“Variasi Individual”
Disusun Oleh :
KELOMPOK 4
Jumarni (210002301035)
2021
KATA PENGANTAR
Puju syukur kami panjatkan kepada tuhan pencipta alam semsta karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi
Pendidikan ini, yang bertema Variasi Individual dengan tepat pada waktunya. Makalah
ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan
pada masa mendatang. Kami mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
maupun bagi pembaca.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
HALAM SAMPUL..........................................................................................................1
KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................6
A. Pengertian Intelegensi.........................................................................................6
B. Tes Intelegensi......................................................................................................8
C. Gaya Belajar Dan Gaya Berfikir.....................................................................14
D. Kepribadian Dan Tempramen.........................................................................15
A. Kesimpulan.........................................................................................................18
B. Saran...................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................19
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
memahami berbagai keragaman yang dimiliki oleh siswa tesebut. Antara siswa satu
dengan yang lainya berbeda kecakapan, jasmani, sosial dan emosinalnya. Ada siswa
yang tampak dapat bertindak secara cepat, tepat, dan dengan mudah, lazimnya siswa itu
disebut cakap. Ada siswa yang belajarnya lamban, kurang tepat, dan bahkan mengalami
kesukaran dalam belajarnya.Hal ini merupaka masalah yang perlu diselsaikan dengan
upaya-upaya guru dalam mengetahui potensi-potensi berbeda yang dimiliki peserta
didik.
Upaya pertama yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan individu,sebelum
dilakukan pengukuran kapasitas mental yang mempengaruhi penilaian sekolah, adalah
menghitung umur kronologi. Seorang anak memasuki sekolah dasar pada umur 6 tahun
dan ia diperkirakan dapat mengalami kemajuan secara teratur dalam tugas-tugas
sekolahnya dilihat dalam kaitannya dengan faktor umur.Selanjutnya ada anggapan
bahwa semua anak diharapkan mampumenangkap/mengerti bahan-bahan pelajaran yang
mempunyai kesamaan materi danpenyajiannya bagi semua siswa pada kelas yang sama.
Ketidakmampuan yang jelastampak pada siswa untuk menguasai bahan pelajaran
umumnya dijelaskan denganpengertian faktor-faktor seperti kemalasan atau sikap keras
kepala. Penjelasan itutidak berdasarkan pada kenyataan bahwa para siswa memang
berbeda dalam halkemampuan mereka untuk menguasai satu atau lebih bahan pelajaran
dan mungkinberada dalam satu tingkat perkembangan.
Dalam makalah sederhana ini, pemakalah akan menguraikan beberapa
perbedaan individu (individual defferences) yang mencakup arti perbedaan individu,
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu, inteligensi, kepribadian dan
temperamen, gaya belajar dan gaya berpikir dan budaya dalam kaitannya dengan
perbedaan individu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian, dan tes Inteligensi ?
2. Bagaimana konsep gaya belajar dan berpikir dalam belajar ?
3. Bagaimana ciri-ciri sifat kepribadian dan tempramen ?
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Intelegensi
Konsep tentang inteligensi menimbulkan kontrofersi dan debat seru, terlebih
manakala inteligensi diukur dan dikuantifikasi dalam bentuk angka. Hal ini disebabkan
karena inteligensi sendiri merupakan suatu konsep yang abstrak. Istilah intelegensi
berasal dari kata Latin intelligence yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu
sama lain (to organize, to relate, to bind together) (Walgoti,1997). Intelegensi menurut
David Wecshler (1958) didefinisikan sebagai “Keseluruhan kemampuan individu untuk
berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara
efektif”.
