Anda di halaman 1dari 16

DIFERENSIASI INDIVIDU DAN IMPLEMENTASI DALAM

PENDIDIKAN
RAHMA SABHARA
NIM :02040820057
rahmasabara1997@gmail.com

Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Abstrak

Setiap manusia diciptakan oleh Sang Khalik dengan segala keunikan dan karakteristik
atau ciri khasnya masing-masing. Hal ini dinamakan sebagai perbedaan individu
(individual differences). Perbedaan individu adalah perbedaan kemampuan dan
karakteristik (kognitif, kepribadian, keterampilan fisik, dan lain sebagainya) antar
peserta didik pada jenjang usia tertentu dan dalam setiap kelompok tertentu. Melalui
praktik dan aktivitas pendidikan, kita dapat mengakomodasi perbedaan individual para
siswa. Demikian pula halnya intelegensi, gaya belajar dan gaya berfikir antar satu sama
lain juga berbeda. Pentingnya untuk mengetahui intelenjensi, gaya belajar dan gaya
berfikir anak didik yaitu mengetahui bagaimana psikologi anak tersebut dalam
pendidikan. Metode analisis yang dilakukan adalah studi pustaka, dengan cara mencari
beberapa sumber yang telah diterbitkan oleh penulis/peneliti lain terkait dengan
perbedaan individu dari gaya belajarnya. Sebagai pengajar kita harus mampu memilih
berbagai cara/teknik yang dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan siswa secara
personal dan mengoptimalkan kemajuan maupun kemampuan interpersonal masing-
masing peserta didik dalam jangka panjang terutama jika ditinjau dari intelejensi, gaya
belajar dan gaya berfikir sehingga proses pembelajaran terlaksana secara optimal.
Kata kunci : Diferensiasi, Individu, Pendidikan.

1
Pendahuluan
Bahasan perbedaan individu merupakan subyek di dalam psikologi modern
yang juga sering disebut diferensiasi individu. Beberapa macam perbedaan
individu telah banyak didefinisikan oleh para ahli psikologi dan sering kali kita
pelajari serta erat kaitannya dengan pembelajaran, antara lain mengenai
intelegensi, gaya belajar, dan gaya berpikir. Hasil pemikiran ini secara nyata
menunjukkan kepedulian, apresiasi serta akomodasi bagi perbedaan-perbedaan
individual manusia dalam proses pendidikannya.
Berbagai jenis potensi manusia belakangan ini terlihat semakin eksis dan
diberdayakan apalagi dengan mudahnya ekspos potensi diri lewat jejaring sosial.
Masyarakat dewasa ini mulai sadar terhadap perbedaan potensi masing-masing
individu. Para orang tua sudah sedikit-demi sedikit memahami potensi dalam diri
anak begitu juga pemberian pelayanan pendidikan di lembaga pendidikan untuk
peserta didik. Walaupun tidak memungkiri masih ada saja kekurangan pada upaya
akomodasi diferensiasi individu dalam pendidikan.
Pada hakikatnya setiap individu diciptakan dengan segala keunikannya dan
dengan karakteristik masing-masing. Faktor keturunan/hereditas atau bawaan lahir
serta faktor lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perbedaan
personal/individu. Kedua faktor ini berpengaruh terhadap perkembangan dan
pertumbuhan peserta didik. Kemungkin dari faktor tersebut ada yang lebih
berpengaruh, tetapi keduanya tetap berpengaruh, serta antar individu tidak ada
yang sama meskipun itu merupakan manusia yang dilahirkan kembar.
Diferensiasi individu dan implementasi dalam pendidikan akan dibagi
menjadi 3 (tiga) yaitu intelegensi, gaya belajar dan gaya berfikir. Pada
pembagiannya akan dijelaskan masing-masing secara mendalam tentang ketiga
faktor diferensiasi individu dan bagaimana implementasinya dalam dunia
pendidikan pada saat ini.

