Anda di halaman 1dari 18

Tugas Makalah Kelompok Psikologi Pendidikan

“Variasi Individual”

Disusun Oleh :

KELOMPOK 4

Yustina Yusuf (210002301034)

Jumarni (210002301035)

Kamriah Nangga (210002301036)

Elisa Laiului (210002301037)

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar

2021
KATA PENGANTAR

Puju syukur kami panjatkan kepada tuhan pencipta alam semsta karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi
Pendidikan ini, yang bertema Variasi Individual dengan tepat pada waktunya. Makalah
ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan
pada masa mendatang. Kami mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami
maupun bagi pembaca.

Makassar, 15 September 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI
HALAM SAMPUL..........................................................................................................1

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................4

A. Latar Belakang....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................6

A. Pengertian Intelegensi.........................................................................................6
B. Tes Intelegensi......................................................................................................8
C. Gaya Belajar Dan Gaya Berfikir.....................................................................14
D. Kepribadian Dan Tempramen.........................................................................15

BAB III PENUTUP.......................................................................................................18

A. Kesimpulan.........................................................................................................18
B. Saran...................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................19

3
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Individu adalah sesuatu kesatuan yang memiliki ciri khasnya masing-masing,
dan karena itu tidak ada individu yang sama persis meskipun kembar, satu dengan yang
lainya berbeda. Ini dapat dikatakan sebagai kepastian, keragaman individu bukan
keseragaman. Sifat individual adalah sifat yang berkaitan dengan orang
perseorangan,berkaitan dengan perbedaan individual perseorangan. Ciri dan sifat orang
yang satuberbeda dengan yang lain. Perbedaan ini disebut perbedaan individu atau
perbedaan individual. Hal ini .sebagaimana dikatakanoleh Landgren (1980: 578) 
perbedaan individu  itu menyangkut variasi yang terjadi, baik variasi pada aspek fisik-
motorik, kognitif, maupun sosio-emosional.
Setiap individu adalah unik. Artinya setiap individu memiliki perbedaan
antarayang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut bermacam-macam, mulai
dariperbedaan fisik, pola berpikir dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal
baru.Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan
dalammenyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia pendidikan
dikenalberbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut.
Dinegara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa
sehinggaindividu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai
dengankarakteristik dirinya.
Pada dasarnya tiap individu merupakan satu kesatuan, yang berbeda antarasatu
dengan yang lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari dua segi, yakni horizontaldan
vertical. Perbedaan segi horizontal adalah perbedaan individu dalam aspekmental,
seperti tingkat kesadaran, bakat, minat, ingatan, emosi, dan sebagainya.Perbedaan
vertikal adalah perbedaan individu dalam aspek jasmaniah, seperti:bentuk, tinggi dan
besarnya badan, tenaga, dan sebagainya.
Masing-masing aspek individu tersebut besar pengaruhnya terhadap kegiatan
dan keberhasilan belajar.Perbedaan individual disebabkan oleh dua faktor, ialah faktor
keturunan atau bawaan kelahiran, dan faktor pengaruh lingkungan. Kedua faktor ini
memberikanpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan siswa/peserta didik.
Mungkin salah satu factor ada yang lebih dominan, namun tetap kedua faktor tersebut
masing-masing berpengaruh, dan pada gilirannya ternyata tidak ada dua individu yang
sama.
Namun kenyataan dilapangan banyak guru yang tidak mengetahui dan
menyadari  bahwa dari sekian  banyak siswa yang dihadapi itu ternyata beragam dalam
hal karakteristik fisiknya, kecerdasan (kecakapan), gaya dan cara belajar, komunikasi,
mengerjakan tugas, cara menyelesaikan  problem, kepribadian, pola kepemimpinan
keluarga, penyesuaian sosial dan emosional.  Maka Bagi para pendidik, sangat penting