Beberapa pakar mendeskripsikan inteligensi sebagai keahlian untuk memecahkan
masalah. Yang lain mendeskripsikan sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan belajar
dari pengalaman hidup sehari-hari. Bila dua definisi ini digabungkan maka akan didapat
bahwa inteligensi merupakan keahlian untuk memecahkan masalah dan kemampuan
untuk beradaptasi pada, dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari. Dengan
perkataan lain, intelegensi adalah kemampuan yang bersifat umum untuk mengadakan
penyesuaian terhadap suatu situasi atau masalah. Kemampuan yang bersifat umum
tersebut meliputi berbagai jenis kemampuan psikis seperti: abstrak, berpikir mekanis,
matematis, memahami, mengingat, berbahasa dan sebagainya.
Intelligere adalah asal kata intelegensi yang biasa kita kenal, yang mengandung
arti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.[2] Novelis Inggris abad ke-20
Aldous Huxley mengatakan bahwa anak-anak itu hebat dalam hal rasa ingin tahu dan
intelegensinya. Apa yang dimaksud Huxley ketika ia menggunakan kata intelegensi
(intelligence)? Intelegensi adalah salah satu milik kita yang paling berharga, tetapi
bahkan orang yang paling cerdas sekalipun tidak sepakat tentang apa intelegensi itu[3].
Para ahli mempunyai pengertian yang beragam tentang intelegensi yaitu :
1. Anita E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, intelegensi itu
meliputi tiga pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh; (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan
situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan
bahwa intelegensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan
menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan
lingkungan.
2. Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi bersama Theodore
simon mendefinisikan intelegensi atas tiga komponen yaitu (a) kemampuan untuk
mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan; (b) kemampuan untuk mengubah arah
tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan (c) kemampuan untuk mengkritik
diri sendiri atau melakukan autocriticism.
6
3. David Wechsler pencipta skala-skala intelegensi yang populer sampai saat ini,
mendefinisikan intelegensi sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk
bertindak dalam tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta mengahadapi
lingkungannya dengan efektif.
Wilhelm Stern melihat, titik berat definisi intelegensi terletak pada kemampuan
penyesuaian diri (adjustment) seseorang terhadap masalah yang dihadapi.[6] Artinya,
orang yang intelegensinya tinggi (cerdas), akan memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan diri dan memiliki kecakapan dalam menghadapi masalah baru.
Sejalan dengan pendapat Stern, Amsal Amri juga mengemukakan bahwa
intelegensi adalah kemampuan untuk melakukan abstraksi, serta berpikir logis dan cepat
sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru. Di sini Amsal
melihat ada beberapa aspek kemampuan yang dimaksud, yakni 1) kemampuan kognitif,
2) kemampuan psikomotorik, dan 3) kemampuan afektif. Ketiga hal ini disebut dengan
kecerdasan (intelegensi).
7
3. Kemampuan menyiapkan atau menawarkan suatu layanan yang bermakna dalam
kehidupan kultur tertentu.
Lebih lanjut Gardner mendefinisikan Intelegensi sebagai kemampuan untuk
memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-
macam dan dalam situasi yang nyata (1983;1993). Gardner menganggap, intelegensi
bukan hanya kemampuan dalam memecahkan persoalan yang sifatnya test (teori), yang
dilakukan dalam ruang tertutup dan jauh dari realitas persoalan yang dhadapi oleh
lingkungannya. Namun intelegensi adalah kemampuan menyelesaikan persoalan yang
nyata (real), yang sungguh-sungguh terjadi. Karena menurut Gardner, orang baru
dikatakan berintelegensi kalau mampu memecahkan persoalan lingkungan yang benar-
benar dia hadapi. Bahkan, Gardner menganggap, tingkat produktifitas (kreatifitas) juga
menjadi ukuran intelegensi seseorang
B. Tes Intelegensi
Tes inteligensi individual pertama kali dikembangkan oleh psikolog Alfred Binet
dan dibantu oleh mahasiswanya Theopild Simon. Binet dan Simon mengembangkan
konsep mental age (MA) atau usia mental yakni level perkembangan individu yang
berkaitan dengan perkembangan lain. Tak lama kemudian, William Stern menciptakan
konsep Intelligence Quotient (IQ), yaitu usia mental seseorang dibagi dengan usia
kronologis dikalikan dengan 100. Jika usia mental sama dengan usia kronologis maka
IQ orang itu sama dengan 100. Jika usia mental seseorang lebih dari usia kronologis
maka IQ orang itu lebih dari 100. Jika usia mentalnya kurang dari usia kronologis maka
IQ orang itu akan kurang dari 100. Tes Binet ini selanjutnya direvisi dan revisi terakhir
yang sampai sekarang banyak dipakai untuk mengukur inteligensi murid adalah
Standford-Binet.