2
A. DIFERENSIASI INDIVIDU
1. Intelegensi (IQ)
a. Pengertian Intelegensi
Kita sering menemukan ada orang yang cepat, cekatan dan terampil
dalam waktu yang relatif singkat dapat menyelesaikan tugas, pekerjaan yang
dihadapinya. Begitu pula sebaliknya banyak orang dalam menyelesaikan
tugas, masalah yang dihadapinya membutuhkan waktu yang relatif lama.
Bahkan ada pula yang lamban dan tak dapat menyelesaikan pekerjaannya.
Salah satu faktor yang menentukan hal tersebut adalah taraf intelegensi
orang tersebut. Istilah intelegensi ini sudah menjadi bahasa umum bagi
masyarakat, hanya saja sebagian masyarakat menamakannya kecerdasan,
kecerdikan, kepandaian, ketrampilan dan istilah lainnya yang pada
prinsipnya bermakna sama. Istilah intelegensi dapat diartikan dengan dua
cara, yaitu:
1) Arti luas: kemampuan untuk mencapai prestasi yang di dalamnya
berpikir memegang peranan. Prestasi itu dapat diberikan dalam berbagai
bidang kehidupan, seperti pergaulan, sosial, tekhnis, perdagangan,
pengaturan rumah tangga dan belajar di sekolah.
2) Arti sempit: kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah yang di
dalamnya berpikir memegang peranan pokok. Intelegensi dalam arti ini,
kerap disebut “kemampuan intelektual” atau ”kemampuan akademik”.1
Mengenai hakikat intelegensi, belum ada kesesuaian pendapat antara
para ahli. Variasi dalam pendapat nampak bila pandangan ahli yang satu
dibanding dengan pendapat ahli yang lain. Pendapat-pendapat itu antara lain:
1) Terman: intelegensi adalah kemampuan untuk berpikir abstrak.
2) Thorndike: intelegensi adalah kemampuan individu untuk memberikan
respon yang tepat (baik) terhadap stimulasi yang diterimanya, misalnya
orang mengatakan “meja”, bila melihat sebuah benda berkaki empat dan
mempunyai permukaan datar. Maka makin banyak hubungan (koneksi)
semacam itu yang dimiliki seseorang, makin intelegenlah orang itu.

1
W.S.Winkel, Psikologi Pengajaran, (Yogyakarta : Media Abadi, 2004), 156

3
3) Wechlsler: intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak dengan
mencapai suatu tujuan, untuk berpikir secara rasional dan untuk
berhubungan dengan lingkungan secara efektif.2
Sedangkan Breckenridge dan Vincent berpendapat bahwa
“intelegensi adalah kemampuan seseorang untuk belajar, menyesuaikan diri
dan memecahkan masalah baru”.3 Berdasarkan pendapat-pendapat di atas,
maka penulis dalam penelitian ini mengartikan bahwa intelegensi adalah
kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah.
b. IQ (Intelligence Quotient)
Istilah IQ diperkenalkan pertama kalinya pada tahun 1912 oleh
seorang ahli psikologi berkebangsaan Jerman bernama William Stern
(Gould 1981). Kemudian ketika Lewis Madison Terman, seorang ahli
psikologi berkebangsaan Amerika di Universitas Stanford, menerbitkan
revisi tes Binet di tahun 1916, istilah IQ mulai digunakan secara resmi.4
Desmita dalam buku Psikologi Perkembangan menjelaskan bahwa IQ
adalah kemampuan berfikir secara abstrak, memecahkan masalah dengan
menggunakan simbol-simbol verbal dan kemampuan untuk belajar dari dan
menyesuaikan diri dengan pengalaman-pengalaman hidup sehari-hari. Salah
satu yang sering digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya tingkat
intelegensi adalah menterjemahkan hasil intelegensi ke dalam angka yang
dapat menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang
bila dibandingkan secara relatif terhadap suatu norma.
Menurut Saifudin Azwar, diterangkan bahwa secara tradisional,
angka normatif dari hasil tes intelegensi dinyatakan dengan rasio (Quotient)
dan diberi nama Intelligence Quotient (IQ).5 Dalam kemampuan intelegensi
terdapat skala taraf, dari taraf intelegensi yang tinggi sampai taraf
intelegensi yang rendah. Banyak manfaatnya bila taraf intelegensi para
siswa diketahui, dengan demikian diketahui pula taraf prestasi yang
2
Ibid,. 155-156
3
Anwar Prabu, Perkembangan Intelegensi Anak dan Pengukuran IQnya, (Bandung : Angkasa
Bandung, 1993)
4
Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung : PT.Rosda Karya, 2006), 170.
5
Saifudin Azwar, Psikologi Inteligensi, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1996), 51.