4
memahami berbagai keragaman yang dimiliki oleh siswa tesebut. Antara siswa satu
dengan yang lainya berbeda kecakapan, jasmani, sosial dan emosinalnya. Ada siswa
yang tampak dapat bertindak secara cepat, tepat, dan dengan mudah, lazimnya siswa itu
disebut cakap. Ada siswa yang belajarnya lamban, kurang tepat, dan bahkan mengalami
kesukaran dalam belajarnya.Hal ini merupaka masalah yang perlu diselsaikan dengan
upaya-upaya guru dalam mengetahui potensi-potensi  berbeda yang dimiliki peserta
didik.
Upaya pertama yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan individu,sebelum
dilakukan pengukuran kapasitas mental yang mempengaruhi penilaian sekolah, adalah
menghitung umur kronologi. Seorang anak memasuki sekolah dasar pada umur 6 tahun
dan ia diperkirakan dapat mengalami kemajuan secara teratur dalam tugas-tugas
sekolahnya dilihat dalam kaitannya dengan faktor umur.Selanjutnya ada anggapan
bahwa semua anak diharapkan mampumenangkap/mengerti bahan-bahan pelajaran yang
mempunyai kesamaan materi danpenyajiannya bagi semua siswa pada kelas yang sama.
Ketidakmampuan yang jelastampak pada siswa untuk menguasai bahan pelajaran
umumnya dijelaskan denganpengertian faktor-faktor seperti kemalasan atau sikap keras
kepala. Penjelasan itutidak berdasarkan pada kenyataan bahwa para siswa memang
berbeda dalam halkemampuan mereka untuk menguasai satu atau lebih bahan pelajaran
dan mungkinberada dalam satu tingkat perkembangan.
Dalam makalah sederhana ini, pemakalah akan menguraikan beberapa
perbedaan individu (individual defferences) yang mencakup arti perbedaan individu,
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan individu, inteligensi, kepribadian dan
temperamen, gaya belajar dan gaya berpikir dan budaya dalam kaitannya dengan
perbedaan individu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian, dan tes  Inteligensi ?
2.      Bagaimana konsep gaya belajar dan berpikir dalam belajar ?
3.      Bagaimana ciri-ciri sifat kepribadian dan tempramen ?

5
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Intelegensi
Konsep tentang inteligensi menimbulkan kontrofersi dan debat seru, terlebih
manakala inteligensi diukur dan dikuantifikasi dalam bentuk angka. Hal ini disebabkan
karena inteligensi sendiri merupakan suatu konsep yang abstrak. Istilah intelegensi
berasal dari kata Latin intelligence  yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu
sama lain (to organize, to relate, to bind together) (Walgoti,1997). Intelegensi menurut
David Wecshler (1958) didefinisikan sebagai “Keseluruhan kemampuan individu untuk
berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara
efektif”.
Beberapa pakar mendeskripsikan inteligensi sebagai keahlian untuk memecahkan
masalah. Yang lain mendeskripsikan sebagai kemampuan untuk beradaptasi dan belajar
dari pengalaman hidup sehari-hari. Bila dua definisi ini digabungkan maka akan didapat
bahwa inteligensi merupakan keahlian untuk memecahkan masalah dan kemampuan
untuk beradaptasi pada, dan belajar dari, pengalaman hidup sehari-hari. Dengan
perkataan lain, intelegensi adalah kemampuan yang bersifat umum untuk mengadakan
penyesuaian terhadap suatu situasi atau masalah. Kemampuan yang bersifat umum
tersebut meliputi berbagai jenis kemampuan psikis seperti: abstrak, berpikir mekanis,
matematis, memahami, mengingat, berbahasa dan sebagainya.
Intelligere adalah asal kata intelegensi yang biasa kita kenal, yang mengandung
arti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain.[2] Novelis Inggris abad ke-20
Aldous Huxley mengatakan bahwa anak-anak itu hebat dalam hal rasa ingin tahu dan
intelegensinya. Apa yang dimaksud Huxley ketika ia menggunakan kata intelegensi
(intelligence)? Intelegensi adalah salah satu milik kita yang paling berharga, tetapi
bahkan orang yang paling cerdas sekalipun tidak sepakat tentang apa intelegensi itu[3].
Para ahli mempunyai pengertian yang beragam tentang intelegensi yaitu :
1.      Anita E. Woolfolk mengemukakan bahwa menurut teori-teori lama, intelegensi itu
meliputi tiga pengertian, yaitu (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh; (3) kemampuan untuk beradaptasi secara berhasil dengan
situasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Woolfolk mengemukakan
bahwa intelegensi itu merupakan satu atau beberapa kemampuan untuk memperoleh dan
menggunakan pengetahuan dalam rangka memecahkan masalah dan beradaptasi dengan
lingkungan.
2.      Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi bersama Theodore
simon mendefinisikan intelegensi atas tiga komponen yaitu (a) kemampuan untuk
mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan; (b) kemampuan untuk mengubah arah
tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan (c) kemampuan untuk mengkritik
diri sendiri atau melakukan autocriticism.

6
3.      David Wechsler pencipta skala-skala intelegensi yang populer sampai saat ini,
mendefinisikan intelegensi sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk
bertindak dalam tujuan tertentu, berfikir secara rasional, serta mengahadapi
lingkungannya dengan efektif.