Selain standford-binet, tes lain yang bisa digunakan untuk mengukur inteligensi
seseorang adalah skala wechsler yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini
digunakan selain untuk menunjukkan IQ secara keseluruhan juga menunjukkan IQ
verbal dan IQ kinerja
Pada tahun 1904 Menteri pendidikan Perancis meminta psikolog Alfred Binet
untuk menyusun metode guna mengidentifikasi anak-anak yang tidak mampu belajar
disekolah. Para pejabat disekolahan ingin mengurangi sekolahan yang sesak dengan
cara memindahkan murid yang kurang mampu belajar di sekolah umum ke sekolah
khusus. Binet dan mahasiswanya, Theophile Simon, menyusun tes inteligensi untuk
memenuhi permintaan ini. Tes itu disebut skala 1905. Tes ini terdiri dari 30 pertanyaan,
mulai dari kemampuan untuk menyentuh telinga hingga kemampuan untuk
menggambar desain berdasarkan ingatan dan mendefinisikan konsep abstrak.
1. Tes Intelegensi Individual ( Tes Binet dan Skala Wechsler)
Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang
suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang
8
memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu
dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Binet mengembangkan konsep mental age (MA) atau usia mental yakni
perkembangan mental individu yang berkaitan dengan perkembangan lain. Tak lama
kemudian, pada 1912 Wiliam Stern menciptakan konsep Intelegensi Quotient (IQ) yaitu
usia mental seseorang dibagi dengan usia kronologis (chronological age-CA) dikalikan
100. Jadi rumusnya,
IQ = (MA/CA)*100.
Jika usia mental sama dengan usia kronologis, maka IQ orang itu adalah 100. Jika
usia mental di atas kronologis, maka-IQnya lebih dari 100. Misalnya, anak enam tahun
dengan usia mental 8 tahun akan mempunyai IQ 133. Jika usia mentalnya dibawah usia
kronologis, maka IQnya di bawah 100. Misalkan anak usia 6 dengan usia mental 5 akan
punya IQ 83. Berikut adalah klasifikasi IQ menurut Binet:
KLASIFIKASI IQ
Genius 140 ke atas
Rata-rata 90 – 109
Di bawah rata-rata 80 – 89
Imbisil,idiot 49 ke bawah
9
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes
itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan
bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor),
tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini
disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan
menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang
dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Distribusi normal adalah simetris, dengan mayoritas skor berada pada tengah-
tengah rentang skor yang mungkin muncul dan hanya ada sedikit skor yang berada
mendekati ujung dari rentang itu.
Tes Stanford binet kini dilakukan secara individual untuk orang dari usia 2 tahun
hingga dewasa. Tes ini memuat banyak item beberapa diantaranya membutuhkan
jawaban verbal, yang lainnya respon non verbal.
Edisi keempat tes Stanford-Binet dipublikasikan pada 1985. Salahsatu
penambahan penting pada versi ini adalah analisis respons individual dari segi empat
fungsi: penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak, dan memori
jangka pendek. Skor komposit umum masih dipakai untuk mengetahui
keseluruhan inteligensi. Tes Stanford-Binet masih menjadi salah satu tes yang paling
banyak digunakan untuk menilai inteligensi murid (Aiken, 2003; Walsh&Betz, 2001).
