TINJAUAN PUSTAKA
Teori agensi adalah teori yang muncul ketika ada dua pihak yang
saling terikat, dimana kedua belah pihak sepakat untuk memakai jasa.
Hubungan keagenan adalah sebagai kontrak, dimana satu atau beberapa orang
(principal) mempekerjakan orang atau pihak lain (agen) untuk melaksanakan
sejumlah jasa dan mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan.
Dari sini dapat diketahui bahwa manajemen wajib mempertanggungjawabkan
semua keputusan terhadap pengguna laporan keuangan, termasuk
investor,stakeholders, pemegang saham, dan kreditor
Jensen dan Meckling (1976) dalam Yuniasih (2012) menjelakan
hubungan keagenan didalam teori agensi (agency theory) antara perusahaan
merupakan kumpulan kontrak (nexus of contract) antara pemilik sumber daya
ekonomis (principal) dan manajer (agen) yang mengurus penggunaan dan
pengendalian sumber daya tersebut. Beberapa faktor yang menyebabkan
munculnya masalah keagenan (Colgan, 2001) dalam Yuniasih (2012) yaitu :
1. Moral Hazard.
Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang
tinggi). Dimana seorang manajer melakukan kegiatan yang tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Manajer dapat
melakukan tindakan diluar pegetahuan pemegang saham yang melanggar
kontrak dan secara etika atau norma tidak layak untuk dilakukan.
Dalam hipotesis ini semua hal lain dalam keadaan tetap, makin dekat
suatu perusahaan terhadap pelanggaran pada akuntansi yang didasarkan pada
kesepakatan utang, maka kecenderungannya adalah semakin besar
kemungkinan manajer perusahaan memilih prosedur akuntansi dengan
perubahan laba yang dilaporkan periode masa depan ke periode masa kini.
Jika laba yang dilaporkan meningkat maka akan menurunkan kelalaian
teknis. Sebagian besar dari perjanjian hutang berisi kesepakatan bahwa
pemberi pinjaman harus bertemu selama masa perjanjian. Sebagai contoh,
perusahaan yang mendapat pinjaman boleh sepakat memelihara level tertentu
dari hutang terhadap harta, laporan bunga, modal kerja dan harta pemilik
saham. Jika kesepakatan semacam itu tidak terpenuhi, perjanjian hutang
tersebut bisa memberikan/ mengeluarkan pinalti, seperti pembatasan dividen
atau tambahan pinjaman.
dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor
wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali
produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi
wajar.
3. Metode biayaplus (cost plus method/CPM).
Metode biaya plus (cost plus method) atau metode CPM adalah metode
penentuan harga transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat
laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi
dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba
kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding
dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada harga
pokok penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha.
4. Other Method
Dalam keadaan tertentu, kombinasi ketiga metode diatas perlu diterapkan,
atau mungkin metode lain, misalnya alokasi laba yang diperoleh grup
perusahaan dalam transaksi tertentu, kalkulasi tingkat keuntungan yang
pantas pada investasi wajib pajak.
Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha diatur dalam pasal 18 ayat (3)
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu pasal anti
penghindaran pajak. Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besaranya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung
besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengna kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan
menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen,
metode harga penjualan kembali, dan metode biaya cost plus atau metode
lainnya.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang
Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antar Wajib Pajak Dengan Pihak
Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
PER-43/PJ/2010 memberikan pengertian Prinsip Kewajaran dan Kelaziman
Usaha (arm’s length principle/ALP) sebagai prinsip yang mengatur bahwa
apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding
2.3 Pajak
Para ahli dalam bidang perpajakan memberikan definisi yang
berbeda-beda mengenai pajak. Menurut Waluyo (2013:2) pajak adalah iuran
kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh wajib pajak
membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang berguna untuk membiayai
pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas Negara yang
diselenggarakan pemerintah.
Menurut Priantara (2011:2), pajak adalah iuran partisipasi seluruh
anggota masyarakat kepada negara berdasarkan kemampuan (daya pikulnya)
masing-masing yang dapat dipaksakan untuk membiayai kegiatan
pemerintahan dan pembangunan dan pembayar pajak tidak menerima
imbalan atau kontribusi yang dapat dihubungkan secara langsung dengan
pajak yang telah dibayarnya.
Besar kecilnya ukuran perusaahan juga dapat terlihat dari nilai total
aset perusahaan pada neraca akhir tahun (Sujoko dan Soebiantoro, 2007).
Perusahaan yang memiliki total aset besar menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut mencapai tahap kedewasaan dimana dalam tahap ini arus kas
perusahaan sudah bertambah dan dianggap memiliki prospek yang baik
dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu juga mencerminkan bahwa
perusahaan besar relatif lebih stabil dan lebih mampu menghasilkan laba
dibandingkan perusahaan dengan aset yang kecil (Sulistiono, 2010) dalam
Purwanigsih (2014).
Dalam penelitian ini akan digunakan total aset untuk mengukur
ukuran perusahaan karena nilai aset relatif lebih stabil dibandingkan
penjualan (Sudarmaji dan Sularto, 2007). Ukuran perusahaan yang
menunjukkan besar kecilnya perusahaan dapat dilihat dari besar kecilnya total
aset yang dimiliki. Total aset adalah segala sumber daya yang dikuasai oleh
perusahaan sebagai akibat dari transaksi masa lalu dan diharapkan akan
memberi manfaat ekonomi bagi perusahaan di masa yang akan datang
(Sulistiono, 2010) dalam Purwaningsih (2014).
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Peneliti Judul Hasil
gambar 2.1.
Gambar 2.1
Kerangka Konseptual
30