Beberapa pakar mendeskripsikan intelegensi sebagai keahlian untuk memecahkan


masalah (problem-solving). Yang lainnya mendeskripsikannya sebagai kemampuan
untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari. Dengan
mengkombinasikan ide-ide ini kita dapat menyusun definisi inteligensi yang cukup
fair:keahlian memecahkan masalah dan kemampuan untuk beradaptasi pada, dan belajar
dari, pengalaman hidup sehari-hari. Tetapi, bahkan definisi yang luas ini tidak
memuaskan semua orang. Seperi yang akan anda lihat sebentar lagi, beberapa ahli teori
mengatakan bahwa keahlian bermusik harus dianggap sebagai bagian dari intelegensi.
Juga, sebuah definisi intelegensi yang didasarkan pada teori seperti teori Vygotsky
harus juga memasukkan factor kemampuan seseorang untuk menggunakan alat
kebudayaan dengan bantuan individu yang lebih ahli. Karena intelegensi adalah konsep
yang abstrak dan luas, maka tidak mengherankan jika ada banyak definisi. Jadi menurut
Santrock (2008) intelegensi (kecerdasan) adalah keterampilan menyelesaikan masalah
dan kemampuan untuk beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari[5]

Wilhelm Stern melihat, titik berat definisi intelegensi terletak pada kemampuan
penyesuaian diri (adjustment) seseorang terhadap masalah yang dihadapi.[6] Artinya,
orang yang intelegensinya tinggi (cerdas), akan memiliki kemampuan untuk
menyesuaikan diri dan memiliki kecakapan dalam menghadapi masalah baru.
Sejalan dengan pendapat Stern, Amsal Amri juga mengemukakan bahwa
intelegensi adalah kemampuan untuk melakukan abstraksi, serta berpikir logis dan cepat
sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru. Di sini Amsal
melihat ada beberapa aspek kemampuan yang dimaksud, yakni 1) kemampuan kognitif,
2) kemampuan psikomotorik, dan 3) kemampuan afektif. Ketiga hal ini disebut dengan
kecerdasan (intelegensi).

Sedangkan Slavin menjelaskan kecerdasan adalah salah satu diantara kata-kata


yang diyakini setiap orang bahwa mereka memahaminya hingga anda meminta mereka
mendefinisikannya. Pada satu tahap, kecerdasan dapat didefinisikan sebagai bakat
umum untuk belajar atau kemampuan untuk mempelajari dan menggunakan
pengetahuan atau keterampilan.
Sedangkan Howard Gardner (dalam Sunaryo Kartadinata, 2007: 6),
mendefinisikan kecerdasan sebagai:
1.    Kemampuan memecahkan masalah yang muncul dalam kehidupan nyata;
2.    Kemampuan melahirkan masalah baru untuk dipecahkan.;

7
3.    Kemampuan menyiapkan atau menawarkan suatu layanan yang bermakna dalam
kehidupan kultur tertentu.
Lebih lanjut Gardner mendefinisikan Intelegensi sebagai kemampuan untuk
memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-
macam dan dalam situasi yang nyata (1983;1993). Gardner menganggap, intelegensi
bukan hanya kemampuan dalam memecahkan persoalan yang sifatnya test (teori), yang
dilakukan dalam ruang tertutup dan jauh dari realitas persoalan yang dhadapi oleh
lingkungannya. Namun intelegensi adalah kemampuan menyelesaikan persoalan yang
nyata (real), yang sungguh-sungguh terjadi. Karena menurut Gardner, orang baru
dikatakan berintelegensi kalau mampu memecahkan persoalan lingkungan yang benar-
benar dia hadapi. Bahkan, Gardner menganggap, tingkat produktifitas (kreatifitas) juga
menjadi ukuran intelegensi seseorang

B.  Tes Intelegensi
Tes inteligensi individual pertama kali dikembangkan oleh psikolog Alfred Binet
dan dibantu oleh mahasiswanya Theopild Simon. Binet dan Simon mengembangkan
konsep mental age (MA) atau usia mental yakni level perkembangan individu yang
berkaitan dengan perkembangan lain. Tak lama kemudian, William Stern menciptakan
konsep Intelligence Quotient (IQ), yaitu usia mental seseorang dibagi dengan usia
kronologis dikalikan dengan 100. Jika usia mental sama dengan usia kronologis maka
IQ orang itu sama dengan 100. Jika usia mental seseorang lebih dari usia kronologis
maka IQ orang itu lebih dari 100. Jika usia mentalnya kurang dari usia kronologis maka
IQ orang itu akan kurang dari 100. Tes Binet ini selanjutnya direvisi dan revisi terakhir
yang sampai sekarang banyak dipakai untuk mengukur inteligensi murid adalah
Standford-Binet.
Selain standford-binet, tes lain yang bisa digunakan untuk mengukur inteligensi
seseorang adalah skala wechsler yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini
digunakan selain untuk menunjukkan IQ secara keseluruhan juga menunjukkan IQ
verbal dan IQ kinerja
Pada tahun 1904 Menteri pendidikan Perancis meminta psikolog Alfred Binet
untuk menyusun metode guna mengidentifikasi anak-anak yang tidak mampu belajar
disekolah. Para pejabat disekolahan ingin mengurangi sekolahan yang sesak dengan
cara memindahkan murid yang kurang mampu belajar di sekolah umum ke sekolah
khusus. Binet dan mahasiswanya, Theophile Simon, menyusun tes inteligensi untuk
memenuhi permintaan ini. Tes itu disebut skala 1905. Tes ini terdiri dari 30 pertanyaan,
mulai dari kemampuan untuk menyentuh telinga hingga kemampuan untuk
menggambar desain berdasarkan ingatan dan mendefinisikan konsep abstrak.
1.    Tes Intelegensi Individual ( Tes Binet dan Skala Wechsler)
 Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang
suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang

