt Covenant Terhadap Transfer Pricing


Rasio hutang dan ekuitas yang semakin tinggi akan dapat
menimbulkan kesempatan besar untuk manajer dalam memilih metode
akutansi yang dapat menaikan laba. Salah satu cara yang digunakan
perusahaan untuk dapat menaikan laba dan menghindari peraturan kredit
adalah dengan transfer pricing. Dalam debt covenant hypothesis makin dekat
suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada
kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar
kemungkinan manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan
perubahan laba yang dilaporkan dari periode masa depan ke periode masa
kini.
Penelitian yang dilakukan Pramana (2014) menemukan bahwa debt
covenant berpengaruh terhadap transfer pricing. Berbeda dari penelitian
Pramana (2014) penelitian yang dilakukan Putri (2016) menemukan bahwa
leverage tidak berpengaruh terhadap transfer pricing. Untuk itu perlu
dilakukan penelitian kembali mengenai pengaruh debt covenant terhadap
keputusan transfer pricing.
Berdasarkan rumusan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah
H2 : Debt Covenant berpengaruh terhadap keputusan transfer pricing

2.6.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Transfer Pricing


Ukuran perusahaan merupakan cara untuk mengukur besar kecilnya
sebuah perusahaan. Pada umumnya penelitian di Indonesia menggunakan
total aset sebagai proksi dari ukuran perusahaan. Perusahaan yang memiliki
total aset besar menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai
tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif
dan dianggap memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif
lebih lama (Kiswanto, 2014).
26

Transfer pricing dilakukan antar pihak berelasi atau yang mempunyai


hubungan istimewa. Hubungan istimewa biasanya dimiliki oleh perusahaan-
perusahaan besar, yang mana perusahaan besar lebih memiliki banyak cabang
atau pun asosiasi (grup perusahaan). Sehingga kemungkinan perusahaan
melakukan transfer pricing akan lebih besar peluangnya dibandingkan
dengan perusahaan kecil yang tidak memiliki grup atau perusahaan tunggal.
Penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2009) dalam Kiswanto (2014)
menunjukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap
transaksi pihak berelasi. Penelitian ini beranggapan bahwa ukuran perusahaan
berpengaruh negatif terhadap besaran pengelolaan laba, artinya semakin besar
ukuran perusahaan semakin kecil besaran pengelolaan labanya. Manajer yang
memimpin perusahaan besar kurang memiliki dorongan untuk melakukan
pengelolaan laba, salah satunya dengan melakukan transfer pricing,
dibandingkan manajer di perusahaan kecil sebab perusahaan yang besar lebih
diperhatikan masyarakat sehingga perusahaan besar akan lebih berhati-hati
dalam melakukan pelaporan keuangan.
Berbeda dengan Kiswanto penelitian yang dilakukan oleh Putri (2016)
menemukan bahwa ukuran perusahan berpengaruh positif terhadap transfer
pricing. Perusahaan-perusahaan besar yang memiliki keuntungan besar
cenderung akan terlibat dalam transaksi untuk penghindaran pajak
dikarenakan keuntungan besar sehingga beban pajaknya juga akan besar.
Dibeberapa kasus perusahaan besar cenderung memiliki masalah pembayaran
pajak yang tinggi. Oleh seba itu beberapa perusahaan melakukan berbagai
cara agar pembayaran pajak menjadi rendah yaitu dengna melakukan transfer
pricing Untuk itu perlu dilakukan penelitian kembali mengenai pengaruh
ukuran perusahaan terhadap keputusan transfer pricing.
Berdasarkan rumusan diatas maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah
H3 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap keputusan transfer
pricing
27

2.7 Penelitian Terdahulu


Penelitian mengenai topik yang berkaitan dengan penelitain mengenai
transfer pricing dapat dilihat dalam tabel 2.1

Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Peneliti Judul Hasil

Nancy Kiswanto dan Pengaruh Pajak, Variabel pajak dan


Anna Purwaningsih Kepemilikan Asing, dan kepemilikan asing
(2014) Ukuran Perusahaan berpengaruh positif
terhadap Transfer terhadap Transfer
Pricing Pada Pricing, dan Ukuran
Perusahaan Manufaktur Perusahaan
di BEI Tahun 2010 – berpengaruh negatif
2013 terhadap transfer
pricing

Ni Wayan Yuniasih, Ni Pengaruh Pajak dan Pajak dan tunneling


Ketut Rasmini dan Tunnelling Incentive incentive berpengaruh
Made Gede terahdap keputusan positif terhadap
Wirakusuma (2012) Transfe Pricing keputusan transer
perusahaan manufaktur pricing pada perusahaan
yang listing di Bursa
Efek Indonesia periode
tahun 2008-2010

Dwi Noviastika F., Pengaruh Pajak, Pajak dan tunnelling


Yuniadi Mayowan, dan Tunnelling Incentive incentive berpengaruh
Suhartini Karjo (2016) dan Good Corporate signifikan terhadap
Governance terhadap indikasi melakukan
indikasi melakukan transfer pricing, dan
transfer pricing pada GCG tidak berpengaruh
perusahaan manufaktur signifikan terhadap
yang terdaftar di Bursa
28

Efek Indonesia (Studi transfer pricing.


Pada Bursa Efek
Indonesia yang
berkaitan dengan
perusahaan asing)

Elsa Kisari Putri (2016) Pengaruh Kepemilikan Ukuran perusahaan


Asing, Ukuran berpengaruh positif
Perusahaan, dan terhadap keputusan
Leverage Terhadap untuk melakukan
Keputusan Perusahaan transfer pricing,
Untuk Melakukan sedangkan kepemilikan
Transfer Pricing (Studi asing dan levearge tidak
pada Perusahaan Non berpengaruh terhadap
Keuangan yang keputusan perusahaan
Terdaftar di Bursa Efek untuk melakukan
Indonesia Periode 2014) transfer pricing.

Erny Syamsudin (2016) Pengaruh Beban Pajak, Beban pajak dan


Tunnelling incentive, tunneling incentive
dan Karakter Eksekutif berpengaruh positif
terhadap keputusan terhadap transfer
transfer pricing pricing, dan risk taker
perusahaan (studi tidak berpengaruh
empiris pada terhadap transfer
perusahaan manufaktur pricing.
yang terdafatar di BEI
periode 2011-2014)
29

2.8 Kerangka Konseptual

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini menjelasakan mengenai


sistematika kerangka konseptual mengenai pengaruh pajak, debt covenant ,
dan ukuran perusahaan terhadap transfer pricing yang ditunjukan pada

gambar 2.1.

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
30

Anda mungkin juga menyukai