4
diharapkan dari siswa tertentu. Metode yang digunakan untuk mengukur
taraf intelegensi adalah metode tes yang disebut dengan tes intelegensi.
Tes intelegensi yang diberikan di sekolah terbagi atas dua kelompok
yaitu tes intelegensi umum (General Ability test) dan tes intelegensi khusus
(Spesific Ability Test / Spesific Aptitude Test). Di dalam tes intelegensi
umum disajikan soal-soal berpikir di bidang penggunaan bahasa, manipulasi
bilangan dan pengamatan ruang. Sedangkan di dalam tes intelegensi khusus
menyajikan soal-soal yang terarah untuk menyelidiki apakah siswa
mempunyai bakat khusus di suatu bidang tertentu, misalnya di bidang
matematika, di bidang bahasa, di bidang ketajaman pengamatan dan lain
sebagainya.
Hasil testing dilaporkan dalam bentuk IQ sesuai yang dikemukakan
oleh W.S Winkel bahwa “Hasil testing intelegensi lazim dinyatakan dalam
bentuk Intelligence Quotient (IQ), yang berupa angka yang diperoleh
setelah seluruh jawaban pada tes intelegensi diolah. Angka itu
mencerminkan taraf intelegensi. Makin tinggi angka itu, diandaikan makin
tinggi pula taraf intelegensi siswa yang menempuh tes”.6 Dari pendapat di
atas dapat diartikan bahwa IQ merupakan bentuk dari hasil tes intelegensi
yang berupa angka, sehingga tes intelegensi sering disebut dengan tes IQ.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa yang
dimaksud IQ adalah hasil tes intelegensi yang berupa skor atau angka yang
telah diolah sesuai dengan aturannya. Selain itu IQ menyatakan suatu
ukuran dan mencerminkan tinggi rendahnya taraf intelegensi dari seseorang.
IQ dapat mengalami perubahan yang dapat berupa kenaikan atau penurunan,
sesuai dengan yang dikemukakan oleh W.S Winkel bahwa: “IQ dapat
mengalami kenaikan atau penurunan dalam batas-batas tertentu, seperti
batas kurun waktu dan umur anak. Akan tetapi perubahan tersebut tidak
bersifat mencolok, artinya hasil testing pada saat tertentu dan hasil testing
beberapa waktu kemudian memiliki variasi yang kecil”.7

6
W.S.Winkel, Psikologi Pengajaran, (Yogyakarta : Media Abadi, 2004), 158
7
Ibid., 159

5
Dengan demikian penulis dapat menyatakan bahwa dalam kurun
waktu tertentu IQ dapat mengalami kenaikan atau penurunan yang bersifat
tidak mencolok, artinya hasil testing pada saat tertentu dan hasil testing
beberapa waktu kemudian memiliki variasi yang berkisar diantara batas
tertinggi dan batas terendah pada rentang tertentu dalam skala IQ.
c. Faktor-faktor Kecerdasan yang Diungkap Dalam Tes IQ
Sekolah tempat peneliti melakukan penelitian bekerjasama dengan
lembaga psikologi dalam melakukan psikotes atau tes psikologi. Lembaga
psikologi tersebut menggunakan tes intelegensi umum untuk anak yang
disebut Tintum anak dan sebagai alat ukur tes ini merupakan pengembangan
dari tes intelegensi untuk orang dewasa yang disebut Tintum-69 sebagai alat
ukur dalam evaluasi kecerdasan. Tintum anak dan Tintum-69, disusun
berdasarkan teori Thurston mengenai intelegensi yang terkenal dalam
teorinya Primary Mentel Ability yang mengatakan bahwa intelegensi
tersebut terdiri dari tujuh kemampuan mental yaitu Numeric, Word Fluency,
Verbal, Memory, Reasoning, Space, dan Perceptual Speed.
Faktor-faktor kecerdasan yang diungkap dalam tes psikologi tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Kemampuan memahami masalah: kemampuan untuk menggunakan
pengalaman masa lalunya dalam menghadapi situasi praktis seharihari.
2) Ruang lingkup pengetahuan: menunjukkan tingkat kepedulian siswa
terhadap situasi sosial dan masyarakat.
3) Kekayaan bahasa: petunjuk penguasaan perbendaharaan kata yang
dimiliki.
4) Kemampuan bekerja dengan angka: kemampuan menggunakan konsep
dasar numerik antara lain: menjumlahkan, mengurangi, membagi dan
mengalikan yang diperlukan dalam belajar hitung matematika.
5) Daya analisis dan sintesis: kemampuan sisiwa dalam memberikan alasan
yang logis dalam mengambil kesimpulan dan menerapkannya dalam
kehidupan praktis.