8
memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu
dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Binet mengembangkan konsep mental age (MA) atau usia mental yakni
perkembangan mental individu yang berkaitan dengan perkembangan lain. Tak lama
kemudian, pada 1912 Wiliam Stern menciptakan konsep Intelegensi Quotient (IQ) yaitu
usia mental seseorang dibagi dengan usia kronologis (chronological age-CA) dikalikan
100. Jadi rumusnya,
IQ = (MA/CA)*100.

Jika usia mental sama dengan usia kronologis, maka IQ orang itu adalah 100. Jika
usia mental di atas kronologis, maka-IQnya lebih dari 100. Misalnya, anak enam tahun
dengan usia mental 8 tahun akan mempunyai IQ 133. Jika usia mentalnya dibawah usia
kronologis, maka IQnya di bawah 100. Misalkan anak usia 6 dengan usia mental 5 akan
punya IQ 83. Berikut adalah klasifikasi IQ menurut Binet:
KLASIFIKASI IQ
Genius 140 ke atas

Sangat cerdas 130 – 139

Cerdas (superior) 120 – 129

Di atas rata-rata 110 – 119

Rata-rata 90 – 109

Di bawah rata-rata 80 – 89

Garis Batas (bodoh) 70 – 79

Moron (lemah pikir) 50 – 69

Imbisil,idiot 49 ke bawah

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak


perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks
numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental
age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks
seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang
bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ.
Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak
sampai usia 13 tahun.

9
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes
itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan
bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor),
tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini
disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan
menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang
dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak.
Distribusi normal adalah simetris, dengan mayoritas skor berada pada tengah-
tengah rentang skor yang mungkin muncul dan hanya ada sedikit skor yang berada
mendekati ujung dari rentang itu.
Tes Stanford binet kini dilakukan secara individual untuk orang dari usia 2 tahun
hingga dewasa. Tes ini memuat banyak item beberapa diantaranya membutuhkan
jawaban verbal, yang lainnya respon non verbal.
Edisi keempat tes Stanford-Binet dipublikasikan pada 1985. Salahsatu
penambahan penting pada versi ini adalah analisis respons individual dari segi empat
fungsi: penalaran verbal, penalaran kuantitatif, penalaran visual abstrak, dan memori
jangka pendek. Skor komposit umum masih dipakai untuk mengetahui
keseluruhan inteligensi. Tes Stanford-Binet masih menjadi salah satu tes yang paling
banyak digunakan untuk menilai inteligensi murid (Aiken, 2003; Walsh&Betz, 2001).
Tes lainnya yang banyak dipakai untuk menilai intelegensi murid dinamakan
skala weshsler yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini
mencakup Weshsler Pre school and Primary scale of Intellegensi Revised(WPPSI-R)
untuk menguji anak usia 4-6,5 tahun; Weshsler Intellegensi Scale for Children-
Revised (WISC-R) untuk anak dan remaja dari usia 6-16 tahun; dan Weshsler Adult
Intellegensi Scale-Revised (WAIS-R) untuk orang dewasa.
Selain menunjukan IQ keseluruhan, skala Weshsler juga menunjukan IQ verbal
dan IQ kinerja. IQ verbal didasarkan pada 6 sub skala verbal, IQ kinerja didasarkan
pada 5 sub skala kinerja. Ini membuat peneliti bias melihat dengan cepat pola-pola
kekuatan dan kelemahan dalam area intelegensi murid yang berbeda-beda (Woolger
2001)
Berikut adalah Klasifikasi menurut Wechsler:
KLASIFIKASI IQ