Tes lainnya yang banyak dipakai untuk menilai intelegensi murid dinamakan
skala weshsler yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini
mencakup Weshsler Pre school and Primary scale of Intellegensi Revised(WPPSI-R)
untuk menguji anak usia 4-6,5 tahun; Weshsler Intellegensi Scale for Children-
Revised (WISC-R) untuk anak dan remaja dari usia 6-16 tahun; dan Weshsler Adult
Intellegensi Scale-Revised (WAIS-R) untuk orang dewasa.
Selain menunjukan IQ keseluruhan, skala Weshsler juga menunjukan IQ verbal
dan IQ kinerja. IQ verbal didasarkan pada 6 sub skala verbal, IQ kinerja didasarkan
pada 5 sub skala kinerja. Ini membuat peneliti bias melihat dengan cepat pola-pola
kekuatan dan kelemahan dalam area intelegensi murid yang berbeda-beda (Woolger
2001)
Berikut adalah Klasifikasi menurut Wechsler:
KLASIFIKASI IQ
Average 90 – 109
10
Dull Normal 80 – 89
Borderline 70 –79
Teori Intelegensi Majemuk
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa kecerdasan adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam menghadapi masalah yang
ada di lingkungannya. Setiap individu dengan individu lainnya memiliki kemampuan
yang berbeda-beda. Gardner berpendapat, bahwa kemampuan itu sendiri memiliki
banyak jenis dan dimensi. Keanekaragaman jenis kemampuan-kemampuan inilah yang
disebut dengan kecerdasan majemuk (multiple intelegensi). Realita inilah yang
mendorong Gardner menelurkan gagasannya tentang multilpe intelegensi(kecerdasan
majemuk).
Menurut teori ini, setiap anak yang terlahir di dunia tidak ada yang bodoh.
Semuanya memiliki kesempatan dan hak untuk disebut sebagai orang yang
cerdas. Pendapat Gardner ini membuka wawasan kita tentang hakikat dari kecerdasan.
Selama ini penilaian tentang kecerdasan hanya terbatas pada sesuatu yang sempit dan
statis. Namun Gardner – dan para ahli lainnya – memaknai kecerdasan sebagai
kemampuan seseorang dalam beradaptasi, lebih jauh Gardner menambahkan
11
penekanannya pada aspek atau dimensi psikologis manusia yang membentuk jenis-jenis
kemampuan tersebut.
Ada dua teori utama dalam perdebatan teori multiple intelligence yakni teori
Triarkis Sternberg dan teori multiple intelligence Gardner. Menurut sternberg,
inteligensi muncul dalam tiga bentuk bentuk:
1. Analitis, merupakan intelegensi yang melibatkan kemampuan untuk menganalisis ,
menilai, mengevaluasi, membandingkan.
2. Kreatif, merupakan intelegensi yang terdiri atas kemampuan untuk menciptakan ,
mendesain, menemukan, orisinalitas, dan membayangkan.
3. Praktis, merupakan intelegensi yang berfokus pada kemampuan untuk
menggunakan, menerapkan, melaksanakan, dan memasukkan ke dalam praktik.
12
Adalah kemampuan untuk berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan
bahasa untuk mengekpresikan dan menghargai makna yang komplek, yang meliputi
kemampuan membaca, mendengar, menulis, dan berbicara.
2. Intelegensi logis-matematis (logical matematich)
Adalah kemampuan dalam menghitung, mengukur dan mempertimbangkan
proposisi dan hipotesis serta menyelesaikan operasi-operasi matematika.
3. Intelegensi musik (musical intelegence)
Intelegensi musik adalah kecerdasan seseorang yang berhubungan dengan
sensitivitas pada pola titik nada, melodi, ritme, dan nada. Musik adalah bahasa
pendengaran yang menggunakan tiga komponen dasar yaitu intonasi suara, irama dan
warna nada yang memakai system symbol yang unik.
4. Intelegensi Kinestetik
Kinestetik adalah belajar melalui tindakan dan pengalaman melalui panca
indera. Intelegensi kinestetik adalah kemampuan untuk menyatukan tubuh atau pikiran
untuk menyempurnakan pementasan fisik. Dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati
pada actor, atlet atau penari, penemu, tukang emas, mekanik.