6
6) Daya abstraksi: kemampuan bekerja dengan simbol-simbol, angka dan
bahasa.
7) Kemampuan mengingat: kemampuan mereproduksi kembali terhadap
sesuatu yang dipelajari.
8) Kemampuan menangkap pendapat dengan bahasa: kemampuan ini
menyangkut pengertian terhadap ide-ide yang diekspresikan dalam
bentuk bahasa.
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Taraf Intelegensi
Menurut Bayley faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan intelektual
individu, yaitu:
1) Keturunan
Studi korelasi nilai-nilai tes intelegensi diantara anak dan orang tua, atau
dengan kakek-neneknya menunjukkan adanya pengaruh faktor keturunan
terhadap tingkat kemampuan mental seseorang sampai pada tingkat
tertentu.
2) Latar belakang sosial ekonomi
Pendapatan keluarga, pekerjaan orang tua dan faktor-faktor sosial
ekonomi lainnya, berkorelasi positif dan cukup tinggi dengan taraf
kecerdasan individu mulai 3 tahun sampai dengan remaja.
3) Lingkungan hidup
Lingkungan yang kurang baik akan menghasilkan kemampuan
intelektual yang kurang baik pula. Lingkungan yang dinilai paling buruk
bagi perkembangan intelegensi adalah panti-panti asuhan serta institusi
lainnya, terutama bila anak ditempatkan disana sejak awal kehidupannya.
4) Kondisi fisik
Keadaan gizi yang kurang baik, kesehatan yang buruk, perkembangan
fisik yang lambat, menyebabkan tingkat kemampuan mental yang rendah.

5) Iklim emosi

7
Iklim emosi dimana individu dibesarkan mempengaruhi perkembangan
mental individu yang bersangkutan.8
Sebagaimana telah diuraikan diatas, terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi taraf intelegensi seseorang. Maka sebagai seorang guru,
salah satu tugas serta kewajiban yang harus dipenuhi adalah membantu
mempengaruhi kemampuan intelektual siswa agar dapat berfungsi secara
optimal dan mencoba melengkapi program pengajaran yang ditujukan bagi
mereka yang lambat dalam belajar. Adapun cara yang dapat dilakukan oleh
guru yaitu dengan memperhatikan kondisi kesehatan fisik siswa, membantu
pengembangan sifat-sifat positif pada diri siswa, memperbaiki kondisi
motivasi siswa, menciptakan kesempatan belajar yang lebih baik bagi siswa.
Dalam membantu mengembangkan sifat-sifat positif pada diri siswa
seperti percaya diri, perasaan diri dihargai, guru dapat melakukan dengan
cara menaruh respect terhadap pertanyaan-pertanyaan serta gagasangagasan
yang diajukan siswa sehingga dapat membantu meningkatkan keyakinan
diri siswa serta perasaan bahwa dirinya dihargai. Selain itu agar perasaan-
perasaan cemas, rendah diri, tegang, konflik atau salah dapat dihindari oleh
siswa.
Sedangkan untuk memperbaiki kondisi motivasi siswa, guru dapat
melakukannya dengan memberikan insentif atas keberhasilan yang diraih
siswa yaitu dapat berupa pujian atau nilai yang baik. Selain itu guru juga
dapat memberikan kesempatan melaksanakan tugas-tugas yang relevan,
seperti di dalam kelompom diskusi, di muka kelas, pembuatan karya tulis,
dan lain-lain untuk menciptakan kesempatan belajar yang lebih baik bagi
siswa.
2. Gaya Belajar
a. Pengertian Gaya Belajar
Gaya belajar (Learning style) adalah suatu teknik yang lebih kita
senangi dalam melakukan aktivitas berpikir, memproses serta

8
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta : PT.Rineka Cipta, 2003),
131.