Very Superior 130 ke atas

Superior 120 –129

Bright Normal 110 –119

Average 90 – 109

10
Dull Normal 80 – 89

Borderline 70 –79

Mental Deffective 69 ke bawah

2.    Tes Intelegensi Kelompok


Siswa dapat di berikan tes intelegensi dalam kelompok. Tes intelegensi meliputi
Lorge- Trondike dan tes kemampuan sekolah Otis Lennon (Otis Lennon School Ability
Test- OLSAT). tes integensi kelompok lebih nyaman dan ekonomis darpada tes
individu, tapi memiliki kelemahan. Ketika tes di berikan kepada kelompok besar,
pemeriksa tidak bisa menjalin hubungan, menentukan tingkat kecemasan siswa dan
sebagainya. Dalam situasi pengujian kelompok-, siswa mungkin tidak memahami
intruksi atau mungkin terganggu oleh siswa lain. Karena keterbatasan tersebut, saat
keputusan penting yang dibuat mengenai siswa, tes imntegensi kelompok harus selalu di
lengkapin dengan informasi lain mengenai kemampuan siswa. Untuk itu, strategi yang
sam berlaku untuk tes intelegensi individual meskipun memiliki keunggulan pada
akurasinya. Namun yang pasti, keputusan untuk menempatkan siswa di kelas bagi siswa
yang memiliki keterbelakangan mental, kelas pendidikan khusus, atau kelas bagi siswa
yang berbakat tidak harus berdasarkan pada tes kelompok saja. Dalam hal demikian,
jumlah ektensif informasi yang relevan tentang kemampuan siswa harus diperoleh
diluar situasi pengujian.

Teori Intelegensi Majemuk
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa kecerdasan adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam menghadapi masalah yang
ada di lingkungannya. Setiap individu dengan individu lainnya memiliki kemampuan
yang berbeda-beda. Gardner berpendapat, bahwa kemampuan itu sendiri memiliki
banyak jenis dan dimensi. Keanekaragaman jenis kemampuan-kemampuan inilah yang
disebut dengan kecerdasan majemuk (multiple intelegensi). Realita inilah yang
mendorong Gardner menelurkan gagasannya tentang multilpe intelegensi(kecerdasan
majemuk).

Menurut teori ini, setiap anak yang terlahir di dunia tidak ada yang bodoh.
Semuanya memiliki kesempatan dan hak untuk disebut sebagai orang yang
cerdas. Pendapat Gardner ini membuka wawasan kita tentang hakikat dari kecerdasan.
Selama ini penilaian tentang kecerdasan hanya terbatas pada sesuatu yang sempit dan
statis. Namun Gardner – dan para ahli lainnya – memaknai kecerdasan sebagai
kemampuan seseorang dalam beradaptasi, lebih jauh Gardner menambahkan

11
penekanannya pada aspek atau dimensi psikologis manusia yang membentuk jenis-jenis
kemampuan tersebut.
Ada dua teori utama dalam perdebatan teori multiple intelligence yakni teori
Triarkis Sternberg dan teori multiple intelligence  Gardner. Menurut sternberg,
inteligensi muncul dalam tiga bentuk bentuk:
1. Analitis, merupakan intelegensi yang melibatkan kemampuan untuk menganalisis ,
menilai, mengevaluasi, membandingkan.
2. Kreatif, merupakan intelegensi yang terdiri atas kemampuan untuk menciptakan ,
mendesain, menemukan, orisinalitas, dan membayangkan.
3. Praktis, merupakan intelegensi yang berfokus pada kemampuan untuk
menggunakan, menerapkan, melaksanakan, dan memasukkan ke dalam praktik.

Dan menurut Gardner inteligensi muncul dalam tujuh  bentuk bentuk


1. Keterampilan verbal, merupakan kemampuan untuk berfikir kata-kata dan berbicara
menggunakan bahasa untuk mengekspresikan makna (penulis, jurnalis, pembicara)
2. Keterampilan matematika, merupakan kemampuan untuk melaksanakan operasi
matematika ( ilmuwan insinyur, akuntan)
3. Keterampilan spasial, merupakan kemampuan untuk berfikir tiga dimensi ( arsitek,
seniman, pelaut)
4. Keterampilan kinestetik-jasmani, merupakan kemampuan untuk memanipulasi
objek dan fisik secara mahir ( ahli bedah, kerajinan rakyat, penari, dan atlet).
5. Keterampilan musik, merupakan kemampuan kepekaan terhadap pitch, melodi,
irama, dan nada ( komposer, musisi, dan terapis musik)
6. Keterampilan intrapersonal, merupakan kemampuan untuk memahami dan secara
efektif ( teolog, psikolog).
7. Keterampilan interpersonal, merupakan kemampuan untuk memahami dan secara
efektif berinteraksi dengan orang lain ( guru sukses, profesional kesehatan mental).
8. Keeterampilan naturalis, merupakan kemampuan untuk mengamati pola di alam dan
memahmi sistem alam dan buatan manusia ( petani, ahli botani, ekologi, ahli
tanaman)

Terkait macam-macam intelegensi yang dipaparkan oleh Gardner, Prof. Dr. H.