5. Intelegensi Visual-spasial
Intelegensi visual-spasial merupakan kemampuan yang memungkinkan
memvisualisasikan informasi dan mensintesis data-data dan konsep-konsep ke dalam
metavor visual.
6. Intelegensi Interpersonal
Intelegensi interpersonal adalah kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi
dengan orang lain dilihat dari perbedaan, temperamen, motivasi, dan kemampuan.
7. Intelegensi Intrapersonal
Adalah kemampuan seseorang untuk memahami diri sendiri dari keinginan, tujuan
dan system emosional yang muncul secara nyata pada pekerjaannya.
8. Intelegensi Naturalis
Adalah kemampuan untuk mengenal flora dan fauna melakukan pemilahan-
pemilahan utuh dalam dunia kealaman dan menggunakan kemampuan ini secara
produktif, misalnya untuk berburu, bertani, atau melakukan penelitian biologi.
Intelegensi Emosional
Konsep Intelegensi Emosional yang dikembangkan oleh Peter Salovey dan John
Mayer ( 1990 ) sebagai kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan emosi
secara akurat dan adaptif ( seperti mengambil perspektif terhadap orang lain) , untuk
memahami emosi dan mengetahui pengetahuan emosional ( serta memahami peran yang
emosi mainkan dalam persahabatan dan hubungan lain), menggunakan perasaan untuk
memfasilitasi pemikiran( seperti berada di suasana hati yang positif yang terkait dengan
berfikir kreatif ) , dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain ( seperti mampu
mngendalikan amarah seseorang).
13
Gardner Sternberg Salovey/Mayer
Verbal Analisis
Matematika
Spasial Gerakan Kreatif
Musikal
Interpersonal Praktis Emosional
Intrapersonal
Naturalistik
Konsep kecerdasan emosional dikembangkan oleh Daniel Goleman. Goleman
percaya bahwa untuk memprediksi kompetensi seseorang, IQ seperti yang diukur
dengan menggunakan tes kecerdasan ternyata tidak lebih penting dari kecerdasan
emosional. Menurutnya, emotional intelligence terdiri dari empat area yakni:
1. Developing emotional awarenes; seperti kemampuan untuk memisahkan perasaan
dari tindakan.
2. Managing emotions; seperti mampu untuk mengendalikan amarah.
3. Reading emotions; seperti memahami perspektif orang lain.
4. Handing relationship; seperti kemampuan untuk memecahkan problem hubungan
dengan orang lain.
1. Gaya impulsif-reflektif
Gaya impulsif-reflektis sering dikenal dengan tempo konseptual. Yakni murid
cendrung bertindak cepat dan impulsif atau menggunakan lebih banyak waktu untuk
merespons dan merenungkan akurasi dari suatu jawaban. Murid yang impulsif
seringkali lebih banyak melakukan kesalahan ketimbang murid yang reflektif.
Dibandingkan murid yang impulsif, murid yang reflektif juga lebih mungkin untuk
menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan.
Mereka biasanya memiliki standar kerja yang tinggi. Dikotomi ini melibatkan
kecenderung siswa untuk bertindak cepat dan impulsif atau untuk mengambil lebih
banyak waktu dalam respon dan merenungkan akurasi jawaban. Siswa impulsif
biasanya membuat lebih banyak membuat kesalahan daripada siswa reflektif.