8
mengerti/memahami suatu informasi.9 Lebih lanjut DePorter & Hernacki
mendefenisikan gaya belajar sebagai perpaduan dari cara seseorang
menyerap, mengatur, dan mengolah suatu informasi. Sedangkan menurut
Menurut Nasution dalam bukunya Berbagai Pendidikan dalam Proses
Belajar Mengajar, gaya belajar didefenisikan sebagai cara yang konsisten
yang dilakukan oleh seorang anak didik dalam merespon stimulus/informasi,
teknik mengingat, berfikir maupun dalam memecahkan soal.10 Hal ini berarti
gaya belajar anak berhubungan dengan cara anak belajar dan tata belajar
yang dominan disukainya. Gaya belajar diartikan sebagai tata belajar yang
unik/khas bagi anak didik.11
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
gaya belajar dapat didefenisikan sebagai cara seseorang dalam merespon
suatu informasi/pelajaran, menata, dan mengola informasi tersebut untuk
solusi masalah dan mengaplikasikannya dalam kehidupannya. Gaya belajar
adalah teknik/cara yang dimiliki seseorang untuk mengeksplor
kemampuannya.
b. Jenis-jenis Gaya Belajar
Menurut De porter & Hernacki gaya belajar dikategorikan menjadi tiga,
yaitu gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik.12
1) Gaya Belajar Visual
Gaya belajar visual (visual learners) lebih memfokuskan pada
penglihatan. Gaya belajar visual mengakses pandangan visual, yang
dihasilkan maupun diingat. Dalam gaya belajar tipe ini, potret, warna,
maupun hubungan ruang, serta gambar/sketsa lebih menonjol. Anak
didik dengan tipe visual memiliki kekhasan yakni: rapi dan terarah;
bertutur kata dengan sesuai; perancang dan pengelola yang mantap; jeli,

9
Gunawan, Adi W, Genius Learning Strategi. (Jakarta: Pustaka Utama. 2006), 139.
10
Nasution, S. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Bumi Aksara.
2009), 94.
11
Winkel.WS. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. (Yogyakarta: Media Abadi. 2005),
164.
12
DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. Quantum Learning. Membiasakan Belajar Nyaman dan
Menyenangkan. (Bandung: Penerbit Kaifa), 2003.

9
teliti,dan rinci; pelafal yang apik dan dapat melihat kata-kata yang
sebenarnya dalam pikiran mereka; mengingat apa yang dilihat daripada
yang didengarkan; pembaca yang tekun; sering menanggapi pertanyaan
dengan jawaban yang pendek, ya atau tidak; lebih suka membaca
daripada dibacakan; lebih suka melakukan presentasi/pertunjukkan
daripada sekedar berceramah; dan lebih menyukai seni.
Anak dengan tipe visual harus memperhatikan mimik guru saat
mengajar agar memahami bahan pelajaran. Mereka sangat tertarik duduk
di bagian depan supaya bisa menyaksikan dengan jelas. Berpikir dengan
mengaplikasikan potret/figura di otak mereka dan memahami sesuatu
lebih cepat melalui animasi visual, seperti buku bergambar, maupun
video. Anak dengan tipe visual lebih senang menulis secara lengkap
untuk keterangan.
Pendekatan untuk membantu proses belajar peserta didik dengan
gaya belajar visual:
a) Manfaatkan materi/objek visual misalnya, peta dan gambar/diagram.
b) Manfaatkan warna untuk memudahkan memahami hal/poin penting.
c) Menganjurkan anak agar membaca buku-buku bergambar atau dengan
animasi-animasi.
d) Memanfaatkan media-media digital separti: komputer/video.
e) Mengajak anak untuk mempresentasikan gagasannya ke dalam sketsa
(gambar/diagram).
2) Gaya Belajar Auditori
Gaya belajar auditori (auditoryal learners) memfokuskan pada
indera pendengaran dalam mengingat sesuatu. Ciri khas gaya belajar tipe
ini benar-benar menggunakan indera pendengaran sebagai alat esensial
untuk menyerap informasi/pengetahuan. Artinya, anak didik harus
mendengar, baru selanjutnya dapat memahami/mengingat informasi yang
diperoleh tersebut. Gaya belajar ini mengelola segala jenis suara dan kata.
Nada, musik, irama,dan dialog internal serta suara lebih ditonjolkan
untuk gaya belajar tipe ini.