Djaali memetakan ada tujuh jenis seperti yang sudah kami sebutkan di atas. Namun
dalam beberapa referensi lainnya, seperti yang dipaparkan oleh Sunardi dkk, multiple
intelegensi  yang dipaparkan oleh Gardner ada 10 macam intelegensi.
Sunardi dkk, sesuai dengan teori multiple intelegensi  yang disampaikan oleh
Gardner, membagi kecerdasan dengan 10 bidang (aspek) dalam psikologi
manusia. Berdasarkan pendekatan tersebut, kecerdasan atau intelegensi ada 10
macam, yaitu:
1.    Kecerdasan linguistic (linguistik intelligence)

12
Adalah kemampuan untuk berfikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan
bahasa untuk mengekpresikan dan menghargai makna yang komplek, yang meliputi
kemampuan membaca, mendengar, menulis, dan berbicara.
2.    Intelegensi logis-matematis (logical matematich)
Adalah kemampuan dalam menghitung, mengukur dan mempertimbangkan
proposisi dan hipotesis serta menyelesaikan operasi-operasi matematika.
3.    Intelegensi musik  (musical intelegence)
Intelegensi musik adalah kecerdasan seseorang yang berhubungan dengan
sensitivitas pada pola titik nada, melodi, ritme, dan nada. Musik adalah bahasa
pendengaran yang menggunakan tiga komponen dasar yaitu intonasi suara, irama dan
warna nada yang memakai system symbol yang unik.
4.    Intelegensi  Kinestetik
Kinestetik adalah belajar melalui tindakan dan pengalaman melalui panca
indera. Intelegensi kinestetik adalah kemampuan untuk menyatukan tubuh atau pikiran
untuk menyempurnakan pementasan fisik. Dalam kehidupan sehari-hari dapat diamati
pada actor, atlet atau penari, penemu, tukang emas, mekanik.
5.    Intelegensi  Visual-spasial
Intelegensi visual-spasial merupakan kemampuan yang memungkinkan
memvisualisasikan informasi dan mensintesis data-data dan konsep-konsep ke dalam
metavor visual.
6.    Intelegensi  Interpersonal
Intelegensi interpersonal adalah kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi
dengan orang lain dilihat dari perbedaan, temperamen, motivasi, dan kemampuan.
7.    Intelegensi  Intrapersonal
Adalah kemampuan seseorang untuk memahami diri sendiri dari keinginan, tujuan
dan system emosional yang muncul secara nyata pada pekerjaannya.
8.    Intelegensi  Naturalis
Adalah kemampuan untuk mengenal flora dan fauna melakukan pemilahan-
pemilahan utuh dalam dunia kealaman dan menggunakan kemampuan ini secara
produktif, misalnya untuk berburu, bertani, atau melakukan penelitian biologi.

Intelegensi Emosional
Konsep Intelegensi Emosional yang dikembangkan oleh Peter Salovey dan John
Mayer ( 1990 ) sebagai kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan emosi
secara akurat dan adaptif ( seperti mengambil perspektif terhadap orang lain) , untuk
memahami emosi dan mengetahui pengetahuan emosional ( serta memahami peran yang
emosi mainkan dalam persahabatan dan hubungan lain), menggunakan perasaan untuk
memfasilitasi pemikiran( seperti berada di suasana hati yang positif yang terkait dengan
berfikir kreatif ) , dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain ( seperti mampu
mngendalikan amarah seseorang).

13
Gardner Sternberg Salovey/Mayer
Verbal Analisis
Matematika
Spasial Gerakan Kreatif
Musikal
Interpersonal Praktis Emosional
Intrapersonal
Naturalistik
Konsep kecerdasan emosional dikembangkan oleh Daniel Goleman. Goleman
percaya bahwa untuk memprediksi kompetensi seseorang, IQ seperti yang diukur
dengan menggunakan tes kecerdasan ternyata tidak lebih penting dari kecerdasan
emosional. Menurutnya, emotional intelligence terdiri dari empat area yakni:
1. Developing emotional awarenes; seperti kemampuan untuk memisahkan perasaan
dari tindakan.
2. Managing emotions; seperti mampu untuk mengendalikan amarah.
3. Reading emotions; seperti memahami perspektif orang lain.
4. Handing relationship; seperti kemampuan untuk memecahkan problem hubungan
dengan orang lain.

C.  Gaya Belajar dan Gaya Berpikir


Inteligensi mengacu pada kemampuan.  Gaya belajar dan berfikir bukan
kemampuan melainkan pilihan cara untuk menggunakan kemampuan seseorang (Zhang
& sternberg,2009). Pendekatan belajar  berfikir anak dalam berbagai car ayang
menajubkan. Guru sendiri juga bervariasi dalam gaya mereka belajar dan berfikir. Tidak
satupun dari kita memiliki hanya satu gaya belajar dan berfikir, masing-masing dari kita
memiliki profil dari banyak gaya. Individu bervariasi sehingga ratusan gaya belajar dan
berfikir telah di usulkan oleh pendidik dan psikolog.