14
2. Gaya mendalam-dangkal
Maksudnya ialah sejauh mana murid mempelajari materi belajar dengan satu cara
yang membantu mereka untuk memahami materi tersebut (gaya mendalam) atau
sekedar mencari apa yang perlu untuk dipelajari (gaya dangkal). Murid yang belajar
dengan gaya dangkal tidak bisa mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan kerangka
konseptual yang lebih luas. Mereka cendrung belajar secara pasif, hanya mengingat
informasi. Sementara itu murid yang menggunakan gaya belajar mendalam lebih
mungkin untuk secara aktif memahami apa yang mereka pelajari dan memberi makna
pada apa yang perlu untuk diingat. Pelajar mendalam lebih mungkin memotivasi diri
sendiri untuk belajar dibandingkan dengan pelajar dangkal yang akan termotivasi bila
ada penghargaan dari luar seperti pujian dan tanggapan positif dari guru.
D. Kepribadian dan Temperamen
1. Kepribadian
Kepribadian atau personalitas ialah pemikiran, emosi dan perilaku tertentu yang
menjadi ciri dari seseorang menghadapi dunianya. Kepribadian mencakup lima hal yang
menjadi ciri bawaan yang menonjol yakni, openness (keterbukaan terhadap
pengalaman), conscientiousness (kepatuhan), extraversion (keterbukaan terhadap orang
lain), agreebleness (kepekaan nurani), neoroticism (stabilitas emosional).
Dalam konteks pembelajaran, guru harus dapat mendalami dan memahami
keanekaragaman karakteristik kepribadian muridnya. Dengan demikian, kegiatan
pembelajaran menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan walau dijalankan dalam
situasi yang beragam.
Beberapa peneliti kepribadian berpendapat bahwa mereka telah mengidentifikasi
lima besar faktor kepribadian ,”sifat super” untuk menggambarkan dimensi utama
kepribadian :
a. Keterbukaan
b. Kesadaran
c. Ektraversi
d. Keramahan
e. neurotisme (stabilitas emosi).
15
Lima besar faktor dapat memberikan kerangka kerja untuk berfikir mengenai ciri-
ciri kepribadian siswa. Siswa akan berbeda dalam stabilitas emosi mereka, bagaimana
mereka terbuka atau tertutup, bagaimana terbuka terhadap pengalaman, bagaimana
menyenangkan mereka, dan bagaimana mereka bersifat teliti.
2. Temperamen
Temperamen adalah gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi
tanggapan atau respons. Beberapa murid bertemperamen aktif, sedangkan yang lainnya
tenang. Beberapa murid merespons orang lain dengan hangat sedangkan yang lainnya
secara sambil lalu. hal inilah yang mngindikasikan adanya variasi temperamen dalam
diri siswa.
Temperamen dikategorikan dalam tiga kelompok sebagaimana yang
dikelompokkan oleh Chees dan Thomas, yakni: anak mudah (easy child), anak sulit
(difficut child) dan anak lambat bersikap hangat (slow-to-warm-up child).
Pengelompokkan atas temperamen ini kemudian direvisi kembali oleh Rothbard dan
Bates yang lebih memfokusnya pada (1) sikap dan pendekatan positif; (2) sikap dan
pendekatan negatif; (3) usaha kontrol atau pengaturan diri.
Dalam konteks pembelajaran, ada beberapa strategi yang berhubungan dengan
temperamen murid, yakni memberi perhatian dan penghargaan pada individualitas,
memperhatikan strukstur lingkungan murid, dan waspada terhadap problem yang dapat
muncul apabila memberi cap sulit bagi seorang anak yang menyusun paket program
untuk anak sulit.
Diskripsi dari tiga dimensi tempramen ( Rothbart,2004 hlm.495)
1. ekstraversi / surgensi termasuk “ antisipasi positif, impulsif, tingkat aktivitas, dan
mencari sensasi.
2. Pengaruh negatif terdiri atas anak-anak yang mudah tertekan “ ketakutan, frustasi,
kesedihan dan ketidaknyamanan.” Mereka mungkin resah dan sering menangis.