10
Seseorang dengan tipe auditorial memiliki ciri-ciri yakni: mudah
terganggu oleh keributan; mengucapkan tulisan atau membaca dengan
besuara sambil menggerakkan bibir mereka saat sedang membaca;
membaca dengan suara lantang dan dapat mengulangi kembali serta
mencontohkan warna suara, birama, dan nada; merasa kesulitan dalam
menulis tetapi memiliki kompetensi dalam menyampaikan/
mempresentasikan cerita; pembicara yang pandai/fasih; menyukai musik,
suka memberi pendapat, dan mendeskripsikan suatu hal dengan detail;
merasa kesulitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan visualisasi,
misalnya mengelompokkan suatu unsur-unsur agar sesuai satu dengan
yang lain;
Pendekatan/strategi untuk membantu proses belajar anak auditori :
a) Selalu libatkan anak dalam kegiatan diskusi
b) Beri motivasi untuk membaca bahan pelajaran dengan bersuara
c) Variasikan penggunaan musik saat membelajarkan anak
d) Diskusikan ide secara lisan
e) Ajak anak untuk merekam bahan pelajarannya ke dalam kaset dan
mendengarkannya sebelum tidur.
3) Gaya Belajar Kinestetik
Gaya belajar kinestetik (kinesthetic learners) mensyaratkan
personal untuk menyentuh/menjamah sesuatu yang menyampaikan
informasi/data tertentu untuk diingat peserta didik. Anak kinestetik
belajar melalui bergerak, melakukan, ataupun menyentuh. Anak dengan
tipe ini susah duduk tenang/diam karena hasrat mereka untuk
bereksplorasi dan beraktivitas begitu kuat. Anak dengan gaya belajar ini
belajar melalui gerak dan sentuhan.Ciri-ciri anak kinestetik yaitu:
menyentuh/memegang/ meraba untuk memperoleh perhatian orang,
berbicara dengan pelan, merespon perhatian fisik, berdiri dekat dengan
lawan bicara, selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak;
memiliki pertumbuhan/ perkembangan awal otot-otot yang besar; belajar
dengan memanipulasi dan praktik; menghafal/mengingat dengan cara

11
berjalan/ melihat; menunjuk bacaaan ketika sedang membaca; banyak
menggunakan isyarat tubuh; dan tidak dapat duduk diam untuk waktu
lama.
Strategi/pendekatan untuk membelajarkan anak kinestetik:
a) Tidak menharuskan anak untuk belajar hingga berjam-jam.
b) Ajak anak belajar dengan mengeksplorasi/menjelajahi lingkungannya
(contohnya: belajar sambil menggunakan gunakan objek
sesungguhnya dalam memahami konsep baru).
c) Tandai hal-hal penting suatu bacaan dengan warna terang.
d) Beri ijin anak untuk belajar sambil mendengarkan musik.
3. Gaya Berfikir
Berfikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak.
Kegiatan berfikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan
perasaan dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan diri
pada objek tertentu, menyadari kehadirannya seraya secara aktif
menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai gagaan atau wawasan
tentang objek tersebut.
Berfikir juga berarti berjerih – payah secara mental untuk memahami
sesuatu yang dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang
dihadapi. Dalam berfikir juga termuat kegiatan meragukan dan memastikan,
merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan,
menggolongkan, memilah – milah, atau membedakan, menghubungkan,
menafsirkan, melihat kemungkinan – kemungkinan yang ada, membuat analisis
dan sintesis, menalar, atau menarik kesimpulan dari premis – premis yang ada,
menimbang dan memutuskan.
Kegiatan berfikir, biasanya dimulai ketika muncul keraguan dan
pertanyaan untuk dijawab atau berhadapan dengan persoalan atau masalah
yang memerlukan pemecahan. Kegiatan berfikir juga dirangsang oleh
kekaguman dan keheranan dengan apa yang terjadi atau dialami. Dengan
menimbulkan pertanyaan – pertanyaan untuk dijawab . jenis, banyak, sedikit,