1. Gaya impulsif-reflektif
Gaya impulsif-reflektis sering dikenal dengan tempo konseptual. Yakni murid
cendrung bertindak cepat dan impulsif atau menggunakan lebih banyak waktu untuk
merespons dan merenungkan akurasi dari suatu jawaban. Murid yang impulsif
seringkali lebih banyak melakukan kesalahan ketimbang murid yang reflektif.
Dibandingkan murid yang impulsif, murid yang reflektif juga lebih mungkin untuk
menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan.
Mereka biasanya memiliki standar kerja yang tinggi. Dikotomi ini melibatkan
kecenderung siswa untuk bertindak cepat dan impulsif atau untuk mengambil lebih
banyak waktu dalam respon dan merenungkan akurasi jawaban. Siswa impulsif
biasanya membuat lebih banyak membuat kesalahan daripada siswa reflektif.

14
2. Gaya mendalam-dangkal
Maksudnya ialah sejauh mana murid mempelajari materi belajar dengan satu cara
yang membantu mereka untuk memahami materi tersebut (gaya mendalam) atau
sekedar mencari apa yang perlu untuk dipelajari (gaya dangkal). Murid yang belajar
dengan gaya dangkal tidak bisa mengaitkan apa yang mereka pelajari dengan kerangka
konseptual yang lebih luas. Mereka cendrung belajar secara pasif, hanya mengingat
informasi. Sementara itu murid yang menggunakan gaya belajar mendalam lebih
mungkin untuk secara aktif memahami apa yang mereka pelajari dan memberi makna
pada apa yang perlu untuk diingat. Pelajar mendalam lebih mungkin memotivasi diri
sendiri untuk belajar dibandingkan dengan pelajar dangkal yang akan termotivasi bila
ada penghargaan dari luar seperti pujian dan tanggapan positif dari guru.

Ketergantungan lapangan versus ketidakbergantungan lapangan, Orang-orang yang


bergantung pada lapangan cenderung melihat pola secara keseluruhan dan
mengalami kesulitan dalam memisahkan aspek-aspek tertentu suatu situasi atau pola.
Sedangkan orang yang tidak bergantung pada lapangan lebih mampu melihat bagian-
bagian yang membentuk suatu pola yang besar. Selain itu, orang yang bergantung pada
lapangan cenderung lebih berorientasi pada orang dan hubungan sosial dari pada orang-
orang yang tidak bergantung pada lapangan (Slavin, 2004: 168).

D. Kepribadian dan Temperamen
1. Kepribadian
Kepribadian atau personalitas ialah pemikiran, emosi dan perilaku tertentu yang
menjadi ciri dari seseorang menghadapi dunianya. Kepribadian mencakup lima hal yang
menjadi ciri bawaan yang menonjol yakni, openness (keterbukaan terhadap
pengalaman), conscientiousness (kepatuhan), extraversion (keterbukaan terhadap orang
lain), agreebleness (kepekaan nurani), neoroticism (stabilitas emosional).
Dalam konteks pembelajaran, guru harus dapat mendalami dan memahami
keanekaragaman karakteristik kepribadian muridnya. Dengan demikian, kegiatan
pembelajaran menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan walau dijalankan dalam
situasi yang beragam.
Beberapa peneliti kepribadian  berpendapat bahwa mereka telah mengidentifikasi 
lima besar faktor kepribadian ,”sifat super” untuk menggambarkan dimensi utama
kepribadian :
a.    Keterbukaan
b.    Kesadaran
c.    Ektraversi
d.    Keramahan
e.    neurotisme (stabilitas emosi).

15
Lima besar faktor dapat memberikan kerangka kerja untuk berfikir mengenai ciri-
ciri kepribadian siswa. Siswa akan berbeda dalam stabilitas emosi mereka, bagaimana
mereka terbuka atau tertutup, bagaimana terbuka terhadap pengalaman, bagaimana
menyenangkan mereka,  dan bagaimana mereka bersifat teliti.