3. Kontrol penuh usaha ( pengagturan diri).perhatian dan pergeseran fokus, kontrol
inhibisi, sensitivitas presepsi, dan intensitas kesenangan rendah.” Anak-anak yang
tinggi pada kontrol penuh usaha menunjukkan kemampuan untuk menjaga gairah
mereka dari mendapatkan terlalu tinggi dan memiliki strategi untuk menengkan
diri. Sebaliknya, anak-anak pada kontrol usaha rendah sering tidak dapat
mengendalikan gairah mereka, mereka menjadi mudah gelisah dan sangat
emosional . studi baru-baru ini pada anak-anak usia sekolah di amerika serikat dan
china mengungkapakan dalam kedua budaya kontrol usaha rendah dikaitkan
dengan eksternalisasi masalah, seperti berbohong, menipu, tidak taat, dan menjadi
terlalu agresif.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kseimpulan
Perbedaan individu merupakan topik pembicaraan dalam psikologi pendidikan
yang tak akan habis didiskusikan dari zaman ke zaman. Dewasa ini, konsep perbedaan
individu semakin ramai dibicarakan dan diperhatikan banyak pihak khususnya dalam
bidang pendidikan. betapa tidak, pengaruh globalisasi dan pesatnya perkembangan telah
menggeser pola pikir, tindak dan karsa manusia. Oleh karena itu, dalam bidang
pendidikan sangat perlu untuk mendalami perbedaan individu para pebelajar.
Dari uraian-uraian yang disampaikan dalam makalah ini, maka pemakalah dapat
menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan perbedaan individu, sebagai berikut
1. Perbedaan individu merupakan suatu hakikat manusia, karena tidak ada satu pun
manusia di dunia ini yang sama. Walau mirip, namun keduanya tetap tidak sama.
Untuk mendalami ini ialah tugas dari psikologi perkembangan. Dan para psikolog
telah menemukan bahwa perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh hereditas
(faktor internal) dan lingkungan (eksternal).
2. Perbedaan individu dalam dunia pendidikan tampak dalam perbedaan inteligensi,
kepribadian dan temperamen, budaya (sosio-ekonomi, bahasa, gender, situasi sosial
kemasyarakatan, suku/ras) dan juga perbedaan gaya berpikir dan gaya belajar
siswa.
3. Merupakan usaha/upaya guru (pendidik) dan juga semua stake-holders dalam dunia
pendidikan agar memperhatikan dan mendalami berbagai gejala dan fakta
perbedaan individu dalam konteks pembelajaran. Pendidikan multikultural dan
pendidikan berwawasan kesetaraan, pendidikan dwibahasa merupakan contoh
upaya dalam memajukan pendidikan yang mampu merangkum semua peserta didik
yang berbeda dalam satu kesatuan kegiatan pembelajaran.
B. Saran
Demikian makalah yag dapat kami susun dengan semaksimal mungkin, semoga
dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita. Kami sadar bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kesalahn dan jauh dari kesempurnaan serta
diperlu pembelajaran lebih lanjut mengenai variasi individu, guna lebih memahami
tentang pembahasan ini lebih mendalam. Oleh karena itu, kami sangat mengharap
kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah yang akan kami buat selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua
17
DAFTAR PUSTAKA
Allport, G.W., Pola dan Pertumbuhan dalam Kepribadian. New York: Holt, Rinehart &
Winston, 1961
Dalyono. M., Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta 2007
Depoter, Bobbi & Mike Hernachi. Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman
dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa, 1999
Gale, A. dan Eysenck, M.W., Buku Pegangan Perbedaan Individu: Perspektif
Biologi. Chichester: Wiley, 1991
Hartono S., Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka Cipta, 1999
Makmun.S.A., Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja, 2003
Maltby, J. Day, L. dan MacAskill, A. Kepribadian, Perbedaan Individu dan
Intelijen. Jakarta: Pearson, 2007
Purwanto, N. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
Santrock, John W., terj. Tri Wibowo. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2008
Semiawan, C. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Jakarta: Grasindo, 1977
Slavin, E.Robert, terj. Samosir, Marianto. Psikologi Pendidikan, Teori dan Praktek, ed.
Ke-9 jilid 1. Jakarta: PT Indeks, 2008
18