12
dan mutu pertanyaan yang diajukan bergantung pada minat, perhatian, sikap
ingin tahu, serta bakat dan kemampuan subjek yang bersangkutan.
Setiap individu pasti memiliki cara berfikir yang berbeda. Perbedaan
dalam cara berfikir dan pemecahan masalah merupakan hal yang nyata dan
penting. Perbedaan ini mungkin sebagian disebabkan oleh factor pembawaan
sejak lahir dan sebagian lagi berhubungan dengan taraf kecerdasan seseorang.
Namun, jelas bahwa proses keseluruhan dari pendidikan formal dan pendidikan
informal sangat mempengaruhi gaya berfikir seseorang di kemudian hari, di
samping mempengaruhi pula mutu pemikirannya.13
Para ahli melihat ihwal berfikir ini dari perspektif yang berlainan.
Ahli – ahli psikologi asosiasi, misalnya, menganggap bahwa berfikir adalah
kelangsungan tanggapan – tanggapan ketika subjek berfikir pasif. Plato
beranggapan bahwa berfikir adalah berbicara dalam hati. Sehubungan dengan
pendapat plato, ada yang berpendapat bahwa berfikir adalah aktivitas
ideasional.14
Pada pendapat yang terakhir itu dikemukakan dua kenyataan, yakni :
a. Berfikir adalah aktivitas, jadi subjek yang berfikir aktif
b. Aktivitas bersifat ideasional, jadi bukan sensoris dan bukan motoris,
walaupun dapat disertai oleh kedua hal itu, berfikir menggunakan
abstraksi – abstraksi atau “ ideas”.
Piaget menciptakan teori bahwa cara berfikir logis berkembang secara
bertahap, kira – kira pada usia dua tahun dan pada sekitar tujuh tahun. Ia
menunjukkan bahwa pada anak-anak tidak seperti bejana yang menuggu untuk
diisi penuh dengan pengetahuan . mereka secara aktif membangun
pemahamanya akan dunia dengan cara berinteraksi dengan dunia.
Dalam islam, seruan berfikir memperhatikan dan mengetahui tidak
dikhawatirkan akan membawa dampak negative yang bertolak belakang
dengan kebenaran agama, sebab islam beranggapan bahwa kebenaran agama

13
Harold J. Leavitt. Psikologi Manajemen. (Surabaya : Erlangga, 1992)
14
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan. (Jakarta : PT. Rajagrafindo, 1995), 54.

13
tidak akan bertentangan dengan kebenaran rasio. Akidah haruslah berdasarkan
ilmu bukan dengan penyerahan diri secara buta.
Jadi, pada hakikatnya berikir merupakan ciri utama bagi manusia untuk
membedakan antara manusia dan mahkluk lain. Dengan dasar berfikir ini,
manusia dapat mengubah keadaan alam sejauh akal dapat memikirkannya.
Berfikir juga disebut sebagai proses bekerjanya akal, manusia dapat berfikir
karena manusia berakal. Akal merupakan intinya sebagai sifat hakikat,
sedangkan makhluk sebagai genus yang merupakan dhat, sehingga manusia
dapat dijelaskan sebagai makhluk yang berakal. Akal merupakan salah satu
unsur kejiwaan manusia untuk mencapai kebenaran, disamping rasa untuk
mencapai keindahan dan kehendak untuk mencapai kebaikan. Dengan akal
inilah, manusia dapat berfikir untuk mencari jalan yang hakiki.
Ciri-ciri terutama dari berfikir adalah adanya abstraksi. Abstraksi dalam
hal ini berarti anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda – benda,
kejadian – kejadian, situasi – situasi yang mula – mula dihadapi sebagai
kenyataan.15
Macam-macam Berfikir
Secara garis besar, ada dua macam berfikir, yaitu :
a. Berfikir Autistik : lebih tepatnya disebut dengan melamun, contoh :
menghayal, fantasi, atau wishful thinking. Dengan berfikir seperti ini,
seseorang melarikan diri dari kenyataan, dan melihat hidup sebagai
gambar – gambar fantastis.
b. Berfikir Realistik : sering disebut reasoning ( nalar ), adalah berfikir dalam
rangka menyesuaikan diri dengan dunia nyata.
Menurut Floyd L.Ruch berfikir realistic dibagi menjadi tiga macam yaitu16 :
a. Berfikir Deduktif : berlangsung dari yang umum menuju yang khusus.
Berfikir deduktif adalah mengambil kesimpulan dari dua pernyataan , yang
pertama merupakan pernyataan umum, dalam logika, disebut
dengan silogisme.