2. Temperamen
Temperamen adalah gaya perilaku seseorang dan cara khasnya dalam memberi
tanggapan atau respons. Beberapa murid bertemperamen aktif, sedangkan yang lainnya
tenang. Beberapa murid merespons orang lain dengan hangat sedangkan yang lainnya
secara sambil lalu. hal inilah yang mngindikasikan adanya variasi temperamen dalam
diri siswa.
Temperamen dikategorikan dalam tiga kelompok sebagaimana yang
dikelompokkan oleh Chees dan Thomas, yakni: anak mudah (easy child), anak sulit
(difficut child) dan anak lambat bersikap hangat (slow-to-warm-up child).
Pengelompokkan atas temperamen ini kemudian direvisi kembali oleh Rothbard dan
Bates yang lebih memfokusnya pada (1) sikap dan pendekatan positif; (2) sikap dan
pendekatan negatif; (3) usaha kontrol atau pengaturan diri.
Dalam konteks pembelajaran, ada beberapa strategi yang berhubungan dengan
temperamen murid, yakni memberi perhatian dan penghargaan pada individualitas,
memperhatikan strukstur lingkungan murid, dan waspada terhadap problem yang dapat
muncul apabila memberi cap sulit bagi seorang anak yang menyusun paket program
untuk anak sulit.
Diskripsi dari tiga dimensi tempramen ( Rothbart,2004  hlm.495)
1. ekstraversi / surgensi  termasuk “ antisipasi positif, impulsif, tingkat aktivitas, dan
mencari sensasi.
2. Pengaruh negatif terdiri atas anak-anak yang mudah tertekan “ ketakutan, frustasi,
kesedihan dan ketidaknyamanan.” Mereka mungkin resah dan sering menangis.
3. Kontrol penuh usaha ( pengagturan diri).perhatian dan pergeseran fokus, kontrol
inhibisi, sensitivitas presepsi, dan intensitas kesenangan rendah.” Anak-anak yang
tinggi pada kontrol penuh usaha menunjukkan kemampuan untuk menjaga gairah
mereka dari mendapatkan terlalu tinggi dan memiliki strategi untuk menengkan
diri. Sebaliknya, anak-anak pada kontrol usaha rendah sering tidak dapat
mengendalikan gairah mereka, mereka menjadi mudah gelisah dan sangat
emosional . studi baru-baru ini pada anak-anak usia sekolah di amerika serikat dan
china mengungkapakan dalam kedua budaya kontrol usaha rendah dikaitkan
dengan eksternalisasi masalah, seperti berbohong, menipu, tidak taat, dan menjadi
terlalu agresif.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kseimpulan
Perbedaan individu merupakan topik pembicaraan dalam psikologi pendidikan
yang tak akan habis didiskusikan dari zaman ke zaman. Dewasa ini, konsep perbedaan
individu semakin ramai dibicarakan dan diperhatikan banyak pihak khususnya dalam
bidang pendidikan. betapa tidak, pengaruh globalisasi dan pesatnya perkembangan telah
menggeser pola pikir, tindak dan karsa manusia. Oleh karena itu, dalam bidang
pendidikan sangat perlu untuk mendalami perbedaan individu para pebelajar.
Dari uraian-uraian yang disampaikan dalam makalah ini, maka pemakalah  dapat
menyimpulkan beberapa hal yang terkait dengan perbedaan individu, sebagai berikut
1. Perbedaan individu merupakan suatu hakikat manusia, karena tidak ada satu pun
manusia di dunia ini yang sama. Walau mirip, namun keduanya tetap tidak sama.
Untuk mendalami ini ialah tugas dari psikologi perkembangan. Dan para psikolog
telah menemukan bahwa perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh hereditas
(faktor internal) dan lingkungan (eksternal).
2.  Perbedaan individu dalam dunia pendidikan tampak dalam perbedaan inteligensi,
kepribadian dan temperamen, budaya (sosio-ekonomi, bahasa, gender, situasi sosial
kemasyarakatan, suku/ras) dan juga perbedaan gaya berpikir dan gaya belajar
siswa.
3. Merupakan usaha/upaya guru (pendidik) dan juga semua stake-holders dalam dunia
pendidikan agar memperhatikan dan mendalami berbagai gejala dan fakta
perbedaan individu dalam konteks pembelajaran. Pendidikan multikultural dan
pendidikan berwawasan kesetaraan, pendidikan dwibahasa merupakan contoh
upaya dalam memajukan pendidikan yang mampu merangkum semua peserta didik
yang berbeda dalam satu kesatuan kegiatan pembelajaran.

B. Saran
Demikian makalah yag dapat kami susun dengan semaksimal mungkin, semoga
dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita. Kami sadar bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih banyak kesalahn dan jauh dari kesempurnaan serta
diperlu pembelajaran lebih lanjut mengenai variasi individu, guna lebih memahami
tentang pembahasan ini lebih mendalam. Oleh karena itu, kami sangat mengharap
kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah yang akan kami buat selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua

17
DAFTAR PUSTAKA

Allport, G.W., Pola dan Pertumbuhan dalam Kepribadian. New York: Holt, Rinehart &
Winston, 1961
Dalyono. M., Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta 2007
Depoter, Bobbi & Mike Hernachi. Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman
dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa, 1999
Gale, A. dan Eysenck, M.W., Buku Pegangan Perbedaan Individu: Perspektif
Biologi. Chichester: Wiley, 1991
Hartono S., Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Rineka Cipta,  1999
Makmun.S.A., Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja, 2003
Maltby, J. Day, L. dan MacAskill, A. Kepribadian, Perbedaan Individu dan
Intelijen. Jakarta: Pearson, 2007
Purwanto, N. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998
Santrock, John W., terj. Tri Wibowo. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2008
Semiawan, C. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat, Jakarta: Grasindo, 1977
Slavin, E.Robert, terj. Samosir, Marianto. Psikologi Pendidikan, Teori dan Praktek, ed.
Ke-9 jilid 1. Jakarta:  PT Indeks, 2008

18

Anda mungkin juga menyukai