15
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan. (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1998), 43.
16
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi. (Bandung : PT Remaja Rosdakarya. 2008), 69.

14
b. Berfikir Induktif : adalah proses berfikir yang bertolak dari satu atau
sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan
(inferensi). Berfikir induktif ialah menarik kesimpulan umum dari berbagai
kejadian (data) yang ada disekitarnya. Dasarnya adalah observasi. Proses
berfikirnya adalah sintesis. Tingkatan berfikirnya adalah induktif. Pada
hakikatnya,, semua pengetahuan yang dimiliki manusia berasal dari proses
pengamatan ( observasi ) terhadap data.
c. Berfikir Evaluatif : ialah berfikir kritis, menilai baik – buruknya, tepat atau
tidaknya suatu gagasan. Dalam berfikir evaluative, kita tidak menambah
atau mengurangi gagasan. Kita menilainya menurut criteria tertentu
( Rahmat, 1994 ). Perlu diingat bahwa jalannya berfikir pada dasarnya
ditentukan oleh berbagai macam factor, antara lain yaitu bagaimana
seseorang melihat atau memahami masalah tersebut, situasi yang tengah
dialami seseorang dan situasi luar yang dihadapi, pengalaman – pengalaman
orang tersebut, serta bagaimana intelegensi orang itu.

B. KESIMPULAN
Diferensiasi individu adalah adanya perbedaan antara satu individu dengan
individu lainya baik perbedaan fisik maupun psikologis. Jadi hal ini artinya
disini adalah setiap orang itu memiliki perbedaan satu sama lain, tentu
perbedaanini disebabkan oleh beberapa factor. Terdapat 3 (tiga) faktor yang
mempengaruhi diferensiasi individu dalam dunia pendidikan diantaranya
intelegensi, gaya belajar dan gaya berfikir.
Intelegensi adalah kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi taraf Intelegensi yaitu : keturunan, latar
belakang sosial ekonomi, lingkungan hidup, kondisi fisik, iklim emosi. Gaya
belajar adalah suatu teknik yang lebih kita senangi dalam melakukan aktivitas
berpikir, memproses serta mengerti/memahami suatu informasi. Berfikir adalah
suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Kegiatan berfikir juga
melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan dan
kehendak manusia.

15
DAFTAR PUSTAKA
W.S.Winkel, Psikologi Pengajaran, Yogyakarta : Media Abadi, 2004.

Anwar Prabu, Perkembangan Intelegensi Anak dan Pengukuran IQnya, Bandung :


Angkasa, 1993.

Desmita, Psikologi Perkembangan, Bandung : PT.Rosda Karya, 2006.

Saifudin Azwar, Psikologi Inteligensi, Jogjakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1996.

Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta : PT.Rineka


Cipta, 2003.

Gunawan, Adi W, Genius Learning Strategi. Jakarta: Pustaka Utama. 2006.

Nasution, S. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung:


Bumi Aksara. 2009.

Winkel.WS. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta:


Media Abadi. 2005.

DePorter, Bobbi & Mike Hernacki. Quantum Learning. Membiasakan Belajar


Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Penerbit Kaifa, 2003.

Harold J. Leavitt. Psikologi Manajemen. Surabaya : Erlangga, 1992

Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Rajagrafindo, 1995.

Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1998.

Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.


2008.

16

Anda mungkin juga menyukai